Harpa Iblis Jari Sakti 5
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Bagian 5
Harpa Iblis Jari Sakti Karya dari Chin Yung
"Belum lama ini, kedua orangtuamu menerima suatu titipan yang harus diantar ke Su Cou! Tentang itu, kau sudah tahu, bukan?"
Mendengar itu, hati Lu Leng tergerak.
"Kalau aku tahu lalu kenapa?"
"Ada baiknya kau tahu!"
Sahut orang yang tak kelihatan itu.
"Aku punya sepucuk surat, kau harus sampaikan kepada 326 kedua orangtuamu! Setelah meninggalkan tempat ini, kau harus segera pergi mencari kedua orangtuamu! Sebelum mereka tiba di Su Cou, surat ini sudah harus disampaikan kepada mereka! Kalau tidak, kau pasti mati!"
Lu Leng menyahut.
"Itu bagaimana mungkin? Kini diriku berada di mana aku sama sekali tidak tahu. Kedua orangtuaku berangkat dari rumah, tentunya lebih cepat tiba di Su Cou, tidak mungkin aku dapat menyusul mereka!"
Terdengar suara tawa gelak.
"Ha ha ha! Kau tidak perlu cemas! Dalam beberapa hari ini, kau terus melakukan perjalanan, dan kini sudah berada di sekitar Su Cou! Asal kau keluar dari goa ini, sudah berada di luar kota Su Cou, kau boleh menunggu kedua orangtuamu!"
Lu Leng tertegun, hanya terdengar suara tidak kelihatan orangnya.
Di dalam goa ini hanya terdapat cahaya Lampu dan dirinya sendiri, entah bersembunyi di mana orang itu.
Suaranya agak bergema, pertanda dia berada di dalam goa ini.
Kenapa tidak mau mengabulkan syaratnya itu? Setelah menerima surat tersebut, Bukankah dia akan melihat orang itu? Lagipula asal bisa meninggalkan goa ini, setelah bertemu kedua orangtuanya, biar kedua orangtuanya yang mengambil keputusan.
Berpikir sampai di sini, Lu Leng manggut-manggut seraya berkata.
"Baik, aku setuju! Di mana surat itu, cepat serahkan kepadaku!"
Terdengar suara itu lagi.
"Bocah, ketika kau memasuki goa ini, tubuhmu telah terkena racun! Kalau kau berani macam-macam, pasti akan tersiksa!"
Lu Leng tidak sabaran.
"Di mana surat itu?"
"Kenapa kau tidak sabaran?"
Terdengar suara sahutan.
Lu Leng menganggap, orang itu akan menyerahkan surat kepadanya, tentunya harus memunculkan diri.
Akan tetapi, mendadak melayang sebuah amplop merah, kemudian jatuh di hadapannya.
Lu Leng tertegun.
Di saat bersamaan suara itu mengalun.
"Cepat ambil surat itu, dan ikuti cahaya lampu!"
Dari awal hingga kini, Lu Leng tetap tidak tahu siapa yang membawanya ke mari, juga tidak tahu siapa orang yang berbicara dengannya.
Apa boleh buat, dia harus menuruti perkataan orang itu, segera memungut surat tersebut.
Tampak cahaya lampu itu merosot ke bawah, kemudian bergerak ke depan.
Lu Leng cepat-cepat mengikuti cahaya lampu itu.
Tampak cahaya lampu itu menikung ke sana ke mari, tak seberapa lama kemudian, sudah tampak sebuah pintu besi.
Lu Leng tidak perlu membukanya, karena pintu besi itu sudah terbuka sendiri.
Di saat bersamaan, cahaya lampu itu padam seketika.
Di dalam goa itu, Lu Leng mengalami beberapa keanehan, walau dirinya tidak mengalami kecelakaan, namun suara itu mengatakan bahwa dirinya telah terkena racun, ketika memasuki goa itu.
Benar atau tidak, Lu Leng tidak mengetahuinya.
Yang jelas kini sudah ada jalan keluar, itu membuatnya girang sekali.
Dia langsung melesat keluar melalui pintu besi itu.
Tak seberapa lama setelah Lu Leng keluar dari pintu besi tersebut, mendadak terdengar suara "Blam"
Ternyata pintu besi itu telah tertutup kembali.
Lu Leng tertegun, lalu dia berpaling ke belakang.
Seketika dia terbelalak sebab yang dianggapnya sebagai pintu besi itu, ternyata sebuah batu yang menonjol, dan di situ tampak juga pepohonan.
Dia mendongakkan kepala, ternyata dirinya berada di tengah-tengah gunung.
Puncak gunung itu tidak begitu tinggi, dan di sana terdapat sebuah jalanan kecil.
Menyaksikan semua itu, Lu Leng bergumam.
"Apakah aku berada dalam mimpi?"
Dia bergumam di tempat yang amat sepi, justru tak tersangka sama sekali, mendadak terdengar suara sahutan.
"Kau tidak berada dalam mimpi!"
Tanpa menoleh, Lu Leng langsung mengayunkan golok pendeknya ke belakang.
Serrr! Kemudian tak bersuara lagi, sepertinya golok pendeknya telah ditangkap orang.
Lu Leng tersentak kaget dan segera menoleh.
Dugaannya tidak meleset.
Tampak seorang berbadan tinggi besar, mukanya ditutupi kain hitam, terlihat pula jarinya menjepit golok pendek itu.
Bukan main terkejutnya Lu Leng.
Orang itu pun berkata.
"Jangan takut, aku tidak akan mencelakaimu! Berdasarkan ilmu silatmu itu, bagaimana mungkin kau dapat melawanku?"
Suaranya agak lembut, membuat Lu Leng berlega hati. Tapi dia juga merasa heran, karena baru keluar dari goa itu, justru berjumpa orang tersebut di tempat ini.
"Kau... kau adalah orang tadi yang berbicara denganku di dalam goa?"
Orang itu tertawa.
"Tentu bukan. Aku bermarga Tam, kau boleh memanggilku Paman Tam."
"Paman Tam kenal kedua orangtuaku?"
Tanya Lu Leng. Orang yang memakai kain penutup muka itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak kenal kedua orangtuamu."
Sahutnya.
"Oh ya! Apakah Paman Tam pernah memasuki goa itu? Kalau aku tidak berada dalam mimpi, bagaimana mungkin pintu besi itu bisa hilang setelah aku keluar?"
"Kalau diberitahukan, itu tidak akan aneh lagi. Di luar pintu besi itu terdapat sebuah batu. Setelah pintu besi itu tertutup kembali, otomatis tidak kelihatan lagi."
Sahut orang itu. Lu Leng manggut-manggut.
"Oooh! Ternyata begitu! Paman Tam, ketika aku berada di dalam goa, mula-mula aku melihat begitu banyak orang berdiri di situ, tapi kemudian kenapa tidak tampak satu pun?"
Orang itu menghela nafas.
"Aku tidak begitu jelas tentang itu, namun yang pasti apa yang kau lihat di dalam goa itu, bukanlah setan iblis."
Sahutnya. Lu Leng tertawa.
"Aku tentu tidak percaya kalau itu setan iblis. Kalau benar itu setan iblis, bagaimana mungkin akan menitipkan sepucuk surat untuk ayahku?"
Orang itu menatap Lu Leng dalam-dalam, lama sekali barulah bersuara.
"Kau memang berani dan bernyali. Apa yang kau lihat di dalam goa itu, sama sekali tidak membuatmu takut. Aku kagum kepadamu."
Pujian itu membuat wajah Lu Leng kemerahmerahan, karena ketika berada di dalam goa itu, dia justru merasa takut setengah mati. Orang itu berkata lagi.
"Aku memang kenal dia. Tapi aku justru tidak bisa memberitahukan siapa orang itu. Bolehkah kau berikan padaku surat itu?"
Lu Leng mengerutkan kening.
"Paman Tam...."
Orang itu tertawa.
"Legakanlah hatimu, aku sudah bilang tadi, tidak akan mencelakai dirimu. Kalau aku mau mencelakaimu, bukankah aku bisa merebut surat itu? Asal kau berikan surat itu kepadaku, tentunya bermanfaat bagi kedua orangtuamu."
Hati Lu Leng tergerak.
"Bagaimana kedua orangtuaku sekarang?"
Orang itu menyahut.
"Mereka berdua sudah meninggalkan Lam Cong, namun sepanjang jalan banyak orang mencari mereka, maka perjalanan mereka menjadi terhambat. Aku harus pergi memberitahu mereka, bahwa bencana sudah menjelang datang."
Lu Leng tertegun mendengar ucapan orang itu.
"Kedua orangtuaku akan menghadapi bencana?"
Kemudian Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak mungkin, sebab kepandaian kedua orangtuaku amat tinggi, bagaimana mungkin akan menghadapi bencana?"
Orang itu menghela nafas panjang, lalu menepuk bahu Lu Leng seraya berkata.
"Usiamu masih kecil, maka tidak tahu. Kali ini yang terseret ke dalam urusan itu, rata-rata merupakan kaum rimba persilatan yang berkepandaian tinggi sekali. Kalau kedua orangtuamu tidak mundur sekarang, pasti akan celaka."
Lu Leng amat cerdas. Setelah bercakap-cakap dengan orang itu, dia tahu bahwa orang itu berhati bajik, bukan orang jahat.
"Paman Tam, urusan itu apakah mengenai barang titipan orang, yang harus diantar ke Su Cou?"
Orang itu manggut-manggut.
"Tidak salah, memang urusan itu. Aaaah! Kedua orangtuamu demi menjaga reputasi. Kalau tidak, bagaimana mungkin akan diperalat orang menempuh bahaya?"
Lu Leng sudah mulai tahu akan awal dari urusan itu, namun justru merasa heran.
"Paman Tam, sebetulnya urusan apa itu? Bolehkah aku tahu?"
"Saat ini, aku pun tidak begitu jelas. Tapi aku percaya urusan itu pasti akan jernih."
Sahut orang itu. Setelah mendengar ucapan itu Lu Leng tidak banyak bertanya lagi.
"Lu Leng, serahkan dulu surat itu kepadaku!"
Kata orang itu lagi. Lu Leng berpikir sejenak, kemudian menyerahkan surat itu kepada orang tersebut. Setelah menerima surat itu, orang tersebut melambaikan tangannya.
"Mari kita baca bersama!"
Katanya sambil mengeluarkan surat itu dari amplopnya.
Lu Leng mendekatinya, lalu ikut membaca.
Surat itu berbunyi demikian, Lu Cong Piau Tau .
Kali ini kau mendapat titipan dari orang.
Berdasarkan reputasitmu, tentunya aku tidak berani bertindak sembarangan.
Tapi kini, putramu telah terkena racun.
Di kolong langit ini, hanya aku seorang yang dapat memunahkan racun itu.
Kalau kau tidak menyerahkan barang itu kepada putramu, agar dibawa ketnari, nyawa putramu pasti melayang.
Harap pikirkan baik-baik! Di dalam surat itu tidak tertera nama penulisnya.
Seusai membaca surat itu, Lu Leng termangu-mangu, lama sekali barulah membuka mulut.
"Paman Tam, sungguhkah aku telah terkena racun?"
Orang itu menggelengkan kepala.
"Tentu tidak, sebab aku tahu hatinya tidak jahat, tidak akan mencelakai orang."
Jawabnya. Usai berkata, orang itu menghela nafas panjang seraya bergumam.
"Kukira dia tidak berambisi sama sekali. Tidak tahunya dia justru ingin keluar, melakukan sesuatu."
Lu Leng tertegun memandangnya.
"Paman Tam, siapa dia?"
Orang itu menghela nafas panjang.
"Aaaah! Surat ini tidak perlu kau berikan kepada kedua orangtuamu."
Lu Leng segera bertanya.
"Kalau begitu, aku sungguh tidak akan mengalami sesuatu yang diluar dugaan?"
Orang itu tertawa.
"Legakanlah hatimu. Bagaimana mungkin aku akan membohongimu? Kau ikut aku! Aku akan mengajakmu menemui kedua orangtuamu."
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Betapa girangnya Lu Leng.
"Oh? Kedua orangtuaku berada di sekitar sini?"
Tanyanya.
"Tidak salah. Mari ikut aku!"
Orang itu menjulurkan tangannya untuk menarik Lu Leng, lalu meninggalkan tempat itu.
Begitu orang itu menariknya, seketika juga Lu Leng mendengar suara yang menderu-deru melewati telinganya.
Ternyata orang itu menggunakan Ginkang.
Berselang beberapa saat kemudian, orang itu mendadak berhenti, dan mengeluarkan suara bernada heran.
"Eh?"
Kemudian berkata.
"Kau tunggu di sini, jangan sekali-kali mengeluarkan suara, juga tidak boleh bergerak sembarangan!"
Lu Leng tahu orang yang memakai kain penutup muka itu, merupakan orang tingkatan tua dalam rimba persilatan, maka dia amat mempercayainya.
Karena itu, dia segera bersandar di sebuah pohon.
Tampak orang itu melesat ke depan, ternyata di depan sana berdiri dua orang berpakaian aneh, memakan topi tinggi lancip.
Kedua orang itu ternyata si Setan Hitam dan si Setan Putih, anak buah si Setan-Seng Ling.
Berarti saat itu, Lu Leng dan kedua orangtuanya cuma terpaut setengah mil.
Sayang sekali, Lu Leng tidak tahu tentang itu.
Begitu pula kedua orangnya, juga tidak tahu akan hal tersebut.
Sementara Lu Leng tetap berdiri diam di bawah pohon, tidak berani bergerak sama sekali.
Tak seberapa lama kemudian, mendadak terdengar suara siulan dari goa itu, tiga kali siulan panjang dan dua kali siulan pendek.
Sebelum suara siulan itu lenyap, Lu Leng sudah melihat sosok bayangan berkelebat begitu cepat ke arah nya.
Begitu sampai di hadapan Lu Leng, bayangan itu pun berhenti seraya berkata.
"Cepat! Kau cepat pergi! Cepat! Cepat!"
Nada suara itu begitu gugup, membuat Lu Leng terheran-heran.
"Paman Tam tidak mau pergi menemui kedua orangtuaku?"
Orang itu menyahut.
"Sementara ini tidak perlu, cepatlah kau pergi ke Su Cou seorang diri, dan sampai di Su Cou, kau tidak usah ke mana-mana! Malam harinya, kau ke Hou Yok dan bersembunyilah di balik sebuah batu! Kalau melihat seorang gadis muncul di sana, dia adalah putriku bernama Tam Goat Hua. Beritahukan kepadaku, bahwa aku yang menyuruhmu ke sana menunggunya! Dia pasti akan mengatur segalanya untukmu. Jangan membuang waktu di tengah jalan, cepatlah pergi!"
Usai berpesan demikian, orang itu melesat pergi tanpa menghiraukan Lu Leng lagi.
Namun Lu Leng tahu, itu amat penting, sebab nada suara orang itu kedengaran tak begitu tenang.
Maka Lu Leng tidak membuang waktu lagi langsung melesat pergi menuju Selatan.
Tak seberapa lama kemudian, Lu Leng mendadak berhenti.
Ternyata dia teringat apa yang dikatakan orang itu, bahwa kedua orangtuanya berada di sekitar tempat itu.
Mungkin mereka juga sedang menuju Su Cou.
Itu berarti sejalan.
Kenapa tidak meninggalkan surat, agar kedua orangtuanya tahu dirinya sedang menuju Su Cou? Dengan adanya pikiran itu, maka Lu Leng mengeluarkan selembar kertas, lalu membakar sebatang ranting.
Setelah itu, dia menulis dengan ranting yang hangus itu berbunyi demikian.
Ayah, ibu! Aku ke Su Cou, harap tidak mencemaskan Ananda.
Sembah sujud Lu Leng Usai menulis, dia memanjat sebuah pohon, kemudian mengambil golok pendeknya untuk menancapkan surat itu di pohon tersebut.
Begitulah terus dia melanjutkan perjalanannya perlahanlahan dan memasuki bukit Hou Yok.
Tak berapa lama kemudian Lu Leng sudah sampai di sekitar Telaga Pedang dan Seperti saran Paman Tam ia kemudian menunggu seorang gadis yang bermarga Tam dan kemudian telah salah mengenali ialah Han Giok Shia yang ia temui disisi sebuah batu itu.
Cerita selanjutnya telah diuraikan didepan.
Kini kita kembali dimana Lu Leng diselamatkan oleh ketujuh orang aneh itu.
-ooo0ooo- Bab 15 Sesaat terdengar suara beberapa orang dari arah luar kapal, sigendut mendengar ini kemudian keluar kapal, dan tampaknya dia tengah bercakap-cakap dengan beberapa orang diluar kapal yang tak lain ialah enam orang rekannya yang lain.
Ketujuh orang itu mulai bersenandung sambil tertawa gembira.
Tak seberapa lama kemudian, si Gendut masuk ke perahu dengan membawa semangkok obat untuk Lu Leng.
Setelah minum obat itu, Lu Leng segera duduk bersila untuk menghimpun hawa murninya.
Entah berapa lama, ketika dia membuka matanya, tampak permukaan telaga itu memerah, ternyata hari telah senja.
Lu Leng memandang keluar.
Tampak mereka bertujuh duduk di darat, kelihatannya seperti ada suatu urusan penting.
Maka Lu Leng tidak berani mengganggu mereka.
Berselang beberapa saat, si Gendut menghela nafas panjang.
"Sudah hampir sampai waktunya,"
Katanya. Ucapan itu bernada resah. Tak lama kemudian, si Gendut berkata lagi.
"Saudara sekalian, kita bertujuh selama dua tiga puluh tahun ini, entah sudah berjumpa berapa banyak musuh tangguh. Tapi kali ini, kita justru tidak tahu nama musuh itu dan bagaimana rupanya, sungguh aneh sekali! Mungkinkah beberapa iblis yang dahulu pernah roboh di tangan kita?"
Seorang yang berpakaian Sastrawan menyahut.
"Keempat iblis itu setelah mengalami kekalahan di tangan kita. Satu di antaranya telah mati, yang dua jauh di Pak Hai (Laut Utara), sedangkan yang satu lagi, ditangkap oleh seorang pendekar dari golongan lurus, kemudian dibelenggu di lembah See Coan, tidak mungkin dia dapat meloloskan diri. Namun kalau memang mereka bertiga, tentunya kepandaian mereka sudah bertambah tinggi, tapi tidak perlu kita takuti."
Si Kurus berkata.
"Mengenai urusan ini, aku tetap tenang, tapi bukan masalah itu yang kumaksudkan ..."
Si Gendut bertanya.
"Maksudmu orang yang mengundang kita bertemu di menara Hou Yok tidak mengandung niat jahat?"
Si Kurus menyahut.
"Tidak salah. Cobalah pikir, kalau dia berniat jahat, ketika menaruh kartu undangan itu, bukankah kita semua tidak mengetabuinya? Nah, itu merupakan kesempatan baginya untuk mencelakai kita, tapi toh dia tidak turun tangan terhadap kita, pertanda dia tidak berniat jahat."
Kini Lu Leng baru paham, ketujuh orang itu berada di menara Hou Yok ternyata ada janji dengan orang, tapi mereka bertujuh tidak tahu siapa orang itu, maka menyamar sebagai patung dewa dan secara tidak sengaja menyelamatkan Lu Leng.
Tiba-tiba seorang berkepala gundul berkata.
"Berniat jahat atau tidak, kita akan tahu setelah dia muncul, yang penting kini kita harus bersiap-siap!"
Tentunya orang itu berjanji lagi dengan mereka bertujuh untuk bertemu di pinggir telaga.
Mungkin tak lama orang itu akan muncul.
Lu Leng berpikir, Tujuh Dewa itu amat terkenal dalam rimba persilatan.
Masing-masing memiliki kepandaian istimewa.
Tapi saat ini mereka bertujuh tampak begitu tegang.
Maka, dapat diketahui orang yang mengundang mereka untuk bertemu di situ pasti orang luar biasa.
Sementara hari sudah mulai gelap.
Tampak bulan sabit bergantung di langit.
Berselang beberapa saat kemudian, tampak sosok bayangan berkelebat di kejauhan yang makin lama makin mendekat.
Ketika Lu Leng melihat bayangan itu, hatinya tertegun, karena mengenali bentuk tubuhnya.
Setelah bayangan itu dekat, Lu Leng nyaris berteriak kaget.
Ternyata orang itu pernah memberitahukannya bermarga Tam, memakai kain penutup muka.
Orang itu berdiri sejauh dua depa dari Tujuh Dewa, kemudian tertawa seraya berkata.
"Kalian bertujuh sungguh dapat dipercaya. Aku tidak menepati janji di menara Hou Yok, itu saking terpaksa, maka aku mohon maaf!"
Ketujuh orang itu tertawa, kemudian si Gendut berkata.
"Kalaupun kau ke sana, kami sudah tidak berada di sana. Entah ada petunjuk apa kau ingin berjumpa kami?"
Orang yang memakai kain penutup muka menyahut.
"Tidak berani, tidak berani. Aku justru mohon petunjuk kalian bertujuh."
Wajah mereka bertujuh langsung berubah, karena istilah "Petunjuk"
Dalam rimba persilatan adalah menantang bertarung. Si Sastrawan berkata lantang.
"Kami tujuh orang dalam rimba persilatan, terhitung cukup terkenal. Siapa kau, bolehkah kami tahu nama besarrnu?"
"Namaku Tam Sen,"
Sahut orang itu.
Setelah mendengar nama tersebut, ketujuh orang itu melongo.
Mereka sudah begitu lama berkecimpung dalam rimba persilatan, maka kaum rimba persilatan yang berkepandaian tinggi, mereka pasti kenal! Akan tetapi, mereka bertujuh justru tidak kenal orang bernama Tam Sen itu.
Berdasarkan gerakannya tadi, dapat diketahui bahwa kepandaiannya amat tinggi sekali.
Si Sastrawan mendengus dingin.
"Hmm! Kau tidak mau memperkenalkan nama asli ya sudahlah!"
Tam Sen justru tertawa.
"Sobat salah, Tam Sen memang nama asliku. Di hadapan kalian, kenapa aku harus menggunakan !ama palsu? Dulu aku 342 punya julukan, maka nama asliku tidak ada seorang pun tahu. Akan tetapi, kini aku sudah tidak mau memakai nama julukan itu lagi, harap kalian tidak banyak bertanya!"
Tujuh Dewa itu tercengang, orang itu dulunya pasti mempunyai julukan yang cemerlang, namun kini dia memakai kain penutup muka, maka mereka bertujuh tidak dapat menerka siapa orang itu. Si Gendut bertanya.
"Sobat Tam ke mari cuma seorang diri?"
Tam Sen tertawa sambil menyahut.
"Aku ke mari bukan untuk bertarung, kenapa harus banyak orang?"
Si Gendut berkata.
"Kau ingin berjumpa kami, apakah hanya untuk mengobrol yang tak berarti?"
Tiba-tiba Tam Sen menyahut serius.
"Tahukah kalian bertujuh, tidak lama lagi dalam rimba persilatan akan timbul suatu badai besar?"
Si Gendut tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Kami bertujuh sudah mengundurkan diri dari rimba persilatan, tentunya kau sudah tahu, bukan?"
Tam Sen menghela nafas panjang.
"Urusan sampai di depan mata, kalian mau menghindar pun sudah tidak bisa. Kini Lam Cong Thian Houw Lu Sin Kong sudah menuju Go Bi dan Tiam Cong, mengundang para jago dari kedua partai itu mencari Liok Ci Siansing dan Tiat Ciat Songjin membuat perhitungan, apakah kalian akan tinggal diam?"
Tujuh Dewa mempunyai hubungan baik dengan Liok Ci Siansing dan Tiat Ciat Songjin. Maka ketika mendengar kabar itu, air muka mereka langsung berubah. Namun mereka bertujuh, masih tidak percaya. akan apa yang Tam Sen katakan.
"Apakah kau punya bukti tentang itu?"
Tanya si Gendut. Tam Sen tersenyum dingin.
"Masih ada, Bu Tong Sam Kiam telah binasa. Bu Tong Pai menganggap Thian Hou Lu Sin Kong yang mencelakai mereka. Maka para jago dari Bu Tong Pai sudah berangkat ke Bu Yi San untuk menuntut balas pada Lu Sin Kong."
Lu Leng yang berada di dalam perahu, tertegun ketika mendengar kata-kata Tam Sen.
Ketika Bu Tong Sam Kiam mati, Lu Leng menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Urusan itu memang sulit dijernihkan.
Karena ketika itu, tiba-tiba muncul seorang murid Bu Tong Pai.
Murid Bu Tong Pai itu menanyakan identitas Lu Leng, dan Lu Leng memberitahukannya.
Namun Lu Leng tiada kesempatan menjelaskan mengenai kejadian itu, sehingga ayahnya menjadi tertuduh.
"Hah!"
Tujuh Dewa itu terperanjat. Karena apabila partai-partai besar itu bertikai, tentunya akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan, dan itu membuat mereka bertujuh jadi cemas sekali. Tam Sam berkata kembali dengan dingin.
"Urusan itu tidak hanya di situ. Isteri Lu Sin Kong sebelumnya terkena racun pukulan Im Si Ciang, kemudian terkena pukulan Hwe Hong Sian Kouw hingga binasa. Go Bi dan Tiam Cong Pai takkan tinggal diam. Peristiwa itu terjadi di rumah si Pecut Emas-Han Sun. Tapi Han Sun telah mati, maka sudah pasti kedua partai itu akan mencari Hwe Hong Sian Kouw untuk menuntut balas. Karena itu, Hui Yan Bun dan Tai Chi Bun juga akan terseret ke dalam masalah itu. Si Gendut berkata.
"Menurutmu, golongan sesat telah turut campur?"
Tam Sen mengangguk.
"Tidak salah. Tidak hanya si Setan-Seng Ling yang telah meninggalkan Istana Setan Pak Bong San, bahkan Liat Hwe Cousu dari Hwa San pun telah meninggalkan Hwa San pula. Itu dikarenakan kedua Tongcunya telah binasa. Tujuh Dewa diam saja, lama sekali barulah si Gendut membuka mulut.
"Bagaimana kau bisa tahu begitu jelas?"
Tam Sen menghela nafas panjang.
"Kalian tidak begitu seksama mencari informasi, tentunya tidak tahu akan hal itu. Aku tidak bisa menepati janji ke Hou Yok, itu disebabkan aku bertemu Hwe Hong Sian Kouw. Dia 345 telah terluka parah, namun masih banyak bercakap denganku, maka aku tahu persoalan itu."
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Sastrawan berkata.
"Kau memberitahu kami tentang masalah itu, apakah mengira kami dapat mengatasi masalah itu?"
Tam Sen menghela nafas panjang.
"Urusan ini, bukan aku memandang rendah kalian bertujuh. Mungkin kalian bertujuh pun tidak dapat berbuat apa-apa, hanya satu orang yang dapat mengatasi bencana itu hingga hilang lenyap."
Ketujuh orang itu bertanya serentak.
"Siapa orang itu?"
"Dia adalah kawan baik kalian, yakni Liok Ci Siansing dari Bu Yi Sian Jin Hong,"
Sahut Tam Sen. Si Gendut bertanya gusar.
"Apa hubungannya urusan itu dengan Liok Ci Siansing?"
Tam Sen menyahut dingin.
"Apakah kalian tidak tahu bahwa belum lama ini Thian Houw Lu Sin Kong menerima surat titipan barang?"
Si Gendut mengangguk.
"Kami tahu. Beberapa hari yang lalu ada orang mengantar surat kepada kami, yang isinya memberitahukan bahwa 346 barang yang dikawal Lu Sin Kong itu ada kaitannya dengan setiap kaum rimba persilatan. Siapa yang memperoleh barang itu akan dapat menyatukan semua kaum rimba persilatan. Maka, kami tertarik, tapi tidak akan turun tangan merebut barang itu."
Bagian 07 Tam Sen manggut-manggut.
"Itulah! Surat yang sama pun dikirimkan kepada golongan lurus dan sesat, termasuk Hwa San, Hui Yan, Tai Chi, si Setan Sen ling, Tay San Hek Sin Kun dan Sai Thian Bok Kim Kut Lau. Karena itu, mereka turun tangan merebut barang tersebut. Dikarenakan itu, Tiam Cong dan Go Bi Pai menjadi bermusuhan dengan golongan-golongan tersebut."
Air muka si Sastrawan berubah.
"Apakah urusan itu ditimbulkan Liok Ci Siansing?"
Seketika Tam Sen balik bertanya.
"Surat yang kalian terima itu, tiada tanda enam jari?"
Tujuh Dewa menyahut serentak.
"Tidak."
"Tapi surat yang diterima orang lain, justru terdapat tanda enam jari. Aku pun mempunyai surat itu, yang dikirimkan 347 kepada salah seorang iblis. Silakan kalian membacanya!"
Kata Tam Sen. Dia mengeluarkan sepucuk surat dari dalam bajunya, Tujuh Dewa segera berseru serentak.
"Eh! Amplop itu persis seperti amplop yang kami terima!"
Seru Tujuh Dewa dengan serentak. Si Gendut menjulurkan tangannya untuk menerima surat itu, namun ditariknya kembali.
"Surat ini ditujukan kepada seorang iblis, tapi kenapa bisa jatuh ke tanganmu?"
Tanyanya dengan kedua matanya menyorotkan sinar aneh. Tam Sen menghela nafas panjang.
"Dalam hati setiap orang, pasti menyimpan sesuatu yang tak dapat dikatakan, untuk apa kau bertanya soal itu?"
Wajah si Gendut berubah serius.
"Meskipun kami bertujuh jarang mencampuri urusan dunia persilatan, tapi tidak akan melepaskan penjahat yang mana pun!"
Tam Sen tersenyum.
"Kau terlampau curiga, padahal aku bukan orang yang kau maksudkan itu!"
Si Gendut menjulurkan tangannya untuk mengambil surat itu.
Kemudian isinya dikeluarkan dan dibacanya.
Apa yang 348 tertulis di dalam surat itu sama bunyinya dengan surat yang mereka terima beberapa hari yang lalu, hanya bedanya, di dalam surat itu tertera cap telapak tangan.
Tanda telapak tangan itu, di jari jempol bercabang sebuah jari lain, jadi berjumlah enam jari.
Setelah membaca surat itu, si Gendut lalu menyerahkan kepada yang lain untuk dibaca.
Setelah membaca surat itu, semuanya diam lama sekali barulah si Sastrawan membuka mulut.
"Liok Ci Siansing tidak mungkin berani begitu iseng. Aku lihat ini pasti ada sesuatu lain."
Tam Sen manggut-manggut.
"Apa yang Saudara katakan memang tidak salah. Orang yang mengirim surat ini, tentunya mempunyai suatu maksud tertentu, yakni ingin menimbulkan kekacauan. Tapi ada satu urusan aneh, apakah kalian mengetahuinya?"
Mereka bertujuh bertanya serentak.
"Urusan apa itu?"
Tam Sen menyahut.
"Urusan aneh itu, justru terjadi di rumah Thian Houw Lu Sin Kong."
Sementara Lu Leng yang berada di dalam perahu, terus mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian.
Ketika mendengar Tam Sen mengatakan, Sebun It Nio mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw di rumah si Pecut Emas-Han Sun, maka dia menganggapnya bahwa Hwe Hong Sian 349 Kouw dan si Setan sen ling sebagai musuh besarnya.
Maka saking dendamnya nyaris membuatnya berteriak.
Akan tetapi, dia masih dapat mengendalikan diri, sebab dia tahu apabila dia bersuara, tentu Tam Sen dan Tujuh Dewa akan berhenti bercakap-cakap, sehingga tidak bisa tahu sejelas-jelasnya.
Dia berkertak gigi, dan air matanya meleleh.
Tapi ketika Tam Sen mengatakan telah terjadi urusan aneh di rumahnya, itu membuatnya terheran-heran.
Tam Sen melanjutkan.
"Aku tahu Begitu Sebun It Nio binasa, Thian Hou Lu Sin Kong tidak akan diam. Dia pasti berangkat ke Tiam Cong dan Go Bi untuk mengumpulkan para jago dari kedua partai itu, guna menuntut balas kematian isterinya. Aku segera mengejarnya dan berhasil. Kemudian kami pun bercakap-cakap. Dia telah mengambil keputusan untuk membalas dendam anak isterinya, walau nyawa tuanya harus melayang."
Si Gendut tertegun.
"Membalas dendam anak isterinya? Apakah Lu Sin Kong punya dua anak?"
Pertanyaan itu membuat sepasang mata Tam Sen menyorot tajam, kemudian bertanya.
"Apa maksud Saudara Lim berkata begitu?"
Si Gendut tersenyum licik seraya menyahut.
"Silakan lanjutkan! Aku cuma sekedar bertanya."
Tam Sen segera lanjutkan paparannya.
"Urusan aneh itu, justru Lu Sin Kong yang memberitahukan kepadaku. Katanya sebelum meninggalkan rumah, dia menemukan sosok mayat seorang anak tanpa kepala. Pakaian dan lainnya membuktikan bahwa itu mayat putranya, yang bernama Lu Leng. Aku memberitahukannya, bahwa Lu Leng masih hidup, namun dia sama sekali tidak percaya."
Mendengar sampai di situ, Lu Leng tertegun lagi.
Padahal dia masih hidup, lalu siapa yang mati itu? Kenapa ayahnya tidak percaya kalau dia masih hidup? Sedangkan Tujuh Dewa juga tahu bahwa Lu Leng segar bugar di dalam perahu.
Maka mereka bertujuh saling memandang sambil tersenyum.
Air muka mereka menyiratkan ketidak percayaannya akan perkataan Tam Sen, padahal Tam Sen berkata sesungguhnya.
Tam Sen berhenti berbicara sejenak, kemudian melanjutkan.
"Di dalam gudang batu itu, terdapat bekas sebuah telapak tangan."
"Telapak tangan berjari enam?"
Tanya si Gendut cepat. Tam Sen mengangguk.
"Tidak salah. Itu memang telapak tangan berjari enam. Maka, tidak diketahui bahwa Liok Ci Siansing pasti punya hubungan dengan urusan itu. Pertikaian partai-partai besar juga ditimbulkannya. Namun kalau dia bersedia bertanggung jawab, pasti dapat mengatasi bencana banjir darah itu."
Mendengar itu, Tujuh Dewa tertawa gelak, kemudian si Gendut berkata.
"Tentunya kau tahu bahwa kami punya hubungan yang amat dalam dengan Liok Ci Siansing. Apakah kau menghendaki kami pergi menasihatinya agar dia bertanggung jawab dengan cara membunuh diri?"
Tam Sen mengangguk.
"Ini adalah salah satu tujuanku ke mari."
Si Sastrawan berkata.
"Aku tahu, bahwa kau juga ingin memperingatkan kami. Kalau Liok Ci Siansing tidak mau mengaku dosa, maka kau akan turun tangan terhadapnya, dan menghendaki kami tak turut campur tentang itu?"
Tam Sen segera menyahut.
"Mana berani! Mana berani!"
Walau dia mengatakan "Mana berani"
Namun si Sastrawan telah menebak jitu maksudnya. Tujuh Dewa bersifat angkuh, air muka mereka langsung berubah begitu mendengar ucapan itu. Bahkan si Gendut segera membentak tanpa sungkan2.
"Sobat Tam, kau sedang omong kosong, tidak usah banyak bicara lagi!"
"Aku tidak omong kosong,"
Sahut Tam Sen. Si Sastrawan mendengus dingin.
"Hmm! Kau sudah omong kosong tapi tidak mau mengaku! Perlukah aku menghajarmu?"
Tam Sen tertawa gelak.
"Ha ha! Aku dengar kau berkepandaian tinggi, maka aku memang ingin mohon petunjuk!"
Si Sastrawan mengangguk.
"Baik! Kalau begitu berhati-hatilah!"
Si Sastrawan mengeluarkan sebatang pit, yaitu senjata andalannya, lalu menyerang Tam Sen.
Kedua belah pihak berdiri begitu dekat.
Si Sastrawan menyerang cepat laksana kilat.
Ketika ujung pit hampir menotok jalan darah Tiong Hu Hiat di bahu Tam Sen, mendadak Tam Sen mencelat ke belakang.
Serrt! Ujung pit itu menotok tempat kosong.
Si Sastrawan tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kau memang berkepandaian tinggi!"
Ia lalu melesat ke depan, sekaligus mencoret-coret ke depan.
Itu adalah ilmu Ciak Hau Soh Hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah).
Seketika juga dia menotok tujuh delapan jalan darah di tubuh Tam Sen.
Di saat bersamaan, Tam Sen bergerak cepat memungut sebatang ranting, kemudian digunakannya untuk menangkis serangan itu.
Barusan si Sastrawan menyerang dengan jurus Tujuh Bintang Mendampingi Bulan.
Jurus tersebut dapat menotok tubuh jalan darah pihak lawan.
Akan tetapi, tangkisan Tam Sen justru dapat mematahkan jurus tersebut.
Diam-diam si Sastrawan terkejut sekali.
Secepat kilat dia menarik senjatanya, namun tetap terlambat selangkah, karena ranting yang di tangan Tam Sen, mendadak bergerak cepat.
Plak! Ranting itu memukul batang pit, bahkan menekannya ke bawah.
Ujung pit itu bergerak, tapi tidak bisa lepas dari tekanan ranting itu, sehingga meninggalkan coretan di tanah.
Mereka berdua bergerak cuma satu jurus.
Si Sastrawan menggunakan pit, sedangkan Tam Sen menggunakan sebatang ranting sebagai senjatanya.
Dalam pandangan orang ahli, jurus Cit Sing Pan Goat begitu dahsyat dan lihay, tapi dapat dipatahkan oleh tangkisan Tam Sen.
Maka dapat diketahui betapa tingginya kepandaian Tam Sen.
Wajah si Sastrawan tampak kemerah-merahan.
"Kepandaianmu sungguh tinggi, aku amat kagum dan merasa tunduk!"
Katanya.
Perlu diketahui, si Sastrawan amat terkenal dalam rimba persilatan.
Julukannya adalah Sin Pit (Si Pensil Sakti) Se Chi.
Senjatanya berupa sebatang pit biasa, tapi karena menggunakan tenaga lunak, maka pit itu menjadi Luar biasa.
Lagipula dalam kurun waktu beberapa tahun, dia terus mempelajari huruf-huruf kuno untuk memperdalam ilmu Ciak Hau Soh Hoat.
Maka ilmunya itu bertambah hebat dan lihay.
Si Sastrawan pun bersifat angkuh, apa yang diucapkannya tadi, sesungguhnya amat sulit baginya mencetuskannya.
Akan tetapi, begitu bergerak satu jurus dengan Tam Sen, dia sudah jatuh di bawah angin.
Dapat diketahui betapa tingginya kepandaian Tam Sen! Kalau tidak bagaimana mungkin hanya dalam satu jurus, dia sudah di bawah angin? "Hm!"
Tam Sen mendengus.
"Tadi kalian bilang aku berbicara omong kosong, apa maksudnya?"
Si Gendut dan enam orang lainnya saling memandang, kemudian menjawab.
"Kau bilang putra Lu Sin Kong telah mati?"
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak mengatakan begitu!"
Sahut Tam Sen. Si Gendut tampak gusar sekali.
"Tapi tadi kau...."
"Tadi aku bilang, Lu Sin Kong menemukan sosok mayat seorang anak tanpa kepala di gudang batu, maka Lu Sin Kong dan isterinya menganggap putranya telah mati, namun Lu Leng, putra kesayangan mereka justru belum mati. Berdasarkan berbagai bukti, anak yang mati itu adalah putra si Pecut Emas-Han Sun!"
Apa yang dikatakan Tam Sen, Lu Leng makin bingung mendengarnya. Urusan tersebut memang misterius sekali, maka tidak mengherankan kalau orang lain kebingungan mendengarnya.
"Oh?"
Si Gendut mengerutkan kening.
"Kalau begitu, kami telah keliru mempersalahkanmu?"
Tam Sen menghela nafas perlahan.
"Tidak perlu berkata begitu. Aku menduga sesama kaum rimba persilatan akan saling membunuh. Maka aku berlari ke sana ke mari, namun kalian tidak mau mendengar. Aku tidak bisa apa-apa, hanya mau berpamit saja!"
Ketika Tam Sen baru mau melesat pergi, mendadak salah seorang berseru.
"Tunggu, aku mau mengatakan sesuatu!"
Tam Sen berpaling, dilihatnya seorang bertubuh kurus pendek. Seketika dia sudah tahu, bahwa orang itu si Buku Besi Ciau Thong.
"Sobat Ciau ada petunjuk apa?"
Tanya Tam Sen. Si Buku Besi Ciau Thong menyahut dingin.
"Demi kedamaian rimba persilatan, kau bersedia berlari ke sana ke mari. Sungguh perbuatan terpuji! Tapi wajahmu kenapa ditutup dengan kain?"
Sembari bertanya, Ciau Thong mendekatinya. Setelah berada di hadapan Tam Sen, mendadak dia bergerak cepat menyambar kain penutup muka itu. Di saat tangan Ciau Thong bergerak, tiba-tiba terdengar suara seruan.
"Jangan bertarung, aku ingin bicara!"
Tujuh Dewa dan Tam Sen segera menoleh, yang berseru adalah seorang anak remaja, yang tidak lain adalah Lu Leng. Begitu melihat Lu Leng, tercenganglah Tam Sen.
"Eh? Bagaimana kau berada di sini? Pantas aku tidak dapat menemukanmu!"
Ketika silat mereka bertarung, Lu Leng merasa mereka bukan orang jahat.
Kalau mereka terus bertarung, tentunya akan ada yang terluka, maka dia berseru mencegah mereka bertarung.
Ketika berseru, dia menuju ke geladak, maka Tam Sen dapat melihatnya, sehingga berseru pula, lalu mendadak melesat ke perahu.
Tujuh Dewa tertegun.
Mereka saling memandang, kemudian serentak melesat ke perahu.
Karena belum tahu identitas Tam Sen, maka mereka bertujuh amat bercuriga.
Di saat kaki mereka baru menyentuh geladak, mereka bertujuh langsung menyerang Tam Sen.
-ooo0ooo- Bab 16 Sudah tiga puluh tahun mereka bertujuh berkumpul, sedangkan kepandaian mereka amat tinggi, keras lunak dan lain sebagainya.
Setelah mereka bergabung menjadi Tujuh 357 Dewa, mereka pun sering memperdalam ilmu silat yang mereka miliki, sehingga ilmu mereka bertambah maju.
Betapa dahsyatnya serangan gabungan mereka, maka tidak heran, kalau serangan itu membuat Tam Sen terkejut sekali.
Seandainya dia memberitahukan julukannya di masa lalu, Tujuh Dewa pasti kenal, bahkan akan berhenti menyerang.
Tapi justru dikarenakan suatu urusan, maka dia tidak mau menyebut julukannya.
"Bagus!"
Serunya lantang.
Mendadak badannya melambung ke atas setinggi lima depaan.
Tujuh Dewa tertegun ketika menyaksikannya, sebab mereka tidak menyangka kalau Tam Sen memiliki ilmu Ginkang yang begitu tinggi.
Mereka bertujuh tahu, bahwa itu adalah ilmu Setingkat Demi Setingkat Naik Ke Langit.
Kalau tidak memiliki Lweekang yang amat tinggi, orang tidak mungkin dapat menguasai ilmu Ginkang tersebut.
Berdasarkan itu dapat diketahui, betapa tingginya Lweekang Tam Sen, dan itu sungguh di luar dugaan Tujuh Dewa.
"Ginkang yang bagus!"
Seru mereka serentak.
Usai berseru, mereka menyerang lagi.
Tam Sen berhasil mengelak serangan pertama.
Ketika dia menggunakan gerakan Merosot Perlahan-lahan Di Pasir Datar tubuhnya hampir mencapai geladak perahu.
Akan tetapi, mereka bertujuh telah melancarkan serangan kedua.
Saat dirinya berada di udara Tam Sen dapat merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat mengarah kepadanya.
Apa boleh buat! Dia terpaksa meminjam tenaga untuk mencelat ke atas lagi beberapa depa.
Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan Tam Sen turun naik di udara, bagaikan arwah gentayangan.
Lu Leng yang berada di perahu, menyaksikannya dengan mulut ternganga lebar.
Dulu dia mengira, bahwa kedua orangtuanya berkepandaian paling tinggi, tapi kini setelah menyaksikan kepandaian Tam Sen, terbukalah matanya dan mengerti pula apa sebab kedua orangtuanya sering berkata "Di atas gunung masih ada gunung"
Di luar langit masih ada langit".
"Bagus!"
Seru Tam Sen yang berada di udara. Tampak sepasang tangannya menekan ke bawah. Seketika terdengarlah suara "Blam"
Yang amat memekakkan telinga. Ternyata dia menangkis serangan-serangan itu dengan Lweekang, membuat Tujuh Dewa itu terpental ke belakang satu depaan. Di saat bersamaan, Tam Sen berjungkir balik ke darat, dan tampak mulai gusar.
"Padahal anak itu berhubungan erat dengan urusan yang akan terjadi di Bu Yi San, tapi kenapa kalian tidak menghendaki aku menemuinya?"
Bentak Tam Sen. Si Buku Besi Ciau Thong tertawa dingin.
"Anak itu terluka parah, kami yang menyelamatkannya dan bermaksud menerimanya sebagai murid! Kalau usulmu tidak jelas, kami tentu menghalangimu mendekatinya!"
Tam Sen tertegun mendengar ucapan itu.
"Kalian masing-masing memiliki kepandaian istimewa, bersedia menerimanya sebagai murid, itu adalah kemujurannya! Tapi biar bagaimana pun, dia harus ikut aku ke Bu Yi San! Asal dia muncul di sana, pertikaian antara Go Bi, Tiam Cong, Liok Ci Siansing, Pit Giok dan Tiat Ciat Song Jin pasti dapat dijernihkan!"
Si Buku Besi Ciau Thong menyahut.
"Omong kosong. Berdasarkan apa murid kami harus ikut kau ke Bu Yi San?"
Setelah si Buku Besi Ciau Thong berkata begitu, mendadak Tam Sen bersiul panjang menggetarkan sukma siapa pun yang mendengarnya. Sebelum suara siulan itu lenyap, sekujur tubuhnya mengeluarkan suara "Krek Krek Krek Krek".
"Kalian bertujuh, apakah benar kalian tidak mau menerima arak penghormatan, sebaliknya malah ingin menerima arak hukuman?"
Si Sastrawan Se Chi mengerutkan kening seraya berkata.
"Saudara sekalian, kita bertujuh memang suka minum arak! Tapi kapan kita pernah minum arak hukuman bukan?"
Si Gendut tertawa.
"Lo Sam! Kau jangan gembira dulu, saat ini sobat Tam tidak akan mengundangmu minum arak hukuman!"
Mereka bercakap-cakap sejenak, seakan tidak menggubris keberadaan Tam Sen. Tam Sen tertawa dingin.
"Tadi aku telah menjajal dua jurus serangan gabungan kalian bertujuh! Walau kalian bertujuh tak ingin memberi petunjuk kepadaku, aku justru ingin tahu bagaimana kepandaian kalian bertujuh hingga bisa disebut Tujuh Dewa!"
Mereka saling menyindir, membuat Lu Leng semakin cemas.
Dia tahu bahwa usianya masih muda, maka tidak bisa mencampuri urusan mereka.
Akan tetapi, mereka ribut dan bertarung adalah demi dirinya, bagaimana mungkin dia akan tinggal diam? Setelah berpikir sejenak, barulah dia membuka mulut.
"Para Paman Tujuh Dewa! Paman Tam bukan orang jahat!"
Si Gendut menolehkan kepalanya seraya membentak.
"Bocah, kau jangan banyak mulut! Cukup menyaksikan kami bertarung saja!"
Tam Sen juga ikut berkata.
"Nak, Tujuh Dewa masing-masing berkepandaian tinggi. Di saat mereka bertarung, kau harus memperhatikan dengan seksama!"
Seusai Tam Sen berkata.
Tujuh Dewa mengepungnya.
Mendadak tangan mereka bergerak.
Padahal gerakan tangan mereka lamban, namun Tam Sen merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat menghantam ke arahnya.
Lu Leng pun terheran-heran karena gerakan Tujuh Dewa begitu lamban, kelihatannya mereka bertujuh seakan sedang mempertunjukkan semacam ilmu silat.
Ternyata mereka menyerang Tam Sen dengan Lweekang.
Betapa dahsyatnya Lweekang gabungan mereka bertujuh.
Beberapa pohon kecil yang ada di sekitar Tam Sen langsung roboh dan patah.
Namun Tam Sen justru berdiri tak bergeming.
Sepasang matanya menyorot tajam dan pakaiannya berkibar-kibar bagaikan terhembus angin topan.
Tujuh Dewa tertegun bukan main.
Sebab Tam Sen dapat menahan serangan Lweekang mereka tanpa bergerak sedikit pun.
Mendadak mereka membentak keras dan masing-masing melancarkan dua pukulan.
Di saat bersamaan, Tam Sen bersiul panjang dan badannya berputarputar.
Sepasang telapak tangannya bergerak, seketika juga dia telah melancarkan tujuh pukulan.
Ketujuh pukulan itu tidak hanya cepat dan aneh, bahkan amat kuat.
Saking cepatnya bergerak, sehingga tampak tujuh bayangan berkelebatan, sepertinya dia berubah menjadi tujuh orang menangkis serangan-serangan Tujuh Dewa itu.
Menyaksikan gerakan Tam Sen, Tujuh Dewa cepat-cepat menyurut mundur dan tertegun.
Kemudian si Gendut.
"Saudara-saudara, jangan menyerang dulu! Biar aku bertanya sebentar padanya!"
"Baik!"
Sahut enam dewa lainnya, kemudian semuanya diam di tempat. Tam Sen juga berhenti menyerang lalu berdiri tak bergeming di tempat, bagaikan sebuah gunung. Si Gendut berkata sambil menatapnya tajam.
"Gerakanmu tadi, apakah yang telah menggemparkan kolong langit di masa silam, kuat sampai tidak bisa kuat lagi, yaitu Ilmu Pukulan Sakti Tujuh Gerakan?"
Lu Leng terheran-heran mendengar itu, karena si Gendut mengatakan "Kuat sampai tidak bisa kuat lagi", itu amat membingungkannya.
Dia tidak bisa bertanya, hanya menunggu jawaban Tam Sen.
Terdengar Tam Sen menghela nafas panjang.
Di saat dia baru mau menjawab, mendadak terdengar derap kaki kuda, yang kian lama kian mendekat, kemudian terdengar suara seruan seorang anak gadis.
"Tujuh Dewa, kalian tujuh Paman berada di situ?"
Tujuh Dewa tertegun mendengar seruan itu. Kemudian salah seorang dari mereka berkata.
"Eh? Si gadis liar dari Hui Yan Bun, mau apa dia ke mari mencari kita?"
Si Gendut segera menyahut.
"Tidak salah, kami bertujuh berada di sini!"
Sementara kuda itu sudah berada di dekat mereka. Tampak seorang gadis duduk di punggung kuda itu.
"Begitu sampai di luar kota, aku melihat tanda yang ditinggalkan Paman, maka aku segera ke mari, sungguh kebetulan sekali!"
Usai berkata begitu, gadis tersebut melesat ke hadapan Tujuh Dewa dengan gerakan ringan dan amat indah. Si Gendut langsung menegur sambil tertawa.
"Gadis busuk! Di kolong langit ini siapa yang tidak tahu Hui Yan Bun memiliki ilmu Ginkang yang amat tinggi? Kau ingin memamerkan ilmu Ginkangmu di hadapan kami? Hati-hati aku akan menghajarmu!"
Gadis itu tertawa geli.
"Paman paman lain, paman Gendut ini begitu membuka mulut langsung mencaciku. Kalau dia sebal kepadaku, lebih baik aku pergi."
Si Sastrawan Se Chi segera berkata.
"Ah Ang, jangan berkelakar lagi! Kau begitu tergesa-gesa ke mari mencari kami, sebetulnya ada urusan apa?"
Gadis itu bukan orang lain, ternyata adalah Toan Bok Ang, murid kasayangan ketua Hui Yan Bun.
Dia menengok ke sana ke mari, akhirnya beradu pandang dengan Tam Sen dan Lu Leng.
Lu Leng melihat gadis itu masih muda, tampak sebaya dengan dirinya.
Wajahnya cantik sekali, ketika berbicara, wajahnya berseri-seri.
Walau usia Lu Leng masih kecil, namun begitu melihat gadis itu, dia langsung terkesan baik.
Toan Bok Ang menyahut.
"Tujuh Paman, aku menerima perintah. Liok Ci Siansing mengundang kalian segera ke Bu Yi San, guruku telah meninggalkan Hui Yan San menuju Bu Yin San!"
Bukan main terkejutnya Tujuh Dewa, karena ketua Hui Yan Bun merupakan pendekar wanita tingkatan tua, si Walet Hijau-Yok Kun Sih.
Kalau dihitung tingkatan, si Walet HijauYok Kun Sih lebih tinggi setingkat dari Tujuh Dewa.
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesungguhnya, Yok Kun Sih sudah tidak menjabat sebagai ketua Hui Yan Bun, tapi delapan tahun lampau, Hui Yan Bun justru mengalami suatu kejadian, para murid generasi kedua dan ketua Hui Yan Bun masa itu binasa semua, maka si Walet Hijau-Yok Kun Sih kembali menjabat sebagai ketua.
Kejadian itu telah membuat dia mulai menerima murid baru, Toan Bok Ang terpilih sebagai murid penutup.
Walau usia Toan Bok Ang masih kecil, tapi mempunyai dua tiga puluh kakak seperguruan mendampinginya, yang rata-rata berusia dua kali lipat dari usianya.
Sedangkan Yok Kun Sih sama sekali tidak mau mingungkit tentang kejadian lampau itu.
Oleh karena itu, para kawan rimba persilatan, jarang sekali yang tahu tentang kejadian itu.
Usia Yok Kun Sih sudah delapan puluhan.
Dia memiliki Lweekang dan Ginkang yang teramat tinggi.
Biasanya ada urusan apa pun, hanya murid generasi ketiga yang pergi membereskannya.
Kalau agak penting, barulah mengutus Toan Bok Ang, dia sendiri tidak pernah meninggalkan Thay Ling Hui Yan San.
Tapi kini, Yok Kun Sih justru berangkat ke Bu Yi San, maka dapat diketahui betapa seriusnya urusan itu.
Mereka bertujuh terkejut bukan kepalang.
Kemudian mereka membathin, apakah benar apa yang dikatakan Tam Sen tadi? Padahal asal-usul Tam Sen amat mencurigakan, namun tadi justru mengeluarkan ilmu Cit Sat Sin Ciang.
Ilmu Cit Sat Sin Ciang, di kolong langit ini tiada orang yang bisa menggunakannya.
Ilmu pukulan tersebut diciptakan oleh seorang aneh di masa lalu, berkekuatan lurus dan sesat.
Tam Sen bisa menggunakan ilmu pukulan itu, tentunya mempunyai hubungan dengan orang aneh tersebut, yang telah sekian tahun tidak muncul dalam rimba persilatan.
Tujuh orang itu diam, lama sekali barulah si Gendut bertanya kepada Toan Bok Ang.
"Ang, mau apa gurumu ke Bu Yi San?"
Toan Bok Ang masih berusia muda, maka dia tidak tahu urusan begitu serius, sebaliknya malah merasa gembira karena ada keramaian.
"Wah! Kalian tujuh Paman masih tidak tahu, guruku ke sana mau bertarung."
"OHh...?"
Si Sastrawan Se Chi mengerutkan kening.
"Gadis liar, kenapa kau semakin tidak tahu urusan? Akan timbul banjir darah dalam rimba persilatan, kau malah merasa gembira sekali!"
Toan Bok Ang meleletkan Iidahnya kemudian menyahut.
"Paman ketiga, jangan membuat aku terkejut! Kalau punya kepandaian, boleh ke Bu Yin San bertarung dengan para jago Go Bi dan Tiam Cong Pai!"
Usai berkata, Toan Bok Ang tertawa cekikikan dan cepat-cepat mundur, seakan tahu si Sastrawan Se Chi pasti tidak akan melepaskannya.
Tidak salah Si Sastrawan Se Chi langsung membentak keras sambil menggerakkan pitnya.
Tapi Toan Bok Ang sudah bersiap-siap maka ia cepat-cepat berkelit dan meloncat ke punggung kudanya.
Toan Bok Ang tertawa sambil memandang Si Sastrawan Se Chi seraya berkata.
"Paman-paman, aku telah menyampaikan. Sampai jumpa kembali di Bu Yi San, aku masih mau pergi cari Hwe Hong Sian Kouw!"
Suaranya belum lenyap tapi kudanya telah meluncur laksana kilat. Di saat bersamaan, Tam Sen membuka mulut.
"Hwe Hong Sian Kouw sedang merawat lukanya di kota Bok Bay Ke sanalah kalau kau mau mencari dia!"
Suara Tam Sen tidak begitu keras, sedangkan kuda itu berpacu laksana kilat dan sudah berlari sejauh satu mil! Namun ucapan Tam Sen, gadis itu justru mendengarnya dengan jelas, seakan mendengar ucapan orang dalam jarak dekat.
Toan Bok Ang adalah murid handal si Walet Hijau-Yok Kun Sih, tentunya amat berpengetahuan.
Begitu mendengar suara itu, terkejutlah hatinya karena suara itu kedengaran asing sekali, bukan berasal dari mulut Tujuh Dewa.
Sudah pasti bukan anak remaja yang di perahu yang mengucapkannya, melainkan adalah orang yang memakai kain penutup muka.
Tadi ketika saling beradu pandang, sepasang mata orang itu bersinar biasa, tak disangka dia berkepandaian begitu tinggi.
Toan Bok Ang terus berpikir, tapi tidak berhenti sama sekali, terus menuju ke kota Bok Bay untuk mencari Hwee Hong Sian Kouw.
Setelah Toan Bok Ang pergi, Tam Sen berjalan mondar-mandir sejenak lalu berkata.
"Kalau kalian bertujuh ke Bu Yi San, jangan lupa apa yang kukatakan tadi!"
Si Gendut berkata.
"Seandainya kami tidak ke sana?"
Tam Sen tertawa.
"Liok Ci Siansing dan lainnya akan diserang, tentunya kalian bertujuh tidak akan tinggal diam. Sudah pasti kalian akan ke sana, maka tidak perlu mengatakan begitu!"
Si Buku Besi menyahut dengan lantang.
"Perkataan yang tepat!"
Usai si Buku Besi berkata, badan Tam Sen bergerak lalu tahu-tahu sudah berada, di kejauhan enam depaan, Tujuh Dewa segera berseru.
"Sobat Tam jangan pergi dulu, kami masih ingin menanyakan sesuatu!"
Badan Tam Sen terus bergerak sehingga bertambah jauh, namun suara sahutannya terdengar jelas sekali.
"Kalian bertujuh tidak perlu bertanya lagi! Kalian berangkatlah ke sana, dan ajaklah Lu Leng! Asal Lu Leng muncul di sana, situasi di sana tentu berubah damai! Kita akan berjumpa di Bu Yi San!"
Suaranya sirna, orangnya pun sudah tidak kelihatan lagi. Tujuh Dewa saling memandang, lama sekali barulah mereka bertujuh melesat ke perahu. Berselang beberapa saat, barulah si Gendut membuka mulut.
"Dengar-dengar tidak ada orang lain yang bisa menggunakan ilmu Cit Sat Sin Ciang, kecuali dia, sedangkan dia tidak punya murid. Orang itu pakai kain penutup muka, bisa menggunakan ilmu Cit Sat Sin Ciang, apakah...."
Yang lain sudah tahu apa yang akan dikatakannya, yakni apakah Tam Sen adalah orang aneh yang dua puluh tahun lalu menciptakan ilmu Cit Sat Stt Ciang itu? Kalau benar orang yang memakai penutup muka, adalah orang aneh itu, memang sungguh mengejutkan.
Si Buku Besi segera berkata.
"Kini kita tidak perlu menduga siapa orang itu, sebaiknya kita berunding dulu arah tujuan kita."
Si Sastrawan Se Chi menyahut.
"Tentunya kita harus ke Bu Yi San. Kawan baik punya kesusahan, bagaimana mungkin kita tinggal diam di telaga ini?"
Si Gendut pemimpin Tujuh Dewa itu, tampak termenung, lama sekali barulah membuka mulut.
"Tentu harus ke sana. Begitu kita sampai, pertikaian kedua pihak itu akan menjadi jernih."
Berkata sampai di situ, si Gendut berpaling untuk memandang Lu Leng.
"Bocah, bersediakah kau ikut kami ke Bu Yi San?"
Tanyanya. Lu Leng segera menjawab.
"Tentu bersedia. Ibuku telah binasa, sedangkan musuh berada di Bu Yi San. Bagaimana aku tidak ke sana?"
Ketika dia mengatakan "Ibuku telah binasa"
Sepasang matanya langsung berapi-api.
Itu tidak terlepas dari mata Tujuh Dewa.
Diam-diam mereka bertujuh menghela nafas panjang.
Mereka tahu bahwa urusan itu sudah membengkak besar, tentunya sulit sekali diperkecil lagi.
Hanya saja ada seseorang yang khawatir tidak akan terjadi kekacauan.
Sebetulnya siapa dia? Apakah benar dia adalah Liok Ci Siansing, kawan akrab mereka itu? Akan tetapi, mereka bertujuh tahu jelas, bagaimana sifat dan karakter Liok Ci Siansing, hambar terhadap urusan apa pun dan sama sekali tidak berambisi.
Sudah jelas tidak akan melakukan semua itu.
Perasaan mereka bertujuh tercekam.
Berselang sesaat, si Buku Besi berkata dengan suara rendah.
"Saudara sekalian, tadi kita sudah menyatakan ingin menerima bocah ini sebagai murid, maka kita tidak boleh menelan ucapan itu...!"
Si Gendut manggut-manggut, kemudian berkata kepada Lu Leng.
"Bocah, kau setuju?"
Mendengar pertanyaan itu Lu Leng malah tertegun.
Dalam hati dia memang setuju, karena Tujuh Dewa itu masing-masing berkepandaian amat tinggi.
Mengangkat mereka bertujuh sebagai guru, tentunya akan memiliki berbagai macam ilmu silat tingkat tinggi, itu merupakan kemujuran bagi dirinya.
Akan tetapi, ayahnya justru bermusuhan dengan Liok Ci Siansing, sedangkan Tujuh Dewa adalah kawan akrabnya.
Sebelum urusan itu jernih, bagaimana mungkin mengangkat mereka bertujuh sebagai guru? Ketika Lu Leng sedang berpikir, si Buku Besi malah menjadi tidak sabaran dan segera bertanya.
"Bocah! Apakah kau tidak setuju?"
"Bagaimana mungkin aku tidak setuju?"
Sahut Lu Leng cepat.
"Tapi sebelum mendapat persetujuan dari ayahku, aku tidak berani mengatakan setuju."
Si Buku Besi tertawa.
"Aku tahu dan mengerti maksudmu. Berhubung ayahmu pergi mencari Liok Ci Siansing untuk membuat perhitungan, lagipula kami bertujuh punya hubungan baik dengan Liok Ci Siansing, maka kau tidak setuju. Ya, kan?"
Lu Leng menghela nafas panjang, karena merasa bahwa dalam rimba persilatan sering terjadi peristiwa bunuh-membunuh serta budi dan dendam, itu sungguh menakutkan.
"Benar apa yang Cianpwee katakan. Aku memang sedang memikirkan masalah itu."
Si Buku Besi tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kenapa kau justru takut? Kesalahpahaman antara ayahmu dengan Liok Ci Siansing justru timbul karena dirimu. Begitu ayahmu melihatmu, kesalahpahaman itu pasti akan sirna. Tidak akan ada urusan apa pun lagi, kau tidak perlu takut!"
Begitu Lu Leng mendengar perkataan itu, giranglah hatinya dan segera berkata.
"Tujuh Guru semua, murid memberi hormat!"
Lu Leng berlutut di hadapan mereka semua.
Betapa gembiranya Tujuh Dewa! Mereka bertujuh punya pandangan tajam, bahwa Lu Leng merupakan sebuah batu mustika yang belum diasah.
Apabila Lu Leng menjadi murid mereka, tentunya akan mengharumkan sekaligus mengangkat nama mereka.
"Bagus, bagus!"
Si Gendut tertawa.
"Ha ha! Kita harus segera berangkat ke Bu Yi San, harus melakukan perjalanan siang malam, agar cepat tiba di sana!"
Lu Leng memang ingin sekali bertemu ayahnya, maka langsung mengangguk.
Kemudian mereka berdelapan berangkat menuju arah Tenggara.
Hanya satu malam, mereka telah melakukan perjalanan tujuh delapan puluh mil.
Ketika berada di jalan besar, hari pun sudah mulai terang.
Di pinggir jalan itu terdapat sebuah kedai teh.
Tampak seorang berbadan gemuk memikul sebuah pikulan batu yang beratnya tiga empat ratus kati, berjalan tergesa-gesa.
Sedangkan mereka berdelapan ke kedai teh itu.
Ketika melihat orang itu, Tujuh Dewa tertawa.
Si Gemuk segera berpaling dan begitu melihat mereka bertujuh, dia tampak gembira sekali.
"Kalian bertujuh, kok berada di sini?"
Tanyanya bernada heran. Si Buku Besi menyahut.
"Saudara Yu, kau jangan pergi! Malam ini kami bertujuh pasti tidak akan melepaskanmu!"
Si Gemuk itu adalah ketua Tay Chi Bun, si Dewa Gemuk Yu Lao Pun. Dia tertawa-tawa sambil menghampiri mereka.
"Kenapa kalian tidak akan melepaskanku?"
Si Buku Besi segera menyahut.
"Setiap orang tahu, Lo toa (Saudara Tertua) kami adalah si Gendut, tapi kau justru lebih gemuk, itu sebabnya kau harus mampus!"
Yu Lao Pun tertawa gelak, sehingga daging di sekujur badannya bergerak-gerak.
Ketika dia baru mau membuka mulut, mendadak melihat Lu Leng membuat sepasang matanya berbinar-binar.
Badannya yang gemuk itu bergerak, tahu-tahu sudah menjulurkan tangannya untuk mencengkeram lengan Lu Leng.
Jangan melihat badannya begitu gemuk, tapi ketika bergerak justru gesit sekali.
Lu Leng tidak sempat berkelit, maka lengannya tercengkeram oleh Yu Lao Pun.
Lu Leng meronta-ronta, tapi tak dapat melepaskan cengkeraman itu.
Si Buku Besi segera membentak.
Dia kelihatan tidak gusar tapi gusar.
"Saudara Gemuk, cepat lepaskan anak itu!"
Yu Lao Pun melototi si Buku Besi Ciau Thong, lalu menjulurkan tangan yang lain untuk menarik kursi yang diduduki Lu Leng.
Di saat bersamaan, tangan yang sebelah justru telah berada di atas kepala Lu Leng.
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tujuh Dewa menganggapnya bergurau, sebab kedua belah pihak punya hubungan yang baik.
Mereka juga dari golongan lurus, yang selama itu tidak pernah terjadi bentrokan.
Kini menyaksikannya begitu turun tangan, langsung sebelah tangannya menekan ubun-ubun Lu Leng, membuat mereka bertujuh menjadi tertegun.
Mereka tahu bahwa ilmu yang dilatih Yu Lao Pun adalah hawa murni Tay Chi yang amat lihay.
Jangankan Lu Leng, salah satu dari Tujuh Dewa pun kalau bagian berbahaya dikuasai Yu Lao Pun, pasti akan celaka.
Si Buku Besi langsung membentak.
"Yu Gemuk, kau mau apa?"
Yu Lao Pun tidak menyahut, melainkan bertanya kepada Lu Leng.
"Bocah, kau bermarga Lu?"
Ubun-ubun Lu Leng tertekan, itu membuatnya tak bertenaga sama sekali, bahkan nyaris tak mampu bersuara. Sikap Yu Lao Pun begitu kasar, menyebabkannya menjadi gusar sekali.
"Tidak salah, aku bermarga Lu. Cepat lepaskan tanganmu!"
Sahutnya sambil melotot. Yu Lao Pun tertawa gelak, sehingga daging di badannya ikut bergerak.
"Ha ha ha! Sungguh kebetulan sekali, tidak sia-sia aku ke sana ke mari!"
Si Sastrawan Se Chi tertawa dingin.
"Yu Gemuk, apa maksud perkataanmu?"
Yu Lao Pun tetap tertawa.
"Kalian bertujuh, tidak usah berpura-pura lagi! Walau kita bukan dari golongan hitam, namun siapa yang melihat pasti ada bagiannya!"
Betapa gusarnya Tujuh Dewa. Tadi dikarenakan kurang berhati-hati, sehingga Lu Leng jatuh ke tangannya, itu membuat mereka tidak berani bertindak sembarangan.
"Saudara Gemuk!"
Tanya si Buku Besi gusar.
"Kau sedang kentut apa?"
Yu Lao Pun menggeleng-gelengkan kepala seraya menyahut.
"Kentutku sungguh bau! Sungguh bau sekali!"
Sahutannya seakan bergurau, namun sikapnya tampak bersungguh-sungguh, itu membuat Tujuh Dewa terheran-heran.
Seandainya dia dari golongan hitam, justru gampang menghadapinya, tapi dia dari golongan putih, lagipula adalah ketua Tay Chi Bun.
Si Sastrawan Se Chi memandang keenam saudaranya, kemudian berkata kepada Yu Lao Pun.
"Yu Gemuk, kami tidak punya waktu untuk omong kosong, sebetulnya kau mau apa, katakan saja!"
"Aku melihat anak ini, kelihatannya amat cerdas. Lagipula dia adalah putra Lu Sin Kong. Wajahnya mirip ayahnya, maka aku ingin membawanya pergi jalan-jalan ke mana-mana, guna menambah pengalamannya,"
Sahut Yu Lao Pun sungguh-sungguh. Si Sastrawan menahan kegusaran seraya berkata.
"Itu tidak bisa. Dia telah mengangkat kami sebagai guru, bagaimana mungkin ikut kau pergi jalan-jalan?"
Air muka Yu Lao Pun tampak berubah, kemudian berseri-seri.
"Reputasi kalian bertujuh dalam rimba persilatan cukup baik dan harum, namun apakah itu cuma kosong belaka?"
Si Sastrawan Se Chi membentak.
"Yu Gemuk, kenapa kau omong sembarangan?"
Yu Lao Pun tertawa ha ha hi hi, lalu menyahut.
"Tak heran kalian bertujuh semuanya menaruh perhatian kepada bocah ini!"
Kini Tujuh Dewa sudah sedikit paham, urusan apa yang dimaksudkan Yu Lao Pun. Mereka bertujuh diam, tapi justru mendekatinya. Sebelah kaki Yu Lao Pun menginjak pikulan batu, kemudian dia tertawa dingin seraya berkata.
"Kalian bertujuh jangan bergerak sembarangan!"
Kemudian melanjutkan.
"Menurut aku, kalian bertiga bukan melihat bakat bocah ini, melainkan melihat dirinya yang akan menguntungkan kalian dari Lu Sin Kong!"
Mendengar sindiran itu, wajah Tujuh Dewa langsung berubah.
Mereka bertujuh berpikir, seandainya satu lawan satu, belum tentu mereka akan kalah, apalagi kini mereka bertujuh, kenapa harus khawatir dia membawa pergi Lu Leng? Karena itu, si Sastrawan Se Chi tertawa dingin.
"Yu Gemuk, kau adalah ketua sebuah partai! Kenapa mencetuskan ucapan yang begitu tak tahu malu?"
Yu Lao Pun tertawa gelak.
"Ha ha ha! Sama-sama!"
Plak! Mendadak si Sastrawan memukul meja, kemudian menegaskan.
"Yu Gemuk! Cepatlah kau lepaskan anak itu, kami tidak punya waktu untuk mengobrol dengan orang yang tak tahu malu!"
Yu Lao Pun seakan tidak mendengar apa yang dikatakan si Sastrawan Se Chi.
Kelihatannya dia sedang mendengarkan suatu suara dengan penuh perhatian.
Di saat itulah terdengar derap kaki kuda di tempat jauh, kian lama kian bertambah dekat.
Seketika juga Yu Lao Pun tertawa dingin.
Yang lain sudah mendengar suara derap kaki kuda itu, namun itu adalah 378 jalan besar, tentunya ada kereta kuda maupun orang yang menunggang kuda melewati jalan besar itu, maka tidak perlu merasa heran.
Berselang sesaat, Yu Lao Pun bertanya sepatah demi sepatah.
"Kalau aku tidak mau melepaskannya?"
Usai bertanya, mendadak dia mengeluarkan siulan panjang.
Apa yang dilatihnya selama itu adalah hawa murni Tay Chi, merupakan ilmu Lweekang yang amat tinggi.
Suara siulannya bergema jauh sekali.
Belum juga suara siulannya lenyap, sudah tampak empat lima ekor kuda berlari ke sana.
Di saat bersamaan, si Buku Besi Ciau Thong bangkit berdiri, sambil menuding Yu Lao Pun seraya membentak.
"Kau tidak memberi muka kepada kami, aku lihat kau pun percuma hidup di dunia!"
Yu Lao Pun tertawa.
"Oh ya?"
Di saat itu pula mendadak dia mendorong pikulan batunya, yang beratnya hampir empat ratus kati. Terdengar suara menderu-deru mengarah Tujuh Dewa. Bersamaan itu, dia pun berseru.
"Sambut, jangan berhenti!"
Tangannya bergerak, tahu-tahu Lu Leng telah terlempar keluar. Kebetulan beberapa ekor kuda sudah berada di situ, dan lemparan itu justru ke arah sana.
"Guru...!"
Salah seorang penunggang kuda itu berteriak. Yang lain segera membentak.
"Teriak apa? Guru menyuruh kita menyambut dan pergi. Kau tidak dengar?"
Kini Tujuh Dewa tersadar, bahwa Yu Lao Pun sudah tahu bahwa beberapa muridnya akan melewati jalan besar itu, maka dia terus mengulur waktu hingga murid-muridnya itu muncul.
-ooo0ooo- Bab 17 Sementara pikulan batu itu menderu-deru ke arah Tujuh Dewa, membuat mereka bertujuh terpaksa mundur.
Di saat mereka mundur, Yu Lao Pun cepat-cepat menyambut pikulan batu itu, lalu mengeluarkan jurus Langit Penuh Bintang.
Begitu jurus tersebut dikeluarkan, terdengarlah suara yang menderu-deru.
Sedangkan Tujuh Dewa yang melangkah mundur itu, di saat bersamaan, mereka pun melancarkan sebuah pukulan ke arah Yu Lao Pun.
Blam! Terdengar suara benturan, Yu Lao Pun termundur-mundur tiga langkah.
Dia tahu jelas, dia seorang diri tidak akan mampu melawan Tujuh Dewa, tujuannya hanya merebut Lu Leng.
Ternyata dia pun menerima sepucuk surat yang sama, sehingga membuatnya percaya, bahwa barang kawalan Thian Hou Lu Sin Kong merupakan barang mustika yang diimpikan setiap kaum rimba persilatan.
Oleh karena itu, dia pun menghendaki barang tersebut.
Ketika melihat Lu Leng, timbul pula suatu ide dalam hatinya, dia harus menggunakan Lu Leng untuk memaksa Lu Sin Kong agar menyerahkan barang kawalannya itu.
Sesungguhnya Yu Lao Pun, bukanlah orang yang tak tahu malu.
Hanya saja dia amat berambisi, sehingga bertindak begitu.
Lagipula Tay Chi Bun terus merosot, bahkan Thian Bok San, tempat markas Tay Chi Bun, sebagian besar telah dikuasai Kim Kut Lau.
Oleh karena itu, dia amat berambisi mengorbitkan nama partainya.
Kini ada kesempatan tersebut, tentunya dia tidak akan melepaskannya begitu saja.
Ketika melihat beberapa muridnya telah melarikan Lu Leng, maka dia pun melesat pergi.
Begitu melihat Yu Lao Pun mau kabur, bagaimana mungkin mereka bertujuh membiarkannya? Mereka langsung melesat pergi mengejarnya.
Justru di saat bersamaan, mendadak terjadi perubahan besar.
Ketika Yu Lao Pun melempar Lu Leng, sekaligus pula menotok jalan darah Hu Keng Hiatnya, maka Lu Leng tak dapat bergerak sama sekali.
Dua murid Yu Lao Pun menyambutnya, lalu melarikannya.
Ketika Yu Lao Pun dan Tujuh Dewa berada di jalan besar itu, beberapa murid Tay Chi Bun itu telah memacu kudanya empat lima puluh depa jauhnya.
Namun di saat bersamaan, di jalan besar tampak seorang tua mengejar kuda-kuda itu.
Dia berkelebat bagaikan segulung asap, tak lama sudah berhasil mengejar mereka.
Menyusul terdengar dua kali jeritan yang menyayat hati, kemudian terlihat dua orang roboh dari punggung kuda.
Betapa terkejut Yu Lao Pun menyaksikan kejadian itu, dan dia langsung melesat ke depan.
Dia melesat sambil berteriak-teriak, kelihatannya amat terperanjat dan penasaran.
"Siapa kau? Jangan pergi, bertemu si Gemuk dulu!"
Menyaksikan itu, Tujuh Dewa saling memandang, kemudian mereka bertujuh pun melesat ke depan.
Yu Lao Pun dan Tujuh Dewa tergolong orang kelas satu dalam rimba persilatan.
Maka begitu mereka melesat, cepatnya laksana kilat.
Akan tetapi, walau mereka bergerak cepat, orang yang di depan jauh lebih cepat, sehingga yang tampak hanya segulung bayangan hitam berkelebat.
Seketika terdengar lagi suara jeritan yang menyayat hati.
Murid-murid Tay Chi Bun, sudah roboh dari kuda masing-masing.
Sedangkan bayangan hitam itu, segera menyambar Lu Leng sekaligus meloncat ke atas punggung kuda.
Seketika juga kuda itu berlari pergi secepat kilat.
Setelah kedelapan orang itu sampai di tempat kejadian, kuda itu sudah jauh sekali, sehingga yang tampak hanya sebuah titik hitam di kejauhan.
Mereka tahu bahwa diri mereka tidak mungkin bisa menyusul, maka si Buku Besi Ciau Thong gusar sekali dan langsung mencaci.
"Kau sungguh tak tahu malu! Lihatlah apa yang kau peroleh sekarang?"
Yu Lao Pun tidak menyahut, hanya memandang kelima muridnya, yang semuanya telah binasa dengan tulang remuk.
Yu Lao Pun tahu jelas, bahwa kelima muridnya itu walau tidak tergolong kelas satu, namun kepandaian mereka cukup lumayan.
Kini dalam waktu sekejap semuanya sudah binasa, itu membuatnya termangu-mangu.
Tujuh Dewa pun sudah melihat kejadian itu.
Si Sastrawan Se Chi, menjinjing salah satu mayat itu, lalu dilihatnya dengan penuh perhatian.
Kemudian terdengar suara "Buk", dia telah melepaskan mayat itu seraya berkata.
"Saudara sekalian, kita harus segera pergi mengejarnya!"
Si Buku Besi bertanya.
"Mungkinkah kita dapat menyusulnya?"
"Punya nama dan marga, bagaimana mungkin tak dapat menyusulnya?"
Sahut si Sastrawan Se Chi. Begitu mendengar ucapan itu, si Gemuk Yu Lao Pun cepat-cepat bertanya.
"Se Lo Sam, siapa orang itu? Kau sudah mengenalinya?"
Si Sastrawan mengeluarkan suara hidung, lalu menyahut.
"Hm! Tentu aku mengenalinya. Kau juga ingin pergi mengejarnya?"
Saat ini, Yu Lao Pun amat gusar dan penasaran.
Dia sama sekali tidak menduga bahwa akan terjadi perubahan seperti itu.
Daging yang sudah berada di mulutnya, masih dapat direbut orang, bahkan kelima murid handalnya pun menjadi korban, sekaligus dia pun meninggalkan nama busuk pula.
Setelah berpikir sejenak, barulah dia menyahut.
"Tentunya aku mau pergi mengejarnya."
Si Sastrawan memberitahukan.
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kelima orang itu, semuanya binasa terpukul Im Si Ciang."
Yu Lao Pun tertegun dan bertanya.
"Apakah yang turun tangan tadi si Setan Seng Ling?"
"Mungkin bukan dia,"
Sahut si Sastrawan Se Chi.
"Tapi salah satu anaknya."
Yu Lao Pun tampak tidak percaya.
"Omong kosong! Kita semua bukan gentong nasi! Tentu orang itu si Setan-Seng Ling!"
Katanya dengan gusar. Tujuh Dewa merasa geli tapi juga heran, karena urusan telah menjadi begini, tapi Yu Lao Pun masih berdebat.
"Kalau kau mau, kejarlah sampai di Pak Bong San! Kami sudah mau pamit lho...!"
Kata si Buku Besi Ciau Thong dengan nada dingin.
Sesungguhnya Yu Lao Pun merasa malu sekali, karena dia tahu jelas, kalau saat ini bertemu si Setan-Seng Ling, belum tentu dia mampu melawannya, maka bagaimana mungkin dia ke Pak Bong San merebut Lu Leng? Setelah berpikir sejenak, dia pun tertawa dingin.
"Apakah kalian merasa ikhlas, murid sendiri jatuh ke tangan si Iblis itu?"
Si Sastrawan menyahut dengan dingin.
"Tidak salah. Kami bertujuh memang tak bernyali dan tak tahu malu. Kau boleh menyiarkannya dalam rimba persilatan."
Yu Lao Pun tahu bahwa si Sastrawan Se Chi sedang menyindirnya, sehingga membuatnya merasa malu sekali.
"Baik. Mari kita lihat!"
Badannya bergerak, ternyata dia telah melesat pergi.
Dalam hati Tujuh Dewa, amat membenci Yu Lao Pun.
Lu Leng bisa jatuh ke tangan si Datuk Sesat Seng Ling, itu gara-gara si Gemuk.
Kedai teh itu telah rusak berat.
Pemiliknya terus menerus berkeluh kesah karena itu.
Sementara hari pun sudah siang.
Tampak beberapa orang mendekati pemilik kedai dan bertanya ini itu.
Tujuh Dewa tidak mau dijadikan bahan pembicaraan, maka segera merogoh ke dalam bajunya mengambil beberapa tael perak, lalu dilemparkannya ke atas meja, dan mereka langsung pergi.
Mereka terus berjalan sambil berunding.
"Lu Leng telah berada di tangan si Datuk Sesat Seng Ling, namun pasti akan selamat. Si Datuk Sesat itu turun tangan, tujuannya sama seperti Yu Lao Pun, dia pasti tahu Lu Sin Kong berangkat ke Bu Yi San, lebih baik kita sampai duluan, bisa melihat situasi di sana."
Kata Sastrawan Se Chi.
Yang lain mengangguk tanda setuju, kemudian mereka bertujuh berangkat ke Bu Yi San.
Kini kita mengikuti perjalanan Toan Bok Ang, murid handal Hui Yan Bun.
Hari itu dia menerima perintah dari si Walet Hijau-Yok Kun Sih, gurunya.
Sebetulnya dia ingin mencegat Lu Sin Kong suami istri untuk merebut kotak kayu itu.
Tapi orang yang ingin merebut kotak kayu itu, terdiri dari golongan hitam dan putih, dan rata-rata berkepandaian amat tinggi pula, maka membuatnya tidak berani sembarangan turun tangan.
Lagipula Lu Sin Kong suami istri, juga berkepandaian amat tinggi, maka Toan Bok Ang merasa dirinya bukan lawan mereka berdua.
Hari itu di rumah penginapan, Toan Bok Ang bertemu dengan Yu Lao Pun.
Kebetulan jalan darah Toan Bok Ang ditotok oleh Sebun It Nio.
Setelah Lu Sin Kong suami istri pergi, Yu Lao Pun segera membebaskan jalan darah Toan Bok Ang yang tertotok itu, karena Tay Chi Bun dan Hui Yan Bun punya hubungan baik.
Betapa gusarnya Toan Bok Ang, tapi dia tahu jelas dirinya bukan lawan Lu Sin Kong suami istri, lagipula masih harus melaksanakan perintah gurunya, maka melanjutkan perjalanan ke Su Cou untuk melihat-lihat situasi di sana.
Ketika hampir tiba di Su Cou, mendadak melihat dua murid keponakannya yang berusia empat puluhan, namun tingkatan Toan Bok Ang lebih tinggi.
Kedua wanita itu justru sedang mencarinya, maka begitu bertemu Toan Bok Ang, mereka langsung memberitahukan bahwa akan ada urusan besar di Bu Yi San.
Ketua Hui Yan Bun, Yok Kun Sih sudah turun gunung menuju Bu Yi San.
Toan Bok Ang disuruh mencari Tujuh Dewa dan Hwe Hong Sian Kouw dan undang mereka agar segera datang di Bu Yi San.
Oleh karena itu, Toan Bok Ang segera pergi mencari mereka.
Padahal jejak Tujuh Dewa tidak menentu.
Tapi sampai di mana pun mereka bertujuh pasti meninggalkan suatu tanda.
Ketika Toan Bok Ang berada di luar kota Su Cou, melihat tanda tersebut, sehingga berhasil mencari jejak mereka.
Di saat mendengar Hwe Hong Sian Kouw berada di kota Bok Bay merawat lukanya, Toan Bok Ang tertegun.
Karena Hwe Hong Sian Kouw berkepandaian amat tinggi, terutama senjatanya, Liat Hwe Soh Sim Lun, yang sungguh luar biasa.
Lalu bagaimana Hwe Hong Sian Kouw bisa terluka? Dia memacu kudanya sambil berpikir, kota Bok Bay berada di kaki gunung.
Berselang beberapa saat, dia sudah tiba di kota tersebut.
Meskipun Toan Bok Ang merupakan gadis yang suka menimbulkan urusan, namun peraturan Hui Yan Bun amat ketat, maka membuatnya tidak berani sembarangan berbuat, sebab akan mendapat hukuman berat.
Maka, ketika berada di pintu kota Bok Bay, dia menarik tali les agar kudanya berjalan perlahan.
Justru di saat itulah, tiba-tiba terdengar suara kereta kuda, yang berjalan keluar dari dalam kota.
Begitu melihat kereta kuda itu, terbelalaklah mata Toan Bok Ang, karena kereta kuda itu amat indah dan mewah, dihiasi dengan berbagai macam permata sehingga tampak gemerlapan.
Tampak si kusir terngantuk-ngantuk di tempat duduknya, membiarkan kuda itu berjalan perlahan.
Setelah melihat sejenak, Toan Bok Ang menganggap bahwa kereta kuda itu milik pembesar, namun terasa aneh pula.
Setelah kereta mewah itu berlalu, barulah dia melanjutkan perjalanan memasuki kota tersebut.
Akan tetapi, mendadak terdengar teriakan aneh yang berasal dari pintu kota itu.
Tampak sosok bayangan menerjang keluar dengan sempoyongan, tapi gerakannya cepat sekali.
Ketika mendengar teriakan itu, dalam hati Toan Bok Ang tertegun, sebab suara itu membuatnya merinding.
Yang membuatnya tertegun, yakni gerakan orang itu mempergunakan semacam ilmu Ginkang, seperti yang pernah dipelajarinya, pertanda orang itu dari Hui Yan Bun.
Toan Bok Ang langsung menyapanya, dan orang itu tampak seperti gila menerjang ke arahnya, namun terjatuh lagi beberapa kali.
Terakhir kalinya orang itu mencelat ke atas setinggi beberapa depa, lalu terjatuh.
Gerakannya yang terakhir itu justru gerakan Gumpalan Awan Berputar Balik..
Jelas itu adalah ilmu peringan tubuh Hui Yan Bun.
Ilmu itu tidak mungkin diwariskan kepada orang luar.
Karena itu, orang tersebut pasti punya hubungan erat dengan Hui Yan Bun, maka Toan Bok Ang cepat-cepat menghampirinya.
Toan Bok Ang menegasi orang itu, rambutnya awut-awutan, mukanya berlumuran darah.
Dia tergeletak di tanah dengan nafas memburu.
"Kau...."
Toan Bok Ang baru mencetuskan satu perkataan. Mendadak orang itu menolehkan kepalanya, sehingga membuat Toan Bok Ang berteriak tak tertahan.
"Haaah?"
Walau muka orang itu berlumuran darah, namun sepasang matanya bersinar garang.
Lagipula begitu menoleh, dia langsung menyerang Toan Bok Ang dengan lima jarinya yang menyerupai cakar, mengarah bagian dada Toan Bok Ang.
Gadis itu tak menduga sama sekali.
Padahal dia bermaksud baik mendekati orang itu, namun orang tersebut malah menyerangnya.
Untung dia cepat berkelit, maka dapat lolos dari serangan orang itu.
"Eh?"
Orang itu tampak terkejut ketika menyaksikan gerakan Toan Bok Ang.
"Kau dari Hui Yan Bun, murid generasi ke berapa?"
"Aku murid Yok Kun Sih,"
Sahut Toan Bok Ang memberitahukan, karena dia tahu orang itu pasti punya hubungan dengan perguruannya.
"Oh!"
Orang itu bangun duduk seraya berkata.
"Tujuh tahun yang lalu, Kun Sih menerima seorang murid penutup bernama Toan Bok Ang, apakah kau?"
"Ya."
Toan Bok Ang mengangguk.
"Bolehkah aku tahu siapa Cianpwee?"
Orang itu tidak menyahut, melainkan mendongakkan kepala memandang ke depan. Toan Bok Ang juga ikut memandang ke depan. Tampak kereta mewah itu sudah jauh sekali, dan orang itu menghela nafas panjang.
"Baik-baikkah gurumu? Aku.... Hwe Hong Sian Kouw."
Betapa girangnya Toan Bok Ang ketika mendengar ucapan itu.
"Sian Kouw, aku justru sedang mencarimu,"
Katanya cepat.
"Ada urusan apa kau mencariku?"
Tanya Hwe Hong Sian Kouw. Toan Bok Ang memberitahukan dan Hwe Hong Sian Kouw mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian menghela nafas panjang.
"Kini aku terluka berat, bagaimana mungkin bisa pergi ke Bu Yi San?"
Toan Bok Ang segera bertanya.
"Hwe Hong Sian Kouw, siapa yang melukaimu?"
Hwe Hong Sian Kouw mendengus.
"Hm! Yang melukaiku adalah orang yang di kereta mewah itu! Tapi kini dia sudah pergi jauh, tak usah diungkit lagi!"
"Hah!"
Seru Toan Bok Ang tak tertahan.
"Kalau aku tahu, pasti aku menghalangi kereta mewah itu!"
Hwe Hong Sian Kouw tertawa dingin.
"Kalaupun gurumu yang ke mari, juga belum tentu dapat menghalangi kereta mewah itu."
Toan Bok Ang tertegun dan bertanya.
"Sebetulnya siapa yang berada di dalam kereta mewah itu?"
Hwe Hong Sian Kouw menyahut dengan kening berkerut-kerut.
"Mereka cukup banyak. Sebelumnya aku sudah terluka, maka tidak dapat melihat dengan jelas siapa mereka. Tapi aku tahu salah seorang dari mereka adalah Liok Ci Siansing."
Toan Bok Ang terkejut mendengar ucapan itu.
"Itu... itu bagaimana mungkin? Liok Ci Siansing punya urusan besar di Bu Yi San, bagaimana mungkin dia menimbulkan urusan di sini?"
Hwe Hong Sian Kouw beradat keras dan emosional. Apa yang dikatakannya tidak boleh ada orang mendebatnya. Oleh karena itu, dia membentak gusar.
"Aku melihat dengan jelas sekali, salah seorang dari mereka menjulur tangannya keluar, jarinya berjumlah enam. Lagipula di dalam kereta mewah itu terdengar suara harpa. Dia pasti Liok Ci Siansing, tidak mungkin orang lain."
Toan Bok Ang tahu, Hwe Hong Sian Kouw setingkat dengan gurunya, maka dia tidak berani bersuara lagi. Sedangkan Hwe Hong Sian Kouw melanjutkan.
"Kau datang dari Hui Yan San, apakah di tengah jalan bertemu muridku, putri si Pecut Emas-Han Sun?"
Toan Bok Ang menggelengkan kepala.
"Tidak. Aku meninggalkan Hui Yan San sudah setengah bulan lebih!"
Hwe Hong Sian Kouw menghela napas panjang.
"Aaah! Ternyata begitu! Sudah setengah bulan lebih! Sudah setengah bulan lebih!"
Ternyata Hwe Hong Sian Kouw teringat kembali setengah bulan yang telah lalu, setiap malam Han Giok Shia pasti datang di menara Hou Yok untuk belajar ilmu silat kepadanya.
Tidak tahunya setengah bulan kemudian, justru terjadi berbagai Macam perubahan.
Toan Bok Ang tidak tahu itu, maka dia diam saja.
Berselang beberapa saat kemudian barulah ia berkata.
"Sian Kouw, guruku telah berangkat ke Bu Yi San, urusan ini justru Liok Ci Siansing yang melakukannya. Aku akan mengurusi Sian Kouw, mari kita berangkat ke Bu Yi San!"
Apa yang dikatakan Toan Bok Ang, memang sesuai dengan adat Hwe Hong Sian Kouw, maka dia tertawa seraya berkata.
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pantas Kun Sih begitu menyayangimu, ternyata kau begitu baik dan penuh pengertian! Oh ya, kau membawa obat luka perguruanmu, Pil Sayap Walet?"
"Ada."
Toan Bok Ang mengangguk.
"Berilah aku empat butir!"
Kata Hwe Hong Sian Kouw. Toan Bok Ang tersenyum.
"Kebetulan sekali, aku membawa empat butir."
Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.
"Tentunya aku tahu jelas mengenai adat gurumu. Dia memperbolehkanmu membawa empat butir Pil Sayap Walet, karena kau murid kesayangannya. Kalau tidak, sebutir pun kau tidak mungkin bisa membawa."
Toan Bok Ang tertawa kecil.
"Siau Kouw dan guruku merupakan kawan akrab, tentunya tahu akan adat guruku."
Sembari berkata, Toan Bok Ang mengeluarkan sebuah kotak kecil, lalu diberikan kepada Hwe Hong Sian Kouw. Hwe Hong Sian Kouw menerima kotak kecil itu seraya berkata.
"Legakanlah hatimu, kalau gurumu memarahimu, aku yang akan bertanggung jawab! Aku tidak akan secara cuma-cuma memakai obatmu itu, dan kelak aku pasti membalas kebaikanmu ini."
Obat Yan Pheng Tan merupakan obat rahasia Hui Yan Bun, dan tergolong obat mujarab yang tak ternilai harganya.
Yang membuat obat tersebut adalah guru Yok Kun Sih, menggunakan berbagai macam ramuan, termasuk Walet Berdarah yang hidup di laut selatan.
Ketika menangkap Hiat Yan, salah seorang kakak seperguruan Yok Kun Sih terpeleset ke Lam Hai, sehingga mati tenggelam di laut itu.
Oleh karena itu, betapa berharganya obat Yan Pheng Tan tersebut.
Toan Bok Ang langsung memberikan obat itu kepada Hwe Hong Sian Kouw, itu pertanda dia berhati lapang.
Toan Bok Ang tertawa.
"Hanya beberapa butir obat, Sian Kouw tidak perlu membalas kebaikan ini!"
Hwe Hong Sian Kouw juga tertawa.
"Kau tidak usah berpura-pura berhati lapang, aku tahu betapa berharganya obat itu. Namun kini, aku tidak bisa tidak harus memakainya karena aku terluka parah. Legakanlah hatimu, aku tidak akan ingkar janji!"
Usai berkata begitu, Hwe Hong Sian Kouw membuka sebuah kotak kecil dan seketika terciumlah bau darah yang amat menusuk hidung.
Hwe Hong Sian Kouw terus memandang obat itu, lama sekali barulah menelannya.
Tak lama setelah menelan keempat butir obat itu, nafasnya mulai normal kembali, dan dia segera duduk bersila untuk menghimpun hawa murninya.
Toan Bok Ang menjaga di sampingnya, kemudian berselang beberapa saat sekujur badan Hwe Hong Sian Kouw mengeluarkan uap.
Toan Bok Ang tahu, bahwa obat itu mulai bekerja di dalam tubuh Hwe Hong Sian Kouw.
Dia amat girang dan yakin, tidak lama lagi luka Hwe Hong Sian Kouw pasti sembuh.
Dia menunggu dengan sabar.
Tak seberapa lama, Hwe Hong Sian Kouw membuka matanya, lalu bangkit berdiri seraya menarik lengan Toan Bok Ang.
"Mari kita pergi!"
Mereka lalu pergi. Beberapa mil kemudian mereka sampai di pinggir sebuah sungai. Hwe Hong Sian Kouw segera mencuci muka dan rambutnya. Setelah itu, dia berkata, 395
"Ang, kini lukaku telah sembuh separuh. Dalam perjalanan ke Bu Yi San, kemungkinan besar lukaku telah pulih. Namun dalam perjalanan, tidak mungkin tidak akan terjadi sesuatu, maka kau harus berhati-hati!"
Toan Bok Ang mengangguk.
"Ya!"
Sahutnya. Hwe Hong Sian Kouw berkata lagi.
"Gurumu beradat aneh. Dia telah menerimamu sebagai murid, sudah pasti melarang orang lain memberi petunjuk kepadamu. Tapi... aku akan mewariskan kepadamu seluruh ilmu silatku."
"Siau Kouw...."
Toan Bok Ang menggeleng2kan kepala.
"Jangan dikarenakan keempat butir obat itu, maka Sian Kouw harus berbuat begitu!"
Hwe Hong Sian Kouw tertawa.
"Kau lebih baik daripada muridku itu, dia seperti aku bersifat keras dan berangasan. Sebaliknya kau penyabar dan banyak senyum. Kau harus ingat, kelak kalau kau menghadapi suatu masalah, baik kau benar maupun salah, asal kau mencariku, aku pasti membelamu."
Toan Bok Ang bergirang dalam hati. Dia memang suka menimbulkan masalah, kini malah ada Hwe Hong Sian Kouw berdiri di belakangnya, tentunya membuatnya girang sekali.
"Terimakasih, Sian Kouw!"
Ucapnya. Mereka bercakap-cakap lagi. Tiba-tiba Hwe Hong Sian Kouw teringat sesuatu, segera berkata.
"Oh ya! Kau ingin mencariku, kenapa begitu kebetulan kita bertemu di kota Bok Bay?"
Toan Bok Ang menyahut.
"Seorang yang memakai kain penutup muka yang memberitahukan kepadaku."
"Orang itu berbadan tinggi dan sepasang matanya menyorot tajam?"
Tanya Hwe Hong Sian Kouw. Toan Bok Ang mengangguk.
"Tidak salah! Aku sudah berada beberapa mil, namun suara orang itu tetap mendengung ke dalam telingaku."
Hwe Hong Sian Kouw segera bertanya.
"Kau tahu namanya?"
Toan Bok Ang menggelengkan kepala.
"Aku tidak tanya."
Kemudian dia menutur tentang Tujuh Dewa dan orang yang memakai kain penutup muka itu. Mendengar penuturan itu, Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang.
"Dalam hidupku, aku paling tidak mau menerima budi kebaikan orang. Namun beberapa hari ini, aku justru telah menerima dua kali kebaikan orang. Yakni pemberian obatmu dan orang itu menyelamatkan nyawaku."
Berkata sampai di situ, Hwe Hong Sian Kouw berhenti sejenak, kemudian menghela nafas panjang dan melanjutkan.
"Kalau dia tidak menolongku, mungkin saat ini aku sudah seperti si Pecut Emas, mati di rumahnya."
Toan Bok Ang tidak tahu dengan jelas tentang kejadian itu.
Dia bertanya, namun Hwe Hong Sian Kouw tidak mau memberitahukan.
Maka gadis itu terpaksa diam tapi amat penasaran dalam hati.
Berhubung luka Hwe Hong Sian Kouw masih belum pulih, maka di siang hari mereka beristirahat, malam harinya baru melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan, tidak pernah terjadi suatu apa pun, dan itu amat melegakan hati Toan Bok Ang.
Kita kembali dulu mengingat ketika Lu Sin Kong dan Sebun It Nio membawa kotak kayu meninggalkan kota Lam Cong, tak lama setelah keluar dari pintu kota itu, di tengah jalan justru bertemu Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin.
Ketika itu, boleh dikatakan musuh besar saling berhadapan, maka mata Lu Sin Kong dan Sebun It Nio membara.
Namun mereka berdua bermaksud menghabiskan semua musuh, lagipula kalau saat itu bertarung, belum tentu akan menang.
Oleh karena itu, mereka berdua pergi begitu saja.
Setelah mereka berdua pergi, Tiat Cit Song Jin bergerutu.
"Liok Ci, kelihatannya mereka berdua marah pada kita."
Liok Ci Siansing menyahut hambar.
"Mungkin mereka berdua merasa tidak senang karena kita berniat menerima anaknya sebagai murid, maka sikap mereka menjadi begitu."
Tiat Cit Song Jin menggelengkan kepala.
"Mungkin bukan begitu. Bukankah mereka sudah bilang bahwa sebulan kemudian mereka akan mengantar bocah itu ke Bu Yi San?"
Di saat mereka sedang bercakap-cakap, mendadak terdengar suara harpa di dalam rimba. Tiat Cit Song Jin mengerutkan kening seraya berkata.
"Liok Ci, aku sudah merasa bising akan suara harpamu, tapi kenapa kok kini malah muncul suara harpa lain? Aku akan pergi menghancurkan harpa itu!"
Usai berkata begitu, Tiat Cit Song Jin melesat ke dalam rimba itu.
Ketika mendengar suara harpa itu, air muka Liok Ci Siansing sudah berubah, dia mendengarkan dengan penuh perhatian, tiba-tiba memegang bahu Tiat Cit Song Jin seraya berkata dengan suara rendah.
"Tiat Cit, jangan sembarangan!"
Dia mendengarkan lagi dengan seksama, kemudian tanpa sadar dia memuji.
"Harpa yang bagus, jari yang luar biasa!"
Liok Ci Siansing memang ahli harpa. Setelah memuji dia pun mendengarkan lagi dengan penuh perhatian, lalu sekonyong-konyong wajahnya tampak terheran-heran.
"Eh? Berdasarkan suara harpa itu, sobat itu pun punya enam jari!"
Tiat Cit Song Jin tertawa.
"Kalau begitu, dia sehaluan denganmu."
Liok Ci Siansing segera memberi isyarat, agar Tiat Cit Song Jin jangan bersuara, kemudian memandang ke arah rimba seraya berseru.
"Sobat jago dari mana? Sungguh sedap didengar suara harpamu!"
Suara harpa itu berhenti, lalu bersamaan terdengar suara sahutan.
"Aku tidak begitu ahli memetik harpa! Bolehkah aku tahu siapa Anda?"
Liok Ci Siansing segera menyahut dengan gembira.
"Aku Liok Ci dari Bu Yi San!"
Terdengar orang itu berkata.
"Oh! Ternyata Liok Ci Siansing! Nama Anda sudah amat terkenal...!!"
Berkata sampai di situ, orang itu seakan teringat sesuatu.
"Oh ya! Kenapa Anda masih berada di sini? Apakah Anda tidak tahu kalau di Bu Yi San akan terjadi suatu bencana?"
Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin tertegun mendengar pertanyaan orang itu.
"Apa maksud Anda berkata begitu?"
Mereka berdua segera memasuki rimba itu.
Tampak di samping sebuah pohon Siong tua, seseorang sedang duduk dan memangku sebuah harpa kuno.
Begitu melihat Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin, orang itu bangkit dari tempat duduknya seraya menyahut.
Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin memperhatikannya.
Orang itu kelihatannya masih muda dan wajahnya cerah.
Liok Ci Siansing juga memperhatikan jari tangan orang itu, justru cuma ada lima.
Liok Ci Siansing tertegun.
"Andakah yang tadi memetik harpa?"
"Benar... Entah Anda mau memberi petunjuk apa?"
Sahut orang itu. Liok Ci Siansing merasa heran. Sebab berdasarkan pengalamannya di bidang harpa, dia dapat mendengar bahwa si pemetik harpa itu pasti berjari enam, namun orang itu justru berjari lima.
"Cara Anda memetik harpa sungguh luar biasa! Namun apa yang Anda katakan tadi, bolehkah Anda menjelaskannya?"
Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin sama sekali tidak kenal orang itu, maka dapat dikelabuinya.
Mereka menganggap si pemetik harpa tadi adalah orang itu.
Kalau Lu Sin Kong berada di situ, pasti kenal orang itu, yang tidak lain adalah Ki Hok.
Hanya saja saat ini, Ki Hok telah berganti dandanan, tidak berdandan sebagai pengurus rumah.
"Thian Hou Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, mengatakan bahwa Anda telah mencelakai putra mereka satu-satunya, karena itu mereka mengundang para jago dari Go Bi dan Tiam Cong Pai, ke Bu Yi San. Kalau kalian berdua takut urusan, lebih baik bersembunyi saja. Namun kalau mereka tidak menemukan Anda, semua harpa yang ada di sana pasti dihancurkan."
Setiap orang pasti punya suatu hobi, maka ratusan harpa yang berada di Bu Yi San, boleh dikatakan merupakan nyawa bagi Liok Ci Siansing. Ki Hok berkata begitu, justru mendorongnya cepat-cepat pulang ke Bu Yi San.
"Tiat Cit, mari cepat pulang!"
Tidak menunggu sampai Tiat Cit Song Jin mengangguk, Liok Ci Siansing sudah melesat pergi meninggalkan rimba itu.
Begitu melihat Liok Ci Sian sing melesat pergi, Tiat Cit Song Jin pun mengikutinya.
Dalam waktu sekejap, mereka berdua sudah tidak kelihatan.
Ki Hok tertawa gelak seraya berkata.
"Tuan majikan, aku telah meyakinkan mereka berdua."
Terdengar suara sahutan yang begitu halus dan nyaring dari dalam rimba.
"Bagus, bagus! Tak lama lagi, kau akan menjadi orang nomor wahid dalam rimba persilatan!"
Ki Hok segera memberi hormat ke arah rimba itu.
"Terimakasih atas kebaikan Tuan majikan. Apakah kita masih harus menambah minyak pada pihak Go Bi dan Tiam Cong?"
Orang yang ada di dalam rimba menyahut.
"Tentu! Bahkan harus pula menyiarkan kabar tentang itu, agar semua kaum rimba persilatan mengetahuinya!"
Ketika Lu Sin Kong dan Sebun It Nio baru tiba di Su Cou, hampir semua kaum rimba persilatan tahu tentang urusan tersebut.
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oleh karena itu, yang menuju ke Bu Yi San, terdiri dari golongan lurus dan sesat, bahkan rata-rata merupakan jago yang berkepandaian tinggi.
Di antaranya terdapat Tujuh Dewa, ketua Hui Yan Bun si Walet Hijau-Yok Kun Sih, ketua Hwa San Pai Liat Hwe Cousu, Yu Lao Pun dan lainnya.
Pihak golongan sesat terdiri dari si Setan Seng Ling, Thay San Hek Sin Kun dan lainnya.
Mereka semua sudah dalam perjalanan menuju Bu Yi San.
Orang yang amat mendendam kepada Lu Sin Kong, juga sudah berangkat ke sana.
Mereka adalah Hwe Hong Sian Kouw dan Han Giok Shia.
Di antara sekian banyak orang, hanya ada satu orang yang berusaha mengatasi bencana itu, yaitu Tam Sen.
Selain itu, juga terdapat para pendekar muda, misalnya Tam Goat Hua dan kakaknya serta Toan Bok Ang, yang semuanya juga sedang menuju Bu Yi San.
Sian Jin Hong di Bu Yi San merupakan tempat tinggal Liok Ci Siansing, yang amat tenang dan damai.
Namun kini, justru merupakan tempat berkumpulnya para jago berkepandaian tinggi.
Banjir darah dalam rimba persilatan akan dimulai dari sana.
Sebulan kemudian, Liok Ci Siansing dan Tiat Cit Song Jin tiba di Bu Yi San.
Mereka berdua tiba paling awal.
Bu Yi San sangat terkenal akan keindahan panoramanya, namun juga terdapat batu curam yang berbahaya, jurang yang dalam dan tebing yang licin.
-ooo0ooo- Bab 18 Tempat tinggal Liok Ci Siansing berada di puncak Bu Yi San, disebut Sian Jin Hong.
Di puncak gunung itu terdapat sebidang tanah yang amat luas, rerumputannya menghijau dan bunga liar bermekaran menakjubkan.
Tempat itu sedemikian sepi, tenang dan damai, namun di sana justru akan terjadi sesuatu yang menggegerkan.
Pagi itu, di bawah sebuah pohon Siong tua, di samping sebuah batu besar tampak dua orang sedang duduk berhadapan.
Mereka berdua adalah Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen.
Orang tersebut berkepandaian tinggi tapi bersifat aneh.
Namun walau demikian, kaum rimba persilatan amat menghormatinya, Mereka berdua tampak sedang merenungkan sesuatu.
Tak jauh dari situ, terlihat seorang lelaki, kepalanya mirip macan dan rnukanya penuh brewok.
Tangannya memegang sebuah Tiat Cit warna hitam, yang tingginya hampir empat kaki.
Sesungguhnya Tiat Cit itu merupakan semacam alat musik kuno, namun di tangan Tiat Cit Song Jin, itu bukan merupakan alat musik lagi, melainkan semacam senjata yang amat lihay.
Ketika masih kecil, Tiat Cit Song Jin sudah memiliki tenaga yang amat besar.
Siapa pun tak mampu melawannya.
Namun setelah dia berhasil menguasai beberapa macam ilmu silat, justru malah tidak punya senjata.
Beberapa tahun kemudian, ketika melewati sebuah desa nelayan, dia melihat para nelayan sedang menyembah sebuah Tiat Cit, tampak pula beberapa macam sesajian.
Tiat Cit Song Jin tertawa dalam hati, karena para nelayan itu begitu tahayul.
Maka diusirnya mereka sehingga terjadi perkelahian.
Bagaimana mungkin para nelayan itu melawannya? Akhirnya para nelayan itu lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Kemudian sambil tertawa Tiat Cit Song Jin mendekati Tiat Cit itu, dan mengangkatnya.
Akan tetapi, Tiat Cit itu tak bergeming sedikit pun, padahal dia mampu mengangkat barang yang beratnya lima ratus kati.
Namun justru tak mampu mengangkat Tiat Cit tersebut.
Oleh karena itu, dia pergi berguru lagi.
Lima tahun kemudian, dia kembali ke desa nelayan itu, dan barulah mampu mengangkat Tiat Cit tersebut.
Setelah berhasil mengangkat Tiat Cit itu, dia pun memperhatikannya, ternyata di belakang Tiat Cit itu terdapat beberapa baris tulisan.
Berat Tiat Cit ini tujuh ratus kati, dibuat dari besi murni, tertera dua puluh tujuh jurus Tiat Cit, siapa yang berjodoh memperoleh Tiat Cit ini, boleh mempelajarinya.
Bukan main girangnya Tiat Cit Song Jin, maka dia segera mempelajari dua puluh tujuh jurus Tiat Cit tersebut, dan akhirnya memperoleh julukan Tiat Cit Song Jin.
Saat ini, mendadak badannya bergerak.
Tiat Cit itu pun ikut bergerak ke sana ke mari menimbulkan suara menderuderu.
Kemudian terdengar suara "Blam", Tiat Cit itu menancap di tanah.
Dia memandang Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen, lalu berseru lantang.
"Kalian berdua, apakah tidak tahu musuh tangguh akan menyerbu ke mari?"
Liok Ci Siansing tersenyum hambar. Ternyata dia sedang bermain catur dengan Pit Giok Sen.
"Tahu lalu mau apa? Apakah boleh melarang mereka naik ke mari?"
Tiat Cit Song Jin mendengus.
"Hm! Kalian berdua setiap hari kalau bukan bermain harpa, pasti bermain catur! Sama sekali tidak mau berpikir, memangnya kenapa?"
Tiat Cit Song Jin beradat keras, berangasan dan tak sabaran.
Ketika teringat Go Bi dan Tiam Cong Pai akan menyerbu tempat itu, dia sudah bersiap untuk bertarung.
Akan tetapi, dalam beberapa hari ini, di Sian Jin Hong tersebut justru sepi-sepi saja.
Sedangkan Liok Ci Siansing terus bermain catur dengan Pit Giok Sen, sepertinya tiada urusan sama sekali, dan itu membuat Tiat Cit Song Jin menjadi tidak sabar.
Pit Giok Sen tertawa.
"Liok Ci, set ini kau yang kalah. Apakah kau masih merasa penasaran?"
Liok Ci Siansing mengangguk.
"Aku sudah kalah tujuh set, tak mampu membalas sama sekali."
Kedua orang itu tertawa, tidak menggubris Tiat Cit Song Jin.
Wajah Tiat Cit Song Jin berubah merah padam.
Dia melangkah lebar menghampiri mereka, kemudian mengayunkan tangannya.
Ser! Ser! Dia telah melancarkan dua pukulan ke arah papan catur itu.
Braak! Papan catur itu hancur berkeping-keping, sedangkan semua biji catur menancap di sebuah pohon.
Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen bangkit berdiri, lalu tertawa gelak.
"Ha ha ha! Tiat Cit, kau sungguh keterlaluan! Merusak kesenangan orang lain!"
Ketika Tiat Cit Song Jin baru mau menyahut, mendadak terdengar suara siulan di pinggang gunung, enam tujuh kali.
Suara siulan itu amat nyaring.
Berdasarkan suara siulan itu, dapat diketahui para pendatang itu rata-rata berkepandaian amat tinggi.
Air muka Tiat Cit Song Jin langsung berubah.
Dia memandang Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen seraya berkata.
"Kalian masih mau main catur? Bukankah musuh tangguh sudah datang?"
Tiat Cit Song Jin mencelat ke tempat Tiat Cit itu menancap, lalu mencabutnya. Liok Ci Siansing dan Pit Giok Sen saling memandang, kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal. Tiat Cit Song Jin melotot dan membentak.
"Musuh sudah datang, kenapa kalian masih tertawa?"
Liok Ci Siansing menyahut.
"Tiat Cit, dalam beberapa hari ini, kau selalu mengejutkan diri sendiri, hingga suara siulan kawan baik pun tidak kau kenali! Bukankah itu menggelikan sekali?"
Tiat Cit Song Jin tertegun, kemudian tertawa gembira.
"Ha ha ha! Ternyata ketujuh makhluk aneh itu yang datang!"
Di saat bersamaan, tampak tujuh sosok bayangan berkelebatan mendatangi tempat tersebut. Begitu sampai di tempat itu, ketujuh orang tersebut berbaris, yang paling depan adalah si Gendut.
"Tiat Cit! Kau berani mencaci kami di belakang? Apakah kami bertujuh mirip makhluk aneh?"
Ketika melihat Tujuh Dewa, giranglah Tiat Cit Song Jin, kemudian tertawa terbahak-bahak seraya menyahut.
"Kalau kalian bertujuh bukan makhluk aneh, lalu siapa makhluk aneh? Jangan omong yang bukan-bukan, cepat berunding cara bagaimana menghadapi musuh, itu baru benar!"
"Kalian jangan mendengarkan omongan Tiat Cit!"
Kata Liok Ci Siansing.
"Di tempatku bunga-bunga bermekaran sepanjang tahun. Mari kita minum dulu!"
Bagian 08 Tujuh Dewa mengangguk, sedangkan Tiat Cit melotot dengan nafas memburu menahan kegusarannya.
Dia merasa dirinya kurang bisa berdebat, maka diam saja dengan hati mendongkol.
Liok Ci Siansing sudah mengambil arak.
Mereka semua duduk di situ, minum-minum sambil tertawa.
Berselang beberapa saat, setelah puas minum barulah si Gendut berkata.
"Liok Ci, ketika kami kemari, di tengah jalan mendengar kabar bahwa banyak jago tangguh rimba persilatan, menuju ke mari. Kau sebagai tuan rumah di sini, bagaimana cara menyambut mereka?"
Liok Ci Siansing bertepuk tangan sambil tertawa.
"Lucu sekali! Puncak Sian Jin Hong ini bukan milikku pribadi. Mereka mau ke mari, ada urusan apa denganku?"
Si Sastrawan Se Chi berkata.
"Liok Ci, jangan meremehkan urusan ini!"
Liok Ci Siansing mengerutkan kening.
"Se Lo Sam, untuk apa kau merusak suasana?"
Si Buku Besi berkata dengan lantang.
"Liok Ci..., Go Bi dan Tiam Cong Pai menuduhmu mencelakai putra Lu Sin Kong. Urusan ini bukan kecil, karena akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan."
Liok Ci Siansing memang hambar terhadap segala apa pun. Oleh karena itu dia tetap tertawa.
"Kalaupun timbul bencana dalam rimba persilatan, namun bukan aku yang menimbulkannya. Ada hubungan apa dengan diriku?"
Sementara Tiat Cit Song Jin diam saja. Namun sejenak kemudian dia berkata dengan gusar sekali.
"Kalian bertujuh tidak usah banyak bicara dengan dia. Sampai saatnya nanti kita lihat bagaimana dia menghadapinya."
Liok Ci Siansing tertawa.
"Go Bi dan Tiam Cong Pai tergolong partai besar, bagaimana mereka tidak membicarakan aturan?"
Si Sastrawan Se Chi berkata sungguh-sungguh.
"Ini sulit dikatakan, sebab kini urusan tersebut bagaikan sebuah misteri yang dikendalikan oleh seseorang. Yang menggegerkan kolong langit, Cit Sat Sin Ciang pun telah muncul dalam rimba persilatan."
Air muka Liok Ci Siansing tampak berubah.
"Apakah pemilik Cit Sat Sin Ciang yang menimbulkan itu?"
Si Sastrawan Se Chi menggeleng-gelengkan kepala.
"Justru bukan...."
Kemudian dia memberitahukan tentang semua pertikaian itu, Lu Sin Kong suami isteri, si Pecut Emas-Han Sun, Hwe Hong Sian Kouw dan ketua Hui Yan Bun si Walet Hijau-Yok Kun Sih yang mungkin sudah menuju ke Bu Yi San.
Mendengar itu, Liok Ci Siansing mengerutkan kening dan termangu-mangu, sedangkan Tiat Cit Song Jin tertawa dan berkata.
"Ha ha! Ayo! Main catur lagi! Ayoooo..!!"
Salah satu tujuh dewa Si Gelang Maut Lim Hau memandang Tiat Cit Song Jin seraya berkata.
"Saudara Tiat Cit, itu bukan urusan kecil. Di antara kita jangan sampai terjadi perdebatan. Kali ini yang ke mari terdiri dari beberapa ketua partai. Kalau terjadi pertarungan, kita cuma sepuluh orang, dan tidak ada yang akan membantu kita."
Tiat Cit Song Jin membusungkan dada, kemudian berkata dengan gagah.
"Walau kita cuma sepuluh orang, namun sudah lebih dari cukup."
Apa yang dikatakan Tiat Cit Song Jin memang bukan dibesar2kan saja.
Perlu diketahui, mereka sepuluh orang rata-rata berkepandaian amat tinggi dan tergolong jago tangguh kelas satu.
Kalau terjadi pertarungan, di pihak lain tidak begitu banyak jago tangguh, tentunya bukan lawan mereka.
Si Sastrawan baru mau membuka mulut tapi tidak jadi, karena tampak dua orang sedang melesat berlari ke puncak Sian Jin Hong.
Gerakan kedua orang itu sungguh cepat.
Dalam waktu sekejap saja mereka sudah tiba di tempat itu.
Setelah terlihat jelas, ternyata dua wanita berusia pertengahan.
Kedua wanita itu memberi hormat, lalu bertanya.
"Maaf! Siapa di antara kalian yang bernama Liok Ci Siansing?"
Liok Ci Siansing segera bangkit berdiri dan menyahut.
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku! Bolehkah aku tahu siapa kalian berdua?"
Salah seorang dari mereka menjawab.
"Aku dari perguruan Hui Yan Bun. Guru memberi perintah pada kami untuk kemari mengunjungi Liok Ci Siansing. Guru ingin meminjam tempat agar kami beberapa murid Hui Yan Bun bisa menginap di sini."
Setelah mendengar ucapan wanita itu, Liok Ci Siansing tertawa hambar.
"Di tempat ini hanya terdapat sebidang tanah kosong, sama sekali tiada tempat tinggal."
Kedua wanita itu memberi hormat seraya berkata.
"Tidak membutuhkan tempat tinggal, cukup sebagian tanah kosong ini saja! Guru pasti amat berterimakasih."
Liok Ci Siansing manggut-manggut.
"Kalau begitu, kalian berdua boleh beristirahat di Sian Jin Hong ini."
"Terimakasih,"
Ucap kedua wanita itu.
Mereka lalu memandang ke sana ke mari, setelah itu melesat ke bawah sebuah pohon.
Mereka mengeluarkan belasan batang besi, lalu ditancapkan ke tanah mengelilingi tempat itu.
Setelah belasan batang besi itu tertancap semua, terbentuklah seekor burung walet kecil.
Seusai itu, mereka berdua memberi hormat kepada semua orang dan berkata.
"Kami akan pergi menjemput guru kami. Terima-kasih untuk tempat ini!"
Kemudian kedua wanita itu melesat pergi. Liok Ci Siansing menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Walau Hui Yan Bun terdiri dari kaum wanita, namun berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Kedua wanita itu cuma merupakan murid Yok Kun Sih, tapi berkepandaian begitu tinggi dan melaksanakan tugas dengan penuh kesabaran, itu sungguh mengagumkan !"
Dalam hati yang lain, juga sependapat dengan Liok Ci Siansing.
Mereka memperbincangkannya sejenak.
Tak Beberapa lama kemudian, kedua wanita itu telah kembali ke ,tempat itu.
Tampak seorang nenek berpakaian hijau sepasang mata menyorot tajam berjalan di belakang mereka.
Ketika melangkah badan nenek itu tampak ringan sekali, seakan sedang melayang-layang di permukaan air.
Begitu melihat nenek itu, semua orang sudah tahu bahwa nenek itu adalah si Walet Hijau-Yok Kun Sih yang berkepandaian amat tinggi, di belakangnya ikut pula empat muridnya.
Sampai di situ, Yok Kun Sih sama sekali tidak mengacuhkan semua orang yang berada di situ, dan semua orang itu juga tidak menghiraukannya.
Yok Kun Sih dan murid-muridnya langsung menuju bawah pohon tempat belasan batang besi ditancapkan, Yok Kun Sih duduk di dalamnya, sedangkan murid-muridnya segera memasang tenda.
Menyaksikan ulah nenek dan murid-muridnya itu si Sastrawan Se Chi berbisik.
"Berdasarkan situasi, Tiam Cong dan Go Bi Pai tidak akan berada di atas angin, sebab Yok Kun Sih punya hubungan baik dengan Hwe Hong Sian Kouw, yang tentunya akan membantu Hwe Hong Sian Kouw membuat perhitungan dengan Lu Sin Kong."
Semua orang manggut-manggut, kemudian Pit Giok Sen berkata.
"Sampai saat itu, kalau kita dapat terlepas dari urusan itu, justru ada tontonan yang amat menarik."
Si Sastrawan Se Chi tertawa.
"Apa yang kau pikirkan itu memang tidak salah, namun yang akan celaka lebih dulu adalah kau dan Liok Ci."
Mereka bercakap-cakap sambil minum-minum dan tertawa-tawa.
Tak Beberapa lama kemudian, di pertengah gunung itu terdengar suara "Bum, Bum, Plak, Plak", kedengarannya seperti suara ledakan dan suara api menyala, kemudian tampak asap mengepul dan bunga-bunga api membubung.
Melihat itu, Tiat Cit Song Jin tampak gusar sekali.
"Sungguh jahat tua bangka itu!"
Kemudian dia membawa senjatanya, namun ketika baru mau melangkah, tiba-tiba Tujuh Dewa menghalanginya, dan Pit Giok Sen membentaknya.
"Tiat Cit! Siapa pun yang ke mari, kita tidak boleh menimbulkan urusan! Pokoknya kita biarkan saja!"
Tiat Cit Song Jin menatapnya dengan mata terbelalak.
"Pit Giok Sen, biasanya tiada seorang pun dalam matamu, tapi kenapa hari ini kau begitu sabar?"
Liok Ci Siansing berkata serius.
"Tiat Cit, ini bukan urusan biasa, jangan sembarangan!"
Sementara asap yang mengepul itu semakin dekat.
Sungguh mengherankan, asap itu terus membubung, sama sekali tidak buyar meskipun terhembus angin gunung yang amat kencang.
Tak Beberapa lama kemudian, seorang lelaki berbadan tinggi besar, berpakaian merah sudah berada di puncak Sian Jin Hong.
Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Kedele Maut Karya Khu Lung