Pahala Anak Berbakti 2
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien Bagian 2
Pahala Anak Berbakti Karya dari Siao Shen Shien
"Kau tak usah khawatir, jarum yang menancap di lengan-mu sesungguhnya tak beracun", le Bu menerangkan.
Thio Hiong menyesal telah mengakui perbuatan kotornya, namun segalanya sudah kasip, telah terlambat! Menteri kehakiman melaporkan perbuatan tak terpuji dari Leng Hong.
Kaisar memerintahkan sang menteri untuk menangkap Leng Hong, guna mempertanggung- jawabkan perbuatannya, sekali-gus memecat dari semua jabatannya.
Ie Bu beserta keluarga amat berterima kasih pada Kaisar dan Menteri kehakiman, mengajak anak isterinya pulang ke kampung halaman.
Lauw Hui dan Ie Hui Ngo yang sejak semula telah saling tertarik, dijodohkan jadi suami isteri.
Mereka hidup bahagia sampai di hari tua.
- -- 000 --- HUKUMAN BAGI ANAK DURHAKA Sekitar seratus li di luar kota Kiang-neng, terdapat sebuah perkampungan yang disebut Phe Khe-chun atau kampung keluarga Phe.
(1 li =Y2, Km).
Kepala kampungnya bernama Phe Hok, yang merupakan orang terkaya di desa itu.
Hari itu Phe Hok sedang merayakan pernikahan putera tunggalnya yang bernama Phe Cheng.
P he Cheng telah berhasil mempersunting gadis she Tio yang berasal dari keluarga pejabat di kota Kiang-neng.
Phe Hok yang turun temurun hidup di desa, amatlah gembira ketika anaknya berhasil mempersunting gadis kota, dari keluarga pejabat pula.
Dianggapnya hal itu akan meningkatkan martabat keluarganya.
Itu sebabnya, perayaan itu diselenggarakan secara besar-besaran, meriah sekali.
Keesokan harinya, biarpun matahari telah lewat sepenggalah, namun anak dan menantunya belum juga keluar kamar, membuat perasaan Phe Hok kurang senang.
"Menantu kita telah biasa hidup di keluarga pejabat, tak biasa bangun pagi dan serba dilayani", Phoa-si, isteri Phe Hok, berusaha menenangkan perasaan suaminya.
Kemudian berpaling pada gadis yang berdiri di sisinya.
"Giok Bwe, lekas kau antarkan sarapan pagi ke kamar mereka".
"Baik Kiu-bo", sahut Giok Bwe.
Giok Bwe adalah keponakan luar Phe Hok, sejak kecil telah ditinggal mati orang tuanya, hingga dia menumpang di keluarga Kiu-hu (paman luar)-nya.
Giok Bwe membawa nampan sarapan pagi ke kamar Phe Cheng.
Phe Cheng membuka pintu kamarnya sambil menggerutu.
"Mau apa kau mengetuk pintu kamarku?".
"Saya mengantarkan sarapan pagi, Piao-tee!", Giok Bwe menerangkan.
"Huh, mengganggu orang saja!", Phe Cheng tetap kurang senang.
"Lekas kau ambilkan air untuk cuci muka!".
"Baik Piao-tee", Giok Bwe meninggalkan kamar adik mi-sannya.
Tak lama kemudian dia kembali lagi sambil membawa air cuci muka.
"Ini air cuci mukanya, Piao-so", katanya pada isteri Phe Cheng.
"Cuci muka dulu Nio-cu", kata Phe Cheng pada isterinya.
Tio-si, isteri Phe Cheng, yang telah biasa dilayani pembantu, merasa tak cocok dengan kehidupan desa.
"Huh, rumah macam apa ini? Pelayan saja tak ada!", gerutu- nya .
"Perlahan-lahan kau akan biasa, Nio-cu", Phe Cheng be-rusaha menenangkan isterinya.
"Apapun tak ada di desa ini, ingin mencicipi makanan kedoyananku saja susah, bagaimana aku bisa betah!?", Tio-si terus menggerutu.
"Kau sengaja ingin mernbuatku menderita ya? Lebih baik kita pindah ke kota saja, minta tolong pada Toakoku mencarikan suatu jabatan untukmu! Ayo lekas kau bicarakan dengan orang tuamu!".
"Baik Nio-cu", Phe Cheng yang ternyata 'takut bini', menurut saja apa kata isterinya.
Phe Cheng segera menemui orang tuanya, mengungkapkan maksudnya untuk pindah ke kota sekaligus ingin 'mem-beli' jabatan bagi dirinya.
Phe Hok dan isterinya tak setuju maksud anaknya.
"Bila kau ingin memperoleh jabatan di pemerintahan, harus rajin belajar, bukannya menyogok atau membeli", ucapnya.
"Sekarang sudah zamannya harus begitu Thia, maka to-longlah ayah memberi saya sejumlah uang untuk 'membeli' jabatan!".
"Huh! Uangku sudah habis", Phe Hok membe-lakangi anaknya.
"Thia kan masih memiliki sawah yang cukup luas", Phe Cheng terus mendesak.
"Gara-gara merayakan perkawinanmu, aku jadi terlibat hutang", sang ayah tetap pada pendiriannya.
"Jangan kau terus mendesak ayahmu, Cheng-jie", Phoa-si yang sejak semula berdiam diri, mulai ikut bicara.
"Hal itu baik kita bicarakan nanti saja".
"Tolonglah Nio, agar Thia berkenan meluluskan harapan saya".
Phe Cheng meminta bantuan ibunya.
"Benar-benar brengsek dia", gerutu Phe Hok.
"Tenang Kiu-hu", Giok Bwe berusaha menenangkan pamannya.
Phe Cheng kembali ke kamarnya.
"Bagaimana? Hasil?", tanya Tio-si sambil duduk di tepi pem baringan.
"Ayah menyatakan sudah habis uangnya", sahut Phe Cheng.
"Huh, sebelumnya kalian mengaku orang terkaya di desa ini, nyatanya bual belaka", Tio-si marah.
"Baik nanti saja baru kita bicarakan hal itu, Nio-cu", Phe Cheng berusaha menenangkan isterinya.
"Aku tak betah tinggal di desa", Tio-si tambah dongkol.
"biar bagaimana juga aku ingin pindah ke kota".
"Tapi Nio-cu...".
"Kau tak setuju?", Tio-si bertolak pinggang.
"Sabar Nio-cu".
"Aku tak peduli, kita harus segera pindah ke kota!".
"Tenang Nio-cu".
"Huh, kalian sengaja menipuku, agar aku menderita di desa yang sepi ini", Tio-si menimpuk suami dengan nampan yang berisi teko dan cangkir.
Phe Cheng menghindar ke sisi.
Tio-si yang belum reda kemarahannya, kembali menimpuk dengan jambangan hias, hingga benda itu hancur berantakan membentur tembok.
"Akan kugugat kalian telah menipuku!", maki Tio-si lagi.
"Nio-cu", Phe Cheng menyisi.
"Piao-so"` Giok Bwe mulai ikut bicara.
Phe Hok dan isteri yang mendengar suara ribut-ribut itu, segera mendatangi kamar anaknya.
Terlihat Tio-si menangis sedih di tepi pembaringan.
Phe Cheng berusaha menghiburnya.
"Jangan menangis Nio-cu --- Malu terlihat orang".
"Biar!", jerit Tio-si.
Sedang Giok Bwe membersihkan lantai dari pecahan porselen.
"Ada apa? Kenapa kalian bertengkar?", tanya Phoa-si, sang ibu.
"Semua ini gara-gara sikap kalian yang keterlaluan!", Phe Cheng menyalahkan orang tuanya.
"Kenapa kami?", Phoa-si membelalakan mata.
"Tak sayang anak dan menantu", kata Phe Cheng.
"Sabar Cheng-jie, segalanya dapat kita bicarakan nanti", Phoa-si menenangkan anaknya.
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi", Phe Cheng mem-belakangi ibunya.
"saya perlu uang untuk 'membeli' jabatan!".
"Oh...
Kalian ingin pindah?", Phoa-si melotot.
"Kami butuh uang untuk pindah ke kota, agar lebih mudah 'membeli' jabatan!".
"Sudah jangan ribut, nanti ibu akan membicarakan dengan ayahmu".
"Huh!", Phe Hok malah kurang senang melihat sikap anak-nya yang dianggapnya telah melampaui batas.
"Sudah, sudah...", Phoa-si menarik tangan suaminya me-ninggalkan kamar anaknya.
"Sebaiknya kita jual saja sawah kita, Looya", Phoa-si menyarankan pada suaminya setiba mereka di ruang tamu.
"Hutang saja belum kulunasi, sekarang mau menjual sawah lagi, bagaimana hidup kita selanjutnya?", ujar Phe Hok.
"Aku masih memiliki sedikit simpanan, berikan saja se- muanya padanya", kata Phoa-si saking sayang anak.
"setelah dia jadi pejabat nanti, segala hutang kita pasti dapat dilunasi".
"Seandainya kupenuhi permintaannya, aku akan jatuh rudin", Phe Hok menghela nafas.
"pasti sengsara hidup kita selanjutnya".
"Tapi kalau tak kita penuhi, tentunya setiap hari mereka akan bertengkar, hidup kita tentu takkan tenang", ucap sang isteri.
Giok Bwe yang sempat mendengar perbincangan paman dan bibinya jadi terharu.
"Bila sudah begini keadaannya, bagaimana mungkin kita dapat tenang", Phe Hok menunduk sedih.
"mungkin tak lama lagi aku akan mati dikejar-kejar hutang".
"Sudah, jangan Looya sedih", sang isteri coba menghibur-nya.
"setelah anak kita jadi orang berpangkat nanti, hidup kita tentu akan senang".
"Sungguh keterlaluan mereka, bukannya menyenangkan orang tua, malah membuatnya murung", kata hati Giok Bwe sambil meninggalkan ruang tamu.
"sebaiknya aku menasehati Piao-tee dan Piao-so, agar membatalkan raja maksud mereka pindah ke kota".
Giok Bwe mengantarkan bubur ke kamar Phe Cheng.
"Mari dimakan bubumya, Piao-so", ucapnya.
"Aku tak doyan masakan di sini", ketus sikap Tio-si.
"Ada yang ingin saya bicarakan dengan Piao-so", Giok Bwe ingin mengungkapkan maksud yang sesungguhnya.
"Katakanlah!".
"Bila kalian pindah ke kota, bagaimana keadaan mertua-mu?".
"Maksudmu agar kami tetap tinggal di sini?", Tio-si balik bertanya.
"Piao-so adalah orang terpelajar, seharusnya mengingatkan Piao-tee agar memikirkan juga keadaan orang tuanya", kata Giok Bwe.
"Ternyata kedatanganmu ini ingin menyalahkanku!?", Tio-si mulai naik pitam.
"semasa hidup orang tuaku tak berani memakiku".
"Jangan salah faham Piao-so, saya bermaksud baik", Giok Bwe berusaha menerangkan.
"Aku tak senang disalahkan begitu".
Bukannya menjadi tenang, Tio-si malah makin naik pitam.
Phe Cheng masuk ke kamar seraya bertanya.
"Kenapa ka-lian?".
"Aku tak senang dihina olehnya!", Tio-si mengadu sambil menuding Giok Bwe.
"Dia berani menghinamu?", Phe Cheng dongkol begitu mendengar keterangan isterinya.
"Saya sama sekali tak ada maksud menghina, hanya ingin menyarankan, agar sebaiknya kalian jangan pindah dari rumah orang tua".
"Apa hakmu mencampuri urusan kami?", Phe Cheng tambah dongkol.
"biar tahu dirilah kau, kau kan menumpang di sini!".
"Apakah Piao-tee tak mau memikirkan keadaan orang tua lagi?".
"Aku tak butuh nasehatmu!", hardik Phe Cheng.
"bila kau banyak mulut lagi, akan kuhajar kau!".
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya bermaksud baik, Piao-tee".
Phoa-si datang ketika mendengar suara ribut-ribut di situ.
"Nio, dia mulai berani menghina kami sekarang", Phe Cheng mengadu pada ibunya.
"Apa-apaan kau, Giok Bvve?", Phoa-si yang sayang anak, mulai menyalahkan Giok Bwe juga.
"Kiu-bo, saya...".
"Jangan banyak bicara kau atau akan kuusir kau nanti!", potong Phe Cheng sebelum Giok Bwe sempat melanjutkan ucapannya.
"Ayo lekas minta maaf pada anak dan menantuku!", perintah Phoa-si pada keponakannya.
"Lain kali saya tak berani lagi, Kiu-bo".
Biar sedih kare-na dituduh yang bukan-bukan, tapi Giok Bwe berusaha mengekang emosi.
"Jadi orang harus tahu kata sang Bibi lagi dengan nada menyalahkan.
"dia kan anak pejabat, sedangkan kau apa?".
"saya...".
"Ayo lekas minta maaf!", bentak Phoa-si.
"Bila sekiranya saya salah berkata tadi, sudilah Piao-so memaafkan saya".
"Huh, jangan dekat-dekat aku tulang miskin!", Tio-si berdiri membelakanginya sambil mengangkat muka.
"Jangan marah marah, bila dia berani kurang ajar lagi, akan kuajar adat padanya", Phoa-si berusaha meredakan kegusaran menantunya.
"Untuk selanjutnya dia tak usah menemui saya lagi, melihat tampangnya saja sudah muak saya", kata sang menantu.
Giok Bwe meninggalkan kamar Phe Cheng sambil ber- cucuran air mata.
"Tak seharusnya kau menyinggung perasaannya, Giok Bwe", Phoa-si mengikuti di belakangnya.
"Saya bermaksud baik bi, ingin menasehati mereka agar jangan pindah ke kota", ucap Giok Bwe dengan mata basah.
"Kau harus menyadari siapa dirimu", kata Phoa-si, -Kau adalah orang yang selalu membawa sial".
"Kiu-bo...", makin deras air mata yang membasahi wajah Giok Bwe.
"Itu kenyataan", kata Phoa-si lagi.
"buktinya, begitu kau dilahirkan, orang tuamu beruntun meninggal, maka hen-daknya kau tahu diri Seandainya tidak dicegah oleh pamanmu, sudah sejak lama kuusir kau".
Tiba-tiba Phe Hok menghampiri mereka seraya berkata.
"Kenapa kau maki Giok Bwe?".
"Dia...
telah membuat menantu kita mendongkol", Phoa-si menerangkan.
"Saya tak berani bicara yang bukan-bukan lagi, Kiu- hu", Giok Bwe berjanji pada pamannya.
"Sudahlah, aku tahu kau bermaksud baik", sang paman ternyata cukup bijaksana.
*** Beberapa hari kemudian Phe Hok telah menggadaikan sawah dan rumahnya, lalu menyerahkan seluruh uang yang di-perolehnya pada anak tunggalnya.
"Cheng-jie, setelah kau berhasil menduduki jabatan nanti, segeralah kau kirim kami uang, agar aku dapat membayar hu-tang", kata Phe Hok.
"mulai saat ini kami menggantungkan hidup padamu".
"Saya tahu Thia", berseri wajah Phe Cheng maupun isterinya.
"Lekaslah kalian mengemasi barang", kata Phe Hok.
"akan kuhubungi pemilik perahu untuk membawa kalian".
"Baik Thia", Phe Cheng menarik tangan isterinya untuk kembali ke kamar mereka.
Keesokan harinya Phe Cheng bersama isteri berangkat ke kota dengan naik perahu layar.
Phe Hok, Phoa-si dan Giok Bwe mengantar keberangkatan mereka.
"Semoga mereka berhasil meraih apa yang mereka cita-citakan", kata Phoa-si sambil memandang perahu yang ditum-pangi oleh anak dan menantu semakin jauh meninggalkan mereka.
"Mudah-mudahan begitu", sambut Phe Hok.
"marl kita pulang".
"Mari".
*** Telah dua tahun Phe Cheng meninggalkan kampung halaman, tapi tak pernah mengirirn kabar pada orang tuanya.
Di lain pihak , Phe Hok telah dikejar-kejar hutang, membuat tak tenang hidupnya.
"Sampai sekarang Cheng-jie masih belum memberi kabar, sedangkan rumah yang kita gadai ini hampir sampai batas waktunya dan kita tak memiliki uang untuk menebusnya".
"Lalu akan tinggal di mana kita nanti?", sang isteri ikut cemas juga.
"Kita harus cari rumah lain", sahut Phe Hok,"
"satu- satunya jalan yang dapat kita tempuh sekarang adalah "Tinggal di rumah gubuk?", Phoa-si membelalakIcan mata.
"Ya"
Phe Hok mengangguk.
"Tak sangka akan begini hari tua kita", sang isteri mengucurkan air mata.
Sejak saat itu Phoa-si sering duduk termenung, murung sikapnya.
"Jangan Kiu-bo selalu bermurung diri, tak baik bagi ke- sehatan", Giok Bwe membawa makanan untuk bibinya.
"mari makan Bi".
"Pergi sana! Jangan ganggu aku!", Phoa-si mengibaskan tangan kanannya, membentur nampan yang dibawa Giok Bwe hingga makanan tumpah.
"Kau benar-benar selalu membawa sial", Phoa-si menya-lahkan Giok Bwe.
"sejak kau menumpang di sini, selalu saja membawa sial bagi kami".
"Jangan marah Bi", Giok Bwe menyabarkan Kiu-bonya.
"Menyesal aku menerima orang sial sepertimu", Phoa-si terus memaki.
"mungkin pada titisan yang lalu kami pernah berhutang padamu, hingga sekarang kau muncul untuk men-celakai kami".
Giok Bwe hanya berdiam din sambil mengucurkan air mata.
"Sudah jangan ribut", tiba-tiba Phe Hok masuk ke situ.
"ayo lekas kemasi barang! Kita harus pindah!"
"Oh...
Kita pindah hari ini!?", Phoa-si terperanjat.
"Ya, hari ini telah sampai batas waktunya", Phe Hok menerangkan.
"kita harus segera pindah Tak sangka, gara-gara sayang anak dan menantu, di hari tuaku bisa terlibat hutang".
Tiba-tiba masuk seorang laki-laki setengah baya, begitu bertemu Phe Hok, langsung berkata.
"Bagaimana dengan hu-tangmu, Phe Hok?"
"Maaf Tio-heng, anakku sampai hari ini belum ada kabar beritanya".
"Rumah ini telah kau gadaikan pada orang lain?", tanya laki-laki yang dipanggil Tio-heng itu lagi.
"Tio-heng tak perlu cemas, saya akan melunasi hutang saya", kata Phe Hok.
"Tapi hari ini adalah batas waktunya".
"Tolong beri aku waktu setengah tahun".
"Bila saja aku tidak mengingat hubungan baik kita sebe-lumnya, kini tentu telah kulaporkan kau ke pihak yang ber-wajib".
Selesai berkata, laki-laki she Tio itu meninggalkan rumah Phe Hok.
Phe Hok dan isteri jadi lesu-muram.
Giok Bwe yang mengemasi segalanya.
Mereka meninggalkan rumah yang telah dihuni puluhan-tahun itu dengan mata berlinang.
Giok Bwe ikut sedih menyaksikan keadaan keluarga pa- mannya.
Mulai hari itu mereka terpaksa tinggal di rumah gubuk.
Waktu terus saja berlalu, tanpa terasa telah lewat pula setahun, namun sang anak belum juga ada kabar beritanya.
"Sebaiknya kita mencari di kota", Phoa-si mengusulkan pada suatu hari.
"Kurasa memang itulah jalan satu-satunya", sambut sang suami.
"kita jual semua barang yang masih ada nilainya untuk ongkos perjalanan".
"Baik", sang isteri langsung menyetujui.
"Lekas siapkan makanan kering, Giok Bwe", kata Phoa Hok pada keponakannya.
"Baik paman".
"Kau ingin mengajaknya?", tiba-tiba Phoa-si bertanya begitu.
"Dia sebatang kara, tak dapat kita tinggalkan begitu saja", sahut Phe Hok.
"Aku tak setuju", kata Phoa-si, tegas.
"Menantu kita tidak menyukainya".
"Sungguh keterlaluan kau", sang suami membela keponak-annya.
"bila tidak kita ajak, kepada siapa dia akan menggan-tungkan hidupnya!?".
"Aku tak peduli", ujar sang isteri.
"untuk mempertahankan hidup kita saja sudah sulit, apa lagi ditambah dengannya!".
Berderai air mata Giok Bwe ketika mendengar pertengkaran paman dan bibinya.
"Tak usah paman memikirkan keadaan saya", katanya lirih sedih.
"saya yakin dapat mencari tempat bernaung".
"Ingin ke mana kau, Giok Bwe?", sang paman menatap haru.
"Saya akan ke Vihara Lian Hua, menjadi pembantu di sana", Giok Bwe menerangkan.
"Kau harus pandai-pandai menjaga diri Giok Bwe", Phe Hok tak lagi dapat membendung air matanya saking terharu-nya.
"Saya sangat berhutang budi pada Paman dan Bibi, yang telah sudi merawat saya sekian tahun", Giok Bwe menyoja pamannya.
"saya doakan paman dan Bibi sehat selalu".
Giok Bwe mengantar keberangkatan paman dan bibinya, air mata kian membasahi pipinya.
Phe Hok dan isteri naik perahu menuju Kiang-neng.
Keesokan harinya mereka tiba di kota tersebut.
Phe Hok dan Phoa-si mendatangi kakak menantunya.
Tapi kakak Tio-si sedang pergi ke kota-raja.
Dari pembantu keluarga kakak Tio-si itu diketahui alamat anak dan menantunya.
Mereka segera mendatangi alamat tersebut.
"Di sini rumah Phe Cheng?", tanya Phe Hok pada pelayan yang kebetulan berada di muka pintu.
"Benar pak", sahut si pelayan.
"Kami adalah orang tuanya dari desa", Phe Hok mem- beritahu.
"Kiranya Loo Tay-ya dan Loo Hujin", hormat sekali sikap pelayan itu.
"mari silakan masuk".
Phe Hok dan Phoa-si ikut si pelayan ke dalam, teriihat anak dan menantunya sedang makan dengan lauk pauk yang cukup banyak.
"Mau apa kalian ke mari?", tanya Phe Cheng ketika melihat orang tuanya.
"Aku dan ibumu sengaja ke mari menjenguk kalian", sahut Phe Hok.
"kini aku sedang dikejar-kejar hutang, harus segera kulunasi hutang itu".
"Tak ada gunanya kalian menemuiku", Phe Cheng ber- diri membelakangi ayahnya.
"sebab sampai sekarang saya be-lurn berhasil 'membeli' pangkat".
"Kami tak lagi dapat hidup di desa, Cheng-jie", kata sang ibu.
"Ipar saya sedang berangkat ke kota-raja, akan mengu-sahakan 'membeli jabatan untuk saya", dingin sekali sikap Phe Cheng.
"Hari ini kami belum makan, Cheng-jie", ucap Phoa-si memelas.
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh", kata Phe Cheng.
"Setelah makan nanti barulah kita berbincang-bincang", sambung sang ayah.
"Siao Chu, ajak mereka makan di dapur", kata Phe Cheng pada pelayan yang menyilakan Phe Hok masuk tadi.
"Oh...", Phe Hok dan Phoa-si tak menyangka kalau anak-nya bisa bersikap begitu.
Siao Chu mengajak Phe Hok dan isteri ke dapur.
Hati kakek dan nenek itu bagaikan disayat-sayat mem- peroleh perlakuan seperti itu dari anak kandung mereka.
"Begitu sampai hati dia menyuruh kita makan di dapur", Phoa-si mengeluh.
"Sudahlah, marl kita makan", ajak Phe Hok.
Phoa-si tetap tak mau makan.
"Kenapa kau tak mau makan?", tanya Phe Hok.
"Tak tertelan", air mata mulai membasahi wajah Phoa- si duduk lemas di kursi.
"selama ini kita amat sayang, bahkan memanjakan anak dan menantu kita, tak sangka begini perla-kuan mereka terhadap kita...
Tambah sedih Phoa-si jadinya.
"Nyatanya Cheng-jie tidak berbakti terhadap orang tua...", kata Phe Hok seperti orang bergumam.
"Dia anak durhaka!", Phoa-si tak lagi dapat membendung emosinya.
"Kita harus sadar menghadapinya, mudah-mudahan nanti-nya mereka akan sadar dari kekeliruannya", Phe Hok coba menenangkan isterinya.
"manrikita makan, supaya tidak masuk angin".
"Ya, sebaiknya Loo Hujin makan", bujuk Siao Chu yang kasihan menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu.
Akhirnya mau juga Phoa-si makan, tapi tak banyak.
Seusai makan, mereka kembali ke ruang tamu.
Ternyata Phe Cheng telah punya anak laki-laki, yang di-rawat oleh inang pengasuh.
Girang benar hati kakek nenek itu ketika melihat cucu mereka, seketika hilang segala kesedihan sebelumnya.
"Oh...
aku telah punya cucu", Phoa-si berseru girang.
"mari kugendong cucuku!"
Namun langsung dihalangi oleh menantunya.
"Jangan mem buat kaget anakku!".
"Aku kan neneknya, kenapa aku tak boleh menggen- dongnya?", Phoa-si kecewa campur sedih.
Akan tetapi Tio-si, sang menantu, tak menghiraukannya, bahkan segera menyuruh si pengasuh membawa anaknya masuk ke kamar.
"Apa-apaan ini, Cheng-jie?", Phoa-si kurang senang.
"kenapa untuk menggendong cucu saja tak boleh?".
"Jangan Nio menyalahkannya", kata Phe Cheng.
"dia takut kalau anaknya kaget".
"Sikapmu benar-benar membuatku sedih", mulai berkaca-kaca mata Phoa-si.
"Terserah Nio mau sedih atau tidak, sama sekali tak ada hubungannya denganku", ucap Phe Cheng ketus.
"sebaiknya Nio dan Thia kembali saja ke kampung".
"Kau mengusir kami?", mulai deras air mata membasahi wajah Phoa-si.
"Kalian lebih cocok hidup di desa dari pada di kota", kata Phe Cheng.
"Kami tak bisa lagi hidup di desa, selalu di kejar-kejar hutang", sang ayah yang bicara sekarang.
"Lalu apa maksud Thia?".
"Harus kau ketahui, bahwa kami tak memiliki apa-apa lagi", Phe Hok menerangkan.
"lekas kau kembalikan uang yang sedianya untuk 'membeli' pangkat itu!".
"Baiklah hal itu kita bicarakan setelah saya jadi pejabat! ".
"Kau tak mau menghiraukan keadaan orang tua lagi!?", Phoa-si tak dapat lagi mengendalikan emosi.
"Saya bukannya tak mau tahu keadaan Thia dan Nio, tapi hendaknya kalian jangan tinggal di sini".
"Kau...", saking marah campur sedih, Phoa-si tak dapat meneruskan ucapannya.
"Oh...
Anak durhaka!",umpat Phe Hok.
"kami akan segera pergi dan sini setelah kau mengembalikan uang itu".
"Saya tak dapat mengembalikan uang itu", Phe Cheng berdiri membelakangi ayahnya.
"Sungguh kejam kau! Orang tua sendiri tak kau hirau- kan lagi", ucap Phoa-si dengan diselingi isak-tangisnya.
Phe Cheng memalingkan muka ke lain arah.
"Sudah, mari kita pulang", Phe Hok menarik tangan is-terinya.
"Bagaimana dengan hidup kita selanjutnya?", tanya Phoa-si sambil mengikuti suaminya.
"Kita lihat nanti saja".
"Lebih balk aku mati saja", ucap Phoa-si.
"Buanglah maksudmu itu!".
"Anak durhaka itu sangat melukai perasaanku", air mata Phoa-si lagi-lagi membasahi wajahnya.
"Sudah, jangan terlalu pikirkan itu", Phe Hok terus be- rusaha menenteramkan perasaan isterinya.
Mereka kembali ke Phe Khe-chung dengan naik perahu.
Orang-orang kampung yang melihat pasangan kakek- ne-nek pulang dengan sikap lesu-sedih, langsung saja menduga kalau mereka telah diperlakukan tidak semestinya oleh Phe Cheng.
Phoa-si yang mendapat shock, ditambah dengan melakukan perjalanan yang meletihkan, begitu tiba di rumah, langsung saja jatuh sakit.
"Dia adalah anak kita satu-satunya", air mata mengalir membasahi wajah Phoa-si.
Phe Hok tak berkata lagi, menghela nafas.
Keadaan mereka sungguh amat menyedihkan.
Giok Bwe yang mendengar paman dan bibinya telah kembali, segera datang menjenguk mereka sambil membawa makan-an.
Ketika melihat bibinya sakit, dia lantas berkata.
"Akan saya panggilkan tabib, Kiu-bo!".
"Tak usah", tolak sang Bibi.
"aku sungguh malu atas sikapku tempo hari terhadapmu, Giok Bwe"
"Janganlah Kiu-bo berkata begitu", ucap Giok Bwe haru.
Giok Bwe tinggal bersama paman dan bibinya, melayani mereka baik sekali.
Tekun sekali ia menenun, untuk dapat membiayai ongkos hidup mereka bertiga.
Nasib Phe Hok bagaikan orang yang sudah jatuh ditimpa tangga lagi.
Belum lagi isterinya sembuh, telah datang orang she Tio yang menagih hutang.
"Sudah kembali Phe Hok!?", sapa laki-laki setengah baya itu begitu muncul.
"Tio-heng...", sambut Phe Hok.
"anakku belum berhasil memperoleh jabatan, tolonglah memberi saya kelonggaran waktu".
"Apa?", mulai tak sedap dipandang wajah orang yang dipanggil Tio-heng.
"Sudilah Tio-heng (saudara Tio) bersabar beberapa waktu lagi, biar bagaimana akan kuusahakan untuk melunasinya".
"Baiklah...
kuberi kau waktu tiga bulan lagi", ucap si penagih hutang.
"tapi bila sampai waktu itu tak juga kau lunasi hutangmu, jangan salahkan aku bersikap kejam".
"Aku tahu".
Sang penagih berlalu.
"Terima kasih Tio-heng", Phe Hok mengantarkannya sampai ke muka pintu.
Ketika Phe Hok masuk ke kamar sambil membawa semangkok wedang jahe, Phoa-si bertanya.
"Siapa yang datang?".
"Teman", sahut Phe Hok.
"Bukannya Tio In yang ingin menagih hutang?".
"Bukan", Phe Hok memaksakan diri mengembangkan senyum.
"Jangan bohong!", desak sang isteri.
"Sudahlah, tak usah kau pusingkan soal lain, yang penting jaga kesehatanmu", Phe Hok mengangsurkan mangkok wedang.
"Mari diminum wedang jahenya".
"Aku...
tak mau minum", lirih suara Phoa-si dengan di- sel ingi isak-tangisnya.
"Jangan kau menangis", Phe Hok menenangkan perasaan isterinya.
"Bagaimana aku tidak sedih, hatiku benar-benar terluka".
"Buat apa kau memikirkan soal itu lagi!?".
Phoa-si tetap tak sudi berobat, tak lama dia pun meninggal.
Giok Bwe menangis sedih benar.
"Jangan kau bersedih Giok Bwe", hibur sang paman.
"kau telah cukup baik merawat Bibimu".
"Tapi bagaimana kita mengurus pemakamannya, Kiu- hu?", air mata Giok Bwe terus mengalir deras sekali.
Sang paman menghela nafas, selang sesaat baru berkata.
"Akan kuminta bantuan pada famili".
"Jangan lama-lama, Kiu-hu!".
"Di dalam kehidupan yang keras kejam ini, rasanya sulit bagi kita untuk memperoleh bantuan", kata Phe Hok sambil melangkah keluar.
Giok Bwe hanya menghela nafas.
Sehari penuh Phe Hok mencari bantuan, tapi dia terpaksa harus kembali dengan tangan kosong.
"Bagaimana Kiu-hu?", tanya Giok Bwe.
"Gagal", Phe Hok menggeleng lemah.
"tak ada yang ber-sedia membantu".
Dia duduk lesu di sudut ruang.
Giok Bwe hanya dapat mengucurkan air mata.
Sesaat Giok Bwe memutuskan untuk menggunting rambut-nya yang panjang, bermaksud menjualnya kepada orang yang bermurah hati, untuk dapat memperoleh biaya pemakaman jenazah Bibinya.
"Kenapa kau gunting rambutmu?", sang paman kaget ketika melihat Giok Bwe menggunting rambutnya.
"Saya ingin menjual rambut saya untuk memperoleh biaya pemakaman jenazah Bibi", kata Giok Bwe.
"akan saya cari orang yang bersedia membantu saya!".
Giok Bwe membawa guntingan rambutnya, menawarkan nya dari rumah ke rumah.
Masih untung baginya, ada yang bersedia membeli rambutnya.
Dengan demikian dapatlah mereka membeli peti dan memakamkan jenazah Phoa-si.
Upacara penguburan berlangsung sangat sederhana...
Beberapa hari kemudian, Phe Hok berkata pada Giok Bwe.
"Paman ingin ke Kiang-neng untuk meminta kembali uangku dan Cheng-jie!".
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak ada gunanya Kiu-hu ke sana, dia toh takkan menga-cuhkan paman".
"Aku memang tidak mengharapkan pengakuan dari si anak durhaka, yang penting ingin meminta kembali uangku, agar dapat membaryar hutang".
"Bila demikian saya ikut paman".
"Baiklah".
Giok Bwe lalu menemani pamannya berangkat ke kota Kiang-neng dengan berjalan kaki.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di rumah Phe Cheng.
"Saya tidak ikut masuk, paman", tiba-tiba Giok Bwe berkata begitu.
"Kenapa memang?", tanya Phe Hok.
"Saya akan menginap di Kuil atau Vihara", Giok Bwe menjelaskan.
"besok saya akan menemui paman di sini".
"Baiklah", kata Phe Hok.
"besok kau tunggu aku di muka pintu".
Maka Phe Hok masuk seorang diri ke rumah anaknya.
Phe Cheng sama sekali tak sedih mendengar ibunya me-ninggal, malah dia tak senang akan kehadiran sang ayah.
"Benar-benar anak durhaka kau! Sama sekali tak sedih mendengar kematian ibu", sang ayah amat berang.
"Setiap orang yang telah tua pasti akan mati, maka tak ada gunanya disedihkan", sahut Phe Cheng, kemudian balik bertanya.
"Apa maksud ayah datang lagi ke mari?".
"
Aku ingin meminta kembali uangku", Phe Hok berterus terang.
"sebab aku dikejar-kejar hutang".
"Saya tak dapat mengembalikan uang ayah, sebab begitu ada kepastian, harus segera saya kirim uang itu ke kota-raja", ujar sang anak.
"tunggulah sampai saya memperoleh jabatan, baru melunasi hutang ayah".
"Aku tak mau kembali ke kampung sebelum memperoleh uang itu", Phe Hok semakin geram.
"Tapi saya keberatan bila Thia tinggal di sini", angkuh sekali sikap Phe Cheng.
"pergilah makan di dapur dan ayah boleh menginap semalam di sini, setelah itu pulang ke kam-pung!".
Selesai berkata, Phe Cheng tidak menghiraukan ayahnya lagi, masuk ke ruang dalam.
Phe Hok terpaksa makan di dapur dengan bersimbah air mata.
Namun ditekan perasaannya untuk mengisi perutnya yang kosong.
Phe Hok ditempatkan di kamar pembantu.
Sampai jauh malam dia belum juga dapat tidur.
"Malang nian nasibku", Phe Hok mengeluh.
Tiba-tiba dia mendapat ide.
"Kemungkinan besar uang itu disimpan di kamarnya, sebaiknya kucuri saja!".
Setelah bulat tekadnya, diam-diam dia masuk ke dalam kamar anaknya, menghampiri koper yang terletak di sisi pembaringan.
"Dia pasti menyimpannya di sini", kata hatinya.
Namun sebelum dia sempat membuka koper itu, Phe Cheng telah terjaga dari tidurnya, mengira ada penjahat yang ingin mencuri harta bendanya, langsung saja memukul kepala 'pencuri' itu dengan pentungan kayu, keras sekali.
"Mampus kau!", hardiknya.
"Aduh!", jerit Phe Hok, disusul dengan jatuh tubuhnya, tak berkutik lagi.
Siao Chu, pelayan Phe Cheng, ketika mendengar suara ribut-ribut di kamar majikannya, langsung masuk sambil membawa lilin, baru pada saat its Phe Cheng melihat jelas siapa yang telah dipentungnya, membuatnya jadi sangat terperanjat.
Apa pula setelah tahu ayahnya meninggal, membuatnya agak panik.
Peristiwa itu dituturkan pada isterinya.
"Aku telah membunuh Thia".
"Salahnya sendiri ingin mencuri harta kita", kata sang isteri, tenang sekali sikapnya.
"lekaslah kau suruh membeli peti, kita makamkan jenazahnya besok".
"Baik Nio-cu...", Phe Cheng patuh.
Keesokan harinya, Giok Bwe telah menanti di muka rumah Phe Cheng, bermaksud menjemput pamannya, terlihat olehnya seorang pelayan bergegas keluar dari rumah itu.
Ketika dia bertanya pada si pelayan, ternyata Siao Chu, baru diketahui, bahwa pamannya telah mati dianiaya oleh anaknya sendiri.
Tanpa terasa Giok Bwe menangis sedih benar.
"Sungguh malang nasib pamanku".
"Mereka mengira Loo Tay-ya maling.', Siao Chu me- nerangkan.
"Akan kutuntut anak durhaka ini!", Giok Bwe menerobos masuk.
Ketika melihat Giok Bwe masuk, Phe Cheng dan isteri-nya pada berteriak kaget, sadar kalau persoalan itu tak dapat ditutupi lagi.
"Akan ku tuntut kau anak durhaka!"
Giok Bwe tak dapat lagi membendung amarahnya ketika melihat jenazah pamannya yang tergeletak di lantai, langsung menuding Phe Cheng.
"Kau benar-benar manusia berhati binatang, setelah menguasai harta benda orang tua, telah pula kau bunuh mereka, akan ku gugat kau.!".
Giok Bwe lari keluar, melaporkan hal itu pada wedana.
Tapi sang wedana ternyata sahabat karib Phe Cheng, membuatnya membebaskan Phe Cheng dari segala gugatan.
Ketika Phe Cheng dan istrinya keluar dari kantor wedana, terdengar bunyi yang memekakkan telinga, menyusul tubuh suami istri yang keji itu jatuh terguling disambar geledek.
Mati seketika.
Sekalipun hukum dunia dapat membebaskan mereka, tapi hukum Thian tak mungkin mengampuni anak durhaka.
CHI KUNG MENOLONG ANAK BERBAKTI Pao Hian Hay merupakan pemuda terpelajar, mendalami ilmu pengobatan.
Dia amat berbakti pada ibunya yang telah lanjut usia.
Hari itu Pao-bo, sang ibu, tampak gelisah.
"Apa yang menyebabkan ibu gelisah?", tanya Hian Hay ketika melihat sikap ibunya.
"Nio ingin makan buah Lai", sahut sang ibu.
"Nanti saya belikan", kata Hian Hay segera.
"Tapi untuk membeli buah itu harus ke kota Hong-lim, jauh dari sini", ucap Pao-bo.
"Tak jadi soal Nio, saya segera ke sana".
"Hati-hati kau di jalan, cepatlah kembali", pesan nyonya Pao.
"Saya pergi dulu Nio", Hian Hay pamit.
Maka berangkatlah Hian Hay ke kota Hong-lim.
Bertepatan dengan itu, di angkasa tengah melayang- layang siluman Kelabang, yang sempat melihat Hian Hay dan timbul hasrat untuk memangsanya.
"Kalau saja aku memangsa anak berbakti ini, kesaktian-ku akan bertambah berlipat ganda", kata hati sang siluman.
Yao-koay (Siluman) itu segera merobah bentuknya men-jadi seorang gadis cantik.
Pao Hian Hay tak menyadari kalau dirinya sedang diintai bahaya.
Selang sesaat, dia melihat seorang gadis yang sedang menangis di tepi jalan.
Hian Hay kasihan menyaksikan keadaan gadis itu, meng-hampirinya seraya bertanya.
"Apa yang membuat nona sese-dih ini?".
"Ibu saya sakit parah", sahut si gadis dengan diselingi sedu-sedannya.
"Sebaiknya nona segera memanggil tabib!", Hian Hay menyarankan.
"Saya tak punya uang", si gadis menerangkan.
"Saya mempelajari ilmu pengobatan, ajaklah saya ke rumahmu, mungkin dapat saya bantu...".
"Terima kasih Kongcu", gadis itu menyoja Hian Hay.
"rumah saya tak jauh dari sini Mari Kongcu!".
Hian Hay mengikuti.
Tak berselang lama, tibalah mereka di muka rumah reot rumah saya", gadis itu menyilakan Hian Hay masuk.
"Di mana ibu nona?", tanya Hian Hay setelah berads di dalam rumah.
"Ada di kamar, silakan Kongcu masuk", gadis itu menuding sebuah bilik.
Pao Hian Hay masuk ke bilik tersebut.
Namun kenyataannya hanya terdapat sebuah dipan di situ, sama sekali tak tampak ibu si gadis.
Mendadak bilik itu telah berobah menjadi ruang batu, tak ada jendela, hanya terdapat beberapa lobang angin di atasnya.
Hian Hay amat terkejut atas perobahan yang mendadak tersebut.
"Aneh, kenapa mendadak berobah?", gumam Hian Hay, segera memanggil-manggil si gadis.
"Nona, lepaskan saya".
"Ha, ha", tiba-tiba gadis itu muncul di hadapan Hian Hay, dalam sekejap dirinya telah berobah kembali ke bentuk laki-laki tinggi besar.
"Tenang Pao Siucay", kata siluman itu.
"aku baru akan memangsamu lusa, bertepatan dengan hari ulang tahunku".
"Ingin memangsaku?", Hian Hay kaget campur takut.
"Ha, ha, ha...
", siluman itu lenyap dari hadapan si pemuda.
Pao-bo amat cemas ketika sampai larut malam anaknya belum juga kembali.
Dia mulai mencari anaknya sambil memanggil-manggil namanya.
Biarpun telah cukup jauh Pao-bo berjalan, tapi tak juga berhasil menemukan anaknya, yang membuatnya jadi sangat sedih.
Selang sesaat tibalah dia di tepi laut.
Pao-bo berdiri di atas batu karang, mengawasi sekitarnya, gelap pekat.
"Tanpa Hay-jie, lebih baik aku mati saja", kata hati Pao- bo.
Dia menceburkan diri ke laut dan tubuhnya langsung tenggelam...
Kala itu Chi Kung yang sedang berkelana, lewat di dekat tempat itu, mendadak merasa tak enak perasaannya.
Dia lan-tas menggunakan kesaktiannya, untuk mengetahui apa sebe-narnya yang terjadi!? "Kiranya ada nenek yang menceburkan diri ke laut", gumamnya kemudian.
"dia seorang nenek yang baik hati dan taat menjalankan ibadah, harus kutolong dia!".
Chi Kung segera berlari-lari ke muka, begitu tiba di tepi pantai, langsung mengembangkan kesaktiannya.
Tiba-tiba terlihat tubuh Pao-bo terangkat dari dalam laut, lalu melayang ke angkasa dan terus melayang masuk ke dalam rumahnya, jatuh perlahan-lahan di atas pembaringannya.
Tak lama, Pao-bo siuman dari pingsannya.
"Oh, kenapa aku tidak mati dan bisa berada di rumah kembali!?", gumamnya.
Mendadak Chi Kung muncul di hadapannya.
"Siapa kau?", tanya si nenek.
"Saya Chi Kung!".
Sebelumnya nenek itu memang pernah mendengar nama Chi Kung, girang hatinya dapat bertemu sang Hok Hud (Buddha Hidup).
"Dapatkah Hok Hud memberitahukan di mana anak saya?", tanyanya.
"Anakmu ditangkap siluman!".
"Tolonglah anak saya Hok Hud...", Pao-bo memohon.
"Baik, akan kutolong dia lusa", Chi Kung menyanggupi, lalu pamit...
*** Lesu sedih sikap Pao Hian Hay yang dikurung di ruang batu.
Entah telah berselang berapa lama, sampai tiba-tiba dia mendengar suara seseorang "Kenapa sedih nak?".
"Siapa kau?", tanya Hian Hay seraya berpaling ke asal suara, tak terlihat siapa pun di situ.
"Aku...", kembali terdengar suara itu.
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hian Hay keheranan mendengar suara tanpa wujud.
Tak lama Chi Kung memperlihatkan dirinya.
"Siapa kau? Orang atau siluman?", Hian Hay membelalakkan matanya.
"Aku adalah Padri pengelana", Chi Kung nyengir menyaksikan keadaan si pemuda.
"Bila kau ingin minta derma, mintalah di tempat lain", kata Hian Hay.
"Kedatanganku bukan ingin minta derma, tapi untuk menolongmu", Chi Kung menerangkan.
"Tolonglah saya Taysu", Hian Hay menyoja.
"Sekarang belum waktunya", kata Chi Kung.
"akan ku- bebaskan kau besok".
Selesai berkata, Chi Kung sirna dari pandangan Hian Hay.
"Rupanya belum waktunya aku mati", agak terhibur juga hati Hian Hay mendengar janji Chi Kung.
Keesokan harinya, sang siluman membuka pintu kamar tahanan.
"Lekas keluar Pao Hian Hay!".
Hian Hay menggunakan kesempatan itu untuk kabur.
"Jangan harap kau bisa kabur!", siluman itu menuding Hian Hay.
Dan ujung jari telunjuknya memancarkan sinar, yang me-lilit tubuh Hian Hay, hingga tak dapat bergerak.
"Tolonglah lepaskan saya!", Hian Hay memohon.
"Tidak bisa! Aku ingin memangsamu untuk lebih me- ningkatkan kesaktianku", sang Yao-koay mengeluarkan pisau, bermaksud menusuk dada pemuda itu.
"Tunggu!", tiba-tiba Chi Kung muncul di hadapan mereka.
"Apa maksudmu?", tanya sang siluman.
"Bebaskan dia! Dengan begitu akan mengurangi dosamu!"
Kata Chi Kung.
"Enak benar bicaramu", kata sang Yao-koay dengan sikap menantang.
"sebaiknya jangan kau campuri urusanku!".
'Tidak bisa! Aku takkan membiarkan seorang anak yang berbakti dimangsa oleh siluman sepertimu!".
"Kau kira aku takut!?", sang siluman menuding Chi Kung.
"lihat kesaktianku!".
Dan ujung telunjuknya mengeluarkan sinar, disusul dengan munculnya Toa Kim-chi (Keping emas besar), yang menyerang diri si Padri sakti.
Chi Kung segera mengebut Toa Kim-chi dengan kipas bututnya seraya berseru.
"Hancur!".
Seketika keping emas itu hancur lebur.
Narnun Yao-koay itu ternyata cukup sakti, segera mele-paskan untaian tasbih.
Benda itu meluncur ke diri Chi Kung seraya memancarkan sinar yang cukup menyilaukan.
"Oh!", Chi Kung berseru kaget.
"Ha, ha, ha...", sang siluman tertawa besar.
Chi Kung seakan tak dapat melawan kesaktian lawannya.
Dalam keadaan kritis, tiba-tiba di depan Chi Kung muncul Kim Sin Ciang Liong Loohan (Arhad penalcluk naga yang ber-tubilli emas), yang melawan kesaktian siluman tersebut.
Dari tubuh Loohan itu memancarkan sinar keemasan, yang menghancurkan untaian tasbih.
Bersamaan lenyap pula tubuh Loohan tersebut.
"Ha, ha...
mana lagi kesaktianmu?", Chi Kung yang tertawa sekarang.
Sang siluman berusaha melarikan diri dengan merobah bentuk dirinya jadi kupu-kupu.
"Jangan harap kau dapat kabur!", Chi Kung menimpukkan topinya.
Sang Yao-koay berusaha mempercepat larinya.
Namun topi Chi Kung terus mengejarnya dengan me-mancarkan sinar keemasan.
Tak lama kemudian sinar itu telah berhasil mengurung diri sang siluman dan Yao-koay itu pun kembali ke bentuk aslinya.
Seekor Kelabang! Setelah berhasil membasmi siluman Kelabang, topi Chi Kung kembali ke pemiliknya.
Chi Kung menghampiri Hian Hay.
"Bila saja kau bukan anak yang berbakti terhadap orang tua, takkan sudi aku menolongmu".
"Terima kasih Taysu", Hian Hay menyoja Chi Kung.
Chi Kung mengantar Hian Hay pulang.
Girang benar hati Pao-bo melihat anaknya kembali.
"Terima kasih atas pertolongan Hok Hud".
"Sudah menjadi kewajiban umat Buddha untuk saling bantu".
Chi Kung berpamitan, melanjutkan misinya menolong orang yang sedang mengalami kesulitan.
*** ASAL SINCI (PAPAN ROH) Pada zaman dahulu kala hidup seorang pemuda yang meng-gantungkan hidupnya dengan mencari kayu bakar di hutan, biasanya dia baru kembali setelah gelap cuaca dengan membawa kayu yang cukup banyak, untuk dijual kepada langganannya.
Amat letih tubuhnya setiap kali menyelesaikan pekerjaannya, membuatnya cepat tidur, agar segar kembali tubuhnya da-lam melakukan pekerjaan pada keesokan harinya.
Biasanya ibunya sendiri yang pergi mengantarkan makan-annya untuk tengah hari, walau sesungguhnya tempat ia menebang kayu itu cukup jauh, namun dengan senang hati sang ibu melaksanakannya juga.
Di sanalah mereka duduk dan makan bersama-sama dan sang ibu menggunakan kesempatan tersebut untuk berbincang- bincang dengan anaknya.
Pada suatu hari, ketika ibunya pergi mengantarkan makanan seperti biasa, tiba-tiba melompat seekor harimau dan dalam semak belukar, bermaksud menerkamnya.
la amat terperanjat, cepat-cepat lari.
Harimau itu terus mengejarnya, tampaknya tak lama lagi akan berhasil mengejar wanita setengah baya itu.
Si pemuda sempat melihat kejadian itu, secepat kilat dia memburu harimau untuk menyelamatkan nyawa ibunya.
Dalam sekejap dia telah berhasil menyusul binatang buas itu, lantas mengayunkan kapaknya dan seketika robohlah harimau tersebut.
Sang ibu yang tak berani menengok ke belakang, sama se-kali tak tahu kalau harimau itu telah berhasil dibunuh oleh anaknya, terus kabur...
Dia sama sekali tak mendengar panggilan sang anak, yang memberitahukannya bahwa dirinya telah berhasil membunuh macan itu.
Sang ibu masih terus berlari, makin cepat malah.
Maka biarpun si anak berusaha mengejar-nya dan betapapun cepat larinya, tetap tak berhasil mengejar ibunya.
Wanita setengah baya itu terus saja berlari, akhirnya jatuh ke sungai dan tenggelam.
Sang anak tak kuasa untuk menolongnya, hanya duduk sedih di tepi sungai, mengharap jenazah ibunya akan timbul ke permukaan air.
Biarpun pemuda itu telah menanti cukup lama, tapi sia-sia belaka.
Akhirnya si pemuda memohon pada Touw Tee Kong, Dewa penguasa bumi, untuk menolong memulangkan ibunya, supaya dapat dikebumikan secara layak.
Tiba-tiba terlihat sebilah papan yang tak seberapa lebarnya hanyut terbawa air.
Dalam sedihnya, si pemuda mengira ibunya telah berobah menjadi papan.
Diambilnya papan itu, membawanya pulang dan meletakkannya di atas meja, seolah-olah ibunya masih hidup.
Pagi hari, sebelum dia berangkat mencari kayu, disajikan-nya makanan di muka papan di atas meja itu.
Ia menyoja, ber-sujud dan menyilakan ibunya makan.
Hal serupa dilakukannya juga pada malam harinya, sepulangnya mencari kayu.
Demikian dilakukannya, sampai bertahun-tahun lamanya.
Beberapa waktu kemudian, pemuda itu berumah tangga.
Sedang usahanya bukannya meningkat, malah berkurang hasilnya, hingga dia memutuskan untuk merantau ke negeri orang.
Diberinya isterinya uang belanja serta uang pemeliharaan 'ibu-nya' sepeninggalnya untuk beberapa waktu dan dia pun berangkatlah.
Dia berjanji akan berusaha mengumpulkan uang seba- nyaknya di rantau dan akan pulang secepatnya.
Isterinya adalah wanita yang patuh, memelihara papan itu baik- baik.
Tiap pagi dan malam meletakkan mangkok nasi dan cawan teh di muka papan di atas meja itu.
Beberapa bulan telah berlalu, tapi suaminya belum juga kembali.
Uang yang diberikan suaminya hampir habis.
Untuk mempertahankan hidupnya, ia harus bekerja keras, namun begitu, tidak juga dapat mencukupi hidupnya.
Pada suatu ketika dia jatuh sakit.
Semua barang miliknya habis dijualnya.
Dia tak dapat lagi memelihara papan itu.
Apa dayanya kini? Sebelumnya ia telah berjanji pada suaminya untuk tidak menyia-nyiakan papan itu, tapi apa hendak dikata, suami be-lum juga kembali dan dirinya terserang penyakit! Alangkah sedihnya hati wanita itu, kemudian timbul amarahnya, berseru.
"Suami saya sinting! Bagaimana orang dapat menyembah papan biasa dan memberinya sajian? Bila benar papan ini berisi roh ibunya, tentu roh itu takkan membuat anak menantunya sengsara --- Akan saya tusuk papan ini dengan peniti, ingin saya lihat bagaimana akibatnya!?".
Lalu ditusuknya papan itu! Apa yang terjadi? Keluar setitik darah dan papan itu, benar-benar darah segar! Seketika , gemetarlah tubuh wanita itu, bagaimana kalau suaminya tahu hal ini? Cepat-cepat disembunyikan papan itu, tak berani memandangnya lagi! Sementara itu, sang suami telah cukup berhasil dalam usaha di rantau orang.
Pada suatu malam, yaitu setelah isterinya menusuk papan dengan peniti, dia telah bermimpi ibunya datang, menceritakan padanya dengan suara sedih, bahwa betapa sulitnya kehidupan isterinya.
"Cepatlah kembali anakku, pulanglah! ", kata sang ibu.
"is-terimu dalam kesulitan, lekas kau tolong dia!".
Sang anak patuh, keesokan harinya segera pulang ke kam-pung halaman.
Setiba di rumah, tak terlihat isteri maupun 'papan roh'.
Dia mencarinya kian ke mari, akhirnya berhasil menemukan papan itu di belakang tumpukan kayu yang telah lapuk.
Terlihat pula olehnya setitik darah yang telah beku.
Dia langsung tahu apa yang telah terjadi, yang membuatnya jadi sangat haru, tak sepatah kata pun yang dapat diucapkannya.
Dia hanya menulis nama ibunya dan namanya sendiri di papan itu, sebagai pemberitahuan pada ibunya kalau dirinya telah kembali.
Setelah isterinya pulang, segeralah mereka pindah ke kota, tempatnya berusaha selama ini.
Dia berhasil memperoleh un-tung besar.
'Papan roh' itu memperoleh tempat yang istimewa di rumahnya.
Setelah dia meninggal, papan itu tetap dipuja oleh isteri maupun anak-anaknya.
Untuk sang suami dibuatkan papan yang serupa dengan 'papan roh' ibunya.
Namanya, tanggal lahirnya dan hari meninggalnya dituliskan pada papan tersebut.
Dibuatkan juga sebuah titik merah seperti papan yang lama dan huruf 'Roh' ditulis di atasnya.
Demikianlah asal muasal Setelah sang isteri meninggal, anak-anaknya pun membuat demikian untuk ibunya.
Keadaan itu menjadi tradisi dari abad ke abad sampai masa kini, yaitu 'Menghormati dan memuja leluhur'.
*** HIKAYAT GIOK HONG SIANG TEE (ASAL MUASAL PERAYAAN TAHUN BARU IMLEK) Pada zaman purbakala ada sebuah kerajaan yang disebut orang kerajaan 'Cahaya dan Gembira yang abadi', sebab rakyat dari kerajaan itu selalu hidup bahagia; apa saja yang dikehendaki orang, tersedia seluruhnya.
Banyak yang mengira, perasaan Kaisar dan Permaisurinya demikian juga.
Namun kenyataannya malah sebaliknya, sering mereka merasa sedih karena belum juga dikaruniai anak.
Mereka takut takkan ada yang menggantikan Tahta kerajaan setelah me-reka mangkat nanti.
Itu sebabnya mereka ingin sekali mempu- nyai putera dan berdoa setiap malam, agar dianugrahi seorang putera.
Bertahun-tahun lamanya mereka berdoa.
Suatu ketika, pada hari ke sembilan bulan pertama, permohonan mereka terka-bul, sang Permaisuri melahirkan seorang putera.
Kaisar dan Permaisuri amatlah bersuka cita, demikian pula rakyatnya.
Ketampanan putera mahkota itu tiada tolok bandingannya, sehingga orang seperti melihat matahari bila memandangnya.
Kian hari dan tumbuhlah putera mahkota itu, setelah dewasa, dia diserahi tugas untuk mengurus kekayaan kerajaan.
Putera mahkota ini seorang yang murah hati, sering meng-hadiahkan sejumlah uang pada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Beberapa tahun kemudian, dia pun menggantikan kedu-dukan ayahnya sebagai Kaisar dari kerajaan 'Cahaya dan Gembi-ra yang abadi'.
Setelah naik Tahta, dia pun menyadari kalau hidup manusia ini tak ada yang kekal.
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia menyayangkan akan adanya penyakit dan maut.
Maka kemudian pergilah dia ke pegunungan yang sepi dan hidup sebagai seorang pertapa di sana, ia ingin meresapi bagaimana rasanya orang yang hidup menderita.
Setelah berhasil mencapai kesempurnaan hidup, dia kembali ke masyarakat untuk mengajar dan menolong manusia; mengobati orang sakit, menghibur orang yang sedang meng-alami kesulitan dan banyak hal yang baik dan luar biasa dilakukannya.
Ketika ia mangkat dan rohnya naik ke Langit, semua rakyat berkabung dan Alam pun seakan ikut berduka pula, daun-daun dan bunga layu dan gugur, bumi menjadi basah dan dingin.
Awan muram menghitam di langit, meratap sebagai manusia di bumi.
Binatang-binatang gelisah, takut, bersembunyi di gunung- gunung dan hutan belantara.
Menyaksikan segalanya itu Kaisar jadi sangat terharu dan merasa berkewajiban untuk kembali ke dunia lagi! Semua diperbaruinya, apa yang sudah kering dan mati di- hidupkannya kembali.
Tiap orang berbesar hati.
Dibersihkan-nya rumahnya dan dipakainya busana baru.
Di mana-mana orang memasang api tanda bersuka-cita.
Lampu-lampu di jalan terang benderang dan semua penduduk saling memberi hormat.
Berhari-hari mereka berpesta.
Begitulah lahirnya 'Perayaan Tahun Baru Imlek'.
Tetapi karena Raja bukan bangsa penduduk bumi ini lagi, harus kembali ke tempatnya di Langit.
Namun setiap tahun ia akan turun untuk membawa dan memberikan kebahagiaan bagi manusia.
Beribu-ribu tahun ia mengulangi perjalanannya ke bumi.
Lama-lama orang tidak mengerti lagi akan maksudnya.
Manusia lebih suka mengikuti kehendaknya sendiri.
Mereka menjadi loba-tamak dan makin banyak kejahatan yang dila-kukan.
Ketika Kaisar penghabisan kali turun ke bumi, ia ditangkap dan disiksa orang.
Setelah peristiwa itu, ia melepaskan diri dari segala-galanya yang berbau keduniawian dan semenjak itu tak pernah kembali lagi.
Di belakang hari barn disadari oleh manusia, bahwa mereka telah menganiaya Rajanya, namun sudah terlambat! Kaisar itu dinamai orang 'Giok Hong Siang Tee' atau lazim pula disebut 'Giok Tee' ( Kaisar Pualam atau sering juga dinama-kan Maharaja Dewata.
Ia dipandang orang sebagai yang Ter-tinggi dari segala yang ada di bumi, memiliki kekuasaan yang tak terbatas.
Orang-orang memperingatinya pada Cia-gwe Ce-kauw (tanggal 9 bulan pertama menurut penanggalan Tionghoa).
Angka 9 dan 1 dipandang sebagai angka-angka gaib.
9 ialah bilangan yang tertinggi dan 1 yang terendah dalam bilangan tung-gal! Orang yang akan memperingati she-jit (hari lahirnya) harus mengadakan persiapan berhari-hari sebelumnya.
Mereka tidak boleh berpikiran jahat dan dilarang menge-luarkan kata-kata yang jorok, tidak senonoh.
Sehari sebelum pesta, rumah harus dibersihkan benar- benar.
Semuanya harus sebagus-bagus-nya.
Pada malam hari tanggal delapan, meja tempat sajian untuk menghormati 'Giok Hong Siang Tee' ditempatkan di muka rumah di tempat yang tinggi, agar dapat dilihat oleh Kaisar dari Langit.
Sajian itu berupa buah-buahan, lilin, manisan-manisan dan hio (dupa linting).
Bunga-bunga dan buah-buahan merupakan lambang musim bunga.
Dibakar juga orang kayu yang harum baunya (kayu gaharu).
Tengah malam jam duabelas tepat, berlututlah yang tertua di rumah itu sebanyak duabelas kali dan berdoa kepada yang Maha Tinggi (Sembahyang Tuhan Allah).
Ia mengucapkan terima kasih kepada Nya atas rahmat Tuhan yang didapat seisi rumahnya pada tahun yang lalu, serta mohon dimaafkan, bila sekiranya ada yang berbuat salah.
Sesudah itu penghuni rumah yang lain melakukan hal yang sama.
Kemudian dipasang mercun atau petasan untuk menghindarkan segala pengaruh jahat.
Sedangkan Tahun Baru Imlek dirayakan pada Cia-gwe Ce-it (Hari pertama bulan ke satu menurut penanggalan Imlek).
Sebenarnya Musim Bunga yang disambut dengan gembira.
Orang-orang berpakaian baru untuk menghormati Alam, yang mulai memperlihatkan keindahannya.
Pohon-pohon menghijau lagi, tunas-tunas timbul dan binatang-binatang bangkit dari tidurnya di musim dingin.
Orang pergi mengunjungi kaum keluarga dan sahabat untuk mengucapkan 'Sin Chun Kiong Hie' (Selamat Musim Bunga Baru (Musim Semi) atau lazim disebut Selamat Tahun Baru).
Namun dengan adanya perkembangan zaman, dimana orang-orang banyak yang condong ke segi materi, sering terdengar jugs ucapan 'Kiong Hie Hoat Cay' (Selamat menjadi kaya atau Selamat Beruntung).
Anak-anak pun tidak ketinggalan.
Mula-mula mereka mengucapkan selamat kepada orang tuanya dan menerima berkat dari padanya.
Dahulu kala mereka mendapat 'angpao' sebagai tanda membalas penghargaan, yang sebenarnya berarti 'bungkusan merah'.
Bungkusan itu lazimnya berisi mata uang perak atau emas untuk jajan atau untuk disimpan.
CAP GO MEH Pada hari ke limabelas bulan pertama dirayakan pesta musim bunga yang terbesar untuk menghormati matahari yang ke-luar dari musim dingin yang penuh kabut itu, juga untuk menghormati Naga yang keluar dari tempat persem-bunyiannya.
Dibuatlah orang pawai dengan panji- panji, obor dan lentera beraneka warna, bentuk dan besarnya.
Di belakangnya mengikuti seekor macan ganas yang me-nyemburkan api, yang mengusir segala hantu jahat dan seekor naga yang memuntahkan api ke segala penjuru, berbelit-belit mengejar bola api putih.
Naga itu ialah lambang musim bunga (semi), hujan dan ke-suburan; bola putih itu lambang matahari.
Kedua- duanya menjadi pusat pawai itu.
Apa sebabnya orang begitu menghormati Naga? Cerita berikut dapat memberi sedikit penjelasan bagi anda.
Dahulu kala ada seorang Kaisar yang bersahabat dengan se-orang pertapa.
Ia kerap kali pergi mengunjungi sahabatnya untuk meminta nasehat atau menghirup hawa sejuk pegunungan bila sedang luang waktunya.
Mereka memperbincangkan segala peristiwa penting sampai larut malam.
Pada suatu ketika, waktu Kaisar berada di tempat pertapaan sahabatnya, tampak olehnya ruang yang sebelumnya tak pernah dilihatnya.
Pintu- pintunya dikunci dengan kura-kura besar yang dibuat dari tembaga dan sekelilingnya didapati tanda-tanda yang ganjil.
"Apa isinya?", tanyanya dengan penuh diliputi rasa ingin tahu.
"Sebaiknya Tuanku tidak mengetahuinya", sahut pertapa itu.
Akan tetapi Kaisar mendesak juga, apakah gerangan isi ruang yang dirahasiakan itu.
Akhirnya sang pertapa bersedia juga memenuhi keinginan Kaisar, membuka pintu-pintu itu.
Tak terlihat apa-apa pada awalnya, serba gelap.
Dalam keadaan biasa, pertapa itu amat ramah dan banyak bicara, tapi pada waktu itu menutup mulut rapat-rapat.
Kaisar memeriksa segala sudut dan di sudut yang tergelap didapatinya sebuah botol yang dilak.
"Apa isinya sahabatku? Ayolah terangkan sebabnya! Tolong buka tutup botol ini!", ujar Kaisar.
Tiba-tiba saja wajah si pertapa menjadi pucat pasi, menggeleng sedih.
"Baginda tidak menyadari apa yang Paduka katakan.
Bila botol ini saya buka, akan terjadilah suatu mara-bahaya di negeri ini!", ucapnya kemudian.
Kaisar amat marah, langsung membanting botol itu ke- tanah.
Botol pun pecahlah, beribu-ribu keping pecahannya ber-terbangan kian ke marl dan segumpal asap putih membubung ke atas.
Asap itu berkumpul menjadi suatu 'tokoh' dan terbang keluar dengan cepat melalui pintu.
Tanpa berkata apa-apa si pertapa masuk ke biliknya, meninggalkan Kaisar seorang diri.
Kaisar berkeringat saking takutnya, segera Ia lari keluar, melompat ke atas kudanya, lalu kembali ke istananya.
Setiap tempat yang dilaluinya dalam perjalanan pulang ke istananya, yang terlihat olehnya adalah pohon-pohon yang layu dan banyak pula hewan yang mati.
Rupanya yang terlepas tadi adalah Dewa Kering.
Di mana dia muncul, tempat itu akan hancur lebur dan mati semuanya! Ketika sampai di istananya, tampak para menteri dan pejabat tinggi lainnya pada berkumpul.
Mereka membawa laporan mengenai kemarau yang meraja-lela di mana- mana.
"Panen gagal dan para peternak kehilangan ternaknya", demikian penutup laporan yang menyedihkan itu.
Kaisar masuk dan langsung mengunci diri di kamarnya.
"Semua ini salahku", keluhnya di dalam hati.
Ia bermak-sud mengadakan kurban besar-besaran.
Ia akan bersamadhi untuk memohon pertolongan kepada Thian.
Maka didirikannyalah tempat pengurbanan yang istimewa.
Kaisar sendiri berpuasa selama 40 hari lamanya dan mandi sebanyak sembilan kali sehari.
Sesudah itu ia naik tangga tempat pengurbanan itu di hadapan beribu- ribu manusia yang datang dan segala penjuru.
Ia berdoa.
"Ya Tuhan yang Maha Agung, letakkanlah segala kesalahan ini pada diri saya.
Saya mohon, turunkanlah hujan agar rakyat saya dapat terhindar dan mara-bahaya ini.
Hu-kumlah saya atas kesalahan yang saya lakukan, sebab sayalah yang harus bertanggung jawab atas segalanya ini!".
Ketika Kaisar dan rakyat bersembahyang, tiba-tiba terlihat seekor Naga terbang di angkasa dan tidak lama kemudian turunlah hujan yang sangat lebat.
Kaisar terus berlutut dengan kepala tertunduk di lantai tempat pengurbanan itu.
Ketika orang datang menolongnya untuk bangkit, ternyata beliau sudah tidak bernyawa lagi.
Doanya diterima oleh Thian, rohnya telah meninggalkan jasadnya, terus naik ke Surga yang setinggi-tingginya.
Itu sebabnya, maka Naga jadi dihormati orang, sebagai pembawa hujan.
Untuk orang yang hidup dari pertanian, musim kemarau adalah merupakan bahaya yang besar.
Sawah- sawah kering dan padi tidak tumbuh, akhirnya timbul kelaparan.
Tetapi hujan berarti rahmat bagi mereka.
Kesuburan mendatangkan makanan bagi rakyat.
Oleh sebab itu Naga dipandang sebagai binatang yang berjasa, sama seperti Kaisar yang telah mencurahkan segala tenaganya untuk kemakmuran rakyatnya.
Itu pula sebabnya, Naga dipandang sebagai lambang kebesaran Kaisar.
SEMBAHYANG CHENG BENG Lama sebelum abad kita ini, hidup seorang cendekiawan.
Dia berkunjung ke segala pelosok negerinya untuk memberi pelajaran kepada sesama manusia, agar hidup menurut kebajikan dan Hauw (Hauw ialah cinta seorang anak terhadap orang tuanya).
Bertahun-tahun dia masuk keluar kampung.
Sejak itu tak pemah lagi kembali ke kampung halamannya sendiri.
Ia dihormati orang karena kebijaksanaannya dan kebaikannya, hingga kemudian dinobatkan orang sebagai Raja.
Kala itu, bap Raja dipilih Iangsung oleh rakyat dari orang-orang yang terpandai dan terbaik budinya di dalam negeri itu.
Sesudah menjadi Raja, timbul hasratnya untuk mengunjungi orang tua-nya yang telah lama ditinggalkannya.
Maka dia pun berangkat menuju ke rumah orang tuanya.
Tapi setibanya di kampung halamannya, ternyata orang tuanya telah meninggal dunia, tak seorang pun tahu di mana mereka dikuburkan.
Sejak peristiwa itu, sang Raja memerintahkan, agar tiap kuburan diberi tanda dengan secarik kertas kuning, agar dapat dilihat, bahwa pusara-pusara itu dipelihara oleh akhli waris orang yang telah meninggal.
Perintah itu ditaati rakyat.
Semua penduduk kampung itu pergi ke bukit tempat pemakaman keluarganya.
Dibersihkannya pusara itu dan memberinya tanda dengan kertas-kertas kuning yang jelas terlihat dari jauh.
Di antara kuburan sebanyak itu, ada dua makam yang berdampingan, yang temyata tidak pernah diurus.
Seorang pun tidak tahu, siapa anak cucu orang yang meninggal itu.
Kaisar yakin, bahwa kedua kuburan yang terlantar itu ada-lah makam orang tuanya.
Segera memerintahkan pembantunya untuk memperbaikinya.
Ditunggunya hari yang baik dalam ta-hun itu, yaitu ketika alam terang benderang dan meman-carkan damai di bumi.
Pada waktu itulah Raja mengadakan upacara sembahyang secara besar-besaran di pusara orang tuanya.
Hari itu dicatat penduduk, yaitu She-gwe Ce-sha (Tanggal 3 bulan ketiga menurut penanggalan Imlek).
Tapi dengan berkembang-nya zaman, belakangan ini banyak pula orang yang melakukan sembahyang Cheng Beng pada Sha-gwe Ce-si (Tanggal 4 bulan ke tiga), jadi beda sebulan dengan apa yang dilakukan oleh sang Raja tempo dulu itu.
Seluruh negeri mengikuti contoh Rajanya itu.
Demikian-lah lahir perayaan segala roh-roh manusia yang disebut Cheng Beng, untuk memperingati akan bersih dan cemerlangnya hawa pada saat Kaisar menghormati makam orang tuanya.
Setiap tahun pada hari yang berbahagia itu, orang mem-bawa persembahan ke kuburan orang tua masing- masing.
Me-reka membawa lilin, bunga dan hio (dupa Tinting) serta aneka hidangan lainnya.
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di atas kuburan itu diletakkan orang kertas kuning yang digunting panjang- panjang, ditindih dengan batu yang berat, agar jangan beterbangan.
Hal itu disebut Tee Choa, artinya 'Menindih kertas'.
Makam-makam tua yang sudah tidak dipelihara orang lagi, dibersihkan dan diperbaiki juga.
Untuk itu dikumpulkan uang, jadi biayanya dipikul bersama.
Bagi Touw Tee Kong yang menguasai bumi, dibawa orang hio dan kertas kuning, tanda terima kasih karena Dewa itu telah memelihara tanah pekuburan tersebut.
MA CHO PO (KISAH DEWI PELINDUNG PELAUT) Dahulu kala, pada Sha-gwe Jie-sha (tanggal 23 bulan ke 3 menurut penanggalan Imlek), telah lahir seorang anak perempuan di pulau Bi Chiu.
Kiranya anak itu amat ganjil.
Waktu dilahirkan, berhembuslah bau yang harum semerbak sampai jauh ke sekitarnya dan keadaan itu terus berlangsung selama 10 hari lamanya.
Mereka yang sempat mencium barn harum itu jadi bertanya-tanya.
"Apakah ini sebagai tanda telah lahir seorang sakti?".
Anak perempuan itu tambah hari kian besar jua, sebagai lazimnya anak-anak sebayanya yang tumbuh wajar, tak terli-hat kelainan apa-apa.
Setelah meningkat remaja dia mulai ja-rang menampakkan diri.
Sampai pada suatu malam telah terjadi keajaiban, tiba- tiba dia merasakan kaki dan tangannya tegang kaku, seolah-olah lumpuh.
Orang tuanya ketika melihat perobahan di diri anaknya itu, segera berusaha membangunkannya.
Setelah bersusah-payah sekian lama, barulah anak itu sadarkan diri sambil berteriak sedih.
"Kenapa Thia dan Nio tak memperkenankan saya menyelesailcan pekerjaan saya? Saya sedang berusaha membebaskan saudara-saudara saya dan mara-bahaya".
Pada malam itu saudara laki-lakinya sedang berlayar, me-reka dihantam angin Topan, hingga perahu seisinya terbalik.
Mereka pasti tenggelam, kalau saja tidak ditolong oleh saudara perempuannya, yang seakan berjalan di atas air dan menyelamatkan penumpang perahu itu, kecuali saudara laki-laki bungsunya tak sempat diselamatkannya, sebab dirinya telah keburu dibanguni oleh orang tuanya.
Sejak itu tahulah orang tuanya, bahwa anak perempuan mereka yang satu ini sangat sakti.
Ketika ia meninggal, tercium pula bau harum semerbak, sama halnya ketika dia dilahirkan.
Maka kemudian orang mendirikan Bio untuk memujanya dan mereka menyebutnya Ma Cho Po, artinya 'Ibu yang sakti'.
Apabila bertiup angin ribut di pulau Bi Chiu, para nelayan pada memanggil namanya, sebab mereka yakin, bahwa Ma Cho Po akan melindungi mereka.
Selain saudara-saudaranya, ada pula dua lelaki yang pernah ditolongnya.
Kala itu mereka sedang berlayar ke Korea, tiba-tiba muncul angin topan, yang hampir membalikkan perahu yang ditumpangi oleh kedua laki-laki itu.
Untung segera muncul Ma Cho Po, yang berdiri tegak di kemudi sampai redanya angin topan tersebut.
Itu pula sebabnya, bagi orang yang akan berangkat ke luar negeri dengan melalui laut, tentu akan datang dulu ke Bio Ma Cho Po, bersembahyang untuk meminta perlindungan, agar selamat sampai ke tempat tujuannya.
Dengan demikian jadilah dia pelindung para nelayan dan orang yang akan berangkat ke luar negeri melalui lautan.
Tidak-lah mengherankan, bila di pantai, di tepi sungai atau terusan, telah didirikan Kelenteng untuk memujanya.
Ke mana saja pelaut pergi, akan selalu membawa gambarnya, yang selalu meletakkannya di bagian kiri pada ruangan tertentu.
Di Indonesia pun terdapat Kelenteng Ma Cho Po di tepi pantai, pelabuhan atau di tempat-tempat kediaman orang yang merantau.
Kadang-kadang di dalam Kelenteng itu terdapat juga arca Kwan Kong (Dewa Peperangan dan Kejujuran) dan Kwee Seng Ong, Dewa Pelindung bagi orang-orang Hokkian.
HIKAYAT PEH CHUN Cerita ini mengungkapkan riwayat seorang ternama yang jujur, yaitu Kut Goan.
Semasa hidupnya, dia adalah Perdana Menteri dan kerajaan Chiu (Abad keempat sebelum Masehi).
Selama menjabat Perdana Menteri, dia bukan saja jujur, tapi juga setia, hingga amat dipercaya oleh Kaisar, yang sekaligus menghormati dan menyayanginya.
Keadaan itu telah menimbulkan rasa iri hati bagi menteri lainnya, yang membuat mereka melakukan bermacam upaya untuk menjatuhkan Kut Goan.
Beberapa waktu kemudian, Kaisar mendengar isyu yang menyatakan, bahwa Kut Goan sesungguhnya seorang penghianat, bermaksud menggulingkan Kaisar dan mengangkat dirinya sebagai Raja.
Untuk itu dia telah bersekutu dengan Raja Raja asing.
Lambat laun Kaisar terpengaruh juga oleh hasutan para Menteri yang tak menyenangi Kut Goan, membuatnya mulai membenci Perdana Menterinya, membuangnya ke sebuah kampung terpencil, tak jauh dan Siang Yin sekarang.
Namun Kut Goan tetap tenang menghadapi percobaan itu, tetap jujur sikapnya.
Dia sama sekali tak berdendam atas kekejian orang-orang yang berusaha menyingkirkannya.
Selama berada dalam pengasingan, dia mulai mengarang sajak, untuk mencurahkan kepedihan hatinya dengan untaian kata yang indah.
Salah sebuah sajaknya yang masyhur adalah 'Li Sao'.
Isinya bukan saja mengungkapkan penderitaannya, juga mala-petaka yang akan menimpa negerinya dan rakyat.
Itu pula sebabnya namanya jadi terkenal hingga sekarang ini.
Walaupun telah berulang kali Kut Goan menasehati, namun Kaisar tetap juga menyerang Raja Chin, yang jauh lebih kuat dan padanya.
Kut Goan tahu kalau Raja Chiu takkan dapat menaklukkan lawannya.
Pada suatu hari, Kut Goan mende-ngar dan seorang pesuruh yang tetap setia padanya, yang menyatakan Raja sakit keras.
Para tabib tak dapat menyembuhkannya.
Kut Goan sedih mendengar kabar itu, berhari-hari dia bermurung diri di biliknya yang kecil itu.
Biarpun dirinya telah di-buang ke tempat terpencil, tapi itu tidaklah mengurangi hormatnya terhadap Raja.
Dia ingin semasa hidupnya, agar sang Raja menyadari kesalahannya, hingga bersedia merobah keputusan-nya, membersihkan nama baiknya.
Dia ingin memperlihatkan kesetiaannyy kepada Raja.
Tapi bagaimana dia dapat melakukan segalanya itu, sebab dirinya masih diasingkan? Pada suatu malam, dia bermimpi telah dikunjungi oleh Dewa Kekal.
Ia diperintahkan untuk segera kembali ke kota-raja dengan membawa obat untuk Raja, yaitu kue yang dibuat dari beras dan dibungkus dengan daun bambu yang berbentuk limas (piramide) yang sama sisinya.
Daun bambu itu disimpul dengan benang sutera warna merah.
"Setiap hari Raja harus memakan kue itu", pesan Dewa Kekal itu, lalu sima dari hadapannya.
Kut Goan merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dari tanah dan diterbangkan ke kota-raja.
Dalam sekejap dia telah berada di bumi pula.
Ia memperhatikan seputarnya dan betapa herannya dia ketika tahu dirinya berada di kansar tidur Rajanya.
Kut Goan segera memberi hormat, lalu menyampaikan pesan utusan dari Langit.
Segera diikatkannya kue-kue itu di atas peraduan Raja.
Kemudian, tanpa disadari, ia telah mumbul kembali dari tanah dan terbang pulang ke dalam biliknya di tempat pembuangannya, lalu terjaga.
Lama dia memikirkan peristiwa yang mengherankan itu, mulai tenang perasaannya dan lambat laun dia yakin kalau mimpinya itu benar-benar terjadi.
Sementara itu Raja pun terjaga.
Mula-mula dikiranya kalau dirinya bermimpi.
Tapi dia melihat kue-kue itu di atas pemba-ringannya.
Nyatalah kalau Kut Goan memang telah datang menghadapnya.
Dipandangnya kue-kue itu, dibelahnya sebuah dan mema-kan isinya.
Makin banyak dimakan makin berkurang penyakit yang dideritanya.
Keadaan itu membuatnya benar-benar heran! Dikumpulkan para menterinya dan menceritakan kejadian yang luar biasa itu.
Tapi rata-rata para menterinya pada menggelengkan kepala, tanda kurang percaya.
Kedatangan Kut Goan mengunjungi Raja merupakan tanda yang kurang baik bagi mereka, yang membuat mereka harus bersikap lebih hati-hati, sebab Kut Goan memiliki ilmu gaib, dapat bergerak di udara sesuka hatinya.
Para menteri yang iri terhadap Kut Goan segera berusaha untuk mempengaruhi Raja lagi, agar tetap membenci Kut Goan dengan menyatakan, bahwa kue-kue itu beracun, yang dapat membahayakan nyawa raja.
Karena bertubi-tubi datangnya hasutan itu, telah membuat Raja kembali terpengaruh, lalu menyuruh orang membuang kue-kue itu dan memerintahkan untuk menangkap dan membunuh Kut Goan yang ingin meracunnya.
Serta merta berangkatlah sejumlah pasukan untuk melak-sanakan perintah Raja itu .
Raja menyangka Kut Goan akan lari dari kamar tahanan-nya.
Tapi alangkah terkejutnya ketika orang melihat Kut Goan masih tetap berada di dalam biliknya di kampung kecil itu, tangannya tetap terbelenggu.
Dia pun langsung digiring ke kota-raja.
Kut Goan sama sekali tidak melakukan perlawanan, tapi setiba di tepi sungai Milo, disentakkannya belenggunya dan dia pun terbebas, lalu melompat ke dalam sungai dan tenggelam.
Bersamaan waktunya, Raja telah melihat Dewa Kekal dari Langit yang menyorongkan kaca ajaib.
Di situ terlihat apa yang sebenarnya terjadi dan diperlakukan bagaimana diri Kut Goan oleh orang-orang suruhannya.
Sang Raja jadi amat sedih atas kejadian itu, segera meme-rintahkan untuk mencari jenazah Kut Goan di sepanjang sungai Milo.
Kala itu adalah Go-gwe Ce-go (hari ke lima bulan ke lima menurut penanggalan Tionghoa).
Rakyat banyak membantu mencari dengan sampannya.
Berhari-hari lamanya mereka mencari tetapi tidak dapat menemukan jasad Kut Goan.
Kemudian dibuat orang kue- kue yang serupa dengan kue yang dibawa Kut Goan untuk Raja, supaya rohnya melihat bahwa orang mencarinya.
Tapi semua pekerjaan itu sia-sia belaka.
Setiap tahun pada hari ke lima dan bulan ke lima Imlek, banyaklah orang bersampan atau berperahu, untuk mencari jenazah Perdana Menteri yang jujur lagi setia itu.
Dan untuk sembahyang disajikan juga kue-cang (tidak berisi) dan bah-cang (berisi daging babi).
Demikianlah lahirnya perayaan 'Peh-cun', maksudnya semula ialah hari berduka-cita.
RIWAYAT CIO KO (SEMBAHYANG REBUTAN) Bok Lian, seorang Hweshio (Pendeta) muda usia, pergi mengantarkan jenazah ibunya ke tempat pemakaman.
Seusai pemakaman, pulanglah dia.
Tapi di tengah jalan telah bertemu dengan gurunya, yang mengajaknya berbincang-bincang sejenak.
"Ibumu harus menghadap Giam Lo Ong, Hakim Neraka.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti.
Tapi bila sekiranya dia mendapat hukuman yang berat, kau dapat menolongnya dengan panji ini.
Ini adalah bendera sakti yang akan menun-jukkan jalan di daerah Neraka dan akan menolongmu", kata Hweshio tua itu.
Bok Lian mengucapkan terima kasih dengan wajah penuh air mata sambil menerima bendera kecil itu.
Setelah itu dia masuk ke dalam biliknya yang kecil, lalu dikuncinya dari da-lam.
Ia menelungkup di tanah dan mengeluh.
Pada waktu itu rohnya meninggalkan jasadnya (badan kasarnya).
Dari jauh dia telah dapat melihat ibunya dibawa oleh empat orang penjaga Neraka ke hadapan Raja Neraka.
Dalam sekejap Bok Lian telah sampai di tempat penjaga itu, meminta melepaskan ibunya dari belenggunya, membim-bing ibunya dan bendera itulah yang jadi penunjuk jalan bagi-nya untuk pergi menghadap Giam Lo Ong.
Di tengah jalan mereka telah bertemu dengan beberapa orang pengemis yang meminta sedekah.
Mereka meraung dan berteriak, patut dikasihani keadaan mereka.
Itulah roh-roh orang yang membunuh diri sebelum tiba waktunya untuk mati.
Mereka tidak diperkenankan masuk Surga ataupun Neraka, sebab dianggap belum tiba waktunya untuk menghadap Giam Lo Ong.
Roh-roh itu mencoba menghalang-halangi perjalanan Bok Lian dan ibunya dengan aneka macam usaha, tetapi bendera sakti tersebut dapat menghindarkan maksud-maksud mereka.
Bukan saja roh yang malang itu saja yang ingin mengganggu perjalanan Bok Lian, tapi juga berbagai hantu pun sering melakukan tindakan yang dapat membahayakan Bok Lian dan ibunya.
Di beberapa bagian Neraka, Bok Lian melihat bagaimana manusia yang melakukan kejahatan dihukum.
Pembantai binatang, pendusta, panjang lidah, masing- masing mendapat hukuman yang setimpal.
Para penjaga Neraka bekerja keras.
Hukuman- hukuman itu tidaklah ringan.
Beberapa waktu kemudian Bok Lian bersama ibunya tiba di hadapan singgasana Giam Lo Ong.
Dua laki-laki berkepala kuda dan berkepala lembu jantan berdiri menjaganya sambil memegang garu besar.
Bok Lian berlutut, menyembah Raja Neraka, memohon agar dirinya saja yang dihukum untuk menggantikan ibunya.
Dia rela menerima segala hukuman, betapa berat pun hukuman itu.
Bok Lian terus menerus memohon sambil menyembah, hingga akhirnya permintaannya dikabulkan oleh Giam Lo Ong.
Namun undang-undang Neraka tidak dapat dilanggar se-luruhnya.
Bok Lian hanya dapat menggantikan ibunya selama sebuIan, sebab ibunya telah melakukan kesalahan besar dalam hi-dupnya, yaitu mengucapkan sumpah palsu.
Untuk itu ia harus dihukum berat.
Papan hukuman digantungkan di leher Bok Lian.
Berhubung Bok Lian berjiwa bersih suci, maka papan yang berat itu dipegang oleh hantu-hantu Neraka yang kecil-kecil, membuat Bok Lian sama sekali tidak merasakan beratnya papan tersebut.
Sedang ibunya diizinkan untuk turun ke bumi selama se-bulan dan boleh pergi ke mana dia suka.
Kemudian Giam Lo Ong berpikir, tak ada jeleknya bila dia melepaskan roh-roh yang ada di Neraka, agar mereka dapat bernapass sesudah penyiksaan yang diderita.
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diperintahkannya membuka pintu-pintu Neraka lebar- lebar dan mengizinkan roh-roh itu berpergian ke mana saja di waktu senja pada hari pertama bulan ke tujuh (berdasarkan penanggalan Imlek).
Selama bulan itu mereka bebas.
Penduduk bumi yang mengetahui keadaan itu menyediakan meja-meja penuh makanan untuk roh- roh yang bergelan-dangan dan lapar itu.
Mereka memasang Lilin dan membakar hio (dupa linting), supaya roh-roh itu dapat melihat jalan.
Itulah sebabnya maka pada masa ini, setiap Cit-gwe (bulan ke tujuh) diadakan perayaan pengurbanan untuk roh-roh dari Neraka.
Di halaman muka setiap Vihara atau pun Kelenteng didirikan semacam panggung dari papan-papan yang kuat.
Di sana di-sajikan nasi tumpeng yang dikukus, bermacam ikan kering, po-tongan daging babi, buah-buahan dan kue-kue yang penuh di-hiasi dengan jalinan kertas, bunga, juga bendera atau panji yang terbuat dari kertas pula.
Di belakang panggung itu ditegakkan pula sebuah panggung lain, tempat Thay Su, Guru Besar, berdiri, fungsinya untuk mengendalikan roh-roh yang kelaparan tersebut.
Ia memegang bendera yang bertuliskan.
'Saya perintahkan roh-roh yang tak terpelihara untuk mendapat makanan dan pakaian'.
Thay Su sangat ditakuti, ia adalah sebuah boneka yang sangat besar, dibuat dari kertas.
Mukanya merah, bila angin berhembus, matanya akan berputar-putar ke segala penjuru.
Pakaiannya terbuat dari kertas juga, penuh dengan selempang dan panji-panji kecil yang berwarna-warni.
Bukan makanan saja yang dihidangkan, tapi juga barang- barang yang dapat dipakai oleh para roh di Neraka, umpamanya pakaian, topi, sepatu, lampu, tandu, kapal, peti berisi uang dan sebagainya.
Semuanya dihiasi dan dicat indah, sehingga seperti benda aslinya.
Pendeta berpakaian kebesaran membacakan doa, sambil memukul gembreng tembaga dan canang.
Begitulah mereka mengundang raja-raja pelbagai daerah Neraka (ada sepuluh), agar hadir pada pembagian makanan dan minuman yang telah disediakan.
Demikian pula roh-roh harus hadir pada pesta makanan yang diadakan untuk mereka.
Para pendeta akan mengucapkan ayat-ayat suci, agar makanan, pakaian dan lain-lainnya menjadi berpuluh ribu kali banyaknya.
Apabila upacara telah usai, gong besarpun dibunyikan, sebagai tanda, bahwa orang-orang yang mengikuti jalannya perayaan itu diizinkan untuk naik ke panggung makanan itu dan mengambil apa yang mereka kehendaki.
Mereka akan berdesak-desak, hingga terkadang menim-bulkan pertikaian.
Masing-masing berusaha mengambil sebanyak-banyaknya.
Thay Su dan benda- benda kertas itu dibakar.
Bila segalanya telah usai, orang pun kembali ke rumah masing-masing.
(Catatan .
Kisah Bok Lian (Mu Lien) lainnya dapat anda baca di cerita Hikayat Raja Akherat dalam buku CERITA CE-RITA KLASIK TIONGKOK terbitan kami juga.
Harap anda maklum Penerbit).
PERAYAAN TIONG CIU PIA Pada waktu Kaisar Yao (2346 2355 sebelum Masehi) di-nobatkan, negerinya ditimpa berbagai malapetaka.
Sepuluh matahari memancarkan cahaya yang amat terik, mengakibatkan semua air di bumi ini menguap.
Setelah itu bertiup pula angin topan dengan kerasnya, sehingga kota-kota dan kampung-kampung hancur dan banyak manusia mati.
Bencana yang ke tiga ialah berupa binatang buas, panjangnya 1000 li, yang menelan segala apa yang dijumpainya.
Kaisar Yao memerintahkan menyelidiki sebabnya terjadi mala-petaka itu dan bagaimana cara untuk menghindarkannya.
Untung kemudian muncul seorang laki-laki di kerajaan itu, bernama Ho Chek.
Telah bertahun-tahun dia berlatih memanah, membuatnya jadi sangat mahir, hingga kemudian digelari sebagai 'Pemanah Sakti'.
Ho Chek tahu dari mana asal bahaya itu, yaitu sembilan di antara sepuluh matahari itu bukanlah matahari, melainkan burung-burung yang meludahkan api dan bersarang di puncak gunung yang sangat tinggi.
Ho Chek segera membunuh binatang itu sampai mati.
Sembilan gumpalan embun naik dan yang tinggal hanyalah sembilan gumpalan tanah, yang ditembus oleh panah-panah itu.
Setelah itu Ho Chek bersiap untuk menahan angin topan.
Dewa Guruh dan Api bermaksud akan menganiaya manusia yang hidup di bumi ini.
Dibukakannya kantong tempat me-nyimpan angin topan.
Ho Chek menantangnya berkelahi dan akhirnya Dewa Guruh dan Api terpaksa memanggil topan itu kembali ke dalam kantongnya.
Kemudian Ho Chek mencari binatang buas yang panjang- nya 1000 li dan yang telah banyak meminta korban.
Dijumpai-nya binatang tersebut di tepi sebuah danau.
Dengan sekali panah, binasalah binatang itu.
Kaisar amat bersyukur atas keperkasaan Ho Chek, sehingga ia dipandang sebagai orang sakti.
Pada suatu hari Ho Chek melihat sebuah benda yang bercahaya di langit.
Diikutinya benda itu sampai ke suatu gerbang.
Di sana terlihat seekor binatang yang sangat buruk rupa, yang menjaga pintu itu.
"Kubunuh kau!", kata Ho Chek sambil melepaskan anak panahnya dan binatang itu mati seketika.
Kiranya pintu itu merupakan jalan masuk ke Surga bagian Barat, tempat bersemayamnya See Ong Bo Nio Nio.
Dewi itu telah banyak mendengar prihal keperkasaan Ho Chek, yang selain mahir memanah, juga ahli membuat ba-ngunan.
"Dirikanlah sebuah istana untukku", kata Dewi See Ong Bo.
"harus indah dan megah dan tidak sama dengan yang pernah didirikan orang.
Sebagai upahnya, nanti akan kuberi kau sebutir pil sakti yang memiliki khasiat dapat membuat orang hidup abadi".
Girang benar hati Ho Chek mendengar janji itu.
Segeralah dia membangun sebuah istana yang indah lagi megah.
Dinding-nya terdiri dari batu Giok (Jade atau Kumala) yang mahal dan kayu Cendana yang harem baunya serta atapnya dan batu-batu lajur pilihan.
See Ong Bo Nio Nio amat bersuka cita menyaksikan istana yang dibangun Ho Chek itu, menepati janjinya, memberinya sebutir pil sakti dengan pesan, sebelum minum pil itu, Ho Chek harus menjauhkan diri dari segala noda dunia selama setahun lamanya.
Ho Chek pamit pada See Ong Bo Nio Nio dengan penuh diliputi rasa syukur, menyimpan pil itu di atas kaso rumahnya.
Belum lama dia beristirahat, telah datang seorang utusan Kaisar, yang memintanya untuk menangkap seorang penjahat yang mengganggu beberapa daerah di kerajaan itu.
Penjahat yang melakukan pengacauan mudah dikenali, sebab gigi bagian atasnya menjorok keluar, membuatnya digelari orang sebagai 'Gigi Pahat'.
Dengan segera Ho Chek dapat menangkap dan membunuh penjahat itu.
Sementara itu pil sakti yang di atas kaso itu memancarkan cahaya putih.
Isteri Ho Chek ingin tahu apa sebenarnya, lalu mengambil tangga dan mengamati pil tersebut.
"Mungkin pil ini dapat menambah kecantikan", pikirnya sambil menelannya.
Seketika dia merasakan dirinya jadi sangat ringan, seolah-olah pandai terbang.
Kebetulan pada saat itu Ho Chek tiba di rumahnya, langsung tahu kalau pil itu hilang.
Sebelum dia sempat bertanya, isterinya telah terbang keluar melalui jendela, sebab khawatir di-marahi suaminya.
Nyatanya Ho Chek jadi sangat berang, hingga timbul maksud untuk memanah isterinya.
Namun sebelum terlaksana maksudnya, tiba-tiba bertiup angin kencang, yang membawa dirinya ke puncak gunung yang tinggi.
Setelah ia sadar, terlihatlah Dewa yang Kekal berdiri di hadapannya.
"Ampunilah isterimu", kata Dewa Kekal.
"ia tidak tahu apa yang dilakukannya.
Sekarang dia ada di Istana Bulan.
Kau boleh menempati istana Matahari, sebab kau telah berjasa terhadap matahari.
Ini ada sebuah jimat, pakailah bila kau ingin mengunjungi isterimu.
Kebalikannya isterimu tidak dapat datang kepadamu, sebab ia tidak boleh masuk ke dalam istana Matahari".
Ho Chek-pun dihadiahi seekor burung dari Langit, yang membawanya terbang ke matahari.
Matahari itu sangat besar, senang benar hati Ho Chek.
Ia tidak merasa kalau matahari itu selalu berputar.
Apabila duduk di atas sinar matahari, dapatlah dia terbang ke bulan.
Bulan itu dingin dan berkilat-kilat bagaikan lcaca.
Di daerah yang dingin inilah isterinya tinggal.
Waktu Ho Chek tiba di bulan, dilihatnya isterinya sedang kedinginan.
Tetapi sinar yang dibawanya memanaskan bulan itu sedikit dan bulan pun bersinar terang, tepat pada hari ke limabelas bulan itu.
Sejak saat itu, sekali sebulan pada tanggal tersebut (tanggal 15 menurut penanggalan Tionghoa), Ho Chek akan mengun-jungi isterinya.
Itulah sebabnya, maka pada hari itu bulan me-memancarkan cahaya terang cemerlang dan sangat bulat.
Setiap Peh-gwe Cap-go (tanggal 15 bulan ke delapan me-nurut penanggalan Imlek; pertengahan musim rontok), orang pada merayakan bulan, untuk menghormati Dewi Bulan, yang akan memberi cahaya pada bulan-bulan mendatang, di kala malam sangat dingin dan lama, sebab matahari menjauhkan diri.
Disajikan orang Tiong Ciu Pia , yang berarti kue pertengahan musim rontok, dibuat dari tepung gandum dan bulat menyerupai bulan purnama, yang berisi daging babi dan tang-kwe) atau biji wijen yang ditumbuk.
Di atasnya digambari seekor kelinci merah atau hurufnya.
Menurut hikayat di bulan ada seekor kelinci.
Ceritanya demikian.
Pada zaman purbakala, ada tiga ekor binatang bersahabat, seekor srigala, seekor kera dan seekor kelinci.
Mereka hidup dengan damai dan sama-sama menanggung duka dan ria.
Hal itu menarik perhatian Yang Menjadikan Alam.
Ia berhajat akan mengunjungi mereka, lalu menjelma sebagai seorang tua.
Dimintanya makanan dan berdiam di rumah mereka, di hutan yang sangat dingin dan lembab udaranya.
Srigala segera pergi mengambil makanan, kera dan kelinci mengikutinya.
Srigala pulang dengan membawa ikan yang ditangkapnya di rawa yang tidak tertutup es.
Kera membawa buah-buahan dan simpanannya untuk musim dingin! Tetapi kelinci tidak secerdik yang lain- lainnya.
Ia pulang dengan tangan hampa dan sedih sikapnya.
Setiba di hadapan sang tamu, dia pun berlutut seraya ber-kata.
"Ampun beribu kali ampun, Tuanku.
Saya tidak ber-untung memperoleh sesuatu makanan buat Tuanku.
Tetapi Pangganglah saya di dalam api itu, supaya saya dapat mengenyangkan perut Tuanku dengan daging saya"
Seketika itu juga kelinci itu melompat ke dalam api.
Si orang tua sangat terharu, mengambil kelinci yang sudah terbakar dari api, seraya berkata .
"Lihat saudara- saudara, dia tidak mementingkan diri sendirinya, dia akan kuberi upah, akan kutempatkan di bulan, supaya dihormati umat manusia".
Bila kita perhatikan, kalau bulan sedang purnama, sering kita melihat bayangan kelinci disana..
TANG CHE Tang Che adalah perayaan dalam bulan ke sebelas.
Orang pandai lagi bijaksana mengatakan, bahwa maksudnya mula-mula ialah sebagai perayaan memungut hasil, tanda terima kasih atas hasil yang diperoleh selama setahun yang silam.
Dahulu kala dibuat orang duabelas buah ondeh-ondeh dari tepung beras, yang diletakkan di atas penampi (niru), sehingga merupakan lingkaran.
Maksudnya untuk menyatakan, bahwa setahun itu 12 bulan.
Di tengah-tengahnya diletakkan yang besar sekali, meng-gambarkan seluruh hasil yang didapat dalam tahun itu.
Ondeh-ondeh itu dikukus sampai masak dan dimakan de-ngan air manisan jahe.
Di Indonesia ada juga hikayat mengenai Tang Che ini, tetapi tidak ada hubungannya dengan perayaan memungut hasil.
Ceritanya demikian.
Dahulu kala hidup seorang laki-laki, tegap tubuhnya.
Ia hidup bersama ibunya yang telah jadi janda.
Pemuda itu bekerja pada seorang tabib, sehari- harinya pergi ke pegunungan mencari akar-akaran dan daun-daunan untuk dijadikan jamu.
Jalan ke sana diketahuinya semuanya, sebab telah bertahun-tahun dia melakukan pekerjaan itu.
Pada suatu hari, tidak seperti biasa, sampai larut malam dia belum juga pulang.
Sang ibu menantinya dengan penuh kecemasan, semalam suntuk tak tidur.
Tapi kenyataannya, sampai keesokannya anaknya belum juga kembali.
Sang ibu dan majikan si pemuda mencarinya dengan menempuh jalan yang berlainan.
Malam harinya ibu si pemuda kembali tanpa hasil, mem-buatnya duduk lesu.
Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum lama dia duduk, telah terdengar orang mengetuk pintu.
Wanita setengah baya itu mem-bukakan pintu, terlihat si tabib mendukung anaknya yang hilang itu.
Si ibu menjerit sedih, disangka anaknya telah mati, tetapi sebenarnya tidak demikian.
Perlahan-lahan sang tabib meletakkan tubuh pemuda itu di atas pembaringan dan memeriksa denyut nadinya.
Ternyata jalan darahnya seperti biasa normal.
Dibuatnya obat dan diminumkannya pada pemuda itu.
Tak berselang lama, wajah pemuda itu kembali bersemu merah, tapi matanya masih tertutup.
Ketika diperiksa, sang Tabib menyatakan, bahwa mata pemuda itu buta.
Kembali sang janda setengah baya menjerit sedih.
Sebab tak ada yang lebih disayangi selain anaknya itu.
Setelah siuman dan pingsannya, pemuda itu menceritakan, bahwa dia telah menginjak kaki setan ketika mencari bahan-bahan jamu.
Hantu itu marah, langsung mengembus matanya hingga buta, yang membuatnya tak tahu lagi akan jalan pulang.
Tabib itu menggoyang-goyangkan kepalanya.
Tak mudah baginya untuk mengobati penyakit yang ditimbulkan oleh hantu.
Ia pamit pada ibu dan anak itu, bermaksud mencari seorang pendeta yang dapat mengusir pengaruh hantu dengan manteranya.
Namun biarpun telah pergi cukup lama, Tabib itu belum juga kembali.
Sang ibu berlutut di muka anaknya sambil menangis.
"Sungguh malang nasibmu nak", katanya.
"Kalau sekiranya dapat aku menolongmu, lebih baik aku yang buta dan pada menyaksikan keadaanmu seperti ini"' Anaknya berbaring dan terus memejamkan mata tanpa berkata.
Ia tak berani membuka mata di hadapan ibunya, se-bab ibunya takkan sanggup menyaksikan keadaan demikian.
Sang Tabib belum juga kembali, sebab dia tak berhasil menemui Pendeta yang sanggup mengobati sakit si pemuda.
Hal itu telah membuat si wanita setengah baya mengambil sebuah keputusan.
Dibelahnya mata anaknya, mengeluarkan kedua biji mata yang telah rusak itu dan memasukkannya dengan matanya sendiri penggantinya.
Dalam sekejap si pemuda telah dapat melihat ibunya kembali, tapi mata ibunya sendiri telah kosong.
Dilihatnya lukanya masih berdarah.
Dia sangat terkejut menyaksikan pengorban-an sang ibu.
Akan tetapi si ibu malah tersenyum dan mengusap-usap rambut anaknya.
"Tak apa-apa nak", ucapnya.
"pergilah kau ke dapur, barangkali masih ada nasi.
Buatlah dua buah bola, supaya dapat aku masukkan ke dalam lobang mataku".
Si pemuda heran mendengar ucapan ibunya, tapi dia patuh, membuat dua buah bola nasi dan menyerahkannya pada ibunya.
Sang ibu, memasukkannya ke dalam lobang matanya.
Darah yang masih hangat itu bercampur dengan nasi tersebut.
Seketika terjadi suatu keajaiban, bola-bola itu berubah menjadi mata yang dapat melihat dan tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Ibu dan anak segera sujud menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengucapkan puji syukur atas kejadian yang luar biasa itu.
Setiap tahun pada hari itu mereka membuat bola-bola nasi yang diberi warna merah untuk memperingati hari yang bersearah itu.
Orang-orang lain ikut berbuat demikian.
Pada tahun-tahun belakangan ini, bola-bola nasi itu dibuat dari beras pulut, diberi warna merah atau dibiarkan saja putih, bahkan ada yang memberinya warna hijau dari daun suji.
Disajikan dengan air serbat/gula.
***
Harimau Kemala Putih -- Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pendekar Cacad Karya Gu Long