Ceritasilat Novel Online

Pohon Kramat 8


Pohon Kramat Karya Khu Lung Bagian 8


Hong Hong telah celaka dibawah tangan orang-orang ini? "Hei!"

   Bentak Tan Tongcu.

   "mengapa kau tidak bicara?"

   "Apa yang harus kukatakan?"

   "Dimana kau sembunyikan kitab Thian-mo-po-liok?"

   "Kalian ingin tahu?"

   "Tentu."

   "Aku akan memberikan jawaban ini. setelah kalian menjawab beberapa pertanyaanku, Tidak pantas, bila kesempatan hak bertanya di monopoli oleh kalian. Sudah waktunya aku mendapat giliran mengajukan pertanyaan."

   "Sebutkan pertanyaan-pertanyaanmu itu."

   "Dimana kini guruku berada?"

   "Gurumu?"

   "Ya! Putri Angin Tornado Kim Hong Hong."

   "O o o o o ..."

   "Tentunya kalian dapat tahu rahasia kitab Thian-mo Pa- liok darinya, bukan?"

   "Betul."

   "Dimana ia berada?"

   "Ia telah tiada."

   "Mati!?"

   "Betul."

   "Oh...Siapa yang membunuhnya?."

   "Ayahnya sendiri."

   "Ayah guruku?"

   Tan Ciu memancarkan sinar mata penasaran.

   "Mana mungkin! Tidak bisa! Mana mungkin seorang ayah membunuh putri sendiri?"

   "Mengapa tidak mungkin? Kenapa cinta kepada Sim In, si Putri Angin Tornado Kim Hong Hong melarikan pusaka ayahnya, itulah Singa Emas Kim Say Cu. dimana terdapat gambar pusaka, ia telah berkhianat. dan hukuman itu ialah mati."

   "Siapakah orang yang tidak mempunyuai hati manusia, he? membunuh putri kandung sendiri?"

   "Ketua kami."

   "Siapa ketua kalian? Perkumpulan apakah yang dibangun olehnya?"

   "Jangan kau tanyakan tentang hal ini. Kini giliranmu memberikan jawaban. Dimana kitab Thian-mo Po-liok disembunyikan?"

   "Ceritakan dahulu tentang keadaan ketua kalian itu?"

   Wajah Tan Tongcu berubah merah dan biru bergantian. Ia membentak.

   "Kau ingin mati dibawah tanganku?!"

   Berkata Tan Tongcu.

   Ia menotok keras jalan darah pegal linu si pemuda.

   Dengan tiba-tiba bagaikan ada ribuan semut menyerang tubuh Tan Ciu, mendapat satu tekanan berat, suatu penderitaan yang luar biasa.

   Ia mengertak gigi dan masih tidak tahan, akhirnya mengeluarkan gerengan.

   Tan Tongcu tertawa puas.

   "Tidak mau mengatakan juga?"

   Ia mengancam.

   "Kau mengimpi."

   Tan Tongcu menambah siksaannya. Butiran2 keringat yang besar-besar berjatuhan dari jidat Tan Ciu, Namun demikian. si pemuda tetap berkukuh. Tidak mau ia membuka rahasia.

   "Katakan."

   Bentak lagi Tan Tongcu.

   "Ti....dak."

   Tan Ciu sudah benar-benar tidak sanggup menerima siksaan-siksaan itu, akhirnya ia jatuh pingsan. Hal ini berada diluar dugaan orang-orang berbaju kuning.

   "Dasar kepala batu."

   Mengoceh Tan Tongcu.

   "Kita bangunkan lagi. Dan siksa dengan siksaan yang lebih berat."

   "Seorang kepala batu tidak dapat dilawan dengan kekerasan."

   "Gorok saja lebernya beres."

   "Tapi bagaimana dengan kitab Thian mo Po-liok?"

   "Betul, Hanya dia seorang yang tahu."

   "Mengapa kaucu menginginkan kitab itu?"

   Kaucu sama artinya dengan ketua sesuatu aliran.

   "Siapakah yang tidak suka kepada kitab pusaka ?"

   "Kita serahkan kepada kaucu?"

   Tan Tongcu menganggukkan kepala.

   "Bagaimana dengan gadis itu?"

   Ia menunjuk kearah Cang Ceng Ceng.

   "Ia tidak ada gunanya bagi kita, tinggalkan saja."

   "Mari kita berangkat."

   Tiga orang berbaju kuning siap berangkat pergi, mereka batal memasuki lembah Siang-kat. Pada punggung si hidung bengkung tergendong Tan Ciu. Hanya belasan tombak ... Tiba-tiba terdengar satu bentakan yang menggelegar keras! "Berhenti !"

   Seorang berselubungkan kain hitam dimukanya telah menghadang didepan ketiga orang berbaju kuning.

   "Turunkan pemuda itu!"

   Demikian orang berbaju hitam itu membentak. Siapa dan bagaimana sebutan tuan yang mulia?"

   Berkata Tan Tongcu kepada yang menghadang jalan.

   "Kukatakan, segera turunkan pemuda itu!"

   Bentak lagi si kerudung hitam.

   "Bila kami tidak mau turut."

   Si wajah bajingan cakap menantang.

   "Oh, ingin membangkang? Inilah bagianmu,"

   Berkata orang berselubung kain hitam itu, ia menggerakkan tangan.

   Terdengar jeritan si wajah bajingan, tubuhnya pecah dan darah merah bersemburan.

   Tubuh wajah bajingan itu telah jatuh, tubuh Tan Ciu juga turut jatuh.

   Tan Tongcu dan si hidung bengkung terkejut sekali melihat itu.

   "Masih berani menantang?"

   Membentak lagi orang itu dengan sikap galak.

   Tan Tongcu tidak dapat menahan kemarahannya, ia membentak keras, tubuhnya menubruk maju, mengirim satu pukulan.

   Ilmu tenaga dalam Tan Tongcu luar biasa, serangan tadi pun memberi tahu lebih dahlu sangat jahat sekali.

   Walau pun berkepandaian tinggi, tidak berani si baju hitam menerima serangan itu, tubuhnya melesat mundur, tapi secepat kilat.

   tubuhnya kembali mengarah Tan Tongcu.

   Tan Tongcu berganti arah, memapaki pukulan tersebut.

   Buummm ...!! Terdengar suara yang sangat gemuruh, tubuh Tan Tongcu terdesak mundur, sangat jauh.

   "Bagaimana ?"

   Orang berbaju hitam itu mengejek.

   "Ilmu kepandaianmu membuat orang takluk."

   Berkata Tan Tongcu.

   "Terima kasih. Bila kau tahu diri. silahkan pergi."

   "Tapi aku belum mengetahui nama tuan yang mulia."

   "Pemilik Pohon Penggantungan."

   "Aaaaaaaa "

   Tan Tongcu dan si hidung bengkung terkejut, nama Pemilik Pohon Penggantungan terlalu seram, ternyata mempunyai ilmu kepandaian luar biasa! "Kau......kau yang menjadi pemilik Pohon Penggantungan?"

   Ia bertanya gugup.

   "Tidak percaya."

   "Hari ini kami menyerah kalah."

   Dan tanpa menengok kearah tubuh Tan Ciu yang belum sadarkan diri.

   kedua orang berbaju kuning itu minggat pergi.

   Meninggalkan mayat si Wajah bajingan yang sudah tiada bentuk.

   Orang berbaju hitam itu menyeret tubuh Tan Ciu.

   berpikir sebentar.

   dan meletakkannya lagi, ia mengubah rencana! Percayakah pembaca bahwa orang ini sebagai Pemilik Pohon Penggantungan? Dia seorang laki-laki, dan Tan Ciu harus kenal kepada wajahnya, itulah si Ketua Benteng Penggantungan Tan Kiam Lam.

   Bukan, bukan Tan Kiam Lam.

   Dia adalah si Telapak Dingin Han Thian Chiu Hei, Mengapa Han Thian Chiu menolong Tan Ciu ? Jangan terburu napsu pembaca, Han Thian Chiu mempunyai rencananya sendiri.

   terlihat ia mengeluarkan gumaman.

   "Seharusnya aku tidak membunuhmu, tapi keadaan telah berkembang seperti ini. Mau tidak mau aku harus mengorbankan dirimu. Sengaja ia menolong Tan Ciu dari tangan orang-orang berbaju kuning, sengaja dikatakan kepada mereka bahwa dirinya sebagai Pemilik Pohon Panggantungan. Maka orang-orang berbaju kuning yang berkekuatan besar itu akan menuntut balas kepada Pemilik pohon Penggantungan. Inilah maksud tujuan Han Thian Chiu. Kini ia ingin membunuh Tan Ciu. Ia tidak puas membunuh orang yang sedang meram seperti mayat, ia membuka totokan pemuda itu. Tan Ciu membuka kedua matanya. Masih terlalu suram, samar-samar seperti ada seseorang berdiri dihadapannya. Han Thian Chiu tertawa kejam.

   "Masih kenal kepadaku?"

   Tan Ciu dapat melihat jelas si wajah orang ini.

   "Kau "

   Hampir ia tidak percaya kepada kenyataan.

   "Betul. Aku."

   Berkata Han Thian Chiu dengan jelas.

   "Kau yang menolong diriku?"

   "Betul!"

   "Dimana aku berada?"

   "Sedang berada didalam perjalanan yang sedang menuju kearah dunia alam baka."

   "Bagus. Tapi sebelum aku mati, aku ingin mengetahui lebih dulu tentang keadaan ayahku."

   Berkata Tan Ciu.

   "Ayahmu telah mati."

   Berkata Han Thian Chiu.

   "Dibawah tanganmu?"

   "Boleh dikata demikian."

   "Tidak takut mendapat tuntutan. Aku harus membikin perhitungan denganmu. Hutang darah harus dibayar dengan darah juga!"

   "Haaa, haaa .... Kau juga segera akan menyusul ayahmu dilain dunia."

   Tan Ciu mendongakkan kepala yang tertunduk, dengan gagah berkata.

   "Betul. Aku akan binasa, tapi masih banyak orang yang akan mencari dirimu."

   "Haa...haaa Siapakah yang berani mencari diriku?"

   
Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jangan terlalu cepat puas pada diri sendiri. Ketahuilah bahwa tidak sedikit orang2 yang berkepandaian tinggi seperti Cang Ceng Ceng "

   "Haa...ha, haaa....Cang Ceng Ceng telah memberikan ilmu catatannya kepadaku, dengan ilmu kepandaianku, ditambah dengan ilmu lain. siapakah yang dapat mengalahkanku?"

   Han Thian Chiu sangat puas. Han Thian Chiu memandang Tan Ciu, ia mengajukan pertanyaan.

   "Masih ada soal lain yang belum jelas?"

   Tan Ciu berdengus.

   "Bertekuk lututlah minta pengampunan."

   Kata Han Thian Chiu.

   "Kau mengimpi,"

   Jawab Tan Ciu ketus.

   "Bagus, Pergilah kau menyusul ayahmu dialam baka."

   Berkata Han Thian Chiu, ia mengangkat tinggi tangan itu, siap membunuh si pemuda. Tiba-tiba ... Terdengar satu bentakan yang keras.

   "Tahan!"

   Seorang berkerudung hitam tampak muncul dihadapan mereka, orang inilah yang mengadakan pencegahan! "Siapa?"

   Memandang orang itu, Han Thian Chiu bertanya.

   "Nama siapa yang telah kau gunakan?"

   Balik tanya orang tersebut.

   "Kau Pemilik Pohon Penggantungan?"

   "Betul!"

   Tan Ciu tersentak kaget, memandang orang yang baru datang, mungkinkah orang itu yang menjadi ibunya. Han Thian Chiu tertawa dingin.

   "Ingin menolong anakmu ?"

   Pemilik Pohon Penggantungan berkata dengan nada dingin.

   "Jangan kau ingin mengorek rahasia orang, Dia anak siapa, kau tidak perlu tahu."

   Han Thian Chiu menggerakkan tangan, memukul kearah ubun-ubun Tan Ciu.

   Orang berkerudung yang baru datang meraihkan tangan dan melempar benda-benda halus kearah Han Thian Chiu.

   Terlihat lima bintik hitam melayang kearah lima jalan darah penting Han Thian Chiu.

   Bila Han Thian Chiu meneruskan maksud yang ingin membunuh Tan Ciu.

   setelah Tan Ciu mati.

   dia sendiri pun tidak akan berhasil menghindari serangan senjata rahasia musuh.

   Maka ia membatalkan niatnya, ia lompat tinggi.

   Lima lembar daun menancap dipohon, daun itulah yang menolong Tan Ciu dari kematian.

   Dikala Han Thian Chiu melompat tinggi, setelah menyerang dengan senjata rahasia, tubuh Pemilik Pohon Penggantungan lompat maju, ia menerjang Han Thian Chiu.

   Han Thian Chiu masih ada niatan untuk membunuh Tan Ciu.

   tapi dirinya diserang, jiwa sendiri lebih penting, ia mengerahkan telapak tangan menyambuti datangnya serangan.

   Karena keterlambatan tersebut.

   Han Thian Chiu diserang sehingga berulang kali.

   Pemilik Pohon Penggantungan memang luar biasa, tanpa istirahat, ia menyerang sehingga 12 kali.

   Han Thian Chiu berusaha menyingkirkan diri dari hujan serangan tadi.

   Ia lihay, walau pun terdesak, setiap langkah penangkisan mengandung ancaman.

   Tan Ciu terluka.

   Matanya masih dapat digunakan.

   orang berkerudung hitam yang datang belakangan agak kecil, itulah bentuk potongan seorang wanita, itulah orang yang pernah menolong dirinya.

   Wanita berkerudung hitam ini disebut sebagai Pemilik Pohon Penggantungan mungkinkah sang ibu, si Melati Putih? Tan Ciu dikejutkan oleh suara bentakkan Han Thian Chiu.

   "Terimalah hadiahku."

   Tiga batang jarum halus mengancam Tan Ciu.

   Wanita berkerudung terkejut, ia harus menolong pemuda itu, tubuhnya melayang, menyampok jatuh ketiga jarum halus yang Han Thian Chiu lepas untuk membunuh Tan Ciu.

   Han Thian Chiu tertawa berkakakan.

   tubuhnya telah berada ditempat jauh, kesempatan tadi telah digunakan baik-baik.

   "Pemilik pohon Penggantungan, selamat tinggal."

   Dan tubuhnya melayang semakin jauh. Hanya satu titik kecil. kemudian lenyap. Tan Ciu kemudian berteriak.

   "Jangan biarkan dia lari. Ia adalah Telapak Dingin Han Thian Chiu!"

   Pemilik Pohon Penggantungan tidak menggubris teriakan si pemuda.

   "Mengapa tidak kau bunuh dirinya."

   Bertanya lagi Tan Ciu.

   "Ia bukanlah Tan Kiam Lam."

   "Aku tahu."

   Pemilik Pohon Penggantungan berkata singkat.

   "A a a a a a, kau ...!"

   Wanita berkerudung telah mengetahui penyamaran Han Thian Chiu.

   Maka tidak terkejut lagi.

   Tan Ciu belum tahu jelas, siapa wanita berkerudung ini.

   Diketahui Melati Putih sakit hati kepada Hun Thian Chiu.

   bila betul orang yang berada didepannya sebagai orang yang menjadi ibunya.

   tentu mengejar Han Thian Chiu.

   Kini tidak.

   Siapakah Pemilik Pohon Penggantungan? Pemilik Pohon Penggantungan membalik badan, ia siap pergi.

   Dengan suara gemetar Tan Ciu berteriak.

   "Tunggu dulu!"

   Wanita berkerudung itu menghentikan langkah kakinya, berbalik memandang Tan Ciu.

   "Ada apa?"

   Ia bertanya.

   "Kau "

   "Aku adalah Pemilik Pohon Penggantungan."

   "Pemilik Pohon Penggantungan adalah Melati Putih. Kau Melati Putih."

   "Bukan."

   "Kau bukan ibuku?"

   "ibumu? Bukan!"

   Suara itu tidak mengandung perasaan, sangat dingin. Tan Ciu semakin bingung. Orang ini bukan ibunya, mengapa berusaha menolong dirinya sampai lebih dari satu kali? "Tidak mungkin!"

   Tan Ciu berteriak.

   "Apa yang tidak mungkin?"

   "Hal ini tidak mungkin terjadi.. .kau tidak berterus terang."

   Wanita berkerudung itu gemetar, dibalik kerudung hitamnya telah basah dengan air mata.

   "Kau harus percaya dengan kenyataan."

   Ia berusaha menahan getaran jiwanya.

   "Ada banyak orang yang mengatakan bahwa Pemilik Pohon Penggantungan adalah ibuku."

   Berkata Tan Ciu.

   "Siapa yang mengatakan? Si Ketua Benteng Penggantungan tadi ?"

   "Betul, Dan lain orang pun mengucapkan kata-kata yang sama."

   "Siapa orang itu?"

   "Tan Kiam Pek,"

   Wanita berkerudung itu tersentak bangun.

   "Tidak mungkin"

   Ia berteriak.

   "Aku tidak kenal kepadanya."

   "Betul-betul kau bukan ibuku?"

   Tan Ciu meminta ketegasan.

   "Aku ... Bukan."

   "Baik."

   Berkata Tan Ciu.

   "Aku harus percaya. Tapi suatu hari, bila terbukti akan kepalsuan dari keteranganmu ini, aku Tan Ciu tidak dapat memaafkanmu."

   "Aku tidak membutuhkan maafmu."

   "Terima kasih atas pertolonganmu,"

   "Tidak ada pertanyaan lain? Aku harus segera pergi."

   "Tunggu dulu!"

   Tan Ciu dengan sendirinya tidak mau membiarkan wanita berkerudung hitam itu pergi begitu saja.

   "Apalagi yang ingin kau tanyakan?"

   Berkata Pemilik Pohon Penggantungan.

   "Kau telah menolong diriku. Itu budi. Tapi kau juga membunuh kakakku, itu dendam. Budi dan dendam tak dapat dicampur baurkan."

   "Ha, ha kakakmu? Tan Sang yang kau maksudkan ?"

   "Betul."

   Tentu saja. Tan Ciu tidak tahu bahwa Tan Sang itu belum mati.

   "Maksudmu?"

   Bertanya pemilik Pohon Penggantungan.

   "Aku harus menuntut dendam buat kakakku."

   Berkata Tan Ciu.

   "Berapa tinggikah ilmu kepandaianmu, sehingga berani menantangku?"

   Cemooh Pemilik Pohon Penggantungan itu.

   "Hari ini aku lemah. Tapi pada suatu hari, aku pasti berhasil meyakinkan ilmu yang lebih tinggi."

   "Bagus. Aku tunggu kedatanganmu."

   Dan tubuh wanita berkerudung hitam itu melesat meninggalkan Tan Ciu.

   Tan Ciu menemukan Cang Ceng Ceng yang masih belum sadarkan diri.

   Ia menggendongnya dan melanjutkan perjalanan.

   tujuannya adalah Guha Kematian.

   Gunung Ceng in ...

   Telah satu hari Tan Ciu berada digunung Ceng-in.

   Hanya ini yang diketahui.

   Lebih jelas, ia sudah tidak tahu lagi.

   Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tan Ciu mempunyai tekad yang membaja, segala sesuatu tidak dapat mengganggu usahanya tersebut.

   Ia meneruskan usahanya untuk menemukan Guha Kematian.

   Dari pagi, siang, sore dan akhirnya hari menjadi gelap.

   Tan Ciu belum berhasil menemukan Guha Kematian.

   Ia melakukan perjalanan dengan kaki yang amat berat dirasa.

   Tiba-tiba ....

   Butiran-butiran air hujan mulai berjatuhan hari pun segera bergemuruh.

   Tan Ciu berlari-lari di jalan pegunungan.

   Dihari gelap, terlihat jelas adanya api penerangan.

   Tan Ciu membawa Cang Ceng Ceng ketempat itu, Itulah rumah kayu yang kecil, api penerangan keluar dari jendela.

   "Ada orangkah didalam?"

   Tan Ciu mengetuk pintu.

   "Siapa?"

   Terdengar suara seorang wanita.

   "Aku orang yang sesat dijalanan."

   Tan Ciu memberikan jawaban. Terdengar suara papan gemeresak, dan setelah itu keadaan menjadi sunyi. Setelah menunggu beberapa saat, masih belum terlihat pintu dibuka. Tan Ciu tidak sabar dan berkoar lagi.

   "Nona..."

   Tidak ada jawaban.

   "Hei, Kemanakah tuan rumah?"

   Tan Ciu ingin mendorong pintu.

   Juga tidak ada jawaban.

   Mengingat keadaan yang sudah mendesak dan mengingat keadaan Cang Ceng Ceng yang tidak boleh terlalu lama ketimpa hujan, Tan Ciu mendorong pintu itu.

   Pintu rumah tidak terkunci, dengan mudah dapat dibuka olehnya.

   Tan Ciu telah mendorong pintu rumah kayu disuatu tempat sepi.

   digunung Ceng-in dengan menggendong tubuh Cang Ceng Ceng.

   ia masuk kedalam rumah tersebut.

   "A a a a a !"

   Tan Ciu mengeluarkan jeritan tertahan.

   Apakah yang telah dilihat olehnya? Sebuah peti mati menjogrok ditengah-tengah ruangan tidak terlihat ada bayangan orang.

   Kemanakah suara wanita tadi? Inilah yang sedang dipikirkan oleh Tan Ciu.

   Kemanakah wanita tadi? Ia memandang ruangan tersebut, tidak ada orang.

   Rumah kayu itu terlampau kecil.

   tidak ada ruangan lainnya, kecuali ruangan yang dijogrokan peti mati tadi.

   "Dimanakah pemilik rumah?"

   Tan Ciu berteriak.

   Tidak ada jawaban.

   Tentunya ada sesuatu yang tersembunyi dibalik peti mati merah itu, Tan Ciu meletakkan tubuh Cang Ceng Ceng, menghampiri peti mati berwarna merah dan membuka kayu penutup.

   dengan mudah.

   tutup peti mati dapat dibuka, ternyata tidak dipantek mati.

   Tan Ciu memanjangkan leher, melongok isi peti mati.

   Tan Ciu mundur kebelakang.

   Tubuhnya bergerak merinding.

   Bulu tengkuknya tegak bangun.

   Tentunya ada sesuatu didalam peti, mungkinkah jenazah orang mati? Benar.

   Didalam peti mati terbaring sesosok tubuh yang tidak bernapas.

   Masih utuh belum lapuk, tentunya mati belum lama.

   Siapakah yang mati ditempat itu? Seorang wanita? Bukan.

   Disana terbaring mayat seorang laki-laki masih sangat muda, umurnya berkisar diantara belasan tahun.

   Tan Ciu mengusap keringat dingin yang telah membasahi sekujur dirinya.

   Tiba-tiba......

   Terdengar suara seorang wanita.

   "Lekas tutup kembali."

   Arah datangnya suara adalah dari belakang Tan Ciu Itulah suara wanita yang pertama tadi didengar.

   Tan Ciu menjatuhkan tutup peti mati, maka terkatup kembalilah tempat penyimpan jenazah tersebut.

   Begitu Tan Ciu membalikkan kepala, lagi-lagi ia dikejutkan oleh pemandangan yang dilihat.

   "A a a a a a !!"

   Seorang wanita dengan rambut terurai panjang telah menatapnya dengan sinar mata tajam, wanita berambut panjang inilah yang menyuruh ia menutup peti mati.

   "Siapa kau?"

   Tan Ciu membentak.

   "Jangan takut."

   Berkata wanita berambut panjang itu.

   "Aku adalah seorang manusia."

   "Aku tidak mengatakan kau setan."

   Berkata Tan Ciu.

   "Tapi gerakanmu tadi telah membuktikan perasaan takutmu,"

   Tan Ciu memberanikan diri.

   "Ha..ha.. Siapakah pemilik rumah ini?"

   "Aku."

   Wanita berambut panjang itu memberi jawaban singkat.

   "kau? Kau yang menjawab pertanyaanku pertama itu?"

   "Betul."

   "Tatkala aku masuk kedalam rumah, mengapa tidak berhasil menemukanmu?"

   "Aku bersembunyi dibawah tanah."

   "Dibawah tanah ?" -0oooOdwOooo0-

   Jilid 15

   "BETUL. Yang kuartikan tinggal di bawah tanah, bukanlah berarti mati. Kamar tidurku yang kuartikan berada dibawah tanah."

   "Mengapa harus tinggal dibawah tanah?"

   "Aku tidak ingin melihat peti mati itu. Maka menempatkan diriku dibawah tanah. Tadi, bila kau tidak membuka tutup peti mati aku pun tidak bersedia memunculkan diri."

   "Mengapa?'* "Drama ini sangat sedih sekali."

   "Drama?"

   Tan Ciu tidak mengerti.

   "Ada hubungankah dengan pemuda yang berada didalam peti mati itu?"

   Wanita berambut panjang menganggukkan kepalanya. Maka rambut yang sudah terurai itu terbuka, terlihat wajahnya, umurnya berkisar diantara empat puluhan.

   "Siapakah laki-laki itu?"

   Bertanya Tan Ciu.

   "Kekasihku."

   "Kekasih?"

   Tan Ciu lebih-lebih tidak mengerti, seorang wanita yang sudah hampir empat puluh tahun mempunyai seorang kekasih yang boleh dikatakan masih kanak-kanak. Hujan diluar rumah semakin deras. bagaikan dituang dari atas langit bergemuruh deras.

   "Aku harus bermalam disini."

   Berkata Tan Ciu.

   "Dia menderita luka, tidak boleh terlalu lama disiram hujan."

   Tan Ciu menunjuk kearah Cang Ceng Ceng yang terbaring disudut rumah kayu itu. Wanita berambut panjang mengangukkan kepala. ia tidak keberatan.

   "Seorang diri cianpwe tinggal dirumah ini?"

   Bertanya lagi Tan Ciu. Wanita berambut panjang itu mengandung kabut misterius. si pemuda mulai tertarik.

   "Hanya seorang."

   Wanita tersebut membenarkan dugaan Tan Ciu.

   "kecuali itu, dia tetap mengawani diriku,"

   Ia menunjuk kearah peti mati merah.

   "Dia? "

   "Betul. Dia bukan manusia lagi. Tapi aku tidak dapat dipisahkan dengannya."

   Berkata wanita rambut panjang itu dengan nada suara sedih.

   "Kau sangat cinta padanya?"

   Tan Ciu mengajukan pertanyaan.

   "Sangat cinta sekali."

   Jawab orang yang ditanya.

   "Dia telah mati. Maka. kau harus mengebumikan jenazahnya."

   "Tidak mungkin."

   Wanita berambut panjang menggelengkan kepala.

   "Mengapa?"

   "Setelah kutanam jenazahnya aku akan hilangan orang yang satu-satunya paling dekat denganku. Aku tidak mempunyai lain pamili lagi."

   Suaranya semakin sedih. Dan akhirnya ia pun menangis. mengucurkan air mata. Tan Ciu dapat memahami, betapa cintanya wanita setengah umur ini kepada sang kekasih. Timbul rasa simpati kepadanya.

   "Jenazah itu akan membusuk."

   Ia memberi peringatan akan adanya pembusukan.

   "Tidak. Tubuhnya akan tetap seperti itu."

   "Tidak mungkin. Setiap orang yang sudah tidak bernapas akan membusuk. hanya tulang belulang yang dapat ditinggalkan sebagai kenang-kenangan."

   Wanita berambut panjang itu tertawa.

   "Tapi telah tiga puluh tahun ia berbaring disitu. Tanpa ada pembusukan."

   "Aaaa ...!"

   Tan Ciu terbelalak.

   "Tiga puluh tahun?"

   "Betul. Lebih dari tiga puluh tahun ia terbaring disitu."

   Haruskah Tan Ciu percaya kepada keterangan itu? Dilihat sikap orang yang bersungguh-sungguh. tentunya bukan isapan jempol. Wanita berambut panjang berkata lagi.

   "Sungguh! Lebih dari tiga puluh tahun ia terbaring ditempat itu, seperti apa yang tadi kau lihat. Tidak ada perubahan sama sekali."

   "Belum pernah kudengar ada orang mati yang tidak membusuk."

   Berkata Tan Ciu.

   
Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Seharusnya. setiap ada orang mati membusuk. Tapi aku telah meletakkan sebutir mutiara Jit goat-cu dengan mulut mengulum mutiara tersebut, dagingnya tak akan membusuk. Seperti apa yang kau lihat, ia tetap hidup."

   Tan Ciu mengerti, mengapa jenazah didalam peti mati tidak membusuk. Ternyata disertai dengan mutiara Jit-goat- cu.

   "Cianpwe menunggu dirumah ini sehingga lebih dari tiga puluh tahun?"

   Tan Ciu menatap wanita berambut panjang tersebut.

   "Betul."

   Tan Ciu ragu-ragu.

   "Berapakah umur cianpwe?"

   Ia bertanya.

   "Dapatkah kau menduga?"

   Balik tanya wanita itu.

   "Tentunya belum empat puluh tahun."

   Tan Ciu mengeluarkan dugaan.

   "Salah. Umurku telah genap 55 tahun."

   Tan Ciu agak kurang percaya, wanita ini tidak muda, tapi juga belum tua. Rambutnya masih hitam mengkilat, bagaimana berumur lima puluh lima tahun? "Tidak percaya?"

   Wanita itu tertawa.

   "Kulihat, cianpwe masih muda."

   "Ha, ha, ..Aku sudah tua. Umurku sudah tua, lebih tua lagi adalah hatiku yang tidak mempunyai kesegaran hidup. Sudah waktunya aku menyusul dia dialam baka."

   "Manakala ia tahu akan kesunyian hati cianpwe. tentunya mati dengan puas, mati dengan mati tertutup rapat."

   "Salah."

   Berkata wanita itu.

   "Ia sangat benci kepadaku."

   "Benci?"

   "Tentu. Karena ia mati dibawah tanganku. Bagaimana tidak membenci? Dialam baka, tentunya mengutuk-ngutuk diriku."

   "Aaaa cianpwe yang membunuhnya?"

   "Hal itu sudah terjadi lama sekali."

   Tan Ciu dibuat bingung lagi. Bila wanita membunuh seseorang, tentunya tidak cinta. Dan ini tidak mungkin, wanita dihadapannya sangat cinta kepada sang kekasih, mana mungkin mengadakan pembunuhan? "Cianpwee, sangat cinta kepada laki-laki ini?"

   Bertanya lagi Tan Ciu.

   "Bila tidak cinta padanya, tentu tidak mau menunggu ditempat ini sehingga tiga puluh tahun bukan?"

   "Cianpwe cinta padanya mengapa membunuhnya?"

   "Sulit diterima bukan?"

   "Memang agak tidak mudah dimengerti."

   "Ingin mengetahui cerita yang menyangkut diri kami?"

   Tan Ciu tertawa.

   "Hujan telah mengantarkan aku ketempat ini baiknya sudah wajib untuk mendengar cerita cianpwe."

   Demikian ia meringankan ketegangan diantara mereka.

   "Aku akan bercerita tentang segala kejadian itu....Dengan harapan, setelah selesai kau mengetahui duduk perkara, kau dapat melakukan sesuatu untukku."

   "Apakah tugas yang cianpwe hendak berikan?"

   Bertanya Tan Ciu.

   "Tidak sulit untuk kau kerjakan."

   Tan Ciu tidak menolak tawaran tersebut. Ia sangat tertarik kepada pengalaman mudanya wanita rambut panjang itu, tentunya luar biasa. Tan Ciu memasang kuping panjang-panjang. Dan wanita itu mulai bercerita.

   "Aku Thio Ai Kie "

   Entah mengapa, ia menghentikan katanya, memandang kearah luar, matanya menunjukkan sinar tajam.

   "Mengapa?"

   Bertanya Tan Ciu tak mengerti.

   "Ada orang datang."

   Berkata wanita yang bernama Thio Ai Kie itu. Tan Ciu memandang keluar. tidak terlihat ada sesuatu yang mencurigakan, Ia memasang kuping juga tidak ada urusan lain. kecuali suara hujan yang masih belum berhenti.

   "Ada orang?"

   Tan Ciu kau kurang percaya.

   "Benar."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Ia sedang menuju kearah kita."

   "Aah. tidak kudengar adanya suara langkah kaki itu."

   "Kini jaraknya semakin dekat. hanya seratus meter lagi."

   Bila apa yang dikatakan oleh wanita itu benar hal itu sungguh sulit dibayangkan.

   Mungkinkah dapat mendengar suara derap langkah seseorang yang masih berada dijarak seratus meter? Sedangkan keadaan itu masih turun hujan? Suara berisiknya angin ribut turut mengganggu.

   Betapa hebat ilmu pendengaran wanita yang bernama Thio Ai Kie ini.

   Thio Ai Kie berkata.

   "Aku hendak bercerita tanpa gangguan. Tapi orang ini akan segera tiba."

   "Ia masih datang?"

   "Arahnya tidak berubah. Kukira ia akan datang untuk menghindari serangan hujan."

   "Tentunya kemari?"

   "Betul... Eh... Heran. rumahku belum pernah mendapat kunjungan orang. Hari ini, setelah kedatanganmu, muncul lagi orang ini. ia datang lebih dekat."

   Kuping Tan Ciu sudah dapat menangkap suara derap langkah kaki orang yang baru datang, ia harus memuji ketajamannya kuping Thio Ai Kie.

   dapat mendengar suara yang dua kali lipat dari pendengaran dirinya.

   Tiba tiba ....

   Terdengar suara pintu diketuk orang "Siapa ?"

   Bertanya Thio Ai Kie.

   "Seorang pengembara yang ditimpa hujan. dapatkah memberi kelonggaran untuk meneduh."

   "Silahkan."

   Pintu itu didorong, dan seorang tua berjalan masuk. Melihat wajah itu, tiba-tiba Tan Ciu berteriak.

   "Kau!?"

   Orang itu pun melihat adanya Tan Ciu. ia juga terkejut.

   "Kau?"

   Terlihat sekian perobahan pada wajahnya yang menjadi terang. Kedua orang itu saling pandang, Thio Ai Kie menyaksikan hal tersebut memandang kedua tamunya, ia bertanya.

   "Kalian saling kenal ?"

   "Lebih dari kenal."

   Katanya.

   "Kedatanganku ketempat ini dengan maksud tujuan mencari dia."

   Siapakah yang mencari Tan Ciu? Orang yang mengejar Tan Ciu sehingga sampai digunung Ceng-in adalah si Pendekar Angin Sin Hong Hiap.

   Bagaimana Sin Hong Hiap dapat mengejar datang? Bagaimana ia tahu bahwa Tan Ciu sedang menuju gunung Ceng-in ? Ini adalah suatu pertanyaan.

   Memandang Tan Ciu beberapa saat.

   lalu Hong Hiap berkata kepadanya.

   "Ho ho.... bila tidak diganggu oleh hujan, perjalanan akan kuteruskan, gagallah aku menemukanmu."

   "Kedatanganmu khusus mencari aku?"

   Bertanya Tan Ciu heran.

   "Betul, sebelum kau masuk kedalam Gua Kematian, aku harus menemukanmu."

   Disebutnya nama Gua Kematian. membuat Thio Ai khie membelalakkan mata. Tan Ciu berkerut.

   "Bagaimana kau tahu, aku sedang melakukan perjalanan ke Gua Kematian?"

   Ia menatap wajah pendekar tua itu.

   "Mengapa tidak tahu? Setiap perbuatan tidak mungkin dirahasiakan, bukan?"

   "Maksudmu?"

   "Menuntut balas. Aku harus membunuhmu."

   Berkata Sin Hong Hiap tegas.

   "Jauh-jauh kau mengejar datang untuk membunuh seseorang?"

   "Betul. Dendam kematian muridku harus mendapat wajah yang paling sempurna. Bila kubiarkan kau masuk kedalam Gua Kematian, setelah kau menjadi seorang linglung sinting, tiada guna dan tiada arti sama sekali. Kau harus tahu, membunuh seseorang harus menanggung akibat. Kau membunah muridku, maka aku harus membunuhmu."

   Wanita berambut panjang, Thio Ai Kie turut bicara.

   "Kalian ada menaruh dendam ?"

   "Betul"

   Berkata si Pendekar Dewa Angin Sin Hong Hiap.

   "Pemuda ini bernama Tan Ciu ia telah membunuh muridku."

   Thio Ai Kie memandang Tan Ciu.

   "Kau telah membunuh murid orang?"

   Ia meminta kepastian.

   "Benar."

   Tan Ciu tidak menyangkal.

   "Mengapa membunuh orang?"

   Tegur lagi Thio Ai Kie. Tan Ciu bercerita soal kematian Chiu-it Cong, segala sesuatunya diceritakannya dengan jelas.

   "Betulkah cerita itu?"

   Thio Ai Kie memandang Pendekar Dewa Angin Sin Hong Hiap. Jago tua itu menganggukkan kepala.

   "Kematian yang dicari sendiri."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "He "

   Sin Hong Hiap terbelalak.

   "Julukanmu pendekar Dewa Angin, kata-kata Pendekar itu tidak mudah didapat. Mengapa mempunyai murid yang seperti itu? Kematiannya akan membebaskan dirimu dari kekotoran dunia, mengapa harus menuntut balas."

   Sin Hong Hiap mendebat.

   "Chio It Cong dilahirkan sebagai muridku segala sesuatu harus diserahkan kepadaku. Orang luar tidak berhak ikut campur."

   "Dimisalkan aku yang menemukan kejadianku, aku pun akan membunuh Chio It Cong."

   Wajah Sin Hong Hiap berubah.

   "Ternyata kalian telah bersekongkol?"

   Ia sangat marah. Thio Ai Kie berkata dingin.

   "Pada tiga jam yang lalu, aku belum kenal dengan orang yang bernama Tan Ciu ini."

   "Mengapa membela dirinya?"

   Tegur Sin Hong Hiap.

   "Kebenaran ada dipihaknya."

   "Kebenaran berada dipihak yang berkuasa."

   Sin Hong Hiap berdengus.

   Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Gunakanlah sedikit aturan."

   "Aku tidak kenal, apa itu artinya aturan."

   Pendekar Dewa Angin Sin Hong Hiap agaknya telah naik pitam. Wanita rambut panjang Thio Ai Kie tidak mau kalah. dengan geram ia membentak.

   "Sin Hong Hiap. lekas kau keluar dari rumahku."

   Ia mengusir, Sin Hong Hiap tertawa dingin.

   "Ingin main keras?"

   Ia tidak takut.

   "Sebelum aku malah memaksa kau keluar dari sini. Ada baiknya kau tahu diri. Keluarlah!"

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Ha ha... Aku segera meninggalkan rumah ini setelah berhasil membunuh Tan Ciu."

   "Tidak mungkin."

   "Bagus! Akan kubuktikan kepadamu, siapa yang berkuasa. dialah yang menang."

   Sin Hong Hiap menutup kata-katanya dengan satu pukulan.

   Arah tujuannya bukan wanita rambut panjang itu, tapi batok kepala Tan Ciu, ia benci kepada pemuda itu, Tan Ciu adalah orang yang telah menghilangkan jiwa muridnya juga menjatuhkan nama Sin Hong Hiap yang ternama.

   Langkah Sin Hong Hiap telah berpikir masak-masak, bila ia bergebrak dengan wanita rambut panjang itu, mengingat ilmu kepandaian orang yang seperti berada diatas Tan Ciu, tentu memakan waktu lama, entah bagaimaua akhir pertempuran mereka.

   Thio Ai Kie tidak tinggal diam.

   Tubuhnya melesat menggulung pukulan Sin Hong Hiap Sin Hong Hiap telah menduga akan adanya gangguan itu.

   maka ia bergerak cepat, memukul Tan Ciu dengan kecepatan kilat.

   Di samping tak lupa ia mengadakan penjagaan diri, Menangkis dan menyingkirkannya.

   Sin Hong Hiap bergerak lebih dahulu, Thio Ai Kie menyusul belakangan, tapi kecepatan wanita rambut panjang itu sungguh luar biasa.

   bukan saja berhasil menangkis serangan Sin Hong Hiap yang mengancam Tan Ciu, lain serangan yang mengancam pendekar tua itu tidak gagal.

   Buumm, Bummm......

   Telapak tangan Thio Ai Kie telah mampir dipunggung dibelakang Pendekar Dewa Angin Sin Hong Hiap.

   Darah merah muncrat dari mulut sipendekar Angin.

   Inilah akibat dari kecongkakkan Sin Hong Hiap mendapat nama puluhan tahun, belum pernah dikalahkan orang, apalagi berhadapan dengan wanita berambut panjang yang dianggap sipil, ia hanya menggunakan setengah bagian, dengan sisa tenaga lainnya tetap menyerang Tan Ciu.

   Karena itulah, ia menderita kerugian.

   Tan Ciu terbelalak.

   Dengan jatuhnya Sin Hong Hiap terbuktilah betapa hebat ilmu kepandaian wanita yang bernama Thio Ai Kie ini.

   Wajah Sin Hong Hiap terlihat sangat seram, bibirnya meleleh darah, matanya disipitkan.

   hanya sebelah.

   Rasa benci penasaran.

   sakit hati dan dendam bercampur menjadi satu.

   "Baik."

   Akhirnya ia berkata lemah.

   "Aku Sin Hong Hiap menerima kekalahanku. Lain kali, aku akan balik kembali mengadakan pembalasan."

   Tubuhnya melesat ingin keluar dari pintu. Thio Ai Kie lebih cepat, ia sudah menghadang kepergian si jago tua. serta merta mengeluarkan bentakan.

   "Tunggu dulu!"

   "Apa lagi yang kau mau ?"

   Sin Hong Hiap mempentang kedua matanya.

   "Aku harus menahan kepergianmu."

   Kata Thio Ai Kie.

   "Bagus! Belum tentu aku dapat mati dibawah tanganmu."

   Sin Hong Hiap telah menderita luka yang tidak ringan, suaranya pun agak lemah.

   "Aku tidak berniat membunuhmu."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Maksudmu."

   "Melarang kau meninggalkan rumah ini."

   "Bagus. Aku harus menerjang keluar."

   Berkata Sin Hong Hiap yang disertai gerakan tubuhnya.

   Thio Ai Kie tidak berpeluk tangan, tangannya bergerak- gerak, menutup jalan si Pendekar Dewa Angin.

   Beberapa kali Sin Hong Hiap menerjang, beberapa kali pula ia tertahan.

   Kecepatan Thio Ai Kie luar biasa.

   kini menggunakan jari 'Cret!' menotok jalan darah Sin Hong Hiap.

   Si jago tua itu jatuh tubuhnya.

   Tan Ciu sangat berterima kasih kepada wanita berrambut panjang itu, bila tidak ada Thio Ai Kje yang membantu dirinya, pasti ia terluka dibawah tangan Sin Hong Hiap.

   Mungkin pula ia sudah mati saat ini.

   "Atas bantuan cianpwe, aku Tan Ciu mengucapkan terima kasih,"

   Demikian berkata si pemuda.

   "Aku benci kepada manusia-manusia congkak sebangsa Sin Hong Hiap."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Bagaimana cianpwee hendak menempatkan dirinya?"

   Bertanya Tan Ciu dengan jari tangan menunjuk kearah Sin Hong Hiap yang jatuh tengkurap.

   "Biarkan saja ia tidur ditempat itu. Setelah selesai kita bercerita, akan kuusahakan, bagaimana harus menyelesaikan dirinya."

   Tan Ciu tidak mengusut terlalu panjang, Thio Ai Kie berkata gemas.

   "Bila bukan karena kedatangannya ceritaku sudah selesai. Ia banyak mengganggu waktu kita. Eh. masih bersediakah kau mendengarkan ceritaku?"

   Tan Ciu menganggukkan kepala.

   "Oh. kudengar kau hendak masuk kedalam Goa Kematian?"

   "Betul!"

   "Apa maksudmu masuk kedalam gua itu?"

   Bertanya Thio Ai Kie.

   "Aku harus menolong dirinya."

   Berkata Tan Ciu sambil menunjuk kearah Cang Ceng Ceng. Thio Ai Kie memandang gadis itu sebentar, kemudian bertanya.

   "Lukanya berat?"

   "Sangat berat."

   "Mengapa harus masuk kedalam Gua Kematian?"

   "Lukanya bukan luka biasa. Ia mendapat tekanan ilmu Ie-hun Tay-hoat."

   "Ie-hun Tay-hoat?"

   Bertanya Thio Ai Kie tersekut.

   "Betul. Dikatakan orang. hanya Penghuni Gua Kematian yang dapat menghilangkan tekanan ilmu Ie-hun Tay-hoat."

   Thio Ai Kie menganggukkan kepalanya.

   "Tidak dapat disangkal."

   Ia berkata.

   "Tapi. pernahkah dengar tentang peraturan Gua Kematian?"

   "Merusak alam pikiran orang yang memasukinya. Itukah peraturannya ?"

   "Betul. Dan setiap orang yang telah masuk kedalam Gua Kematian, ia akan menjadi sinting linglung."

   "Aku tahu."

   Berkata Tan Ciu.

   "Aku rela mengorbankan diriku."

   "Demi keberuntungannya bukan?"

   Thio Ai Kie menunjuk kearah Cang Ceng Ceng, Tan Ciu membenarkan pertanyaan itu. Thio Ai Kie berkata kepada Tan Ciu.

   "Cerita yang akan kukisahkan ada hubungannya dengan Penghuni Guha Kematian itu,"

   "Ooo..."

   Tan Ciu semakin tertarik.

   "Namaku Thio Ai Kie,..."

   Wanita itu mulai bercerita.

   "Dia Kho Liok."

   Tangannya menunjuk kearah peti mati merah ditengah-tengah ruangan. Tan Ciu mengerti, tentunya pemuda yang didalam peti mati itulah yang dimaksudkan bernama Kho Liok.

   "Kecuali kami berdua, tokoh ketiga adalah kakakku yang bertama Thio Bie Kie."

   Meneruskan cerita Thio Ai Kie.

   "Kami bertiga terlibat didalam kisah percintaan."

   Tan Ciu sudah menduga akan hal itu, ia memasang kuping lebih tajam. Thio Ai Kie meneruskan ceritanya.

   "Kakakku sangat sayang kepadaku. kami dibesarkan bersama, tanpa ada kasih sayang orang tua, mereka telah tiada. Kami hidup bersama beberapa saat dan berguru kepada seorang nenek ahli silat yang bernama Kui Boh Cu. Dikala aku genap berumur dua puluh tahun, tidak sedikit pemuda-pemuda yang melamarnya, tapi semua lamaran itu ditolak ia tidak mau meninggalkan diriku. aku dianggap anak kecil, selalu membimbing diriku. Dikatakan olehnya, sebelum aku mendapatkan jodohku, ia tidak akan menikah dengan orang. Ia lebih suka diam dirumah, sedangkan aku sering berkelana, dengan ilmu kepandaian yang kumiliki, aku berhasil mendapatkan gelar Pendekar Wanita Berbaju Hitam "

   Thio Ai Kie menghentikan ceritanya, ia bermuram durja, tentunya sedang mengenang akan kejadian masa silamnya. Tak lama Thio Ai Kie merenung, lalu meneruskan pula ceritanya.

   "Karena kebinalan aku itulah. aku berkenalan dengan seorang pemuda yang bernama Kho Lok."

   Sambung cerita wanita itu.

   "Kami saling jatuh cinta. Orang-orang yang mengiri pada cinta kami memberi tahu kepadaku. dikatakan bahwa pemuda bernama Kho Liok inilah ahli wanita. tukang mempermainkan wanita. penggoda wanita. Tapi tidak kuterima kisikan-kisikan itu. Di sampingku. Kho Liok sangat baik dan patuh. tidak mungkin seorang hidung belang. kami sangat puas merantau kebeberapa tempat, dibawah buaian asmara kami melupakan semua kedukaan dunia."

   "Dan kalian menikah?"

   Tan Ciu mengemukakan dugaan.

   "Belum."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Desas-desus semakin santer segera kutanyakan kepada dirinya. dari mana asal desas desus itu. Ia menyangkal, dikatakan bahwa mereka tak tahu menahu, kecuali aku, ia belum pernah jatuh cinta kepada orang. Itu waktu aku meninggalkan kakakku, maka ia tak tahu juga tak dapat meminta pendapatnya. Kata-kata Kho Liok yang berkesan ialah, ia mengatakan telah melakukan suatu kesalahan besar. Kutanyakan, kesalahan apakah yang telah diperbuat? Ia tidak mau memberi keterangan yang lebih jelas. Betul-betul aku sangat cinta kepadanya. Maka urusan itu tidak kutarik panjang."

   Tan Ciu mendengarkan cerita tersebut dengan penuh perhatian.

   "Pada suaru hari."

   Thio Ai Kie melanjutkan cerita.

   "Kami bercakap-cakap tentang keluarga masing-masing. kukatakan bahwa aku masih mempunyai seorang kakak yang bernama Thio Bie Kie, wajahnya berubah. Dengan acuh tak acuh ia mendengarkan cerita itu tanpa suara. Dan dengan alasan sakit kepala ia berpisah. Itulah perpisahan untuk jangka waktu yang lama, tanpa pamit lagi ia meninggalkan diriku."

   "Mungkinkah ada sesuatu yang menyangkut Thio Bie Kie cianpwe?"

   Tan Ciu mengemukakan pendapat. Thio Ai Kie menganggukkan kepala.

   "Musuh Thio Bie Kie?"

   Bertanya lagi Tan Ciu.

   "Bukan."

   "Mengapa ia lari tanpa pamit?"

   "Dia adalah kekasih Thio Bie Kie."

   "A a a a "

   "Ia mengatakan, pernah melakukan suatu kesalahan, itulah yang dimaksudkan. Sebelum kami berkenalan. Thio Bie Kie telah berhubungan dengannya, itu waktu aku sedang berkelana, maka tidak tahu hal tersebut. Bila aku tahu adanya hubungan diantara mereka, tentu aku dapat menghindari kisah percintaan."

   "Kalian kakak dan adik sangat mengasihi, seharusnya mudah diselesaikan, bukan?"

   
Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berkata Tan Ciu.

   "Akupun memikirkan begitu, segera pulang dan kutemui, Thio Bie Kie, kuceritakan semua kejadian, kuceritakan tentang semua yang menyangkut Kho Liok. Thio Bie Kie tidak mendengar habis semua kisahku tatkala mendengar nama Kho Liok disebut, ia jatuh pingsan Aku bingung. Cepat-cepat kusadarkan Thio Bie Kie. setelah ia sadar dari pingsannya, dengan marah mencaci maki diriku, belum pernah aku melihat ia marah besar seperti itu. Aku takut sekali. Ternyata kisah percintaannya dengan Kho Liok tidak sengaja, mereka telah melewati batas-batas persahabatan. tanpa disengaja cinta kakakku kepada Kho Liok hanya sepihak, sedangkan Kho Liok tidak cinta padanya. Kisah mereka dimulai setelah Kho Liok terluka, ia lari mendapatkan Thio Bie Kie. luka itu luar biasa, dikelabui musuh sehingga menerima bisa racun yang jahat. Thio Bie Kie berusaha menyembuhkan dirinya, didalam keadaan setengah sadar, mereka telah mengadakan hubungan yang melampaui batas, Setelah Pho Liok sembuh. dikatakan ia harus menuntut balas. dan ia pergi... Pergi untuk tidak kembali lagi. Thio Bie Kie merana, tapi aku tidak diberi tahu tentang penderitaan itu. Aku meninggalkan kakakku. kucari Kho Liok dibeberapa tempat. akhirnya aku berhasil menemukannya. Kutegur mengapa dia berani mempermainkan kami kakak beradik? Dikatakannya ia tidak bermaksud mempermainkan kami, orang yang dicintai adalah aku, sedangkan hubungan dengan Thio Bie Kie dilakukan tanpa sadar, itu waktu bisa racun belum semua keluar, ditambah dengan cinta Thio Bie Kie kepada dirinya, maka terjadilah tragedi tersebut... Aku cinta kepada Kho Liok tapi aku lebih cinta kepada kakakku. Kuanjurkan kepadanya agar kembali kesamping Thio Bie Kie, ia menolak. Kami bertengkar dengan hasil kesudahan matinya dia dibawah tajamnya pedangku."

   "Aaaa .."

   Tan Ciu mengerti akan duduknya perkara dari hasil percintaan segitiga.

   "Bukan maksudku untuk membunuh Kho Liok."

   Meneruskan cerita Thio Ai Kie. Suaranya menjadi sember. air matanya telah membasahi wajah setengah tua itu.

   "Dengan sedih aku menggendong jenazahnya, kubawa pulang dan kutemukan Thio Bie Kie kuceritakan segala kejadian yang telah terbentang dihadapannya, kesalahan tersebut tidak dapat diperbarui lagi."

   "Thio Bie Kie cianpwee tidak dapat memaaffkan?"

   Bertanya Tan Ciu.

   "Dengan jatuh bangun dari pingsannya, ia menangis sesambatan, mengapa aku berlaku ceroboh, membunuh orang yang kami cintai? Dikatakan aku kejam, tidak mau ia mempunyai seorang adik kejam, sifat-sifatnya berubah hampir menjadi gila, kulihat perubahan pada wajahnya, aku tinggalkan begitu saja. Mulai hari itu aku tinggalkan oleh dua orang yang kukasihi, Kho Liok mati. Thio Bie Kie lari, Untuk menebus dosaku, aku menetap disini, kukawani jenazah Kho Liok sehingga hari ini."

   "Tidak ada kabar beritakah dengan Thio Bie Kie cianpwe?"

   Bertanya Tan Ciu.

   "Dia adalah Penghuni Guha Kematian yang akan kau kunjungi itu."

   "Aaaaaa "

   "Sifatnya telah berubah, aku diancam dilarang memasuki guhanya. setiap orang yang masuk kedalam guha tersebut akan mengalami tekanan jiwa. otaknya dimiringkan, mereka menjadi sinting dan linglung.

   "

   Thio Ai Kie selesai mengisahkan cerita tentang percintaan dan sebab musabab dari keluarga mereka. Selesai mengisahkan cerita lama, Thio Ai Kie berkata.

   "Dapatkah kau membantu diriku."

   "Akan boanpwe usahakan."

   Berkata Tan Ciu.

   "Kukira tidak sulit untuk kau lakukan."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Permintaanku tidak banyak. Apalagi mengingat kau sedang menuju kearah Guha Kematian. lebih mudah lagi. Tolong kau sampaikan rasa penyesalanku kepada Thio Bie Kie. Mau tidaknya ia menerima rasa penyesalanku, terserah kemudian hari."

   Tan Ciu memberikan janjinya, ia menerima tugas tersebut.

   "Dan aku mempunyai lain permintaan."

   Berkata lagi Thio Ai Kie.

   "Katakanlah."

   Tan Ciu memandang wanita berambut panjang itu.

   "Tolong kau kebumikan jenazahnya."

   Thio Bie Kie menunjuk kearah peti mati merah yang berisi mayat Kho Liok. Tan Ciu terbelalak.

   "Bukankah ingin kau kawani terus menerus?"

   Ia tahu betul akan hal itu, maka tidak segera melulusi permintaan orang.

   "Kini, pikiranku telah berubah."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Kukira sulit."

   Berkata Tan Ciu.

   "Setelah kukebumikan dirinya. Mungkin kau bongkar kembali, Kau akan mengawani dirinya."

   Thio Ai Kie menggeleng-gelengkan kepala. Katanya tegas.

   "Aku tidak mengebumikan dirirya, karena aku tidak tega. Tapi kau orang lain, kukira akan dapat menolong diriku."

   "Baiklah."

   Tan Ciu tidak keberatan.

   Pada hari berikutnya, didepan rumah kayu itu telah bertambah satu makam baru itulah makam Kho Liok.

   Tan Ciu menyaksikan Thio Ai Lie bersembahyang.

   Beberapa saat kemudian, Thio Ai Kie bangkit, memandang Tan Ciu seraya wanita itu berkata.

   "Aku mengucapkan terima kasih kepadamu."

   "Dengan senang hati. Aku melakukan pekerjaan ini."

   Tan Ciu merendah.

   Sebelum jenazah Kho Liok dikebumikan, Thio Ai Kie pernah meminta mutiara Jit goat-cu, yang pada sebelumnya berada dalam mulut jenazah Kho Liok.

   Kini, dari dalam saku bajunya, ia mengeluarkan lagi mutiara tersebut diserahkan kepada Tan Ciu dan berkata kepada si pemuda.

   "Ambillah mutiara ini."

   Tan Ciu mundur, dengan menggeleng-gelengkan kepada menolak.

   "Tidak dapat kuterima hadiah pemberianmu."

   "Kukira, kau akan membutuhkannya. Mutiara Cit goat- cu dapat menghilangkan semua bisa racun. dapat tahan panasnya api dan dapat mengusir dinginnya es, sangat mujijat untuk pengobatan-pengobatan. Aku tidak membutuhkannya. Terimalah."

   Setelah dipaksa. Tan Ciu menerima pemberian yang sangat berharga itu.

   "Terima kasih."

   Ia berkesan baik kepada Thio Ai Kie.

   "Kau ingin menjumpai kakakku?"

   Bertanya Thio Ai Kie. Tan Ciu menganggukkan kepala.

   "Sudah berpikir masak-masak, akan akibat yang akan kau derita?"

   Tanya lagi Thio Ai Kie. Lagi-lagi Tan Ciu menganggukkan kepala.

   "Hanya jalan ini yang dapat kutempuh untuk menolong Cang Ceng Ceng dari kesengsaraan."

   "Tapi. kau akan menggantikan dirinya. kau akan lebih sengsara."

   "Sudah boanpwe pikirkan masak masak."

   "Kudoakan saja kau berhasil."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Terima kasih."

   Berkata Tan Ciu.

   "Kau tahu dimana letak Guha Kematian?"

   Bertanya lagi Thio Ai Kie.

   "Boanpwe membutuhkan keterangan yang lebih jelas. Tentunya cianpwe tidak keberatan untuk memberi tahu, bukan?"

   Thio Ai Kie memberi tahu letak tempat Guha Kematian.

   Membawa Cang Ceng Ceng.

   Tan Ciu mengambil berpisah dengan wanita itu mereka harus melanjutkan perjalanan.

   kearah Guha Kematian.

   Dengan adanya petunjuk Thio Ai Kie, secara mudah Tan Ciu berhasil menemukan Guha Kematian.

   Disuatu lereng lembah, pada bawah tebing curam yang sangat tinggi, terdapat sebuah guha dengan tulisan 'GUHA KEMATIAN'.

   Tak gentar dengan menggendong tubuh Cang Ceng Ceng.

   Tan Ciu memasuki guha tersebut.

   Guha tersebut tidak terjaga, sangat gelap, jauh didepannya, baru terlihat titik terang.

   Hal itupun menandakan betapa panjang dari isi Goba Kematian.

   Berjalan setengah bagian, tiba-tiba terdengar ada suara yang membentak.

   "Berhenti."

   Datangnya suara dari lorong gelap lain, ternyata Guha Kematian mempunyai cabang. Tan Ciu menghentikan langkahnya. Terdengar lagi suara itu berkata.

   "Dengan maksud apa kau berada ditempat ini?"

   Itulah suara seorang wanita. Tan Ciu memberikan jawaban.

   "Boanpwe harus menyembuhkan seseorang."

   "Kau tahu bahwa kau telah memasuki Guha Kematian."

   "Boanpwe tahu."

   Jawab Tan Ciu tenang.

   "Dengan tentang peraturan Guha Kematian?"

   "Cukup paham."

   Suara wanita itu terhenti sebentar, kemudian berkata.

   "Kuanjurkan kepadamu ada lebih baik untuk kembali. Segeralah keluar dari guha ini."

   Tan Ciu tidak takut kepada gertakkan itu.

   "Dengan siapakah boanpwe berhadapan?"

   "Seharusnya kau tahu."

   Berkata suara itu.

   "Penghuni Guha Kematian ?"

   "Heemm ..."

   "Boanpwe ada urusan, maka boanpwe tidak akan keluar guha sebelum urusan itu berhasil."

   "Berpikirlah lagi, apa akibatnya, bila seseorang berani masuk kedalam Guha Kematian?"

   "Sudah boanpwe pikirkan. dapatkah bertemu muka?"

   "Aku tidak bersedia menemui orang."

   "Bounpwe mohon dengan sangat."

   "Permohonan itu kutolak."

   "Kawan wanitaku sangat membutuhkan pertolongan."

   "Itu urusanmu. Bukan urusanku."

   Berkata penghuni Guha Kematian ketus.

   "Dia segera mati."

   "Sudah kukatakan, bukan urusanku."

   "Tapi..."

   "Tanpa tapi. Lekas kau keluar."

   "Aku telah berada ditempat ini. Mengapa harus keluar lagi?"

   "Ingin mencari kematian ?"

   "Ha. ha "

   "Apa yang kau tertawakan ?"

   "Kukira kau bukan Penghuni guha Kematian."

   "Mengapa kau mempunyai pikiran seperti itu ?"

   "Tidak cocok dengan apa yang digambarkan orang,"

   "Apa yang orang gambarkan tentang diriku?"

   Suara wanita didalam lorong guha gelap itu tergetar agaknya ingin tahu, apa yang dunia luar ceritakan tentang keadan guha Kematiannya.

   "Kau Thio Bie Kie?"

   Bertanya Tan Ciu.

   "Eh....."

   Disebutnya nama Thio Bie Kie sangat mengejutkan.

   "Mengapa tidak menjawab?"

   Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tegur lagi si pemuda.

   "Bagaimana kau tahu, ada orang bernama Thio Bie Kie?"

   Suara itu semakin bergetar. didalam dunia persilatan, siapakah yang mengetahui bahwa Penghuni Guha Kematian bernama Thio Bie Kie? Dan Tan Ciu dapat menyebut nama itu. Suatu hal yang mengejutkan orang yang bersangkutan.

   "Ingin tahu?"

   Berkata lagi Tan Ciu berada diatas angin.

   "Katakan. dari mana kau tahu nama itu?"

   Bentak suara yang belum terlihat.

   "Akan kuberi tahu kepadamu. setelah kita bertema muka, secara tuan rumah dan seorang tamu. Bukan seperti keadaan ini, didalam keadaan gelap gulita."

   "Aku tidak bersedia menerima tamu,"

   Itulah suara wanita didalam Guha Kematian.

   "Kau kira setelah menyebut nama Thio Bie Kie, aku dapat menerima kedatanganmu, kau mengimpi."

   Tan Ciu mengasah otak. Bagaimana ia dapat menemui orang ini? Kecuali menggunakan tipu saja.

   "Aku menemukan seseorang ..,"

   Ia ingin menggunakan kelemahan Tho Bie Kie.

   "Siapa yang telah kau temukan?"

   Bertanya suara wanita didalam kegelapan itu.

   "Seorang yang bernama Kho Liok,"

   Berkata Tan Ciu sambil menunggu reaksi orang. Suara penghuni Guha Kematian tidak terkejut, terdengar ia membentak.

   "Kemudian!".

   "Kho Liok menceritakan tentang keadaan dirimu."

   Berbohong Tan Ciu, Ia menduga sedang berhadapan dengan Thio Bie Kie.

   "Tidak mungkin. Suara wanita itu berteriak.

   "Kho Liok sudah tidak ada!"

   "Kau salah."

   Berkata Tan Ciu.

   "Sungguh2 aku telah melihat Kho Liok."

   Wajah jenazah Kho Liok yang Tan Ciu maksudkan. Tapi ia tidak menyebut dengan jelas sengaja memancing keluar lawan.

   "Kau menemuinya didalam impian."

   Berkata penghuni guha Kematian itu.

   "Sungguh."

   Berkata Tan Ciu dengar suara pasti.

   "Dimana?"

   "Didalam sebuah rumah kayu."

   Lagi-lagi Tan Ciu main lidah, entah rumah kayu yang mana yang dimaksudkan olehnya, mungkin rumah kayu Thio Ai Kie. mungkin juga rumah kayu didalam liang kubur Kho Liok. Suara wanita itu berteriak.

   "Tidak mungkin ... Ooooo ...!!"

   Dengan kepintaran otaknya, ia maklum bahwa dirinya sedang ditipu mentah-mentah dengan tenang ia berkata.

   "Aku mengerti ... Kau sedang menggunakan akal untuk memancing diriku keluar menemuimu. bukan? Putuskanlah harapanmu ini. Semua itu tidak dapat mengelabui diriku."

   "Tidak percaya? Aku adalah murid Kho Liok."

   Semakin lama Tan Ciu semakin mengelindur jauh.

   "Ha. ha .. siapa namamu ?"

   "Tan Ciu."

   "Apa ?! ... Tan Ciu ?! . ."

   Dari lagu suara orang yang tersentak dan terputus hati Tan Ciu hampir mencelat.

   Agaknya orang itu pernah mendengar dirinya, maka sangat terkejut.

   Dikala orang tersebut mendengar nama Thio Bie Kie disebut, ia terkejut! Mendengar nama Tan Ciu disebut, ia lebih terkejut lagi.

   = oooOdwOooo = Wanita yang berada didalam Guha Kematian terkejut karena Tan Ciu menyebut namanya.

   itulah tidak masuk diakal, karena jarang sekali orang yang mengetahui dirinya telah menjadi penghuni Guha Kematian.

   Tan Ciu menyebut nama dirinya dan wanita didalam guha gelap itupun lebih terkejut, ini agak tidak mudah dimengerti.

   Apakah yang dikejutkan olehnya ? "Hei "

   Tan Ciu berteriak.

   "Kenalkah kepadaku?"

   "Uh... Uh... mengapa harus kenal kepadamu?"

   Suara itu memberikan jawaban yang samar-samar.

   "Mengapa kau terkejut ?"

   "Aku terkejut? Heh.... Nama Tan Ciu ini pernah kudengar."

   "Siapa orang itu? Siapa yang memberi tahu namaku ?"

   "Orang yang pernah masuk kedalam Guha Kematian. Kau putra Tan Kiam Lam bukan? Tidak perduli putra siapa. ada lebih baik bila kau bersedia meninggalkan guha."

   "Bila tidak? Kau akan membunuh?"

   "Aku belum pernah membunuh orang."

   "Hanya memiringkan otak orang,"

   Berkata Tan Ciu.

   "Itupun lebih kejam dari pada pembunuhan."

   "Hee, he. he . , . Kau pintar."

   "Aku bersedia menanggung segala resiko, setelah kau menyembuhkan penyakit kawan wanitaku ini."

   "Tidak mungkin."

   "Tolonglah."

   Tan Ciu mulai memohon.

   "Dengarlah kata-kata peringatanku, segera kau meninggalkan Guha Kematian."

   "Tidak . , . Ti ...dak . ."

   Tan Ciu menjadi kalap, ia menerjang masuk.

   Terdengar berkesiurnya angin, satu serangan menyerang pemuda itu.

   Tan Ciu mengadakan tangkisan.

   datang lagi lain serangan, bertubi-tubi.

   didalam keadaan gelap gulita.

   Tan Ciu berdaya.

   tiba-tiba dirasakan kepalanya berat ada jari yang menotok dirinya, matanya terkatup tububhnya roboh, ia jatuh pingsan.

   Keadaan masih tetap gelap .....

   Satu bayangan menenteng Tan Ciu dengan lain tangan membawa tubuh Cang Ceng Ceng.

   Bayangan inilah yang berdebat sekian lama diperut guha tadi.

   Kemanakah Tan Ciu dibawa? Bayangan itu sangat langsing, dengan menenteng dua tubuh.

   ia dapat bergerak dengan leluasa, keadaan didalam guha sangat apal sekali.

   Dengan menekan satu tombol.

   lalu guha terbuka, berbeda dengan keadaan guha yang semula, guha ini sangat terang, Wajah wanita yang Tan Ciu kira sebagai Panghuni Guha Kematian ini telah terpetang jelas.

   Ia belum tua, sangat muda, terlalu muda.

   Tan Ciu telah jatuh pingsan.

   maka tidak dapat menyebut nama si gadis.

   bila Tan Ciu melihat pasti ia terkejut, inilah si Ular Golis dari eks perkumpulan Ang mo kauw.

   Ang-mo kauw berarti perkumpulan Iblis Merah.

   Perkumpulan yang dibangun dan akhirnya jatuh dibawah tangan Sim In.

   Dia bukan Thio Bie Kie? Bukan.

   Dia adalah murid Thio Bie Kie.

   Si Ular Golis yang pernah Tan Ciu temukan di perkumpulan Ang mo kauw.

   Kini mudah dimengerti, tatkala ia mendengar nama Tan Ciu, ia sangat terkejut.

   Itulah pemuda yang pernah menolong dirinya.

   Tidak dapat ia membiarkan pemuda tersebut rusak dibawah tangan gurunya.

   Ular Golis adalah murid Penghuni Guha Kematian Thio Bie Kie, Membawa Tan Ciu dan Cang Ceng Ceng, si Ular Golis memasuki sebuah ruangan yan terang benderang, didalam ruangan itu berduduk seorang wanita berbaju hitam.

   itulah penghuni Guna Kematian Thio Bie Kie, orang menjadi guru si Ular Golis.

   "Ada orang masuk kedalam Guha Kematian?"

   Bertanya Thio Bie Kie.

   "Betul."

   "Eh. mengapa kau membawa kemari ?"

   "Dia ada urusan dan ingin bertemu dengan suhu."

   "Mengapa tidak merusak pikiran otaknya?"

   Thio Bi Kie mengadakan teguran.

   "Suhu . .. Dia...dia mengetahui namamu."

   "Oooo..."

   "Dikatakan lagi, dia adalah murid Kho Liok cianpwe,"

   "Aaaa !"

   Thio Bie Kie berteriak. Badannya gemetaran.

   "Tidak mungkin. Tidak mungkin .. !"

   Dan akhirnya ia berhasil menguasai keterangan hati.

   "Tidak mungkin!! Telah tiga puluh tahun ia mati "

   "Dari mana ia tahu nama itu?"

   "Tentunya telah bertemu dengan Thio Ai Khie."

   Thio Bie Kie mengeluarkan dugaan.

   "Dia menggendong seorang gadis yang tidak sadarkan diri, dikatakan membutuhkan pertolonganmu."

   "Membawa seorang gadis yang terluka? Beratkah luka gadis itu."

   "Sangat berat sekali."

   "Yang gadis boleh kita terima. Dan setiap laki-laki adalah manusia kurang ajar, pemuda inipun tidak terkecuali, geser saja otaknya. Beres."

   "Suhu ..."

   "Mengapa?"

   "Boleh aku mengajukan permohonan untuknya?"

   Ular Golis ingin membalas budi yang Tan Ciu lepas kepadanya. Manakala Thio Bie Kie mengabulkan permintaan itu, ia luput dari kematian.

   "Aku heran, mengapa kau tidak melakukan tugasmu dengan baik, ternyata ada sedikit cerita dibalik batu."

   Berkata Thio Bie Kie.

   
Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Suhu pada satu tahun yang lalu, dialah yang menyelamatkan jiwaku dari kematian."

   Ular Gelis memberi penjelasan.

   "Mungkinkah aku tidak pernah menyelamatkan jiwamu dari kematian?"

   Bertanya Penghuni Guha Kematian itu.

   "Suhu . ."

   "Hm... Aku dapat menduga, siapa adanya pemuda ini. Dia adalah orang yang bernama Tan Ciu itu, bukan ?"

   "Betul."

   "Cintakah kau kepadanya."

   Ular Golis menundukan kepala. Sangat rendah kebawah. Penghuni Guha Kematian Thio Bie Kie berkata dengan suara dingin.

   "Apa dia juga cinta kepalamu?"

   "Dia tidak tahu, apa yang terkandung didalam hatiku."

   Berkata Ular Golis lemah.

   "Lupakah kepada ceritaku? Aku menjadi korban dari korban perasaanku. Laki-laki tidak boleh dipercaya. Dan dia akan merusak hidupmu."

   "Suhu . ."

   "Kau sungguh mengecewakanku."

   "Suhu, maafkan muridmu yang tidak dapat melakukan tugas ini. Suhu bersedia memberi pengampunan ?"

   Thio Bie Kie memandang Tan Ciu karena hubungannya dengan Kho Liok, ia membenci setiap lelaki, termasuk juga Tan Ciu. Matanya beralih kearah Cang Ceng Ceng, dan ia berkata.

   "Siapa gadis itu ?"

   Ular Golis memberikan jawaban.

   "Dikatakan kawan wanitanya ?"

   "Hm... Laki-laki yang seperti ini tidak patut dibiarkan hidup segar, pandai mengambil hati Wanita, tukang memikat hati wanita."

   Dengan sinar mata penuh kebencian. ia menggangkat tangannya. Ular Golis sangat paham akan sifat-sifat yang dimiliki sang guru, ia berteriak.

   "M i n g g i r !"

   Ular Golis menubruk baju, bertiarap diatas tubuh Tan Ciu dan sesambatan.

   "Suhu, bunuhlah aku dahulu."

   Thio Bie Kie menatap wajah sang muridnya, wajahnya yang galak telah berubah menjadi lemah. ia menurunkan tangannya.

   "Oh... Cintamu salah tempat."

   Ular Golis menatap wajah guru itu.

   "Suhu bersedia mengampuni jiwanya?"

   Ia meminta kepastian.

   "Bukalah totokannya."

   Thio Bie Kie memberi perintah.

   Ular Golis melihat perobahan wajah guru itu.

   segera ia tahu bahwa jiwa Tan Ciu dapat ditolong.

   dengan beberapa totokan, ia menghidupkan jalan darah si pemuda yang disumbat.

   Tan Ciu menggeliat bangun, terkenang akan kejadian yang belum lama dialami, sangkanya sudah mati, segera ia bergumam.

   "Mungkinkah aku belum mati ?"

   Terdergar suatu suara menyahuti.

   "Bila tidak ada muridku yang mengajukan permohonan, tentunya kau telah mati."

   Tan Ciu memandang kearah datangnya suara itu. sinar penerangan terang mempetakan gambar seorang wanita.

   "Kau . .?"

   Ia tidak kenal kepada Penghuni Guha Kematian.

   "Aku adalah Penghuni Guha Kematian Thio Bie Kie."

   "A a a a . .."

   Per-lahan2 Tan Ciu memperhatikan isi guha itu, matanya tertumbuk dengan sepasang mata si Ular Golis, lagi2 ia berteriak.

   "Aaa...!"

   Ia berteriak.

   "Masih kenal denganku?"

   Ular Golis tertawa getir.

   "Ular Golis?"

   Hal ini berada diluar dugaan Tan Ciu, bagaimana Ular Golis dapat berada didalam Guha Kematian.

   "Betul."

   Gadis itu menganggukkan kepalanya, Tan Ciu sedang ber-pikir2 didalam perkumpulan Ang- mo-kauw Ular Golis telah menyerahkan obat Seng-hiat- hoan-hun-tan mungkin ada hubungan dengan Thio Bie Kie? "Bagaimana kau berada ditempat ini?"

   Ia ingin mengetahui duduk kejadian.

   "Aku yang menolong dirinya,"

   Berkata Penghuni Goha Kematian Thio Bie kie. Ular Golis adalah anggota Ang mo-kauw, setelah Sim-in mati dengan sendirinya perkumpulan itu membubarkan diri. Hari ini si gadis telah menjadi anak buah Guha Kematian. Terdengar lagi Thio Bie Kie berkata.

   "Berani kau masuk kedalam Guha Kematian. Nyalimu sungguh besar, he?"

   "Ingin merusak otak pikiranku?"

   Bertanya Tan Ciu.

   "Inilah peraturan kami."

   Berkata Penghuni Guha Kematian Thio Bie Kie. Tan Ciu tidak gentar. dengan tenang berkata.

   "Aku berani masuk kemari. Hal ini sudah kuperhitungkan. Kawan wanitaku ini terkena oleh pengaruh ilmu Ie-hun Tay-hoat, tolonglah kau memberi kebebasan."

   "Akan kuusahakan."

   Berkata Thio Bie Kie.

   "Terima kasih. Kini aku menyerahkan diri."

   Berkata Tan Ciu.

   "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu"

   Berkata lagi Penghuni Guha Kematian.

   "Tentunya, kau telah berhasil bertemu dengan Thio Ai Kie ?"

   "Ia tinggal tidak jauh dari sini."

   Jawab Tan Ciu.

   "Apa yang diceritakan kepadamu?"

   "Kulihat kau telah salah paham. Kehidupannya jauh lebih menderita darimu. Ia sangat sengsara, penderitaan batin itu sukar dilenyapkan, Maksudku . .."

   "Cukup."

   Bentak Thio Bie Kie.

   "Aku tidak mau mendengar cerita ini."

   Walaupun demikian. Karena Thio Ai Kie itu adalah satu2nya adik kandung. satu-satunya orang yang paling dicintai. perasaannya tidak lepas dari getaran kalbu. terlihat jelas dari gerak geriknya yang berlainan.

   "Bila kau tidak bersedia mendengar cerita aku tidak akan memaksa kau memasang kuping."

   Berkata Tan Ciu.

   "Kalian, kaum laki-laki adalah kaum penipu."

   Berkata Thio Bie Kie penuh derita.

   "Tidak ada seorang yang pernah kutipu,"

   Berkata Tan Ciu.

   "Bagaimana hubunganmu dengan muridku?"

   Bertanya Penghuni Guha Kematian itu. Tan Ciu memandang si Ular Golis.

   "Dia cinta padamu."

   Berkata Thio Bie Kie.

   "Oh ..."

   Diluar dugaan Tan Ciu. Ia sangat terkejut.

   "Bila bukan dia yang memohon pengampunan tidak mungkin Kau dapat mempertahankan kesegaran otakmu."

   Tan Ciu tertegun. Tidak disangka bahwa gadis itu jatuh cinta pada dirinya. Penghuni Guha Kematian Thio Bie Kie berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Jalan yang terbentang dihadapanmu hanya ada dua jurusan."

   Tan Ciu memandang wanita itu.

   "Katakanlah."

   "Jalan pertama, aku dapat memberi ampun kepadamu, dangan syarat harus menikah dengan muridku."

   "A a a a a ...!"

   Tan Ciu berteriak kaget. Tidak pernah disangka. dirinya akan dijodohkan dengan Ular Golis. Hal ini sulit untuk diterima. Memandang wanita tua itu. dengan menggoyangkan kepala ia berkata.

   "Permintaan Cianpwe menyulitkan orang."

   Thio Bie kie memancarkan sinar mata penasaran.

   "Kau menolak."

   "Boanpwe menolak."

   Disamping mereka, si Ular Golis Sauw-tin menundukkan kepala. jawaban itu sudah berada didalam perhitungan dirinya. Thio Bie Kie membentak.

   "Mengapa? Martabat muridku tidak dapat mengimbangimu?"

   "Jodoh seseorang tidak dapat ditentukan dari seimbang atau tidak seimbang martabat-martabat mereka."

   Tan Ciu menemukan alasan.

   "Mengapa kau menolak mengawini muridku?"

   Bertanya lagi Thio Bie Kie.

   "Bila aku berniat mengawini dirinya. aku dapat bicara langsung dengannya. Tanpa adanya paksaan orang ketiga."

   "Maksudmu aku tidak boleh memaksa."

   "Kira-kira demikian."

   "Bagus! Berani kau menentang diriku?"

   Thio Bie Kie tidak puas.

   "Cinta bukanlah sesuatu yang boleh diperintah oleh seseorang,"

   Tan Ciu tidak gentar kepada Penghuni Guha Kematian.

   Thio Bie Kie memperhatikan wajah si pemuda terlalu berani, sangat menantang.

   berambekan besar, bertabiat keras, sangat luar biasa! Kesan kepada Tan Ciu menjadi baik.

   Teringat kepada cintanya yang mengalami kegagalan, mungkinkah jodohnya dengan Kho Liok dapat diperintah oleh seseorang.

   Kenangan lama membuat Thio Bie Kie melamun.

   Tan Ciu sangat puas dan ia berkata.

   "Bagaimana dengan jalan kedua?"

   Thio Bie Kie mengangkat pundak, ia berkata singkat. Sangat singkat, hanya satu patah kata.

   "K e m a t i a n !"

   Tan Ciu melototkan matanya. Ia masih muda tentu tidak ingin memilih jalan kematian. Thio Bie Kie berkata.

   "Hanya dua jalan yang akan kusebutkanlah yang terbentang dihadapan dirimu."

   Tan Ciu bungkam, menerima jalan yang telah ditentukan orang. ia tidak mau. Menentang petunjuk itu, berarti mempercepat riwayat hidupnya. Ular Golis Siauw Tin membuka mulut.

   "Suhu ..."

   Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jangan kau turut bicara!"

   Thio Bie Kie membentak murid itu. Ular Golis bungkam. Thio Bie Kie memperhatikan Tan Ciu dan membentak pemuda itu.

   "Lekas kau pilih dua jalan itu!"

   "Tidak ada jalan ketiga?"

   "Tanpa jalan lain."

   "Apa boleh buat aku harus memilih jalan yang kau sebut belakangan."

   Berkata Tan Ciu.

   Suatu hal yang berada diluar dugaan Thio Bie Kie.

   Ia menyediakan dua jalan kepada pemuda itu.

   satu adalah jalan kematian, dan satu lainnya tersedia gadis cantik, jalan kebahagiaan.

   Dengan alasan apa, Tan Ciu menolak kesenangan memilih kematian ? Mungkinkah si pemuda tidak takut mati? Tidak mungkin.

   Semua orang akan berusaha menghindari diri dari kematian, menjauhi kematian.

   termasuk juga pemuda yang berada didepannya.

   Penghuni Guha Kematian Thio Bie Kie mengeluarkan suara gerengan, kini mengangkat tangannya, bertindak maju mendekati pemuda itu.

   Ular Golis menjadi kaget, ia berteriak.

   "Suhu . .!"

   "Tutup mulut."

   Bentak wanita itu.

   "Pergi kau menyingkir jauh-jauh."

   Ular Golis sudah membuka mulut.

   maksud ingin memohon lagi.

   dibentak seperti itu.

   hatinya menjadi ciut, ketahui jelas.

   segala langkah sang guru sangatlah keras, tidak boleh diganggu.

   Thio Bie Kie telah maju satu tapak.

   Tiba-tiba Tan Ciu berteriak.

   Wajah Thio Bie Kie menjadi terang.

   Dengan puas ia berkata.

   "Bersedia menerima tawaranku?"

   "Tidak."

   Berkata Tan Ciu.

   "Apa lagi yang ingin kau kemukakan?"

   Bertanya wanita itu. Ia mengerutkan alis.

   "Sebelum aku mati, ada beberapa patah kata yang ingin kukatakan. pesan ini kutujukan kepada muridmu."

   O00de-^-wi00O

   Jilid 16 IA menunjuk kearah Ular Golis. Gadis itu telah basah dengan air mata, cepat-cepat ia berkata.

   "Apa yang ingin kau katakan ?"

   Tan Ciu berkata.

   "Aku mendapat pesan dari Thio Ai Kie cianpwe untuk menyampaikan rasa penyesalannya kepada gurumu. Aku tidak berhasil, kini jiwaku sudah berada diambang pintu kematian, tugas ini kuserahkan kepadamu ..."

   "Akan kuusahakan."

   Berkata Ular Golis Siauw-tin, sikapnya sangat sedih.

   "Permintaanku yang kedua ialah, tolong kau sampaikan khabar kematianku kepada seorang kakek bungkuk yang bernama Kui Tho Cu. dia berada didalam Benteng Penggantungan."

   Ular Golis menganggukkan kepalanya, ia menyanggupi tugas itu.

   "Dan dari Kui Tho Cu itu, kau dapat mengetahui orang yang harus kubunuh tolong wakilkan diriku membunuh orang itu. Bersediakah?"

   Sekali lagi Ular Golis menganggukkan kepala.

   "Terima kasih."

   Tan Ciu mengakhiri percakapan itu. Kini ia menghadapi Thio Bie Kie, menyerahkan diri kepada Penghuni Guha kematian.

   "Bunuhlah."

   Ia berkata.

   Atas sikap si pemuda yang sangat berani, Thio Bie Kie harus menaruh salut, walaupun demikian, ia harus mempertahankan gengsinya.

   ialah dikatakan ingin memburuh pemuda itu dan kata-kata ini harus dilaksanakan, tangannya diangkat lagi.

   Tan Ciu mengerti, hal ini tidak dapat dielakkan.

   ada baiknya ia bersikap Kesatria.

   Mati tanpa keluhan suara.

   Manakala Thio Bie Kie hendak menurunkan tangan maut, tiba-tiba wajahnya berkerut.

   matanya berpaling kearah pintu guha seolah-olah terdengar sesuatu hendak melihat sesuatu yang belum diketahui.

   Tan Ciu memandang segala perubahan itu dengan rada berkesiap.

   Ular Golis Siauw Tin berteriak.

   "Suhu, ada orang datang."

   Thio Bie Kie menganggukkan kepala. ia berkata pada sang murid.

   "Jaga baik-baik orang ini."

   Tubuhnya melesat, meninggalkan mereka. Datangnya orang itu disaat yang tepat. Tan Ciu terhindar dari kematian. Ular Golis mendekati pemuda itu, ia memanggil perlahan.

   "Tan Ciu, sangat menyesal. aku tak dapat berbuat sesuatu, guruku terlalu keras serta berkepala batu, sulit untuk berdebat dengannja,"

   "Aku tahu."

   Berkata Tan Ciu tertawa getir.

   "Eh, bagaimanakah harus memanggilmu?"

   "Namaku Siauw Tin. panggil saja dengan nama sebutan itu."

   "Siauw Tin, bukan maksudku memandang rendah atau menghina dirimu, penolakanku atas usul gurumu yang ingin memaksakan perjodohan kita berdasarkan kenyataan."

   "Seharusnya kau menerima tawaran itu."

   Berkata Siauw Tin. Hati Tan Ciu tergetar.

   "Mengikat tali hubungan suami isteri denganmu? Mungkinkah kau bersedia?"

   "Aku tidak keberatan. Dimisalkan kau tidak cinta padaku, akupun tidak memaksa. Jalan yang terbaik ialah turuti dahulu segala kemauan guruku, setelah itu dikemudian hari kita dapat menentukan hidup sendiri, boleh kita berpisah lagi setelah kita keluar dari Guha Kematian kau bebas memilih gadis lain sebagai isteri yang sah."

   "Aku tidak dapat menodai namamu."

   "Turutlah nasehatku, maka kau dapat bebas dari kematian. Aku berjanji, aku tidak akan mengikat kebebasanmu untuk memilih istri."

   "Kau sudah berpikir tentang segala akibat dari langkah ini ?"

   "Berpikirlah kepada keselamatan jiwamu."

   "Aku berteiima kasih kepada pengorbananmu."

   "Kau bersedia menerima usulku?"

   "Baiklah."

   "Aku berjanji, aku tidak mengekang kau memilih istri."

   Cerita diatas adalah cerita didalam Guha Kematian. Diluar Guha kematian, satu bayangan muncul cepat memasuki guha gelap itu. Thio Bie Kie memapaki datangnya bayangan itu, ia membertak.

   "Siapa!"

   Bayangan itu berhenti, dengan suara penuh derita memanggil.

   "Cie cie "

   Dia adalah penghuni rumah kayu, wanita berambut panjang Thio Ai Kie, adik dari penghuni Guha Kematian. Thio Bie Kia berhenti dengan ketus ia berkata.

   "Siapa yang kau panggil? Aku tidak kenal kepadamu."

   "Ciecie. lupakah kepala suara adikmu?"

   Bertanya Thio Ai Kie sedih.

   "Tidak dapatkah kau memaafkan kesalahanku ?"

   "Aku tidak mempunyai adik."

   Berkata Thio Bie Kie dingin.

   "Ciecie. aku mohon pengampunan."

   "Cukup."

   "Ciecie."

   "Sekali lagi kuperingatkan kepadamu, jangan sekali-kali kau memasuki tempat ini lagi. Lekas keluar!"

   "Ciecie..."

   "Segera kubunuh dirimu. Tahu?"

   "Kau tidak dapat memaafkan kesalahanku."

   "Lekas kau pergi."

   Penghuni Guha Kematian Thio Bie Kie mengusir adik itu.

   "Baik kau tidak dapat memberikan pengampunan, kedatanganku ini ada maksud tujuan lain, kuharap kau tidak mengganggu Tan Ciu."

   "Hmm .... Tan Ciu? ...Segera akan kubunuh pemuda itu."

   "Aku memohon keikhlasan hatimu."

   "Aku bukan seorang pemurah."

   Thio Ai Kie putus harapan. Timbul rasa kecewanya. Tiba-tiba ia menjadi panas hati, dengan kemarahan yang meluap-luap, ia berkata.

   "Kau kejam?"

   Thio Bie Kie mengeluarkan suara dari hidung.

   "Hanya karena seorang laki-laki, kau menjadikan dirimu sebagai manusia aneh, kau merusak diri sendiri. Kau telah merusak penghidupan tenang."

   "Kau adalah biang keladi kekacauan."

   Berkata Thio Bie Kie.

   "Kau telah membunuh dirinya."

   "Aku sangat menyesal."

   Berkata Thio Bie Kie.

   "ia yang segala sesuatu telah terjadi. apa yang dapat kulakukan? Kecuali beruraha mengenang kesalahan itu? Tidak seperti dirimu mengerusak diri sendiri, mengerusak diri orang. Selama ini, berapa banyakkah orang yang telah kau rusak, apakah yang kau dapat dari hasil perbuatanmu itu ?"

   "Kepuasan."

   "Aku telah melakukan suatu kesalahan tanpa disengaja. Tapi kau melakukan kesalahan2 yang kau ketahui, betapa jahatnya perbuatanmu itu."

   "Tutup mulutmu."

   "Aku salah. Kau juga salah. Aku berusaha membenarkan kesalahanku. mengapa kau kukuh menyiksa diri sendiri?"

   "Huh. ingin memberi nasehat kepadaku."

   "Betul. Hari ini aku ada niatan untuk memberi nasehat kepadamu."

   "Bagus! Kau sudah berani. hee?"

   Wajah Thio Bie Kie membawakan sikap pembunuhan.

   Ia harus membunuh adik perempuan ini.

   Disertai dengan bentakannya, ia telah menyerang Thio Ai Kie.

   Serangan itu mengandung kekuatan yang memecah gunung membelah laut.

   
Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
latihan tenaga dalam sipenghuni Guha Kematian memang luar biasa.

   Thio Ai Kie dipaksa mengadakan perlawanan, ia berkata.

   "Ciecie, kau terlalu sekali."

   Pertama kali Thio Ai Kie mengunjungi Guha Kematian, hampir ia mati dibunuh tangan kejam itu, Itu waktu.

   ia tidak mengadakan perlawanan, rasa penyesalan yang tak terhingga telah memasrahkan dirinya.

   Kini ia mengerti, orang yang sudah mati tidak dapat dibangkitkan kembali.

   dan ia harus menolong orang yang belum mati.

   Tan Ciu tentu berada didalam bahaya.

   Kakak beradik itu mempunyai ilmu silat yang tinggi, begitu bergerak, sulit untuk membedakan kedua bayangan, mereka gesit, mereka cepat, saling serang dan saling bertahan.

   Masing-masing harus mempertahankan diri mereka.

   Drama baru yang akan mengotori sejarah dunia, dua saudara sedaging bertanding, disamping mereka adalah jurang maut, siapa lengah pasti binasa, mati ditangan saudara sendiri! Dalam sekejap mata, masing-masing telah mengeluarkan lima kali serangan.

   Dua wanita bergebrak didalam mulut Guha Kematian, mereka adalah sepasang perdedar kakak beradik Thio Ai Kie dan Thio Bie Kie.

   Sepuluh jurus lagi telah dilewatkan.

   Belum ada tanda- tanda akan berakhirnya pertandingan itu.

   yang satu gesit yang satu lincah.

   yang satu lihay dan yang lainnya kosen, ilmu kepandaian mereka adalah hasil didikan seorang guru.

   Masing-masing dapat mengetahui.

   tipu-tipu bagaimana yang akan dilontarkan oleh lawannya.

   Dua bayangan menyusuri Guha Kematian, mereka keluar dari dalam menuju kearah dua orang yang sedang berkutet seru itu.

   Thio Ai Kie dan Thio Bie Kie mengirim satu pukulan, setelah itu mereka terpisah.

   Dua pasang mata menuju kearah dua bayangan yang keluar dari dalam perut guha itu, Mereka adalah Tan Ciu dan Siauw Tin.

   Thio Bie Kie memandang Siauw Tin.

   sikapnya sangat marah.

   "Mengapa kau mengijinkan dia meninggalkan tempat?"

   Demikianlah kira-kira teguran guru tersebut kepala sang murid yang ditugaskan menjaga Tan Ciu.

   Thio Ai Kie memandang Tao Ciu, ia girang melihat keselamatan sipemuda yang belum terganggu.

   Tan Ciu segera mengenali kepada penghuni rumah kayu berambut panjang itu, ia menunjukan hormatnya.

   "Cianpwe. ."

   Thio Ai Kie membalas dengan satu anggukkan kepala.

   "Bagaimana kalian bergebrak tangan?"

   Berkata Tan Ciu kepada kedua wanita itu.

   "Jangan kau turut campur urusan ini."

   Berkata Thio Bie Kie. Thio Ai Kie berkata.

   "Ia ingin membunuh diriku. Apa boleh buat. Aku harus melayaninya."

   "Kalian adalah adik dan kakak, seharusnya..."

   Tan Ciu ada maksud untuk menjadi juru pemisah. Thio Bie kie membentak.

   "Hei. ingin campur tangan urusan orang?"

   Tan Ciu berusaha menyabarkan diri, dengan tenang ia berkata.

   "Begitu bencikah kau kepada adik kandung sendiri?"

   "Aku harus membunuh adik yang merusak kehidupanku."

   Berkata Thio Bie Kie.

   "Dimisalkan kau berhasil membunuhnya, hasil apakah yang kau dapat dari pembunuhan itu?"

   "Kurang ajar!"

   Thio Bie Kie sangat marah, tangannya dilayangkan memukul pemuda itu.

   Thio Ai Kie telah siap sedia, begitu melihat gerakan sang kakak.

   tubuhnya telah melesat menyelak ditengah kedua orang itu.

   ia menangkis serangan yang ditujukan kearah Tan Ciu.

   Kakak beradik itu bertempur kembali, Tan Ciu membentang bacot.

   "Thio Bie Kie cianpwe ..."

   Thio Bie Kie tidak melayani panggilan pemuda itu, dirinya sedang digencar serangan serangan oleh sang adik. ia menangkis setiap serangan itu.

   "Thio Bie Kie cianpwe, tidak ada alasanmu untuk membunuh adik kandungmu sendiri."

   Berteriak lagi Tan Ciu. Kini Thio Bie Kie merangsek Thio Ai Kie, mendengar kata-kata si pemuda. ia mengundurkan serangannya, serta merta mendebat.

   "Ia juga membunuh orang yang kukasihi."

   "Kesalahan itu telah ditebus, betapa menderita ia karenanya, penderitaan ini lebih berat dari segala penderitaan yang ada."

   "Maka, aku harus membunuhnya."

   Berkata lagi Thio Bie Kie sambil menyingkirkan diri dari serangan Thio Ai Kie. Tan Ciu masih tidak mau menutup mulut. ia berkata.

   "Dimisalkan kau berhasil membunuhnya, mungkinkah Kho Liok cianpwe dapat bangkit dari liang kubur? Apa lagi mengingat ilmu kepandaian kalian yang sama kuat, mungkinkah dapat membunuh Thio Ai Kie cianpwe dengan mudah?"

   Thio Bie Kie tertegun, ia terpaku ditempat.

   Hampir- hampir menjadi korban pukulan sang adik.

   Beruntung Thio Ai Kie tak ada niatan untuk membunuh kakak itu, ia menarik pulang serangan dan berdiri disamping dinding guha.

   Pertempuran terhenti karenanya.

   Tan Ciu berkata lagi.

   "Kenangkanlah kembali penghidupan kalian dimasa kecil, kalian hanya hidup berdua, tolong menolong dan bantu membantu, betapa mesra hidup seperti itu. Satu sama lain saling mencinta, kalian adalah kakak beradik teladan. Binalah kembali kemesraan hidup itu."

   "Tidak seharusnya ia membunuh orang yang kucintai."

   Thio Bie Kie berteriak.

   "Berpikirlah lagi, cinta tidak dapat diabadikan secara sepihak, kau cinta kepada Kho LioK cianpwe, tapi cintakah Kho Liok cianpwe kepadamu. Janganlah kau mementingkan diri sendiri saja, berpikirlah kepada kebahagiaan adikmu. dia adalah orang yang Kho Liok cianpwe cintai. cinta ini tidak dapat kau rebut begitu saja."

   Thio Bie Kie membelalakan mata, kemudian meruntuhkan pandangan itu ketanah.

   "Berpikirlah. siapa diantara kalian berdua yang Kho Liok cianpwe cintai?"

   Tegur lagi Tan Ciu kepada penghuni Guha Kematian itu.

   "Oh "

   Thio Bie Kie mengeluarkan keluhan tertahan.

   "Mungkinkah kau tidak tahu cinta orang?"

   Desak lagi Tan Ciu kepadanya.

   Thio Bie Kie lebih mengerti tentang cinta.

   Dia maklum bahwa orang yang Kho Liok betul-betul cintai bukanlah dirinya.

   Kho Liok lebih cinta kepada Thio Ai Kie, hubungannya dengan Kho Liok berdasarkan budi yang telah ditanam.

   berlangsungnya hubungan mereka berada didalam keadaan lupa daratan.

   dikala Kho Liok belum berhasil menguasai kejernihan pikirannya.

   Demikian hal itu terjadi.

   Tan Ciu menerusKan pembicaraannya.

   "Cinta bukanlah semacam barang dagangan, karena itu ia tidak dapat dipaksakan. Mengambil contoh kejadian tadi, kau memaksa aku mengawini Siauw Tin, apa akibat kejadian itu bila aku menerima tawaranmu? Kukira akan seperti Kho Liok cianpwe denganmu"

   Thio Bie Kie diam ditempat. Tan Ciu menyambung lagi pembicaraannya.

   "Kini Kho Liok cianpwe telah tiada, dialam baka ia pasti bersedih, atas ketidak akurannya kalian dua saudara."

   Ini waktu si Ular Golis Siauw Tin turut membujuk sang guru.

   "Suhu ada baiknya kau menerima rumusan Tan Ciu."

   Thio Ai Kie juga memanggil.

   "Cie cie, aku berjanji untuk menyenangkan dirimu "

   Tiba-tiba Thio Bie Kie telah berteriak.

   "Bagus. Kalian telah mengadakan persekongkolan, kalian menghina diriku ... Uh . .. nasibku memang sial sekali..."

   Ia membalikkan badan, lari masuk kedalam guha gelap.

   Semua orang terpaku.

   Sayup-sayup terdengar suara tangis isak Thio Bie Kie, datangnya dari guha dalam.

   Thio Ai Kie, Tan Ciu dan Siauw Tin melangkahkan kaki mereka, menuju kearah guha dalam.

   Sebentar kemudian, mereka berhasil menemukan Thio Bie Kie, si penghuni Guha Kematian yang sedang menangis sesenggukkan ditempat pembaringan.

   Tan Ciu memandang Siauw Tin.

   Dan gadis yang dipandang menganggukkan Kepalanya, dengan suara perlahan ia berkata.

   "Kukira. bujukanmu telah berhasil."

   "Mungkinkah ia marah kepadaku?"

   "Aku percaya, ia dapat mengubah sifat-sifat lamanya."

   Disaat Itu. Thio Ai Kie telah mendekati sang kakak. Ia memanggil perlahan.

   "Cicie "

   Thio Bie Kie menangis semakin keras. Thio Ai Kie bersujud dihadapan kakaknya dengan sedih ia berkata.

   "Cicie. mungkinkah kau tidak dapat memaafkan kesalahanku?"

   Thio Bie Kie mendongakan kepala, dengan mata basah, ia memandang adik itu. Tiba-tiba Thio Ai Kie menubruk, ia turut menangis mengucurkan air mata. Thio Bie Kie membiarkan dirinya dipeluk, sikapnya masih tetap dingin.

   "Ciecie."

   Panggil lagi Thio Ai Kie.

   "Bila kau tetap membenciku, bunuhlah aku, aku sudah bosan hidup, apa guna hidup sebatang kara? Hidup merana seperti ini?"

   Tiba-tiba Thio Bie Kie balas memeluk adiknya. kini ia telah insaf, tiada guna membenci adik itu. telah lama ia kehilangan kasih sayang seorang adik, dan kini adik itu telah kembali. Mereka saling panggil.

   "Moay-moay , ."

   "Ciecie ..."

   Mereka saling peluk, mereka menangis bersama.

   Kesalah pahaman berhasil dilenyapkan, kakak beradik itu telah saling memaafkan kesalahan masing-masing, kini mereka telah berhasil kembali.

   Tan Ciu dan Siauw Tin turut menyaksikan kejadian tadi, merekapun mengeluarkan air mata, air mata terharu, air mata gembira, mereka terharu atas kejadian yang menimpa diri Thio Ai Kie dan Thio Bie Kie.

   mereka gembira karena berhasil menyatukan kembali dua saudara itu.

   Berapa lama kejadian berlangsung ...

   Suatu saat, Thio Ai Kie meloloskan diri dari rangkulan dan pelukan kakaknya, ia memanggil perlahan.

   "Ciecie ..."

   Thio Bie Kie menyusut air matanya.

   "Ciecie ..."

   Panggil lagi Thio Ai Kie.

   "Kau telah memaafkan kesalahanku?"

   Thio Bie Kie anggukkan kepala perlahan.

   "Semua itu telah lewat ..."

   Ia mengoceh perlahan.

   "Betul, semua telah lewat, kita harus memulai dengan hidup baru."

   Demikian Thio Ai Kie berkata.

   Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kita telah tua . ."

   "Aku menyesal sekali ..."

   Berkata Thio Ai Kie.

   "Mengapa aku dapat membunuh dirinya?"

   "Dimanakah kini kau menaruh jenazahnya."

   Bertanya Thio Bie Kie.

   "Telah dikebumikan."

   "Ooooo . .."

   "Ciecie, masih dapatkah kau menyayang diriku. Menyayang seperti dijaman kanak-kanak kita?"

   "Tidak seharusnya kita berpisah, hanya gara-gara seorang lelaki, tidak seharusnya kita saling benci."

   "Oh, ciecie .., kau baik sekali."

   Mereka memandang kearah Tan Ciu.

   "Kita orang-orang harus berterima kasih kepadanya."

   Berkata Thio Ai Kie. Thio Bie Kie menganggukkan kepala. Siauw Tin berteriak girang.

   "Suhu, tentunya kau tidak mengganggu orang lagi, bukan?"

   Thio Ai Kie terkejut.

   "Kau hendak membunuh Tan Ciu?"

   Ia bertanya cepat.

   "Kini tidak."

   Thio Bie Kie menggelengkan kepala.

   "Dia adalah seorang pemuda baik."

   Tan Ciu menunjukkan hormatnya ia berkata.

   "Terima kasih kepada kemurahan hati Cianpwe."

   Siauw Tin melirik kearah pemuda itu, dan mereka tertawa mengerti. Thio Bie Kie berkata.

   "Akulah yang seharusnya mengucapkan terima kasih. Kau telah menolong kami dari kesepian. Kau telah menyatukan kami dari kembali."

   Thio Bie Kie, Thio Ai Kie, Tan Ciu dan Siauw Tin merasa puas akan kesudahan dari kejadian itu.

   Kedatangan Tan Ciu telah melenyapkan keangkeran Guha Kematian.

   Mulai dari saat itu.

   mereka melenyapkan peraturan-peraturan yang mengganggu ketenangan orang.

   - oOdwOo - Didalam sebuah guha.

   berdiri tiga wanita dan seorang laki-laki, mereka adalah Thio Bie Kie.

   Thio Ai Kie.

   Siauw Tin dan Tan Ciu.

   Dipembaringan, tertidur seorang gadis berbaju putih, itulah Cang Ceng-ceng.

   Tan Ciu berkata.

   "Cianpwe, lekaslah menolong dirinya,"

   Thio Bie Kie berkata.

   "Jangan khawatir, telah kujanjikan untuk menolong dirinya. Kau boleh melegakan hati."

   "Telah terlalu lama ia dikekang oleh ilmu Ie-hun Tay- hoat."

   Tan Ciu memberikan keterangan.

   "Aku tahu. Sebelumnya aku hendak bertanya, bagaimana hubunganmu dengannya?"

   "Kawan biasa."

   Berkata Tan Ciu.

   "Kawan biasa?"

   Mengulang Thio Bie Kie.

   "Bukan kekasihmu."

   "B e t u l."

   "Timbul niatanku untuk menyerahkan sesuatu kepadamu?"

   Kemudian memandang sang adik, dan Thio Bie Kie berkata.

   "Moay-moay umur kita sudah tua bukan?"

   "Maksudmu?"

   Thio Ai Kie belum mengerti.

   "Apa guna kita mengangkangi ilmu kepandaian, tanpa digunakan?"

   Thio Ai Kie segera dapat menduga maksud tujuan kakak itu.

   "Kau artikan."

   "Ada baiknya menyerahkan ilmu kepandaian kita, dengan demikian. kita dapat membalas budi jasanya."

   "Setuju."

   Thio Ai Kie berteriak.

   Tan Ciu tertegun.

   Kejadian yang berada diluar dugaannya, Maksudnya Tan Ciu masuk kedalam Guha Kematian untuk menolong Cang Ceng-ceng.

   tentu harus mengadakan sedikit pengorbanan, jiwanya sudah siap disumbangkan.

   Kini ia batal mati.

   bahkan mendapat hadiah ilmu silat.

   Sungguh diluar dugaan.

   Siauw Tin menarik lengan baju si pemuda dan berkata kepadanya.

   "Lekas kau ucapkan terima kasihmu."

   "Mengucapkan terima kasih?"

   "Betul. Mereka akan memberi pelajaran ilmu silat kepadamu."

   "A a a a ... Mana boleh?"

   Thio Bie Kie berkata.

   "Mungkinkah segan kepada ilmu silat Guha Kematian? Ilmu sesat kau kira?"

   "Oh. tidak pernah terpikir sampai kesitu."

   Cepat Tan Ciu berkata. Thio Ai Kie juga berkata.

   "Tan Ciu, kau hendak melawan orang-orang kuat menuntut balas. Bila kau bersedia menerima ilmu silat kami, tentu mendapat kemajuan yang pesat."

   Tan Ciu mengucapkan terima kasihnya. Thio Bie Kie berkata.

   "Ilmu kami tidak mudah dipelajari, kau harus tinggal didalam Guha Kematian untuk beberapa waktu."

   "Tentu."

   Tan Ciu tidak keberatan. Menunjuk kearah Cang Ceng-ceng, Thio Bie Kie berkata.

   "Kau dapat ditinggalkan olehnya."

   "Akh, cianpwe pandai bergurau. Ternyata cianpwe sangat ramah, seperti tadi, sangat galak sekali."

   Thio Bie Kie tertawa. Siauw Tin mengikuti percakapan mereka, didalam hati gadis ini, timbul semacam perasaan yang sulit dikeluarkan. Thio Bie Kie telah menghampiri perbaringan, memegang dan memeriksa urat nadi Cang Ceng-ceng, tiba-tiba ia berteriak.

   "Hee, mengapa boleh terjadi seperti ini?"

   Tan Ciu terkejut.

   "Mengapa?"

   Si pemuda menjadi khawatir.

   "Ia dikekang oleh ilmu Ie-hun Tay-hoat, dirinya menderita luka parah, setelah itu ditotok lama, peredaran darahnya menjadi beku, ketiga macam tekanan ini memberatkan lukanya."

   "Tentu cianpwe dapat menyembuhkannya, bukan?"

   Bertanya Tan Ciu penuh harapan.

   "Aku tidak berdaya."

   Berkata Thio Bie Kie.

   "A a a a a .. .!"

   Wajah Tan Ciu berubah.

   "Tidak dapat ditolong sama sekali?"

   "Betul. Aku tidak dapat menolongnya?"

   "Uh... Cianpwe , . tolonglah "

   "Ha. ha. ha . .!"

   Tiba-tiba Thio Bie Kie tertawa. Tan Ciu tidak mengerti. Thio Bie Kie berkata.

   "Bila bukan kekasihmu, mungkinkah kau prihatin seperti ini?"

   Tan Ciu mengerti, ternyata Penghuni Guha Kematian sedang menggoda dirinya.

   "Cianpwe membikin orang bingung saja."

   Ia berkata.

   "Aku ingin mengetahui hatimu."

   Berkata Thio Bie Kie.

   "Sesungguhnya.luka kawan wanitamu ini memang agak berat."

   "Tapi Cianpwe dapat menyembuhkannya, bukan ?"

   "Tentu. aku membutuhkan waktu dua hari tanpa gangguan. Kalau boleh meninggalkan ruangan ini."

   Tan Ciu menganggukkan kepalanya. Thio Ai Kie berkata.

   "Cicie, aku harus pulang dahulu. Sin Hong Hiap masih berada didalam rumahku."

   Tan Ciu terkejut.

   "Bagaimanakah kejadian itu?"

   Ia bertanya.

   "Dia telah menjadi tamuku. Sikapnya yang tidak memandang orang telah berhasil kutekan. Kini ia tahu bahwa didalam dunia, masih tak sedikit orang berkepandaian tinggi yang dapat mengalahknnnya."

   "Bagus. Kukira, ia tak akan mengganggu diriku lagi."

   "Tentu saja. Setelah mewarisi ilmu kepandaian ciecieku, siapakah yang dapat menandingimu?"

   "Cianpwe memuji."

   Setelah meminta diri.

   Thio Ai Kie meninggalkan Guha kematian, kembali kerumah kayunya.

   Siauw Tin mengajak Tan Ciu keluar dari ruangan itu, membiarkan sang guru mengobati Cang Ceng Ceng.

   Menyusuri lorong-lorong didalam guha itu, Tan Ciu dan Siauw Tin bercakap-cakap.

   "Pernahkah gurumu menyembuhkan seseorang yang menderita tekanan ilmu Ie-hun Tay-hoat."

   Demikian Tan Ciu bertanya.

   "Belum."

   Tan Ciu menghela napas.

   "Jangan khawatir,"

   Siauw Tin memberi hiburan.

   
Pohon Kramat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Guruku telah memberi kesanggupan, pasti ia dapat menyembuhkannya."

   Dimulut si Ular Golis mengucapkan kata2 seperti itu, didalam hati, rasa sedihnya tidak kepalang. Tanpa disadari dua butir air mata jatuh ketanah. Tan Ciu terkejut.

   "Eh, kau mengapa?"

   Si pemuda bertanya.

   "Ternyata kau sangat cinta kepadanya."

   Berkata Siauw Tin penuh cemburu. Siauw Tin cemburu kepada Cang Ceng-ceng, Tan Ciu berkata.

   "Dia telah menolong diriku."

   Siauw Tin cemberut.

   "Mungkinkah aku tidak pern


Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini