Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 12


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 12


ja sama?"

   "Pertama-tama kita harus mencegah peta harta karun itu jangan sampai terjatuh ke tangan siapa pun."

   "Tapi peta harta karun itu berada di tangan siapa sekarang?"

   Menghadapi pertanyaan itu Han Siau-liong tertegun, ia balik bertanya.

   "Bukankah peta itu berada di tangan Hongkong Hwesio?"

   Mendadak dari tengah udara berkumandang lagi suara teriakan Mo Hui-thian.

   "Hwesio tua sahabat karibku, mengapa kau tidak berhasil menemukan peta harta karun itu?"

   "Omitohud, Mo-cengcu, sampai sekarang mengapa kau masih belum juga menampakkan diri?"

   Hong-kong Hwesio berkata. Tiba-tiba Han Siau-liong berpaling ke arah Bong Thian-gak dan bertanya sambil tertawa.

   "Bong-buncu, apakah kau tahu Mo-loji dimana bersembunyi?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Menurut berita dalam Bu-lim, Toa-cengcu ibarat naga sakti di balik mega yang nampak kepala tak nampak ekor, setelah berjumpa hari ini terbukti bahwa namanya memang bukan nama kosong belaka, hingga sekarang aku masih belum menemukan tempat persembunyiannya, artinya kita berdua telah menderita kekalahan di tangannya malam ini."

   Mendengar ucapan itu, Han Siau-liong tertawa terbahak.

   "Hahaha, bila ia tidak juga menampakkan diri, selamanya jangan harap dia bisa melepaskan serangan pedangnya untuk melukaiku."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Menurut cerita orang, selama bertarung Mo Hui-thian tidak pernah melancarkan serangan kedua, sebab saat dia menampakkan diri, musuh sudah roboh terlebih dahulu karena tertusuk, konon kecepatan gerak pedangnya tidak berada di bawah kemampuan Liu Khi."

   "Aku dengar Liu Khi sudah bertarung melawan Bonglumen?"

   Tiba-tiba Han Siau-liong bertanya.

   "Aku tak lebih hanya mencoba pisau terbang daun Lilinya aja/' kata Bong Thian-gak tertawa.

   "Liu Khi dari partai kami memiliki jurus serangan yang nangat lihai dan kelihaiannya terletak pada permaianan golok mustika ynnK tersoreng di pinggangnya itu."

   "Ya, aku pun pernah mendengar orang membicarakan hal itu,"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Menurut pendapat Bong-buncu, mungkinkah antara Hongkong Hwesio dengan Mo-loji telah terjalin suatu hubungan yang sangat akrab dan sehidup semati?"

   "Ah, aku rasa mereka hanya saling memanfaatkan kelebihan lawan, padahal keduanya sama-sama mempunyai rencana tertentu,"

   Jawab Bong Thian-gak sambil sengaja meninggikan suaranya. Han Siau-liong tertawa.

   "Hahaha, kalau begitu di antara kita tak ada seorang pun yang berani turun tangan."

   "Apakah Han-heng masih sanggup menahan diri dan menunggu lebih lama?"

   "Bila Siaute sudah memperoleh persetujuan Bong-buncu, tentu saja tak akan menunggu lebih lama."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Dengan kekuatan kita berdua, rasanya hanya mampu untuk melawan Hong-kong Hwesio dan muridnya, apakah Han-heng tidak kuatir Mo Hui-thian akan menjadi si nelayan yang beruntung?"

   "Siaute tidak percaya Hong-kong Hwesio dan muridnya begitu sukar dilawan."

   Bong Thian-gak tertawa ringan.

   "Kalau begitu dengan kemampuan Han-heng seorang pun sudah cukup untuk melawan Hong-kong Hwesio dan muridnya, buat apa kau mesti mengajak aku bekerja sama?"

   "Yang kukuatirkan adalah Mo Hui-thian yang berada di sisi arena."

   "Bukankah dari pihak kalian masih ada Liu Khi?"

   Tegur Bong Thian-gak sambil tersenyum. Han Siau-liong tertegun mendengar perkataan itu, kemudian katanya sambil tertawa kering.

   "Wah, tampaknya Bong-buncu bukan orang tolol."

   "Mana ... mana,"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "tahu diri, tahu keadaan lawan, setiap pertarungan baru bisa dimenangkan dengan sukses dan gemilang."

   "Sekali pun Bong-buncu tak bersedia bekerja sama, dengan kemampuanmu seorang rasanya juga susah menguasai keadaan."

   Bong Thian-gak tertawa.

   "Seandainya aku bekerja sama dengan Mo Hui-thian atau Hong-kong Hwesio beserta muridnya untuk melawan kalian, mungkinkah bagi Han-heng serta Liu Khi meraih keuntungan besar?"

   Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, sayang sekali Bong-buneu telah membunuh Thia Leng-juan, kalau tidak, aku memang patut menguatirkan kerja samamu dengan Hong-kong Hwesio."

   Sekali lagi Bong Thian-gak tersenyum.

   "Biarpun Hong-kong Hwesio ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, namun peta harta karun jauh lebih penting artinya daripada membalas dendam, oleh sebab itulah hingga sekarang Hong-kong Hwesio masih belum berani bertindak secara sembarangan, masakah Han-heng tidak melihat?"

   Sesungguhnya Han Siau-liong telah berusaha keras memeras otak menarik Bong Thian-gak demi kepentingan pihaknya, selain dipakai juga untuk menghadapi Hong-kong Hwesio, tapi Bong Thian-gak bukan orang bodoh, ia cukup memahami maksud dan tujuan Han Siau-liong yang sebenarnya.

   Alhasil usaha Han Siau-liong pun menjadi sia-sia belaka.

   Di pihak lain, Hong-kong Hwesio sendiri pun bukan orang sembarangan, ia cukup tahu setiap orang yang bersembunyi di sekitar kuil Hong-kong-si pada malam ini merupakan jagojago persilatan yang lihai.

   Bila dia berani menyerang satu di antaranya, niscaya pihaknya akan menjadi sasaran pengeroyokan orang lain.

   Setelah melalui pengamatan seksama, ia dapat merasakan bahwa musuh yang paling tangguh saat ini tak lain adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak.

   Sementara itu dari tengah udara kembali berkumandang suara Mo Hui-thian.

   "Hwesio sahabat karib, sudah hampir enam puluh tahun kita berkenalan, masa kau tidak bersedia membagi sebagian harta itu kepadaku? Keadaan sekarang sudah jelas, dengan kemampuan kalian beberapa orang rasanya sulit untuk mempertahankan peta harta karun itu, asal Lohwesio menyetujui, aku pun bersedia mengerahkan semua kekuatan kami guna bersama-sama menghadapi partai pengemis, Put-gwa-cin-kau serta Hiat-kiam-bun."

   Baru selesai perkataan Mo Hui-thian tadi, dari sisi sebelah barat wuwungan rumah tiba-tiba melintas cahaya putih secepat sambaran kilat menyambar ke atas pohon waru tepat di hadapannya.

   Kecepatan cahaya itu sangat luar biasa, sekilas tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata.

   Mendadak dari atas pohon waru berkelebat kembali sesosok bayangan orang yang melayang turun ke tengah halaman.

   Baik Bong Thian-gak maupun Han Siau-liong mendongakkan kepala.

   Ternyata orang yang baru saja melayang turun adalah seorang kakek berbaju abu-abu berbadan bungkuk, menyoreng sebilah pedang antik serta mengenakan kaca mata berbentuk antik.

   Dari potongan badannya, siapa pun akan menduga dia adalah Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng yang sudah puluhan tahun termasyhur dalam dunia persilatan dan lebih dikenal orang sebagai si Naga di balik mega Mo Hui-thian.

   Agaknya Mo Hui-thian kena dipaksa menampakkan diri oleh lintasan cahaya putih tadi, dia nampak marah sekali, dengan suara dingin menyeramkan dia membentak.

   "Liu Khi, malam ini aku telah merasakan kelihaian pisau terbangmu, mengapa kau tak menampakkan diri mencoba sejurus pedang terbangku?"

   Sementara itu di atas wuwungan rumah sesosok bayangan orang berbaju hitam berdiri kaku di sana, tidak terlihat bagaimana dia menekuk lutut, tahu-tahu dia sudah melayang turun dan hinggap di sisi Han Siau-liong.

   Kemudian dengan pandangan dingin dia memandang sekejap ke arah Mo Hui-thian, setelah itu katanya.

   "Mo-loji, kau bisa menghindari pisau terbangku dengan selamat, hal ini sungguh membuat aku merasa sangat kagum."

   Han Siau-liong yang berada di samping segera menimbrung pula sambil tertawa.

   "Liu-susiok, aku dengar ilmu silat Mo Huithian sangat hebat, tapi yang paling menonjol adalah kemampuannya melukai orang secara diam-diam dengan pedangnya. Sekarang dia telah dipaksa oleh pisau terbang Susiok menampakkan diri, aku pikir, inilah kesempatan baik bagiku untuk mencoba ilmu pedangnya."

   Seraya berkata, Han Siau-liong segera melintangkan pedang baja raksasanya di depan dada, lalu teriaknya.

   "Motoacengcu, Han Siau-liong dari partai pengemis ingin mencoba kepandaian ilmu pedangmu yang konon dianggap orang sebagai ilmu pedang nomor wahid di kolong langit."

   Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian memang pernah disebut orang sebagai jagoan nomor wahid di dunia, Han Siau-liong ternyata berani menantangnya bertarung, boleh dibilang tindakan ini sangat berani.

   Mo Hui-thian sama sekali tidak menggubris Han Siau-liong, malah mengawasi Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dari ujung kepala hingga kaki, kemudian dengan acuh tak acuh dia berkata.

   "Ilmu pedangmu masih belum pantas melawanku, kau percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri."

   Han Siau-liong mendongakkan kepala, lalu tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, kalau aku belum pantas, siapa yang pantas?"

   Mo Hui-thian menuding Bong Thian-gak sambil menjawab.

   "Dia masih cukup pantas bertarung beberapa jurus melawanku."

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu tersenyum.

   "Ah, terlalu sungkan, sungguh tak kusangka Mo-toacengcu memandang tinggi diriku."

   "Sudah semenjak tadi aku tertarik kepadamu, beberapa puluh hari lalu kau pernah mengalahkan putra sulungku, maka aku berencana membayar dengan sebuah tusukan pula kepadamu."

   "Aku akan menerima petunjukmu itu dengan senang hati,"

   Bong Thian-gak menjawab dingin.

   Dalam waktu singkat situasi di tengah arena berubah, kini Bong Thian-gak sudah menjadi musuh Hong-kong Hwesio serta Mo Hui-thian.

   Han Siau-liong serta Liu Khi dari Kay-pang merupakan orang-orang yang berakal tajam, mereka tahu situasi yang mereka hadapi sekarang sudah menguntungkan pihaknya, maka sambil berpeluk tangan mereka menantikan perubahan selanjutnya dari sisi arena.

   Sepuluh pelindung hukum Hiat-kiam-bun masing-masing telah melolos pedang yang bersinar tajam dari pinggangnya, serentak mereka bergerak membentuk barisan berbentuk setengah lingkaran untuk melindungi Bong Thian-gak.

   Pada dasarnya kesepuluh orang pelindung hukum Hiatkiam- bun merupakan jago-jago kelas satu di Bu-lim, apalagi selama beberapa hari belakangan ini Bong Thian-gak telah mewariskan serangkaian ilmu pedang yang aneh kepada mereka, boleh dibilang orang-orang itu sudah terlatih menjadi seorang pengawal yang sangat tangguh.

   Tapi Bong Thian-gak cukup tahu bahwa kesepuluh orang pelindungnya masih belum cukup mampu untuk melawan tokoh sakti seperti Mo Hui-thian.

   Maka dia segera membentak dengan cepat.

   "Sepuluh pelindung hukum, harap mundur!"

   Baru saja dia berseru, mendadak Mo Hui-thian telah berseru lebih dulu sambil tertawa dingin.

   "Sayang terlalu lambat!"

   Baru selesai dia berkata, tubuh Mo Hui-thian sudah menerjang kemuka. Cahaya pedang berkelebat dan ...

   "Blum". Jeritan ngeri berkumandang memecah keheningan malam, seorang pelindung hukum Hiat-kiam-bun sudah tertusuk perutnya, darah segar segera menyembur keluar seperti pancuran, setelah tubuhnya gontai beberapa kali, akhirnya dia roboh tak bernyawa lagi. Berhasil membacok seorang korban, Mo Hui-thian maju selangkah ke depan, cahaya tajam kembali berkelebat menyapu seorang yang lain. Oleh karena serangan pedang yang dilancarkan Mo Huithian kelewat cepat, pada hakikatnya Bong Thian-gak serta para pelindungnya tak sempat lagi memberikan pertolongan.

   "Blus", lagi-lagi seorang korban roboh bergelimpangan di tanah dengan perut robek dan usus berhamburan kemanamana, darah segar berceceran membasahi seluruh permukaan tanah. Pelindung hukum kedua telah roboh binasa. Pada saat korban pertama roboh, korban kedua menyusul pula roboh terkapar, boleh dibilang peristiwa itu hampir pada saat yang bersamaan. Kaki kanan Mo Hui-thian maju setengah langkah, pedangnya berputar kembali dan kali ini membacok pelindung hukum ketiga yang berdiri di sebelah kanan. Tapi Mo Hui-thian kali ini tidak berhasil dengan sasarannya, sebab baru saja jurus pedangnya dilancarkan, sebuah lengan seperti cakar burung garuda telah mencengkeram pergelangan tangan kanannya. Bagi orang yang belajar ilmu silat, urat nadi adalah bagian penting yang mematikan di tubuh manusia, di samping dua jalan darah kematian lainnya, apalagi kelima jari tangan yang mencengkeramnya membawa desingan angin serangan yang tajam dan menyayat bagaikan bacokan pedang. Oleh sebab itu mau tak mau Mo Hui-thian menarik kembali pedangnya sambil melompat mundur. Ketika mendongakkan kepala, tampak Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak dengan wajah kereng dan serius sedang mengawasi dua sosok mayat yang terkapar di tanah, kemudian terdengar ia bertanya dengan suara pelan.

   "Ang Teng-siu, apakah yang menjadi korban adalah Pui Se-hiong serta Lay Siong-han?"

   "Lapor Buncu,"

   Segera jawab Ang Teng-siu dengan sedih.

   "mereka Pui Se-hiong serta Lay Siong-han."

   "Selama Pui Se-hiong dan Lay Siong-han menyusup ke dalam Put-gwa-cin-kau, entah berapa kali mereka harus menghadapi ancaman bahaya maut dan berada di antara hidup dan mati, namun setiap kali mereka selalu berhasil menyelamatkan diri, sungguh tak kusangka baru pertama kali turut aku terjun ke gelanggang, mereka harus menemui ajal secara mengenaskan, aku ... aku merasa amat bersalah dan malu terhadap mereka."

   Ketika mengutarakan kata-katanya yang terakhir, suara Bong Thian-gak terdengar gemetar, dari sini bisa diketahui betapa sedih dan murungnya dia. Sepasang mata Ang Teng-siu pun turut berkaca-kaca, tapi dia sempat berkata dengan suara nyaring.

   "Harap Buncu jangan bersedih, kami sepuluh pelindung hukum sudah bersumpah akan mendampingi Buncu hingga titik darah penghabisan, setiap saat kami rela berkorban demi Buncu."

   Dari balik mata Bong Thian-gak mendadak mencorong sinar mata tajam yang menggidikkan, ditatapnya wajah Mo Huithian lekat-lekat, kemudian ujarnya dengan suara dingin.

   "Mo Hui-thian, Hiat-kiam-bun sudah bersumpah tak akan hidup berdampingan denganmu."

   Terkesiap Mo Hui-thian menyaksikan sorot mata Bong Thian-gak yang menggidikkan hati itu, ia berpikir dalam hati.

   "Oh, betapa mengerikan sorot mata orang ini!"

   Berpikir demikian, dia lantas tertawa dingin dengan suara yang menyeramkan, kemudian serunya.

   "Sejak kau berhasil mengalahkan putraku, aku sudah mempunyai ikatan dendam sedalam lautan dengan Hiat-kiam-bun."

   "Mo Hui-thian, mengapa kau tidak mengangkat pedangmu untuk membacok kemari?"

   "Kau anggap aku tak berani?"

   Jengek Mo Hui-thian sambil tertawa dingin.

   Tubuhnya secepat anak panah menerjang tiba.

   Cahaya pedang berkelebat, pedang di tangan kanannya segera membacok ke muka, desingan angin tajam menyapu tiba dari sisi sebelah kiri.

   Pada hakikatnya jurus serangan yang dipergunakan olehnya itu sangat aneh, sakti dan luar biasa.

   Terutama sekali dalam hal kecepatan, boleh dibilang sukar membuat orang melihat dengan jelas bagaimanakah serangan itu dilancarkan.

   "Sret", bayangan orang tahu-tahu telah melejit dari bawah cahaya pedang. Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak sudah melompat mundur, pakaian bagian dadanya sudah tersambar robek, koyakan kainnya berkibar ketika terhembus angin. Mo Hui-thian memandang sekejap mata pedang di tangan kanannya dengan pandangan tertegun, wajahnya penuh rasa kaget dan keheranan, setelah itu katanya dengan suara sedingin salju.

   "Sastrawan cacat, kau adalah orang pertama dalam Bu-lim yang berhasil meloloskan diri dari jurus seranganku."

   Mo Hui-thian disebut orang sebagai jago pedang kelas satu dalam Bu-lim, sudah barang tentu kematangan dan kesempurnaannya dalam permainan pedang luar biasa hebat, tapi setiap jago yang berada dalam arena dapat menyaksikan bahwa permainan pedangnya ternyata masih jauh lebih lihai dari apa yang dibayangkan semula.

   Mo Hui-thian memang cukup pantas disebut orang sebagai jago pedang nomor wahid dalam Bu-lim.

   Sejak Han Siau-liong, Liu Khi serta Hong-kong Hwesio sekalian menyaksikan jurus pedang yang dipergunakan Mo Hui-thian untuk menyerang Bong Thian-gak, boleh dibilang semua sependapat.

   Tiba-tiba Han Siau-liong tertawa nyaring.

   "Hahaha, ilmu pedang bagus, ilmu pedang bagus, malam ini aku orang she Han benar-benar telah bertambah pengalaman."

   Setelah berhenti sejenak, dia menyambung.

   "Motoacengcu, dapatkah kau memberitahukan kepada kami, jurus pedang apakah yang kau pergunakan itu?"

   Sambil tertawa bangga sahut Mo Hui-thian.

   "Itulah ilmu pedang Wi-liong-kiam-hoat (ilmu pedang ekor naga), satu di antara tiga belas jurus ilmu pedang ekor naga hasil ciptaan orang she Mo."

   "Lihai, benar-benar sangat lihai,"

   Seru Han Siau-liong sambil tertawa.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"bila serangan pedang tadi sedikit maju, niscaya usus Jian-ciat-suseng sudah berhamburan kemanamana."

   "Biarpun dia mampu meloloskan diri dari serangan pertama, kedua dan selanjutnya dari ilmu pedang ekor nagaku, tapi jangan harap dia bisa lolos dari ketiga belas jurus ilmu pedang ekor naga yang kuciptakan ini."

   Han Siau-liong tertawa lebar.

   "Wah, kalau begitu Jian-ciat-suseng sudah dapat dipastikan akan mampus."

   "Asal aku berhasrat membunuhnya, aku rasa dia memang sulit untuk lolos dalam kematian."

   Tiba-tiba Han Siau-liong tertawa dingin.

   "Mo-toacengcu, aku pikir kau mesti menyiapkan langkah mundur bagi perkataanmu itu."

   "Mengapa harus begitu?"

   Sekali lagi Han Siau-liong tertawa mengejek.

   "Seandainya Jian-ciat-suseng terbukti tidak mampus oleh tiga belas jurus ilmu pedang ekor nagamu, apakah Mo-toacengcu berani mengatakan bahwa engkaulah yang tidak tega membunuhnya?"

   Mo Hui-thian mendengus dingin.

   "Han Siau-liong,"

   Ia berteriak.

   "jika kau tidak percaya dengan ilmu pedangku, mengapa tidak kau coba sendiri turun ke gelanggang."

   "Mo-toacengcu tak usah terburu napsu, cepat atau lambat pihak Kay-pang pasti akan berhadapan denganmu."

   Sementara itu Bong Thian-gak masih berdiri tegak di tempat semula dengan wajah sedingin es setelah ia menerima serangan kilat Mo Hui-thian tadi.

   Dia seolah-olah sedang memikirkan suatu masalah atau bisa jadi nyalinya sudah dibuat keder atas kelihaian musuh.

   Sementara Han Siau-liong dan Mo Hui-thian masih berbincang-bincang, dia hanya berdiri tanpa bicara ataupun melakukan sesuatu perbuatan.

   Tiba-tiba sekilas perasaan girang melintas di wajah Bong Thian-gak, dia seperti orang yang tersesat di tengah gurun pasir dan secara kebetulan menemukan sumber mata air yang bening, mukanya berseri-seri dan semangatnya berkobar kembali.

   Mendadak ia berteriak nyaring.

   "Mo Hui-thian, mengapa kau tidak lagi melancarkan seranganmu yang kedua?"

   Dengan cepat Mo Hui-thian berpaling, hatinya kontan bergetar keras menyaksikan perubahan mimik Bong Thiangak, segera pikirnya.

   "Kalau dilihat dari raut wajahnya yang berseri-seri dan nampak sangat gembira, jangan-jangan dia telah berhasil memecahkan perubahan jurus pedangku?"

   Berpikir demikian, dengan sikap sangat hati-hati namun ingin tahu, Mo Hui-thian bertanya lagi.

   "Apakah kau sudah menemukan sesuatu rahasia?"

   "Betul,"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "aku telah berhasil tahu rahasia jurus pedang ilmu ekor nagamu itu."

   "Hehehe, masakah begitu? Aku kurang percaya,"

   Jengek Mo Hui-thian sambil tertawa seram.

   "Ilmu pedang ekor nagamu berdasarkan kecepatan dan keanehan dalam gerakan, kalau dibilang cepat, kecepatannya sanggup membuat orang tidak percaya, dibilang aneh, keanehannya mencapai taraf yang luar biasa sekali. Bagi seorang yang belajar silat, memang sulit untuk melatih diri hingga mencapai tingkat kecepatan serta keanehan seperti apa yang kau miliki sekarang, bahkan berlatih sampai mati pun belum tentu sanggup mencapainya, kenyataan kau mampu melakukannya. Kau sungguh pintar, ternyata bisa menggunakan teknik dan taktik yang tinggi untuk menggenggam pedangmu secara bergantian antara tangan kiri dan kanan."

   Han Siau-liong yang mendengar perkataan Bong Thian-gak itu segera manggut-manggut seakan-akan baru memahami akan sesuatu, dia menyela.

   "Ya, betul, ilmu pedang ekor naga milik Mo-toacengcu memang merupakan teknik pertukaran antara genggaman tangan kiri dan kanan."

   Berubah paras muka Mo Hui-thian mendengar perkataan itu, pelan-pelan dia berkata.

   "Sungguh tak kusangka kau telah berhasil memahami teknik permainan pedangku, hehehe, sayangnya, walaupun kau sudah tahu rahasia pergantian tangan kiri dan kananku, namun bagaikan sedang bermimpi bila ingin lolos dari serangan ketiga belas jurus ilmu pedang ekor nagaku dengan selamat."

   "Kalau memang begitu, silakan saja kau lancarkan seranganmu!"

   Tantang Bong Thian-gak sambil tersenyum. Mo Hui-thian tertawa dingin.

   "Sekali pun kau ingin mampus, buat apa mesti terburuburu? Tunggu sebentar lagi."

   "Mo Hui-thian,"

   Ujar Bong Thian-gak kemudian dengan suara sedingin salju.

   "sebetulnya dengan jurus pedangmu yang aneh dan hebat, kau masih bisa mengalahkan diriku dengan suatu serangan mendadak yang tidak terduga, tapi sekarang kau sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk mengungguli diriku."

   "Kau yakin mampu menghindarkan diri dari ketiga belas ilmu pedangku?"

   Tanya Mo Hui-thian dengan nada tidak percaya.

   "Aku takkan memberi kesempatan kepadamu untuk melancarkan ketiga belas jurus serangan, pada saat kau melepaskan serangan yang pertama, kemungkinan besar pedangku telah berhasil merenggut nyawamu."

   Seolah-olah baru saja mendengar sebuah lelucon yang sangat menggelikan, Mo Hui-thian tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, selama beberapa puluh tahun aku berkecimpung dalam bu-lim, tak pernah seorang pun sanggup mengungguli satu jurus serangan pun dariku, ingin kulihat pada malam ini, apa yang kau andalkan untuk mengungguliku?"

   Baru selesai perkataan itu, jurus pedang Mo Hui-thian telah dilancarkan.

   "Sret", cahaya pedang tahu-tahu sudah terhadang di tengah jalan oleh kilatan cahaya pedang berwarna merah.

   "Cring", desingan nyaring yang memekakkan telinga bergema, sambil menarik kembali pedangnya, Mo Hui-thian melompat mundur. Bong Thian-gak berdiri sambil menghunus pedang darah, hawa pedang yang menyelimuti senjata itu mengepul seperti kabut yang menyelimuti pedang itu.

   "Mo Hui-thian, baju bagian dadamu sudah kena tertusuk sebanyak tiga buah oleh mata pedangku."

   Paras muka Mo Hui-thian pada saat itu benar-benar amat tak sedap dipandang, ia amat tekejut, ngeri, takut, sedih, kesal dan berbagai perasaan lainnya.

   Mo Hui-thian menundukkan kepala memeriksa, tentu saja dia tahu baju bagian dadanya telah bertambah dengan tiga buah lubang pedang, sebab pada saat itu dia merasa kulit badan dan bagian dadanya terasa perih dan sakit, bahkan ada cairan pekat yang membasahi tubuhnya, sudah jelas banyak darah yang bercucuran dari mulut luka itu.

   Tapi dari sudut manakah pedang itu menyerang masuk ke dalam tubuhnya? Sekarang Mo Hui-thian baru betul-betul bisa merasakan bahwa Jian-ciat-suseng memang benar-benar seorang musuh tangguh yang belum pernah dijumpai sebelumnya, bisa jadi nama besar yang telah dipupuknya selama ini akan hancur di ujung pedang Jian-ciat-suseng itu.

   Teringat akan hal itu, air muka Mo Hui-thian segera berubah serius dan amat kereng, pedang disilangkan di depan dada, semua kekuatan dihimpun dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Dengan menggenggam pedang darah di tangan tunggalnya, Bong Thian-gak berkata lagi dengan hambar.

   "Mo Hui-thian, tadi kau telah berhasil menusuk robek pakaian di bagian perutku dan sekarang aku pun berhasil melubangi baju bagian dadamu, menang kalah di antara kita pun aku rasa sudah menjadi seri. Tapi kau mesti ingat, dalam bentrokan berikut ini, bisa jadi di antara kita berdua bakal menderita kekalahan total."

   "Betul,"

   Jawab Mo Hui-thian dengan suara sedingin es.

   "dalam bentrokan berikut, bisa jadi seorang di antara kita bakal menemui ajal."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu bertanya dengan suara pelan.

   "Mo-toacengcu, yakinkah kau mampu mengalahkan diriku?"

   Mo Hui-thian tertawa dingin.

   "Paling tidak harus makan banyak tenaga."

   "Di saat kau berhasil mengalahkan aku, tentunya kau tak akan mampu lagi menghadapi Liu Khi serta Han Siau-liong."

   Perkataan itu tepat mengenai pikiran dan perasaan Mo Huithian, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia terbungkam. Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, Bong-buncu memang sangat pandai menggoyahkan mental dan iman orang lain, perkataanmu barusan sungguh merupakan pukulan batin yang paling berat baginya, cuma ... tujuan kita semua pada malam ini adalah demi peta rahasia harta karun, bisa jadi kita semua harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk pertarungan antara hidup dan mati."

   "Han-heng, tahukah kau peta harta karun itu berada dimana?"

   Tanya Bong Thian-gak. Sambil tertawa Han Siau-liong menjawab.

   "Persoalan ini cukup kau tanyakan kepada Hong-kong Hwesio, dia pasti tahu."

   "Kalau memang begitu, sudah sepantasnya bila Han-heng segera turun tangan terhadap Hong-kong Hwesio dan muridnya."

   "Bong-buncu tak perlu kuatir,"

   Han Siau-liong tertawa.

   "seratus orang lebih jagoan lihai dari Kay-pang telah mengepung rapat kuil Hong-kong-si ini, jadi setiap orang yang berada dalam kuil Hong-kong-si jangan harap bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat."

   "Oh, rupanya Han-heng sudah membawa bala bantuan yang begitu besar, tak heran kau tampak sangat tenang dan yakin bakal berhasil."

   "Ah, mana ... mana,"

   Han Siau-liong tertawa.

   "Bong-buncu bakal bekerja sama dengan Hong-kong Hwesio serta Motoacengcu untuk menghadapi Kay-pang?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Bagi orang yang tahu keadaan dan bisa mempertimbangkan untung ruginya, dia memang harus berbuat demikian."

   Mendengar perkataan ini, Han Siau-liong tertawa terbahakbahak dengan nada menyeramkan.

   "Hahaha, sayang seribu kali sayang, antara Bong Thian-gak dan Hong-kong Hwesio maupun Mo-toacengcu sudah terjalin keretakan serta permusuhan, ibarat api dengan air yang tak mungkin bisa digabung."

   "Hiat-kiam-bun dengan pihak Kay-pang pun ibarat api dengan air,"

   Bong Thian-gak tertawa.

   "Kalau begitu Buncu sudah menjadi musuh besar beramairamai, kita bisa bekerja sama lebih dulu untuk menghilangkan kau dari muka bumi."

   "Tapi sayang, kalian tak berani berbuat demikian,"

   Bong Thian-gak menjengek sambil tertawa.

   "Mengapa?"

   Bong Thian-gak tertawa dingin, lalu katanya.

   "Sebab siapa saja di antara kalian bila ada yang berani menyerang diriku lebih dulu, maka dia bakal terluka paling dulu di ujung pedangku ini."

   Bong Thian-gak telah berdiri pada posisi menguntungkan, Pek-hiat-kiam disilangkan di depan dada, sementara dari posisinya secara lamat-lamat memancar hawa membunuh yang amat mengerikan.

   Kalau tadi tiada orang yang memperhatikan hal itu, maka sekarang semua orang telah memperhatikan posisi Bong Thian-gak dengan seksama, diam-diam mereka terkejut.

   Terutama Mo Hui-thian, tanpa terasa ia membatin.

   "Sungguh berbahaya, kalau aku melancarkan serangan lagi tadi, bisa jadi akan kalah total!"

   Setiap jago yang hadir dalam arena sekarang rata-rata merupakan jagoan kelas satu dalam Bu-lim, siapa saja dapat melihat Bong Thian-gak yang berdiri dengan pedang melintang, merupakan posisi ilmu pedang tingkat tinggi yang mengandung kekuatan luar biasa.

   Mendadak Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian katanya.

   "Sejak Hiat-kiam-bun berdiri, kami tak pernah mengganggu atau menyerang partai dan perguruan mana pun lebih dahulu, kedatangan kami di kuil Hong-kong-si malam ini pun sama sekali tidak berniat untuk mengincar atau memperebutkan peta harta karun Mo-lay-cing-ong, terlebih kami pun tidak bermaksud memusuhi siapa pun, tentu saja aku pun tidak bermaksud membantu pihak mana pun. Sekarang semua keterangan telah kuutarakan secara jelas, tentunya kalian pun tidak usah merasa waswas terhadap Hiatkiam- bun kami!"

   "Sungguhkah perkataan Bong-buncu itu?"

   Tiba-tiba Han Siau-liong bertanya.

   "Han-heng boleh mencari peta harta karun itu dengan lega!"

   "Bong-buncu, seandainya kau tidak berniat mendapatkan peta harta karun itu, aku siap menurunkan perintah kepada anak buahku agar memberi jalan kepada kalian meninggalkan kuil Hong-kong-si ini."

   "Untuk meninggalkan kuil Hong-kong-si, bisa segera kami lakukan, tetapi jiwa dua orang pelindung hukum perguruan kami tak dapat dikorbankan dengan sia-sia di tangan Mo Huithian."

   "Asal Bong-buncu bersedia meninggalkan tempat ini, aku orang she Han bersedia pula membantu kalian menuntut balas atas kematian kedua orang pelindung hukummu."

   "Terima kasih Han-heng, sayang sekali urusan Hiat-kiambun harus diselesaikan pula oleh orang-orang Hiat-kiam-bun sendiri."

   "Kalau memang demikian, mengapa Bong-buncu tak melancarkan serangan terhadap Mo-toacengcu?"

   "Sebab aku menguatirkan sesuatu, itulah sebabnya hingga sekarang masih belum berani turun tangan."

   Mendadak Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya.

   "Apakah Bong-buncu menguatirkan kami?"

   "Sedikit kuatir saja, yang terutama aku kuatir penyerbuan secara besar-besaran dari pihak Put-gwa-cin-kau."

   "Bong-buncu benar-benar seorang yang berotak panjang, cuma saja perhitunganmu malam ini keliru besar, hingga sekarang orang-orang Put-gwa-cin-kau masih belum mengetahui peta harta karun itu."

   Kontan Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Pengetahuan Hanheng juga kelewat sedikit. Bila dugaanku tidak salah, bisa jadi orang-orang Put-gwa-cin-kau sudah menyerbu masuk ke dalam kuil Hong-kong-si ini."

   "Perkataan Bong-buncu sungguh sukar dipercaya."

   "Musuh tangguh sudah di depan mata, biarpun Han-heng tidak percaya pun sekarang harus mempercayainya juga."

   Baru selesai perkataan itu diutarakan, dari ujung gedung pelan-pelan berjalan keluar seseorang.

   Gerak-gerik orang ini sama sekali tidak menimbulkan suara, di tengah kegelapan hanya sepasang matanya yang nampak mencorong terang seperti bintang timur, dalam sekejap saja orang itu sudah sampai di tengah halaman.

   "Si-hun-mo-li."

   Long Jit-seng yang pertama menjerit kaget lebih dahulu.

   Betul, orang yang baru menampakkan diri tak lain adalah gadis berbaju biru berwajah cantik jelita bak bidadari dari kahyangan.

   Tatkala Bong Thian-gak menyaksikan pendatang itu adalah Si-hun-mo-li, paras mukanya berubah hebat.

   Mendadak Han Siau-liong berkata.

   "Liu-susiok, biar aku pergi menengok keadaan To Siau-hou."

   Belum habis ia berkata, Bong Thian-gak telah menghela napas panjang, selanya.

   "Tidak usah ditengok lagi! Aku kira sebagian besar anak murid kaum pengemis yang bersembunyi di sekeliling kuil Hong-kong-si telah mengalami musibah."

   "Darimana Bong-buncu bisa tahu?"

   "Anak murid kaum pengemis yang bersembunyi di seputar kuil Hong-kong-si dipimpin oleh To Siau-hou, dengan kecerdasan dan kepandaian silatnya, tak mungkin dia membiarkan musuh menyerbu ke dalam kuil Hong-kong-si sedemikian mudahnya, tapi ia telah berjumpa dengan Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau."

   Belum habis perkataan Bong Thian-gak, Han Siau-liong sudah berubah hebat air mukanya, dia berseru tertahan, kemudian seperti burung bangau terbang di udara, dia meluncur keluar gedung.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Han-heng, hati-hati dengan Si-hun-mo-li,"

   Mendadak dia berteriak.

   Ketika teriakan Bong Thian-gak masih mengalun di tengah udara, Han Siau-liong sudah menjerit kaget, tubuhnya melejit ke tengah udara, kemudian setelah berjumpalitan beberapa kali, dia melayang kembali ke tempat semula.

   Rupanya di saat Han Siau-liong sedang berlari keluar, Sihun- mo-li yang semula berdiri kaku di tengah halaman gedung sudah menyongsong kedatangannya dengan cepat, bahkan telapak tangannya yang berwarna merah dihantamkan secara langsung ke dada Han Siau-liong.

   Bagaimana pun juga Han Siau-liong merupakan seorang jago persilatan berilmu tinggi, sudah barang tentu dia cukup mengetahui kelihaian pukulan itu, serta-merta dia menjatuhkan diri dan berguling di atas tanah untuk menghindarkan diri dari sergapan kilat Si-hun-mo-li itu.

   Gagal dengan sergapan mautnya, Si-hun-mo-li segera melejit ke tengah udara dan berjumpalitan beberapa kali secara indah dan manis, kemudian dengan lembut dan enteng dia melayang ke depan menerjang Han Siau-liong.

   Seperti guntur membelah bumi Han Siau-liong membentak keras, pedang bajanya disertai gulungan angin serangan yang amat dahsyat langsung membacok ke depan.

   Si-hun-mo-li berteriak seperti kicauan burung nuri, tubuhnya yang lembut seperti seekor ular menggeliat, memutar badan menghindarkan diri dari bacokan pedang lawan, kemudian begitu melayang turun di hadapan Han Siauliong, telapak tangannya yang indah menawan itu langsung dihantamkan ke dada lawan.

   Kelihatannya saja serangan itu seperti lemah tidak betenaga, namun dalam pandangan seorang ahli, kecepatan gerak serangan itu benar-benar seperti sambaran petir.

   Han Siau-liong berseru tertahan, sekujur tubuh berikut pedangnya dijatuhkan ke sisi sebelah kiri, telapak tangan Sihun- mo-li itu pun menggelincir lewat di bawah iga kirinya.

   Han Siau-liong ternyata sanggup menghindar dari sergapan maut Si-hun-mo-li, hal ini menunjukkan kepandaian silatnya cukup tangguh.

   Akan tetapi perubahan jurus serangan Si-hun-mo-li pun pada hakikatnya cepat sukar dibayangkan.

   Terlihat lengannya yang telah menerobos ke muka itu tibatiba menekuk terus menggaet, jari-jari tangannya yang lembut tahu-tahu sudah menghantam pinggang sebelah kanan Han Siau-liong.

   Dalam anggapan para jago yang menonton jalannya pertarungan dari sisi arena, kali ini Han Siu Liong tak bakal mampu menghindar lagi dari serangan itu.

   "Sret, sret", dua kali desingan tajam mendengung, dua kilatan cahaya putih telah meluncur dari tangan Liu Khi, langsung mengarah jalan darah tenggorokan serta urat nadi tangan Si-hun-mo-li. Senjata rahasia pisau terbang Liu Khi memang termasyhur sebagai senjata rahasia yang tiada duanya di kolong langit. Setiap kali pisau terbangnya dilancarkan, sudah pasti musuh akan terhajar secara telak hingga tewas atau paling tidak terluka dan selama ini tidak pernah meleset, Si-hun-mo-li pun tak dapat menghindarinya. Tapi situasi dalam sekejap telah berubah. Pada saat kedua bilah pisau terbang Liu Khi meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, tiba-tiba berkelebat pula serentetan cahaya merah yang amat menyilaukan mata menyongsong sambaran itu. Di tengah dentingan nyaring dan percikan bunga api yang memancar kemana-mana, tahu-tahu pisau terbang yang mengancam tenggorokan Si-hun-mo-li sudah terpental dan mengenai tempat kosong. Menyusul kemudian terdengar jerit kesakitan tertahan. Pisau terbang yang lain berhasil menancap di lengan kiri Sihun- mo-li, darah segar pun segera bercucuran dengan derasnya. Di tengah jeritan kagetnya, Si-hun-mo-li segera melompat mundur beberapa tombak. Bagaimana pun juga pisau terbang Liu Khi telah berhasil menyelamatkan jiwa Han Siau-liong dari bencana maha besar. Sedangkan Bong Thian-gak juga telah menyelamatkan jiwa Si-hun-mo-li. Rupanya cahaya bianglala yang berkelebat tadi tak lain adalah serangan pedang Bong Thian-gak. Dengan serangan itu dia telah merontokkan pisau terbang yang mangancam tenggorokan Si-hun-mo-li. Mimpi pun kawanan jago yang berada dalam halaman itu tak mengira Bong Thian-gak bakal turun tangan menyelamatkan jiwa Si-hun-mo-li dari ancaman maut. Liu Khi tertawa dingin, lalu jengeknya.

   "Wah, cepat benar gerakan pedang Bong-buncu!"

   Sedangkan Han Siau-liong turut membentak pula dengan keras.

   "Bong-buncu apa-apaan kau? Si-hun-mo-li adalah musuh besar segenap umat persilatan, mengapa kau malah membgntu dirinya?"

   "Biarpun Si-hun-mo-li adalah musuh kita semua,"

   Kata Bong Thian-gak.

   "akan tetapi aku tidak dapat membiarkan kalian mencelakai jiwanya."

   "Mengapa?"

   Teriak Han Siau-liong setengah menjerit.

   "Kesadaran Si-hun-mo-li telah punah,"

   Ucap Bong Thiangak dengan suara dalam.

   "ia membunuh orang, mencelakai orang, karena semua perbuatannya itu bukan muncul atas kehendaknya sendiri, dia pribadi sebetulnya hanya seorang yang mengenaskan dan pantas untuk dikasihani."

   Sementara pembicaraan berlangsung, Si-hun-mo-li yang berada di samping arena tertawa seram, tiba-tiba dia menerjang ke arah Bong Thian-gak.

   Melihat datangnya terjangan itu Bong Thian-gak menggerakkan Pek-hiat-kiam melepaskan sebuah tusukan ke samping, tujuannya tidak lain untuk membendung gerakan Sihun- mo-li yang mendekati tubuhnya, itulah sebabnya tenaga yang disertakan dalam serangan itu pun tidak terlalu besar.

   Siapa tahu Si-hun-mo-li segera menggoyang pinggulnya dan tiba-tiba saja menerobos masuk melalui bawah pedang, lalu telapak tangannya dengan kelima jari tangan mirip cakar maut mencengkeram alat kelamin Bong Thian-gak.

   Jurus-serangan semacam ini pada hakikatnya merupakan sebuah jurus serangan mematikan, kecepatan gerakannya pun luar biasa.

   Dalam terkejutnya Bong Thian-gak segera mengayunkan kaki kanannya melepaskan tendangan kilat ke arah lengan perempuan itu.

   Sampai kini kesadaran Si-hun-mo-li belum pulih, dia seolaholah cuma tahu menyerang musuh dan tidak mengira musuh bakal melancarkan serangan balasan ke arahnya, oleh sebab itu lengannya segera termakan tendangan kilat Bong Thiangak.

   Tendangan itu persis menghajar mulut lukanya, diiringi jerit kesakitan Si-hun-mo-li memegang tangan kirinya dengan tangan kanan dan secara beruntun mundur tiga-empat langkah.

   Darah segar segera bercucuran dengan derasnya dari lengannya, Bong Thian-gak menjadi tidak tega menyaksikan rasa sakit yang memancar dari wajah perempuan itu, tanpa terasa dia berseru lirih.

   "Thay-kun, maafkanlah aku!"

   Dari balik mata Si-hun-mo-li memancar sinar buas menggidikkan hati, akan tetapi mendengar panggilan "Thaykun"

   Dari Bong Thian-gak itu perasaannya seakan-akan bergetar keras, sepasang matanya yang jeli dan indah segera mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.

   Dia seakan-akan sedang membayangkan suatu kenangan yang telah begitu lama dilupakan olehnya.

   Agaknya sorot mata maupun suara Bong Thian-gak masih tersisa setitik bekas dan kesan dalam benak Si-hun-mo-li, oleh sebab itu untuk beberapa saat lamanya Si-hun-mo-li menghentikan gerak serangannya.

   Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak berseru kembali dengan suara mengenaskan.

   "Thay-kun, masih ingatkah kau padaku? Aku adalah Ko Hong."

   "Ko Hong", begitu dua patah kata itu meluncur, paras muka Si-hun-mo-li segera berubah hebat. Kini paras mukanya berubah menjadi sedih, murung dan amat mengenaskan sekali.

   "Oh ... Ko Hong ... wahai Ko Hong, dimanakah kau berada? dimanakah kau berada? Sungguh mengenaskan kematian itu."

   Sejak Si-hun-mo-li terjun kembali ke dalam Bu-lim, selama ini tak pernah seorang pun yang pernah mendengar perempuan itu berbicara.

   Tapi malam ini, dia telah berbicara seorang diri.

   Ucapannya amat memilukan, membuat orang pedih, seakan-akan suara gumaman orang yang sedang mengigau.

   Dengan suara rendah Bong Thian-gak berkata lagi.

   "Thaykun, aku adalah Ko Hong, aku belum mati, hanya kehilangan sebuah lengan saja. Thay-kun, aku pasti akan menyembuhkan kesadaranmu yang telah punah itu."

   Ketika mendengar perkataan itu, dengan sepasang matanya yang jeli dan bening Si-hun-mo-li mengamati wajah Bong Thian-gak beberapa saat, mendadak dia menggeleng perlahan, sekulum senyuman genit yang membetot sukma tahu-tahu tersungging di ujung bibirnya.

   Senyuman itu penuh mengandung daya tarik yang luar biasa, membuat Bong Thian-gak jadi tertegun dibuatnya.

   Segenap jago yang berada di halaman gedung itu pun turut tertegun dan termangu-mangu dibuatnya.

   Sementara senyuman yang manis memukau hati orang masih menghiasi wajah Si-hun-mo-li, pada saat itu pula tibatiba dia menggerakkan kakinya dan selangkah demi selangkah berjalan menuju ke hadapan Bong Thian-gak.

   Gerak-geriknya itu dilakukan dengan lemah lembut, sama sekali tiada niat permusuhan, bahkan senyuman yang tersungging di bibirnya pun nampak begitu damai, lembut dan nikmat.

   Tapi pada saat itulah tiba-tiba Si-hun-mo-li mengangkat telapak tangan kanannya ke tengah udara dan pelan-pelan ditekan ke atas dada Bong Thian-gak.

   Pada saat bersamaan berkumandang pula suara pujian kepada sang Buddha yang keras seperti suara genta di fajar buta.

   "Omitohud!"

   Serta-merta Bong Thian-gak yang berdiri termangu seperti orang kehilangan ingatan, segera sadar kembali.

   Walaupun begitu, suara pujian kepada Buddha itu berkumandang sedikit rada terlambat.

   Di saat Bong Thian-gak mendusin dari rasa kagetnya, telapak tangan kanan Si-hun-mo-li sudah menghantam dada Bong Thian-gak secara pelan-pelan.

   Dengusan tertahan bergema dari bibir Bong Thian-gak, dadanya serasa dihantam oleh batu raksasa yang beratnya ribuan kati dan matanya berkunang-kunang, tenggorokan terasa, anyir dan darah segar tahu-tahu sudah menyembur dari mulutnya.

   Berbareng itu sekujur tubuhnya terlempar beberapa tombak dari tempat semula.

   Si-hun-mo-li tertawa seram, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya dia langsung menerkam ke depan anak muda itu.

   "Thay-kun,"

   Jerit Bong Thian-gak dengan suara keras.

   "kau ... kau benar-benar kehilangan kesadaranmu."

   Bong Thian-gak melayang mundur lagi. Sewaktu mendengar jeritan keras itu, sekujur badan Sihun- mo-li tampak gemetar keras, sekali lagi dia berdiri tak bergerak di tempat.

   "Omitohud, Sicu sudah terkena pukulannya, berarti tiada obat yang bisa menyembuhkan jiwamu lagi,"

   Kata Hong-kong Hwesio sambil berjalan ke samping Bong Thian-gak.

   Melihat Hong-kong Hwesio mendekatinya, Bong Thian-gak segera menggerakkan pedang di tangan kanannya menciptakan sebuah gerakan serangan yang ampuh, kemudian sambil tertawa dingin katanya.

   "Hwesio tua, aku tidak bakal mati, bila kau ingin membalas dendam bagi kematian Thia Leng-juan, kau mesti menyambut beberapa jurus seranganku lebih dahulu."

   Hong-kong Hwesio menghela napas panjang dan menggeleng kepala, katanya.

   "Lolap tak bermaksud bertarung, berhubung aku mempunyai suatu masalah yang tak kupahami, maka mumpung Sicu belum mati, aku ingin menanyakan sampai jelas, harap Sicu bersedia menjawab pertanyaanku itu."

   Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak berseru.

   "Aku tidak bakal mati, bila kau ingin menanyakan sesuatu cepat utarakan!"

   Pelan-pelan Hong-kong Hwesio bertanya.

   "Belum pernah ada seorang pun yang bisa lolos dalam keadaan hidup setelah terhajar secara telak oleh serangan Si-hun-mo-li, keadaan Sicu saat ini benar-benar berbahaya sekali, ai! Adapun persoalan yang ingin Lolap tanyakan adalah sebutan *Ko Hong' yang Sicu pergunakan tadi, benarkah Sicu adalah orang yang bernama Ko Hong?"

   Bong Thian-gak tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, dia berkata.

   "Hwesio tua, aku tidak bakal mati dan sekali aku bilang tak akan mampus aku tetap tak akan mampus. Ilmu pukulan paling lihai yang diandalkan Si-hunmo- li adalah ilmu sakti Soh-li-jian-yang-sinkang, padahal Sihun- mo-li hanya berhasil melatih ilmu pukulan Soh-li-jianyang- sin-kang pada tangan kiri. Sedangkan serangan yang bersarang di tubuhku tadi berasal dari telapak tangan kanannya, oleh sebab itu aku tidak bakal mati, aku hanya menderita luka parah isi perutku saja."

   Mendengar penjelasan ini, Hong-kong Hwesio berkata.

   "Kalau demikian Sicu memang benar-benar adalah Ko Hong, kalau tidak, mustahil kau bisa mengetahui asal-usul Si-hunmo- li sedemikian jelas."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Ko Hong adalah nama samaranku pada tiga tahun berselang, Bong Thian-gak barulah namaku yang sebenarnya, Hwesio tua, ada keperluan apa kau menanyakan tentang hal ini?"

   Setelah menghela napas panjang, Hong-kong Hwesio berkata.

   "Pernahkah Bong-sicu mengira, semasa hidupnya dulu Thia Leng-juan pernah meminta kepada Lolap untuk mencarikan seseorang yang bernama Ko Hong."

   "Thia Leng-juan menyuruh kau mencari aku? Apakah dia meminta kau untuk membunuhku?"

   Sekali lagi Hong-kong Hwesio menghela napas panjang.

   "Ai, Bong-sicu kau salah besar! Ketika Thia Leng-juan Tayhiap meminta Lolap mencarimu, dia meminta Lolap membantu segala sesuatu bagimu, dia berkata kau adalah murid penutup Ku-lo Sinceng dari Siau-lim-pay, sebelum beliau menutup mata, kau pun pernah mempelajari ilmu Tat-mo-khi-kang sehingga kaulah satu-satunya orang yang bisa mematahkan serangan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Si-hun-mo-li. Di samping menyerahkan pesannya itu kepada Lolap, Thia Lengjuan juga pernah menjelaskan segala sesuatu alasannya menggabungkan diri dengan pihak Put-gwa-cin-kau."

   Tatkala mendengar semua itu, sekujur badan Bong Thiangak gemetar keras, dengan sedih dia menyela.

   "Jadi Thia Leng-juan tidak pernah menyeleweng dari kebenaran?"

   Hong-kong Hwesio menghela napas sedih.

   "Sejak permulaan sampai akhir Thia Leng-juan tak pernah menyeleweng dari kebenaran. Untuk menghadapi cengkeraman iblis yang mulai meluas di seluruh dunia persilatan, dia tak segan-segannya mengorbankan diri. Biarpun di luar dia adalah Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau, padahal sebetulnya dia adalah musuh dalam selimut, itu hanya sebagian saja dari kecerdasan otaknya, ai, dalam keadaan begini, Lolap tidak ada waktu untuk menerangkan segala sesuatunya kepadamu secara jelas, Thian sungguh adil, Thiatayhiap memang benar-benar pahlawan sejati, pendekar perkasa harus mengorbankan jiwanya secara demikian mengenaskan."

   Dalam pada itu dalam benak Bong Thian-gak seakan-akan terlintas semua gerak-gerik serta ucapan Thia Leng-juan menjelang ajalnya tadi. Tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah, dengan terbata-bata dia berbisik.

   "Aku sangat menyesal, aku telah bertindak gegabah."

   Sambil bergumam, selangkah demi selangkah dia berjalan menghampiri jenazah Thia Leng-juan, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan berkomat-kamit entah apa yang didoakan.

   Dia amat menyesal atas kecerobohan sendiri.

   Dia merasa amat sedih, kesal dan murung.

   Tiba-tiba dari samping tubuhnya berkumandang suara pujian syukur kepada sang Buddha, kemudian Hong-kong Hwesio berkata pelan.

   "Omitohud! Ai, Sicu tak perlu menyesal, kematian Thia-tayhiap bukan seluruhnya dikarena kecerobohan Sicu ... aku masih ingat perkataannya kepadaku tempo hari, 'Bila Ko Hong masih hidup, maka di saat dia muncul lagi dalam Bu-lim, Thia Leng-juan merasa tiada kepentingan lagi untuk tetap hidup di dunia ini'. Dari katakatanya itu bisa disimpulkan bahwa Thia-tayhiap memang sudah mempunyai rencana untuk mengakhiri hidupnya setelah mengetahui bahwa Sicu adalah Ko Hong."

   "Mengapa dia berencana mengakhiri hidupnya setelah berjumpa dengan diriku?"

   Tanya Bong Thian-gak pedih.

   "Kesulitan Thia-tayhiap tidak mungkin bisa Lolap terangkan dengan sepatah dua patah kata saja, lebih baik kita bicarakan lagi di kemudian hari. Sekarang yang penting Sicu harus bersiap menghadapi kawanan musuh tangguh!"

   Sementara mereka sedang berbincang, di sekeliling halaman itu telah bermunculan bayangan orang dengan cepat, rombongan orang berbaju hitam itu mengepung dengan menggenggam tombak.

   Dari kemampuan mereka berjalan tanpa menimbulkan suara serta gerak-geriknya yang aneh dan misterius, bahwasanya rombongan itu betul-betul merupakan sekelompok musuh tangguh yang lihai.

   Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memperhatikan sekejap orang-orang yang berada di sekeliling tempat itu, kemudian dengan cepat dia melompat bangun sambil bisiknya.

   "Ah, mereka adalah orang-orang Put-gwa-cin-kau."

   "Betul,"

   Hong-kong Hwesio menghela napas panjang.

   "mereka adalah orang-orang Put-gwa-cin-kau, sungguh tak kusangka dia pun sudah muncul di wilayah Hopak."

   "Dia? Siapa yang kau maksud?"

   Tanya Bong Thian-gak keheranan. Hong-kong Hwesio memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya.

   "Sicu, tahukah kau, manusia manakah yang merupakan musuh terlihai di dalam Put-gwacin- kau?"

   "Cong-kaucu serta Ji-kaucu?"

   Dengan cepat Hong-kong Hwesio menggeleng kepala berulang kali, katanya cepat.

   "Biarpun Ji-kaucu serta Congkaucu sangat lihai, kedua orang itu tidak menakutkan."

   Mendengar perkataan itu sekali lagi Bong Thian-gak mengawasi orang-orang berbaju hitam yang berada di sekeliling tempat itu, mendadak ia berseru tertahan sambil serunya.

   "Ah, tampaknya rombongan orang ini berasal dari pasukan pengawal tanpa tanding?"

   "Ya, betul,"

   Hong-kong Hwesio mengangguk.

   "mereka adalah pasukan pengawal tanpa tanding dari Put-gwa-cinkau."

   Bong Thian-gak mengerut dahi, kemudian tanyanya.

   "Apakah orang paling lihai dari Put-gwa-cin-kau yang kau maksudkan adalah komandan nomor satu pasukan pengawal tanpa tanding ini?"

   "Betul, dialah yang kumaksudkan."

   "Apakah dia pun berada di sini?"

   "Belum, tapi dia pasti akan muncul di tempat ini, sebab ketiga belas pengawalnya sudah muncul."

   Sementara itu Han Siau-liong yang menyaksikan kemunculan ketiga belas orang berbaju hitam itu makin percaya bahwa kawanan jago Kay-pang yang ditugaskan menjaga di luar kuil Hong-kong-si telah mengalami musibah.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Han Siau-liong berpaling ke arah Liu Khi, lalu katanya.

   "Susiok, aku rasa kita harus turun tangan lebih dulu untuk menguasai keadaan."

   Sejak muncul hingga sekarang, Liu Khi jarang berbicara, pada saat itulah dia menjawab dengan suara dingin.

   "Siauliong, kau harus dapat mengendalikan diri, pertarungan yang bakal berkobar dalam kuil Hong-kong-si hari ini, bisa jadi akan merupakan pertarungan mati-matian yang jarang terjadi Bulim, barang siapa bisa mempertahankan hidup dalam pertarungan nanti, dialah yang mungkin akan mendapat harta karun peninggalan raja muda Mo-lay-cing-ong."

   Beberapa patah kata Liu Khi menggerakkan hati kawanan jago yang berada di dalam arena, semua orang seolah-olah dapat merasakan juga bahwa di dalam kuil Hong-kong-si yang kecil itu bisa jadi akan berkobar pertempuran berdarah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

   Bersambung j ilid 2

   Jilid 2 Tiba-tiba Mo Hui-thian tertawa kering, kemudian berkata.

   "Apabila pihak Kay-pang ingin mengangkangi sendiri harta karun Mo-lay-cing-ong, hanya dengan mengandalkan kemampuan Liu Khi serta Han Siau-liong saja hal itu jauh tidak cukup."

   "Bagaimana pun juga kemampuan Kay-pang rasanya masih jauh lebih mengungguli kemampuan perkumpulan Kiam-liongkiam- san-ceng."

   Liu Khi balas mengejek.

   "Hehehe, perkataan Liu-heng memang tepat,"

   Mo Hui-thian tertawa kering.

   "cuma pedang Lohu ini bukanlah pedang yang bisa dihadapi seenaknya."

   "Aku tahu, pedang Mo-loji paling tidak masih mampu membacok batok kepala beberapa anggota Put-gwa-cin-kau, kami Kay-pang ingin meminjam pedangmu itu."

   "Mana ... mana, mengapa Liu-heng tidak mulai terlebih dahulu?"

   "Atas dasar kemampuan kita bertiga, rasanya masih belum cukup untuk menghadapi orang-orang Put-gwa-cin-kau,"

   Jawab Liu Khi dingin.

   "Omitohud!"

   Tiba-tiba Hong-kong Hwesio memuji keagungan Buddha.

   "perkataan Liu-sicu memang benar, perubahan situasi yang kita hadapi sekarang membutuhkan kerja sama untuk menghadapi musuh tangguh Put-gwa-cinkau, kita wajib menghancurkan dan mematahkan mereka terlebih dahulu."

   Mo Hui-thian tertawa, selanya.

   "Seandainya beberapa orang di antara kita bersedia bekerja sama, aku yakin kekuatan yang kita himpun ini sanggup untuk menghadapi serbuan pihak Put-gwa-cin-kau, sayang, kita semua masih belum seia-sekata."

   Selesai berkata, dia berpaling dan memandang sekejap Bong Thian-gak. Tentu saja Bong Thian-gak memahami maksud Mo Huithian itu, maka ujarnya kemudian dengan suara hambar.

   "Biarpun pihak Kay-pang serta perkumpulan Kim-liong-kiamsan- ceng mempunyai dendam kesumat dengan Hiat-kiam-bun, tapi permusuhan itu tidak sedalam permusuhan kami dengan pihak Put-gwa-cin-kau."

   "Kalau begitu kita bisa bersatu-padu sekarang,"

   Ujar Mo Hui-thian sambil tertawa.

   "Nah, kita turun tangan lebih dulu menggasak habis manusia-manusia cecunguk itu."

   "Yang perlu kita musnahkan pertama-tama adalah Si-hunmo- li,"

   Kata Liu Khi tiba-tiba. Selesai berkata, lengan tunggalnya segera diayunkan ke depan, dua batang pisau terbang yang telah disiapkan sejak tadi disambitkan ke muka. Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak mendengar perkataan itu, serunya dengan cepat.

   "Tunggu sebentar!"

   Mo Hui-thian tertawa dingin, jengeknya.

   "Beberapa kelompok di antara kita ini memang selamanya tak mungkin bisa bersatu."

   "Barang siapa di antara kalian berani memukul Si-hun-moli, Pek-hiat-kiam di tanganku ini tak akan memberi ampun kepadanya,"

   Ancam Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   Sembari berkata, Pek-hiat-kiam di tangannya segera disilangkan di depan dada, kemudian dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh dia mengawasi semua orang dengan seksama.

   Suasana di halaman gedung itu seketika tercekam dalam keheningan, rasa tegang dan napsu membunuh yang menggidikkan menyelimuti benak setiap orang.

   Han Siau-liong segera menimbrung.

   "Bong-buncu, kau sudah merasakan sendiri betapa lihainya Si-hun-mo-li, seandainya perempuan itu tidak kita lenyapkan lebih dulu, kemungkinan besar kita semua akan terluka oleh pukulan Sohli- jian-yang-sin-kangnya."

   "Perkataanku tadi sudah cukup jelas,"

   Kata Bong Thian-gak dengan wajah serius.

   "aku tak mengizinkan orang melukainya, bila Liu Khi berani melepas pisau terbangnya, maka Pek-hiatkiam ini akan segera memenggal pula batok kepalanya."

   Liu Khi yang mendengar perkataan itu tertawa dingin.

   "Sekali pun pisau terbang Liu Khi sudah dicekal dalam genggaman, tak pernah berlaku dalam kamusku untuk menyimpannya kembali."

   "Aku tahu kepandaian silat yang kau miliki sangat hebat, tapi pada saat kau melepaskan pisau terbangmu itu, mustahil bisa menghindar dari babatan Pek-hiat-kiam, maka kunasehati kepadamu, lebih baik jangan menyerempet bahaya."

   Mendadak Mo Hui-thian mengangkat pedangnya dan dari kejauhan diarahkan pada Bong Thian-gak, setelah itu katanya sambil tertawa kering.

   "Sebetulnya aku merupakan penengah, tapi setelah diperhitungkan untung ruginya, aku lebih condong berpihak ke Liu-heng, dengan posisi demikian apakah Bong Thian-gak masih tetap bersikeras melindungi Si-hun-mo-li?"

   "Omitohud!"

   Tiba-tiba Hong-kong Hwesio berkata memuji keagungan Buddha.

   "kuminta Sicu sekalian jangan bertindak kelewat gegabah, lebih baik kita bersama-sama merundingkan cara pemecahan yang bijaksana."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang, lalu berkata.

   "Kuharap kalian bersedia mendengarkan perkataanku, sesungguhnya Si-hun-mo-li adalah seorang perempuan yang patut dikasihani, aku Bong Thian-gak pernah berhutang budi kepadanya, oleh sebab itu bila kalian berharap bantuanku malam ini untuk menghadapi orang-orang Putgwa- cin-kau, maka kalian harus memenuhi syaratku lebih dulu, yakni tidak boleh mencelakai jiwa Si-hun-mo-li."

   Baru selesai perkataan itu, mendadak terdengar suara dingin yang menggidikkan berkumandang dari sudut halaman gedung, menyusul kemudian seseorang berkata dengan suara sedingin salju.

   "Dengan mengandalkan kemampuan kalian, aku rasa masih belum mampu membunuh Si-hun-mo-li."

   Mendengar perkataan itu, para jago segera berpaling, dari sudut halaman sebelah utara pelan-pelan muncul dua orang.

   Orang pertama adalah sastrawan berbaju hijau yang sangat dikenal Bong Thian-gak, yakni Ji-kaucu.

   Sedangkan orang kedua adalah seorang kakek berbaju panjang berwarna hitam yang pada bagian dadanya tersulam seekor naga emas yang sedang melingkar.

   Orang itu seperti tidak membawa senjata, dia hanya bertangan kosong, namun Bong Thian-gak yang melihat sorot mata dan gerak-geriknya yang mantap, kontan keningnya berkerut kencang.

   la merasa kelihaian ilmu silat orang ini mungkin sudah mencapai tingkat yang tak terhingga, bahkan di antara kawanan jago persilatan yang pernah dijumpai olehnya, boleh dibilang kakek baju hitam inilah yang memiliki kepandaian silat paling hebat.

   Perasaan ini hanya Bong Thian-gak yang dapat merasakan.

   Mungkinkah dia adalah komandan nomor satu pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau? Kakek berbaju hitam itu berjalan bersanding dengan Jikaucu, sambil melangkah ke arena, dia menyapu pandang sekejap para jago yang hadir, katanya dengan suara dingin.

   "Liu Khi, bila kau tidak percaya, silakan kau timpukkan pisau terbangmu itu, coba kita buktikan apakah Si-hun-mo-li benarbenar akan mampus di ujung pisau terbangmu itu?"

   Dalam keadaan demikian, secara tiba-tiba Liu Khi menarik kembali kedua pisau terbang yang semula dicekal dalam genggamannya, kemudian setelah tertawa, katanya.

   "Kau ingin menyaksikan aku melepaskan pisau terbang? Boleh saja, tapi tunggu sampai kita berhadapan nanti, bisa kau buktikan dengan mata kepalamu sendiri!"

   Kakek berbaju hitam tertawa dingin.

   "Selama ini dalam Bulim tersiar berita yang mengatakan Liu Khi adalah seorang ahli senjata rahasia nomor wahid di kolong langit, sayang aku justru tak mau percaya dengan ucapan itu!"

   "Bagaimanakah kemampuan Liu Khi dalam melepaskan pisau terbang, mengapa tidak kau tanya sendiri kepada Jikaucu?"

   Liu Khi berkata sambil berkata. Ji-kaucu yang berada di sisi kiri lantas tersenyum.

   "Biarpun pisau terbangmu lebih cepat setingkat pada tiga tahun berselang ketika kita beradu di wilayah Sucwan, namun pertandingan itu sesungguhnya belum dapat menentukan secara tepat siapa yang unggul."

   "Kalau begitu dengan cara apa kita baru dapat mengetahui secara tepat siapa sesungguhnya yang lebih unggul di antara kita?"

   "Aku pikir, kita harus mengulangi pertarungan penentuan untuk membuktikan siapa sesungguhnya yang lebih unggul,"

   Jawab Ji-kaucu dengan wajah membesi dan suara hambar.

   "Ya, tentu saja dengan senang hati akan kulayani pertarungan ulangan itu."

   Mendadak terdengar Hong-kong Hwesio berseru dengan suara keras.

   "Sim Tiong-kiu, masih ingat dengan aku si Hwesio tua?"

   "Biar kau si keledai gundul sudah berubah menjadi abu pun aku masih mengenali dirimu,"

   Jawab kakek baju hitam itu dengan keras.

   "Omitohud, Sim-sicu! Kuanjurkan padamu, lebih baik lepaskan saja golok pembunuhmu! Biarpun pelajaran Buddha tak bertepian, namun Hud-co pasti akan mengampuni semua dosa-dosa Sicu di masa lampau bila kau bersedia bertobat."

   Kakek berbaju hitam itu tertawa dingin.

   "Keledai gundul, apakah kau sudah menyadari bakal mati pada malam ini, maka sekarang memohon Lohu untuk memberikan jalan hidup bagimu?"

   "Omitohud,"

   Kata Hong-kong Hwesio.

   "bila Sim-sicu masih juga tak mau bertobat dan menyesali semua kejahatan yang pernah kau lakukan, jangan menyesal nanti."

   "Hong-kong Hwesio,"

   Tukas kakek berbaju hitam ketus.

   "sekali pun kau menghadap dinding dan berlatih tekun selama lima puluh tahun lagi masih bukan tandinganku, siapa orangnya yang mampu mencabut nyawaku?"

   Perkataan kakek berbaju hitam ini sangat takabur dan sombong bukan alang-kepalang, ia benar-benar tidak memandang sebelah mata terhadap orang lain, seakan-akan dialah manusia paling hebat di kolong langit dan tiada orang kedua yang mampu mengungguli dirinya.

   Sudah barang tentu semua jago yang hadir dalam arena merasa mendongkol.

   Mendadak Han Siau-liong tertawa tergelak, kemudian serunya.

   "Kesombongan dan kejumawaanmu benar-benar membuat perasaan orang tidak enak, biarpun aku hanya seorang yang berkepandaian cetek, namun ingin sekali kucoba sampai dimanakah kemampuan orang yang menganggap dirinya paling wahid di kolong langit ini."

   "Bila kau tidak percaya, silakan saja mencoba,"

   Jengek kakek baju hitam itu hambar.

   "Oh, tentu saja aku akan mencoba,"

   Han Siau-liong tertawa lebar. Selesai berkata, dengan pedang terhunus selangkah demi selangkah Han Siau-liong maju ke muka. Melihat Han Siau-liong tampil, buru-buru Hong-kong Hwesio berkata.

   "Han-sicu, harap berhenti dulu."

   "Hahaha,"

   Han Siau-liong tertawa terbahak-bahak.

   "Hwesio tua, biarpun aku bisa menahan diri dan membiarkan cecunguk itu pamer kesombongannya, sayang, orang lain tidak memiliki kesabaran sebesar itu."

   Liu Khi sendiri pun dapat merasakan kepandaian silat kakek berjubah hitam itu lihai sekali dan Han Siau-liong bukan tandingannya, tapi batinnya.

   "Tenaga dalam Han Siau-liong amat sempurna, sekali pun kakek baju hitam itu ingin mengunggulinya, hal ini tak akan terjadi dalam satu-dua gebrakan saja ... biar saja dia turun tangan menguji kemampuannya."

   Karena pikiran ini, maka dia pun membiarkan Han Siauliong meneruskan langkahnya.

   Baik Bong Thian-gak maupun Mo Hui-thian sama-sama ingin mengetahui sampai dimanakah kemampuan kakek berjubah hitam itu, dengan mata tak berkedip mereka mengawasi langkah Han Siau-liong menuju ke depan.

   Tentu saja Han Siau-liong memiliki kepandaian amat lihai, sepintas dia nampak seperti pemuda yang tinggi hati dan jumawa, padahal dia tak berani menganggap enteng setiap lawannya.

   Dengan langkah tegap dan mantap, selangkah demi selangkah dia maju ke depan, semua jago yang berada di arena rata-rata mengetahui, secara diam-diam Han Siau-liong telah menghimpun tenaga dalam dan dihimpun ke lengannya, dari lengan disalurkan ke pedang bajanya.

   Selain itu semua orang juga tahu bahwa serangan pedangnya yang pertama nanti, Han Siau-liong pasti akan melepaskan sebuah serangan maha dahsyat.

   Menghadapi serangan Han Siau-liong itu, si kakek baju hitam tetap acuh tak acuh, dengan sikap amat tenang dia menantikan Han Siau-liong menghampirinya selangkah demi selangkah.

   Mendadak suara bentakan keras memecah keheningan, pedang baja Han Siau-liong disertai deru angin yang amat hebat langsung menyambar dan membacok tubuh si kakek berbaju hitam.

   Serangan pedang yang dilancarkan olehnya ini boleh dibilang disertai kecepatan luar biasa dan kekuatan yang sanggup membelah bukit karang.

   Ketika kawanan jago itu melihat datangnya serangan tadi, semuanya beranggapan sama, kecuali menghindarkan diri, rasanya sulit bagi Sim Tiong-kiu untuk menyambut datangnya ancaman itu dengan kekerasan.

   Tak disangka, tindakan yang dilakukan Sim Tiong-kiu sama sekali di luar dugaan semua orang.

   Bukannya menghindar atau melompat mundur, tahu-tahu Sim Tiong-kiu malah melompat ke muka dan melepaskan sebuah tendangan dengan kaki kirinya mengarah datangnya ancaman pedang itu.

   Sambil mendesak ke muka, kakek baju hitam itu berseru lantang.

   "Enyah kau dari sini!"

   Tahu-tahu tendangan itu bersarang di dada lawan, Han Siau-liong mendengus tertahan, tubuhnya terpental ke tengah udara.

   Berbareng dengan mencelatnya Han Siau-liong, mendadak tampak titik-titik cahaya tajam yang menyilaukan mata menyambar ke tubuh kakek berbaju hitam itu.

   Rupanya titik-titik cahaya itu tidak lain adalah pisau terbang yang disambitkan secara tiba-tiba oleh Liu Khi.

   "Hm, kau anggap pisau terbangmu itu mampu melukai diriku?"

   Jengekan dingin bergema di udara.

   Bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sim Tiong-kiu telah berdiri kembali di tempat semula, hanya pada jari tangan kirinya kini telah bertambah dengan dua pisau terbang yang memancarkan cahaya tajam.

   Pisau terbang milik Liu Khi sebenarnya terhitung sangat hebat, jarang ada orang yang mampu menghindarkan diri dari sergapannya, tapi kenyataan sekarang pisau terbang itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang berbaju hitam itu.

   Dalam pada itu Han Siau-liong yang mencelat ke belakang berikut pedangnya, kini sudah menggeletak di tanah dan tidak berkutik lagi.

   Bong Thian-gak dan Mo Hui-thian serentak maju mendekatinya.

   Tampak oleh mereka, Han Siau-liong sudah tergeletak di tanah dengan wajah pucat-pias seperti mayat, rupanya dia sudah dalam keadaan tak sadarkan diri.

   Han Siau-liong adalah jagoan lihai nomor tiga dalam Kaypang, sampai dimana kepandaiannya Bong Thian-gak pernah menyaksikan sendiri, bahkan pemuda itu terhitung jago lihai dalam Bu-lim.

   Tapi kenyataan sekarang jagoan itu dibikin keok dan tak sadarkan diri dalam satu gebrakan saja, boleh dibilang peristiwa semacam ini sungguh menggidikkan.

   Itu berarti juga Sim Tiong-kiu benar-benar merupakan seorang jagoan hebat.

   Untuk beberapa saat lamanya para jago bergidik dengan perasaan bergetar keras, mereka hanya bisa saling pandang dan mulut membisu.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Suara dingin, ketus dan sombong Sim Tiong-kiu kembali berkumandang di sisi telinga para jago, terdengar ia berkata.

   "Apakah masih ada orang lain yang ingin mencoba kepandaian silatku?"

   Tantangan yang begitu sombong dan takabur semacam ini pada hakikatnya cukup membuat orang tidak tahan. Toa-cengcu Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Hui-thian tertawa seram, katanya.

   "Mo Hui-thian ingin sekali mencoba kepandaian silatmu."

   "Mo-cengcu dikenal sebagai pendekar pedang nomor wahid di kolong langit, aku memang sudah lama ingin mencoba kepandaian ilmu pedangmu itu,"

   Jawab Sim Tiong-kiu hambar.

   "Mo-cengcu, harap kau suka menahan diri, jangan kau lakukan tindakan gegabah,"

   Hong-kong Hwesio berseru dengan suara dalam. Mo Hui-thian berpaling dan memandang sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, katanya.

   "Hwesio tua, apakah dengan kemampuan yang kumiliki masih belum mampu menyambut sejurus serangannya?"

   "Apakah Mo-cengcu dapat "melihat pukulan yang menyebabkan Han Siau-liong terluka parah?"

   Tanya Hongkong Hwesio dengan wajah serius.

   Mendengar pertanyaan itu, semua jago serentak mengangkat kepala dan menengok ke arah Hong-kong Hwesio.

   Memang sampai sekarang tak seorang pun di antara yang hadir mengetahui luka apakah yang diderita Han Siau-liong.

   Mo Hui-thian tertawa rikuh, lalu dia balik bertanya.

   "Apakah kau tahu, pukulan apa yang menyebabkan Han Siau-liong terluka?"

   Hong-kong Hwesio menggeleng kepala.

   "Hingga kini Lolap masih belum tahu ilmu sakti apakah yang telah dilatih Simsicu, tapi Lolap tahu, dewasa ini sedikit sekali ada yang bisa menghindarkan diri dari serangannya itu."

   Mo Hui-thian tertawa dingin, serunya.

   "Hei, Hwesio tua, kau tahu berapa orang di kolong langit ini yang mampu menghindarkan diri dari serangan pedangku?"

   "Sekali pun serangan pedangmu sangat lihai dan luar biasa, jarang ada orang yang sanggup menghadapinya, akan tetapi pernahkah Mo-cengcu bayangkan bahwa musuh pada hakikatnya tak akan memberi kesempatan kepadamu untuk melancarkan serangan."

   Hati Mo Hui-thian bergetar keras, dia segera bertanya.

   "Hwesio tua, apakah maksudmu berkata demikian?"

   Hong-kong Hwesio menghela napas panjang.

   "Ai, musuh yang akan menyerang lebih dahulu, bukan kau yang melancarkan serangan menyergap lawan."

   Mo Hui-thian tercekat, dengan cepat ia bertanya.

   "Barusan bukankah Han Siau-liong yang telah melancarkan serangan lebih dahulu terhadap lawan?"

   "Tentu saja tidak,"

   Seru Hong-kong Hwesio sambil menggeleng.

   Jawaban ini dengan cepat menimbulkan tanda tanya besar bagi kawanan jago itu.

   Sudah jelas terlihat tadi bahwa Han Siau-liong melancarkan serangan lebih dahulu, bagaimana mungkin bisa dikatakan Sim Tiong-kiu yang menyerang lebih dulu? Setelah tertawa dingin Mo Hui-thian bertanya.

   "Hwesio tua, bisakah kau terangkan bagaimana cara musuh melancarkan serangan lebih dulu?"

   Hong-kong Hwesio menghela napas panjang.

   "Ai, Lolap bisa menerangkan, tentu saja bisa pula mematahkan jurus serangan yang mematikan dari Sim Tiong-kiu itu."

   "Huh, pada hakikatnya kau hanya ngaco-belo belaka, aku justru tidak percaya dengan segala takhayul!"

   Jengek Mo Huithian sambil tertawa kering.

   Sembari berkata, pedangnya segera diangkat, kemudian pelan-pelan diturunkan ke depan dada, setelah itu ia menggenggam pedangnya dengan kedua tangan dan "Crit", tubuh berikut pedangnya tahu-tahu meluncur ke depan Sim Tiong-kiu dan menusuk tubuhnya.

   Kawanan jago di arena saat ini boleh dibilang rata-rata adalah jagoan persilatan yang berilmu tinggi, setelah menyaksikan jurus pedang yang dipergunakan Mo Hui-thian, tanpa terasa masing-masing pihak berpekik lirih.

   "Ah, ilmu pedang terkendali!"

   Yang disebut ilmu pedang terkendali adalah semacam ilmu pedang tingkat atas yang paling sukar dipelajari, bila kepandaian itu sudah mencapai puncaknya, maka serangan pedang bisa dikendalikan dari jarak jauh, bila demikian keadaannya maka memenggal batok kepala orang dari kejauhan bukan suatu pekerjaan yang amat sukar.

   Tiba-tiba saja Mo Hui-thian memepergunakan kepandaian maha sakti ini untuk menyerang musush, pada hakikatnya kejadian itu benar-benar merupakan suatu peristiwa yang luar biasa.

   Hawa pedang yang tajam bagaikan sembilu diiringi deru angin tajam segera melintas dan menusuk ke tubuh Sim Tiong-kiu.

   Tapi bersamaan dilancarkannya serangan itu, jeritan kaget serta suara bentrokan nyaring bergema memecah keheningan.

   Tubuh Mo Hui-thian seperti layang-layang putus benang terpental di udara dan berjumpalitan sebanyak tiga kali, kemudian jatuh terbanting ke tanah.

   Bong Thian-gak menghampiri orang itu.

   Tampak paras muka Mo Hui-thian pucat-pias seperti mayat, napasnya tersengal-sengal, ia mengangkat kepala memandang ke arah Bong Thian-gak sambil menggerakkan bibirnya yang gemetar seperti hendak memberitahukan sesuatu kepada Bong Thian-gak, namun tak sepatah kata pun yang terdengar.

   Dengan cepat Bong Thian-gak menempelkan telapak tangan kanannya ke jalan darah Mi-bun-hiat di tubuh Mo Huithian.

   Secara beruntun Mo Hui-thian muntah darah sebanyak tiga kali, tiba-tibanya kulit mukanya mengejang keras, kemudian roboh dan tidak sadarkan diri.

   Hanya dalam sekali gebrakan saja secara beruntun Sim Tiong-kiu telah berhasil merobohkan dua jago persilatan yang berilmu tinggi, kehebatannya itu dengan cepat menghebohkan dan menggidikkan hati setiap orang.

   Kembali Bong Thian-gak mengangkat kepala, ia lihat Sim Tiong-kiu masih tetap tegak berdiri di tempat, wajahnya dingin bagaikan es, selapis hawa dingin yang menggidikkan seakanakan menyelimuti tubuhnya.

   Waktu itu ujung baju lengan kirinya telah robek separo, tampaknya terpapas robek oleh sambaran hawa pedang yang dipancarkan oleh Mo Hui-thian tadi.

   "Masih ada siapa lagi yang ingin mencoba kepandaianku?"

   Suara yang dingin dan sombong Sim Tiong-kiu sekali lagi berkumandang.

   Sudah jelas Sim Tiong-kiu hendak mempergunakan kepandaian rahasianya yang maha sakti, hendak melukai kawanan jago yang hadir di arena satu demi satu.

   Itulah sebabnya ia menantang lagi para jago lain untuk mencoba kepandaian silatnya.

   Sementara itu Bong Thian-gak telah menggeser badan, kemudian ujarnya.

   "Kepandaian silat yang kau miliki memang sangat hebat, aku percaya tak bisa menandingi kehebatanmu itu, meski demikian aku ingin juga menjajal kepandaianmu itu."

   "Bong-sicu, kau tidak boleh bertindak secara gegabah."

   Bong Thian-gak berpaling dan memandang sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, kemudian katanya dengan suara nyaring.

   "Hari ini kita sudah berhadapan dengan lawan, cepat atau lambat pertarungan tak bisa dihindari lagi, kau suruh aku jangan bertindak sembarangan, apakah kau hendak menyuruh aku menerima kematian begitu saja?"

   Hong-kong Hwesio menghela napas sedih, kemudian katanya.

   "Kedua orang murid Lolap mungkin sanggup menahan serangannya, Bong-sicu, harap kau jangan turun tangan lebih dulu!"

   Dalam pada itu kedua murid Hong-kong Hwesio telah maju bersama ke depan. Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah kedua anak buah Hong-kong Hwesio yang berjenggot hitam itu, lalu dia bertanya.

   "Apakah Siancu berdua punya keyakinan dapat menahan serangannya?"

   Mendengar pertanyaan itu, kedua Hwesio berjenggot hitam itu menggeleng kepala, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kembali Bong Thian-gak berkata.

   "Bila Siancu berdua memang tidak punya keyakinan, lebih baik mundurlah untuk sementara waktu."

   "Bong-sicu,"

   Terdengar Hong-kong Hwesio berkata.

   "kedua orang muridku ini selain bisu juga tuli, semua perkataanmu itu tak mungkin didengarnya."

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak menghela napas panjang, segera pikirnya.

   "Oh, rupanya kedua orang ini bisu tuli, tak heran selama ini tak kudengar ucapan mereka barang sepatah kata pun."

   Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, lalu berkata.

   "Kalau kedua murid Hwesio tua bisu tuli, mereka lebih-lebih tidak seharusnya dikirim ke arena untuk melangsungkan pertarungan itu!"

   Hong-kong Hwesio menghela napas panjang.

   "Ai, biarpun kedua muridku ini bisu tuli, namun ketajaman mata serta kecerdasan otak mereka jauh melebihi orang biasa, bahkan boleh dikatakan kelewat tajam dan cerdik. Bong-sicu tak perlu kuatir, siapa tahu kedua muridku itu mampu mematahkan ilmu rahasia andalan Sim Tiong-kiu."

   Pada saat itulah terdengar Sim Tiong-kiu berkata sambil tertawa dingin.

   "Keledai gundul, bila kau menginginkan kedua murid cacatmu bisa mematahkan ilmu maha saktiku, tunggu saja bila matahari terbit dari langit barat."

   "Walaupun kedua orang itu tidak mempunyai keyakinan untuk membendung kesaktian silat Sicu, tapi pada puluhan tahun berselang kedua orang itu sudah mulai melatih diri secara tekun dan berhasil menciptakan sejenis ilmu silat yang dapat mematahkan jurus sakti Sim-sicu."

   "Kalau memang begitu, suruh saja mereka berdua kemari mengantar kematian!"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru.

   "Tunggu sebentar!"

   Tubuhnya berkelebat cepat dan menghadang di hadapan kedua Hwesio berjenggot hitam itu.

   "Bong-sicu, masih ada urusan apa lagi?"

   Tanya Hong-kong Hwesio.

   "Ada sebuah persoalan yang ingin kutanyakan kepada kau."

   "Bila Sicu ada persoalan, harap diutarakan saja."

   "Kau pernah bertarung melawan orang itu?"

   "Ya, kami pernah bertarung,"

   Hong-kong Hwesio mengaku.

   "Sudah bentrok berapa kali?"

   Kembali Bong Thian-gak bertanya.

   "Tiga kali."

   "Taysu, apakah setiap kali kalian bertarung Ji-kaucu selalu hadir di arena?"

   Pertanyaan ini membingungkan Hong-kong Hwesio, dia menggeleng sambil berkata.

   "Ji-kaucu tak pernah hadir di arena. Bong-sicu, apa maksudmu menanyakan hal ini?"

   Sebelum Bong Thian-gak menjawab, terdengar Ji-kaucu tertawa dingin sambil katanya.

   "Dia curiga kalau aku telah melepaskan racun dan meracuni orang secara diam-diam."

   Rupanya Bong Thian-gak menaruh curiga atas kejadian itu, hingga kini dia masih belum dapat melihat dengan jelas bagaimana Sim Tiong-kiu melukai lawannya. Maka dia pun mulai berpikir.

   "Mungkinkah Ji-kaucu yang telah melepaskan racunnya secara diam-diam dari tepi arena untuk membantu Sim Tiong-kiu sehingga akibatnya orang yang diserang Sim Tiong-kiu selalu menderita luka secara membingungkan?"

   Tapi jalan pikiran itu dengan cepat tersapu lenyap dalam tanya-jawab dengan Hong-kong Hwesio, sekarang dia yakin Sim Tiong-kiu benar-benar memiliki sejenis ilmu silat maha sakti. Bong Thian-gak termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata lagi.

   "Hwesio tua, mungkin aku dapat menyambut sebuah pukulannya tanpa harus mati. Harap Hwesio tua memerintahkan kepada kedua muridmu agar segera mengundurkan diri!"

   "Bong-sicu, kau tak usah keras kepala,"

   Tampik Hong-kong Hwesio sambil menggeleng. Bong Thian-gak kembali tersenyum.

   "Biarpun aku belum punya keyakinan untuk bisa mematahkan jurus serangan lawan, tapi aku percaya tak bakal tewas di bawah telapak tangannya,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tersenyum.

   "Bila kulangsungkan pertarungan jarak dekat, mungkin bisa kupatahkan jurus serangannya yang tangguh itu."

   Sim Tiong-kiu tertawa seram.

   "Ji-kaucu, orang inikah yang bernama Jian-ciat-suseng?"

   "Ya, dialah orangnya."

   "Bukankah Cong-kaucu telah menurunkan perintah agar kita membekuknya hidup-hidup?"

   "Benar, tapi kepandaian silat yang dimiliki orang ini sangat lihai, tampaknya komandan Sim membutuhkan tenaga yang cukup besar untuk dapat membekuknya."

   Mendadak Bong Thian-gak berkata sambil tertawa dingin.

   "Saudara, bersiap-siaplah menerima seranganku!"

   "Kalau berniat melancarkan serangan, lancarkan saja seranganmu itu,"

   Kata Sim Tiong-kiu hambar.

   Bong Thian-gak menggenggam Pek-hiat-kiam dengan tangan tunggalnya, kemudian maju selangkah demi selangkah mendekati lawan.

   Gerak langkah kakinya lamban sekali, ternyata Bong Thiangak telah mengerahkan tenaga dalam Tat-mo-khi-kang untuk melindungi badannya.

   Paras muka Bong Thian-gak yang semula pucat penyakitan, kini telah berubah merah bercahaya.

   Sim Tiong-kiu tetap berdiri tegak, matanya bersinar tajam bagai bintang timur mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.

   Tiba-tiba bergema suara gelak tertawa yang menyeramkan, Sim Tiong-kiu bagaikan sambaran kilat cepatnya langsung menerjang ke arah Bong Thian-gak.

   Sejak tadi Bong Thian-gak sudah mengetahui Sim Tiong-kiu memiliki ilmu silat yang amat hebat, tapi demi menjaga teknik 'dengan tenang mengatasi gerak', Bong Thian-gak sama sekali tidak melepaskan serangan pedangnya.

   Oleh sebab itu Sim Tiong-kiu segera mendesak lebih ke depan dan sebuah pukulan yang maha dahsyat dilontarkan ke dada Bong Thian-gak.

   Bong Thian-gak memang telah bersiap menerima serangan itu, ia tidak menghindar maupun berkelit, dadanya malah dibusungkan untuk menyambut datangnya ancaman itu.

   "Blam", diiringi benturan yang keras sekali, serangan itu bersarang di dada anak muda itu. Ilmu Tat-mo-khi-kang yang memancarkan daya kemampuan dahsyat itu segera menciptakan selapis tenaga pantulan tanpa wujud yang segera menggetarkan tubuh Sim Tiong-kiu sehingga tergetar mundur sejauh tiga langkah. Pada detik yang bersamaan itulah Pek-hiat-kiam yang berada dalam genggaman Bong Thian-gak segera dibabatkan dan menusuk ke dada Sim Tiong-kiu. Padahal taktik yang diambil Bong Thian-gak ini telah berhasil ditebak musuh secara tepat. Tentu saja serangan yang dilancarkan olehnya itu amat cepat bagaikan sambaran kilat, hawa sakti Tat-mo-khi-kang yang melindungi badannya pun tak mampu lagi melindungi seluruh tubuhnya. Serangan dahsyat musuh pun dilontarkan lagi. Bong Thian-gak hanya merasakan jari telunjuk tangan kiri musuh menyambar pelan ke atas dadanya, serangan jari tangan tanpa wujud bersarang telak di atas bahu kanannya. Dengusan tertahan bergema, Bong Thian-gak tidak mampu lagi melawan serangan jari itu, tubuhnya segera terbanting ke tanah. Gelak tawa seram penuh kebanggaan bergema memecah keheningan malam, tubuh Sim Tiong-kiu bagaikan sukma gentayangan mendesak maju ke muka, bersamaan itu pula cakar tangan kanannya mencengkeram urat nadi pada lengan tunggal Bong Thian-gak.

   "Crit, crit", dua kali desingan tajam bergema. Tahu-tahu Liu Khi telah melepaskan dua bilah pisau terbangnya ke depan. Golok terbang Liu Khi memang sangat termasyhur di kolong langit, khususnya mengancam tenggorokan orang, barang siapa terserang tak mungkin tertolong lagi. Itulah sebabnya Sim Tiong-kiu tidak berkesempatan lagi untuk melanjutkan ancamannya atas urat nadi Bong Thiangak. Tangan kirinya cepat diputar, ternyata kedua pisau terbang itu sudah terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah. Pada saat itulah terdengar Liu Khi berseru lagi dengan suara lantang.

   "Sekarang silakan kau rasakan bacokan golokku yang sesungguhnya."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selesai bicara Liu Khi segera melolos golok panjangnya, Topit- coat-to yang membuat Liu Khi termasyhur di kolong langit.

   Begitu serangan golok dilancarkan, ancaman itu benarbenar menggetarkan perasaan setiap orang.

   Jerit kesakitan segera berkumandang memecah keheningan.

   Darah segar menyembur, telapak tangan kanan Sim Tiongkiu sebatas pergelangan tangan tahu-tahu sudah terpapas kutung oleh bacokan golok itu.

   Tapi bersamaan dengan terpapas kutungnya pergelangan tangan kanan Sim Tiong-kiu, tangan kirinya telah melancarkan serangan pula ke depan.

   Liu Khi menjerit kaget, tubuhnya terlempar dan jatuh terduduk di atas tanah.

   Ia sama sekali tidak pingsan, akan tetapi luka yang dideritanya cukup parah, dia terduduk di atas tanah dengan sekujur badan gemetar keras, untuk beberapa saat tak mampu bangkit kembali.

   Sorot mata Liu Khi penuh dengan pancaran sinar kaget dan keheranan, hingga detik ini dia masih belum mengetahui dengan jelas bagaimana hal ini bisa terjadi hingga ia terluka oleh jurus serangan lawan.

   Beberapa kejadian beruntun itu berlangsung hampir bersamaan, berhubung gerak tubuh mereka kelewat cepat.

   Sejak pergelangan tangannya terpapas kutung, Sim Tiongkiu menaruh perasaan dendam yang amat besar, ia menerkam lagi ke arah Liu Khi yang masih tergeletak di depan sana.

   Dalam pada itu Liu Khi sudah lemas dan tidak berkekuatan lagi untuk memberikan perlawanan setelah tubuhnya terhajar oleh serangan jari lawan, kulit mukanya segera mengejang keras, pikirnya.

   "Habis sudah riwayatku kali ini, sungguh tak nyana Liu Khi harus mampus di tangannya."

   Belum habis ingatan itu melintas, sekilas cahaya pedang berwarna merah telah berkelebat di depan mata.

   Liu Khi segera memusatkan perhatian dan menengok.

   Ternyata Pek-hiat-kiam di tangan kanan Bong Thian-gak sedang diarahkan ke tubuh Sim Tiong-kiu, dia melancarkan tiga buah serangan berantai, memaksa Sim Tiong-kiu terdesak mundur.

   Baik Liu Khi maupun Sim Tiong-kiu sama sekali tidak menyangka Bong Thian-gak masih memiliki kekuatan untuk melancarkan serangan walaupun sudah terkena pukulan dahsyat Sim Tiong-kiu secara telak.

   Pertarungan cepat akhirnya terhenti dan hening kembali.

   Pek-hiat-kiam di tangan Bong Thian-gak terkulai menghadap tanah, dengan senjata itu dia mempertahankan keseimbangan tubuhnya.

   Sementara itu Ji-kaucu telah menghampiri Sim Tiong-kiu dan secara beruntun menotok urat nadi pada lengan kanan Sim Tiong-kiu yang kutung untuk mencegah agar tidak banyak darah yang mengalir dari mulut lukanya.

   Hong-kong Hwesio menghampiri Bong Thian-gak serta Liu Khi, ia segera bertanya.

   "Parahkah luka yang kalian derita?"

   "Hwesio tua, aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menangkis ataupun mematahkan jurus serangan musuh,"

   Kata Liu Khi sambil tertawa pedih. Bong Thian-gak berkata pula sambil menghela napas sedih.

   "Hwesio tua, jurus serangan lawan yang hebat itu terletak pada jari telunjuk tangan kirinya, berhubung serangan itu tidak memperlihatkan gejala apa-apa, maka hampir tiada orang yang berhasil mengetahui rahasia itu dengan jelas."

   Mendengar penjelasan itu, Hong-kong Hwesio menghela napas panjang, katanya kemudian.

   "Lolap memang pernah menduga, bahwa jurus serangan dahsyat lawan bisa jadi berasal dari satu di antara sepuluh jari tangannya, namun aku tak pernah bisa menebak dengan cara bagaimana dia merobohkan lawan-lawannya, sebab pada saat serangan dilancarkan, hal ini merupakan suatu masalah yang tak bisa dipecahkan."

   Liu Khi menyesal setengah mati setelah mendapat penjelasan ini, dia menghela napas dan mengeluh.

   "Seandainya serangan golokku tadi membacok pergelangan tangan kirinya, urusan pasti akan beres dengan sendirinya."

   "Seandainya tanpa serangan golokmu tadi, mungkin aku sudah tewas terhajar serangannya,"

   Kata Bong Thian-gak dengan perasaan amat berterima kasih. Liu Khi lebih berterima kasih lagi, katanya.

   "Serangan pedang Bong-laute yang benar-benar telah menyelamatkan jiwaku, aku merasa berterima kasih sekali."

   Bong Thian-gak menengok sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, kemudian katanya.

   "Hwesio tua, sekarang tergantung pada dirimu."

   "Sekarang pergelangan tangan Sim Tiong-kiu telah terpapas kutung, semangat tempurnya sudah luluh, agaknya Lolap mampu menandinginya."

   Liu Khi menghela napas sambil berkata.

   "Keadaan saat ini, kekuatan pihak Put-gwa-cin-kau sama sekali belum menderita kerugian apa-apa, agaknya nasib kita malam ini lebih banyak buruknya daripada untungnya."

   Betul, dari pertarungan yang berlangsung barusan, pihak Put-gwa-cin-kau hanya menderita kerugian Sim Tiong-kiu seorang yang telah kehilangan pergelangan tangannya, sedangkan Ji-kaucu beserta Si-hun-mo-li dan ketiga belas orang berjubah hitam itu pada hakikatnya belum turun tangan.

   Sebaliknya di pihak lain, Han Siau-liong dan Mo Hui-thian secara beruntun telah terluka oleh serangan jari tangan Sim Tiong-kiu dan hingga kini belum sadarkan diri, sedangkan Liu Khi dan Bong Thian-gak telah menderita luka pula.

   Pada saat ini mereka yang sanggup melangsungkan pertarungan dengan musuh tinggal kedelapan pelindung hukum Hiat-kiam-bun, Hong-kong Hwesio beserta murid serta Long Jit-seng.

   Bila diperbandingkan kemampuan yang dimiliki kedua belah pihak, tampaknya Hong-kong Hwesio bertiga sulit untuk menandingi kemampuan Sim Tiong-kiu, Ji-kaucu serta Si-hunmo- li.

   Mendadak Liu Khi memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian bertanya.

   "Bong-buncu, masih mampukah kau melanjutkan pertarungan?"

   "Bahu kananku makin lama semakin kaku, agaknya sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi, mungkin sampai waktunya aku sudah tak mampu lagi menggenggam pedang,"

   Ucap Bong Thian-gak sambil tersenyum. Paras muka Liu Khi berubah hebat, katanya kemudian.

   "Kalau begitu kita benar-benar akan tewas di tempat ini."

   Bong Thian-gak kembali tertawa.

   "Sebelum ajal tiba, aku rasa masih ada sisa kekuatan untuk membunuh beberapa orang musuh lagi, apakah Liu-locianpwe sudah tidak mempunyai kemampuan lagi?"

   Hati Liu Khi bergetar keras, ia tertawa terbahak-bahak.

   "Apakah Bong-buncu tidak percaya aku sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melanjutkan pertarungan?"

   "Kalau tadi, mungkin benar-benar sudah tak punya lagi, tapi sekarang aku lihat Liu-locianpwe seperti telah menemukan cara untuk mengobati luka yang kau derita."

   "Bila Bong-buncu tidak mempercayai diriku lagi, aku pun tak bisa berkata apa-apa lagi,"

   Ucap Liu Khi sambil tertawa. Sambil menarik muka Bong Thian-gak berkata lagi.

   "Sebentar lagi Sim Tiong-kiu dan Ji-kaucu akan melancarkan serangan terhadap kita, bila Liu-locianpwe tidak segera mengobati luka yang diderita Han Siau-liong serta Mo Huithian, bisa jadi kita benar-benar akan tewas hari ini di sini."

   Liu Khi kembali menggeleng kepala berulang kali.

   "Saat ini aku benar-benar sudah tidak mempunyai kekuatan lagi sekalipun untuk menyembelih ayam, bila beruntung bisa memulihkan kembali kekuatanku, mungkin hal ini baru kualami beberapa jam kemudian. Sekarang terpaksa aku harus menggantungkan perlindungan terhadap Hong-kong Hwesio sekalian serta Bong-buncu."

   Mendengar perkataan ini, Bong Thian-gak mengerutkan dahi, kemudian pikirnya.

   "Barusan tampaknya aku seperti melihat Han Siau-liong telah membuka mata satu kali setelah memperoleh pertolongan Liu Khi."

   Mendadak terdengar suara dingin yang menggidikkan hati dari Ji-kaucu bergema memotong jalan pikiran Bong Thiangak.

   "Ko Hong, hari ini jangan harap kau bisa meloloskan diri dari jaringan langit yang diatur oleh Put-gwa-cin-kau."

   I Pedang di tangan Bong Thian-gak masih tetap tergeletak di tanah, ketika mendengar perkataan itu dia tertawa dingin.

   "Ko Hong adalah nama samaranku pada tiga tahun berselang, pada saat ini aku adalah ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak."

   Dia tertawa dingin tiada henti, kemudian melanjutkan.

   "Jikaucu, bila kalian ingin membunuhku pada hari ini, mungkin pengorbanan yang sangat besar harus kalian bayar untuk itu, jika kau tidak percaya, silakan saja bertindak!"

   Bong Thian-gak dengan memancarkan sinar mata tajam yang menggidikkan mengawasi wajah Ji-kaucu dengan penuh gusar dan perasaan dendam yang membara. Tak terkira rasa terkesiap Ji-kaucu menyaksikan sorot mata Bong Thian-gak itu, pikirnya.

   "Sekarang dia sudah terkena pukulan Ji-gwat-soh-hun-ci dari Sim Tiong-kiu, namun luka yang diderita nampaknya tidak begitu parah, oh ... sungguh mengejutkan tenaga dalam orang ini... bukan hanya Ji-gwatsoh- hun-ci yang tidak berhasil melukainya, ilmu pukulan Sohli- jian-yang-sin-kang dari Si-hun-mo-li pun tampaknya tak dapat melukainya, entah kepandaian silat apakah yang berhasil dilatih olehnya."

   Bukan hanya Ji-kaucu seorang yang berpendapat demikian, bahkan Hong-kong Hwesio serta sekalian jago pun merasa curiga di samping kagum atas kelihaian ilmu silat Bong Thiangak. Tiba-tiba Sim Tiong-kiu melompat bangun dari atas tanah, kemudian berseru.

   "Lohu tidak percaya kalau kau masih mempunyai kemampuan untuk melukai musuh dengan pedangmu itu."

   "Kalau tidak percaya, mengapa tidak datang kemari mencobanya sendiri?"

   Jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.

   Waktu itu Sim Tiong-kiu telah kehilangan telapak tangan kanannya, sehingga dengan demikian dia menjadi manusia cacat.

   Dengan begitu Bong Thian-gak, Sim Tiong-kiu dan Liu Khi tiga orang berlengan tunggal saling berdiri berhadapan dengan sikap bermusuhan.

   Sorot mata Sim Tiong-kiu memancarkan sinar kebencian dan perasaan dendam ditujukan ke arah Liu Khi yang duduk bersila di atas tanah, sebaliknya Bong Thian-gak mengawasi gerak-gerik Sim Tiong-kiu tanpa berkedip.

   Dia tahu tujuan serangan yang mematikan Sim Tiong-kiu saat ini tak lain adalah Liu Khi.

   Di pihak lain, Hong-kong Hwesio telah berseru memuji keagungan sang Buddha, lalu berkata.

   "Sim-sicu, di antara kita berdua masih terjalin dendam dan hutang lama, apakah Sim-sicu tidak akan menagih hutang itu kepada aku si Hwesio tua?"

   Sim Tiong-kiu memandang sekejap ke arah Hong-kong Hwesio, kemudian bertanya.

   "Kau tak usah berharap bisa meninggalkan kuil Hong-kong-si lagi dalam keadaan hidup, biar kau punya sayap pun jangan mimpi bisa meninggalkan tempat ini. Buat apa aku memusingkan diri dengan hutang lama kita?"

   "Sim-sicu, tentunya kau tidak akan memberikan keuntungan yang amat besar kepada aku si Hwesio tua bertiga bukan?"

   "Biarpun lenganku kutung semua, aku masih mampu melayani kalian bertiga,"

   Jengek Sim Tiong-kiu dengan suara sedingin es.

   "Sim-sicu, tidakkah kau merasa bahwa perkataanmu itu kelewat takabur?"

   "Kau si Hwesio tua termasuk juga seekor rase tua yang licik dan banyak tipu muslihat, siapakah yang tidak tahu kau memang lebih suka membiarkan orang lain turun ke gelanggang lebih dulu, sedangkan kalian guru dan murid akan duduk sebagai si nelayan mujur yang tinggal memungut hasilnya?"

   Ketika mendengar perkataan kedua orang itu, hati Bong Thian-gak bergetar keras, segera pikirnya.

   "Ya, sejak awal hingga sekarang Hong-kong Hwesio bertiga tak pernah menggerakkan tangan biar satu gebrakan saja, mungkinkah si Hwesio tua ini seperti apa yang dikatakan Sim Tiong-kiu barusan. Berakal busuk, banyak tipu muslihat dan mempunyai tujuan pribadi tertentu? Siapa tahu dia memang sengaja membiarkan aku serta pihak Kay-pang turun gelanggang terlebih dulu sebagai panglima pembuka jalan untuk menghadapi Put-gwa-cin-kau?"

   "Omitohud!"

   Hong-kong Hwesio berkata.

   "setelah S


Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Neraka Hitam -- Khu Lung

Cari Blog Ini