Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 12


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 12


k mematahkan serangannya itu!"

   Cia Siau-hong tidak menjawab.

   Ia teringat kembali pada serangan kilat yang pernah dijumpainya itu.

   Jurus ke empat belas dari Yan Cap-sa sebetulnya sangat kokoh dan sudah diserang, tapi serangan kilatnya itu segera berubah segala sesuatunya, merubah jurus serang itu menjadi sesuatu yang amat menggelikan.

   Inilah kata yang pernah disampaikan kepada Thi Kay-seng hari itu, ia tidak mengibul, diapun tidak sengaja bicara sesumbar.

   Jika seseorang sudah berada pada detik-detik kematiannya, apa yang bisa mereka pikirkan dalam keadaan demikian? Bukankah dia akan memikirkan sesuatu semua sanak keluarga serta semua sahabat yang pernah dikenalnya sepanjang hidup, mengenang kembali semua kegembiraan dan kesengsaraan yang pernah dialaminya? Apa yang kupikirkan waktu itu bukanlah segala sesuatunya tersebut.

   Pada detik terakhir menjelang saat kematiannya tiba, dia masih memikirkan jurus ke empat belas dari Yan Cap-sa.

   Sepanjang sejarah hidupnya, telah ia korbankan demi ilmu pedang, bagaimana mungkin menjelang ajalnya ia bisa memikirkan persoalan-persoalan lainnya? Pada saat seperti inilah, tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya.

   Itulah suatu lintasan akal yang amat bagus.

   Di kala para penyair menciptakan bait-bait syairnya, seringkali dalam hati mereka akan terlintas satu ingatan, itulah ilham.

   Tentu saja ilham semacam itu bukan diperoleh karena nasibnya lagi mujur, kau harus mempersembahkan dahulu segenap jerih payahmu sepanjang hidup sebelum ilham semacam ini akan muncul dalam benakmu.

   Memandang mimik wajah Cia Siau-hong, Buyung Ciu-ti menampilkan sikap yang jauh lebih riang dan gembira, katanya.

   "Aku pikir sekarang kau pasti sudah berhasil menemukan cara yang terbaik untuk mematahkan jurus serangannya yang ke empat belas!"

   Ia memandang lelaki itu lekat-lekat, kemudian tersenyum, terusnya lebih jauh.

   "Kau tak usah mengelabui diriku, kau tak akan bisa mengelabui diriku......."

   "Betul, aku dapat mematahkan jurus serangannya itu, cuma sayang....."

   "Cuma sayang kenapa?"

   "Cuma sayang serangannya itu masih bukan merupakan inti kekuatan yang sesungguhnya dari rangkaian ilmu pedangnya"

   Paras mukanya berubah menjadi serius dan berat, ini menunjukkan betapa gawatnya persoalan. Perasaan Buyung Ciu-ti agak tergetar, serunya tertahan.

   "Serangan itu masih bukan inti kekuatannya?"

   "Bukan!"

   "Lantas di manakah ia letakkan semua inti kekuatan yang sesungguhnya dari ilmu pedangnya itu?"

   "Dalam jurus serangannya yang ke lima belas!"

   "Sudah jelas kalau ilmu pedang Toh-mia-cap-sa-kiam terdiri dari tiga belas jurus, darimana munculnya jurus yang ke lima belas?"

   "Dengan keindahan serta kesaktian dari ilmu pedangnya itu, sudah sepantasnya kalau masih ada perubahan yang ke lima belas, hal tersebut ibaratnya.....ibaratnya....."

   "Ibaratnya apa?"

   "Ibaratnya sekuntum bunga!"

   Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik matanya, karena nada akhirnya ia berhasil menemukan perumpamaan yang paling cocok dan sesuai. Dengan cepat ia berkata lebih jauh.

   "Tiga belas jurus serangan yang pertama tak lebih hanya akar dari pohon bunga, jurus ke empat belas cuma daun-daunnya, ini musti menunggu sampai terjadinya perubahan yang ke lima belas, kuntum bunga itu baru mekar, sebab justru yang ke lima belas barulah merupakan kuntum bunga yang sesungguhnya!"

   Bunga yang indah harus didampingi oleh daun yang hijau, ditunjang oleh akar yang kuat untuk bisa tumbuh dengan subur, tapi jika bunganya tak sampai mekar, maka pohon bunga tersebut belum bisa dianggap sebagai sekuntum bunga.

   "Toh-mia-cap-sa-kiam pun demikian pula teorinya", Cia Siau-hong menerangkan lebih jauh.

   "tanpa jurus ke lima belas, hakekatnya rangkaian ilmu pedang tersebut sama sekali tak ada nilainya"

   "Seandainya terdapat jurus yang ke lima belas ini bagaimana pula keadaannya?"

   "Pada saat itu, bukan saja aku bukan tandingannya, di kolong langit dewasa ini juga tak seorang manusiapun yang bisa menandingi kelihayannya"

   "Apakah saat itu kau pasti akan mati di ujung pedangnya?"

   "Asal aku bisa menyaksikan munculnya ilmu pedang semacam itu dalam dunia, sekalipun harus mati di ujung pedangnya, aku juga mati dengan hati yang rela!"

   Lantaran luapan rasa gembira yang berkobar-kobar, pancaran sinar tajam menyelimuti seluruh wajahnya.

   Hanya pedang merupakan sasaran yang sesungguhnya dari kehidupannya, di situlah kehidupan yang sesungguhnya baru berlangsung.

   Asal ilmu pedang itu bisa berada terus di dunia ini, apakah jiwanya bisa pula hidup terus di dunia ini atau tidak, baginya hal mana sudah merupakan suatu masalah yang tidak penting lagi.

   Buyung Ciu-ti dapat memahami wataknya tapi sepanjang hidup ia tak mampu memahami tentang hal ini.

   Diapun tak ingin memahaminya.

   Untuk memahami masalah semacam ini, sesungguhnya hal tersebut terlampau menyiksa, terlampau payah dan makan tenaga.

   Hanya satu yang dia kuatirkan.

   Sekarang apakah Yan Cap-sa telah berhasil menciptakan jurus pedang tersebut? Cia Siau-hong tidak menjawab.

   Pertanyaan tersebut tak akan terjawab oleh siapapun, juga tak akan diketahui oleh siapapun.

   Malam sudah semakin kelam, rembulan sudah mendekati purnama.

   Sekalipun bukan di tempat yang sama, namun sama-sama ada rembulan, sekalipun bukan orang yang sama, kadang kala mempunyai perasaan yang sama.

   Sinar rembulan terbias di atas permukaan air sungai yang mengalir, di atas sungai berlabuh sebuah sampan.

   Di ujung sampan terdapat sebuah tungku api, sepoci air teh dan seorang kakek yang kesepian.

   Di tangan kakek itu terdapat sebatang tongkat kayu, sebilah pisau.......

   Sebuah tongkat kayu sepanjang empat depa dengan pisau sepanjang tujuh inci.

   Kakek itu sedang mempergunakan pisau belati itu, pelan-pelan menyayat tongkat kayu tersebut......

   Apa yang hendak dia buat dari tongkat kayu itu? Apakah ingin membuat sebilah pedang? Mata pisau itu amat tajam dan cepat, caranya mempergunakan pisau juga mantap dan penuh bertenaga.

   Siapapun juga tak akan menyangka kalau seorang kakek lemah semacam dia ternyata memiliki sepasang tangan yang begitu mantap dan bertenaga.

   Akhirnya tongkat kayu itu sudah tersayat hingga muncul bentuk sebenarnya, betul juga, itulah bentuk dari sebilah pedang.

   Tongkat kayu yang empat depa panjangnya itu telah tersayat menjadi sebilah pedang yang tiga depa tujuh inci panjangnya, ada mata pedang, ada pula ujung pedang.

   Dengan penuh kasih sayang kakek itu membelai ujung pedangnya, di bawah pancaran yang berasal dari tungku api, paras mukanya menampilkan suatu perubahan yang sangat aneh.

   Siapapun tak dapat melihat apakah dia sedang gembira? Atau sedih? Ataukah terharu? Tapi bilamana kau telah melihat sepasang matanya, maka kau akan melihat bahwa dia hanya merasa rindu belaka.

   Merindukan kembali kegembiraan dan kesenangannya di masa lampau, juga merindukan kembali kehidupannya yang penuh kesedihan dan kesengsaraan itu.

   Ia menggenggam gagang pedang itu erat-erat kemudian pelan-pelan bangkit berdiri.

   Ujung pedangnya tertuju ke bawah, tubuhnya yang semula bungkuk seperti lapukpun tiba-tiba tegap dan lurus kembali.

   Sekarang ia telah berdiri tegap, dalam waktu yang teramat singkat itulah ia telah berubah seratus persen.

   Perubahan tersebut ibaratnya sebilah pedang tajam yang disarungkan dalam sebuah sarung pedang yang kuno dan rombeng, ketika dicabut keluar secara tiba-tiba, segera memancarkan cahaya tajam yang berkilauan.

   Pada detik itulah dia seakan-akan memancarkan sinar tajam.

   Sinar semacam itu membuatnya secara tiba-tiba bersemangat kembali, membuatnya tampak lebih muda, paling tidak lebih muda dua puluh tahun.

   Kenapa seorang bisa sama sekali berubah setelah di tangannya menggenggam sebilah pedang kayu? Mungkinkah hal ini disebabkan karena dulunya dia memang seorang yang memancarkan cahaya berkilauan? Air sungai mengalir dengan deras, sampan itu terombang-ambing mengikuti gerakan arus.

   Orang itu seakan-akan terpantek di ujung sampan, dengan termangu-mangu ia menatap mata pedang dihadapannya, lalu menusuk ke depan dengan enteng dan ringan.

   Pedang itu terbuat dari sebatang kayu, mana suram, berat lagi.

   Tapi tusukan itu seakan-akan membuat pedang tersebut menjadi berubah, berubah lebih bersinar, lebih bernyawa.

   Ia telah menyalurkan segenap kekuatan hidupnya ke dalam pedang kayu tersebut.

   Tusukan yang enteng dan ringan itu sesungguhnya tidak mengandung perubahan apa-apa.

   Tapi perubahan tersebut kemudian datang secara tiba-tiba, datang bagaikan air yang mengalir, begitu leluasa, begitu bebas dan tanpa hambatan.

   Pedang itu di tangannya bagaikan kampak di tangan Lu Pan, bagaikan pit di tangan Si Ci, bukan saja bernyawa, bahkan seakan-akan memiliki kehidupan.

   Dengan gerakan yang enteng, sederhana dan seenaknya, dalam waktu singkat ia telah melancarkan tiga belas buah tusukan pedang.

   Sesungguhnya ilmu pedang itu enteng, lincah dan santai, seakan-akan air sungai yang sedang mengalir, tapi setelah ke tiga belas buah tusukan pedang itu dilancarkan, di atas permukaan sungai seakan-akan diliputi oleh hawa pembunuhan yang tebal, seolah-olah seluruh langit telah diselimuti oleh hawa nafsu membunuh yang mengerikan.

   Setelah tiga belas jurus pedang itu selesai dilontarkan, semua perubahan itu seakan-akan telah mencapai pada akhir seperti air sungai yang tiba di muara.

   Gerakan pedangnya ikut menjadi lambat, lambat sekali.

   Meski amat lambat, tapi masih tetap berubah, mendadak tusukan pedangnya makin tidak beraturan, seperti tanpa jalur yang sesungguhnya, kacau balau tak karuan........

   Tapi justru tusukan tersebut ibaratnya melukis naga memberi mata, walaupun kosong, namun di sinilah letak kunci yang terutama dari semua perubahan.

   Kemudian diapun melancarkan tusukan yang ke empat belas.

   Hawa pedang dan hawa pembunuhan yang menyelimuti permukaan sungai amat berat dan tebal, bagaikan awan hitam yang secara tiba-tiba menyelimuti seluruh udara.

   Tapi setelah tusukan itu dilancarkan, semua awan hitam yang menyelimuti udara seakan-akan tersapu lenyap, cahaya sang surya pun muncul di atas awang-awang.

   Bukan cahaya mata yang lembut dan hangat melainkan sinar senja yang merah membara dan sinar teriknya matahari di tengah hari bolong.

   Setelah serangan itu dilancarkan, semua perubahan baru benar-benar mencapai pada puncaknya, air yang telah mengalir sampai di ujung sekarang berubah menjadi kering dan merekah.

   Tentang yang dimiliki juga sudah mengering.

   Tapi pada saat itulah tiba-tiba ujung pedang itu menimbulkan kembali suatu gerakan yang sangat aneh.

   Ujung pedang itu sebenarnya menunjukkan ke arah tungku api, tapi setelah terjadinya getaran itu, mendadak api dalam tungku itu padam.

   Walaupun mata pedang masih bergetar keras, apa yang sebetulnya sedang bergerak tiba-tiba saja terhenti sama sekali.

   Betul-betul terhenti sama sekali.

   Bahkan sampan kecil yang sebetulnya masih bergoyang tiada hentinya di atas permukaan airpun, kini ikut terhenti dan menjadi tenang sekali......

   Bahkan air sungai yang mengalir pun seakan-akan ikut terhenti.

   Tiada perkataan lain yang bisa melukiskan keadaan tersebut kecuali sepatah kata, sepatah kata yang sederhana sekali.........mati!.

   Tiada perubahan, tiada kesempatan untuk hidup.

   Yang dibawa serangan pedang itu hanya kematian!.

   Hanya 'kematian' merupakan akhir dari segala sesuatunya, akhir yang betul-betul langgeng.

   Air telah mengering, perubahan telah mencapai pada puncaknya kehidupan berakhir berakhir, alam semesta lenyap dan musnah.

   Di sinilah letak inti kekuatan yang sesungguhnya dari ilmu Toh-mia-cap-sa-kiam.

   Jurus inilah baru merupakan jurus merenggut nyawa yang sesungguhnya dari rangkaian ilmu pedang itu.

   Dari jurus serangan ini tak lain adalah jurus serangan yang ke lima belas!.

   "Plaaak.....!, tiba-tiba pedang kayu itu patah menjadi dua. Air sungai kembali mengalir deras, sampan kembali terombang-ambing di mainkan ombak. Tapi ia masih berdiri kaku di sana sama sekali tak berkutik, sekujur tubuhnya itu bermandikan keringat, bajunya telah basah kuyup. Namun paras mukanya masih membawa mimik wajah yang aneh, entah terkejut, entah girang, ataukah ngeri? Semacam rasa takut yang timbul akibat dari sesuatu kekuatan dari umat manusia yang tak dapat di duga sebelumnya, dan tak terkendalikan seterusnya. Hanya dia seorang yang tahu bahwa jurus pedang itu sebenarnya bukan diciptakan olehnya. Hakekatnya tak ada orang yang bisa menciptakan jurus pedang itu, tak ada orang yang bisa memahami perubahan dari jurus serangannya itu. Munculnya perubahan pada manusia itu seakan-akan bagaikan 'kematian' itu sendiri, tiada orang yang bisa memahami, tiada orang pula yang bisa menduga. Kekuatan untuk perubahan semacam ini juga tak mampu dikendalikan oleh siapapun. Langit sangat gelap dan pekat. Ia berdiri kaku di tengah kegelapan, sekujur badannya seolah-olah sedang gemetar, gemetar karena ketakutan. Mengapa ia ketakutan? Apakah dia tahu kalau dia sendiripun tak mampu untuk mengendalikan jurus serangannya itu? Tiba-tiba dari atas permukaan sungai berkumandang suara helaan napas panjang, terdengar seseorang berkata sambil menghela napas.

   "Kenapa para setan belum juga menangis? Kenapa para malaikat belum juga melelehkan air mata?"

   Dari atas permukaan sungai kembali muncul sebuah perahu, sebuah perahu yang bentuknya bagaikan perahu pesiar di telaga Lam-ou. Cahaya lampu menerangi perahu itu, di sana tampak sebuah meja catur, sepoci arak, sebuah harpa, se

   Jilid kitab dan di bawah lentera terdapat pula sepotong batu hitam.

   Itulah batu hitam untuk mengasah pedang.

   Seseorang berdiri di ujung perahu, memandang kakek itu, memandang pula kutungan pedang di tangannya.

   Pancaran sinar matanya pun membawa pula kesedihan dan rasa seram yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

   Pelan-pelan kakek itu mendongakkan kepalanya, memandang orang itu kemudian ia menegur.

   "Kau masih kenal denganku?"

   "Tentu saja aku kenal denganmu!"

   Perahu pesiar dari telaga Liok-sui-oh, lembah Cui-im-hok, perahu penyeberang yang cuma ada pergi tanpa kembali.

   Kesemuanya itu adalah kenangan yang tak akan terlupakan oleh kakek itu untuk selamanya.

   Di atas perahu itulah ia menenggelamkan pedang kenamaannya, dia menenggelamkan juga kegagahan serta usianya.

   Orang itulah yang pernah menghela napas atas kebodohannya tapi dia pula yang telah memuji atas kecerdasan otaknya.

   Ia berbuat demikian sebetulnya merupakan tindakan yang cerdik, ataukah bodoh? "Cia ciangkwe!"

   "Yan Cap-sa!"

   Mereka saling bertatapan lalu menghela napas sedih.

   "Tak kusangka akhirnya kita masih bisa berjumpa lagi!"

   Cia ciangkwe menghela napas lebih berat lagi, katanya.

   "Ciong-ci menciptakan tulisan, setan dan malaikat menangis tersedu-sedu, kau menciptakan jurus pedang itu, setan dan malaikatpun seharusnya melelehkan pula air matanya!"

   Kakek itu dapat memahami maksudnya.

   Jurus pedang itu telah membocorkan rahasia langit dan kehilangan perintah langit.

   Perintah langit hanyalah kebajikan.

   Setelah terciptanya jurus pedang itu, semenjak detik itu, entah masih ada berapa banyak orang lagi yang bakal tewas di ujung pedang tersebut........? Kakek itu termenung tidak bicara, lewat lama sekali pelan-pelan dia baru berkata.

   "Jurus pedang ini bukan diciptakan olehku sendiri!"

   "Bukan?", Cia ciangkwe mengulangi. Kakek itu menggeleng.

   "Setelah kuciptakan Toh-mia-cap-sa-kiam, dan menemukan pula perubahan yang ke empat belas, aku selalu merasa tak puas, karena aku tahu jurus pedang ini pasti masih ada semacam perubahan lagi"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Selama ini kau mencari terus?"

   "Betul! Aku mencari terus karena aku tahu, hanya perubahan tersebut baru bisa mengalahkan Cia Siau-hong bila berhasil kutemukan"

   "Kau selalu tidak berhasil menemukannya?"

   "Aku telah memeras tenaga dan pikiran untuk berusaha menemukannya, sayang Cia Siau-hong telah mati!"

   Ia terbayang kembali kain tirai berwarna hitam dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng serta peti mati yang berwarna hitam. Dengan pedih kakek itu berkata lagi.

   "Setelah Cia Siau-hong mati, siapakah manusia di dunia ini yang sanggup menandingi diriku? Buat apa aku harus mencarinya terus?"

   Setelah menghela napas panjang, ia melanjutkan.

   "Oleh sebab itu, bukan saja aku telah menenggelamkan pedangku, memendam namaku, selain itu akupun telah memendam ingatanku untuk mencari perubahan yang terakhir itu ke dasar telaga, sejak hari itu untuk berpikir ke situpun aku tak pernah"

   Cia ciangkwe termenung, kemudian pelan-pelan berkata.

   "Mungkin dikarenakan kau tak pernah memikirkan persoalan itu lagi, maka sekarang hal itu baru berhasil kau dapatkan?"

   Jurus pedang itu sesungguhnya memang merupakan 'malaikat"

   Dari ilmu pedang.

   'Malaikat' tak nampak dengan mata telanjang, tak akan ditemukan bila dicari, tapi bila ia mau datang, maka ia akan datang secara tiba-tiba.

   Tapi kau pribadi harus mencapai dulu sampai ke posisi 'tiada orang, tiada aku, tiada maksud', hal itu baru bisa datang.

   Teori tersebut tak jauh berbeda dengan teori ajaran 'ketenangan dan kesadaran' dari kaum Buddha.

   Kembali Cia ciangkwe berkata.

   ~Bersambung ke Jilid-20 Jilid-20 TAMAT "Sekarang tentunya kau telah mengetahui bukan, bahwa Sam-sauya sesungguhnya belum mati?"

   Kakek itu mengangguk.

   "Sekarang apakah kau sudah mempunyai keyakinan untuk mengalahkan dirinya?", kembali Cia ciangkwe bertanya. Kakek itu menatap kutungan pedang sendiri lekat-lekat, kemudian menjawab.

   "Seandainya aku bisa memperoleh sebilah pedang yang baik!"

   "Apakah kau masih ingin mencari kembali pedang milikmu itu?"

   "Dapatkah kutemukan kembali?"

   "Asal kau mau mencari tentu saja dapat menemukannya kembali"

   "Kemana aku harus mencari?"

   "Di sini!"

   Bekas ukiran di tepi sampan itu masih utuh. Cia ciangkwe berkata.

   "Kau harus ingat, tanda ini kau buat dengan tanganmu sendiri......"

   Nama besar ketika itu sudah tenggelam dan lenyap, tapi bagaimana dengan manusianya? Kini manusianya telah berada di sini.

   Ada sementara orang seperti juga semacam senjata tajam yang terbuat dari baja murni, sekalipun sudah tenggelam dan sirna, namun masih tetap utuh dan ada.

   Yan Cap-sa menghela napas panjang, katanya.

   "Sayang tempat ini bukanlah tempat di mana aku menenggelamkan pedangku di masa lalu!"

   "Memberi tanda di perahu mencari pedang, sesungguhnya merupakan perbuatan yang hanya bisa dilakukan orang bodoh"

   "Benar!"

   "Tapi kau bukanlah orang bodoh, kau memberi tanda di perahu dan menenggelamkan pedang, sebetulnya memang tak ingin untuk menemukan kembali pedang tersebut!"

   "Ya, aku memang tidak bermaksud demikian", Yan Cap-sa mengakui.

   "Kau berbuat demikian sebenarnya tanpa sengaja, tapi dibalik tanpa kesengajaan justru terletak rahasia langit"

   Pelan-pelan Cia ciangkwe melanjutkan.

   "Kalau toh kau berhasil menemukan inti kekuatan dari ilmu pedangmu tanpa sengaja, kenapa tidak bisa menemukan pula pedangmu tanpa disengaja......?"

   Kakek itu tidak bisa berbicara lagi, sebab ia telah menyaksikan pedang miliknya.

   Di antara air sungai yang pekat, ia menyaksikan ada sebilah pedang sedang pelan-pelan mengapung ke atas permukaan air, ia telah menyaksikan ke tiga belas butir mutiara di atas sarung pedangnya.

   Tentu saja pedang itu tak dapat mengapung sendiri, diapun tak bisa datang sendiri untuk mencari majikannya di masa lalu.

   Pedang itu sendiri adalah semacam benda yang tak bernyawa.

   Kalau pedang itu bernyawa, hal ini tak lebih hanya disebabkan oleh si pemegang pedang itu sendiri.

   Sekarang pedang itu bisa mengapung ke atas permukaan air, tak lebih karena Cia ciangkwe sedang menariknya ke atas dengan seutas tali.

   Yan Cap-sa sedikitpun tidak merasa terkejut.

   Ia telah menyaksikan tali yang terikat pada pedang tersebut, diapun telah melihat ujung tali yang lain berada di tangan Cia ciangkwe.

   Di dunia ini seringkali pula terjadi banyak peristiwa yang tak masuk di akal dan tak dapat diterangkan dengan kata-kata, karena setiap persoalan sesungguhnya diikat pula oleh seutas tali, hanya manusia tak mampu melihat tali itu dengan mata telanjang.

   Setelah mengalami banyak peristiwa yang penuh penderitaan dan siksaan, pada akhirnya Yan Cap-sa dapat juga memahami teori tersebut.

   Cia ciangkwe masih juga memberi penjelasan atas perbuatannya itu, dia berkata.

   "Setelah kau pergi hari itu, aku telah membantumu untuk mengangkat kembali pedang tersebut dari dasar telaga, bahkan sampai sekarang aku telah menyimpannya secara baik-baik"

   "Mengapa kau berbuat demikian?"

   "Karena aku tahu bahwa cepat atau lambat kau serta Sam-sauya pasti akan berjumpa muka!", Cia ciangkwe menerangkan. Tiba-tiba Yan Cap-sa menghela napas, katanya.

   "Akupun tahu, sesungguhnya hal ini merupakan nasib kami berdua........."

   "Perduli bagaimanapun juga sekarang pada akhirnya kau berhasil menemukan kembali pedangmu"

   Pedang tersebut telah berada di tangannya, tiga belas biji mutiara di atas sarung pedang itu masih memancarkan sinar cemerlang. Cia ciangkwe kembali bertanya.

   "Sekarang apakah kau sudah mempunyai keyakinan untuk bisa mengalahkan dirinya?"

   Yan Cap-sa tidak menyahut.

   Sekarang pedangnya telah kembali ke tangannya, tajamnya masih seperti dulu sedikitpun tidak berkurang.

   Dengan mengendalikan pedang ini dia telah menjelajahi seluruh kolong langit, tiada kekalahan yang pernah dideritanya dalam setiap pertarungan, ia selalu tidak berperasaan, diapun tidak mengenal arti kata takut.

   Apalagi saat ini ia telah menemukan inti kekuatan yang sesungguhnya dari ilmu pedangnya, dia pasti sudah tiada tandingannya di kolong langit.

   Tapi dalam hatinya justru muncul suatu perasaan ngeri dan seram yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, walaupun ia tidak mengucapkannya sendiri, orang lain dapat melihat itu dengan jelas.

   Bahkan Cia ciangkwe sendiripun dapat menyaksikan akan hal itu, tak tahan ia lantas menegur.

   "Kau sedang ketakutan? Apa yang kau takuti?"

   "Mempelajari ilmu pedang Toh-mia-cap-sa-kiam ibaratnya aku memelihara seekor ular yang amat berbisa, walaupun aku bisa mengakibatkan kematian bagi orang lain, tapi aku masih bisa mengendalikannya, tapi sekarang......."

   "Bagaimana sekarang?"

   "Sekarang ular berbisa itu telah berubah menjadi seekor naga berbisa, ia telah memiliki perubahan sendiri yang bisa dilakukannya secara otomatis"

   "Apakah kau sendiripun tak mampu mengendalikan dirinya lagi?"

   Yan Cap-sa termenung, lewat lama sekali dia baru berkata dengan suara pelan.

   "Aku tidak tahu, siapapun tak akan tahu......."

   Oleh karena dia tak tahu, maka ia baru menunjukkan wajah ngeri, seram dan ketakutan.

   Tampaknya Cia ciangkwe telah memahami maksud hatinya.

   Mereka bersama-sama memandang ke tempat kejauhan, sorot matanya sama-sama pula menunjukkan perubahan sikap yang aneh sekali.

   Kembali beberapa saat lamanya sudah lewat, saat itulah Yan Cap-sa baru bertanya.

   "Kau secara khusus mengantar pedang ini kepadaku, apakah kau berharap aku bisa mengalahkan dirinya?"

   "Ya!"

   Ternyata Cia ciangkwe mengakuinya secara berterus terang.

   "Apakah kau bukan sahabatnya?"

   "Aku adalah sahabatnya!"

   "Kenapa kau berharap agar aku bisa mengalahkannya?"

   "Karena dia belum pernah kalah"

   "Kenapa kau mengharapkan dia menderita kekalahan!"

   "Karena setelah ia merasakan kekalahan satu kali, dia baru tahu bahwa dirinya bukan malaikat, bukan seorang yang tak terkalahkan, dia pasti akan meresapi pelajaran ini, dia baru akan lebih matang dan dewasa dalam menghadapi setiap persoalan"

   "Kau keliru!", ucap Yan Cap-sa.

   "Di mana letak kekeliruanku?"

   "Teori tersebut tidak salah, tapi keliru besar jika kau mengetrapkan teori tersebut pada dirinya!"

   "Kenapa?"

   "Karena dia bukan orang lain, dia adalah Cia Siau-hong, Cia Siau-hong hanya bisa mati, tak bisa kalah"

   "Bagaimana dengan Yan Cap-sa?", Cia ciangkwe balik bertanya.

   "Yan Cap-sa pun sama saja!"

   Yan Cap-sa telah kembali ke atas sampan itu, pelan-pelan telah bergerak meninggalkan tempat itu.

   Cia ciangkwe masih berdiri termenung di ujung perahu, memandang hingga sampan itu pergi jauh, tiba-tiba ia merasakan pula semacam rasa ngeri, seram dan sedih yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

   Dalam dunia ini selamanya hanya ada dua macam manusia, semacam manusia yang tujuan hidupnya bukan untuk hidup terus, melainkan untuk berkobar dan terbakar.

   Akibat dari pembakaran baru akan muncul cahaya.

   Sekalipun cahaya itu hanya setitik dan sedetik saja, itu sudah lebih dari cukup.

   Sebaliknya ada semacam manusia lain yang selamanya hanya menyaksikan pembakaran dari orang lain, kemudian pergunakan cahaya gemerlapan orang lain untuk menyinari diri sendiri.

   Manusia macam manakah yang terhitung pintar? Dia tak tahu.

   Dia hanya tahu bahwa kesedihannya bukan lantaran mereka, melainkan demi diri sendiri.

   Senja belum lagi menjelang, matahari sore telah berubah menjadi merah, memerah sekali bagaikan sedang terbakar.

   Hutang pohon hong di bawah timpaan matahari senja seakan-akan seperti lagi terbakar pula.

   Cia Siau-hong duduk di bawah sorot matahari senja yang membara, di luar hutan pohon hong yang membara pula.

   Dalam genggamannya tiada pedang, bahkan sebilah pedang yang terbuat dari kayupun tak ada.

   Ia masih menunggu.

   Sedang menunggu orang? Ataukah sedang menunggu sampai terbakar.....? Buyung Ciu-ti memandangnya dari kejauhan, sudah lama ia mengawasinya, tapi sampai sekarang baru berjalan mendekatinya.

   Gayanya sewaktu berjalan sungguh menawan dan mempesona.

   ......Sekalipun kau mengetahui dengan jelas bahwa ia datang kemari untuk membunuhmu, kau tetap akan merasa bahwa gayanya sewaktu berjalan sungguh menawan hati.

   ......Ada semacam perempuan yang semenjak dilahirkan memang ditakdirkan untuk diperlihatkan kepada orang lain.

   Entah di saat seperti apapun, dia tak pernah melupakan ucapan itu, asal ia merasa ucapan tersebut beralasan, maka ia dapat mengingatnya terus untuk selamanya.

   Ia berjalan ke hadapannya, menatap ke arahnya, tiba-tiba bertanya.

   "Hari inikah?"

   "Ya, hari ini!", Cia Siau-hong membenarkan.

   "Sekarang?"

   "Ya, sekarang!"

   Dia hendak menunggu orang, setiap saat orang yang ditunggu akan tiba di sana.

   "Kalau memang demikian, paling tidak di tanganmu harus menggenggam sebilah pedang", ucap Buyung Ciu-ti.

   "Aku tidak mempunyai pedang!"

   "Apakah disebabkan dalam hatimu telah ada pedang, maka di tanganmu sama sekali tidak memerlukan pedang?"

   "Bagi setiap orang yang belajar pedang, dalam hatinya pasti terdapat sebilah pedang!"

   "Kalau di dalam hatinya tiada pedang, bagaimana mungkin bisa belajar pedang?"

   "Sayang, pedang yang berada dalam hati tak mungkin bisa dipakai untuk membunuh Yan Cap-sa", kata Cia Siau-hong.

   "Lantas mengapa kau tidak pergi mencari sebilah pedang?", tanya Buyung Ciu-ti.

   "Karena aku tahu, kau pasti akan datang kemari untuk membawakan sebilah pedang bagiku!"

   "Kau menginginkan pedang macam apa?"

   "Terserahlah!"

   "Tak boleh terserah!"

   "Kenapa?"

   "Sebab pedang tak ubahnya seperti manusia, terdiri dari pelbagai macam, setiap pedang, bobot, panjang pendeknya, lebar sempitnya tak mungkin bisa sama antara yang satu dengan yang lainnya, setiap pedang tentu memiliki keistimewaan yang berbeda-beda"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah menghela napas panjang, katanya lebih jauh.

   "Oleh sebab itu, jika seseorang hendak memilih sebilah pedang, maka seperti juga memilih seorang sahabat lelaki, tak boleh sembarangan, lebih baik lagi tak boleh memilih secara ngawur!"

   Tentu saja Cia Siau-hong memahami pula teori tersebut.

   Untuk bertarung dengan seorang jago lihay, maka selisih yang sedikitpun tak boleh terjadi, seringkali pedang yang mereka gunakan merupakan penyebab dari ditetapkannya suatu kemenangan atau kekalahan.

   Tiba-tiba Buyung Ciu-ti tertawa lagi, tertawa dengan bangga sekali, katanya kembali.

   "Untung saja sekalipun tidak kau katakan, aku juga mengetahui pedang macam apakah yang sesungguhnya paling ingin kau pergunakan dalam keadaan seperti ini!"

   "Kau tahu?"

   "Bukan cuma tahu, aku telah membawanya pula kemari!"

   Ia benar-benar telah membawanya kemari.

   Sarung pedang itu hitam pekat dan amat kuno, gagang pedangnya berbentuk kuno dan antik, bahkan lapisan kain hitam yang membalut gagang pedang itu bersinar mengkilap karena sering di pegang dengan tangan.

   Inilah pedang yang tak akan dilupakan oleh Cia Siau-hong untuk selamanya......! Baginya pedang ini ibaratnya seorang teman senasib sependeritaan yang pernah mati hidup bersama dengannya, tapi kemudian mereka harus berpisah untuk suatu jangka waktu yang cukup lama.

   Walaupun tak pernah ia lupakan untuk selamanya, tapi diapun tak menyangka kalau mereka masih mempunyai kesempatan untuk saling berjumpa kembali.

   Pelayan muda dari rumah penginapan itu meletakkan pedang tersebut di atas sebuah batu hijau yang besar, kemudian diam-diam menyelinap pergi dari situ.

   Cia Siau-hong tak kuasa mengendalikan gejolak dalam hatinya, tak tahan dia mengulurkan tangan dan menyentuh sarung pedang tersebut.

   Sesungguhnya tangan itu masih gemetar terus dengan kerasnya, tapi asal pedang itu sudah tergenggam, maka dengan cepat ketenangannya kembali seperti sedia kala.

   Ia menggenggam pedang itu kencang-kencang, bagaikan seorang pemuda romantis yang memeluk kencang-kencang kekasihnya setelah berpisah cukup lama.

   "Kau tak perlu bertanya kepadaku, bagaimana mungkin pedang ini bisa terjatuh ke tanganku, sebab sekalipun kau menanyakannya, belum tentu aku akan memberitahukan kepadamu, sebab aku tak ingin membuat pikiranmu menjadi kalut", kata Buyung Ciu-ti. Cia Siau-hong tidak bertanya. Kembali Buyung Ciu-ti berkata.

   "Akupun tahu kalau aku tetap tinggal di sini, pikiranmu bisa menjadi kalut pula, maka akupun akan pergi meninggalkan tempat ini"

   Ia menggenggam tangan Siau-hong kencang-kencang, kemudian berkata lagi dengan lembut.

   "Tapi aku pasti akan menunggu di rumah penginapan, aku percaya kau pasti akan kembali dengan cepat"

   Ia benar-benar telah pergi, sewaktu berjalan pergi, gayanya masih begitu menawan dan mempesonakan. Memandang potongan badannya yang ramping tapi padat dan matang itu, tak tahan Cia Siauhong bertanya pada diri sendiri.

   "Inikah perjumpaanku yang terakhir kalinya dengan dia? Mungkinkah aku tak akan berjumpa lagi dengannya?"

   Dalam detik itulah, tiba-tiba timbul suatu perasaan berat hati dalam dirinya, ia merasakan suatu luapan emosi yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Tiba-tiba saja ia merasa berat untuk berpisah dengan perempuan itu, hampir saja dia hendak berkata untuk memanggilnya kembali.

   Tapi ia tidak berbuat demikian.

   Sebab pada saat itulah ia telah merasakan selapis hawa pembunuhan yang tebal dan menggidikkan hati berhembus datang dari balik hutan pohon hong bagaikan segulung angin dingin.

   Itulah selapis hawa pembunuhan yang menggidikkan hati siapapun, seandainya orang lain yang berada di situ, niscaya seluruh bulu kuduknya juga telah bangkit berdiri.

   Dalam keadaan demikian, tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, sedemikian kencangnya ia menggenggam gagang pedang tersebut, hingga otot-otot hijau yang berada di atas punggung tangannya pada menonjol keluar semua.

   Ia tidak berpaling ke belakang, diapun merasa tak perlu untuk berpaling ke belakang.

   Karena dia tahu, orang yang sedang di nanti-nantikannya selama ini telah datang.

   Tentu saja orang yang dinantikan selama ini tak lain adalah Yan Cap-sa.

   Cahaya matahari berwarna merah bagaikan darah, hutan pohon hong juga nampak merah darah, seluruh langit dan bumi seakan-akan telah dilapisi oleh ahwa pembunuhan yang menyeramkan.

   Apalagi di bawah kaki langit telah berdiri saling berhadapan dua orang manusia semacam itu!.

   ooooOOOOoooo Bab 35.

   Jurus ke Lima Belas Dari balik dedaunan berwarna merah yang memenuhi bukit, muncul sesosok bayangan manusia berwarna hitam.

   Warna hitam melambangkan duka cita, ketidak beruntungan dan kematian, tapi warna hitam melambangkan pula menyendiri, angkuh dan anggun.

   Arti dari pada lambang tersebut adalah nama dari seorang pendekar pedang.

   Seperti juga kebanyakan jago pedang lainnya, Yan Cap-sa gemar pula mengenakan warna hitam, warna hitam yang dipuja-pujanya.

   Ketika masih melakukan perjalanan dalam dunia persilatan tempo hari, belum pernah ia mengenakan pakaian dengan warna yang lain.

   Sekarang ia telah mengenakan kembali pakaian semacam ini bahkan wajahnya pun ditutup pula dengan secarik kain berwarna hitam.

   Dia tak ingin Cia Siau-hong mengenali dirinya sebagai kakek lemah dan loyo yang memberi pengobatan baginya.

   Dia tak ingin membuat Cia Siau-hong merasakan keraguannya di kala melancarkan serangan nanti.

   Sebab harapan dan cita-citanya yang terbesar sepanjang kehidupannya adalah berduel melawan Cia Siau-hong, seorang jago pedang yang tiada tandingannya di dunia ini.

   Asal cita-cita tersebut dapat tercapai, apa salahnya kalau kalah? Apa salahnya pula seandainya mati? Sekarang ia percaya kalau Cia Siau-hong tak akan mengetahui kalau jago pedang berbaju hitam yang bertubuh lurus dan tegak bagaikan sebuah tombak itu sebetulnya adalah kakek lemah dan loyo yang melengkung badannya seperti udang.

   Tapi Cia Siau-hong pasti dapat mengenali bahwa dia adalah musuhnya yang paling tangguh sepanjang masa kini, Yan Cap-sa!.

   Karena pada sarung pedang berwarna hitam yang berada digenggamannya tertera tiga belas biji mutiara yang memancarkan cahaya berkilauan.

   Walaupun pedang ini bukan sebilah pedang mestika yang amat tajam, tapi nama besarnya sudah termashur di seluruh kolong langit.

   Dalam pandangan umat persilatan, pedang tersebut melambangkan ketidak mujuran serta kematian.

   Begitu Cia Siau-hong membalikkan tubuhnya, sinar mata laki-laki ini segera tertarik oleh pedang tersebut, bagaikan jarum yang bertemu dengan besi sembrani.

   Tentu saja dia juga tahu kalau pedang itu merupakan lambang dari Yan Cap-sa.

   Di tangannya juga membawa pedang.

   Meskipun ke dua bilah pedang itu sama-sama belum diloloskan dari sarungnya, tapi seolah-olah terdapat hawa pedang yang sedang berputar di udara di sekitar sana.

   "Aku kenal kau!", tiba-tiba Yan Cap-sa berkata.

   "Kau pernah bertemu dengan diriku?"

   "Tidak!"

   Tiba-tiba sepasang matanya di balik kain cadar hitam itu memancarkan sinar setajam sembilu, terusnya.

   "Tapi aku kenal dengan dirimu, kau pasti adalah Cia Siau-hong!"

   "Karena kau kenal dengan pedang ini?", Cia Siau-hong bertanya.

   "Pedang tersebut tiada sesuatu keistimewaan, seandainya senjata itu berada di tangan orang lain, maka benda itu tak lebih hanya sebatang besi biasa"

   Setelah berhenti sejenak, pelan-pelan ia melanjutkan.

   "Sewaktu aku berjumpa dengan pedangmu tempo hari, ia seakan-akan mengikuti pemiliknya pergi mati, tapi sekarang setelah berada di tanganmu lagi, aku dapat merasakan kembali hawa pembunuhnya!"

   Cia Siau-hong tak kuasa menahan gejolak hatinya, akhirnya dia menghela napas panjang.

   "Aaaiiiii....! Yan Cap-sa memang tak malu di sebut Yan Cap-sa, tidak kusangka kita akan bersua juga!"

   "Seharusnya kau dapat memikirkannya!"

   "Oya?"

   "Dalam alam jagad hanya ada dua manusia macam kita, cepat atau lambat pada akhirnya suatu ketika kita tentu akan berjumpa juga!"

   "Di kala kita telah bersua, apakah salah seorang di antara kita harus tewas di ujung pedang lawan?"

   "Ya!", Yan Cap-sa manggut-manggut. Setelah menggenggam pedangnya erat-erat, dia melanjutkan.

   "Yan Cap-sa bisa hidup sampai sekarang tujuannya hanya akan menunggu saat seperti ini, seandainya tak dapat bertarung melawan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di kolong langit, sampai matipun Yan Cap-sa tak akan mati dengan mata meram"

   Cia Siau-hong menatap sepasang matanya di balik kain hitam itu lekat-lekat, kemudian katanya.

   "Kalau memang demikian, paling tidak kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk melihat dulu paras mukamu yang asli!"

   "Kenapa kau harus melihat paras mukaku? Sedari kapan kau memberikan yang lain menyaksikan pula para mukamu yang sesungguhnya?"

   Setelah tertawa dingin, ia melanjutkan.

   "Sesungguhnya manusia macam apakah Cia Siau-hong itu? Belum pernah ada orang persilatan yang mengetahuinya"

   Cia Siau-hong segera terbungkam dalam seribu bahasa. Mau tak mau dia harus mengakui atas kebenaran dari perkataan itu, macam apakah paras mukanya yang asli, bahkan dia sendiripun sudah hampir melupakannya.

   "Perduli kau adalah manusia macam apa, hal ini tidak penting artinya", kata Yan Cap-sa lagi.

   "karena aku telah tahu bahwa kau adalah Sam-sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong!"

   "Oleh karena itu........"

   "Oleh karena itu asal kau sudah tahu kalau akulah Yan Cap-sa, itu sudah lebih dari cukup!"

   Sekali lagi Cia Siau-hong menatapnya sampai lama, tiba-tiba ia tertawa seraya berkata.

   "Padahal asal aku dapat melihat pedangmu, itu sudah lebih dari cukup...."

   Ia sudah pernah menyaksikan Toh-mia-cap-sa-kiam.

   Terhadap setiap bagian dan setiap perubahan dari rangkaian ilmu pedang itu boleh dibilang hampir semuanya telah dipahami.

   Tapi hal mana masih belum cukup untuk mempengaruhi menang kalah mereka dalam pertarungan kali ini.

   Sebab di tangan Yan Cap-sa, ilmu pedang tersebut akan jauh lebih berbobot, jauh lebih cepat dan dahsyat daripada jika dimainkan orang lain.

   Oleh karena itu dia berharap bisa menyaksikan sendiri permainan jurus Toh-mia-cap-sa-kiam tersebut langsung dari tangan Yan Cap-sa sendiri.

   Tapi diapun tahu, jurus pedang yang benar-benar paling penting, tak akan pernah ia saksikan untuk selamanya.

   Jurus yang terpenting pasti akan terjadi, di kala menang atau kalah dan mati hidup mereka di tetapkan atau dengan perkataan lain serangan itu pasti merupakan suatu serangan yang mematikan.

   Bila dalam Toh-mia-cap-sa-kiam telah terdapat perubahan yang ke lima belas, maka jurus ke lima belas itulah tersimpan serangan yang mematikan.

   Tentu saja ia tak dapat melihatnya.

   Sebab di kala serangan itu digunakan, ia sudah keburu mati lebih dulu.

   Asal terdapat perubahan jurus tersebut, tak bisa disangkal lagi, dia pasti akan mampus......

   Oleh karena itu, dalam sejarah kehidupannya ia sangat berharap bisa menyaksikan jurus pedang tersebut, sayangnya jurus pedang yang paling diharapkan bisa dilihat itu justru tak mungkin bisa dilihat olehnya sepanjang masa.

   Apakah hal ini merupakan nasibnya? Alam mempermainkan manusia, kenapa selalu begitu kejam dan tidak berperasaan? Dia tak ingin berpikir lebih jauh, tiba-tiba ujarnya.

   "Sekarang dalam genggaman kita sama-sama membawa pedang, setiap saat kita dapat segera turun tangan"

   "Betul!", Yan Cap-sa membenarkan.

   "Tapi aku percaya, kau tak akan turun tangan secara gegabah"

   "Oya.......?"

   "Sebab kau akan menunggu, menunggu sampai aku teledor, menunggu sampai kesempatanmu tiba!"

   "Apakah kaupun akan menunggu pula?"

   "Benar!", Cia Siau-hong mengangguk. Sesudah menghela napas ia melanjutkan.

   "Sayangnya kesempatan semacam ini tak mungkin bisa diperoleh dalam waktu yang singkat!"

   Yan Cap-sa mengakuinya. Maka Cia Siau-hong berkata lebih jauh.

   "Oleh sebab itu, kita tentu akan menunggu dalam waktu yang sangat lama, mungkin saja menunggu sampai kita sama-sama sudah lelah dan kehabisan tenaga, kesempatan baik tersebut baru muncul, aku percaya kita pasti dapat bersabar dan menanti dengan hati yang tenang"

   Setelah menghela napas panjang terusnya.

   "Tapi kenapa kita harus menirukan lagak orang manusia tolol yang berdiri sambil menunggu?"

   "Bagaimana menurut pendapatmu?", Yan Cap-sa bertanya.

   "Paling tidak kita boleh pergi ke mana-mana untuk berpesiar, pergi ke mana-mana untuk bermain!"

   Mencorong sinar tajam dari balik matanya, ia melanjutkan.

   "Apabila hari ini udara cerah, pemandangan alam sangat indah, sebelum kita mati paling tidak kita harus menikmati dulu kehidupan yang bahagia sebagai seorang manusia"

   Maka mereka pun beranjak meninggalkan tempat itu, langkah pertama dari ke dua orang ini hampir di mulai pada saat yang sama.

   Siapapun tak ingin memberi keuntungan kepada yang lain, siapapun tak ingin memanfaatkan keuntungan dari orang lain.

   Sebab dalam pertarungan ini yang diperebutkan bukan mati hidup menang kalah, melainkan suatu pertanggungan jawab terhadap diri sendiri.

   Oleh sebab itu mereka tak ingin membohongi lawannya, lebih-lebih tak ingin menipu diri sendiri.

   Daun pohon hong makin merah, matahari senja makin cantik dan mempesona hati.

   Sebelum kegelapan menyelimuti seluruh jagad langit, selalu menurunkan cahaya yang terang benderang ke alam semesta ini.

   Seperti juga seseorang menjelang kematiannya, ia selalu menunjukkan pribadi yang lebih saleh dan pikiran yang lebih terang.

   Itulah kehidupan manusia.

   Bila kau benar-benar telah memahami kehidupan manusia, maka kesedihanmu akan berkurang sedang kegembiraanmu akan bertambah banyak.

   Daun kering sudah banyak berguguran dalam hutan pohon hong.

   Mereka berjalan melintasi daun-daun kering dan pelan-pelan maju ke depan, suara langkah kaki gemerisik menimbulkan serangkaian irama yang merdu.

   Makin ke depan langkah kaki mereka semakin lebar, makin cepat langkah mereka makin ringan pula suaranya, sebab semangat serta tenaga tubuh mereka kian lama kian mendekati pada puncaknya.

   Menunggu mereka benar-benar telah mencapai pada puncaknya, saat itulah mereka berdua akan turun tangan.

   Siapa mencapai pada puncaknya lebih dahulu, siapa pula yang akan turun tangan terlebih dahulu.

   Mereka berdua sama-sama tak ingin menunggu kesempatan lagi, karena mereka tahu bahwa kedua belah pihak sama-sama tak akan memberi kesempatan kepada lawannya.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka turun tangan hampir pada saat yang bersamaan.

   Tiada orang dapat melihat gerakan mereka sewaktu meloloskan pedang, tahu-tahu saja pedang mereka telah saling menyerang, saling menyergap dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Pada saat itulah bobot tubuh mereka seakan-akan telah lenyap tak berbekas, berubah seperti terhembus angin yang bisa mengalir dan bergerak dengan bebasnya di tengah udara.

   Karena mereka telah berada dalam keadaan lupa akan segala-galanya, semangat mereka telah melampaui segala sesuatunya, mengendalikan segala sesuatunya.

   Cahaya pedang bergerak kian kemari, daun pohon hong hancur berantakan dan bercucuran bagaikan titik-titik darah.

   Tapi mereka tidak melihat kesemuanya itu.

   Dalam pandangan mereka, segala sesuatunya yang berada di dunia ini seakan-akan sudah tiada lagi, bahkan tubuh mereka sendiripun seakan-akan sudah tiada lagi.

   Satu-satunya yang masih ada dalam dunia saat ini hanya pedang milik lawan.

   Daun-daun pohon hong yang kuat dan keras, terpaksa kutung menjadi dua bagian oleh sambaran mata pedang mereka yang tajam.

   Sebab dalam pandangan mereka, pada hakekatnya di sekitar sana tiada pepohonan seperti itu.

   Hutan pohon hong yang lebat, di dalam pandangan mereka tak lebih hanya sebuah tanah lapang, kemana pedang mereka hendak pergi, ke situlah senjata itu pergi.

   Di dalam dunia dewasa ini, juga tiada benda apapun yang bisa menghalangi mata pedang mereka berdua.

   Sebatang pohon hong yang tinggi besar tersambar pedang dan tumbang ke atas tanah dengan menimbulkan suara gemuruh yang memekakkan telinga, bagaikan hujan darah daun-daun berwarna merah darah itu berguguran ke atas tanah.

   Cahaya pedang yang berkelebat serta melintas tiada habisnya itu, tiba-tiba menampilkan suara perubahan yang aneh sekali, berubah menjadi demikian berat, mantap tapi bebal rasanya.

   "Triiiiing....!", bunyi dentingan nyaring menggema di udara, percikan bunga api segera bermuncratan ke empat penjuru. Cahaya pedang itu tiba-tiba lenyap tak berbekas, gerak pedang pun secara tiba-tiba ikut berhenti sama sekali. Yan Cap-sa menatap mata pedang sendiri lekat-lekat, dari balik sorot matanya seakan-akan memancar keluar cahaya api yang menyala-nyala seakan-akan pula lapisan hawa dingin yang membekukan badan. Walaupun pedangnya masih berada di tangan tapi seluruh perubahan jurus gerakannya telah mencapai pada puncaknya, ia telah mempergunakan jurus serangannya yang ke empat belas. Ujung pedang Cia Siau-hong telah tertuju tetap di atas ujung pedangnya..... Andaikata pedangnya adalah seekor ular berbisa, maka pedang Cia Siau-hong ibaratnya sebatang paku yang telah memaku bagian tujuh inci di atas tubuh ular berbisa itu, membuat ular yang berbisa tersebut terpantek mati dalam keadaan hidup-hidup. Sesungguhnya pertarungan ini telah berakhir. Tetapi pada saat itulah pedang yang sesungguhnya telah terpantek mati itu mendadak menunjukkan kembali suatu getaran-getaran yang aneh sekali. Daun-daun yang berguguran memenuhi angkasa mendadak membuyar sama sekali ke empat penjuru, sebaliknya mereka yang sebetulnya sedang bergerak, mendadak berhenti sama sekali. Betul-betul berhenti mutlak. Kecuali pedang yang bergetar terus tiada hentinya itu, dalam alam semesta seakan-akan sudah tiada kehidupan lagi. Tiba-tiba paras muka Cia Siau-hong menunjukkan perasaan ngeri, seram dan takut. Secara tiba-tiba saja ia menemukan bahwa pedang yang meski masih berada di tangannya itu, sekarang telah berubah menjadi sebilah pedang yang mati. Di kala pedang di tangan lawannya itu mulai mempunyai nyawa, pedangnya seketika itu juga menjadi mati, sudah tak sanggup melakukan perubahan apapun, karena semua perubahan dan semua gerakan kini sudah dikendalikan oleh pedang lawan. Segenap kehidupan, kekuatan dan perubahan telah terampas oleh pedang lawan itu. Sekarang pedang itu bisa menembusi dada atau tenggorokan atau lambungnya setiap saat, di dunia ini tiada kekuatan lagi yang bisa mencegah atau membendungnya lagi. Sebab pedang itu melambangkan Elmaut. Di kala Elmaut menjelang tiba, kekuatan apakah dalam dunia ini yang sanggup menghalangi atau merintanginya? Namun, pedang maut itu mulai ditusukkan ke depan. Tiba-tiba dari balik mata Yan Cap-sa memancarkan pula perasaan seram, ngeri dan takut yang tebal, malah jauh lebih ngeri, seram dan takut daripada Cia Siau-hong. Selanjutnya diapun melakukan suatu perbuatan yang tak akan pernah disangka oleh siapapun dan tak pernah dipikir oleh siapapun. Secara tiba-tiba dia memutar balik mata pedangnya dan menggorok putus tenggorokannya sendiri. Ia tidak membunuh Cia Siau-hong, tapi dia membunuh diri sendiri. Di kala mata pedang hampir menggorok putus tenggorokannya sendiri itulah sorot matanya sudah tidak menampilkan lagi perasaan ngeri dan takut. Dalam detik itulah pancaran sinar mata tiba-tiba berubah menjadi terang dan jeli, penuh pancaran sinar ketenangan serta kebahagiaan..... Kemudian badannya roboh terkapar di atas tanah. Hingga tubuhnya terkapar di tanah, hingga jantungnya berhenti berdenyut dan napasnya berhenti bekerja, pedang yang berada di tangannya masih bergetar terus tiada hentinya. ooooOOOOoooo Bab 36. Sisa Hidup Yang Murung Matahari senja telah mulai lenyap dari kaki langit, daun-daun yang berguguran memenuhi seluruh permukaan tanah. Cia Siau-hong belum pergi, bahkan bergerakpun ia tidak. Ia tidak mengerti, tidak paham, dia tak tahu dan ia tak percaya, seseorang yang sudah berada pada puncak kemenangannya tiba-tiba telah mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi mau tak mau dia harus percaya juga. Orang itu benar-benar telah mati, jantung orang itu sudah berhenti berdetak, napasnya telah berhenti pula, malah ke empat anggota badannya sudah menjadi dingin dan kaku. Yang mati seharusnya adalah Cia Siau-hong, bukan dia. Tetapi sesaat menjelang ajalnya tiba, dalam hati kecil orang itu tiada perasaan ngeri, takut atau mendendam, yang ada hanya ketenangan serta kebahagiaan. Ia sama sekali tidak gila. Dalam detik seperti itu, ia sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini, tentu saja tiada orang yang dapat memaksa dirinya. Lantas kenapa ia bisa melakukan perbuatan seperti ini? Kenapa? Kenapa ia berbuat begini? Kenapa......? Malam sudah larut, larut........larut sekali. Cia Siau-hong masih berdiri kaku di sana, sama sekali tak berkutik barang sedikitpun juga. Ia masih tidak mengerti, masih tidak paham, masih tidak tahu..... Di kala orang itu sudah roboh terkapar di atas tanah, kain hitam yang menutupi wajahnya telah tersingkap, Cia Siau-hong telah menyaksikan raut wajahnya. Orang itu adalah Yan Cap-sa, dialah kakek loyo yang memasak obat baginya, dialah orang yang telah menyelamatkan selembar jiwanya. Orang itu menyelamatkan jiwanya, karena dialah Cia Siau-hong. Bila tak bisa bertarung dengan Cia Siau-hong, sampai matipun Yan Cap-sa tak dapat mati dengan mata yang meram. Cia Siau-hong tidak lupa dengan segala sesuatu yang telah dikatakan Kian Po-sia kepadanya sewaktu berada di rumah penginapan. ......Orang itu pasti akan menyelamatkan dirimu, tapi diapun pasti akan mati pula di ujung pedangmu. Malam yang kelam, malam yang panjang, akhirnya telah berlalu dengan begitu saja. Sinar pertama dari cahaya matahari muncul dari ufuk timur menerobosi sela-sela dedaunan pohon hong yang tak utuh dan kebetulan menyinari wajah Cia Siau-hong bagaikan sebilah pedang emas. Segulung angin berhembus lewat menggoyangkan dedaunan, cahaya matahari menyorot ke jagad dan berdenyut tiada hentinya, seolah-olah getaran aneh dari pedang tadi. Sorot mata Cia Siau-hong yang letih dan pudar tiba-tiba bersinar kembali, ia menghembuskan napas panjang dan bergumam.

   "Aku mengerti, aku mengerti....."

   Dari belakang tubuhnya tiba-tiba kedengaran pula seseorang menghela napas panjang.

   "Tapi aku masih tidak habis mengerti!"

   Dengan cepat Cia Siau-hong memalingkan kepalanya, maka pada saat itulah dia baru mengetahui kalau ada orang sedang berlutut di belakangnya, menundukkan kepalanya dengan pakaian dan rambut yang basah oleh embun, jelas ia sudah lama sekali berlutut di sana.

   Dalam keadaan yang gundah dan murung ternyata ia tidak mengetahui kalau ada orang yang telah datang ke situ, bahkan dia pun tak tahu sedari kapan orang itu berada di sana.

   Pelan-pelan orang itu mendongakkan kepalanya, memandang ke arahnya, sepasang mata yang sayu memancarkan cahaya merah darah, ia tampak begitu letih dan sedih hingga sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Tiba-tiba Cia Siau-hong menggenggam bahunya keras-keras, kemudian berseru.

   "Ooooh, kau? Kaupun telah datang?"

   "Ya, betul aku, aku telah datang semenjak tadi, tapi selama ini aku selalu merasa tidak habis mengerti!"

   Ia berpaling dan memandang sekejap jenazah Yan Cap-sa, lalu dengan sedih berkata.

   "Seharusnya kau tahu bahwa aku selalu berharap bisa berjumpa lagi dengannya"

   "Aku tahu, tentu saja aku tahu!"

   Belum pernah dia melupakan apa yang pernah dikatakan oleh Thi Kay-seng ini.

   .......Ia tidak berteman, tidak bersanak-keluarga, walaupun ia sangat baik kepadaku, mewariskan ilmu pedangnya kepadaku, belum pernah dia mengijinkan kepadaku untuk mendekatinya, diapun tak pernah membiarkan aku tahu darimana dia datang dan kemana dia akan pergi.

   .......Karena dia takut dirinya akan menaruh perasaan yang mendalam terhadap seseorang.

   .......Karena bila seseorang ingin menjadi seorang Kiam-kek (Pendekar pedang), dia harus tidak berperasaan.

   Hanya Cia Siau-hong yang tahu akan hubungan perasaan yang peka di antara mereka berdua, karena dia tahu Yan Cap-sa bukan benar-benar tidak berperasaan.

   Dia menghela napas panjang, kemudian berkata lagi.

   "Dia tentunya juga sangat ingin berjumpa denganmu, karena meskipun kau bukan muridnya, tapi kaulah satu-satunya orang yang telah mewarisi ilmu pedangnya, dia pasti sangat berharap agar kau dapat menyaksikan jurus pedangnya yang terakhir itu"

   "Jurus pedang itulah tersimpan seluruh inti kekuatan dan kepandaian ilmu pedangnya?", Thi Kayseng bertanya.

   "Betul! Itulah jurus ke lima belas dari Toh-mia-cap-sa-kiam, dalam kolong langit dewasa ini, tak akan ada orang yang sanggup menangkis atau menghindari serangan tersebut!"

   "Kau juga tak dapat?"

   "Aku juga tak dapat!"

   "Tapi dalam kenyataannya ia tidak mempergunakan jurus serangannya itu untuk membunuhmu!"

   "Andaikata serangan itu dilancarkan secara bersungguh-sungguh, tak bisa disangkal lagi aku pasti sudah tewas, sayang pada detik yang terakhir dia tak sanggup melanjutkan tusukannya itu!"

   "Kenapa?"

   "Sebab dalam hatinya telah kehilangan hawa napsu untuk membunuh......"

   "Kenapa?", kembali Thi Kay-seng bertanya.

   "Sebab ia pernah menyelamatkan jiwaku!"

   Ia tahu bahwa Thi Kay-seng belum mengerti, maka sambungnya lebih lanjut.

   "Jika kau pernah menyelamatkan jiwa seseorang, maka sulitlah bagimu untuk turun tangan membinasakannya, karena kau telah mempunyai jalinan perasaan dengan orang itu"

   Tak bisa disangkal lagi perasaan tersebut adalah suatu ungkapan perasaan yang sukar dijelaskan, hanya manusia baru dapat memiliki perasaan seperti itu. Justru karena umat manusia mempunyai perasaan semacam ini, maka dia baru disebut orang.

   "Sekalipun ia tak tega untuk turun tangan membinasakan dirimu, tidak seharusnya dia mengakhiri hidupnya", kata Thi Kay-seng kemudian.

   "Sebetulnya akupun tak habis mengerti kenapa dia harius mengakhiri hidupnya sendiri"

   "Apakah sekarang kau telah paham?"

   Pelan-pelan Cia Siau-hong mengangguk, jawabnya dengan sedih.

   "Sekarang aku baru mengerti, dia memang harus mati!"

   Thi Kay-seng lebih-lebih tak habis mengerti lagi. Cia Siau-hong segera menerangkan lebih jauh.

   "Sebab pada saat itu, meskipun dalam hatinya tak ingin membunuhku, tak tega membunuhku, tapi ia tak mampu mengendalikan pedang di tangannya, sebab kekuatan pedang tersebut sesungguhnya tak dapat di tahan oleh siapapun juga, asal dipancarkan keluar, pasti ada seseorang yang akan tewas di ujung pedangnya!"

   Setiap orang memang tidak bisa terhindar untuk menjumpai berbagai macam persoalan yang tak dapat dikendalikan olehnya atau tak bisa dipahami olehnya.

   Sebab di alam semesta ini sesungguhnya memang terdapat semacam kekuatan misterius yang tak mampu dikendalikan oleh tenaga manusia.

   "Aku masih juga tak habis mengerti, kenapa dia ingin melenyapkan diri sendiri?", kata Thi Kayseng.

   "Yang hendak dia musnahkan bukanlah dia pribadi, melainkan pedangnya itu"

   "Kalau toh pedang tersebut sudah mencapai pada puncaknya dan merupakan ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini, kenapa dia harus memusnahkannya?"

   "Karena secara tiba-tiba ia menemukan bahwa pengaruh yang dibawa oleh jurus pedang itu hanya kematian dan kemusnahan, dia tak akan membiarkan ilmu pedang semacam itu tetap tinggal di dunia ini, dia tak ingin menjadi orang yang berdosa bagi dunia persilatan"

   Tiba-tiba paras mukanya berubah menjadi serius lagi sedih, terusnya.

   "Tapi perubahan serta kekuatan yang dipancarkan oleh jurus pedang itu sudah mencapai pada keadaan yang tak bisa dikendalikan lagi olehnya sendiri, seperti seorang yang secara tiba-tiba menjumpai ular peliharaannya ternyata telah berubah menjadi seekor naga beracun, walaupun berada di atas tubuhnya, namun sudah tak mau mendengarkan perintahnya lagi, bahkan dia ingin melepaskan diripun tak sanggup, dia hanya bisa menunggu sampai naga beracun itu menghisap darahnya dan melahap tubuhnya sampai habis"

   "Oleh karena itu terpaksa dia harus memusnahkan dirinya sendiri.....?", sambung Thi Kay-seng kemudian. Dari balik matanya telah memancar pula sorot mata ngeri, seram dan ketakutan. Cia Siau-hong mengangguk dengan pedih.

   "Ya, karena tubuhnya dan jiwanya telah melebur menjadi satu dengan naga beracun itu, karena naga beracun tersebut sesungguhnya adalah pikiran serta dirinya pribadi. Oleh sebab itu bila dia ingin melenyapkan naga beracun itu, maka dia harus melenyapkan dahulu dirinya sendiri......"

   Kisah tersebut memang merupakan suatu cerita yang memedihkan dan menakutkan, penuh mengandung kengerian yang misterius dan aneh, mengandung pula unsur kejiwaan yang mendalam.

   Sekalipun kedengarannya kisah ini agak tak masuk di akal, tapi sesungguhnya merupakan suatu kenyataan, tak akan ada seorang manusiapun yang bisa menentukan letaknya.

   Sekarang nyawa jago pedang itu sudah direnggut oleh dirinya sendiri, ilmu pedang yang telah diciptakan dan tiada tandingannya di dunia itu, kini ikut lenyap pula tak berbekas.

   Cia Siau-hong memandang sekejap jenazahnya, lalu berkata lagi.

   "Tetapi pada detik itulah ilmu pedangnya telah mencapai puncak yang tak akan di alami orang dulu maupun orang yang akan datang, sekalipun harus mati, dia akan mati dengan hati yang lega!"

   Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata.

   "Apakah kau rela bahwa yang mati adalah dirimu sendiri?"

   "Benar!"

   Sorot matanya memancarkan pula rasa sedih dan kesepian yang sukar dilukiskan dengan katakata.

   "Aku rela yang mati adalah diriku sendiri"

   Inilah kehidupan manusia.

   Kehidupan manusia memang penuh dengan pertentangan dan perjuangan, antara memperoleh dengan kehilangan, hakekatnya sukar untuk dibedakan dengan jelas.

   Thi Kay-seng melepaskan pakaian panjangnya yang basah oleh embun dan menutupi jenazah Yan Cap-sa.

   Dalam hati kecilnya ia bertanya.

   "Seandainya orang matipun berperasaan, sekarang apakah ia memang suka dirinya yang hidup dan membiarkan Cia Siau-hong yang mati?"

   Ia tak dapat menjawab.

   Pelan-pelan ia membuka genggaman tangan Yan Cap-sa, dan menyarungkan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang yang bertaburkan tiga belas biji mutiara.

   Sekalipun nama pedang telah lenyap tapi pedangnya masih utuh.

   Bagaimana dengan manusianya? Sang surya telah muncul di ufuk timur, cahaya yang berwarna ke emas-emasan memancar ke empat penjuru.

   Dengan menelusuri jalan setapak yang berlumpur di bawah timpaan cahaya matahari, Ci Siauhong berjalan kembali ke rumah penginapan tak bernama itu.

   Ketika ia menelusuri jalan kecil itu keluar ke hutan kemarin, tak pernah terbayang olehnya bahwa ia masih bisa pulang kembali dalam keadaan hidup.

   Thi Kay-seng mengikuti di belakangnya, langkah kakinya juga amat berat dan lambat.

   Memandang bayang punggungnya tanpa terasa Thi Kay-seng bertanya kembali kepada diri sendiri.

   "Sekarang dia masih tetap Cia Siau-hong, Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di dunia ini, kenapa ia tampak seperti telah banyak berubah?"

   Isteri pemilik rumah penginapan itu masih belum berubah.

   Sepasang matanya yang besar dan tak bercahaya itu masih membawa pula suatu keletihan dan kebimbangan yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.

   Ia masih duduk termangu-mangu di belakang meja kasir, dengan termangu-mangu memandang jalan raya di luar sana, seakan-akan masih menantikan datangnya sang pangeran yang berkuda putih untuk mengajaknya pergi meninggalkan penghidupan yang serba kaku dan membosankan ini.

   Ia tidak menjumpai pangeran berkuda putih, yang dilihat adalah Cia Siau-hong.

   Sepasang matanya yang besar tapi tak bersinar itu mendadak memancarkan sinar tertawa yang lembut, serunya.

   "Oooohhh...! Kau telah kembali!"

   Agaknya dia tak menyangka Cia Siau-hong masih dapat kembali lagi, tapi setelah Siau Hong muncul kembali, iapun tidak merasakan hal mana sebagai kejadian di luar dugaan.

   Banyak orang di dunia ini mempunyai keadaan yang sama seperti ini, mereka sudah terbiasa menghadapi nasib yang rupanya telah disusun dan diatur bagi mereka.

   Cia Siau-hong tertawa kepadanya, seperti sudah lupa dengan perbuatan yang telah ia lakukan kepadanya dua malam berselang.

   "Di belakang sana masih ada seseorang sedang menunggumu, ia sudah menunggumu lama sekali", ujar Cing-cing.

   "Aku tahu!"

   Seharusnya Buyung Ciu-ti masih menantikan kedatangannya, juga anak mereka.

   "Di mana mereka sekarang?"

   "Mari ku ajak kau ke sana!", kata Cing-cing sambil bangkit berdiri dengan kemalas-malasan. Ia masih mengenakan pakaian yang tipis mana lembut lagi itu. Ketika ia berjalan di depan, setiap bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah dapat dilihat oleh Cia Siau-hong dengan jelas. Setelah berjalan keluar dari ruang depan, mereka menuju ke halaman belakang, tiba-tiba ia memutar badan dan mengawasi Thi Kay-seng dari atas sampai bawah. Thi Kay-seng ingin berlagak seperti tidak terlalu memperhatikan dirinya, tapi sayang ia berlagak kurang baik.

   "Tiada orang yang menunggumu di sini!", kata Cing-cing kemudian.

   "Aku tahu!"

   "Akupun tidak menyuruh kau ikut datang kemari!"

   "Ya, kau memang tidak mengajak!"

   "Lantas, kenapa kau tidak menunggu saja di luar sana?"

   Dengan cepat Thi Kay-seng angkat kaki meninggalkan tempat itu, seakan-akan ia tak berani beradu pandang dengan sepasang matanya yang besar dan tak bersinar itu.

   Dari balik matanya Cing-cing memancar kembali sinar mata yang penuh dengan senyuman, ditatapnya wajah Cia Siau-hong, lalu ujarnya.

   "Dua malam berselang, sebetulnya aku telah bersiap-siap untuk pergi mencarimu!"

   "Oya?"

   Cing-cing membelai pinggangnya dan bagian bawah tubuhnya dengan pelan, kemudian melanjutkan.

   "Malah kakiku juga telah ku cuci!"

   Tentu saja yang dicuci bukan melulu kakinya saja. Tangannya telah menjelaskan segala sesuatunya secara jelas.

   "Kenapa kau tidak jadi ke sana?", Cia Siau-hong sengaja bertanya.

   "Karena aku tahu uang yang diberikan perempuan itu kepadaku pasti jauh lebih banyak daripada apa yang bakal kau berikan kepadaku, aku dapat melihat bahwa kau bukan seorang laki-laki yang bisa menghamburkan uang dengan royal di tubuh seorang perempuan"

   Tangannya menunjukkan gerakan yang lebih menggoda dan menantang, ia melanjutkan.

   "Tapi asal kau suka kepadaku, malam ini aku masih bisa........."

   "Kalau aku tidak suka?", tukas Cia Siau-hong.

   "Maka aku akan pergi mencari temanmu itu, aku dapat melihat bahwa dia pasti akan menyukaiku"

   Cia Siau-hong segera tertawa, tertawa geli setelah mendengar ucapan tersebut.

   Paling tidak, perempuan ini masih mempunyai suatu kebaikan, ia tak pernah merahasiakan apa yang sedang dipikirkan dalam hatinya.

   Diapun tak pernah mau melepaskan setitik kesempatan baik yang tersedia, karena dia harus hidup terus, harus hidup dalam kondisi yang jauh lebih baik.

   Kalau hanya dilihat dari bagian ini, ada banyak orang yang tak dapat dibandingkan dengannya, bahkan dia sendiripun tak mampu untuk menandinginya.

   Cing-cing kembali bertanya.

   "Perlukah aku pergi mencarinya?"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, kau memang seharusnya pergi!"

   Apa yang dia katakan adalah ucapan yang sejujurnya, setiap orang berhak untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

   Mungkin cara yang dia gunakan salah, tapi hal mana tak lebih karna ia belum pernah mempunyai kesempatan untuk memilih cara yang jauh lebih baik daripada cara tersebut.

   Hakekatnya tiada seorangpun yang memberi kesempatan semacam ini kepadanya.

   "Orang yang menantikan dirimu berada dalam ruangan tersebut!"

   Ruangan itu bukan lain adalah ruangan yang dipakai Cia Siau-hong dua malam berselang untuk melepaskan lelahnya. Cing-cing telah pergi, pergi jauh sekali, tapi mendadak ia berpaling dan menatap Cia Siau-hong lekat-lekat, katanya.

   "Dapatkah kau beranggapan bahwa aku adalah seorang perempuan yang tak tahu malu?"

   "Tidak, tidak mungkin!"

   Cing-cing tertawa, tertawa sungguh-sungguh, tertawanya bagaikan seorang bayi yang manis polos, suci dan tidak berdosa.

   Sedangkan Cia Siau-hong tak dapat tertawa lagi.

   Dia tahu di dalam dunia ini masih terdapat banyak sekali perempuan-perempuan pun semacam dia, walaupun hidup di tengah tungku berapi, namun tertawanya masih sepolos dan sesuci bayi.

   Karena mereka tak pernah memiliki kesempatan untuk mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah suatu perbuatan yang amat memedihkan hati.

   Ia hanya merasa gemas kepada orang dunia, mengapa tidak memberi kesempatan yang lebih baik kepada mereka sebelum memvonis dosa serta kesalahan mereka.

   Ruangan yang gelap dan lembab, ternyata sudah disoroti sinar matahari sekarang.

   Walau bagaimanapun gelapnya suatu tepat, cepat atau lambat akhirnya pasti akan disoroti sinar sang surya.

   Seorang laki-laki kurus yang kuyu dan murung sedang duduk bersila di atas sebuah pembaringan yang segera berbunyi gemericit bila badannya bergerak.

   Sinar matahari tepat menyinari wajahnya.

   Cahaya matahari amat menusuk mata, tapi sepasang biji matanya yang kelabu sedikitpun tidak bergerak.

   Dia adalah seorang buta.

   Seorang perempuan berbaring di atas pembaringan dengan punggung menghadap ke pintu, tampaknya ia sudah tertidur, tertidur pulas sekali.......

   Buyung Ciu-ti sama sekali tidak berada dalam ruangan itu, Siau Te juga tiada di sana.

   Si buta yang mengenaskan dan patut dikasihani serta si perempuan yang suka tidur itu apakah sengaja berada di sana untuk menunggu kedatangan Cia Siau-hong? Tapi ia belum pernah bersua dengan mereka.

   Ia telah masuk ke dalam, baru akan mengundurkan diri si buta telah memanggilnya.

   Sebagaimana orang-orang buta lainnya, sekalipun orang buta ini tak bisa melihat, telinganya amat tajam.

   Tiba-tiba ia bertanya.

   "Yang datang apakah Sam-sauya dari keluarga Cia?"

   Cia Siau-hong terkejut bercampur tercengang, dia tak habis mengerti kenapa si buta itu bisa tahu kalau yang datang adalah dia? Di atas wajah si buta yang sayu dan murung tiba-tiba terlintas kembali suatu perubahan yang sangat aneh, dia bertanya lagi dengan suatu pertanyaan yang sangat aneh.

   "Apakah Sam-sauya sudah tidak kenali diriku lagi?"

   "Mana mungkin aku bisa kenal dengan kau?", seru Cia Siau-hong keheranan.

   "Andaikata kau mau perhatikan secara teliti, kau pasti akan mengenali diriku!"

   Tak tahan Cia Siau-hong menghentikan langkahnya, lama sekali ia memperhatikan wajahnya dengan teliti, tiba-tiba terasa ada segulung hawa dingin yang menggidikkan hati muncul dari dasar alas kakinya.

   Ya, betul! Ia memang kenal dengan orang ini.

   Ternyata si buta yang patut dikasihani ini tak lain tak bukan adalah Tiok Yap-cing.

   Tiok Yap-cing yang mempunyai sepasang mata lebih tajam daripada ular berbisa.

   Kata Tiok Yap-cing sambil tertawa.

   "Aku tahu kau pasti dapat mengenali diriku, kaupun seharusnya bisa menduga mengapa sepasang mataku bisa menjadi buta?"

   Senyumnya cukup membuat hati orang bergidik pula.

   "Tapi hitung-hitung ia masih boleh dianggap cukup bajik dan mulia, sebab ia masih membiarkan selembar nyawaku bercokol dalam jasadku, bahkan ia telah mencarikan pula seorang bini bagiku!"

   Tentu saja Cia Siau-hong mengetahuinya siapa yang disebut sebagai 'dia' itu, tapi ia tak habis mengerti kenapa Buyung Ciu-ti tidak membinasakan dirinya, lebih tak mengerti mengapa ia mencarikan seorang bini pula baginya? Tiba-tiba Tiok yap-cing menghela napas panjang, kata-katanya lebih jauh.

   "Perduli bagaimanapun juga, bini yang dia carikan buatku adalah seorang bini yang ideal, seandainya dia mengharuskan aku untuk memotong pula sepasang telingaku untuk ditukar dengannya, akupun bersedia"

   Suara pembicaraannya yang semula sinis dan penuh kekejaman, kini telah berubah menjadi halus dan lembut. Ia menggoyang-goyangkan tubuh perempuan yang sedang tertidur pulas itu sambil berseru.

   "Hayo bangunlah dulu, kita kedatangan seorang tamu, kau harus mengambilkan secawan teh untuk tamu kita!"

   Dengan menurut sekali perempuan itu bangun berduduk , turun dari pembaringan dengan kepala tertunduk dan mengambil secawan teh dingin dengan sebuah cawan yang sudah pecah.

   Baru saja Cia Siau-hong menerima mangkok teh itu hampir saja mangkuk tersebut terjatuh dari pegangannya.

   Mendadak tangannya menjadi dingin, sekujur tubuhnya ikut menjadi dingin jauh lebih dingin daripada ketika mengenali Tiok Yap-cing tadi, akhirnya ia berhasil melihat paras muka perempuan itu.

   Ternyata istri Tiok Yap-cing yang sangat penurut ini tak lain adalah si Boneka, si Boneka yang telah dicelakainya sehingga mengenaskan itu.

   Cia Siau-hong tidak berteriak memanggil namanya, karena si Boneka sedang memohon kepadanya, memohon dengan menggunakan sepasang matanya yang hampir menangis, memohon kepadanya untuk jangan bertanya apapun, berbicara apapun.

   Ia tak habis mengerti mengapa si Boneka berbuat demikian? Kenapa rela menjadi istri musuh besarnya? Tapi akhirnya toh ia menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak mengucapkan sepatah katapun, ia selalu merasa tak tega untuk menampik permohonan dari perempuan yang patut dikasihani ini.

   Tiba-tiba Tiok yap-cing bertanya lagi.

   "Bukankah biniku sangat baik? Bukankah dia cantik sekali?"

   "Benar!", jawab Cia Siau-hong. Ia berusaha keras untuk mengendalikan suaranya. Tiok Yap-cing tertawa kembali, tertawa riang sehingga wajahnya yang kusut seperti bersinar kembali, dengan lembut ia berkata lebih jauh.

   "Meskipun aku tak dapat melihat wajahnya, tapi akupun tahu kalau dia tentu cantik sekali, seorang perempuan yang begini berbaik hati tak mungkin mempunyai paras muka yang jelek"

   Dia tak tahu kalau perempuan itu adalah si Boneka.

   Seandainya dia tahu kalau istrinya yang lemah lembut itu tak lain adalah perempuan yang pernah dicelakainya, entah bagaimanakah perasaannya waktu itu? Cia Siau-hong tak ingin berpikir lebih lanjut, dengan suara lantang ia bertanya.

   "Apakah kau sedang menantikan kedatanganku? Apakah hujin yang menyuruh kau menunggu aku?"

   Tiok Yap-cing mengangguk, suaranya berubah menjadi dingin bagaikan salju.

   "Dia suruh aku memberitahukan kepadamu bahwa ia telah pergi, entah kau menang atau kalah, hidup atau mati, selanjutnya dia tak ingin bertemu denganmu"

   Tentu saja hal tersebut bukan maksud hatinya yang sebenarnya.

   Ia suruh dia tetap tinggal di sana, hal mana hanya menyuruh Cia Siau-hong mengetahui bahwa dia telah berubah menjadi manusia macam apa, dan mengawini istri yang bagaimana.

   Tiba-tiba Tiok Yap-cing berkata lagi.

   "Sebenarnya ia menyuruh Siau Te tetap tinggal pula di sini, tapi Siau Te telah pergi juga, ia bilang dia akan pergi ke bukit Thay-san!"

   "Mau apa ke sana?", tak tahan Cia Siau-hong bertanya. Tiok Yap-cing berpaling dan menjawab secara ringkas tapi tajam.

   "Pergi melakukan apa yang dia ingin lakukan!"

   Suaranya kembali berubah menjadi sinis dan penuh dengan sindiran.

   "Karena dia tak mempunyai keluarga tak punya orang tua maupun saudara, maka dia harus pergi beradu nasib dan memperjuangkan dunianya sendiri........"

   Cia Siau-hong tidak berbicara apa-apa lagi, apa yang seharusnya dibicarakan agaknya telah diucapkan sampai selesai, maka diam-diam ia bangkit berdiri, diam-diam beranjak keluar dari ruangan itu.

   Ia percaya si Boneka pasti mengikutinya keluar dari ruangan itu, sebab banyak persoalan yang perlu ia jelaskan kepadanya.

   Inilah penjelasan dari si Boneka.

   "Buyung Ciu-ti memaksa aku untuk kawin dengannya, waktu itu sebenarnya aku bertekad hendak mati saja"

   "Aku bersedia kawin dengannya, karena aku hendak mencari kesempatan untuk membunuhnya membalas dendam bagi keluargaku!"

   "Tapi kemudian aku merasa tak sanggup untuk melaksanakan niatku lagi......"

   "Karena ia sudah bukan Tiok Yap-cing yang pernah mencelakai sekeluargaku lagi, dia tak lebih hanya seorang buta yang patut dikasihani dan tak berguna, bukan saja matanya buta, otot sepasang kakinya juga sudah dibetot putus!"

   "Suatu ketika, sebenarnya aku sudah bertekad untuk membinasakan dirinya, tapi ketika aku sedang bersiap-siap untuk turun tangan, tiba-tiba ia tersadar dari impiannya dan memberitahukan kepadaku sambil menangis bahwa dahulu ia sudah banyak melakukan kejahatan"

   "Semenjak saat itulah aku sudah tak mampu untuk membencinya lagi"

   "Walaupun setiap saat setiap waktu aku selalu memperingatkan diriku kepadanya, tapi hatiku terhadap dirinya sudah tiada rasa benci dan dendam lagi, yang ada tinggal rasa kasihan dan iba!"

   "Seringkali dengan air mata bercucuran ia memohon kepadaku agar jangan meninggalkan dirinya, kalau tiada aku seharipun ia tak sanggup untuk hidup lebih lanjut"

   "Ia tak tahu kalau saat ini akupun sudah tak dapat meninggalkan dirinya lagi"

   "Karena selama aku berada di sisinya, aku baru merasa bahwa diriku adalah seorang perempuan yang sesungguhnya"

   "Dia tak tahu akan masa silamku, diapun tak akan memandang hina diriku, lebih tak mungkin meninggalkan aku atau diam-diam minggat di kala aku sedang tidur pula"

   "Hanya selama berada di sisinya aku baru merasakan aman dan bahagia, karena aku tahu dia sangat membutuhkan aku"

   "Bagi seorang perempuan bila dia tahu kalau ada seorang laki-laki yang benar-benar membutuhkan dirinya, hal ini merupakan suatu kejadian yang paling membahagiakan dirinya"

   "Mungkin kau tak akan sanggup untuk memahami perasaan semacam ini, tapi entah apapun yang kelak kau katakan, aku tak akan meninggalkan dirinya"

   Apalagi yang bisa dikatakan Cia Siau-hong? Dia hanya bisa mengucapkan tiga patah kata, kecuali ketiga patah kata tersebut, ia benar-benar tak tahu apalagi yang bisa dia katakan. Katanya.

   "Selamat untukmu!"

   Rembulan bertengger di atas angkasa. Di depan sebuah kuburan baru berdiri sebuah nisan yang tertera beberapa huruf besar.

   "TEMPAT BERSEMAYAM YAN CAP-SA"

   Di atas batu nisan yang terbuat dari batu karang hanya tertera lima huruf yang sederhana karena bagaimanapun banyaknya tulisan, semua kepedihan dan keharuan itu, sebab jago pedang yang tiada taranya di dunia ini akan bersemayam untuk selama-lamanya di sana.

   Ia pernah mencapai taraf paling top yang belum pernah dicapai orang lain dalam ilmu pedang, tapi seperti juga orang lain, sekarang dia akan terkubur untuk selamanya dalam liang lahat, Angin musim gugur berhembus dingin, perasaan Cia Siau-hong juga terasa dingin.

   Thi Kay-seng memperhatikan terus dirinya, tiba-tiba ia bertanya.

   "Benarkah kau dapat mati tanpa menyesal?"

   "Ya, benar!"

   "Kau benar-benar percaya kalau naga beracun yang telah dibunuhnya itu tak akan bangkit dan hidup kembali di atas tubuhmu?"

   "Pasti tidak!"

   "Tapi kau telah mengetahui semua perubahan dalam ilmu pedangnya, kaupun telah melihat jurus pedangnya yang terakhir"

   "Andaikata dalam dunia saat ini masih ada orang yang bisa mempergunakan jurus pedang yang sama dengan jurus pedang tersebut, orang itu sudah pasti adalah aku!"

   "Ya, pasti kau!"

   "Tapi selama hidup aku sudah tak dapat mempergunakan pedang lagi"

   "Kenapa?"

   Cia Siau-hong tidak menjawab, dari balik ujung bajunya ia mengeluarkan sepasang tangannya.

   Ibu jari dari kedua buah tangannya telah terpapas kutung.

   Tanpa ibu jari tak bisa menggenggam pedang.

   Berbicara buat seorang manusia seperti Cia Siau-hong, lebih baik mati daripada tak bisa memegang pedang.

   Paras muka Thi Kay-seng berubah hebat.

   Sebaliknya Cia Siau-hong tersenyum, kembali ia berkata.

   "Kalau dulu aku tak akan berbuat demikian, sekalipun harus mati, aku juga tak akan berbuat demikian"

   Suara tertawanya sama sekali tidak terlalu dipaksakan.

   "Tapi sekarang aku sudah mengerti, asal seseorang dapat memperoleh hati yang tenang, maka walau apapun yang harus dikorbankan, hal itu ada harganya pula"

   Thi Kay-seng termenung sampai lama sekali, seakan-akan dia sedang berusaha untuk mengunyah perasaan dari kata-kata tersebut. Kemudian tak tahan ia bertanya lagi.

   "Apakah mengorbankan selembar jiwa sendiripun cukup berharga?"

   "Aku tidak tahu!"

   Suaranya masih tetap tenang dan damai.

   "Aku hanya tahu, jika hati seseorang tidak tenang, daripada mati, hidupnya pasti akan jauh lebih sengsara dan tersiksa"

   Tentu saja dia berhak untuk berkata demikian, sebab ia benar-benar mempunyai pengalaman yang ditempuh dalam penderitaan dan kesengsaraan, entah berapa banyak pengalaman yang mengenaskan harus dilampauinya sebelum ia berhasil melepaskan diri dari belenggu dalam hatinya serta memperoleh kebebasan.

   Memandang paras mukanya yang tenang, akhirnya Thi Kay-seng menghembuskan pula napasnya panjang-panjang, dengan wajah berseri ia bertanya.

   "Sekarang kau bersiap-siap hendak kemana?"

   "Aku sendiripun tak tahu, mungkin aku harus pulang ke rumah untuk menengok keadaan, tapi sebelum pulang ke rumah, mungkin juga aku masih akan berpesiar ke tempat lain dan melihatlihat keadaan di tempat lain"

   Setelah tertawa terusnya.

   "Sekarang aku sudah bukan Cia Sam-sauya yang tiada tandingannya lagi di dunia, aku tak lebih hanya seorang manusia biasa, seorang manusia yang tak perlu menyiksa seorang diri sendiri lagi seperti dahulu!"

   Seseorang sesungguhnya adalah manusia macam apa? Sebenarnya manusia yang harus berbuat apa? Biasanya semua itu harus diputuskan oleh diri sendiri. Ia kembali bertanya kepada Thi Kay-seng.

   "Bagaimana pula dengan kau? Kau hendak pergi ke mana?"

   Thi Kay-seng termenung sejenak, lalu jawabnya.

   "Aku sendiripun tak tahu, mungkin aku harus pulang untuk menengok rumah, tapi sebelum pulang ke rumah, mungkin juga aku akan berpesiar dulu ke tempat lain, dan melihat keadaan di tempat lain"

   "Kalau begitu bagus sekali", seru Cia Siau-hong sambil tersenyum. Waktu itu sinar rembulan yang lembut sedang menyoroti tanah lapang yang terbentang di hadapan mereka. Tempat itu adalah sebuah kota kecil yang sederhana dan biasa, letaknya berada di jalur penting menuju bukit Thay-san. Meskipun mereka berkata hendak berpesiar kemana saja, tapi akhirnya toh jalan ini yang mereka tempuh. Kadangkala hubungan antara manusia dengan manusia memang ibaratnya layang-layang saja, bagaimanapun tingginya layang-layang itu terbang, sampai sejauh manapun ia terbang, tapi mereka masih dihubungkan oleh seutas tali yang kuat. Cuma saja tali itu seperti juga tali yang mengikat pedang dari dalam sungai, seringkali tak terlihat oleh mata telanjang. ooooOOOOoooo Bab 37. Penutup Dalam kota kecil itu, tentu saja terdapat pula sebuah rumah penginapan yang tak bisa dianggap terlalu besar, pun tak bisa terhitung terlalu kecil. Dalam rumah penginapan ini tentu saja dijual pula arak dan hidangan.

   "Pernahkah kau melihat ada rumah penginapan tanpa menjual arak?", tanya Thi Kay-seng.

   "Tidak!", Cia Siau-hong menggeleng. Setelah tersenyum ia melanjutkan.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Rumah penginapan tidak menjual arak ibaratnya memasak sayur tanpa garam, bukan saja kurang baik untuk orang lain, kurang baik pula bagi diri sendiri"

   Yang lebih aneh lagi dalam penginapan itu bukan cuma menjual arak, agaknya menjual obat pula. Mengikuti hembusan angin, terendus bau obat yang amat tebal, bahkan lebih tebal daripada bau arak.

   "Pernahkah kau melihat ada rumah penginapan yang menjual obat?", tanya Thi Kay-seng lagi. Cia Siau-hong belum sempat menjawab, si pemilik penginapan sudah berkata duluan.

   "Dalam penginapan kami juga tidak menjual obat, hanya pada dua hari berselang, ada seorang tamu jatuh sakit di sini, temannya sedang mengobati penyakitnya sekarang"

   "Kena sakit parah?"

   Pemilik rumah penginapan itu menghela napas panjang.

   "Kalau di bilang sesungguhnya memang penyakit parah, masa seorang yang segar bugar, tahutahu sudah gawat keadaannya dan hampir mampus"

   Tiba-tiba ia merasa telah salah berbicara, sambil tertawa paksa buru-buru ia menjelaskan.

   "Tapi penyakitnya itu bukan penyakit parah yang bisa menular ke tubuh orang lain, harap kek-koan berdua berdiam di sini dengan tenang!"

   Biasanya penyakit yang bisa membuat seorang hampir mati dalam waktu singkat adalah penyakit menular yang parah.

   Orang persilatan yang sudah sering melakukan perjalanan dalam dunia persilatan biasanya mempunyai pengetahuan tersebut.

   Thi Kay-seng mengerutkan dahinya, ia bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan jendela, dilihatnya dalam sebuah halaman kecil di bawah wuwungan rumah, seorang pemuda sedang memasak obat di atas sebuah tungku kecil.

   Di kala memasak obat buat teman, biasanya di tubuh orang itu tak akan menggembol senjata.

   Tapi orang itu menggembol senjata, bahkan menggunakan tangan sebelah untuk menggenggam gagang pedangnya erat-erat, seakan-akan setiap saat dirinya bakal di sergap oleh orang lain.

   Thi Kay-seng memperhatikan orang itu setengah harian lamanya, tiba-tiba ia menghela napas sambil memanggil.

   "Siau Tio!"

   Orang itu melompat bangun, pedangnya sudah diloloskan dari sarung dan siap bertempur, tapi setelah mengetahui kalau orang itu adalah Thi Kay-seng, dia menghembuskan napas lega.

   "Ooooh....rupanya congpiautau!", katanya sambil tertawa paksa. Thi Kay-seng sengaja berlagak seperti tidak melihat akan ketegangan yang mencengkeram dirinya, sambil tersenyum ia berkata.

   "Aku sedang minum arak di depan, bila obatmu telah matang nanti, ikutlah kami untuk meneguk beberapa cawan arak"

   Siau Tio bernama Tio Cing, sebetulnya dia adalah seorang peneriak jalan dari perusahaan Hongki- piaukiok, tapi semenjak kecil ia memang suka berjuang untuk maju ke depan, beberapa tahun berselang ia telah masuk menjadi anggota perguruan Hoa-san.

   Meskipun keberhasilan itu berkat perjuangannya yang tekun dan rajin, tapi separuh di antaranya adalah berkat Thi Kay-seng yang memupuk dirinya dengan sepenuh tenaga.

   Undangan Thi Kay-seng kepadanya sudah barang tentu tak akan ditampik olehnya, dengan cepatnya dia telah datang memenuhi undangan.

   Setelah meneguk dua cawan arak, Thi Kay-seng mulai bertanya.

   "Siapakah sahabatmu yang sedang menderita sakit itu?"

   "Seorang suhengku!", jawab Tio Cing.

   "Penyakit apa yang dideritanya?"

   "Penyakit......penyakit parah!"

   Sebetulnya dia adalah seorang pemuda yang cukup supel dan berterus terang, tapi sekarang dari berbicaranya terbata-bata, seolah-olah mempunyai suatu rahasia yang tak ingin diketahui orang lain.

   Thi Kay-seng memandangnya sambil tersenyum walaupun ia tidak membongkar rahasianya tapi keadaan tersebut jauh lebih menyiksa daripada membongkar rahasia tersebut secara langsung.

   Paras mukanya mulai berubah agak memerah, belum pernah dia mempunyai kebiasaan untuk berbohong di hadapan congpiautau-nya, dia ingin berbicara terus terang, apa mau dikata disamping congpiautau-nya masih ada seorang asing.

   Sambil tersenyum Thi Kay-seng berkata.

   "Cia sianseng adalah sahabatku, sahabatku tak mungkin akan mengkhianati sahabatnya"

   Akhirnya Tio Cing menghela napas panjang, katanya dengan tertawa getir.

   "Penyakit yang diderita suhengku itu akibat ditusuk dengan sebilah pedang"

   Penyakit yang diakibatkan dari sebuah pedang tentu saja merupakan suatu penyakit yang mendesak sifatnya, bahkan penyakit itu pastilah suatu penyakit yang cepat terjadinya dan parah akibatnya.

   "Suhengmu yang manakah yang menderita penyakit itu?"

   "Bwe toa-suhengku!"

   Agak berubah wajah Thi Kay-seng.

   "Apakah Sin-kiam-bu-im (Pedang sakti tanpa bayangan) Bwe Tiang-hoa?"

   Agaknya ia merasa terperanjat.

   Bwe Tiang-hoa bukan saja merupakan murid tertua dari partai Hoa-san, ia terhitung pula seorang jago pedang kenamaan dalam dunia persilatan.

   Dengan kepandaian ilmu pedang yang dimilikinya, bagaimana mungkin bisa 'jatuh sakit' di tusuk pedang orang? Thi Kay-seng bertanya lagi.

   "Siapa yang menyebabkan dia jatuh sakit?"

   "Seorang murid baru dari partai Tiam-cong, usianya masih sangat muda sekali"

   Thi Kay-seng lebih terperanjat lagi.

   Nama besar partai Hoa-san-kiam-pay jauh lebih cemerlang daripada partai Tiam-cong, mana mungkin seorang murid baru dari partai Tiam-cong dapat mengalahkan murid paling tua dari partai Hoa-san? Tio Cing berkata lebih lanjut.

   "Sebetulnya kami hendak kembali ke bukit Hoa-san untuk mengikuti pertemuan, di tempat inilah kami berjumpa dengannya. Tiba-tiba dia mencari gara-gara dan menyerang toa-suhengku, terjadilah duel satu lawan satu dengan toa-suhengku untuk menentukan menang kalah!"

   Setelah menghela napas panjang, dia melanjutkan.

   "Waktu itu kami semua mengira dia sudah edan, kami mengira dia pasti akan tewas di tangan suheng kami, tak disangka........tak disangka ternyata toa-suheng kami yang dikalahkan di ujung pedangnya"

   "Dalam jurus yang ke berapa mereka berhasil menentukan menang kalahnya.....?"

   Paras muka Tio Cing berubah semakin tersipu-sipu, setelah ragu agak lama dia berkata lirih.

   "Agaknya belum mencapai sepuluh jurus!"

   Seorang murid Tiam-cong yang baru masuk perguruan, ternyata sanggup mengalahkan Bwe Tiang-hoa dalam sepuluh gebrakan.

   Peristiwa ini bukan saja sukar untuk dipercaya dengan kata-kata, hal mana merupakan pula suatu peristiwa yang amat memalukan, tak heran kalau Tio Cing gelagapan dan tak ingin mengucapkannya keluar.

   Selain itu Bwe Tiang-hoa biasanya selalu angkuh dan tinggi hati, tak bisa dihindari tentu banyak musuh yang dibuatnya dalam dunia persilatan, tentu saja ia harus berjaga-jaga pula atas pembalasan dendam dari orang lain.

   Tio Cing berkata kembali.

   "Tapi ilmu pedangnya sama sekali bukan ilmu pedang Tiam-cong-pay, terutama jurus pedangnya yang terakhir, bukan saja ganas dan aneh, bahkan telah mencapai puncak kesempurnaan, tampaknya paling tidak sudah belasan tahun ia melatih tekun kepandaiannya tersebut!"

   "Menurut pendapatmu, mungkinkah dia masuk perguruan dengan membekal kepandaian?"

   "Sudah pasti demikian!"

   "Manusia macam apakah dia?", tiba-tiba Cia Siau-hong menyela.

   "Usianya masih sangat muda, tapi cara bekerjanya cukup terlatih dan berpengalaman, sekalipun jarang berbicara, namun setiap perkataan yang diucapkan selalu berbobot"

   Setelah berpikir sejenak, dia berkata lagi.

   "Tampaknya ia bukan termasuk tipe manusia yang suka bertarung secara ngawur, sepatah dua patah kata tidak cocok lantas turun tangan, kali ini dia berbuat demikian tentu disebabkan ingin mencapai nama dalam dunia persilatan, oleh sebab itu dia baru bertindak demikian"

   "Siapakah namanya?"

   "Dia pun she Cia, bernama Cia Siau-ciu!"

   Cia Siau-ciu.

   Nama tersebut dalam waktu singkat telah termashur dalam dunia persilatan.

   Hanya dalam waktu lima hari yang amat singkat, ia telah melukai Bwe Tiang-hoa, merobohkan Chin To-siu, bahkan jago paling lihay dari Bu-tong-pay, Ouyang Im-hok pun kalah di ujung pedangnya.

   Kemunculan serta kemasyhuran pemuda itu, hakekatnya seperti suatu kejadian aneh saja.

   Malam telah menjelang, di atas meja ada arak ada pula lentera.

   Sambil meneguk arak Thi Kay-seng termangu sejenak, tiba-tiba katanya sambil tertawa.

   "Aku tebak sekarang kau pasti sudah tahu siapakah Cia Siau-ciu yang sebenarnya"

   Cia Siau-hong sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, dia menghela napas dan berkata.

   "Aku hanya tahu kalau dia pasti terburu-buru ingin termashur, sebab setelah termashur dia baru dapat membuyarkan bayangan hitam yang menghantui hatinya!"

   Apakah yang menjadi bayangan hitamnya? Orang tuanya yang terlampau populer? Ataukah kenangan pahit yang sudah lama terpendam dalam hatinya? "Ketika secara sengaja dia mencari kesulitan dari jago-jago kenamaan tersebut, sebenarnya aku mengira dia hendak merebut kursi Bengcu dalam pertemuan di atas bukit Thay-san", demikian Thi Kay-seng berkata.

   Tapi dalam kenyataannya dia tidak berbuat demikian.

   Karena dia tahu bahwa nama besarnya masih belum cukup, maka dia telah menyerahkan jabatan sebagai Bengcu itu untuk Lei Tin-tin.

   Peristiwa itu sudah terjadi dua hari berselang.

   Berita yang tersiar hari ini adalah dia telah mengawini Lei Tin-tin, si Bengcu yang baru itu sebagai bininya.

   Sambil tersenyum Thi Kay-seng berkata.

   "Sekarang aku baru tahu kalau dia jauh lebih pintar daripada apa yang kita bayangkan semula"

   Tentu saja Lei Tin-tin juga seorang yang pintar, tentu saja diapun dapat melihat keuntungan yang bisa diraih dari perkawinan mereka itu.

   "Aku serdang berpikir entah bagaimana perasaan Buyung hujin apabila ia mendengar berita tentang dirinya?", kata Thi Kay-seng. Cia Siau-hong sendiripun tidak tahu. Bahkan dia sendiripun tak dapat membedakan bagaimanakah perasaannya saat ini. Tiba-tiba Thi Kay-seng berkata lagi sambil tertawa.

   "Padahal kita tak usah terlalu menguatirkan tentang mereka, setiap generasi tentu akan muncul manusia-manusia macam mereka dalam dunia persilatan, di saat mereka sedang berjuang untuk merangkak ke atas, mungkin saja mereka akan pergunakan berbagai siasat dan cara, tapi setelah mereka berhasil mendapat nama, mereka pasti dapat melakukannya secara baik-baik"

   Karena mereka semua amat pintar, mereka tak akan mengubur nama baik serta kedudukan yang dipupuk serta dicapai dengan bersusah payah itu dengan begitu saja.

   Mungkin oleh karena dalam dunia persilatan selalu terdapat manusia semacam ini maka ketenangan dan keadilan bisa selalu terjamin.

   Sebab di antara mereka berdua pasti dapat saling menjalin, hubungan tersebut ibaratnya di dunia ini bukan saja harus ada macan kumbang dan elang, tapi harus ada pula tikus, nyamuk dan sebangsanya untuk mempertahankan keseimbangan alam semesta.

   Tiba-tiba Cia Siau-hong menghela napas, katanya.

   "Seseorang yang tidak memiliki keluarga yang ternama dan bimbingan dari orang tua, untuk menjadi tenar, bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu gampang"

   "Tapi setiap pemuda harus memiliki semangat dan jiwa semacam ini, kalau ia sedang berjuang untuk merangkak ke atas, tak nanti ada orang yang mengatakan bahwa ia salah jalan"

   "Ya, benar!"

   Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar menyerbu masuk serombongan anak muda, terdengar membentak keras.

   "Kaukah yang bernama Cia Siau-hong?"

   Salah seorang pemuda di antaranya segera mencabut keluar pedangnya, lalu sambil menuding ke arahnya dengan ujung pedang, ia membentak.

   "Cabut keluar pedangmu dan hayolah beradu kepandaian dengan kami!"

   "Walaupun aku adalah Cia Siau-hong, namun aku toh tak dapat menggunakan pedang lagi"

   Ia memperlihatkan tangannya kepada pemuda-pemuda itu.

   Pemuda tersebut sama sekali tidak terharu, keinginan mereka untuk menjadi tenar terlalu mendesak.

   Entah bagaimanapun juga, Cia Siau-hong tetap adalah Cia Siau-hong, siapa berhasil membunuh Cia Siau-hong, dia akan menjadi tenar.

   Tiba-tiba mereka mencabut keluar pedangnya, pada saat yang bersamaan kemudian menusuk tubuh Cia Siau-hong secepat kilat.

   Walaupun Cia Siau-hong tak dapat memegang pedang lagi, tapi ia masih mempunyai tangan.

   Dengan suatu gerakan yang ringan tangannya membacok urat nadi mereka, enteng dan cepat bagaikan segulung angin.

   Pedang mereka segera terlepas dari genggaman.

   Cia Siau-hong memungut sebilah di antaranya, kemudian dengan jari telunjuk dan jari tengahnya ia menekan pedang tadi.

   "Traaaang....!", pedang tersebut patah menjadi dua bagian. Setelah itu diapun hanya menyerukan sepatah kata.

   "Hayo pergi!"

   Mereka segera pergi, jauh lebih cepat daripada sewaktu datang tadi. Thi Kay-seng tertawa.

   "Mereka semua masih muda, masih berangasan dan bersemangat menyala-nyala, mereka hanya tahu berbuat tanpa memikirkan akibatnya"

   Tapi dalam dunia persilatan selamanya tak akan kekurangan pemuda-pemuda semacam ini, mereka bagaikan samudra yang tak mungkin tiada ikan.

   Justru dengan adanya pemuda-pemuda semacam itulah dunia persilatan selalu bera dalam keadaan segar dan merangsang, penuh aneka peristiwa yang berwarna-warni.

   "Kau tidak menyalahkan mereka?", tanya Thi Kay-seng.

   "Tentu saja aku tak akan menyalahkan mereka"

   "Apakah karena kau tahu bahwa setelah mereka menjadi dewasa, orang-orang itu pasti tak akan suka melakukan perbuatan seperti ini lagi?"

   "Benar!"

   Setelah berpikir sebentar, Cia Siau-hong menambahkan.

   "Selain itu, tentu saja masih ada sebab yang lain"

   "Apakah sebab yang lain itu?"

   "Karena akupun seorang anggota dunia persilatan"

   Orang yang hidup dalam dunia persilatan, meskipun bagaikan daun-daun yang rontok terhembus angin atau daun ganggang yang mengapung di air, meskipun mereka tidak berakar, tapi mereka mempunyai semangat mereka, memiliki kesetiaan kawan.

   Sekalipun seringkali mereka harus hidup di tengah kesulitan dan kesengsaraan, tapi mereka tak pernah menyumpah langit, tak pernah menyumpah manusia, sebab merekapun mempunyai kehidupan yang beraneka ragam serta penuh kegembiraan.

   "Ada sepatah kata, jangan sekali-kali kau lupakan!", kata Cia Siau-hong.

   "Perkataan apa?"

   "Sekali kau menjadi orang persilatan, maka selamanya kau adalah orang persilatan!"

   "Akupun mempunyai sepatah kata", sambung Thi Kay-seng.

   "Perkataan apa?"

   "Sekali kau menjadi Cia Siau-hong, maka selamanya kau adalah Cia Siau-hong!"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah tersenyum, pelan-pelan Thi Kay-seng melanjutkan.

   "Sekalipun kau sudah tak bisa memegang pedang lagi, tapi kau tetap Cia Siau-hong, Sam-sauya dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng!" ~TAMAT

   

   


Pendekar Baja -- Gu Long Pisau Terbang Li -- Gu Long Legenda Kematian -- Gu Long

Cari Blog Ini