Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh 10


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 10



Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Soe- moay, kau sekarang harus mewakilkan aku. Khan Turki memberi tempo satu bulan kepada Lie It. Sekarang ini telah lewat tudjuh hari, dia perlu lekas ditolong. Soehoe menugaskan aku menolong Lie It, tidak dapat aku mendjalankan tugas itu, maka kau tolonglah aku ". Pikiran si nona kusut, sekian lama ia berdiam sadja.

   "Aku hendak merawat lagi kau buat dua hari ", sahutnja.

   "Setelah kau sembuh betul baru aku pergi, hatiku lega ".

   "Sudah begitu banjak hal aku membuat kau tjape, aku merasa kurang enak hati ", kata Siok Touw.

   "Kedua kera sudah sembuh, mereka dapat merawat aku. Baiklah besok sadja kau berangkat ". Hian Song terumbang-ambing. Sebenarnja ia berkuatir untuk Lie It, tetapi soeheng ini masih sakit dan masih membutuhkan rawatannja, tidak tega ia lantas meninggalkannja. Mentjari Lie It, hatinja berlawanan. Ingin ia menemuinja, ingin ia tak melihatnja... Bukankah diantara ia dan Lie It telah menjelak Tiangsoen Pek ? Bukankah keadaan mereka bukan lagi keadaan delapan tahun jang lampau ?. Ia memikir, memang paling baik ia djangan menemui pula Lie It, maka djuga ia minta bantuannja Pwee Siok Touw. Tapi sekarang Siok Touw sakit, untuk menanti kesembuhannja seluruhnja mungkin dibutuhkan tempo satu buIan dari itu, mana ia bisa menunda pula ? Mesti ia segera mentjari Lie It.

   "Malam ini kau boleh batja kitab pedangnja soehoe ", Siok Touw berkata pula.

   "kalau ada bagian jang kurang djelas, kau boleh tanja aku ".

   "Terima kasih, soeheng ", kata si nona bersjukur. Malam itu Hian Song tidak dapat tidur pulas, terus otaknja bekerdja, baru dengan menguatkan hati, ia turut perkataannja Siok Touw, jalah ia membeber kitab pedang gurunja, untuk membatja dan mejakinkannja. Kitab itu menarik perhatiannja, maka kemudian dapat ia memusatkan pikirannja. Bagian depan dari kitab itu Hian Song sudah mengerti, maka ia membatja bagian belakangnja, jang ditulis gurunja selama guru itu berdiam digunung Thian-san buat beberapa tahun. Ia tjerdas, ia tidak menampak kesukaran untuk dapat mengerti. Ia tjuma memberi tanda pada beberapa bagian, untuk besok ia tanjakan keterangan soehengnja. Guha itu mempunjai tjuma dua kamar, satu untuk Siok Touw, jang lain untuk gurunja, selama Siok Touwsakit, Hian Song tidur diluar kamar soehengnja itu, untuk setiap waktu dapat ia mendjagainja. Mereka sama2 pria dan wanita sedjati, mereka tidak merasa likat. Demikian malam itu, si nona tetap mengambil tempat didepan kamar sang soeheng. Selagi membatja, satu kali ia menoleh kedalam kamar, jang pintunja tjuma dirapatkan sedikit. Kebetulan sekali, sinar mata mereka bentrok. Siok Touw belum tidur pulas, dia separoh menundjang tubuh dan matanja diarahkan ke si nona.

   "Soeheng, mengapa kau belum tidur ?", soe-moay itu tanja.

   "Aku merasa segar sekali, belum aku ingin tidur ", sahut Siok Touw tersenjum.

   "Apakah ada bagian2 jang soemoay kurang mengerti ?". Mendapatkan orang segar itu, Hian Song lantas menggunai ketikanja untuk mengadjukan beberapa pertanjaan menurut tjatatan jang ia bikin, jang mana Siok Touw menerangkannja dengan djelas.

   "Terima kasih, soeheng ", kata si nona kemudian.

   "Sekarang aku telah mengerti semua. Silakan kau tidur ". Habis berkata, Hian Song memahamkan pula kitabnja. Selang tidak lama, ia menoleh pula kepada kakak seperguruannja itu. Ia mendapatkan sang soeheng masih belum tidur dan mata orang tetap ditudjukan kepadanja. Ia heran.

   "Kenapa soeheng masih belum tidur ?", ia tanja.

   "Aku lagi memikirkan sesuatu ", menjahut Siok Touw.

   "Sebentar lagi djuga aku tidur. Sekarang sudah djauh malam, besok pagi kau mesti pergi, soe-moay, kau djuga baiklah tidur ". Hian Song mengangguk. Ia tetap heran. Ia melihat suatu hal luar biasa pada sikapnja soeheng ini. Itulah tak nampak selama malam2 jang telah lewat. Tapi ia tidak mengatakan sesuatu, ia melainkan membudjuki agar soeheng itu tidur. Lewat sekian lama, Hian Song menoleh pula kepada soehengnja. Siok Touw tetap belum tidur, tetapi mendapatkan si nona berpaling kepadanja, ia ber-pura2 pulas, matanja dimeramkan. Ketika itu sudah mendekati fadjar, Hian Song tidak membilang suatu apa lagi. Satu malam suntuk ia tidak tidur, begitupun soeheng itu. Selekasnja terang tanah, Nona Boe lantas ber-kemas2. Siok Touw turun dari pembaringannja, ia tidak dapat tidur tetapi ia segar sekali, bahkan ia bersemangat melebihkan kemarinnja. Ia menjerahkan kitab sjair dan kotak gurunja, ia mengulangi pesannja poma2 agar semua itu disampaikan setjara baik kepada Boe Tjek Thian dan Heehouw Kian. Katanja, untuk membikin senang hati guru mereka di alam baka. Kemudian ia pun menjerahkan dua peles obat seraja berkata .

   "Ini peles jang lehernja pandjang memuat Pek-leng-tan. Kau tahu sendiri, aku terluka dan teratjunkan Thian Ok Toodjin tetapi aku dapat hidup karena aku mengandalkan ini obat mudjarab buatan soehoe, maka kau bawalah ini untuk ber-djaga2. Dengan menjimpan obat ini, kau tidak usah takuti sendjata rahasia apa djuga jang ada ratjunnja. Dan ini, botol mulut bundar, memuat Ie-yong-tan. Inilah obatnja Heehouw Kian untuk soehoe. Soehoe tidak membutuhkan itu, begitu djuga aku, maka kau bawalah sekalian ". Ia lantas mendjelaskan aturan pakainja obat pel itu. Ie-yong-tan jalah pel untuk mengubah paras. Terus ia berkata pula .

   "Ie-yong-tan dapat mengubah wadjah mendjadi tua atau muda sesuka kita, tjuma satu jang tidak dapat dirubah, jalah sinar mata, hingga siapa pandai melihat, dia akan tetap dapat mengenali orang usianja tua atau muda atau kepandaian silatnja tinggi atau tidak. Orang biasa sadia tidak dapat memperhatikan itu. Hian Song mengangguk ber-ulang2, ia ingat baik2 semua keterangan itu. Didalam hatinja ia berkata.

   "Itu hari Tiangsoen Pek menjamar mendjadi njonja Uighur, aku kena dikelabui, mungkin ia pun menggunai obat ini. Sekarang aku akan pergi ke kotaradja Khan Turki, perlu aku akan obat ini ". Maka ia menjambuti dan menjimpan hati2 kedua peles obat itu. Ia sangat bersjukur untuk kebaikannja soeheng ini, tanpa merasa ia mengutjurkan air mata. Siok Touw selalu mengawasi adik seperguruan itu, maka ia melihat orang berduka, ia sendiri matanja mengembeng air. Ia menghela napas, ia berkata perlahan .

   "Soe-moay, aku menghaturkan banjak terima kasih kepada kau jang telah merawat aku selama beberapa hari ini. Semendjak hari ini kau akan kembali ke Tionggoan, maka aku rasa sulit untuk kita nanti dapat bertemu pula ...".

   "Semoga soeheng berhasil mendjadi satu guru besar ilmu persilatan ", kata Hian Song.

   "Djikalau lain hari aku datang pula ke wilajah perbatasan ini, pasti aku akan menjambangi kau, soeheng ". Hian Song mengatakan demikian meskipun ia tahu ketika jang diharap itu sukar datang puIa. Umpama-kata benar ia dapat kembali, dengan adanja Lie It suami-isteri di gunung itu, belum tentu ia sudi mendjenguknja. Ia menginsafi soeheng itu berat berpisahan dengannja, ia turut merasa berat djuga, hanjalah ia tak dapat mendjadjaki seluruh hatinja si soeheng.

   "Soeheng, aku minta sukalah kau mendjaga diri baik2

   ", kemudian ia berkata.

   "Sekarang adikmu hendak berangkat, aku minta diri ". Ia lantas memberi hormat. Siok Touw membungkam tetapi ia memegang erat2 tangannja soe-moay itu.

   "Baik, kau berangkatlah !",katanja kemudian, perlahan. Begitu mengutjap, ia memutar tubuhnja. Hian Song bertindak, selang sekian lama, ia menoleh, maka ia melihat soehengnja itu berdiri menjender dipintu guha, matanja mengawasi kearahnja. Ia berduka bukan main tetapi ia berdjalan terus. Ia pergi ke kuburan gurunja, guna paykoei tiga kali, untuk pamitan dari arwah-nja guru itu. Ia menangis meng-gerung2 kapan ia ingat budinja sang guru. ---oo0oo--- SAMPAI tengah-hari baru Hian Song djalan melewati puntjak Lok To Hong, Puntjak Unta, maka disana, diantara pepohonan lebat, ia melihat rumah batu dari Lie It. Ia bertindak tjepat akan tetapi diluar tahunja, ia tiba diluarnja rumah batu itu. Ia berduka kapan ia ingat, karenanja, Tiangsoen Pek telah mesti pergi djauh. Lantas sadja ia mendjadi heran kapan ia mendapat kedua daun pintu terpentang lebar. Ia ingat, ketika ia meninggalkannja, pintu itu ia telah tutup.

   "Mustahilkah Tiangsoen Pek sudah pulang ?", ia tanja dalam hati. Kembali diluar keinginannja, Hian Song bertindak masuk kedalam rumah batu itu. Setibanja didalam, apa jang ia tampak, membuat hatinja tidak tenteram. Rumah itu katjau, ada badju dan lainnja, jang berserakkan dilantai. Khim tua kepunjaan Lie It, tidak ada. Hian Song berdiri mendjublak.

   "Djikalau Tiangsoen Pek jang pulang mengambil pakaian, tidak nanti dia membuat katjau hegini ", pikirnja.

   "Kalau lain orang, apakah jang ditjari? Mungkinkah dia mengambil khim tua itu sebab dia tahu itulah alat tetabuhan jang disajangi Lie It ?". Pertjuma si nona menerka, ia tidak memperoleh djawabannja. Ditembok masih tertinggal sjairnja Tiangsoen Pek. Dengan itu Nona Tiangsoen mendukakan hidupnja jang menderita. Itu pula hidupnja sekarang ini, jang senantiasa diliputi kedukaan. Ia mendjadi terharu sendiri. Achirnja ia kata didalam hatinja .

   "Mudah2-an aku berhasil menolong anaknja Lie It itu, untuk dengan tanganku sendiri menjerahkannja kepada Tiangsoen Pek, habis itu aku pulang ke Tionggoan, tidak nanti aku datang pula kemari, supaja Tiangsoen Pek ketahui hatiku ". Sambil menjusut air matanja, ia bertindak keluar dari rumah itu. Seterusnja, ketjuali beristirahat seperlunja, Hian Song melakukan perdjalanan siang dan malam, maka selang setengah bulan, ia sudah melintasi gurun pasir Chakasutai, hingga lagi lima atau enam hari, ia bakal tiba di kotaradja Turki (Dengan Turki disini dimaksudkan Turks atau Tucheh atau Tu-Kiu, jang di djaman Ahala Tang sudah luas wilajahnja, dan jang di Timur disebut Turks Timur dengan kotaradjanja di Urumchi sekarang). Ia berlega hati karena pertjaja ia bakal sampai sebelum habis tempo satu bulan jang diberikan Khan. Pada suatu hari, Hian Song tiba di kali Kalashaer, jang pandjangnja beberapa ratus lie, sedang didalam wilajah Turki ini, kali atau sungai sedikit sekali. Ia girang sekali, terutama karena baru sadja ia melintasi gurun. Dengan lantas ia mengisikan penuh dua buah kantung airnja, habis mana ia melandjuti perdjalanan mengikuti gili2. Di kedua tepian tumbuh pohon2 kaju seperti berbaris, pemandangannja indah. Baru djalan selintasan, Hian Song mendengar kelenengan jang datangnja dari arah belakang, dimana debu pun mengepul naik. Ia menduga kepada serombongan kafilah saudagar. Ketika ia menoleh, njata dugaannja keliru. Itulah serombongan dari delapan boesoe atau pradjurit Turki dengan seragamnja jang mentereng, jang mengiringi sebuah kereta besar, jang datangnja dari hulu kali. Kereta itu indah, ditarik empat ekor kuda bulu putih djempolan.

   "Tentulah seorang pangeran lagi meronda ", pikir Hian Song. Lantas ia menjingkir ke belakang sebuah bukit. Diwaktu seperti itu, ia tidak mau nanti terbit onar. Tidak lama pula rombongan pradjurit pengantar kereta ito telah tiba didepan bukit ketjil di belakang mana si nona bersembunji. Dari dalam kereta itu lantas terdengar suara terompet huchia serta pentilan tungpala, mengiringi sebuah njanjian sedih. Mendengar lagu itu, Hian Song seperti mengenalnja. Ia lantas meng-ingat2, maka tahulah ia bahwa itulah lagu "Huchia Sippat Pek."

   Jang didjaman Han Timur ditjiptakan Tjoa Boen Kie, nona jang dinikahkan pada seorang radja suku Wushun.

   Tidak aneh lagu itu berada diwilajah Hwee-Kiang ini, hanja heran adalah lagu itu dimainkan dan dinjanjikan orang jang berada didalam kereta indah itu serta iringan pradjurit keren.

   Mestinja wanita itu bukan sembarang wanita.

   Kenapa dia demikian bersusah hati ? Njanjian itu dilagukan dalam bahasa Uighur, dan diantaranja Hian Song dengar .

   "Keluargaku menikahkan aku ke suatu udjung langit, djauh ke sebuah negara asing pada radja Wushun ". Maka itu, ia mendjadi terharu hatinja. Kereta itu dihentikan ditepian kali.

   "Beristirahat sebentar disini ", terdengar suara seorang wanita dari dalam kereta. Lantasbeberapa pelajan wanita turun dari kereta, untuk membangun tenda. Beberapa pradjurit lantas pergi mengambil air, untuk dibawa kedalam tenda.

   "Rupanja dia mau mandi ", kata Hian Song didalam hati. Dengan "dia", ia tidak tahu dia itu njonja atau nona. Akan tetapi ia tidak usah bersangsi lama. Segera ia melihat seorang nona Uighur keluar dan turun dari keretanja, dia tiantik sekali, matanja djeli, giginja putih, rambutnja bagus. Selagi nona itu masuk kedalam tenda, beberapa pradjurit beristirahat ditepian, tetapi jang dua berdjalan mundar- mandir, untuk meronda. Beberapa kali mereka datang dekat tempat sembunji Nona Boe, hingga Hian Song sudah menjiapkan beberapa butir batu untuk mendahului menghadjar andaikata ia terpergok. Ketika itu ada terdengar suara kuda dikaburkan datang, hingga Hian Song mengintai. Ia segera melihat datangnja seorang boesoe jang menunggang kuda, boesoe itu muda dan kudanja berbulu merah. Selagi mendatangi, boesoe itu memanggil ber-ulang2 .

   "Karosi ...! Karosi ...!".

   "Siapa?", bentak seorang pengawal.

   "Siapa berani menjebut namanja permaisuri kami !". Dengan Permaisuri, pengawal itu maksudkan selir radjanja. Menjusul bentakan itu, beberapa batang anak panah lantas menjambar kearah pemuda itu. Dia liehay, dengan mengangkat tangannja, dia menjambuti dua batang, lantas dia melemparkannja, untuk menanggapi jang lainnja, hingga beruntun belasan batang anak panah itu kena dilemparkan ke kali! Hian Song pun heran.

   "Kalau wanita tjantik itu selir Khan, kenapa dia keluar sendirian dan dia meninggalkan djauh istananja ?. Dan siapa ini anak muda, jang njalinja besar, jang berani menjusul kereta selir? Dia pun gagah-perkasa ..."

   Lekas sekali, pemuda itu bersama kudanja sudah sampai dimuka tenda dalam djarak beberapa tombak sadja. Masih dia me-manggil2 .

   "Karosi ...! Karosi ...!".

   "Hai, kau gila !", bentak dua boesoe seraja mereka madju, untuk menahan kuda. Sambil berbenger, kuda itu tertahan dan mundur berdiri dengan kedua kaki belakangnja. Dengan begitu terbukti tangguhnja kedua pradjurit itu. Anak muda itu berlompat turun dari kudanja.

   "Minggir!", ia membentak.

   "Aku mau menemui Karosi !". Kedua boesoe itu tidak mau mundur, bahkan mereka madju untuk menjergap kedua kaki orang. Jang satu menjambar kaki kanan, jang lain kaki kiri. Rupanja mereka berniat merobohkan orang sebelum orang tiba ditanah. Pemuda itu benar liehay, tanpa menanti mengindjak tanah, sambil melompat itu, ia menendang, sedang kedua tangannja membatjok kekiri dan kanan kepada seorang boesoe lainnja. Hebat kesudahannja bentrokan ini. Tangannja seorang boesoe itu kena terhadjar seperti tergunting, tangan itu lantas diturunkan kebawah tanpa berdaja, sedang jang lainnja kena tertendang terdjungkal. Pradjurit Turki gemar akan kegagahan, menjaksikan bentrokan itu, mereka itu bersorak-sorai.

   "Hai, kau tjari mampus !", tiba2 terdengar suara bentakan, dari pradjurit jang mendjaga di mulut tenda. Dia berewokan, romannja bengis, gerakannja pun sangat tjepat, bentakannja itu dibarengi serangan kedua tangannja. Kali ini empat buah tangan bentrok satu dengan lain, sebagai kesudahannja, si anak muda mundur beberapa tindak. Dengan madjunja si boesoe, kawan2-nja, jang sudah bergerak, lantas mundur pula. Dialah rupanja pemimpin mereka. Anak muda itu tidak takut, sambil menghunus golok, ia madju pula. Ia lantas disambut si boesoe, jang djuga menggunai golok. Maka sekarang golok mereka berulang-kali mengasi dengar suara njaring. Golok pemuda itu kalah tadjam, dua kali bagian tadjamnja terbatjok gompal. Tiba2 tenda disingkap, si wanita tjantik muntjul.

   "Semua berhenti !", ia memerintah, tapi suaranja merdu.

   "Karosi ...", seru si anak muda, suaranja parau. Dia girang, hatinja tegang. Ingin ia madju mendekati.

   "Diam !", kata selir tjantik itu, suaranja dingin.

   "Aku larang kau madju meskipun lagi satu tindak !". Pemuda itu melengak.

   "Karosi ...!", katanja.

   "Kau tidak mengenali aku ?".

   "Saerhai, mau apa kau datang kemari ?", si wanita balik menanja.

   "Apakah ajahku jang memerintahkannja ?". Dengan ajah, ia menjebutnja ajah-radja.

   "Ah ...!", kata pemuda ini heran.

   "Aku mengadu djiwa untuk datang kemari, apakah kau tidak tahu ?".

   "Hm ..., kau berani bitjara begini terhadapku ?", kata wanita itu.

   "Djikalau aku tidak ingat kaulah sahabatku semendjak masih ketjil, tentu aku telah menghadjar patah kakimu !". Pemuda itu mendjublak.

   "Karosi !", katanja, suaranja menggetar.

   "Kau ,..! kau, mendjadi berubah sekali ! Baiklah, pergilah kau ke kotaradja untuk menerima kemuliaanmu, disini aku memberi selamat padamu ! Apakah ini djuga tidak menjenangkan kau ? Hmm ...! Hmm...! Ha ... ha .... ha ....!". Sakit hatinja pemuda ini, dia mendongkol dan gusar, hingga habis mengudal kegusarannja itu lantas dia tertawa dingin tak hentinja, sedang kedua matanja mendelik terhadap selir radja itu. Ia tidak menjangka sekali bahwa Karosi-nja itu sudah tidak sudi mengenalnja !. Tubuhnja si tjantik djuga menggigil, akan tetapi dia dapatmenenteramkan diri.

   "Baiklah, sekarang kau telah bertemu denganku ", katanja tawar.

   "Kau pulanglah ...!". Saerhai berhenti tertawa, hatinja mendjadi seperti beku.

   "Karosi, benarkah kau sudi mendjadi selirnja Khan ?", kemudian ia tanja, matanja dipentang lebar. Wanita itu tertawa enteng.

   "Dengan ketjantikanku, dengan sifatku, mustahil aku tidak sembabat untuk mendjadi selir Khan ?", dia kata.

   "Ketjuali Khan jang agung, siapa lagi jang sepadan untuk dipasangi dengan aku ?". Pemuda itu mendjerit, lalu dia berdiam.

   "Tidak, tidak !", katanja kemudian.

   "Aku tidak pertjaja;...! Aku tidak pertjaja ...!". Si tjantik itu mengangkat tangannja.

   "Panah mati kudanja;...!", ia menitah. Perintah itu lantas didjalankan seorang pengawal. Pemuda itu tertjengang. Kudanja itu kuda jang ia paling sajang dan Karosi pun sangat menjukai kuda itu, tetapi sekarang, atas perintah si tjantik, kuda itu roboh binasa diudjung panah.

   "Lihat, apakah kau masih dapat menjusul aku;!", kata wanita itu, tertawa dingin.

   "Djikalau kau masih tidak mau pergi maka anak;panah jang kedua bakal memanah kau !". Mukanja pemuda itu mendjadi sangat putjat, tetapi dia berteriak .

   "Aku tidak takut hatiku ditembusi berlaksa anak;panah akan tetapi kata2-mu lebih tadjam dari berlaksa anak.panah itu, maka itu anggaplah hatiku sudahlah mati! Karosi, kau djaga dirimu baik-baik, Saerhai tidak dapat melajani kau lagi ...!"

   Dengan menutup mukanja, pemuda itu memutar tubuh, untuk lari pergi. Tapi ketika ia sudah lari kira2 sepuluh tombak, ia toh menoleh kebelakang, hingga ia mendapat lihat si nona berdiri mendjublak ditempatnja tadi.

   "Karosi !", ia memanggil pula, tak tahan hatinja. Karosi tertawa dingin, ia putar tubuhnja, untuk masuk kedalam tenda, dari mana segera keluar perintah .

   "Bongkar tenda ...! Lantas berangkat...!". Maka repotlah semua pengawal itu bekerdja, hingga dilain saat kereta indah itu sudah mulai berangkat pula, meninggalkan si pemuda gagah. Hian Song mengintai terus-menerus, tak puas hatinja. Ia berada di pihak si anak muda. Katanja didalam hati.

   "Menurut pembitjaraan mereka, Karosi belum menikah sama Khan, rupanja sekarang dia lagi diantar untuk pernikahannja, dan Saerhai ini jalah kekasihnja. Pemuda ini mempertaruhkan djiwanja untuk menemui patjarnja, boleh dibilang besar sekali tjintanja ...". ---oo0oo--- HIAN Song keluar dari tempatnja sembunji. Ia masih melihat tubuh si anak muda bagaikan bajangan lagi berdjalan dibawah pepohonan. Tidak ajal lagi ia berlari keras, untuk menjusul. Ia menggunai ilmu ringan tubuh hingga ia tidak mengasi dengar suara apa2.

   "Tidak bisa djadi ...! Tidak bisa djadi ...!", kata anak muda itu seorang diri.

   "Aku tidak pertjaja ...! Aku tidak pertjaja ...!".

   "Benar!, Aku djuga tidak pertjaja ...!"

   Inilah perkataan Hian Song tiba2.

   Ia berada dibelakang orang dan mendengar njata perkataan si anak muda, lantas ia tjampur bitjara.

   Saerhai kaget, ia berpaling dengan tjepat.

   Untuk herannja, ia melihat seorang nona Han jang tjantik.

   Ia berdiri melengak, matanja menatap.

   "Apa katamu ?", ia tanja.

   "Kau siapa ?".

   "Pertemuanmu dengan Karosi telah aku lihat semua ", kata Hian Song tanpa mendjawab.

   "Aku pun menjaksikan pertempuranmu sama si berewokan itu. Tadi dia menjerang keatas, lalu dia mengubah kebawah, sebenarnja dia dapat melukakan kau, tetapi sendjata miring dan kena kau tangkis. Tahukah kau apa sebabnja itu ?". Saerhai heran sekali. Tapi ia menginsjafinja.

   "Djadi kau telah membantu aku setjara diam2 ?", katanja.

   "Benar ", si nona mengakui.

   "Dengan sebutir batu aku timpuk goloknja itu, sjukur dia tidak tjuriga ".

   "Aku djuga tidak tjuriga apa2. Kau, kau siapa? Kau mempunjai kepandaian jang mahir sekali !". Hian Song bersenjum.

   "Aku Thian-san Kiam-kek !", ia menjahut. Saerhai terkedjut. Ia pun ketahui nama Thian-san Kiam-kek, 'Djago Pedang dari Thian- san'. Nama itu tersiar luas di selatan dan utara gunung Thian-san itu.

   "Oh, kau Thian-san Kiam-kek !", katanja.

   "Pantas kau kosen sekali !". Tapi ia lantas agaknja heran, ia menatap Nona Boe. Katanja pula .

   "Kabarnja Thian-san Kiam-kek itu pria ! Adakah itu dusta ?".

   "Dialah kakakku ", sahut Hian Song tjepat.

   "Kami kakak-beradik tinggal sama2 di Thian-san. Karena kami bertabiat sama, gemar tjampur urusan orang banjak, kami suka turun gunung dengan bergantian. Orang luar tidak tahu apa2, mereka menjama ratakan kami, semua disebut Thian-san Kiam- kek sadja ". Sengadja Nona Boe memakai nama Thian-san Kiam-kek, guna membikin orang mempertjajainja. Ia berhasil, karena pemuda itu lantas pertjaja padanja. Bukankah orang gagah dan dia telah dibantu setjara diam2 ? "Kau me-njebut2 tidak pertjaja ", kata Hian Song kemudian.

   "Bukankah kau tidak pertjaja Karosi dapat berbuat begini matjam terhadapmu ...?".

   "Aku tidak pertjaja dia ichlas mendjadiselirnja Khan !".

   "Benar, aku pun tidak pertjaja, begitu tjantik dia tapi, hatinja dapat demikian kedjam ! Tapi toh, perbuatannja itu aku telah lihat dengan mataku sendiri, maka itu sungguh sukar untuk dipertjaja ...".

   "Tidak, memang tidak nanti kau dapat mengerti ", kata Saerhai.

   "Ketika tadi aku meninggalkan dia, aku berpaling kepadanja, aku melihat matanja maka aku mendapatkan dialah tetap Karosi dulu hari ! Dia berubah baru sadja ...! Inilah jang tidak dapat dimengerti ...!". Hian Song menghela napas.

   "Siapa memain asmara, tjuma dia sendiri jang ketahui hatinja ", ia berkata, tjuma kekasihnja jang ketahui itu. Apakah kau sudi mendjelaskan aku tentang pergaulan kamu berdua ? Mungkin aku dapat membantu kamu ...". Saerhai berpikir. Ia merasa nona ini dapat dipertjaja. Ia memang ingin menumpahkan rasa hatinja, agar itu tidak terpendam sadja dan membuatnja sesak dada. Ia lantas menjusut kering air matanja.

   "Ajahnja Karosi jalah seorang radja sebuah negara djadjahan Khan ", ia berkata kemudian.

   "Dan ajahku jalah pengawal jang dipertjaja radja itu. Aku bersama Karosi telah berkawan sedjak masih ketjil, sampai mendjadi besar, kami hidup rukun melebihkan kakak dan adik ...". Ia berhenti sebentar, agaknja ia berduka sekali dan djuga likat, tetapi toh ia melandjuti .

   "Dan dia, beberapa kali sudah dia menjatakan padaku, dia tidak mau nikah lain orang ketjuali aku ...". Kenapa kau tidak melamar dia ?".

   "Aku toh seorang boesoe biasa sadja ?", sahut Saerhai.

   "Bukankah deradjat kami beda djauh ? mana dapat aku membuka mulut terhadap ajahnja, seorang radja ? Karosi mengerti kesulitanku itu, maka ia kata padaku, djusteru kami masih muda, ia suka menanti sampai aku berhasil mendirikan djasa, setelah aku peroleh pangkat, baru aku mengadjukan lamaran kepada ajahandanja. Ia kata, sampai itu waktu, pastilah ajahnja akan menerima lamaranku itu. Selama beberapa tahun ini telah datang lamaran2 untuk Karosi, semua itu ia tampik, karena benar2 ia menunggui aku. Diluar dugaan, kali ini datang lamaran dari Khan jang agung, dan diluar dugaanku, tanpa membilang apa2, ia membiarkan ajahnja mengantarkan ia kepada Khan itu !".

   "Djadi sebelumnja ini, kau tidak tahu apa2. Sebelumnja, pernahkah kau bitjara dengan kekasihmu itu ?".

   "Tidak, tidak ada kesempatan bagiku. Duduknja begini . Pada dua bulan jang lalu telah diadakan udjian untuk memilih pengawal radja. Aku turut mengambil bagian dan keluar sebagai djuara pertama. Radja memberi hadiah padaku dan mengangkat aku mendjadi pengawal pribadi. Inilah ketikaku untuk minta ajahku mengadjukan lamaran, guna meminta tangannja Karosi. Belum sampai lamaran diadjukan, kebetulan aku ditugaskan melakukan ronda ditapal batas. Ketika achirnja aku pulang dari perbatasan, tahu2 Karosi sudah mendjadi selirnja Khan !".

   "Djikalau begitu, mungkin radja ketahui lelakon asmara kamu ", kata Hian Song.

   "Dan kau sengadja diberi tugas djauh, untuk menjingkirkan kau untuk sementara waktu ".

   "Memang, bukan tjuma radja jang ketahui itu, djuga ajahku, maka itu sepulangnja aku, ajah membudjuki dan memberi nasihat padaku agar aku djangan tolol dan memikir jang tidak2. Berbareng dengan itu, radja menaikan pangkatku tiga tingkat, mengangkat aku mendjadi pemimpin dari barisan pengawalnja. Aku tahu, radja hendak menghibur aku. Karosi, sudah pergi, biarpun aku mendjadi Khan, apakah artinja itu ?".

   "Rupanja, kau terus2-an menjusul Karosi dan baru hari ini dapat menjandaknja ?". Saerhai menghela napas.

   "Sepulangnja aku, satu malaman aku berpikir keras, aku tetap tidak pertjaja Karosi kemaruk keagungan. Pernah dia menjatakan padaku, djikalau kami dapat mewudjudkan tjita2 kami, suka dia melepaskan kedudukannja sebagai puteri, ichlas dia hidup merantau dipadang rumput. Maka itu, sesudah mengambil putusan, aku lantas pergi menjusul padanja. Dia berangkat baru tiga hari. Aku menunggang kuda pilihan menjusulnja. Aku telah mengambil ketetapan, asal dia tidak berubah pikiran, aku bersedia mengurbankan djiwaku untuk menolongi dia ".

   "Khan boleh mempunjai ratusan laksa serdadu serta banjak negara djadjahannja, tetapi padang rumput luas sekali, mustahil disana tak ada tempat sembunji untuk kami berdua ? Aku berpikir demikian, tetapi Karosi lain ! Dia menjatakan dia suka mendjadi selir Khan dan dia telah memerintahkan memanah mati kudaku ...!".

   "Apakah kau sekarang telah berputus asa ?", Hian Song tanja.

   "Meskipun dia bersikap begini, aku tetap tidak berani menaruh kepertjajaan bahwa ia benar2 menjukai Khan. Inilah pasti bukan hatinja jang sedjati! Djikalau dia benar berubah, ketika aku menoleh padanja, tidak nanti dia mengawasi aku dengan sinar matanja matjam begitu !".

   "Habis, bagaimana sekarang pikiranmu ?". Saerhai merangkap djari2 tangannja.

   "Kudaku telah dipanah mati dia, tidak dapat aku menjusul padanja, maka itu, selama hidupku selandjutnja, tidak nanti aku dapat mendengar kata2 dari hatinja itu ...!". Hian Song mengawasi pemuda itu, ia tertawa.

   "Kaupertjaja aku atau tidak ?", tanjanja.

   "Apa kau bilang ?", Saerhai menatap, mendelong.

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Djikalau kau pertjaja aku mari kau berikan suatu barang kepertjajaan. Nanti aku pergi pada Karosi, untuk mentjari tahu hatinja jang sebenarnja itu. Kau sendiri, pergilah kau ke ibukota Khan, disana kau menjembunjikan diri untuk mendengar kabar baik dari aku ". Pemuda itu pertjaja si nona. Lantas ia mengeluarkan sebuah kantung harum dan menjerahkannja.

   "Inilah kantung sulamannja Karosi sendiri ", ia bilang.

   "Kau bawalah ! Di kotaradja ada seorang sahabatnja ajahku, aku dapat pergi padanja untuk menumpang tinggal sekalian mendengar dengar tentang Karosi ". Saerhai lantas memberi tahu alamat sahabat ajahnja itu. Hian Song menjimpan kantung itu, ia meminta diri, dengan ilmu lari jang keras, ia pergi menjusul rombongannja Karosi. ---oo0oo--- SELANG tiga djam, ia melihat tendanja mereka itu semuanja belasan buah, dan satu jang ditengah, didepannja didjaga oleh dua pengawal.

   "Ditempat begini dimana djarang ada orang lain, pendjagaan dilakukan demikian teliti, itulah pasti kemahnja Karosi ", pikir si nona. Maka ia madju dengan ber-hati2 untuk mendekati. Ia tahu apa jang ia mesti lakukan. Begitulah ia mendjumput dua potong saldju, ia menimpuk keudara, hingga saldju itu memperdengarkan suara, jang dapat didengar kedua pengawal. Mereka itu kaget dan heran, mereka menjangka kepada burung elang. Hanja, diwaktu malam mana mungkin burung demikian terbang berkeliaran ? Ketika mereka dongak keatas, potongan saldju itu lumer mendjadi air, mereka tidak dapat melihat, maka itu, mereka djadi semakin heran. Djusteru mereka dongak, djusteru Hian Song nelusup masuk kedalam tenda. Bagian dalam dari tenda itu memakai alingan lajar sulam. Dibagian sebelah luar ada beberapa pelajan wanita, jang lagi rebah2-an atau duduk. Dengan timpukan koral halus, Hian Song membikin mereka itu tertotok pulas. Ia menjingkap tenda dan menimpuk sangat tjepat hingga tak ada pelajan jang mempergokinja. Itulah totokan, ketjuali ada jang tolong, jang membuat orang tak sadarkan diri sebelum lewat tempo satu djam. Tenda dalam ada apinja, api lilin. Ketika Hian Song mengintai, ia melihat Karosi jang sampai djam tiga malam itu masih belum tidur. Dia duduk seorang diri dengan se-waktu2 menghela napas perlahan.

   "Saerhai ..., Saerhai ..., mana kau ketahui kesengsaraan hatiku ...!", dia berkata perlahan.

   "Biarlah kau membentji aku, supaja kau menganggapnja, didunia ini tidak ada Karosi lagi ! Biarlah hatimu padam, supaja kau tidak usah menimbulkan keonaran ...". Mendengar itu girang Hian Song,.

   "Saerhai benar, Karosi masih mentjintanja. Hanja puteri ini, sengadja menjakiti hati si anak muda ". Karenanja, mendadak ia tertawa geli sendirinja, lalu ia menjingkap tenda, untuk bertindak masuk. Karosi terkedjut, ia mendjadi heran mendengar suara tawa ini, dan melihat seorang nona Han muntjul setjara tiba2 itu. Ia mementang lebar matanja, ia membuka mulutnja, untuk berteriak, atau Hian Song melambaikan kantung harumnja didepan matanja seraja tjepat berkata dengan perlahan.

   "Ssst ...! Karosi! djangan takut....! Aku disuruh Saerhai mendjenguk kau !". Puteri itu diam, ia menenangkan dirinja.

   "Kau siapa ?"

   Tanjanja kemudian.

   "Kenapa kau ketahui urusanku dengan dia ? Belum pernah aku mendengar Saerhai me- njebut2 kau ". Hian Song bersenjum.

   "Akulah Thian-san Kiam-kek ", ia mendjawab.

   "Tadi aku telah melihat bagaimana kamu berdua membuat pertemuan. Aku pun telah berbitjara sama Saerhai ". Ia lantas menuturkan tentang pembitjaraannja itu. Perihal Thian-san Kiam-kek, Karosi pernah mendengarnja dari Saerhai. Sekarang ia melihat kantung harum itu, mau ia pertjaja keterangannja nona bangsa Han itu.

   "Silakan duduk ", kemudian ia mengundang. Ia menghela napas, lalu ia menambahkan .

   "Apakah Saerhai belum mati hatinja ? Aku mengira dia membentji aku sampai disungsumnja !".

   "Sedikitpun Saerhai tidak membentji kau. Ia ketahui baik bahwa kau tetap menjintai dia. Aku djusteru datang untuk meminta penegasanmu. Akulah jang tidak mengerti. Dia demikian menjintaimu, mengapa kau sebaliknja memperlakukan dia begini rupa ?". Matanja si puteri mengembeng air.

   "Sebenarnja aku lebih bersengsara daripada dia ", ia menjahut.

   "Tapi, apa mau diperkatakan ? Biarlah aku menderita sendiri ...". Nona Boe menjekal tangan orang erat2.

   "Karosi, mungkin dapat aku membantu kau ", katanja.

   "Maka kau bitjaralah. Taruh- kata aku tidak dapat menolong, dengan kau berbitjara, hatimu bisa djadi lega sedikit. Aku seorang Han, aku tidak mempunjai kepentingan apa2, djikalau kau menutur, aku tidak nanti menutur lebih djauh kepada orang lain ". Nona agung itu mengawasi.

   "Ketika kau masuk kemari, apakah kau melihat pelajan2-ku?"

   Ia tanja."Apakah mereka sudah pada tidur ?". Hian Song tertawa.

   "Tanpa aku pergi memanggil, tidak nanti mereka bangun !", katanja. Karosi heran.

   "Bagaimana itu ?", dia bertanja.

   "Karena aku telah totok djalan darah tidur pulas mereka itu ", Hian Song mendjelaskan tentang ilmu totoknja itu. Karosi heran dan kagum.

   "Sebenarnja mereka semua orang kepertjajaanku ", katanja sesaat kemudian.

   "Maka itu tidak ada halangannja andaikata mereka mendengar pembitjaraan kita ini. Kakak apakah kau pandai ilmu dewa? Kepandaian kau ini hebat!". Hian Song tersenjum, ia menggeleng kepala. Karosi minum tehnja, jang terseduh tua.

   "Negara ajahku jalah di utara gurun besar, di kaki gunung Altai ", kemudian ia mengasi keterangan.

   "Negeriku ketjil sekali, luasnja tjuma tiga atau empat-ratus lie persegi, sedang rakjatnja tak lebih daripada sepuluh laksa djiwa. Sjukurnja jalah tanahnja subur, ada ladang peternakannja, ada pula tambang emasnja. Setiap tahun kami membajar upeti kepada Khan jang agung. Sebegitu, djauh kami hidup aman dan bahagia, sampai pada tiga bulan jang lalu, Khan jang agung itu mengirim utusannja kepada ajahku meminta upeti jang berupa sesuatu jang ajahku paling menjajangnja ...".

   "Adakah itu parit emas dikaki gunung Altai itu ?", Hian Song memotong.

   "Bukan ...!, kalau itu hanja tambang emas, itu gampang diurus. Jang diinginkan Khan itu jalah diriku. Ketika aku mendengar permintaan itu, hampir sadja aku mentjeburkan diri kedalam telaga. Untukku, mati ada paling baik. Aku lebih rela mati daripada berpisah dengan Saerhai. Akan tetapi tidak dapat aku mati. Aku masih mempunjai seorang ajah, masih ada negaraku ...".

   "Djadinja sebuah negara menindih pundakmu !", kata Hian Song.

   "Pantaslah kau rela pergi kepada Khan itu ".

   "Khan besar dari Turki itu mendatangi pelbagai negeri, banjak jang dia musnahkan, maka dia menjebut dirinja radja dari sekalian radja ", kata pula si nona.

   "Pasukan perangnja sadja lebih besar sepuluh lipat dari rakjatku, kami adalah sebuah negara ketjil jang mendjadi djadjahannja, djikalau kami menjebabkan dia gusar, dengan gampang dia dapat membikin negara kami hantjur- lebur, kemala dan batu biasa akan habis mendjadi debu. Sudah parit emas bakal terdjatuh kedalam tangannja Khan itu, djuga ajahku, Saerhai, dan semua orang jang aku tjintai, semua sukar lolos dari mara-bahaja, maka terpaksa aku menuruti kehendak ajahku, Saerhai disingkirkan dan lamarannja Khan diterima baik. Demikian aku diantarkan. Lebih dulu daripada itu, aku pun telah siap-sedia, aku sudah menjiapkan sebotol kalau sampai harinja Khan memaksa aku menikah dengannja, akan aku pakai itu guna membunuh diri. Dengan aku mati didalam istananja, Khan boleh tjuma menarik napas pandjang-pendek, dia boleh menjesalkan dirinja, tidak dapat dia penasaran terhadap ajahku ...".

   "Tetapi, Karosi!", kata Hian Song.

   "tidak dapat kau bertindak demikian;!". Nona ini sudah lantas mengambil keputusannja. Karosi tertawa sedih.

   "Telah aku pikir berulang-kali, aku merasa inilah dajaku jang paling sempurna ", ia kata.

   "Tindakanku ini akan menolong ajahku dan negaraku, djuga menolong Saerhai dan diriku sendiri. Tetapi Saerhai tolol, dia tidak dapat memikir seperti aku ini, dia tjuma dapat memikir hendak menggunai kegagahannja untuk merampas aku pergi! Maka itu terpaksa aku ambil sikap seperti jang telah aku ambil tadi siang. Aku menjuruh pengawal membinasakan kudanja, supaja tidak dapat dia menjusul padaku, supaja dia tidak dapat merepotkan pula padaku. Dia benar gagah tetapi dia mana dapat melawan orang2-nja Khan jang demikian banjak dan bengis bagaikan serigala atau harimau? Djikalau dia memaksa djuga merampas aku, aku kuatir dia tidak bakal berhasil mendapatkan aku, sebaliknja, dia bakal terbinasa di-udjung goloknja pengawal2 Khan itu. Kakak, kau mengertilah sekarang ".

   "Aku mengerti. Dengan berlaku kedjam begitu terhadap Saerhai, kau hendak membikin Khan tidak tjuriga ".

   "Bukan tjuma itu. Aku djuga ingin Saerhai tidak turut tjuriga, hingga dengan begitu tak usahlah ia mendjadi nekat dan pendek pikiran ".

   "Djadi kau kuatirkan dia bunuh diri karena tjintanja itu kepadamu ?".

   "Benar. Djikalau dia membentji aku, dia tidak dapat mati ".

   "Sajangnja dia tidak pertjaja kau ...". Karosi girang berbareng berduka. Girang karena tjinta sutji dari Saerhai. Ia berduka lantaran ia kuatir, karena tjintanja itu, Saerhai nanti menempuh bahaja. Hian Song meng- usap2 rambut bagus dari puteri itu.

   "Apakah kau suka menikah sama Saerhai ?", ia menanja perlahan. Karosi heran, ia mengangkat kepalanja dan menatap si nona bangsa Han dihadapannja.

   "Buat apakah ditanjakan lagi ?", katanja.

   "Sajang, walaupun aku menghendakinja, itu tjuma dapat diwudjudkan nanti dilain penitisan ...". Hian Song tersenjum.

   "Tidak, tidak demikian !", katanja.

   "Aku mempunjai daja untuk membikin kamu dapat mentjapai tjita2 kamu !". Karosi mementang matanja lebar2.

   "Benarkah ?", ia menegasi, suaranja gemetar. Mendadak Hian Song membuka badjunja dan meloloskan djuga perhiasan rambutnja.

   "Karosi,mari kita saling menukar pakaian !", ia bilang.

   "Untuk apakah itu ?".

   "Kau djangan tanja. Kau turut dulu perkataanku ". Walaupun ia heran, Karosi menurut. Sesudah mereka selesai dandan, Hian Song mengasikan dua butir Ie-yong-tan kepada puteri radja itu, untuk dia pakai, habis mana mereka berdiri berendeng, memandang diri mereka didepan katja. Benarlah, Hian Song telah mendjadi seperti Karosi, dan Karosi mirip seorang nona bangsa Han.

   "Apakah aku mirip kau ?". Nona Boe tanja tertawa.

   "Rada mirip ", menjahut Karosi, setelah memandang sekian lama.

   "hanja kalau orang jang mengenal aku, pasti dia dapat membedakannya ". Mendadak ia menggeleng kepala. Ia kata;.

   "Apakah kau hendak menjamar menggantikan aku mendjadi selir Khan? Tidak !, tidak dapat !".

   "Mengapa tidak dapat ?".

   "Semua pengawal Turki disini mengenal aku, sebab sudah beberapa hari kita berada ber-sama2. Aku djuga tidak mengerti ilmu silat, mana bisa aku minggat ?". Hian Song tertawa.

   "Djikalau mereka jang belum lihat kau, jang tjuma melihat gambar sadja, bukankah mereka dapat dikelabui ? Pula ini untuk sementara waktu sadja ".

   "Djadi maksud kau untuk memperdajai Khan sadja? Kau dapat menjaru djadi aku dan disaat tiba di istana, kau dapat mengerudungi diri, buat sementara, kau memang bisa, tetapi kau mesti ingat, untuk tiba di kotaradja masih diperlukan tiga-empat hari perdjalanan, maka itu, ditengah djalan, mana bisa kau mendustai beberapa pengawal Turki itu ?".

   "Berapa pelajan kau bawa ?".

   "Sama sekali delapan ". Hian Song tertawa.

   "Semua pengawal itu tidak nanti memperhatikan pelajan2-mu itu seperti mereka memperhatikan kau ".

   "Itu benar. Dapat kau menjamar mendjadi pelajanku. Tapi, apakah faedahnja itu ? Tidak nanti kau dapat menolong aku ! Pula, kalau orangku mendadak lebih satu orang, pasti pengawal2 Turki itu tjuriga ".

   "Kau dengar aku,"

   Hian Song membudjuk, mendjelaskan.

   "Selama ditengah djalan, aku akan menjamar mendjadi salah seorang pelajanmu, setibanja di istana, aku akan menjaru mendjadi kau sendiri. Keretamu ini besar sekali, disini masih bisa disembunjikan satu atau dua orang ". Karosi mengerti.

   "Benar ", katanja.

   "Hanja, tidakkah itu merendahkan deradjatmu ? Tapi, begini sadja. Aku nanti menjuruh seorang budakku tetap bersembunji, kau jang mendjadi dia, kau dapat terus menemani aku. Diwaktu kereta singgah, kau djangan turun, sekalian pengawal itu tidak bakal melihat kau ...". Untuk sedjenak puteri ini terlihat gembira, lantas sinar matanja mendjadi saju pula, tandanja ia berduka.

   "Karosi, djangan takut. Akal ini pasti berhasil !".

   "Tidak !", kata si nona mendadak.

   "Kenapa tidak ?".

   "Kau dapat menipu untuk satu waktu, tidak untuk selama2-nja! Djikalau Khan mengetahuinja, tidak sadja dia bakal tetap meminta aku, kau djuga bisa tjelaka !".

   "Djikalau aku sudah bertemu sama Khan, aku mempunjai dajaku lainnja. Aku tanggung dia tidak bakal menarik pandjang urusan ini ".

   "Apakah kau hendak membunuh Khan? Tidak dapat kau berbuat demikian ".

   "Aku tidak memikir membunuh, aku mempunjai daja. Kau pertjaja sadja padaku !". Mengetahui orang jalah Thian-san Kiam-kek, dan berkepandaian tinggi, terpaksa Karosi memberi kepertjajaannja. Hian Song melihat romannja masih ragu2, ia tertawa.

   "Apa jang kau masih ragukan ? Kau masih melihat sesuatu jang kurang xmpurna ?".

   "Tidak, hanja setibanja di kotaradja, tjara bagaimana aku dapat lolos ?".

   "Tentang itu telah aku mengatur. Aku sudah berdandji bersama Saerhai. Kita pergi dulu ke kotaradja, nanti dia menjusul ".

   "Aku masih bersangsi, setibanja di kotaradja, walaupun Khan tidak segera memaksa melakukan pernikahan, dia tentunja menjambut kita masuk kedalam istana, kedalam keraton, umpama-kata Saerhai ketahui kita berada disana, kita toh tidak dapat bertemu dengannja ". Hian Song merasa soal ini benar djuga, maka ia berpikir. Tapi Karosi ingat suatu apa, ia berkata .

   "Adalah aturan atau kebiasaan di.kampung halamanku, djikalau seorang anak perempuan menikah, setibanja dia dirumah suaminja, seperangkat pakaian jang dia pakai harus dikirim pulang ke;rumah ibunja. Itulah berarti, tadinja dia hidup mengandal ajah-ibunja, selandjutnja dia mengandal pada suaminja. Maka setibanja di kotaradja, nanti aku minta kepada Khan supaja aku dapat menitahkan dua orang pelajanku menaiki keretaku ini pulang dengan membawa pakaianku itu sekalian aku mengirim surat pada ajah bundaku mengabarkan hal aku telah tiba dengan selamat di kotaradja ". Setelah berhenti sedjenak, Karosi berkata pula.

   "Aku pertjaja Khan bakal menerima baik permintaan itu. Maka itu waktu, aku nanti menjamar mendiadi budak, aku memakai pel Ie-yong-tan, untuk meloloskan diriku ". Hian Song setudjui akal ini, maka mereka lamas mengambil ketetapan. Sampai disitu, ia menotok sadar semua pelajan perempuan. Sekalian dajang itu heran melihat mendadak muntjul seorang nona Han diantara mereka. Karosi bisa mengerti keheranan semua pelajannja itu, ia lantas memberikan keterangannja sekalian memesan mereka itu untuk djangan membuka rahasia. Semuadajang itu mengetahui lelakon puterinja dengan Saerhai, mereka menaruh simpati, maka itu, mereka lantas memberikan djandji mereka untuk menutup mulut, guna menjimpan rahasia. Bahkan mereka suka membantu. Demikian Hian Song menjamar mendjadi dajang tanpa diketahui pengawal pengiring. ---oo0oo--- KETIKA Lie It turun dari gunung, ia mampir pada seorang pemburu dikaki gunung, untuk membeli seekor kuda dan pakaian, guna mendandankan diri sebagai seorang pemburu djuga. Ia pun memiara kumis serta memakai obat kulit, hingga ia mendjadi lebih tua sepuluh tahun. Untuk segera sampai di kotaradja Thian-hee, guna menolong anaknja, ia mengasi kudanja lari keras dan terus-menerus, maka waktu itu hari ia sampai ditepi kali, ia lantas berhenti. Kudanja kurang makan dan minum, napasnja memburu keras, mulutnja berbusa, maka kali itu bagaikan emas ditemukan pengemis, Lie It sendiri pun girang. Ketika ia sudah lompat turun dari kudanja, ia tuntun binatang itu ketepian, untuk mengasi dia minum. Djusteru itu, Lie It mendengar suara kelenengan unta, ketika ia berpaling, ia melihat dua orang dengan pakaiannja jang luar biasa, mata mereka itu dalam, hidung mereka bengkok, kepala mereka digubat kain putih. Berdua mereka menaiki sebuah unta. Mereka pun menghampirkan kali. Mereka tak miripnja orang Uighur jang kebanjakan. Dua orang itu lompat turun dari unta mereka, untuk mengeluarkan kantung air, untuk mengisikan itu. Ketika mereka melihat Lie It, agaknja mereka heran, hanja sedjenak mereka ragu2, lantas mereka menaiki unta mereka. Kelihatannja mereka tidak suka bertemu orang asing. Biasanja digurun pasir, bila dua orang atau dua rombongan orang saling bertemu, keduanja girang sekali, senang mereka berkumpul, untuk berdjalan bersama, maka heran dua orang ini, tidak sadja mereka tidak bergirang, bahkan mereka mau mengasingkan diri. Lie It menghampirkan, untuk menanja mereka. Ia menggunai bahasa Uighur. Mereka itu seperti tidak mengarti bahasa Uighur, mereka mengeluarkan kata2 jang tidak terang, mereka meng-geleng2 kepala, tanpa menanti Lie It datang dekat, mereka lantas pergi dengan unta mereka. Lie It heran dan otaknja bekerdja.

   "Mungkin mereka dua orang saudagar jang datang dari Khorezmia ", pikirnja. Khorezmia ada sebuah negara besar di Asia Tengah, dia bukan djadjahan Thian-hee Turki itu, akan tetapi setiap tahun dia mengantar upeti, untuk mengambil hati, karena kuatir negerinja nanti diserang. Karena ini, saudagar2 kedua pihak mempunjai perhubungan dagang satu dengan lain, sedang orang2 asing jang berdagang dinegara Thian-hee itu, dalam sepuluh ada delapan atau sembilan jang mengerti bahasa Uighur. Maka itu aneh dua orang asing ini. Lie It tidak dapat memastikan apa orang tjuma ber-pura2 sadja. Ia merasa tidak enak hati, karena orang tidak mau meladeni ia, ia terpaksa mengundurkan diri, akan mengawasi kudanja minum dan makan rumput ditepi kali itu, ia sendiri duduk beristirahat dibawah sebuah pohon. Dua orang asing itu serta untanja djalan belum djauh, tiba2 diudara terlihat dua ekor burung nasar, jang terus mengasi dengar suaranja, hingga Lie It membuka kedua matanja. Kedua ekor burung itu djusteru menjamber kearah untanja kedua saudagar itu, karena dipunggung unta ada tergantung dendeng kerbau. Burung itu saking laparnja turun menjamber, hebat tjaranja. Atas samberan burung itu, dua orang saudagar itu berkelit miring kekiri dan kanan, kaki mereka menundjang, dengan berbareng mereka menghunus golok, membatjok burung jang pertama. Sang burung berkelit, tetapi dia telah kena samber bungkusan, jang talinja putus, hingga bungkusan itu terbuka, isinja djatuh berserakan. Burung jang kedua menjamber djuga tetapi disambut golok, dia terbang menjingkir.

   "Hebat dua saudagar itu ", pikir Lie It. Ketika ia melihat kepada barang jang djatuh, ia terkedjut. Ia mengenali tanduk badak, suatu bahan obat2-an jang mahal.

   "Ah, kiranja mereka saudagar obat2-an! Mungkin mereka menjangka djelek padaku maka mereka lantas menjingkir, mereka takut dirampas barang! Hanja, dengan kegagahan mereka, kenapa mereka djeri terhadap aku satu orang ?". Kedua burung itu penasaran, setelah berputaran diatasan kepala orang, keduanja turun pula, untuk menjamber lagi. Sekarang kedua saudagar itu sudah siap-sedia. Mereka menjerang sebelum tersamber. Tangan mereka diajun keatas, dua batang golok terbang naik. Tapi kedua burung itu dapat mengelakkan diri, bahkan mereka mentjoba mentjengkeram kedua batang golok tu. Kedua saudagar liehay, setelah goloknja jang pertama, menjusul jang kedua, atas mana kedua burung berbunji tak hentinja, upanja keduanja terluka. Lantas menjusul golok jang ketiga. Sekarang kedua burung itu tidak berani melawan pula, tapi untuk membela diri, mereka menjampok dengan sajap mereka. Segera datanggolok jang keempat. Kali ini mereka itu kabur, dengan bersuara njaring, sebab masing2 sebelah matanja kena terlukakan. Kedua saudagar itu memungut golok mereka dan merapihkan djuga bungkusannja, untuk terus melandjukan perdjalanan mereka. Lie It djuga memikir untuk berangkat ketika ia melihat, dari arah depan, datangnja seorang penunggang kuda, jang memapaki si saudagar, dan selagi mendekati, dia berteriak.

   "Tinggalkan unta kamu, baru kamu boleh lewat!". Sebaliknja daripada meninggalkan untanja, kedua saudagar itu djusteru mengasi binatang tunggangannja itu lari, untuk menerdjang si penunggang kuda. Rupanja mereka pertjaja, unta mereka bakal menang. Si penunggang kuda lompat turun dari kudanja, ia madju kedepan, dengan kedua tangannja, ia menahan serbuan unta, dari mulutnja terdengar bentakan.

   "Berhenti!". Hebat tenaga orang ini, unta itu tertahan, kedua kakinja bahkan tertekuk, hingga dia tak dapat madju lebih djauh. Kedua saudagar itu gusar, keduanja lantas menjerang dengan tjambuk mereka. Pemegat itu tertawa.

   "Kamu menghendaki barang atau djiwa kamu ?", dia tanja. Sembari berkata begitu, dia menggeraki kedua tangannja, maka setiap tjambuk kena ditangkap, terus ditarik, untuk dirampas. Sekarang Lie It melihat tegas penunggang kuda itu jalah seorang Han. Ia lantas mengawasi terus. Dengan tjambuk jang ia dapat rampas, penunggang kuda itu membalas mennjambuk. Kedua saudagar bangsa Khorezmia itu berkelit sambil melompat turun dari unta mereka, lintjah gerakan mereka hingga Lie It kagum dan berseru memudji.

   "Bagus!". Begitu lekas mereka sudah berada ditanah, kedua saudagar itu mulai dengan penjerangan membalas mereka. Empat bilah golok beterbangan saling-susul, menjamber kearah si penunggang kuda jang mau mendjadi begal itu. Lie it telah menjaksikan liehaynja ilmu golok dua orang itu, ia pertjaja sibegal bakal mendapat bagiannja, akan tetapi si begal sendiri rupanja berpikir lain. Ia menggeraki tjambuknja, menjamber golok jang pertama, jang kena dililit, untuk dilempar. Maka golok itu mengenai golok jang kedua, hingga terdengar suaranja jang njaring, lantas mental dan djatuh ketanah!. Golok jang ketiga meluntjur terus, disaat mana si penunggang kuda tengah memutar tubuhnja. Ia sangat djeli matanja dan sebat gerakannja. Tjambuknja menjamber pula, melilit golok itu, untuk dilempar sebagai jang bermula tadi, maka itu, golok jang keempat, kena dipapaki dan dihadjar keras, hingga kedua golok sama2 djatuh ketanah! Lie It mendjadi kagum sekali. Sekarang ia menginsjafinja penunggang kuda ini. Untuk di Tionggoan, dialah djago kelas satu. Pertempuran berlangsung terus. Si penunggang kuda tidak mau mengerti, dan kedua saudagar penasaran, maka mereka ini melandjuti perlawanan mereka dengan pelbagai serangan golok terbang mereka itu, jang saban2 kena dipukul djatuh hingga suara golok beradu seperti tak putusnja. Ketika belasan golok sudah terdjatuhkan, kedua pihak mendjadi datang semakin dekat satu dengan lain. Agaknja kedua saudagar itu mendjadi berkuatir, mereka menjerang semakin hebat, dengan sisa golok-terbangnja mereka. Jalah masing-masing memegang enam batang golok, sebelah tangan masing2 mentjekal dua batang, hingga mereka menjerang dengan dua belas batang golok saling-susul dan bergantian. Si penunggang kuda menundjukkan keliehayannja. Ia memutar tjambuknja, untuk menjambuti setiap golok, guna mentjegah golok itu menjamber ketubuhnja. Tapi serangan golok sekarang demikian rupa, setiap kali golok kena dililit, setiap kali udjung tjambuk terpapas kutung, hingga tjambuk pandjang mendjadi tjambuk pendek, hingga sebilah golok menjamber terus kearah tubuh. Akhirnja sebatang golok menjerepet djuga kearah pundak. Si penunggang kuda mendjadi gusar.

   "Biarlah aku memperlihatkan kamu ilmu golokku !", ia berseru, lantas seruan itu disusul sama gerakan tubuhnja, jang lompat melajang kepada dua saudagar itu. Njata dia dapat melompat lintjah seperti dua lawannja itu tadi. Hanja dia melompat sambil sebelah tangannja menghunus golok dengan apa dia menjerang bagaikan seekor burung menjamber! Menjaksikan sampai disitu. Lie It mendjadi tidak senang. Ia merasa penunggang kuda ini keterlaluan, sudah mau merampas harta atau barang, dia djuga hendak merampas djiwa. Maka itu ia melompat madju sambil berteriak.

   "Tahan!". Tapi ia terlambat, goloknja si penunggang kuda sudah memapas kutung goloknja kedua saudagar itu, jang mana disusul dengan djeritan jang hebat, dan ketika ia telah datang dekat, dua orang itu sudah roboh malang- melintang! Si penunggang kuda berpaling kapan ia melihat ada datang orang jang ketiga.

   "Bagus!", dia berseru.

   "Kau telah melihat, maka kau pun pergilah bersama!". Kata2 itu ditutup sama serangan. Lie It tidak mundur, ia menjambut serangan dengan tangkisan, maka itu bentroklah sendjata mereka. Bukan tjuma satu kali, tapi tiga kali bentrokan itu. Sebab si penunggang kuda, setelah gagal batjokannja jang pertama, mengulanginja hingga tiga kali, hingga suara njaringterdengar tiga kali beruntun djuga. Kesudahannja itu membuat si penunggang kuda kaget. Goloknja kalah, golok itu kena terbatjok rusak oleh pedang lawan. Karena pedangnja Lie It jalah pedang mustika dari istana kaisar. Sementara itu Lie It merasa aneh. Ia sekarang mengenali wadjah orang. Ia seperti pernah melihatnja, hanja ia lupa dimana. Ia djuga ingat suara orang itu, seperti suara kenalan akrabnja. Maka ia lantas meng-ingat2. Penunggang kuda itu, jang gesit gerakannja, tidak mau mengasi ketika kepada Lie It. Biarpun goloknja telah kena dibikin rusak, dia tidak mendjadi takut atau gentar hatinja, bahkan dia madju pula, guna mengulangi serangannja. Dia pun menggunai golok jang tadjam, karena goloknja jalah jang dinamakan golok mustika Ang Mo Pootoo. Dengan itu ia membatjok ber-ulang2, batjokan dari pelbagai pendjuru.

   "Bagus!", Lie It herseru. Ia kagum, ia pun tidak takut. Ia menutup diri dengan djurusnja.

   "Kimkong Hok-hoat"

   Atau "Kimkong melindungi pudjaannja", lantas ia membalas menjerang dengan gerakan dari "Heng-tjie-thian-lam" (Melintang-menuding Langit Selatan).

   Pertempuran ini seharusnja menjebabkan kedua sendjata sering beradu akan tetapi kali ini disamping Lie It berlaku sebat, penunggang kuda itu berlaku gesit luar biasa, tak mau dia mengadu sendjata.

   Kelihatannja Lie It lebih unggul tetapi sulit untuk ia mengenakan sendjata lawan.

   Sudah tiga puluh djurus, pemuda bangsawan itu masih tidak dapat merobohkan lawannja.

   Hingga ia berpikir.

   "Tjoba tidak selama beberapa tahun ini aku telah ber~hasil menggabung ilmu pedang guru dan mertuaku, mungkin aku bukannja tandingan dia ini ...". Tengah pertempuran itu berlangsung, tiba2 orang itu berseru.

   "Eh! Kita sama2 orang Han, mengapa kau seperti mempertahankan djiwamu membelai orang2 Tatar ini?".

   "Kau mempunjai kepandaianmu ini, mengapa kau datang ketanah perbatasan ini dimana kau melakukan ini matjam pekerdjaan membegal?", Lie It balik menanja.

   "Hari terang-benderang tetapi kau membunuh orang, itulah perbuatan jang tak dapat diterima Thian! Apakah karena kau orang Han lantas kau dapat berbuat se- wenang2 ?". Belum berhenti suaranja pemuda bangsawan ini atau mendadak orang itu melompat mundur, untuk keluar dari kalangan.

   "Kau ...! kau ...!", serunja.

   "kau toh Lie Thian-hee?", Lie It terkedjut.

   "Kau ..., kau toh Lamkiong Siang?", ia pun berseru bertanja. Orang itu tertawa berkakak, lantas dia melemparkan goloknja.

   "Benarlah siauwtee Lamkiong Siang!", katanja.

   "Thian-hee, kau membuatnja siauwtee pusing memikirkanmu! Tidak kusangka kita dapat bertemu disini, dinegara asing!". Ia lantas madju, tangannja dipentang, untuk merangkul. Lie It mundur, agaknja ia djengah. Sekarang terbajang tegas roman asli dari Lamkiong Siang, jang pada delapan tahun jang lampau, waktu mereka ber-sama2 berada di istana dan hendak membunuh Boe Tjek Thian, beroman bengis dan berewokan. Dulu hari itu Lie It berdiam dalam tangsi Sin Boe Eng, menempati sebuah kamar bersama Lamkiong Siang, kemudian ia mendapat tahu dari Tiangsoen Koen Liang bahwa ajahnja Lamkiong Siang pernah mendjadi hoe-tjiehoei, komandan muda dari pasukan pengawal Kim-wie-koen dari Kaisar Tong Thay-tjoqg Lie Sie Bin. Lamkiong Siang lalu ke kotaradja dengan tjita2 sama dengan tjita2-nja Lie It, guna membunuh Boe Tjek Thian. Malam itu Lie It gagal, ia menjingkir dari gunung Lie San, ia melihat Lamkiong Siang dikurung pengawal2 kaisar, ia tidak membantui, diluar dugaan, dia dapat lolos dan sekarang mereka bertemu disini. Inilah sebabnja kenapa ia mendjadi djengah sendirinja. Dulu hari itu Lamkiong Siang djembrosan, sekarang ia telah mentjukur klimis kumis dan djenggotnja itu, pula mereka sudah berpisahan delapan tahun, tidak heran Lie It tidak dapat lantas mengenalinja. Begitu djuga dengan Lamkiong Siang, karena Lie It sekarang miara kumis dan kulit mukanja telah di rubah. Adalah suara mereka, jang membikin mereka mengenali satu dengan lain, dan Lamkiong Siang ingat ilmu pedangnja pemuda bangsawan itu. Lamkiong Siang tertawa dan berkata.

   "Sekarang ini djaman katjau maka djiwa manusia bagaikan djiwa semut! Bukankah siapa berhasil dia mendjadi djaja dan siapa gagal dia mendjadi berandal? Siapakah tidak membunuh orang hingga majat2 memenuhkan kota dan tegalan? Aku baru membinasakan dua saudagar, apakah artinja itu?". Lie It tidak setudjui sikap orang ini tetapi ia membungkam, tidak mau ia menegur. Mereka lantas memberi hormat satu pada lain.

   "Saudara Lamkiong, kapannja kau tiba di Utara ini?", kemudian Lie It tanja.

   "Kenapa saudara hendak membinasakan dua orang ini?".

   "Ketika dulu hari itu aku gagal membunuh Boe Tjek Thian, sjukur aku dapat lolos ", berkata Lamkiong Siang, menjahuti.

   "Mulanja aku berniat pergi kepada Eng Kok-kong akan tetapi belum lagi aku sampai di Yangtjioe, aku mendengar kabar bahwa radja-muda itu sudah hantjur luluh gerakannja dan pemerintah lagi bekerdja keras untuk menawannja, maka terpaksa aku kabur kewilajah ini. Meskipun sekarang aku ter-lunta2, belum padamtjita2-ku untuk membangun pula Keradjaan Tong. Thian-hee, kapankah Thian-hee sampai disini? Apakah ada niat dari Thian-hee ?".

   "Hatiku telah mendjadi dingin sekarang ", Lie It mendjawab.

   "Setelah hari itu gagal, aku langsung menjingkir kemari. Semendjak itu, delapan tahun sudah lewat. Selama delapan tahun itu aku tinggal menjendiri digunung Thian-san, tidak ada niatku lagi untuk mengurus urusan dunia ".

   "Kenapa Thian-hee mendjadi tawar hati?", berkata Lamkiong Siang tertawa.

   "Sekarang ini djusteru ada ketikanja jang baik !".

   "Apakah itu ?".

   "Khan besar dari Turki hendak menggeraki angkatan perangnja menjerbu Tiongkok, apakah Thian-hee masih belum mendapat tahu ?", Lamkiong Siang tanja.

   "Pernah aku mendengar kabar anginnja. Apakah hubungannja itu dengan kita ?".

   "Ada hubungannja, Thian-hee. Boe Tjek Thian telah merampas pemerintahan untuk banjak tahun, menteri2 lama dari Keradjaan Tong tetap tidak puas, maka itu mereka hendak menggunai ketika ini untuk bekerdja sama, jang satu bekerdja dari luar, jang lain menjambut dari dalam ! Dengan begitu kenapa kita harus menguatirkan pemerintah palsu itu tidak akan runtuh ?". Hati Lie It terkesiap. Inilah hebat. Tentu sekali tak ia setudjui sikap menteri2 lama. itu bekerdja sama bangsa Turki. Itulah berbahaja. Tapi ia baru bertemu sama Lamkiong Siang, tidak mau ia menegur. Lamkiong Siang pun tidak melihat perubahan air muka orang.

   "Barusan aku membinasakan dua orang ini pun untuk usaha itu ", berkata pula dia. Lie It mengasi lihat roman heran.

   "Turki mau berperang dengan Tiongkok, apakah hubungannja itu dengan dua orang saudagar Khorezmia ini?", ia tanja.

   "Sebenarnja kenapakah kau membinasakan mereka ?".

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Khan dari Turki hendak menggeraki angkatan perangnja, untuk itu ia perlu mentjari orang2 pandai dan gagah ", menjahut Lamkiong Siang.

   "Turut apa jang aku tahu, orang2 gagah dari negara2 lainnja jang datang untuk menghamba, djumlahnja tidak sedikit ". Begitulah sudah ditetapkan akan diadakannja suatu rapat besar bertepatan sama hari raja 'Mentjabut Hidjau'. Hari raja itu suatu hari raja besar, disaat ladang hidjau merata, maka rakjat Turki pergi mentjabut rumput untuk memelihara ternak mereka, untuk sematjam selamatan. Kata2 hidjau itu berarti rumput. Dengan itu rakjat memohon perlindungan dewa2 agar ternak mereka, kerbau dan kambing, hidup subur.

   "Bukankah saudara Lamkiong, berniat mengambil bagian dalam rapat itu?", tanja Lie It. Ia ketahui tentang hari raja itu, jang waktunja bakal lekas tiba.

   "Benar ", Lamkiong Siang menjahut.

   "Tapi aku orang Han, aku kuatir aku tidak dipertjaja, maka itu, aku membutuhkan orang jang dapat mendjadi perantara serta djuga barang bingkisan untuk dapat menghadap. Apakah Thian-hee ketahui apa pekerdjaanku selama beberapa tahun ini?".

   "Djikalau kau tidak mendjelaskan, mana aku ketahui?". Lam-kiong Siang tertawa.

   "Aku melakukan pekerdjaan tanpa modal!", katanja.

   "Setelah kabur kemari, aku lantas menggabungkan diri dengan sekelompok orang Kang-ouw jang merantau kesini, kami melakukan usaha di Djalan Hitam. Tentu sadja itulah usaha sangat terpaksa! Mana bisa aku mendjadi berandal untuk se- lama2-nja? Sebenarnja, Thian-hee, aku hendak menghadiri rapat itu. Aku mendapat tahu tentang guru besar dari Khan Turki, dia berpengaruh tetapi tamak, katanja anaknja lagi menderita sakit bengek, sudah sekian lama belum djuga sembuh, maka aku memikirkan obat untuk penjakit itu. Kebetulan sekali aku mendengar kabar diuga tentang dua saudagar ini. Mereka mengerti silat, hati mereka besar, dari Khorezmia mereka membawa bahan obat2-an mereka, diantaranja ada obat bengek jang Turki kekurangan sangat, dari itu aku lantas susul mereka, guna merampas obatnja. Aku tidak menduga sama sekali jang mereka berani nekat mengadu djiwa! Ha ha ha! Hitung2 mereka apes!". Lie It tidak puas. Tidak ia sangka orang demikian telengas. Tapi ia berdiam sadja.

   "Sekarang Thian-hee mau pergi kemana?", Lamkiong Siang tanja kemudian.

   "Aku ingin me-lihat2 kotaradja Turki ", Lie It mendjawab.

   "Bagus, Thian-hee!", Lamkiong Siang berseru.

   "Inilah ketika baik jang tak dapat dilewatkan! Kenapa Thian-hee tidak mau bekerdja ber-sama2 aku? Mari kita menghadap Khan jang agung! Orang dengan kedudukan sebagai Thian- hee, pastilah dia bakal menjambutnja dengan girang! Kalau nanti kekuasaan Boe Tjek Thian dapat diruntuhkan, maka tachta keradjaan Tong pastilah bakal mendjadi kepunjaan Thian-hee!". Didalam hati, Lie It mentertawakan orang kang-ouw jang buntu djalan ini. Ia kata didalam hati.

   "khan Turki djauh terlebih tjerdik daripada kau! Dia memang sudah lama hendak memakai tenagaku! Maka tak perlu aku dengan adjakanmu ini! Urusan menggulingkan Keradjaan Tjioe ada urusan lain. Mana dapat kita membantu Turki menerdjang dan merampas negeri kita sendiri?". Hampir Lie It memberi pendjelasan kepada Lamkiong Siang, lalu disaat terachir, ia dapat memikir lain. Ia berpikir pula.

   "Sudah banjak tahun Lamkiong Siang berdiam disini, tak pernah dia melupakan Tionggoan kemana dia ingin kembali, untukbangun pula! Dia hendak menundjang aku, itulah tak lain tak bukan, supaja dia dapat madju! Orang dengan sifat sematjam dia, sukar untuk dikasi mengerti atau dibikin tunduk, dari itu, baiklah aku tutup rahasiaku sendiri, supaja tidak mendjadi botjor. Aku mau pergi ke kotaradja, guna menolongi anakku, mengapa aku tidak mau menggunai orang ini sebagai alat?". Lamkiong Siang mengawasi Lie It, ia melihat mata orang memain, suatu tanda belum adanja ketetapan, maka ia mendjura dan herkata.

   "Thian-hee, inilah ketika baik jang dalam seribu tahun sukar didapatnja, djikalau ini dikasi lewat, kita akan menjesal setelah kasip. Umpama- kata Thian-hee tidak memikir untuk mendjadi kaisar, apakah Thian-hee tidak menginginkan bangunnja pula Keradjaan Tong jang maha besar? Maka itu aku harap Thian-hee djangan bersangsi pula ".

   "Saudara Lamkiong ", kata Lie It.

   "kau begini setia kepada Keluarga Tong, sungguh kau harus dikagumi dan dipudji. Mustahil aku tidak memikir untuk bangkitnja pula Keradjaan Tong? Hanjalah sekarang ini kita masih belum tahu betul hatinja khan Turki! Orang dengan deradjat sebagai aku, djikalau aku lantjang menghadap padanja, sukar untuk ditentukan itu bakal mendjadi keberuntungan atau bentjana ...".

   "Aku memikir sebaliknja, Thian-hee ", berkata Lamkiong Siang.

   "Turki suatu negara di Barat, umpamakata dia berhasil menjerang masuk ke Tionggoan, pastilah sukar dia memerinmnja, dari itu aku mau menduga, pastilah dia bakal mengangkat salah satu putera atau tjutjunja Sri Baginda almarhum untuk mendjadi kaisar. Kenapa Thian- hee masih banjak tjuriga?".

   "Walaupun demikian, saudara harus ingat tabiatnja bangsa Tatar itu jang suka putar-balik ", Lie It memperingati.

   "Pula dengan aku pergi padanja, untuk memohon bantuan, itu berarti aku menghilangkan martabatku ".

   "Tetapi ketika jang baik dapat dilenjapkan, Thian-hee! Baiklah kita berdua pergi bersama, untuk mentjari tahu biar terang kehendaknja Thian-hee, sesudah itu baru Thian-hee memperkenalkan diri. Dengan begitu kita masih belum terlambat ". Lie It menatap dengan matanja jang tadjam.

   "Dapat aku pergi ber-sama2 kau tetapi kau mesti berdjandji padaku ", ia kata.

   "Silakan Thian-hee menitahkannja!".

   "Kau tidak dapat membotjorkan tentang diri asalku! Aku hendak menggunai kepandaianku untuk membikin Khan pertjaja dan membutuhkan tenagaku. Dengan begitu, kalau nanti kita sudah berhasil, Khan tidak akan memandang rendah padaku."

   Lamkiong Siang bertepuk tangan tertawa.

   "Demikianlah seharusnja perbuatan seorang gagah!", serunja.

   "Masih ada satu lagi!", Lie It berkata pula.

   "Boe Tjek Thian mempunjai banjak kaki-tangan liehay, djikalau dia mendapat tahu aku berada didalam angkatan perang Turki, ada kemungkinan dia nanti menugaskan orang untuk membunuh aku, maka itu tentang diriku ini, tidak tjuma Khan tidak harus tahu, djuga terhadap lain orang mesti dirahasiakan!". Lamkiong Siang senang untuk memberikan djandjinja. Ia beranggapan, dengan begitu ia mendjadi orang kepertjajaannja orang bangsawan ini. Tidak ajal lagi ia memberikan djandjinja seraja mengangkat sumpah jang berat. Habis itu, Lamkiong Siang lantas bekerdja. Ia mengasi turun muatan dari punggung unta, untuk memilih bahan obat bengek atau asma jang paling mandjur, jang ia pindahkan kekuda tunggangannja sendiri, sesudah selesai, bersama Lie It ia melanjuti perdjalanannja. --oo0oo--- "KAU tadi membilang ada orang jang akan memudjikanmu, siapakah dia?", tanja Lie It.

   "Dialah seorang gagah Rimba Persilatan jang aku kenal begitu lekas aku tiba digurun Utara ini ", mendjawab orang jang ditanja. Benar selagi ia berkata begitu. berdua mereka mendengar suara kelenengan kuda diarah belakang mereka. Lamkiong Siang segera berpaling, lantas dia tertawa njaring dan berkata.

   "Nah, itulah toako jang datang!".

   "Ingat ...", kata Lie It tjepat.

   "namaku Siangkoan Bin, dan djangan kau memanggil thian-hee pula!". Lamkiong Siang heran hingga dia melengak, tetapi tjuma sekedjab, dia lantas mengerti. Bukankah pangeran ini hendak merahasiakan dirinja? Djadi harus ia menukar she dan nama. Ketika itu si penunggang kuda sudah sampai. Dialah seorang tua dengan "kepala seperti kepala matjan-tutul, dan hidung seperti hidung singa". sepasang matanja sangat tadjam, sedang tangannja mentjekal sebatang hoentjwee, atau pipa, pandjang tiga kaki dan besarnja luar biasa, hoentjwee mana disedot hingga terdengar suara sedotannja jang njaring serta apinja marong merah. Lam-kiong Siang berlaku sangat hormat kepada orang tua itu, sebagaimana dia sudah lantas lompat turun dari kudanja untuk menjambut. Lie It djuga turut turun dari kudanja.

   "Toako, dua orang saudagar dari Khorezmia itu"

   Kata Lamkiong Siang, untuk memberi pendjelasan."Tunggu dulu!", berkata orang tua itu, tjepat dan keras.

   "Siapa dia ini?". Ia lantas menundjuk pada Lie It.

   "Dialah saudara angkatku, Siangkoan Bin ", mendjawab Lamkiong Siang.

   "Ah, saudara-angkatmu! Dia kerdja apa?".

   "Kami djusteru berniat pergi ke kotaradja, untuk mentjoba mentjari kedudukan,"

   Lamkiong Siang mendjawab pula.

   "Tentang kakakku ini belum aku beritahukan kepada toako, aku minta, aku minta ...". Kedua matanja orang tua itu terbuka lebar.

   "Aturan perkumpulan kami tidak dapat diubah, djangan banjak omong!", berkata dia, memotong kata2-nja Lamkiong Siang, seraja dia bertindak madju. Lie It heran hingga ia berpikir.

   "Aku bukan anggauta perkumpulannja, buat apa dia bitjara tentang aturan perkumpulannja itu?". Sedjenak itu, si orang tua telah berubah pula sikapnja. Mendadak dia tersenjum dan tangannja diulur seraja dia berkata.

   "Saudara Siangkoan, aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini!". Lie It tidak menjangka orang bersikap demikian, kasar lalu hormat, tentu sekali ia mesti menjambuti uluran tangan itu. Baru mereka saling pegang atau ia merasakan tangan si orang tua keras mirip tjengkeraman badja, mementjet nadinja. Segera ia menginsafi bahwa orang tengah mengudji padanja. Lekas2 ia mengelakkan tangannja, hingga tenaga kuat itu tersalurkan lewat dan tangannja pun bebas.

   "Bagus!", berkata si orang tua dengan pudjiannja.

   "Sekarang ber-hati2lah menjambut aku sepuluh djurus!". Perkataannja ini segera diikuti gerakan pipanja itu, jang disodokkan kedjalan darah soan-kie-hiat didada orang. Lie It membikin dada dan perutnja kempes, dengan begitu bebaslah ia dari totokan hoentjwee itu, ketjuali abu pipa membikin kotor badjunja. Tjepat seperti badai, hoentjwee orang tua itu datang pula.

   "Toako, berlakulah murah!", berseru Lamkiong Siang, saking kaget. Pertjuma permintaan itu. Ketika Lie It bisa berkelit pula, si orang tua mengulangi lagi serangannja, lantas diulangkan dan diulangkan pula, sebab dia mau membuktikan antjamannja jang terdiri dari sepuluh djurus jang diutjapkan itu. Lie It repot menangkis. Berbareng, hatinja pun mendjadi panas. Ia kata didalam hatinja itu.

   "Kenapa ini tua-bangka begini tidak memakai aturan?". Maka ia lantas menggunai kepandaiannja, untuk melajani. Baru tiga djurus, ia sudah menghunus pedangnja. Ia merasa berbahaja untuk terus melawan hoentjwee dengan tangan kosong. Ia lantas mengambil sikap membalas menjerang, untuk sambil menjerang membela diri, hingga pedangnja mendjadi bersinar berkilauan. Orang tua itu mentjoba mendesak, tetapi ia sekarang mesti menangkis djuga, dari itu, beberapa kali sendjata mereka beradu hingga mendatangkan suara. Segera ternjata, Lie It kena di desak. Biarpun ia liehay ilmu pedangnja, ia toh tjuma sanggup membela diri sadja. Pipa si orang tua luar biasa besar, maka itu pipa itu muat banjak tembakau melebihkan pipa2 lainnja, karena mana, meski mereka sudah bertempur lama, apinja pipa masih belum padam, sudah begitu, selagi berkelahi, si orang tua mendadak menjedot pipanja terus menjemburkan asapnja, hingga asap jang tebal berupa bagaikan mega, hingga Lie It sukar melihat tegas kernana perginja udjung hoentjwee. Dalam kagetnja, ia lantas menutup diri dengan melindungi pedangnja. Inilah djurus adjarannja Oet-tie Tjiong, untuk melindungi diri. Karena ini, berulangkali ia dapat menangkis totokan, hingga berulangkali djuga terdengar tang-ting-tong-nja sendjata, bentrokan hoentjwee dan pedang. Tengah Lie It repot itu, se-konjong2 si orang tua melompat mundur, keluar dari kalangan, sambil tertawa ter-bahak2, ia kata njaring.

   "Sudah tjukup sepuluh djurus! Tuan, kau benar liehay, kaulah orang gagah didjaman ini!". Lie It heran untuk sikap orang akan tetapi ia masuki pedangnja kedalam sarungnja, lantas ia memberi hormat seraja berkata.

   "Loo-enghiong, banjak terima kasih! Kau terlalu memudji! Sjukur kita tjuma main2 sepuluh djurus, djikalau lebih daripada itu, sungguh aku bukanlah lawan loo-enghiong ". Orang tua itu tertawa pula.

   "Tuan, harap kau djangan menjesalkan aku", katanja.

   "Kali ini kita bakal pergi ke kotaradja, disana kita bakal menghadapi orang2 gagah dari pelbagai pendjuru, karena kau turut dalam rombongan kami, walaupun kau bukan anggauta, kau toh termasuk kawan seperdjalanan djuga. Itulah sebabnja mengapa aku mendjadi berlaku lantjang mengudji kepandaianmu ". Baru sekarang Lie It mengerti kelakuan kasar orang tua ini, jang ia duga ada mendjadi ketua sebuah perkumpulan besar, djadi dia sungkan berdjalan ber-sama2 sembarang orang muda. Lamkiong Siang djuga baru mengerti kelakuan kasar si orang tua, ia menjusuti peluhnja dengan hatinja mendjadi lega, dengan girang ia berkata.

   "Djikalau saudaraku ini bukannja pintar iImu suratnja dan pandai ilmu silatnja, mana berani aku berdjalan ber-sama2 ia? Aku pertjaja sekarang toako telah dapat melegakan hatimu!". Lie It memberi hormat pada orang tua itu, jang membalasnja, lalu dia menanja.

   "Bolehkah aku mengetahui she dan nama besar dari loo-enghiong serta mengetahui djuga dimanaadanja perkumpulan loo-enghiong?". Lamkiong Siang mendahului orang itu menjahut dengan berkata.

   "Toakoku ini jalah Thia Pangtjoe dari Hok How Pang jang dulu hari berkenamaan di Tionggoan ". Mendengar itu, Lie It terkedjut dalam hatinja.

   "Djadinja dialah Thia Tat Souw ", pikirnja.

   "Sjukur anaknja tidak berada disini ". Anaknja Tat Souw itu jalah Thia Kian Lam jang dulu hari mentjoba merampas kitab ilmu pedang dari tangan Lie It, benar Lie It sudah menjamar, djikalau Kian Lam ada bersama, mungkin anaknja pangtjoe itu mengenali djuga padanja.

   "Harap kau tidak mentertawainja tuan ", berkata Tat Souw.

   "Hok Houw Pang telah didesak seorang wanita hingga dia mesti pindah ke tanah perbatasan ini ". Lie It heran.

   "Siapakah wanita itu jang demikian liehay?", ia tanja. Tat Souw mengertak gigi.

   "Dialah siluman satu2-nja jang pernah ada semendjak dulu kala!", katanja sengit.

   "Dialah si kaisar perempuan palsu Boe Tjek Thian dari Keradjaan Tjioe!". Boe Tjek Thian hendak membasmi segala perkumpulan orang Kang-ouw, katanja untuk menolong rakjat dari penindasan pelbagai perkumpulan itu, maka itu Hok Houw Pang jalah salah satu perkumpulan jang dibersihkan, karena tak dapat menaruh kaki lagi di Tionggoan, Tat Souw terpaksa pindah ke wilajah perbatasan ini. Lamkiong Siang hendak menumpang kepada Thia Tat Souw, pada tiga tahun dulu dia datang mentjarinja dan sekarang dia mendjadi hoe-pangtjoe, ketua muda dari partai itu.

   "Tuan Siangkoan ", berkata Tat Souw.

   "apakah tuan sekeluarga dengan Siangkoan Gie bekas menteri setia dari Keradjaan Tong?". Lie It mengaku she Siangkoan tjuma disebabkan ia ingat Siangkoan Wan Djie dan namanja, Bin, ia ambil dari nama anaknja, maka itu, atas pertanjaan ketua Hok Houw Pang ini, ia menjahut.

   "Dialah paman tua sepupuku ".

   "Djikalau begitu, tidak heran tuan pun menjingkir kemari ", kata Tat Souw. Walaupun ia mengatakan demikian dan hatinja sedikit lega, ketua Hok Houw Pang ini tidak lenjap antero ketjurigaannja terhadap Lie It. Inilah disebabkan sampai sebegitu djauh Lamkiong Siang belum pernah omong kepadanja bahwa ketua muda itu mempunjai saudara asal keluarga Siangkoan. Maka itu, lantas ia menanjakan lain2 hal lagi, jang mana didjawab dengan hati2 oleh Lie It. Hingga tidaklah rahasia pangeran ini botjor. Malam itu selagi menginap di padang rumput, Tat Souw bitjara tak hentinja dengan kenalannja jang baru, ia membitjarakan tentang ilmu silat, sampai djauh malam, ia tidak nampak letih atau ngantuk. Tengah bergembira itu, mendadak ia tanja. ,,Tuan, pedangmu pedang mustika, dapatkah aku memindjam lihat?". Sebenarnja Lie It tidak setudju mengasi pindjam lihat pedangnja itu akan tetapi guna melenjapkan kctjurigaan orang, ia meloloskan djuga dan menjerahkannja. Tat Souw menjambuti untuk segera menghunus pedang itu, hingga ia melihat sinar berkelebat menjilaukan matanja, kemudian ia menjentil perlahan pada pedang itu, hingga ia mendengar suara njaring-halus umpama kata alunan nada.

   "Sungguh sebuah pedang jang bagus, pedang jang bagus!", ia memudji.

   "Pantaslah hoentjweeku kena terpapas sedikit!"

   Ia terus membuat main, sampai mendadak dia kata keras.

   "He, inilah seperti pedang dari istana radja!". Ia mengatakan demikian karena ia melihat ukiran tiga huruf "Tjin Ong Hoe"

   Artinja istana Pangeran Tjin. Dan "Pangeran Tjin"

   Atau "Tjin-ong", jalah gelaran pangeran dari Kaisar Lie Sin Bin sebelum dia naik atas tachta-keradjaan. Djadi, andaikata pedang itu bukan pedangnja Lie Sin Bin toh mestinja asal dari dalam istana radja. Akan tetapi Lie It telah memikirkan hal itu.

   "Tidak salah,"

   Sahutnja tjepat.

   "Pedang ini dihadiahkan oleh Sri Baginda Thay Tjong kepada pamanku sepupu itu. Pada suatu hari Sri Baginda mengadakan perdjamuan dipendopo Tjoen Hoa Tian, diantaranja diadakan pertundjukan pedang, ketika ditanjakan tentang sjair, pamanku itu dapat mendjawab dengan bagus, lantas Sri Baginda menghadiahkan pedang ini, jang belakangan dihadiahkan padaku sebab aku gemar ilmu silat."

   Siangkoan Gie seorang menteri, pantas kalau radja menghadiahkan sesuatu padanja, hanja Thia Tat Souw heran, kenapa menteri itu dihadiahkan pedang sedang dialah menteri sipil, walaupun benar ketika itu telah diadakan djuga pembitjaraan tentang pedang.

   Maka itu hal ini mendjadi soal jang mentjurigai.

   Lie It dapat melihat roman orang jang bertjuriga itu, hatinja mendjadi kurang tenang.

   Disaat ia hendak menjimpan pedangnja itu, mendadak Thia Tat Souw menegur bengis.

   "Siapa diluar tenda?". Belum berhenti teguran itu, atau "Bret...!!!", maka petjahlah kain tenda, disusul bentakan.

   "Kamu tiga pengkhianat jang hendak menakluk kepada bangsa Tatar, kamu makanlah golokku!", lalu disusul pula samberannja tiga batang hoei-too, atau golok terbang. Lie It berlaku sebat, dengan tabasan pedangnja ia membikin golok-terbang jang terbang kearahnja itu mendjadi kutung dua. Lamkiong Siang sebaliknja berkelit. Tapi Thia Tat Souw hendak mempertontonkan ilmu sentilannja, dengan satu sentilan, ia membuat hoei-too jang menjerang kepadanja mental balik keluar, menjerang kepadasi penjerang sendiri!.

   "Rupanja pesuruh Boe Tjek Thian!", kata Tat Souw tertawa dingin.

   "Lamkiong Siang, kau tolongi aku membekuk dia!". Belum lagi Lamkiong Siang menjahuti atau memburu keluar, penjerang itu sudah menerobos masuk, dengan goloknja dia mendahulukan menjerang padanja. Ia lantas berkelit sambil mendak, sambil sebelah tangannja diulur guna menjambuti lengan si penjerang, buat ditangkap dan dipentjet nadinja. Penjerang itu liehay, gesit gerak-geriknja, dengan gampang ia menjelamatkan lengannja, terus ia menjerang pula, beruntun hingga tiga kali. Tat Souw lantas berseru.

   "Pergi kamu bertempur diluar tenda! Djangan kamu mengganggu aku si orang tua!". Sambil berkata begitu, dua kali ia menjerang dengan Pek-khong-tjiang, jalah Pukulan Udara Kosong. Anginnja serangan istimewa ini membuat penjerang itu terhujung, hingga dia mendjadi kaget, didalam hatinja dia kata.

   "Ini ketua Hok Houw Pang benar2 liehay, dia bukannja bernama kosong!"

   Segera dia melompat keluar, guna menjingkir dari dalam tenda.

   Sekarang Lie It dan Lamkiong Siang telah mengenali si penjerang ini.

   Dialah Pek Goan Hoa dari tangsi wiesoe Sin Boe Eng.

   Dialah jang dulu memperdajakan Lie It dengan berpura-pura menentang Tjek Thian.

   Memang dia liehay sekali ilmu golok terbangnja, djauh terlebih liehay daripada si dua saudagar Khorezmia.

   Bagus ja ..., Pek Goan Hoa, botjah!", seru Lamkiong Siang.

   "Aku memang lagi mentjari kau untuk membuat perhitungan! Kau djusteru melemparkan dirimu sendiri kedalam djaring!". Sembari berseru itu, ia memburu keluar, tangannja meloloskan tjambuk jang melilit pinggangnja, untuk dengan itu melakukan penjerangan, sedang tangannja jang lain memegang golok. Pertarungan lantas mendjadi seru. Mereka berdua seimbang keulatannja. Selagi bertempur itu Pek Goan Hoa berseru.

   "Saudara Tjin, lekas! Si djahanam Lamkiong Siang ada disini!"

   Ketika itu Thia Tat Souw dan Lie It sudah keluar dari tenda, untuk menjaksikan pertempuran itu. Ketua Hok Houw Pang itu, dengan tertawa dingin, berkata.

   "Kami kaum Hok Houw Pang telah pindah ke tanah perbatasan ini, itu tandanja bahwa kami telah merasa takut terhadap kau, siluman perempuan! Maka kenapakah kau masih tidak mau melepaskan kami? Kenapa kau masih menjusul kami ketempat djauh laksaan lie ini? Baiklah, sekarang hendak aku lihat, siapa2 jang perintahkan kau datang menjusul hingga disini dan berapa tinggi kepandaiannja?". Dengan kata-kata "siluman perempuan"

   Itu, Tat Souw mentjatji Boe Tjek Thian. Diam2 Lie It tertawa didalam hatinja menjaksikan lagaknja Thia Tat Souw ini. Dia mentjatji seperti djuga dia bitjara sama Boe Tjek Thian jang berada didepannja. Ia berkata didalam hati.

   "Meski benar Boe Tjak Thian telah merampas negaraku, dia benar seorang wanita jang pintar dan pandai, sekarang Thia Tat Souw mentjatjinja sebagai siluman, itulah terlalu!". Pek Goan Hoa telah memanggil tetapi kawannja tidak lantas muntjul, sedang begitu, Lamkiong Siang mulai beraksi. Dengan goloknja, dia mendjaga dirinja rapat2, dengan tjambuknja, dia menjerang hebat. Pembelaan dirinja itu membikin lawan tidak berdaja mentjelakai padanja. Setjara demikian, selang dua puluh menit, ketua muda Hok Houw Pang itu mendjadi lebih unggul sedikit. Biar bagaimana, permainan silat Pek Goan Hoa tidak mendjadi katjau. Menjaksikan djalannja pertempuran itu, Thia Tat Souw mengerutkan alis.

   "Heran, mengapa Lamkiong Siang tidak dapat lantas membereskan binatang ini?", katanja dalam hati. Ketika itu terdengar lari mendatanginja seekor kuda dipadang rumput. Ketika Pek Goan Hoa mendengar itu, mendadak dia berseru, mendadak dia membatjok. Lamkiong Siang terkedjut untuk menjingkirkan diri. Ia mendjadi panas hatinja.

   "Kemana kau hendak kabur?", bentaknja sambil menjusul, dengan tjambuknja ia menjerang, hingga ia mengenai udjung badjunja musuh. Mendadak Pek Goan Hoa berseru.

   "Kena !", sambil berseru, ia menjerang ke belakang, hingga tiga batang golok-terbangnja lantas terbang menjamber. Lamkiong Siang tidak menjangka orang menggunai akal, dalam kaget dan repotnja itu, ia menahan diri, untuk bergerak dalam sikap "Tiat poan kio"

   Atau 'Djembatan Besi', tubuhnja melenggak lempang kebelakang.

   Ketiga golok-terbang menjamber saling-susul, jang dua lewat, jang satunja memapas djuga.

   sedikit kulit djidatnja! Lie it terkedjut, ia menjangka Lamkiong Siang bakal bertjelaka, tapi ketika itu ia mendengar suara tertawa jang tadjam, disusul sama roboh bergedebuknja sebuah tubuh manusia, atau dilain saat ia mendapatkan, bukan sahabatnja jang roboh itu hanja Pek Goan Hoa si djago tangsi Sin Boe Eng.

   Sebab Thia Tat Souw telah menjentilkan sebutir thie-lian- tjie, teratai besinja, menimpuk-menotok djalan darahnja djagonja Boe Tjek Thian itu.

   Tepat di itu waktu, tibalah si penunggang kuda.

   Dialah seorang usia pertengahan, jang tubuhnja kekar, belum lagi kudanja berhenti betul, tubuhnja sudah berlompat dari atas punggung kudanja, melajang bagaikan gerakan "It-ho- tjiong-thian"

   Atau "Seekor burung ho menjerbu langit". Dia berlompat untukmenjerang Lamkiong Siang. Lie It terkedjut melihat serangan orang itu. Ia mengenali tipu silat "Eng-kie-tiang-khong"

   Atau "Garuda menjerang udara kosong", salah satu tipu silat dari Tiangsoen Koen Liang, mertuanja.

   Itulah ilmu silat pedang partai Ngo-bie-pay.

   Sedang penjerang itu bukan lain daripada kakaknja Tiangsoen Pek, jalah Tiangsoen Tay, atau anak sulung dari Tiangsoen Koen Liang.

   Lie It heran bukan main.

   Inilah ia tidak pernah menjangka.

   Menurut keterangan Tiangsoen Pek, isterinja, selama pertempuran dikaki gunung Lie San, dimana mereka ajah dan anak-anak bertemu Ok Heng-tjia dan Tok Sian-lie, Tiangsoen Tay sudah terhadjar tok-tjiang, jaitu tangan beratjun, dari Ok Heng-tjia, serta terkena djuga djarum beratjun dari Tok Sian-lie, kemudian Tiangsoen Tay menubruk Ok Heng-tjia hingga mereka berdua mati bersama.

   Hingga dimata Tiangsoen Pek, si adik, kakaknja itu sudahlah mati.

   Kenapa dia masih hidup dan sekarang muntjul disini? Pula jang aneh, keluarga Tiangsoen itu membentji Boe Tjek Thian dan Pek Goan Hoa ini orangnja ratu itu jang hendak menawan Lamkiong Siang, kenapa sekarang Tiangsoen Tay ada bersama Pek Goan Hoa dan djusteru memusuhkan Lamkiong Siang, membantui Pek Goan Hoa itu?.

   ---oo0oo--- BENTROKAN telah lantas terdjadi.

   Lamkiong Siang telah menangkis serangan dahsjat itu.

   Sebagai kesudahannja, Lamkiong Siang kaget sekali.

   Goloknja telah kena dibikin rusak.

   Tapi, dalam kagetnja, ketua muda Hok Houw Pang ini berseru dengan tegurannja.

   "Eh, kau toh saudara Tiangsoen?". Ketika Tiangsoen Koen Liang membantu kaisar Tong Thay Tjong, ajahnja Lamkiong Siang jalah orang sebawahannja, sedang ketika Tiangsoen Koen Liang mengadjak putera dan puterinja menjambut Lie It dikaki gunung Lie San, pembantu mereka jalah Lamkiong Siang ini. Maka itu heranlah Lamkiong Siang atas datangnja Tiangsoen Tay.

   "Lamkiong Siang!", Tiangsoen Tay berkata. Ia bukannja menjahuti hanja membentak.

   "Mengingat perhubungan baik diantara kita kedua keluarga, mari kau turut aku kembali ke Tiang-an, nanti aku mengadjukan permintaan ampun untukmu kepada Thian-houw!". Lamkiong Siang heran hingga ia tidak mau pertjaja telinganja.

   "Apa?", tanjanja.

   "Minta ampun dari Thian-houw? Apakah kau ..., kau telah menakluk kepada Thian-houw ?".

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sesuatu orang ada tjita2-nja sendiri!", berkata Tiangsoen Tay, mendjawab bukannja mendjawab.

   "Djikalau kau suka menakluk kepada Boe Tjek Thian, itulah urusanmu sendiri, tidak dapat aku mentjampur tahu, akan tetapi kalau kau hendak menakluk kepada Khan Turki, maka tidak dapat aku berdiam sadja! Sekarang ada dua djalan untuk kau pilih! Jang pertama jalah dengan djasa kau menebus dosamu, jaitu kau tolong aku membekuk ini tua-bangka buat digiring pulang ke Tiang-an. Jang lainnja jalah kau ikut terus tua-bangka ini, kita berdua saudara putus hubungan kita, lantas dengan mengandal sendjata ditangan kita masing2, kita melakukan pertempuran mati-hidup jang memutuskan !". Dengan si "bangsat tua"

   Itu, Tiangsoen Tay maksudkan Thia Tat Souw, maka ketua Hok Houw Pang itu lantas tertawa berkakak. Dia berkata njaring.

   "Anak muda tidak tahu apa2 ! Kau omong besar! Baiklah, Lamkiong Siang, kau boleh memilih! Djikalau kau suka turut perkataan dia, maka ber-sama2 dia kau madjulah! Djikalau kau turut aku, mari kita bersama membunuh dia!". Lam-kiong Siang djeri terhadap Thia Tat Souw, dibawah tekanan ketuanja itu, ia tidak berani tidak mendengar kata. Ia pernah mentjoba membunuh Boe Tjek Thian, ia pun bersangsi ratu itu nanti suka memberi ampun padanja. Disamping itu, minatnja menghamba kepada Khan Turki bukanlah minat baru, maka itu, kata2-nja Tiangsoen Tay sedjenak itu sukar menggeraki hatinja hingga ia dapat mengubah pikiran. Maka itu, setelah berdiam sedetik, ia mengertak gigi dan berkata dengan keras.

   "Thia Toako, pasti aku turut kau!". Kata2 ini disusuli sama gerakan goloknja. Tiangsoen Tay mendjadi gusar sekali, dengan sebat ia berkelit dari batjokan itu, setelah berkelit, ia membalas menjerang, udjung pcdangnja meluntjur ke dada bekas kawan itu. Ia pun berseru.

   "Baiklah! Kau kesudian membantu orang djahat, djangan kau sesalkan djikalau aku berlaku tidak mengenal kasihan lagi!". Lantas penjerangan itu disusuli ulangannja beberapa kali. Lie It bimbang sekali. Kedjadian itu sungguh diluar dugaannja. Tengah ia bingung itu, telinganja mendengar suaranja Thia Tat Souw.

   "Saudara Siangkoan, aku lihat ilmu pedangnja botjah itu bukan sembarang ilmu, Lamkiong Siang bukanlah lawannja, tetapi dipadu dengan kau, dia masih kalah unggul!". Tidak usah didjelaskan lagi, kata2 itu jalah andjuran untuk Lie It madju membantui Lamkiong Siang.

   "Thia Pangtjoe terlalu memudji", berkata Lie It, berlagak piIon. Melihat orang tidak niatnja turun tangan, ketjurigaannja TatSouw bertambah. Selagi begitu, pertempuran sudah berlangsung terus. Tidak lama atau satu suara njaring terdengar. Itulah suara goloknja Lamkiong Siang kena ditabas kutung pedang lawannja, hingga dia sekarang tjuma bisa melawan dengan tjambuknja. Tiangsoen Tay masih mendesak, sampai ia berseru.

   "Redjeki dan bentjana itu tidak ada pintunja, tinggal si orang sendiri jang mentjarinja, maka itu, Lamkiong Siang, apakah kau masih belum sadar?"

   Pertanjaan ini disusuli tikaman ke arah tenggorokan, dengan tikaman "Bintang2 mengambang".

   Tiangsoen Tay hendak menjerukan pula, untuk lawannja menjerah, ketika mendadak ada segumpal asap hitam jang menghembus kearahnja, berbareng dengan mana, Lamkiong Siang berlompat mundur.

   Pedangnja itu seperti selam didalam asap.

   Lalu ia mendengar suaranja Thia Tat Souw.

   "Aku nanti membikin kau mengenal kepandaianku si orang gila!". Tiangsoen Tay tabah hatinja, ia tidak mendjadi kaget. Dengan sebat ia menangkis. Kedua sendjata, hoentjwee dan pedang, beradu keras, suaranja njaring. Tiangsoen Tay kalah tenaga-dalam, meski ia dapat menangkis, ia merasai telapakan tangannja sakit dan kesemutan. Thia Tat Souw heran. Ia sangat pertjaja ilmu totoknja, ia ingin merobohkan orang dalam satu gebrak sadja, ia tidak menjangka, serangannja itu dapat digagalkan. Karena ini, ia tidak berani memandang enteng lagi. Lantas ia mengulangi penjerangannja. Tiangsoen Tay kena didesak, hingga ia repot membela dirinja. Tapi ia tidak takut, ia tidak mau menjerah. Ia melawan dengan menggunai kesebatannja. Masih ia terdesak tetapi ia tidak sampai menjerahkan dirinja kena ditotok. Lagi2 Tat Souw menggunai asapnja jang tebal itu. Dia menjedot hoentjweenja dan menghembuskan itu. Lalu dia tertawa dan berkata.

   "Ilmu pedangmu bukan sembarang ilmu tetapi sukar untuk kau menjambutku sepuluh djurus!". Tiangsoen Tay takut nanti kena diakali, ia lompat ke kepala angin, disitu ia menutup dirinja. Thia Tat Souw membuktikan kata2-nja. Dia madju untuk menghampirkan lawannja itu, tjepat bergeraknja, baru Tiangsoen Tay menarik kaki, dia sudah sampai, hoentjweenja lantas menotok. Karena dia menjusul, dia menotok punggung. Tiangsoen Tay berkelit, sambil berkelit ia terus memutar tubuh, pedangnja ditabaskan kebelakang. Itulah tangkisan , berbareng serangan jang dinamakan "Menuang uang emas". Pedangnja berkilauan.

   "Tiga!"

   Thia Tat Souw berseru dan dia madju pula dengan totokannja. Dia mengarah djalandarah hoen- boen-hiat dibawahan rusuk. Sambil menjerang itu, dia menjemburkan asap pipanja! Lie It menonton terus.

   "Baru berpisah delapan tahun, njata Tiangsoen Tay sudah madju djauh ", ia berpikir.

   "Tapi tentu sekali sukar dia melawan sampai sepuluh djurus ...". Untuk ilmu totok, Thia Tat Souw seorang djago nomor satu di Tionggoan. Selama belum masuk usia lima puluh tahun, sendjatanja jalah tiam- hiat-koat, sendjata peranti menotok, jang padjangnja tiga kaki enam dim, djauh lebih pandjang daripada sendjata totokan lain2 orang, lalu selewatnja umur lima puluh, ia menukar sendjatanja itu dengan hoentjweenja, pipanja jang ia buatnja dari besi, pandjangnja tetap sama. Sendjata ini djadi dapat digunai berbareng sama asapnja, guna membikin sulit mata lawan. Tiangsoen Tay liehay ilmu pedangnja tetapi diganggu oleh semburan2 asap, selandjutnja ia mendjadi repot sekali. Demikian satu kali, waktu ia menikam dengan sia2, segera ia berlompat mundur. Inilah siasat 'madju untuk mundur'. Hanja diluar dugaannja, Tat Souw menjusul sambil berteriak.

   "Kemana kau hendak lari?". Tubuhnja djago tua itu melesat, lalu dari tinggi, dia menghadjar dengan pipanja jang pandjang itu! Kala terkena, tjelakalah Tiangsoen Tay jang sudah terdesak itu. Tepat disaat sangat berbahaja untuk iparnja itu, Lie It melompat madju, dengan pedangnja ia menangkis hoentjweenja ketua Hok Houw Pang, atau partai 'Menaklukkan Harimau' itu.

   "Eh, kau bikin apa?", tanja Tat Souw membentak. Berbareng dengan itu, kakinja Tiangsoen Tay lemas. Sebab meskipun benar totokan hoentjwee ketua itu gagal tetapi udjung kakinja berhasil menendang, menotok dengkulnja bagian dalam, diajalan darah pek-sie-hiat. Lie It kaget untuk menjaksikan liehaynja ketua Hok Houw Pang ini.

   "Thia Pangtjoe", ia berkata.

   "Bukankah lebih baik membiarkan mulut jang hidup daripada jang mati?". Lamkiong Siang hendak mem-bantui Lie It, maka ia turut berbitjara.

   "Harap toako ketahui", katanja.

   "dia ini jalah puteranja Tiangsoen Koen Liang! Aku pikir tidak ada halangannja untuk kita membiarkan dia hidup, guna mendengar keterangannja ".

   "Baiklah ", kata Tat Souw.

   "Kau ringkus dia dan bawa kedalam tenda!". Lamkiong Siang menurut, ia menelikung Tiangsoen Tay, buat digiring masuk ke dalam tenda mereka. Thia Tat Souw mengisi pula pipanja, ia menjedot beberapa kali.

   "Benarkah kau anaknja Tiangsoen Koen Liang?", kemudian ia tanja Tiangsoen Tay. Ia tertawa dingin. Sebenarnja orang tawanan itu sudah memikir untuk menutup mulut, akan tetapi mendengar disebutnja nama ajahnja, hatinja mendjadi panas.

   "Bangsat tua, kau berani menghinaajanku?", ia membentak, matanja melotot.

   "Ah, kau tahu ada ajahmu?", kata Tat Souw, kembali tertawa dingin.

   "Hmm ...! Hmmm ...! Kau sendiri jang membuat malu pada lelunurmu! Kau tahu, aku Tat Souw, aku paling menghormati Tiangsoen Taydjin!".

   "Tjara bagaimana aku membuat malu leluhurku?".

   "Bukankah Tiangsoen Taydjin menjintai Keradjaan Tong untuk seumur hidupnja?", Tat Souw membaliki.

   "Maka aku tidak menjangka dia bolehnja mempunjai kau turunan jang tidak berbakti!".

   "Kenapa aku tidak berbakti?", Tiangsoen Tay gusar tidak kepalang.

   "Ajahmu bermusuh dengan Keluarga Boe dari Keradjaan Tjioe, dia tidak mau hidup bersama! Kenapa sekarang kau djusteru tak segan mendjadi budaknja Boe Tjek Thian? Apakah itu bukannja tak berbakti ?". Tiangsoen Tay djudjur, diperlakukan demikian, ia tidak dapat tidak mengatakan hal jang sebenarnja tidak ingin ia menjebutkannja.

   "Bangsat tua, kaulah kawannja musuh ajahku, bagaimana kau masih mempunjai muka tebal untuk menghargai ajahku? Ajahku itu bukan tjuma menteri setia dari Keradjaan Tong, dia pun pembela negara dan rakjat! Kau sendiri, binatang, kau hendak menghamba kepada Khan Turki! Djikalau ajahku ketahui perbuatan kau ini, pasti kau tidak bakal diberi ampun!". Tat Souw kembali tertawa dingin.

   "Djikalau ajahmu masih hidup, dia pasti akan menghadjar adat padamu! Sajang kita tidak dapat mengasi dia bangun dari dalam tanah, untuk tanja pikirannja, hingga sekarang kau dapat mengatjo-belo! Tapi baiklah kita menunda hal ini. Barusan kau bilang akulah kawannja musuh ajahmu, apakah alasanmu ?". Tiangsoen Tay sendiri mendjadi putjat mukanja dan menggigil tubuhnja.

   "Apa?", katanja.

   "Apakah ..., apakah ajahku sudah meninggal dunia?".

   "Tidak salah !", mendjawab Tat Souw, tetap dingin.

   "Tiangsoen Taydjin sudah menutup mata pada delapan tahun jang lampau!. Dan dia dibinasakan oleh pengawalnja Boe Tjek Thian! Dia mati didjalan Kam- Liang-Too. Djikalau dia tidak sudah mati, dia pun tentu bakal pergi menghamba kepada khan Turki!". Tiangsoen Tay mengertak gigi, ia menahan turunnja air matanja. Ia angkat kepalanja, dongak kelangit.

   "Ajah!", ia mengeluh.

   "bagaimana sengsara kau meninggalkan dunia ini! Kau kena orang kelabui, sampai pada saat kematianmu, kau masih belum tahu musuhmu orang matjam apa ...!". Hati Lie It terkesiap. Pikirnja.

   "Kiranja Thia Kian Lam itu sudah memberitahukan ajahnja tentang perbuatannja memegat kereta djenazah mertuaku dan pertjobaannja merampas kitab pedang mertuaku itu, sjukur sekarang aku menjamar, Tat Souw mendjadi tidak mengenali aku. Hanja Tiangsoen Tay, apakah maksudnja perkataannja itu ?". Tiangsoen Tay masih mengeluh seorang diri. Katanja pula.

   "Ajah, dimasa hidup ajah, ajah tidak tahu sebabnja kenapa Ok Heng-tjia bersama Tok Sian-lie, kedua hantu itu, hendak menurunkan tangan beratjun membinasakan ajah! Ajah menduga Boe Tjek Thian mengirim orang untuk membunuh ajah, tidak tahunja itulah perbuatan musuh Boe Tjek Thian, jang telah mengatur tipu busuknja! Mereka sengadja mau pakai nama Thian-houw mentjelakai ajah, supaja dengan begitu ajah tetap membentji Thian-houw ! Begitulah paling belakang, Thian Ok Toodjin, sang guru sampai diundang untuk mentjelakai ajah! Perbuatan itu jalah perbuatan satu tangan jang mentjelakai putera mahkota, maka sajang, ajah tetap tidak mengetahuinja ...".

   "Semua otjehan belaka!", seru Tat Souw dingin. Sebaliknja, Lie It mempertjajai kata2 Tiangsoen Tay itu.

   "Semua ini tentulah Tiangsoen Tay mengetahuinja sesudah dia menghamba kepada Boe Tjek Thian ", pikir pangeran ini.

   "Hanja, mengapa dia dapat mempertjajai perkataannja Boe Tjek Thian itu ?". Lie It masih berpikir ketika ia mendengar kata2-nja Tiangsoen Tay lebih djauh.

   "Bangsat tua she Thia, beranikah kau membilang bahwa kau bukannja kontjo dari Thian Ok Toodjin ? Thian Ok Toodjin itu, bersama Biat Touw Sin-koen dan kambratnja, sudah mengumpulkan segala manusia murtad, mereka hendak sama2 pergi menghamba pada Khan Turki! Tentang itu, dari siang2 Thian-houw telah mengetahuinja djelas sekali! Thian-houw bilang, djikalau kamu menentang dia, kamu masih mempunjai alasanmu, kamu dapat dimaafkan, tetapi djikalau kamu pergi menghamba kepada bangsa asing, itulah dosa besar, tak berampun! Lamkiong Siang, aku tidak sangka sekali, kau djuga kena dipermainkan mereka! Djikalau kamu tidak lekas2 mengubah perbuatan sesat dari kamu ini, nanti kamu menjesal sesudah terlambat!". Thia Tat Souw mendjadi gusar sekali.

   "Sampai kau mampus kau masih belum sadar!", teriaknja.

   "Kau membaliki ajahmu, kau menakluk kepada musuh! Kau telah mendjual sahabat, untuk mentjari kemuliaan sadja! Kau pun berdosa tak berampun! Nah, kau rasailah tanganku ini!". Djago tua itu mengangkat tangannja, diarahkan kebatok kepala Tiangsoen Tay, dikasi turunnja setjara ajal2-an. Tiangsoen Tay tidak takut, bahkan dia tertawa dingin.

   


Pendekar Baja -- Gu Long Bara Naga Karya Yin Yong Imbauan Pendekar -- Khu Lung

Cari Blog Ini