Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 12


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 12



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Waktu Hui-ang-kin menegasi orang, ia lihat muka orang ini terdapat codet bekas luka dan daun kupingnya tinggal sebelah.

   Kiranya orang ini termasuk dua laki-laki yang ikut datang bersama Ce Cin-kun tadi.

   Ilmu silat orang ini meski lebih lemah daripada Hui-ang-kin, tapi untuk 8-10 jurus ia masih bisa bertahan dan sementara itu kembali Ce Cin-kun sudah memburu datang.

   "Kau mundur, Tong-lok!"

   Terdengar Cin-kun meneriaki laki-laki codet itu, menyusul kedua pedangnya diputar kencang pula dan Hui-ang-kin dapat dikurung lagi di bawah sinar pedangnya.

   Tadi Ce Cin-kun tergetar mundur oleh pecut Hui-ang-kin disaksikan orang banyak, ia merasa marah luar biasa.

   Sekali ini tipu-tipu serangannya bertambah hebat dan makin keji.

   Sebaliknya insyaf susah lagi hendak meloloskan diri, Hui-ang-kin pun menjadi nekad dan menempur orang mati-matian.

   Maka seketika sinar pedang diselingi bayangan pecut yang sambarmenyambar hingga debu pasir beterbangan, tampaknya menjadi seru dan sengit luar biasa.

   Tak lama kemudian Huiang- kin mulai mandi keringat.

   Betapapun juga ia seorang perempuan, tenaganya kalah besar dan merasa payah.

   Dan selagi ia bermaksud mengunjuk tipu-serangan 'Sin-mo-toatbeng' atau malaikat elmaut mencabut nyawa, semacam ilmu silat yang paling lihai dari perguruannya untuk gugur bersama musuh.

   Mendadak didengarnya ada teriakan orang.

   "Hantoako, kau pergi mencabut jenggot tua bangka itu, aku akan menagih hutang dulu."

   Mengenali suara itu, Hui-ang-kin girang sekali.

   Segera dilihatnya dari atas suatu pohon besar bagai burung cepatnya tiba-tiba melayang turun tiga bayangan orang.

   Yang pertama dikenalnya sebagai Han Cipang, yang tengah ialah Leng Bwe-hong, dan yang paling belakang adalah seorang pemuda baju kuning yang tak dikenalnya.

   Sementara itu dengan langkah sempoyongan bagai orang mabuk, cepat sekali Han Ci-pang menerjang ke dalam kalangan pertempuran.

   Ketika Ce Cin-kun menyambut kedatangannya dengan sekali babatan dan menduga sekaligus pasti akan membuat Ci-pang terkurung menjadi dua.

   Siapa duga serangannya ternyata mengenai tempat kosong, gerak tubuh Han Ci-pang ternyata aneh luar biasa dan entah cara bagaimana telah menghindarkan serangan Ce Cin-kun itu.

   Keruan Ce Cin-kun tercengang seketika, dan kesempatan itu telah digunakan Han Ci-pang untuk mendahului dua kali serangan aneh yang belum pernah dilihat Cin-kun, ia bermaksud menarik pedangnya untuk mencegat, tapi serangan Hui-ang-kin harus dilayaninya juga.

   Maka tak ampun lagi, segera terdengar suara "plak-plok"

   Dua kali, kedua pipinya telah kena ditempeleng orang.

   Cepat Cin-kun balas menyikut, tapi luput, sebaliknya dagunya lantas terasa sakit pedas, ternyata jenggotnya yang memutih perak tahu-tahu telah dibubut orang secomot.

   Tatkala itu Leng Bwe-hong sedang menempur laki-laki yang memakai senjata golok dan pedang itu, tapi matanya selalu melirik ke arah Han Ci-pang, kini demi nampak kawannya sudah berhasil, segera ia berseru.

   "Nah, sudah cukup, lekas mundur!"

   Siapa tahu Han Ci-pang masih belum puas.

   "bluk", kembali ia gebuk punggung orang sekali. Tapi sekali ini ia betul-betul kebentur batu, tempat yang terpukul olehnya ternyata seperti papan baja hingga tangannya terasa sakit tidak kepalang dan lecet, hampir saja ia menjerit. Baiknya gerak tubuhnya yang aneh itu bisa lantas mengundurkan diri dari kalangan pertempuran itu, begitu pula Hui-ang-kin mengayun pedangnya juga pura-pura menyerang untuk melindungi sang kawan. Sekalipun amat gusar dan mendongkol, Ce Cin-kun tetap tak berdaya, ia menjadi jeri oleh cara menyerang Han Ci-pang tadi hingga tak berani mengejar. Kiranya hari itu setelah Leng Bwe-hong berpisah dengan Han Ci-pang, ia lantas datang ke rumah Ciok Cin-hui dan bertemu dengan para pahlawan yang tentu saja semuanya menjadi girang. Tapi masih tak bisa mendapatkan daya upaya yang baik untuk menolong Ie Lan-cu meski sudah dirunding bersama.

   "Tidak sedikit jago kelas tinggi yang menjaga penjara, tapi musuh tampaknya masih kuatir, kabarnya kemarin telah mendatangkan lagi si tua bangka she Ce pencipta Hong-lui-kiam itu,"

   Demikian Ciok Cin-hui memberitahukan kawan-kawannya.

   Mendengar nama Ce Cinkun disebut, yang tak kenal tak mengapa, tapi Leng Bwe-hong menjadi terkejut.

   Ketika masih di Thian-san, pernah Bwe-hong mendengar cerita Suhunya tentang Ce Cin-kun.

   Kata sang guru 'Hong-lui-kiam-hoat' Ce Cin-kun berdiri sendiri, meski tidak sebagus Thian-san-kiam-hoat kita, tapi tak boleh dipandang enteng juga.

   Pula ilmu pedang harus diikuti dengan keuletan berlatih, makin masak melatih diri, ilmu pedangnya pun semakin hebat.

   Dan sebelum ia turun gunung, gurunya telah menceritakan juga tentang berbagai cabang ilmu pedang pada zaman itu, katanya.

   "Ilmu pedangmu sekarang ini bila dilatih lagi sepuluh tahun mungkin tiada tandingannya lagi. Tapi kalau menurut keadaan tenagamu sekarang, maka Pho Jing-cu dari Bu-kek-pay dan Ciok Cin-hui punya 'Liap-kunkiam- hoat' kira-kira seimbang kekuatannya denganmu, sedang 'Hong-lui-kiam-hoat' dari Ce Cin-kun masih sedikit lebih tinggi darimu, maka kalau bertemu dia, hendaklah kaugunakan kebagusan ilmu pedangmu untuk menambal kekurangan keuletanmu."

   Habis itu sang guru memberi petunjuk beberapa jurus kiam-hoat yang bagus lagi padanya. Karena itulah, Leng Bwe-hong menghitung dirinya sudah hampir sepuluh tahun turun gunung, kini mendengar datangnya Ce Cin-kun, diam diam ia berpikir.

   "Selama sepuluh tahun ini aku yakin keuletanku sudah jauh lebih tinggi daripada waktu turun gunung, tapi entah betapa hebat orang tua ini? Dan bila Suhu bilang dia adalah seorang lawan tangguh, harus juga aku berlaku sedikit hati-hati."

   Dan karena menduga Hui-ang-kin pasti pergi ke Onghu lagi untuk mendesak Onghui suka berdaya menolong Ie Lan-cu, maka lekas ia mengajak Kui Tiong-bing ke Se-san, tapi di tengah jalan malah bertemu Han Ci-pang yang keluar mencari Hui-ang-kin, maka mereka bertiga lantas menyusul masuk ke Onghu.

   Di tengah jalan Leng Bwe-hong bertanya pada Ci-pang darimana ia mendapat belajar tipu pukulan aneh itu, dan secara terus terang Ci-pang menceritakan pengalamannya.

   Tentu saja Bwe-hong ikut bergirang dan menghaturkan selamat atas penemuannya yang aneh.

   "Tapi sayang waktu itu tak lengkap kupelajari semua, pula kitab itu telah digondol lari juga oleh seorang aneh,"

   Demikian kata Ci-pang menghela napas menyesal.

   Tatkala itu mereka sudah dekat Onghu, maka Bwe-hong tak sempat bertanya kenapa Ci-pang tak lengkap mempelajarinya dan kehilangan kitab itu.

   Ketika dengan Ginkang yang tinggi mereka bertiga, Leng Bwe-hong, Han Ci-pang dan Kui Tiongbing, melayang ke atas sebuah pohon besar dan memandang ke bawah, kebetulan di Jilat mereka Hui-ang-kin lagi bertempur dengan Ce Cuwkun dengan sengit.

   Walaupun Leng Bwe-hong tak kenal Ce Cin-kun, tapi melihat ilmu pedangnya serupa dengan Khu Tong-lok yang pernah dikenalnya, malahan jauh lebih lihai.

   Pula Khu Tong lok dilihatnya juga berada di situ menanti kesempatan.

   Kemudian dilihatnya pula Hui-ang-kin terdesak musuh, maka ia menduga orang tua ini pasti Ce Cin-kun adanya.

   Saat itu juga sebenarnya ia bermaksud melompat turun buat mengukur siapa unggul atau asor dengan Ce Cin-kun, tapi setelah dipikir ia coba bersabar lagi.

   Setelah menyaksikan lagi tak lama, teringat olehnya Cipang memiliki beberapa jurus ilmu pukulan aneh yang dapat digunakan untuk menggertak musuh, maka diam-diam ia memberi petunjuk pada Ci-pang cara bagaimana turun tangan agar bisa menghilangkan perbawa Ce Cin-kun dan melenyapkan lagak sombongnya.

   Ci-pang menurut petunjuk itu dan betul juga Ce Cin-kun kena ditempelengnya dua kali, bahkan jenggotnya kena dibubut juga.

   Habis ini ia masih belum kenal kelihaian orang dan mencoba menggebuk lagi punggung Ce Cin-kun sekali, tapi tangannya malah tergetar kesakitan, maka cepat ia mengundurkan diri.

   Harus diketahui bahwa keuletan Han Ci-pang selisih terlalu jauh dibanding Ce Cin-kun, hasil serangannya yang aneh tadi adalah berkat bantuan Hui-ang-kin yang ikut mengeroyok dari samping, dengan sendirinya tak nanti ia sanggup melawan orang lebih lama.

   Tapi bagi Ce Cin-kun yang tak mengetahui rahasia latar belakang itu, setelah kena ditempeleng dua kali oleh Han Cipang, pula jenggotnya kena dibubut sebagian, hinaan ini dirasakannya jauh lebih berat daripada kekalahannya dari Pekhoat Mo-li dulu.

   Ia menyangka ilmu silat Han Ci-pang masih lebih lihai dari Hui-ang-kin, maka tak berani sembarangan mengejar.

   Di lain pihak, begitu Han Ci-pang dan Hui-ang-kin bisa menerjang keluar, segera Kui Tiong-bing maju memapaknya.

   Pedang pusaka Tiong-bing 'Theng-kau-pokiam' begitu diputar hingga berwujud satu lingkaran putih, dalam sekejap saja belasan senjata jago-jago pengawal sudah dikuninginya.

   "Leng-tayhiap, mari kita menerjang pergi!"

   Demikian teriak Tiong-bing.

   "Nanti dulu, habis aku menagih hutang, segera aku menyusul,"

   Sahut Bwe-hong.

   Waktu ia melompat turun dari atas pohon tadi Khu Tong-lok sudah diincarnya, maka begitu senjatanya bergerak segera orang itu yang dia tuju.

   Cuma tadi karena memperhatikan Han Ci-pang yang lagi menghajar Ce Cin-kun, maka serangan lihai belum dilontarkannya, kini Ci-pang dan Hui-ang-kin sudah lolos dari bahaya, apanya yang dia kuatirkan lagi? Maka begitu pedangnya berkelebat, dibarengi suara tertawanya yang panjang, tahu-tahu Khu Tong-lok merasakan tangannya linu kaku, golok sebelah tangannya sudah mencelat ke angkasa, waktu pedangnya menangkis pula dan kena dipuntir oleh balikan tangan Leng Bwe-hong, kembali pedangnya terlepas dari cekalan juga.

   Cepat Khu Tong-lok membalik tubuh hendak angkat langkah seribu, tapi mana bisa kabur lagi, sekali Leng Bwe-hong mengulur tangan, seketika punggungnya kena dijambretnya bagai elang mencengkeram ayam cilik.

   Waktu Bwe-hong puntir tangan orang dan sekalian kepalanya dipelintir, ia angkat pedang mengiris ke muka Tonglok terus memutar pula ke pipi kiri, maka tak ampun lagi daun kuping Khu Tong-lok telah berpisah dengan tuannya.

   "Nah, kini hutang berikut rente sudah lunas, jiwamu kuampuni,"

   Kata Bwe-hong bergelak tertawa puas.

   Dan ketika tubuh orang diangkatnya terus diayun, Khu Tong-lok kena dilempar pergi beberapa tombak jauhnya.

   Tidak kepalang gusar Ce Cin-kun hingga matanya merah berapi, ia lihat tiga orang musuh segera akan lolos begitu saja, tanpa pikir lagi ia melesat cepat bagai burung terbang terus turun di tengah antara Kui Tiongbing dan Leng Bwe-hong, menyusul kedua pedangnya menggunting sekaligus terus memotong ke pinggang Bwehong.

   Tatkala itu Hui-ang-kin dan Han Ci-pang sudah berlari paling depan, hanya Leng Bwe-hong berada paling belakang.

   Ce Cin-kun paling jeri pada Han Ci-pang, tapi terhadap Leng Bwe-hong tidak dipandang sebelah matanya.

   Cin-kun tidak kenal Leng Bwe-hong, tetapi Bwe-hong tahu siapa Ce Cin-kun, maka segera ia mengejek.

   "Hm, kau tua bangka ini apa ingin dibubut bersih jenggotmu?"

   Sembari berkata, sekali melesat, secepat kilat pedang 'Jing-kong-kiam' menusuk menerobos di antara sela-sela kedua pedang lawan.

   Keruan saja Ce Cin-kun terkejut, lekas ia mendoyong ke belakang sambil sebelah pedangnya menyampuk menghindarkan tusukan itu.

   Namun Leng Bwe-hong masih merangsek maju tanpa ken-dor sedikitpun, tipu serangannya segera diubah menjadi 'Ciu-cuihing- ciu' atau perahu menyusur sungai Ciu, tiba-tiba ia mengayun ke kiri, pada saat tubuh Cin-kun mendoyong dan im-bangan badannya tak tetap, mendadak ia bentur pedang kirinya hingga tergoncang pergi, menyusul ia menarik kembali dan cepat pula terus menusuk lagi ke perut Cin-kun.

   Beruntun tiga kali serangan berbahaya itu adalah ilmu pedang Thian-san yang paling lihai, karena Ce Cin-kun memandang enteng lawannya hingga nyawanya hampir melayang di bawah ujung pedang Leng Bwe-hong.

   Namun sedikitnya Ce Cin-kun adalah cikal-bakal suatu aliran persilatan tersendiri, tidak percuma latihannya selama 50-an tahun, dalam keadaan bahaya ia tidak menjadi gugup, dengan sekuat tenaga ia tahan pedang dan tubuhnya bagai kiliran memutar ke kiri, dan sedikit ujung pedangnya menutul tanah, tahu-tahu senjata ini terus membal ke depan dan menempel batang pedang Leng Bwe-hong terus didorong pergi, sedang pedang lain masih memotong ke atas hendak menusuk pergelangan tangan Bwe-hong yang mencekal senjata.

   Diam-diam Bwe-hong memuji ketangkasan orang tua yang hebat ini, ia melompat tinggi secepat burung dan melayang lewat di sisi kiri Ce Cin-kun, berbareng dengan tipu 'Sin-liong-tiau-bwe"

   Atau naga sakti membalik buntut, ia membalikkan pedangnya menusuk pula ke pilingan Ce Cinkun.

   Tapi Cin-kun sempat juga menggeser pergi sembari pedangnya menangkis, maka terdengarlah suara gemerincing yang nyaring, kedua pedang saling bentur hingga lelatu api meletik, kedua orang sama tergetar mundur dan pedang masing-masing tergumpil semua oleh senjata lawan.

   Dan karena sekali jajal ini, segera Leng Bwe-hong tahu bahwa keuletan dan tenaga Ce Cin-kun ternyata sama kuat dengan dirinya, ia pikir kalau hendak menundukkan orang tua ini tidaklah gampang dilakukan dalam 30 atau 50 jurus saja.

   Maka ia pun tidak ingin terlibat lebih jauh, segera ia membentak.

   "Mengingat usiamu sudah begini lanjut, biarlah aku ampuni kau untuk kembali ke rumah melewatkan hari tuamu."

   Habis itu, begitu pedangnya diputar cepat hingga sinar perak bergulung-gulung, mana bisa lagi para pengawal Onghu merintanginya hingga sekejap saja sudah kena diterjang keluar Leng Bwe-hong untuk menggabungkan diri dengan Kui Tiong-bing dan kawan-kawan.

   Sungguh celaka bagi Ce Cin-kun, dengan susah payah giat melatih diri selama 50 tahun dan disangkanya bisa menjagoi jagad, siapa tahu baru muncul dalam pertempuran sudah berulang ketumbuk batu.

   Pertama sama kuatnya menempur Hui-ang-kin, kemudian kena ditempeleng dan bahkan dibubut jenggotnya oleh Han Ci-pang, dan paling akhir, kini hampir melayang jiwanya di bawah pedang Leng Bwe-hong.

   Dan ketiga orang itu justru adalah angkatan lebih muda semua daripada dirinya.

   Lebih-lebih Leng Bwe-hong yang umurnya ditaksirnya paling banyak 30-an lebih sedikit, tapi ilmu pedangnya yang begitu hebat itu entah dipelajari darimana, begitu kebentur, hanya empat jurus serangan saja dengan keji hampir membuat jiwanya melayang.

   Keruan saja hati Ce Cin-kun yang takabur menjadi dingin, tak nanti ia berani mengejar lagi.

   Seorang murid Ce Cin-kun yang lain, Liu Se-giam, senjata tombaknya yang sudah terkuning oleh pedang wasiat Kui Tiong-bing, bahkan pahanya suwil dagingnya oleh sabetan pecut Hui-ang-kin hingga tombak kutung itu dipakai sebagai tongkat.

   Sedang Khu Tong-lok yang kini sudah kehilangan kedua belah daun kupingnya dan muka berlumuran darah, sambil memandang sang Sute, ia berjalan terseret-seret ke hadapan sang guru dan minta dibalaskan sakit hatinya dengan menangis.

   "Keparat itulah Leng Bwe-hong adanya,"

   Demikian lapor Khu Tong-lok.

   Keruan saja muka Ce Cin-kun seketika berubah hebat, seperti biasa ia lantas mengelus jenggotnya, tapi begitu menyentuh jenggot barulah ia sadar telah kena dibubut orang secomot, sambil memandang kedua muridnya yang mengenaskan dan ingat juga keadaan dirinya yang runyam, ia menjadi malu bercampur gusar dan terkejut sekali.

   Teringat olehnya apa yang pernah dikatakan Hui-bing Siansu, maka ia membatin.

   "Pantas dulu ia bilang ilmu pedangku masih ada kekurangannya, nyatanya sampai ilmu pedang anak muridnya saja masih di atasku."

   Karena itu, wajahnya menjadi muram, tanpa berkata lagi ia mengeluyur pergi mencari Coh Ciau-lam. Mengenai rombongan Han Ci-pang, setelah mereka kembali ke Se-san dengan selamat, dengan lemas Hui-ang-kin duduk terus berkata dengan menghela napas.

   "Onghui sudah mati dan anak dara itupun tamatlah sudah!"

   Bwe-hong kaget mendengar kabar itu.

   "Cara bagaimana Onghui mati?"

   Tanyanya cepat.

   Lalu Hui-ang-kin menceritakan apa yang dilihatnya pagi tadi.

   Saking terharunya, tak tahan lagi Leng Bwe-hong ikut meneteskan air mata.

   Karena itu semua orang duduk termenung tak berkata.

   Lama dan lama sekali baru mendadak Hui-ang-kin melonjak bangun dan berseru.

   "Ya, hampir saja aku lupa pada pesan terakhir yang dia tinggalkan!"

   "Pesan terakhir apa?"

   Tanya Bwe-hong cepat.

   "Ia bilang besok sore mereka akan menggiring Lan-cu ke sidang pemeriksaan,"

   Kata Hui-ang-kin.

   "Lalu, apakah maksudmu kita harus mencegat dan merampasnya di tengah jalan?"

   Tanya Bwe-hong pula. Hui-ang-kin mengangguk.

   "Ya, tiada jalan lain kecuali itu,"

   Katanya. Keadaan menjadi sunyi lagi. Leng Bwe-hong berpikir sejenak, kemudian ia buka suara lagi.

   "Mungkin usaha ini percuma saja,"

   Demikian katanya.

   "Sebelum mereka menggiring keluar tawanan kerajaan, di sepanjang jalan yang akan dilalui pasti sudah diadakan pembersihan dan penjagaan yang kuat, boleh jadi malah dikerahkan pula pasukan pengawal, lalu cara bagaimana kita bisa turun tangan? Ya, sekalipun dengan ilmu silat kita yang tinggi bisa menerjang masuk ke sana, tapi paling banyak hanya 'menyingkap rumput mengejutkan ular', bila kita berhasil membobol penjagaan pasukan pengawal itu, tentu lebih dulu Lan-cu sudah digusur kembali lagi ke dalam penjara."

   "Kalau begitu, apakah kita harus menyaksikan begitu saja anak dara itu digiring ke tiang gantungan?"

   Sahut Hui-ang-kin marah.

   "Betapapun resikonya kita harus mencobanya juga."

   "Aku tidak bilang kita takkan menolong dia, aku hanya ingin mencari jalan yang paling sempurna,"

   Kata Leng Bwe-hong sabar. Selang sejenak, tiba-tiba kedua matanya berkilatan, mendadak ia menjura pada Han Ci-pang sambil berkata.

   "Tampaknya soal ini hanya Han-toako saja yang bisa membantu kita!"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tentu saja Ci-pang bingung dan gugup, lekas ia balas hormat orang.

   "Ai, Leng-tayhiap hendaklah jangan mengolokolok aku. Kepandaianku masih jauh di bawah kalian berdua, kalau kalian tidak mampu menolongnya, aku sendiri bisa berbuat apa?"

   "Untuk menolong orang tidak selalu harus mengagulkan kekerasan dan main senjata,"

   Ujar Bwe-hong tertawa.

   "Apalagi kepandaian Han-toako sesungguhnya juga sangat tinggi, bukankah jenggot si tua bangka itupun kena kau bubut?"

   Habis itu, segera Leng Bwe-hong menarik keluar Han Cipang dan Hui-ang-kin, mereka berjalan dalam rimba sunyi itu sambil Bwe-hong menjelaskan akal apa yang telah diperhitungkannya.

   "Han-toako, bagaimana dengan pendapatmu?"

   Demikian tanyanya kemudian.

   "Dan berhasil atau tidak usaha ini, kesemuanya harus tergantung hubunganmu dengan mereka!"

   "Ya,"

   Sahut Ci-pang mengangguk.

   "Soal lain aku tak berani bilang, tetapi tentang mereka terhadap diriku sudah dipandangnya sebagai orang sendiri, begitu pula terhadap kau mereka pun merasa berhutang budi."

   "Dan kalau sudah berhasil ditolong keluar, anak dara itu adalah milikku, kau tak boleh berebut denganku,"

   Kata Huiang- kin tiba-tiba.

   "Untuk apa aku berebut denganmu?"

   Sahut Bwe-hong tertawa tanpa pikir.

   "Jika kau mau mengaku dia sebagai puterimu, aku malah akan menghaturkan selamat padamu!"

   Dan setelah selesai mereka berunding, segera mereka berpisah untuk mengatur seperlunya.

   Kembali pada diri Ie Lan-cu.

   Sesudah ditinggal pergi sang ibu, hatinya seakan mati, tak berperasaan.

   Hari itu, ia sendiri tidak tahu apakah siang atau malam, sipir bui telah membuka pintu penjara, lebih dulu kedua matanya ditutup dengan kain hitam tebal, lalu didengarnya suara tindakan orang yang riuh banyak, ada orang telah menggusurnya ke atas sebuah kereta.

   Karena siksaan lebih sebulan ini dan mengalami sekali luka hati yang parah, Lan-cu tak sanggup menahan lagi rohaniah maupun jasmaniahnya.

   Tubuhnya yang lemas itu ikut tergoncang ke sana kemari oleh getaran roda kereta.

   Perutnya pun dirasakan kurang enak, tiba-tiba ia memuntahkan air kecut.

   "Hm, sudah tahu rasa bukan, sekarang?"

   Tiba-tiba didengarnya ada orang mengejek di sampingnya.

   "Ayahmu yang berdosa kau yang bayar hutangnya, syukur!"

   Tubuh Lan-cu sebenarnya sangat lemah, tapi mendadak ia menegakkan leher terus mendamperat.

   "Coh Ciau-lam kau pengkhianat keparat, kau ada harganya buat menyebut diri ayahku? Meski ia sudah meninggal, masih beratus ribu kali lebih bernilai daripada kau yang hidup!"

   Tapi kembali Ciau-lam menyindir.

   "Hm, hendaklah kau sedikit sopan padaku, keponakanku yang baik, nanti kau masih perlu bantuan pamanmu ini untuk mengurus jenazahmu!"

   "Manusia tak kenal malu, kau ini paman siapa?"

   Lan-cu memaki pula.

   "Hm, anjing bangsa Boanciu kan!"

   Dan ketika Ciau-lam hendak menyiksa orang dengan katakata yang lebih keji pula, sekonyong-konyong kereta pengiring paling depan berhenti.

   Waktu ia menyingkap tirai kereta memandang keluar, ia lihat dari depan sana mendatangi dua kereta besar dan sedang membentak minta jalan.

   Keruan saja Ciau-lam sangat heran.

   "Siapakah itu, kenapa membiarkannya terobosan?"

   Tanyanya segera.

   Kiranya Coh Ciau-lam bersama Ce Cin-kun mendapat perintah membawa 24 jago kerajaan kelas satu dalam enam buah kereta besar menggiring Ie Lan-cu ke sidang pemeriksaan di kementerian kehakiman.

   Dan memang seperti diduga Leng Bwe-hong dan kawan-kawan malam sebelumnya sepanjang jalan yang akan dilalui sudah dijaga keras oleh dua ribu tentara Gi-lim-kun atau pasukan komando kota-raja, dan tidak sembarang-an orang diperbolehkan berjalan.

   Malahan pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat dari penjara dan menyangka dengan penjagaan serapat itu pasti tak akan terjadi sesuatu.

   "Itulah kereta kebesaran utusan Buddha Hidup dari Tibet,"

   Demikian lantas terdengar pengawal di atas kereta yang ditumpangi Ciau-lam bersama Ie Lan-cu itu menjawab.

   "O,"

   Sahut Ciau-lam, dan dalam hati ia pun berpikir.

   "Aku kira siapa, tahunya rombongan mestika itu!"

   Kiranya utusan istimewa Buddha Hidup dari Tibet mendapat pelayanan sangat baik di kota-raja seperti melayani duta dari negeri asing.

   Penjagaan keras yang telah diatur Coh Ciau-lam itu hanya berlaku bagi penduduk sipil, sebaliknya kereta kebesaran utusan Buddha Hidup dengan sendirinya tiada yang berani merintanginya.

   Penglihatan Coh Ciau-lam sangat tajam, dari jauh ia lihat pada kereta utusan itu paling depan berdiri belasan orang Lamma, dua di antaranya sepgsti sudah dikenalnya.

   Segera ia pun ingat seorang di antaranya ialah Lamma yang dulu ikut mengawal 'Sik-lik-ci' bersama Thio Thian-bong itu.

   Ini tidak menjadi soal, tetapi seorang yang lain memakai jubah merah, sikap dan lagaknya ternyata agak lain daripada Lamma umumnya.

   Setelah Ciau-lam mengingatnya lagi, ia baru mengenali orang ini adalah ketua umum Thian-te-hwe, Han Ci-pang.

   Keruan saja ia terkejut.

   Dan selagi ia hendak berteriak membongkar rahasia itu, tiba-tiba di depan sana sudah ada yang berseru.

   "Orang-orang ini palsu!"

   Dan sesaat kemudian, dari dua kereta besar itu segera melompat keluar banyak orang disusul dengan menghamburnya senjata rahasia yang berseliweran, golok dan pedang bersam-baran, bagai sekawanan banteng mengamuk saja orang-orang itu terus menerjang maju.

   Coh Ciau-lam mendapat perintah menjaga sendiri tawanan, ia kuatir terjadi apa-apa, maka tak berani ia meninggalkan posnya.

   Rombongan orang yang menyerbu keluar dari kereta itu tidak lain daripada Leng Bwe-hong beserta kawan-kawannya, mereka memang menyamar, tapi kereta kebesaran utusan Buddha Hidup dan beberapa Lamma pembuka jalan itu sebaliknya adalah tulen.

   Kiranya berhubung jasa Han Ci-pang bisa mendapatkan kembali Sik-li-ci mereka, para Lamma itu telah mengundangnya ke Tibet dan memandangnya sebagai tamu agung.

   Sekali ini karena kebetulan sama-sama berada di kotaraja, diam-diam Ci-pang membawa Leng Bwe-hong pergi mencari Ang-ih Lamma atau Lamma jubah merah yang menjadi utusan Buddha Hidup itu untuk berunding hendak meminjam kereta kebesaran dan pas jalan.

   Mula-mula Ang-ih Lamma ragu dan merasa serba sulit, tapi Leng Bwe-hong membujuknya dan memberi jaminan apabila usaha gagal boleh bilang pada Kaisar bahwa kereta dan pas jalan mereka itu kena dicuri.

   "Pusaka semacam 'Cu-ko-kim-hu' saja dapat kami curi, apalagi hanya kereta seperti ini?"

   Demikian Bwe-hong berkata.

   "Pula Hongsiang sudah cukup kenal kelihaian kami, pasti ia akan percaya penuh."

   Begitulah, karena merasa berhutang budi, meski soal itu membawa resiko, namun tak bisa Lamma jubah merah itu menolaknya.

   Dan setelah dapat meminjam kereta kebesaran utusan Buddha Hidup itu, dibantu oleh Congtat Wancin yang memimpin 7-8 Lamma lainnya berjalan di depan serta memperhitungkan ketepatan waktunya, akhirnya berhasil juga mereka menerjang ke daerah terlarang itu buat mencegat kereta tawanan yang membawa Ie Lan-cu.

   Dan pertarungan sengit tak bisa dihindarkan lagi.

   Keadaan menjadi sunyi lagi.

   Leng Bwe-hong berpikir sejenak, kemudian ia buka suara lagi.

   "Mungkin usaha ini percuma saja,"

   Demikian katanya "Sebelum mereka menggiring keluar tawanan kerajaan, di sepanjang jalan yang akan dilalui pasti sudah diadakan pembersihan dan penjagaan yang kuat, boleh jadi malah dikerahkan pula pasukan pengawal, lalu cara bagaimana kita bisa turun tangan? Ya, sekalipun dengan ilmu silat kita yang tinggi bisa menerjang masuk ke sana, tapi paling banyak hanya 'menyingkap rumput mengejutkan ular', bila kita berhasil membobol penjagaan pasukan pengawal itu, tentu lebih dulu Lan-cu sudah digusur kembali lagi ke dalam penjara."

   "Kalau begitu, apakah kita harus menyaksikan begitu saja anak dara itu digiring ke tiang gantungan?"

   Sahut Hui-ang-kin marah.

   "Betapapun resikonya kita harus mencobanya juga."

   "Aku tidak bilang kita takkan menolong dia, aku hanya ingin mencari jalan yang paling sempurna,"

   Kata Bwe-hong sabar. Selang sejenak, tiba-tiba kedua matanya berkilatan, mendadak ia menjura pada Han Ci-pang sambil berkata.

   "Tampaknya soal ini hanya Han-toako saja yang bisa membantu kita!"

   Tentu saja Ci-pang bingung dan gugup, lekas ia balas hormat orang.

   "Ai, Leng-tayhiap hendaklah jangan mengolokolok aku. Kepandaianku masih jauh di bawah kalian berdua, kalau kalian tak mampu menolongnya, aku sendiri bisa berbuat apa?"

   "Untuk menolong orang tidak selalu harus mengagulkan kekerasan dan main senjata,"

   Ujar Bwe-hong tertawa.

   "Apalagi kepandaian Han-toako sesungguhnya juga sangat tinggi, bukankah jenggot si tua bangka itupun kena kau bubut?"

   Habis itu, segera Leng Bwe-hong menarik keluar Han Cipang dan Hui-ang-kin, mereka berjalan dalam rimba sunyi itu sambil Bwe-hong menjelaskan akal apa yang telah diperhitungkannya.

   "Han-toako, bagaimana pendapatmu?"

   Demikian tanyanya kemudian.

   "Dan berhasil atau tidak usaha ini, kesemuanya harus tergantung hubunganmu dengan mereka!"

   "Ya,"

   Sahut Ci-pang mengangguk.

   "Soal lain aku tak berani bilang, tetapi tentang mereka terhadap diriku sudah dipandangnya sebagai orang sendiri, begitu pula terhadap kau, mereka pun merasa berhutang budi."

   "Dan kalau sudah berhasil ditolong keluar, anak dara itu adalah milikku, kau tak boleh berebut denganku,"

   Kata Huiang- kin tiba-tiba.

   "Untuk apa aku berebut denganmu?"

   Sahut Bwe-hong tertawa tanpa pikir.

   "Jika kau mau mengaku dia sebagai puterimu, aku malah akan menghaturkan selamat padamu!"

   Dan setelah selesai mereka berunding, segera mereka berpisah untuk mengatur seperlunya.

   Kembali pada diri Ie Lan-cu.

   Sesudah ditinggal pergi sang ibu, hatinya seakan mati, tak berperasaan.

   Hari itu, ia sendiri tidak tahu apakah siang atau malam, sipir bui telah membuka pintu penjara, lebih dulu kedua matanya ditutup dengan kain hitam tebal, lalu didengarnya suara tindakan orang yang riuh banyak, orang telah menggusurnya ke atas sebuah kereta.

   Karena siksaan lebih sebulan ini dan mengalami sekali luka hati yang parah, Lan-cu tak sanggup menahan lagi rohaniah maupun jasmaniahnya.

   Tubuhnya yang lemas itu ikut tergoncang ke sana kemari oleh getaran roda kereta.

   Perutnya pun dirasakan kurang enak, tiba-tiba ia memuntahkan air kecut.

   "Hm, sudah tahu rasa bukan, sekarang?"

   Tiba-tiba didengarnya ada orang mengejek di sampingnya.

   "Ayahmu yang berdosa kau yang bayar hutangnya, syukur!"

   Tubuh Lan-cu sebenarnya sangat lemah, tapi mendadak ia menegakkan leher tems mendamprat.

   "Coh Ciau-lam, kau pengkhianat keparat, kau ada harganya buat menyebut diri ayahku? Meski ia sudah meninggal, masih beratus ribu kali lebih bernilai daripada kau yang hidup!"

   Tapi kembali Ciau-lam menyindir.

   "Hm, hendaklah kau sedikit sopan padaku, keponakanku yang baik, nanti kau masih perlu bantuan pamanmu ini untuk mengurus jenazahmu!"

   "Manusia tak kenal malu, kau ini paman siapa?"

   Lan-cu memaki pula.

   "Hm, anjing bangsa Boanciu kan!"

   Dan ketika Ciau-lam hendak menyiksa orang dengan katakata yang lebih keji pula, sekonyong-konyong kereta pengiring paling depan berhenti.

   Waktu ia menyingkap tirai kereta memandang keluar, ia lihat dari depan sana mendatangi dua kereta besar dan sedang membentak minta jalan.

   Keruan saja Ciau-lam sangat heran.

   "Siapakah itu, kenapa membiarkannya terobosan?"

   Tanyanya segera.

   Kiranya Coh Ciau-lam bersama Ce Cin-kun mendapat perintah membawa 24 jago kerajaan kelas satu dalam enam buah kereta besar menggiring Ie Lan-cu ke sidang pemeriksaan di kementerian kehakiman.

   Dan memang seperti diduga Leng Bwe-hong dan kawan-kawan malam sebelumnya, sepanjang jalan yang akan dilalui sudah dijaga keras oleh dua ribu tentara Gi-lim-kun atau pasukan komando kota-raja, dan tidak sembarang-an orang diperbolehkan jalan.

   Malahan pagipagi sekali mereka sudah berangkat dari penjara dan menyangka dengan penjagaan serapat itu pasti tak akan terjadi sesuatu.

   "Itulah kereta kebesaran utusan Buddha Hidup dari Tibet,"

   Demikian lantas terdengar pengawal di atas kereta yang ditumpangi Ciau-lam bersama Ie Lan-cu itu menjawab.

   "O,"

   Sahut Ciau-lam, dan dalam hati ia pun berpikir.

   "Aku kira siapa, tahunya rombongan mestika itu!"

   Kiranya utusan istimewa Buddha Hidup dari Tibet mendapat pelayanan sangat baik di kota-raja seperti melayani duta dari negeri asing.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Penjagaan keras yang telah diatur Coh Ciau-lam itu hanya berlaku bagi penduduk sipil, sebaliknya kereta kebesaran utusan Buddha Hidup dengan sendirinya tiada yang berani merintanginya.

   Penglihatan Coh Ciau-lam sangat tajam, dari jauh ia lihat pada kereta utusan itu paling depan berdiri belasan orang Lamma, dua di antaranya mukanya seperti sudah dikenalnya.

   Segera ia pun ingat seorang di antaranya ialah Lamma yang dulu ikut mengawal 'Sik-lik-ci' bersama Thio Thian-bong itu.

   Ini tidak menjadi soal, tetapi seorang yang lain memakai jubah merah, sikap dan lagaknya ternyata agak lain daripada Lamma umumnya.

   Setelah Ciau-lam mengingatnya lagi, ia baru mengenali orang ini adalah ketua umum Thian-te-hwe, Han Ci-pang.

   Keruan saja ia terkejut.

   Dan selagi ia hendak berteriak membongkar rahasia itu, tiba-tiba di depan sara sudah ada yang berseru.

   "Orang-orang ini palsu!"

   Dan sesaat kemudian, dari dua kereta besar itu segera melompat keluar banyak orang disusul dengan menghamburnya senjata rahasia yang berseliweran, golok dan pedang bersambalan, bagai sekawanan banteng mengamuk saja orang-orang itu terus menerjang maju.

   Coh Ciau-lam mendapat perintah menjaga sendiri tawanan, ia kuatir terjadi apa-apa, maka tak berani ia meninggalkan posnya.

   Rombongan orang yang menyerbu keluar dari kereta itu tidak lain daripada Leng Bwe-hong beserta kawan-kawannya, mereka memang menyamar, tapi kereta kebesaran utusan Buddha Hidup dan beberapa Lamma pembuka jalan itu sebaliknya adalah tulen.

   Kiranya berhubung jasa Han Ci-pang bisa mendapatkan kembali Sik-li-ci mereka, para Lamma itu telah mengundangnya ke Tibet dan memandangnya sebagai tamu agung.

   Sekali ini karena kebetulan sama-sama berada di kotaraja, diam-diam Ci-pang membawa Leng Bwe-hong pergi mencari Ang-ih Lamma atau Lamma jubah merah yang menjadi utusan Buddha Hidup itu untuk berunding hendak meminjam kereta kebesaran dan pas jalan.

   Mula-mula Ang-ih Lamma ragu dan merasa serba sulit, tapi Leng Bwe-hong membujuknya dan memberi jaminan apabila usaha gagal boleh bilang pada Kaisar bahwa kereta dan pas jalan mereka itu kena dicuri.

   "Pusaka semacam 'Cu-ko-kim-hu' saja dapat kami curi, apalagi hanya kereta seperti ini?"

   Demikian Bwe-hong berkata.

   "Pula Hongsiang sudah cukup kenal kelihaian kami, pasti ia akan percaya penuh."

   Begitulah, karena merasa berhutang budi, meski soal itu membawa resiko, namun tak bisa Lamma jubah merah itu menolaknya.

   Dan setelah dapat meminjam kereta kebesaran utusan Buddha Hidup itu, dibantu oleh Congtat Wancin yang memimpin 7-8 Lamma lainnya berjalan di depan serta memperhitungkan ketepatan waktunya, akhirnya berhasil juga mereka menerjang ke daerah terlarang itu buat mencegat kereta tawanan yang membawa Ie Lan-cu.

   Dan pertarungan sengit tak bisa dihindarkan lagi.

   Menurut rencana Leng Bwe-hong agar usahanya tidak sampai gagal, maka seluruh pahlawan yang berada di rumah Ciok Cin-hui dikerahkan semua, terutama Kui Tiong-bing, Boh Wan-lian, Thio Hua-ciau, Thong-bing Hwesio, Siang Ing, Thia Thong dan lain-lain semuanya berilmu silat yang mengejutkan.

   Namun begitu, di pihak Ce Cin-kun dikerahkan juga 24 jago bayangkara kerajaan kelas tinggi, dengan sendirinya kekuatan mereka pun tidak lemah.

   Apalagi Coh Ciau-lam yang sudah banyak berpengalaman, ia berlaku tenang sekali, dengan pedang terhunus ia menjaga terus di samping Ie Lan-cu, dalam hati ia berpikir.

   "Asal Ce Cin-kun dapat menahan Leng Bwe-hong, selebihnya siapa saja yang berani maju ke sini tidak nanti kutakuti lagi. Seumpama kepepet, Ie Lan-cu berada dalam genggamanku, pasti juga mereka memikirkan keselamatannya!"

   Begitulah maka Coh Ciau-lam menanti dengan tenang, ia lihat di depan sana pertempuran sudah terjadi dengan serunya, ia lihat meski Leng Bwe-hong sudah muncul, tapi seketika masih belum mampu menerjang ke arah sini.

   Diam-diam Ciau-lam bergirang, dan ketika ia berpikir memutar kereta kembali ke penjara saja, mendadak dilihatnya dari depan sana sesosok bayangan berkelebat dan bagai burung cepatnya melayang kian kemari, sekejap ke timur, lain saat ke barat hingga tiada yang sanggup merintanginya, sedangkan Ce Cin-kun dan Seng Thian-ting yang tinggi ilmu silatnya justru sedang terlibat dalam pertarungan melawan Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing, maka bayangan orang itu dengan mudah dan cepat gesit sekali sudah menerjang datang.

   Keruan Ciau-lam sangat terkejut, waktu ia menegasi, ia lihat bayangan orang itu telah menubruk ke atas keretanya dan begitu pecutnya menyabet, kontan dua kawan pengawalnya telah terguling.

   Orang ini bukan lain daripada Hui-ang-kin yang 20 tahun berselang pernah mengguncangkan daerah perbatasan.

   Karena kisah roman di masa mudanya dan suka-duka di antara mereka, dengan sendirinya Ciau-lam rada jeri menghadapi Hui-ang-kin.

   Dalam keadaan sudah mendesak, ia tidak bisa berpikir banyak lagi, ketika pedangnya bergerak, dengan tipu 'Jiau-hu-imii-loh' atau si tukang kayu bertanya jalan, cepat sekali ia menusuk 'Hua-kai-hiat' di leher Hui-angkin.

   Namun sedikit mengegos, berbareng pecut dan pedang Hui-ang-kin segera balas menyerang lagi, pecutnya membelit senjata lawan dan pedangnya menusuk iga lawan, dua macam senjata dua tipu serangan yang lihai.

   Lekas Ciau-lam menarik pedang ke atas menuruti gaya pecut, habis itu cepat ia menggeser pergi dan pedang membalik terus menusuk ke perut Hui-ang-kin sambil membabat juga kedua kakinya, hanya sekejap saja susul menyusul ia pun melontarkan beberapa serangan lihai yang mematikan dari tipu 'In-hou-kui-san' atau menggiring harimau kembali ke gunung, berubah menjadi 'Kim-tiau-tian-sit' atau garuda emas pentang sayap, dan belum selesai ini terus berubah lagi menjadi gerak tipu 'Ih-sing-ti-tau' atau menggeser bintang mencapai rembulan, dari berjaga tadi mendadak ia ganti menyerang secara bertubi-tubi tak terputus.

   Tapi ilmu mengentengkan tubuh Hui-ang-kin yang sudah mencapai taraf tiada taranya, beruntun ia pun menggunakan tiga gerak tipu menghindari serangan dan balas menyerang, pedangnya berkelebatan dan pecutnya sambar-menyambar, selangkah pun ia tak mau mengalah.

   Dan karena serang-menyerang kedua orang sama cepatnya, maka sekejap saja belasan gebrak sudah berlangsung.

   Kalau soal ilmu kepandaian, keduanya boleh dibilang setail berbanding setengah kati alias sama kuat, siapa pun tak bisa menangkan yang lain.

   Tapi kalau soal tenaga nyata Coh Ciau-lam bisa bertahan lebih lama.

   Dari jarak sedekat itu Hui-ang-kin sudah jelas melihat le Lan-cu diikat di dalam kereta itu, namun ia belum mampu menggempur mundur Coh Ciau-lam, sedang dari samping ada beberapa bayangkara lain mengembut maju lagi, ia menjadi gugup dan gusar, mendadak ia bersiul panjang terus membentak.

   "Coh Ciau-lam, berani kau merintangiku?"

   Habis itu pecutnya menyabet sekuatnja dari kiri ke kanan dan tubuhnya tiba-tiba meloncat ke atas, tanpa menghiraukan jiwanya lagi ia menerjang maju dengan paksa.

   Sama sekali tak diduga Coh Ciau-lam bahwa Hui-ang-kin bisa berlaku begitu nekad hingga berani tubuh terapung dan menubmk ke arahnya.

   Dalam keadaan demikian kalau Coh Ciau-lam mau turun tangan keji, keduanya pasti akan samasama kena, dan Hui-ang-kin sendiri tentu akan terluka lebih berat.

   Sesaat itu tiba-tiba kisah cinta di masa mudanya sekilas terlintas dalam hati Coh Ciau-lam.

   Meski Hui-ang-kin belum pernah mencintai Coh Ciau-lam, bahkan bersama Njo Huncong pernah menawannya dan mencambuknya, namun apapun juga Hui-ang-kin adalah gadis yang pernah dicintai Coh Ciau-lam.

   Kini tanpa memikirkan jiwanya Hui-ang-kin menerjang begitu cepat, belum sempat Coh Ciau-lam berpikir, dengan sendirinya ia mengegos tubuh, dan karena itu secepat terbang Hui-ang-kin sudah melayang lewat di sampingnya, sekali jambret segera tubuh Ie Lan-cu kena disambarnya tems melompat ke atas kereta tawanan lagi.

   Ketika Coh Ciau-lam sadar kembali, namun waktu itu Huiang- kin sudah melesat pergi lagi sejauh belasan tombak.

   Tatkala mana pertarungan kedua belah pihak sedang terjadi dengan sengitnya dan mulai mendekat.

   Ciau-lam tahu Ginkang Hui-ang-kin yang hebat masih di atasnya, pula dilihatnya pertarungan Leng Bwe-hong kontra Ce Cin-kun yang sem masih susah dibedakan siapa yang unggul atau asor, seketika seluruh rasa gusarnya telah dialihkan pada diri Leng Bwe-hong, segera ia pun kesampingkan diri Hui-ang-kin, begitu pedangnya bergerak, cepat ia memburu maju dan bersama Ce Cin-kun mereka mengeroyok dengan tujuan membinasakan Leng Bwe-hong.

   Seperti diketahui dalam pertempuran kemarin sebenarnya Ce Cin-kun sudah jeri terhadap Han Ci-pang dan Leng Bwehong, tapi kenapa hari ini ia masih berani bertempur matimatian? Hal ini kalau diceritakan agak lucu juga.

   '^Kiranya begitu Ce Cin-kun datang ke kota-raja dan habis menghadap Khong-hi, kemudian ia pun saling berkenalan dengan Coh Ciau-lam dan sama mengunjuk sejurus ilmu pedang masing-masing.

   Kata Ciau-lam kemudian.

   "JikaCianpwe (angkatan tua) mau tampil ke muka, Leng Bwehong itu pasti akan kebentur lawan berat sepertimu, asal kita berdua bersatu mengeroyoknya dapat dipastikan bisa mampuskan dia."

   Waktu itu Ce Cin-kun hanya menjengek dingin, ia pikir di jagad ini kecuali Pek-hoat Mo-li, siapa lagi yang mampu menandingiku? Sedangkan 50 tahun yang lalu Hui-bing Siansu saja tak berani bertanding denganku, apalagi hanya anak muridnya yang terakhir.

   Nyata ia masih menyangka Coh Ciaulam sengaja menaikkan harga diri dan membesar-besarkan Sute sesama perguruannya.

   Tak terduga ketika bentrok di istana Pangeran, hanya 3-4 jurus saja ia sudah dibikin kelabakan oleh Leng Bwe-hong.

   Setelah itu, ia malah menyalahkan Coh Ciau-lam dan dengan marah ia pergi mencarinya dan menegurnya kenapa tidak mau berterus terang, katanya.

   "Kenapa kau bicara main sembunyi hingga aku mengalami kekalahan? Thian-san-kiam-hoat yang kau mainkan kemarin itu kenapa tidak sama dengan Leng Bwe-hong punya? Kita sama-sama mengabdi untuk Hongsiang, terhadap musuh harus bisa mengenal kepandaiannya, tapi kau justru merahasiakannya dan tidak mengunjukkan kiam-hoat perguruanmu yang sejati agar aku bisa berjaga sebelumnya. Hm, hm, terlalu!"

   Nyata Ce Cin-kun ini lucu juga, semula ia mengejek Ciaulam sengaja membesar-besarkan Leng Bwe-hong, tapi kini malah menyalahkan Ciau-lam sengaja mengumpak dirinya dan tidak menerangkan kepandaian Leng Bwe-hong yang sebenarnya.

   Pikirnya, kau bilang aku bisa menempur Leng Bwe-hong dengan sama kuatnya, tapi hanya beberapa jurus saja kenapa aku tak mampu menangkis, jangan-jangan kau sengaja 'pinjam golok buat membunuh orang' (kiasan seperti menimpuk batu sembunyi tangan).

   Kemudian Coh Ciau-lam bertanya cara bagaimana ia mengalami kekalahan dari Han Ci-pang dan Leng Bwe-hong, lalu Cin-kun menceritakan pengalamannya, sudah tentu kejadian ia ditempeleng Ci-pang dua kali itu tak diuraikannya.

   Setelah mendengar cerita orang, Ciau-lam terheran-heran tak mengerti.

   Waktu itu Ce Cin-kun berbicara sambil berdiri, mendadak Ciau-lam mengulur tangan terus menekan ke pundak orang tua ini sambil berkata, '"Locianpwe, silakan bicara dengan berduduk saja!"

   Tentu saja Ce Cin-kun gusar, dengan sendirinya ia mengumpulkan tenaga buat menahan, ia mengangkat pundak membentur ke atas, meski ia sendiri terhuyung-huyung juga, tapi Coh Ciau-lam juga terbentur hingga tergetar mundur beberapa tindak.

   "Coh Ciau-lam, apakah kau juga hendak menguji diriku?"

   Demikian damprat Ce Cin-kun marah. Tapi Ciau-lam menghadapi dengan muka tertawa.

   "Cianpwe janganlah gusar dulu,"

   Demikian katanya.

   "Kini aku menjadi jelas sebab apa kau dikalahkan Leng Bwe-hong. Kau bukan kalah sungguhan, tapi kena digertak!"

   Kiranya dengan sekali jajal tadi segera Ciau-lam tahu tenaga dalam orang tua ini masih lebih tinggi darinya, kalau dibanding Leng Bwe-hong sedikitnya masih bisa mengimbangi. Maka ia berkata lagi.

   "Dengan ilmu pedang dan tenaga dalammu tidak nanti dalam sekali dua gebrakan lantas kalah pada Leng Bwe-hong. Aku sudah pernah bertempur melawan Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin, tiada halangannya aku berterus terang padamu, aku dengan Hui-ang-kin adalah sembabat, sebaliknya sedikit kalah dibanding Leng Bwe-hong, tetapi selisihnya juga tidak banyak, kini Hui-ang-kin dapat kaukalahkan, sepantasnya tak nanti kau dikalahkan Leng Bwehong."

   Habis ini ia lantas menceritakan sebab dan alasannya. Katanya pula.

   "Setelah kemarin aku menyaksikan ilmu pedangmu, kalau soal tipu serangan dan perubahan ikutannya, boleh dikata setanding dengan Thian-san-kiamhoat, tapi kalau soal kebagusannya sebaliknya ilmu pedangmu kalah setingkat. Namun caramu memainkan pedangmu dapat kulihat luar biasa uletnya, maka dengan keuletan m u ditambah kiam-hoat yang hebat, kurasa tidak susah hendak menempur Leng Bwe-hong dengan sama kuatnya, ia bisa menangkar kau karena ia terang dan kau gelap, sudah lama karn i mendengar cerita guru tentang ilmu pedang Hong-luikiam- hoat, sebaliknya kau baru pertama kali kemarin melihat Thian-san-kiam-hoat. Memangnya Thian-san-kiam-hoat mengutamakan cepat, dimana ada lubang segera dimasuki, jika kau jaga rapat dirimu dengan Hong-lui-kiam-hoat dengan tenang, kau pasti sanggup bertahan lama, ditambah lagi keuletan latihanmu, sekalipun tak bisa merobohkan dia, dapat juga membikin dia letih setengah mati."

   Nyata Coh Ciau-lam sudah sangat benci pada Leng Bwehong, maka ia tidak segan menceritakan seluruh kekuatan dan kelemahan kedua belah pihak, bahkan mempertunjukkan sekalian Thian-san-kiam-hoatnya pada Ce Cin-kun.

   Melihat beberapa jurus yang dimainkan Leng Bwe-hong kemarin dalam pertarungan dengan dirinya juga termasuk dalam permainan pedang Coh Ciau-lam, barulah Ce Cin-kun mau percaya Ciau-lam tidak merahasiakan, maka ia menjadi berani kembali dan bersedia bekerja-sama dengan Coh Ciau-lam untuk membinasakan Leng Bwe-hong.

   Begitulah kembali tadi, setelah Leng Bwe-hong keper-gok lagi dengan Ce Cin-kun, bagai banteng ketaton segera Bwehong merangsek hebat dan mendahului menyerang, sebaliknya Ce Cin-kun berlaku tenang mematahkan setiap serangan lawan.

   Setelah berlangsung belasan jurus serangannya tak berhasil, diam-diam Bwe-hong heran.

   Tibatiba ilmu pedangnya berubah dengan berbagai gerakan yang susah diraba agar Ce Cin-kun tak paham kemana serangannya menuju.

   Begitu hebat ia memainkan Thian-san-kiam-hoat hingga sekeliling Ce Cin-kun terasa angin tajam menyambar dan bayangan berkelebat.

   Tentu saja Ce Cin-kun menarik napas dingin, berkat latihannya selama berpuluh tahun ia coba bertahan rapat, tiba-tiba pedangnya menjadi seperti begitu antap, ke sana kemari sangat lambat geraknya, tapi meski lambat, sinar tajam pedangnya bisa mengurung rapat menjaga diri.

   Karena itu, setelah beberapa puluh jurus, keadaan masih belum nampak siapa unggul atau asor.

   Leng Bwe-hong menjadi sengit, kembali tipu serangannya berubah lagi, ia membentak sekali, lalu jari tangan kirinya bagai belati mencari kesempatan di sela-sela sinar pedang musuh untuk menotok jalan darah Ce Cin-kun, sedang Jingkong- kiam di tangan kanan makin lama makin cepat, meninggi dan "merendah, tiba-tiba menyabet dari samping, tahu-tahu menyambar dari depan, Ce Cin-kun harus menjaga serangan pedang masih harus hati-hati oleh ilmu totokan orang pula, dalam pertarungan berat ini, akhirnya jidatnya mulai berkeringat.

   Dengan tangan kanan memainkan pedang dan tangan kiri menggunakan telapak tangan, Leng Bwe-hong seperti sekaligus menggunakan tiga macam senjata, sebab telapak tangan kirinya kadang menyelingi pula dengan jari menotok bagai belati, atau sekonyong-konyong bisa membelah juga dengan telapak tangan bagai sebilah golok, perubahannya cepat dan aneh, kebagusannya masih jauh di atas Hong-luikiam- hoat Dahulu waktu Ce Cin-kun rnenciptakan Hong-lui-kiam-hoat dengan kedua tangannya memainkan pedang dengan tipu serangan yang berlainan, ia sudah dianggap pencipta ilmu silat yang belum pernah ada di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan dan amat bangga atas daya cipta dirinya itu.

   Tapi kini melihat Leng Bwe-hong dengan tangan kanan memegang pedang dan tangan lain berupa telapakan diselingi jari menotok seperti tiga macam senjata sekaligus, gerak tipunya dibanding Hong-lui-kiam-hoat yang menggunakan sepasang pedang berbareng, nyata selisihnya entah berapa jauh.

   Karena itu mau tak mau Ce Cin-kun terkejut dan kagum.

   Baiknya keuletan latihan selama 50 tahun ini masih bisa untuk memaksakan diri bertahan, cuma bila Leng Bwe-hong merangsek makin hebat, akhirnya Cin-kun terdesak hingga main mundur terus.

   Dan karena pertarungan yang hebat ini, beberapa kereta telah mereka lewati, memangnya Leng Bwe-hong sengaja hendak mendesak mundur Ce Cin-kun sambil mendekati kereta tawanan tadi, tapi ketika ketegangan memuncak, tibatiba dilihatnya, Hui-ang-kin sudah berhasil, Ie Lan-cu telah diangkatnya, tapi berlari ke arah yang berlawanan.

   Keruan saja Bwe-hong terheran-heran dan segera pikirannya tergerak pula, ia tidak mengerti mengapa Hui-angkin kabur seorang diri dan tidak menggabungkan diri dengan orang banyak, ia pun berpikir pihaknya sudah ditunggu pasukan Gi-limkun yang menjaga rapat semua jalanan kota, bila perlawanan diteruskan besar kemungkinan tak bisa meloloskan diri.

   Maka ia pun segera bersuit sekali sebagai tanda agar para kawan menerjang keluar.

   Tak terduga meski Ce Cin-kun terdesak di bawah angin, tapi belum berarti ia sudah kalah, ketika kedua pedangnya diputar cepat, secara mati-matian ia terus memantek Leng Bwe-hong hingga susah menarik diri.

   Di sebelah sana sesudah Coh Ciau-lam mengelakkan Huiang- kin yang sudah lari pergi itu, segera ia menubruk ke arah Leng Bwe-hong sambil membentak dengan tertawa mengejek.

   "Hm, Leng Bwe-hong, sekarang lekas kau letakkan senjatamu, mengingat masih sesama perguruan, biarlah aku mengampuni jiwamu!"

   Tapi mendadak Bwe-hong menggeser ke samping terus menjawab dengan sekali tusukan.

   "Ha, manusia tak kenal malu,"

   Demikian segera ia mendamprat.

   "Hm, ajalmu sudah di depan mata masih belum kau sadari?"

   Sahut Ciau-lam tertawa dingin.

   "Baiklah, terpaksa aku mewakilkan Suhu memberi hajaran padamu."

   Habis ini ternyata ia tak pedulikan peraturan Kangouw lagi sebagai tokoh ternama, bersama Ce Cin-kun segera ia mengeroyok Leng Bwe-hong.

   Dengan demikian, keadaan segera berubah lain, berkat Ce Cin-kun yang melayani Leng Bwe-hong dari depan, Coh Ciaulam lantas bisa memainkan pedangnya segesit naga menari di udara, ia mengeluarkan 'Tui-hong-kiam-hoat' atau ilmu pedang pemburu angin yang meliputi 72 jurus, satu di antara ilmu pedang Thian-san yang maha lihai.

   Memang Thian-san-kiam-hoat atau ilmu pedang Thian-san adalah himpunan sari ilmu pedang berbagai aliran, di antaranya aneh luar biasa setiap tipu serangannya, cepat dan ruwet, perubahannya susah diraba.

   Terutama Tui-hong-kiamhoat sebanyak 72 jurus itu, seluruhnya mengambil kedudukan menyerang terus menerus yang biasa dipakai bila menemukan lawan yang lebih lemah.

   Meski kepandaian Bwe-hong sebenarnya lebih kuat dari Ciau-lam, tapi karena mesti melawan dua orang jago, segala serangannya ditakari duli"

   Oleh Ce Cin-kun, maka Coh C iaulam tak perlu kuatir serangan balasannya, maka ia menggunakan Tui-hong-kiam-hoat yang hebat dan memandang Bwe-hong sebagai lawan yang lebih lemah baginya.

   Keruan tidak kepalang gusar Leng Bwe-hong tetapi ia tahu jago silat bertanding pedang sekali-kali tak boleh naik darah, maka setelah ia menangkis lagi beberapa kali, ia bisa menenangkan diri kembali, dengan penuh perhatian segera ia pun melawan orang dengan 'Han-to-kiam-hoat' atau ilmu pedang hawa dingin dari Thian-san yang meliputi 64 jurus untuk menjaga diri sembari balas menyerang pula, sama sekali ia "tak mau mengalah barang selangkah pun.

   Melihat ilmu pedang sang Sute begitu hebat, diam-diam Ciau-lam terperanjat, pikirnya.

   "Sungguh tidak kuduga, berpisah dua tahun, tapi keuletannya sudah bertambah begini banyak."

   Dan bila ia ingat diri sendiri selama belasan tahun ini meski ada kemajuan juga, namun dibanding sang Sute ini terang selisih jauh, maka tak tahan ia merasa malu sendiri.

   Walau begitu toh Tui-hong-kiam-hoat yang dimainkannya tetap lihai tiada bandingannya, setiap serangannya cukup ganas, apalagi mengeroyok dua lawan satu, sudah tentu daya tekanan mereka jauh di atas Leng Bwe-hong, meski sesaat belum bisa menembus pertahanan lawan, tapi berada di atas angin sudahlah terang.

   Makin lama makin cepat sinar pedang mereka hingga seakan-akan terjalin sebuah jaringan perak yang mengkeret sempit pelahan dan menindih ke bawah sinar pedang Leng Bwe-hong.

   Makin bertempur mereka semakin sengit, ada dua jago pengawal berani coba-coba mendekat, tapi angin tajam menyambar datang disertai bintik' perak yang menyilaukan, kontan saja mereka terguling pergi dan tubuh mereka mengalami beberapa luka, entah terluka oleh senjata Leng Bwe-hong atau salah tertusuk oleh orang sendiri.

   Karena itu jago pengawal yang lain menjadi ketakutan dan tak berani coba-coba lagi.

   Pertarungan seru ini kalau dibanding pertempuran di penjara tempo hari terang jauh lebih sengit dan berbahaya.

   Dengan keuletan Ce Cin-kun selama 50 tahun melatih diri, kekuatannya cukup disamakan lima jagoan pengawal kelas satu, ditambah lagi kini Coh Ciau-lam yang mahir Thian-sankiam- hoat membantunya berbareng, dalam keadaan demikian sekalipun ilmu silat Leng Bwe-hong lain dari yang lain juga tak tahan oleh rangsekan dua lawan secara bergiliran ini.

   "Tiong-bing, lekas kau ke sebelah sini dulu!"

   Seru Bwe-hong akhirnya.

   Tapi lama masih belum mendengar suara sahutan pemuda itu, dalam sibuknya ia sempat melirik ke sana dan terlihat Kui Tiong-bing sedang dikerubut oleh beberapa jago pilihan dari kerajaan, dan karena jumlah musuh jauh lebih banyak, maka pemuda itu tak sempat menarik diri mendekatinya.

   Kiranya peristiwa seperti membikin geger Onghu, mengobrak-abrik penjara dan masuk istana, kesemuanya ini Kui Tiong-bing sama sekali tidak ikut serta karena dilarang Boh Wan-lian, selama berbulan-bulan ia terkurung di rumah Ciok Cin-hui tanpa ada pekerjaan, memangnya ia lagi kesal ketika tiba-tiba bersama Boh Wan-lian ikut Leng Bwe-hong pergi merampas kereta tawanan, keruan saja ia sangat bersemangat bagai macan terlepas dari kurungan, setiap kali pedang pusaka 'Theng-kau-pokiam' bergerak dan menyambar, kontan terdengar suara gemerincing nyaring putusnya benda logam, nyata semua senjata jago pengawal yang coba merintanginya dari depan telah ditabas kutung semuanya.

   Dan selagi ia hendak meneriaki Wan-lian agar bersamasama menerjang ke depan, tiba-tiba dilihatnya gadis ini memutar senjatanya hingga berwujud lingkaran sinar emas, senjata lawan yang menyerangnya juga dikuningi seluruhnya.

   Tentu saja Tiong-bing sangat girang.

   "Eh, Enci Lian, darimana kau pun mendapatkan sebatang Pokiam?"

   Teriaknya segera.

   Tapi Wan-lian tersenyum tanpa menjawab, mereka berdiri sejajar terus menempur musuh, dua pedang bersatu memutar ke kanan dan ke kiri dengan cepat, mereka merangsek dan menerjang musuh dengan senangnya.

   Tak terduga pedang wasiat hanya dapat buat menggertak sementara saja, sebab 24 jago bayangkara yang dikerahkan Coh Ciau-lam sekali ini kesemuanya berkepandaian tinggi, beberapa erang tertaitimg senjatanya, segena mereka mundur dan digantikan kawan yang lain dengan aneka macam senjata yang tak sama, terutama senjata berat sebangsa perisai, golok tebal atau senjata enteng sebangsa ruyung, Boan-koan-pit dan sebagainya yang susah ditabas begitu saja.

   Apalagi setelah ada pengalaman, musuh sudah berlaku hati-hati semua, tidak gampang lagi senjata mereka dikuningi.

   Namun kepandaian Kui Tiong-bing juga luar biasa, pula mengandalkan pedang pusakanya, betapapun juga kedudukannya lebih menguntungkan.

   Ketika dilihatnya serombongan bayangkara merangsek maju lagi, tiba-tiba ia menggeram sekali, dengan tenaga raksasa mendadak ia menghantam sebuah perisai musuh hingga mencelat ke udara, menyusul pedangnya diputar cepat dengan membawa deru angin, hingga dalam lingkaran beberapa tombak seluruhnya silau oleh sinar pedangnya yang gemerlapan.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nampak betapa perkasa pemuda ini, para bayangkara itu tak berani juga terlalu mendesak.

   Ketika keadaan sama-sama bertahan tak terkalahkan, sekonyong-konyong beberapa jago pengawal yang mengembut Kui Tiong-bing mundur teratur dan segera digantikan oleh seorang bayangkara berbaju hijau kurus kecil yang melayang maju secepat terbang.

   Kontan saja Tiong-bing menyambut orang dengan sekali bacokan, tapi lantas terdengar suara nyaring, tahu-tahu senjata musuh menempel pada pedangnya, semacam benda kehitaman sudah menyelonong sampai di depan mukanya, waktu Tiong-bing mengulur tangan menjambret, tapi luput, pedang musuh gesit sekali sudah menggeser lagi ke samping dengan gerakan 'Boan-liong-jiau-poh' atau naga melingkar menggeser langkah dan menyusul serangan lihai dilontarkan pula.

   Dan kini baru Tiong-bing bisa melihat jelas senjata yang dipakai musuh ialah sepasang 'Boan-koan-pit' atau potlot jaksa, maka ia menduga musuh pasti seorang ahli menotok, tapi ahli menotok kebanyakan mengutamakan kepandaian, soal tenaga biasanya tentu lemah, namun jago pengawal kurus kecil ini kenapa begitu hebat tenaga dalamnya, nyata seorang lawan tangguh yang tidak bisa dipandang rendah.

   Musuh di hadapan Tiong-bing ini memang lawan tangguh, ia bukan lain daripada Seng Thian-ting yang pernah menempur Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kui di istana Pangeran To Tok itu, sebagai ahli menotok dengan senjata potlot, maka ia berjuluk 'Thi-pit-boan-koan' atau si jaksa berpotlot baja, ilmu silatnya tergolong kelas satu di antara bayangkara kerajaan dan kedudukannya sejajar dengan Coh Ciau-lam.

   Terhadap Leng Bwe-hong dan Hui-ang-kin mau tak mau Seng Thian-ting masih kalah setingkat, tapi melawan Kui Tiong-bing kekuatan mereka boleh dibilang seimbang.

   Tiong-bing menang karena memakai pedang pusaka, sebaliknya Seng Thian-ting lebih ulet dan banyak pengalaman, maka pertarungan mereka menjadi ramai luar biasa dan tetap sama kuatnya.

   Dan oleh karena pertarungan mereka yang sangat seru itulah, maka teriakan Leng Bwe-hong tadi tak bisa diurusnya meski didengar oleh Kui Tiong-bing.

   Sementara itu meski ilmu silat Boh Wan-lian sedikit lebih rendah, namun tiga jago utama pihak musuh sudah terbagi melawan Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing, maka dengan pedang pusaka 'Thian-hong-pokiam' serta senjata rahasia 'Toat-beng-sin-soa' atau pasir sakti pencabut nyawa, hingga musuh yang mengerubutnya tak berani terlalu mendekat, dengan begitu untuk sementara ia masih bisa bertahan.

   Dan ketika didengarnya suara teriakan Leng Bwe-hong tadi, ia coba melirik ke arah sana dan terlihat tiga bayangan orang terkurung dalam sinar pedang yang gulung-gemulung dengan sambaran angin menderu, tanpa terasa Wan-lian ikut terkejut dan pandangan silau, ia tahu dengan kepandaiannya tidak mungkin sanggup menyelip masuk ke dalam garis pertempuran ketiga orang itu, maka cepat ia bantu meneriaki Kui Tiong-bing agar lekas pergi mendekati Leng Bwe-hong.

   Jarak Wan-lian dengan Tiong-bing sangat dekat, pula suara gadis ini khusus menimbulkan semacam perasaan pada pemuda itu, maka begitu mendengar seketika itu juga Tiongbing melompat naik.

   "Hendak lari kemana!"

   Bentak Seng Thian-ting cepat. Berbareng itu kedua Boan-koan-pitnya tiba-tiba menjojoh 'Huicuiliat' kanan-kiri bahu Tioiig-bing. ' "

   Namun pemuda itu bisa memutar cepat, dengan gerak tipu 'Ki-eng-keug-ih* atau elang lapar menyisik bulu, pedangnya me-nyainpuk dari samping terus membabat sekali ke bawah.

   Tapi Seng Thian-ting memang sangat lihai juga, ketika dilihatnya Tiong-bing beikelit, segera ia tahu kemana orang hendak menuju, cepat ia membaliki senjatanya terus menangkis hingga pedang Tiong-bing tergetar pergi.

   Apalagi Thian-thig mendadak memutar tubuh dan merubah tempatnya, potlot bajanya bergerak, kembali ia menotok 'Hunbun- hiat' di belakang iga Tiong-bing.

   Tentu saja Tiong-bing naik darah akhirnya, segera ia pun menempur orang mati-matian dengan Ngo-kim-kiam-hoat yang hebat, pedangnya membalik terus memotong ke bawah, tapi baru setengah jalan mendadak dari memotong ia ganti membabat dengan gerak serangan 'Thi-so-hing-ciu' atau gembok besi menambat perahu, ia memotong pundak kanan musuh.

   Kedua serangannya itu cepat sekali dan perubahannya tibatiba, untung Thian-ting sempat mengegos hingga pedang Tiong-bing menyambar lewat.

   Menyusul Thian-ting membentak, mendadak kedua potlotnya menegak, kembali ia totok 'Tan-dian-hiat' di perut Tiong-bing.

   Dengan sendirinya Tiong-bing menjadi gopoh, ia menguatirkan Leng Bwe-hong yang telah meneriaki dirinya, tapi ia dicecar mati-matian oleh Seng Thian-ting hingga susah melepaskan diri.

   Di lain pihak, Ce Cin-kun dan Coh Ciau-lam sama-sama mengeluarkan ilmu pedang mereka yang tunggal menempur sengit Leng Bwe-hong, makin lama keadaan makin sengit dan semakin cepat juga, tiga pedang seakan terjalin menjadi sebuah jaringan sinar perak hingga sinar pedang Leng Bwehong lambat-laun mengkeret tertindih.

   Ketika mereka akan melontarkan serangan lebih hebat buat merobohkan Leng Bwe-hong, tiba-tiba sesosok bayangan orang dengan gerak tubuh yang aneh sekali ternyata bisa menerobos rintangan para pengawal terus menubruk datang.

   Keruan The Cin-kun heran dan karena sedikit meleng ini, cepat sekali pedang Leng Bwe-hong telah menusuk hingga lengan bajunya sobek tertusuk.

   Lekas Cin-kun melangkah mundur, tapi ilmu pedang Leng Bwe-hong bagus luar biasa, begitu ada kesempatan tidak pernah dilewatkannya, maka sinar pedangnya berkelebat pula, segera kedua musuh telah dipotongnya terpisah hingga kedudukan lawan yang mengeroyok itu kena dipatahkannya.

   Bahkan cepat Leng Bwe-hong menerjang maju dan senjata menyambar pula, terpaksa Coh Ciau-lam mengegos dan menangkis.

   Diam-diam Ciau-lam mendongkol sekali, ia pikir Ce Cin-kun ini percuma hidup sekian tua, kenapa pengalamannya begini tak berguna.

   Dengan cara mengeroyok sudah terang hampir mendekati babak akhir dan segera Leng Bwe-hong bisa dibinasakan, siapa duga tanpa sebab lantas mundur pergi hingga memberi kesempatan bernapas bagi Leng Bwe-hong.

   Dan kini bila hendak mencari kedudukan yang menguntungkan seperti tadi, terang akan banyak membuang tenaga lagi.

   Ketika Coh Ciau-lam hendak marah, sementara itu bayangan orang tadi sudah merangsek datang cepat sekali, namun mata Coh Ciau-lam cukup jeli dan telinga tajam, tanpa memandang segera dapat diketahuinya pendatang ini memakai senjata sebangsa golok atau pedang dan hendak membacok lengan kanannya, dengan sigap ia memutar tubuh sedikit, mendadak ia angkat kaki terus mendepak.

   Siapa duga angin pukulan orang itu tahu-tahu telah sampai di mukanya entah melalui jalan mana.

   Keruan saja Coh Ciau-lam amat terkejut, namun betapapun juga ia adalah jago terkemuka, menghadapi bahaya tidak pernah menjadi gugup, tiba-tiba ia mengangkat tangan kiri dan dengan gerak tipu 'Kim-liong-tam-jiau' atau naga emas mengulur cakar, dengan tenaga memotong ia hendak memencet urat nadi pergelangan tangan orang itu.

   Siapa tahu orang itupun cepat luar biasa, secara licin mendadak menarik tangan, menyusul sinar gemerlapan, tahutahu goloknya membacok dari belakang.

   Sungguh tak pernah diduga Coh Ciau-lam bahwa golok musuh bisa datang dari belakang, agar tidak sampai berkenalan dengan senjata musuh, cepat ia melompat pergi sejauh beberapa tombak, dan ketika ia berpaling ingin tahu siapa lawannya itu, tak tahan lagi ia ternganga heran.

   Ternyata orang ini adalah Hari Ci-pang yang pernah menjadi pecundangnya.

   Berkat beberapa tipu pukulan aneh yang dipelajarinya di goa batu Hunkang itu, entah sudah berapa jago musuh yang telah digertak mundur oleh Han Ci-pang, maka kini dengan menghadapi bahaya ia datang pula menolong Leng Bwe-hong, Orang yang paling dulu melihat dia ialah Ce Cin-kun dan karena jerinya, maka tadi ia bersuara kaget, ia tak tahu bahwa sesungguhnya Han Ci-pang juga sangat takut padanya, kemarin waktu Ci-pang menggebuk punggungnya hingga merabai balik oleh tenaga dalamnya, rasa sakit di tangannya itu sampai sekarang masih terasa jarem.

   Dan sebab adanya perasaan jeri itulah, maka Ci-pang tak berani menubruk Ce Cin-kun, sebaliknya membokong Coh Ciau-lam, dan betul saja, begitu berhadapan, dengan tiga kali tipu serangan golok dan telapak tangan sekaligus dilontarkannya, Coh Ciau-lam telah dipaksa melompat keluar kalangan.

   Dengan begitu daya tekanan Leng Bwe-hong menjadi ringan, dan dengan sendirinya kembali ia berada di atas angin lagi.

   Dulu waktu Ci-pang dikalahkan Coh Ciau-lam di goa batu Hunkang karena perebutan Sik-li-ci, dimana Ciau-lam menempur Ci-pang yang memakai golok 'Pat-kwa-ci-kim-to' dengan bertangan kosong tanpa susah-susah, tapi kini melihat tipu silat Ci-pang begini aneh dan lihai, tak tahan Ciau-lam terheran- heran, pikirnya.

   "Kenapa orang dogol ini tidak sampai dua tahun sudah bisa mempelajari ilmu silat yang begini bagus?"

   Dalam pada itu Ci-pang belum berhenti, kembali ia melontarkan beberapa serangan aneh pula.

   Terpaksa Ciau-lam menarik pedang menjaga diri, dan dalam hati ia pun semakin heran dan mendongkol.

   Di sebelah sana setelah satu lawan satu Leng Bwe-hong mendesak Ce Cin-kun hingga main mundur terus.

   Pada waktu merangsek musuh dan ketika lewat di samping Kui Tiong-bing, masih sempat Bwe-hong menyelingi sekali pukulan ke arah Seng Thian-ting, meski tak mengenai sasaran, tapi angin pukulannya sudah membikin kedua potlot baja Thian-ting tergoncang pergi, dan kesempatan itu segera digunakan Tiong-bing untuk melompat keluar kalangan dan melindungi Boh Wan-lian dan Tri i o Hua-ciau keluar dari keroyokan musuh.

   Meski Ciau-lam kena dibikin bingung oleh beberapa tipu serangan aneh Han Ci-pang, namun memang ia seorang cerdik, ketika ia berpikir kesanggupan Han Ci-pang hanya dalam dua tahun masakah bisa mendapatkan ilmu silat yang begitu hebat, untuk melatihnya dalam setahun dua tahun rasanya belum juga mencapai tingkat yang sempurna, kenapa harus takut padanya? Maka segera seluruh jalan darah dalam tubuhnya ia tutup rapat, ia bersedia menerima gebukan orang dengan serangan aneh itu, sambil melindungi diri dengan 'Simi- kiam-hoat' yang lihai dari Thian-san, segera ia menerjang maju dengan nekad.

   'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san-kiam-hoat ini berlawanan dengan 'Tui-hong-kiam-hoat' yang mengutamakan menyerang, tapi sangat rapat buat menjaga diri dan dapat dimainkan dengan bebas dan bagus di tempat terbuka atau di ruangan sempit.

   Kini Coh Ciau-lam mengeluarkan ilmu pedangnya ini ditambah jalan darah sudah ditutupnya semua untuk melawan Han Ci-pang, dapat dipastikan tidak nanti ia kalah, maka begitu ia menerjang, terang Ci-pang tak berdaya, terpaksa ia mengandalkan gerak tubuhnya yang aneh itu untuk berkelit dan bertahan sebisanya.

   Di pihak sana sesudah Leng Bwe-hong menggempur mundur Ce Cin-kun, ia tidak lantas mengudak lagi, tapi mendadak membalik tubuh terus menerjang ke kalangan pertarungan yang ramai itu, ia menolong keluar dari kepungan musuh Thong-bing Hwesio, Siang Ing dan Thia Thong.

   Keruan saja Ciau-lam menjadi gugup kuatir musuh kabur, lekas ia maju mencegat lagi.

   Tapi beruntun segera Bwe-hong menyambutnya dengan tiga kali tusukan bertenaga besar luar biasa.

   Dalam hal tenaga dalam Ciau-lam sedikit kalah, meski ilmu pedang yang dia mainkan begitu hebat toh masih tergoncang oleh angin senjata Bwe-hong, terpaksa ia berkaok-kaok lagi minta Ce Cinkun lekas maju membantunya pula.

   Namun cepat Kui Tiong-bing sudah mendahului mencegat, ia galung pedang wasiat 'Theng-kau-pekiam' di tangannya terus mendadak disabetkannya.

   Tatkala Ce Cin-kun melihat seorang pemuda bertangan' kosong memapak dirinya, semula ia tak memandang sebelah mata; siapa tahu mendadak sinar perak menyambar ke arahnya, lekas ia angkat senjata hendak menangkis, tapi ujung pedangnya segera tertabas putus.

   Sungguh tidak kepalang terkejutnya Ce Cin-kun, lekas ia tekan senjata lawan ke bawah dengan pedang kirinya yang sementara itu sudah saling menempel.

   Seketika Tiong-bing merasa pedangnya tertindih benda ribuan kati beratnya hingga tak sanggup menariknya kembali.

   Lekas ia menggunakan Tay-lik-eng-jiau-kang' atau ilmu cakar bertenaga raksasa, ia mencengkeram pergelangan tangan lawan.

   Terpaksa Ce Cin-kun menangkis dengan pedang kanan, dan sedikit perubahan ini telah mengurangi daya tekanan pedang kirinya hingga cepat sekali Kui Tiong-bing dapat menarik kembali senjatanya, lalu kedua orang sama-sama melompat beberapa langkah ke samping.

   Berulang-ulang menghadapi lawan tangguh, diam-diam Ce Cin-kun membatin.

   "Aku giat melatih diri selama 50-an tahun di Tiang-pek-san dan tadinya menyangka bisa menjagoi ja-gad tanpa ada tandingan, siapa duga begitu sampai kota-raja sudah beberapa kali kecundang, kini malahan seorang 'bocah ingusan' saja mampu menahas putus ujung pedangku, lalu di daerah Tionggoan sini sebenarnya ada berapa banyak orang ko-sen?"

   Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya Kui Tiong-bing juga sangat terkejut, kalau bukan pedangnya yang bisa lemas dan keras sesuka hatinya, mungkin ia sudah terjungkal oleh tenaga tekanan orang tadi.

   Sungguh belum pernah ia alami tenaga dalam orang setinggi ini sejak ia muncul di kalangan Kangouw.

   Begitulah sedikit merandeknya Ce Cin-kun, sementara Leng Bwe-hong sudah bisa menggabungkan diri dengan Kui Tiongbing dan bersama-sama para pahlawan lain terus saja menerjang keluar.

   Lekas Coh Ciau-lam berteriak dan membentak memberi perintah agar pasukan pengawal di depan sana mengurung rapat semua jalan dan memasang barisan kepungan, bahkan di atas rumah-rumah penduduk segera ia siapkan pula barisan pemanah, sedang jago-jago bayangkara kerajaan yang terpilih juga sudah membanjir datang dari kedua sayap dan belakang.

   Kiranya sekarang Coh Ciau-lam sudah bisa mengukur kekuatan lawan dan sudah yakin akan kemenangan di pihaknya, maka ia lantas mengatur dan memberi perintah dengan tenangnya.

   Teriaknya pula.

   "Thian-ting, lekas kau pergi mencegat pemuda baju kuning itu. Ce-locianpwe, mari kita bersama-sama menempur Leng Bwe-hong pula, mengenai si dogol itu tak perlu takut padanya, ia hanya macan gadungan saja. Tiau Si-hok, kau saja yang mencegat dia. Dan saudara-saudara yang lain, marilah beramai-ramai kita maju!"

   Begitulah Ciau-lam memperhitungkan betul-betul bahwa pihak lawan yang paling lihai ialah Leng Bwe-hong, Kui Tiongbing dan Han Ci-pang bertiga.

   Dan kini melihat cara mengaturnya itu, terang kemenangan akan diperolehnya.

   Ginkang Tiau Si-hok cukup bagus, sungguhpun keuletannya agak rendah, tapi dibanding Han Ci-pang masih lebih kuat sedikit.

   Ciau-lam memerintahkan dia pergi menghadang Han Ci-pang, boleh dikata pilihan yang tepat.

   Begitulah maka mendengar cara Coh Ciau-lam mengatur siasatnya itu, Leng Bwe-hong terperanjat.

   Ciau-lam betul-betul lihai, ilmu silatnya sudah tinggi, masih pintar mengatur siasat pula, begitu bergebrak, segera ia tahu kekuatan lawan.

   Sayang Hui-ang-kin sudah pergi dulu, bila tidak, tentu bisa menjebol barisan penyerangnya itu, demikian pikirnya.

   Namun Leng Bwe-hong tidak kalah tangkasnya, sebelum musuh mulai mengepung, ia sudah memberi tanda pada kawan-kawannya dan segera mereka bergerombol di suatu tempat.

   Habis itu ia sendiri memutar pedangnya ke sana kemari dengan gerak tubuh yang sangat cepat, ia menusuk ke sini dan membabat ke sana, tangan lain berbareng pun menghantam, ia selalu membantu kawannya yang terancam bahaya, sedapat mungkin ia menghindari keroyokan Coh Ciaulam dan Ce Cin-kun berdua.

   Sebaliknya apabila kedua orang itu hendak turun tangan mencelakai orang di pihaknya, mendadak Bwe-hong lantas muncul menolong.

   Sebenarnya Han Ci-pang sudah repot oleh serangan Tiau Si-hok, tapi mendadak Bwe-hong menyelusup, tahu-tahu sekali pukul Bwe-hong telah mematahkan sebelah lengan Sihok, maka dengan segera Ci-pang bisa melepaskan diri dan bergabung dengan Leng Bwe-hong pula, dengan ilmu pukulannya yang aneh itu, kian-kemari ia membantu kawannya.

   Karena itu, siasat Ciau-lam tadi menjadi gagal, keadaan pihaknya berbalik menjadi kacau dan kewalahan.

   Kalau membandingkan kekuatan yang sebenarnya, pihak Coh Ciau-lam ada tiga tokoh kelas tinggi, ditambah sisa jago kerayaan lainnya yang hampir 20 orang, terang jauh lebih kuat daripada pihak Leng Bwe-hong.

   Lebih-lebih setelah mendengar keributan itu, penjaga-penjaga lain yang berdekatan sudah memburu datang juga, suasana sudah tentu bertambah tegang dan berbahaya bagi pihak Leng Bwe-hong.

   Dalam pertarungan sengit itu, Thio Hua-ciau luka terbacok, darah mengucur deras, namun secara gagah ia masih memutar pedangnya menghantam musuh.

   Cepat Bwe-hong melesat ke sampingnya, sekali gablok ia pukul remuk batok kepala seorang jagoan di depan Thio Huaciau, habis itu ia menyeret Hua-ciau ke garis dalam.

   "Lan-cu. O, Lan-cu, ingin aku bertemu kau,"

   Terdengar Hua-ciau menggumam sendiri, nyata pikiran pemuda ini sudah kacau.

   Melihat pemuda ini dalam keadaan tak sehat, hati Leng Bwe-hong rada gugup dan kuatir.

   Dengan pedang di tangan kanan ia menangkis serangan musuh dan tangan kiri cepat merobek kain bajunya buat membalut luka orang.

   "Sesudah kita lolos, aku nanti akan membawamu pergi mencarinya, kini kau di belakang Kui-hiante, lawanlah musuh, mengertikah kau?"

   Bisik Bwe-hong padanya. Hua-ciau mengangguk tanda tahu. Habis itu Leng Bwehong memutar pedangnya pula menghantam mundur dua musuh yang sedang mengembut Boh Wan-lian. Melihat kekuatan musuh makin lama bertambah kuat, diam -diam Bwe-hong merasa heran.

   "Mengapa mereka masih belum tampak datang?"

   Demikian ia bertanya dalam hati.

   Dan ketika ia kuatir, tiba-tiba terlihat di sebelah depan sana serdadu Boon bagaikan arus air terbelah ke samping karena diterjang oleh serombongan orang.

   Rombongan itu semua menco-rang-coreng muka mereka dengan warna yang aneh dan lucu.

   "Thio Jing-guan ini cerdik juga, dengan mencoreng muk"

   Memang lebih sukar dikenali daripada memakai topeng,"

   Kata Bwe-hong dalam hati geli. Tetapi segera ia berpikir juga.

   "Kepandaian Thio Jing-guan hanya biasa saja, kawan-kawan yang ia bawa sekalipun bisa menahan pasukan pengawal, namun bagaimana bisa mengalahkan jago kerajaan ini."

   Selagi ia ragu, tiba-tiba dilihatnya seorang tua gagah agak kurus telah mendahului menerjang, pedangnya menusuk dan tangannya menghantam cepat, serdadu pasukan pengawal yang mencoba merintangi beruntun kena dibikin roboh.

   "He, mengapa orang tua ini juga datang!"

   Kata Bwe-hong girang pada Wan-lian. Sementara itu Ce Cin-kun telah menyerobot maju hendak menghalangi orang tua itu. Segera tertampak sinar perak berkelebat, tahu-tahu ujung pedang orang menusuk ke tenggorokannya.

   "Bagus!"

   Sem Ce Cin-kun.

   Mendadak sepasang pedangnya menangkis ke atas, sekali menyerang sambil menjaga.

   Orang tua itu bersuara heran karena gerak serangan Ce Cin-kun.

   Cepat ia memutar pergi dan sinar pedangnya segera berkelebat lagi kembali menusuk.

   Ce Cin-kun coba menangkis pula dan dengan keras membentur pedang lawan, tak ia duga, pedang orang tua itu cepat luar biasa, dalam sekejap saja sudah menyerang lima kali lagi secara bertubi-tubi.

   Ce Cin-kun terpaksa menarik pedang menjaga diri.

   Nampak itu, Coh Ciau-lam sangat terkejut, ia memutar pedangnya dengan cepat terus melayang maju ke depan orang tua itu.

   Dalam pada itu, orang tua itu menyerang dua kali dengan cepat, lalu tubuhnya meloncat tinggi, pedangnya secepat kilat segera menusuk memapaki datangnya Coh Ciau-lam.

   Kedua pedang segera saling beradu, api meletik, kedua orang sama-sama tergetar melompat mundur ke belakang.

   'Waktu melompat turun orang tua itu memutar pedangnya bagai kiliran hingga pasukan pengawal yang coba mendekat segera banyak yang terluka oleh sinar pedangnya dengan kaki putus atau tangan kutung.

   ^ Pada waktu Coh Ciau-lam hendak menancapkan kaki ke bawah, segera ia disambut sekali babatan oleh Kui Tiong-bing Theng-kau-pokiam yang gemerdep menyambar cukup membuat orang keder.

   Tubuh Coh Ciau-lam sedang terapung di udara, ia tak bisa berkelit, terpaksa ia mengumpulkan tenaga dalamnya dan pedangnya menutul ke bawah, walaupun ujung pedangnya lantas tertabas kutung, namun kesempatan itu dapat digunakannya untuk turun kembali ke samping dan berkeringat dingin nyaris kena tusukan orang.

   Berulang Ce Cin-kun menemukan lawan kosen, ia terkejut oleh ilmu pedang orang tua yang begitu cepat dan hebat yang tampaknya tidak di bawah Leng Bwe-hong.

   Dalam pada itu, Coh Ciau-lam telah dapat menduga siapa adanya orang tua itu.

   Ciok-lotaucu.

   apakah kau sudah tak memikirkan harta bendamu lagi yang ada di sini dan tak menghiraukan para murid dan pengikutmu lagi?"

   Bentaknya segera.

   Orang tua gagah kurus ini memang adalah 'Liap-hun-kiam' Ciok Cin-hui.

   Sebelum Leng Bwe-hong terkenal di kalangan Kangouw, bersama 'Yu-liong-kiam' Coh Ciau-lam dan 'Bu-kekkiam' Pho Jing-cu, mereka bertiga disebut sebagai tiga ahli pedang di masa itu, ilmu pedangnya yang tinggi dan lihai merupakan suatu aliran tersendiri di kota-raja.

   Dan karena kedatangannya ini, keadaan segera banyak berubah pula.

   Pada waktu Ce Cin-kun dan Coh Ciau-lam menempur Ciok Cin-hui dengan sengit, dengan cepat Bwe-hong telah menerjang keluar kepungan, para jagoan kerajaan tak mampu mencegat hingga kepungan mereka lantas bobol.

   Di sebelah lain dengan mati-matian Seng Thian-ting mengayun 'Boan-koan-pit' menyerang dari samping, segera ia disambut Thong-bing Hwesio dengan sekali bacokan, maka terdengarlah suara nyaring, mata golok terlempit, dan potlot baja Seng Thian-ting juga tergaret dalam.

   Keruan Seng Thian-ting kaget.

   Dalam pada itu Kui Tiongbing menyusul melayang maju pula, Theng-kau-pokiamnya menyambar cepat.

   Seng Thian-ting tak berani beradu keras lawan keras lagi, lekas ia mengegos ke samping.

   Apabila pedang Tiong-bing menyabet pula, kembali dua jagoan kena dilukai lagi.

   Sementara itu Leng Bwe-hong yang berada di depan sudah bisa menggabungkan diri dengan Ciok Cin-hui.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Coh Ciau-lam dan Ce Cin-kun masih berusaha mencegat lagi, akan tetapi mana bisa dibendung pula? Dengan gagah Leng Bwe-hong mendesak mundur Coh Ciau-lam dan Ciok Cin-hui menahan Ce Cin-kun, sepasang pedang Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berputar cepat di kedua sayap samping, tak lama kemudian mereka sudah keluar dari kepungan dan bergabung dengan rombongan Thio Jing-guan terus menerjang ke sana dan sini lebih jauh, hingga mayat pasukan pengawal bergelimpangan.

   "Terjang ke jurusan pintu timur!"

   Seru Ciok Cin-hui.

   Segera ia sendiri mendahului di depan membuka jalan, Leng Bwehong dan Kui Tiong-bing menjaga di belakangnya.

   Malahan Bwe-hong terus mengambil tiga buah Thian-sansin- bong dan menimpukkan ke belakang sambil membentak.

   Ketika mendadak Ce Cin-kun melihat dari depan sinar hitam keemasan menyambar, cepat ia menyampuk dengan pedangnya, tapi segera ia merasakan tangannya pedas kesemutan dan lelatu api meletik, batang pedangnya ternyata sudah berlubang.

   Sebaliknya Coh Ciau-lam lebih cerdik, ia menggunakan Ginkangnya yang tinggi untuk meloncat ke atas guna menghindarkan dua 'sin-bong' yang lain.

   Akan tetapi karena berkelitnya itu, dua jagoan di belakangnya yang menjadi korban, dada mereka tertembus dan tewas secara mengerikan.

   Mengerti bahwa pihaknya tak mungkin lagi bisa menang, terpaksa Coh Ciau-lam dan Ce Cin-kun mengumpulkan pasukan dan mengejar dari belakang, cuma tak berani mengejar seorang diri dan rnenempurpara pahlawan pnla ' Karena kejar-mengejar di jalan besar itu, penduduk dibikin ketakutan dan pada menyingkir serta menutup pintu rapatrapat.

   Tak lama kemudian mereka sudah menerjang sampai di gerbang timur, tertampak pintu gerbang sudah terbuka lebar dan 20-30 orang laki-laki bertubuh kekar sedang bertempur melawan seregu tentara Boan.

   Segera rombongan Ciok Cin-hui beramai-ramai menerjang maju, dalam sekejap saja tentara Boan yang tak seberapa banyak itu dibasmi semua, dengan cepat rombongan mereka menerobos keluar dari benteng kota.

   "Mari kita tutup pintu gerbang benteng!"

   Kata Cin-hui pada Leng Bwe-hong.

   Segera kedua orang itu menutup pintu gerbang dari luar dan dirantai erat-erat, ketika pasukan pengawal kota mengejar datang, terpaksa tak berdaya karena tertutup di sebelah dalam.

   Dan karena keadaan itu, Leng Bwe-hong menjadi heran.

   "Ini adalah perbuatan kaki-tangan Hui-ang-kin,"

   Ciok Cinhui menerangkan.

   "Hui-ang-kin?"

   Tanya Bwe-hong cepat.

   "Locianpwe sudah bertemu dengannya?"

   "Waktu kawan-kawan kita yang bersembunyi di sekitar penjara menerjang keluar,"

   Demikian Cin-hui menerangkan.

   "Mereka membikin tunggang-langgang pasukan penjaga, mereka lihat Hui-ang-kin menggendong seorang dengan dua senjatanya yang berlainan terhunus di tangan melayang di atas rumah-rumah penduduk. Waktu aku memburu dan bertanya padanya, dengan tersenyum ia mengatakan bila aku. berhasil menolong kalian keluar dari kepungan, segera supaya kita menerjang ke jurusan gerbang timur, orang-orangnya sudah mengatur segala sesuatunya di sana, asal kita bisa menutup pintu gerbang, tentu dapat menahan kejaran musuh. Setelah bilang begitu, lantas ia melayang pergi cepat laksana terbang."

   Mendengar itu, diam-diam Bwe-hong menduga tentu Huiang- kin sudah mengatur sebelumnya dan orang-orangnya itu mungkin adalah bangsa Kazak yang dibawanya.

   "Aku telah menjalankan menurut rencana yang ditetapkan kemarin, diam-diam aku mengumpulkan semua pengikut dan bekas bawahan Thian-te-hwe dan Loh-ong di kota-raja untuk ber-siap-sedia,"

   Tutur juga Thio Jing-guan.

   "Sebenarnya kami telah minta agar Ciok-locianpwe jangan ikut campur dan mengunjukkan diri, tapi karena ia berbudi luhur, apapun akibatnya ia tetap hendak membantu kita."

   Ciok Cin-hui tertawa lebar sambil mengelus jenggotnya yang memutih perak.

   "Apakah kaukira kalau aku tak mengunjukkan diri lantas bisa aman?"

   Katanya.

   "Dua hari yang lalu, dari orangku dalam pasukan pengawal aku telah diberi tahu, bahwa mereka sudah mulai mencurigaiku, hanya karena belum mendapatkan bukti apa betul aku menyembunyikan buronan, mereka kuatir 'menyingkap rumput mengejutkan ular', maka untuk sementara belum berani merecokiku. Maka lebih baik aku turun tangan mendahului, biar mereka mengenal kelihaianku."

   "Dan bagaimana rencana Ciok-locianpwe selanjurnya?"

   Tanya Bwe-hong.

   "Tidakkah lebih baik ikut kami terus ke Sucwan?"

   "Murid dan pengikutku sangat banyak, aku tak bisa pergi begitu jauh,"

   Ujar Cin-hui.

   "Meninggalkan mereka di kota-raja apa tiada halangan?"

   Tanya Bwe-hong pula.

   "Pejabat pemerintahan agak takut kalau aku memakai kekerasan, kini setelah aku pergi, kiranya mereka pun tak berani berbuat sewenang-wenang, apalagi di dalam pasukan penjaga kota-raja dan pasukan pengawal kerajaan, juga banyak pula yang menjadi anak dan cucu muridku, bagaimana mereka sanggup menangkap orang begitu banyak?"

   Tutur Cinhui "Aku berniat jalan-jalan ke daerah Kanglam untuk mencari sobat lama Beng Bu-wi, kemudian kami bersama-sama akan pergi mencari Hek Hui-hong, siluman manusia itu."

   "Jika begitu, beberapa ratus kawan dari Thian-te-hwe dan bekas bawahan Loh-ong juga tak bisa ikut kami, maka sekalian mengharap Ciok-locianpwe suka mengamati mereka,"

   Kata Thio Jing-guan.

   "Kebetulan sekali, kalau kelak aku terpaksa hingga tak ada jalan lagi, biar kubawa saudara ini bercokol di atas gunung, dari Piautau berubah menjadi Checu. Halal"

   Demikian C jok Cinhui tertawa gembira. Setelah itu, ia berkata pula terhadap Boh Wan-lian.

   "Nona Boh, jangan lupa sampaikan salamku pada Pho-pepek!"

   Lekas Bwe-hong dan Wan-lian menghaturkan terima kasih pula atas segala bantuannya. Tiba-tiba Ciok Cin-hui mengeluarkan segebung kertas dan diserahkan pada Leng Bwe-hong sambil berkata.

   "Di dalam ini surat-uang (cek) sebesar satu juta dua ratus ribu tail perak yang dikeluarkan lima bank besar di lima propinsi utara, dan berlaku di mana-mana. Kini aku hendak buron, muridku dalam semalam juga sudah menjual semua harta-bendaku. Kata mereka, lebih baik dibawa pergi kau orang tua daripada dirampas oleh pemerintah. Kini aku pun hendak berkata, lebih baik kau-bawa pergi untuk modal pergerakan Li-ciangkun, daripada dibawa olehku si tua-bangka ini."

   Nampak orang tua ini mengutarakan isi hatinya dengan terus terang, Leng Bwe-hong pun tidak menampik dan menerima pemberian itu.

   Habis itu Ciok Cin-hui lantas berangkat bersama beberapa ratus orang itu.

   Terhadap budi luhur si orang tua yang tinggi itu, para pahlawan merasa kagum.

   "Dan kini kita pun tak bisa kembali ke Sucwan lagi,"

   Kata Thio Jing-guan pelahan pada Leng Bwe-hong sesudah Ciok Cin-hui berlalu.

   "Apa kaubilang?"

   Tanya Bwe-hong kaget.

   "Ya, kita tak bisa kembali lagi ke Sucwan,"

   Thio Jing-guan mengulangi kata-katanya.

   "Kheng Cin-tiong dan Siang Ci-sin sudah berkhianat, panglima kepercayaan Go Sam-kui di Kamsiok, Ong Hu-sin, juga sudah mengkhianatinya, kini pasukan Go Sam-kui terpencil di Ouwlam, walaupun Go Samkui hendak menjadikan Hingciu sebagai ibukota dan berniat naik takhta menjadi Kaisar, namun kini ia lebih mirip api lilin yang tertiup angin, tinggal tamatnya saja! Hancurnya Go Samkui tak berharga untuk disayangkan, tetapi karena pengkhianatan yang lain, kita telah ikut menjadi korban, lebihlebih setelah Ong Hu-sin berkhianat, pasukan besar pemerintah di barat laut segera dialihkan ke Sucwan semua, Li-ciangkung telah mengirim kabar agar kita jangan kembali ke Sucwan lagi, katanya ia bermaksud memencarkan kawankawan kita menjadi kelompok kecil, agar bila perlu mengambil jalan dari Kamsiok, kemudian diam-diam memasuki Sinkiang."

   Mendengar kabar itu, Leng Bwe-hong terdiam sejenak, mukanya tampak muram.

   "Kalau begitu, boleh juga kita lantas menuju ke Sinkiang,"

   Katanya kemudian.

   "Kini kita memegang pas jalan dari Lamma besar, dengan cara perjalanan kita, tak nanti musuh bisa menyandak kita maka lebih baik kita ke Tibet dulu,"

   Ujar Ci-pang. Karena ajakan itu, Congtat Wancin dan Lamma lain pun beramai menyokong undangan itu.

   "Baik,"

   Kata Bwe-hong.

   "Dimana-mana kita bisa menetap, Sinkiang atau Tibet serupa saja."

   Dalam pada itu, ketika Boh Wan-lian memandang ke arah kota-raja, ia menjadi teringat pada Nilan Yong-yo, ia merasa pengalamannya di kota-raja itu bagai impian belaka. Tatkala itu pikiran Thio Hua-ciau sudah jernih kembali.

   "Siapakah Hui-ang-kin itu?"

   Tanyanya pada Leng Bwe-hong.

   "Mengapa Lan-cu dibawanya pergi?"

   "Ringkasnya, itu hanya soal asmara, kau tak usah bertanya lagi, biarlah aku membawamu pergi mencari dia,"

   Jawab Bwehong tertawa getir.

   Lima bulan kemudian, di bawah kaki gunung Thian-san (pegunungan Tien terletak di daerah Sinkiang) terlihat empat pemuda-pemudi yang kelihatan sudah lama berkelana dengan terpesona sedang memandang kemegahan Thian-san.

   Mereka bukan lain daripada Leng Bwe-hong, Thio Hua-ciau, Boh Wan-lian dan Kui Tiong-bing.

   Setelah mereka ikut Han Ci-pang ke Tibet dan lebih setengah bulan tinggal di sana, sementara si Lamma jubah merah yang menjadi utusan istimewa Buddha Hidup Dalai Lamma pun sudah kembali dari Pakkhia.

   Ia menceritakan keadaan di kotaraja sesudah keonaran yang ditimbulkan oleh Leng Bwe-hong dan kawan-kawannya, seluruh pejabat negeri dibikin gempar dan timbul kekuatiran,- Kaisar sangat gusar sekali karena rombongan Leng Bwehong bisa menyamar dan memakai kereta kebesaran Buddha Hidup untuk menolong Ie Lan-cu, beruntung Kaisar sendiri su- -dah pernah menyaksikan kelihaian para pendekar itu, maka ia pun percaya bahwa pas jalan telah tercuri.

   Tetapi Kaisar Khong-hi telah mengatakan juga padanya, bahwa mungkin kawanan 'penjahat' itu bisa menyelundup ke Tibet, maka ia hendak mengirim pasukan untuk menangkapnya.

   Terpaksa Larnma jubah merah menjawab bahwa ia akan minta perkenan Buddha Hidup untuk menentukannya.

   Tatkala itu walaupun Tibet termasuk wilayah Tiongkok, tetapi keadaannya seperti berdiri sendiri, urusan pemerintahan berada di tangan Dalai dan Pancen Larnma, Kaisar Boanjing belum mendapat persetujuan mereka, maka tak berani semba-rangan bergerak mengirim tentara, karena terlalu jauh jaraknya, maka untuk sementara urusan itu lantas menjadi beku.

   Selain itu, Larnma jubah merah membawa pula dua kabar.

   Pertama ialah Go Sam-kui yang makin dekat hari tamatnya telah mengangkat diri sendiri menjadi Kaisar di Hingciu.

   Karena itu, pasukan pemerintah Boan dikerahkan seluruhnya untuk menggempur.

   Pada waktu ia meninggalkan kota-raja, kabarnya pasukan besar sudah memasuki Ouwlam, agaknya dengan cepat saja sudah bisa ditumpas.

   Kegagalan gerakan Go Sam-kui sejak mula sudah dalam dugaan para pembesar bangsa Boan dan Han.

   Karenanya, kemenangan yang dicapai pasukan Boanjing tidak begitu menarik perhatian mereka.

   Akan tetapi berkenaan kekalahan Go Sam-kui itu, Boanjing mendapat keuntungan di luar perhitungan mereka di Su-cwan, dengan memperalat pasukan taklukan Go Sam-kui, mereka berhasil pula memecah-belah pertahanan Li Lay-hing di perbatasan Hunlam dan Sucwan, kabarnya sesudah Li Layhing terkurung musuh dan lak sudi takluk, ia lantas tewas bunuh diri.

   Sedang adiknya Li Jiak-sim tak diketahui jejaknya.

   Kabar lain yang dibawanya ialah, katanya Khong-hi sedang mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh negeri dan melatih tentaranya dengan giat, agaknya ada maksud akan menjajah ke Sinkiangdan Tibet Mendengar kabar yang dibawa Larnma jubah merah ini, Leng Bwe-hong merasa tak enak pikiran, ia menyayangkan Li Lay-hing yang sudah menghimpun tenaga sekian lamanya, kini dalam sekejap saja sudah kena ditumpas musuh.

   Di samping itu ia pun terkenang dan kuatir akan diri Lauw Yu-hong.

   Ya, betapapun juga ia tidak mau membuka rahasia dirinya yang sebenarnya, tetapi dalam lubuk hatinya selalu masih terukir bayangan Lauw Yu-hong, yang tidak dapat ia lupakan sampai akhir zaman.

   Di lain pihak rasa rindu Thio Hua-ciau terhadap Ie Lan-cu juga tidak kalah dengan Leng Bwe-hong.

   Dan oleh karena ia lebih muda, maka api asmara itu tampak berkobar lebih hangat, dibanding perasaan Leng Bwe-hong yang tersembunyi itu, jauh lebih nyata dan membuat orang lain ikut pilu.

   Dengan mata kepala sendiri Bwe-hong melihat Hua-ciau sehari demi sehari menjadi makin kurus karena merana, teringat oleh janjinya yang pernah ia berikan, ditambah hubungannya dengan Ie Lan-cu yang tak beda ayah dan anak, kesemuanya ini mendorong hasratnya untuk lantas pergi mencarinya.

   Oleh karena itu, ia lalu mohon diri dari Ang-ih Larnma atau Larnma jubah merah, dan membawa Thio Hua-ciau ke Sinkiang.

   Ang-ih Larnma mengetahui Leng Bwe-hong adalah orang yang paling dipuja oleh rakyat penggembala, sesudah Njo Hun-cong wafat, lebih-lebih dengan bangsa Kazak ada hubungan yang sangat erat, karenanya ia sekalian minta agar mewakilkannya mengikat tali persahabatan dengan suku bangsa itu agar bersiap melawan pasukan Boan apabila pada suatu ketika mereka diserang.

   Selama ini Tiong-bing menganggap Bwe-hong bagai saudara tuanya, boleh dikata selain Boh Wan-lian, adalah orang yang paling ia kagumi, oleh karena itu Leng Bwe-hong hendak ke Sinkiang, dengan sangat ia pun minta ikut pergi.

   Mengingat perjalanan bu' dapat juga menggembleng dan menambah pengalaman mereka, maka Bwe-hong lantas membawa mereka, empat orang lantas melintasi gurun Gobi yang luas dan menembus padang rumput, setelah bersusahpayah selama lebih sebulan dalam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di kaki gunung Thian.

   Berdiri di kaki gunung Thian yang megah itu, hanya tampak awan tebal terapung di angkasa, puncak-puncak yang tertutup oleh salju menjulang tegak ke atas bersinar kelap-kelip bagai intan permata.

   Waktu itu sang surya baru muncul, puncak yang tertutup salju tersorot sinar matahari hingga menerbitkan corak beraneka warna yang indah, seumpama pelukis yang paling pandai pun tak mampu melukiskan pemandangan 'matahari terbit di Thian-san' ini.

   "Aku selalu mengira puncak tinggi di Kiam-kok adalah tempat yang paling curam dan berbahaya di bumi ini, kini nampak Thian-san, tingginya melampaui awan dan puncak gunung menjulang di sana-sini, inilah benar-benar tempat yang paling hebat,"

   Kata Tiong-bing berulang-ulang saking terpesona.

   "Guruku tinggal di puncak utara Thian-san yang paling atas, sedang guru Hui-ang-kin tinggal di puncak selatan,"

   Tutur Bwe-hong.

   "Jarak antara kedua puncak itu kurang lebih tujuh atau delapan ratus li, aku pikir hendak menghadap guruku dahulu."

   Sudah lama Tiong-bing mengagumi nama Hui-bing Siansu, kini bisa berjumpa, sudah tentu mereka merasa senang sekali.

   "Dengan cara perjalanan kita ini, untuk mencapai di atas Thian-san, sedikitnya akan makan waktu tiga hari,"

   Kata Bwehong tersenyum.

   "Nona Boh, kau perlu tambah memakai satu mantel lagi."

   Hua-ciau menjadi heran atas pesan Bwe-hong ini.

   "Waktu kau membawa Lan-cu naik ke Thian-san, ia baru berumur dua-tiga tahun, dan kenapa ia bisa tahan dingin?"

   Tanyanya kemudian.

   "Di sekitar Thian-san sini ada semacam air hitam yang dapat dinyalakan api,"

   Tutur Bwe-hong tertawa.

   "Waktu aku datang ke sini, tatkala itu justru musim panas, dengan mantel aku membungkus tubuh Lan-cu, tiap malam aku menyalakan api air hitam itu untuk menghangatkan badannya. Kemudian kami dflce-temukan guruku, Hui-bing Siansu dan membawa kami ke atas."

   Perlu dijelaskan bahwa air hitam yang dimaksudkan itu ialah minyak tanah mentah yang belum diolah, karena masa itu orang belum mengenal minyak, maka mereka menyebutnya air hitam.

   Habis itu, Leng Bwe-hong menceritakan pula sedikit pengalamannya waktu naik ke Thian-san bersama Ie Lan-cu dan bagaimana ia mempelajari pedang, semua orang menjadi sangat tertarik.

   Hari pertama setelah mereka mendaki Thian-san masih belum terasa sesuatu yang luar biasa, tetapi hari kedua mereka sudah berjalan di antara puncak-puncak dan tebingtebing yang terjal dan berbahaya, dari atas puncak sering menggerujuk turun air salju yang telah mencair, makin tinggi hawa dingin makin menusuk, batu es beku yang mengalir di sungai juga makin lama makin banyak, Wan-lian sudah menggigil kedinginan.

   Namun Leng Bwe-hong sudah siap sebelumnya, ia memberi sebutir Pik-ling-tan' buatan Hui-bing Siansu dari 'Thian-sanswat- lian' atau teratai salju di Thian-san, setelah itu ia mengajari gadis ini cara mengatur pernapasan, dengan begitu baru Wan-lian tak menggigil lagi.

   Kondisi Kui Tiong-bing dan Thio Hua-ciau jauh lebih kuat, maka mereka masih bisa bertahan.

   Setelah berjalan setengah hari, tiba-tiba tertampaklah sebuah puncak gunung tertutup salju menegak di depan mereka.

   Puncak ini mirip seperti seekor Onta besar membujur menghadap ke timur, seluruh tubuhnya seperti berselimutkan bulu putih.

   "Bagus sekali!"

   Seru Wan-lian memuji. Belum pernah dilihatnya gunung bersalju begitu indah.

   "Sayang kita buru-buru melanjutkan perjalanan dan harus mengitari puncak gunung itu begitu saja,"

   Kata Bwe-hong.

   "Di atas puncak itu pemandangannya jauh lebih indah, di sana ada suatu telaga, mungkin pula terdapat 'swat-lian'. Menurut cerita, gunung ini berasal dari pecahan puncak induk Mustak."

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa Mustakim, apakah nama gunung?'' tanya Wan-lian "Boleh dikata nama gunung, tapi asalnya bukan nama gunung,"

   Tutur Bwe-horig.

   "Mustek adalah bahasa CigoT. 'Mus"

   Berarti es dan "tak' berarti gunung jadi "Mustek"

   Artinya gunung es.

   Sebenarnya gunung es di Sinkiang boleh juga disebut Mustak semua, tetapi karena gunung es yang di depan kita ini, induk puncaknya sangat tinggi, hanya sedikit lebih rendah daripada puncak utara tempat guruku, maka 'Mustak' lalu menjadi sebutan khusus baginya.

   Lihatlah, puncak Onta yang menonjol ke samping ini bukankah sangat tinggi?"

   Dan baru habis Bwe-hong berkata, mendadak gumpalan batu es menggelundung dari atas menerbitkan suara gemuruh, lekas Leng Bwe-hong dan kawan-kawan berkelit untuk menghindarkan urukan batu es itu.

   Sejenak kemudian, keadaan baru aman kembali.

   Leng Bwe-hong mengkerut kening karena kejadian tiba-tiba itu.

   "Leng-tayhiap, apa yang sedang kaupikirkan?"

   Tanya Wanlian.

   Tapi Bwe-hong tak menjawab, ia hanya menggeleng kepala saja.

   Waktu Wan-lian menengadah ke atas puncak, dilihatnya di sana tumbuh segerombol bunga merah dan segerombol bunga putih yang menonjol di atas tumpukan salju, warnanya yang kontras itu sangat cantik dan menarik sekali.

   "Ah, bagus amat, ingin sekali aku bisa naik ke atas untuk memetiknya dua tangkai!"

   Kata Wan-lian. Waktu itu justru ada angin meniup hingga bau wangi bunga teruar semerbak, Wan-lian menjadi lebih terpesona oleh bunga itu.

   "Apakah kau suka pada bunga merah-putih itu?"

   Tanya Tiong-bing tiba "Aku nanti petikkan!"

   "Lan-cu paling senang bunga, sayang ia tidak di sini, kalau ada, pasti aku pun mengawani kau naik ke atas!"

   Hua-ciau ikut berkata.

   "Kamu berdua ini sungguh seperti anak kecil, perjalanan kita sudah tergesa-gesa, tapi kalian masih berkata hendak memelik bunga segala,"

   Kata Wan-lian mengomel.

   "Kata laki-laki selamanya harus dibuktikan,"

   Ujar Bwe-hong tertawa..

   "Kalau kalian hendak memetik bunga, pergilah naik ke sana, aku dan nona Wan-lian menunggu kalian di sini."

   "Leng-tayhiap, kau tidak bergurau?"

   Tanya Tiong-bing karena tertarik oleh bunga tadi.

   "Kapan pernah aku guyon denganmu?"

   Sahut Bwe-hong. Keruan Tiong-bing menjadi girang, segera Hua-ciau ditariknya terus berlari memanjat ke atas puncak gunung itu.

   "Leng-tayhiap, mengapa kau pun berubah seperti kanakkanak?"

   Tanya Wan-lian heran.

   Akan tetapi Bwe-hong hanya tersenyum, ia tidak menjawab, kedua matanya ditujukan ke atas puncak gunung, dari sorot matanya tertampak mengandung maksud yang dalam.

   Tak lama kemudian, mendadak di atas puncak Onta sana berkumandang suara siulan aneh beberapa kali yang menggema di angkasa dan menggetarkan orang, menyusul terdengar suara bentakan Kui Tiong-bing, kemudian gumpalan batu es kembali menggelundung turun pula.

   "Di atas sana terdapat orang?"

   Kata Wan-lian terkejut.

   "Ya, lekas naik melihat ke sana!"

   Ajak Bwe-hong cepat Habis ini segera ia menarik Boh Wan-lian dan melesat naik ke puncak Onta yang menonjol di samping tak seberapa jauh dari mereka itu, maka tak lama kemudian mereka sudah tiba di atas.

   Tadi waktu Tiong-bing dan Hua-ciau naik ke atas hendak memetik bunga, dalam hati kedua pemuda ini berlainan pikiran.

   Tiong-bing seperti anak kecil, dari jauh begitu nampak bunga merah-putih itu ia sudah berjingkrak tertawa, ia pikir kalau bunga ini kupetik lalu kuberikan pada Wan-lian, entah betapa ia akan merasa senang.

   Sebaliknya Hua-ciau berbeda dengan Tiong-bing, ia bungkam saja, di tepi telinganya menggema kata-kata Ie Lancu yang pernah diucapkan padanya.

   "Sesudah aku meninggal maukah kau memetik setangkai bunga Lan dan ditancapkan di depan ku-buranku?"

   Kini Lan-cu sudah lolos dari e i maut.

   tapi mendadak telah datang searang Hui-ang-kim yang telah merebutnya pergi, kali ini kalau tak bisa mendapatkannya kembali, pasti ia sendirilah yang bakal mati metana.

   Setelah kecua orang sampai di atas, tiba-tiba pandangan mereka terbeliak, di atas gunung itu ternyata ada sebuah mata anyang memancurkan air yang jernih dan batu-batu es yang berkelap-kelip bercampurkan rontokan daun bunga.

   "Sungguh indah sekali!"

   Kata Tiong-bing tertawa sambil bertepuk tangan.

   "Apakah surga dalam dongeng itu memang sungguh ada?"

   Dua gerombol 'bunga dewa' itu mekar di tepi mata air itu, segera Thio Hua-ciau maju hendak memetiknya, tapi tiba-tiba dilihatnya di antara semak bunga itu tumbuh setangkai bunga merah yang lain sebesar mangkuk, ia menggunakan pedangnya mencukil duri-duri yang tumbuh di antara semak bunga itu dengan maksud hendak memetik bunga merah raksasa itu namun mendadak ia menjadi kaget.

   Tiong-bing, lekas kemari!"

   Teriaknya tiba-tiba.

   Dan waktu Tiong-bing menyusul datang, tak tahan lagi ia pun terkejut hingga terpekik.

   Ternyata di belakang semak bunga itu, di suatu tebing batu terdapat satu goa yang sempit, dalam goa itu ada seorang aneh yang sedang duduk bersila, air mukanya kurus kering tak ada warna darah, sama seperti kerangka tengkorak saja.

   


Keajaiban Negeri Es -- Khu Lung Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id Legenda Bunga Persik -- Gu Long

Cari Blog Ini