Dua Musuh Turunan 2
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 2
Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen
"Kau takut, hengtay?"
Tanyanya.
"Sebenarnya aku agak jeri,"
Beng Kie akui.
"Di luar keinginanku, aku turunkan busurku, untuk bersiap sedia, guna menjaga diri..... Ah, sungguh satu perbuatan gila, membikin thaydjin tertawa saja!"
Poei Keng tertawa terbahak-bahak.
"Kau lupa bahwa kau tengah berjalan bersama-sama aku!"
Katanya.
"Hahahaha! Kalau benar penjahat muncul, apa gunanya busurmu itu?"
Dan, terbenam dalam pengaruhnya susu macan, dia ulur sebelah tangannya.
"Coba kau perlihatkan permainanmu itu!"
Ia menambahkan. Beng Kie tersenyum.
"Aku bikin thaydjin ketawa saja!"
Katanya. Tapi ia tidak menolak, ia turunkan busurnya untuk dihaturkan. Poei Keng menyambutnya, ketika ia telah pegang busur hitam legam itu, ia terperanjat sendirinya. Di luar dugaannya, biang panah yang ia pandang enteng itu sebenarnya berat.
"Dari apa terbuatnya ini?"
Tanyanya, separuh mengoceh.
Lantas ia menarik, tetapi ia tak kuat menariknya hingga busur terpentang, sedang ia tahu, ia mempunyai tenaga kekuatan lima ratus kati.
Dengan sendirinya, wajahnya menjadi berubah merah, ia kaget berbareng malu, hingga mulai sadar ia dari pusingnya akibat pengaruh arak.
"Kau..... kau....."
Katanya suaranya terputus-putus. Beng Kie ambil kembali busurnya itu, ia tertawa.
"Rupanya thaydjin telah minum arak terlalu banyak hingga kau tak dapat gunakan tenagamu,"
Kata dia.
"Siauwtee membesarkan nyali, siauwtee juga ingin mohon diberi ketika melihat busur thaydjin."
Dalam keragu-raguan, Poei Kei serahkan busurnya yang beratnya lima ratus kati. Si sioetjay kurus itu menyekal dengan kedua tangannya, tangan kirinya menahan bagaikan "menahan gunung Tay San,"
Tangan kanannya ditarik melengkung bagaikan "mengempo baji,"
Maka sekejab saja, busur itu telah terpentang bundar bagaikan "bulan penuh" - bulan purnama.
"Sungguh bagus busur ini katanya sambil memuji. Tapi ia memuji keenakan, ia menarik terus, atau tahu-tahu.
"Trak!"
Busur itu patah menjadi dua potong! Hilanglah pengaruh arak diotaknya Poei Keng.
"Siapa kau?"
Dia tanya dengan bentakannya, dengan bengis.
Si mahasiswa melemparkan busur rusak itu ke tanah, habis itu ia berdongak ke arah langit sambil tertawa berkakakakan sama sekali ia tidak jawab teguran itu, sebaliknya, ia lari kepada kudanya yang kecil kurus, dengan sebat ia melepaskan tambatan, terus ia lompat naik kebebokong binatang itu, yang terus kabur laksana terbang, meninggalkan debu di belakangnya.
"Panah!"
Teriak Poei Keng dengan titahnya.
Sejumlah serdadu taati titah itu, akan tetapi sudah kasip, orang sudah pergi terlalu jauh, anak panah-anak panah menyambar tanpa mengenai sasarannya.
Sebaliknya serangan anak panah itu seperti undangan belaka, sebab dari sana sini di mana terdapat semak-semak, segera muncul sejumlah orang jahat, menyusul manah, Beng Kie juga kembali bersama kudanya.
"Busur liehay cuma sebegitu saja!"
Kata si mahasiswa sambil tertawa di atas bebokong kudanya, tertawanya nyaring.
"Kita justeru adalah orang-orang jahat yang hendak merampas uang angkutanmu! Beranikah kau bertanding denganku?"
Poei Keng bungkam.
Ia telah jumput busurnya, tetapi busur itu telah patah dan tidak ada gunanya lagi.
Tapi ia mesti lindungi angkutannya, maka ia beri tanda kepada orang-orangnya untuk siap.
Tiba-tiba terdengar tertawa nyaring dari Beng Kie, lalu panahnya mengaung.
"Biar kamu tahu bahaya!"
Katanya dengan jumawa.
Tiba-tiba satu hoekhoa menjerit keras, jeritan dari kesakitan, lalu tubuhnya rubuh, karena sebatang panah menancap ditenggorokannya sekali, jiwanya melayang segera.
Kembali si mahasiswa kurus berseru, lagi sekali panahnya mengaung, lantas hoekhoa yang kedua rubuh menjerit seperti rekannya tadi, tubuhnya terguling dan binasa, sebab anak panah nancap didadanya tembus kebebokongnya! Semua serdadu menjadi kaget, dengan satu teriakan, mereka lari kabur! "Kau juga, mari rasakan sebatang panah!"
Seru Beng Kie akhirnya kepada punggawa pengantar harta besar itu.
Dan sret! Beng Kie menyekal busurnya ia menangkis, hingga terdengar satu suara nyaring dibarengi dengan meletiknya lelatu api.
Menyusul itu kembali terdengar suara mengaung yang kedua kali! Bukan main kagetnya Poei Keng, ia berkelit begitu rupa hingga ia terguling dari atas kudanya.
Anak panah lewat sedikit di atasan kepalanya! "Habislah aku!..."
Dia mengeluh. Tapi anak panah yang ketiga, yang dikuatirkan, tidak datang menyerang apa yang terdengar adalah gelak tertawanya si orang she Beng itu.
"Dua kali dapat kau kelit panahku, kau boleh dibilang kosen juga!"
Demikian katanya.
"Sekarang aku suka memberi ampun padamu!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu seruan nyaring, atas mana di jalanan di muka kereta segera meluruk jatuh banyak batu besar, batu-batu yang digulingkan dari atas gunung, mencegat jalanan itu.
Menyusul itu muncul lagi satu rombongan begal.
Poei Keng kaget dan takut, ia gulingkan tubuhnya, untuk terus lari.
Ia masih dengar panah mengaung di kupingnya, ia bersyukur, tubuhnya tidak menjadi sasaran.
Dengan terpaksa ia nelusup dalam semak-semak di dalam lembah, dari situ ia dengar suara berisik dan kalut, sampai sekian lama sesudah mana, baharulah ia dengar merata dari tindakannya lerotan kuda.
Akhirnya, ketika Poei Keng muncul dari tempat sembunyinya, ia lihat sang rembulan memancar di atas langit, di sekitarnya tidak ada orang lainnya, Cuma kupingnya dengar suaranya kutu-kutu malam saling sahut.
Dengan gunakan kaki dan tangannya, ia merayap naik, sampai di tempat tadi di mana ia tampak mayatnya kedua hoekhoa, tidak ada lain orang lagi.
Masih ia takut, hatinya masih goncang.
"Rupa-rupanya semua serdadu kena ditawan musuh..."
Pikirnya.
Tapi di situ, disekelilingnya, tidak ada musuh juga.
Sekarang hatinya punggawa ini mulai tetap, a-kan tetapi, setelah itu, kedukaan datang berganti.
Empat puluh laksa tail telah lenyap! Itulah tanggung jawab yang berat.
Hukuman yang berat sekali akan menimpah padanya.
Ia usap-usap kepalanya, ia menjadi bingung.
Mau menangis ia, tapi air matanya tidak ada.
"Sebenarnya lebih baik berandal panah saja aku hingga mati..."
Pikirnya kemudian, karena pepatnya. Ia duduk menjublak, akan awasi sang rembulan naik makin tinggi, makin tinggi.
"Tak dapat aku lolos dari kematian,"
Katanya pula di dalam hati sesudah ia piker dalam-dalam.
Maka ia ambil suatu putusan, sesudah mana, ia menghela napas.
Ia lantas cari selembar tambang, ia membuat buntalan, sesudah ikat itu kepada cabang pohon, ia kalak lehernya sendiri, lalu ia lepaskan cekalannya kepada tambang itu.....
Menggantung diri adalah suatu siksaan hebat, inilah Poei Keng rasakan ketika tenggorokannya terjirat dan napasnya mulai susah jalannya.
Untuk sedetik masih ia ingat, kenapa ia tidak terjun keair saja, akan lelapkan diri.....
Dalam keadaan itu, habis sudah dayanya Poei Keng, malah untuk menjerit saja, ia sudah tidak punya kemampuan.
Di lain detik, ia rasakan kedua matanya gelap, segera ia tak ingat suatu apa lagi.
Tapi tidak lama, ia rasakan tubuhnya enteng, samar-samar ia rasakan ada orang memeluk tubuhnya, yang diangkat turun, lalu di lain saat, napasnya berjalan pula.
Akhirnya dapatlah Poei Keng membuka matanya, hingga ia tampak satu pemuda, yang pakaiannya terdiri atas kain kasar, sedang berdiri di sampingnya, mengawasi dia sambil tersenyum.
Ia menjadi heran.
Ia menghela napas, ia merasa lega.
"Kenapa kau tolongi aku?1 ia tanya ketika ia sadar dari pingsannya.
"Adakah aturan untuk menyaksikan kematian orang, tapinya tidak menolongi?"
Tanya si anak muda sambil tertawa.
Masih Poei Keng mengawasi.
Setelah sadar, ia ingat kepada urusannya, kepada tanggung jawabnya.
Ia menjadi bingung pula.
Ia tahu, ia mesti menghadapi hukuman berat, mungkin hukuman mati.
Bukankah ia telah dibegal habis-habisan? "Percuma kau tolongi aku!"
Katanya kemudian. Dan ia lompat bangun. Ia berniat melanjutkan membunuh diri.
"Sabar,"
Kata si anak muda.
"Kenapa kau bunuh diri? Katakanlah padaku."
Anak muda ini cekal lengan orang, sampai Poei Keng, yang hendak berontak, tidak sanggup mewujudkan niatnya itu. Ia jadi semakin bingung, ia menjadi gelisah.
"Lepaskan aku!"
Ia berteriak. Ia pun berjingkrak.
"Jangan kau ganggu aku! Percuma diceritakan juga..."
Anak muda itu tertawa, ia lepaskan cekalannya.
"Melihat romanmu, kau adalah satu punggawa negeri,"
Katanya.
"Ah, tahulah aku! Kau tentu sedang mengangkut rangsum tentara, lalu kau kena dibegal! Lantas kau cari matimu sendiri! Benarkah?"
Poei Keng heran, ia melengak.
"Kenapa kau ketahui itu?"
Tanyanya sambil berjingkrak.
"Kamu tentara negeri, setiap tahun sedikitnya dua kali kamu angkut rangsum,"
Sahut si anak muda.
"Dan setiap kali kamu lewat angkut rangsum, tentu kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, maka siapakah yang tidak tahu?"
Poei Keng meringis. Karena kau sudah tahu, sudahlah, jangan kau halangi aku,"
Kata dia. Si anak muda tidak menggubrisnya, hanya, seorang diri, dia berkata.
"Meskipun kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, hingga rakyat menjadi tidak aman, sedikitnya kamu telah mengangkut rangsum tentara pelindung perbatasan, tanpa tentara tapal batas, mungkin bangsa Tartar sudah datang menyerang, maka itu, pikirku, masih lebih baik untuk kau jangan cari mampusmu sendiri....."
Heran Poei Keng, dari mengawasi, ia sambar lengan orang. Akan tetapi ia menyambar sasaran kosong.
"Kau bikin apa?"
Tanya si anak muda.
"Kau siapa?"
Bentak punggawa itu.
"Darimana kau ketahui barangku dirampas begal?"
Anak muda itu tersenyum.
"Aku adalah penduduk tani di tanah pegunungan ini,"
Dia, menyahut.
"Tadi malam aku saksikan lewatnya serombongan berandal. Mereka itu menggiring banyak kereta serta sejumlah serdadu tawanan, mereka lewat di depan rumahku, mereka menuju ke arah gunung. Aku bukannya si tolol, menampak keadaan, mustahil aku tidak dapat menerka?"
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Poei Keng anggap benar juga.
"Apakah kau tahu di mana sarangnya kawanan berandal itu?"
Dia tanya.
"Aku bukannya koncoh berandal, mana aku tahu?"
Poei Keng melengak.
"Ya, taruh kata aku tahu sarang berandal itu, apa yang aku dapat berbuat?"
Pikirnya kemudian. Karena ini, timbul pula kenekatannya.
"Biarkan aku cari kematianku!"
Ia berseru. Si anak muda mengawasi.
"Jikalau barangmu didapat kembali, kau tentu tidak akan mencari mati, bukankah begitu?"
Tanya dia.
"Mencari barangmu ada lebih berharga daripada cari mati, maka baiklah kau cari barangmu itu! Bukankah itu uang?"
Dengan tiba-tiba saja, Poei Keng ingat suatu apa. Ia sadar.
"Aku kuat pentang busur seberat lima ratus kati, itu artinya tenagaku ada di atas tenaga sembarang orang,"
Demikian ia berpikir.
"akan tetapi barusan dia cekal aku, aku tidak mampu berontak, sebaliknya dia, tak dapat aku sambar tangannya. Mestinya dia bukan sembarang orang..... Kalau tadi dia sangat jumawa, sekarang dia insaf. Tanpa merasa, dia beri hormat sambil menjura pada anak muda itu.
"Aku Poei Keng, insaf bahwa kepandaianku tidak berarti,"
Dia akui.
"Memang aku tidak sanggup melawan kawanan berandal itu. Hiapsoe, sukakah kau menolong jiwaku?....."
Tanpa ragu-ragu lagi, ia memanggil "hiapsoe" - "orang gagah" - terhadap pemuda itu. Si anak muda tertawa terbahak-bahak.
"Siapa kata aku satu hiapsoe?"
Katanya.
"Aku adalah orang gunung biasa saja. Jikalau kata-katamu ini terdengar oleh orang sesama kampungku, mereka bisa tertawa terpingkal-pingkal hingga sakit perutnya....."
Poei Keng menjadi putus asa. Tapi, masih ia mengharap.
"Melihat kau, yang harus kasihani,"
Kata si anak muda kemudian, sebelum orang sempat bicara.
"aku suka memberi petunjuk pada jalan yang terang padamu....."
Mendengar ini, terbangun harapan si punggawa.
"Silakan, tunjukkan jalan, hengtay,"
Katanya. Sekarang ia ubah bahasa panggilannya. (Hengtay = kakak yang mulia.) "Sabar,"
Kata si anak muda "Aku sendiri tak dapat menolong kau, aku cuma ingin memberi petunjuk. Tidak jauh dari sini ada seorang luar biasa, apabila kau mohon pertolongannya dan dia suka membantu, tentu sekali kau akan mendapatkan barangmu kembali."
"Siapa she dan namanya orang luar biasa itu, hengtay?"
Tanya Poei Keng.
"Di manakah tinggalnya? Maukah hengtay memberitahukan kepadaku?"
"Tentu sekali,"
Sahut si anak muda.
"Hanya ingin aku beritahu juga, karena dia ada seorang luar biasa, luar biasa juga perangainya. Kau tahu, bila dia mengetahui bahwa kau menanyakan she dan namanya, pasti kau bakal kehilangan jiwamu....."
Kaget Poei Keng hingga ia melongo.
"Sulit kalau begitu,"
Katanya.
"Baiklah, nanti aku tidak cari tahu tentang dia. Aku minta hengtay saja yang perkenalkan aku dengannya."
"Apakah kau sangka urusan sedemikian gampang?"
Si pemuda tegaskan. Kembali Poei Keng melengak.
"Habis bagaimana?"
Dia tanya. Anak muda itu tersenyum. Dia pungut tambang di tanah, yang tadi Poei Keng pakai untuk gantung diri. Poei Keng tidak mengerti, dia mengawasi.
"Kau mesti sekali lagi mencari mati!"
Kata si anak muda.
"Apa?"
Poei Keng terkejut.
"Begini,"
Kata si anak muda.
"Besok pagi-pagi, kau berangkat dari sini, pergi kau ke lembah sebelah barat sana sampai jauhnya tujuh atau delapan lie, sampai kau lihat sebuah rimba pohon toh yang bercampur pohon bunga lainnya. Itulah Ouwtiap Kok, lembah Kupu-kupu. Kira-kira seratus tindak di muka hutan pohon toh itu ada sebuah batu besar, yang warnanya merah hingga mudah dikenal. Kau mesti sembunyi di batu itu sebelumnya matahari terbit. Orang luar biasa itu tinggal di sebuah rumah kecil di belakang hutan toh itu, tidak dapat kau lantas menemui dia untuk mohon pertolongan. Biar kau lihat orang, tidak boleh kau keluar dari tempatmu sembunyi, kecuali bila sinar matahari sudah keluar dicelah-celah tempat kau sembunyi itu sambil kau memasang mata. Kau mesti cari sebuah pohon toh, di situ kau mesti berpurapura menggantung diri. Namanya berpura-pura, sebenarnya kau mesti gantung dirimu seperti barusan kau telah melakukannya. Nanti orang luar biasa itu akan menolongi kau. Ingat, jangan kau kalak diri tanggung- tanggung, mesti secara sungguh-sungguh. Aku pesan, kalau orang itu bertanya, jangan sekali-sekali kau menyebut-nyebut aku yang memberi petunjuk kepadamu!"
Poei Keng bersangsi. Si anak muda mengawasi, dia tertawa.
"Bisa atau tidaknya kau menolong jiwamu, itu bergantung pada untungmu kali ini", katanya.
"Sekarang kau tidurlah, aku hendak pergi."
"Eh, hengtay, tunggu sebentar,"
Kata Poei Keng setelah bersangsi sesaat. Dia sambar tangan orang, untuk ditarik, akan tetapi dia telah kehilangan pemuda itu, yang menyingkir dengan sangat cepat. Segera punggawa ini berpikir.
"Kata-katanya si anak muda ini aneh,"
Demikian pikirnya.
"Daripada mesti mati terhukum, lebih baik aku turut nasehatnya itu, aku coba....."
Dengan lantas ia ambil putusan.
Untuk mentaati nasehat itu, supaya bisa menjaga waktu, ia tidak berani tidur.
Ia lewatkan malam dengan gadangi sang rembulan.
Begitu Puteri Malam mulai condong, ia lantas berangkat ke arah barat.
Beberapa lie ia telah jalan, rembulan mulai sirna, tinggal bintang-bintang yang berkelap- kelip, tetapi di samping itu, samar-samar sang fajar mulai muncul.
Lagi dua lie, cuaca sudah mulai agak terang.
Sekarang Poei Keng dapat mencium harumnya bunga, hingga pikirannya jadi terbuka.
Benar-benar ia lihat banyak pohon toh di sebelah depan, di antaranya ada banyak macam pohon bunga, merah dan putih campur aduk.
Dan benar, di depan rimba toh itu, ada sebuah batu besar, yang berwarna merah darah, tingginya kira kira tiga orang berdiri.
Batu besar itu bercelah, yang muat satu tubuh manusia.
Tanpa sangsi lagi, Poei Keng hampiri batu itu, terus ia sembunyikan diri, tetapi matanya dibuka lebar, dipakai mengintip.
Hatinya bekerja, berdebar-debar.
Sambil menanti ia pikirkan kata-kata si anak muda, benar atau tidak, terbukti atau tidak....."
Sekian lama waktu telah lewat, tidak ada gerakan apa-apa di situ.
Poei Keng sabarkan diri, ia menanti terus.
Cuaca telah menjadi semakin terang.
Masih ia menanti, sampai ia tampak sinar matahari mulai muncul, dari remangremang merah menjadi merah, memberi pemandangan dari keindahan alam.
Tanpa merasa, banyak kupu-kupu muncul dan terbang berseliweran, seperti memain di antara bunga bunga.
Biar ia seorang militer, yang umumnya dianggap kasar, Poei Keng tertarik pada keindahan itu, hingga ia mengawasi dengan tersengsam.
Sebentar lagi, cahaya matahari mulai menembus hutan toh itu.
Matanya Poei Keng seperti terang, ketika mendadak, ia tampak satu orang di antara bunga-bunga itu, ialah satu nona muda dengan baju dan koen-nya berwarna putih, hingga si nona mirip satu dewi.
Tak tahu ia, dari mana munculnya anak dara itu.
Selagi mengawasi, Poei Keng heran atas kelakuan si nona.
Nona itu menggerak gerakkan tangannya, lalu pinggangnya habis itu ia lari mengitari pohon-pohonan, terus dia berlari-lari, makin lama makin keras, hingga akhirnya, punggawa itu seperti kabur penglihatannya.
Karena ia mengawasi terus, ia seperti merasa tubuhnya turut lari berputar-putar.
Benar di saat ia mulai pusing, nona itu berhenti berlari, tetapi dia bukan berhenti untuk beristirahat, perlahan-lahan dia hampirkan sebuah pohon, dan dengan sekonyong-konyong lompat mencelat naik ke atas, guna berlompatan pula, dari pohon yang satu kepohon yang lain, gerakannya cepat bagaikan burung terbang, gesit seperti kera.
Karena kagumnya, Poei Keng mengawasi dengan mulut ternganga.
"Benarkah dia ini si orang luar biasa seperti dikatakan si pemuda?"
Akhirnya dia menduga-duga.
Selagi mengawasi terus, Poei Keng lihat si nona lompat turun, selagi turun, tangan bajunya melayang, tertiup angin, hingga nona itu bagaikan dewi tengah menari.
Berbareng dengan turunnya si nona, bagaikan tertiup angin musim semi, bunga bunga toh itu pada rontok, melihat mana, si nona tertawa panjang, dengan tangan bajunya ia mengebut ke arah rontokan bunga, hingga banyak bunga yang teraup masuk ke dalam tangan bajunya itu! Poei Keng menjadi menjublak.
"Apakah benar di kolong langit ini ada nona begini elok?"
Dia tanya dirinya sendiri.
Rombongan kupu-kupu, yang tadi terbang pergi karena aksinya si nona, sekarang datang pula, akan bermain di antara pohon-pohon bunga itu, menampak demikian, si nona mengebut dengan tangan bajunya dan rontokan bunga tadi terbang berhamburan, mengenai banyak kupu-kupu, yang menerbitkan suara dan rubuh.
Poei Keng heran dan kagum.
Ia tidak sangka, rontokan bunga bisa dipakai sebagai senjata rahasia.
Ia pun berkasihan terhadap kupu-kupu itu, yang ia sangka rubuh binasa, tidak tahunya, selang beberapa saat, semua kupu-kupu itu menggerakkan tubuhnya dan terbang pula! "Oh, kupu-kupu!"
Kata si nona.
"Kasihan, aku menyebabkan kamu kaget, aku telah mengganggu padamu....."
Dan dia tertawa merdu.
Habis itu, dia bertindak pergi, akan masuk ke dalam rumah kecil.
Berbareng dengan itu, Poei Keng terperanjat.
Kalau tadinya ia berhati lega, sekarang hatinya menjadi tegang.
Sebab berbareng dengan itu, sinar matahari pun menyerang kecelah-celah batu tempat ia mengintai! "Tepat benar dugaan si anak muda,"
Pikir ia.
"Baharu si nona masuk atau matahari menyerbu kecelah-celah ini....."
Sekalipun ia masih ragu-ragu, Poei Keng toh keluar dari tempat sembunyinya.
Ia tahu benar, inilah saatnya ia mati atau hidup.
Ia berlaku hebat, ia hampirkan sebuah pohon, untuk naik ke atasnya, guna mengikat tambang, buat mengalak lehernya, setelah mana ia gantung diri! Lagi sekali punggawa yang bercelaka ini rasakan lehernya sakit dan terkancing, ia mulai susah bernapas.
Selagi berbuat begitu, ia mengawasi ke arah rumah, ia harap si nona muncul, untuk menolongi padanya.
Celakanya, untuk menjerit, ia sudah tak punyakan kemampuan.
"Mati aku sekarang!....."
Keluhnya, matanya berkunang-kunang.
Maka ia menyesal bukan main, ia antarkan jiwa percuma.
Dalam keadaan seperti itu masih sempat ia menduga apa bukannya si anak muda telah permainkan padanya...
Lalu kedua kakinya seperti berjingkrakan, sampai bunga-bunga pada rontok.
Karena ia bergerak,lehernya terjerat semangkin keras, hingga matanya gelap, pikirannya lenyap.
Di saat itu, ia masih merasa seperti ada angin meniup tubuhnya, lalu ia rasakan lehernya lega, sampai ia sanggup bernapas pula.
Kemudian, ia buka mulutnya tetapi belum dapat ia berbicara.
Berbareng dengan pulihnya napasnya, Poei Keng buka kedua matanya, maka di depannya ia tampak si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya.
"Terima kasih,"
Ia mengucap dengan perlahan, karena ia tahu, pasti si nona yang telah menolongi padanya. Dengan sinar mata yang tajam, nona itu masih mengawasi.
"Eh, punggawa perang, mengapa kau nekat?"
Tanyanya sambil menatap terus. Poei Keng memberi hormat sambil paykoei.
"Aku sedang dalam kesulitan besar,"
Sahutnya. Dan ia tuturkan pembegalan harta antaran yang besar sekali itu.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut undang-undang tentara, aku dapat dihukum picis....."
Nona itu kerutkan alisnya. Tiba-tiba ia kibaskan tangannya.
"Itulah urusan yang tak dapat aku mengurusnya!"
Katanya. Poei Keng kaget, hatinya tegang. Ia sambar ko-en si nona.
"Tolong aku, nona,"
Katanya, terus ia menangis.
"aku masih mempunyai ibu yang sudah tua serta anak yang masih kecil, jikalau kau tidak menolongi aku, tiga jiwa yang penasaran akan melayang bersama..."
Nona itu berpaling.
"Benarkah itu?"
Dia tanya.
"Jikalau aku mendusta, biarlah aku digantung pula,"
Sahut Poei Keng. Air mukanya si nona berubah menjadi keren.
"Kebetulan aku niat cari mereka, baiklah, aku nanti coba mencampuri urusanmu ini!"
Katanya kemudian. Poei Keng girang tak kepalang.
"Terima kasih, nona, terima kasih!"
Katanya sambil manggut-manggut.
"Eh, kau bikin apa?"
Nona itu menegur.
"Aku bukannya orang mati, mau apa kau manggut-manggut tak hentinya? Ah, apakah kau ingin merasai pula enaknya orang gantung diri? Ya, siapakah yang menganjurkan kau dating minta bantuanku?"
"Tidak, tidak ada yang menganjurkan,"
Poei Keng menyangkal. Ia ingat baik pesan orang.
"Berapa kali sudah kau mencoba menggantung diri?"
Si nona tanya.
"Baharu ini kali,"
Punggawa itu menyangkal pula. Si nona berdiam, tiba-tiba ia tertawa.
"Memang sebenarnya, aku peduli apa kau sudah gantung dirimu berapa kali!"
Katanya pula. Mendengar ini, bercekat hatinya Poei Keng. Baiknya si nona segera tambahkan kata-katanya itu.
"Telah aku katakan, aku hendak menolongi kau,"
Katanya.
"tidak perduli ada orang telah tunjukkan kau jalan, aku toh akan menolong kamu. Menggantung diri itu tidak enak, lain kali jangan kau mencoba pula..."
Lantas dia tertawa dengan manis, sampai dua kondenya memain. Menurut Poei Keng, nona ini baharu berumur enam atau tujuh belas tahun, yang tampak dari wajahnya yang masih kekanak-kanakan, tanpa merasa, ia jadi berkuatir. Ia sangsi.
"Dapatkah nona muda belia ini, seorang diri melawan kawanan berandal yang besar jumlahnya?"
Tapi si nona tak beri kesempatan akan dia berpikir banyak.
"Nah, mari kau turut aku!"
Dia mengajak. Poet Keng berbangkit, dia ikut memasuki rumah kecil.
"Kau tentu telah lapar, mari dahar dulu daging harimau,"
Kata nona itu. Belum Poei Keng menyahuti, atau ia sudah terperanjat. Dipojok ia tampak seekor harimau besar sedang rebah. Si nona lihat orang kaget.
"Itulah bangkai harimau!"
Katanya sambil tertawa.
"Mengapa kau takut! Apa kau dapat keset kulit harimau?"
"Pernah aku lihat pemburu melakukannya,"
Ja* wab Poei Keng.
"Kalau begitu, coba kau tolong kesetkan,"
Kata si nona.
"Tapi aku lihat tendangan kau kepada pohon toh, kau tentu kuat angkat harimau ini yang beratnya tiga ratus kati."
Poei Keng heran. Tidak aneh si nona bisa rubuhkan harimau, tapi ia tidakmengerti si nona dapat menerka kekuatan tendangannya tadi cuma dengan melihat saja.
"Benar, dia satu ahli silat,"
Pikirnya. Tidak lama, sehabis dahar daging harimau, Poei Keng lihat sang waktu sudah tengah hari. Dari tembok, si nona turunkan sebatang pedang.
"Mari turut aku, kita pergi cari si orang jahat,"
Dia kata.
"Kita minta kembali uangmu itu."
Poei Keng menurut. Mereka mendaki gunung sampai di tempat yang rimbanya lebat dan di kedua pihak terdapat puncak-puncak yang tinggi. Di situ ada sebuah gua, yang menghadapi tanah datar lebar.
"Mungkin ini ada tempat di mana penjahat menyimpan harta itu,"
Kata si nona.
"Mari!"
Dan ia maju terus. Poei Keng pun ikut nona itu. Belum jauh mereka maju, atau tiba-tiba.
"Tahan!"
Dan menyusul itu, dari antara semak-semak, lompat keluar dua orang dengan masing-masing memegang sebatang toya ditangannya, malah dengan senjata panjang itu, mereka sudah lantas mengemplang! Hebat serangan itu.
Nona itu lompat ke samping, kedua pentungan itu menyerang tempat yang kosong.
Sambil lompat, nona itu gerakkan tangannya, atas mana, dua orang itu nyelonong ngusruk, pertama karena serangan mereka hebat, kedua toya mereka kena ditarik.
Keduanya rubuh terbanting dan terus terjengkang, ke empat, kaki mereka menjulang ke atas! "
"Hm!"
Si nona mengejek, ia tertawa dingin.
Lalu, tanpa menoleh lagi, ia maju terus, dengan berlari-lari.
Di depan gua, terdapat banyak batu-batu besar yang malang melintang, dengan tongkrongannya agak mirip dengan singa atau harimau atau kuda atau kerbau, yang mengitari sebuah tanah lapang dan rata.
Tanpa ragu-ragu, nona itu lari masuk ke dalam tanah lapang itu, yang mirip dengan barisan batu rahasia.
"Tahan!"
Mendadak terdengar pula bentakan nyaring.
Itulah bentakannya dua orang, sebab dari belakang batu-batu besar, muncul dua orang dengan serangan golok dan tombak mereka kepada dada dan lutut.
Dengan berlompatan, si nona mengelak, kedua tangannya pun dikibaskan.
"Tak dapat kamu mencegat aku!"
Katanya dengan tawar. Ia tertawa. Dua penyerang itu tidak rubuh ngusruk seperti dua kawannya tadi, tapi mereka tercengang, hingga mereka diam menatap.
"Mari!"
Si nona menggape kepada Poei Keng.
"Kau adalah pemilik harta, tanpa kau datang, kepada siapa harus aku kembalikan uang itu?"
Poei Keng belum masuk ke dalam lapangan itu, mendengar suara si nona, ia besarkan hati, ia bertindak maju.
Justeru itu waktu, si nona sudah tempur dua penyerang yang pertama, yang dibantu dua kawannya, yang muncul belakangan, yang bersenjatakan golok dan tombak.
Si nona tidak hunus pedangnya, ia hanya berkelahi dengan tangan kosong, karenanya, ia banyak berkelit atau lompat menyingkir, tubuhnya lincah sekali hingga ia mirip kupu-kupu di antara bunga-bunga atau capung bermain di air.
Poei Keng mengerti silat tetapi mengawasi gerakan si nona, ia tidak berani mengawasi terus-menerus.
Dengan cepat matanya berkunang-kunang dan kabur.....
Ia mesti mengaso sebentar, baharu ia berani mengawasi pula.
Setelah bertempur sekian lama, si nona berseru, tangannya menyambar lawannya yang kiri, yang bersenjatakan tombak.
Lawan itu berada di sebelah depan kawannya.
Melihat itu, tiga kawannya yang lain segera datang.
Yang maju terdepan adalah kawannya yang kanan, yang menyekal golok, disusul yang kiri, yang menggenggam tombak, lalu yang memegang toya.
Orang yang diserang itu kaget, untuk membela dirinya, dia jatuhkan dirinya bergulingan.
Si nona tidak dapat menyusul, sebab tiga senjata datang saling susul, maka ia menyambut dengan mendahului kakinya.
Penyerang itu terpaksa lompat mundur.
Kembali si nona kena dikurung, tapi ia tidak berada dalam bahaya.
Ia malah waspada, hingga ia lihat satu orang berdiri di antara batu sedang menarik busur mengarah padanya.
Poei Keng pun lihat orang itu, ialah Beng Kie yang kemarin ini mematahkan busurnya, karena kagetnya, ia berteriak.
"Awas panah gelap!"
Tapi belum sampai ia menutup mulutnya, atau busurnya si mahasiswa kurus sudah menjepret dan anak panahnya melesat! Seperti juga ia tidak melihat bokongan, si nona tetap melayani musuhmusuhnya, akan tetapi ketika panah itu sampai, dengan tenang ia menyambuti dengan tangannya.
Panah Beng Kie yang kedua sudah segera menyambar pula! Gentar hatinya Poei Keng, ia sangat berkuatir pada si nona dalam kurungan musuh, ia insyaf si kurus, sebagai ahli panah, pandai melepaskan panah beruntun.
Itulah berbahaya.
Tapi si nona walaupun sedang repot, ia masih dapat tanggapi panah yang kedua ini, tapi ia bukan tanggapi dengan tangan, hanya dengan panah ditangannya, yang ia pakai menimpuk, hingga dua anak panah bentrok satu pada lain, lalu mental dan jatuh ke tanah! "Bagus!"
Teriak Poei Keng, yang lupa pada kagetnya.
Panah yang ketiga yang sudah melesat pula, sasarannya adalah tenggorokan si nona, hingga punggawa itu menjadi terkejut pula.
Kali ini si nona tidak gunakan tangannya, ia hanya sambuti anak panah itu sambil membuka mulutnya, guna menggigit panah itu.
Sebab ia gunakan kepandaiannya yang paling liehay dalam hal mentanggapi panah! Baharu sekarang, setelah dibokong beruntun, si nona perlihatkan roman murka.
"Kehormatan tidak dibalas kehormatan adalah terlalu!"
Katanya nyaring, lalu tangan kirinya dipakai menyambit dengan enam batang senjata rahasia yang romannya mirip dengan bunga bwee.....
-ooo00dw00ooo- BAB II Poei Keng belum melihat nyata akan tetapi kupingnya telah mendengar jeritan saling susul, sesudah mana ia dapat kenyataan, kecuali Beng Kie si kurus itu, empat lawannya si nona telah rubuh semua.
Beng Kie sendiri dapat mengelakkan diri dua kali dari dua batang senjata rahasianya si nona itu.
"Sanhoa Liehiap, namamu masyhur tidak kecewa!"
Demikian dia berseru setelah dia mendapat serangan pembalasan.
Menyusul pujiannya Beng Kie itu, empat lawan yang tadi menjerit dan rubuh, telah lompat bangun pula dengan masing-masing tangannya menggenggam senjata rahasia yang dipakai menyerang mereka, sambil bangkit berdiri hampir berbareng mereka berkata.
"Kami menghaturkan terima kasih untuk kebaikan liehiap1. Kami semua takluk!"
Nyata mereka telah terserang senjata rahasia yang digunakan dengan ilmu "Thianlie sanhoa"
Atau "Puteri kayangan menyebar bunga", mereka terkena jalan darah begitu rupa, hingga setelah rubuh dan "beristirahat"
Sebentar, lantas mereka sadar pula akan dirinya, karena mana mereka jadi insyaf bahwa si nona telah berlaku murah hati terhadap mereka. Maka mereka mengucap terima kasih. Nona berbaju putih itu tersenyum.
"Kiranya kamu sedang mencoba-coba aku, untuk mengetahui aku siapa!"
Berkata dia.
"Sekarang tentunya kamu suka mengembalikan hartanya sahabat ini, bukan?"
Tanyanya sambil menunjuk Poei Keng. Beng Kie menunjuk ke arah gua.
"Sayang kamu datang terlambat!"
Katanya.
"Sekarang harta itu sudah dibawa pindah!"
Padam wajahnya si nona. Baharu ia hendak menanya atau si kurus telah dului dia.
"Kamu mesti melakukan perjalanan lebih jauh!"
Katanya.
"Untuk itu kami telah menyediakan kudanya. Poei Thaydjin, tadi malam kau telah merasakan kaget....."
Merah mukanya Poei Keng.
"Kalau begitu, hendak aku mengunjungi tjeetjoe kamu,"
Kata si nona, yang menyebut-nyebut nama pemimpinnya (tjeetjoe).
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, mari, kita berangkat sekarang!"
Beng Kie perdengarkan suitan mulut yang nyaring, atas mana dari belakang batu keluar seorang dengan menuntun empat ekor kuda.
Tanpa berkata suatu apa, si nona lompat naik ke atas seekor kuda, dan segera pula ia ikuti pengantarnya, yang pun telah naik kudanya seperti ia, begitupun Poei Keng.
Mereka lakukan perjalanan di gunung yang sukar, kuda mereka dilarikan keras, hingga si punggawa, sekalipun dia seorang peperangan, hatinya goncang juga.
Syukur baginya, ke empat ekor kuda itu sudah biasa dengan jalanan itu, mereka lari tetap di tanah datar.
Mereka berlari-lari sampai matahari sudah berada di atas kepala mereka, lalu Beng Kie, sambil mengayun cambuknya, menunjuk dan berkata.
"Di bawah ini ada kota Ganboenkwan. Teng Tjongpeng telah bersiap-siap untuk besok membayar gaji, karena uangnya tidak ada, sekarang entah bagaimana sibuknya dia....."
Poei Keng heran.
"Apakah kita sudah melalui Ganboenkwan?"
Tanyanya "Apakah kamu bukannya orang- orangnya Kimtoo Tjeetjoe dari rombongan Djitgoat Kie?"
"Kau cuma tahu uangmu apa, tak usah kau banyak tanya!"
Beng Kie senggapi. Poei Keng berdiam, hatinya memukul. Di dalam hatinya, dia berpikir.
"Si bangsat tua Kimtoo itu tidak biasanya merampas angkutan negara, kenapa kali ini dia tentangi kebiasaan itu? Inilah hebat sebab sebegitu jauh aku tahu, Kimtoo ada bangsat tak takut langit tak jeri bumi, sampaikan tentara Beng dan Pasukan Tartar juga tidak berani mengganggu padanya. Jikalau dia kehendaki harta besar itu, pastilah aku tidak akan mendapat kembali angkutanku itu..... Jangan-jangan kepergian ini lebih banyak bahayanya daripada kebaikannya..."
Kuda berlari-lari terus sampai mereka tiba di suatu tempat terbuka yang merupakan tanah subur - di sana ada sawah-sawah di mana terdapat sejumlah orang tani yang tengah bekerja.
Dilihat sepintas lalu, tempat itu mirip dengan apa yang disebut dongeng To Hoa Goan - Sumber Bunga Toh.
"Di sini tentu ada sarangnya kawanan Kimtoo itu....."
Poei Keng mendugaduga.
Masih kuda dilarikan terus, sekarang di jalan pegunungan, sebab dikedua tepi ada lamping gunung di mana sering-sering terlihat bayangan orang berkelebat begitupun berkibarnya bendera-bendera.
Tidak lama kemudian, sampailah mereka di muka pesanggrahan.
Benteng berandal itu, dengan didampingi gunung, nampaknya bagus dan kuat.
Di situ ada sarang berandal tapi suasananya tenang.
Dengan pikiran ragu-ragu Poei Keng, yang telah turun dari kudanya, ikut si nona berjalan kaki.
Si nona telah mendahului dia turun dari kuda, ia menelad perbuatannya pengantar mereka.
Segera juga ada orang yang papak mereka, untuk memimpin, masuk ke dalam pesanggrahan di mana lantas terdengar suara genta yang nyaring serta ramainya bunyi tambur dan terompet tanda penyambutan.
Pintu pesanggrahan sudah lantas dipentang lebar-lebar, di situ lantas tampak dua baris serdadu berandal lengkap dengan alat-senjata mereka - golok dan tombak yang berkilau-kilauan, sedang seragam mereka mentereng.
Disambut secara demikian garang si nona berbaju putih perlihatkan wajah berseri seri, seperti juga bukan menghadapi ancaman, ia bertindak dengan tenang.
Poei Keng sebaliknya beda dari si nona, walaupun ia seorang peperangan, cuma dengan tabahkan hati seberapa bisa, bisalah ia ikuti teladan si nona, mengikuti nona itu terus sampai di tiongtong, ruang tengah, dari sarang berandal itu.
Di dalam ruang telah diatur rapi meja serta kursi-kursinya yang terlapis kulit harimau, tetapi di situ tidak ada orang yang menyambut atau menantikan.
Artinya ruang itu adalah ruang kosong.
Menampak demikian, si nona memperlihatkan roman tak puas.
"Mana tjeetjoe kamu"
Tanyanya, dengan suara tak senang.
Beng Kie tersenyum.
Dia tidak menjawab, hanya dua orang, yang tubuhnya tegap, lantas menyingkap tirai untuk bertindak keluar sambil membawa satu guci arak yang besar serta nenampan terisi makanan.
Guci itu bersinar kuning keemas-emasan rupanya terbuat dari tembaga, dan beratnya mungkin ada lima sampai tujuh puluh kati.
Sedang barang hidangannya, asapnya masih mengepul-ngepul, tapi pada tiap dagingnya ada ditancapkan pisau belati yang tajam mengkilap.
Kedua orang itu segera membuka mulutnya, sambil menjura, yang satu berkata dengan nyaring.
"Tamu agung datang dari tempat yang jauh, menyesal kami tidak dapat menyuguhkan apa-apa, maka itu silakanlah minum barang satu cawan arak!....."
Kata-kata itu belum diucapkan habis atau orang itu sudah melemparkan guci araknya, dilemparkan kepada tetamunya yang agung itu... Si nona tidak jadi gentar hatinya, wajahnya pun tak berubah.
"Jangan sungkan!"
Sahutnya sambil mengangkat tangannya, sedang tubuhnya digeser ke samping.
Dengan cara itu dia sambuti guci arak, gucinya tidak miring, isi araknya, tidak tumpah.
Sedang menurut perkiraan, timpukan orang itu ditaksir ada dua tiga ratus kati beratnya.
Si nona tersenyum, dia tundukkan kepalanya, akan irup arak dari guci itu.
"Sungguh arak yang wangi, arak yang wangi!"
Dia memuji. Kedua orang itu menjadi kaget, tapi yang di belakang yang membawa barang hidangan, menjadi penasaran.
"Nah inilah temannya arak!"
Dia berseru, menyusul mana, sebatang pisau belati melayang, menyambar si nona.
Si nona tersenyum.
Dia tidak berkelit atau menangkis, hanya, membuka mulutnya, dia tanggapi pisau belati itu, untuk digigit, setelah mana, dia buka pula mulutnya, akan semburkan pisau itu, yang terus melesat ke atas, nancap di penglari.
Kedua orang itu heran dan kaget, muka mereka menjadi pucat.
Mereka saling memandang dengan menjublak.
"Nah ini aku balas arak satu cawan pada kamu!"
Kata si nona, suaranya keras, tangannya yang memegang guci segera digerakkan.
Maka guci itu lantas melayang ke arah kedua orang itu, hingga mereka terkejut dan ketakutan bukan main.
Mereka terpagut untuk berkelit atau menyingkir.....
Di saat yang sehebat itu, mendadak satu anak muda lompat keluar, sebelah tangannya digerakkan, guna menyambut guci yang dibantu dengan gerakan sebelah kakinya, lalu diturunkan dengan perlahan-lahan, hingga guci tidak terbalik, araknya tidak tumpah.
"Hai, dua kutu!"
Bentak anak muda itu.
"Untuk melayani tetamu saja kamu tidak becus, tapi masih kamu berani lama-lama berdiam di sini!"
Habis berkata, terus dia hadapi si nona, untuk memberi hormat, untuk terus berkata.
"Maaf, maaf, nona!"
Ketika Poei Keng lihat si anak muda, dia terkejut, hatinya bercekat.
Dia kenali si anak muda yang telah menolongi jiwanya tadi malam, yang menasehati dan menganjurkan dia mohon bantuannya si nona, si orang luar biasa, Cuma kalau tadi malam orang dandan sebagai orang tani, sekarang ia dandan sebagai satu pemuda hartawan atau terpelajar, sikapnya halus.
"Kau liehay, kongtjoe1."
Kata si nona, yang membalas hormat. Kedua orang itu, dengan tangan mereka diturunkan, menyapa pemuda itu dengan berkata.
"Siauwtjeetjoe1."
Itulah tandanya pemuda itu adalah tjeetjoe, atau ketua mereka, yang muda. Setelah hunjuk hormatnya itu, sambil tertawa, si nona tambahkan.
"Nah sekarang baharulah aku ketemu orang yang tepat! Aku mohon sukalah siauwtjeetjoe mengembalikan harta angkutan sahabat ini!"
"Uang sejumlah itu, tak usahlah dibuat pikiran,"
Sahut si anak muda.
"Nona, silakan duduk!"
Terus ia memanggil.
"Mana orang?"
Segera ia melirik pada Poei Keng, yang ia silakan duduk juga, hanya selagi melirik, matanya memain, mata itu mengandung arti. Ia seperti hendak berkata.
"Kau lihat, petunjukku toh tidak keliru!"
Poei Keng duduk menjublak, ia benar-benar tidak mengerti.
"Kalau si anak muda ada pemimpin berandal yang muda, kenapa dia begal angkutanku dan berbareng juga menolong padaku? Kenapa anak muda itu membuatnya hingga si nona baju putih datang ke sarang berandal ini? Adakah itu tipu daya belaka dari si anak muda?"
Demikian ia berragu-ragu.
Ia pun kuatir sekali, karena mereka berada dalam sarang harimau, di dalam dan di luar ada banyak musuh.
Punggawa ini tidak usah menantikan lama atau datang orang-orang yang mengangkut harta yang menjadi tanggung jawabnya itu, hingga harta itu bertumpuk dilorak.
"Sungguh kau baik, siauwtjeetjoe1."
Memuji si nona.
"Terima kasih!"
Anak muda itu tertawa.
"Eh, tunggu dulu!"
Katanya.
Si nona tercengang.
Satu berandal sudah lantas tancapkan bendera pada tumpukan harta, itulah benda dengan matahari merah serta bulan sabit.
Itulah Djitgoat Kie, bendera Matahari dan Rembulan, tanda dari kawanan di atas gunung itu.
Si anak muda tersenyum, lalu dari atas meja ia angkat poci arak yang kecil, ia tuang isinya ke dalam dua cawan, sesudah mana, cawan yang satu segera ia tenggak.
Habis minum, ia tertawa.
"Jumlah uang empat puluh laksa tail ini benar tak usah dibuat pikiran, tetapi benderanya Djitgoat Kie berharga mahal bagaikan harga sebuah kota!"
Katanya.
Kedua mata si nona menyapu kesekitarnya hingga ia tampak banyaknya kawanan berandal di dalam ruang itu mereka itu tenang tetapi terang sekali mereka semua memperhatikan padanya.
Tentu saja ia merasa heran hingga rasa heran itu tertera pada wajahnya.
"Apakah artinya kata-katamu ini, siauwtjeetjoe?"
Dia tanya. Pemuda itu tidak lantas menyahuti, ia hanya tersenyum pula. Si nona berpikir, ia seperti ingat suatu apa.
"Oh, ya, bendera ini adalah bendera rombonganmu,"
Katanya.
"Memang bendera ini mahal yang tak dapat ditukar dengan uang puluhan ribu tail! Tapi, apakah hubungannya bendera ini dengan urusan kita?"
Anak muda itu tidak menjawab, dia hanya tertawa.
Sebaliknya hampir semua berandal telah perlihatkan roman dari kemurkaan.
Poei Keng dengar semua pembicaraan ini, ia saksikan sikapnya si anak muda dan romannya kawanan berandal itu, ia berkuatir bukan main, hingga di dalam hatinya, ia mengeluh.
"Nona ini benar liehay ilmu silatnya,"
Ia berpikir.
"tapi ia adalah satu anak dara yang mirip dengan anak pitik, buktinya, tanda- tanda dari kaum kangouw, ia tidak mengerti sama sekali! Bendera ditancap berarti.
"Jikalau kau mempunyai kepandaian untuk mencabutnya, baharu harta itu kau boleh ambil, jikalau tidak, baiklah kau mundur!"
Terang inilah satu tantangan, maka kali ini, bahaya sungguh mengancam!....."
Si nona ulangi pertanyaannya, ia tetap tidak peroleh jawaban, karena mana, wajahnya berubah menjadi merah, suatu tanda bahwa ia sudah mulai habis sabar. Begitulah, dengan alis berdiri, ia berbangkit.
"Harta telah ada di sini, masihkah kau tidak hendak menghitungnya?"
Dia berkata pada Poei Keng sambil melambaikan tangannya.
"Bendera itu adalah kepunyaan mereka jangan kau ambil, kau biarkan saja!"
Habis berkata, si nona putar tubuhnya, untuk bertindak, atau segera ia dengar tertawanya si anak muda, siapa dengan menenteng poci arak, dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sudah maju menghalang dihadapannya.
"Nona, baiklah kau duduk dulu untuk minum arak!"
Katanya, jelas dan terang. Si nona menjadi gusar.
"Tak sudi aku minum arak! Siapa dapat memaksa aku?"
Dia kata. Dan dia bertindak terus, maju. Si anak muda menolak poci arak ke depan, tangan kirinya mengangkat cawan arak.
"Apakah muka terang ini tak hendak diberikan padaku?"
Ia tanya.
Poci dan cawan segera juga mendesak dada dan muka si nona.
Itulah semacam serangan yang liehay sekali.
Akan tetapi, begitu si nona berkelit, si anak muda telah menubruk tempat kosong, maka juga cawan lantas jatuh dan pecah hancur berserakan, araknya berhamburan.
Si nona, dengan kegesitannya, telah membentur tangannya.
Si anak muda nyata liehay, setelah cawannya terlepas dan jatuh, ia tidak mundur, sebaliknya, ia maju terus menghalang dengan pocinya, mulut poci diarahkan ke buah dada si nona.
Masih si nona dapat berkelit, berbareng dengan itu dia mendorong dengan kedua jari tangannya, hingga poci arak tertolak miring, araknya tumpah di lantai, baunya tersiar memenuhi ruangan.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hal itu membuatnya semua orang heran dan kaget, tetapi poci arak tetap dicekal oleh si anak muda.
Dua kali mereka mengadu kepandaian, nyatanya si nona masih menang satu tingkat.
Si anak muda, yang ilmu silatnya tidak lemah, tidak berhenti sampai di situ.
Dengan teruskan menindak satu kaki, ia putar tubuhnya, hingga tetap ia berada di muka si nona.
"Biar bagaimana, arak ini mesti kau minum!"
Katanya tegas. Kali ini ia majukan pocinya dengan gerakan "Lioeseng kangoat", atau "Bintang meteor menguber".
"Kau harus memberi muka padaku!"
Si nona mundur dua tindak, untuk berkelit.
Sepasang alisnya berdiri, romannya berubah.
Berbareng dengan itu, ia hunus pedang dipinggangnya, hingga sinarnya berkilauan.
Mau atau tidak, anak muda itu pun mundur dua tindak, poci araknya dipakai melindungi dadanya.
Dengan cara itu, ia menutup dirinya.
Nona dengan baju putih ini segera menuding.
"Kau sangat tidak tahu aturan!"
Serunya.
"Mari kita main-main!"
Semua berandal segera mundur sampai empat tindak, untuk membikin ruangan jadi terbuka lebar.
Tapi berbareng dengan itu, mereka pererat kurungan mereka, supaya mereka bisa meluruk begitu lekas si anak muda keteter.
Hatinya Poei Keng menggetar, mukanya pucat.
Ia jadi sangat berkuatir.
"Biar ia liehay, mana dapat si nona lolos dari kedung naga dan gua harimau ini?"
Pikirnya.
Ia merasa, kalau nanti mereka berdua diserbu tentara berandal, tubuh mereka mesti dicingcang habis.
Sementara itu, ruang jadi sangat sunyi, tapi suasana menyeramkan.
Si pemuda dan pemudi tetap berdiam, karena pemuda itu tetap bersiap diri saja.
Di luar, dari kejauhan, terdengar suara terompet.
Si anak muda segera lompat mundur.
Itu waktu juga dari luar terlihat masuknya serombongan orang, yang jalan di muka adalah seorang tua dengan kumis jenggot panjang, usianya sudah enam puluh lebih akan tetapi tubuhnya, romannya masib gagah.
Si nona mengawasi, lalu ia memberi hormat.
"Apakah aku berhadapan dengan /ootjeetjoe?"
Dia tanya. Si orang tua tersenyum.
"Telah kudengar nona datang, menyesal, aku terlambat menyambut"
Sahutnya. Sambil mengucap, ia tatap si nona, sikapnya agak luar biasa memperhatikannya. Tak enak hati si nona ditatap secara demikian. Tapi tak apa ia dengan pedangnya.
"Telah lama aku dengar nama masyhur dari tjeetjoe."
Katanya, tjeetjoe yang mulia tak timpalan, maka itu hari ini beruntung aku telah datang berkunjung. Adalah maksudku untuk sekalian memohon sesuatu dari tjeetjoe."
"Kau memuji, nona,"
Kata si orang tua dengan jawabannya. Lalu dengan tiba-tiba ia menanya.
"Berapa usia nona tahun ini? Apakah kau shio Yo?"
Si nona tidak sangka ia bakal ditanya begitu rupa, tidak heran ia jadi melengak. Berbareng dengan itu, ia pun merasa kurang enak.
"Apakah lootjeetjoe maksudkan usiaku masih terlalu muda dan pengetahuanku cetek sekali hingga tak pantas aku mendaki gunung ini?"
Dia tanya.
"Apakah tak pantas aku memohon sesuatu?"
Ditanya begitu, orang tua itu usap-usap kumisnya, ia tertawa terbahakbahak.
"Harap kau tidak mengatakan demikian, nona,"
Sahutnya. Tapi si nona mendesak, dia menuding kepada harta yang bertumpuk.
"Harta empat puluh laksa tail perak ini ada uang tentara kota Ganboenkwan,"
Katanya.
"dengan turun tangannya lootjeetjoe, bukan saja mencelakakan jiwa tuan punggawa ini kau pun membuat beberapa laksa jiwa serdadu di dalam kota, hanya minum angin barat daya!"
Kembali si orang tua tertawa terbahak-bahak.
"Mustahil aku tak ketahui itu, nona?"
Sahutnya pula, ringkas. Masib si nona mendesak.
"Jikalau lootjeetjoe telah ketahui bahayanya, sudah selayaknya kau kembalikan harta itu,"
Kata dia. Si orang tua urut-urut kumis jenggotnya.
"Ah, nona, ada sesuatu yang kau belum ketahui....."
Katanya.
"Kalau begitu, tolong tjeetjoe beri penjelasan kepadaku"
Si orang tua tunjuk benderanya.
"Menurut aturan kaum Rimba Hijau,"
Katanya menjelaskan.
"Jikalau perampasan telah dilakukan, apa yang dirampas itu tak dapat dikembalikan cuma dengan kata-kata saja. Harta adalah urusan kecil, adalah keangkeran bendera yang harus dilindungi. Nona, karena kau hendak membelai tuan punggawa ini, untuk itu silakan kau berikan beberapa jurus dari kepandaianmu guna membuka mata saudara saudara di sini. Kalau tidak, andai kata harta itu aku kembalikan, mereka tentu tidak puas....."
Kembali nona itu perlihatkan kemurkaannya.
"Aku melainkan tahu, mendengar nama kalah dengan bertemu muka,"
Katanya kaku.
"siapa tahu ternyata sekali bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Baiklah, sekarang silakan lootjeetjoe menyebutkannya!"
Lagi-lagi si orang tua tertawa.
"Oh, nona kecil,"
Katanya.
"Memang di dalam dunia ini lebih banyak bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Demikian juga dengan aku si tua bangka ini! Bukankah kau sesalkan aku yang tidak lekas- lekas dan dengan rela menyerahkan kembali harta ini?"
Nona itu mengawasi, ia tidak berikan penyahutannya. Ia benar-benar seperti membawa perangai satu bocah cilik. Untuk kesekian kalinya, orang tua itu, si kepala berandal, tertawa.
"Akan aku berikan keterangan yang jelas kepadamu!"
Katanya kemudian.
"Kau mendaki gunungku dengan membawa-bawa pedang, tentunya dalam hal ilmu pedang kau telah berlatih dengan seksama, maka sekarang, baiklah dengan golok Kimtooku ini, aku layani pedangmu untuk beberapa jurus. Di dalam ilmu silat, tidak ada orang yang terlebih dahulu belajar atau belakangan, hanya siapa yang tekun dan sungguh-sungguh, dialah yang berhasil, karena itu, aku minta, janganlah karena kau pandang usiaku yang lanjut, nanti kau menaruh belas kasihan atas diriku. Nona, jikalau kau yang menang, harta empat puluh laksa tail ini akan aku kembalikan dan aku yang akan mengantarkan sendiri, aku tanggung satu tail juga tidak kurang!"
Aneh nampaknya orang tua ini, sambil bicara, ia minta arak, ketika ia habis bicara, dua cawan telah ditenggak kering, ia menantang tetapi suaranya tetap hormat dan manis, cuma sikapnya tegas.
Habis minum, ia lemparkan cawannya ke arah penglari, hingga ia lihat pisau belati nancap di situ, segera ia menanya dengan bengis.
"Penglari yang tidak kurang suatu apa, siapakah yang tancapkan pisau di atasnya?"
Hampir berbareng dengan hancurnya cawan, yang jatuh meluruk ke tanah, pisau belati itu pun turut jatuh.
Mau atau tidak, si nona terkejut juga.
Si orang tua telah perlihatkan tenaga dalamnya.
Tanpa latihan yang sempurna, tidak nanti pisau itu kena dilempar jatuh.
Karena ini, ia ubah maksudnya untuk melayani si orang tua dengan tangan kosong, tanpa ragu-ragu lagi, ia hunus pedangnya terus lompat ketengah ruangan di mana ia berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Silakan tjeetjoe beri ajaran padaku!"
Ia mengundang. Orang tua itu awasi senjatanya si nona.
"Pedang yang bagus!"
Ia memuji. Terus ia lambaikan tangannya, atas mana muncul dua serdadunya, yang datang membawa golok Kimtoo yang besar dan cahayanya bersinar berkeredepan. Setelah ia terima, ia lonjorkan golok itu, yang ia cekal dengan kedua tangannya.
"Kimtoo, kali ini kau bertemu tandinganmu!"
Ia kata.
Terus ia tertawa.
Setelah orang tua ini bersiap, keduanya sudah lantas berhadapan.
Si nona tahu ia menghadapi seorang tua, tidak mau ia turun tangan terlebih dahulu, malah ujung pedangnya diturunkan, sebagai tanda menghormat dari si muda terhadap si tua yang ia hendak lawan.
Orang tua itu mundur satu tindak.
Menampak orang mundur, si nona gerakkan pedangnya, dengan gerakan "Tjaytiap tjoanhoa", atau "Kupu-kupu belang tembusi bunga", melihat mana si orang tua berseru dengan pujiannya.
"Bagus!"
Lantas ia maju dengan gerakan "Honghong toatho", atau "Burung hong merampas sarang", hingga ia rampas tempatnya si nona.
Si nona kaget dan heran.
Ia tidak sangka, orang tua itu sangat gesit, tak kalah dengan orang muda.
Secara begitu, ia dapat dipengaruhi.
Semua rakyat berandal lantas bertepuk tangan.
Tapi dalam sekejap saja, kesunyian datang pula.
Karena tubuh si nona mencelat tinggi, pedangnya berkelebat, dengan kesudahannya terdengar satu suara nyaring dari bentroknya dua macam senjata, lelatu apinya pun muncrat berhamburan, suara nyaring itu seperti memekakkan telinga.
Segera orang tampak si nona mundur kira-kira satu tombak, dan si orang tua berdiri sambil melintangkan goloknya di depan dadanya.
"Pedang yang bagus! Ilmu pedang yang sempurna!"
Memuji orang tua itu.
"Tidak ada yang kalah di antara kita, maka itu, mari kita mencoba pula!"
Poei Keng masih rendah ilmu silatnya, ia tidak melihat tegas, tidak dapat ia membuat perbedaan, ia cuma tetap berkuatir, akan tetapi, di antara berandal-berandal, ada yang hatinya gelisah.
Walaupun si nona nampaknya kalah desak, tapi tampak golok besar dan berat dari ketua mereka telah sempoak sedikit! Si Nona berdiri diam dengan napasnya sedikit memburu, benar ia telah "lukai"
Golok orang tua itu tetapi ia sendiri telah tertolak mundur satu tombak, hampir tak sanggup ia pertahankan tubuhnya.
Ia insaf, dalam hal tenaga dalam, Iweekang, ia telah kalah dari jago tua itu.
Oleh karena ini, ketika kedua pihak sama-sama maju, untuk melanjutkan pertempuran, mereka sama-sama waspada.
Si nona berkelahi dengan lincah, tubuhnya melesat ke kiri dan kanan, cepat seperti sang kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga, pedangnya berkilauan tak hentinya.
Terang ia berkelahi dengan andalkan keentengan tubuhnya.
Di samping dia, Kimtoo Tjeetjoe berdiri tegak bagaikan gunung, ia tidak membiarkan dirinya dipengaruhi, ia cuma memutar tubuh seperlunya, guna lindungi diri.
Beberapa kali si nona berseru, pedangnya menikam, setiap kali si raja gunung dapat hindarkan diri dari bahaya, ia bisa menghalau sesuatu ancaman bahaya.
Maka itu, hebat dan luar biasa caranya mereka bertarung.
Lima puluh jurus sudah berlalu, si nona tidak peroleh hasil dengan berbagai serangannya itu, ia cuma membuatnya kawanan berandal menahan napas.
Tadinya mereka menyangka, pemimpin mereka dapat segera peroleh kemenangan, tidak tahunya, banyak waktu telah dilewatkan tanpa sesuatu hasil.
Poei Keng pun berkuatir sangat, hingga ia dipengaruhi rasa tegang di antara kawanan penjahat itu.
"Pergi!"
Sekonyong-konyong si orang tua berteriak nyaring, dibarengi dengan berkilaunya goloknya, atas mana tubuh si nona mencelat mundur kirakira satu tombak.
Semua berandal pun berseru riuh.
Si nona mundur beberapa tindak, ia berdiri tenang, melihat mana, si orang tua heran dan kagum, karena tadinya dia percaya dia dapat membikin si nona terpental dan rubuh.
Tanpa berkata suatu apa, nona itu maju pula.
Sekarang berubahlah caranya ia bersilat.
Ia masih berlompatan, akan tetapi serangannya bertambah gencar, ia bagaikan "angin badai menggempur daun"
Atau "topan hujan merusak bunga", hingga di empat penjuru seperti terlihat ia sendiri beserta berkeredepnya cahaya pedangnya.
Kali ini si nona membuat mata penonton-penonton berkunang-kunang.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menampak demikian, gentar juga hatinya Kimtoo Tjeetjoe.
Ia kagum melihat ilmu pedang yang luar biasa itu.
Untuk mencari keselamatan, terpaksa ia tutup dirinya seperti tadi, dengan memasang mata dan berlaku waspada.
Ia melayani kegesitan dengan ketenangan.
Lagi lima puluh jurus telah berlalu, setelah itu, si orang tua merasa bahwa ia mulai kena terdesak pengaruh pedang lawan.
Tentu saja, ia menjadi penasaran.
Maka kali ini, dengan hebat, ia kirim satu bacokan, guna membalas "budi"
Si nona yang menyerang tak hentinya.
Justeru itu, si nona menggunakan pedangnya, untuk mendampingi golok orang tua itu, hingga ia menyerang tempat kosong, dan tubuhnya condong ke depan.
Ia menjadi kaget.
Itu berarti ia telah membuka pembelaan dirinya.
Si nona tidak dapat pengaruhi terus golok si orang tua, ia tidak dapat gunakan ketika yang baik itu, sebab si orang tua dengan lekas telah perbaiki diri, malah setelah itu, kembali ia didesak, hingga ia main mundur.
Tidak mau ia sembarang membentrok golok besar dan berat itu.
Lagi-lagi Poei Keng jadi berkuatir.
Terang ia tampak si nona terdesak mundur, itu artinya ancaman bencana.
Ia berdiam, ia mencoba menenangkan diri.
Semua berandal pun bungkam.
Maka itu, ruang jadi sunyi senyap.
Bungkamnya kawanan berandal itu menandakan si orang tua bukannya telah menang di atas angin.....
Herannya pihak berandal, setelah mereka saksikan ilmu pedang dari si nona seperti banyak macamnya, yang mirip ilmu pedang Boetong Pay, yang mirip ilmu pedang Tatmo Kiam, yang mirip Thaykek Kiam dan juga Samyang Kiam.
Si orang tua masih mendesak, si nona terus main mundur.
"Tjeetjoe, hati-hati!"
Teriak seorang berandal waktu ia lihat si nona membuat gerakan ke belakang, tetapi hampir berbareng dengan itu, si nona sudah apungkan diri, untuk dari atas menikam kebawah.
Kimtoo Tjeetjoe lihat gerakan lawannya, ia dengar teriakan peringatan itu, meski begitu, ia justeru tertawa berkakakan sambil terus berseru.
"Lepas tanganmu!"
Karena sambil mendadak, ia membalas membacok kepinggang si nona. Ia dapat berkelit, tapi goloknya hendak meminta korban.
"Bagus!"
Teriak pula pihak berandal, lenyaplah kaget mereka.
Selagi mereka itu berteriak-teriak, suasana telah berganti rupa dengan cepat.
Si nona tidak lompat mundur, ia tidak lepaskan pedangnya, tidak peduli ancaman bahaya sangat hebat, sebaliknya, ia juga berteriak "Lepas tangan!"
Nyata ia sangat celi matanya dan sangat sebat gerakan tangannya.
Ia tampak ancaman bahaya itu, tapi ia tidak jadi gentar.
Dengan kesehatannya, ia tekan ujung golok itu, setelah mana, dengan jalan di atasan golok, ia serosotkan pedangnya akan membabat jeriji tangan orang tua yang menyekal golok.
Itu waktu, ia barengi perdengarkan teriakannya.
Tentu saja Kimtoo Tjeetjoe menjadi kaget hingga dia, yang mengerti bahaya, jadi "dengar kata,"
Dengan lantas dia lemparkan goloknya, karena kalau tidak jadi tangannya bisa kutung! Begitu rupa kepala berandal ini membuang goloknya, hingga golok itu terlempar ke atas, nancap di penglari rumah.
Kejadian ini di luar duga si nona demikian liehay, ancaman bahaya dapat diubah jadi keselamatan, jadi kemenangan.
Maka itu, ia jadi berdiri menjublak.
Habis itu, si nona tidak ulangi serangannya, malah ia hadapi tuan rumahnya, untuk memberi hormat, dengan niatnya mengucapkan "Terima kasih, tjeetjoe, kau telah mengalah!"
Akan tetapi, ketika ia tampak wajah kepala berandal itu, ia tertegun, hingga batal ia membuka mulutnya. Kimtoo Tjeetjoe perlihatkan tertawa meringis, air matanya berlinang.
"Heran,"
Pikir si nona.
"Ia ada satu jago, mustahil karena kalah bertanding, dia menangis?"
Karena ini, ia jadi mengawasi saja.
Kimtoo Tjeetjoe juga awasi si nona, ia menyeringai, kemudian ia merogo sakunya dari mana ia keluarkan sebatang bambu pendek mirip sebuah tongkat, yang ujung bawahnya bercacat, rupanya seperti sisa tongkat bekas terbabat kutung.
Waktu si nona lihat bambu pendek itu, air mukanya berubah menjadi pucat dengan tiba-tiba, ia menjerit menangis, terus ia jatuh berlutut di tanah! Itulah kejadian sangat aneh, maka semua orang menjadi tercengang.
Dengan tangan kirinya menyekal bambu itu, Kimtoo Tjeetjoe gunakan tangan kanannya mengangkat si nona berdiri, setelah mana dengan tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.
"In Tjeng punyakan cucu perempuan semacam ini, di tempat baka niscaya ia meramkan mata!"
Katanya dengan puas.
Si nona menangis tersedu-sedu, air matanya bercucuran deras.
Karena, melihat tongkat itu, teringatlah ia akan kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, yang menjadi pengalaman hebat baginya.
Ketika itu ia baharu berumur tujuh tahun, bersama engkong-nya, In Tjeng, ia buron dari Mongolia, selama di atas kereta, ia telah lihat soetjiat, tanda kehormatan dari engkong-nya itu.
Ia pun teringat cerita dari engkong-nya bagaimana si engkong menderita sebagai pengangon kuda di Negara asing.
Kejadian itu membuat ia berduka dan sedih.
Dan sekarang ia lihat sisanya soetjiat itu, ialah potongan "tongkat"
Ditangan si kepala kampak. Kimtoo Tjeetjoe susut kering air matanya yang berlinang itu, habis itu ia tertawa berkakakan.
"Sekarang ini kau bukan lagi satu bocah!"
Ia kata dengan gembira.
"Ini hari kau adalah satu wanita gagah yang mendaki gunung untuk minta kembali harta besar! Maka tak perlu kau menangis! Lekas seka air matamu! Kau tahu, urusan kita masih belum selesai....."
Nona itu menyeka air matanya, mendadak saja ia putar tubuhnya, untuk terus lompat mencelat, ke atas penglari, dari mana ia cabut golok orang tua itu, lalu ia bawa kehadapan si kepala kampak.
Ia berlutut pula.
Ia persembahkan golok dengan bawa itu ke atasan kepalanya.
"Segala apa terserah kepada putusan soe-sioktjouw,"
Ia kata. Mendengar perkataan si nona Poei Keng menjadi kaget sampai semangatnya seolah- olah pergi terbang.
"Celaka, celaka!"
Ia mengeluh.
"Aku andalkan si nona, siapa tahu mereka adalah orang-orang sendiri!....."
Si orang tua terima goloknya.
"Kau bangun,"
Katanya.
"Sepotong bambu ini kau boleh simpan. Memang bamboo ini membuatnya orang berduka tetapi ini adalah warisan yaya-mu."
Si nona terima warisan itu, ia seka air matanya.
"Poei Keng, kemari kau!"
Si kepala berandal memanggil. Gemetar tubuhnya punggawa itu, kedua kakinya lemas. Kimtoo Tjeetjoe tertawa.
"Coba bantu dia,"
Ia titahkan dua serdadu gunung.
"Inilah angkutanmu seharga empat puluh laksa tail perak, sekarang kau boleh bawa pergi!"
Kata pula si kepala berandal. Inilah di luar dugaan, Poei Keng jadi girang bukan kepalang.
"Terima kasih, terima kasih,"
Ia mengucap sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Baharu setelah itu, ia menjadi bingung.
Ia berada sendirian, mana bisa ia angkut harta besar itu? Kimtoo Tjeetjoe bisa terka hati orang, ia bicara berbisik pada satu orangnya, atas mana pintu pesanggrahan dipentang, kemudian di muka pesanggrahan itu muncul sebarisan keledai bersama serdadu pengiringnya.
"Semua harta dan orang-orangmu aku kembali- kan,"
Berkata Kimtoo Tjeetjoe sambil tertawa pada punggawa itu.
"Sekarang hitung dulu uangmu, supaya tidak ada yang kurang."
Kembali Poei Keng mengucap terima kasih. Kejadian itu membikin ia sangat bergirang. Tapi mendadak, ia ingat sesuatu. Sekarang ia jadi bernyali besar, hingga ia berani menanya kepala kampak itu.
"Di samping uang empat puluh laksa tail ini masih ada lagi empat belas kereta keledai,"
Kata dia.
"Itulah barang-barangnya Teng Tjongpeng. Aku mohon sukalah tjeetjoe mengembalikan sekalian barang-barang itu."
Sang tjeetjoe tertawa bergelak-gelak.
"Barang pribadi dari Teng Tjongpeng?"
Kata dia, menegaskan.
"Itulah barangbarang yang cocok sekali untuk keperluan pesanggrahanku ini, hendak aku menahannya!"
Poei Keng kaget. Uang negara didapat kembali, tapi barangnya Teng Tjongpeng lenyap, itu masih berarti kesulitan baginya. Mungkin itu tetap berarti hukuman mati. Maka ia lantas tekuk lutut di depan raja gunung itu, ia manggut-manggut.
"Aku mohon belas kasihan tjeetjoe, sukalah tjeetjoe tolong jiwaku,"
Ia mohon. Kimtoo Tjeetjoe tertawa pula.
"Teng Tjongpeng sendiri rela menyerahkannya padaku, kenapa kau tidak?"
Katanya. Ia terus rogo sakunya, akan keluarkan satu sampul, dari dalam mana ia keluarkan pula sepucuk surat warna merah. Poei Keng lihat surat itu, ia baca, bunyinya.
"Dengan hormat aku persembahkan barang-barang tidak berarti ini, aku mohon sudilah Tjioe Thaydjin menerimanya. Dari Teng Tay Ko."
Pasti sekali Poei Keng menjadi kaget, heran dan bingung.
Mustahil satu tjongpeng, tjongpeng dari Ganboenkwan, satu panglima kerajaan, yang dipercayakan keselamatan tapal batas negara, boleh mempersembahkan sesuatu kepada kepala berandal? Inilah benar-benar tak dapat dimengerti.
Tentu saja tidak dapat ia memikirnya, karena kepala berandal ini, yaitu Kimtoo Tjeetjoe, ada bekas Tjongpeng Tjioe Kian dari kota Ganboenkwan, tjongpeng dari sepuluh tahun yang lampau, dan Tjongpeng Teng Tay Ko yang sekarang ini adalah bekas hoetjiang sebawahannya! Melihat orang mendelong, Tjioe Kian tertawa.
"Rupa-rupanya kau masih kurang percaya,"
Ia kata.
"Baik, aku nanti suruh satu orang keluar....."
Dan ia beri titahnya. Tidak lama diantaranya dari dalam muncul satu opsir, ialah pembesar tentara yang diwajibkan oleh Teng Tjongpeng untuk nanti menerima harta angkutannya punggawa she Poei itu. Tjioe Kian tertawa pula dan berkata.
"Ini uang empat puluh laksa tail sudah diperiksa betul oleh perwira ini, sama sekali tidak kurang, maka bolehlah kau tetapkan hatimu."
Baharu sekarang lega hatinya Poei Keng.
Ia kenal baik opsir itu.
Dengan demikian ia tidak usah berkuatir lagi.
Sampai di situ, Tjioe Kian silakan kedua punggawa itu berangkat, dan ia wajibkan beberapa orangnya pergi mengantarkan.
Poei Keng dan si opsir menghaturkan terima kasih.
Selagi orang hendak berangkat, Tjioe Kian pesan si opsir.
"Tolong kau sampaikan kepada Teng Tjongpeng, karena musuh luar ada dihadapan kita, kita seharusnya tetap bekerja sama untuk menghadapinya! Tentang perjanjian kemarin, harap kau tidak melupakannya."
Opsir itu menyahuti bahwa ia mengerti.
"Beng Kie, kau wakilkan aku mengantar mereka turun gunung,"
Kata Tjioe Kian pada si orang she Beng.
"Bendera Djitgoat Kie kita itu biarlah ditancap terus sampai di kota Ganboenkwan."
Poei Keng tahu, bendera itu ada suatu tanggungan, adanya bendera itu, sama saja seperti Kimtoo Tjeetjoe yang mengantarkannya sendiri.
Maka lagi sekali ia haturkan terima kasihnya.
Tjioe Kian tertawa.
Beng Kie pun tertawa, lantas ia jalan berendeng dengan Poei Keng untuk bertindak keluar, sedang harta besar itu lantas diangkut oleh serdadu-serdadu dan ditilik oleh si opsir.
"Poei Thaydjin, kalau nanti kau sudah pulang, perlu kau yakinkan pula ilmu panahmu dan menunggang kuda!"
Kata Beng Kie sambil jalan. Poei Keng merah mukanya, sebab ia ingat itu hari ia pentang mulut besar tapi akhirnya ia dirubuhkan si kurus kering ini..... Tjioe Kian tunggu sampai orang sudah pergi semua, lalu ia menoleh pada si nona baju putih.
"Bagus kau datang, In Loei!"
Katanya.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biar bagaimana, si nona masih ragu-ragu, hatinya belum tenang betul.
Ketika sepuluh tahun yang lampau ia bertemu bekas tjongpeng ini di muka kota Ganboenkwan, ia masih kecil dan itu waktu pun sedang terbit pertempuran, ia tidak ingat betul akan roman orang itu.
Ia heran yang Tjioe Kian masih kenali padanya.
Rupanya orang she Tjioe itu bisa terka hati orang, ia tertawa.
"Jikalau hari ini aku tidak pancing kau mendaki gunung dan paksa kau keluarkan ilmu pedang istimewa ajaran Hian Kie Itsoe, aku pun tidak nanti berani sembarang akui padamu!"
Katanya. In Loei bisa mengerti keterangan itu, tapi ia tetap heran.
"Untuk memancing aku, dia berlaku begini hebat dan Jenaka, soesioktjouw ini agak keterlaluan,"
Pikirnya.
"Terang sudah bahwa ia bertabeat aneh....."
Karena ini, meski di mulut ia tidak berkata suatu apa, dihati ia merasa kurang puas. Ia ada satu pemudi yang baharu muncul dalam dunia kangouw, liehay ilmu silatnya tapi masih hijau pengalamannya..... Tjioe Kian tertawa nyaring.
"Cucu keponakan yang baik, tahukah kau kenapa aku coba merampas uang negara itu?"
Tanya dia kemudian.
"Bukankah, seperti kata soesioktjouw, kau hendak pancing aku mendaki gunung?"
Si nona baliki.
"Sebenarnya, sekalipun kau tidak memancing, hendak aku dating kemari."
"Kenapa begitu?"
Tjioe Kian tegaskan.
"Kita harus kembali pada sepuluh tahun yang lampau,"
Sahut si nona.
"Pada waktu itu Tiauw Im Taysoe telah menolongi aku menyingkir dari Ganboenkwan dia sudah bawa aku ke gunung Siauwtjee San di Soetjoan Utara di mana aku diserahkan pada guruku untuk dirawat dan dididik....."
"Bukankah gurumu itu Yap Eng Eng, yang bergelar Hoeithian Lionglie?"
Tjioe Kian memotong.
"Benar,"
In Loei manggut. Lalu ia meneruskan keterangannya.
"Sepuluh tahun aku t elah belajar silat lantas soehoe titahkan aku turun gunung. Lebih dahulu dia telah serahkan padaku surat darah dari yaya. Soehoe kata, orang yang yaya paling bencikan adalah Thio Tjong Tjioe yang membikin yaya menderita dua puluh tahun mengangon kuda, akan tetapi yang mencelakai hingga ayah menutup mata adalah Ong Tjin, itu hamba pemerintah, hanya duduknya perkara yang benar, soehoe tidak ketahui jelas. Soehoe kata, soesioktjouw adalah sahabat paling kekal dari yaya, katanya justeru disebabkan kematian menyedihkan dari yaya, soesioktjouw jadi meninggalkan pangkatnya di kota Ganboenkwan. Belakangan, soehoe kata lebih jauh, soehoe dengar soesioktjouw telah tuntut penghidupan sebagai berandal, Cuma ia tidak tahu pasti kebenarannya itu, maka soehoe titahkan aku turun gunung dengan tugas paling pertama pergi cari kau."
Mendengar itu, Tjioe Kian menggeleng-gelengkan kepala, ia menyeringai. In Loei heran.
"Sudah sepuluh tahun sejak yaya-mu menutup mata, perkaranya itu masih perkara gantung,"
Kata si orang tua. Ia tuturkan kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, lalu ia meneruskan.
"Thio Tjong Tjioe dengan Ong Tjin itu memang mempunyai hubungan satu sama lain, akan tetapi, apabila dilihat duduknya perkara ketika itu, soal masih gelap, maka itu sampai sekarang juga masih belum diketahui, di antara mereka berdua, siapa sebenarnya penjahat asli....."
"Sekarang ini aku anggap mereka berdua adalah musuh-musuhku!"
Kata In Loei.
"Dan di antara mereka, aku anggap Thio Tjong Tjioe sebagai musuh nomor satu!"
Tjioe Kian manggut.
"Memang, sakit hati itu tak dapat tidak dibalas!"
Katanya.
"Aku dibebankan permusuhan dua turunan, aku nanti habiskan tenagaku untuk itu!"
Berkata pula In Loei.
"Sampai mati baharu aku mau berhenti."
Si orang tua menghela napas.
"Ketika pertama aku sampai di Ganboenkwan,"
In Loei meneruskan pula.
"segera aku dengar nama besar dari Kimtoo Tjeetjoe beserta benderanya Matahari dan Rembulan. Lantas aku menduga pada soesioktjouw yang telah mendirikan pesanggrahan di atas gunung, tetapi karena aku belum peroleh kepastian, aku sengaja membuat gubuk di selat Ouwtiap Kok. Adalah maksudku untuk perlahan lahan membuat penyelidikan."
Tjioe Kian tertawa.
"Itulah hal yang aku ketahui,"
Katanya.
"Masih ingatkah kau, begitu lekas kau turun gunung kau lantas sudah melabrak beberapa rombongan berandal dengan menggunakan senjata rahasiamu yang mirip bunga bwee? Karena itu dalam dunia kangouw kau peroleh julukan Sanhoa Liehiap, si Wanita Gagah Penyebar Bunga."
"Julukan itu enak juga didengarnya,"
Kata In Loei.
"hanya aku tidak dapat mengetahuinya."
"Ketika kau bertempat tinggal di Ouwtiap Kok, orang-orangku sudah dari siang- siang memasang mata. Cuma, berikut aku di dalamnya, kita masih belum ketahui jelas tentang dirimu. Begitulah aku gunakan akal untuk pancing kau mendaki gunungku ini, maksudku adalah untuk mencoba ilmu silatmu guna memastikan, siapakah engkau."
"Justeru karena pancingan soesioktjouw ini, dugaanku semula jadi meleset,"
Berkata si nona.
"Aku pikir, kalau kau benar ada soesioktjouw, tidak nanti kau rampas uang tentara kota Ganboenkwan. Inilah sebabnya kenapa aku jadi berani melayani soesioktjouw bertanding....."
Tjioe Kian tertawa terbahak-bahak.
"Sejak dulu tidak pernah aku merampas uang tentera kota Ganboenkwan,"
Ia berikan keterangan.
"kalau kali ini aku membuatnya meski barusan aku berkata untuk pancing kau, sebenarnya itu tidak betul seluruhnya. Dalam pada ini masih ada hubungan yang sangat besar!"
In Loei tidak mengerti.
"Apakah itu, soesioktjouw?"
Dia tanya.
"Soalnya adalah,"
Sahut si orang tua.
"kecilnya mengenai hidup matinya kota Ganboenkwan dan pesanggrahanku ini, besarnya mengenai keselamatannya kerajaan Beng serta tanah daerahnya yang besar dan luas!"
Kaget si nona, hingga ia mengawasi dengan mendelong.
"Apakah itu, soesioktjouw?"
Dia tegaskan. Tjioe Kian tidak lantas menjawab, ia hanya dongak akan melihat langit.
"Sekarang sudah malam,"
Katanya perlahan, romannya berduka.
"Pergi kau tidur, untuk pelihara dirimu. Sebentar malam hendak aku mohon bantuan kau untuk satu urusan besar."
Ia lantas beri tanda dengan tangannya. Berbareng dengan, itu terdengarlah sambutan suara tambur dan gembreng, setelah mana si anak muda yang bermula tempur In Loei serta satu tauwbak, maju menghadap, untuk berkata.
"Silakan tjeetjoe berikan titahmu!"
Tjioe Kian manggut.
"Dia Tjioe San Bin,"
Katanya pada In Loei sambil menunjuk si anak muda.
"Dia adalah pamanmu. Umurnya tidak berbeda jauh dengan kau."
In Loei beri hormat pada anak muda itu.
"Maaf,"
Ia menghaturkan. Tjioe San Bin tertawa.
"Di dalam kalangan wanita muncul orang gagah, si orang gagah masih sangat muda,"
Katanya.
"oh, keponakanku, kau jauh terlebih kosen daripada pamanmu!....."
In Loei tersenyum.
"Sekarang silakan kau beristirahat,"
Kata San Bin, yang terus titahkan satu iiauwio - serdadu gunung - antar nona itu ke kamar yang sudah disediakan untuknya.
In Loei menurut, ia undurkan diri, akan tetapi tak dapat ia tidur pulas.
Ia terganggu berisiknya gerakan-gerakan tentera gunung.
Habis bersantap malam, pesanggrahan seperti kosong dari tenteranya, yang ada hanya beberapa orang saja yang menjadi penjaga.
"Apakah kita akan berperang dengan tentera negeri?"
Tanya In Loei.
"Bukan,"
Tjioe Kian menjawab.
"Apakah dengan bangsa Tartar?"
Si nona tanya pula.
"Masih belum pasti,"
Jawab si orang tua. Heran anak dara ini.
"Habis untuk apa soesioktjouw berikan titah pada tenteramu?"
Ia masih menanya.
"Baik kau jangan tanya-tanya dulu,"
Jawab Tjioe Kian sambil tertawa.
"Lebih baik mari kau turut aku pergi ke suatu tempat!"
In Loei bersedia, segera ia salin pakaian dengan yaheng ie - pakaian untuk jalan malam.
Berdua mereka keluar dari pesanggrahan, di luar mereka saksikan langit penuh bintang, jam pada waktu itu menunjukkan kira-kira pukul tiga.
Kimtoo Tjeetjoe ajak cucu keponakannya itu berlari-lari di jalanan gunung untuk mendaki puncak sebelah timur yang lebat dengan pohon-pohon dan pohon-pohon oyot, makin dalam makin lebat, makin jauh keadaannya makin berbahaya.
In Loei mengikuti terus dengan ragu-ragu, ia berpikir keras dengan sia-sia, tak dapat ia terka maksud bekas tjongpeng ini.
Iapun heran.
"Soesioktjouw adalah kepala sebuah gunung, dia telah atur tenteranya keluar, kenapa tangsinya dikosongkan dan dia sendiri tidak menjaganya? Kenapa dia keluar malam-malam seorang diri?"
Nona ini terbenam dalam keanehan.
Pada malam yang sunyi itu, tiba-tiba terdengar suara air, makin lama makin tegas suaranya.
Lalu terdengar juga suara bagaikan orang berseru panjang atau bagaikan suara terompet huchia.
Mendengar itu, si orang tua tarik tangannya si nona, untuk diajak bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Dalam keheranannya itu, In Loei menurut saja, ia melainkan memasang mata.
Di antara sinar rembulan layu dan bintang-bintang, In Loei lihat wajahnya si orang tua.
Itulah roman tenang tetapi tegang.
Jago tua ini pun lantas mendekam di tanah, untuk pasang kupingnya.
"Ah!"
Tiba-tiba ia bersuara seorang diri.
"Mustahil aku menduga keliru?"
In Loei pasang kupingnya, ia tidak dengar suatu apa.
"Kau dengar apa, soesioktjouw?"
Tanyanya heran. Tjioe Kian tidak segera menjawab, ia hanya menunjuk.
"Lihat!"
Katanya kemudian.
Ia menunjuk ke arah bawah, ke lembah, di sana tampak sawah ladang yang luas dam gemuk yang dibuka oleh tentera gunung, di samping itu, bagaikan rintangan, ada gili-gili atau bendungan air yang tinggi dan besar buatan manusia.
Gili-gili itu terbuat dari batu, tingginya mungkin sama dengan dua buah loteng.
Di sebelah sana terdapat telaga, luasnya tidak terlalu besar, mungkin beberapa ratus bahu.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Air telaga itu menggenang dan hitam berkilauan.
"Sawah ladang itu mendapat air dari telaga yang terbendung itu,"
Kata siraja gunung kemudian.
"Telaga itu menyebabkan kami dapat hidup bertani di sini, maka telaga itu adalah jiwa kami."
Ia lantas tuturkan bagaimana selama sepuluh tahun ia bangunkan bendungan dan kerjakan sawah ladang itu. Menutur itu, ia nampaknya gembira dan puas. Tapi, ia lantas menghela napas.
"Akan tetapi bangsa Tartar dan tentera negeri tidak mengijinkan kita tinggal di sini,"
Ia tambahkan.
"Baharu kemarin dulu aku terima laporan bahwa bangsa Tartar hendak mengirim orang-orangnya yang liehay mencuri masuk kemari untuk merusak bendungan ini."
"Kelihatannya bendungan ini tak dapat dirusak tenaga manusia,"
Kata In Loei.
"Baharu beberapa orang saja tidak nanti dapat berbuat apa-apa."
"Kau tidak tahu,"
Tjioe Kian terangkan.
"Sekarang adalah musim semi dan biasanya, setiap musim semi, air bisa melanda secara hebat."
Di sebelah atas kita masih membuat beberapa bendungan, untuk menjaga gempuran, sebab satu kali bendungan hancur, telaga ini akan meluap airnya, dan begitu air telaga meluap, celakalah kita yang berada di dalam lembah terutama sawah ladang kita musnah tergenang air."
"Sungguh hebat, menjemukan!"
Kata In Loei, yang menjadi sengit.
"Jikalau mereka itu datang, nanti kuberi pelajaran dengan pedangku!"
"Tetapi kejahatan mereka tak sampai di sini saja,"
Kata pula Tjoe Kian. Mendadak ia berhenti. Tiba-tiba, ia dengar suara yang mengherankan padanya.
"Aneh!"
Katanya.
"Apakah yang aneh, soesioktjouw?"
Tjioe Kian pasang pula kupingnya.
"Turut pendengaranku seperti ada belasan penunggang kuda yang mengejar satu orang buronan,"
Dia menerangkan.
"tadi mereka menuju ke arah barat akan tetapi sekarang mereka menuju arah kita! Ah, mereka itu tidak kenal jalanan, mereka tengah berputaran. Suaranya pun menjadi terlebih perlahan. Kau dengar tidak?"
In Loei menggelengkan kepala. Orang tua itu tertawa.
"Selanjutnya kau akan hidup di kalangan kangouw, kepandaian mendengar suara ini harus kau yakinkan,"
Ia kata. Ia terus tambahkan.
"Aku taksir pasti malam ini mereka akan datang merusak gili-gili tetapi mendengar suara itu, mereka tengah mengepung orang. Mungkinkah di antara mereka itu telah terbit perubahan?"
Baharu In Loei mau menanya kenapa jago tua itu ketahui demikian pasti tentang sepak terjang musuh, atau mendadak Tjioe Kian memberi isyarat supaya ia menutup mulut, hingga ia batalkan niatnya.
Tjioe Kian juga sudah lantas menunjuk dengan jari tangannya.
Di atas puncak kira-kira tujuh atau delapan tumbak terpisah dari mereka muncul dua orang yang merupakan bayangan hitam.
Pasti mereka itu ada orang-orang liehay, sebat demikian terang kupingnya Tjioe Kian, sesudah orang datang dekat baharu dia mengetahuinya.
Dua orang itu berdiri berendeng.
"Besok tengah hari,"
Kata yang seorang, sambil tangannya menunjuk ke arah lembah.
"maka pasanggrahan itu yang luasnya seratus lie lebih akan tergenang air hingga merupakan suatu tanah datar! Haha! Tuhan memberkahi negara kita, apa mau tjongpeng dari Ganboenkwan telah memohon bantuan kita. Sesudah kita tumpas sibangsat tua Kimtoo, untuk merampas kota Ganboenkwan mudah saja, seperti orang membalikkan telapak tangan. Satu kali Ganboenkwan sudah rubuh, jalanan untuk ke kota raja sudah tidak ada rintangannya lagi, hingga negara seluas sembilan laksa lie dari kerajaan Beng akan menjadi kepunyaan kita. Tantai Tjiangkoen, jasamu kali ini bukan main besarnya!"
Terus orang itu tertawa terbahak-bahak, suaranya mendengung di lembah. Mendengar itu, In Loei terkejut.
"Tepat sekali taksiran Paduka,"
Berkata orang yang satunya.
"Paduka tak ada bandingannya! Meski demikian adanya, tak dapat kita tidak berlaku waspada. Jikalau besok tentera kota Ganboenkwan tidak dapat dating menyambut, apakah tentera kita yang terpecah di empat penjuru tidak akan menghadapi ancaman bahaya? Aku anggap adalah terlebih sempurna jikalau empat pasukan itu diperkecil menjadi dua barisan....."
Orang yang pertama tertawa pula.
"Raja Beng ingin sangat menindas bangsat tua Kimtoo itu,"
Dia kata.
"untuk itu tenaganya tentera di Ganboenkwan tidak cukup, dia jadi tidak berdaya, karenanya dia bertindak memohon kita bekerja sama, maka itu, aku tak kuatir dia nanti melanggar janji. Ini adalah ketika yang paling baik! Satu kepala perang mengatur tentera, apakah perlu dia memandang ke kepala dan ke ekor?"
Dan lagi-lagi dia tertawa, tertawa besar. In Loei ingat suatu apa, ia jadi berpikir.
"Bukankah Tantai Tjiangkoen ini yang disebut Tantai Mie Ming oleh djiesoepeh?"
Dia menduga-duga.
"Jikalau benar dia adanya, dialah musuhku yang telah membinasakan ayahku, malam ini tak dapat dia dibiarkan lolos!"
Orang yang dipanggil Tantai Tjiangkoen itu berbicara pula.
"Lebih baik Paduka berlaku hati-hati,"
Demikian katanya.
"Tempat ini masuk lingkungan bangsat tua Kimtoo itu."
Si "paduka"
Itu - ongya - yang terang ada orang bangsa Ouw atau Tartar, kembali tertawa besar.
"Aku justeru kuatirkan mereka tidak muncul!"
Ujarnya.
"Kita sedang bersiap menggempur gili-gili, kita hendak serang tempat yang mereka harus tolongi itu, maka jikalau mereka datang mengurung kita, kita yang berjumlah belasan dapat menarik perhatian mereka itu, dengan begitu pasukan-pasukan kita yang menerjang di empat penjuru di luar akan masuk di tempat yang seperti tidak ada orangnya. Dengan punyakan kepandaian, mana bisa mereka membekuk kita? Paling juga kita kurbankan jiwanya belasan serdadu yang menggempur gili-gili....."
"Sungguh busuk!"
In Loei mendamprat dalam hatinya, mendengar tipu daya yang licik itu. Karena ini mengertilah ia akan sepak terjangnya Tjioe Kian malam ini.
"Kiranya soesioktjouw mengatur tenteranya untuk menghadapi empat pasukan musuh di luar itu,"
Pikirnya.
"Soesioktjouw ajak aku datang kemari dengan maksud menghadapi musuh-musuh gelap yang hendak menggempur gili-gili ini. Sungguh tak tercela soesioktjouw menjadi satu panglima perang! Tadinya aku menyangka dia keluar seorang diri untuk menempuh ancaman bencana, tidak tahunya, tindakan ini ada tindakan yang wajar!"
Lantas nona ini cekal keras gagang pedangnya, ia segera bersiap sedia.
Tjioe Kian juga tampaknya tegang akan tetapi dia masih menggelenggelengkan kepala mengisyaratkan agar kawannya sabarkan diri, supaya si nona jangan sembrono turun tangan.
Maka In Loei berdiam, terus ia pasang kupingnya.
"Eh,"
Terdengar Tantai Tjiangkoen.
"kenapa mereka masih belum datang?"
Si paduka, atau ongya, juga berjalan mundar-mandir, dia pun nampaknya sibuk tidak keruan.
"Eh!"
Seru Tantai Tjiangkoen itu kemudian.
"Lihat, mereka itu tengah mengepung siapa nah?"
Segera terdengar tindakan laratnya kuda yang mendatangi, lantas tampak satu penunggang kuda kabur di dalam lembah yang sempit, di belakangnya mengejar belasan penunggang kuda lainnya. Mereka itu merantau ke sawah ladang.
"Segala bantong!"
Si ongya mencaci, terus dia siapkan busurnya.
"Jangan binasakan dia, paduka!"
Tantai Tjiangkoen mencegah. Tapi baharu dia buka mulutnya atau busurnya sudah menjepret, anak panahnya melesat menyambar! Justeru itu, berbareng dengan bekerjanya panah, Tjioe Kian tepuk pundaknya In Loei sambil berseru.
"Serang raja muda Tartar itu!"
In Loei memang sudah siap, maka itu, dapat ia dengan berbareng lompat bersama si orang tua, untuk menghampirkan Tantai Tjiangkoen dan ongyanya itu.
Si nona enteng tubuhnya, pesat gerakannya, ia dapat mendahului, malah sambil memburu, ia pun sudah lantas lepaskan enam buah senjata rahasianya yang diberi nama Bweehoa Ouwtiap piauw, atau piauw Kupu-kupu, menyerang ketiga arah, atas, tengah dan bawah dari si ongya dan si tjiangkoen.
Tjiangkoen, atau jenderal itu, memang Tantai Mie Ming adanya.
Dia adalah orang yang sangat dibenci In Loei, tidak heran kalau si nona menyerang dengan luar biasa ganas.
Dengan menggunakan piauw-nya, dia sampai tak minta perkenan lagi dari si orang tua.
Mendapat serangan bokongan itu, Tantai Mie Ming tertawa berkakakan.
Ia seperti dapat lihat tegas ketiga batang piauw itu, ia sampok tiga-tiganya hingga terlempar mental.
Sebaliknya, si ongya telah perdengarkan jeritan "Aduh!"
Dan busurnya terlepas, jatuh di tanah, tubuhnya pun terhuyung dua tindak, hampir dia rubuh terguling, lalu dapat dia pertahankan diri.
Piauw si nona adalah piauw yang ia terima dari gurunya, Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, piauw itu dapat dipakai menyerang jalan darah.
Si ongya benar liehay tetapi ketika dibokong, ia pun sedang membokong lain orang dengan panahnya, maka datangnya serangan gelap membuat ia terperanjat.
Masih dapat ia tangkis satu piauw dan berkelit dari yang kedua tetapi yang ketiga mengenai dengkulnya.
Syukur untuknya, ia punyakan tenaga dalam yang liehay, ia tidak sampai terhuyung rubuh.
Untung tidak enam panah dipakai menyerang, kalau tidak, tentu jiwanya tak dapat dihindarkan dari bahaya maut.
In Loei terkejut mendapatkan ke enam piauw-nya tidak memberikan hasil yang memuaskan, malah menyusul herannya, tahu-tahu Tantai Mie Ming, yang berseru keras, telah lompat melesat kehadapannya.
Kembali ia terkejut.
Dari gerakan tjiangkoen ini, ia ketahui, orang ada terlebih liehay daripadanya.
Akan tetapi, ia kertak giginya, tak gentar ia menghadapi musuh tanggu.
Maka juga.
"Sret!"
Pedangnya segera dihunus guna memapaki lawan itu! -ooo0dw0ooo- BAB III Tantai Mie Ming bersenjatakan sepasang gaetan. Ia lihat penyerangnya ada satu nona, ia memandang enteng.
"Suruhlah orang tuamu yang keluar!"
Ia menantang.
"Gaetanku tidak biasa membinasakan segala orang tidak ternama!"
In Loei tidak gubris kata-kata jumawa itu, ia menerjang, terus sampai dua kali ketika tikamannya yang pertama ditangkis lawan itu. Tentu saja ia menjadi tambah gusar dan sengit.
"Hai, budak, apakah kau cari mampus?"
Bentak jenderal itu setelah ia sampok mental pedangnya. Kedua tikaman itu dapat ia elakkan. In Loei tidak mundur, dia malah maju mendesak. Dia membungkam ketika dia menyerang pula dengan "Pekhong koatdjit"
Atau "Bianglala menutupi matahari."
Mie Ming melayani dengan sungguh-sungguh, dengan sepasang gaetannya ia coba mengurung pedang si nona, tetapi In Loei tidak mau mengerti, ia bebaskan diri, ia menyerang pula, demikian hebat, hingga lawannya berseru.
"Eh!"
Orang Mongolia yang tanggu ini heran, mau atau tidak, ia mesti bekerja keras, setelah kedua gaetannya membuka ke kiri dan kanan, lantas ia desak si nona hingga orang mundur tiga tindak, tindakannya hampir kacau.
Gadisnya In Tjeng menjadi penasaran sekali, tanpa pedulikan desakan, ia lompat, ia balas menyerang secara hebat.
Tantai Mie Ming kerutkan alis.
"Siapa yang mengajarkan kau ilmu menyerang?"
Dia tanya.
"Kau berkelahi secara nekat begini, mana kau bisa layani musuh yang tanggu?"
"Memang aku niat adu jiwa denganmu!"
Jawab si nona dengan kaku. Dan ia perhebat serangannya. Mie Ming menyeringai.
"Nanti aku desak dia, supaya aku bisa tegaskan kenapa dia nekat begini,"
Dia pikir.
Terus ia mainkan sepasang gaetannya, untuk mengurung pula pedang si nona.
In Loei licin.
Satu kali ia telah dipedayakan, ia jadi waspada.
Nampaknya ia sembrono, sebenarnya ia dapat berlaku hati-hati dan cerdik.
Begitulah, selagi didesak, dengan tenang ia gerak-gerakkan pedangnya untuk memberi perlawanan, sambil berbuat begitu, ia cari ketika yang baik.
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikian waktu ketikanya telah sampai, ia menyontek ke atas, akan membentur langsung gaetannya! Satu suara nyaring dari bentroknya senjata segera terdengar.
"Pedang yang bagus!"
Seru Tantai Mie Ming.
Ia tidak menjadi kaget meski ujung gaetannya kena dipapas sempoak pedang si nona.
Ia malah mendesak pula dengan dorongannya.
In Loei terkejut.
Ia merasakan telapakan tangannya kaku, ia lihat ujung gaetan menyambar ke dadanya.
Tidak sempat ia memutar pedangnya untuk menangkis.
Tapi Tantai Mie Ming tidak meneruskan menyerang.
"Hian Kee Itsoe itu pernah apa denganmu?"
Dia tanya. Justeru orang berseru, In Loei gunakan ketikanya akan lepaskan diri dari ancaman bahaya. Tentu saja ia jadi semakin mendongkol.
"Apakah pantas kau menyebut namanya tjouwsoe-ku?"
Dia menghina.
"Haha-haha!"
Tantai Mie Ming tertawa, dan kembali dia ulangi desakannya. In Loei mundur, dia sangat terdesak, repot dia membela diri. Pernah ia mendesak dengan nekat, tapi ia tidak peroleh hasil.
"Sekalipun gurumu, dia bukannya tandinganku, kau tahu?"
Kata Mie Ming.
In Loei tidak pedulikan orang berjumawa, ia tetap berikan perlawanannya, beberapa kali ia membuat penyerangan pembalasan yang tak kurang hebatnya, walaupun ia mesti menempuh bahaya.
Mendongkol juga Mie Ming karena si nona terus mendesak padanya.
Selang dua puluh jurus, In Loei mati daya, tak sanggup dia menangkis terlebih jauh.
Ketika gaetan kiri musuh menyantel pedangnya, dan gaetan kanan mengancam dari atas kepada batok kepadanya, ia berseru dengan keluhannya.
"Ayah, tak dapat anakmu membalas sakit hatimu!....."
Sambil mengucap demikian, ia tarik pedangnya sekuat tenaga, karena ia masih mencoba untuk menangkis.
"He, budak cilik, apakah kau cucunya In Tjeng?"
Tiba-tiba Tantai Mie Ming tanya. Karena ini, tertundalah turunnya gaetan dari kematian itu. In Loei lolos dari bahaya, segera ia menikam.
"Pemberontak, kau masih punyakan muka menyebut nama yaya-ku?"
Dia mengejek. Mie Ming gusar mendengar hinaan itu.
"Memang telah cukup aku Tantai Mie Ming dicaci orang-orang sebangsamu yang anggap dirinya kosen, setia dan mulia hati. Baiklah, mari aku binasakan kau turunan orang-orang kosen, setia dan mulia itu!"
Jenderal ini menyerang dengan hebat, maka itu, baharu beberapa jurus, kembali In Loei telah mati kutunya.
Selagi dua orang ini bertempur hebat, dipihak sana terdengar jeritan-jeritan hebat, sebab Tjioe Kian, yang melawan belasan musuh, telah peroleh hasil.
Lega hatinya In Loei mendengar kemenangan soesioktjouw itu.
Segera setelah itu terdengar seruan si ongya.
"Tantai Tjiangkoen, jangan perlambat waktu! Si bangsat tua Kimtoo sedang mendatangi!"
Dan benar-benar Tjioe Kian tahu-tahu sudah sampai di kalangan dan sudah lantas menyerang dengan golok besarnya. Tantai Mie Ming tinggalkan si nona, ia tangkis bacokan bekas tjongpeng itu, hingga berdua mereka jadi bertempur.
"Jikalau hari ini tidak dapat aku bunuh mampus padamu, percuma aku punyakan golok Kimtoo ini!"
Berseru Kimtoo Tjeetjoe sambil mengulangi serangannya yang berbahaya. Mie Ming berkelit, ia tertawa mengejek.
"Baiklah, aku ingin saksikan golok emasmu!"
Katanya. Ia menyerang, ia berkelit, ia menyerang pula, lalu ia tertawa kembali. Lalu ia berkata.
"Adakah ini yang disebut golok emas atau golok perak? Hm! Di mataku inilah tak lebih daripada tembaga rosokan!"
Ia gerakkan gaetannya, ia ketok belakang golok musuh itu.
Tjioe Kian jadi murka, benar ia diam saja, tapi ia balas menyerang.
Sampai di situ, In Loei maju pula, untuk membantu kawannya.
Tidak sibuk Tantai Mie Ming ketika ia tangkis dua senjata dari dua musuhnya itu, tidak peduli In Loei gesit dan golok emas berat, dapat ia melayani dengan leluasa, malah kemudian ialah yang lebih banyak menyerang.
Tjioe Kian dan In Loei bingung juga, meskipun mengepung berdua mereka tak dapat hasil.
Tjioe Kian berkata dalam hatinya.
"Sudah lama aku dengar Negara Watzu mempunyai panglima kosen ini, dia benar-benar gagah perkasa. Orang liehay semacam dia kena dipakai oleh bangsa Tartar, sungguh sayang....."
Ketika itu terdengar pula suara si ongya.
"Tantai Tjiangkoen, ketika yang baik sudah tiba, jangan kau berkelahi lama-lama!"
Mendengar suaranya si ongya, Tjioe Kian dapat daya.
"Menawan bangsat menawan rajanya!"
Demikian pikiran yang menyandingi.
"Apa perlunya aku berkelahi mati-matian dengan dia ini?"
Maka dia menangkis dengan keras, akan pecahkan kurungan gaetan, di saat Tantai Mie Ming mundur tiga tindak, dia teriaki In Loei.
"In Loei, layani terus padanya, berlakulah hati-hati!"
Habis mengucap demikian, ia lompat mundur, akan tinggalkan lawan, untuk sebaliknya lompat lebih jauh kepada si ongya.
In Loei sangat cerdas, segera ia mengerti maksudnya soesioktjouw itu, maka lantas ia desak Tantai Mie Ming, hingga tidak peduli orang Mongolia ini terlebih liehay, dia toh repot juga.
Si ongya sudah lantas diserang Tjioe Kian.
Ia lihat datangnya musuh, dengan pertahankan tubuh sebisa-bisanya, ia tangkis bacokan itu.
Kedua senjata beradu dengan keras, suaranya sangat nyaring.
Tjioe Kian heran akan dapatkan orang bertenaga besar ia kagum.
Ia tahu, ongya itu sedang terluka, coba dia segar bugar, entah bagaimana besar tambahan tenaganya.
Si ongya juga tidak kurang kagetnya, telapakan tangannya sampai pecah dan mengeluarkan darah, karena ia telah menangkis dengan sekuat tenaganya untuk selamatkan diri.
Celakanya baginya, ia tidak sanggup berlompatan.
Kimtoo Tjeetju penasaran ia ulangi serangannya, terus sampai tiga kali, serangan yang ketiga itu tak sanggup ditangkis lagi oleh si ongya, goloknya terpukul keras, terlepas dari cekalannya dan terlempar, maka dengan leluasa Tjioe Kian kirim bacokan susulannya, yang ke empat.
"Habis aku!"
Teriak si ongya.
Kendati demikian, dengan lawan sakit di kakinya yang terhajar piauw, ia buang dirinya untuk bergulingan! Tjioe Kian membacok tempat kosong, ia jadi semakin penasaran, maka ia maju terus, akan susul ongya itu, guna mengirim bacokannya terlebih jauh.
Justeru itu ia dengar sambaran angin di belakangnya, hampir tanpa menoleh, ia menangkis.
"Trang!"
Kepala berandal ini merasakan getaran keras pada tangannya, ketika ia berpaling, ia tampak Tantai Mie Ming yang membokong padanya.
Ia belum sempat bersiap, atau Mie Ming sudah simpan sepasang gaetannya, buru-buru dia lompat pada ongya nya, untuk sambar tubuh si ongya, untuk segera dibawa kabur.
Tjioe Kian tidak mau mengerti, dia lantas lompat, guna mengejar, goloknya dipakai membabat.
Mie Ming tidak bersenjata, ia pun sedang pondong ongyanya, tidak ada jalan lain, ia berkelit sambil mendak rendah, sedang sebelah tangannya dipakai membarengi menyerang lengan lawan.
Tjioe Kian menyerang dengan hebat, serangannya tidak mengenai sasarannya, goloknya jadi terulur ke depan, karena itu, tidak keburu ia menarik kembali tangannya atau lengannya itu telah dihajar lawannya, begitu rupa, sampai ia merasakan sakit sekali, hingga goloknya terlepas jatuh.
Tantai juga tidak luput dari serangan, ialah dadanya terkena tangannya Kimtoo Tjeetjoe, hingga ia pun merasakan sakit, akan tetapi, dengan kuatkan diri, dengan menutup rapat mulutnya, ia terus lari dengan bawa kabur tjoekongnya itu.
In Loei lompat mengejar.
Ia menjadi gusar dan penasaran.
Tadi ia telah didesak mundur jauh, karena itu, Mie Ming keburu menolongi ongya-nya dari tangannya Tjioe Kian.
Dalam murkanya, ia ayunkan tangannya, akan menimpuk dengan tiga batang piauw.
Orang Mongolia itu benar liehay.
Ia tidak berkelit, sambil lari, ia putar tangannya ke belakang, satu demi satu, ia sambuti ketiga piauw itu, untuk diteruskan dipakai menyerang kembali.
Nyata ia bertenaga besar, timpukannya pun hebat.
In Loei dengar suara angin, tidak berani ia menanggapi piauwnya itu, yang ia lewatkan sambil berkelit, hingga piauw mengenai satu batu besar di sebelah belakang sambil perdengarkan suara nyaring dan muncratkan lelatu api.
"Hebat!"
Seru si nona di dalam hati.
Ia lihat ketiga piauwnya nancap dibatu, tidak jatuh.
Itu waktu Tantai Mie Ming sudah lari terus.
Masih In Loei hendak mengejar tatkala di timur lembah terdengar suara letusan, hingga gunung bagaikan tergetar, menyusul mana, Tjioe Kian berteriak.
"A Loei, jangan kejar musuh yang sudah mogok!"
Si nona batal mengejar, sedang itu waktu, di selatan, dibarat dan utara lembah saling susul terdengar letusan nyaring seperti yang pertama tadi, begitupun terdengar suara riuh dari pertempuran-pertempuran yang mestinya dahsyat.
Tjioe Kian jumput goloknya, ia tertawa besar.
"Tidak peduli bangsa Tartar itu putar otaknya, mereka toh menjadi kurakura dalam kerajaanku!"
Ia berkata dengan puas. In Loei tidak mengerti, ia hendak bertanya pada si orang tua itu, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, Kimtoo Tjeetjoe sudah mendahului lari pergi, sambil lari dia menggape dan berseru.
"Mari lekas, bantui aku menolong orang!"
Dengan masih tidak mengerti, si nona lari menyusul. Di bawah gunung, mayat-mayat bergeletakan di sana sini, darah berlimpahan. Itulah korban-korbannya Tjioe Kian tadi. Tak tega In Loei menyaksikan itu, ia lari sambil menutupi muka.
"A Loei, apakah kau bawa obat luka pemunah racun?"
Begitu terdengar pertanyaannya si orang she Tjioe.
""Eh, A Loei kau kenapa? Kau takut? Bagaimana nanti kau dapat membalas dendam?"
"Tak takut aku bertempur sama segala bangsat,"
Sahut si nona.
"tetapi tak tega aku menyaksikan mayat-mayat itu....."
Tjioe Kian tertawa.
"Sungguh kau satu pemudi gagah yang pemurah hati....."
Ia kata.
"Di medan perang, dimana pemandangan lebih mengerikan daripada ini masih dapat disaksikan! Mari, mari, kau tengok, kalau nanti kau sudah biasa, hatimu tidak akan goncang lagi....."
In Loei lari terus kepada jago tua itu, ketika sudah datang dekat, ia lihat sijago tua sedang pondong satu orang dengan dandanan sebagai boesoe - orang yang mengerti ilmu silat, - dibebokong siapa nancap sebatang panah yang masuk hampir separuhnya.
"Apakah dia masih dapat ditolong?"
Nona ini tanya.
"Dia masih bernapas, kita coba saja,"
Jawab Tjioe Kian.
"Aku membekal obat luka pemunah racun, hanya entah tepat atau tidak,"
Kata si nona, yang terus berikan obat itu. Tjioe Kian terima obat itu. Ia cabut panah dibebokong orang itu yang terluka, yang tubuhnya diletakkan di tanah. Dari lobang luka terus keluar darah hitam.
"Benar-benar panah beracun,"
Kata orang tua ini sambil mengobati luka itu, kemudian ia urut-urut tubuhnya. Tidak lama antaranya, si luka itu membuka kedua matanya, cuma napasnya masih lemah, belum dapat ia membuka mulutnya. Tjioe Kian mengawasi, ia geleng-gelengkan kepalanya.
"Bagaimana1"
Tanya In Loei.
"Inilah racun Mongolia yang hebat sekali, tanpa obat pemunah dari si pemilik panah, tak dapat kita menolongnya,"
Sahut si orang tua.
"Syukur orang ini mempunyai tenaga dalam yang tanggu, karenanya ia masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Obatmu dan urutanku cuma bisa menolong ia untuk sementara waktu, untuk membuatnya sadar, akan tetapi jiwanya tidak dapat bertahan sampai besok....."
In Loei jadi sangat berduka.
"Kalau begitu lebih baik kita tidak tolong dia, supaya lantas mati dan tak usah menderita terlebih lama,"
Ia kata.
"Dia buron dari tanah daerah Tartar, dia dikepung sampai di sini mungkin dia mempunyai rahasia penting,"
Tjioe Kian utarakan sangkaannya.
"Maka kalau dia tidak dapat berbicara sebelum dia menutup mata, mungkin dia mati tak puas....."
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari sakunya, Tjioe Kian keluarkan sepotong jinsom Korea, lalu dipotongnya, kemudian dimasukkan ke dalam mulut orang itu.
Obat ini (koleesom) mempunyai khasiat manjur rupanya ia mengharap orang itu dapat ditolong.
Di empat penjuru lembah masih terdengar riuhnya suara pertempuran, juga ringkikkan dari banyak kuda, terutama letusan-letusan yang memekakan kuping.
Mendengar itu semua, Tjioe Kian, ketok-ketok goloknya sambil tertawa.
"Tidak sampai terang tanah, tentera Tartar akan musnah semuanya,"
Kata dia.
"In Loei, sekarang tahulah kau sebabnya kenapa aku rampas angkutan harta tentera kota Ganboenkwan."
In Loei cerdik, ia cuma berpikir sebentar atau ia tertawa sambil tepuktepuk tangan.
"Sungguh tipu dayamu yang bagus, soesiok- tjouwl"
Dia memuji.
"Kau rampas uang negara, itu artinya kau hendak bikin tjongpeng dari Ganboenkwan dengar perkataanmu. Begitulah ketika bangsa Tartar menjanjikan dia untuk bekerja sama, kau suruh dia diam saja, jangan gerakkan tentera. Demikian, kau berada di tempat terang, musuh berada di tempat gelap. Semua kau atur sempurna, pasti sekali kau menang perang!"
Tjioe Kian puas, ia tertawa pula.
"Teng Tay Ko itu bukannya seorang yang buruk,"
Ia kata.
"Pemerintah titahkan dia membasmi berandal, dia insaf bahwa tenaganya tidak cukup, dia membuat perhubungan dengan bangsa Tartar. Lebih dahulu aku rampas hartanya, setelah itu seorang diri aku pergi padanya. Aku tegaskan padanya apakah dia ingin mampus dicingcang tenteranya yang kelaparan atau hendak bermusuh dengan bangsa Tartar. Nyata dia masih sayangi jiwa dan pangkatnya, dia dengar perkataanku. Sekarang nampaklah buktinya."
Tak tahan jago tua ini kembali dia tertawa.
"Kenapa kau tertawa soesioktjouw?"
Tanya In Loei heran.
"Aku tertawa karena Teng Tjongpeng itu Jenaka,"
Sahut si orang tua. Di dalam surat-surat resminya dia namakan aku "Kimtoo si bangsat tua"
Akan tetapi bila berhadapan dengan aku sendiri, dia berulangkah memanggil thaydjin, tandanya ia tetap akui aku sebagai atasannya....."
Mau atau tidak In Loei juga tertawa.
"Apakah sebelum dia berada di sini, dia tahu Kimtoo si bangsat tua ada seatasannya?"
Dia tegaskan sambil berkelakar.
"Dia adalah orang angkatanku,"
Pisau Terbang Li -- Gu Long Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Pisau Terbang Li -- Gu Long