Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 15


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 15



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Baharu dua tiga jurus, kedua perintang itu sudah kena dirubuhkan.

   Maka itu, keduanya lantas maju terus.

   Suara berisik di dalam itu adalah suara pertempuran.

   Nyata Heksek tjhoeng sedang diserbu, dari sepuluh bagian penghuninya, hampir sembilan sudah tidak berdaya, mereka itu sudah terbelenggu.

   Tinggal beberapa di antaranya, yang mengerti silat, masih bertempur dengan sejumlah tiauwto.

   Dengan memberi tanda kepada In Loei, Tan Hong lompat turun dari kudanya, untuk menerjang kawanan liauwlo itu, ialah serdadu gunung.

   In Loei lantas menuruti perintah itu.

   Kali ini mereka simpan pedang mereka, mereka gunakan tangan kosong.

   Tidak ada perlawanan yang berarti dari rombongan liauwlo itu, belum sampai setengah jam, mereka sudah ditotok hingga semua mati kutunya.

   Di pihak lain, semua tjhoengteng sudah lantas ditolongi hingga mereka mendapat kemerdekaannya kembali.

   "Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?"

   Tan Hong tanya satu tjhoengteng.

   "Tadi tjhoengtjoe berangkat, belum ada setengah jam, lalu muncul kawanan penjahat ini,"

   Demikian tjhoengteng itu berikan keterangannya.

   "Mulanya kami menyangka mereka adalah orang-orangnya See To, yang memang bersahabat dengan tjhoengtjoe, kami ijinkan mereka masuk. Di luar dugaan kami, mereka lantas menyerang. Kejadian ini adalah suatu hinaan untuk Heksek tjhoeng, kalau tjhoengtjoe nanti mendapat tahu, pasti jiwa mereka ini tidak akan diberi ampun!"

   Tan Hong bebaskan satu tauwbak.

   "Apakah Toh See To yang suruh kamu datang kemari?"

   Ia tanya tauwbak itu.

   "Untuk apakah perbuatan kamu ini?"

   Tauwbak itu berkepala batu, dia tidak mau bicara, dia membungkam saja. Tan Hong bersenyum. Ia totok iga orang.

   "Kau hendak bicara atau tidak?"

   Ia menanya.

   Mulanya si tauwbak cuma kaget, setelah itu barulah dia berjengit.

   Lekas sekali dia rasakan seluruh tubuhnya sakit, bagaikan ditusuki jarum.

   Tentu saja, tidak dapat dia berkepala batu terus.

   Sekarang ia minta ampun.

   Tan Hong tidak segera melayani, ia hanya bersenyum kepada In Loei dan berkata.

   "Tidak ada niatku untuk menyiksa dia ini, tetapi untuk menghadapi manusia hina semacam dia, rupanya tidak ada lain jalan lagi, hingga aku jadi tidak berdaya."

   "Kami dititahkan See Tjeetjoe,"

   Tauwbak itu mengaku sambil menahan sakitnya.

   "Kami dititahkan menyerang Heksek tjhoeng, untuk kemudian mengangkut semua harta bendanya, guna dibawa pulang ke pesanggrahan kami. Kami pun dipesan untuk mengambil semua gambar lukisan dan jangan sampai ada yang tertinggal sehelai pun..."

   Mendengar ini, Tan Hong lantas berpikir.

   "Terang sudah, See To tidak saja hendak merampas harta benda,"

   Demikian pikirnya.

   "Diapun menghendaki semua gambar, tentunya dia anggap peta bumi yang berharga itu mesti masih ada di dalam rumah ini. Yang aneh, kenapa dia juga ketahui tentang peta bumi itu?"

   "Eh, toako, kau sedang pikirkan apa?"

   Tanya In Loei, yang melihat orang berdiam saja, rupanya otaknya sedang bekerja.

   "Benarlah apa yang dikatakan Tjek Hee Too-tiang,"

   Jawab Tan Hong.

   "Tidak salah lagi, See To telah berkongkol dengan bangsa Watzu."

   Ia lantas totok bebas si tauwbak, setelah mana, ia kata pada pengurus rumah Heksek tjhoeng.

   "Kau belenggu penjahat ini, tunggu sampai nanti tjhoengtjoe kamu pulang untuk mengambil putusannya."

   Pengurus rumah itu terima pesan tersebut, atas mana tanpa berayal lagi, Tan Hong ajak In Loei larikan kuda mereka menuju Lioktjiang San, ialah bukit di mana See To berdiam, yang letaknya tidak berapa jauh dari Heksek tjhoeng, cuma kira-kira tiga puluh lie.

   Belum sampai setengah jam, tibalah mereka di bukit itu.

   Dari kaki bukit tertampak, pesanggrahan See To yang panjang dan berliku-liku bagaikan tubuh naga, kecuali bentengan, di situ pun terdapat banyak pohon kayu yang besar-besar dan tinggi.

   Maka itu, bagus letaknya bukit itu.

   Setelah turun dari kuda mereka, Tan Hong dan In Loei bertindak mendaki.

   "Siapa kamu?"

   Begitu mereka ditegur satu /iauwlo, serdadu gunung, yang membuat penjagaan.

   "Kami adalah tetamu yang diundang tjeetjoe kamu,"

   Sahut Tan Hong.

   "Coba perlihatkan surat undangannya,"

   Serdadu gunung itu minta.

   "Kau sambuti ini!"

   Kata Tan Hong seraya mengangsurkan tangannya dengan cepat.

   Liauwlo itu mengawasi, ia tidak lihat suatu apa, justeru ia hendak menanya lagi, tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya lantas rubuh pingsan.

   Tan Hong telah menyerang orang dengan jarum rahasianya, jarum mana apabila mengenai jalan darah, membuat orang tak sadar akan dirinya selama dua belas jam, sesudah itu, orang dapat mendusi sendirinya.

   Dengan rubuhnya liauwlo itu, rintangan sudah tidak ada lagi, maka dengan menggunakan kengsin soet, ilmu entengkan tubuh, dengan pesat Tan Hong dan In Loei lari mendaki bukit Lioktjiang San itu.

   Mereka pun dapat melalui beberapa tempat jagaan lainnya.

   Di mana dapat, mereka menghindarkan diri dari /iauwlo- liauwlo penjaga itu, kalau tidak, Tan Hong terpaksa gunakan jarumnya untuk membikin orang tidak berdaya.

   Karena ini, dengan lekas mereka telah sampai di atas gunung.

   "Tempat ini berbahaya, hati-hati!"

   Tan Hong pesan kawannya setibanya mereka di suatu bahagian bukit, di mana sudah tidak ada jalan lain kecuali, batu panjang yang melonjor bagaikan jembatan tunggal.

   "Mari kita maju terus!"

   Pemuda itu bertindak di jembatan batu itu, In Loei mengiringi ia.

   Baharu saja mereka sampai di tengah-tengah jembatan istimewa itu, lantas mereka dengar mengaungnya anak-anak panah, yang menyambar dari arah belakang mereka.

   In Loei lantas hunus pedangnya, yang ia putar, untuk menjatuhkan setiap anak panah.

   "Segala panah tidak keruan, apa gunanya?"

   Kata dia sambil tertawa.

   Kata-kata si nona belum habis diucapkan ketika dari samping, di antara batu gunung, lompat seorang ke arahnya.

   Tan Hong lihat orang itu, ia menyambut dengan pedangnya, tetapi segera ia merasakan tenaga orang yang besar, karena telapak tangannya dirasakan panas.

   Orang itu pun sudah lantas menaruh kaki di antara ia dan In Loei, yang mencoba menjatuhkan.

   Dalam saat berbahaya itu, sekonyong-konyong Tan Hong menjerit tajam, tubuhnya menyusul terhuyung.

   In Loei lihat keadaan kawannya itu, saking kaget, ia berteriak.

   Orang yang baharu datang itu juga lihat Tan Hong, ia menyangka orang rubuh, ia menjadi sangat girang, cepat sekali ia angkat kakinya, untuk mendupak.

   Tapi Tan Hong tengah menggunakan akalnya.

   Nampaknya ia hendak jatuh, tetapi sebenarnya, sebelah kakinya dipakai menyantel batu, berbareng dengan mana, sebelah tangannya terayun.

   Orang itu kaget, terpaksa ia lompat kembali ke tempat asalnya.

   "Lekas!"

   Tan Hong teriaki si nona, ia sendiri lantas lari, untuk mencapai lain tepi.

   In Loei pun mengerti bahaya, ia lari mengikuti.

   Baharu saja mereka tiba di lain tepi itu, orang tadi sudah lompat pula, akan menyusul mereka, sedang dari atas bukit terlihat datangnya beberapa orang lain, yang terus mengambil sikap mengurung.

   Tan Hong lihat orang tadi liehay, ia waspada.

   "Hai, kiranya kau!"

   Teriak orang itu, yang agaknya kaget.

   "Hm, kiranya kau!"

   Tan Hong pun perdengarkan suaranya.

   Tadi mereka belum melihat tegas satu dengan lain, mereka tidak segera saling mengenali, sekarang mereka berdiri berhadapan, mereka sudah lantas melihat nyata.

   Orang itu adalah Ngochito, pahlawan nomor satu dari Yasian.

   Selama itu, ia tahu kegagahan orang.

   Memang, di Watzu, Ngochito cuma berada di bawahan Tantai Mie Ming.

   "Adik kecil!"

   Tan Hong serukan kawannya.

   "menangkap berandal mesti membekuk rajanya dulu, maka mari kita bereskan dia ini!"

   In Loei mengerti, dari itu ia lantas maju.

   Maka itu, dalam sesaat saja, Ngochito telah dikepung berdua, malah dua batang pedang segera menyerang ke arah mukanya.

   Dia menjadi gusar, sambil berseru, dia menangkis.

   Tapi kesudahannya, dia menjadi kaget sekali.

   Tahu-tahu, pedangnya terkutung menjadi tiga potong! "Hai!"

   Dia berseru sambil lompat kepada kawan-kawannya, untuk meminjam pedangnya, dengan apa dia membuat perlawanan terlebih jauh.

   Hanya kali ini, tidak berani dia mengadu pula senjatanya.

   Dia berkelahi dengan menggunakan ilmu silat pedang Hongloei kiam, hingga pedangnya itu, di samping suaranya mengaung, pun berkilauan bagaikan kilat menyambar-nyambar.

   "Bagus!"

   Seru Tan Hong, yang kagum melihat ilmu silat orang itu.

   Tapi ia tidak gentar, bersama In Loei, ia menyerang terus.

   Ngochito selalu menghindarkan pedangnya, tetapi tidak urung, ia terdesak juga.

   Ia kaget sekali ketika runce dari kopiahnya terbabat pedang lawan.

   Dasar ia licin, dapat ia meloloskan diri dari ancaman bahaya maut.

   Tan Hong pun kagumi kegesitan orang itu.

   Pertempuran berjalan terus.

   In Loei penasaran, ia menyerang dengan hebat.

   Langsung pedangnya menikam ke arah uluhati.

   Berbareng dengan itu, pedang Tan Hong membabat ke bawah.

   Seperti sudah diketahui, pedang mereka berdua selalu bekerja sama, senantiasa menyambar ke sasarannya masing-masing.

   Untuk itu, tak usah mereka memberi isyarat lagi satu dengan lain, mereka bagaikan sudah berlatih sempurna.

   Sedetik itu, Ngochito jadi terkurung sinar pedang, dia terancam kebinasaan.

   Dia mesti melindungi dadanya, atau kakinya.

   Untuk melindungi kedua-duanya, sulit.

   Dia mesti memilih.

   "Biar aku terbinasa, tak sudi aku menerima malu berkaki kutung..."

   Demikian ia memilih.

   Maka itu dia lompat mundur sambil menangkis pedang In Loei.

   Di saat yang sangat berbahaya itu bagi Ngochito, mendadak In Loei dengar sambaran angin ke arahnya, dengan cepat ia berkelit, maka dengan sendirinya pedangnya tak mengenai sasarannya.

   Di antara satu suara nyaring, Ngochito juga menjerit dengan tubuhnya mencelat jatuh kira-kira satu tombak! "Berhenti!"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian tiba-tiba satu suara nyaring sekali, menyusul mana satu orang, yang mukanya bertopeng, muncul di antara mereka.

   Dia mempunyai mata yang sinarnya mencorong tajam.

   Dialah yang telah menolongi Ngochito itu.

   Semua telah terjadi dengan sangat cepat.

   Pedang Ngochito terbabat kutung.

   Ia sudah mencoba berkelit, tidak urung ujung kakinya terluka juga.

   Untung baginya, jiwanya telah tertolong.

   Dengan napas tersengal-sengal, ia berdiam di samping mereka itu.

   "Djiewie,"

   Berkata si orang bertopeng.

   "karena kamu telah datang berkunjung, harap kamu mentaati undang-undang kita kaum kangouw. Silakan djiewie datang dahulu ke dalam pesanggrahan, janganlah tidak keruan-keruan kamu bertempur."

   Tan Hong dan In Loei mesti kagumi kepandaian orang ini, yang dapat menolongi Ngochito di saat pahlawannya Yasian itu terkepung sepasang pedang yang liehay.

   "Heran, kenapa See To ayah dan anak mendapat kawan segagah ini?"

   Kata Tan Hong dalam hatinya. Karena ini ia mendapat firasat bahwa usaha mereka berdua hari ini berjalan kurang lancar...

   "Katakan, kau orang Ouw atau orang Han?"

   Sekonyong-konyong In Loei tegur si orang bertopeng itu. Sudah sekian lama, baharu kali ini ia buka mulutnya. Orang yang ditegur itu melengak.

   "Apakah artinya pertanyaan kau ini?"

   Dia balik menanya.

   "Melihat romanmu, kau adalah orang Han,"

   Kata In Loei.

   "tetapi kau justeru membantui bangsa Ouw! Mungkinkah kau juga tahu malu, maka itu kau menutupi mukamu dengan topeng?"

   Tiba-tiba saja orang itu menjadi murka sekali, dengan mendadak ia mencelat maju, untuk serang si nona secara sangat hebat.

   Tan Hong tahu musuh liehay, ia waspada.

   Demikian, atas serangan orang ini kepada In Loei, ia mendahului si nona turun tangan.

   Ia bukannya menangkis, ia hanya menyerang.

   Dalam hal ini, ia tidak menyerang sendirian.

   Sebab juga In Loei, yang awas dan sebat, sudah menyerang juga sambil menangkis.

   Maka kedua pedang kembali bekerja sama, satu menuju ke kiri, yang lain ke kanan, mengarah kedua pundak si orang bertopeng itu.

   Hebat si orang bertopeng itu, masih ia dapat melindungi dirinya, sesudah mana ia pun membalas menyerang pula.

   Ia bersendirian, tetapi agaknya ia seperti berdua, karenanya, ia dapat melayani pemuda dan pemudi itu dengan baik! Tetapi selewatnya jurus ketiga, mulai ke empat, lalu ke lima, ia nampak tak begitu leluasa lagi bergeraknya, dan akhirnya, ia segera terdesak.

   Ilmu pedang siangkiam happek dari Hian Kee Itsoe, yang diciptakannya dengan susah payah, sesudah suatu pemusatan pikiran yang lama, merupakan satu karya yang istimewa.

   Setelah ia peroleh tempo yang senggang, dengan tertawa dingin, In Loei berkata kepada lawannya yang tidak dikenal itu.

   "Satu penghianat atau dorna, setiap manusia berhak membunuhnya, maka itu kami dengan kau, perlu apa kami bicara lagi tentang aturan kaum kangouw?"

   Teguran ini disusul dengan tiga kali desakan, yang membuatnya musuh mundur terus, sebab dia kewalahan untuk membuat perlawanan terlebih jauh, dia cuma masih sanggup melindungi dirinya sendiri, agaknya habis sudah daya pembalasannya.

   "Adik kecil, tahan!"

   Sekonyong-konyong Tan Hong perdengarkan suaranya.

   "Untuk apakah?"

   Si nona balik menanya.

   "Orang ini melawan kita dengan sepasang kepalannya, dia dapat bertahan sampai sepuluh jurus lebih, dia terhitung juga satu hoohan,"

   Kata Tan Hong.

   "maka itu, jikalau dia sampai terbinasa, pasti dia tidak puas. Baiklah, mari kita ikut dia masuk ke dalam untuk melihat-lihat!"

   Tidak setuju In Loei dengan sikap kawan ini, akan tetapi mereka bicara di muka musuh, ia terpaksa mengiringi.

   Tidak baik untuk berselisih dengan kawan sendiri di saat seperti itu.

   Ia tidak tahu, dengan menunda pertempuran, Tan Hong tengah pikirkan lawannya ini, untuk menduga-duga siapa dia sebenarnya, sebab setelah belasan jurus itu, tidak peduli ilmu silat musuh agaknya luar biasa, ia mulai dapat mengendus...

   Setelah pertempuran ditunda, si muka bertopeng mengawasi kedua anak muda itu.

   "Siapakah yang mengajar kamu ilmu silat pedang ini?"

   Tanyanya kemudian dengan tiba-tiba.

   "Pantaskah kau menanyakan tentang guruku?"

   Balas In Loei dengan jumawa. Kelihatannya orang bertopeng itu gusar sekali, mungkin dia hendak mengumbar hawa amarahnya itu dengan menyerang pula, akan tetapi lekas juga ia dapat kuasai dirinya, maka ia cuma perdengarkan suara "Hm!"

   Ia kata.

   "Anak kecil, kau belum tahu apa-apa, sebentar kau lihat!"

   Lantas dia pimpin mereka masuk ke dalam pesanggrahan, sampai di ruang Tjiegie thia, yang besar dan luas, mirip dengan suatu tempat untuk berlatih silat, di sana pun telah berkumpul banyak orang kangouw.

   Luar biasa sikap orang-orang kangouw ini, atas kedatangan Tan Hong bertiga, mereka perlihatkan sikap tidak memperhatikan, malah sama sekali tidak ada yang melirik.

   Segera juga In Loei lihat Tjio Eng dan gadisnya terkurung di tengah-tengah, dan Tjoei Hong sudah lantas mengawasi padanya, dari wajahnya, nona itu seperti heran, girang dan penasaran, ketika ia hendak membuka mulutnya, ayahnya, yang melihat mereka, telah mendahuluinya.

   "Hiansay, kau juga datang kemari?"

   Demikian mertua itu menanya sambil memanggil baba mantu (hiansay).

   "Kau tahu, urusan di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kau!"

   Tan Hong bersenyum, ia mendahului In Loei menyahuti.

   "Dengan dia tidak ada sangkut pautnya, denganku tentu ada!"

   Sahutnya. Lalu ia maju terus, akan dekati Tjio Eng itu di samping siapa ia jatuhkan diri untuk duduk. See To perlihatkan roman gusar.

   "Bagus!"

   Serunya.

   "Kau hendak mencampuri urusan kita, itulah paling bagus!"

   Selagi sang ayah murka, See Boe Kie, putera-nya, mendongkol bukan main, dengan mata mendelik, ia awasi In Loei, agaknya ia ingin telan nona itu.

   Apakah karena nona Tjio tak dapat menjadi isterinya, hingga ia sangat membenci In Loei yang dipandang telah merampas kekasihnya itu? "Tjio Looenghiong, sebenarnya urusan ini urusan apakah?"

   Tan Hong tanya jago she Tjio itu. Belum lagi Tjio Eng memberikan jawabannya, See To sudah mendahului.

   "Tjio Toako, siapa kenal selatan, dialah si orang gagah!"

   Demikian orang she See ini, suaranya nyaring.

   "Sekarang ini sudah habis takdir kehidupan dari kerajaan Beng, sedang tentang Kerajaan Tjioe yang besar dari Thio Soe Seng tak usah lagi dibicarakan! Bilakah Toako pernah menyaksikan abu api yang telah padam hidup pula? Maka itu kenapa kau hendak mati-matian menjadi budak orang, untuk melindungi harta bendanya?"

   Tjio Eng adalah satu laki-laki, dia pun bertabeat keras, maka itu, gusar ia diperlakukan demikian rupa, tapi masih ia mencoba untuk mengatasi dirinya. Maka itu, ia cuma tertawa dingin.

   "Kehendakmu, kita harus menjadi budak bangsa Watzu?"

   Ia tanya. Muka See To menjadi merah, dia sangat jengah, tetapi dia paksakan diri untuk tertawa.

   "Toako, bukan itu yang aku maksudkan,"

   Sahutnya, lemah.

   "Habis apa yang kau hendak maksudkan?"

   Tanya Tjio Eng keras.

   "Kau keluarkan gambar lukisan,"

   Jawab See To.

   "lantas kita pergi mencari tempat menyimpan harta dari Thio Soe Seng, sesudah kita mendapatkannya, justeru dunia tengah kacau ini, kita terus melakukan sesuatu yang besar. Umpama kata kita tidak pergi mengandal kepada bangsa Watzu, kita pun dapat mengangkat diri sendiri menjadi raja!"

   "Siapa kata aku punya gambar lukisan yang kau maksudkan itu?"

   Tanya Tjio Eng.

   "Katakan! Lekas katakan!"

   Sebagai ketua dari kaum Rimba Persilatan dari dua propinsi Shoatang dan Siamsay, walaupun ia berada di dalam pesanggrahan musuh - artinya ia tengah dikurung - Tjio Eng tidak menjadi jeri, ia tetap gagah.

   See To terkesiap ketika ia melihat sinar mata orang yang tajam, hingga ia membungkam.

   "Akulah yang memberitahukannya!"

   Tiba-tiba terdengar satu suara keras tetapi serak.

   "Habis, apa yang kau kehendaki?"

   Tjio Eng segera berpaling untuk memandang si suara serak itu. Ia lihat seorang bermuka bengkak yang kulitnya matang biru, romannya kasar dan kedua matanya bersinar tajam.

   "Kau siapa?"

   Bentak Tjio Eng, yang sangat murka, sambil menuding. Tan Hong tertawa dingin, tidak tunggu sampai orang membuka suara, ia telah mendahului. Ia kata.

   "Dialah Ngochito, pahlawan nomor satu di bawahan Yasian! Aku toh tidak salah, bukan?"

   Ngochito itu gagah tetapi tabeatnya keras, dia tidak kenal gelagat, melayani Tan Hong dan In Loei, mukanya hingga bengkak dan matang biru.

   Ia tidak sabaran mengawasi tingkah polanya See To itu, dia tidak mau pikir, mungkin See To mempunyai kesangsiannya sendiri.

   Maka itu, mendengar suara Tan Hong, dia turuti hawa amarahnya.

   "Tidak salah katamu!"

   Dia menjawab dengan jumawa.

   "Angkatan perang kami bangsa Watzu gagah perkasa, dengan kami mengundang kamu bekerja sama, itu tandanya kami telah menghormati kamu! Bocah, jikalau kau tidak puas, mari kita bertempur satu dengan satu, untuk kau lihat kesudahannya!"

   Kata-kata ini separuh menyindir See To, yang dianggapnya bernyali kecil, sedang terhadap Tan Hong adalah tantangan, karena dia ingin membalas.

   Sementara itu, dengan datangnya Tan Hong, suasana telah mulai berubah sendirinya.

   Yaitu, kecuali konco sehidup semati dari See To serta mereka yang telah dapat dibeli atau dibujuk, yang lainnya mulai tawar hati untuk menjual tenaga mereka bagi orang she See ini.

   Mereka pun tertarik oleh sikap jantan dari Tjio Eng.

   Tjio Eng tidak puas terhadap kejumawaan orang, dengan mata mendelik, ia berbangkit.

   Ia kibaskan tangan bajunya.

   Sebenarnya hendak ia membuka suara, atau Tan Hong mendahuluinya.

   "Percuma saja kamu bercape hati!"

   Berkata si anak muda.

   "Untuk sehelai gambar lukisan, kamu sudah pancing Tjio Looenghiong datang kemari, berbareng dengan itu, kamu pun sudah merampok habis-habisan rumah orang! Aku mengatakannya percuma, sebab kamu tidak memperoleh hasil apa jua! See To, kau adalah satu tjeetjoe yang kenamaan, kau adalah satu laki-laki, tetapi kau melakukan perbuatan sebagai tikus dan anjing bangsat, tak takutkah kau nanti ditertawai manusia sekolong langit?"

   Dengan menegur See To, Tan Hong tak gubris Ngochito. Tjio Eng kaget. Baharu sekarang ia tahu yang rumahnya telah dirampok. Maka dengan tiba-tiba saja ia keprak meja, hingga ujungnya rusak. Ia pun berseru.

   "Di jaman dahulu, orang memutuskan persahabatan dengan memotong tikar, maka sekarang aku melakukannya dengan merusak meja! See To, bangsat tua, di sini aku putuskan perhubungan kita sebagai saudara angkat! Ingat, jikalau kau masih hendak paksa aku, maka aku tidak akan sungkan-sungkan lagi!"

   Muka See To menjadi merah dan biru bergantian. Tentu saja ia menjadi sangat gusar dihina dihadapan kawan dan lawan, hingga ia ambil putusan nekat.

   "Tua bangka she Tjio!"

   Ia pun berteriak.

   "jikalau hari ini kau tidak serahkan gambar lukisanmu itu, jangan kau harap bisa keluar lagi dari pesanggrahanku ini!"

   Lalu, dengan kibaskan tangannya, tjeetjoe ini berniat melakukan kekerasan.

   Dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata, Tan Hong hunus pedangnya, tetapi ketika ia menghalang di depan Tjio Eng, ia tidak gunakan pedangnya itu, hanya dengan lengannya, ia bentur See To hingga tuan rumah ini terpelanting setombak lebih.

   Menampak itu, koncoh-koncoh See To menjadi murka dan berseru-seru, hingga suaranya menjadi sangat berisik, tetapi ketika mereka hendak maju, untuk turun tangan, tiba-tiba mereka merandak.

   Tan Hong, menyekal pedang dengan tangan kanan, dan dengan tangan kiri ia mengeluarkan gambar lukisannya, untuk dipertontonkan.

   Terus ia tertawa terbahak- bahak.

   "Siapa yang menghendaki gambar lukisan ini, mari datang padaku!"

   Katanya dengan nyaring.

   "Aku adalah pemilik dari gambar lukisan ini! Hanya hendak aku jelaskan, dengan mendapatkan gambar lukisan ini, bagi kamu sudah tidak ada harganya! Kamu tahu, harta pendaman itu berikut petanya, telah siang-siang aku dapatkan, sudah aku bongkar! Malah aku telah menyerahkannya kepada Kaisar Beng yang sekarang ini!"

   Mendengar itu, seluruh pesanggrahan menjadi heran.

   Orang tidak tahu siapa anak muda ini, karenanya orang sangsikan kebenaran perkataannya itu.

   Maka itu, pesanggrahan menjadi sunyi senyap.

   Dalam kesunyian yang mengandung ketegangan itu, tiba-tiba terdengar satu suara tertawa dingin, disusul dengan kata-kata nyaring dari orang yang tertawa mengejek itu.

   "Thio Tan Hong, siapakah yang kau hendak dustakan?"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Semua mata diarahkan kepada orang yang berani membuka suara itu.

   Dialah Tjitjiangho, juga pahlawan dari Yasian, cuma dia tidak sering berada di dalam pasukan tentera seperti Ngochito, maka sedikit orang yang mengenal padanya.

   Sebagai orang kepercayaannya Yasian, tidak heran dia mengenal Tan Hong.

   Ngochito heran mendengar perkataan rekannya itu.

   "Apa?"

   Katanya sambil menatap Tan Hong.

   "Kau puteranya Yoesinsiang Thio Tjong Tjioe? Kalau begitu, sungguh kebetulan! Memang Thaysoe sedang mencari padamu! Nah, mari lekas kau ikut aku pulang!"

   "Aku pun justeru hendak menghadap Thaysoe kamu itu!"

   Jawab Tan Hong.

   "Hanya tak ingin aku pulang bersama kau! Aku adalah rakyat Tionggoan, siapa kesudian bekerja untuk negeri Watzu?"

   Tjitjiangho heran.

   "Keluargamu dengan pihak Beng dari keluarga Tjoe adalah musuh turunan,"

   Katanya.

   "sekarang kau telah mendapatkan harta pendaman dan peta buminya, kenapa kau justeru serahkan itu kepada musuh? Mana ada aturan itu? Sekarang begini saja. Harta pendaman itu adalah kepunyaanmu, kami tidak inginkan itu, kau serahkan saja peta buminya kepadaku, supaya dapat aku persembahkan kepada Thaysoe1. Kau baik jangan bergurau lebih lama pula..."

   Tan Hong tidak gubris bujukan itu. Sambil menaruh sebelah kakinya dikursi, ia kibarkan gambar lukisan itu. Ia bersikap menantang.

   "Siapa main-main dengan kau?"

   Katanya.

   "Jikalau kau punya nyali, nah, kau ambillah sendiri!"

   Tjitjiangho ragu-ragu, tidak berani ia maju untuk merampas gambar lukisan itu.

   Juga beberapa pahlawan Mongolia lainnya, yang menyamar tidak berani sembarangan perlihatkan diri.

   Demikian juga kawan-kawannya See To, baik yang telah berubah pikirannya, maupun yang hendak membela mati-matian, bersangsi juga untuk maju, yang pertama disebabkan hatinya sudah tawar, yang belakangan karena jeri untuk keberanian Tan Hong itu.

   Tjoei Hong sementara itu senderkan diri pada In Loei.

   "Sejak kita berpisah, apakah kau memikirkan aku?"

   Ia berbisik di kuping "suaminya"

   Itu.

   "Lihat, orang banyak tengah mengawasi kita!"

   Sahut In Loei dengan perlahan.

   "Aku kuatir hari ini kita sukar lolos dari kematian, tetapi kenapa kau masih mempunyai hati untuk berbicara demikian terhadapku?..."

   Memang pesanggrahan itu telah dikurung tiga lapis sedang Tjio Eng cuma ada berempat. Tapi Tjoei Hong tidak pedulikan itu.

   "Sudah hampir satu tahun aku berduka saja,"

   Katanya pula, tetap dengan perlahan.

   "maka kalau aku tidak bicara sekarang, sampai kapan hendak aku menunggunya? Hari ini aku tidak peduli kita akan dapat lolos atau tidak, jikalau aku mesti mati, dengan mati bersama kau, hatiku puas..."

   Tjoei Hong dengan In Loei adalah suami isteri, tetapi itu cuma nama saja, hal yang sebenarnya nona Tjio tidak ketahui, maka itu, selagi mereka sudah lama berpisah, tidak heran dia sangat memikirkan suaminya itu, dari itu setelah sekarang mereka bertemu, mana sanggup dia menahan hatinya terlebih lama pula? Demikianlah, di ruangan di mana terdapat banyak orang, dia bertingkah laku seperti anak kecil...

   Sedang In Loei kewalahan melayani "isterinya"

   Itu, tiba-tiba ia lihat lompat maju dua orang ke arah Tan Hong. Mereka bertubuh besar dan kasar. Mereka kawan- kawan dari See To, mereka pernah meyakinkan ilmu silat "Taylek Sinkoen,"

   Dari itu, hebat kepalan mereka.

   Mereka lihat Tan Hong muda dan tubuhnya biasa, mereka tidak memandang mata.

   Begitulah mereka maju, yang satu berniat menyambar lengan orang, untuk dibikin tidak berdaya, yang lain berniat merampas gambar lukisan.

   Tan Hong lihat cara orang itu maju, ia gerakkan pedangnya.

   Cuma satu sinar berkelebat, atau penyerang yang satunya itu berkaok, terus dia rubuh pingsan, sebab sebelah tangannya kutung.

   Sedang kawannya, dia rubuh terjungkal didupak si anak muda, hingga patahlah tulang-tulangnya! "Sungguh tidak punya malu!"

   Teriak Tan Hong.

   "Kamu hendak merebut kemenangan dengan mengandalkan jumlahmu yang banyak? Hm!"

   Mukanya See To kembali jadi merah padam, tetapi di dalam hatinya, ia kata.

   "Dalam keadaan seperti ini, siapa hendak pedulikan lagi segala aturan kaum kangouw?"

   Ia hendak berikan titahnya ketika si orang bertopeng, yang tadi menolongi Ngochito, sudah perdengarkan suaranya.

   "Bagus, bagus!"

   Demikian katanya.

   "Hari ini udara bagus, tepat waktunya untuk melempangkan urat-urat! Bertempur satu sama satu, itulah paling bagus!"

   Suara orang itu nyaring bagaikan suara genta, menderum di dalam ruangan itu. Tergerak hati See To melihat sikap dan mendengar suara orang itu, ia lantas perhatikan tubuhnya, di dalam hati kecilnya ia berkata.

   "Dengan bertempur satu lawan satu, dia pasti dapat membikin musuh-musuhnya mati lelah..."

   Dalam suasana seperti itu, Tjoei Hong buktikan kata-katanya.

   Ia tetap menyender kepada In Loei, masih ia perdengarkan kata-katanya yang halus.

   Adalah waktu itu, See Boe Kie, puteranya See To, memajukan diri.

   Dia berlompat sambil menggerakkan kedua tangannya, sikapnya jumawa.

   "Aku undang In Siangkong untuk main-main beberapa jurus!"

   Demikian pemuda ini perdengarkan suaranya, langsung ia tantang In Loei, orang yang ia paling benci.

   Ia menjadi sangat panas karena menyaksikan lagaknya Nona Tjio itu, hingga tak berkuasa lagi ia atas hawa amarahnya.

   In Loei lepaskan diri dari Tjoei Hong, ia hunus pedangnya, pedang Tjengbeng kiam.

   Selama di Heksek tjhoeng, di dalam rimba pohon cemara di luar kampung, pernah In Loei tempur See Boe Kie maka tahulah ia, walaupun Boe Kie benar gagah, orang tidak berada di atasannya, karenanya, ia tidak jeri sedikit pun jua.

   Hanya kali ini, See Boe Kie telah kerahkan tenaganya, dia perlihatkan kekosenannya, dengan tangan kirinya ia mengancam, dengan tangan kanannya ia menyerang secara hebat.

   Itulah serangan yang luar biasa.

   In Loei berkelit dengan tipu silat "Toatpauw djiangwie,"="Membuka jubah untuk menyerahkan kedudukan."

   Ia menggeser ke samping kanan, pundaknya diturunkan, sesudah mana, baharulah ia menyabet, untuk membalas menyerang.

   "Kena!"

   Teriak Boe Kie selagi ia menyerang itu.

   Hebat kesudahannya serangan itu.

   In Loei lompat mundur, ia merasa heran.

   Boe Kie pun mundur, tetapi darah mengucur dari kakinya, sebab celananya kena tersabet robek, kulitnya terkena ujung pedang! In Loei heran, karena kepandaian orang beda daripada yang sudah-sudah.

   Ia tentu tidak tahu, setelah kekalahannya di Heksek tjhoeng, Boe Kie sudah mencari seorang Biauw dari siapa ia peroleh ilmu pukulan Imyang Toksee Tjiang, Tangan Pasir Beracun, hingga siapa terkena telak, di dalam tempo tujuh hari, dia mesti terbinasa.

   Syukur bagi In Loei, ia gesit sekali, ia keburu berkelit, kalau tidak, ia bisa celaka.

   Adalah karena kegesitannya itu, ia pun dapat mengarahkan pedangnya pada sasarannya.

   See Boe Kie menjadi gusar dan kalap.

   Ia terluka tetapi tidak parah, maka itu, setelah berkaok-kaok, ia lompat maju pula, untuk mengulangi serangannya.

   In Loei cerdik karena pengalamannya yang pertama itu, tidak mau ia sembarang menikam atau menyabet, untuk melayani lawan yang liehay itu, ia perlihatkan kelincahannya, ia berkelit, ia berputaran di sekitar lawannya itu.

   Dalam sekejap saja, Boe Kie seperti dikurung si nona, sama sekali tak berhasil pelbagai serangan dengan tangan jahatnya itu, jangan kata mengenai tubuh si nona, bajunya pun tidak pernah tersentuh.

   Maka itu, sesudah dua puluh jurus, ia menjadi bimbang.

   Insyaflah ia bahwa ia bukan lawan si "pemuda", di lain pihak, tidak sudi ia menyerah, ia penasaran sekali.

   Karena itu, ia ambil keputusan sama-sama bercelaka.

   Ia ingin berlaku nekat! Segera datang serangannyaa yang liehay, yaitu "Shiapek Hoasan,"

   Atau "Dari samping menggempur gunung Hoasan."

   Ia bersedia mengorbankan sebelah lengannya, asal serangannya berhasil, supaya In Loei terkena racun tangannya itu, supaya saingan itu menemui ajalnya dalam tempo beberapa hari! In Loei cerdik, ia dapat menduga maksud lawannya apabila ia saksikan serangannya.

   Ia lantas bergerak dengan cepat dengan tipu silat "Hong tiamtauw"

   Atau "Burung Hong manggut."

   Dengan sebat ia balikkan pedangnya, guna memapaki tangan musuh! Di saat pedang dan lengan hampir beradu, dan lengan yang akan terkutung atau tangan jahat mengenai In Loei, tiba-tiba seorang mencelat di samping mereka, tangan kirinya menarik, tangan kanannya menyambar, dalam saat yang berbareng itu, Boe Kie kena ditarik, In Loei diserang pada nadinya.

   Orang ini luar biasa, tubuhnya jangkung kurus bagaikan sebatang gala, ke sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan hitam mengkilap.

   Sambil melakukan gerakan itu, dia tertawa menyeramkan, mulutnya mengucapkan.

   "Babah mantu yang manis dari Tjio Tjhoengtjoe benar-benar liehay, biarlah aku yang melayani dia beberapa jurus!"

   Orang itu tidak lain daripada gurunya See Boe Kie, yaitu si orang Biauw yang bernama Tjek Sin Tjoe.

   Dia adalah orang dari propinsi Koeitjioe, dia pesiar ke Utara, maka juga orang Utara, dalam sepuluh, sembilan tidak mengenal dia.

   Segera juga In Loei mesti melayani orang Biauw ini.

   Tjek Sin Tjoe betul-betul liehay, dia gagah sepuluh kali lipat daripada See Boe Kie.

   Di antara berkilaunya pedang, tubuhnya bergerak-gerak lincah sekali, kadang-kadang masih dapat ia ulur jari-jari tangannya yang liehay untuk menyambar tubuh si nona.

   Seringkah, karena gerakan tangannya, tulang-tulangnya di bahagian buku perdengarkan suara meretek.

   In Loei heran terhadap musuhnya ini, ia berlaku sangat hati-hati.

   Ia mainkan pedangnya demikian rupa, hingga ia lebih banyak membela diri daripada melakukan penyerangan.

   Ia menganggap, melindungi diri adalah paling utama.

   Sekian lama Tjek Sin Tjoe tidak peroleh hasil, dia menjadi tidak sabar.

   Satu kali dia berseru keras, lantas kedua tangannya menyambar-nyambar dengan cepat dan hebat, sampai sambaran anginnya mendatangkan hawa dingin.

   In Loei menjadi heran sekali.

   Beberapa kali ia rasakan pedangnya tersampok miring atau terpental sedikit.

   Tapi yang menguatirkan adalah ketika ia merasa hatinya bagaikan goncang, hati itu panas seperti orang memancing hawa amarahnya.

   Waktu ia sadar, ia bersikap membela diri saja, tapi selang lima puluh jurus, tak dapat ia kuasai pula dirinya, ia sudah lantas mencoba untuk membalas menyerang juga.

   Nyatalah Tjek Sin Tjoe telah menggunakan tipu silat Imhong Toksee Tjiang.

   "tangan pasir beracun"

   Dibarengi angin yang menyeramkan.

   Sambaran angin itu, yang sangat dingin, meresap ke dalam tubuh lawan, dengan perlahan-lahan hawa dingin itu mempengaruhi pikirannya, mengganggu urat syarafnya.

   Memang maksud orang Biauw ini memancing serangan membalas supaya selagi hati lawan panas, ia dapat merebut kemenangan.

   In Loei kirimkan satu tusukan ke arah dada, cepat dan langsung.

   Nampaknya Tjek Sin Tjoe akan menjadi korban, tidak nanti dia dapat menghindarkan diri pula.

   Mendadak dia berseru, tubuhnya lompat mencelat, lalu dari atas, dia ulurkan kedua tangannya, untuk menyengkeram dengan sepuluh jarinya.

   Tjoei Hong menonton sejak tadi, dia kaget melihat serangan itu, sampai dia menjerit, hampir dia pingsan.

   Hebat akibat kedua orang yang saling menyerang secara dahsyat itu, hebat juga tertawanya para hadirin di pihak tuan rumah.

   Mereka ini menyangka, selesai sudah pertempuran itu.

   Tetapi akhirnya, mereka semua berdiri melengak.

   In Loei dan Tjek Sin Tjoe telah memisahkan diri sejauh satu tombak.

   Tidak keruan baju orang Biauw itu, karena baju itu robek di bahagian pundak.

   Kekasih Tjoei Hong juga tidak kurang "rusaknya,"

   Dapat dikatakan lebih-lebihan.

   Saputangan In Loei yang dipakai menutupi rambutnya dengan memakai jepitan emas telah terputus menjadi dua potong, ikat rambut itu terlepas, maka terlihatlah tegas bahagian dari rambutnya yang bagus dan panjang, hingga sekarang terbukalah rahasianya bahwa ia bukannya satu pemuda melainkan satu pemudi! Jurus itu sangat berbahaya bagi kedua pihak, maka itu keduanya, di dalam waktu yang sangat hebat itu, mencoba mengelakkan dirinya masing-masing, tetapi mereka telah saling sambar juga, hingga keadaannya menjadi demikian rupa.

   Tentu saja, orang-orang menjadi tercengang, sedang pihak See To kemudian perdengarkan pula tertawa mereka, sebab mereka anggap kesudahan itu lucu.

   "Cis"

   Tjek Sin Tjoe meludah.

   "Sungguh apes, bolehnya aku bertemu denganmu, siluman! Tak sudi aku bertempur dengan seorang wanita!..."

   Paras In Loei menjadi merah-padam, ia malu, jengah dan mendongkol. Ia lantas maju pula, sambil menggerakkan pedangnya, untuk menyerang pula.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Adik kecil, beristirahatlah,"

   Tiba-tiba ia dengar suara Tan Hong, perlahan dan sabar.

   "Nanti aku yang melayani dia!"

   Selagi mengucap demikian, tubuh si anak muda sudah melesat, menghadapi Tjek Sin Tjoe, yang terus ia serang, maka dengan segera mereka bertempur.

   Masih saja orang tertawa, semua mata diarahkan kepada In Loei, yang menjadi sangat likat dan mendongkol.

   Tidak kurang herannya adalah Tjio Eng dan gadisnya, mereka ini mengawasi dengan melengak, bahna heran, berduka dan putus harapan...

   Ayah dan gadis itu merasa tidak keruan, mereka kecele dan masgul, terutama si nona sendiri.

   Tjoei Hong tidak sangka, suami yang ia harap-harapkan itu sebenarnya adalah satu nona...

   Selagi semua pandangan diarahkan padanya, In Loei lekas-lekas betulkan ikat kepalanya.

   Ia mesti kuatkan hati, untuk menahan malu, hanya tetap ia likat.

   Akhir-akhirnya, Tjoei Hong menghampiri "suaminya"

   Itu. Ia menjadi bersangsi.

   "In Siangkong, mengapa kau gemar memelihara rambut panjang?"

   Ia tanya sambil berbisik. Kau... kau... kau sebenarnya pria atau wanita?..."

   Merah muka In Loei. Ia memang sudah pikir, satu waktu ia hendak buka rahasianya terhadap Nona Tjio ini, tetapi tidak ia sangka, di sini, dalam keadaan begini, ia mesti membuka rahasianya itu. Maka itu, ditanya si nona, ia membungkam saja.

   "Hayo katakan!"

   Tjoei Hong mendesak, sambil menekan iga orang dengan kedua jarinya.

   In Loei tidak menjawab, sebaliknya, ia mengawasi kepada kedua orang yang sedang bertanding.

   Dengan mendadak saja, berhentilah suara tertawa yang riuh itu, sebagai gantinya para hadirin memandang kekalangan pertandingan di mana kedua lawan telah sampai pada saat pertempuran yang dahsyat.

   In Loei mendelong mengawasi Tan Hong, sinar matanya jelas menandakan perhatiannya yang luar biasa.

   Tjoei Hong lihat sikap orang, ia heran, lalu ia rasakan hatinya dingin.

   Bukankah itu sinar matanya satu kekasih? Demikian rupa perhatiannya terhadap In Loei sebelum ia ketahui In Loei adalah satu pemudi sebagai ia sendiri.

   Maka ia menjadi sangat berduka, hancur hatinya seperti bayangan rembulan indah di muka air yang hancur luluh ditimpa batu oleh satu bocah nakal...

   Di medan pertandingan, dengan tenang Tan Hong layani Tjek Sin Tjoe.

   Ia memang mempunyai iweekang yang jauh terlebih sempurna daripada iweekang-nya In Loei.

   Ketenangan ini membuatnya orang Biauw itu tidak dapat berbuat banyak, sebab setiap serangannya selalu dapat dipecahkan.

   Lama-kelamaan Tjek Sin Tjoe menjadi tidak sabar, ia menjadi penasaran sekali.

   Bukankah tadi ia berhasil mempengaruhi In Loei? Kenapa sekarang ia gagal? Ia telah mencoba pelbagai macam serangannya.

   Akhirnya, ia berseru, ia menyambar sambil lompat mencelat, seperti tadi ia serang In Loei.

   Hebat nampaknya kesepuluh jari tangannya yang hitam itu, dengan kuku-kukunya yang tajam dan beracun.

   Beda daripada In Loei, Tan Hong tidak sambuti serangan dahsyat itu, ia hanya lompat berkelit.

   Habis itu, ia terus main berkelit pula.

   Kadang-kadang ia gunakan pedangnya untuk memapaki serangan yang mengancam padanya.

   Tjek Sin Tjoe menghembuskan hawa dingin, ia heran bukan main.

   Ia tahu ilmu silat Imhong Toksee Tjiang-nya itu diciptakan dengan melatih diri menelad perkelahian burung-burung di atas gunung, sejak ia turun gunung, tidak pernah ia pertontonkan itu, pun kepada See Boe Kie ia belum mewariskan semuanya, tapi heran, Tan Hong seperti mengerti ilmu silat itu.

   Anak muda ini selalu bisa mengelakkan diri, atau dia menyambutnya secara membahayakan jari-jari tangannya yang beracun itu.

   Sebenarnya, sejak ia mendapatkan kitab peninggalan Pheng Hoosiang, yaitu "Hiankong Yauwkoat,"

   Yang telah dibacanya dengan seksama, Tan Hong menjadi seorang yang cerdas luar biasa, disebabkan pengetahuannya bertambah banyak sekali.

   Baginya dengan cepat ia dapat mengetahui sifat ilmu silat lain kaum bila ia menyaksikan ilmu silat itu.

   Selama menyaksikan See Boe Kie bertempur dengan In Loei, Tan Hong sudah perhatikan ilmu silat yang luar biasa itu, habis itu, ia tonton kepandaian Tjek Sin Tjoe.

   Kemudian, ia sendiri pun melayani orang Biauw itu, sampai kira-kira seratus jurus.

   Semua itu sudah cukup baginya untuk mengetahui ilmu silat orang, maka sambil bertempur dengan tenang, tapi pun dengan tidak kurang sebat dan waspadanya, dapat ia melayani dengan baik.

   Kalau akhirnya musuh jadi penasaran, ia sendiri masih tetap sabar seperti biasa.

   Adalah kemudian, sesudah lewat banyak jurus, ia membuatnya musuh lelah, hingga Tjek Sin Tjoe, yang menginsyafi itu, menjadi bingung.

   Baharu sekarang orang Biauw ini memikir untuk mengangkat kaki saja.

   Caranya ia sudah tahu, ialah dengan jalan menggertak dulu lawannya.

   Demikian ia beraksi untuk menyerang dengan hebat, untuk kemudian mengangkat langkah panjang...

   Tan Hong melihat tegas orang sudah tidak berdaya, sekarang orang menyerang secara demikian hebat, ia dapat menduga maksud orang.

   "Eh, siluman, kau tinggalkanlah satu pertandaan!"

   Katanya dengan bentakannya selagi ia diserang, dan sambil membentak dengan sebat luar biasa, ia papaki serangan itu! Tanpa dapat dihindarkan lagi, lengan dan pedang telah beradu satu dengan lain sambil perdengarkan satu suara, menyusul itu, lengan Tjek Sin Tjoe terputus jatuh di lantai dan mengeluarkan banyak darah! Selagi para hadirin kaget, hingga mereka perdengarkan seruan tertahan, Tjek Sin Tjoe sendiri lari keluar, ia nerobos di antara orang banyak, setibanya di luar pesanggrahan, ia menoleh, akan perdengarkan ancamannya.

   "Bocah yang baik, lagi sepuluh tahun, tjouwsoe-mu akan datang pula mencari kau untuk membalas sakit hati!"

   Tan Hong tidak kejar lawan itu, dengan tenang ia seka pedangnya yang berlumuran darah, ketika ia dengar ancaman itu, ia lantas menjawab.

   "Baik, akan aku tunggui kau!"

   Orang-orang merasa kagum ketika menyaksikan Tjek Sin Tjoe, yang telah terluka demikian parah, masih dapat lari dengan pesat.

   Tan Hong menyesal juga yang ia telah menahas lengan orang.

   Mulanya ia tidak memikir untuk berbuat demikian, mendadak ia panas hati mendengar orang mendamprat dengan menggunakan kata-kata "siluman"

   Terhadap In Loei.

   Setelah itu, tidak ada lagi orang yang berani muncul untuk bertempur satu sama satu.

   Mereka sudah menyaksikan kelihayan pemuda dan pemudi itu.

   Hal ini membuatnya See To menjadi masgul dan panas hati, ia masih penasaran, maka ingin ia menyerukan pula konco-konconya untuk mengepung musuhnya.

   Justeru itu, orang mendengar tertawa yang tegas disusul pujian.

   "Ilmu pedang yang bagus, ilmu pedang yang bagus! Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus darimu!"

   Tan Hong segera menoleh, akan kenali si orang bertopeng, sepasang mata siapa bersinar tajam, agaknya seperti mengandung rahasia.

   Kaget In Loei mendengar tantangan orang itu, ia kuatir, dengan satu lawan satu, Tan Hong bukan tandingan orang tidak dikenal itu.

   Orang itu sudah maju menghampiri.

   "Mulailah!"

   Ia menantang begitu lekas ia pasang kuda-kuda. Tan Hong tidak lantas maju, ia hanya tancap pedangnya.

   "Tuan tidak mencabut pedang, biar aku layani kau dengan tangan kosong,"

   Ia kata.

   In Loei kerutkan alisnya.

   Ia anggap Tan Hong terlalu percaya dirinya sendiri.

   Tadi dengan dikerubuti berdua, si muka bertopeng dapat bertahan lama, itu menandakan keliehayan orang, maka, dengan menggunakan pedang, mungkin Tan Hong sebanding, dengan tangan kosong, mesti dia kalah...

   Orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.

   "Baiklah,"

   Katanya.

   "Silakan tuan mulai lebih dahulu!"

   "Tetamu tak dapat melancangi tuan rumah, maka itu, silakan tuan yang mulai!"

   Tan Hong merendahkan diri. Kembali si muka bertopeng tertawa.

   "Thio Siangkong, kau selalu tidak hendak mendahului lain orang, sifatmu benar- benar sifat guru yang kenamaan,"

   Ia berkata pula.

   "Sebenarnya kita sama-sama tetamu di sini. Tapi siangkong ingin aku yang terlebih dahulu mempertunjukkan keburukanku, baiklah, akan aku berlaku lancang."

   Mendadak saja ia tekuk tangannya ke dalam, lalu dengan gerakan "Wankiong siagoat"

   Atau "Menarik busur memanah rembulan,"

   Jari tangannya terus menyambar ke dada si anak muda, untuk menotok urat besarnya, yaitu hiankee hiat.

   Liehay ilmu totok si orang bertopeng ini, akan tetapi Tan Hong juga bukan orang sembarang, tak dapat ia ditotok dalam sekejap itu saja, di saat jari tangan orang hampir mengenai bajunya, ia sedot dada dan perutnya berbareng, hingga jarak jari tangan dengan dadanya menjadi terpisah satu kaki, berbareng dengan mana, tangan kanannya digerakkan, untuk menggantikan memapaki serangan itu.

   Itulah tipu silat "Tionglioe teetjoe"

   Atau "Di tengah aliran air menancap tiang batu."

   Liehay tangan Tan Hong ini, yang terlatih sempurna.

   Biasanya, siapa kena dipapaki secara begitu, jari tangannya bisa patah.

   Karena ini, berani ia mengadu tangan dengan totokan lawan.

   Cerdik si orang bertopeng itu, selagi kedua tangan baharu bentrok perlahan, dengan sebat ia tarik kembali tangannya itu, hingga batal ia menyerang.

   Ia pun memuji pula, katanya.

   "Orang dengan usia begini muda sudah punya tenaga latihan begini liehay, sungguh hebat. Nah, kau sambutlah ini!"

   Dengan sebat si orang bertopeng ini ubah jari-jari tangannya yang terbuka itu menjadi satu telapak tangan yang rapat dan dilebarkan, dengan itu ia menyerang pula.

   Tan Hong terkejut.

   Barusan, bentrokan yang perlahan, membikin ia merasa tangannya kesemutan, coba ia tak mempunyai Iweekang yang sempurna, hampir ia tidak dapat pertahankan diri, dan sekarang, ia diserang pula.

   Tidak mau ia berlaku sembrono, tetapi masih hendak ia mencoba pula.

   Kali ini ia kerahkan tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe, hingga tenaga tangannya itu seumpama "gunung rubuh yang menguruk lautan."

   Bentrokan sudah lantas terjadi.

   Hebat bentrokan itu, keduanya sampai mundur masing-masing tiga tindak.

   Tapi itulah belum terlalu hebat.

   Masih ada akibat lainnya.

   Si orang bertopeng mundur tanpa air mukanya berubah, sebaliknya Tan Hong, ia merasakan telapak tangannya seperti beku.

   Orang luar tidak lihat suatu apa, wajah Tan Hong tetap tak berubah, tapi pemuda ini insyaf, si muka bertopeng itu mempunyai tenaga latihan yang melebihi daripadanya.

   "Heran..."

   Tan Hong berpikir. Ia tahu, orang itu telah menggunakan kepandaian "Ittjie siankang"

   Atau "latihan sebuah jari", dan jurus itu dinamakan "Tiat piepee"

   Atau "Piepee besi".

   Tiat piepee biasa, banyak dimengerti orang, tetapi kepunyaan si orang bertopeng ini benar-benar jarang sekali.

   Mau atau tidak, Tan Hong jadi berpikir keras, ia menduga-duga siapa lawan ini.

   Dia tahu, dia mestinya seorang kenamaan, hanya aneh, kenapa seorang kenamaan mencampurkan diri di dalam rombongan See To, yang terang adalah satu penghianat bangsa.

   Juga aneh, mendengar suaranya, dia seperti ketahui gurunya.

   Selagi si anak muda berpikir, si orang bertopeng tertawa dan berkata pula.

   "Sudah lama sekali aku tidak bertemu lawan yang tangguh, baharu hari ini aku dapat menyambut murid seorang kenamaan. Sungguh aku girang!"

   Tan Hong membarengi kata-kata itu dengan serangan pula, yang diulangi hingga tiga kali beruntun.

   Ketiga serangan itu sangat berbahaya, sebab serangan itu seolah-olah mengancam.

   Dikatakan bukan ancaman tapi mirip mengancam, dikatakan ancaman tapi sebenarnya bukan...

   Tan Hong lantas mainkan ilmu silat "Hongtjiam lokhoa"

   Atau "Angin meniup daun rontok."

   Dengan jurus ini, ia senantiasa berkelit dengan sebat dan sambil berkelit ia gunakan ketika itu untuk balas menyerang.

   Ia berkelit tetapi ia tidak mundur setindak juga.

   Serangan pertama dari si orang berkedok dipunahkan dengan satu jurus Thaykek Koen yang dinamakan "Djiehong djiepie" = "Seperti membungkus, seperti menutup."

   Yang kedua dilawan dengan Siauwlim Koen punya "Kwee Seng tektauw"

   Atau "Kwee Seng menendang bintang."

   Perlawanan ini adalah tangkisan tangan dan tendangan kaki dengan berbareng, jadi merupakan pembelaan diri berbareng perlawanan, untuk memaksa lawan menukar haluan.

   Dan yang ketiga ia gunakan ilmu silat gurunya sendiri, yaitu satu jurus dari "Pekpian Hian Kee Tjianghoat"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan ini, ia pukul kembali tangan lawannya.

   "Ah!..."

   Si orang bertopeng perdengarkan kekaguman atau keheranannya, sebab dalam segebrakkan itu, anak muda ini sudah menggunakan jurus-jurus dari tiga kaum persilatan.

   Tanpa merasa, saking cepatnya, orang sudah bertempur kira-kira tiga puluh jurus.

   Si orang bertopeng masih tetap gunakan "Tiat Piepee"

   Yang dipadu dengan "Ittjie siankang,"

   Ia tetap tangguh. Tan Hong sebaliknya sudah lantas ubah haluan, yaitu tidak lagi ia andalkan "Hiankong Yauwkoat"

   Untuk membingungkan lawannya. Ia merasa, kalau terus ia bersilat secara demikian, lama kelamaan ia akan kehabisan tenaga dan bisa celaka. Ia menukar dengan ilmu silat "Taysiemie Tjiangsie"

   Ajaran gurunya.

   Dengan begitu, ia lindungi dirinya dengan kedua tangannya.

   Ilmu silat ini ringkas kalangannya, rapat penjagaannya, teguh kedudukannya, kalau sangat didesak, keras juga penolakannya.

   Agaknya si muka bertopeng kewalahan juga dengan penyerangannya, sebab belum pernah ia dapat menembus pembelaan diri orang itu, meskipun ia bergerak sangat cepat dan berbahaya, angin serangannya bersiur-siur keras.

   Ittjie siankang-nya pun kerap kali menotok ke jalan darah.

   Masih Tan Hong tidak dapat menduga, siapa musuh ini, dia orang apa.

   "Tiat Piepee"-nya mirip kepandaian Tantai Mie Ming, sama liehaynya, tetapi dia bukan Tantai Mie Ming. Sebab Tantai Mie Ming tidak mengerti Ittjie siankang. Mungkinkah mereka dari satu perguruan? Kalau benar, kenapa dia pandai Ittjie Siankang? Mungkinkah guru Mie Ming berat sebelah? Juga Mie Ming pernah berkata, dia tidak mempunyai soeheng, kakak seperguruan lelaki, ada juga soemoay, yaitu adik seperguruan wanita. Mereka masih bertempur, si orang bertopeng terus mendesak, malah kali ini, ia mendesak terlebih hebat, dengan jari tangannya, dengan kepalan atau telapak tangannya. Sampai kira-kira lima puluh jurus Tan Hong merasakan sangat terdesak. Inilah disebabkan ia kalah Iweekang-nya daripada lawannya itu.

   "Hati-hati!"

   Tiba-tiba si orang bertopeng berseru ketika ia telah melakukan serangan beberapa kali.

   Tapi kali ini ia menyerang dengan berbareng, yaitu tangan kirinya membentur sikut orang, tangan kanannya menotok.

   Tan Hong jadi sangat terancam.

   Kalau ia singkirkan totokan tangan kanan, ia mesti terkena benturan tangan kiri lawannya itu, demikian sebaliknya.

   Tapi ia tidak menjadi gugup, hatinya tak gentar, ia berlaku tenang, hanya untuk membela diri, ia bertindak cepat.

   Dengan sekejap saja ia putar tubuhnya, sambil berputar ia bebaskan diri, lalu ia membalas menyapu ke arah tangan musuh! "Ah!..."

   Si musuh berseru tertahan, bahna kagum.

   Ia telah saksikan serangannya dihalau dengan Tiat Piepee dan Ittjie siankang dengan berbareng.

   Ittjie siankang tak dapat dilatih sempurna dalam sekejap saja, mesti menggunakan waktu sedikitnya sepuluh tahun, tetapi luar biasa, Tan Hong dapat menjiplaknya selama mereka bertempur.

   Tentu saja, ia membuatnya musuh sangat heran.

   Justeru itu, ia menukar lagi jurus-jurusnya dengan Pekpian Hian Kee Tjianghoat, hingga ia mendapat ketika.

   Sekejap saja si orang bertopeng melengak, akhirnya ia tertawa besar.

   "Kau sangat cerdik!"

   Katanya.

   "Hampir saja aku teperdaya!"

   Kata-kata ini disusul dengan totokan ke be-bokong Tan Hong, sasarannya ialah jalan darah thiantjoe hiat.

   Tan Hong berkelit.

   Ia dapat membela dirinya.

   Lawan itu penasaran, ia ulangi serangannya hingga tiga kali.

   Selalu ia gunakan tenaga besar.

   Bukan main sulitnya Tan Hong melayani terus lawan ini, meski begitu, ia masih dapat bertahan lagi kira-kira dua puluh jurus, sampai di saat mana, ia lantas menghadapi serangan dua tangan berbareng, hanya yang satu mengancam, yang lain bukan - itulah tangan kiri yang menggertak, tangan kanan yang majunya ayal, ialah yang menepak benar-benar.

   Tan Hong menyambut dengan tangan kiri, atau segera ia insyaf bahwa ia telah diperdayai, kedua tangannya kena ditolak.

   Tiba-tiba saja si muka bertopeng tertawa terbahak-bahak.

   "Kau tidak mendustai"

   Demikian katanya sehabis tertawa.

   "Harta pendaman Thio Soe Seng serta kitab Pheng Hoosiang telah kau dapatkan! Maka apakah artinya untuk aku berdiam lebih lama pula di sini?"

   Habis mengucap demikian, ia mengancam pula dengan tangannya, tetapi ia tidak menyerang terus, hanya melompat mundur, lalu lari keluar pesanggrahan, untuk menyingkirkan diri! Aneh kelakuan orang rahasia ini.

   Datangnya tiba-tiba, perginya pun tiba-tiba.

   Dia mirip seekor naga yang nampak kepalanya, tetapi ekornya tidak.

   Semua orang heran dan tercengang.

   Lebih heran pula Tan Hong, sebab ia merasa pasti, bila ia membuat perlawanan terus menerus, mesti orang itu menang.

   Kenapa dia berhenti dengan tiba-tiba? Sebenarnya si orang bertopeng datang bersama Ngochito.

   Sejak bermula, ia sudah tidak sudi perlihatkan wajahnya.

   Sekalipun See To dan puteranya, tidak tahu ia siapa, hanya karena ia pernah perlihatkan ilmu silatnya, ia dihargai, ia dibiarkan membawa dirinya sendiri.

   Seberlalunya si orang bertopeng, yang mana membuat See To kaget dan berkuatir, karena ia tahu kedudukannya menjadi lemah, maka itu, tidak ayal lagi, ia titahkan kawan-kawannya maju menyerbu, guna mengepung Tan Hong berdua.

   Ngochito, karena ingin mencari balas, sudah maju paling depan.

   Tan Hong tertawa berkakakan.

   "Adik kecil, mari!"

   Ia mengajak In Loei.

   Nona In telah bersiap, malah ia telah beristirahat cukup lama, maka tanpa ayal lagi, ia maju kepada Tan Hong, untuk berdiri berendeng.

   Ngochito sambar pedang panjang dari salah satu orangnya See To, dengan itu ia serang musuhnya, tetapi baharu dua jurus, dan sebelum kawan-kawannya sempat membantui padanya, pedangnya sudah terpapas kutung! Tentu saja ia menjadi kaget berbareng mendongkol.

   Tjitjiangho, sebawahannya Ngochito, majukan dirinya, tetapi ia tidak lantas menyerang, ia hanya menegur.

   "Thio Tan Hong,"

   Demikian katanya.

   "kau telah berulangkah menerima budi besar dari negara kita, kenapa sekarang kau begini gelap pikiran?"

   Tan Hong tidak mau melayani bicara, ia justeru serang pahlawan Yasian itu. Mau atau tidak, Tjitjiangho menangkis, tetapi baharu satu gebrak, goloknya sudah terbabat kutung, hingga dia menjadi kaget sekali.

   "Thio Tan Hong! Kau... kau..."

   Ia berseru, lalu tertahan, sebab pedang In Loei menyambar ke arahnya.

   Karena ia berada di bawahan Ngochito, kepandaiannya pun kalah, tanpa berdaya, ia tertikam si nona, hingga jiwanya lantas melayang.

   Ngochito kaget, dia lompat, berbareng dengan mana, dia dengar teriakan hebat di belakangnya.

   Itulah Tjio Eng, yang telah lantas turun tangan.

   Tjio Eng ini ternama, tenaganya pun besar, bisa dimengerti hebatnya serangan yang dibarengi seruannya itu.

   Dalam keadaan bingung dan pusing, Ngochito tidak berdaya lagi, tidak sempat dia berkelit atau menyingkir, kepalan Tjio Eng telah sampai pada bebokongnya, maka di antara suara "Duk!"

   Yang keras sekali, dia rubuh.

   Sekalipun lapis emasnya untuk melindungi tubuhnya telah pecah karenanya.

   Maka ia lantas memuntahkan darah hidup.

   Masih syukur baginya, ia memakai lapisan itu, hingga ia cuma jatuh pingsan, kalau tidak, jiwanya mesti melayang dengan segera.

   Beberapa pahlawan pengiring sudah lantas menubruk Ngochito, untuk diangkat dan dibawa lari.

   Pahlawan-pahlawan itu tidak berani mengadakan perlawanan terlebih jauh.

   Waktu itu kawan-kawannya See To yang sejak tadi bersangsi dan yang telah berubah pikirannya serta orang-orang yang datang memenuhi undangannya, sudah lantas angkat kaki.

   Tidak mau mereka memberikan bantuannya.

   Sebaliknya, mereka yang bersatu padu pikirannya, yang hendak membela mati-matian, apabila mereka saksikan Tan Hong dan In Loei demikian kosen, mereka itu jadi kecil nyalinya.

   Sambil tertawa berkakakan, Tan Hong serang mereka yang berani merintangi ia dan In Loei, cuma karena jumlah orangnya See To itu besar, tidak dapat mereka lantas dipukul mundur.

   Tjio Eng lihat mereka terkurung, ia berseru.

   "Tangkap penjahat, tangkap rajanya! Hai, bangsat tua she See, hendak aku membuat perhitungan dengan kau!"

   Benar-benar, habis berseru, jago tua ini lompat kepada orang she See itu.

   See To tidak maju untuk melayani orang yang hendak membikin perhitungan dengannya, dia hanya berseru keras, menyusul mana, dia putar tubuhnya untuk lari meninggalkan ruangan berkumpul itu.

   Seruan itu rupanya dimengerti kawan- kawannya, serta merta mereka ini juga membalik tubuh, untuk lari juga.

   Tan Hong berempat menjadi heran.

   Kenapa musuh meninggalkan Tjiegie thia secara serentak itu? Tapi mereka tak usah berpikir lama, atau mendadak terdengar satu suara nyaring sekali, lalu di depan mereka, turunlah pintu besi rahasia, yang memutuskan hubungan mereka di kedua pihak.

   Baharu sekarang mereka mengerti, mereka jadi terkejut.

   Sekarang sukar untuk mereka dapat keluar, meski umpama kata mereka kuat mengangkat pintu rahasia itu, sebab dibalik pintu rahasia itu See To berada dengan orang-orangnya yang bersenjatakan panah, bandring dan barisan arit.

   Begitu mereka angkat pintu besi, tentu mereka akan diserbu, di hujani anak panah, batu dan babatan arit itu...

   Tjio Eng menghela napas.

   "Biarlah kita terkurung di sini!..."

   Katanya, masgul. Dari luar terdengar suara See To.

   "Serahkan gambar lukisan itu padaku, nanti aku hentikan pengurungan ini, malah mengingat kepada persaudaraan kita dahulu kala, suka aku mengijinkan kamu berlalu dari sini!"

   In Loei tertawa mendengar orang menginginkan gambar itu.

   "Toako,"

   Kata dia pada Tan Hong.

   "mereka masih tidak percaya bahwa kau telah mendapatkan harta dan peta bumi itu! Apakah tidak baik gambar itu diserahkan saja pada mereka? Mereka toh tidak akan dapat menggunakan itu!"

   "Aku justeru tidak hendak menyerahkannya!"

   Sahut Tan Hong.

   "Benar, jangan serahkan!"

   Kata Tjio Eng.

   "Gambar itu adalah warisan dari mendiang Sri Baginda, mana boleh warisan itu diserahkan pada mereka?"

   In Loei tertawa.

   "Aku pun cuma main-main!"

   Katanya.

   "Walaupun terkurung hingga terbinasa, tidak seharusnya kita minta ampun hingga karenanya kita mesti merendahkan derajat kita!"

   "Adik kecil,"

   Kata Tan Hong kepada kawannya itu.

   "aku biasanya tertawakan kelemahan hatimu, siapa tahu kau sebenarnya mempunyai semangat laki-laki."

   Tan Hong bergurau, akan tetapi In Loei meludah.

   "Foei! Apakah kau anggap hanya kamu bangsa pria yang bersifat laki-laki?"

   Katanya. Tjio Eng dan gadisnya terkejut mendengar pembicaraan kedua anak muda itu, terutama kata-kata In Loei. Tjoei Hong dekati In Loei, untuk mencekal tangannya, untuk ditarik.

   "In Siangkong, apakah benar-benar kau satu nona?"

   Ia tegaskan. Merah muka Nona In, ia tunduk.

   "Benar, entjie, aku adalah satu wanita..."

   Sahutnya perlahan. Wajah Tjoei Hong menjadi pucat-pasi.

   "Oh, oh, kau!..."

   Katanya, lalu suaranya tertahan. Setelah peroleh kepastian, habis sudah harapannya. Ia tidak dapat berbuat lain, akhirnya ia menangis. In Loei jengah sendirinya, ia pun tak enak hati.

   "Entjie, karena terpaksa, aku mendustai kau,"

   Ia berkata pula.

   "Aku harap kau jangan gusar. Entjie, aku punya satu saudara angkat..."

   Nona Tjio angkat kepalanya, mukanya merah, matanya mencorong.

   "Siapa pedulikan saudara angkatmu itu!"

   Katanya keras.

   "Ah, dasar kau tidak ketahui hatiku..."

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia tahu anak muda dihadapannya adalah satu pemudi, akan tetapi dari lagu suaranya, masih Tjoei Hong pandang orang sebagai satu pemuda.

   Tan Hong sebaliknya, tertawa melihat kelakuan kedua pemudi itu.

   Tjio Eng, yang telah lanjut usianya, dapat mengendalikan hatinya.

   Ia tarik Tan Hong ke samping, untuk menanyakan keterangan mengenai In Loei.

   Dan Tan Hong tuturkan jelas perihal Nona In itu.

   "Ketika itu kau sangat bernapsu mencari babah mantu,"

   Tan Hong tambahkan sambil tertawa.

   "dan In Loei, di samping usianya masih muda, pun telah terdesak, demikian maka terjadilah hal Jenaka ini. Kamu cuma terkelabui untuk satu tahun, tidak apa, kejadian itu tidak sampai mentelantarkan usia puterimu Looenghiong, bukankah kau telah melihat puteranya Kimtoo Tjioe Kian? Bukankah ia, di kalangan kaum muda, gagah dan tampan?"

   Tjio Eng ingat San Bin, ia penuju pada anak muda itu. Tapi ia jawab.

   "Urusan jodoh anakku, tak dapat aku mengurusnya lagi... San Bin itu, apabila dia dipadu dengan In Siangkong, dia tak dapat ditimpali, akan tetapi dia, memang cukup baik."

   Oleh karena sudah kebiasaan, seperti puterinya, jago tua ini masih sebut In Loei sebagai In Siangkong. Mendengar sebutan ini, Tan Hong tertawa. Tiba-tiba, Hongthianloei berkata.

   "Siauwtjoe, aku kehilangan satu babah mantu tetapi hendak aku beri selamat padamu! Kionghie."

   "Untuk apakah pemberian selamat ini?"

   Tanya Tan Hong sambil menghela napas. Ia ingat sesuatu ketika mendengar ucapan jago tua itu. Tjio Eng mengawasi.

   "Kamu adalah pasangan yang sangat setimpal!"

   Ia kata.

   "Anakku itu tidak sepadan direndengkan dengan In Siangkong1. Dan walaupun anakku tidak setuju, akan aku desak supaya dia menyerahkan In Siangkong kepadamu! Bilamana kamu hendak mengundang aku minum arak? Haha-haha, sungguh suatu jodoh yang manis sekali!"

   "Looenghiong, masih terlalu pagi untuk membicarakan urusan ini,"

   Kata Tan Hong.

   "Masih ada yang kau belum ketahui..."

   Tjio Eng heran, ia mengawasi.

   "Apakah itu?"

   Tanyanya.

   "Satu soal sulit, looenghiong,"

   Jawab si anak muda, yang terus menuturkan permusuhan antara kedua keluarga In dan Thio.

   Tjio Eng heran, ia pun menjadi bingung.

   Sementara itu, Tjoei Hong dan In Loei masih saja pasang omong.

   Nona Tjio adalah yang paling banyak bicara, ia kecewa tetapi masih ia berat memikirkan In Loei.

   Dan In Loei, yang merasa dirinya bersalah, terpaksa harus melayani nona yang ia perdayakan itu.

   Ia berkasihan terhadap nona ini.

   "Entjie yang baik,"

   Katanya kemudian.

   "seumurku, tidak akan aku menikah, maka itu, akan aku temani kau!"

   Tjio Eng bersenyum.

   "Adakah itu benar?"

   Dia tanya.

   "Kenapa tidak?"

   Sahut In Loei, dengan sifat kekanak-kanakan. Ia pun tertawa.

   "Cuma, entjie yang baik, aku mempunyai satu saudara lelaki, kau sebaliknya tidak. Bagiku, tidak apa aku tidak menikah, tetapi kau, apabila kau tidak menikah, siapa akan melanjutkan Keluarga Tjio kamu?"

   "Cis"

   Nona Tjio meludah. Ia tidak sangka bahwa ia akan digodai. Ia lantas menoleh kepada Tan Hong, lalu tiba-tiba ia kata.

   "In Siangkong, aku tahu apa yang kau katakan tidak keluar dari hatimu yang tulus! Di hati lain, di mulut lain! Memang aku tolol tetapi telah aku lihat siapa yang berada di dalam hatimu!..."

   In Loei merasa tertusuk, ia menghela napas.

   "Seumurku, tidak akan aku menikah,"

   Katanya, dengan lesu.

   "Jikalau kau tidak percaya, entjie, nanti aku sumpah dihadapanmu!"

   Tjoei Hong bekap mulut orang.

   "Tidak keruan-keruan, untuk apa angkat sumpah?"

   Katanya.

   "Aku telah dapatkan kau sebagai adikku, aku puas."

   "Bagus, bagus!"

   Puji Tjio Eng apabila ia dengar pembicaraan orang itu. Ia sebenarnya sedang berduka tetapi untuk sesaat, dapat ia lupakan kedukaannya itu.

   "Kamu telah mengaku menjadi entjie dan adik, maka, In Siangkong, mengapa kau tidak hendak memberi hormat kepada ayah pungutmu?"

   In Loei tertawa, ia bertindak menghampiri orang tua itu, ia memberi hormat sambil paykoei. Tjio Eng mengangkat nona itu bangun.

   "Baiklah, In Siangkong, aku terima hormatmu ini!"

   Ia kata.

   "Haha-haha!"

   Tertawa Tan Hong.

   "Masih saja memanggil In Siangkong1."

   Mendengar ini, semua orang tertawa.

   Sampai di situ, baharu mereka ingat pula bahwa mereka masih berada di dalam kurungan.

   Waktu itu sudah mendekati magrib, di luar Tjiegie thia, masih terdengar suara berisik.

   Di dalam ruang itu tidak ada makanan.

   Maka syukur, Tan Hong dan In Loei mempunyai bekal rangsum kering, bersama-sama, berempat, mereka tangsel perut mereka sekedarnya.

   "Sang hari akan lekas berlalu, bagaimana besok?"

   Tanya In Loei. Ia pecahkan kesunyian sehabisnya mereka dahar.

   "Besok adalah urusan besok, untuk apa kau pikirkan?"

   Kata Tan Hong sambil tertawa riang.

   "Benar!"

   Kata Tjio Eng.

   Maka itu, mereka dapat bercakap-cakap dengan gembira.

   Selagi ke empat orang ini tidak kesepian, See To di luar sibuk memikirkan mereka.

   Mereka mesti tungkuli kesabaran diri, sebab di antaranya tidak ada yang berani menyerbu, semua masing-masing jeri untuk kegagahannya pasangan anak muda itu...

   Malam itu dilewatkan dengan Tan Hong dan Tjio Eng bergantian berjaga-jaga.

   In Loei berdua Tjoei Hong tidur bersama di atas sebuah bangku panjang, mereka ini masih bercakap-cakap selama mereka belum pulas, masing-masing menuturkan isi hati mereka.

   Dalam tempo yang pendek itu, keduanya lantas erat sekali perhubungannya, bagaikan saudara-saudara kandung saja.

   "Ketika itu kita berpisah di Tjengliong Kiap,"

   Kata In Loei.

   "ayahmu memaksa kau lekas pulang, untuk apakah itu?"

   "Tidak lain untuk urusan gambar lukisan,"

   Jawab Tjoei Hong.

   "Ayah dengar kabar, pihak Watzu hendak mengirim orang untuk merampas gambar itu. Entah bagaimana duduknya hal, maka bangsa itu ketahui gambar berada di rumah kami. Karena itu ayah menginginkan aku lekas pulang, untuk kami serumah tangga menyingkir ke Im Ma Tjoan, di pesanggrahan Na Tjeetjoe. Kami kembali pulang sehabisnya perang. Yang kami tidak sangka adalah bangsat tua she See itu yang berkongkol dengan musuh, tanpa mempedulikan persaudaraan, dia tidak hendak melepaskan kami!"

   In Loei tertawa.

   "Dan mereka tidak ketahui, sejak siang-siang gambar itu sudah berada di tangan toakoku."

   Ia kata. Berduka Tjoei Hong mendengar demikian erat rasanya In Loei menyebutkan kata-kata "toako"

   Itu untuk Tan Hong.

   "Kau sudah punya toako, kau lupakan entjie-mu!"

   Ia kata.

   Tapi In Loei lantas menghela napas.

   Biar bagaimana, ia adalah satu nona, maka tidak dapat ia membuka rahasia hatinya, tak peduli terhadap kakak sendiri...

   Heran Tjoei Hong menyaksikan roman entjie ini, cuma tidak mau ia menanyakan.

   Ia hanya bicarakan urusan lain, sampai tiba saatnya mereka mengantuk dan tidur.

   Berapa lama ia sudah pulas, Tjoei Hong dan In Loei tidak tahu, mereka hanya tersadar tatkala mereka dengar suara sangat berisik di luar Tjiegie thia.

   "Adik kecil, lekas bangun!"

   Tan Hong memanggil.

   "Lihat! Baharu kau percakapkan Tjo Tjoh, ia sudah muncul! Coba dengar, apakah itu bukan kakak angkatmu yang datang?"

   In Loei buka matanya, ia dapatkan matahari sudah naik tinggi.

   Masih mereka terkurung pintu rahasia, tetapi di kedua tepi tembok terdapat liang kecil sebesar batang anak panah, dari situ mereka bisa mengintai keluar.

   Dan di luar tampak nyata bendera berkibar-kibar, di antaranya ada dua helai bendera yang besar luar biasa hingga menyolok mata.

   Itulah bendera yang berlukiskan matahari merah dan si Puteri Malam, itulah Djitgoat Siangkie, bendera Kimtoo Tjeetjoe! Pertempuran telah terjadi di luar, itulah yang menerbitkan suara sangat berisik.

   "Tjioe San Bin datang pada saatnya yang tepat!"

   Kata Tan Hong.

   Kata-kata ini mengandung dua maksud, maka In Loei menjebikan bibirnya dan tertawa, Dengan lewatnya sang waktu, suara pertempuran terdengar semakin reda, akan di lain saat, pintu rahasia mulai terangkat naik, hingga sinar terang lantas menembus masuk, lalu tampak San Bin bertindak masuk ke dalam Tjiegie thia.

   Rahasia In Loei telah terbuka, tetapi karena terlanjur, ia masih dandan sebagai wanita, ketika San Bin tampak nona ini, ia heran.

   Ia menegur Tan Hong dan Tjio Eng tetapi kepada si Nona In ia cuma melirik saja.

   In Loei tidak menjadi likat, sebaliknya, ia berlaku twapan.

   "Apa yang kau minta padaku, telah aku selesaikan!"

   Katanya kepada anak muda itu.

   Setelah salin pakaian, dan waktu ia tertawa, hingga nampak sujennya, In Loei menjadi sangat manis, ia bagaikan bunga baharu mekar.

   Di mata San Bin ia menjadi luar biasa elok, hingga pemuda itu tergiur bukan main.

   Tapi di sana ia tampak Tan Hong dengan wajahnya seolah-olah tertawa, lalu hatinya itu menjadi dingin.

   Pemuda ini sangat menyintai In Loei, akan tetapi setelah ketahui Tan Hong pun menyintai nona itu, ia dapat kendalikan dirinya, kemudian Tantai Mie Ming secara diam-diam membantui ia menangkan peperangan dan Mie Ming pun jelaskan bagaimana kesengsaraan hati Tan Hong untuk membela negara, ia ambil ketetapan untuk mengalah, untuk mengundurkan diri dari medan cinta itu.

   Inilah sebabnya, dalam tempo yang pendek sekali, dapat ia kuasai hatinya.

   "Tjioe Hiantit, cara bagaimana kau ketahui kita terkurung di sini?"

   Tanya Tjio Eng sambil tertawa kepada penolongnya itu. Pertanyaan ini tepat, maka semua pandangan diarahkan kepada anak muda itu.

   "Selama penyerbuan tentera Watzu, terpaksa kita berkeliaran ke empat penjuru negara,"

   Jawab San Bin.

   "begitu lekas perang sudah selesai, kami sudah lantas menggabungkan diri pula, dan niat kami adalah kembali ke tempat asal. Kemarin kami mendirikan kubu-kubu di dekat sini, tadi malam kami nampak kejadian yang luar biasa..."

   "Apakah itu?"

   Tanya Hongthianloei.

   "Ada seorang yang memakai topeng menyusup masuk ke dalam kubu-kubu kami,"

   Sahut pula San Bin.

   "Dia melempar golok yang tertusukkan sehelai surat. Dalam surat itu ditulis terang halnya looenghiong beramai tengah dikurung di sini karena terjebak oleh See To. Liehay si orang bertopeng itu, ketika kami pergoki dia, dalam sekejap saja ia sudah menghilang pula."

   "Seorang bertopeng?"

   Kata Tan Hong, yang hatinya bercekat. Timbullah kecurigaannya.

   "Benar, dia seorang bertopeng,"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   San Bin pastikan.

   "Kami tidak kenal dia, dia aneh, akan tetapi ayahku bilang, daripada tidak mempercayai, lebih baik kita percaya padanya, bahwa tak dapat tidak kami harus pergi menolongi setelah kami ketahui looenghiong terjebak dalam kurungan. Demikian ayah menitahkan siauwtit datang bersama barisanku."

   Tan Hong terus memikirkan si orang bertopeng itu, demikian juga In Loei.

   "Selama penyerbuan bangsa Watzu itu,"

   San Bin meneruskan keterangannya.

   "beberapa kali ayah mengirim orangnya pergi ke rumah Tjio Loopee, kami dapat keterangan loopee tengah mengungsi dan belum pulang, karenanya, sampai sebegitu jauh, kami tidak dengar suatu apa tentang loopee."

   "Terima kasih untuk perhatian ayahmu itu,"

   Tjio Eng mengucap.

   "Lain hari akan aku berkunjung kepadanya."

   Sementara itu orang tua ini telah melihat tegas anak muda itu, yang romannya gagah dan tampan, sekalipun dia tak dapat dibanding dengan Tan Hong atau In Loei.

   Di dalam pesanggrahan See To itu mereka bersantap pagi.

   Sehabisnya bersantap, Tan Hong dan In Loei lantas pamitan, karena perlu mereka lekas-lekas melanjutkan perjalanan mereka, hingga tak dapat mereka ditahan lagi.

   Tjio Eng dan gadisnya juga tidak mau berdiam lama di pesanggrahan musuh, hendak mereka berangkat pulang, maka itu, San Bin antar mereka bersama-sama sampai di kaki gunung.

   Tan Hong dan In Loei dengan bergantian telah perdengarkan suitan mereka, atas mana muncullah binatang tunggangan mereka, yaitu Tjiauwya saytjoe ma serta kuda pilihan dari istana kaisar.

   Selagi melihat In Loei lompat naik ke atas kudanya, tiba-tiba San Bin ingat suatu apa.

   "Nona In, tunggu dulu!"

   Ia segara memanggil. Dari atas kudanya, In Loei berpaling.

   "Ada apa, Tjioe Toako?"

   Tanyanya.

   "Tadi kau katakan bahwa kau telah bicara jelas dengan Nona Tjio, karena itu, tak usah aku omong banyak lagi,"

   Sahut San Bin.

   "Nah, terimalah kembali barangmu ini!"

   Dari sakunya San Bin keluarkan batu permata sanhu.

   -ooo00dwooo- Bab XXIII Itulah batu permata yang Tjioe Kian haturkan kepada In Loei dan In Loei menyerahkannya lebih jauh kepada Tjoei Hong, selaku tanda mata, kemudian In Loei serahkan pada Tjioe San Bin dengan permintaan supaya San Bin nanti mengatakan pada Tjio Eng, untuk menjelaskan duduknya hal, agar pernikahannya dengan Tjoei Hong dapat dibatalkan.

   Tjoei Hong lihat batu permata itu, yang membawa peranan, mukanya menjadi merah, ia likat sendirinya.

   San Bin majukan kudanya, hendak ia serahkan batu itu kepada In Loei, tetapi Si Nona In tertawa sambil berkata.

   "Permata itu asalnya kepunyaan keluargamu sendiri, untuk apakah hendak dikembalikan kepadaku?"

   Lantas ia tepok kudanya, untuk dilarikan berendeng bersama Tan Hong! Keras larinya kuda mereka, dalam sekejap saja mereka sudah lenyap, hingga tinggallah San Bin yang mengawasinya sambil menjublak...

   Benar-benar cepat Tan Hong dan In Loei kaburkan kuda mereka, pada hari kedua mereka telah lintasi kota Ganboenkwan, di tempat perbatasan kedua bangsa Ouw dan Han.

   Di tempat pengembalaan orang Mongolia, adalah umum yang kaum wanitanya menunggang kuda, oleh karena itu, In Loei tidak perlu salin pakaian lagi, ia tetap dandan sebagai satu nona.

   Puas hati Tan Hong menyaksikan si nona duduk di atas kudanya di tanah datar berumput hijau.

   Ia tertawa sendirinya.

   "Jikalau aku berada terus bersama kau,"

   Katanya, gembira.

   "meskipun seumur hidupku aku mesti tinggal merantau, sudi aku, puas hatiku!"

   In Loei singkap rambutnya, ia menoleh sambil melirik.

   "Hai, engko tolol mengucapkan kata-kata tolol!"

   Katanya tertawa.

   Berdebar hati Tan Hong, hampir tak dapat ia kuasai dirinya.

   Habis perang, kota Ganboenkwan dan sekitarnya jadi tidak keruan macam.

   Waktu itu pun tentera kerajaan Beng, yang mesti menempati kota itu, masih belum tiba, yang ada hanya beberapa serdadu saja.

   Melihat keadaan kota, Tan Hong berdiam, pikirannya bekerja.

   Ia menyayangi kota itu.

   Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar In Loei menarik napas.

   "Adik kecil, kau kenapa?"

   Ia tanya.

   "Aku teringat kepada keadaan waktu aku masih kecil, ketika itu aku ikut kakek pulang,"

   Sahut si nona.

   "Ah, tanpa merasa, sepuluh tahun sudah lewat... Ya, di sini aku ingat benar. Waktu itu adalah tanggal lima belas bulan sepuluh. Di sini kakekku menyerahkan surat wasiatnya, yaitu kulit kambing yang berdarah..."

   Mendapat kenang-kenangan ini, wajah si nona menjadi guram. Ia berdiam. Tan Hong juga berdiam.

   "Begitulah hidupnya manusia!"

   Kata si pemuda kemudian.

   "Berapa lama manusia dapat hidup? Baiklah kau jangan mengingat-ingat pula hal yang tak menyenangkan itu..."

   Keduanya menjalankan kuda mereka dengan perlahan-lahan.

   "Hidup manusia, benar-benar aneh,"

   Kata In Loei kemudian.

   "Kenapa aneh?"

   Tanya Tan Hong sambil mengawasi. In Loei pandang pemuda itu, sinar matanya berarti. Agaknya hendak ia bicara, tetapi selalu urung.

   "Manusia memang mengalami banyak perubahan di luar dugaannya,"

   Kata Tan Hong.

   "Lihat saja aku sebagai contoh. Tadinya aku pikir, selama hidupku ini tidak nanti aku keluar pula dari Ganboenkwan, siapa sangka, hari ini aku toh berada di sini! Maka itu, apa yang kau katakan aneh, bukan aneh. Adalah hal, yang dilihatnya tak mungkin terjadi, pada suatu waktu terjadi dengan tiba-tiba..."

   Kata-kata pemuda ini mengandung arti.

   In Loei berdiam.

   Pada otaknya berkelebat surat wasiat kakeknya, dan wajah bengis dari kakaknya.

   Tapi ketika ia angkat kepalanya, ia tampak roman tampan dan menarik dari Tan Hong yang tersungging senyuman, dalam sekejap saja, hilanglah mega gelap bagaikan tersapu angin...

   Tan Hong jalankan kudanya terus berdampingan dengan kuda si nona, tapi di saat ia hendak menghibur si nona, mendadak kuda Tjiauwya saytjoe ma meringkik keras dan panjang lalu lompat lari dengan tiba-tiba, seolah-olah tak memperhatikan lagi majikannya! Tan Hong heran bukan main.

   Inilah belum pernah terjadi pada kudanya itu.

   Ia sudah hendak tarik keras tali lesnya ketika mendadak ia ingat sesuatu.

   "Dia kabur dan menjadi binal begini, mesti ada sebabnya,"

   Ia berpikir.

   "Coba aku lihat ke mana dia hendak lari..."

   Maka ia kendorkan lesnya, ia biarkan kuda itu kabur seenaknya.

   Tjiauwya Saytjoe ma lari dengan tidak mengikuti jalan besar, ia mengambil jalan kecil di sepanjang tepi bukit, dia lompat di setiap tempat yang tinggi atau rendah, dia pun tak henti-hentinya perdengarkan suaranya.

   In Loei heran seperti Tan Hong, ia larikan kudanya untuk menyusul.

   Kudanya kalah tangkas, ia tertinggal kira-kira setengah lie.

   Sesudah kuda jempolan itu lari serintasan, dari sebelah depan terdengar suara kuda lainnya, hingga kedua binatang itu jadi seperti saling sahut.

   Tan Hong memandang jauh ke depan, untuk herannya, ia melihat dua orang tengah bertanding.

   Di samping mereka itu, terlihat seekor kuda putih tengah berlari- lari, kuda itu mirip betul dengan Tjiauwya saytjoe ma.

   Tan Hong awasi hingga ia dapat lihat kedua orang yang sedang asyik bertempur itu.

   Ia menjadi terperanjat dan heran.

   Ia kenali, satu di antaranya adalah Djiesoepee Tiauw Im Hweeshio, sedang lawan paman guru yang kedua itu adalah seorang berumur empat puluh lebih, tubuhnya agak gemuk, gerakan-gerakannya gesit luar biasa.

   Keras suara angin dari tongkat panjang bagaikan toya dari Tiauw Im Hweeshio.

   Itulah tongkat Hangmo thung, Penakluk Iblis, yang dimainkan menurut ilmu silat toya Hangmo thung.

   Lawannya menggunakan bergantian jari-jari tangannya yang terbuka dan tertutup, menyabet atau menusuk, dia menyerang setiap kali dia menyampok tongkat atau sehabisnya berkelit.

   Nyata lawan itu tak kurang liehaynya.

   Tan Hong heran apabila ia mengawasi pula sekian lama.

   Ia dapat perasaan, ilmu silat orang berusia pertengahan itu mirip dengan ilmu silat si orang bertopeng, yang pandai ilmu silat Tiat piepee dan Ittjie siankang! Di bawah tanjakan, di dekat tempat pertempuran, ada satu wanita yang sambil tertawa menonton pertempuran itu.

   Dia berumur kira-kira tiga puluh lebih, mukanya bundar bagaikan rembulan tanggal lima belas.

   Dia mirip dengan satu nyonya muda, sedangkan sebenarnya dia adalah satu nona.

   Tiauw Im gagah, dia juga bersenjatakan tongkat, akan tetapi lama-kelamaan, dia dibikin kewalahan oleh lawannya yang berkelahi dengan mengandalkan kedua tangannya yang tak bersenjata itu, hingga kesudahannya si orang beribadat jadi sangat mendongkol dan gusar.

   Demikian satu kali, menuruti hawa amarahnya, ia menyerang hebat dengan tipu pukulan "Tokpek Hoasan"="Menggempur gunung Hoasan."

   Itulah salah satu kemplangan yang berbahaya dan hebat.

   Pesat sekali gerakan si lawan, serangannya demikian dahsyat, tapi ia dapat menghindarkannya dengan jalan berkelit.

   Tiauw Im terlalu sengit, ia gunakan seluruh tenaganya, ketika serangan itu tidak mengenai sasarannya, ia tidak dapat kendalikan lagi senjata itu, maka sang tongkat dengan hebat menghajar batu di tanah hingga hancur, dan hancurannya terbang berhamburan.

   "Hahaha!"

   Si lawan tertawa bergelak, habis mana, ia membalas menyerang, tangannya, atau lebih tepat jari-jari tangannya, tidak hentinya menyambar- nyambar kepada Tiauw Im Hweeshio, yang mengarah iganya.

   Dalam keadaan sangat terancam itu, Tiauw Im Hweeshio dapat membela dirinya sendiri.

   Ia letakkan tongkatnya di tanah, berbareng dengan itu, tubuhnya mencelat naik, untuk terus jumpalitan, akan menyingkir jauh.

   Melihat orang mundur secara hebat itu, si wanita tertawa berkakakan.

   "Begitu saja kepandaian murid Hian Kee Itsoe!"

   Demikian ejeknya.

   "Haha-haha! Sungguh satu nama kosong belaka!"

   Tan Hong lantas datang dekat, ia menyaksikan segala apa dengan tegas. Hampir ia lompat maju, untuk menolongi paman gurunya, tapi tiba-tiba ia ingat suatu apa, hingga alisnya dikerutkan.

   "Lelaki ini terang adalah si orang bertopeng tetapi aneh sekali perbuatannya,"

   Demikian ia berpikir.

   "Dia bersama orang-orangnya Yasian berada di dalam pesanggrahan See To, dia juga kemudian memanggil Tjioe San Bin untuk menolongi kita. Kenapa sekarang dia menyulitkan djiesoepee?"

   Ia lantas menoleh, ia tampak In Loei tengah mendatangi dengan cepat.

   Ketika itu jarak antara mereka berdua ada kira-kira setengah lie.

   Ketika ia berpaling kepada kudanya, ia dapatkan Tjiauwya saytjoe ma tengah saling menjilat dengan kuda Tiauw Im Hweeshio, ialah kuda putih yang tadi terlihat dari jauh.

   Kuda putih itu adalah binatang tunggangan Thio Tjong Tjioe.

   Ketika dahulu Tiauw Im pergi ke Watzu di mana ia menyatroni rumah Tjong Tjioe, selagi ia terancam bahaya, Tjia Thian Hoa telah menolongi secara diam-diam, dan kuda itu diberikan padanya, untuk dipakai angkat kaki.

   Kuda itu dengan kuda Tan Hong adalah biang dan anak, itulah sebabnya ketika kuda Tan Hong dengar suaranya, tak dapat dikendalikan lagi majikannya, Tjiauwya saytjoe ma kabur untuk menemui biangnya.

   Dengan cepat In Loei tiba di medan pertempuran, ia terkejut ketika ia kenali si pendeta.

   "Itulah Tiauw Im Soepee\"

   Ia berseru. Dan terus ia memanggil.

   "Soepee\"

   Tiauw Im sedang didesak lawannya, mendengar panggilan itu, ia tak sempat menoleh akan melihat orang yang memanggil padanya, sebaliknya, lawannya, dia ketahui datangnya sepasang pemuda pemudi itu, dia berpaling ke arah mereka, lalu dia tertawa.

   Dia pun lantas berkata.

   "Benar-benar selama manusia masih hidup, tidak ada tempat di mana mereka tidak bertemu! Kembali aku menjumpai kamu di sini! Adakah ini hweeshio ampas soepee-mul"

   Tiauw Im gusar dikatakan manusia tidak berharga, ia mengamuk dengan tongkatnya, tetapi lawannya terlalu tangguh untuknya, amarahnya hebat, tenaga kepandaiannya kurang, tetap ia tidak dapat berbuat suatu apa terhadap lawan itu, di pihak lain, pundaknya terbentur musuh hingga ia terhuyung-huyung, hampir ia rubuh terjungkal! Hian Kee Itsoe mempunyai empat murid, di antara mereka itu, Tjia Thian Hoa yang paling liehay.

   Guru In Loei yaitu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng sudah melatih diri sambil menghadapi tembok selama dua puluh tahun, karenanya dia peroleh kemajuan besar hingga ilmu silatnya kemudian tak berada di bawahan Thian Hoa.

   Murid kepalanya adalah Kimkong Tjioe Tang Gak, dalam ilmu dalam dia tak dapat melampaui Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng akan tetapi dalam bahagian luar, Gwakang, dia telah mencapai puncak kesempurnaannya, hingga ilmu silat Kimkong tjioe-nya tak ada tandingannya.

   Yang paling rendah kepandaiannya adalah Tiauw Im Hweeshio, ini disebabkan karena tabeatnya, hingga tak dapat ia menyusul lain- lain saudara seperguruannya, baik dalam ilmu dalam maupun ilmu luar, dari itu, gurunya mewariskan dia ilmu tongkat Hangmo thunghoat serta ilmu luar secukupnya, meskipun demikian, di kalangan kangouw, dia sudah sukar menemui tandingan.

   Hanya kali ini, menghadapi lawan yang tangguh itu, ia kewalahan, ia senantiasa terdesak.

   Tan Hong lihat paman guru itu sudah tak berdaya.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Djiesoepee, beristirahatlah dulu!"

   Seru keponakan murid itu.

   "Nanti keponakanmu yang menggantikan kau!"

   Lalu ia menghunus pedangnya. Sambil maju mendekati, dia kata kepada lawan paman gurunya itu.

   "Tjianpwee, aku mohon sukalah kau memberi pengajaran pada kami! Kami adalah murid-murid turunan ketiga dari Hian Kee Itsoe. Kami adalah anak-anak muda, dengan memohon pengajaran tjianpwee, tidak berani kami bertempur satu dengan satu, dari itu kami mohon tjianpwee memaafkan sikap kami yang tidak tahu aturan ini! Kami akan maju bersama!"

   Ia kibaskan pedangnya, sambil menoleh pada In Loei, ia kata.

   "Adik kecil, mari kau pun maju, untuk mohon pengajaran satu dua jurus dari tjianpwee1."

   Dengan sikapnya yang menghormat, Tan Hong memanggil orang "tjianpwee," - yang tertua.

   In Loei terima ajakan sahabatnya itu, tanpa mengucap sepatah kata ia maju sambil menghunus pedangnya, maka di lain saat, kedua pedang telah bergabung menjadi satu - siangkiam happek - hingga kedua sinar perak lantas berkilau bagaikan saling sambar ke arah lawan yang tangguh dari Tiauw Im itu.

   Orang itu menggerakkan kedua tangannya, kepada Tan Hong ia gunakan tangannya terbuka, terhadap In Loei ia pakai jari tangannya.

   Jadi untuk melayani kedua lawan muda ini, ia gunakan Tiat piepee dan Ittjie siankang.

   Siangkiam happek lihay, gerak-geriknya bagaikan gelombang besar dari sungai Tiangkang, seperti ombak dari lautan besar, rapat desakannya, yang mana dibantu banyak dengan kegagahan Tan Hong.

   Selama bertempur di rumah Pit To Hoan, Tan Hong dapat merendengi Tiauw Im, sang paman guru, sekarang setelah meyakinkan Hiankong Yauwkoat, ia peroleh kemajuan luar biasa, ia telah lombai Tiauw Im.

   Dan sekarang ini, dengan siangkiam happek, bersama In Loei, baharu sepuluh jurus, ia sudah dapat mendesak lawannya hingga lawan itu cuma dapat membela diri, tidak dapat membalas menyerang.

   Meski ia sudah terdesak, orang itu tidak menjadi jeri.

   "Siangkiam happek benar-benar liehay!"

   Dia berkata.

   "Eh, soemoay, mari! Kau pun boleh coba-coba berkenalan!"

   Kata-kata ini ditujukan kepada si wanita, siapa sudah lantas menyahuti "Ya!"

   Entah bagaimana gerakannya, tahu-tahu dia sudah sampai di kalangan pertandingan, dan begitu lekas dia gerakkan kedua tangannya, yang menerbitkan suara, dia telah keluarkan dua macam senjata - tangan kirinya menyekal satu kimkauw, gaetan emas, tangan kanannya memegang sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar ke perak-perakan.

   Dengan dua macam senjata ini, dengan gaetan ia menyambar dan menarik, dengan pedangnya, ia menikam.

   Tan Hong dan In Loei merasakan siuran angin dari kedua macam gegaman itu, maka dibantu dengan totokan si pria, mau atau tidak, mereka mesti mundur hingga tiga tindak.

   Tapi mereka cuma mundur sebentar, setelah itu, mereka maju pula, Tan Hong di kiri, In Loei di kanan, kedua pedangnya bergabung pula, hingga kedua lawannya mesti mundur di luar kalangan sinar pedang mereka.

   Si wanita liehay, ia mundur, lalu ia maju pula, dengan dua macam senjatanya itu, dia membalas mendesak.

   Kembali dia dibantu kawannya, soeheng-nya, si kakak seperguruan, sebagaimana dia dipanggil soemoay, adik seperguruan wanita.

   Dan si soeheng tetap menggunakan Tiat piepee dan Ittjie sian secara bergantian, setiap serangannya sangat membahayakan.

   Tan Hong menangkis hingga dua kali beruntun, dengan "Hoeiliong tjaythian"

   Atau "Naga terbang di langit,"

   Dalam hal mana, ia ditimpali In Loei dengan "Tjianliong djiptee"

   Atau "Naga sembunyi dalam tanah."

   Secara begini, dapat mereka berdua melayani pedang dan gaetan dan kedua tangannya lawan itu yang liehay.

   "Bagus!"

   Memuji si wanita, yang telah menggerakkan kedua bibirnya yang merah. Tan Hong gunakan ketikanya ini untuk menanya.

   "Aku ingin bertanya, djiewie dengan Tantai Mie Ming pernah apa?"

   Sekarang si anak muda telah melihat tegas, Tiat piepee si pria mirip betul dengan kepandaian Tantai Mie Ming, dan si wanita, ilmu silat gaetannya mirip dengan gaetan Gouwkauw kiam dari Tamtay Toanio, bedanya ialah Tamtay Toanio menggunakan sepasang gaetan (siangkauw) dan wanita itu punya gaetan ditimpali dengan pedang, karenanya, gerak-gerik kedua senjata itu jadi terlebih luar biasa.

   Ditanya begitu, si wanita tercengang sesaat, lantas dia tertawa.

   "Kami cuma ingin belajar kenal dengan ilmu silat istimewa dari Hian Kee Itsoe!"

   Sahutnya.

   "Siapa mempunyai kesempatan untuk mendengarkan pertanyaanmu?"

   Dan jawaban itu disusul dengan serangannya pula, dengan pedang dan gaetannya. Tan Hong melengak karena ia ketemu batunya, ia menjadi agak mendongkol.

   "Baik, akan aku perkenalkan kamu dengan ilmu silat kakek guruku!"

   Katanya dalam hatinya, saking mendongkolnya. Terus saja ia menyerang dengan hebat, dalam hal mana dengan serta merta ia ditelad In Loei, gerakan siapa selalu diturut. Maka sekarang kedua pedang bergerak bagaikan "sepasang naga bermain di air"

   Atau sinar pedangnya bagaikan "bianglala menyambar-nyambar".

   Maka lagi sekali, wanita dan pria itu terkurung sinar pedang mereka.

   Kedua musuh itu liehay luar biasa, di luar mereka tampak terkurung, mereka seperti tak berdaya, tetapi di dalam, mereka perlihatkan kepandaian mereka, masih dapat mereka membalas.

   Pertempuran berlangsung dengan cepat, jurus demi jurus, tanpa merasa, mereka sudah melalui tujuh puluh jurus.

   Bagi Tan Hong, pertempuran berlarut itu tidak banyak artinya, tidak demikian dengan In Loei, yang tenaga dalamnya kalah banyak, maka sehabis itu, ia rasakan dadanya sesak, hampir ia tak dapat bernapas.

   Ketika Tan Hong lihat keadaan kawannya ini, ia menghembuskan napas dingin.

   "Betul-betul di luar langit masih ada langit lainnya,"

   Pikir dia dalam hatinya.

   "di samping manusia masih ada manusia lainnya... Aku pikir, siangkiam happek kami tidak ada bandingannya di kolong langit ini, siapa tahu pasangan pria dan wanita ini dapat menangkan kami di atas angin... Sebenarnya di sini orang tidak dapat bicara mengenai hal kepandaian, tetapi dalam hal latihan. In Loei kalah latihan dalam, itulah sebabnya sekarang ia kalah ulat. In Loei kuatkan hatinya, ia pertahankan dirinya, dengan begitu mereka bertempur sampai lima puluh jurus, masih saja mereka sama tangguhnya. Pada saat yang tegang itu, tiba-tiba kedua pihak dengar tindakan kaki kuda yang mendatangi ke arah mereka, mulanya, jauh lalu makin dekat, akhirnya tibalah si penunggang kuda, yang menyoren sebatang pedang. Dia nampaknya tenang sekali. Ketika dia melihat sebentar kepada mereka yang sedang bertempur seru, sekonyong- konyong dia tertawa sendirinya.

   "Kamu lihat!"

   Dia berseru.

   "Sekalipun muridku kamu tidak sanggup mengalahkannya! Maka bagaimana kamu hendak melindungi mukanya si Siluman Tua Siangkoan?"

   Tan Hong sudah lantas kenali orang itu.

   "Soehoe ia memanggil. Memang orang yang baharu datang ini Tjia Thian Hoa adanya.

   "Tiauw Im Soeheng, kau beristirahatlah terus!"

   Berkata Thian Hoa kepada kakak seperguruannya.

   "Kau tunggu saja, hendak aku belajar kenal dengan ilmu silat dari murid-murid Siangkoan Laokoay - Eh, Kimkauw Siantjoe, lebih dahulu ingin aku mohon pengajaran darimu! Dan kau, Ouw Laodjie, kau boleh bertempur lamaan sedikit dengan muridku... Sekarang jelaslah siapa adanya pasangan pria dan wanita itu, yaitu murid- muridnya Siangkoan Thian Va si Laokoay atau "Siluman Tua", si orang she Ouw itu adalah Ouw Bong Hoe, dialah murid kedua dari Siangkoan Thian Va. Dan si wanita, yang dipanggil Kimkauw Siantjoe, Dewi Gaetan Emas, adalah Lim Sian In, murid yang ketiga. Antara Siangkoan Thian Ya dan Hian Kee Itsoe pernah terjadi perebutan untuk menjadi jago dunia Rimba Persilatan, untuk itu mereka sudah bertempur selama tiga hari tiga malam tanpa ada yang menang dan kalah. Siangkoan Thian Ya mempunyai beberapa macam ilmu silat yang istimewa, di antaranya Ittjie siankang, singkatnya Ittjie sian, ilmu menggunakan jeriji tangan, untuk menotok. Tapi ilmu kepandaiannya aneh. Ilmu Ittjie sian itu bersama satu ilmu lainnya mesti diyakinkan berbareng oleh seorang pria dan seorang wanita yang masih suci kehormatannya, tapi kalau ilmu itu sudah dapat diyakinkan sempurna dan kedua murid itu menikah, ilmu itu berkurang sendiri kefaedahannya. Maka juga, sebelumnya Thian Ya menerima murid, dia tegaskan muridnya, apakah mereka di kemudian hari akan menikah atau tidak, siapa yang bersedia tidak menikah, dia akan diajari ilmu Ittjie sian itu. Murid kepalanya adalah Tantai Mie Ming. Mie Ming ini telah pergi ke negara lain - Watzu - dia tidak menghendaki turunannya terputus, karenanya dia tidak dapat mempelajari Ittjie sian itu. Karena ini, Mie Ming cuma mendapatkan ilmu silat gaetan dan lainnya dari bahagian luar (Gwakang), Ilmu Ittjie sian, tidak diyakinkan. Tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe, murid yang kedua. Ouw Bong Hoe sangat ingin mempunyai kepandaian tinggi, dia sangat kemaruk, begitu dia masuk menjadi murid Siangkoan Thian Ya, lantas dia menyatakan dan bersumpah bahwa seumurnya dia tidak akan menikah. Dengan demikian, dia telah diajari ilmu Ittjie sian itu. Lim Sian In, ialah Kimkauw Siantjoe, si Dewi Gaetan Emas, murid yang ketiga, cantik luar biasa, setiap hari dia bergaul dengan Ouw Bong Hoe, sama-sama mereka belajar silat, lama kelamaan mereka berdua jatuh cinta satu pada lain. Tapi Sian In adalah seorang wanita, dia terlebih tenang, dia tidak menonjolkan rasa cintanya itu, tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe. Dia ini segera minta soemoay itu, Sian In, suka menikah dengannya. Hal itu sudah lantas tertampak di mata guru mereka. Adalah cita-cita yang terkandung lama dari Siangkoan Thian Ya untuk mengajarkan beberapa murid yang liehay, supaya ia dapat mengulangi pertandingannya dengan Hian Kee Itsoe. Ia masih penasaran, ingin ia peroleh kemenangan. Ia pun hendak menepati janji, untuk nanti bertanding pula. Dalam hal janji itu, ia tak sudi tidak menetapkannya, ia sungkan menghilangkan kepercayaan. Maka itu, ketika ia ketahui kelakuan Ouw Bong Hoe berdua Lim Sian In, ia menjadi gusar sekali, menuruti hawa amarahnya, ia usir muridnya itu. Inilah sebabnya kenapa Tantai Mie Ming cuma menyebut bahwa ia cuma mempunyai satu soemoay, tidak pernah ia menyebut-nyebut Ouw Bong Hoe. Setelah diusir dari rumah perguruan, Ouw Bong Hoe menyesal tanpa berdaya. Ia tetap masih menyintai rumah perguruannya itu. Di samping kedukaannya, ia penasaran. Di dalam hatinya ia berpikir keras. Apa mungkin di dalam dunia ini tidak ada kepandaian yang dapat diyakinkan bersama di antara sepasang suami isteri? Kata gurunya, Ittjie sian akan berkurang bila orang menikah. Inilah ia sangsikan. Alasan gurunya ialah bila menikah, orang telah kehilangan keperjakaannya. Mustahilkah tidak ada jalan, atau ilmu, untuk memegang kekal keperjakaan itu? Karena penasaran ini, ia lantas merantau, ia mencoba mencari ilmu untuk membuktikan tak benarnya pendirian gurunya itu. Sudah belasan tahun ia merantau, masih ia belum peroleh ilmu yang dicari itu, tapi masih ia terus mencari. Pernah Ouw Bong Hoe dengar Tantai Mie Ming berbicara perihal Thio Soe Seng dan Pheng Hoosiang, bahwa Pheng Hoosiang itu mempunyai kitab "Hiankong Yauwkoat."

   Ia tertarik pada kitab itu, walaupun ia belum tahu apa isinya.

   Ia menaruh kepercayaan besar atas kitab itu mengingat lihaynya Pheng Hoosiang.

   Maka ia mencoba mencari kitab itu.

   Baharu pada bulan yang sudah ia pulang ke Mongolia, dengan kebetulan bertemu Ngochito, pahlawan Yasian.

   Ngochito memberitahukan bahwa ia telah mendapat keterangan, di mana harta Thio Soe Seng serta kitabnya telah disimpan, disembunyikan, di Souwtjioe, bahwa untuk mendapatkan itu, lebih dahulu mesti didapatkan petunjuknya yaitu sebuah gambar lukisan yang berada pada Tjio Eng.

   Ngochito tahu, itu adalah soetee dari Tantai Mie Ming, dia lantas minta bantuannya.

   Ia suka memberikan bantuannya, sebab ia mengharap nanti memperoleh kitab Pheng Hoosiang.

   Lantas ia turut Ngochito ke pesanggrahannya See To.

   Kebetulan sekali, di sini ia bertemu Thio Tan Hong dan mendapat keterangan "Hiankong Yauwkoat"

   Sudah didapatkan si orang she Thio.

   Ia adalah dari tingkatan terlebih tua, iapun menganggap dirinya sebagai seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, tidak sudi ia meminta kitab dari Tan Hong.

   Maka ia sudah lantas mengundurkan diri.

   Ouw Bong Hoe ini tidak mempunyai kesan baik terhadap bangsa asing, lebih-lebih karena niatnya adalah mencari kepandaian yang terlebih tinggi, ia tidak perhatikan urusan peperangan antara hangsa Watzu dan Kerajaan Beng, meski begitu, karena ia tahu duduknya hal, tidak suka ia melihat Tan Hong beramai terbinasa ditangan Ngochito dan See To, ia tidak ingin kitab Pheng Hoosiang nanti terjatuh ke dalam tangan pahlawan Mongolia, dari itu seberlalunya dari sarangnya See To, terus ia pergi ke tempatnya Kimtoo Tjioe Kian, untuk memberikan kisikannya dengan menimpukan surat budek yang ditusukkan pada golok.

   Tentang Lim Sian In, si adik seperguruan, walaupun di lahir ia tidak memberikan sesuatu petunjuk, di dalam hatinya, ia tak dapat melupakan Ouw Bong Hoe, sang kekasih.

   Setelah sepuluh tahun lebih mengikuti gurunya, dia telah peroleh kepandaian tinggi, oleh gurunya ia disuruh turun gunung, untuk berdiri sendiri.

   Ia lantas ambil tempat di sebuah gunung di luar Ganboenkwan.

   Di sini ia terus melatih dirinya, untuk itu ia tidak menerima murid.

   Baharulah beberapa hari yang lalu, Ouw Bong Hoe datang padanya, hingga soeheng dan soemoay itu bertemu pula.

   Banyak yang mereka bicarakan, tetapi keduanya berduka, sebab jodoh mereka telah terhalang.

   Sampai waktu itu, mereka masih tidak berani bicara mengenai hal jodoh mereka.

   Kemudian Ouw Bong Hoe bercerita mengenai kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe akan keluar dari Ganboenkwan.

   "Selama beberapa puluh tahun soehoe bercita-cita untuk dapat menangkan Hian Kee Itsoe,"

   Berkata Lim Sian In.

   "hanya selama beberapa puluh tahun itu, entah kepandaian istimewa macam apa lagi yang telah diciptakan Hian Kee Itsoe itu. Soehoe pun mengharap-harap yang murid-muridnya nanti dapat menangkan juga murid-muridnya Hian Kee Itsoe itu, guna mengangkat pamornya. Sekarang ada kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe, mari kita pergi keluar Ganboenkwan, untuk menemui mereka, untuk kita mencoba mengadu kepandaian. Syukur jikalau kita dapat menangkan mereka, tapi andaikata kita tidak berhasil, sedikitnya kita sudah ketahui tentang kepandaian mereka itu. Dengan demikian, kita jadi berbuat jasa untuk soehoe. Siapa tahu, karena jasamu ini, mungkin soehoe kasihan dan akan sudi menerima pula kau dalam rumah perguruan..."

   Ouw Bong Hoe tertarik mendengar pikiran adik seperguruan ini.

   "Baiklah, mari kita pergi, untuk mencoba-coba,"

   Ia nyatakan persetujuannya.

   Demikianlah keduanya turun gunung.

   Mereka lantas pergi ke jalan di mana orang akan lewat, untuk mencegat.

   Ouw Bong Hoe berniat mencegat kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe, tetapi kebetulan sekali, ia bertemu Tiauw Im Hweeshio, sekalian saja ia cegat hweeshio ini, yang ditantang berkelahi.

   Begitulah terjadi sebagaimana kita telah ketahui.

   Sebenarnya tidak puas Tiauw Im atas sikap Thian Hoa, akan tetapi ia tidak bilang suatu apa.

   Sejak tadi ia memang sudah berdiam saja menantikan pertempurannya Tan Hong dan In Loei, dan kepandaian Tan Hong, sang keponakan murid, membuatnya ia kagum.

   Ia tidak sangka, keponakan murid itu demikian gagah, sanggup melayani orang yang ia sendiri tidak bisa melawannya.

   "Apakah kau Tjia Thian Hoa?"

   Tanya Lim Sian In kepada penantangnya.

   "Tidak salah, akulah Tjia Thian Hoa yang rendah,"

   Jawab Thian Hoa.

   "Telah aku dengar,"

   Lim Sian In berkata pula.

   "di antara murid-murid Hian Kee Itsoe, Tjia Thian Hoa-lah yang terpandai, hari ini kau datang kemari, inilah kebetulan. Aku juga ingin menyaksikan kepandaianmu!"

   Terus ia menyerang dengan tangan kirinya, dengan gaetannya.

   Thian Hoa sambuti gaetan itu, sambil memutar tangannya, ia tarik kembali pedangnya.

   Kimkauw Siantjoe terperanjat.

   Ia kena ditarik, hampir saja gaetannya terlepas.

   Ia terutama kaget karena gaetannya adalah untuk menaklukkan golok dan pedang, siapa tahu, sekarang gaetannya kena "ditaklukkan"

   Pedang lawan! Thian Hoa lantas bertindak terus, selagi si nona melengak, ia gerakkan lagi pedangnya, menarik terus.

   Inilah jurus yang liehay dari gurunya.

   Kimkauw Siantjoe tidak menjublak lama, untuk menolong gaetannya, supaya terlepas, pedangnya di tangan kanan membarengi bekerja, menikam dengan tikaman "Gioklie tjoantjiam"

   Atau "Bidadari menusuk jarum,"

   Ke arah jalan darah hiankee hiat-nya. Inilah tipu "Wie Goei kioe Tio"

   Atau "Mengurung negeri Goei untuk menolong negeri Tio,"

   Supaya Thian Hoa segera menarik kembali pedangnya.

   "Mana aku sudi membiarkan diriku ditikam..."

   Kata Thian Hoa dalam hati kecilnya.

   Ia lantas berkelit, pedangnya sendiri masih terus dipakai menempel gaetan lawan itu.

   Sian In juga menggunakan tipu, yaitu selagi orang berkelit, ia putar gaetannya begitu rupa sambil terus menarik, maka untuk girangnya, gaetan itu dapat diloloskan, sedang pedangnya, yang dipakai menikam, diubah untuk diteruskan dipakai membabat.

   Inilah gerakan "Pengsee lokgan"

   Atau "Burung belibis turun di pasir datar."

   "Bagus!"

   Memuji Thian Hoa atas kecerdikannya itu.

   "Kimkauw Siantjoe, pujian untukmu bukannya pujian kosong belaka!"

   Sambil berseru demikian, ia tangkis pedang orang berikut gaetannya, yang sudah dibarengi dipakai menyerang juga.

   Tapi ia tidak cuma menangkis, setelah itu ia merangsak, ia membabat dan menikam silih ganti, untuk mendesak.

   Dengan jalan ini ia berhasil membuat si nona cuma bisa membela diri sambil mundur, hingga si nona pun, dengan diam-diam, memuji keliehayan lawan ini.

   Ia harus mengakui, Thian Hoa berada di atasan soeheng-nya.

   Selagi Thian Hoa tempur Lim Sian In, Tan Hong sudah bertarung pula dengan Ouw Bong Hoe.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kali ini Tan Hong lawan musuh itu satu sama satu, ia tidak mengerubuti pula bersama In Loei.

   Sebenarnya ia bukan tandingan orang she Ouw itu akan tetapi sekarang ia menang di atas angin.

   Inilah karena Bong Hoe sudah lelah, setelah melayani Tiauw Im Hweeshio dan dikepung sepasang pemuda-pemudi yang liehay ilmu pedangnya.

   Begitulah selama tiga puluh jurus, ia tidak dapat menang di atas angin.

   Sambil berkelahi, kerap kali Thian Hoa lirik muridnya.

   Ia menjadi sangat girang melihat muridnya peroleh kemajuan sangat pesat, malah serangannya luar biasa, hingga ia menjadi heran.

   Akhirnya ia tertawa berkakakan.

   "Ouw Bong Hoe!"

   Ia berkesempatan meneriaki muridnya Siangkoan Thian Va itu.

   "Bagaimana? Sampai muridku saja kau tidak sanggup melawan?..."

   


Pedang Hati Suci -- Jin Yong Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini