Pendekar Pemetik Harpa 1
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 1
Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen
Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com
Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com Pendekar Pemetik Harpa (KHONG LING KIAM) Karya .
Liang Ie Shen Saduran .
Gan KH Mentari sudah lewat pucuk langit, hari sudah lewat lohor, berdiri di pucuk Cit-sing-giam, In Hou menikmati pemandangan alam semesta nan permai dan molek, sejak beberapa jam tadi dia elah berada di atas Cit-sing-giam yang terletak di Pu-tho-san di wilayah Kwi-lin yang terkenal itu.
Sebagai pendekar kenamaan yang tersohor di empat lautan, dari keluarga besar persilatan, ayahnya In Jong dulu pernah meraih Bu-cong-goan di kala Dynasti Bing-ing-cong bertahta.
Sejak lama memang dia sudah mengagumi keindahan alam semesta di daerah Kwi-lin, namun baru kini dia berkesempatan berkunjung kemari, tapi kedatangannya kali ini bukan lantaran ingin bertamasya di daerah Kwi-lin.
Tapi maksudnya hendak bersua dengan seorang bekas kenalannya dan berkenalan dengan seorang sahabat baru.
Kawan lama yang di maksud adalah Tam Pa-kun yang sudah dikenalnya baik sejak 20 tahun yang lalu.
Tam Pa-kun berjuluk Kim-to-thi-ciang, terkenal dengan 64 jalan Phoanliong- to dan Tay-kin-na-jiu yang meliputi 72 jurus itu.
Meski sudah dua puluhan tahun bersahabat dengan Tam Pa-kun, tapi pertemuan terakhir juga terjadi pada lima tahun yang lalu.
Justru karena telah lama tidak bertemu itulah, maka kali ini begitu Tam Pa-kun engundangnya ke Kwi-lin, maka dari tempat jauh ribuan li dia datang kemari memenuhi undangan temannya.
Sahabat baru yang hendak dikenalkan padanya adalah penduduk Kwi-lin, walau ketenaran namanya tidak segemilang Tam Pa-kun di Tionggoan, tapi di lima propinsi di daerah Saylam dia merupakan tokoh yang diagulkan dalam kalangan bulim, orang memberi julukan It-cu-king-thian Lui Tin-gak.
Tunggu punya tunggu sang kawan belum juga kunjung tiba, lambat laun lenyap juga selera In Hou menikmati panorama di depan matanya, dengan risau dia berpikir.
"Orang yang hendak dikenalkan oleh Tam-toako tentunya bukan tokoh yang bernama kosong. Pernah kudengar cerita orang, bahwa Lui Tin-gak suka royal membuang uang untuk membantu sesama kaum persilatan, tidak sedikit tamu-tamu kaum persilatan yang bermukim di kediamannya. Sayang kali ini aku mengemban tugas yang cukup berat, kalau tidak, ingin juga aku beristirahat beberapa lama di tempat kediamannya."
Teringat bahwa tidak lama lagi dia bakal diperkenalkan kepada Lui Tin-gak oleh Tam Pa-kun.
hatinya menjadi bergairah.
Tapi kenapa sejauh ini Tam Pa-kun belum juga tiba? Pada hal tahari sudah doyong ke barat, sebentar lagi magrib baka! tiba.
Dalam suratnya Tam Pa-kuri mengatakan supaya aku berada disini sebelum lohor dan bersama-sama tamasya dulu ke Cit-sing-giam.
Tapi kini beberapa jam telah berselang, kenapa Tam Pa-kun belum kunjung tiba? Sebagai teman akrab yang telah berhubungan selama 20 tahun.
In Hou cukup tahu watak temannya itu, kecuali dia tidak pernah mengatakan, tapi sekali janji pasti dilaksanakan.
Tapi kenapa kali ini dia ingkar janji? "Mungkinkah di tengah jalan dia mengalami sesuatu diluar dugaan?"
Mau tidak mau gundah pikiran In Hou, tapi lebih jauh dia membatin.
"Tahun lalu Tam-toako baru kembali dari Thian-san, belum lagi sampai di rumah sudah berangkat pula menuju ke Liang-san. Mungkin kali ini dia langsung datang kemari dari Liang-san. Pada hal betapa jauhnya perjalanan ini, kalau dia tertunda satu dua hari di perjalanan juga jamak. Sesuatu mungkin memang terjadi atas dirinya, tapi belum tentu membahayakan keselamatannya, apalagi dengan bekal ilmu silatnya yang tinggi, buat apa harus berkuatir bagi dirinya?"
Setelah menghibur diri terasa lega dan lapang perasaannya.
Di kala pikirannya melayanglayang itulah, tiba-tiba didengarnya suara petikan kecapi yang ayup-sayup sampai dibawa semilirnya hembusan angin lalu, suara "tang, ting' itu mengalun tinggi rendah tidak menentu, kadang-kadang terdengar jelas, tiba-tiba lenyap tak terdengar.
Kalau In Hou tidak pernah meyakinkan ilmu senjata rahasia semacam Bwehoa- ciam, sehingga pendengarannya jeli dan tajam, lain orang tentu mengira itu suara percikan air.
In Hou mendekam di atas tanah mendengarkan dengan seksama, seolah-olah irama kecapi berkumandang dari perut bumi, dipantulkan oleh gema suaranya yang terpendam di lapisan bumi sehingga irama kecapi ini kedengarannya agak misterius.
Semula In Hou keheranan dan bingung, tapi akhirnya dia mengerti.
"Ya, pasti ada seseorang tengah memetik kecapi didalam Cit-sing-giam."
Tanpa terasa In Hou beranjak turun dari puncak gunung menuju ke arah datangnya irama kecapi. Tengah dia mengayun langkah, tiba-tiba didengarnya seseorang berteriak.
"Tuan ini, apakah kau ingin tamasya kedalam Cit-sing-giam?"
In Hou tersentak sadar dari lamunannya, waktu dia berpaling dilihatnya seorang laki-laki kampungan yang memegang sebatang obor tengah menyapa dirinya di samping gunung sana.
Pada saat itu pula irama kecapi itu ternyata berhenti dan lenyap tak terdengar lagi.
Citsing- giam memang sering dikunjungi wisatawan, oleh karena itu penduduk setempat banyak yang mencari nafkah sebagai petunjuk jalan untuk mencari sesuap nasi.
Belum lagi In Hou bersuara, orang kampung penunjuk jalan itu sudah berkata pula.
"Hari sudah menjelang senja, kalau tuan ingin bertamasya kedalam Cit-sing-giam harus sekarang juga."
Dalam hati In Hou berpikir. 'Entah Tam-toako apakah bakal datang hari ini? Pemetik kecapi yang liehay dalam gua sana patut diajak berkenalan,"
Memangnya dia seorang penggemar musik, selama ini belum pernah dia mendengar petikan kecapi semerdu ini, setelah mendengar ucapan petunjuk jalan ini, tergerak hatinya, maka segera dia berseru.
"Baiklah, kau tunggu sebentar."
In Hou memutar badan membelakangi petunjuk jalan itu, dia ulur jari tengahnya lalu menggores ke dinding gunung di tempat yang menyolok pandangan, menggores sebuah garis tanda panah ke arah mana dirinya akan pergi.
Tenaga dikerahkan ke jarinya, seketika amblas tiga mili dan serbuk batupun bertaburan.
Tapi petunjuk jalan itu kebetulan berdiri di bawah lamping gunung sana, maka dia tidak melihat apa yang dilakukan In Hou.
Dalam hati In Hou membatin.
"Tam-toako pasti kenal Kimkong- cay-latku ini, melihat tanda panah yang kugores ini, dengan kecerdikannya, tentu dia bisa menduga bahwa aku sedang tamasya kedalam Cit-sing-giam."
Setelah meninggalkan tanda goresan jarinya, dengan lega In Hou lantas minta petunjuk jalan itu mengantar dirinya serta bertanya.
"Apakah kau baru keluar dari dalam gua?"
"Betul, kira-kira sesulutan dupa saja, baru saja aku mengantar dua wisatawan,"
Demikian jawab petunjuk jalan itu.
"Apa kau dengar seseorang memetik kecapi didalam gua?"
Petunjuk jalan itu heran, katanya.
"Ah, tidak, apa kau mendengar?"
In Hou menjadi bingung, katanya.
"Takkan salah, baru saja suara kecapi berhenti, bagaimana kau tidak mendengarnya?"
Petunjuk jalan itu berpikir sejenak, akhirnya dia tertawa geli.
"Apa yang kau tertawakan?"
Demikian tanya In Hou.
"Mengerti aku sekarang,"' demikian ucap petunjuk jalan.
"didalam Cit-sing-giam ada terdapat sebuah rawa-rawa yang tak terukur dalamnya, konon rawa itu bisa tembus ke Le-kiang, suara arus airnya bergema dalam gua mirip irama kecapi, maka apa yang kau dengar tadi pasti suara air."
In Hou bingung, pikirnya.
"Suara air masa begitu merdu?"
Tapi keajaiban dalam dunia ini memang tak terukur oleh akal sehat manusia, biar setelah berada didalam nanti kuperiksa dengan seksama."
Tanpa terasa mereka sudah tiba di ambang pintu gua Citsing- giam. Ternyata mulut gua amat lebar, tingginya ada dua puluhan tombak, lebar tujuh puluhan tombak. Karuan In Hou berjingkat kaget, pikirnya.
"Gua sebesar ini, selama hidup baru pertama kali ini aku melihatnya."
"Konon menurut cerita orang-orang tua,"
Demikian tutur petunjuk jalan.
"Untuk menghindari peperangan yang berkecamuk, seluruh penduduk kota Kwi-lin mengungsi kedalam Cit-sing-giam, ternyata Cit-sing-giam cukup muat ribuan penduduk."
Lebih lanjut dia berkata pula.
"Cit-singgiam ini terbagi atas enam gua dan dua ruangan. Sejak dari gua pertama bisa terbagi dua jalur untuk memasuki gua yang lain, ke sebelah kiri masuk ke Toa-giam, sebelah kanan masuk ke Ci-giam, pada masing-masing tempat itu memiliki pemandangan dengan bentuknya yang berbeda pula, kedua jurusan ini akhirnya bisa bersua kembali pada lapisan gua kedua yang terletak di bawah Si-mi-san. Lalu keluar dari gua ketiga yang dinamakan Hoa-koh-san. Tuan, waktu sudah tidak mengidzinkan, mungkin hari ini kau takkan sempat bertamasya ke seluruh obyek yang ada didalam gua ini. lalu ke arah mana kau ingin pergi?"
"Boleh terserah kepadamu, tunjukkan saja jalannya,"
Demikian ucap In Hou. Tahu orang baru pertama kali ini berkunjung ke Cit-singgiam, maka petunjukjalan itu berkata.
"Baiklah, kutunjukkan jalan utama dari gua permulaan yang menembus ke Toa-giam saja, nanti akan keluar dari Giok-khe-tong-hu."
Baru saja mereka beranjak memasuki gua, petunjuk jalan itu berkata pula sambil tertawa lebar.
"Tuan, mari kuceritakan pemandangan aneh yang ada dalam gua ini, harap kau tidak salah mengerti."
"Ah, kenapa salah mengerti?"
Tanya In Hou heran.
"Baiklah, silahkan kau angkat kepalamu,"
Kata petunjuk jalan. Dengan heran In Hou mendongak, didengarnya petunjuk jalan itu berkata.
"'Inilah bagian pertama dari pemandangan yang mempesona dari Cit-sing-giam yang bernama 'kura-kura angkat kepala'."
Waktu In Hou mendongak dan melihat ke arah yang ditunjuk, memang mirip dan sesuai namanya, hampir saja dia tertawa geli.
Setelah beranjak kedalam gua lebih lanjut, betapapun luas pengalaman In Hou, sebagai pelancongan yang sering bertamasya ke berbagai obyek turispun seketika takjub dan terpesona menghadapi keajaiban alam di depan matanya, terasa seolah-olah dirinya kini berada di dunia mithos.
Didalam gua penuh dengan beraneka warna stalaktit yang bercahaya menyilaukan mata, seperti karang merah, jamrut, amber atau batu giok, bentuknyapun aneh-aneh, seperti tiang penahan langit-langit gua, ada juga yang seperti rumpun rebung bambu.
Seluruh gua itu seolah-olah terbentuk dari ratna mutu manikam.
Petunjuk jalan itu tuding sana tunjuk sini sambil menerangkan dengan lancar dan hafal sekali, dimana ada Lokun- tai, disini adalah ikan le lompat ke pintu naga, dan disana adalah Lohan penunggu mulut gua, dan tiang batu yang berbentuk seperti rebung bambu itu dinamakan Loh-ti-ciokkek, memang bentuk-bentuk stalaktit yang satu lebih aneh dan ajaib dari yang lain, siapapun takkan bosan dan segan untuk menikmatinya.
Agaknya petunjuk jalan ini memang sudah berpengalaman dan tahu seluk beluk Cit-sing-giam, sembari bercerita dan menjelaskan dia mengeluarkan beberapa biji permen, katanya.
"Tuan, coba kau cicipi permen buatan Kwi-lin ini."
"Oh, ya, terima kasih, rikuh juga menerima suguhanmu,"
Ucap In Hou tertawa.
'Suguhan apa, kan tidak seberapa harganya? Sekeping uang tembaga juga mendapat beberapa bungkus.
Meski permen ini murah harganya, tapi rasanya memang enak dan nikmat.
Permen inipun dapat menahan lapar.
Sering kali tengah hari tak sempat aku makan, maka permen inilah ganti penangsel perutku."
Memang In Hou sering dengar akan permen buatan Kwi-lin yang termashur ini, maka dia menerimanya sebungkus sambil menyatakan terima kasih, permen yang empuk ini kiranya dibungkuji oleh daun bambu bagian dalamnya dan dibungkus kertas kaca pula di bagian luarnya, begitu kertas dibuka, terangsang bau harum yang menyejukkan.
Petunjuk jalan itupun membuka sebungkus terus di masukkan kedalam mulut sertu dikunyah dengan lahapnya.
In Hou meniru perbuatan orang, semakin dikunyah terasa semakin lembut, rasanya wangi tapi juga sedikit kecut, tanpa terasa dia memuji.
"Memang enak rasanya."
Petunjuk jalan tertawa, katanya.
"Orang luar daerah hanya tahu kalau Kwi-lin ada tiga macam makanan yang terkenal, yaitu Ho-yok (susu kental), Be-thi (buah-buahan) dan Samhoa- ciu (arak sari tiga kembang), tapi jarang orang tahu akan permen ini."
"Betul, permen inipun boleh terhitung nyamikan yang menyegarkan dari Kwi-lin,"
Ujar In Hou. Agaknya petunjuk jalan ini merasa senang karena In Hou menyukai permen yang diberikan, katanya.
"Tuan, syukurlah kau menyukainya, silahkan ambil lagi sebutir."
"Makan enak tidak boleh makan terlalu banyak supaya tidak muak. Hari ini kau belum makan siang bukan? Biarlah kau makan sendiri saja."
Demikian kata In Hou. Petunjuk jalan tertawa.
"Aku masih punya banyak, silahkan makan saja. makan dua bungkus juga belum terhitung banyak."
Merasa rikuh untuk menolaknya, terpaksa In Hou makan lagi sebungkus.
Dalam pada itu mereka tengah membelok ke sebelah kiri, tiba-tiba pandangan mata menjadi benderang, tampak dinding merah di bagian depan sana muncul sekelompok ukiran batu yang berwarna putih susu,, di bagian luar kelompok ukiran batu putih ini ditutupi kain gordyn sutra merah Jingga dilempit bundar rriembundar kedua samping.
Setelah dekat kelompok ukiran batu putih itu, petunjuk jalan mengangkat obor serta berkata dengan tertawa.
"Silahkan kau saksikan tokoh di balik gordyn itu."
Waktu In Hou melongok kedalam sebelah atas, seketika dia berdiri melongo, kiranya tokoh yang dimaksud di balik gordyn bila dibanding ukiran batu di bagian luarnya bedanya laksana langit dan bumi, kiranya tokoh yang dimaksud di balik gordyn adalah palung seorang wanita cantik rupawan seayu bidadari, duduk dengan gaya lembut dan seperti manusia hidup layaknya di atas sebuah singgasana yang terbuat dari kursi batu putih pula, pakaiannya melambai lembut terurai ke bawah, begitu anggun dan asri sekali.
Sekian lama In Hou mematung diam, batinnya.
"Konon dahulu Kokoh (Bibi) adalah perempuan tercantik di seluruh bulim,. sayang aku tidak pernah melihat Kokoh di masa mudanya."
Mendadak dia terkenang akan putrinya In San, tahun ini putrinya genap 16 tahun, diapun termasuk gadis rupawan, selama hidup ini In Hou hanya dikaruniai seorang anak perempuan yang satu ini, bukan kepalang dia sayang dan memanjakan putrinya.
"Ayah sering bilang bahwa anak San mirip duplikat Kokoh di masa mudanya dulu, mungkin anak San tidak secantik perempuan batu putih ini, betapapun dia hanya seonggok patung besi saja, tidak selincah dan senakal anak San yang menyenangkan." ....teringat akan putrinya yang nakal dan Jenaka, tanpa terasa In Hou mengulum senyum dan terkenang kampung halaman serta keluarganya. Petunjuk jalan itu tampak terperanjat, lekas dia pegang lengan In Hou serta digoncangkan, serunya.
"Tuan, kenapa kau?"
In Hou tersentak sadar, katanya.
"Ah, tidak apa-apa, kau kira aku..."
Lega hati petunjuk jalan, katanya tertawa.
"Tuan, kukira kau jadi linglung saking pesona. Dulu beberapa kali pernah terjadi pelancongan yang tergila-gila kepada patung batu ini."
"Masakan diriku kau samakan mereka. Kalau kau kuatir, hayolah ke lain tempat."
"Memang di sebelah depan masih banyak keanehan yang dapat kau nikmati."
Sembari jalan otak In Hou berputar.
"Patung gadis ini memang mulus, tapi kecantikannya paling menimbulkan rasa agung dan suci, memangnya siapa yang bakal timbul pikiran jahat terhadapnya? Tapi bicara soal cinta sejati. Kohu (paman) boleh terhitung laki-laki sejati yang jarang ada bandingnya dalam dunia ini. Dulu entah betapa besar siksa deritanya sebelum dia menjadi suami isteri dengan Kokoh. Setelah Kokoh meninggal, seorang diri dia menyepi di hutan batu, selama belasan tahun belakangan ini belum pernah dia keluar dari hutan batu itu, kerjanya sehari-hari hanya memperdalam ilmu silat dan ilmu pedang. Em, kalau kali ini aku bisa bertemu dengan Tam-toako ingin rasanya aku menunaikan pesan paman."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahwa In Hou memang seorang pendekar gagah perkasa yang tersohor di empat lautan, tapi kalau dibanding pamannya, peduli soal nama atau kepandaian Kungfunya, masih terpaut jauh sekali.
Karena pamannya itu adalah Thio Tan-hong yang diakui secara aklamasi oleh seluruh lapisan kaum persilatan sebagai jago nomor satu di seluruh dunia.
Sejak 40 tahun yang silam bersama isterinya In Lui.
ilmu pedang gabungan mereka berdua sudah tiada bandingan di kolong langit ini.
Murid Thio Tan-hong yang tertua Toh Thian-tok merupakan seorang genius persilatan pula, bukan saja dia memperoleh ajaran murni gurunya, malah dengan kepintarannya sendiri diapun mencipta dan mengkombinasikan ajaran gurunya serta membuka aliran baru yang lain dari yang lain.
Toh Thian-tok bersemayam di Thian-san, demi menyempurnakan cita-cita muridnya serta demi kejayaan alirannya di kelak kemudian hari.
Thio Tan-hong malah mengangkat muridnya yang satu ini sebagai cikal bakal suatu aliran tersendiri, aliran baru dengan bekal ilmu pedang hasil ciptaan baru pula ini akhirnya dinamakan Thian-san-pay.
Di bawah pimpinan dan asuhan Toh Thian-tok selama dua puluhan tahun, sehari demi sehari Thian-san-pay maju pesat dan menjulang semakin tenar dan disegani, meski Thian-san-pay bercokol jauh di daerah barat, namun murid-murid didiknya sama berkepandaian tinggi, sehingga cukup setimpal untuk berjajar dengan Siau-lim, Butong, Go-bi dan Ceng-seng empat partai besar di daerah Tionggoan.
Tapi lantaran letaknya yang jauh di daerah barat itu pula, sehingga nama Thian-san-pay tidak setenar ke empat partai besar yang ada di Tionggoan.
Mending bagi Thio Tanhong yang dapat hidup bebas berlanglang buana kemana dia suka.
Isterinya In Lui paling suka akan hutan dan batu di daerah Kwi-lin ini, maka setelah isterinya meninggal, seorang diri Thio Tan-hong lantas bersemayam disini, pertama untuk mengenang isteri tercinta, kedua karena letak hutan batu ini yang terasing dari dunia luar, maka dia bisa lebih tekun memperdalam ilmu pedang.
Jarak antara Thian-san dengan hutan batu di Kwi-lin ini entah berapa laksa li jauhnya, setelah mengasingkan diri di Ciok-lin (hutan batu), belum pernah dia pulang ke Thian-san.
Tahun lalu In Hou pernah datang ke hutan batu menemui pamannya, Thio Tan-hong yang memberitahu kepadanya bahwa dia tengah memperdalam semacam ilmu pedang tingkat tinggi, ilmu pedang yang diciptakannya ini tidak membawakan gerakan dan jurus yang menentu, juga tidak mengikuti teori ilmu pedang umumnya, tapi merupakan himpunan dari sari pedang berbagai aliran yang aneh-aneh dan menembus ke suatu aliran yang menyimpang.
Waktu itu pernah In Hou bertanya apa nama ilmu pedang yang bakal diciptakannya itu.
Thio Tan-hong tertawa, katanya.
"Kalau toh tanpa jurus tipu yang menentu, maka tidak perlu harus memberikan nama kepadanya Kalau kau suka, boleh dinamakan Bu-bing-kiam-hoat (ilmu pedang tanpa nama) saja. Sayang meski sudah sepuluh tahun aku menyelaminya, rangkaian ilmu pedang ciptaanku ini belum juga selesai. Semoga Thian memberkati, kira-kira dalam jangka tiga tahun lagi, kemungkinan baru aku bisa menyempurnakan seluruh ajaran ilmu pedang ciptaanku ini."
Waktu itu belum jadi seluruhnya ilmu pedang ciptaannya, tapi In Hou beruntung dapat melihat demontrasi secara petilan yang ditunjukkan Thio Tan-hong, meski masih merupakan petilan yang belum lengkap tapi apa yang dilihatnya betul-betul membuatnya kagum dan memuji tak terhingga.
Pada hal saat mana Thio Tan-hong sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, mau tidak mau In Hou berpikir.
"Kalau Thio Tan-hong mengalami sesuatu kejadian diluar dugaan, bukankah Bu-bing-kiam-hoat ini bakal putus turunan?" -maka dengan rendah hati dia utarakan isi hatinya, dia tanya kenapa Thio Tan-hong tidak memanggil muridnya kemari? Thio Tan-hong berkata. ''Waktuku sendiri mungkin tidak banyak lagi, setua ini lagi mana mungkin meluruk ke Thiansan? Thian-tok sudah menjadi Ciangbunjin dari suatu aliran, tak mungkin dia meninggalkan kedudukannya untuk datang kemari Dan lagi bila minta tolong orang lain untuk menyampaikan kabar, susah juga mencari orangnya yang dapat dipercaya."
Oleh karena itu In Hou mengajukan dirinya, dia suka terima tugas untuk menyampaikan kabar ini ke Thian-san. Thio Tan-hong berkata.
"Aku tahu urusanmu sendiri juga banyak, pergi ke Thian-san bukan suatu kerja yang mudah. Palagi Bu-bing-kiam-hoat yang kuciptakan juga belum sempurna, lebih baik begini saja, rangkaian yang telah kususun sebagian ini biar nanti kubuatkan duplikatnya untukmu. Kelak bila telah lengkap seluruhnya, sementara Thian-tok tetap tak berada di dampingku, biar kusembunyikan didalam Ciok-lin di pucuk Kiam-hong (puncak pedang) di pinggir danau itu. Waktu In Hou pamitan maka Thio Tan-hong serahkan duplikat jurus-jurus ilmu pedang ciptaannya yang masih merupakan petilan itu kepadanya, di samping itu diapun telah beritahukan kirarkira dimana dia bakal menyimpan Kiam-boh jerih payahnya dengan lukisan sebuah peta sederhana. Katanya.
"'Soal ini kau tidak perlu tergesa-gesa untuk menyelesaikannya, cukup asal ada kesempatan pergi ke Thian-san serahkan kepada muridku, duplikat yang kubuat ini boleh dijadikan bukti dan tanda pengenalmu, begitu melihatnya Thian-tok pasti tahu bahwa ilmu pedang ini adalah hasil ciptaanku selama ini."
Ternyata Bu-bing-kiam-hoat ciptaannya ini bukan saja ruwet dan banyak ragamnya tapi juga aneh dan menakjubkan, ada gambar tapi tiada gaya jurusnya, kalau bukan seorang tokoh silat yang betul-betul sudah punya dasar latihan dan pengetahuan tinggi, meski membaca dan mempelajari buku pelajaran ilmu pedang ini, mungkin bisa dianggapnya sebagai hasil tulisan guru silat kelas kampungan belaka.
Setelah mendapat titipan Thio Tan-hong sebetulnya In Hou sudah akan berangkat sendiri ke Thian-san, tapi isi hatinya dapat diterka oleh Thio Tan-hong, maklumlah sebagai pendekar kenamaan, masih banyak urusan yang menyangkut kaum bulim di Tionggoan yang harus segera dibereskan, tak mungkin dia memecah diri untuk menunaikan dua tugas sekaligus.
Tam Pa-kun sudah bersahabat puluhan tahun dengannya, bagaimana karakter Tam Pa-kun sudah dikenalnya baik dan dapat dipercaya, palagi Tam Pa-kun adalah kenalan baik Toh Thian-tok lagi.
tahun lalu baru saja dia kembali dari Thian-san.
Oleh karena itu mumpung kali ini Tam Pa-kun mengundangnya kemari, dia hendak titip tugas yang diserahkan Thio Tan-hong ini kepada Tam Pa-kun untuk menyelesaikan.
Maklum Tam Pa-kun bebas kelana, laki-laki bujangan lagi boleh sesuka hati kemana dia mau pergi, untuk berangkat Thian-san jelas jauh lebih gampang dari dirinya.
Berada didalam Cit-sing-giam tak bisa melihat cuaca matahari, tapi dapat diduga bahwa sekarang kira-kira sudah menjelang magrib, sambil mendengarkan penjelasan petunjuk jalan, dalam hati dia berpikir.
"Entah Tam-toako sudah datang belum, bila dia melihat tanda panah yang kugores di atas dinding, pasti sudah masuk ke gua ini. Katanya dia pernah beberapa kali datang didalam Cit-sing-giam ini, tanpa petunjuk jalan pasti juga sudah tahu jalan. Ha, jikalau mendadak dia muncul dari balik gua sana, sungguh mengagetkan dan menggirangkan."
Tiba-tiba didengarnya suara air bergema, ternyata memang mirip irama harpa. Petunjuk jalan segera berkata.
"Hati-hatilah tuan, jangan sampai terpeleset. Di bawah adalah telaga rawa yang tak terukur dalamnya."
In Hou coba melemparkan sebutir batu, betul juga ditunggu sekian lama baru terdengar suara batu kecemplung kedalam air.
Petunjuk jalan ini memang pandai bercerita dan suka ngobrol seperti mulutnya tak pernah kering.
Tiba-tiba terasa oleh In Hou perutnya rada mules, pada hal lwekangnya cukup tinggi, selama dua puluh tahun tak pernah jatuh sakit, mau tidak mau dia menjadi heran, pikirnya.
"Mungkinkah aku terkena hawa beracun? Tapi gua ini rasanya tiada hawa beracun, kalau ada mana mungkin kaum pelancongan mau tamasya kemari?"
Untung hanya mules sedikit saja, jadi bukan sakit seperti dipelintir, setelah dia menarik napas dan mengatur jalan darah semangatnya seketika pulih kembali. Tanya In Hou.
"Apakah dasar rawa ini ada mengeluarkan hawa beracun?"
"Di tempat pelancongan seperti ini mana mungkin ada hawa beracun?"
Ujar petunjuk jalan.
"setiap hari boleh dikata aku sering mondar-mandir di pinggir rawa, tuan apa kau merasa ada sesuatu yang ganjil? Mungkin kau tidak biasa dan terlalu lama didalam gua, dada terasa sesak dan mual?"
In Hou tidak berani memastikan bahwa dirinya keracunan, batinnya.
"Dengan bekal latihan lwekangku, umpama makan racun juga takkan kuasa mencelakai diriku, apalagi hanya hawa beracun? Mungkin secara kebetulan saja perutku sakit?"
Di kala hatinya bimbang itulah, tiba-tiba didengarnya irama harpa bergema pula.
Kali ini bukan lagi suara air, tapi betulbetul suara petikan senar harpa, iramanya kalem mengalun lembut, seolah-olah jari jemari seorang tukang sulap yang membawa pikirannya tenggelam ke dunia mithos, begitu asyik dan pesona dia mendengarkan suara harpa, bukankah irama harpa inikah yang didengarnya tadi? "Eh, dengarkan,"
Seru In Hou tanpa sadar.
"bukankah ada seseorang sedang memetik harpa? Nah disana itu, disana. Lekas bawa aku menemui orang itu,"
Belum lenyap akhir suaranya, mendadak pandangannya menjadi gelap.
Ternyata obor yang dipegang petunjuk jalan mendadak padam.
In Hou berpengalaman menghadapi berbagai peristiwa.
meski menghadapi kejadian mendadak dia tetap tenang, mata kuping dipertajam, maka didengarnya dari arah belakang menyamber datang senjata rahasia, lekas dia menjentik balik tangannya, dengan Tam-ci-sin-thong dia menjentik jatuh sebutir Toh-kut-ting ke dasar rawa di bawah sana.
Tiba-tiba didengarnya petunjuk jalan berteriak.
"Hai, siapa main-main memadamkan oborku? Aduh, tolong, tolong,"
Lalu terdengar suara terpeleset dan jatuh gedebukan.
Kejadian mendadak dan urusan cukup gawat, tak sempat banyak pikir bagi In Hou, namun dia tahu bahwa petunjuk jalan itu telah dikerjai oleh orang.
Pada hal jurang rawa di bawah sana dalamnya luar biasa, kalau sampai terjatuh kesana.
memangnya jiwa tidak melayang? Sebagai pendekar yang berbudi luhur, sudah tentu In Hou tidak bisa berpeluk tangan membiarkan petunjuk jalan itu melayang jiwanya secara percuma.
Mendengar suara, In Hou dapat membedakan arah, segera dia menubruk kesana sambil ulur tangan menangkap tumit kaki petunjuk jalan serta ditariknya ke atas.
Tak nyana perubahan mendadak terjadi, petunjuk jalan itu ternyata jatuh kedalam pelukannya, berbareng kedua telapak tangannya menggempur, karuan In Hou rasakan dadanya seperti dipukul palu godam, kontan dia terjungkir balik.
Terdengar petunjuk jalan itu terkekeh, katanya.
"Turunlah menjadi santapan ikan,""
Kembali kakinya melayang, dia tendang In Hou supaya terjerumus kedalam rawa.
"Coba lihat kau yang jatuh atau aku yang terjerumus,"
In Hou menghardik. Mendadak tubuhnya melejit terbalik sembari melontarkan Kim-kong-ciang-lat.
"Pyaar", telapak tangan kedua pihak saling gempur mengeluarkan ledakan bagai bunyi guntur. Kontan In Hou sempoyongan mundur sambil berkelit ke samping, Demikian pula petunjuk jalan itu berseru tertahan sekali sambil loncat ke samping terus menyelinap ke balik batu, agaknya dia apal seluk beluk disini, maka lekas-lekas menyembunyikan diri. Dari belakang batu dia bergelak tertawa, katanya.
"Kim-kong-ciang keluarga In memang tak bernama kosong, tapi hari ini jangan harap kau bisa lolos dari telapak tanganku."
Suaranya mendadak juga berubah, logatnya jelas bukan penduduk asli kota Kwi-lin lagi, kedengarannya suara serak pecah seperti gesekan benda keras yang menusuk pendengaran.
Kini baru jelas duduknya perkara, kiranya orang ini menyamar sebagai penduduk setempat menjadi petunjuk jalan In Hou didalam Cit-sing-giam.
Setelah adu pukulan sekaii dengan lawan, seketika In Hou merasakan dada terasa sesak dan mual, beberapa kali dia ingin tumpah, lekas dia menarik napas sambil mengerahkan hawa murni, sehingga pernapasannya segar kembali, serta bersiaga menanti sergapan musuh.
"In Tayhiap,"
Seru orang itu bergelak tawa.
"Kembang gula yang kuberikan tadi enak rasanya bukan? Sayang kembang gula itu rasanya semula manis akhirnya pahit getir. Hehe, sekarang tentu kau sudah mengerti bukan, untuk keluar dari gua ini dengan nyawa tetap hidup, terpaksa kau harus mendengar perintahku saja."
Baru sekarang In Hou sadar bahwa kembang gula yang dimakannya tadi kiranya beracun. Setelah menghembuskan sekulum napas berat, In Hou berkata.
"Aku tak pernah bermusuhan dan tidak berbuat salah terhadapmu, kenapa kau membokong aku?"
Orang itu terloroh-loroh pula, suaranya seperti benturan benda kasar, katanya.
"Dengan kau memang aku tidak bermusuhan, tapi dengan Thio Tan-hong, dendamku justru sedalam lautan."
"Siapa kau?"
Hardik In Hou. Sembunyi di belakang batu, kalem suara orang itu.
"Kau belum pernah melihatku, tapi pasti pernah dengar namaku. Aku bernama Le Khong thian". In Hou terperanjat, bentaknya.
"Jadi kau Le Khong-thian murid Kiau Pak-bing itu?"
Dalam hati dia berpikir.
"Tak heran dia mampu membokongku dengan permen beracun."
Perlu diketahui Kiau Pak-bing tenyata adalah Toa-mo-thau (gembong iblis) yang pernah menggetarkan dunia pada puluhan tahun yang lalu, bukan saja Kungfunya tinggi dan liehay diapun mahir menggunakan racun.
Dengan bekal lwekang In Hou sekarang, racun biasa semestinya takkan mampu mencelakai jiwanya, tapi Le Khong-thian adalah satusatunya murid Kiau Pak-bing yang mewarisi kepandaiannya, dia pula yang turun tangan, jelas berbeda sekali perbawanya.
"Betul, sekarang kau sudah tahu siapa aku ini,"
Demikian seru Le Khong-thian pongah.
"Terbayang masa lalu, di kala guruku te.luka parah di bawah pedang Thio Tan-hong, jiwakupun hampir saja melayang. Kami guru dan murid tak kuasa bercokol di Tionggoan, terpaksa ngacir keluar lautan. Coba katakan dendam kesumat sedalam ini, tidakkah pantas aku menuntut balas?"
In Hou jadi berpikir.
"Mendengar ucapannya ini, memangnya Kiau Pak-bing iblis tua dan laknat itu belum mampus?"
Kiranya pada empat puluh tahun lalu Thio Tan-hong adalah ahli pedang nomor satu di seluruh jagat, sementara Kiau Pakbing gembong iblis nomor satu di kolong langit, yang sesat jelas tak mau jajar dengan yang lurus, pernah beberapa kali kedua tokoh besar ini bentrok, masing-masing pernah menang dan kalah.
Akhir kali mereka adu tanding di puncak Lao-san, dengan Thian-san-kiam-hoat ciptaannya yang baru Thio Tanhong berhasil mengalahkan Kiau Pak-bing.
Beruntun Kiau Pakbing tujuh kali terluka dan akhirnya jatuh menggelinding ke lamping gunung, Le Khong-thian ini merebut jenazah gurunya terus lompat turun dan terjun kedalam laut.
Pada hal waktu Kiau Pak-bing roboh terjungkal badannya sudah terluka parah dan sudah empas-empis, apalagi gelombang lautan sedang pasang dan mengamuk dahsyat, maka para penonton yang sebagian besar juga tokoh-tokoh persilatan itu sama menyangka umpama Le Khong-thian akhirnya lolos dari renggutan elmaut, Riau Pak-bing jelas pasti mati.
Memang setelah peristiwa besar itu, Kiau Pak-bing guru dan murid tak pernah terdengar lagi beritanya.
Sang waktu berlalu bagai air mengalir tak pernah kembali, tak nyana hari ini setelah empat puluh tahun kemudian, bukan saja peristiwa besar itu sudah sama dilupakan orang, malah nama Kiau Pak-bing dan Le Khong-thian juga sudah lama dilupakan oleh kaum persilatan, apalagi tahu dimana jejak mereka selama ini.
"
Agaknya Le Khong-thian dapat meraba jalan pikiran In Hou, katanya setelah tergelak-gelak.
"Thio Tan-hong kira guruku sudah mati, diluar tahunya bahwa guruku panjang umur dan mendapat karunia Tuhan, sampai sekarang beliau masih hidup di dunia ini. Biar kuberitahu kepadamu, kali ini aku justru mendapat perintah guru untuk kembali menuntut balas."
In Hou memaki.
"Kalau begitu lebih betul kalau kau menuntut balas langsung kepada Thio Tan-hong."
"Apakah Thio Tan-hong dia masih hidup?"
Seru Le Khongthian.
"Dimanakah dia sekarang."
"Umpama tahu juga takkan kuberitahu kepadamu,"
Demikian jengek In Hou.
"kau ingin menuntut balas, boleh silahkan cari sendiri. Hm, aku kuatir kau tak punya nyali meluruk ke tempat kediamannya, perlu diketahui kini Thio Tan-hong sedang menyelami pelajaran ilmu silat yang belum rampung dia ciptakan, dalam keadaan segenting ini dia pantang diganggu oleh orang luar, apa lagi musuhnya. Andaikata tempat pengasingannya diketahui orang, mungkin musuh bisa meluruk kesana mencari setori padanya, meski dengan bekal kepandaiannya sekarang tak takut menghadapi musuh, tapi In Hou tak berani memberitahu tempat itu kepada lawan."
Le Khong-thian terloroh-loroh, katanya.
"Ucapanmu memang betul. Pertama memang aku tak bisa menemukan Thio Tan-hong. Kedua umpama benar menemukan dia, mungkin aku tetap bukan tandingannya, terpaksa sasaran kupilih dirimu. Siapa suruh kau pernah keponakannya? Hehe, menurut apa yang kutahu, setelah isteri Thio Tan-hong mampus, hanya kau seoranglah familinya yang terdekat. Muridnya Toh Thian-tok jauh berada di Thian-san, jelas dia tidak lebih dekat dan akrab dari dirimu."
"Mentang-mentang kau ini terhitung seorang tokoh juga, tidak berani menghadapi Thio Tan-hong, tapi dengan akal licik dan memalukan membokong diriku malah."
"Untuk menghindari gugur bersama dengan kau,"
Demikian ujar Le Khong-thian dengan nada tengik.
"kan tiada manfaatnya. Kini kau telah makan kembang gulaku, didalam kembang gula itu aku sudah mencampur dengan Hap-kut-san. Tentunya kau juga tahu, setelah makan Hap-kut-san, tulangmu akan lemas ototpun linu, jelas kau takkan mungkin adu jiwa pula dengan aku. Nah segalanya sudah kuterangkan, kini kau ingin hidup atau mau mati terserah kepada dirimu, asal kau mau tunduk akan segala perintahku, akan kuberi obat penawarnya."
Memang Le Khong-thian sudah matang dalam rencana, dia kira pihaknya sudah berada di tempat yang unggul, setelah menunggu racun bekerja dalam tubuh In Hou, baru dia akan turun tangan.
Tak tahunya diam-diam In Hou juga sedang mengarahkan hawa muminya menghimpun lwekang, sekaligus mencegah racun menjalar kumat, maka sengaja dia ajak lawan putar lidah sekian lamanya.
Kini In Hou sudah berhasil kerahkan hawa murninya berputar tiga keliling dan terhimpun di pusar, dia yakin dalam jangka sejam, dirinya pasti tidak akan mati keracunan, maka dia lantas tertawa mengejek.
"Kau punya syarat apa, kenapa tidak berani keluar dan bicara berhadapan dengan aku!"
Habis berkata mendadak dia bersuit panjang, suaranya melengking tinggi dan keras bergema didalam gua, Le Khong-thian sampai pekak dan tergetar jantungnya.
Bahwasanya tujuan In Hou bersuit bukan untuk pamer di hadapan Le Khong-thian, yang dia harap hanyalah supaya Tam Pa-kun mendengar suitannya ini.
Dalam hati dia membatin.
"Entah Tam-toako sudah datang belum, jikalau dia sudah berada disini, pasti akan mendengar suaraku ini."
Karena kupingnya pekak dan mendengung, karuan Le Khong-thian kaget, baru sekarang dia insaf bahwa lwekang In Hou ternyata tinggi dan diluar perhitungannya.
Tapi meski hati merasa kaget dan waswas, tapi dia masih yakin akan tipu dayanya, segera dia balas menjengek.
"Lwekang gerungan singamu ini memang hebat luar biasa, tapi jangan kira dapat menggertak diriku. Baiklah, kalau kau ingin tahu syarat yang kuajukan, pasang kuping dan dengarkan."
Begitu melihat bayangan orang muncul segera In Hou menyergapnya.
Sejak tadi golok pusaka yang selalu disandingnya sudah terhunus, dengan-golok di tangan kiri dan telapak tangan kanan, golok membabat paha lawan, sementara telapak tangan membelah ke dadanya.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Trang"
Terdengar benturan keras, kembang api berptjar dalam kegelapan gua yang pekat ini.
Ternyata golok pusaka In Hou membacok di atas Tok-kaktong- jin yang terbikin dari baja murni.
To-kak-tong-jin ini dahulu adalah senjata andalan Kiau Pak-bing, kini diwariskan kepada Le Khong-thian.
Sebelum ini Le Kong-thian sudah sembunyikan senjatanya itu di balik batu, setelah memancing In Hou tiba di pinggir rawa baru dia mulai turun tangan, salah satu sebab yang utama adalah sembarang waktu dia bisa memungut senjatanya yang disembunyikan di balik batu di pinggir rawa ini.
Bahwa senjatanya mampu menahan bacokan golok pusaka In Hou, lega juga hati Le Khong-thian, jengeknya dingin.
"Inkeh- to-hoat (ilmu golok keluarga In) memang hebat, tapi manusia bajaku ini belum tentu terkalahkan oleh golokmu,"
Sembari bicara dia dorong manusia baja di tangannya, lengan panjang manusia baja itu mendadak terjulur keluar menutuk ke Hian-ki-hiat di depan dada In Hou, meski gelap gulita, tapi sasaran yang dia incar ternyata tepat sekali.
Betapa tinggi taraf kepandaian silat In Hou, mana mungkin dia bisa tertutuk? Meski berada didalam gerombolan batu-batu yang berserakan dengan gesit dia gunakan langkah Naga Melingkar Melangkah Kaki, mendengar angin membedakan arah, maka dengan leluasa dia berkelit sambil balas menyerang.
Le Khong-thian menarikan senjata bajanya sekencang kitiran, angin menderu kencang terus mengepruk dan menjojoh.
Dengan mengerahkan lwekang, In Hou kerjakan golok pusaka sekali garis dan iris di atas senjata baja lawan, maka terdengarlah suara keras bagai gema lonceng dan tambur, percikan api berpijar, tampak beberapa luka goresan di atas senjata manusia baja Le Khong-thian bertambah banyak.
Namun demikian, In Hou sendiri juga merasakan sejalur hawa dingin tahu-tahu merembes kedalam telapak tangan terus merembes ke Sau-yang-king-meh.
Karuan In Hou terkejut, pikirnya.
"Konon Kiau Pak-bing dulu menjagoi bulim dengan ilmu Siu-lo-im-sat-kang yang telah diyakinkan sampai ke tingkat sembilan, ilmunya mampu disalurkan ke senjata untuk melukai lawan, agaknya Le Khong-thian juga telah mewarisi kedua macam ilmu gurunya yang lichay ini." apa yang diduga In Hou memang tidak meleset, tapi terkaannya hanya betul sebagian, Siu-lo-im-sat-kang yang diyakinkan Le Khong-thian sejauh ini hanya sampai tingkat ke tujuh, demikian pula ilmu menyalurkan lwekang melalui senjata hanya separuh dari kemampuan gurunya dulu. Jikalau sekarang dia sudah memiliki Kungfu setingkat gurunya dulu, meski kepandaian In Hou sekarang berlipat dua juga takkan kuasa menghadapinya. Walau demikian ilmu menyalurkan lwekang dingin melalui senjata yang dilancarkan Le Khongthian juga sudah cukup membuat In Hou kepayahan, hawa dingin sudah merembes kedalam Sau-yang-king-meh, celaka karena In Hou sebelumnya sudah makan Hap-kut-san, kadar racun yang semula sudah dikeram oleh kemurnian Iwekangnya, kini jadi buyar dan kumat malah. Sembari kerahkan lwekang menahan racun, terpaksa In Hou harus menghadapi serbuan musuh, lambat laun terasa mata berkunang-kunang, kepalapun mulai pening, batinnya.
"Kalau aku bersemadi didalam sebuah kamar kosong tanpa gangguan menyembuhkan keracunan ini, paling tidak aku masih kuat bertahan satu jam lagi, kini di samping harus melawan racun dalam tubuh harus menghalang serbuan musuh lagi, paling lama aku hanya mampu bertahan setengah jam, aku harus lekas mengakhiri pertempuran ini."
"Huuu,"
Tiba-tiba In Hou menghembuskan serumpun napas dari mulutnya, kontan Le Khong-thian merasakan mukanya tertiup dingin, tapi begitu rasa dingin lenyap lalu disusul hembusan angin sepoi hangat seperti di musim semi, seketika dia menjadi kantuk dan malas rasanya.
Karuan Le Khong-thian berjingkat kaget, pikirnya.
"Tak nyana lwekang In Hou ternyata setangguh ini."
Ternyata hawa dingin yang merembes kedalam tubuh telah berhasil ditekan dan dihimpun oleh lwekang In Hou terus dihembuskan keluar melalui mulut.
Bahwa Le Khong-thian pertama merasa dingin lalu merasa hangat, yang dingin adalah Siu-lo-im-sat-kangnya sendiri yang merembes ke tubuh In Hou, sedang hembusan hangat itu adalah hawa murni In Hou sendiri.
Maka In Hou sekarang bergerak lebih cepat untuk segera mengakhiri pertempuran, goloknya bergerak jurus yang satu lebih cepat dari jurus yang lain, terpaksa Le Khong-thian juga tarikan manusia baja senjatanya itu sekencang baling-baling seumpama hujan deras juga takkan tembus membasahi badan.
Terdengarlah dering keras beradunya kedua senjata, gema suaranya sampai mengalun bergelombang didalam gua.
Golok In Hou itu mampu mengiris emas atau memotong batu giok, tajamnya luar biasa, hanya sekali iris, maka manusia baja lawan telah dihiasi goresan memutih yang kelihatan tajam.
Hanya sekejap saja manusia baja itu sudah babak belur dan gumpil sebagian besar.
Akan tetapi kepandaian Le Kong-thian memang cukup tangguh, dibanding In Hou paling lebih asor setingkat, ketambah dia lebih paham seluk beluk Cit-sing-giam, maka dengan leluasa dia bisa lompat sana nyelinap sini sesuka hati, tanpa kuatir ketumbuk batu runcing.
Meski In Hou berada di atas angin, sementara tak mampu melukai lawan.
Di kala kedua orang ini lagi bertempur mengadu jiwa sambil memboyong seluruh kemampuan masing-masing, dari kegelapan di bawah dasar rawa sana tiba-tiba terdengar suara "Crang, ering"
Bergema didalam gua, semula In Hou kira orang didalam gua itu memetik harpanya lagi, tapi setelah didengarkan lebih lanjut, jelas itu bukan suara air, juga bukan irama harpa, melainkan adalah petikan senar gitar, umumnya petikan gitar yang membawakan lagu apapun cukup mengasyikan, tapi petikan senar gitar yang satu ini justru menimbulkan rasa sebal dan bosan dalam hati.
In Hou lantas tahu bahwa pemetik gitar ini pasti seorang jago kosen dari aliran sesat, dan boleh dipastikan dia pasti komplotan Le Khong-thian.
Yang dia harapkan adalah kawannya Tam Pa-kun bisa lekas datang tepat pada waktunya, tak kira yang datang lebih dulu malah bala bantuan musuh.
Betul juga belum lagi petikan gitar itu berhenti, cepat sekali mendadak terasa kesiur angin kencang, dalam kegelapan terasa ada sesuatu benda menyamber kearah In Hou.
Pandangan In Hou terbentang keempat penjuru, pendengarannya pun dipasang tajam, sekali tegakkan golok pusaka.
"Tring"
Dia pukul jatuh senjata rahasia itu, kiranya sebatang Toh-kut-ting, paku penembus tulang.
"Siapa kau, pintarnya main bokong secara licik,"
Hardik In Hou. Orang itu berkakakan, katanya.
"Sia-sia kau diagulkan sebagai pendekar yang banyak pengalaman, memangnya masih tidak tahu akan Thi-bi-pa (gitar besi) yang kugunakan beserta senjata rahasia di dalamnya?"
"Gitar besi, gitar besi?"
Mendadak In Hou terjngat akan cerita seorang bulim cianpwe yang menceritakan tokoh-tokoh aneh dalam kalangan Kangouw, orang ini bernama Siang Hoyang, tokoh yang sudah kenamaan sebelum Thio Tan-hong angkat nama, orang ini tidak lurus tapi juga tidak sesat, setelah nama Thio Tan-hong malang melintang, tahu-tahu dia sudah menghilangkan jejaknya, Siang Ho-yang menciptakan ilmu gitar besinya ini dengan gaya permainan yang lebih khusus, selama ini dia belum pernah menerima murid, apakah dia pernah bermusuhan dengan Thio Tan-hong, In Hou juga tidak tahu.
Kalau orang ini menggunakan gitar besi, jelas bukan muridnya yang dia angkat setelah masa tuanya di waktu dia mengasingkan diri.
Lekas sekali orang inipun telah melejit keluar dari balik batu, gitar besi di tangannya menderu kencang, dari tempat yang lebih atas menindih turun terus mengepruk ke batok kepala ln Hou.
Pendengaran In Hou cukup tajam, secara reflek diapun ayun golok menangkis dan saling bentur dengan gitar besi musuh, maka terdengarlah suara benturan yang mengusik pendengaran, terasa rasa sebal dan mual di dada In Hou bertambah berat.
Ternyata golok pusakanya tidak kuasa membelah gitar besi lawan, tapi gitar besi musuh juga tidak mampu merusak golok pusakanya.
Begitu kedua pihak saling bentur dengan kekuatan lwekang masing-masing, kedua pihak sama bergontai sempoyongan, jelas taraf lwekang orang ini masih lebih unggul dari Le Khong-thian, kira-kira setanding dengan In Hou.
Karena itu ln Hou harus melawan keroyokan dua musuh tangguh, karuan dia semakin kerepotan.
Palagi dia sudah keracunan, sedetik lebih lama, berarti posisinya lebih tidak menguntungkan.
Lambat laun In Hou merasakan dirinya susah bertahan lagi, kondisinya semakin parah.
Seperti umumnya gitar bagian dalam adalah kosong, dan didalam gitar musuh ini ada tersimpan pegas rahasia yang menyimpan berbagai senjata rahasia, seperti Toh-kut-ting, Bwe-hoa-ciam dan lain-lain senjata rahasia yang berbentuk kecil, dengan cara tempur berkisar dan berputar kian kemari, tahu-tahu melejit dekat, kejap lain melompat jauh, senjata rahasiapun bekerja setiap ada peluang.
"Cret"
Sebatang paku penembus tulang tiba-tiba menyamber keluar menyerempet pundak, untung hanya pakaian In Hou saja yang ketembus bolong. Le Khong-thian membentak.
"Jangan kata kau bukan tandingan kami berdua, meski kuat melawan, racun dalam tubuhmu juga akan segera bekerja. Memangnya kau tidak ingin hidup? Tak ada faedahnya kau melawan, lebih baik kau menyerah dan tunduk akan perintahku."
"Dalam hal apa aku harus tunduk kepadamu?"
Seru In Hou dengan suara sumbang.
"Siang-heng,"
Ucap Le Khong-thian.
"sudah jelas dia takkan lolos dari telapak tangan kita, biarlah beri kesempatan untuk dia menimbang-nimbang."
Orang itu berkata.
"Baiklah, jelaskan kepadanya, coba lihat apakah dia tahu diri."
Maka kedua orang ini menarik senjata dan berdiri di kiri kanan In Hou, sikap mereka tetap garang dan mengepung. Pelan-pelan Le Khong-thian berkata.
"Thio Tan-hong tak berada di Thian-san, pasti dia semayam di suatu tempat untuk memperdalam dan mencipta ilmu pedang lagi. Aku sudah memperoleh berita, belakangan ini kau pernah bertemu dengan Thio Tan-hong, bukankah dia ada menyerahkan buku pelajaran ilmu pedang kepadamu?"
Baru sekarang In Hou sadar bahwa tujuan mereka adalah hendak merebut Bu-bing-kiam-hoat. Karuan berjingkat dia dibuatnya, batinnya.
"Bagaimana mungkin mereka bisa tahu akan hal ini? Tentang kunjunganku ke Ciok-lin mengunjungi paman hanya pernah kuberitahu kepada Tam-toako saja, itupun terjadi pada beberapa tahun yang lalu, pada hal kunjunganku itu pun baru kulaksanakan tahun lalu, umpama Tam-toako tidak lupa tentang hal ini, yakin dia pasti takkan membocorkan hal ini kepada orang lain, lalu siapa yang memberitahu mereka?"
"Bagaimana?"
Desak Le Khong-thian.
"kau hendak mempertahankan buku pelajaran ilmu pedang itu atau ingin hidup?"
In Hou berkata dengan suara tawar.
"Aku kan bukan murid didik Thian-san-pay, umpama benar dia memiliki buku pelajaran ilmu pedang yang terbaru, kan lebih pantas kalau diwariskan kepada muridnya Toh Thian-tok."
Le Khong-thian menyeringai dingin, katanya.
"Dia bukan mewariskan kepadamu, tapi titip dan suruh kau serahkan kepada muridnya kelak. Soalnya kau adalah keponakannya yang terdekat, dia pasti mempercayaimu. Jangan kau kira kami tidak tahu?"
"Bagaimana mungkin dia bisa tahu akan rahasia ini? Pada hal Tam-toako sendiri juga tidak tahu akan hal ini,"
Mau tidak mau In Hou bingung dan keheranan.
Kala itu kepalanya pening tidak sempat memikirkan soal-soal rumit ini.
Sebetulnya bukan ada seseorang tahu akan rahasia ini, soalnya Kiau Pak-bing dan Le Khong-thian guru dan murid selama hidup bermusuhan dengan Thio Tan-hong, mereka tahu betul karakter dan wataknya, bahwa Le Khong-thian tahu kalau In Hou adalah satu-satunya orang yang akhir kali bertemu dengan Thio Tan-hong, maka dia menduga dan yakin bahwa Thio Tan-hong pasti titip dan serahkan buku pelajaran ilmu pedang ciptaannya yang terbaru kepada In Hou untuk disampaikan kepada muridnya, karena sudah jelas bahwa Thio Tan-hong pasti tidak akan merelakan pelajaran Kungfu ciptaannya putus turunan, itu berarti sia-sia jerih payahnya selama ini.
Mendapat kesempatan ini diam-diam In Hou kerahkan lwekang membendung kadar racun menjalar lebih jauh, maka sengaja dia berusaha mengulur waktu, katanya.
"Peduli gurumu itu, orang baik atau jahat, konon dulu diapun mengagulkan diri sebagai jago kosen nomor satu di kolong langit ini, betul tidak?"
"Ilmu silat beliau memangnya nomor satu di jagat raya ini, pada pertempuran terakhir dengan Thio Tan-hong dulu itu, karena terlebih dulu dia sudah menghadapi tiga padri sakti Siau-lim-pay, maka Thio Tan-hong beruntung dapat menang setengah jurus."
In Hou menjengek dingin.
"Kalau begitu jadi aku yang salah omong, bukan gurumu terlalu mengagulkan diri, tapi memang kenyataan ilmu silatnya nomor satu di dunia ini?"
"Memangnya perlu dijelaskan lagi?"
Kata Le Khong-thian dengan angkuh.
"dulu kalau dia tidak terluka parah, pasti sejak lama dia sudah mencari Thio Tan-hong menuntut balas. Dulu Thio Tan-hong beruntung memperoleh bantuan tiga padri sakti itu baru menang secara kebetulan. Kalau mau bicara soal latihan dan pelajaran Kungfu sejati bagaimana mungkin Thio Tan-hong bisa dibandingkan dia orang tua?"
In Hou terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?"
Semprot Le Khong-thian murka.
"Aku jadi geli, masakah manusia yang mengagulkan diri sebagai jago nomor satu di kolong langit ini, mengatur tipu daya main bokong lagi untuk merebut buku pelajaran ilmu pedang musuhnya."
"Kau tahu apa?"
Sentak Le Khong-thian.
"maksud beliau hanyalah mendapatkan buku pelajaran ilmu pedang Thio Tanhong serta mengoreksi kesalahannya, supaya para orang gagah di kolong langit ini tahu, hakikatnya Thio Tan-hong hanya bernama kosong belaka."
In Hou terbahak-bahak lagi, katanya.
"Sayang, sayang, sayang pilumu tak berada disini."
"Kalau berada disini memangnya kenapa?"
Le Khong-thian naik pitam.
"memangnya kau berani bertanding dengan beliau?"
"Aku mana berani dibandingkan dengan dia? Tapi jikalau dia berada disini, kukira dia patut dibandingkan dengan dinding batu disini, ingin aku saksikan kulit mukanya pasti jauh lebih tebal dari dinding batu ini."
Dari malu Le Khong-thian jadi gusar, baru saja dia hendak mengumbar adat, laki-laki she Siang itu tiba-tiba berkata.
"Letoako, jangan kau kena ditipu olehnya, jangan biarkan dia mengulur waktu lagi."
Le Khong-thian tersentak sadar, katanya.
"Betul, mari kita bicarakan soal di depan mata."
Orang she Siang itu memetik senar gitarnya, mengeluarkan irama musik yang tidak enak didengar kuping, katanya.
"Orang she In, waktunya sudah tiba, kau mau tunduk atau tidak?"
Mendadak suara irama harpa berkumandang pula dari pojok gua sana, meski suaranya sayup-sayup, namun irama harpa yang mengalun lembut mengasyikan ini seketika membuyarkan petikan gitar yang menusuk pendengaran itu, seketika In Hou seperti dicekoki obat penawar yang menyejukan perasaan, dada lapang sanubari tentram, kembali dia berada dalam ketenangan semula.
Le Khong-thian mendadak menghardik.
"Jangan memetik harpa lagi, kalau tidak dengar peringatanku jangan salahkan kalau nanti kulempar kau kedalam rawa."
Pemetik harpa agaknya jeri terhadap Le Khong-thian, irama harpa seketika sirap. Lekas In Hou menarik napas, hawa murni dalam tubuhnya sudah berputar tiga keliling, katanya tawar.
"Soal apa yang kalian ingin aku tunduk?"
Iblis she Siang itu berkata.
"Kuharap kau punahkan Kungfu sendiri, lalu serahkan buku pelajaran ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong itu."
"O, aku harus memunahkan Kungfu sendiri? Syarat yang kalian ajukan kok bertambah keji dan telengas."
"Punahkan ilmu silat sendiri kan lebih mending dari jiwa melayang,"
Jengek iblis she Siang itu.
"In Hou,"
Sentak Le Khong-thian.
"kau harus tahu diri, untuk menamatkan jiwamu, segampang aku membalik telapak tangan. Kau sudah terjatuh di tanganku, ada delapan belas macam kompesan untuk menyiksamu, setiap macam siksaan itu jelas lebih menderita daripada kau punahkan ilmu silat sendiri, kau percaya tidak?"
Iblis she Siang itu berkata pula.
"Sekarang mulai kuhitung, sampai hitungan ketiga, kalau kau belum juga punahkan Kungfu sendiri, biarlah aku saja yang turun tangan. Satu ... dua ..."
Dia cukup kawakan bersama Le Khong-thian dalam hal ilmu silat, betapapun In Hou takkan mampu mengelabui pandangan mereka dalam soal memunahkan ilmu silat sendiri ini.
Nekad mengadu jiwa dan berkorban atau terima menyerah memunahkan ilmu silat sendiri In Hou harus lekas ambil putusan.
Katanya setelah menghela napas.
"Baiklah, aku menyerah saja."
"Nah kan begitu,"
Seru Le Khong-thian terloroh-loroh.
"seorang laki-laki harus pandai melihat gelagat."
"Buku pelajaran pedang akan kuserahkan lebih dulu baru kupunahkan Kungfu sendiri, boleh tidak?"
Tanya In Hou. Le Khong-thian berpikir.
"Memangnya kau mampu lolos dari telapak tanganku,"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tujuan utama memang merebut buku pelajaran ilmu pedang, maka dia berkata.
"Baik, begitupun boleh, taruh Kiam-boh (buku pelajaran ilmu pedang) itu di atas tanah."
"Baik, nah ambillah,"
Seru In Hou, mendadak dia ayun tangan, kelihatannya seperti melempar se
Jilid buku tipis ke arah rawa.
Keadaan gelap pekat betapapun tinggi lwekang seseorang serta tajam pandangannya, paling juga bisa melihat samar-samar saja, karuan Le Khong-thian dan iblis she Siang itu mengira dia betul-betul melemparkan Kiam-boh itu.
Jarak iblis she Siang itu lebih dekat, dalam gugupnya tak sempat dia banyak pikir, sigap sekali dia melejit maju hendak menyamber Kiam-boh itu.
Tapi pada waktu yang sama In Hou juga menubruk maju sambil membentak.
"Turunlah,"
"Wut"
Telapak tangannya segera memukul satu jurus.
Dalam gugupnya iblis she Siang itu ternyata cukup cermat juga, agaknya dia sudah siaga dan menduga bahwa In Hou mungkin bisa menyergap dirinya.
Tapi sungguh dia tidak sangka setelah keracunan ilmu silat In Hou masih begini tinggi.
Tangan kirinya segera mengayun ikat pinggang, ujung ikat pinggangnya berhasil menggulung Kiamboh yang masih melayang di tengah udara, sementara gitar besi di tangan kanan menyapu ke pinggang In Hou.
Dia kira In Hou pasti akan melejit ke samping, tak nyana telapak tangan In Hou tetap menggempur ke mukanya.
"Tang", seperti gada memukul genta, gitar yang terbuat dari besi murni itu ternyata terpukul dekok oleh In Hou, maka senjata rahasia rahasia yang tersimpan di dalamnya seketika berhambur rontok selebat hujan. Betapapun tangguh ilmu si iblis she Siang ini, dia tetap tak kuat melawan pukulan Kim kong-ciang-lat yang dahsyat ini, seperti tayangan putus benang badannya seketika melayang kedalam rawa. Dalam saat genting yang menentukan mati hidup sendiri, lekas iblis she Siang ini gunakan ikat pinggangnya menggantol sebatang batu runcing yang menongol keluar di tengah udara, maka dirinya bergelantungan di tengah udara, saking gugup dia berteriak.
"Le-heng, lekas, tolong aku."
Pada hal Le Khong-thian sedang mengayun senjata mengepruk ke batok kepala In Hou, mana dia sempat hiraukan mati hidup kawannya.
In Hou putar golok pusakanya sekencang angin lesus, Le Khong-thian dicecarnya mencakmencak dan keripuhan, hanya mampu membela diri tak kuasa balas menyerang, sekonyong-konyong dia melejit maju lebih dekat serta menyelinap ke kiri, telapak tangan kiri berbareng tegak membelah, hardiknya.
"Kaupun turunlah."
Jelas pukulannya sudah hampir mengenai Le Khong-thian dan memukul lawan terjungkal dalam rawa, tak nyana pada detik-detik yang menentukan ini, mendadak In Hou rasakan pergelangan tangan mengejang linu, ternyata tenaga tidak mampu dikerahkan lagi.
Ternyata waktu memukul gitar besi lawan tadi, telapak tangannya pun terkena sebatang Bwe-hoa-ciam, kini di kala dia kerahkan setaker tenaga yang penghabisan ini, bukan saja racun didalam jarum itu bekerja, sekaligus Hap-kut-san didalam tubuh pun kumat.
Begitu telapak tangan kedua orang saling bentur, Le Khong-thian bergontai saja, tapi In Hou sempoyongan mundur, terasa sekujur badan lemas lunglai, langkah enteng mengambang, kakipun menginjak tempat kosong, kontan diapun terjungkal jatuh seperti iblis she Siang tadi terjerumus kedalam rawa.
Sejenak Le Khong-thian melenggong, akhirnya bergelak tertawa.
"Akhirnya kau yang menjadi umpan ikan didalam rawa. Sayang sekali buku pelajaran ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong ikut menjadi santapan ikan."
Walau terjerumus kedalam rawa, namun dalam hati In Hou merasa lega malah, pikirnya.
"Betapapun kalian tak berhasil mendapatkan Bu-bing-kiam-hoat, syukurlah aku tidak menyianyiakan harapan paman atas diriku." ternyata yang dilempar kedalam rawa tadi adalah surat Tam Pa-kun yang menjanjikan dirinya bertemu di Cit-sing-giam. Tapi tugas yang diserahkan kepadanya oleh Thio Tan-hong jelas tak mampu diselesaikan lagi.
"Byuuuur", jatuh dari ketinggian puluhan tombak, In Hou jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas, begitu menyentuh air dan tenggelam, seketika In Hou tidak sadarkan diri. 000OOO000 Entah berselang berapa lama, lambat laun In Hou mulai siuman, mata tak mampu dipentang, namun kupingnya mendengar petikan harpa yang mengasyikkan, dan merdu, itulah irama harpa yang memancingnya untuk masuk kedalam Cit-sing-giam. In Hou coba menggerakkan kaki tangan namun sedikit tenagapun tak mampu dikerahkan, sekujur badan seperti kaku dan keras. Ingin bicara, namun tenggorokan seperti kejang tak kuasa mengeluarkan suara. Tak terasa In Hou tertawa getir dalam hati, batinnya.
"Keadaanku ini bukankah mirip orang mati?"
Namun kesadarannya semakin pulih dan nyata, kini dia teringat bahwa dirinya terjebur kedalam rawa, namun sekarang sedang rebah di atas ranjang. Maka dia berpikir.
"Mungkin orang sakti yang menabuh harpa itu telah menolongku, sayang aku tak kuasa melihatnya, tak kuasa berbicara pula."
Di dengarnya sambil memetik harpa orang itu bersenandung pula membawakan syair-syair pujangga dynasti Tong, ln Hou asyik mendengarkan, pikirnya.
"Orang sedih memang punya dunianya sendiri. Agaknya pemetik harpa ini seorang tokoh yang punya asal-usul."
Akhirnya kelopak matanya bisa bergerak dan bisa sedikit terbuka, yang terlihat dalam pandangannya adalah seorang kakek tua dengan rambut beruban, di sampingnya berdiri tegak seorang bocah laki-laki berusia lima belasan. Terdengar bocah itu berkata.
"Kakek, agaknya orang ini sudah siuman, coba lihat, kelopak matanya sedang bergerakgerak."
Kakek jtu berkata.
"Mungkin seperti kemarin, walau matanya terpentang, namun dia tetap tidak sadar dan tak punya rasa. Mungkin dia sendiri tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya."
Kini In Hou tahu bahwa dirinya sudah sekian hari rebah di tempat ini, jadi dia pernah membuka kelopak matanya. Dalam hati dia mengeluh dan tertawa getir.
"Aku tahu siapa diriku, namun tidak tahu siapa kau."
"Sungguh menakutkan,"
Suara bocah itu berkata.
"Sudah tiga hari tiga malam dia rebah dalam keadaan seperti ini. Kakek, kau pandai mengobati, apa kau bisa menolongnya?"
Kakek itu menghela napas, katanya.
"Jarum beracun di tubuhnya sudah kucabuti, tapi jenis racun lain yang berada didalam tubuhnya, aku tidak mampu memunahkan."
Bocah itu jadi gelisah, katanya.
"Kalau demikian, jadi dia takkan bisa hidup?"
"Entah,"
Ujar kakek itu.
"untung dia memiliki Iwekang tangguh, semoga lambat laun dia bisa sembuh sendiri. Sing-ji, jangan kau banyak tanya lagi, biar kupetik harpa untuk dia dengar, irama harpaku mungkin membantunya untuk berjuang membangkitkan daya hidupnya."
Terdengar musik mengalun hangat dan tentram, itulah musik yang didengarnya di kala In Hou dalam keadaan genting melawan keroyokan Le Khong-thian berdua.
Tapi yang didengarnya waktu itu hanya sebagian mukanya saja, Le Khong-thian sudah melarangnya memetik lebih lanjut.
Perasaan In Hou damai dan sentosa, lambat laun diapun tenggelam dalam alunan musik dan mencapai taraf semadi, segala kerisauan hati, seolah menjadi buyar oleh alunan musik yang menentramkan ini.
Nada lagu tanpa disadari mendadak berubah, berubah lebih enteng dan riang gembira.
Bak sepasang kekasih yang sedang bercumbu rayu, seperti pula sepasang kawan yang lagi asyik bicara, bagai pula putra putri yang sedang bersenda gurau di bawah pelita, sekeluarga hidup bahagia penuh diliputi kenikmatan ini.
Mendadak irama harpa berhenti, seperti baru sadar dari impian, kontan terasa oleh In Hou dirinya sudah pulih perasaannya, sungguh bukan kepalang rasa segar dan nyaman, hawa murni meski lambat sudah terasa mulai mengalir dalam tubuhnya.
Tapi dia tetap tak mampu bergeming, tetap tak kuasa bersuara, apalagi berbicara.
"Kakek,"
Kata bocah itu.
"apakah yang kau petik barusan adalah Khong-ling-san?"
In Hou terkejut, batinnya.
"Apa, mungkinkah Khong-lingsan belum putus turunan?"
Ternyata Khong-ling-san adalah judul sebuah lagu petikan harpa, konon sejak lama Khong-ling-san ini sudah lenyap dan putus turunan, tak nyana kakek ubanan ini ternyata pandai memetik lagu ini.
"Betul,"
Didengarnya kakek itu berkata.
"memang inilah Khong ling-san."
"Kakek, kenapa tidak kau petik lagu bagian belakang?"
Tanya si bocah. Pada hal ln Hou sedang berpikir.
"Sebelum ajalnya pencipta lagu ini masih sempat membawakan lagu ciptaannya, tentunya mengandung duka cita yang tak terperikan, namun kenapa yang dipetik kakek itu barusan bernada riang gembira?"
Belum habis hatinya menerka, didengarnya kakek itu menjawab pertanyaan cucunya.
"Bagian belakang teramat menyedihkan, bukan saja tiada manfaatnya untuk dia, malah mungkin menjadikan dia celaka."
"O, kiranya begitu,"
Ucap si bocah.
"aku sendiri juga tak tega mendengar bagian belakang itu. Tapi nada lagunya yang betul-betul menyentuh sanubari orang terletak di bagian belakangnya itu. Di kala kau melagukannya, ingin rasanya tidak mendengarkan, tapi tak kuasa aku pasang kuping juga. Kakek, kapan kau sudi mengajarkan kepadaku?"
"Biarlah kelak saja,"
Ujar sang kakek, lalu dia menghela napas.
"Yang benar, biarlah Khong-ling-san putus turunan saja."
"Lho, kenapa?"
Tanya si bocah. Tidak menjawab pertanyaan cucunya, kakek itu berkata lebih lanjut.
"Kaum pelajar umumnya sama menyangka bahwa Khong-ling-san pasti memilukan dan merawankan hati, yang benar bukan demikian seluruhnya. Ada gunung tinggi baru kelihatan tanah datar, adanya kesenangan baru timbul rasa duka cita pula. Waktu Pit-khong terbunuh dulu, yang dikenangnya adalah para sahabatnya, terbayang akan kehidupan riang bahagia sebelumnya, barulah tercipta pula nada-nada sedih di bagian belakangnya, itulah sebabnya kenapa jauh berbeda bagian depan dan belakang dari lagu harpa ciptaannya itu."
"Eh, kakek, begitu asyik kau bercerita, kenapa tahu-tahu melelehkan air mata?"
"Meski aku bukan pembunuh, tapi dia mati lantaran aku. Karena tertarik oleh lagu harpaku, maka hari itu dia meluruk kedalam Cin-sing-giam. Bila tak kuasa menolongnya, sampai matipun aku akan menyesal."
"Kakek, aku tidak suka mendengarkan kata-kata yang menyedihkan ini. Orang bilang kau adalah Dewa Harpa, baru sekarang aku maklum, ternyata dengan memetik harpa kau pandai mengobati penyakit orang pula. Kakek setiap hari boleh kau petik lagu-lagu harpa itu untuk didengarnya, bantulah dia selekasnya memulihkan kesehatan, dia pasti tidak akan mati."
"Semoga seperti yang kau harapkan,"
Demikian ucap sang kakek, lalu dia periksa urat nadi In Hou, sesaat kemudian baru berkata.
"Kelihaiannya lebih baik sedikit, tapi mungkin belum pulih perasaannya."
"Kakek, kalau kau berhasil menolongnya, dia pasti suka bersahabat dengan kau."
"Memangnya ada sangkut paut apa dengan dirimu?"
"Bukankah tadi kau bilang ilmu silatnya tinggi? Bila kami bersahabat, akan kuminta dia mengajarkan beberapa jurus Kungfu kepadaku, kuduga dia pasti meluluskan permintaanku."
"Kiranya kau punya tujuan,"
Ujar sang kakek tertawa.
"tapi apa kau sudah lupa akan wejanganku, menolong orang jangan mengharap balas budinya. Apalagi terhadap dia aku tidak terhitung menanam budi, hanya boleh dikatakan menebus kesalahan."
"Aku tahu. Karena itu semula aku ingin angkat guru kepadanya, kini aku tak berani mengharapkan lagi. Tapi sesama teman, kalau satu sama lain saling membantu, itu kan lepas dari soal balas budi segala."
Mendengar orang bicara soal persahabatan, tanpa terasa In Hou teringat.
"Entah Tam-toako sudah datang belum? Tapi Itcu- king-thian Lu Tin-gak adalah penduduk setempat, untuk mencarinya jauh lebih mudah. Dia paling suka bersahabat, teman akrab Tam-toako pula, jikalau dia tahu aku sedang terluka, pasti dia datang kemari merawatku. Sayang sekarang aku tidak mampu mohon bantuan mereka untuk mengantarku ke rumah keluarga Lui. Jikalau aku memperoleh perlindungan keluarga Lui, mereka kakek dan cucu ini tentu takkan kerembet perkara."
"Ah, omongan bocah,"
Ucap sang kakek tertawa.
"Jadi muridnya saja kau tidak setimpal, apalagi menjadi sahabatnya."
"Kakek, bukankah kau sering bilang, persahabatan antar manusia terletak pada saling pengertian yang mendalam? Soal perbedaan umur, kaya atau miskin dan tinggi rendah kedudukan seseorang tidak menjadikan halangan persahabatan sejati."
Diam-diam In Hou membatin.
"Bocah ini terlalu Jenaka, apa yang dikatakan ternyata cukup beralasan dan masuk akal. Pendek kata, bila orang lain mendengar apa yang diucapkannya barusan, orang pasti tertawa geli."
"Oh, ya kakek,"
Seru si bocah.
"kau belum beritahu kepadaku, siapakah orang ini?"
"Pada waktu berada di Cit-sing-giam hari itu baru aku tahu siapa dia ini, dia adalah In Tayhiap yang kesohor di kolong langit itu,"
Demikian sang kakek menjelaskan. Agaknya bocah itu terkejut, katanya.
"Apakah In Tayhiap yang dulu pernah membantu Kim-to Cecu di Gan-bun-koan memukul mundur pasukan Watsu itu?"
Kim-to Cecu Ciu Kian sebetulnya adalah komandan besar pasukan kerajaan Bing yang berkuasa di Gan-bun-koan, belakangan karena dia difitnah oleh kaum durna, terpaksa dia tinggalkan jabatan dan membawa pasukan melarikan diri, diluar Gan-bun-koan dia menduduki sebuah gunung serta mengangkat dirinya sebagai raja penyamun, tapi dia tetap setia kepada Dynasti Bing, pernah beberapa kali dia membantu pihak kerajaan mematahkan serbuan musuh yang membahayakan keselamatan negara.
Dua puluh tahun yang lalu, In Hou pernah membantunya memukul dan mengalahkan pasukan Watsu yang menyerbu tiba.
Peristiwa besar itu, boleh dikata banyak diketahui oleh kaum persilatan.
Dalam hati In Hou membatin.
"Dia bisa tahu akan peristiwa besar itu, kuduga kakeknya ini pasti pernah berhubungan dengan kaum persilatan."
"Kalau bukan In Tayhiap itu memangnya siapa lagi?"
Ujar sang kakek tertawa.
"Tak heran kakek ingin menolongnya."
"Aku ingin menolongnya bukan lantaran dia adalah In Tayhiap."
"Memangnya lantaran apa?"
"Pertama karena aku sehingga dia menderita dan jiwa hampir melayang, hal ini- tadi sudah kukatakan. Kedua, ai, kalau Khong-ling-san boleh putus turunan, tapi Khong-lingkiam tidak boleh tanpa pewaris."
Bocah itu kebingungan, katanya.
"Khong-ling-kiam apakah itu?"
"Aku hanya berumpama saja, seperti juga Khong-ling-san dalam musik petikan harpa. Bagi kaum persilatan yang diimpikan dan kuatir putus turunan adalah pelajaran ilmu pedang tingkat tinggi, oleh karena itulah kuberanikan diri menamakan Khong-ling-kiam." 'Kakek, aku masih belum paham akan keteranganmu."
Maka sang kakek menjelaskan lebih lanjut.
"In Tayhiap memiliki se
Jilid buku pelajaran silat yang diwarisi dari jago pedang nomor satu di jagat raya ini, seperti gajah mati karena taringnya, demikianlah keadaannya sekarang, dia terluka oleh dua musuh tangguh yang hendak merebut buku pelajaran ilmu pedang itu.
Jikalau dia tak tertolong, maka Kiam-boh itu mungkin betul-betul akan menjadi Khong-ling-kiam."
Terharu In Hou dibuatnya, batinnya.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang benar paman tidak mewariskan Kiam-boh itu kepadaku, tapi demi menyelamatkan Kiam-boh ini, dia tidak takut kerembet perkara, jikalau beruntung aku tidak mati, kelak aku harus berusaha membalas budi kebaikannya,"
Lalu dia berpikir pula.
"Aku kecemplung ke rawa, entah Kiam-boh itu hilang tidak?"
Sayang dia tidak mampu bergerak, juga tidak mampu bersuara, terpaksa dia tekan rasa kuatirnya ini didalam hati. Bocah itu bertanya pula.
"Apakah kedua orang jahat itu liehay juga?"
"Sudah tentu liehay. Kalau tidak masakah In Tayhiap sampai dikerjai mereka?"
"Kakek, apakah kedua orang jahat itu tahu kau telah menolong In Tayhiap?"
"Entah mereka tahu atau tidak, semoga saja mereka kira In Tayhiap sudah mati."
"Tapi kecuali mereka, didalam Cit-sing-giam hanya ada kau seorang, seumpama mereka curiga..."
"Kau takut mereka meluruk kesini?"
Si bocah tunduk kepala, sesaat baru berkata perlahan.
"Aku betul-betul merasa kuatir."
In Hou takut kalau urusannya merembet kakek dan cucunya ini, maka rasa kuatirnya lebih besar dari si bocah, pikirnya.
"Keparat she Siang itu kena sekali pukulanku, lukanya pasti tidak ringan, Le Khong-thian memang lebih mending, tapi untuk menyembuhkan luka mereka paling cepat juga sepuluh hari, namun demikian luka mereka tidak akan separah lukaku. Jikalau timbul rasa curiga mereka, perduli aku masih hidup atau sudah mati, mereka pasti akan membuat penyelidikan, urusan jadi berabe. Cara terbaik sekarang adalah biar aku berlindung ke rumah keluarga Lui, mereka kakek dan cucu sekaligus juga akan terlindung. Sayang aku tak mampu bersuara, tak kuasa memberitahu mereka."
Kedengarannya sang kakek kurang senang, katanya.
"Singji, biasanya bagaimana aku mendidikmu, memangnya sudah kau lupakan semua? Jadi manusia harus mengutamakan kesetiaan dan kebenaran, umpama benar elmaut bakal menimpa, betapapun kita tak boleh berpeluk tangan."
Kontan bocah itu membantah.
"Kakek, kau salah paham akan ucapanku."
"O. lalu bagaimana maksudmu?"
"Kakek, aku tidak takut urusan ln Tayhiap bakal merembet kita, tapi sebaliknya aku kuatir kita tidak mampu melindungi In Tayhiap. Kakek, bukankah kau punya teman yang memiliki Kungfu tinggi, meski kepandaian mereka tidak setinggi InTayhiap, tapi mereka lebih tangguh dari kita, umpamanya..."
Belum habis dia bicara sang kakek telah menukas.
"Kau tidak tahu. urusan ini sekali-kali tidak boleh minta bantuan orang lain,"
Sikap dan suaranya kelihatan kereng dan bengis, katanya lebih lanjut.
"Sing-ji, kau harus ingat, urusan In Tayhiap sekali-kali tidak boleh bocor. Walau terhadap seorang yang paling kau hormati dan kau kagumi, sekali-kali jangan kau bicarakan soal ini."-rupa-rupanya dia sudah maklum siapa orangnya yang di maksud oleh cucunya itu. Si bocah melongo keheranan, tapi melihat sikap kakeknya yang kereng berwibawa, terpaksa dia simpan unek-unek hatinya, katanya.
"Baik, kakek, kau tak usah kuatir, aku takkan lupa."
Tiba-tiba sang kakek bertanya.
"Khong-ling-san bagian depan apakah sudah pandai kau memetiknya?"
"Mungkin petikanku masih kurang mahir."
"Biarlah kupetik sekali sebagai contoh, perhatikan liku-liku ritmenya."
Bahwa dia tidak suruh cucunya memperhatikan gerakan petikan tangan, ini menandakan bahwa kepandaian memetik harpa si bocah sudah cukup mahir.
Kembali In Hou terhanyut ke alam tanpa bobot dan rasa oleh merdunya petikan harpa, selesai dia mendengar petikan Khong-ling-san bagian depan ini, mendadak terasakan di bagian pusarnya seperti timbul hawa hangat, hawa murninya lambat laun menjadi lancar, rasa sesak dan mual di dada juga semakin tawar.
Karuan bukan main girang In Hou, dia cobacoba kerahkan hawa murni menghimpun lwekang, walaupun teramat sukar untuk menghimpun hawa murni, tapi toh sudah bisa mengerahkan hawa murni.
Akan tetapi sejauh ini dia tetap tak mampu bergeming dan tak mampu bicara.
"Apa kau sudah mengingatnya?"
"Sudah kuingat betul."
"Baiklah, sekarang giliranmu, ingin aku mendengar petikanmu."
Diam-diam In Hou mendengarkan pula petikan harpa si bocah, meski tidak seindah dan sebagus petikan sang kakek, namun cukup juga membuatnya terpesona, meminjam nada irama Harpa inilah sedikit demi sedikit In Hou berhasil menghimpun hawa murni kedalam pusar.
Tanpa disadarinya, Khong-ling-san bagian depan telah berakhir dipetik oleh si bocah.
Sang kakek menghela napas, katanya.
"Meski kurang mendalam, tapi kira-kira sudah cukup memuaskan, tapi kau harus lebih giat berlatih"
Agaknya bocah merasa heran, tanyanya.
"Kakek, kenapa kau terburu-buru menyuruhku memetik khong-ling-san bagian depan ini?"
Sang kakek menghela napas, katanya.
"Kejadian dalam dunia susah diramal, untung rugi manusia sukar diraba, jikalau aku mengalami sesuatu, maka tugas berat untuk menolong jiwa In Tayhiap terpaksa harus kau sendiri yang memikulnya."
Si bocah melenggong, katanya.
"Kakek, jangan kau berkata demikian lagi. Siapa tidak tahu kalau kau orang baik, semogalah Thian selalu melindungi orang baik. Kakek semoga kau panjang umur, In Tayhiap juga pasti takkan mati.
"Semoga seperti apa yang kau harapkan, tapi tiada ruginya kau berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.'"
Baru sampai disini pembicaraan mereka, tiba-tiba terdengar "Tok, tok, tok,"
Suara ketukan pinju diluar. Seketika berubah air muka sang kakek dan si bocah. Lekas-lekas sang kakek berkata lirih.
"'Biar kutengok siapa tamu yang datang, bila kau mendengar sesuatu yang ganjil, lekas kau bawa In Tayhiap sembunyi di kamar bawah tanah, apa pun yang terjadi disini jangan kau keluar lagi."
Sembari mengetuk pintu orang diluar itu pun berteriak.
"Apakah Ki Harpa ada di rumah?"
Sang kakek menghela napas lega, katanya lirih.
"Bukan suara kedua gembong iblis." Segera dia bersuara.
"Ya, ya, sebentar." dia tahu perduli siapa yang datang, mau sembunyi juga tidak sempat lagi, terpaksa dia keluar membuka pintu menyambut kedatangan sang tamu. Sang kakek terima tamunya di ruang tamu di depan, sementara In Hou dan cucunya berada di kamar belakang. Mereka mendengar suara daun pintu ditutup, tapi tidak mendengar percakapan di ruang tamu. Jantung si bocah berdetak keras, In Hou sendiri juga tidak mampu bergerak, hatinya pun tegang. Mereka menunggu dengan perasaan tak karuan, untung tak terdengar suara gaduh atau keganjilan lainnya. Belum mereka mendengar suara pintu ditutup mengantar tamu pulang, tiba-tiba sang kakek sudah melangkah masuk ke kamar. Lekas si bocah bertanya gugup.
"Siapakah tamunya?"
Sang kakek goyang-goyang tangan, katanya lirih.
"'Perlahan dikit, tamunya belum pulang. Dia orang keluarga Lui Tayhiap.""
Tampak betapa girang si cucu.
hampir saja dia berteriak kegirangan.
Tapi sang kakek melotot kepadanya, baru dia tersentak sadar.
Pikirnya.
'"Betul, yang datang hanyalah orang suruhan, bukan Lui Tayhiap sendiri.
Walau orang suruhan Lui Tayhiap boleh dianggap orang baik, lebih baik kalau aku berhati-hati, buat apa harus memberitahu kepadanya akan rahasia kehadiran In Tayhiap disini."
Maka dengan suara tertekan dia berkata.
"Kakek, untuk apa Lui Tayhiap suruh orangnya ke mari?"
Sang kakek menjawab.
"Lui Tayhiap mengundangku ke rumahnya, entah ada urusan penting apa?"
Sungguh aneh, kalau cucunya kelihatan girang, dia justru mengerutkan kening seperti ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Dengan masgul si bocah berkata.
"Kakek, bukankah kebetulan malah? Kau boleh memberitahu kepada Lui Tayhiap..."
Bertaut alis sang kakek, tukasnya dengan suara rendah.
"Setelah berhadapan dengan Lui Tayhiap, aku bisa bertindak melihat gelagat. Kau harus ingat pesanku, jagalah In Tayhiap dengan baik. Dan lagi, kau harus ingat dan perhatikan, waktu aku kembali nanti, ketukan pintu dua cepat satu lambat. Jikalau bukan ketukan rahasia yang kulakukan ini, kau harus lekas-lekas bawa In Tayhiap menyingkir,"
Habis meninggalkan pesannya, sang kakek bergegas mengambil harpa di atas meja, tapi segera ditaruh kembali di atas meja, katanya.
"Inilah pusaka warisan keluarga kita, biarlah kutinggalkan untuk kau saja,"
Lalu dia ambil harpa yang lain terus melangkah keluar. Tak sempat si bocah bertanya pula kepada kakeknya, tapi dalam hati dia membatin.
"Mungkin Lui Tayhiap mengundang kakek kesana untuk pertunjukan memetik harpa, tapi orang suruhannya itu justru anggap bulu ayam sebagai panah perintah, dikatakan ada urusan penting segala,"
Ternyata kejadian serupa sudah sering terjadi. In Hou yang celentang kaku di atas ranjang juga merasa senang tapi juga heran, dalam hati dia berpikir.
"Entah Lui Tayhiap yang dimaksud apakah It-cu-king-thian Lui Tin-gak? Tapi di daerah Kwi-lin ini yang pantas disebut Tayhiap kukira tiada orang lain. Kenapa nada percakapan Ki Harpa ini masih kelihatan bimbang apakah persoalanku perlu diberitahukan kepadanya? Apakah dia belum mau percaya kepada Lui Tayhiap. Kukira dia terlalu berprasangka."
Pepatah ada bilang.
"Menghadapi suasana girang semangat orang akan bergairah."
In Hou tahu sang kakek yang menolong jiwanya ini ternyata bersahabat baik dengan It-cu
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
king thian Lui Tin-gak, hatinya senang bukan main, tanpa disadarinya kelopak matanya kini sudah bisa terpentang seluruhnya.
Waktu dia coba-coba pula, eh, jari jemarinya ternyata juga sudah bisa bergerak.
Agaknya si bocah melihat gerak geriknya, serunya kegirangan.
"In Tayhiap, kau sudah siuman. Apakah kau sudah ada perasaan?"
Tapi lekas sekali dia tepuk jidat sendiri sambil berkata pula tertawa geli.
"Saking senang aku jadi pikun, aku lupa bahwa kau belum bisa bersuara. Tapi kalau kau sudah punya perasaan dan teringat akan pengalamanmu, harap kau berkedip tiga kali"
Beruntun In Hou mengedip tiga kali, si bocah berjingkrak girang, katanya.
"In Tayhiap, ternyata kau sudah sadar benar, sayang kakek sedang pergi. Lebih baik aku tidak banyak ngobrol dengan kau, kau sudah sadar, perutmu tentu lapar, makanlah ala kadarnya dulu,"
Lekas dia lari ke dapur serta membawa semangkok bubur, lalu dengan sabar dan teliti dia pentang mulut In Hou serta menyuapi, melihat In Hou mampu menghabiskan semangkok bubur, senangnya bukan main, katanya.
""Apa kau masih lapar? Tapi kakek pernah pesan, kau dilarang sekaligus makan terlalu banyak, nanti setelah hari menjadi gelap kusuapi semangkok lagi. Sekarang biar kupetik harpa untuk kau dengar, aku tidak semahir kakek, kuharap kau pun suka mendengarkan."
Perasaan enteng, hati girang, maka semangat In Hou jauh lebih baik, pikirnya.
"Bocah ini sungguh baik, usianya paling baru 15, usianya sebaya dengan putriku, jikalau aku bisa terhindar dari musibah kali ini, biar kuangkat dia sebagai murid, supaya anak San punya seorang Sute sebagai teman bermain. Cuma kakeknya tega tidak menyerahkan cucunya ini kepadaku?"
Keadaan In Hou tak ubahnya sesosok mayat, meski hanya makan semangkok bubur, namun daya hidupnya sudah mulai bersemi, di tengah alunan irama harpa, sedikit demi sedikit dia menghimpun hawa murninya ke pusar, lambat laun hawa murni sudah berhasil dihimpun dan berjalan lancar.
"Creng"
Suara harpa berhenti pada petikan lima senar bersama. In Hou menarik napas panjang, tanpa dirasakan dia menggeliat serta membalik miring. Si bocah kegirangan, serunya.
"Wah kau betul-betul jauh lebih baik sekarang. Banyak kejadian pasti ingin kau ketahui, biarlah kututurkan kepadamu."
Lalu dia duduk di samping In Hou, katanya perlahan.
"Aku she Tan bernama Ciok-sing, Kakekku bernama Tan Kiat-gih, tapi kemungkinan ini bukan nama aslinya, siapa nama aslinya aku pun tidak tahu. Masih ada, dia menamakan dirinya Ki Harpa, namun orang lain justru menyebutnya Dewa Harpa."
Terkulum senyuman di ujung mulut In Hou, pikirnya.
"Julukan Dewa Harpa memang setimpal buat orang tua ini."
Lebih lanjut Tan Ciok-sing berkata.
"Di samping pandai memetik harpa, kakekku juga pandai berenang. Tiga hari yang lalu kau terjerumus kedalam rawa, kakekku yang menolongmu ke mari, eh, kau sudah sadar, hal ini tidak "erlu kuceritakan tentu kau sendiri juga sudah ingat. Em, coba kupikir dulu, apa saja yang harus kuberitahu kepadamu."
Tenggorokan In Hou berbunyi kerutukan,"dengan seksama Tan Ciok-sing mendengarkan, saking senang dia berjingkrak berdiri, serunya.
"In Tayhiap, kau sudah bisa bicara."
Bibir In Hou bergerak, namun suara yang keluar selirih bunyi nyamuk, dia sendiri pun tidak mendengar. Lekas Tan Ciok-sing dekatkan kupingnya ke mulut orang, sesaat kemudian baru dia paham orang berkata demikian.
"Lui, Lui Tayhiap yang dimaksud itu, apakah It-cu-king-thian Lui Tingak?"
Semakin girang Tan Ciok-sing, katanya.
"Betul, apa kau juga kenal Lui Tayhiap? Apa dia kawanmu?"
Hanya beberapa, patah kata tadi, In Hou sudah kehabisan tenaga, terpaksa dia hanya mengangguk.
"Bagus, kau tidak perlu banyak bicara, biar kuberitahu kepadamu,"
Demikian kata Tan Ciok-sing.
"Lui Tayhiap, adalah teman karib kakek, dia senang mendengar petikan harpa kakek. Pada waktu kau ketimpa musibah itu, Lui Tayhiaplah yang mengundangnya untuk menabuh harpa di Cit-sing-giam."
Tanpa terasa seperti anjlok perasaan hati In Hou.
Baru sekarang dia tahu, bahwa Ki Harpa bukan secara kebetulan memetik harpa didalam gua pelancongan itu, namun atas undangan It-cu-king-thian Lui Tin-gak.
Urusan ini sungguh terlalu aneh dan membingungkan.
Kenapa dia mengundang Ki Harpa memetik harpa didalam gua itu? Justru kedua gembong iblis itu juga mencelakai dirinya dalam gua.itu.
Memang In Hou sudah berjanji dengan Tam Pa-kun untuk melancong juga kedalam Cit-sing-giam, tapi andaikata dia hari itu tidak mendengar suara petikan harpa nan merdu mengasyikkan itu.
In Hou takkan tergesa-gesa masuk kesana sebelum kawan yang dijanjikan datang.
Dia pasti akan menunggunya di puncak gunung sesuai perjanjian.
Suara harpa, pembokongan, Lui Tin-gak, Le Khong-thian...
tentang kesatria dan perbuatan jahat, antara pendekar dan gembong iblis, mendadak semuanya ini menjadikan suatu mata rantai yang menjadi ruwet didalam benak In Hou.
Bahwasanya In Hou sudah tak berani berpikir lebih lanjut.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi urusan besar yang menyangkut nasib dan jiwanya, mau tak mau In Hou harus memikirkan dan berusaha memecahkan persoalannya ini.
Terasa betapa dingin perasaannya sekarang, rasa dingin yang timbul dari lubuk hatinya yang paling dalam, lebih dingin dan mengenaskan dari pada jatuh kedalam lumpur salju di jurang es, tanpa terasa dia bergidik seram, tanpa terasa otaknya bekerja pula.
"Mungkinkah semua ini memang merupakan jebakan yang sudah direncanakan lebih dulu. orang sengaja memancingnya dengan suara harpa sehingga aku terjatuh kedalam jaringan perangkap mereka?"
Terbayang lagi betapa sedih dan pilu kata-kata Ki Harpa yang penuh penyesalan tadi, terasa bahwa dugaannya lebih meyakinkan lagi.
Sementara Ki Harpa diperalat tanpa sebelumnya dia menyadari perbuatannya.
Apakah semua ini mungkin? Sesaat In Hou menjadi hambar, dia tak berani percaya akan analisanya ini, dalam hati dia berteriak.
"Tidak tidak mungkin, dengan karakter Lui Tayhiap, bagaimana mungkin dia bisa melakukan perbuatan serendah dan hina ini? Apalagi dia kan teman karib Tamtoako."
Dan satu hal lagi, dengan Lui Tin-gak, In Hou hanyalah teman yang baru kenal nama masing-masing jadi bukan kenalan karib.
"Dari mana dia bisa tahu kalau aku gemar mendengar musik dan pecandu harpa? Kalau dia tidak tahu, bagaimana mungkin dia bisa mengatur semua jebakan itu?"
Ai, kalau dipikirkan lebih lanjut, bukankah teman karib sendiri pun patut dicurigai juga? Tidak dingin tapi In Hou bergidik sendiri, lubuk hatinya berteriak.
"Tidak, tidak, mana boleh aku mencurigai Tam-toako? Lui Tin-gak adalah orang yang dikagumi Tam-toako, julukannya adalah It-cu-king-thian, julukan yang sudah kesohor di kolong langit, memangnya julukannya itu hanya nama kosong belaka?"
Setelah tenangkan diri, lebih lanjut In Hou berpikir.
"Dalam hal ini pasti ada latar belakangnya, bahwa Tam-toako memuji Lui Tin-gak sebagai kesatria sejati, mestinya dia bukan laki-laki rendah yang berbudi rendah."
Akan tetapi kenapa Lui Tin-gak mengundang Ki Harpa memetik harpa didalam Cit-sing-giam? Kenapa pula Ki Harpa berkata.
"Walau aku tidak secara langsung membunuhnya, tapi dia mati lantaran diriku."
Apa maksud kata-katanya ini? Melihat wajah orang mendadak pucat pias, bibirnya juga bergerak, Tan Ciok-sing terkejut, teriaknya.
"In Tayhiap, apa yang ingin kau katakan? Aku tidak mendengarnya."
Tenggorokan In Hou berbunyi, tapi tidak mengeluarkan suara.
Lapat-lapat di antara setengah sadar, tiba-tiba didengarnya suara harpa berbunyi pula.
Ternyata Tan Ciok-sing kaget dan kebingungan, maka untuk ketiga kalinya segera dia memetik harpa membawakan lagu Khong-ling-san.
Dalam hati Tan Ciok-sing berpikir.
"Aku tidak mampu menyembuhkan penyakitnya, semoga petikan harpa ini dapat membantu kesehatannya."
Pikiran In Hou yang gundah dan ruwet lambat laun menjadi tenang dan damai di tengah keasyikkan irama harpa nan merdu, melihat air muka orang semakin merah dan tidak seburuk tadi, barulah lega perasaan Tan Ciok-sing.
Habis lagunya, cepat Tan Ciok-sing dekatkan pula kuping sendiri ke mulut orang, katanya.
"in Tayhiap, apakah kau sudah lebih segar? Tadi apa yang ingin kau katakan?"
In Hou tenangkan diri, batinnya.
"Untung aku belum mati, soal ini pasti akan datang saatnya dapat dibikin terang."
"Golok pusakaku itu, apakah hilang terjatuh kedalam rawa?"
Akhirnya In Hou kuasa mengeluarkan suara pula, suaranya malah terdengar sedikit lebih keras.
Sebetulnya dia ingin tanya tentang Kiam-boh tulisan Thio Tan-hong yang dititipkan padanya itu, tapi mengingat bila dirinya tanya hal ini, mungkin si bocah bisa salah paham menyangka dirinya mencurigai kakeknya, betapa pun dia tidak suka menyakiti sanubari bocah yang masih hijau dan jujur serta polos ini.
Menepuk jidat Tan Ciok-sing berseru dengan tertawa.
"Betul, coba lihat betapa cerobohnya aku ini. Sejak tadi pantasnya sudah kuterangkan padamu. Pakaianmu seluruhnya ada disini, biar kuambil supaya kau periksa, apakah ada barang milikmu yang hilang."
"inilah golok pusakamu, maaf, karena ingin tahu, pernah aku meloloskannya keluar, memang tajam luar biasa, pernah juga kucoba membacok batu, ternyata batu terbelah rata menjadi dua."
Lebih lanjut Tan Ciok-sing mengeluarkan sebuah bungkusan kain, dibuka di hadapan In Hou, katanya.
"Inilah pakaian yang kau kenakan pada hari itu, aku sudah mencucinya bersih, baju yang kau pakai sekarang adalah milik kakek, kau tidak usah rikuh. Beberapa tahil uang perak ini juga tidak hilang."
Setelah memperlihatkan isi buntalan kain Tan Ciok-sing membuntalnya pula. Lalu dimana Kiam-boh? Melihat orang tidak menyinggungnya, karuan In Hou menjadi gelisah. Di saat dia berkuatir itulah tiba-tiba Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Masih ada sebuah kotak kuletakkan di bawah bantalmu, kakek melarang aku menyentuhnya, aku memang tidak berani membuka dan melihat isinya."
Lalu dari bawah bantal dia merogoh keluar kotak itu, tanyanya.
"Apa kau ingin aku membukanya untuk kau periksa?"
In Hou menghela napas lega, katanya.
"Baiklah. Tapi kotak ini tak boleh dibuka sembarangan, kau harus kuajarkan dulu cara membukanya. Letakkan kotak itu di atas meja, ibu jari menekan tutup kotak, ke kiri kau putar tiga kali, lalu ke kanan dua kali, setelah itu kau harus lekas minggir."
Tan Ciok-sing bekerja menurut petunjuknya, maka terdengar suara jeplakan, tutup kotak itu tiba-tiba mencelat terbuka, dari dalamnya menjulur keluar enam batang pisau kecil, posisi keenam pisau kecil ini saling silang menjadikan sebuah jala yang kebetulan menggantikan tutup kotak tadi.
Tan Ciok-sing menjulurkan lidah, katanya.
"Liehay betul, untung aku patuh akan peringatan kakek, tidak berani membukanya secara diam-diam, kalau tidak jari-jariku pasti sudah protol seluruhnya."
Ternyata kotak milik Thio Tan-hong ini adalah pemberian Hek-pek-mo-ko, dua teman kakak beradik dari negeri Thiantok, waktu In Hou meninggalkan Ciok-lin, Thio Tan-hong gunakan kotak ini untuk menyimpan Kiam-boh tulisannya itu serta dititipkan kepadanya.
Tan Ciok-sing maju mendekat, tampak dalam kotak memancarkan cahaya kemilau kuning, ternyata ada beberapa biji kacang "emas menindih di atas lempitan kertas.
Didengarnya In Hou berkata.
"Keluarkan kacang emas itu dan simpan di tempat lain. Lalu kau putar dan balikkan kotak itu, tepat pada tengah-tengah kotak kau gunakan tenaga beruntun mengetuk tujuh kali, tak boleh lebih dan jangan kurang, pisau-pisau kecil itu akan segera mengkeret masuk.ke tempat asalnya."
Setelah mengerjakan seperti apa yang ditunjukkan, Tan Ciok-sing tertawa, katanya. '"Kotakmu ini sungguh menyenangkan."
"Kalau kau suka boleh kuberikan kepadamu. Kacang emas itu boleh kau serahkan kepada kakekmu."
Terunjuk rasa kurang senang pada mimik muka Tan Cioksing, katanya.
"In Tayhiap, aku dan kakek sama pandang kau sebagai kawan, memangnya berani kami mengharap imbalan? Kau, tindakanmu ini berarti tidak memandang kami berdua."
Lekas In Hou mohon maaf.
""Adik kecil, jangan kau salah paham, sekali-kali tak pernah aku berpikir demikian, aku hanya berpikir, kalian telah berusaha mengobati aku, paling tidak kan juga memerlukan uang."
"Obat yang digunakan kakek semuanya tersedia lengkap disini, sementara memetik harpa setiap hari juga tidak perlu pakai uang."
"'Baiklah, kalau kau tidak mau tolong kau simpankan dulu. Keluarkan beberapa lempitan kertas itu, aku ingin melihatnya."
Didalam kotak ada tersimpan tiga lempitan kertas, kertas pertama adalah peta lukisan Thio Tan-hong yang menunjukkan dimana letak pusaka yang dia sembunyikan di pucuk gunung, sementara dua lempitan yang lain adalah hasil karya Thio Tan-hong sendiri, yaitu tulisan tangan Bu-bingkiam- hoat.
Di hadapan In Hou, satu demi satu Tan Ciok-sing beber ketiga lempitan kertas itu.
Dalam melempit ketiga kertas itu In Hou menggunakan cara khusus yang khas pula, sekali pandang lantas dapat diketahui bahwa lempitan ini belum pernah dijamah orang.
Maka dia berkata dengan tertawa.
"Coba kau lihat, itulah Khong-ling-kiam yang dibicarakan kakekmu tadi, lantaran kedua benda inilah maka kedua iblis laknat itu hendak mencelakai jiwaku."
Melihat In Hou mempercayai dirinya, Tan Ciok-sing senang sekali, katanya.
"In Tayhiap, banyak terima kasih bahwa kau pandang aku sebagai sahabatmu,"
Lalu dia menyambung.
"Jadi sejak tadi kau sudah sadar, pembicaraanku tadi dengan kakek tentu juga kau dengar bukan. Tapi ketiga huruf Khongling- kiam tidak boleh sembarang digunakan, itulah pesan kakek, maklum dia tidak pernah menduga bahwa Kiam-boh milikmu ini mungkin saja berubah jadi Khong-ling-kiam."
In Hou suruh dia melempitnya pula serta dimasukkan kedalam kotak, lalu disimpan di bawah bantal pula, katanya.
"Kau ingin jadi muridku bukan?"
Bersinar bola mata Tan Ciok-sing, tapi lekas dia menggeleng kepala, katanya.
"Tidak, kalau aku memohon kau menerimaku sebagai murid, kakek tentu bilang aku mengharapkan balas budi."
"Bagaimana kalau sebaliknya, aku yang minta kau jadi muridku?"
Ujar In Hou tersenyum. Berpikir sebentar Tan Ciok-sing berkata.
"Tetap kurang baik, aku hanya mengharap kau memandangku sebagai sahabat."
Tergerak hati In Hou, tiba-tiba dia mendapat akal, baru saja dia hendak bicara. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, dua kali cepat sekali lambat, saking senang Tan Ciok-sing berjingkrak, teriaknya.
"Kakek kembali."
Waktu Tan Ciok-sing lari keluar membuka pintu, hati In Hou pun kaget bercampur senang, pikirnya.
"It-cu-king-thian membiarkan dia pulang sendiri, agaknya aku terlalu banyak curiga."
Belum habis dia berpikir, tiba-tiba didengarnya suara Tan Ciok-sing yang penuh ketakutan dan panik.
"Kakek, kenapa kau?"
Membelalak mata In Hou, tampak Tan Ciok-sing memapah kakeknya berjalan masuk dengan sempoyongan, Ki Harpa tampak pucat pasi, darah pun meleleh keluar dari ujung mulutnya.
"Tidak apa-apa, aku terjatuh di tengah jalan,"
Sahut Ki Harpa.
"Kakek, kau ngapusi aku,"
Teriak Tan Ciok-sing.
"air mukamu seburuk ini, mungkin kau pun terluka dalam?"
Tidak menjawab pertanyaan cucunya, Ki Harpa malah menoleh ke arah In Hou, katanya.
"Ah. agaknya In Tayhiap sudah jauh lebih baik."
"Kakek, kau memang harus senang. In Tayhiap memang jauh lebih baik, dia sudah sadar dan punya perasaan, barusan dia pun sudah bicara. Tapi kakek, kau..."
In Hou berkata dengan suara lemah.
"Ki Harpa, budi pertolonganmu atas jiwaku, sungguh tak terlukiskan besarnya. Lui Tayhiap juga terhitung kenalanku, entah kenapa, dia bertindak begini kepadamu?"
Sebagai ahli persilatan, sekali pandang dia sudah tahu bahwa Ki Harpa terluka dalam yang cukup parah. Maka dalam hati In Hou berpikir.
"Entah dia terluka di rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak? Ai, memangnya Lui Tin-gak tega turun tangan sekeji ini? Kukira dia terluka di tengah perjalanan pulang waktu bersua dengan komplotan Le Khong-thian. Apa pun yang terjadi, bilamana dia menyebut nama Tam-toako di hadapannya, sehingga Lui Tin-gak tahu tentang hubunganku dengan Tam-toako, Lui Tin-gak pasti akan membantu dan mengobatinya?"
Setelah memeriksa urat nadi In Hou.
Ki Harpa menghela napas lega, katanya.
'in Tayhiap kau ada harapan sembuh, legalah hatiku.
Tapi sekarang keadaan cukup genting, bukan saja kau tidak boleh banyak bicara dan mengeluarkan banyak tenaga, aku pun tiada kesempatan lagi menjelaskan kepadamu.
Ada sebuah hal, rasanya perlu segera aku berpesan kepada cucuku ini."
Tan Ciok-sing belum tahu kalau kakeknya terluka parah, dengan rasa was-was dia bertanya.
"Kakek, sebetulnya apakah yang telah terjadi?"
Ki Harpa menarik napas panjang, katanya.
"Sing-ji, lekas bersama In Tayhiap kau sembunyi ke ruang bawah tanah, nanti apa pun yang terjadi di atas, kularang kau keluar."
Baru sekarang Tan Ciok-sing betul-betul kaget katanya.
"Kakek, orang jahat hendak mencelakai kau? Kakek, kalau tidak kau jelaskan duduk persoalannya, aku takkan meninggalkan dirimu."
Bengis sikap Ki Harpa.
"Secepat ini kau sudah melupakan pesanku? Umpama aku gugur, kau harus melindungi jiwa dan raga In Tayhiap, tapi kalau kau tidak patuh akan pesanku, mati pun aku tidak akan meram. Apalagi dengan kehadiranmu disini kau takkan mampu membantu apa pun, hayo lekas masuk."
Apa boleh buat terpaksa Tan Ciok-sing membopong In Hou, tapi langkahnya terasa berat.
Pada saat itulah In Hou sudah mendengar diluar seperti ada derap langkah kaki orang, tapi Tan Ciok-sing belum mendengarnya.
Ki Harpa pura-pura tenangkan diri, katanya tersenyum.
"Sing-ji. dengarkan petuah kakek, lekaslah masuk. Kakek tadi hanya guyon saja, memangnya belum tentu kalau jiwaku bakal melayang."
Terpaksa Tan Ciok-sing gendong In Hou serta membuka pintu rahasia di balik dinding.
Tiba-tiba Ki Harpa teringat, lekas dia ambil kotak itu terus dimasukkan kedalam baju In Hou lalu dorong mereka masuk kedalam kamar rahasia serta lekas-lekas menutup pula pintunya.
Baru saja mereka masuk ke kamar bawah tanah, diluar sudah didengarnya suara gaduh, jelas pintu besar rumahnya telah digedor dan hendak dijebol oleh penyatron.
Musuh memang sudah masuk, yang datang ternyata tidak seorang saja.
Saking kaget serasa jantung Tan Ciok-sing hampir mencelat keluar dari rongga dadanya, entah dari mana datangnya tenaga, tiba-tiba tangan In Hou sudah dapat bergerak, dalam kegelapan dia meraba-raba akhirnya menggenggam tangan Tan Ciok-sing, katanya lirih.
"Jangan takut, orang baik pasti dilindungi Thian."
Walau In Hou terkena racun jahat tak mampu bergerak, namun daya latihan ilmu silatnya selama beberapa tahun ini, pendengarannya masih jauh lebih tajam dari orang biasa, percakapan orang diluar dia masih bisa mendengarkan dengan jelas, meski itu suara Ki Harpa yang sudah terluka parah dan lemah.
Terdengar beberapa orang sedang menghardik tanya kepada Ki Harpa.
"Dimana In Hou kau sembunyikan?"
"Mana Kiam-boh yang digembol In Hou itu, hayo serahkan."
"Hm, jangan kau menipuku, aku tahu kau telah menolongnya, maka Kiam-boh itu pasti terjatuh di tanganmu."
Bukan kepalang sedih hati In Hou, orang-orang itu jelas sedang mencari dirinya, tapi di antara logat bicara orangorang ini, tiada suara Le Khong-thian dan iblis she Siang itu. Dalam hati In Hou tertawa getir, batinnya.
"Tak nyana Bubing- kiam-hoat ciptaan Thio Tan-hong baru saja keluar sudah menimbulkan bencana, semoga jiwa raga Ki Harpa jangan menjadi korban karenanya."
Terdengar suara serak dan lemah Ki Harpa berkata.
"Sayang kalian datang terlambat, Kiam-boh itu memang ada, tapi sudah diambil oleh It-cu-king-thian."
"Apa betul?"
"Untuk apa aku menipu kalian? Coba lihat, bukankah aku terluka parah?"
"Apa kau dipukul oleh It-cu-king-thian?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku baru saja pulang dari rumah keluarga Lui, tentunya kalian sudah tahu. Kalau aku tidak serahkan Kiam-boh itu kepada It-cu-king-thian, apakah aku bisa pulang dengan hidup?"
Dia tidak menjelaskan apakah benar Lui Tin-gak yang melukainya, namun maksud perkataannya itu memang mau mengatakan bahwa Lui Tin-gaklah yang melukai dirinya. Saking gemas gigi In Hou sampai berkerutukan, pikirnya.
"Sungguh tak kira, Lui Tin-gak yang dijuluki It-cu-king-thian ternyata adalah manusia berhati binatang."
Di antara orang-orang itu seorang berkata.
"Omongannya memang betul, menurut apa yang kutahu, kakek ini barusan memang pernah berkunjung ke rumah keluarga Lui. Ada seorang saudara angkatku yang kupendam di rumah keluarga Lui."
"Lalu dimana In Hou?"
Bentak seorang yang lain lagi.
"In Hou pun sudah direbut dan dibawa pergi oleh orangorang utusan Lui Tin-gak."
"Hm, bukan mustahil kakek keparat ini menipu kita, hayo kita geledah rumahnya."
Di bawah kamar rahasia In Hou membelakangi dinding, dengan kencang dia pegang tangan Tan Ciok-sing.
Tadi dia suruh Tan Ciok-sing tak usah takut, tanpa terasa hati sendiri juga gugup.
Maklumlah selama hidupnya ini entah betapa banyak pengalaman tegang dan berbahaya, namun tak pernah dia mengalami bahaya seperti hari ini.
Dia bukan kuatir jiwa raga sendiri, tapi dia kuatir urusannya merembet keluarga Tan, kakek dan cucu ini ikut menjadi korban.
Terdengar suara gaduh dan ribut di sebelah atas, jelas orang-orang itu sudah bongkar sana geledah sini.
Dalam hati Tan Ciok-sing berteriak.
"Semoga Thian Yang Maha Kuasa memberi perlindungan kepada hambanya ini, jangan biarkan orang-orang jahat itu berbuat keji terhadap kakekku."
Sudah tentu orang-orang itu tak berhasil menemukan Kiam-boh atau In Hou, seorang yang agaknya jadi pemimpin mereka berkata.
"Agaknya apa yang dikatakan kakek ini memang tidak bohong, In Hou sudah terluka parah, jelas takkan mungkin merat sendiri, mungkin memang sudah direbut oleh It-cu-king-thian."
"Toako,"
Sela seorang lain.
"lalu bagaimana kita selanjutnya?"
Orang yang dipanggil 'Toako' berkata.
"Biarlah setelah kita menemukan Le Khong-thian bicara lebih lanjut, demi Kiamboh itu, terpaksa kita harus menghapus permusuhan menjadi sahabat dengan dia untuk menghadapi It-cu-king-thian bersama."
Orang yang bicara tadi mendengus, jengeknya.
"It-cu-kingthian sudah mencelakai In Hou, kini pura-pura jadi orang baik lagi melindunginya. Kukira rahasia ini sekali-sekali tak berani It-cu-king-thian bicarakan dengan orang luar, bagaimana kalau kita bocorkan sedikit rahasia ini, supaya dia tahu bahwa kita sudah tahu akan rahasianya, dengan alasan ini kita dapat mengancam dan memerasnya."
"Akal bagus,"
Seru seorang lagi.
"Toako, begitu sajalah. Kalau berintrik dengan Le Khong-thian, siapa tahu diluar tahu kita diam-diam dia sudah sekongkol dengan It-cu-king-thian? Kalau betul demikian, bukan saja dia tidak akan bergabung dengan kita, celakanya kita sendiri yang menjadi kecundang."
Orang yang dipanggil Toako tertawa dingin, katanya.
"Memangnya kau kira It-cu-king-thian gampang diusik? Berani kau hendak mengancam dan memeras dia?"
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu Toako?"
Tanya orang itu. Si Toako berkata.
"Sebelum jelas duduknya persoalan, jangan kita sembarang bertindak. Bagaimana selanjutnya kita harus bertindak, setelah pulang nanti kita rundingkan lagi,"
Agaknya dia sudah tahu kecuali Ki Harpa yang sudah empas empis menunggu ajal ini, tiada manusia lain di rumah ini, di samping itu dia juga takut bila di balik dinding ada kuping yang mencuri dengar percakapan mereka.
Diam-diam Tan Ciok-sing menghela napas lega.
dalam hati dia berdoa.
"Semoga Thian bermurah hati, semoga kawanan penjahat ini lekas pergi. Syukur mereka tidak menemukan pintu rahasia di balik dinding ini."
In Hou kawakan Kangouw, pengalamannya luas, setelah mendengar percakapan kawanan penjahat itu mau tidak mau hatinya amat kaget, pikirnya.
"Semoga Thian memberi perlindungan, janganlah Ki Harpa dibunuh oleh kawanan penjahat ini untuk menutup mulutnya."-Baru dia berpikir sampai disini, tiba-tiba didengarnya suara "Bluk"
Yang cukup keras, seperti ada seseorang yang roboh ke lantai. Suara serak Ki Harpa terdengar berteriak.
"Mohon kalian suka bermurah hati, jangan harpa itu kalian rusak."
"Huh, siapa sudi ambil harpamu yang bobrok itu, simpanlah sendiri dan boleh kau serahkan kepada It-cu-king-thian, hm, kuatirnya mungkin kau takkan bisa memetik harpamu lagi untuk dia."
Itulah suara sang Toako yang kedengaran ketus dan bengis. Saking kaget Tan Ciok-sing sudah berjingkrak berdiri dan hendak menerjang keluar. Entah dari mana datangnya tenaga, lekas In Hou menariknya, serta berbisik di pinggir telinganya.
"Jangan keluar."
Dari sang kakek sedikit banyak Tan Ciok-sing pernah juga diajarkan Kungfu, tenaganya jelas jauh lebih kuat dari orang dewasa biasa, tapi dia toh tidak kuasa berontak karena tarikan In Hou.
Untung Tan Ciok-sing lekas sadar, dengan bekal kepandaiannya sekarang, keluar hanya mengantar jiwa percuma, terpaksa dengan lunglai dia duduk di samping In Hou.
Tarikan In Hou juga dilakukan saking gugupnya, gerakan tanpa pikir secara reflek lagi, sungguh tak nyana bahwa dia mampu menahan Tan Ciok-sing, karuan hatinya senang dan kaget pula.
"Eh, kenapa mendadak aku sudah punya tenaga?"
Kuda Binal Kasmaran -- Gu Long Bara Maharani -- Khu Lung Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long