Ceritasilat Novel Online

Taruna Pendekar 8


Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 8



Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Tempo dulu, ketika beliau diusir oleh sukoh entah berapa banyak air mataku yang jatuh bercucuran, aku . pun pernah mendendam kepada sukoh. Tapi kemudian setelah usiaku semakin dewasa, setelah aku banyak mendengar pendapat dan pandangan-pandangan dari orang dewasa, baru kuketahui kalau semua peristiwa ini bukan tanggung jawab sukoh seorang, sebab peristiwa yang terjadi dulu, tak lain hanya merupakan suatu kesalahpahaman belaka"

   Belum habis dia berkata, suheng-nya telah menukas sambil tertawa dingin.

   "Heehh heehh heehh Oh sute, aku lihat kau masih belum mengetahui semua duduknya persoalan hingga jelas. Kalau dikirakan hal ini merupakan suatu kesalah- pahaman, maka lebih cocok kalau dikatakan kesalahpahaman ini merupakan ciptaan suhu yang sengaja mencelakai sumo."

   Adik seperguruannya menjadi agak tertegun.

   "Suheng, apa maksudmu berkata demikian?"

   Serunya.

   "Coba kau terangkan dulu apa saja yang telah kau ketahui?"

   "Konon sunio dan Beng Goan-cau sebenarnya adalah sepasang kekasih yang saling mencinta, bahkan jauhsebelumnya sudah mengikat diri dalam suatu ikatan tali perka- winan. Kemudian datang berita yang mengabarkan Beng Goan-cau telah mati di Siau-kim-jwan, itulah sebabnya dia lantas kawin lagi dengan suhu."

   Sang lelaki berusia agak tua itu segera melanjutkan.

   "Ya, walaupun sunio telah menjadi istri keluarga Nyo, namun sejak perkawinan tersebut dia tak pernah berbuat serong atau melakukan perbuatan terlarang. Di kemudian hari, meski dia tahu kalau kabar tentang kematian Beng Goan-cau kiranya hanya suatu isapan jempol belaka, namun dia tak pernah mengadakan hubungan lagi dengan Beng Goan-cau." Tentang persoalan ini aku pun tahu."

   "Kalau memang begitu, tahukah kau apa sebabnya tempo hari suhu mesti pura-pura mati untuk membohongi orang?"

   "Apakah karena takut dengan Beng Goan-cau?"

   "Tindakannya itu tak lebih hanya tindakan suhu untuk melindungi diri dan menciptakan alasan belaka."

   "Lantas bagaimanakah keadaan yang sesungguhnya?"

   "Tujuan yang paling utama adalah untuk merusak nama baik Beng Goan-cau, bahkan aku curiga, tindakan sukoh yang mengusir sunio pun jauh sebelumnya telah berada dalam dugaannya. Sunio hidup tanpa sanak tanpa keluarga, kalau dia tidak pergi mencari Beng Goan-cau, siapa lagi yang harus dicarinya?"

   "Ayah sunio sebenarnya adalah seorang pemimpin pasukan patriot pembela tanah air, tapi dia telah tewas di medan pertempuran di Siau-kim-jwan sebelum kedatangan Beng Goan-cau ke tempat itu. Itu berarti di Siau-kim-jwan, sunio masih mempunyai banyak teman-teman ayahnya, sehinggakepergiannya ke Siau-kim-jwan belum tentu pergi mencari Beng Goan-cau belaka."

   "Benar!"

   Suheng-nya mengangguk. Tapi justru dengan kejadian ini, sama halnya dengan suhu memaksakan suatu pertemuan bagi mereka berdua, sehingga dia itu akan mempunyai alasan untuk mencelakai Beng Goan-cau."

   "Tetapi apa manfaatnya bagi suhu?"

   Tanya sang pemuda.

   "Sute, kau benar-benar pikun atau pura-pura bodoh? Apakah kau tak tahu kalau Beng Goan-cau itu buronan pemerintah Cing?"

   Sang pemuda tertegun beberapa saat lamanya, kemudian baru katanya.

   "Suhu suhu tak mungkin tujuan suhu sejahat ini? Selama ini, dia toh tidak pernah menjadi pem- besar, lagi pula hingga sekarang mati hidupnya tidak diketahui lagi, kita sebagai muridnya aku rasa."

   "Benar, sebagai murid, kita memang tidak sepantasnya membicarakan kejelekan suhu di belakangnya, aku hanya merasa penasaran bagi nasib sunio, sebab sunic-mu adalah seorang yang amat sayang terhadap semua anak murid suhu, anak asuhannya, itulah sebabnya aku baru membicarakannya denganmu sekarang. Tapi, mungkin juga semuanya itu merupakan dugaanku belaka, kau tak usah memikirkannya selalu di dalam hati."

   Sang pemuda itu segera menghela napas panjang.

   "Aaai, memang banyak persoalan di dunia ini yang tidak mudah dimengerti. Siapa suruh kita menjadi muridnya? Sekalipun suhu kita melakukan banyak kesalahan, dia toh tetap merupakan suhu kita."Namun dilihat dari pembicaraan tersebut, dapat diketahui kalau dia telah mengakui bahwa "dugaan"

   Suheng-nya memang lebih banyak sesuai dengan kenyataan di masa lalu. Nyo Yan tahu tentang asal-usulnya dari mulut Ki See-kiat, maka setelah mendengar pembicaraan tersebut, kini hatinya semakin terharu, pikirnya kemudian.

   "Aah, mustahil ayahku bisa berjiwa kerdil dan rendah tak tahu malu seperti apa yang mereka bicarakan, sekalipun ayah salah, kesalahan Beng Goan-ciu pasti lebih! Bagaimanapun juga, dia toh tetap ayah kandungku!"

   Sekalipun dia berpikir demikian, dalam hati kecilnya sudah terjadi perubahan yang amat besar, terhadap niatnya untuk mencari Beng Goan-cau dan membuat "perhitungan", dia mulai ragu dan sangsi.

   Paling tidak ia sudah tahu kalau perbuatan ayahnya tidak semuanya benar, sedangkan Beng Goan-cau bukan semuanya salah.

   Hanya saja setitik ingatan tersebut bagaikan sebuah bukit es saja, dalam sepuluh bagian ada sembilan bagian di antaranya tertanam di dalam hati, ia tak berani untuk "meng- apungkarfnya di atas permukaan.

   Dalam keadaan sadar tak sadar, mendadak ia mendengar pemuda itu redang bertanya kepada kakak seperguruannya.

   "Song suko, ada satu hal ingin kutanyakan kepadamu, sejak sunio tewas dalam pertempuran di Siau-kim-jwan, suhu pun lenyap dari dunia persilatan, tahukah kau sebenarnya dia orang tua masih hidup atau sudah mati?"

   Pertanyaan itu merupakan persoalan yang ingin diketahui pula oleh Nyo Yan, maka dia tersentak bangun darilamunannya dan tanpa terasa mengumpulkan semua pikiran dan perhatiannya untuk mendengarkan. Terdengar lelaki yang disebut "Song suko"

   Itu segera menjawab;

   "Aku percaya suhu masih hidup!"

   "Dari mana kau bisa tahu?"

   "Kurang lebih tujuh delapan tahun berselang ada suatu ketika aku sedang mengawal barang menuju Cuan-sia, di tengah jalan aku dengar teman-teman persilatan membicara- kan tentang soal itu, katanya Beng Hoa pernah bersua dengan guru kita."

   "Persoalan itu aku pun pernah dengar, tapi konon ketika Beng Hoa tahu kalau suhu bukan ayahnya, dia telah membunuh suhu."

   "Siapa yang mengatakan hal ini kepadamu?"

   "Dia adalah seorang kautau dari Pe-cu-keh!"

   "Ooh rupanya cuma seorang yang berkedudukan rendah,"

   Kata Song suheng sambil tertawa. Tak bisa disangkal lagi, dia sedang merusak nama Beng Hoa."

   "Lantas siapa yaag memberitahukan semua persoalan ini kepadamu?"

   Adik seperguruannya segera bertanya.

   "Seseorang yang mempunyai hubungan dengan pasukan pembela tanah air, namanya tak dapat kukatakan kepadamu, tapi orang ini selain kenal dengan Beng Hoa, dia pun merupakan sahabat karib sam-suko dan su-suko, aku percaya dia tak akan berbohong."Tapi peristiwa ini merupakan peristiwa lama yang telah terjadi pada tujuh delapan tahun berselang, dari mana kau bisa tahu kalau saat ini dia masih hidup?"

   "Masih ada satu hal lagi yang bisa dijadikan bukti, toa-suko kita bukankah sudah menjadi seorang pembesar yang tidak kecil pangkatnya dalam pasukan pengawal raja?"

   "Hal ini mana bisa dipakai sebagai bukti kalau suhu masih hidup di dunia?"

   Sang suheng tertawa, sahurnya.

   "Hatimu baik dan penuh belas kasih, sayang otakmu justru tidak jalan. Betul kepandaian dari toa-suheng jauh lebih baik daripada kita, tetapi dengan kepandaiannya yang serba terbatas, mana mungkin bisa diangkat menjadi pejabat dalam pasukan pengawal raja? Pasukan pengawal raja merupakan pengawal pilihan yang langsung berada di bawah komando kaisar, kalau hanya mengandalkan kepandaian yang dangkal, tak mungkin dia bisa memasukinya. Apakah hal ini bukan mengandalkan suhu? Sekalipun suhu tak pernah menjabat pangkat, tapi dia mempunyai hubungan yang amat erat dengan pentolan- pentolan pasukan pengawal raja, mungkin hal ini tidak diketahui olehmu, tapi aku mengetahui dengan jelas."

   Sang pemuda itu segera tertawa.

   "Suheng, apakah kau tidak merasa bahwa pembicaraanmu telah melantur terlampau jauh?"

   "Sudahlah, mau percaya atau tidak terserah kepadamu, aku pun tak ingin memberitahukan persoalan yang lebih banyak lagi kepadamu."

   "Suheng, menurut pendapatmu, baikkah bila toa-suko memangku pangkat?"

   Tiba-tiba pemuda itu bertanya.Lelaki itu menjadi tertegun, kemudian dia balik bertanya.

   "Bagaimana menurut pendapatmu?"

   "Aku tidak suka kalau toa-suheng menjadi pembesar pemerintah. Cuma kalau dibicarakan kembali, andaikata dia tidak menjadi pembesar, bagaimana mungkin kita bisa masuk ke dalam perusahaan Ceng-wan piaukiok dan memperoleh ke- dudukan yang layak?"

   Agaknya lelaki itu seperti merasa tersentuh hatinya, dia lantas berkata.

   "Kita enam bersaudara tak nyana harus mengalami perubahan sedemikian besarnya. Toa-suheng telah menjadi pembesar, ji-suheng menjadi tuan tanah di desanya, sam-suheng dan su-suheng menggabungkan diri dengan laskar rakyat, hanya kita berdua yang paling tak becus bisanya hanya mencari sesuap nasi dengan menjadi seorang piausu, selama beberapa tahun ini pun tak pernah terpakai tenaganya. Dengan susah payah akhirnya tahun ini kita bisa meninggalkan ibu kota, tapi itu pun bukan untuk mengawal barang, melainkan bertugas untuk sukoh."

   "Suheng, kenapa sih kau begitu mendongkol?"

   Seru sang pemuda sambil tertawa.

   "Aku lebih suka bekerja untuk sukoh daripada menjadi tukang pukulnya orang-orang kaya."

   "Kalau aku tak ingin melakukan kedua-duanya, tapi siapa suruh kita tidak sekaya ji-suko, tidak memiliki keberanian seperti sam-suko dan su-suko yang pergi menjadi seorang pemberontak? Apa yang bisa kita lakukan sekarang tak lebih hanya berlarian bagi orang lain. lapi bukannya aku sembarangan mengumbar rasa dongkol, aku hanya menaruh curiga akan satu persoalan."

   "Persoalan apa?"

   "Dua tahun berselang, kita pernah mengadakan pertemuan satu kali dengan sam-suko, aku curiga kalau persoalan itu diketahuioleh toako dan dilaporkan kepada cong-piautau, oleh karena itu cong-piau-tau tak berani mempergunakan tenaga kita."

   "Jika toa-suko menaruh curiga, dia toh bisa saja menyuruh menjebloskan kita ke dalam penjara. Song-suko, mungkin kau banyak curiga saja."

   "Kau masih belum mengenal watak toa-suheng, dia adalah seorang manusia yang suka akan muka dan nama, kita pun takkan berbuat apa-apa demi menjaga nama baik dan gengsinya, tentu saja dia merasa tak enak untuk mengusir kita dari perusahaan, karena itu dia hanya menyuruh cong-piautau agar tidak memakai tenaga kita berdua saja."

   Pemuda itu segera tertawa.

   "Andaikata kecurigaanmu itu merupakan kenyataan, kita harus berterima kasih dapat melaksanakan tugas dari sukoh,"

   Katanya pula.

   "Betul hidup di sini lebih susah,toh jauh lebih baik daripada hidup dikota sambil menahan debaran jantung terus-menerus."

   "Betul juga perkataanmu itu. Seandainya cong-piautau tak berani mempergunakan kita, dia pun tak akan memberi muka kepada sukoh, dan membiarkan kita meninggalkan mereka begini lama. Tapi terlalu banyak persoalan yang dilakukan sukoh membuat hatiku mendongkol, betul hidup di sini jauh lebih enak daripada di ibu kota, namun aku masih tetap merasa tak rela untuk menjual tenaga baginya."

   "Suheng, bukalah pandanganmu!"

   Seru pemuda itu sambil tertawa.

   "Walaupun sukoh tidak baik, hubungan kita sejak kecil dengan See-kiat sute toh baik sekali, apakah kau tak ingin menemukannya kembali?"

   "Justru karena memikirkan nasib See-kiat aku baru bersedia melakukan pekerjaan ini bagi sukoh. Hhmm suara hujan sudah agak mereda, mungkin sebentar lagi akan berhenti.""Kalau sudah berhenti ya memang lebih baik, kita bisa tidur dengan nyenyak, besok kita mesti melakukan perjalanan lagi. Aaii hujan yang turun hari ini lebarnya bukan kepalang, jika tidak berhenti lagi, sudah pasti akan sulit melakukan perjalanan!"

   "Besok? Apa bedanya besok dengan hari ini?"

   Lelaki itu tertawa getir.

   "Kita sama sekali tak tahu kemana untuk mencarinya, apa yang bisa dilakukan sekarang tak lebih terbang seperti lalat, dari jendela yang satu ke jendela yang lain." Tapi toh keadaan demikian jauh lebih baik daripada kehujanan di tengah tempat yang terpencil? Siapa tahu kalau kita bakal menemukan suatu kejadian yang ada di luar dugaan?"

   Hibur sute-nya. Mendadak lelaki itu berseru tertahan, kemudian katanya.

   "Oh Sute, coba kau dengar, agaknya di luar ada orang!"

   Rupanya ketika Nyo Yan mendengar kalau ayahnya masih hidup, dia menjadi terpengaruh oleh gejolak emosi, sehingga tanpa terasa napasnya menjadi berat.

   Begitu hujan berhenti, dengusan napas itu segera terdengar oleh kedua orang itu.

   Terpaksa Nyo Yan harus menampilkan diri dari tempat persembunyiannya, dengan badan gemetar dia mendekati pintu kuil, lalu serunya dengan suara menggigil.

   "Aku aku melihat di di sini ada api aku aku ingin."

   "Kau ingin masuk untuk menghangatkan badan?"

   Tanya orang she Oh itu sambil tertawa. Nyo Yan berlagak seperti takut-takut, sahurnya kemudian.

   "Boo bolehkah aku masuk?"

   "Siapakah kau? Sudah berapa lama datang kemari?""Aku adalah seorang pengemis, aku mengira di atas gunung bisa berteduh dari hujan, siapa tahu hujan semakin lama semakin besar, aku kedinginan dan lapar. Kemudian hujan makin mengecil dan aku melihat di sini ada cahaya api, maka aku pun buru-buru datang kemari, baru saja aku sampai. Toaya berdua, jadilah orang baik, biar biarkanlah aku masuk."

   Waktu itu pakaian Nyo Yan dekil dan penuh lubang, apalagi kotor oleh lumpur dengan wajah yang patut dikasihani, tak salah lagi kalau potongan macam itu disebut pengemis. Lelaki she Song itu tidak curiga lagi, katanya kemudian sambil tertawa.

   "Kuil bobrok ini toh bukan milik kami, tentu saja kau boleh masuk!"

   Sute she Oh itu jauh lebih baik orangnya, dia berkata sambil tertawa.

   "Kau memang patut dikasihani, tampaknya hujan deras telah mengguyur tubuhmu sampai basah kuyup, cepat masuk untuk menghangatkan badan. Kami masih mempunyai sedikit makanan."

   Nyo Yan segera berjongkok di tepi api unggun untuk menghangatkan badan, lalu menerima makanan yang diangsurkan kepadanya.

   Bagaikan orang yang benar-benar kelaparan ia masukkan makanan itu ke mulut dan mengunyahnya dengan lahap, sambil makan mulurnya menggumamkan kata-kata terima kasih yang tak jelas.

   "Kau bisa minum arak?"

   Tanya orang she Oh itu kemudian.

   "Entahlah, tapi asal ada makanan dan minuman aku dapat menelannya. Kau tahu aku tak lebih cuma seorang pengemis, hanya nasi dingin dan sisa sayuran saja yang diperolehseorang pengemis, mana ada orang yang memberi arak kepa- daku?"

   Ucapan semacam ini memang cocok sekali dengan perkataan seorang pengemis. Tanpa terasa orang she Oh itu tertawa, ujarnya.

   "Dengan minum arak, hawa dingin bisa terusir keluar, kau tak usah sungkan-sungkan, minum saja arak dalam buli-buli ini sekalipun mabuk juga tak menjadi soal."

   "Terima kasih banyak toaya,"

   Kata Nyo Yan sambil menerima buli-buli itu. Betul juga, dia lantas tak sungkan-sungkan meneguk isi buli-buli itu sampai habis. Mendadak terdengar ada orang berkata.

   "Ehmmm harum benar bau arak di sini, bolehkah aku menghangatkan badan?"

   Suaranya tak keras, tapi cukup menggetarkan telinga mereka. Nyo Yan lantas berpikir.

   "Tenaga dalam yang dimiliki orang ini lumayan juga, tapi mustahil orang yang memiliki silat macam ini akan memamerkan kemampuannya tanpa musababnya. Jangan-jangan dia adalah komplotan dari Toan Kiam-ceng yang sengaja mencariku?"

   Terhadap kepandaian macam itu meski Nyo Yan tak berani memandang remeh, dia pun tak sampai terkejut Sebaliknya Song dan Oh dua orang itu menjadi terkejut, cepat sahutnya.

   "Silakan masuk sahabat!"

   Tampak seorang lelaki kekar berkepala besar bermata satu masuk ke dalam kuil dengan langkah lebar, usianya antara empatpuluh tahunan, mukanya kasar tapi gagah, dia mem- bawa sebuah pipa besi yang panjangnya mencapai tiga depalebih, sepasang keningnya menonjol keluar, dalam sekilas pandang saja dapat diketahui kalau dia adalah seorang jago silat yang bertenaga dalam sempurna.

   Pipa besi itu berat sekali, bagi pandangan seorang ahli dapatlah diketahui kalau benda itu merupakan senjata aneh yang dipakai untuk menotok jalan darah.

   "Kalian tak akan keberatan untuk menerima aku si tamu tak diundang ini bukan?"

   Kata laki-laki itu sungkan-sungkan. Kemudian dengan langkah lebar dia masuk ke dalam ruangan kuil dan duduk di tepi api unggun, ujung pipa diisi tembakau dan diisapnya dengan penuh nikmat.

   "Kita sama-sama bangsa Han, apalagi bertemu di perantauan, apa salahnya kalau duduk-duduk berkumpul?"

   Kata lelaki she Song itu kemudian.

   "Sobat, siapa namamu?"

   Orang itu tertawa terbahak-bahak.

   "Haahh haahh haahh kalian tidak tahu siapakah aku, sebaliknya aku tahu siapakah kalian. Kalian adalah Song Peng- ci dan Oh Lian-kui dari perusahaan Ceng-wan piau-kiok bukan? Heeeehh heeehh heeehh toa-piautau berdua, selamat berjumpa, selamat berjumpa."

   Song Peng-ci terkejut "Benar, aku adalah Song Peng-ci dan dia adalah adik seperguruanku Oh Lian-kui.

   Sebutan toa-piautau tak berani kami terima, sebab kami tak lebih hanya seorang siau-piausu dari Ceng-wan piau-kiok.

   Maaf kalau kami bodoh dan tak tahu di mana pernah bersua dengan saudara?"

   "Kalian tidak pernah bertemu denganku, cuma aku tahu tentang kalian,"

   Kata orang itu tertawa.

   "Bukan saja aku tahu tentang kalian, bahkan setiap piausu dari pelbagai perusahaanpiaukiok dari ibu kota yang agak mempunyai kepandaian pun mungkin dapat kusebutkan nama mereka satu per satu."

   "Ooh rupanya kau adalah sahabat dari dunia persilatan, seandainya tiada sesuatu yang kurang leluasa, harap kau sudi memberitahukan namamu, agar kami pun dapat menyebutnya dengan baik."

   "Terhadap orang lain mungkin saja aku agak sangsi, tapi aku memang sengaja datang kemari untuk berjumpa dengan kalian berdua, tentu saja aku pun tak akan merahasiakan namaku. Aku she The bernama Hiong-toh, tentunya suheng kalian pernah menyinggung tentang namaku bukan?"

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu mendengar nama "The Hiong-toh"

   Disebut, paras muka Song Peng-ci segera berubah hebat, untuk sesaat lamanya dia menjadi termangu-mangu.

   Nyo Bok mempunyai enam orang murid.

   Song Peng-ci menduduki urutan kelima, sedangkan Oh Lian-kui menduduki urutan keenam, sedangkan toa-suheng mereka Bun Seng- liong sebenarnya adalah hu-congpiautau dari perusahaan Ceng-wan piaukiok.

   Tiga tahun berselang, sewaktu mengawal suatu barang berharga, ia dihadang oleh seorang perampok ulung dan barang-barang kawalan-nya dibegal, perampok itu bukan lain adalah The Hiong-toh.

   Kemudian Bun Seng-liong menjadi pembesar karena sebagai seorang pembesar dapat menikmati kehidupan yang makmur, selain itu, alasan yang terutama adalah lantaran barang kawalannya tempo hari kena dibegal.

   Tapi kemudian, lantaran ada tokoh berpengaruh yang campur tangan dalam peristiwa ini.

   The Hiong Toh telah mengembalikan tujuh bagian barang rampokannya kepadapihak Ceng-wan piaukiok, sebaliknya pihak Ceng-wan piaukiok yang harus menjaga nama baiknya pun merahasiakan kejadian itu rapat-rapat.

   Sekarang, Song Pcng-ci lantas berpikir.

   "Setelah peristiwa pembegalan itu, sedikit banyak orang she The ini tentu sudah mempunyai hubungan dengan pihak perusahaan kami, rasanya dia pun tak akan menyusahkan aku."

   Berpikir sampai di sini, dia lantas berkata.

   "Rupanya The toucu yang telah datang, selamat berjumpa, selamat berjumpa, sayang arak kami sudah habis diminum."

   Belum selesai dia berkata, The Hiong-toh sudah tertawa terbahak-bahak sambil menukas.

   "Untuk minum arak saja, masa kalian takut sudah tak punya kesempatan lagi? Terus terang kukatakan, aku justru datang kemari untuk mengundang kalian minum arak. Cuma entah kalian suka minum arak kehormatan ataukah lebih suka minum arak hukuman?"

   Paras muka Song Peng-ci berubah hebat, dengan cepat dia melompat bangun kemudian katanya.

   "The toucu, apa maksud perkataanmu itu?"

   The Hiong-toh tertawa.

   "Song toa-piautau, kau tak usah berlagak pilon lagi. Cepat serahkan barang merah yang kalian lindungi kepadaku! Aku cuma ingin harta, tak ingin nyawa. Hchh hehh heh..heehh itu namanya arak kehormatan. Seandainya kalian bersikeras ingin minum arak hukuman, hmm hmm terpaksa aku harus minta maafkepada kalian, sebab harta juga kumaui, nyawa pun juga kuinginkan!""The toucu!"

   Kata Song Peng-ci dengan suara dalam.

   "meskipun mata dan telingamu cukup tajam, sayang kali ini sudah salah mendengar!"

   "Hmm kau jangan mengira aku punya hubungan dengan perusahaan kalian, kebetulan, tempo hari aku dipaksa untuk mengembalikan barang begalanku itu. Kini aku tak usah menjual muka kepada siapa pun juga, maka pertama-tama aku hendak membegal barang kawalan-mu untuk melampiaskan rasa dongkolku."

   "Yang kumaksudkan bukan hal ini."

   "Baik, toh aku tak perlu terburu nafsu. Katakanlah, sebenarnya apa maksudmu?"

   Bila domba sudah di depan mulut harimau, ia memang tak usah khawatir, lolos dari cengkeramannya.

   "Betul aku adalah piausu dari Ceng-wan piaukiok,"

   Kata Song Peng-ci.

   "tapi kali ini kami bukan sedang mengawal barang. Kami sedang mencari seorang sute kami, itulah sebabnya kami datang ke Sinkiang."

   The Hiong-toh segera tertawa dingin.

   "Heeh heeh heeh kalian bisa membohongi siapa? Jika piausu dari Ceng-wan piaukiok bisa sampai ke wilayah Sinkiang, bila barang yang dikawal bukan barang berharga mau apa kalian ke sini? Bukankah sute-mu yang paling kecil adalah Oh Lian-kui? Dari mana munculnya seorang sute lagi?"

   "Dia adalah seorang sute kami yang lain, putra sukoh kami. Sute-ku ini belum lama terjun ke dalam dunia persilatan sebelum berangkat ke wilayah Sinkiang, mungkin namanya tidak kau kenal, tapi kami rasa nama sukoh kami pasti kau kenal bukan?"Andaikata dia tidak menyinggung soal sukoh-nya, mungkin keadaan masih mendingan, begitu hal tersebut disebut, nada suara The Hiong-toh semakin ketus lagi, katanya sambil tertawa dingin.

   "Heeh heeh heeh kau kira nama besar Lak-jiu-Koan-im akan membuatku ketakutan? Aku tidak ambil peduli urusan rumah tangganya. Kalian mau mencari sute-mu juga boleh, mengawal barang juga boleh, kalau kau mengatakan tak ada barang berharga yang dikawal, lepaskan semua pakaian kalian, biar kuperiksa seluruh tubuh kalian dengan seksama!"

   Sebagai seorang lelaki, tentu saja Song Peng-ci dan Oh Lian-kui amat gusar setelah mendengar penghinaan itu, hampir saja dadanya meledak saking gusarnya. Serentak kedua orang itu bangkit berdiri, kemudian teriaknya hampir berbareng.

   "The toucu, terima kasih banyak atas maksud baikmu, sayang sekali kami tak pandai minum arak. Arak kehormatan juga boleh, arak hukuman juga boleh, lebih baik arak tersebut disimpan untuk dirimu sendiri saja!"

   "Hmm aku mempunyai sebuah watak, yakni apa yang telah kukatakan tak akan kutarik kembali,"

   Ujar The Hiong-toh dingin.

   "Kalau toh kalian enggan menerima maksud baikku, arak hukuman ini bagaimanapun juga harus kalian minum!"

   Berbicara sampai di sini, mendadak dia berpaling dan menatap Nyo Yan, kemudian tegurnya.

   "Siapakah bocah ini?"

   "Seorang pengemis yang tiada hubungannya dengan kami,"

   Jawab Song Peng-ci cepat "Saudara cilik, lebih baik kau tinggalkan tempat ini!"

   Bisik Oh Lian-kui pula.Mendadak The Hiong-toh membentak.

   "Siapa pun dilarang keluar dari pintu kuil, ayo cepat menggelinding ke samping sana!"

   "Baik, toako,"

   Jawab Nyo Yan. Dia lantas berjalan ke sudut ruangan dan berjongkok sambil menempel di dinding kuil, kemudian sambil tertawa cekikikan ujarnya.

   "Toaya, rupanya kalian hendak berkelahi? Aku paling suka melihat orang berkelahi."

   Sekalipun The Hiong-toh agak menaruh curiga terhadap tingkah laku Nyo Yan yang aneh, akan tetapi dia sama sekali tidak memandang sebelah mata terhadap pemuda itu, pikirnya.

   "Mungkin saja kau memang benar-benar seorang bocah dungu yang tak tahu diri."

   Pelan-pelan diisapnya asap hun-cwee itu dalam-dalam, lalu sambil bangkit berdiri katanya.

   "Baik, kalian suheng-te boleh maju bersama."

   "Kau datang bermaksud membegal barang kawalan,"

   Ujar Song Peng-ci.

   "walaupun kali ini kami tidak mengawal apa- apa, namun akan kami hadapi dirimu dengan peraturan pengawalan barang."

   Rupanya Ceng-wan piaukiok merupakan pemimpin dari perusahaan pengawalan barang, sebagai perusahaan yang punya nama, mereka telah menentukan sebuah peraturan khusus yakni sopan santun lebih dulu sebelum menggunakan kekerasan, maka mereka harus menunggu sang pembegal turun tangan lebih dulu sebelum piasu-piausu-nya turun tangan.

   The Hiong-toh segera mendengus dingin, ujarnya.

   "Dari mana datangnya begitu banyak peraturan busuk? Baiklah, aku pun tak punya waktu untuk bersungkan-sungkan lagi dengankaitan, kalau toh kalian enggan menyerahkan barang kawalan kepadaku, maka aku akan melakukan penggeledahan sendiri."

   Selesai berkata pelan-pelan dia berjalan mendekati Song Peng-ci, sedangkan tangan kirinya masih memegang huncwee sambil mengisapnya dalam-dalam, dari sikapnya itu dapat diketahui bahwa dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada mereka.

   Begitu tiba di hadapan Song Peng-ci, tiba-tiba saja sebuah serangan dilancarkan.

   Dengan cekatan Song Peng-ci menarik lambungnya ke belakang tanpa menggerakkan kakinya, lalu badannya ditarik lima inci lebih untuk membiarkan serangan lewat, setelah itu "weees,..!"

   Sebuah pukulan balasan dilancarkan. Berkelit sambil menyerang, semuanya dilakukan tepat pada waktunya. Diam-diam Nyo Yan memuji.

   "Bagus sekali! Benar-benar tak malu menjadi murid-murid didikan ayahku, ilmu pukulan Lak- yang-ciang dari keluarga Nyo yang dipergunakan itu tampak jauh lebih matang daripada Ki See-kiat."

   Belum habis ingatan tersebut berkelebat lewat, tampak The Hiong-toh menyemburkan asap huncwee-nya ke depan, dalam remang-remangnya suasana karena asap huncwee yang tebal, dia melancarkan sebuah cengkeraman maut lagi.

   Kali ini Song Peng-ci tak mampu lagi untuk menghindarkan diri "Breet!"

   Pakaian yang dikenakan segera tersambar robek. Buru-buru Oh Lian-kui maju membantu suheng-nya, dengan suara keras dia membentak.

   "Permainan setan apakahyang sedang kau lakukan? Ingin mencelakai orang dengan serangan gelap?"

   The Hiong-toh tertawa.

   "Kau si ayam kecil yang baru keluar dari rumah, asap beracun atau bukan asap beracun masa tak bisa kau bedakan? Aku sudah tergila-gila dengan bau tembakau, peraturan mana yang melarangku menghisap huncwee?"

   Nyo Yan yang bersembunyi di sudut ruangan dapat mengendus pula bau asap yang kebetulan berhembus lewat terbawa angin, dia menarik napas panjang-panjang, kemudian, pikirnya.

   "Apa yang diucapkan pembegal ini memang benar, asap huncwee-nya tidak beracun. Sekalipun menyembur mata orang merupakan suatu tindakan yang licik, tapi sekalipun Song dan Oh berdua turun tangan bersama pun belum tentu bisa mengalahkan dia, jadi tak bisa dibilang kalau dia mencari keuntungan dengan cara tersebut."

   Sementara itu, walaupun The Hiong-toh sedang berbicara akan tetapi gerakan tangannya sama sekali tidak melamban, dalam sekejap mata beberapa jurus serangan telah dilancarkan. Menyusul kemudian, katanya sambil tertawa terbahak- bahak.

   "Haahh haahh haahh kalian bukan tandinganku, kenapa tidak sekalian kau loloskan senjata tajam? Aku ingin tahu sampai di manakah ilmu golok dan ilmu pukulan dari keluarga Nyo yang berhasil kalian pelajari."

   Agaknya Song Peng-ci dan Oh Lian-kui juga sudah tahu kalau mereka bukan tandingan lawan, tidak sampai The Hiong-toh menyelesaikan kata-katanya, golok mereka telah diloloskan.Cuma saja mereka rikuh, karena selain harus dua lawan satu mereka pun mempergunakan senjata tajam.

   Karena itu, tanpa mengucapkan separah kata, sepasang golok dilontarkan bersama, sepasang telapak tangan menyambar ke sana kemari menggencet pembegal itu habis- habisan.

   "Traanng Traaaang!"

   Dua kali benturan nyaring berkumandang, dua bilah golok baja telah membacok huncwee The Hiong-toh yang hitam pekat itu sehingga menimbulkan percikan bunga api.

   Dengan cekatan The Hiong-toh membalikkan badan ke samping, dengan begitu ancaman telapak tangan kedua orang itu segera mengenai sasaran kosong.

   The Hiong-toh tertawa terbahak-bahak, ejeknya.

   "Tangan beradu tangan, senjata beradu senjata, itulah peraturanku!"

   Di tengah gelak tawa, dengan gerakan Koay-mong-huan-sin (Ular Aneh Membalikkan Badan) hun-cwee besinya dihantamkan ke depan untuk mementalkan golok Song Peng- ci, lalu secara tiba-tiba ia pun menyelinap ke belakang punggung Oh Lian-kui dan melancarkan serangan mematikan.

   Tampaknya Nyo Yan telah salah perhitungan, dia pernah menyaksikan ilmu silat Ki See-kiat dan tahu kalau ilmu silat Ki See-kiat setaraf dengannya, dalam anggapannya Song Peng-ci dan On Lian-kui sebagai kakak seperguruan Ki See-kiat tak akan lebih rendah, paling tidak toh kepandaian mereka akan ber-imbangjuga.

   Paling tidak, tidak akan menderita kekalahan dalam waktu singkat.Oleh karena itu dia mengambil keputusan, bila tidak sampai pada detik terakhir, dia tak akan melancarkan serangan untuk memberi bantuan.

   Dengan demikian, pertama dia tidak akan membocorkan jejaknya, kedua dia pun akan melindungi nama baik Song Peng-ci dan Oh Lian-kui yang mungkin saja masih menyimpan jurus mematikan.

   Belum tentu mereka tidak mampu untuk mengalahkan penyamun ini.

   Mungkin dugaan itu meleset.

   Pada saat itu The Hiong-toh telah menggunakan Langkah Tujuh Bintang To-cay-jit-seng-poh untuk bergerak ke depan, dan kemudian tangannya diayunkan ke depan, dengan jurus Heng-kang-long (Membendung Sungai Menahan Ombak).

   "Traang!"

   Suara senjata beradu yang amat nyaring segera berkumandang memecahkan keheningan.

   Dalam bentrokan ini, golok baja Song Peng-ji dan Oh Lian- kui ter-sampokjatuh.

   The Hiong-toh merentangkan tangannya ke kiri dan ke kanan.

   Dalam keadaan demikian, tak sempat lagi buat Song Peng- ci dan Oh Lian-kui untuk melompat ke samping guna menghindarkan diri.

   "Blaaamm!"

   Seketika tubuh mereka roboh terjengkang ke atas tanah.

   Ternyata huncwee milik The Hiong-toh selain bisa digunakan sebagai toya, juga bisa digunakan untuk menotok jalan darah orang sebagai senjata Poan-koan-pit.Sekarang Nyo Yan baru terperanjat, segera pikirnya.

   "Ilmu silat penyamun ini tidak terhitung seberapa, namun ilmu menotok jalan darah yang dimilikinya benar-benar hebat sekali."

   Begitu terjengkang ke atas tanah, buru-buru Song Peng-ci dan Oh Lian-kui mengerahkan tenaga dalamnya untuk menembus jalan darah mereka yang tertotok.

   Seandainya mereka tidak mengerahkan tenaga dalam, mungkin masih mendingan, begitu hawa mumi disalurkan, sekujur badannya terasa seakan-akan ditusuk jarum yang amat tajam, sakitnya bukan alang kepalang.

   Tapi mereka enggan kehilangan muka, terpaksa sambil mengertak gigi harus menahan diri.

   Begitu berhasil merobohkan kedua orang musuhnya, The Hiong-toh segera tertawa terbahak-bahak.

   "Haahh haahh haahh maaf piautau berdua, terpaksa aku harus menelanjangi kalian."

   Terkejut dan gusar Song Peng-ci menghadapi keadaan seperti ini, dia tak rela dirinya mendapat malu, timbul keinginannya untuk memutuskan nadi sendiri dan bunuh diri.

   Tapi, untuk menembus jalan darah sendiri yang tertotok pun tak mampu, apalagi ingin memutuskan nadi sendiri, tentu saja hal ini semakin tak mampu untuk dilakukan, terpaksa dia harus menahan penderitaan yang makin hebat.

   Baru saja The Hiong-toh hendak membuat malu mereka berdua, tiba-tiba Nyo Yan berdiri, setelah menggeliat dan melemaskan otot badan, ujarnya.

   "Toaya, kamu tidak usah membuang tenaga dengan cuma-cuma."The Hiong-toh segera berpaling, kemudian bentaknya keras-keras.

   "Pengemis cilik, apa maksudmu?"

   "Barang berharga yang mereka kawal itu berada di dalam sakuku!r The Hiong-toh segera tertawa terbahak-bahak setelah mendengar perkataan itu.

   "Haah haah untung saja aku cukup tahu diri, ternyata kau memang benar-benar merupakan komplotan mereka."

   "Kau keliru, aku bukan komplotan mereka juga bukan pegawai perusahaan mereka, aku hanya menerima budi baik mereka, orang yang sudah memperoleh uang tentu bersedia pula menerima bencana bagi orang lain, ketika mereka minta kepadaku untuk menyimpan sebuah kotak kecil, masa aku harus menampik permintaannya?"

   Song Peng-ci dan Oh Lian-kui terperanjat sekali setelah mendengar perkataan itu, pikirnya.

   "Pengemis cilik ini benar- benar seorang yang baik, tetapi apakah perkataan bohong itu dapat mengelabui si pencoleng tersebut sampai lama..?"

   "Budi baik apakah yang telah kau terima dari mereka?"

   Terdengar suara The Hiong-toh.

   "Mereka mengundang aku minum arak, dan bahkan bersedia memberikan hadiah dua tahil perak kepadaku."

   "Baik, aku pun akan mengundangmu minum arak, memberi dua tahil perak kepadamu, tapi serahkan kotak tersebut kepadaku."

   Nyo Yan segera memperlihatkan sikap terkejut dan girang, serunya dengan segera.

   "Haahh haahh haahh, dua tahil perak? Sungguhkah perkataanmu itu?"

   "Tentu saja sungguh, ayo cepat bawa kemari!"Nyo Yan segera berjalan menghampirinya, kemudian berkata.

   "Perak yang gemerlapan putih memang cukup menyilaukan mata orang, terpaksa aku tak akan mcmperduiikan soal setia kawan lagi, cuma kau tak usah meminta kepadaku untuk minum arak lagi, sudah cukup banyak arak yang kuminum. Apalagi arak kehormatan dan arak hukuman itu, aku lebih merasa takut lagi."

   The Hiong-toh adalah seorang jago silat kawakan dari dunia persilatan, tentu saja dia pun dapat melihat kalau gerak-gerik Nyo Yan itu sangat mencurigakan, namun dia masih tidak memandang sebelah mata terhadap persoalan itu.

   Segera bentaknya keras-keras.

   "lak usah banyak bicara lagi, sekarang, kau sudah mengetahui sampai di manakah rasanya arak hukuman, jika kau berani mempermainkan aku, maka kau pun harus merasakan pula arak hukuman tersebut!"

   "Toaya, kau jangan menakut-nakuti aku."

   Mendadak setelah berhenti sejenak, dia berteriak keras- keras.

   "Aduh celaka aku, aku ingin tumpah!"

   Mendadak dia membuka mulutnya lebar-lebar, arak segera menyembur keluar dari mulurnya dan langsung menghajar muka The Hiong-toh.

   Kejadian ini sama sekali di luar dugaan The Hiong-toh, sekalipun ia cukup cepat berkelit ke samping, tak urung mukanya kena disembur juga oleh muntahan arak itu.

   Betul muntahan arak tak sampai melukai orang, akan tetapi baunya bukan kepalang, hampir saja membuatnya muntah- muntah.Dengan kening berkerut Nyo Yan berkata.

   "Aku toh sudah bilang, aku tak bisa minum arak, setiap kali kau singgung tentang arak, aku tak tahan ingin tumpah."

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Belum habis dia berkata, dengan amat gusar The Hiong-toh telah membentak keras.

   "Bocah keparat, kau ingin mampus!"

   Tangannya yang besar bagaikan kipas itu segera direntangkan lebar-lebar kemudian langsung diayunkan ke depan untuk mencengkeram tubuh Nyo Yan.

   Nyo Yan segera berpura-pura ketakutan sambil menjatuhkan tubuhnya ke tanah, tapi gerakan tersebut justru secara kebetulan berhasil meloloskan diri dari ancaman tersebut Bagaikan keledai malas menggelinding, dengan cepat dia kabur ke sudut ruangan, sementara dalam hatinya dia berpikir.

   "Apa yang mesti kulakukan untuk menghadapi dia? Ya, cara itu mesti bisa membuat dia tahu diri dan segera mengun- durkan diri."

   Dalam pada itu, The Hiong-toh semakin berpikir semakin curiga, dia lantas membentak.

   "Bocah keparat, ingin kulihat kepandaian apakah yang kau miliki untuk meloloskan diri dari cengkeramanku."

   Nyo Yan bersembunyi di sudut ruangan sambil memperlihatkan sikap seolah-olah ketakutan, ia telah bersiap sedia, dia bersiap-siap menghadapi terjangan The Hiong-toh dengan senjata rahasia Thian-san-sin-bong.

   Tapi entah mengapa, ketika dia telah bersiap melepaskan serangan, mendadak The Hiong-toh membatalkan niatnya untuk maju.Ia berhenti di tempat, secara tiba-tiba menemukan sesuatu yang tak beres.

   Apa yang terjadi? Mungkin orang itu sudah tahu kalau pengemis yang tampaknya tak bisa apa-apa ini sesungguhnya adalah manusia berilmu silat tinggi? Atau mungkin dia sudah tahu kalau dirinya bakal terancam oleh serangan maut bila maju lebih ke depan? Koan-im Bertangan Keji Tiba Pada saat itulah, tiba-tiba berkumandang suara bentakan bernada dingin.

   "Siapa yang ingin mampus? Hmm, hmm, ingin kulihat sampai di manakah ilmu silat yang dimilikinya sehingga berani berbicara sesumbar."

   Bila didengar dari suara bentakan itu, dapat diduga kalau dia adalah seorang perempuan berusia lanjut Bersama dengan berkumandangnya suara bentakan itu, sesosok bayangan manusia berkelebat datang, ternyata dia adalah seorang nenek berusia lima puluh tahunan.

   Seperti suaranya yang dingin menyeramkan nenek itu berwajah dingin dan kaku.

   Mukanya kurus ceking dengan miang dagu yang meninggi, hawa pembunuhan menyelimuti wajahnya membuat pentolan penyamun dari kalangan hitam yang sudah lama malang melintang dalam dunia persilatan terkesiap hatinya.

   Song Peng-ci dan Oh Lian-kui telah ditotok jalan darahnya oleh The Hiong-toh sehingga tergeletak di tanah, kendatipun mereka tak mampu berkata-kata, namun ketika perempuantua itu melangkah masuk ke dalam kuil, dari tenggorokan mereka segera bergema suara parau yang tak jelas nadanya, seperti orang yang merasa terkejut bercampur girang.

   Dengan wajah penuh hawa pembunuhan, nenek itu memandang sekejap ke arah The Hiong-toh.

   kemudian katanya dingin.

   "Aku mengira siapa yang begitu bernyali berani mengganggu anggota perguruan Nyo, ternyata kau The hoa-toucu!"

   The Hiong-toh mengangkat hun-cwee besinya sambil bersiap-siap melakukan perlawanan, lalu menjawab.

   "Aku pun tidak menyangka bakal berjumpa dengan Lak-jiu-Koan-im (Koan-im Bertangan Keji) Nyo toakoh di tempat ini, selamat berjumpa, selamat berjumpa!"

   Sekarang Nyo Yan baru tahu, rupanya si nenek tersebut tak lain adalah bibinya Dalam waktu singkat pelbagai rasaan berkecamuk dalam hatinya, ia teringat kembali betapa ibunya dicemooh dan dihina olehnya, sehingga tanpa terasa timbul satu ingatan untuk berpeluk tangan belaka membiarkan nenek itu menga- lami penderitaan, kalau bisa alangkah baiknya jika ia dapat dihina oleh si perampok.

   Tapi teringat kembali kalau nenek tersebut bagaimanapun juga adalah bibi kandungnya, timbul juga perasaan khawatir di hatinya.

   "Dia sudah tua, apakah masih mampu merobohkan perampok tersebut..?"

   Belum habis ingatan tersebut berkelebat lewat, Lak-jiu- Koan-im Nyo toakoh telah berkata lagi sambil tertawa dingin.

   "Terus terang kukatakan kepadamu, justru karena kujumpai kau sedang menguntit anak murid keluarga Nyo kami, maka sengaja aku menguntit pula di belakangmu. Aku sudah tahukalau kau bermaksud jelek, tak nyana nyalimu begitu besar, bukan cuma merobohkan mereka saja malah melukai pula Hmm sekarang kau berani menghina dan mencemoohkan aku si nenek, heehh heehh katakan sendiri, kau hendak menghabisi nyawamu sendiri, ataukah aku yang membereskan kau?"

   Yang dimaksudkan "menghabisi nyawa sendiri"

   Adalah memaksa The Hiong-toh untuk bunuh diri. Bagaimanapun juga, The Hiong-toh merupakan seorang jagoan lihay dari golongan hitam. Di hari-hari biasa ia sudah terbiasa menganiaya serta mempermainkan orang. Meski dia tahu Nyo toakoh "Lak-jiu-Koan-im"

   Dan julukan "Lak-jiu"

   Atau si tangan keji itu bukan nama kosong belaka, namun mana tahan menghadapi ejekan Nyo toakoh itu. Saking gusarnya dia sampai mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

   "Hei, apa yang kau tertawakan?"

   Bentak Nyo toakoh.

   "Aku tertawa geli karena dalam dunia persilatan dewasa ini ternyata terdapat begitu banyak manusia angkuh yang tak tahu diri!"

   "Ooh jadi kau menuduhku tak tahu diri?"

   "Tidak berani. Tapi sejak turun ke dunia persilatan, belum pernah aku orang she The tunduk kepada siapa pun, apalagi bertekuk lutut, aku ingin tahu manusia macam apakah yang dapat memaksaku untuk menghabisi nyawa sendiri?"

   "Ooh kalau begitu, kau bermaksud memaksa aku turun tangan menghabisi nyawamu?""Terhadap raja akhirat pun aku tidak takut, belum tentu tangan keji dari Lak-jiu-Koan-im bisa merenggut selembar jiwaku!"

   "Baik, kalau begitu coba saja kita buktikan sendiri,"

   Kata Nyo toakoh dengan suara hambar.

   "Blaaam!"

   Terdengar suara benturan keras berkumandang memecahkan keheningan.

   Sepasang telapak tangan mereka telah saling membentur satu sama lainnya Termakan oleh pukulan yang amat kuat itu, The Hiong-toh kena digetarkan tubuhnya sehingga mundur tiga langkah dengan sempoyongan sebelum dapat berdiri tegak.

   Rupanya ayunan hunewee di tangan kirinya tadi sama sekali tidak mendatangkan hasil apa-apa, jangankan melukai lawan, menyentuh ujung bajunya pun tak berhasil, malahan benturan sepasang telapak tangan mereka tadi menimbulkan desingan angin tajam yang amat kuat.

   Nyo toakoh segera tertawa dingin, jengeknya.

   "Ilmu menotok jalan darah dengan huncwee masih mendingan, tapi soal ilmu membanting kau mesti berlatih sepuluh tahun lagi."

   Di tengah suara tertawa dinginnya itu ilmu Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo segera dikembangkan.

   Di balik jurus serangan terdapat jurus serangan, di balik gerakan tersimpan gerakan, setiap serangan yang dilancarkan semuanya mengandung paling sedikit enam gerakan perubahan yang berbeda-beda dan luar biasa.

   Dalam sekejap mata, dari empat penjuru telah bermunculan bayangan tubuh Nyo toakoh.

   Sehingga tubuh The Hiong-toh seketika itu terkurung di balik kabut serangannya itu.

   Setelah menyaksikan ilmu silat yang dimiliki bibinya, hati Nyo Yanlega, diam-diam pikirnya.

   "Julukan Lak-jiu-Koan-im memang tepat sekali buat bibi, tampaknya dia memang tidak bernama kosong belaka. Ilmu Lak-yang-c i ang yang dipergunakannya sekarang, tampak jauh lebih ganas dan dahsyat dari Ki See- kiat."

   The Hiong-toh memberi perlawanan mati-matian untuk membendung semua ancaman yang tertuju kepadanya, sekarang dia cuma bisa menangkis tanpa bisa melancarkan serangan balasan, bahkan untuk menangkis dan mempertahankan diri pun tak mampu.

   Dalam keadaan demikian ia lantas mengertak gigi kencang ken cang, ia ingin mengembangkan ilmu menotok jalan darah yang paling ganas untuk menyergap musuhnya, maka dengan buasnya dia melompat ke muka sambil bersiap-siap mengajak Nyo toakoh beradu jiwa.

   Tampaknya Nyo toakoh sudah mengetahui maksud hatinya, bukan saja tidak berkelit, dia malah menerjang maju ke depan dan menyongsong datangnya ayunan hun-cwee baja itu, kemudian dicengkeramnya dengan begitu saja.

   Diam-diam The Hiong-toh merasa amat girang, pikirnya.

   "Nenek keparat, kau berani memandang remeh aku? Baik, tindakanmu itu justru merupakan apa yang kuharapkan!"

   Dengan cepat dia mengarah jalan darah Lau-kiong-hiat pada telapak tangan Nyo toakoh dan disodoknya.

   Jalan darah Lau-kiong-hiat merupakan salah satu jalan darah penting di tubuh manusia, seandainya sampai berlubang, bagaimanapun bagusnya ilmu silat seseorang juga akan menjadi cacat.Siapa tahu, begitu huncwee di-sodokkan ke muka, dia merasa seperti menghantam segumpal kapas, sama sekali tak berkekuatan apa-apa.

   Sementara dia masih tertegun, telapak tangan kanan Nyo toakoh telah membabat kepalanya.

   Buru-buru The Hiong-toh membuang huncwee-nya dan membendung serangan menggunakan sepasang telapak tangannya.

   Kalau tadi dia seperti menghantam kapas yang empuk, maka kali ini sama sekali berubah.

   Begitu sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan, ia segera merasa seperti menghantam dinding baja yang amat kuat.

   "Blaam!"

   Terjadi bentrokan keras yang menggelegar bagaikan guntur yang membelah bumi, jauh lebih keras daripada tadi.

   Saking kerasnya, sampai-sampai Nyo Yan yang bersembunyi di sudut ruangan pun merasakan telinganya sakit sekali seperti ditusuk-tusuk pisau.

   Bagaikan bola yang terlempar ke udara, The Hiong-toh segera mencelat ke belakang, ternyata dia pun cukup bandel, sama sekali tidak merintih atau mendengus karena hantaman tersebut.

   Darah segar menyembur keluar dari mulutnya, dia berjumpalitan beberapa kali kemudian ujung kakinya menjejak tanah dan menyelinap keluar dari kuil.

   "Jika kau sanggup lari sejauh seratus langkah, hitung- hitung kau memang lihay!"

   Jengek Nyo toakoh sambil tertawa dingin.Baru selesai dia berkata dari luar pintu kuil telah berkumandang suara jeritan ngeri yang memilukan hati, menyusul kemudian terdengar seperti ada batu cadas yang menggelinding jatuh ke bawah bukit.

   Ternyata isi perut The Hiong-toh betul-betul sudah kena terhajar sampai hancur berantakan, benar juga, belum mencapai seratus langkah, ia sudah tak tahan dan roboh terguling di atas tanah.

   Tak salah lagi, selembar jiwanya pasti sudah melayang meninggalkan raganya.

   Nyo toakoh tak sempat menggubris Nyo Yan, dia segera memburu ke sisi keponakan muridnya dan memeriksa keadaan lukanya.

   Ilmu menotok jalan darah yang dimiliki The Hiong-toh memang amat istimewa, Nyo toakoh harus mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menguruti jalan darah dari Song Peng-ci dan Oh Lian-kui agar terbebas dari pengaruh totokan, kurang lebih setengah sulutan hio kemudian, jalan darah mereka baru dapat bebas.

   Agaknya Song Peng-ci cukup mengetahui tabiatnya, sebelum perempuan itu berkata apa-apa, dia sudah berseru lebih dulu.

   "Sukoh, kepandaian kami sangat dangkal sehingga menghilangkan muka kau orang tua saja."

   Nyo toakoh mendengus dingin.

   "Hmm! Bagus kalau kalian tahu, di kemudian hari mesti lebih giat melatih diri."

   "Baik, sukoh!"

   Jawab Song Peng-ci dan Oh Lian-kui berbareng. Setelah mendamprat mereka dengan beberapa patah kata, Nyo toakoh baru memperlunak nada suaranya.

   "Jelek-jelek, The Hiong-toh termasuk seorang jagoan termasyhur di kalangan hitam, toa-suheng kalian saja masihbukan tandingannya apalagi kamu berdua? Aku memang tak dapat menyalahkan kalian berdua. Sekarang, bagaimana perasaan kalian?"

   Song Peng-ci tak berani menjawab, sebaliknya Oh Lian-kui segera berseru.

   "Dada kami terasa agak sakit!"

   "Ehm sudah kuduga sampai ke situ. Ilmu menotok jalan darah yang dimiliki The Hiong-toh dapat melukai delapan nadi penting, aku saja tak berani kena ditotok, tentu saja kalian tak akan kuat menahannya. Ehm, kalau dibicarakan kembali memang aku kelewat gegabah, tidak seharusnya aku datang terlalu lambat sehingga menunda waktu membebaskan totokan kalian, kini kini."

   Song Peng-ci amat terperanjat, segera tanyanya.

   "Sukoh, apakah kami terluka dalam?"

   "Benar. Untung saja belum lewat dua jam, kalau tidak mungkin separuh tubuh kalian akan menjadi lumpuh. Kini."

   "Kini bagaimana?"

   Tanya Oh Lian-kui pula. Agaknya Nyo toakoh jauh lebih menyayanginya, dengan cepat dia menjawab.

   "Monyet kecil, ada sukoh di sini, apa yang kau takuti? Kini kalian boleh beristirahat sambil merawat luka di sini, luka ini tidak serius, paling banter tiga hari lagi juga sembuh. Nah, ambillah sebutir Siau-huan-wan tiap-tiap orang!"

   Setelah mendengar perkataan itu, Oh Lian-kui baru merasa lega, dia segera menelan pil Siau-huan-wan itu dan berkata.

   "Sukoh, untung saja kau orang tua datang tepat pada waktunya sehingga jiwa kami berdua dapat diselamatkan, kami sama sekali tidak menyangka kalau kau orang tua akan menyusul kemari.""Bagaimana dengan kabar berita See-kiat, apakah kalian telah berhasil mendapatkan jejaknya?"

   "Maaf sukoh, dalam setahun ini kami telah mencari dari Tibet sampai Sinkiang banyak tempat telah kami kunjungi, akan tetapi kami tidak berhasil mendapat kabar tentang diri sute."

   Nyo toakoh segera mendengus dingin.

   "Sudah. Kutahu kalau kalian berdua hanya gentong- gentong nasi yang sama sekali tak berguna, itulah sebabnya aku sengaja turun tangan sendiri. Bagaimana pula dengan Nyo Yan?"

   "Lebih-lebih tak ada orang yang tahu,"

   Jawab Song Peng-ci. Nyo Yan segera berpikir dalam hatinya.

   "Perlukah kukatakan kepadanya kalau aku adalah keponakannya?"

   Pada waktu itulah Nyo toakoh baru menaruh perhatian kepadanya. terdengar dia bertanya.

   "Siapakah bocah muda ini? "Dia adalah seorang pengemis. Semalam hujan turun sangat lebat, karena kasihan kepadanya, maka ku persilakan masuk dan berteduh di sini."

   "Aku rasa dia bukan seorang pengemis sembarangan?"

   "Kalau soal itu kami kurang tahu,"

   Sahut Song Peng-ci.

   "Ehmm hei pengemis cilik, nyalimu tadi benar-benar tidak kecil,"

   Kata Nyo toakoh kemudian.

   "Hidup sebagai manusia harus tahu membalas budi,"

   Sahut Nyo Yan.

   "Toaya berdua itu telah memberi makanan untukku, memberi arak untukku, bahkan memperbolehkan aku menghangatkan badan. Aku tak bisa membalas budi kepadamereka, maka terpaksa mesti membesarkan nyali untuk bersiasat, kalau bisa mengulur waktu berapa saat, aku pun berusaha untuk membohongi penyamun itu. Untung kau orang tua segera datang, ya, kalau dipikirkan sekarang, aku benar- benar merasa takut."

   Nyo toakoh menatapnya tajam-tajam, lalu berkata.

   "Bagaimanapun juga kau telah membantu kedua keponakan muridku, aku pun tak akan menyelidiki siapa dirimu yang sesungguhnya Bila kau memang benar-benar seorang pengemis, nah terimalah sekeping uang perak ini sebagai hadiah, sekarang kau boleh pergi."

   Selesai berkata dia lantas melemparkan sekeping uang perak seberat lima tahil ke depan pengemis itu.

   Nyo Yan pura-pura menyambut uang perak itu dengan wajah berseri, tapi ketika tangannya menyentuh uang perak tersebut, tiba-tiba ia menjerit kesakitan dan roboh ter- jengkang, sementara uang perak itu menggelinding ke samping.

   Rupanya sewaktu melemparkan uang perak tadi, Nyo toakoh telah menyertakan sedikit tenaga dalam, tenaga dalam itu tak melukai orang, tapi bisa digunakan untuk mencoba apakah Nyo Yan mengerti ilmu silat atau tidak.

   "Hei, kenapa kau? Tidak terluka bukan?"

   Seru Nyo toakoh kemudian.

   "Ooh tenagamu benar-benar amat besar,"

   Seru Nyo Yan sambil bermuram durja.

   "Masih untung cuma lecet-lecet di kulit saja"

   "Ternyata kamu memang benar-benar tidak mengerti ilmu silat. Cepat ambil uang perak itu dan pergi dari sini!"Nenek ini mana tahu jikalau Nyo Yan memang sengaja jatuh terjengkang untuk mengelabuinya. Nyo Yan segera memungut uang perak itu sementara ia masih sangsi dan tak tahu apakah harus memberitahukan kabar tentang Ki See-kiat atau pergi dari situ, mendadak terdengar seseorang berseru sambil tertawa merdu.

   "Kau si pengemis memang lagi mujur, di mana-mana mendapat untung, kenapa mesti buru-buru pergi dari sini?"

   Ternyata orang itu adalah si gadis yang berwatak aneh itu. Entah mengapa, setiap kali Nyo Yan bertemu dengannya, ia selalu merasa girang bercampur tak tenang, diam-diam pikirnya.

   "Mengapa iblis kecil ini muncul secara tiba-tiba? Entah permainan setan apa lagi yang sedang dipersiapkan?"

   Yang seorang adalah gadis berwajah cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, sebaliknya yang lain adalah seorang pengemis cilik yang berpakaian dekil dan compang-camping.

   Namun cara gadis itu berbicara dengan Nyo Yan seakan-akan sikap seorang teman terhadap sahabat lamanya.

   Sikap yang sama sekali berlawanan dengan keadaan ini, kontan saja menimbulkan kecurigaan di dalam hati Nyo toakoh.

   "Ooh jadi kalian sudah saling mengenal?"

   Tanya Nyo toakoh sambil menatap gadis itu lekat-lekat.

   "Ya, kemarin baru saja kuberi sekeping dua tahil kepadanya."

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nona, kau benar-benar amat sosial,"

   Ujar Nyo toakoh hambar.

   "masa memberi sedekah kepada seorang pengemis juga sekeping perak. Tapi mengapa..?"

   "Sama-sama, kau sendiri pun tidak kikir. Kemarin, aku memberi sedekah kepadanya tidak, lebih berat daripada uangyang kau berikan kepadanya sekarang. Mengapa pula dengan kau?"

   "Urusanku lebih baik tak usah kau campuri "Lantas mengapa kau mesti bertanya kepadaku? Aku lebih- lebii tidak suka bila orang lain mencampuri urusanku."

   Nyo toakoh disebut orang sebagai Lak-jiu-Koan-im (Koan-im Bertangan Keji) belum pernah ia disemprot orang dengan kata-kata sepedas ini.

   Kontan saja hawa gelap menyelimuti seluruh wajahnya, tapi dengan kedudukannya sekarang, dia pun enggan untuk banyak ribut hanya disebabkan masalah itu.

   Maka dari itu, walaupun ia tak sampai mengumbar hawa amarahnya, namun paras mukanya segera berubah menjadi tak sedap dipandang.

   Sebaliknya gadis itu malah cekikikan, melirik sekejap ke arahnya pun tidak, dia lantas berpaling ke arah Nyo Yan dan berkata.

   "Aku lihat kau memang agak aneh, kuanggap kau sebagai seorang pengemis biasa, tapi setelah aku pikir-pikir, rasanya sikapku ini jelas keliru besar!"

   "Belum lagi kukatakan kau ini aneh, sekarang kau malah yang mengatakan aku aneh"

   Pikir Nyo Yan di dalam hati. Dengan cepat dia menunjukkan sikap yang patut dikasihani, ujarnya sambil tertawa getir.

   "Apanya yang aneh dengan diriku ini? Oh, nona. Kau jangan mengajakku bergurau."

   "Hmmm masih bilang tidak aneh, mengapa selalu terdapat persoalan-persoalan aneh di sekitarmu? Tentu saja hal ini karena kau si manusia aneh yang menimbulkan pelbagai persoalan aneh itu."

   "Nona, aku tidak mengerti maksudmu, persoalan-persoalan aneh apa sih yang telah kulakukan?""Pertama, setiap kali bertemu kau, selalu saja ada orang yang memberi uang kepadamu. Kedua, orang yang berada bersamamu selalu berada dalam keadaan terluka. Ketiga, setiap kali bertemu dengan kau, selalu kujumpai pula kejadian-kejadian yang mendatangkan kesialan, kalau bukan dibegal pencoleng, tentu bertemu dengan perempuan gila yang sedang marah-marah besar."

   Begitu mendengar ucapan tersebut, kontan saja amarah Nyo toakoh berkobar, tak tahan lagi dia lantas mendelik ke arah gadis itu sambil berseru.

   "Kau kau kau memaki siapa perempuan gila?"

   "Aku toh tidak mengatakan kau, bila kau merasa dirimu adalah seorang perempuan gila, apa pula sangkut pautnya denganku?"

   "Kau si budak cilik yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, aku tak akan ribut denganmu, cepat katakan siapakah orangtuamu!"

   "Bagus sekali, aku tidak memakimu perempuan gila, kau malah memakiku budak cilik. Buat apa kau tanyakan orangtuaku?"

   "Kalau dilihat tampangmu, agaknya belajar silat baru beberapa hari, kalau tidak masa suka mencari urusan dengan orang. Hmm! Aku menghendaki orangtuamu bisa baik-baik mendidik kau!"

   "Siapakah nama suamimu?"

   Pertanyaan ini diajukan sangat mendadak, dari nadanya tentu dia hendak mengatakan kalau suami Nyo toakoh tidak baik-baik mendidik istrinya, senada dengan ucapan Nyo toakoh yang mengatakan hendak menyuruh orang tuanya baik-baik mendidik gadis itu."Suamiku sudah lama mati, buat apa kau menanyakan hal ini?"

   Jawab Nyo toakoh dengan suara dalam.

   "Ooh, rupanya dia mati karena dibuat jengkel olehmu, tak aneh kalau begitu."

   Saking gusarnya Nyo toakoh sampai tak sanggup berkata- kata lagi, dia hanya menuding gadis itu sambil berseru.

   "Kau kau kau."

   "Kenapa aku?"

   Sahut gadis itu sambil tertawa. Nyo Yan sendiri pun merasa kalau gadis itu agak kelewat batas, maka tiba-tiba katanya.

   "Hujan telah berhenti, aku hendak pergi dulu. Nona, bersediakah kau melakukan perbuatan baik?"

   "Kau menginginkan aku untuk berbuat baik?" Terus terang saja, seperti apa yang kau duga semalam kami telah bertemu dengan penyamun. Dua hari beruntun ini aku bertemu penyamun terus, walaupun penyamun tak akan merampok pengemis, tapi aku sudah dibikin ketakutan olehnya. Nona, kepandaianmu sangat bagus, bersediakah kau mengantarku sampai di bawah bukit? Bagaimanapun kau toh akan pergi juga bukan?"

   Gadis itu segera tertawa cekikikan.

   "Kau bukan takut bertemu penyamun, kau takut bertemu dengan orang jahat. Cuma, kunasihatkan kepadamu lebih baik jangan pergi saja."

   "Kenapa?"

   "Kau tak ingin melihat keramaian? Aku tahu kau paling suka melihat keramaian, bukankah begitu? Kalau tidak, pada malam itu kau tak akan bernyali begitu besar.""Keramaian apa yang bisa dilihat di tempat ini?"

   Seru Nyo toakoh sambil menahan diri.

   "Budak cilik, kuanjurkan kepadamu lebih baik cepat-cepatlah pergi dari sini!"

   Sebetulnya setelah perkataan itu masih ada beberapa patah kata lagi, hanya kata-kata tersebut tidak sampai diutarakan, yakni "kalau tidak, bila aku sudah marah, kau akan merasakan penderitaan yang hebat. Cuma, walaupun tidak di utara kan, baik Nyo Yan maupun gadis tersebut dapat menangkap juga arti katanya.

   Gadis itu segera tertawa.

   "Sebetulnya aku hendak pergi, tapi setelah mendengar perkataanmu itu, aku justru tak akan pergi!"

   Nyo toakoh adalah seorang perempuan yang tinggi hati, walaupun dia mempunyai julukan Lak-jiu-Koan-im, akan tetapi kekejian tangannya tak pernah digunakan untuk menghadapi manusia yang tak ternama.

   Sekalipun demikian, tampaknya hawa amarahnya sekarang benar-benar sudah dikobarkan oleh tingkah laku gadis tersebut, tak tahan dia lantas berseru.

   "Budak liar, tampaknya kau memang bermaksud membuat aku marah? Jika kau berani berbicara swmbarangan lagi, aku tak akan peduli kau anak siapa, akan kuhajar adat lebih dulu!"

   "Dua malam berselang, ada seorang pencoleng yang mengatakan dengan garang hendak memberi pelajaran kepadaku, tahukah kau bagaimana akibatnya?"

   "Hmm, bagaimana?"

   Nyo toakoh mendengus.

   "Sebenarnya juga tidak apa-apa, aku hanya menempelengnya empat kali!"Kemarahan Nyo toakoh semakin memuncak, dengan suara berat dan dalam dia berseru.

   "Bocah perempuan, kau tahu siapakah aku?"

   Dia menduga orangtua atau guru nona ini kebanyakan adalah jago yang ternama di dalam dunia persilatan, kalau tidak gadis itu tak mungkin begitu kurang ajar, bila dugaannya tak salah, maka kendatipun gadis itu tidak tahu siapakah dia paling tidak nama Lak-jiu-Koan-im pasti pernah didengarnya dari mulut orangtua atau gurunya.

   Tidak menanti ia menyebutkan namanya, gadis itu telah berkata sambil tertawa, Tentu saja aku tahu siapakah kau, kalau tidak, aku pun tak akan datang kemari!"

   Jawaban ini sama sekali di luar dugaan Nyo toakoh, tanpa terasa timbul perasaan curiga dalam hatinya, dia lantas berkata.

   "Siapa yang mengutusmu datang mengacau?"

   "Belum ada seorang manusia pun di dunia ini yang bisa mengutus aku,"

   Sahut gadis itu dingin.

   "Kau sudah tahu siapakah aku, tapi berani datang menggangguku, tampaknya nyalimu memang tidak kecil! Cuma, aku ingin bertanya satu hal kepadamu, karena alasan apakah kau sengaja menggangguku dan membuat aku marah?"

   "Perkataan ini seharusnya terbalik, kau dulu yang membuat kemarahanku berkobar. Cuma aku tak akan mengajakmu ribut hanya disebabkan persoalan kecil itu saja, kau bertanya kepadaku mengapa datang mencarimu, soal ini aku sih dapat memberitahukan kepadamu secara terus terang."

   "Baik, coba katakan! Mengapa belum juga berbicara?"

   "Aku khawatir kau tak tahan!"Nyo toakoh segera mendengus.

   "Hmmm Selama hidup, entah berapa banyak badai dan gelombang besar yang telah kualami, hanya mengandalkan beberapa kata dari kau si budak ingusan belum dapat membuat aku merasakan apa-apa. Cepat katakan!"

   Gadis itu menatap lawannya sekejap, kemudian pelan-pelan berkata.

   "Aku dengar kau mempunyai julukan yang dinamakan orang sebagai Lak-jiu-Koan-im, apakah hal ini benar?"

   "Kalau benar kenapa?"

   "Aku datang karena julukanmu itu, sengaja kudatang kemari untuk melihat macam apakah manusia yang menamakan dirinya Lak-jiu-Koan-im itu?"

   "Ehmm rupanya ia datang karena mengagumi namaku,"

   Pikir Nyo toakoh dalam hati. Tanpa terasa nada suaranya jauh lebih melunak. Dia pun kemudian berkata.

   "Sekarang kau telah bertemu denganku, kenapa tidak pergi? Apakah masih ada persoalan yang hendak kau bicarakan denganku?"

   Gadis itu segera menghela napas panjang.

   "Aaai setelah berjumpa, aku merasa kecewa sekali!"

   "Apa yang kau kecewakan?** tanya Nyo toakoh keheranan.

   "Manusia punya nama, pohon punya bayangan, semula aku mengira seseorang yang berjuluk demikian pasti jauh lebih keren atau menyeramkan daripada orang aslinya, siapa tahu setelah perjumpaan hari ini, kau si Lak-jiu-Koan-im"

   Berbicara sampai di sini dia menggelengkan kepalanya berulang kali, sampai sekian lama kemudian ia melanjutkan.

   "Julukan Koan-im sudah pasti tak mengena, sedangkansebutan Lak-jiu betul belum sampai kucoba kelihayanmu, tapi aku rasa hal ini pasti hanya nama kosong belaka!"

   Sewaktu masih muda dulu, Nyo toakoh sesungguhnya adalah seorang gadis yang cantik dan kaya, bagi seorang perempuan yang di masa mudanya dulu pernah bangga karena kecantikannya, di usianya sekarang tentu suka jika orang memuji pandai merawat diri dan awet muda kendatipun di dalam kenyataan tak demikian.

   -bersambung ke

   Jilid II- ---ooo0dw0ooo---

   Jilid II Perempuan Cilik Mempermainkan Nyo toakoh Ia cantik dan tinggi hati, selama ini selalu menganggap dirinya paling top dan jempolan, oleh karena itu ketika ia tahu orang lain menyebutnya sebagai Lak-jiu-Koan-im (Koan-im bertangan keji), walaupun di wajahnya menunjukkan rasa tak senang, padahal di hati kecilnya merasa gembira tak karuan.Tapi sekarang, gadis itu menyindir dan mencemoohnya di hadapan orang banyak, peristiwa semacam ini boleh dibilang merupakan kejadian yang belum pernah dialami.

   Tapi justru hal ini telah melanggar pantangannya yang paling besar.

   Nyo toakoh yang sebenarnya sudah dibikin keki, semakin mendongkol lagi, sehingga akhirnya dia tak tahan dan meledaklah semua kemarahannya.

   "Budak ingusan, kurang ajar benar kau. Bila tak minta maaf kepadaku, hari ini aku persen tempelengan kepadamu!"

   Teriak Nyo toakoh dengan gusarnya. Mendengar ancaman tersebut, bukannya minta maaf, gadis itu malah berkata lagi sambil tertawa.

   "Aku memang ingin melihat sampai di manakah keganasan tangan keji dari Lak jiu-Koan-im. Bagus sekali, mari kita buktikan siapakah yang akan berhasil menampar."

   Dalam keadaan yang amat gusar, Nyo toakoh tak mempedulikan kedudukannya lagi, sambil mengayunkan tangannya dia mengirim sebuah tempelengan ke depan.

   Dengan cekatan gadis itu berkelebat ke samping dengan langkah yang enteng, secara manis dan meyakinkan dia berhasil meloloskan diri dari ayunan tangan Nyo toakoh, kemudian sambil tertawa katanya.

   "Kau gagal menampar aku, sekarang giliranku menampar kau!"

   Kelima jari tangannya dirapatkan lalu diayunkan ke depan, dengan suatu gerakan yang indah bagaikan kupu-kupu terbang di antara bunga, dia mengejar lawannya.

   Nyo Yan yang menonton jalannya pertarungan itu menjadi tertarik, dia seolah-olah lupa kalau orang yang hendak dihajar gadis itu adalah bibinya sendiri, tanpa terasa dia bersorak- sorai memberi semangat kepada gadis tersebutNyo toakoh adalah seorang ahli silat kawakan, menyaksikan jurus serangan yang dipergunakan gadis itu, ia terkejut sekali.

   Harus diketahui, dia berjuluk Lak-jiu-Koan-im, seperti yang dika-takan gadis itu, manusia punya nama, pohon punya bayangan, tentu saja dia tak boleh bertarung berdasarkan keberuntungan belaka.

   Oleh karena itu, tak peduli apakah dia ingin atau tidak ingin merenggut nyawa gadis itu, asal dia berhasil menempeleng gadis itu, maka tindakannya tersebut belum bisa dikatakan "keji"., Walaupun demikian, jarang sekali ada jago kenamaan dari dunia persilatan yang berhasil meloloskan diri dari kurungan telapak tangannya dengan begitu mudah.

   Tapi kenyataannya sekarang, bukan saja gadis itu dapat meloloskan diri dengan cepat bahkan serangan yang dilancarkan gadis itu segera mengancam urat nadi pada pergelangan tangannya, ketepatan serta kejituannya dalam melancarkan serangan benar-benar telah mencapai puncaknya.

   Nyo toakoh dapat melihat dalam ayunan tangannya yang tampak begitu enteng dan sederhana itu, sesungguhnya disertai tenaga dalam yang amat sempurna, seandainya sampai kena tersambar, niscaya lengannya itu akan menjadi cacat Semula Nyo toakoh masih tidak memandang sebelah mata gadis itu, tapi sekarang, ia tak berani memandang enteng lawannya lagi.

   Tampaknya kelima jari tangan gadis itu segera akan menyambar urat nadi pergelangan tangan Nyo toakoh, dalam detik yang terakhir inilah Nyo toakoh telah menggeserbadannya berpindah tempat sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan bersama-sama, kali ini dia telah mempergunakan jurus mematikan dari ilmu Kim-kong-lak- yang-jiu.

   Tadi, dalam serangan maut inilah The Hiong-toh terluka parah hingga menemui ajalnya.

   Nyo Yan dapat melihat jelas bahwa serangan yang dilancarkan Nyo toakoh sekarang telah mempergunakan tenaga sebesar tujuh bagian.

   Mungkin saja tenaga dalam yang dimiliki gadis itu masih berada di atas tenaga dalam The Hiong-toh, namun sanggupkah dia untuk menyambut datangnya serangan mematikan yang mahadahsyat itu? Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, tubuh si gadis sudah melayang ke sampingi dengan entengnya mengikuti sambaran angin pukulan lawan, kemudian tangannya menerobos di samping iga dan menghantam dari samping.

   Kemudian ketika ancaman itu sampai di tengah jalan, serangan pukulan berubah menjadi serangan mencengkeram, kali ini dia mencengkeram tulang pi-pa-kut di atas bahu Nyo toakoh.

   Tindakan yang dilakukan olehnya ini sama sekali di luar dugaan Nyo toakoh, tapi dia memang cukup berpengalaman, walaupun gugup tak sampai kalut, serangan yang semula berupa terjangan ke arah lawan secara tiba-tiba saja berhenti di tengah jalan lalu berdiri tak berkutik.

   "Bocah perempuan, kejam benar kau!"

   Bentaknya.Sambil membalikkan badan dia lancarkan pula sebuah cengkeraman maut.

   Agaknya gadis itu telah memperhitungkan semua gerak- gerik lawan dengan amat tepat dia tahu musuhnya harus berkelit dulu sebelum bisa melancarkan serangan balasan, dia pun tahu ilmu silat yang dimiliki Nyo toakoh, cengkeramannya tak nanti mengena secara jitu pada tulang pi-pa-kut lawannya, asalkan dia bisa dipaksa untuk berkelit, maka dia pun bisa turun tangan melancarkan serobotan guna meraih kemenangan.

   Siapa sangka, walaupun perhitungannya cukup manis, sayang kenyataannya tidak sesuai dengan yang diperhitungkan semula.

   Kelihayan ilmu silat yang dimiliki Nyo toakoh ternyata jauh di atas dugaannya, bukan begitu saja, bahkan tenaganya sudah mencapai tingkatan dapat ditarik dan digunakan menurut kehendak hatinya.

   Bukan saja dia menghindarkan dirivmalah tubuhnya bisa dihentikan secara tiba-tiba sambil melancarkan serangan balasan.

   Pertarungan antara jago-jago tak boleh ada selisih sedikit pun jua, cengkeraman yang dilancarkaan gadis itu secara kebetulan sekali membentur serangan balasan dari Nyo toakoh, padahal ketika itu Nyo toakoh melancarkan suatu serangan balasan yang berbahaya dengan menggunakan ilmu Ki-na-jiu-hoat, seandainya sampai saling membentur, dapat dipastikan kelima jari tangan gadis itu akan digencet sampai remuk.Nyo Yan terperanjat sekali setelah menyaksikan kejadian itu, pada saat ini kendatipun dia ingin turun tangan membantu si gadis itu pun sudah tak sempat lagi.

   "Blaam!"

   Di tengah benturan yang amat keras, dua sosok bayangan manusia saling berpisah.

   Ternyata di saat yang amat kritis, secara tiba-tiba gadis itu berganti jurus lagi, dari serangan mencengkeram kini berubah menjadi serangan telapak tangan, bagaikan bacokan golok dia membabat ke bawah dengan jurus Sia-ciat-oh (Membacok Miring Buah Lobak).

   Bacokan maut ini masih tetap tertuju ke tulang pi-pa-kut Nyo toa-koh.

   Serangan yang dipergunakan gadis itu adalah serangan berhawa dingin, andaikata Nyo toakoh masih tetap melanjutkan serangannya dengan ilmu Ki-na-jiu-hoat, niscaya akibatnya kedua belah pihak akan sama-sama terluka-.

   Mungkin saja dia dapat mematahkan satu atau dua biji jari tangan gadis itu, akan tetapi tulang pi-pa-kut-nya juga pasti akan hancur.

   Sebagai seorang yang ternama, sudah barang tentu Nyo toakoh enggan untuk beradu jiwa dengan seorang manusia tak ternama.

   Ketika ingatan tersebut melintas dalam benaknya, dia bertekad untuk menggunakan siasat melawan siasat untuk beradu kekuatan dengan gadis itu.

   "Blaaam!"

   Ketika sepasang telapak tangan saling beradu, segera timbullah suara yang amat keras, Nyo toakoh maupun gadis itu sama-sama terdesak mundur sejauh tiga langkah sebelum dapat berdiri tegak.Berdebar keras Nyo Yan menyaksikan kesemuanya itu, setelah hasil bentrokan itu diketahui ia baru merasa lega, pikirnya.

   "Bibi memang tak malu disebut Lak-jiu-Koan-im! Tapi kelihatannya gadis ini pun tak akan sampai menderita kekalahan di tangannya."

   Rupanya di dasar hatinya dia lebih mengkhawatirkan gadis itu daripada bibinya, namun dia pun juga tidak menginginkan kedua belah pihak sama-sama menderita luka.

   Sepintas lalu tampaknya kedua belah pihak sama-sama mundur tiga langkah dan keadaan seimbang, padahal gadis itu menyerang lebih duluan sedangkan Nyo toakoh dipaksa untuk bertahan hingga keadaan menjadi seimbang, hingga kalau berbicara tentang tenaga dalam, dia masih lebih unggul satu tingkat.

   Gadis itu segera tertawa, ujarnya.

   "Tenaga dalammu masih terhitung lumayan juga, tapi kalau dibilang bertangan keji, aku rasa julukan tersebut terlalu berlebih-lebihan. Bagaimana? Apakah kau masih ingin memberi hadiah sebuah tempelengan kepadaku?"

   Walaupun nadanya sudah jauh lebih lunak, akan tetapi gayanya masih berlebihan, seakan-akan seorang cianpwee yang sedang memuji angkatan muda saja.

   Nyo Yan amat geli dan ingin tertawa, namun dia pun tak berani tertawa keras.

   Sebaliknya Nyo toakoh semakin naik darah setelah mendengar perkataan itu.

   Dia adalah seorang perempuan yang tinggi hati, kenyataan yang mendudukkannya seimbang dengan gadis tersebut sudah dirasakan sebagai suatu kejadian yang memalukanapalagi setelah mendengarkan perkataan si nona tersebut, bisa dibayangkan betapa marahnya dia.

   "Hmm, bocah muda, rupanya kau sudah tahu takut. Asai kau bersedia menyembah tiga kali di hadapanku sambil meminta maaf aku tak akan menampar wajahmu!"

   Bentak Nyo toakoh.

   Andaikan Nyo toakoh bersedia mengucapkan beberapa patah kata yang enak didengar, sebenarnya gadis itu sudah bersiap sedia untuk mengakhiri pertarungan tersebut. Sebagai seorang gadis yang mempunyai rasa ingin menang jauh lebih besar daripada Nyo toakoh, tentu saja ia kembali marah setelah mendengar ucapan itu, otomatis dia pun tak akan mengakhiri pertarungan tersebut dengan begitu saja.

   Dengan suara dingin dia-lantas berkata.

   Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku hanya mengatakan kalau ilmu silatmu masih termasuk lumayan, kau anggap aku betul-betul takut kepadamu?"

   Sesudah tertawa dingin, ia melanjutkan.

   "Sebenarnya aku hendak menempeleng empat kali, asalkan kau pun bersedia menyembah kepadaku, satu kali menyembah akan kukurangi satu kali tempelengan. Nah cepat katakan, kau hendak menyembah berapa kali padaku?"

   Hawa amarah Nyo toakoh benar-benar sudah mencapai puncaknya, dengan suara menggeledek dia segera membentak keras.

   "Budak liar, tampaknya kamu sudah bosan hidup!"

   Di tengah bentakan tersebut, dengan jurus Pay-san-lian- ciang (Menyembah Bukit Pukulan Berantai), ia melepaskan sebuah pukulan dengan disertai tenaga dalam sebesar sembilan bagian.Begitu dahsyat hembusan angin pukulan itu hingga membuat ujung baju si nona itu berkibar tiada hentinya.

   Dengan cepat dia melambung ke angkasa, permainan tangannya berubah dan ia mulai berputar di sekeliling tubuh lawannya.

   Tampak tubuhnya bergerak bagaikan awan, langkahnya enteng sekali, sebentar bergerak ke depan sebentar mundur ke belakang, sebentar ke kiri dan ke kanan, gerakan tubuhnya sangat indah.

   Walaupun Nyo toakoh sudah melancarkan serangan dengan tenaga dahsyat, akan tetapi semua ancaman itu tak ada yang berhasil mengenai tubuhnya, hal ini membuatnya apa boleh buat.

   Dalam waktu singkat, dari posisi bertahan gadis itu mulai melancarkan serangan gencar, tampak dari empat penjuru bermunculan beribu-ribu bayangan telapak tangan yang melayang turun datang bagaikan daun kering yang berguguran.

   Sedemikian hebatnya hingga membuat pandangan mata orang menjadi kabur dan kepala pusing.

   Semakin memandang Nyo Yan merasa makin terkejut bercampur keheranan, pikirnya.

   "Dibandingkan dengan ilmu pukulan Lok-eng-tang-hoat yang diajarkan suhu kepadaku, meski ilmu pukulannya tidak mirip secara keseluruhan, namun teori dan intisarinya sama. Mungkinkah kejadian ini begini kebetulan dan dia mempunyai hubungan yang erat dengan orang yang harus kutemukan sesuai dengan pesan suhu?"

   Nyo toakoh sudah didesak dari posisi menyerang menjadi posisi bertahan, untung saja tenaga dalamnya lebih sempurna ketimbang gadis itu sehingga walaupun serangan si nonamempunyai kombinasi yang beratus-ratus banyaknya, toh se- rangan tersebut tiada yang berhasil menembus pertahanannya.

   Tanpa terasa pertarungan telah berlangsung hingga seratus jurus lebih, kedua belah pihak merasa makin lama makin payah.

   Jurus serangan gadis itu masih bertaburan tiada hentinya, gerakan tubuhnya juga sebentar cepat sebentar lambat, kesemuanya itu mencakup intisari ilmu sifat yang mengutamakan kecepatan di balik kelambanan, kelincahan di balik keringanan, betul-betul luar biasa sekali, membuat Nyo toakoh kepayahan.

   Bagaimanapun juga tenaga dalamnya memang masih kalah setingkat dibandingkan Nyo toakoh, walaupun dia berusaha keras untuk menghindari adu kekerasan dengan lawannya, tapi di bawah tekanan angin pukulan yang bertubi-tubi, napasnya toh menjadi sesak juga.

   Dalam hati dia lantas berpikir.

   "Bila pertarungan ini dilanjutkan, tenaga dalamku pasti akan bertambah lemah, bagaimana mungkin aku bisa mengalahkan dirinya?"

   Dasar rasa ingin menangnya memang besar, maka menggunakan kesempatan di kala ia masih mampu untuk Melancarkan serangan, dia pergencar serangannya bertubi- tubi.

   Sebenarnya Nyo toakoh dapat menggunakan taktik mengulur waktu untuk beradu tenaga dalam dengannya, bila hal ini dilakukan maka kemenangan sudah pasti berada di pihaknya.Tapi sayang, seperti apa yang dikatakan orang kuno, orang yang terlibat tidak jelas, orang yang menonton dapat melihat kesemuanya itu dengan jelas.

   Dihadapkan pada serangan tipuan dan kenyataan yang disertai beratus-ratus perubahan dari si nona, akhirnya dia dibuat kebingungan setengah mati, hal ini membuat hatinya makin lama semakin terperanjat dan tidak lagi bisa melihat jelas gerak serangan gadis itu.

   Padahal apa yang dilakukan sekarang tak lebih hanya berusaha untuk menutupi kekurangannya dalam tenaga dalam, oleh karena itu dia pun sama sekali tak menduga kalau kunci dari suatu kemenangan adalah mengandalkan kelebihan yang dimilikinya untuk melawan kelemahan musuh.

   Selain itu, masih ada satu hal yang sangat merugikan Nyo toakoh, yakni kedudukannya dalam dunia persilatan.

   Dia itu sudah ternama selama puluhan tahun lamanya dalam dunia persilatan, setiap orang tahu kalau dia adalah Lak-jiu-Koan-im yang ditakuti setiap manusia, kenyataan yang tertera di depan mata sekarang, walaupun sudah bertarung ratusan jurus belum berhasil juga mengalahkan seorang bocah perempuan, hal ini sudah dianggap merupakan suatu kejadian yang memalukan.

   Bila dia diharuskan mengambil posisi untuk bertahan terus, entah sampai kapan baru bisa mengubah sistem pertahanan menjadi serangan dan bagaimana mungkin dia tak akan kehilangan muka di hadapan kedua orang keponakan muridnya? Lama kelamaan Nyo toakoh mulai tidak kuasa menahan diri, sambil mengertak gigi, secara beruntun dia melancarkan tigabuah serangan berantai, kemudian bergerak maju ke depan dan saling berebut menyerang dengan gadis itu.

   Gadis itu memang berharap kalau lawannya menyerang dengan bernafsu, sambil tertawa lantas berseru.

   "Bagus sekali, apakah kau ingin cepat-cepat merasakan tam-paranku?"

   Di tengah gelak tertawa yang amat nyaring, tubuhnya berputar makin lama semakin cepat, sekejap kemudian empat arah delapan penjuru sudah diliputi oleh bayangan tubuhnya.

   Nyo toakoh benar-benar sudah dibikin pusing kepalanya sampai berkunang-kunang matanya, diam-diam ia mengeluh.

   Tapi dalam keadaan demikian, mustahil baginya untuk mengundurkan diri dan kembali ke posisi bertahan.

   Di antara berkunang-kunangnya mata, mendadak Nyo toakoh seperti memperoleh firasat yang aneh sekali, ia merasa gadis yang berada di hadapannya seakan-akan mirip sekali dengan seseorang yang cukup dikenal olehnya.

   Kenangan yang telah berlangsung duapuluh tahun berselang tiba-tiba saja muncul kembali di dalam benaknya.

   Ia telah mengusir istri adiknya, Hun Ci-Io, dari rumah, tapi demi keutuhan darah daging keluarga Nyo, dia melarang pergi membawa putranya.

   Ketika itu dia masih belum tahu kalau putra Hun Ci-lo yakni Bcng Hoa bukan darah dagingnya, dia pun tidak tahu kalau pada waktu itu Hun Ci-lo sedang berbadan dua.

   Hun Ci-lo enggan kehilangan putra kesayangannya sehingga terjadi pertarungan dalam hutan pohon Jiu.

   Tapi akhirnya lantaran sedang mengandung Nyo Yan, perempuan tersebut tak mampu menandinginya dan Bcng Hoa kena dirampas kembali.Kemudian setelah melewati pelbagai kejadian berliku-liku, setelah k emanan Hun Ci-lo selama beberapa tahun Beng Hoa baru dapat mengetahui asal-usulnya dan berjumpa dengan ayahnya.

   Begitu kenangan selama dua-puluh tahun melintas kembali dalam benaknya, entah karena tekanan batin atau khayalan belaka, tiba-tiba Nyo toakoh merasa gadis yang berada di hadapannya sekarang agak mirip dengan bayangan Hun Ci-lo di masa lalu.

   Bahkan boleh dibilang kegagahannya hampir serupa.

   Alasan yang membuat dia timbul perasaan aneh semacam itu bukan cuma kegagahannya saja yang mirip, yang terutama ilmu pukulan gadis itu begitu enteng dan lembut, cepat, persis seperti ilmu pukulan yang digunakan Hun Ci-lo sewaktu menghadapi dirinya tempo dulu walaupun jurus serangannya sama sekali berbeda.

   Akibat dari pertarungan melawan dirinya di hutan pohon liu tempo hari, hawa murni Hun Ci-lo menderita kerugian besar.

   Kemudian Hun Ci-lo tewas dalam pertempuran di Siau-kim-j wan, walaupun jumlah musuh yang banyak merupakan alasan yang terutama, tapi kerusakan hawa muminya sehabis bersalin merupakan salah satu alasan yang penting.

   Betul Nyo toakoh bergelar Lak-jiu-Koan-im, tapi setiap kali teringat akan kemarian dari Hun Ci-lo, tak urung timbul juga perasaan menyesal dalam hatinya.

   Meskipun aku tidak membunuh Pak-jin, Pak-jin mati lantaran aku.

   Ucapan tersebut dirasakannya cocok sekali dengan keadaan yang dihadapinya, dia sadar kalau perbuatan- nya dulu terhadap Hun Ci-lo memang sedikit kelewatan.Kini dia dipaksa gadis itu sehingga kalang kabut tak keruan, ilmu pukulan si nona yang sukar diduga serta sikap dingin dan kaku yang dipancarkan wajahnya membuat dia teringat kembali Hun Ci-lo di masa lalu.

   Begitu kenangan pada duapuluh tahun berselang melintas di dalam benaknya, tanpa terasa Nyo toakoh menghela napas panjang, pikirnya.

   "Sudah setengah abad lamanya aku malang melintang dalam dunia persilatan, entah berapa banyak jago kenamaan menderita kekalahan di tanganku, tapi kenyataannya sekarang, untuk mengalahkan seorang budak ingusan pun tak sanggup, aaai mungkin hal ini suatu pem- balasan bagi perbuatanku."

   Bila seorang jago tangguh sedang bertempur mana boleh pikirannya bercabang? Nyo toakoh yang pada dasarnya sudah berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan, kini semakin runyam lagi keadaannya, kontan saja memberi kesempatan kepada musuhnya untuk memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya.

   "Bagus sekali mari kita lihat siapa yang bakal kena tempeleng?"

   Seru gadis itu sambil tertawa dingin.

   Dalam waktu singkat empat arah delapan penjuru sudah dipenuhi oleh bayangan tubuhnya, seluruh tubuh Nyo toakoh sudah berada dalam kepungan bayangan telapak tangannya.

   Kemudian dalam suatu kesempatan, secepat sambaran kilat dia menghantam ke tubuh Nyo toakoh.

   Di antara berkelebatnya bayangan telapak tangan, dalam posisi terkurang seperti itu, tampaknya sulit buat Nyo toakoh untuk meloloskan diri dari tamparan musuh.

   Di luar dugaan Nyo toakoh, tiba-tiba terdengar gadis itu mendengus pelan, lalu telapak tangannya menyambar lewat disisi kepala Nyo toakoh, ternyata tamparan tersebut sama sekali tidak mendatangkan hasil apa-apa.

   Dengan ilmu silat si nona yang begitu lihay, apalagi dia amat bernafsu untuk menampar Nyo toakoh, bagaimana mungkin tamparannya tidak mendatangkan hasil? Ternyata Nyo Yan telah mengadakan persiapan, sejak tadi ia sudah menyiapkan sebutir lumpur yang disembunyikan di balik telapak tangannya.

   Ketika dilihatnya Nyo toakoh berada dalam keadaan bahaya, sebutir peluru lumpur segera disam-bitkan ke depan.

   Sekalipun ia tidak menyukai bibinya, tapi Nyo toakoh toh merupakan bibinya juga.

   Mana mungkin dia akan membiarkan bibinya dihina orang begitu saja? Si nona itu sendiri telah curiga kalau Nyo Yan mengerti ilmu silat, dia sama sekali tidak menyangka kalau ilmu silatnya telah mencapai puncak kesempurnaan, lebih-lebih lagi tidak menyangka kalau dalam keadaan seperti ini dia akan turun tangan membantu lawannya.

   Secara telak peluru tanah itu menghajar di atas pergelangan tangan gadis tersebut.

   Peluru tanah yang lebih kecil dari kacang hijau itu segera hancur menjadi bubuk.

   Dalam sambitannya itu Nyo Yan sama sekali tidak menyertakan tenaga dalamnya, tapi sambitan tersebut dengan tepat menghajar jalan darah Sau-yang-keng-meh, hal ini membuat tubuhnya bergetar keras dan serangan itu pun mengenai sasaran kosong.

   Gerakan tubuh kedua belah pihak sama-sama dilakukan dengan kecepatan luar biasa, Nyo toakoh masih belum tahuapa yang telah terjadi, telapak tangannya segera berbalik menghantam ke tubuh gadis tersebut.

   Tentu saja mimpi pun Nyo toakoh tidak menyangka kalau seorang pengemis dekil mempunyai kepandaian untuk membantunya Dalam serangan belasan yang dilancarkan terhadap gadis tersebut, dia telah menyertakan segenap tenaga dalam yang dimilikinya.

   Dia sama sekali tidak berniat untuk merenggut nyawa gadis itu, tapi dalam keadaan yang kritis, tak heran kalau serangan tersebut dilancarkan dengan sepenuh tenaga.

   Belum sampai serangan tadi menghantam tubuh gadis itu, angin pukulan keras telah menggetarkan si nona sehingga tak sanggup berdiri tegak lagi.

   Oleh karena perubahan yang sama sekali di luar dugaan, dalam terkejutnya gadis itu tak sempat lagi menghadapi serangan balasan lawan yang dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat itu.

   Kalau tadi, pukulan yang dilancarkan si nona terhadap Nyo toakoh paling banter hanya akan menyebabkan tamparan belaka, maka bila si nona terkena serangan Nyo toakoh sekarang, mungkin dia akan terluka di ujung telapak tangannya.

   Tentu saja Nyo Yan pun tak akan membiarkan si gadis itu tewas di tangan lawannya, maka sebutir peluru tanah kembali disambitkan ke depan.

   Kali ini serangan tersebut menghajar di atas jalan darah huan-tiau-hiat pada lutut Nyo toakoh.Begitu terkena serangan, Nyo toakoh menjadi sempoyongan, bukan saja serangannya mengenai sasaran kosong, bahkan hampir saja jatuh terjerembab.

   Sambil tertawa gadis itu segera berseru, Tak usah banyak adat, kalau toh kau memang berhasrat untuk minta maaf, baiklah, kita urungkan pertarungan berikutnya."

   Selesai berkata dia lantas melompat keluar dari pintu kuil dan berlalu dari situ, orang-orang yang ada dalam kuil hanya mendengar suara tertawanya yang merdu bergema tiada hentinya, sedangkan bayangan tubuhnya sama sekali tidak tampak.

   Ketika sempoyongan tadi, gaya Nyo toakoh memang sedikit mirip orang yang sedang akan berlutut.

   Gadis itu sengaja mengatakan gerakan yang hampir jatuh tadi sebagai permintaan maaf, hal ini benar-benar membuatnya menjadi teramat gusar sehingga mau tertawa tak bisa, menangis pun tak dapat.

   Pelan-pelan rasa kagetnya berkurang, apalagi bila terbayang keadaan yang dialaminya tadi, sedikit banyak agak keder hatinya.

   Bila berbicara menurut wataknya, andaikata dia sampai benar-benar kena ditampar oleh gadis itu, sudah dapat dipastikan dia akan bunuh diri.

   Terbayang bagaimana kalau dia baru saja lolos dari pintu kematian, ucapan dari gadis itu tentu saja tidak dianggapnya.

   Sudah barang tentu dia pun sekarang sudah tahu kalau orang yang telah menyelamatkan wajahnya itu tak lain adalah "pengemis cilik"

   Yang dekil itu.Tapi pengemis itu telah membantunya, juga membantu gadis itu, kenyataan mana membuat pikirannya menjadi bimbang dan penuh diliputi keraguan, ia tak tahu harus berterima kasih ataukah harus mencaci maki pengemis tersebut.

   Setelah berhasil menenangkan hatinya, dengan mata melotot serunya kepada Nyo Yan.

   "Kau kau sebenarnya adalah."

   Nyo Yan menepuk-nepuk debu dari badannya lalu bangkit berdiri, sahutnya segera.

   "Kau tak usah ambil peduli siapakah aku, aku hanya ingin memberitahukan satu kabar baik kepadamu."

   "Kabar apa?"

   Nyo toakoh tertegun.

   "Bukankah putramu bernama Ki See-kiat? Dia belum mati, carilah dia di Lor Anki!"

   Walaupun ucapan tersebut diutarakan sangat lambat, namun gerakan tubuhnya cepat sekali.

   Ketika kata terakhir diutarakan, suaranya berasal setengah K dari tempat itu.

   Nyo toakoh adalah seorang jago silat kawakan, dia dapat mendengar kalau Nyo Yan berbicara dengan ilmu menyampaikan suara yang merupakan kepandaian tingkat tinggi.

   Meski ilmu tersebut dapat ia pergunakan, tapi dia yakin kemampuannya belum dapat memadai Nyo Yan.

   Ilmu melepaskan senjata rahasia yang dipakai Nyo Yan untuk mc-nyambitkan dua biji peluru tanah tadi betul-betul Iihay, walaupun kepandaian tersebut cukup membuat Nyo toakoh merasa terkejut, tapi bila dibandingkan satu sama lainnya, maka berlatih menyambit senjata rahasia jauh lebih mudah daripada mempelajari tenaga dalamSeorang pengemis yang berusia duapuluh tahun ternyata memiliki tenaga dalam yang melebihi tenaga dalam hasil latihan selama puluhan tahun, kenyataan ini bukan saja membuatnya merasa terkejut, bahkan boleh dibilang terkesiap.

   Tanpa terasa ia menarik napas panjang, pikirnya.

   "Keadaanku sekarang benar-benar ibaratnya si nenek berusia delapanpuluh tahun yang dipecundangi bocah cilik, aku benar- benar sudah salah lihat! Ilmu silat yang dimiliki pengemis cilik itu boleh dibilang sejajar dengan ilmu silat jago kelas satu di dunia ini, tapi siapa, siapakah dia?"

   Song Peng-ci dan Oh Lian-kui berdua seakan-akan baru sadar dari impiannya, dengan cepat mereka menyadari kenyataan yang terbentang di depan mata. Terdengar Song Peng-ci berkata.

   "Sukoh, ilmu Lak-yang-jiu milikmu benar-benar sudah mencapai puncaknya, bukan cuma membuat budak cilik itu melarikan diri terbirit-birit bahkan membuat tecu sekalian terbuka matanya. Entah berapa tahun lagi kami mesti berlatih untuk dapat mencapai tingkat kau orang tua?"

   Walaupun tak berniat Untuk membaiki sukoh-nya.

   ucapan tersebut boleh dibilang benar-benar muncul dan dalam sanubari mereka.

   Berbicara soal ilmu Kim-kong-lak-yang-jiu dari keluarga Nyo, suhu-nya Nyo Bok memang tak pernah bisa melebihi kemampuan enci-nya.

   Sejak dilahirkan Nyo toa-koh tak pernah mengalami pertarungan yang begitu seru, mungkin pertarungan tadi merupakan pertarungan yang paling memeras tenaga baginya, hal ini membuatnya mau tak mau harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk bertahan.Mau jilat pantat ternyata terjilat sampai ke kaki, sambil menarik muka Nyo toakoh segera melotot sekejap ke arahnya, kemudian katanya.

   "Tak usah banyak bicara lagi, baik-baiki ah berbaring untuk merawat lukamu itu."

   "Sukoh,"

   Ujar Oh Lian-kui.

   "walaupun pengemis cilik ku tidak diketahui siapa, tapi apa yang diucapkan tentu bukan kata-kata bohong belaka, dia telah mengutarakan jejak See- kiat sute, mengapa kita tak mempercayai saja perkataannya dan mencari berita ke Lor Anki."

   "Ehm, apa yang diucapkan pengemis kecil itu memang dapat dipercaya, cuma kalian mesti merawat luka yang kalian derita itu selama dua hari lagi."

   "Sukoh,"

   Ucap Song Peng-ci pula.

   "mengapa kau tidak berangkat dulu ke Lor Anki untuk mencari sute, sedang kami berdua asal jalan darah yang tertotok sudah bebas, rasanya kau orang tua pun tak usah mengkhawatirkan kami."

   Sekali lagi Nyo toakoh mendelik sekejap ke arahnya dengan gemas, kemudian berkata.

   "Kau betul-betul pikun, jelek-jelek kalian berdua adalah keponakan muridku, kalau aku tidak mengkhawatirkan keselamatan kalian, siapa lagi yang akan mengkhawatirkan kalian berdua? Sebelum luka yang kalian derita sembuh kembali, masa aku tega meninggalkan kalian begitu saja? Andaikata sampai bertemu lagi dengan manusia jahanam macam The Hiong-toh, sanggupkah kalian menghadapinya? Selain itu, selama dua hari belakangan ini apakah kalian bisa merawat diri kalian sendiri? Gara-gara anak sendiri masa tak menggubris mati hidup dua orang keponakan murid sendui, kau anggap perbuatan semacam ini bisa kulakukan? Kalau bukan melihat kau sedang sakit, aku sudah persen beberapa gaplokan kepadamu!"Setelah berhenti sebentar, kembali dia menambahkan.

   "Betul di dunia ini tiada seorang ibu yang tidak memikirkan keselamatan anaknya, tapi bagamanapun juga aku toh sudah menunggu selama dua tahun lebih, apalah artinya dua hari lagi? Sudah, kau tak usah banyak bicara lagi, berbaringlah dengan tenang di sana untuk merawat luka yang kalian derita!"

   Walaupun didamprat habis-habisan, namun Peng-ci sama sekali tidak menjadi marah, malah sebaliknya dia lantas berpikir.

   "Walaupun sepintas lalu sukoh tampaknya galak dan jahat, ternyata ia mempunyai hati yang hangat Aku mengira dia selalu muak dan benci kepadaku, sungguh tak kusangka dia menganggap diriku seperti keponakan sendiri."

   Saking terharunya tanpa terasa titik air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya. Terima kasih banyak sukoh!"

   Bisiknya kemudian sambil menahan sesenggukan. Nyo toakoh segera berkerut kening, serunya lagi.

   "Sudah begini besar masa masih mengucurkan air mata, apakah kau tidak malu? Kusuruh kau jangan banyak berbicara, mengapa kau malah tidak menuruti perkataanku?"

   Selesai berkata ia tidak menggubris mereka lagi, seorang diri nenek itu berdiri di depan pintu sambil memandang kejauhan sana. Wajahnya tampak bimbang dan kosong, seolah-olah sedang memikirkan suatu masalah yang pelik.

   "Apakah dia sedang memikirkan tentang putranya?"

   Pikir Song Peng-ci di hati.

   "Setelah mencari selama dua tahun, sekarang baru pertama kalinya mendengar kabar tentang putranya, tapi orang yang menyampaikan kabar itu justruseorang pengemis cilik yang tidak diketahui asal-usulnya, kenyataan ini bagaimana mungkin tidak membuatnya merasa kaget bercampur girang?"

   Tapi apa yang diduga Song Peng-ci kali ini keliru besar. Kali ini dia bukan sedang memikirkan soal putranya, yang dibayangkan adalah Hun Ci-lo dan pengemis kecil itu.

   "Heran, mengapa dari badan pengemis cilik ini aku seakan- akan menemukan kembali bayangan Hun Ci-lo, sebenarnya siapakah dia;..? Mengapa aku seperti mengenalnya beberapa bagian?"

   Sudah barang tentu dia tak berani mencurigai pengemis kecil ini putra Hun Ci-lo. Sewaktu Nyo Yan berlari meninggalkan kuil Sam-sin-bio, dalam benaknya pun sedang memikirkan seseorang.

   "Perempuan yang aneh itu mungkin sudah di bawah bukit sekarang? Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya tidak berada di bawah kepandaianku, mungkin aku tak akan berhasil menyusul dirinya."

   Entah mengapa, walaupun dia merasa agak takut menghadapi si gembong iblis perempuan yang marah gembira tak menentu itu, dia selalu berharap dapat berjumpa dengannya.

   Dalam anggapannya dia sudah tak mungkin bertemu lagi dengan gadis tersebut, siapa tahu belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, mendadak pandangan matanya menjadi silau, bukankah orang yang sedang duduk di atas batu di depan sana adalah gadis yang sedang dipikirkannya?Gadis itu sedang memandang ke arahnya dengan wajah senyum tak senyum, seakan-akan dia sedang berkata begini.

   "Aku sudah tahu kalau kau si bocah keparat akan menyusulku kemari!"

   
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nyo Yan merasa agak rikuh, tapi dalam keadaan begini terpaksa dia harus maju ke depan untuk menjura, katanya tergagap.

   "Nona aku aku"

   Dia ingin menjelaskan persoalan sambitan butiran lumpur tadi, tapi untuk sesaat tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan tersebut Kontan saja nona itu tertawa cekikikan.

   "Kau kenapa? Heeh heeh sungguh tak kusangka kau si pengemis kecil pandai sekali membohongi orang, katanya tak pandai bersilat, aku betul-betul kena tipu mentah-mentah. Hmm aku lihat ilmu silatmu bagus sekali, siapa yang mengaj arkanmu?"

   "Dalam peristiwa tadi harap nona jangan jangan."

   Kata "marah"

   Belum terucapkan keluar, nona itu sudah tertawa cekikikan lagi.

   Sambil tertawa nona itu berkata, Tadi, secara diam-diam kau telah membantu Lak-jiu-Koan-im, lalu membantu pula diriku.

   Walaupun kau menghajarku lebih dulu, tapi kau toh membantu aku pula untuk menghindarkan diri dari sebuah serangan maut dari Lak-jiu-Koan-im.

   Jangan khawatir aku bukan seorang yang berjiwa sempit anggap saja urusan itu selesai sampai di sini."

   "Ooh tak kusangka nona adalah seorang yang berhati besar,"

   Kata Nyo Yan seperti terlepas dari beban berat.

   "Harap kau suka memaafkan kelancanganku tadi. Aku bernama Nyo Yan, tolong tanya siapakah nama nona?""Kau ingin bersahabat denganku?"

   Kembali nona itu menunjukkan sikap senyum tak senyum Merah padam selembar wajah Nyo Yan karena jengah.

   "Aku tak berani menilai tinggi diriku cuma cuma kita toh telah berjumpa."

   "Hitung-hitung masih berjodoh bukan?"

   Tukas si nona sambil tertawa.

   "Cuma aku dan kau masih belum bisa dianggap sebagai teman!"

   Paras muka Nyo Yan makin memerah, buru-buru dia mengalihkan pembicaraan ke soal lain.

   "Aku tahu. Bila nona tidak marah kepadaku atas kelancanganku tadi, ya sudahlah."

   "Aku bukan bermaksud demikian, kau jangan pergi dulu!"

   "Nona masih ada petunjuk apa lagi?"

   Tanya Nyo Yan sambil menghentikan langkahnya.

   "Aku toh sudah bilang, dalam urusan tadi aku tak akan ribut lagi denganmu Kau telah membantuku, juga membantu Lak- jiu-Koan-im, aku tidak berhutang budi kepadamu, pun tak akan mendendam kepadamu. Walaupun sekarang aku belum bisa menganggap kau sebagai teman, aku pun tidak menganggapmu sebagai musuh. Tapi kau seharusnya mengetahui tabiatku bukan?"

   Nyo Yan jadi tertegun.

   "Aku tidak memahami maksud nona,"

   Katanya.

   "Terus terang saja, aku belum memahami tabiatmu."

   Walaupun Nyo Yan sesungguhnya bukanlah seorang yang pandai bicara, dia pun bukan terhitung orang yang bebal dan kaku dalam pembicaraan.

   Tapi oleh karena pertanyaan darigadis itu diajukan terlalu mendadak, terpaksa dia pun harus menjawab dengan nada ke-bodoh-bodohan.

   Tanpa terasa gadis itu segera tertawa geli.

   "Baiklah, kalau toh kau telah berterus terang, aku. pun akan berterus terang pula padamu. Aku paling suka mencari seseorang yang berilmu tinggi untuk dicoba kepandaiannya, sayang jago lihay yang kujumpai selama ini, termasuk juga Lak-jiu-Koan-im agaknya masih jauh dari kenyataan dan bernama kosong belaka. Siapa tahu aku telah berjumpa denganmu. Sekarang, maka bagaimanapun juga kau harus bertanding melawanku"

   "Nona, aku tahu kalau ilmu silatku masih belum sanggup untuk menandingi dirimu, lebih baik tak usah dicoba lagi!"

   Tiba-tiba gadis itu menarik senyumannya, kemudian sambil menarik muka katanya.

   "Tadi aku masih memuji kejujuranmu, siapa tahu kau pun tak jujur. Apakah kau memandang remeh diriku lantaran aku tak sanggup menghindarkan diri dari sambitan lumpurmu tadi? Huh, di luarnya saja kau mengatakan kepandaianmu tidak bisa mengalahkan diriku, siapa tahu kalau di dalam hati kecilmu kau sedang berpikir.

   "Budak ini betul-betul seorang manusia yang tak tahu diri. Aku tahu kau rikuh untuk mengutarakannya keluar."

   "Aku tak pernah berpendapat demikian,"

   Buru-buru Nyo Yan berseru.

   "Kalau memang begitu, mengapa kau enggan bertanding melawan diriku? Jika kau tak berani beradu kepandaian denganku, hal itu berarti kau tidak memandang sebelah mata kepadaku!"

   Nyo Yan segera menghela napas panjang."Aaai kalau begitu kita bertarung dalam batas saling mencolek saja, silahkan nona mulai melancarkan seranganmu!"

   "Cabut keluar pedangmu!"

   "Haah. kita mesti beradu senjata tajam?"

   Nyo Yan semakin terperanjat.

   "Bukankah kau menantangku untuk melancarkan serangan? Kalau dilihat dari kemampuanmu melepaskan peluru lumpur, biasa kuketahui kalau tenaga dalammu masih jauh melebihi diriku, jelas aku bakal kalah jika mesti bertarung dengan tangan kosong. Bila kau ada minat untuk bersahabat denganku, tentunya kau tidak ingin mencari keuntungan dari diriku bukan? Maka bagaimanapun juga kita harus beradu pedang!"

   "Alasan yang dibuat-buat"

   Ini kontan membuat Nyo Yan tersudut dan tak mampu untuk menolak lagi, terpaksa dia harus meloloskan pedangnya seraya berkata.

   "Silakan, nona!"

   "Tunggu sebentar!"

   Seru si nona.

   "Sebelum pertandingan dimulai aku hendak menerangkan beberapa hal lebih dulu kepadamu. Walaupun aku tidak menganggapmu sebagai mu- suh, tapi senjata tak bermata, selain itu watakku juga agak aneh. Andaikata tidak bertanding masih tak mengapa, begitu pertarungan dimulai maka aku akan bertempur secara bersungguh-sungguh, oleh sebab itu bila kau bermaksud mengalah kepadaku, maka yang bakal menderita kerugian besar adalah dirimu sendiri. Jadi sampai waktunya kau jangan menyalahkan aku lagi."

   "Aaai tapi apa gunanya?"

   Seru Nyo Yan sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. Dengan kening berkerut gadis itu berkata.

   "Apa yang telah kuucapkan selamanya tak pernah berubah lagi. Jika kauberniat untuk membatasi pertarungan ini sampai saling menu- tul belaka, itu urusanmu sendiri."

   Nyo Yan segera tertawa getir.

   "Ya apa boleh buat, terpaksa aku mesti mempertaruhkan nyawa untuk mengiringi kunculn Gadis itu segera tertawa cekikikan.

   "Penggunaan kata kuncu keliru besar, aku bukan seorang kuncu dan tampaknya kau pun bukan seorang kuncu."

   Ucapan ini segera membuat Nyo Yan jadi geli dan segera tertawa lebar serunya.

   "Tentu saja, tentu saja, seorang pengemis cilik mana pantas disebut sebagai seorang kuncu?"

   "Bila hasil dari pertarungan itu menunjukkan kau yang menang, maka aku akan memberitahukan namaku kepadamu,"

   Kata gadis tersebut lebih jauh.

   "sebaliknya jika aku yang menang, kau harus memberitahukan nama gurumu kepadaku."

   "Andaikata kita seri?"

   "Itu harus tergantung kepadamu." Tergantung kepadaku? Tergantung apa?"

   Tanpa terasa Nyo Yan menjadi tertegun.

   "Kau berhasil mengalahkan diriku atau berhasil bertarung seimbang denganku, aku bersedia menganggap kau sebagai temanmu. Sebaliknya bila kau bersedia pula menganggapku sebagai temanmu, kau pun harus memberitahukan kepadaku, kalau tidak mau ya tak usah memberitahukan kepadaku, bagaimana?"

   


Renjana Pendekar -- Khulung Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL

Cari Blog Ini