Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 2


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 2



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   Jerit kaget Siau Cu-beng yang terjatuh ke dalam jurang telah mengagetkan ibu gurunya, ia segera berhenti menyerang, kemudian sambil menutup muka menangis tersedu-sedu, seperti merasa menyesal dengan perbuatannya itu.

   Diiringi isak-tangis yang memedihkan hati, ibu gurunya lantas menceritakan bagaimana dia dirayu oleh Siau Cu-beng untuk berbuat iseng, bagaimana dirangsang....

   Dalam kesedihan itu, ia hanya memohon kepada dirinya agar tidak menceritakan peristiwa yang memalukan itu kepada gurunya.

   Mendengar ucapan ibu gurunya, gejolak emosinya segera menjadi reda, kesadarannya pun pulih, ia sadar bila gurunya yang berhati bajik sampai mengetahui peristiwa tragis yang memalukan itu, sudah pasti gurunya akan menderita tekanan batin.

   Padahal gurunya merupakan seorang Bu-lim Bengcu yang memimpin seluruh umat persilatan di dunia, ia begitu dihormati, disanjung oleh setiap orang, bagaimana jadinya bila berita yang memalukan itu sampai bocor ke dunia persilatan? Sudah pasti nama baik dan wibawa gurunya akan hancur.

   Bila sampai terjadi hal ini, sungguh tragis akibatnya.

   Ibu gurunya ini merupakan istri ketiga, waktu itu umurnya baru tiga puluh tujuh tahun, masih muda, bila Suhu sampai mengetahui penyelewengannya, apakah ibu gurunya akan dibiarkan hidup terus? Demi menyelamatkan nama baik gurunya, demi menjaga semangat gurunya agar tidak menderita tekanan batin, juga demi kaselamatan ibu gurunya, maka dia lantas mengarang suatu cerita untuk merahasiakan kejadian yang sesungguhnya.

   Siapa tahu Subonya begitu keji, ternyata dia telah mengirim pembunuh bayaran untuk mencari jejak dan melenyapkan jiwanya.

   Berpikir sampai di situ, sepasang mata Bong Thian-gak berkaca-kaca, ia bergumam.

   "Perempuan rendah yang tak tahu malu, apakah kau tahu bahwa aku Bong Thian-gak telah kembali ke sini? Kau kuatir aku membocorkan perbuatan terkutukmu yang tak tahu malu itu, sehingga segera kau kirim pembunuh-pembunuhmu untuk melenyapkan aku dari muka bumi." "Hm"

   Seorang diri Bong Thian-gak mendengus berulang kali, ia menyumpah lebih jauh.

   "Perempuan terkutuk, aku benar-benar tak menyangka kau masih bisa bertebal muka tetap tinggal di dalam gedung Bu-lim Bengcu ini, masih punya perasaan hidup terus di dunia ini."

   "Hm, kau sepantasnya mampus, suatu ketika aku Bong Thian-gak pasti akan membunuhmu, aku takkan membiarkan kau tetap hidup di dunia ini hanya untuk berbuat kejahatan!"

   Bicara sampai di situ, mencorong sinar buas yang menggidikkan dari balik mata anak muda itu, ia sudah mengambil keputusan bulat. Mendadak satu ingatan melintas kembali dalam benak Bong Thian-gak.

   "Mungkinkah Subo adalah mata-mata yang diselundupkan musuh kemari?"

   Pendapatnya itu ibarat sumber air yang ditemukan di tengah gurun pasir, segera membuat semangatnya berkobar kembali.

   Dilihat dari perbuatan ibu gurunya yang mengkhianati cintanya dengan berbuat mesum bersama Siau Cu-beng, kemudian ditinjau pula dari ilmu silat pembunuh perempuan yang muncul pada malam ini, Subonya itu memang satusatunya orang yang paling mencurigakan.

   Setelah berhasil menemukan titik terang itu, hati Bong Thian-gak agak tenang, tanpa terasa dia pun tertidur dengan cepat.

   "Tok, tok, tok", dari luar gedung sana berkumandang lima kali kentongan sebagai pertanda kentongan kelima telah tiba. Entah lama saat sudah lewat, akhirnya Bong Thian-gak bangun dari tidurnya oleh suara pembicaraan yang gaduh. Tampak Siau Kiok yang manis sudah berdiri di sisi pembaringan, begitu melihat pemuda itu membuka mata, dia lantas berkata.

   "Siangkong! Siangkong! Nona telah datang ...."

   Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya ke arah lain, sambil berseru tertahan buru-buru dia melompat bangun dan duduk.

   Ternyata di kursi dekat dinding kamarnya telah duduk kakak seperguruannya, Oh Cian-giok.

   Bong Thian-gak melompat turun dari pembaringan dan menuju ke arah Oh Cian-giok sambil katanya.

   "Nona Oh, sejak kapan kau sampai di sini? Maaf jika aku bersikap kurang sopan."

   Oh Cian-giok masih mengenakan pakaian putih tanda berkabung, hanya wajahnya nampak amat murung, selapis hawa dingin menghiasi raut wajahnya.

   "Ko-siangkong,"

   Ujarnya.

   "maaf jika aku mengganggu tidurmu, tapi berhubung dalam gedung telah terjadi suatu peristiwa besar, terpaksa Toa-suheng mengutusku kemari mengundang kedatangan Ko-siangkong."

   "Apa yang terjadi?"

   Seru Bong Thian-gak dengan terperanjat.

   "Kongsun-tayhiap ditemukan tewas!"

   Berita buruk ini segera membuat Bong Thian-gak amat terkesiap, serunya tertahan.

   "Apa? Kau mengatakan Kongsun Phu-ki telah tewas?"

   Pelan-pelan Oh Cian-giok mengangguk.

   "Benar ia mati terbunuh."

   "Bagaimana tewasnya?"

   "Ketika datang memanggilnya pagi tadi, ia ditemukan mati kaku di atas pembaringan, anggota badannya telah kaku dan mendingin, jelas sudah putus nyawa cukup lama, tapi sebab kematiannya belum jelas. Kini Ku-lo Hwesio dan sebagian jago sedang menantikan kedatangan Ko-siangkong di ruangan bawah sana."

   Bong Thian-gak tidak banyak bicara lagi, cepat ia membetulkan pakaiannya, lalu mengikuti Oh Cian-giok menuju ke kamar Kongsun Phu-ki.

   Waktu itu para jago sudah berkumpul dalam ruang tamu yang kecil, kebetulan Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui sedang berjalan keluar ilari dalam kamar, para jago segera bertanya.

   "Apa yang menyebabkan kematian Kongsun Phu-ki?"

   Baik Ho Put-ciang maupun Yu Heng-sui tidak menjawab, mereka hanya menggeleng kepala berulang kali. Menyaksikan Bong Thian-gak muncul, Ho Put-ciang berkata hambar.

   "Ko-cuangsu silakan masuk, Ku-lo Sinceng sedang menanti kedatanganmu di dalam sana."

   Bong Thian-gak mengiakan dan buru-buru ia masuk ke dalam kamar.

   Di atas pembaringan kayu dalam ruangan, tergeletak kaku seorang kakek kurus kering, dialah Kongsun Phu-ki, salah satu di antara Ciong-lam-sam-lo.

   Di sisi pembaringan duduk Ku-lo Hwesio, dia sedang meneliti setiap bagian tubuh Kongsun Phu-ki.

   Bong Thian-gak ikut mengamati jenazah itu, tampak paras muka Kongsun Phu-ki pucat-pias, kulit wajahnya cekung ke dalam sehingga boleh dibilang tinggal kulit pembungkus tulang belaka.

   Keadaannya saat ini mirip seorang yang tewas setelah puluhan tahun menderita penyakit parah.

   Ku-lo Hwesio mendongakkan kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, mendadak ia bangkit dan berkata.

   "Di atas tubuhnya tidak ditemukan luka apa pun, juga tidak ditemukan gejala keracunan, kalau begitu ...."

   Mendadak ia berhenti sejenak sambil beranjak keluar dari kamar, kemudian baru melanjutkan sambil menghela napas.

   "Itu berarti dia tewas akibat sari darah dan tulang sumsumnya mengering."

   Dugaan itu segera disambut para jago dengan wajah berubah hebat, hampir bersamaan mereka berseru.

   "Sari darah dan tulang sumsum mengering? Mengapa sari darah dan tulang sumsum bisa mengering dalam semalaman saja?"

   Dalam ruangan itu hanya Bong Thian-gak seorang yang secara lamat-lamat bisa menduga apa gerangan yang terjadi, tapi karena dilihatnya Oh Cian-giok hadir pula di situ, maka ia merasa agak sungkan untuk bertanya lebih jauh kepada Ku-lo Hwesio.

   Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan wajah amat serius.

   "Ko-sicu, Lolap ingin bicara empat mata denganmu sebentar, datanglah ke loteng sebelah timur bersama Hohiantit dan Yu-hiantit "Baik, aku akan segera ke sana!"

   Jawab Bong Thian-gak dengan suara lantang.

   Selesai berkata, dia mengikut di belakang Ku-lo Sinceng keluar ruangan itu.

   Tak selang beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di ruang tamu loteng sebelah timur.

   Ternyata Ho Put-ciang dan Yu Hengsui telah berada pula di sana.

   Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Ku-lo Hwesio barulah berkata.

   "Kongsun-sicu tewas akibat sari darah dan tulang sumsumnya mengering atau dengan kata lain dia mati akibat air maninya telah kering."

   "Jadi dia benar-benar tewas akibat air maninya telah mengering?"

   Ku-lo Hwesio manggut-manggut.

   "Ya, Kongsun-sicu memang lewas di tangan seorang perempuan."

   "Ah, kematiannya benar-benar di luar dugaan." "Ko-sicu, semalam kau yang menguntit di belakang Kongsun-sicu, tentunya kau tahu bukan kemana dia telah pergi?"

   Diam-diam Bong Thian-gak terkejut juga, dia tidak menyangka perbuatannya menguntit di belakang Kongsun Phu-ki tak lolos dari pengawasan Ku-lo Hwesio. Dengan cepat lantas dia menjawab.

   "Kongsun-tayhiap telah berkunjung ke rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau, tapi berhubung aku tidak masuk ke dalam, maka tidak kuketahui apa yang dilakukannya!"

   Maka Bong Thian-gak menceritakan secara ringkas bagaimana dia menguntit Kongsun Phu-ki semalam, hanya soal mengintip seorang perempuan cantik dalam keadaan telanjang saja yang sengaja dia rahasiakan.

   Seusai mendengar penuturan itu, Yu Heng-sui berkata sambil menghela napas.

   "Ah, sudah satu bulan lebih Kongsuntayhiap berdiam di sini, tiap hari dia tentu keluar satu kali, aku pun pernah menguntitnya secara diam-diam, dia memang pergi ke sarang pelacuran untuk melepaskan napsunya."

   "Lolap sendiri pun pernah mendengar Kongsun-sicu tak mampu mengendalikan birahi, tapi dia cukup berjiwa jujur dan lurus, selama ini belum pernah mengganggu anak gadis atau istri orang. Namun kalau dibilang ia mengalami musibah akibat peristiwa ini, rasanya juga tak mungkin."

   Bong Thian-gak pun merasakan banyak hal yang mencurigakan dalam kejadian itu, dia berkata.

   "Kalau dibilang Kongsun Phu-ki mati akibat dia kehabisan air mani setelah berbuat iseng dengan pelacur, mengapa justru tewas dalam gedung Bu-lim Bengcu, apalagi dia seorang jago yang memiliki tenaga dalam amat sempurna, tak mungkin dia berbuat iseng hingga kelewat batas, sampai air maninya mengering dan berakibat kematian." "Kalau bukan suatu musibah, apa. mungkin suatu pembunuhan?"

   Kata Ho Put-ciang tiba-tiba.

   "Menjelang tengah malam Lolap menyaksikan Kongsun-sicu pulang seorang diri, menyusul kemudian Ko-sicu baru pulang setengah jam kemudian, waktu itu Ko-sicu pernah menjenguk pula ke kamar Kongsun-sicu."

   Bong Thian-gak semakin terkejut mendengar ucapan itu, ia tidak menyangka semua gerak-geriknya tak lepas dari pengawasan Ku-lo Hwesio, maka jawabnya dengan lantang.

   "Apa yang dikatakan Taysu memang tepat sekali, oleh karena aku kuatir Kongsun-tayhiap belum sampai di rumah, sengaja aku datang ke kamarnya untuk mengintip dan membuktikan apakah dia telah kembali ke rumah atau belum!"

   "Biasanya orang yang mati akibat kehabisan sumsum tulangnya, dia akan mati seketika setelah selesai melakukan senggama,"

   Ku-lo Hwesio menerangkan.

   "Mustahil berjalan pulang lebih dulu dari jauh sebelum akhirnya tewas di rumah. Ah! Mungkin Kongsun-sicu tidur semalaman tak pernah mendusin untuk selamanya!"

   "Supek, lantas berada dalam keadaan apakah Kongsuntayhiap menemui ajalnya?"

   Tanya Yu Heng-sui kemudian.

   "Dua ratus tahun berselang, di Bu-lim pernah beredar se

   Jilid kitab Tay-im-keng yang mencantumkan sejenis ilmu yang disebut Soh-li-sut (kepandaian perempuan suci), tegasnya kepandaian itu merupakan sejenis ilmu penghisap hawa Yang dari tubuh lelaki untuk memupuk kekuatan Im tubuh perempuan yang digauli.

   Ilmu sesat semacam itu pernah muncul di Bu-lim sebelum ini, tapi bila dibicarakan, gejalanya persis seperti gejala kematian Kongsun-sicu sekarang, itulah sebabnya Lolap jadi teringat kitab aneh Tayim- keng itu."

   Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak sesudah mendengar penjelasan itu, katanya cepat.

   "Jadi maksud Taysu, kematian Kongsun-sicu disebabkan oleh perbuatan seorang perempuan yang mengerti ilmu Soh-li-sut, dan telah menghisap hawa Yangnya hingga mengering?"

   "Ya, sebab kematian Kongsun-sicu memang demikian adanya."

   Bong Thian-gak menjerit kaget.

   "Ah, mungkinkah dalam rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau terdapat perempuan semacam ini?"

   "Kalau dibilang dalam rumah pelacuran bisa muncul perempuan seperti ini, sesungguhnya sesuatu yang mustahil dan sukar untuk dipercaya, sekali pun ada, tak mungkin dia mencelakai orang tanpa sebab, ah ... itulah sebabnya Lolap sekali lagi ingin bertanya kepada Ko-sicu, kemarin malam Kongsun-sicu telah pergi kemana?"

   Bong Thian-gak tertegun.

   "Jadi Taysu tidak percaya dengan perkataanku?"

   Tanyanya.

   "Sejak beberapa hari berselang, musuh telah menetapkan hari kematian untuk Kongsun-sicu, mungkin hal ini disebabkan pihak lawan tahu Kongsun-sicu gemar bermain perempuan, maka ia sengaja menyiapkan seorang perempuan yang pandai ilmu Soh-li-sut untuk merayunya di tengah jalan sehingga rencana pembunuhan mereka tercapai, apabila dibilang di dalam rumah pelacuran bisa terdapat perempuan macam begini, sesungguhnya hal ini sukar untuk dipercaya."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, apa yang kukatakan sebenarnya merupakan kenyataan, namun bila Taysu sekalian tidak percaya, aku pun tidak bisa berbuat apaapa."

   Padahal Bong Thian-gak pun terkejut bercampur keheranan atas kematian Kongsun Phu-ki.

   "Baiklah,"

   Kata Ku-lo Hwesio kemudian.

   "Untuk sementara waktu Lolap tak usah membicarakan dulu kematian Kongsunsicu semalam."

   Dilihat dari sikap Ku-lo Hwesio yang bernada memeriksa dirinya, Bong Thian-gak segera sadar bahwa Hwesio tua yang teliti ini pun sudah mulai menaruh curiga padanya, siapa tahu Hwesio itu sudah lama menaruh curiga padanya, sehingga sengaja mengajaknya turut menghadiri rapat rahasia itu.

   Kemudian mengintai dan menyelidikinya secara diam-diam.

   Terdengar Ku-lo Hwesio berkata.

   "Pembunuh gelap yang dibunuh Ko-sicu itu merupakan salah satu dayang kepercayaan Oh-bengcu Hujin. Kini Lolap ingin bertanya kepada Sicu, mengapa dayang itu mencari Sicu sebagai sasaran pembunuhan?"

   Bong Thian-gak segera mengeluarkan kartu merah dari dalam sakunya, kemudian berkata dengan lantang.

   "Silakan Taysu memeriksa kartu ini terlebih dahulu!"

   Ku-lo Hwesio menerima kartu itu dan diperiksa sebentar, kemudian diberikan kepada Ho Put-ciang, setelah itu dia baru berkata.

   "Seandainya Sicu adalah orang dari golongan kami, setelah musuh memberikan kartu peringatan itu kepadamu, Sicu pasti akan berusaha menawan mata-mata itu, kemudian disiksa supaya mengaku, apa sebabnya kau malah membunuh orang itu secara keji?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, tentang kesalahan tanganku, aku membunuh pembunuh gelap itu, aku merasa menyesal sekali."

   Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Ku-lo Hwesio, dia menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat, kemudian ujarnya dengan suara dalam.

   "Maaf jika Lolap menaruh prasangka kepada Sicu, harap Sicu dapat memberikan bantahan setelah tuduhanku ini kuucapkan."

   "Katakan saja, Taysu." "Seandainya Lolap menuduh Sicu adalah utusan lihai musuh yang mendapat perintah untuk menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimanakah sanggahan Sicu?"

   Bong Thian-gak untuk kesekian kalinya menghela napas panjang.

   "Ah, asal kuutarakan asal-usulku, sudah pasti Taysu tak akan menaruh curiga lagi kepadaku, bila seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya tiba-tiba muncul dalam gedung Bu-lim Bengcu, bagaimana pun juga hal ini memang mencurigakan orang lain!"

   "Apa yang hendak Sicu tanyakan?"

   "Apa yang ingin kuketahui adalah soal kematian Kongsun Phu-ki, benarkah dia tewas akibat kehabisan sumsum Goanyang?"

   Tiba-tiba paras muka Ku-lo Hwesio berubah, tapi sebentar saja sudah lenyap, pelan-pelan dia berkata.

   "Ko-sicu telah menyaksikan jenazah Kongsun-sicu dengan mata kepala sendiri, bagaimana tanggapanmu tentang kematiannya?"

   Bong Thian-gak tertegun, sahutnya pula.

   "Dilihat dari gejala kematiannya, dia memang tewas akibat kehabisan sumsum Goan-yang!"

   "Kalau begitu, apa lagi yang Sicu sangsikan?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, aku harus membuktikan dulu sebab kematian Kongsun Phu-ki sebelum menyelelidiki siapa pembunuhnya."

   "Sicu, setelah sampai di sini, Lolap terpaksa mesti berterus terang kepadamu!"

   Kata Ku-lo Hwesio kemudian dengan suara dalam.

   "Semua jago yang hadir di sini maupun pejabat Bengcu merasa keberatan bila ada seorang yang tak jelas identitas dan asal-usulnya turut serta dalam persoalan persekutuan dunia persilatan ini."

   Sambil tertawa getir Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Aku akan segera meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu ini, tapi jangan harap bisa mengetahui asal-usulku yang sebenarnya!"

   Tiba-tiba Yu Heng-sui tertawa dingin.

   "Ko-heng, jika kau tidak mengungkap asal-usulmu, mungkin kau tak akan dapat mengundurkan diri dari gedung Bengcu ini dengan selamat."

   Mendengar itu, Bong Thian-gak berkerut kening, lalu ujarnya lagi dengan suara dalam.

   "Kalian tak mau mengurusi masalah yang sesungguhnya, buat apa mendesak diriku mengungkap asal-usulku?"

   "Semua ini mengikuti keinginan para jago,"

   Sahut Yu Hengsui tertawa.

   "Kini mereka telah menanti dirimu di bawah loteng sana."

   Bong Thian-gak menghela napas panjang mendengar ucapan itu.

   "Ai, bila kalian tak mau percaya kepadaku, suatu ketika kalian akan menyesal."

   Setelah menghela napas lagi, dia berpaling ke arah Ho Putciang, lalu ujarnya lebih jauh.

   "Kalau kalian tak percaya kepadaku sejak awal, mengapa kalian izinkan diriku mencampuri urusan ini? Sekarang kalian pun tidak memperkenankan aku pergi dari sini, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan?"

   "Ko-cuangsu, mengapa kau tidak mengungkap asal-usulmu secara jujur?"

   Bong Thian-gak menggeleng.

   "Maaf, aku tidak bisa menjawab."

   "Jika kau enggan menjawab, para jago akan menghalangimu pergi dari sini."

   Kembali Bong Thian-gak tertawa.

   "Bila hal ini terjadi, terpaksa aku suruh mereka saksikan kelihaian ilmu silatku!"

   Selesai berkata, pemuda itu segera beranjak turun dari loteng itu. Yu Heng-sui tertawa dingin, dia segera melompat bangun sambil bersiap-siap melancarkan serangan. Tiba-tiba Ho Put-ciang berkata dengan suara dalam.

   "Jisute, jangan bertindak gegabah!"

   Yang dikuatirkan oleh Bong Thian-gak selama ini adalah bilamana dia mesti bertarung melawan Toa-suhengnya, betapa lega hatinya setelah Toa-suhengnya mencegah Jisuhengnya turun tangan.

   Selangkah demi selangkah dia turun dari anak tangga, setelah tiba di depan pintu gerbang, tampak kawanan jago itu benar-benar telah berdiri mengelilingi halaman gedung, puluhan pasang mata yang tajam bersama-sama ditujukan ke tubuhnya.

   Bong Thian-gak bersikap acuh tak acuh, seakan-akan sama sekali tidak melihat kehadiran mereka, dengan dada dibusungkan dia langsung berjalan menuju ke tengah halaman.

   Sementara itu Ku-lo Hwesio bersama Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui telah turun dari loteng pula, mereka bertiga berdiri di depan pintu gerbang dengan wajah serius.

   Ketika Bong Thian-gak sudah hampir keluar pintu halaman, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.

   "Berhenti!"

   Bayangan orang berkelebat, seorang lelaki kekar bercambang hitam pekat seperti pantat kuali, dengan perawakan tinggi besar dan berjubah biru telah menghadang di depan Bong Thian-gak.

   Bong Thian-gak segera mengenali orang ini sebagai salah seorang dari Tiam-jong-siang-kiat yang dijuluki Wan-pit-kim-to (golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam.

   "Ang-tayhiap, apakah engkau hendak memberi sesuatu petunjuk kepadaku?"

   Tegurnya. Golok emas berlengan monyet Ang Thong-lam tertawa terbahak-bahak.

   "Aku orang she Ang ingin mohon petunjuk dari saudara!"

   "Silakan turun tangan, Ang-tayhiap."

   Sikap santai dan tenang Bong Thian-gak ini membuat si Golok emas berlengan monyet tertegun dan berdiri termangumangu di tempat. Setelah tertawa dingin, kembali Bong Thian-gak berkata.

   "Ang-tayhiap, mengapa tidak melancarkan serangan?"

   Tiba-tiba saja Ang Thong-lam menganggap Bong Thian-gak berniat mempermainkan dirinya, dia jadi naik darah dan segera membentak nyaring.

   "Bagus sekali, akan kulihat seberapa hebat kepandaian silatmu hingga begitu sinis padaku."

   Begitu selesai berkata, dia lantas mengayun tinjunya menghantam wajah Bong Thian-gak, serangannya dahsyat, tenaga pukulannya mematikan.

   Bong Thian-gak tertawa dingin, kaki kanannya maju ke Tiong-kiong, lalu telapak tangan kanan diayun ke muka membabat urat nadi pergelangan tangan musuh.

   Sekali orang menyerang, segera akan diketahui berisi atau tidak, seketika itu juga paras muka para jago di sekeliling halaman itu berubah hebat.

   Ang Thong-lam merupakan adik seperguruan ketua Tiamjong- pay sekarang, kesempurnaan ilmu silatnya termasuk juga kemampuan seorang ketua partai, ia segera menyadari pukulan tangan kanannya akan meleset.

   Sambil membentak keras bagaikan harimau ganas keluar dari sarang, secepat kilat tangan kirinya menghantam pinggang musuh.

   Serangan ini merupakan ilmu pukulan Kiong-ciang-kun (Pukulan busur panah) yang amat termasyhur dari Tiam-jongpay, serangannya dilepaskan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, hebat luar biasa.

   Semua jago yang menyaksikan jalannya pertandingan itu dari samping, segera dapat merasakan pukulan Ang Thonglam itu sangat hebat dan membuat orang sukar menghindarkan diri.

   Sikap Bong Thian-gak cukup tenang, tampak dia berjongkok, kemudian membentak nyaring.

   "Lihat serangan!"

   Suara benturan keras menggelegar di udara, badan Ang Thong-lam berguncang keras, kemudian dengan sempoyongan mundur sejauh liga-empat langkah, lengan kirinya terkulai lemas, sementara wajahnya basah oleh keringat.

   Dalam bentrokan itu, para jago dapat mengikuti kejadian itu dengan jelas, rupanya di saat yang paling kritis, Bong Thian-gak telah mengubah babatan tangan kanannya yang mengancam urat nadi pada lengan kanan Ang Thong-lam itu menjadi serangan menyikut, di antara posisi setengah berjongkok itulah dia berhasil menyikut persendian hilang lengan sebelah kiri musuh.

   Dalam bentrokan barusan, kedua belah pihak memang belum menggunakan kepandaian yang sebenarnya, tapi menang kalah di antara mereka sudah ditentukan.

   Seorang jago lihai yang termasyhur namanya di Bu-lim ternyata menderita kalah total di tangan seorang pemuda tak dikenal, kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun.

   Hasil pertempuran yang mengejutkan ini kontan saja membuat paras muka para jago berubah hebat.

   Kepada Ku-lo Hwesio kata Ho Put-ciang.

   "Ku-lo Supek, sodokan sikutnya benar-benar dilakukan dengan amat jitu dan hebat, ilmu silat orang ini tidak boleh dipandang enteng."

   Ku-lo Hwesio manggut-manggut.

   "Betul, sodokan sikut itu dilancarkan di antara sela-sela peralihan jurus pertama ke jurus kedua, dari sini dapat diketahui ilmu silat orang ini benar-benar hebat sekali."

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah menjura kepada semua jago setelah berhasil mengalahkan Ang Thong-lam, katanya dengan lantang.

   "Ang-tayhiap, terima kasih atas kesediaannya mengalah!"

   Setelah berkata, dia lantas beranjak pergi.

   "Tunggu sebentar saudara! Lohu ingin mohon petunjuk pula,"

   Tiba-tiba seseorang berkata dengan suara parau.

   Tampak seorang kakek berbaju hitam menggembol pedang, pelan-pelan berjalan keluar dan menghadang di depan Bong Thian-gak.

   Setelah melihat jelas paras muka kakek itu, dengan kening berkerut Bong Thian-gak berkata.

   "Yu-koancu, harap kau sudi memberi jalan untukku!"

   Ternyata kakek baju hitam berperawakan jangkung dan berwajah kurus ini adalah Koancu kuil Hian-thian-koan di bukit Khong-tong, Yu Ciang-hong adanya.

   Dengan sebilah pedang Ci-thian-kiam, dia berhasil menguasai tiga belas macam ilmu pedang Khong-tong-pay hingga mencapai puncak kesempurnaan, menurut berita di Bu-lim, konon Yu Ciang-hong telah berhasil pula menguasai Yu-kiam-sut atau ilmu pedang terbang.

   Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong tersenyum.

   "Ko-cuangsu, Lohu mohon petunjuk beberapa jurus seranganmu untuk menambah pengetahuanku, apa tidak boleh?"

   Bong Thian-gak sadar, andai dia tidak memperlihatkan kelihaian ilmu silatnya pada hari ini, mustahil dia bisa pergi meninggalkan tempat itu dengan mudah. Setelah berpikir sebentar, katanya dengan suara nyaring.

   "Kalau memang begitu, terpaksa aku mengiringi keinginanmu."

   "Selama hidup Lohu menekuni ilmu pedang, boleh dibilang pedang tak pernah terlepas dari tanganku, entah senjata apakah yang hendak saudara pergunakan? Silakan saja segera dilolos."

   "Aku lebih meyakini ilmu telapak tangan, silakan Yu-koancu melancarkan serangan!"

   Yu Ciang-hong agak tertegun, kemudian ujarnya.

   "Kalau begitu terpaksa Lohu bertindak lancang."

   Begitu selesai berkata, Yu Ciang-hong segera mundur setengah langkah, dengan cepat tangan kanannya menyambar ke belakang untuk melolos pedangnya.

   "Sret", cahaya tajam segera berkilauan memenuhi angkasa. Begitu Ci-thian-kiam dilolos, tanpa banyak bicara lagi ia melepas sebuah tusukan kilat ke arah dada Bong Thian-gak . Yu Ciang-hong adalah jago pedang kenamaan di Bu-lim, cukup dilihat dari caranya mencabut pedang bisa diketahui sampai dimana taraf kesempurnaan orang ini. Sudah lama para jago persilatan tahu bahwa Yu Cianghong termasyhur karena ilmu pedangnya yang lihai, kendatipun demikian jarang ada orang menyaksikan dia memainkan ilmu pedangnya di depan umum, oleh sebab itu semua orang lantas memusatkan segenap perhatiannya menyaksikan jalannya pertarungan itu. Agaknya Bong Thian-gak pun sadar ilmu pedang lawan lihai sekali, dia tak berani memandang enteng, dengan sorot mata berkilau tajam dia mengawasi gerak pedang lawan, sementara telapak tangan kirinya dengan setengah ditekuk mengebas pergi serangan pedang lawan. Paras muka Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong berubah hebat menyaksikan datangnya ayunan telapak tangan kiri Bong Thian-gak, mendadak dia tekuk pinggang sambil menarik senjatanya. Setelah itu pedang Ci-thian-kiam sekali lagi digetarkan ke muka, dari kiri menusuk ke kanan, lalu dari kanan menyapu ke tengah, dalam waktu yang singkat dia telah melepaskan tiga serangan berantai. Tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, dengan gerakan pedang yang aneh, seperti menotok juga menggunting, dia menghajar musuh. Ku-lo Hwesio yang menonton jalannya pertarungan itu dari sisi arena segera saja menghela napas panjang, katanya.

   "Kebasan tangannya itu merupakan ilmu Hud-meh-ceng-hiat (Menyapu nadi menggetarkan jalan darah) yang hebat sekali, ilmu silat orang itu benar-benar mencapai tingkatan yang luar biasa!"

   Baik Ho Put-ciang maupun Yu Heng-sui dapat menyaksikan pula kebasan tangan Bong Thian-gak tadi, dengan wajah serius bercampur tegang mereka mengikuti jalannya pertarungan itu dengan seksama.

   Sementara itu Bong Thian-gak telah terdesak mundur sejauh tiga langkah oleh gencetan tiga serangan berantai lawan, tapi secara mudah sekali dia berhasil meloloskan diri dari ancaman itu.

   Yu Ciang-hong memang tak malu disebut jago pedang yang termasyhur, ia tak memberi kesempatan pada musuh untuk melepaskan serangan balasan, kaki kirinya segera maju selangkah, lalu pedangnya ditebaskan ke samping, sebuah tusukan kuat disodokkan ke muka.

   Kini Bong Thian-gak tidak menghindar lagi, mencorong sinar tajam dari balik matanya, setelah membentak nyaring, pergelangan tangan kanannya diayunkan ke muka membabat punggung pedang, seketika itu juga muncul segulung angin pukulan yang mendesak pedang lawan miring ke samping.

   Sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, tiba-tiba saja ia mencengkeram pergelangan tangan kanan musuh yang menggenggam pedang.

   Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong amat terkejut, cepat dia mundur tiga langkah, tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah.

   Terdengar angin menderu, cahaya kilat berkilauan di angkasa, segulung angin puyuh yang maha dahsyat menggulung tiba.

   Bong Thian-gak mendengus dingin, ujung bajunya berkibar terhembus angin, dengan cepat dia menerjang ke tengah gulungan angin pedang Yu Ciang-hong yang gencar, dengan tangan kiri menangkis pedang, tangan kanan menyerang musuh, sepasang telapak tangannya berubah silih berganti, bagaikan dua naga bermain di air, kelihaiannya benar-benar luar biasa.

   Kawanan jago persilatan itu rata-rata adalah pemimpin suatu perguruan besar, ilmu silat mereka tentu saja lihai sekali, tatkala mereka menyaksikan jalannya pertarungan itu, serentak keningnya berkerut.

   Rupanya mereka tidak bisa membedakan lagi mana gerakan tubuh Bong Thian-gak dan mana jurus pedang Yu Ciang-hong.

   Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah saling bertarung puluhan gebrak.

   Tiba-tiba terdengar dengusan tertahan memecah keheningan.

   Di tengah lapisan bayangan pedang yang menyelimuti udara, mendadak Bong Thian-gak melejit ke tengah udara dan melayang turun, kemudian dia membalik tubuh dan dalam beberapa kali lompatan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik halaman gedung sana.

   Perubahan yang berlangsung tiba-tiba ini amat mencengangkan semua orang, membuat semua jago yang hadir di arena tak seorang pun sempat melakukan penghadangan, mereka hanya berdiri tegak di tempat dengan wajah termangu.

   Akhirnya suara helaan napas panjang menyadarkan para jago dari lamunan, sewaktu mereka mengangkat kepala, tampak Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong berdiri lemas dengan pedang Ci-thian-kiam terkulai ke bawah.

   "Kalah total ... kalah total ... tiga puluhan tahun Lohu berlatih dengan tekun, siapa tahu hari ini mesti menderita kekalahan di tangan jago muda yang sama sekali tak dikenal,"

   Gumamnya lirih.

   "Koancu, bukankah kau berhasil melukai lengan kirinya?"

   Seru Yu Heng-sui dengan nyaring.

   "Siapa yang menderita kekalahan?"

   Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong mendongakkan kepala dan dengan sedih sahutnya.

   "Betul, Lohu memang berhasil melukai lengan kirinya, namun telapak tangannya justru berhasil menghantam dadaku lebih dulu, coba kalau pukulan itu disertai dengan tenaga dalam, Lohu sudah tewas sejak tadi, bagaimana mungkin masih dapat melukai lengannya dengan pedang?"

   Rupanya dalam gebrakan penentuan yang berlangsung dengan amat cepat tadi, kecuali Ku-lo Hwesio, Ho Put-ciang, Ui-hok Totiang dan beberapa orang yang sempat melihat jelas, sisanya masih belum tahu bagaimana kedua belah pihak menentukan menang kalahnya, mereka cuma menyaksikan Bong Thian-gak melarikan diri dengan membawa luka.

   Dalam pada itu Ku-lo Hwesio telah memejamkan mata rapat-rapat seakan sedang mengambil suatu keputusan yang amat penting, tiba-tiba dia membuka mata, lalu berkata dengan suara dalam.

   "Kelihaian ilmu silat orang ini benarbenar jauh di luar dugaan, terutama aliran ilmu silatnya, susah buat kita untuk menduganya, andaikata dia adalah musuh, hal ini benar-benar amat merisaukan buat kita."

   Paras muka Ho Put-ciang berubah menjadi serius sekali, setelah .termenung sejenak, tiba-tiba bisiknya kepada Ku-lo Hwesio.

   "Ilmu pukulan orang ini sangat aneh dan sulit diduga, akan tetapi tidak kehilangan sifat jujur dan terbukanya, bahkan gaya serangannya pun mirip sekali dengan...."

   Ketika berbicara sampai di situ mendadak dia tutup mulut, kemudian setelah menggeleng kepala dia melanjutkan.

   "Akan tetapi di balik sikapnya yang gagah dan perkasa membawa juga serangan keji yang licik dan tak kenal ampun, sungguh membuat orang tidak mengerti!"

   Ku-lo Hwesio menatap wajah Ho Put-ciang lekat-lekat, kemudian tanyanya pelan.

   "Menurut Ho-hiantit, ilmu silat orang itu mirip aliran mana?"

   "Mirip sekali dengan ilmu pukulan guruku, tapi bila diamati lagi dengan seksama seperti tak mirip, ya, ilmu silat di dunia memang bersumber satu, mungkin otakku kelewat tumpul hingga telah salah melihat!"

   Mendengar itu, Ku-lo Hwesio membungkam, sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat seperti sedang bersemedi. Mendadak terdengar Ku-lo Hwesio berkata dengan suara yang dalam dan berat.

   "Ho-hiantit, cepat kirim orang untuk mengejar dan membunuh Ko Hong!"

   Ho Put-ciang tertegun oleh seruan itu.

   "Mengapa Ku-lo Supek mengambil keputusan begini?"

   Mencorong sinar tajam dari balik mata Ku-lo Hwesio, serunya kemudian.

   "Lolap sudah teringat sekarang, kemungkinan besar orang itu adalah anak murid Mo-kiam-sinkun Tio Tian-seng."

   Begitu ucapan itu diutarakan, paras muka para jago segera berubah hebat.

   Gara-gara dugaan itu, Bong Thian-gak bakal menjumpai banyak kesulitan dalam pengembaraannya di Bu-lim di kemudian hari.

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya melewati atap rumah dan kabur dari gedung Bu-lim Bengcu.

   Ia langsung menuju ke tempat terpencil yang jauh dari keramaian, tiga li kemudian pemuda itu baru berhenti berlari, sementara lukanya mulai terasa sakit.

   Ternyata darah segar telah membasahi lengan kirinya, sakitnya bukan kepalang.

   Sambil menggigit bibir dia lantas merobek secarik kain dan membalut luka itu, kemudian setelah menghembuskan napas kesal, gumamnya seorang diri.

   "Ilmu pedang Khong-tongkiam- hoat milik Yu Ciang-hong memang benar-benar lihai, bila tujuh tahun belakangan ini aku tidak belajar ilmu sakti yang kutemukan tanpa sengaja, bisa jadi aku tewas di ujung pedang orang itu!"

   Pelan-pelan dia berjongkok dan duduk bersila di bawah rimbunnya pohon. Memandang awan di angkasa, tanpa terasa gumamnya lagi.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Masa depan suram, dunia amat luas, besok aku akan kemana dan berbuat apa? Ai, sungguh tak kusangka setelah aku memasuki gedung Bu-lim Bengcu dan bisa menginap di sana, sehari kemudian aku dipaksa berkelana lagi tanpa tujuan."

   "Oh, Suhu! Apakah arwah kau orang tua yang tidak berkenan aku memasuki pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu lagi? Oh Suhu! Seandainya arwahmu di alam baka tahu, kau harus mengerti bahwa tujuh tahun berselang aku tidak melakukan kesalahan apa-apa, kubunuh Siau Cu-beng dikarenakan aku hendak membersihkan perguruan kau orang tua dari manusia-manusia laknat!"

   Keluh-kesah Bong Thian-gak ini makin lama semakin memilukan, dia merasa nasib sendiri benar-benar amat buruk, sepanjang hidup harus berkelana tanpa tujuan, dimana-mana mendapat kesulitan, seakan-akan perjalanan hidup penuh dengan duri.

   Teringat akan nasibnya yang buruk, tanpa terasa ia teringat pula pada ibu gurunya, Pek Yan-ling, yang menggemaskan, tak tahu malu dan menjengkelkan itu.

   Andai bukan gara-gara perbuatan cabul Pek Yan-ling, mungkin dia tak akan mengalami nasib yang begini tragis seperti saat ini.

   Sambil menundukkan kepala dan membelai kaki kirinya yang pincang, api kebencian membara lagi dalam benaknya, saking tak kuasa menahan diri, dia segera mencaci-maki kalang-kabut.

   "Perempuan jalang, tujuh tahun berselang kau telah membacok otot kaki kiriku hingga membuatku pincang, semalam kau lagi-lagi mengirim orang untuk membunuhku. Ah, aku Bong Thian-gak bersumpah tak akan melepaskan dirimu begitu saja."

   Pikir punya pikir sambil bersandar di pohon dan dibuai angin yang berhembus silir-semilir, tanpa terasa akhirnya Bong Thian-gak jatuh tertidur.

   Ketika mendusin dari tidurnya, matahari sudah tenggelam di langit barat, cuaca mulai remang-remang.

   Sambil melemaskan otot-ototnya yang kaku, Bong Thiangak melompat bangun, tiba-tiba berhembus segulung angin yang membawa bau harum daging semerbak.

   Seketika pemuda itu merasa perutnya lapar sekali sehingga sukar ditahan, sambil menelan air liur dia mulai celingukan ke sana-kemari mencari sumber datangnya bau harum itu.

   Akhirnya dari balik sebuah hutan kecil tak jauh dari situ, dia saksikan ada selapis cahaya api yang sedang berkobar, di sampingnya duduk berjongkok seseorang berdandan pengemis, tampak di atas jilatan api sedang terpanggang sesuatu, dari situlah bau daging tadi terendus.

   Waktu itu Bong Thian-gak lapar sekali, dia lantas berpikir.

   "Untuk membeli makanan di kota, aku mesti berjalan dua-tiga li, mengapa tidak kubeli separoh ayam dari pengemis itu untuk menangsal perut?"

   Berpikir sampai di situ, dia lantas berjalan menuju hutan kecil itu.

   Benar juga, ternyata benda yang sedang dipanggang adalah seekor ayam yang sangat gemuk, waktu itu si pengemis sedang mencongkel bara api di bawah panggangan dengan sebatang ranting, dia seperti belum tahu kehadiran Bong Thian-gak.

   "Permisi sobat!"

   Bong Thian-gak segera menegur. Pengemis itu tidak berpaling, juga tidak mengangkat kepala, sambil meneruskan pekerjaannya dia berkata.

   "Hihihi, silakan duduk, silakan duduk sobat aku tahu perutmu lapar."

   Mendengar perkataan itu, dengan perasaan rikuh Bong Thian-gak berkata.

   "Aku ingin membeli separoh ayam panggangmu itu, berapa pun harganya pasti kubayar."

   Tiba-tiba pengemis itu mendengus dingin.

   "Hm, harta kekayaan seperti awan di angkasa, uang seperti kotoran manusia, kalau berbicara soal uang, lebih baik tidak kujual saja!"

   Bong Thian-gak tertegun.

   "Kita tak pernah mengenal satu sama lain, bagaimana boleh kuminta ...."

   Belum selesai dia berkata, pengemis itu sudah menukas dengan suara dingin.

   "Kalau begitu lebih baik pergi saja dengan menahan lapar!"

   Bau harum yang semerbak membuat Bong Thian-gak harus menelan air liur berulang-kali, sebagai orang jujur, dia kasihan kalau harus meminta makanan yang mungkin didapat dari dermaan orang, berpikir sampai di situ ada baiknya bilamana diberi sedikit uang sebagai imbalan separoh ayam itu, bagaimana pun juga ia tetap merasa rikuh untuk minta makanan dari seorang pengemis.

   Karena ragu-ragu, untuk sesaat dia hanya berdiri di tempat.

   Mendadak terdengar pengemis itu berseru dengan gembira.

   "Sudah matang, sudah matang!"

   Ia segera membuang ranting itu dan mencengkeram panggang ayam yang masih panas itu dengan tangannya. Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu segera berteriak.

   "Hati-hati, jangan sampai menyengat tangan!"

   Belum habis dia berkata, pengemis itu sudah menyobek paha ayam dan dimakan dengan lahapnya.

   Saat itulah Bong Thian-gak melihat dengan jelas paras muka pengemis itu, tanpa terasa keningnya berkerut kencang.

   Ternyata usia pengemis itu sangat muda, kurang lebih dua puluh tiga-empat tahun,wajahnya amat tampan, telinga besar dan mata jeli, bukan saja hidungnya mancung, kulit tubuhnya juga putih, halus dan bersih.

   Coba kalau dia tidak mengenakan jubah panjang yang penuh tambalan, siapa yang percaya kalau orang ini adalah pengemis? Orang tentu akan menganggapnya sebagai seorang Kongcu yang romantis! Pengetahuan Bong Thian-gak cukup luas, sekarang dia sudah menduga, besar kemungkinan pengemis muda ini adalah anggota Kay-pang yang termasyhur di Bu-lim selama seratus tahun belakangan ini.

   Kay-pang atau perkumpulan pengemis merupakan perkumpulan terbesar di Bu-lim, selain anggotanya sangat banyak, jumlah mereka pun tersebar rata di setiap pelosok dunia.

   Mereka tidak pernah menggabungkan diri dengan persekutuan dunia persilatan, selamanya bekerja sendiri tanpa terikat oleh perguruan lain, selain jarang mengadakan hubungan dengan berbagai perguruan silat, perkumpulan ini pun merupakan satu-satunya perkumpulan yang berdiri antara aliran lurus dan sesat.

   Belasan tahun berselang, ketika guru Bong Thian-gak masih menjadi Bengcu persekutuan dunia persilatan, pihak Kun-lun-pay sebagai anggota persekutuan pernah bentrok dengan orang-orang Kay-pang.

   Gara-gara peristiwa itu hampir saja pihak Kay-pang melakukan pertarungan terbuka dengan pihak persekutuan dunia persilatan.

   Akhirnya Bu-lim Bengcu harus berkunjung ke markas besar Kay-pang untuk minta maaf kepada ketua perkumpulan itu sebelum urusan bisa didamaikan.

   Ditinjau dari kejadian itu, dapat disimpulkan bahwa pengaruh Kay-pang dalam Bu-lim waktu itu sama sekali tidak berada di bawah kemampuan sembilan partai besar daratan Tionggoan.

   Sementara itu si pengemis muda menyaksikan Bong Thiangak hanya berdiri termangu, mendadak dia menyambar sepotong paha ayam dan dilempar ke depan Bong Thian-gak, serunya.

   "Nih, sambutlah!"

   Paha ayam itu meluncur dengan kecepatan tinggi, Bong Thian-gak dengan gugup segera menerimanya.

   Kini dia sudah menduga pengemis itu kemungkinan besar adalah anggota Kay-pang, maka sikapnya pun tidak sungkansungkan lagi.

   Dia lantas berjongkok dan melalap paha ayam itu dengan lahapnya malah lebih lahap daripada pengemis muda itu, dalam waktu singkat paha ayam tadi sudah disikat hingga tinggal tulangnya.

   Dengan mata melotot dan tertawa cekikikan, pengemis muda rtu berkata "Ujung langit seperti tetangga, empat samudra adalah saudara sendiri silakan makan, silakan makan!"

   Bong Thian-gak tertawa bodoh, tanpa sungkan lagi dia pentang kelima jarinya dan merobek sepotong daging ayam gemuk itu, langsung dikirim ke dalam mulutnya.

   Hanya dalam waktu singkat seekor ayam gemuk seberat tiga-empat kati itu sudah tinggal tulang.

   Setelah kenyang, Bong Thian-gak baru bertanya dengan suara lantang.

   "Bolehkah aku tahu siapa namamu?"

   Pengemis muda itu melototkan matanya, kemudian sahutnya.

   "Dilihat dari tampangmu, sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang pelajar, tapi heran, tingkahlakumu justru penuh dengan segala tetek-bengek, siapa namamu sendiri?"

   Bong Thian-gak menaruh kesan baik terhadap pengemis muda itu, setelah tertawa nyaring dia menyahut.

   "Aku she Ko bernama Hong." "Nama palsu, shenya juga palsu!"

   Bong Thian-gak jadi tertegun.

   "Maksudmu?"

   "Tiada manusia yang bernama demikian di Bu-lim."

   Diam-diam Bong Thian-gak terperanjat, pikirnya kemudian.

   "Pengemis muda ini sudah pasti seorang yang punya kedudukan tinggi dalam Kay-pang, kalau dilihat dari kemampuannya merobek daging ayam tadi, pasti tenaga dalamnya telah sempurna!"

   Berpikir demikian, sambil tersenyum Bong Thian-gak berkata.

   "Kalau begitu kau pun seorang dari dunia persilatan?"

   "Jika kau sudah tahu aku anggota Kay-pang, buat apa kau mesti banyak bertanya?"

   "Tapi kau belum memberitahukan namamu kepadaku?"

   "Aku she To bernama Siau-hou!"

   "Oh, rupanya To-heng, terima kasih banyak atas hidangan daging ayammu pada malam ini!"

   "Ayam gemuk itu dapat kucuri dari dalam gedung Bu-lim Bengcu, jadi berterima kasihlah kepada mereka!"

   Bong Thian-gak tertegun mendengar itu, segera serunya.

   "Jadi kau pun telah berkunjung ke gedung Bu-lim Bengcu?"

   "Aku pun telah menyaksikan pertarunganmu melawan Yu Ciang-hong. Hm, orang-orang dari sembilan partai memang benar-benar tak tahu malu, sudah kalah masih menghadiahkan tusukan kepada orang!"

   Bong Thian-gak terkejut mendengar ucapan terakhir itu, To Siau-hou ini selain sudah menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu tanpa diketahui siapa pun, bahkan setiap gerakan serangan yang digunakan sewaktu bertarung melawan Hianthian- koancu pun dapat diketahuinya, dari sini dapat disimpulkan kepandaian silatnya benar-benar sangat lihai.

   To Siau-hou memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian tanyanya.

   "Bukan memujimu, ilmu silatmu memang sangat tinggi, orangnya juga jujur dan terbuka, kami orangorang Kay-pang paling suka dengan orang macam dirimu, apakah kau ingin masuk menjadi anggota?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sekarang aku tak punya beban tak punya ikatan, hidup bebas tanpa terikat oleh suatu apa pun, buat apa To-heng mesti memberi belenggu padaku?"

   To Siau-hou ikut menghela napas panjang.

   "Cara untuk menjadi anggota perkumpulan kami selamanya sangat ketat, justru lantaran aku merasa amat berkesan kepada Ko-heng sejak pertemuan pertama, seakan-akan kita seperti sudah berteman lama saja, maka ... sudahlah! Ko-heng, di kemudian hari bila kau bersedia menjadi anggota perkumpulan kami, katakan saja kepadaku."

   "To-heng memiliki watak yang gagah, terbuka, berjiwa besar dan hangat terhadap setiap orang, Siaute benar-benar telah mendapat seorang sahabat sehati."

   Tiba-tiba To Siau-hou bangkit, kemudian katanya.

   "Kini aku sedang mendapat tugas rahasia dari Pangcu kami untuk menyelidiki beberapa persoalan di kota Kay-hong, tugas yang amat berat itu mesti kulakukan secepatnya, hingga tak ada waktu buat kita untuk banyak bicara, kalau begitu kita bersua lagi di lain waktu saja!"

   Selesai berkata dia lantas menjura dalam-dalam kepada Bong Thian-gak, setelah itu membalik badan dan beranjak pergi dari situ.

   "Baik-baiklah menjaga dirimu To-heng, sampai jumpa lain waktu,"

   Seru Bong Thian-gak lantang. Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba To Siau-hou berhenti dan membalik tubuh, katanya.

   "Ko-heng, kini Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay telah menurunkan perintah untuk mencari dan membunuh dirimu, kau harus lebih waspada untuk menjaga diri!"

   Mendengar itu Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Terima kasih banyak atas peringatan To-heng, aku bisa menghadapinya dengan hati-hati."

   To Siau-hou tidak banyak bicara lagi, dia membalik badan dan melompat pergi, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.

   Memandang bayangan punggung To Siau-hou yang menjauh, tiba-tiba Bong Thian-gak seperti kehilangan sesuatu, sobat barunya ini seakan-akan meninggalkan kesan yang amat mendalam dalam hatinya.

   Pesan sebelum kepergian To Siau-hou tadi membuat Bong Thian-gak makin bertambah kesal, perintah yang diturunkan Ku-lo Hwesio itu kemungkinan besar bisa mengakibatkan dia saling bentrok dengan sesama saudara seperguruannya.

   "Ai, apakah sebaiknya aku mengundurkan diri dan mengasingkan diri di tengah gunung yang terpencil?"

   Bintang-bintang bertaburan di angkasa dan berkelip tiada henti, persis seperti perasaan Bong Thian-gak yang tak menentu sekarang, dia tidak tahu harusnya dia tetap tinggal di Kay-hong ataukah melanjutkan penyelidikannya atas pembunuh yang membinasakan gurunya itu? Dia tahu, meski dunia persilatan kehilangan dia, namun dia bertekad tetap melakukan penyelidikan terhadap kematian gurunya.

   Agar mereka jangan sampai salah sasaran, dia memang sepantasnya mengundurkan diri dari keramaian dunia.

   Angin dingin berhembus mengibarkan ujung baju Bong Thian-gak, dengan pikiran kusut pelan-pelan dia berjalan meninggalkan tempat itu.

   Malam terasa aneh dan penuh misteri.

   Mendadak terdengar suara keliningan yang nyaring, membuat suasana malam menjadi bertambah misterius.

   Mendengar suara itu, Bong Thian-gak segera berpaling, di tengah kegelapan malam segera terlihat olehnya bayangan sebuah tandu yang muncul dari balik kegelapan.

   Rupanya suara keliningan itu berasal dari tandu itu.

   Dengan kening berkerut Bong Thian-gak segera menyelinap ke balik semak belukar dan menyembunyikan diri, tampak olehnya tandu itu makin lama makin mendekat.

   Itulah sebuah tandu kecil yang digotong dua orang, yang lebih mengherankan lagi, pemikul tandunya adalah dua orang gadis yang masih berusia muda, di sisi kanan tandu tampak pula seorang gadis mengiringi.

   Tirai tandu ditutup rapat, sehingga tidak diketahui siapakah yang duduk dalam tandu itu.

   Sekilas pandang kedua gadis muda itu nampak lemahgemulai dan halus sekali, meski sedang memikul tandu, langkah mereka tetap cepat dan ringan, jelas orang-orang itu mempunyai kepandaian silat sangat tinggi.

   Dengan cepat tandu misterius itu lewat di hadapan Bong Thian-gak dan bergerak menuju ke arah barat daya.

   Memandang bayangan tandu yang menjauh, pelan-pelan Bong Thian-gak berjalan keluar dari balik semak belukar, kemudian dengan perasaan tidak mengerti ia menggeleng kepala berulang kali, pikirnya.

   "Pada umumnya pemikul tandu adalah laki-laki kekar, mana ada gadis muda yang menggotong tandu? Hendak kemanakah mereka?"

   Perasaan ingin tahu yang meluap membuat anak muda itu segera mengerahkan tenaga dan mengejar ke arah bayangan tandu itu lenyap.

   Kurang lebih empat li sudah lewat, tapi anehnya bayangan tandu itu tidak nampak juga, malah suara keliningan yang amat nyaring itu pun sudah tak terdengar lagi.

   Dengan tertegun Bong Thian-gak segera berpikir.

   "Masa secepat itu pemikul tandu itu berjalan? Mengapa bayangan mereka bisa lenyap? Ah, mungkinkah aku telah salah arah!"

   Berpikir demikian, Bong Thian-gak segera membalik badan dan mencari kembali ke tempat semula. Sekali pun dia sudah kembali ke semak belukar dimana dia menyembunyikan diri tadi, tandu itu belum juga ditemukan.

   "Benar-benar aku sudah bertemu setan,"

   Gumam Bong Thian-gak dalam hati, untuk sesaat dia berdiri termangu di situ.

   Mendadak di tengah heningnya suasana, lagi-lagi muncul seorang pejalan malam, ilmu meringankan tubuh orang itu hebat sekali, berjalan di tengah kegelapan seakan-akan segulung hembusan angin saja.

   Dengan cekatan kembali Bong Thian-gak menyembunyikan diri di balik semak belukar.

   Tak selang lama kemudian, pejalan malam itu sudah berhenti di hadapannya, sepasang matanya yang tajam tiada hentinya celingukan ke sana kemari melakukan pemeriksaan.

   Melihat itu Bong Thian-gak berpikir.

   "Mungkin dari kejauhan orang ini melihat di sini ada bayangan orang!"

   Ternyata dugaannya benar, terdengar orang itu bergumam.

   "Mungkin bayangan pohon cemara!"

   Dia lantas mengembangkan Ginkangnya dan lewat di hadapan liong Thian-gak, orang itu bergerak menuju ke arah barat daya.

   Dengan sepasang mata Bong Thian-gak yang tajam, dia dapat melihat pakaian yang dikenakan orang itu adalah pakaian seragam pengawal gedung Bu-lim Bengcu.

   Satu ingatan segera melintas dalam benak Bong Thian-gak.

   Dengan cepat ia mengembangkan Ginkang pula dan melakukan pengejaran.

   Ginkang Bong Thian-gak telah mencapai puncak kesempurnaan, dengan selisih jarak puluhan depa, bagaikan sukma gentayangan saja dia menguntit dari belakang.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setengah jam kemudian mendadak ia menyaksikan orang itu menyelinap ke balik hutan lebat di sisi jalan.

   Bong Thian-gak segera melanjutkan penguntitannya melalui arah lain.

   Hutan itu gelap gulita tak ada setitik sinar pun, tentu saja sulit bagi pemuda itu untuk mengawasi orang itu dengan lebih seksama.

   Untung Bong Thian-gak memiliki ketajaman pendengaran, dari suara langkah kaki si pejalan malam menginjak dedaunan, ia bisa menduga orang itu berada di depannya dan sedang menerobos ke arah selatan hutan itu.

   Setelah berjalan masuk ke dalam, tiba-tiba dari depan sana muncul setitik cahaya, ternyata di situ berdiri sebuah kuil.

   Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira dalam hutan lebat ini bisa tersembunyi sebuah kuil, dengan perasaan ingin tahu ia segera bersembunyi dalam hutan itu sambil menanti perkembangan selanjutnya yang akan terjadi.

   Tampaknya kuil itu tidak berpenghuni, di dalam ruang gelap gulita tak nampak setitik cahaya lentera pun, lagi pula sebagian tembok pekarangannya sudah roboh, rumahnya juga kuno dan bobrok, suasana amat menyeramkan.

   Dengan memperingankan langkah kakinya, orang itu langsung bergerak menuju ke dalam kuil bobrok itu.

   Mendadak dari ruang tengah kuil berkumandang suara teguran seorang perempuan.

   "Apakah kau adalah utusan yang dikirim Sam-kaucu (ketua ketiga)?"

   Ketika mendengar teguran itu, orang itu nampak terperanjat, lalu buru-buru menjawab.

   "Be ... benar, hamba adalah Huhoat (pelindung) di bawah pimpinan Sam-kaucu, apakah Jit-kaucu (ketua ketujuh) sudah datang?"

   Sekali lagi dari dalam ruang kuil berkumandang suara dengusan dingin perempuan itu.

   "Hm, Jit-kaucu telah datang sedari tadi, mengapa kau tidak segera berlutut menerima perintah?"

   Lelaki berbaju hitam itu benar-benar bertekuk lutut mendengar perkataan itu, wajahnya nampak gugup dan tegang. Sementara itu Bong Thian-gak yang bersembunyi dalam hutan pun diam-diam merasa terperanjat.

   "Sam-kaucu, Jitkaucu, sebenarnya perkumpulan macam apakah itu? Kalau lelaki berbaju hitam itu salah satu di antara pengawal gedung Bu-lim Bengcu, penemuanku pada malam ini boleh dibilang penting sekali."

   Dalam pada itu, dari dalam ruang kuil berkumandang lagi suara pembicaraan perempuan lain, perempuan itu sedang bertanya dengan suara hambar.

   "Kau adalah Huhoat nomor berapa di bawah Sam-kaucu?"

   Suara perempuan ini merdu bagaikan burung nuri yang sedang berkicau, tapi di balik suara yang merdu itu terselip kewibawaan yang menggidikkan. Dengan suara gemetar, lelaki berbaju hitam itu segera menjawab.

   "Hamba adalah pelindung nomor dua puluh sembilan Lo Gi." "Lo Gi?"

   Kembali suara perempuan itu bertanya.

   "Tahukah kau di antara Kaucu dalam perguruan kita, Kaucu nomor berapakah yang mempunyai peraturan paling ketat?"

   "Jit-kaucu!"

   Perempuan dengan suara berwibawa itu kembali berkata.

   "Aku telah menunggu hampir setengah jam lamanya di tempat ini, persoalan apakah yang membuat kedatanganmu terlambat tiga perempat jam?"

   "Secara tiba-tiba di gedung Bu-lim Bengcu diadakan pemeriksaan pasukan, oleh sebab itu hamba datang terlambat, harap Jit-kaucu sudi memaafkan dosa hamba ini."

   Kepala Bong Thian-gak serasa mendengung keras sesudah mendengar tanya jawab itu, apa yang didengarnya ini ternyata benar, orang adalah mata-mata musuh yang sengaja diselundupkan ke dalam gedung Bu-lim Bengcu.

   Ini berarti perguruan rahasia itulah yang sesungguhnya musuh umum seluruh umat persilatan.

   Sementara itu dari dalam ruang kuil kembali terdengar Jitkaucu berkata.

   "Perintah apakah yang diberikan Sam-kaucu untuk disampaikan kepadaku? Cepat katakan."

   "Sam-kaucu hanya menyerahkan tiga hal, pertama, ia minta pada Jit-kaucu untuk menyelidiki seorang yang bernama Ko Hong."

   "Manusia macam apakah Ko Hong itu? Mengapa harus Kaucu yang melakukan penyelidikan ini?"

   Tegur Jit-kaucu dari dalam ruangan dengan suara sedingin es.

   "Sam-kaucu yang mengharapkan demikian, menurut Samkaucu, Ko Hong mempunyai ciri khas, dia berwajah kuning macam orang penyakitan, kaki kirinya pincang, ilmu silatnya amat lihai dan usianya antara dua puluh tujuh-delapan tahunan." "Sam-kaucu menitahkan kepada Jit-kaucu untuk menyelidiki asal-usulnya dan berusaha menariknya agar bergabung dengan perkumpulan kita, apabila usaha ini mustahil, mumpung belum menimbulkan ancaman, dia mesti cepat disingkirkan dari muka bumi."

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu menjadi amat terkesiap, dia tidak menyangka perkumpulan ini pun akan turun tangan keji terhadapnya.

   Jit-kaucu yang berada dalam ruangan kuil nampaknya sedang termenung, selang beberapa saat kemudian ia baru bertanya.

   "Masih ada persoalan apa lagi, cepat katakan."

   "Kedua, menurut Sam-kaucu, beberapa hari mendatang mungkin Yu Heng-sui hendak menuju ke kantor cabang kita untuk melakukan penyelidikan, bila perlu Jit-kaucu boleh mengambil keputusan sendiri untuk menentukan mati hidupnya."

   Berita ini lagi-lagi membuat Bong Thian-gak terperanjat, cepat pikirnya.

   "Entah dimanakah letak kantor cabang mereka? Bila aku tidak berusaha keras memberitahu kabar ini kepada Ji-suheng, bisa jadi keselamatan Ji-suheng akan terancam mara bahaya!"

   Sementara itu lelaki berbaju hitam berkata lagi.

   "Soal ketiga, kata Sam-kaucu, Cap-go-kaucu (ketua kelima belas) pernah mengirim pembunuh ke gedung Bu-lim Bengcu untuk melenyapkan jiwa Ko Hong, tapi usaha pembunuhan itu menemui kegagalan, malah rahasia Sin-li-tui (pasukan gadis suci) perkumpulan kita ikut bocor, kemungkinan hal itu akan mempengaruhi rencana kita secara keseluruhan, Sam-kaucu minta Jit-kaucu menyampaikan berita ini kepada Cong-kaucu untuk menetapkan langkah selanjutnya dari Cap-go-kaucu."

   "Hanya tiga soal inikah yang dipesankan Sam-kaucu?"

   Tanya Jit-kaucu hambar.

   "Benar!"

   Pelan-pelan Jit-kaucu berkata lagi.

   "Peraturan perkumpulan kita amat ketat, tak mengizinkan anggota partai melakukan kesalahan?"

   Lelaki berbaju hitam itu nampak tertegun, kemudian sahutnya.

   "Bagi yang melakukan kesalahan berat hukumannya mati, sedangkan yang ringan disekap untuk menyesali dosanya."

   "Lo Gi, kemari kau,"

   Tiba-tiba Jit-kaucu berkata dengan suara pelan.

   Tampaknya lelaki berbaju hitam itu belum tahu bencana besar sudah berada di ambang mata, dengan menurut sekali dia berjalan m.isuk ke dalam ruangan.

   Ruangan itu gelap gulita tak nampak setitik cahaya pun, semenjak lelaki berbaju hitam itu masuk ke dalam, suasana sekeliling tempat itu hei ubah menjadi hening, sepi dan tak terdengar sedikit suara pun ....

   Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Bong Thiangak mencoba memeriksa sekeliling ruang itu, namun belum juga ditemukan suatu gerakan pun, lama-kelamaan timbul juga rasa curiga dalam hatinya, dia segera berpikir.

   "Aneh! Paling tidak dalam ruangan itu terdapat dua orang atau lebih, ditambah orang berbaju hitam yang masuk ke dalam, mengapa dalam waktu singkat suasana berubah menjadi hening dan tak terdengar sedikit pun suara?"

   Bong Thian-gak menunggu lagi hingga setengah jam lamanya, akan tetapi suasana dalam ruangan tetap hening.

   "Jangan-jangan mereka sudah kabur melalui ruang belakang?"

   Ingatan itu dengan cepat melintas dalam benaknya. Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera menyumpah dalam hati.

   "Siluman rase, benar-benar licik kau!"

   Dia segera melompat keluar dari dalam hutan dan berlari ke arah gedung utama dengan kecepatan tinggi. Mendadak Bong Thian-gak menyaksikan lelaki berbaju hitam itu masih berlutut di depan pintu kuil itu.

   "Jangan-jangan mereka belum pergi?"

   Diam-diam Bong Thian-gak hrrpikir.

   Tapi untuk menyelidiki asal-usul perkumpulan lawan dan untuk membalas dendam bagi kematian gurunya, bagaimana pun juga dia harus menawan musuh dalam keadaan hidup.

   Tanpa rasa jeri barang sedikit pun, selangkah demi selangkah Bonng Thian-gak berjalan menuju ruang kuil.

   Siapa tahu kendati dia sudah berdiri di belakang lelaki berbaju hitam itu, suasana dalam ruangan kuil masih tetap hening tak terdengar suara apa pun, lelaki berbaju hitam yang sedang berlutut itu pun tak berpaling.

   Bong Thian-gak tertawa dingin, dengan satu lompatan lebar dia menerjang masuk ke dalam ruangan tengah, lalu tangan kirinya secepat kilat mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan lelaki itu.

   Siapa tahu tangannya yang berhasil mencengkeram nadi lawan hanya menyentuh tubuh yang telah dingin dan kaku, tubuh lelaki itu tahu-tahu roboh terjengkang ke tanah.

   Di bawah cahaya bintang yang menyinari sekitar situ, Bong Thian-gak menemukan wajah yang amat tak sedap dipandang dari lelaki berbaju hitam itu, saking kagetnya ia sampai melepas cengkeramannya dan mundur.

   Ternyata lelaki itu sudah tewas, wajahnya pucat-pias, seluruh daging wajahnya telah lenyap sehingga wujudnya sekarang tinggal kulit membungkus tulang.

   "Ah, keadaan seperti ini agaknya seperti amat kukenal!"

   Pikir pemuda itu kemudian.

   Tapi dengan cepat Bong Thian-gak teringat mayat Kongsun Phu-ki, mayat mereka berdua pada hakikatnya mirip sekali.

   Menurut penilaian Ku-lo Hwesio, sebab kematian Kongsun Phu-ki adalah kehabisan sumsum akibat hubungan senggama yang kelewat batas, tapi lelaki berbaju hitam ini tak melakukan hubungan senggama, mengapa dia pun tewas akibat kehabisan sumsum? "Ilmu silat apakah itu? Ya, ilmu silat apakah itu? Mengapa dia bisa menghisap sari tubuh lelaki kekar yang nampak bertubuh segar menjadi sesosok mayat yang bertubuh kulit membungkus tulang hanya dalam sekejap mata?"

   Betul-betul suatu peristiwa yang amat mengerikan.

   Sebetulnya perempuan macam apakah Jit-kaucu itu? Dari sini dapat disimpulkan bahwa kematian Kongsun Phuki pun.

   disebabkan perbuatan Jit-kaucu ini.

   Dengan cepat Bong Thian-gak masuk ke ruang tengah, menembus dua halaman dan di belakang kuil dia menemukan sebuah hutan yang amat lebat.

   Tanpa pikir panjang lagi, dia segera memasuki hutan lebat itu.

   Dari balik hutan yang sangat lebat dan seakan-akan tak bertepian itu, mendadak terdengar suara bentakan nyaring.

   Bagaikan seorang yang tersesat di padang gurun pasir dan secara tiba-tiba menemukan sumber mata air saja, Bong Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya menyusul ke depan.

   Di tengah semak belukar yang lebat, akhirnya ia temukan sebuah landu kecil diparkir di sana, dua gadis muda berbaju hijau memikul tandu itu, sedang gadis berbaju hijau lainnya berdiri di muka tandu dengan senjata terhunus.

   Di depan gadis berbaju hijau yang bersenjata terhunus itu berdiri seorang pemuda berbaju compang-camping yang berwajah tampan.

   Dengan cepat Bong Thian-gak dapat mengenali pemuda itu sebagai To Siau-hou, anggota Kay-pang yang baru saja dikenalnya semalam.

   Sementara itu To Siau-hou juga sudah mengenali Bong Thian-gak, paras mukanya segera berubah hebat.

   Rupanya To Siau-hou salah mengira Bong Thian-gak berasal sealiran dengan gadis-gadis itu, sambil tertawa dingin ia menyindir.

   "Sungguh tak kusangka kau adalah pelindung bunga. Hahaha, bila begitu aku telah salah memilih teman."

   "To-heng, jangan salah paham,"

   Buru-buru Bong Thian-gak berkata.

   "Aku sama sekali tak punya hubungan apa-apa dengan mereka."

   "Kalau memang demikian, harap Ko-heng berpeluk tangan saja di sisi arena!"

   Sementar itu si gadis bersenjata pedang telah menuding ke arah To Siau-hou sambil membentak.

   "Hei, kau si pengemis, mengapa berdiri menghadang di tengah jalan? Memangnya telah bosan hidup?"

   To Siau-hou tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, tidak sulit bila tandu nona ingin lewat tempat ini, cuma aku harus memeriksa dulu orang macam apakah yang sedang duduk di dalam tandu itu."

   Bong Thian-gak menyaksikan semua itu, dengan cepat ia dapat menduga orang yang berada dalam tandu itu pasti adalah Jit-kaucu yang keji dan tak berperi-kemanusiaan itu.

   Ketika nona baju hijau selesai mendengarkan ucapan itu, alisnya segera bekernyit, hawa membunuh menyelimuti wajahnya, dia segera membentak.

   "Rupanya kau ingin mampus!"

   Mendadak dia menekuk pinggang, lalu secepat sambaran petir menerjang ke muka dan melepas bacokan kilat.

   To Siau-hou menggoyang bahu berkelit tiga kali ke samping, kemudian melangkah maju menghampiri tandu kecil itu Gadis berbaju hitam itu membentak nyaring, jurus pedangnya segera berubah, beruntun dia melancarkan tiga buah serangan berantai, cahaya tajam yang berkilau bagaikan beribu bintang dengan cepat menyapu ke depan dan mengurung sekujur badan To Siau-hou.

   Terdesak oleh tiga serangan berantai itu, To Siau-hou mundur dua langkah, bayangan orang berkelebat, lagi-lagi gadis berbaju hitam itu sudah melintangkan pedangnya menghadang di depan tandu.

   Rupanya To Siau-hou dibikin gusar pula oleh perbuatan musuh, keningnya berkerut dan matanya memancarkan cahaya berkilauan, pelan-pelan tangan kanannya mencabut sebatang tongkat bambu dari balik bahunya.

   Dengan tangan kiri menggenggam tongkat bambu, tangan kanan pelan-pelan bergerak ke muka, sebilah pedang tajam tahu-tahu sudah dilolos pula dari sarungnya.

   Pada saat itulah dari dalam tandu berkumandang suara merdu dan lembut menegur hambar.

   "Aku duga kau pastilah Giok-bin-giam-lo (Raja akhirat berwajah kemala) To Siau-hou, salah satu di antara Cho-yu-siang-siau (Sepasang muda kiri kanan) yang mendampingi Liong-thau Pangcu dari Kay-pang!"

   Cho-yu-siang-siau dari Kay-pang jarang melakukan perjalanan di Bu-lim, oleh sebab itu nama mereka jarang diketahui orang, agak terperanjat juga hati To Siau-hou setelah nama dan julukannya berhasil disebut orang secara tepat.

   Sambil melintangkan pedang di depan dada, ia segera membentak dengan suara dalam.

   "Siapakah kau?"

   "Jit-kaucu!"

   "Bagus sekali, Jit-kaucu. Sebelum Bu-siang-long-hou-ciang dari perkumpulan kami menemui ajal, ia pernah menyinggung nama besar Jit-kaucu, sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apakah saudara kami ini tewas di tanganmu?"

   "Dia tewas di tangan Ji-kaucu (ketua kedua)!"

   Jawab Jitkaucu dengan suara dingin.

   "Siapakah Ji-kaucu itu?"

   Bentak To Siau-hou dengan kening berkerut.

   "Pertanyaanmu itu terlalu lampau bersifat kekanakkanakan, Jikaucu adalah Ji-kaucu, kau tak usah banyak bertanya lagi."

   Bong Thian-gak berkerut kening mendengar ucapan itu, belum pernah ia jumpai suatu perkumpulan dengan sejumlah pimpinan begini aneh, ditinjau dari pembicaraan malam ini, lalu dianalisa kembali, dapat disimpulkan bahwa pimpinan tertinggi organisasi rahasia ini mungkin disebut "Kaucu!".

   Sedang orang yang paling berkuasa di antara deretan Kaucu-kaucu itu tentulah Cong-kaucu (Kaucu nomor satu), tapi berapa banyak Kaucu yang terdapat dalam perkumpulan itu? Dari pembicaraan malam ini, agaknya angka terbesar yang pernah disebut adalah kelima belas, yakni Cap-go-kaucu.

   Sementara itu Giok-bin-giam-lo To Siau-hou tertawa dingin, lalu ujarnya.

   "Jika aku berhasil membekuk kau malam ini, aku tak kuatir anak murid perguruanmu itu tak akan menampakkan batang hidungnya."

   "Begitu yakin akan kemampuanmu?" "Mengapa tidak dibuktikan saja!"

   Seru To Siau-hou sambil tertawa nyaring. Mendadak terdengar Jit-kaucu berseru.

   "Turunkan tandu, kalian bertiga boleh segera mengundurkan diri!"

   Begitu perintah diturunkan, kedua gadis berbaju hitam segera menurunkan tandu, lalu bersama gadis berpedang mengundurkan diri dengan cepat ke sisi kiri, kanan dan belakang tandu.

   Giok-bin-giam-lo To Siau-hou segera merentangkan pedang di depan dada, kemudian tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, kalau begitu aku ingin mencoba sampai dimanakah taraf kepandaian silat yang kau miliki!"

   Mendadak terdengar Bong Thian-gak membentak dengan suara dalam.

   "Tunggu dulu!"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan langkah lebar dia berjalan mendekat, lalu sambil menjura kepada To Siau-hou, katanya.

   "To-heng, harap kau bersedia memberi kesempatan bagiku mengajukan beberapa pertanyaan dulu kepadanya sebelum pertarungan dilakukan!"

   Giok-bin-giam-lo To Siau-hou memandang sekejap ke arah Bong Ihian-gak, kemudian katanya.

   "Silakan Ko-heng!"

   Dengan suara lantang Bong Thian-gak berseru.

   "Jit-kaucu, dengar baik-baik! Aku punya beberapa persoalan yang tak kupahami dan ingin minta petunjuk darimu, aku harap kau sudi memberi petunjuk!"

   "Soal apa? Katakan saja!"

   Ucap Jit-kaucu dari dalam tandu dengan suara hambar.

   "Aku ingin bertanya, Bu-lim Bengcu Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu tewas dalam keadaan bagaimana?"

   "Ada hubungan apa antara kau dan Oh Ciong-hu?"

   Jitkaucu balik bertanya.

   "Kami adalah sahabat!"

   Jit-kaucu termenung beberapa saat lamanya, setelah itu baru berkata lagi.

   "Sebab kematian Oh Ciong-hu hanya diketahui satu orang saja dan orang itu bukan diriku sehingga aku pun tak bisa memberikan keterangan apa-apa kepadamu."

   "Apakah orang itu adalah Cong-kaucu perkumpulan kalian?"

   "Benar!"

   Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak, kembali dia bertanya.

   "Apa nama perkumpulan kalian?"

   Jit-kaucu yang berada di dalam tandu tertawa riang.

   "Sejak saat ini nama perkumpulan kami akan berkumandang di seluruh penjuru dunia dan membekas dalam hati setiap orang, kuberitahukan kepadamu pun tak ada salahnya, perkumpulan kami bernama Put-gwa-cin-kau!"

   "Put-gwa?"

   Seru Bong Thian-gak terperanjat.

   "Put-gwa (tiada aku) merupakan persembahan kita terhadap partai, demi kepentingan partai, kami tak akan mempersoalkan hati sendiri, tubuh dan hati kami semua adalah milik partai."

   "Benarkah Cong-kaucu kalian adalah Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng!"

   "Benar atau tidak, maaf aku tak bisa memberitahukan kepadamu."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Baiklah, terima kasih banyak atas jawabanmu!"

   Katanya kemudian. Selesai berkata, dia lantas mengundurkan diri ke samping To Siau-hou sambil berbisik.

   "To-heng, orang ini memiliki ilmu pukulan yang amat sakti dan jahat sekali, kau harus berhatihati."

   "Andai aku mati, tolong Ko-heng sudi mengirim jenazahku kembali ke markas Kay-pang!"

   Dalam pada itu Jit-kaucu hanya duduk diam di dalam tandu, tirai tandu masih tertutup rapat sehingga secara lamatlamat cuma nampak bayangan orang saja.

   Dengan pedang terhunus To Siau-hou berjalan ke muka dan baru berhenti di depan tandu, kemudian tegurnya.

   "Jitkaucu, dengan cara inikah kau hendak menerima seranganku?"

   "Hm, tak usah banyak bicara, lancarkan saja seranganmu!"

   Seru Jit-kaucu dingin. Dengan kening berkerut To Siau-hou segera mengayun pedang menyambar tirai tandu.

   "Kau ingin mampus rupanya!"

   Bentakan nyaring berkumandang. Bagaikan sukma gentayangan tiba-tiba muncul sebuah lengan putih mulus dari balik tandu, kemudian jari tangannya yang ramping menyentil ke muka. Pedang To Siau-hou terpental oleh suatu kekuatan maha dahsyat.

   "Aduh, celaka!"

   Pekik To Siau-hou.

   Dia ingin membuang pedangnya sambil mundur, siapa tahu telapak tangan membalik ke atas.

   Sekilas cahaya merah segera memancar keluar, segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat bagaikan gelombang ombak di tengah samudra langsung menghajar tubuh To Siau-hou.

   Dengusan tertahan bergema, To Siau-hou berikut pedangnya terpental oleh tenaga pukulan yang maha dahsyat itu.

   Sekali pun sepasang kakinya dapat mencapai tanah lebih dahulu hingga tubuhnya tidak terbanting, tak urung tubuhnya berguncang keras, lutut gemetar dan hampir saja tak sanggup menahan diri.

   Dengan cepat Bong Thian-gak memburu ke muka, serunya dengan cemas.

   "To-heng, parahkah lukamu?"

   Sementara itu peluh dingin telah bercucuran membasahi wajah To Siau-hou, kulit mukanya mengejang menahan penderitaan yang luar biasa, katanya dengan suara gemetar.

   "Ilmu silat perempuan ini teramat hebat, harap Ko-heng jangan menghadapinya dengan kekerasan."

   Kedua gadis muda itu sudah menggotong kembali tandunya dan siap berlalu dari situ. Dengan cepat Bong Thian-gak melompat ke depan sambil membentak nyaring.

   "Tunggu sebentar!"

   Sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan melepas dua gulung angin pukulan dahsyat ke tubuh kedua gadis muda itu.

   "Turunkan tandu dan cepat mundur!"

   Seruan nyaring Jitkaucu berkumandang dari balik tandu.

   Tapi sayang, keadaan terlambat, kedua gulung angin pukulan Bong Thian-gak secepat sambaran petir telah menyapu ke depan.

   Dua jeritan kaget segera berkumandang memecah keheningan.

   Kedua gadis pemikul tandu terhantam oleh kedua gulung angin pukulan itu hingga badannya terpental dan roboh terjengkang ke atas tanah.

   Tandu kecil itu pun terjatuh ke tanah.

   Begitu berhasil menyapu kedua gadis itu, dengan serangan bagaikan naga sakti bermain di udara, Bong Thian-gak segera menerjang tandu itu.

   Mendadak sebuah pergelangan tangan menerobos keluar dari balik tandu, dengan cepat Bong Thian-gak mengayun telapak tangan kanannya melepaskan sebuah bacokan dengan kecepatan tinggi.

   Tetapi telapak tangan lawan bergerak sangat lincah, sedikit menggeser tahu-tahu sudah terhindar dari bacokan, kemudian dengan lima jari dibentangkan bagaikan kaitan, dia balik mematuk pergelangan tangan kanan Bong Thian-gak.

   Begitulah, kedua jago lihai masing-masing melepas serangan dengan menggunakan tangan sebelah, kedua belah pihak bergerak dengan kecepatan luar biasa serta kelincahan yang mengagumkan.

   Pertarungan berlangsung bertambah sengit.

   Perlu diketahui, arah ancaman serangan kedua orang itu selalu berkisar antara jalan darah Huo-ko-hiat dan Meh-bunhiat, padahal kedua jalan darah itu merupakan Hiat-to mematikan di tubuh manusia, sekali salah perhitungan maka akibatnya akan mengenaskan.

   Bong Thian-gak membentak keras, tiba-tiba dia mengayun kaki kanannya menendang urat nadi pergelangan tangan lawan, kemudian tangan kanan menyambar ke bawah mencengkeram tirai yang menutup tandu itu.

   Agaknya Jit-kaucu yang berada dalam tandu pun sudah dibikin berkobar amarahnya, tangannya bagaikan ular lincah yang keluar dari gua bergerak kian kemari dengan teramat cepat, secara lincah dan cekatan dia selalu berhasil meloloskan diri dari serangan gencar Bong Thian-gak.

   Mendadak Jit-kaucu menarik telapak tangannya ke dalam, tapi secara tiba-tiba dikeluarkan kembali, selisih waktunya hanya beberapa detik saja.

   Ketika telapak tangannya keluar dari balik tirai, sekilas cahaya merah segera memancar keempat penjuru.

   Bong Thian-gak segera tahu perempuan itu hendak mengeluarkan ilmu pukulan maha saktinya, dia membentak keras, segenap tenaga dalamnya dihimpun pada tangan kiri, lalu diayun ke muka mengikuti gerakan tubuhnya yang menyelinap keluar.

   Dalam waktu singkat dua gulung tenaga pukulan telah saling bentur, ledakan nyaring menggelegar, pusaran angin disertai desingan angin tajam menderu-deru di angkasa.

   Bong Thian-gak melayang turun, berbareng tangan kanannya telah bertambah dengan sebuah kain cadar hitam, akhirnya wajah asli Jit-kaucu kelihatan juga di depan mata.

   Setelah tirai tandu terlepas, tampaklah di dalam tandu duduk seorang gadis cantik berbaju biru, sepasang matanya jeli memancarkan sinar tajam membetot sukma, saat itu sorot matanya sedang memandang wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.

   Sebaliknya Bong Thian-gak yang dapat melihat wajah cantik dalam tandu itu segera merasa tubuhnya gemetar keras tanpa terasa, cadar itu sudah terlepas ke atas tanah.

   Ternyata raut wajah si nona cantik ini amat dikenal olehnya, sekali pun memejamkan mata Bong Thian-gak pun bisa melukiskan setiap bagian tubuhnya secara nyata dan jelas.

   "Ah, rupanya dia!"

   Pekik anak muda itu dalam hati. Dia menggeleng kepala berulang kali sambil memejamkan mata, kemudian sekali lagi menatap wajah gadis itu lekatlekat.

   "Ya, betul! Memang dia, dialah si gadis telanjang bulat di rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau."

   Sementara itu perempuan cantik dalam tandu itu seolah teringat pula akan sesuatu persoalan setelah menyaksikan sikap Bong Thian-gak yang melongo itu, dia pun berseru tertahan, lalu mukanya berubah merah padam, tubuhnya gemetar keras karena emosi.

   Suasana hening menyelimuti tempat itu, sepasang mudamudi itu dengan membawa rahasia masing-masing hanya termenung sambil membungkam.

   Dalam keadaan demikian, bukan cuma To Siau-hou saja, bahkan ketiga gadis berbaju hijau pun tidak habis mengerti apa sebabnya kedua orang itu tertegun dan termangu-mangu seperti orang kehilangan sukma setelah saling bertatap muka.

   Mendadak terdengar Jit-kaucu yang berada dalam tandu berkata.

   "Sialan, bocah keparat yang tidak tahu malu!"

   Ucapan itu membuat Bong Thian-gak merasa malu sekali sehingga menundukkan kepala, namun dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Mendadak terdengar Jit-kaucu membentak keras.

   "Ing Soat, kalau tidak pergi mau tunggu apa lagi?"

   Kedua gadis pemikul tandu dan gadis baju hijau yang membawa pedang buru-buru mengangkat tandu kecil itu dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun berlalu dari situ.

   Suara keliningan nyaring berkumandang makin menjauh.

   Menanti suara keliningan itu menjauh, Bong Thian-gak seolah baru mendusin dari lamunannya, ia berseru tertahan sambil berpaling.

   Dijumpainya Giok-bin-giam-lo To Siau-hou telah menempelkan pedang di atas pinggang kiri sendiri.

   "To-heng, apa maksudmu?"

   Tegur Bong Thian-gak. Dengus napas To Siau-hou agak tersengal, katanya.

   "Siapakah perempuan itu?"

   "Siapa lagi, tentu saja Jit-kaucu!"

   Sahut Bong Thian-gak dengan wajah tertegun. To Siau-hou tertawa dingin.

   "Ko-heng, kau tak usah berlagak pilon, sewaktu mata kalian saling bertemu, paras muka kalian berdua segera berubah tak menentu, sudah jelas kalian adalah kenalan lama, mengapa Ko-heng mengatakan tidak tahu?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, betul, sebelumnya aku memang pernah sekali berjumpa dengannya, tapi aku tidak tahu siapakah dia. Ucapan Siaute adalah sejujurnya bila aku bohong biar Thian mengutuk aku!"

   Mendadak To Siau-hou menarik kembali pedangnya, kemudian dia muntah darah sebanyak dua kali, setelah mundur sempoyongan, tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.

   Menanti Bong Thian-gak membalik tubuhnya, To Siau-hou sudah tergeletak dengan wajah pucat-pias seperti mayat, tanpa terasa teriaknya dengan terkejut.

   "To-heng, mengapakah kau?"

   "Ko-heng, maafkanlah aku, aku telah salah sangka kepadamu,"

   Bisik To Siau-hou dengan lemah.

   "Aku.mungkin sudah tak bisa ditolong lagi! Ilmu pukulannya sangat jahat dan lihai ... sekarang tubuhku mulai terasa berkerut kencang, sekujur tubuhku kedinginan setengah mati."

   Bong Thian-gak pernah menyaksikan bagaimana cara Jitkaucu membunuh orang, ia menjadi terperanjat sekali, segera pikirnya.

   "Entah apa nama pukulan ilmu saktinya itu? Aku tak bisa ilmu pengobatan. Ai, apa yang mesti kulakukan sekarang?"

   Makin dipikir hatinya semakin gelisah sehingga tanpa terasa dia menghentakkan kaki ke tanah, serunya kemudian.

   "Toheng, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

   Agaknya To Siau-hou sudah tahu tiada harapan baginya untuk hidup, sikapnya malah tampak jauh lebih tenang, katanya.

   "Ko-heng, setelah aku mati, tolong antarkan jenazahku ke markas besar Kay-pang di Sucwan, kemudian ceritakanlah nasib yang kualami ini kepada guruku, ketua Kaypang...."

   "To-heng, cepat kau pikirkan sebentar apakah di sekitar sini ada tabib pandai!"

   Seru Bong Thian-gak gelisah. Sambil tertawa getir To Siau-hou menggeleng kepala berulang kali.

   "Tidak ada! Sebelum menemui ajal Bu-sianglong- hou-ciang pernah berkata bahwa Jit-kaucu telah berhasil memiliki sejenis ilmu pukulan maha sakti yang tiada tandingan di dunia ini, barang siapa terkena pukulannya itu, hanya kematian yang akan dialaminya, tiada obat yang hisa menyembuhkannya!"

   "Ai, aku memang kelewat tinggi hati dan gegabah, sekali pun tahu kelihaian ilmu pukulan lawan, aku tetap nekat menghadapinya, aku memang patut mampus!"

   Cepat Bong Thian-gak menggeleng, katanya.

   "Tiada pukulan yang tak bisa disembuhkan di dunia ini, asal diketahui namanya, aku bisa mengusahakan penyembuhan bagimu. Cuma aku kuatir waktu tidak mengizinkan lagi."

   "Aku pun mengerti sedikit ilmu pertabiban, menurut keadaan luka yang kuderita sekarang, mungkin tak akan bisa bertahan sampai tengah malam nanti."

   Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata.

   "To-heng, mari kubimbing kau pergi ke tempat sepi, kemudian aku akan mencari Jit-kaucu, aku akan bertanya kepadanya ilmu pukulan apa yang telah dia pergunakan untuk melukai dirimu."

   "Terima kasih Ko-heng!"

   To Siau-hou tertawa sedih.

   "Ilmu silat Jit-kaucu sudah kau ketahui sendiri, bila Ko-heng mengalami hal-hal yang tak diinginkan gara-gara urusanku, bagaimana mungkin arwahku di alam baka bisa tenteram?"

   Mencorong sinar tajam di balik mata Bong Thian-gak, serunya.

   "Kecuali berbuat demikian, tiada cara lain yang bisa dipakai untuk menyelamatkan nyawa To-heng."

   Meski hanya beberapa patah kata yang singkat, namun terpancar sifat ksatria dan kegagahan Bong Thian-gak.

   "Ko-heng, budi kebaikanmu sungguh sangat mengharukan, sampai mati pun Siaute tak akan melupakanmu."

   Bong Thian-gak tak bicara lagi, dia segera memayang To Siau-hou dan membawanya ke balik semak yang agak tersembunyi, lalu katanya.

   "Harap To-heng menunggu di sini, Siaute akan segera mengejar Jit-kaucu, paling lambat satu setengah jam aku akan balik ke sini."

   "Tidak usah! Lebih baik menemani aku saja di sini!"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"To-heng!"

   Seru Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   "Meski kau menganggap kematian bagaikan pulang ke rumah, tapi pernahkah kau bayangkan kematianmu merupakan hilangnya seorang Enghiong bagi dunia Kangouw? Pihak manusia laknat akan kehilangan musuh tangguh?"

   Air mata meleleh membasahi wajah To Siau-hou, serunya pelan.

   "Ko-heng, bila kepergianmu mengundang bencana bagimu sendiri, dunia persilatan lebih-lebih akan kehilangan seorang pendekar berjiwa ksatria, apa lagi dengan kematian kita berdua maka tak ada yang tahu siapakah pembunuh kita itu."

   "Tak usah kuatir, To-heng"

   Ucap Bong Thian-gak sambil menahan rasa pedih dalam hati.

   "Aku tak bakal mati di tangan Jit-kaucu, nah, aku pergi dulu."

   Tidak menanti jawaban To Siau-hou lagi, dia segera melompat bangun dan berlalu dari situ dengan mengerahkan Ginkangnya.

   Sejak dapat melihat jelas raut muka Jit-kaucu, Bong Thiangak yakin dia adalah gadis yang pernah dijumpainya di Kangsan- bi-jin-lau, maka dia segera mengerahkan Ginkangnya menuju ke Kay-hong.

   Tak lama kemudian Bong Thian-gak telah masuk ke kota Kay-hong, buru-buru dia menuju ke tempat hiburan dan berhenti di luar rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau.

   Setelah ragu sejenak, dia membalik badan menuju ke halaman belakang, dari situ dia masuk dengan melompati pagar, ketika tiba di luar loteng, ia saksikan cahaya lentera menerangi seluruh ruangan, sesosok bayangan bertubuh indah sedang duduk di dekat jendela.

   Bong Thian-gak memeriksa sekeliling tempat itu, ia jumpai cahaya lampu pun menerangi hampir setiap jendela, suara pembicaraan tiada hentinya berkumandang, tapi di halaman kecil yang terpencil itu justru suasananya amat hening, tak seorang pun ditemukan di situ.

   Tanpa ragu lagi dia melompat naik ke atas pagar loteng, agaknya perempuan cantik di balik jendela telah mengetahui kedatangannya, dia menggoyang sedikit kepalanya untuk berpaling, sementara tubuhnya masih tetap duduk di kursi.

   Setelah berdehem pelan, Bong Thian-gak segera menyapa.

   "Jit-kaucu di dalam?"

   Perempuan cantik di balik jendela tidak bergerak, tapi terdengar ia menegur dengan suara sedingin es.

   "Kau adalah berandal hidung htingor, besar betul nyalimu!"

   "Jit-kaucu, aku bukan berandal cabul...."

   Tidak menanti Bong Thian-gak menyelesaikan katakatanya, kembali perempuan itu mengumpat.

   "Kalau kau bukan berandal cabul hidung bangor, mengapa di tengah malam buta mengintip kamar tidur kaum wanita?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, pada peristiwa kemarin dulu, biar kujelaskan nanti secara pelanpelan, malam ini aku ..."

   "Ada urusan apa?" "Aku ingin bertanya kepada Jit-kaucu, dengan ilmu pukulan apakah kau melukai Giok-bin-giam-lo?"

   "Dia belum mampus?"

   Tanya perempuan itu hambar.

   "Belum, tapi sudah tak jauh dari ambang pintu kematian."

   "Kalau sudah mampus lebih baik lagi, buat apa kau menanyakan ilmu pukulan yang kupakai untuk membunuhnya?"

   Bong Thian-gak mengerut dahi, lalu menjawab dengan suara dalam.

   "Mengapa kau memandang enteng nyawa manusia? Ketahuilah, Thian menciptakan manusia dengan harapan banyak berbuat kebajikan, kegemaran Jit-kaucu membunuh orang benar-benar telah melanggar perintah Thian."

   Tiba-tiba perempuan cantik itu tertawa dingin, suaranya amat menyeramkan penuh dengan nada membunuh, membuat orang yang mendengar berdiri bulu kuduknya. Mendadak suara tawa itu sirap, lalu terdengar perempuan cantik itu bertanya lagi dengan hambar.

   "Kau berani masuk kemari?"

   Terkesiap hati Bong Thian-gak, segera sahutnya.

   "Mengapa tidak?"

   Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berjalan menuju ke pintu dan mendorongnya.

   Pintu itu tidak terkunci dan segera terbuka ketika didorong, Bong Thian-gak yang berilmu tinggi dan bernyali besar segera melangkah masuk dengan dada dibusungkan.

   Waktu itu Jit-kaucu sedang duduk membelakangi pintu, sekali pun tahu Bong Thian-gak masuk, namun sama sekali ia tidak berpaling, hanya tangan kirinya yang putih bersih menuding ke sebuah kursi bulat di sampingnya, katanya.

   "Duduklah!"

   Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memandang sekejap kursi bulat itu, setelah tidak melihat sesuatu gejala aneh, dia pun menurut dan berduduk.

   Kini separoh wajah nona yang cantik sudah kelihatan dengan jelas.

   Di bawah cahaya lentera, terlihat jelas perempuan itu memang berwajah cantik jelita, kecantikannya ibarat bidadari yang baru turun dari kahyangan.

   Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas, pikirnya.

   "Dengan wajah yang begitu cantik, mengapa justru dilahirkan dengan hati yang busuk, jelek dan jahat? Ai, benar-benar patut disayangkan!"

   Mendadak terdengar Jit-kaucu menegur.

   "Hei, apa yang sedang kau pikirkan?"

   Suaranya merdu bagai kicau burung nuri, sungguh mempesona hati siapa pun.

   Entah sedari kapan Jit-kaucu telah membalikkan badan, kini jarak kedua orang itu dekat sekali, ketika angin berhembus, terendus bau harum semerbak yang membuat hati menjadi mabuk.

   Bong Thian-gak menarik napas, kemudian berkata dengan suara nyaring.

   "Aku sedang berpikir, mengapa Kaucu berwajah begitu cantik."

   "Dan kau pun sedang berpikir, mengapa hatiku begitu kejam tak kenal perasaan begitu, bukan?"

   Sela Jit-kaucu sambil tersenyum. Bong Thian-gak tertegun, kemudian ujarnya.

   "Benar-benar amat lihai! Darimana kau tahu akan jalan pikiranku?"

   Tiba-tiba paras muka Jit-kaucu berubah hebat, serunya lagi.

   "Nyalimu sungguh besar, mungkin di kolong langit dewasa ini belum ada orang kedua yang berani duduk sedemikian dekat denganku."

   "Bila Jit-kaucu hendak turun tangan keji kepadaku, tadi kau sudah turun tangan!"

   Jit-kaucu segera bangkit, lalu pelan-pelan berjalan menuju ke depan pintu, dia mendongakkan kepala memandang kegelapan malam, sambil membetulkan rambutnya yang panjang terurai ia berjalan kembali.

   Langkah kakinya yang lemah gemulai itu sangat menawan dan mendatangkan daya pikat, pada hakikatnya kecantikan maupun gerak-gerik perempuan itu dapat membuat orang lupa daratan.

   Pelan-pelan dia berjalan ke hadapan Bong Thian-gak, kemudian secara tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke jalan darah Pek-kwe-hiat di ubun-ubun Bong Thian-gak.

   Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Jit-kaucu menyingkirkan kembali telapak tangannya, lalu berkata.

   "Ko Hong, sebelumnya kau sudah tahu bila aku tidak berniat membunuhmu, maka kau bersikap begini tenang dan bernyali!"

   "Apa maksud perkataanmu itu?"

   "Ketika di hutan depan kuil, bukankah kau telah mendengar banyak rahasia perkumpulan kami?"

   Mendengar itu, Bong Thian-gak menjadi terkejut, pikirnya.

   "Kalau begitu dia sudah tahu aku sudah menyadap pembicaraannya dari dalam hutan! Jadi kematian Lo Gi, pelindung Sam-kaucu adalah gara-gara perbuatanku ."

   Sementara itu Jit-kaucu telah berkata lagi sambil tersenyum.

   "Kalau kau sudah mendengar sebagian besar rahasia kami, maka sekarang hanya ada dua jalan yang bisa kau pilih, pertama adalah jalan kematian, sedang kedua adalah masuk menjadi anggota Put-gwa-cin-kau. Asal kau bersedia, aku dapat memberi kedudukan sebagai seorang Kaucu."

   "Kau mengundang aku masuk menjadi anggota Put-gwacin- kau, apakah kau tidak kuatir aku akan menyusahkan dirimu?"

   "Apa maksudmu?"

   "Kau belum tentu tahu riwayat hidupku dan lagi setelah menjadi anggota perkumpulan, belum tentu aku setia pada perkumpulan dengan tulus hati, apalagi menyuruh aku mencapai Put-gwa (tanpa aku)?"

   Jit-kaucu manggut-manggut.

   "Benar, kalau begitu kau hanya ingin menempuh jalan kematian?"

   Kembali Bong Thian-gak tersenyum.

   "Dari dulu hingga kini tiada seorang pun yang bisa lolos dari kematian, apa yang kutakuti? Cuma ...."

   "Cuma kenapa?"

   "Aku tak akan mati muda,"

   Sahut Bong Thian-gak dengan sinar mata mencorong tajam. Mendadak Jit-kaucu menatap wajah Bong Thian-gak lekatlekat. Bong Thian-gak tertegun, lalu berpikir.

   "Mungkinkah dia akan turun tangan keji kepadaku?"

   Maka secara diam-diam dia lantas menghimpun tenaga dalamnya untuk bersiap. Lewat setengah jam kemudian, terdengar Jit-kaucu berkata lagi dengan suara hambar.

   "Hampir saja aku kena kau kelabui, rupanya wajahmu telah kau ubah dengan obat penyamar, kalau begitu Ko Hong pun bukan namamu yang sebenarnya!"

   Bong Thian-gak merasa perempuan ini lihai sekali.

   "Padahal obat penyaruan yang kugunakan merupakan obat paling baik di dunia, malah penyaruanku amat sempurna, buktinya Ku-lo Hwesio dan Toa-suheng serta para jago tiada yang tahu, tak nyana dia berhasil mengetahui sekali pandang saja."

   Jit-kaucu berkata.

   "Sebenarnya kau telah melakukan perbuatan apa yang malu diketahui orang hingga tak berani memperlihatkan raut wajah aslimu?"

   "Bukankah Jit-kaucu pun demikian?"

   Jit-kaucu tertegun, lalu serunya.

   "Tapi aku tidak menyaru!"

   "Walaupun kau tak menyaru, tapi gerak-gerikmu sangat rahasia, tanpa nama, tanpa asal-usul, bukankah kau pun sudah melakukan suatu perbuatan yang takut diketahui orang?"

   "Siapa bilang aku tak punya nama?"

   Teriak Jit-kaucu gusar.

   "Kalau begitu siapa namamu?"

   "Kau tidak berhak mengetahui namaku."

   Mendadak Bong Thian-gak menunjukkan wajah serius, katanya.

   "Apa nama ilmu pukulanmu?"

   "Buat apa kau menanyakan soal ini?"

   "Aku hendak mengobati luka To Siau-hou."

   Mendengar itu, Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Kau anggap setelah mengetahui ilmu pukulanku, maka nyawa To Siau-hou bisa diselamatkan? Hehehe, kalau begitu kuberitahu kepadamu!"

   "Apa namanya?"

   Kembali Bong Thian-gak bertanya dengan cemas.

   "Itulah pukulan Jian-yang-ciang (Pukulan cacat) salah satu jurus dari ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang!"

   "Soh-li-jian-yang-sin-kang,"

   Seru Bong Thian-gak terkejut.

   Dengan wajah berubah hebat dia melompat bangun, kemudian bagaikan burung walet menembusi jendela, dia lantas berlalu.

   Bong Thian-gak tidak menunjukkan pertanda hendak berlalu, ditambah pula gerakan tubuhnya kelewat cepat, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya tahu-tahu sudah lenyap.

   Jit-kaucu yang menyaksikan kejadian itu tertegun dan duduk melongo, seperti merasa kehilangan sesuatu dia duduk dengan wajah bingung.

   Sementara itu Bong Thian-gak dengan suatu gerakan yang amat cepat telah meninggalkan loteng itu, dia segera mengembangkan ilmu meringankan tubuhnya keluar kota Kayhong langsung menuju ke pinggir kota.

   Malam sudah semakin kelam, tengah malam pun sudah menjelang tiba, di tengah keheningan yang mencekam terasa suatu kemisteriusan yang menyeramkan.

   Dengan hati risau dan gelisah Bong Thian-gak menuju tempat persembunyian To Siau-hou, siapa tahu suasana di sekeliling tempat itu sangat hening dan tak nampak bayangan orang pun.

   Dengan kening berkerut dan sorot mata tajam, Bong Thiangak memandang sekejap sekeliling tempat itu.

   Angin malam berhembus menggoyang rumput dan dedaunan, kecuali bunyi jangkrik dan binatang kecil, suasana di situ amat hening hingga terasa menakutkan, ternyata tak nampak bayangan To Siau-hou.

   Bong Thian-gak menjadi amat gelisah, segera teriaknya.

   "To-heng! Dimana kau?"

   Ia berteriak berulang kali, tapi malam tetap hening, tiada jawaban.

   Bong Thian-gak tahu To Siau-hou sudah menderita luka sangat parah, mustahil dia bisa meninggalkan tempat itu, maka dia mulai berjalan mengelilingi tempat itu melakukan pencarian dengan seksama.

   Aneh! Sudah beberapa kali dia melakukan pencarian, tapi tetap tak nampak bayangan To Siau-hou? "Jangan-jangan dia sudah ditolong orang?"

   "Tapi siapakah yang menolongnya?"

   Bong Thian-gak memeras otak memikirkan ini.

   Pencarian pun kembali dilakukan ke sekeliling tempat itu.

   Akhirnya di atas sebuah batu cadas di pinggir jalan, Bong Thian-gak menemukan sesosok bayangan sedang duduk bersila di sana.

   Dengan dua kali lompat saja Bong Thian-gak sudah mencapai depan batu cadas itu.

   Ternyata adalah Hwesio tua berbaju abu-abu, sepasang kakinya tertekuk membentuk sikap bersila, di atas lututnya terletak sebuah Hud-tim, sedang di atas dadanya tergantung seuntai tasbih.

   Waktu itu si Hwesio duduk sambil memejamkan mata rapat-rapat, tubuhnya sama sekali tidak bergerak.

   Sesudah melihat jelas raut wajah Hwesio tua itu, Bong Thian-gak mefnbatin.

   "Ah, Ku-lo Sinceng."

   Ternyata Hwesio tua yang duduk di atas batu cadas itu adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay. Dia menjadi teringat peringatan To Siau-hou.

   "Ku-lo Hwesio telah menurunkan perintah untuk membunuhmu". Dengan terkesiap dan tanpa mengucap sepatah kata pun, Bong Thian-gak segera membalikkan badan dan berlalu dari situ.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Omitohud! Harap Sicu tunggu sebentar,"

   Suara sapaan lembut berkumandang. Bong Thian-gak membalikkan badan dengan kecepatan bagaikan kilat. Tampak mencorong sinar lembut dari balik mata Hwesio tua itu, meski lembut tapi tajam sekali hingga menggetarkan perasaan orang.

   "Sinceng ada petunjuk apa?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan suara nyaring. Hwesio tua itu tetap duduk di atas batu cadas tanpa bergerak, tapi wajahnya agak bergetar, ujarnya.

   "Sicu, usiamu masih muda, tapi tenaga dalammu sudah sampai puncak kesempurnaan, tolong tanya, Siauhiap berasal dari perguruan mana?"

   Bong Thian-gak tertegun, kemudian jawabnya.

   "Taysu, maaf bila Wanpwe mempunyai kesulitan yang tak dapat diutarakan."

   Hwesio tua itu termenung sebentar, lalu sambil mengelus jenggot putihnya dia bertanya lagi.

   "Sicu, apakah kau sedang mencari To-siauhiap dari Kay-pang?"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "Tolong tanya apa Taysu melihat jejaknya?"

   "To-siauhiap telah menderita luka yang cukup parah, nyawanya dalam keadaan gawat, Lolap telah memerintahkan dua orang muridku untuk mengirimnya ke suatu tempat yang tenang guna memperoleh perawatan dan pengobatan yang diperlukan."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasa agak lega, buru-buru dia bertanya lagi.

   "Tolong tanya, apakah luka yang diderita To-siauhiap makin parah?" "Ketika Lolap menemukannya, dia sudah pingsan, nyawanya berada di ujung tanduk. Sicu, dapatkah kau terangkan To-siauhiap terluka oleh pukulan apa?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Dia terkena pukulan Jit-kaucu, ai! Mungkin luka itu sukar untuk disembuhkan!"

   Mendengar perkataan itu, paras si Hwesio berubah hebat.

   "Kalau begitu, To-siauhiap telah terkena pukulan Jian-yangciang dari Soh-li-jian-yang-sin-kang?"

   Dengan terkesiap Bong Thian-gak segera berpikir.

   "Sungguh lihai sekali Hwesio ini, ternyata dia pun mengetahui tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, mungkinkah dia sudah bertemu dengan Jit-kaucu?"

   Berpikir demikian, sahutnya kemudian sambil menghela napas.

   "Benar, To-siauhiap memang terkena pukulan Jianyang- ciang dari Jit-kaucu!"

   Mendengar ucapan itu, tiba-tiba mencorong tajam mata Hwesio tua itu, ia menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat, kemudian bertanya pula.

   "Sicu, darimana kau bisa mengetahui ilmu pukulan Jian-yang-ciang?"

   "Wanpwe mengetahui hal ini dari mulut Jit-kaucu sendiri."

   Rasa kaget dan tercengang segera menghias wajah Hwesio tua itu, segera tegurnya dengan suara dalam.

   "Sicu, sebenarnya siapa kau?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Taysu, tidak usah menaruh curiga terhadap Wanpwe, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau!"

   Hwesio tua itu semakin terperanjat, kembali dia berkata.

   "Sicu, agaknya kau telah mengetahui banyak rahasia, dari sembilan partai persilatan dewasa ini, kecuali Lolap seorang, boleh dibilang tidak banyak orang yang mengetahui Put-gwacin- kau?"

   Sampai di situ Ku-lo Hwesio berhenti sejenak, seolah termenung beberapa saat, dia pun melanjutkan.

   "Sicu, kau enggan menyebut nama perguruanmu, tapi bersedia menyebutkan namamu bukan?"

   Bong Thian-gak tertegun, lalu sahutnya.

   "Aku bernama Ko Hong, buat apa Sinceng mesti menaruh prasangka jelek kepadaku?"

   Terlintas cahaya tajam dari balik mata Hwesio tua itu, tibatiba dia berkata.

   "Siancay! Siancay! Lolap baru pertama kali ini berjumpa dengan Sicu, sebelum malam ini kita tak pernah berjumpa, mengapa Lolap mesti berprasangka buruk terhadap Sicu? Tapi setiap ucapan Sicu justru merupakan rahasia yang sedang diselidiki semua umat persilatan, apakah hal ini tak membuat Lolap terperanjat?"

   Ucapan itu membuat Bong Thian-gak tertegun, serunya kemudian dengan wajah tercengang.

   "Sinceng, mengapa kau mengatakan malam ini adalah perjumpaan kita yang pertama kali?"

   Secara tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasa apa yang diucapkan Ku-lo Hwesio malam ini terdapat banyak keanehan, tindak-tanduk maupun gerak-geriknya berbeda dengan tempo hari.

   Mungkinkah dia bukan Ku-lo Hwesio pendeta agung dari Siau-lim-si? "Omitohud! Sicu, apakah kau tahu siapakah Loceng?"

   Tanya Hwesio tua itu tiba-tiba. Bong Thian-gak tertegun.

   "Wanpwe justru ingin menanyakan nama Sinceng!"

   Serunya cepat.

   Bong Thian-gak tidak percaya kalau matanya telah salah melihat orang, meski dia dan Ku-lo Hwesio hanya bersua secara sepintas saja, jika berjumpa kembali pada waktu yang sangat lama, bisa saja kekeliruan itu terjadi.

   Tetapi dia baru saja berpisah dengan Ku-lo Hwesio pagi ini, lagi pula raut wajah pendeta itu sekali pun dia diharuskan melukis dengan mata terpejam pun, pemuda itu sanggup melakukannya, bagaimana mungkin bisa keliru.

   Hwesio tua ini sudah jelas adalah Ku-lo Hwesio dari Siaulim- pay.

   Tatkala Hwesio tua itu menyaksikan paras muka Bong Thian-gak berubah tak menentu, pelan-pelan dia berkata.

   "Lolap adalah Ku-lo dari Siau-lim-si...."

   "Benar! Kau memang Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si!"

   Pekik Bong Thian-gak dalam hati. Sementara itu Hwesio tua itu telah melanjutkan kembali katakatanya setelah berhenti sejenak.

   "Sejak delapan tahun lalu, Pinceng selalu menutup diri di dalam kuil Siau-lim-si, baru belakangan ini Pinceng menyelesaikan semediku dan buruburu menuju ke Kay-hong, sampai di sini pun paling baru beberapa jam lalu, mengapa Lolap tak boleh mengatakan pertemuanku dengan Sicu pada malam ini adalah pertemuan kita yang pertama kali?"

   Benak Bong Thian-gak mendengung keras sesudah mendengar ucapan itu, pikirnya.

   "Aneh, mengapa bisa muncul dua orang Ku-lo Sinceng? Yang satu sudah tiba di gedung Bulim Bengcu sejak tiga hari berselang, sedang yang lain baru tiba di Kay-hong pada malam ini, padahal raut wajah mereka berdua persis seperti pinang dibelah dua, lantas yang manakah baru Ku-lo Sinceng yang asli?"

   Benar-benar merupakan suatu peristiwa besar, munculnya Ku-lo Sinceng ganda menandakan pula betapa berbahayanya situasi dalam Bu-lim dewasa ini.

   Diam-diam Bong Thian-gak membayangkan gerak-gerik Hwesio tua itu serta membandingkan dengan gerak-gerik Kulo Hwesio yang dijumpainya dalam gedung Bu-lim Bengcu.

   Tiba-tiba Bong Thian-gak menjerit kaget.

   "Ah! Kalau begitu dia adalah Kaucu ...."

   Paras muka Bong Thian-gak pada saat itu benar-benar berubah hebat sekali. Sementara Hwesio tua itu pun seakan-akan telah menyadari akan datangnya ancaman bahaya, dengan wajah serius ujarnya.

   "Sicu telah menemukan masalah besar apa?"

   "Celaka!"

   Seru Bong Thian-gak dengan gelisah.

   "Keselamatan jiwa para jago yang berada dalam gedung Bulim Bengcu terancam oleh bahaya maut."

   "Bagaimana penjelasan Sicu tentang perkataan ini?"

   Dengan sinar mata berkilat Bong Thian-gak menatap wajah Hwesio tua itu lekat-lekat, kemudian katanya.

   "Taysu, aku ingin tahu bagaimana caramu membuktikan bahwa kau benarbenar Ku-lo Sianceng dari Siau-lim-si?"

   "Apakah di Bu-lim muncul seorang Ku-lo lagi?"

   Tanya Hwesio tua itu dengan paras muka berubah. Bong Thian-gak segera manggut-manggut.

   "Benar, bahkan kalian berdua mempunyai wajah dan bentuk badan yang persis sama, bahkan perawakan tubuh kalian pun tidak berbeda."

   Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Hwesio tua itu memejamkan mata sambil termenung, tiba-tiba wajahnya berubah kembali.

   "Siancay! Siancay! Sungguh tak disangka peristiwa yang terjadi pada delapan tahun berselang kini telah berkembang menjadi suatu ancaman besar yang mengerikan."

   Sampai di situ, dia memejamkan kembali matanya sambil termenung seorang diri. Kurang lebih setengah peminuman teh kemudian Hwesio itu baru membuka mata, setelah menghela napas sedih, katanya.

   "Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau sudah melakukan pembunuhan terhadap jago-jago persilatan, setelah melewati delapan tahun yang panjang, perkembangan mereka sudah benar-benar mencapai titik yang paling berbahaya untuk keselamatan dunia persilatan."

   "Ai! Andaikata Pinceng dapat menyadari akibatnya semenjak delapan tahun berselang, lalu mengambil tindakan pengamanan, niscaya keadaan tak akan berkembang menjadi begini. Oh Ciong-hu pun tak sampai terbunuh."

   Bong Thian-gak berkerut kening mendengar perkataan itu.

   Melalui berbagai dugaan dan analisanya, dia yakin Hwesio tua di hadapannya sekarang benar-benar adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si, tapi dia tak habis mengerti mengapa Ku-lo Hwesio yang asli ini baru keluar dari masa semedinya hari ini? Sebab kalau didengar dari pembicaraannya, pendeta itu seperti sudah mengetahui gejala pergerakan Put-gwa-cin-kau, mengapa dia tak berusaha menghalangi penyebaran pengaruh Put-gwa-cin-kau? Berpikir demikian, dengan penuh emosi Bong Thian-gak berkata.

   "Seandainya sejak delapan tahun lalu Sinceng tahu pergerakan Put-gwa-cin-kau, mengapa kau biarkan berkembang lebih jauh?"

   Ku-lo Hwesio menghela napas panjang mendengar teguran Bong Thian-gak itu, ucapnya.

   "Sicu jangan emosi, sebenarnya hingga sekarang punn Pinceng belum mengetahui keadaan yang sesungguhnya Put-gwa-cin-kau itu, delapan tahun berselang aku pun tak lebih hanya berjumpa seorang anak perempuan dari Put-gwa-cin-kau."

   Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, Hwesio itu menyambung lebih jauh.

   "Bercerita tentang kejadian delapan tahun berselang, suatu malam bulan purnama, Pinceng sedang membaca doa di ruang belakang kuil Siau-lim-si, tiba-tiba muncul seorang gadis muda di hadapanku, gadis itu berusia empat belas tahunan, berparas cantik, senyumnya menawan hati dan membuat orang terkesima. Sejak hari itulah setiap malam selama empat puluh sembilan hari berturut-turut gadis itu selalu muncul di bukit bagian belakang untuk menyaksikan Pinceng berlatih, selama itu dia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun, pada malam kelima puluh itulah untuk pertama kalinya dia berbicara dengan Pinceng."

   


Kisah Si Rase Terbang -- Chin Yung Golok Kumala Hijau -- Gu Long Pendekar Binal -- Khu Lung

Cari Blog Ini