Ceritasilat Novel Online

Pendekar Panji Sakti 21


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 21



Pendekar Panji Sakti Karya dari Khu Lung

   

   Baru saja dia bercerita sampai di situ, semua orang sudah tidak sanggup menahan diri lagi, teriaknya hampir berbareng.

   "Toan coat sin kang? Besar... besar amat nyali orang ini, berani betul dia melatih ilmu pemutus keturunan itu."

   Sebagaimana diketahui, hampir semua yang hadir saat ini merupakan jago-jago tangguh dari dunia persilatan, mereka semua tahu akan asal-usul ilmu Toan coat sin kang ini, mereka pun sadar bila seseorang berlatih ilmu sakti ini, maka dia akan kehilangan kemampuannya untuk meneruskan keturunan, bukan cuma begitu, salah-salah bisa cau hwe jip mo (jalan api menuju neraka) yang berakibat kematian.

   Oleh sebab itu walaupun tidak sedikit umat persilatan yang mengetahui cara berlatih Toan coat sin kang, namun belum ada seorang manusia pun yang rela mengorbankan kebahagiaan hidupnya dengan berlatih ilmu itu.

   Im Kian menghela napas sedih, ujarnya.

   "Terkadang cinta seorang ibu yang berlebihan malah akan mencelakakan putranya sendiri, bila orang ini bukan merasa didesak ibunya, mana mungkin dia rela melatih Toan coat sin kang yang membuat dirinya impoten sehingga tidak bisa menghasilkan keturunan!"

   "Setelah mengorbankan kejantanannya, apakah orang itu berhasil melatih ilmu silatnya sehingga mencapai tingkat kesempurnaan?"

   Tanya Gi Beng dengan nada gemetar.

   Seng Cun-hau termenung sedih beberapa saat lamanya, kemudian baru melanjutkan.

   "Bakat yang dimiliki orang ini benar-benar bebal dan goblok, biarpun sudah berlatih tekun hampir tiga tahun lamanya, namun hasilnya tetap nihil...

   tapi...

   tapi yang jelas dia sudah mengorbankan kejantanannya, sudah mengorbankan kemampuannya untuk menghasilkan keturunan.

   Ketika tanpa disengaja ibunya mengetahui akan kejadian ini, dalam sedih bercampur kagetnya, disamping dia menggembleng putranya dengan ilmu silat, dia pun buru-buru mengawinkan putranya."

   "Waah...

   bukankah hal ini akan menyengsarakan perempuan itu...."

   Teriak Gi Beng tanpa sadar, tapi begitu tahu dia sudah salah bicara, buru-buru gadis ini membungkam dengan pipi berubah merah.

   Kembali Seng Cun-hau menghela napas panjang.

   "Walaupun orang itu tidak ingin merusak masa depan dan kebahagiaan seorang wanita dengan tubuhnya yang cacad, akan tetapi dia pun tidak berani membangkang perintah ibunya.

   Sebab ibunya selalu menyimpan secercah harapan.

   Namun...

   sesudah perkawinan berjalan dua tahun lamanya, bukan saja mereka tidak berputra, bahkan istrinya makin lama semakin layu dan murung.

   "Waktu itu perasaan orang itu semakin tertekan dan tersiksa, tapi harapan sang ibu terhadap putranya belum pupus, dia justru melimpahkan tanggung jawab kemandulan itu pada menantunya."

   Semua orang menjerit tertahan, Gi Beng pun melelehkan air mata sambil bergumam.

   "Kasihan benar perempuan itu, ternyata dia harus mengalami kejadian yang amat tragis!"

   Sepasang mata Sun Siau-kiau pun ikut berubah jadi merah, sembari mengucek mata, dengan gemas dia mengumpat.

   "Dasar kaum lelaki mau menang sendiri, yang selalu sengsara adalah kita kaum wanita."

   "Bee... belum tentu,"

   Tukas Che Toa-ho.

   "ada juga wanita yang...."

   "Siapa suruh kau ikut bicara,"

   Bentak Sun Siau-kiau sambil mendelik.

   "bagaimana nasib selanjutnya wanita itu? Apakah dia pun diceraikan oleh mertuanya?"

   Raut muka Seng Cun-hau dicekam kesedihan yang luar biasa, katanya dengan sedih.

   "Mereka adalah keluarga persilatan kenamaan dalam dunia persilatan, mana mungkin bisa kawin cerai seenaknya, memangnya tidak kuatir ditertawakan sahabat Kangouw?"

   Dengan gemas Gi Beng berseru.

   "Dia pasti kuatir menantunya menguarkan sebab musabab kejadian itu sehingga...."

   Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba dengan wajah berubah serunya.

   "Dalam situasi seperti ini, jangan-jangan... jangan-jangan ibu orang itu telah membunuh menantunya?"

   Seng Cun-hau membungkam diri dengan wajah semakin sedih, walau tidak menjawab, namun dia tidak menyangkal akan hal itu. Sambil menggertak gigi menahan emosi, jerit Sun Siau-kiau.

   "Apakah dia berbuat begitu agar putranya bisa kawin lagi?"

   "Benar...."

   Seng Cun-hau tertunduk lesu.

   "Apa? Setelah mencelakai satu orang, dia masih ingin mencelakai seorang lagi...."

   Teriak Sun Cun-hau terperanjat.

   "bila putranya masih punya lengsim, seharusnya dia tolak perkawinan itu."

   "Tapi orang itu adalah seorang anak berbakti,"

   Ucap Seng Cun-hau pelan.

   "jangankan Ibunya hanya minta dia menikah lagi, andaikata dia diharuskan mati pun akan dia akan lakukan seketika."

   "Apakah berbakti macam begini tidak sedikit kelewatan?"

   Tanya Im Kian sambil menghela napas "Tiada orang tua tiada dunia,"

   Kata Seng Cun-hau serius.

   "budi yang diberikan ibu kepada kita tiada taranya, sebagai anaknya apakah kita tega membangkang perintahnya?"

   Cu Cau tidak kuasa menahan diri lagi, tiba-tiba teriaknya.

   "Sekalipun berbakti, jelas cara berbakti semacam ini adalah tindakan tolol, setia secara tolol, berbakti secara tolol bukan perbuatan seorang lelaki sejati, sekalipun orang...

   orang itu menuruti keinginan ibunya, apakah dia lupa kalau perbuatannya justru telah mencelakai nasib seorang wanita? Aku rasa...

   bukan saja perbuatan semacam ini kelewat tolol, bahkan...

   bahkan konyol."

   Semakin berbicara dia semakin emosi, pada akhirnya orang ini mulai mencaci-maki habis-habisan.

   Dengan sedih Sui Leng-kong berkata.

   "Sekalipun cara berbakti yang dilakukan orang ini sedikit...

   sedikit kelewatan, namun aku tetap mengagumi orang berbakti macam dia."

   Dengan penuh rasa terima kasih Seng Cun-hau melirik sekejap ke arahnya, berbeda dengan Cu Cau, dia tunjukkan sikap yang lebih gusar, dia tidak habis mengerti kenapa Sui Leng-kong selalu membantu Seng Cun-hau.

   Tentu saja dia tidak menyangka kalau hubungan antara Sui Leng-kong dan Seng Cun-hau sebenarnya amat pelik dan unik...

   ibu Sui Lengkong tidak lain adalah bini Seng Cun-hau.

   Sekalipun dalam hati Sui Leng-kong menaruh rasa jengkel terhadap Seng Cun-hau karena dia telah mencelakai kehidupan ibunya, namun dia pun menaruh semacam perasaan dekat yang berbeda dengan perasaannya terhadap orang lain.

   Perasaan itu sangat sensitif dan pelik, yang tak mungkin bisa dipahami orang lain....

   Akhirnya Seng Cun-hau melanjutkan kembali kisahnya.

   "Setelah menikah untuk kedua kalinya, orang itu kuatir ibunya kembali...

   aaaai, maka dia pun selalu berusaha melindunginya, setiap saat selalu mengintainya, namun betapapun sayang dan perhatiannya orang itu, apa yang mampu dia berikan masih belum sepadan dengan hilangnya masa remaja perempuan itu...

   dia tidak pernah mampu memberi kepuasan kepadanya, maka lambat-laun kondisi istrinya pun berubah makin murung dan tersiksa."

   Ketika menyinggung soal "kepuasan", sebenarnya dia sudah menggunakan perkataan yang paling halus, namun tidak urung merah jengah juga wajah Liu Ji-uh, Gi Beng dan Sun Siau-kiau. Dengan jengkel Sun Siau-kiau berseru.

   "Mungkin perlindungan yang dilakukan orang itu terhadap bininya sama seperti dia sedang melindungi sesuatu benda berharga atau seekor hinatang peliharaan, pasti tidak ada kasih sayang, tidak ada cumbu rayu, bukankah begitu?"

   Bagaimanapun juga dia adalah seorang wanita yang telah menikah, dia cukup memahami kebutuhan seorang wanita sebagai istri seseorang, kalau bukan disebabkan perasaan tidak puas, mustahil wajah perempuan itu akan murung dan berubah sayu.

   Seng Cun-hau termenung beberapa saat, setelah menghela napas panjang, sahutnya.

   "Benar, oleh karena orang itu menderita cacad, merasa rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri, dia tidak pernah bercumbu rayu dengan bininya, yang dilakukan hanya melindunginya dari kejauhan.

   "Dua tahun berlalu tanpa terjadi sesuatu apapun, suatu hari musuh besar kelompok keluarga itu datang menyerang secara besar-besaran, pertempuran sengit pun segera berkobar.

   "Menantu orang itu berasal dari keturunan keluarga persilatan kenamaan, ilmu silatnya amat tangguh, apalagi sepasang Wan yo kiam andalannya boleh dibilang jarang ada yang mampu menandingi.

   Oleh karena keluarga besar diserang orang, tentu saja sebagai menantu dia tidak bisa berpeluk tangan saja, maka dengan mengandalkan sepasang Wan yo kiam, dia bertarung habis-habisan melawan seorang pemuda dari pihak musuh.

   "Walaupun sepanjang pertempuran berlangsung orang itu sangat menguatirkan keselamatan bininya, karena dia tahu bininya belum banyak pengalaman, namun saat itu dia sendiri sedang dikerubut dua orang musuh sehingga untuk sesaat tidak mampu mengurusi orang lain.

   "Betul orang itu memiliki bakat yang pas-pasan sehingga kungfunya tidak mampu mencapai kesempurnaan, namun ilmu silat yang dipelajarinya waktu itu sudah cukup matang, sayang ilmu pedangnya yang terbilang cukup mantap tapi kehilangan kemampuannya dalam hal ganas, tepat dan telengas.

   Dalam keadaan begini, dia hanya mampu bertahan dengan susah payah, hanya mampu mempertahan diri sendiri.

   "Untunglah di saat yang kritis, teman-teman dari persekutuan nya datang membantu, sepak terjang kawanan musuh besar itu sungguh aneh dan cara kerjanya juga unik, ketika mengetahui gempurannya tidak berhasil, mereka segera mengundurkan diri secara serentak.

   Pada saat itulah orang itu mengetahui bininya telah lenyap dari arena pertarungan, dalam cemas dan gelisahnya, orang itupun melakukan pencarian.

   "Dia tidak ingin mengganggu ketenangan orang lain, sebab dia cukup tahu ibunya menaruh perasaan curiga terhadap menantunya, kalau dia sampai tahu menantunya telah hilang, bisa dipastikan dia akan melarang orang melakukan pencarian.

   "Begitulah, dengan mengandalkan kekuatan sendiri yang amat terbatas, setengah jam kemudian dia baru berhasil sampai di luar sebuah hutan bunga tho...

   ya, sebuah hutan bunga tho...."

   Bicara sampai di sini, paras mukanya nampak lebih sedih dan tertekan, malah nada suaranya terdengar ikut gemetaran, hal ini memperlihatkan kalau kisah lama yang akan diceritakan merupakan satu kejadian besar yang hingga kini pun masih menusuk perasaannya.

   Setelah lewat beberapa saat, dia baru melanjutkan kembali kisahnya dengan suara perlahan.

   "Hari itu cahaya rembulan menyinari seluruh angkasa, membiaskan bayangan pohon dan menyinari putih bunga yang berguguran...

   dalam suasana seperti itulah dari balik pepohonan bunga tho justru terdengar...

   terdengar suara rintihan yang menggetar sukma, biarpun orang itu bukan seorang Kuncu, dia pun tidak termasuk Siaujin, begitu mendengar suara yang membetot sukma, seketika dia menghentikan langkahnya, belum sempat membalikkan badan, suara rintihan di balik pepohonan itu telah berubah menjadi suara panggilan dan teriakan."

   Sesungguhnya kisah yang dia ceritakan merupakan satu kejadian yang amat sensitif dan memalukan, tapi justru dia sampaikan dengan nada penuh kesedihan dan amarah yang meluap.

   Sementara itu kawanan wanita yang hadir di situ meski wajahnya telah berubah menjadi merah lantaran malu, tidak urung perhatian mereka bersedot juga oleh gaya bicaranya yang penuh emosi itu.

   Terdengar Seng Cun-hau berkisah kembali.

   "Begitu mendengar suara teriakan itu, orang tadi segera mengenalinya sebagai suara teriakan istrinya, sementara nama yang dipanggil bininya justru adalah nama sang pemuda musuh keluarganya."

   Mendengar sampai di sini, kembali semua orang menjerit kaget, kalau sebelumnya rasa simpati mereka tertuju pada sang istri orang itu, maka rasa simpati itu kini beralih kepada orang yang bersangkutan.

   Dengan wajah mengejang keras dan suara makin gemetar, Seng Cun-hau bercerita lagi.

   "Dalam terkejut, sedih dan gusarnya, orang itu siap menerjang masuk ke dalam hutan bunga tho, tapi baru melangkah tidak seberapa jauh, rasa sedih dan gusarnya telah berubah menjadi rasa penyesalan.

   Dia sadar semua peristiwa yang terjadi tidak terlepas dari kesalahan sendiri, sekalipun tindakan yang dilakukan istrinya juga salah, akan tetapi bukan seratus persen kesalahannya seorang, karena sang suami pun sebenarnya ikut bertanggung jawab.

   Berpikir sampai di situ, dia pun merasakan seluruh tubuhnya menjadi lemas, dia tidak punya keberanian lagi untuk menerjang masuk ke dalam hutan, dia malah tergeletak diluar hutan dan tidak sanggup merangkak bangun lagi."

   Perlahan-lahan sorot matanya dialihkan keluar jendela, paras mukanya tampak begitu duka, tertekan dan tua.

   Keheningan mencekam seluruh ruangan, semua yang hadir ikut merasakan tekanan batin yang berat.

   Lama kemudian Sun Siau-kiau baru menghela napas panjang, gumamnya.

   "Sekarang aku baru tahu, walaupun bininya menderita, namun dia sendiri jauh lebih menderita, jauh lebih tersiksa."

   Setelah menghela napas sedih, lanjutnya.

   "Dalam situasi dan keadaan seperti itupun dia masih memikirkan kepentingan orang lain, hal ini membuktikan kebesaran jiwa serta kebajikan hatinya sukar ditandingi oleh siapa pun."

   Diam-diam Gi Beng menyeka air matanya, dengan suara parau dia bertanya.

   "Bagaimana selanjutnya?"

   "Walaupun dia merasa penat, walaupun hatinya tersiksa, namun tanpa disadari pandangan matanya tetap dialihkan ke balik hutan, menyaksikan pemandangan di situ, begitu dilihat... dia pun terperangah.

   "Ternyata, walaupun nama yang disebut bininya adalah nama sang pemuda musuh besarnya, tapi orang yang sedang begituan dengan bininya... ternyata bukan pemuda itu...."

   "Lantas siapa?"

   Tanpa sadar serentak semua orang bertanya.

   "Orang yang sedang begituan dengan bininya ternyata adalah seorang tokoh silat maha sakti yang namanya amat tersohor dan sudah dikenal sebagai jagoan romantis.

   "Sekalipun usia orang itu sudah terhitung lanjut, namun nama serta kedudukannya tidak tertandingi oleh siapa pun.

   Orang itu bisa mengenali wajahnya karena di masa mudanya dulu, suatu ketika dia pernah bersua dengan tokoh sakti ini dan kesannya sangat mendalam, karena itu meski sudah berpisah lama, dia masih dapat mengenalinya dalam sekilas pandang.

   Begitu tahu siapakah tokoh sakti itu, tidak terlukiskan lagi rasa kaget dan tercengangnya orang itu.

   "Dia betul-betul tidak habis mengerti kenapa sang pemuda bisa berubah jadi tokoh silat itu, dia pun tidak bisa menduga perubahan apa yang sebenarnya terjadi di situ, untuk sesaat dia malah tertegun.

   Menanti sadar kembali dari lamunan, dilihatnya tokoh silat itu seolah teringat akan satu hal yang penting, secara tiba-tiba dia pergi dari situ dengan kecepatan luar biasa.

   "Perasaan orang itu amat kalut, sedih, gusar, malu dan tercengang bercampur aduk jadi satu, dia tidak bisa merasakan kejut atau getirnya kehidupan waktu itu.

   Melihat bininya masih tergeletak di tanah dalam keadaan bugil, melihat dia seakan tertidur begitu nyenyak...

   aaaaai! Perasaan cinta dan benci bercampur aduk dalam benak orang itu, tiba-tiba saja dia melompat bangun dan menyerbu masuk ke dalam hutan...."

   "Apakah dia...

   dia bunuh istrinya?"

   Gi Bengmenjerit kaget.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seng Cun-hau menghela napas sedih.

   "Waktu itu sebenarnya dia memang ingin menjagal istrinya, tapi...

   di saat itulah dalam mimpinya sang istri mengigau, memanggil nama suaminya.

   Panggilan itu meski lirih namun bagi pendengaran orang itu justru bagaikan guntur yang menggelegar di siang hari bolong.

   "Saat itulah dia baru sadar, sesungguhnya sang istri masih amat mencintainya, hanya saja...

   karena dia tidak mampu, karena dia impoten, memang tidak sepantasnya dia menyalahkan perbuatan istrinya."

   Ketika bicara sampai di situ, mendadak dia menggebrak meja keras-keras, menghancurkan cawan, membuat piring beterbangan, tapi dia tidak peduli, dia membiarkan pecahan cawan melukai tangannya, membiarkan darah segar meleleh keluar dengan derasnya.

   Tapi dia seakan tidak merasa sakit, setelah menghela napas panjang dan tertunduk sedih, perlahan lanjutnya.

   "Waktu itu dia merasa, kalau toh diri sendiri sudah menanggung begitu besar kesalahan dan dosa, mengapa dia tidak berusaha memaafkan istrinya yang telah serong? Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia bopong bininya dan diajak pulang, sejak kejadian itu dia tidak pernah lagi mengungkap peristiwa itu kepada siapa pun."

   Semua orang terbungkam dalam seribu bahasa, para wanita melelehkan air mata sedih sementara Sui Leng-kong sudah terisak dengan pedihnya, sebab dari kisah cerita itu dia sudah dapat menebak apa yang telah terjadi.

   "Ternyata...

   ternyata orang itu memang seorang lelaki sejati...."

   Puji Sun Siau-kiau sambil menyeka air mata.

   "Sudah selesai ceritanya?"

   Tanya Gi Beng pula.

   Dengan air mata membasahi pipi, Seng Cun-hau melanjutkan.

   "Sebetulnya aku tidak ingin mengungkit kembali kejadian masa lampau, aku ingin peristiwa itu kukubur selamanya dalam dasar hatiku, siapa tahu lewat beberapa bulan kemudian kujumpai...

   kujumpai dia...

   ternyata dia sudah hamil"

   Sampai pada akhir cerita, dia tidak bisa menyimpan rahasia lagi dan meluncur kata "aku", begitu sadar akan kesalahan ini, tubuhnya bergetar keras dan seketika terbungkam kembali.

   Padahal sekalipun tidak dia sebut pun orang lain sudah menduga akan hal itu, semenjak tadi sorot mata penuh simpati sudah terpancar dari wajah semua orang.

   Seng Cun-hau memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya dengan sedih.

   "Aku rasa tidak perlu menjelaskan lagi siapakah orang itu, aku yakin kalian sudah bisa menebaknya sendiri."

   Semua orang menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya, siapa pun merasa tidak tega untuk memandang wajahnya yang sedih, hanya Cu Cau seorang tetap duduk tidak bergerak, wajahnya menunjukkan pula kepedihan yang luar biasa.

   Tiba-tiba Gi Beng berseru.

   "Tapi...

   tapi...

   apa hubungannya cerita itu dengan Enci Sui?"

   "Tahukah kau siapa biniku itu?"

   Tanya Seng Cun-hau. Gi Beng tertegun, lalu menggeleng.

   "Aku tidak tahu...."

   "Biniku tidak lain adalah ibu Sui Leng-kong, waktu itu benih yang ada dalam rahimnya tidak lain adalah Sui Leng-kong...."

   Sekujur tubuh Sui Leng-kong bergetar keras, sambil mengeluh dia jatuh tidak sadarkan diri. Dengan air mata bercucuran, cepat Gi Beng memayang tubuhnya. Sun Siau-kiau kelihatan agak ragu, bisiknya pula.

   "Tapi... apa hubungannya dengan Cu...."

   Dia melirik Cu Cau sekejap, mendadak seperti teringat akan sesuatu, jeritnya terperanjat.

   "Jangan-jangan... tokoh silat itu adalah... adalah...."

   Ketika berpaling lagi ke arah Cu Cau, dia saksikan sepasang mata lelaki itu telah berubah jadi merah darah, tubuhnya gemetar keras, mimik mukanya kelihatan sangat menakutkan. Sun Siau-kiau terkesiap, buru-buru dia membungkam diri.

   "Benar,"

   Sahut Seng Cun-hau.

   "tokoh persilatan itu tidak lain adalah Kaisar malam, jadi Sui Leng-kong sebenarnya saudara kandung Cu Cau, karena itu mereka tidak bisa menikah."

   Biarpun semua orang sudah menduga akan kenyataan itu, tidak urung hati mereka bergetar juga setelah mendengar pengakuan itu, Sun Siau-kiau buru-buru memejamkan matanya, dia kuatir dirinya ikut jatuh semaput lantaran kelewat sedih.

   Mendadak terdengar Cu Cau berpekik nyaring.

   Suaranya keras bagai pekikan naga, membuat seluruh jagad bergetar, membuat daun jendela dan ruangan serasa bergoncang keras.

   Belum habis dia berpekik, tubuhnya sudah melambung ke udara dan menerobos keluar melalui jendela, hanya dalam dua kali kilatan cahaya saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

   Sebetulnya Im Kian ingin menyusul, tapi keadaan sudah terlambat, terpaksa dia hanya bisa menjejakkan kakinya berulang kali sambil menghela napas panjang.

   Suasana hening mencekam dalam ruangan, tiada orang yang mampu tersenyum lagi, helaan napas, lelehan air mata hampir menyelimuti setiap orang, pondok Cay-seng yang semula dipenuhi gelak tertawa, kini serasa tercekam dalam kemurungan dan kedukaan yang mendalam.

   Dengan sedih Seng Cun-hau menundukkan kepala.

   "Aku pantas mati,"

   Bisiknya.

   "aku...."

   "Kau tidak perlu menyesal,"

   Tukas Im Kian sambil menghela napas pula.

   "masih untung Hengtay datang tepat waktu sehingga kesalahan tragis tidak sampai terjadi, budi kebaikan ini... aaaai! Terimalah hormatku sebagai tanda terima kasih yang tidak terhingga."

   Habis berkata dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut.

   Buru-buru Seng Cun-hau ikut berlutut, cucuran air mata makin deras membasahi pipinya.

   Semua orang yang menyaksikan kejadian inipun tidak sanggup mengendalikan diri, helaan napas sedih kembali bergema memecah keheningan.

   Coba kalau Seng Cun-hau tidak membuat keonaran tanpa sengaja, mungkin saat itu nasi sudah menjadi bubur, keadaan yang lebih tragis pun mungkin sudah terjadi.

   Bagaimanapun juga kejadian ini merupakan satu keberuntungan di tengah ketidak beruntungan, sepantasnya hal ini dirayakan dengan gembira, tapi siapa pula yang bisa bergembira dalam situasi seperti ini? Untuk beberapa saat semua orang tidak tahu harus sedih atau gembira, mereka hanya bisa berdiri mematung dengan wajah termenung.

   Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Sun Siau-kiau tersadar kembali dari lamunannya, dia tarik ujung baju Che Toa-ho dan bisiknya.

   "Mari kita pergi!"

   "Pergi?"

   Bisik Che Toa-ho bingung.

   "Kalau tidak pergi... aku bisa gila."

   Che Toa-ho memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian gumamnya.

   "Betul, lebih baik pergi dari sini."

   Dalam pada itu si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik telah membangunkan Seng Cun-hau dan berkata.

   "Kalau toh sudah tidak ada keramaian lagi di sini, lebih baik kita mohon diri."

   "Tapi...."

   Bisik Im Kian.

   Sebetulnya dia ingin menahan tamunya, namun setelah membayangkan keadaan saat itu, dimana menahan tamunya berarti hanya akan menambah suasana sedih, maka niat itu segera ditelan kembali.

   GiTeng dan Gi Beng saling bertukar pandang sekejap, pikir mereka.

   "Bila Seng-toako sampai mengetahui identitas Im-toako yang sebenarnya, mungkin bakal terjadi keributan lagi."

   Berpikir sampai di situ, kedua orang itupun berseru hampir berbareng.

   "Benar, lebih baik Seng-toako segera pergi!"

   "Apakah kalian tidak ikut bersama Toako?"

   Tanya Liong Kian-sik dengan kening berkerut.

   "Tentu saja Siaute akan turut serta,"

   Jawab Gi Teng sambil menunduk.

   "hanya saja...."

   "Hanya saja Enci Sui... dia...."

   Sambung Gi Heng.

   "aku tidak tega meninggalkan dia dalam keadaan begini, lebih baik... lebih baik kalian saja yang berangkat duluan, kami akan menyusul belakangan."

   "Begitupun baik juga...."

   Sahut Liong Kian-sik setelah berpikir sejenak.

   "Tapi Seng-toako hendak kemana? Supaya kami gampang mencarinya."

   "Kuil Sang-cing-to-koan di bukit Lau-san!"

   Seng Cun-hau memandang Im Kian sekejap, kelihatannya dia seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ketika disadari kalau banyak bicara pun tidak ada gunanya, setelah menghela napas panjang, dia pun menjura dan mohon diri.

   Tidak lama kemudian bayangan tubuh beberapa orang itu sudah lenyap dari pandangan.

   Setelah melakukan perjalanan setanakan nasi lamanya, Sun Siau-kiau yang pertama tidak bisa menahan diri, ujarnya sambil menghela napas.

   "Heran, kenapa ada kejadian yang begitu kebetulan? Kenapa Thian selalu mengatur perjalanan nasib seseorang dengan cara yang tidak terduga."

   Liong Kian-sik ikut menghela napas.

   "Nasib memang mempermainkan manusia, hal semacam ini susah untuk diterangkan dengan akal sehat."

   Tiba-tiba Che Toa-ho menimbrung.

   "Siaute merasa sedikit heran dengan asal-usul pemilik pondok Cay-seng, aku tidak tahu siapakah dia?"

   "Aku yakin dia adalah anggota perguruan Tay ki bun,"

   Jawab Seng Cun-hau.

   "Dari mana Toako bisa tahu?"

   Teriak semua orang hampir berbareng.

   Seng Cun-hau menarik napas panjang, katanya.

   "Biarpun aku bodoh dan bebal, namun memiliki kemampuan untuk mengamati perubahan mimik orang, dilihat dari hubungannya yang begitu akrab dengan Sui Leng-kong, bisa kutebak kalau dugaanku tidak bakal salah."

   Sun Siau-kiau menghela napas.

   "Di waktu biasa,"

   Katanya.

   "aku selalu berpendapat, meskipun kungfuku masih belum mampu menandingi Toako, namun kecerdasanku masih jauh lebih unggul, tapi hari ini aku baru sadar, ternyata Toako adalah orang pandai."

   "Toako mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas, tentu saja kami semua bukan tandingannya,"

   Kata Liu Ji-uh pula.

   "di hari biasa, dia memang lebih suka menyembunyikan kelebihannya."

   Perkataan ini bukan kata pujian tapi memang berdasarkan kenyataan, sebagaimana diketahui, biarpun Seng Cun-hau bukan termasuk orang pintar, namun caranya berpikir amat cermat, tindak-tanduknya juga tenang, satu kelebihan yang sulit ditandingi rekannya.

   "Toako,"

   Teriak Che Toa-ho kemudian.

   "kalau sudah tahu dia adalah anggota perguruan Tay ki bun, kenapa tidak segera turun tangan?"

   Pikiran dan jiwa orang ini paling picik, semenjak dikalahkan Thiat Tiong-tong, hingga hari ini dia masih menaruh perasaan dendam.

   Kembali Seng Cun-hau menghela napas, sahutnya.

   "Biarpun angkatan tua kita mempunyai dendam permusuhan dengan perguruan Tay ki bun, kenyataan hingga sekarang kita pun belum tahu seluk beluk serta latar belakang permusuhan yang sebenarnya."

   "Jadi Toako ingin menyudahi saja permusuhan ini?"

   "Aku hanya berharap permusuhan yang telah berjalan hampir seabad ini bisa disudahi pada generasi kita, apa gunanya saling membunuh? Kenapa kita mesti menyusahkan generasi berikutnya?"

   Setelah berhenti sejenak dan tertawa pedih, lanjutnya.

   "Sekalipun aku tidak punya keturunan, namun aku tetap berharap generasi kita berikut bisa hidup aman damai dan sentosa.

   Sebab...

   sebab aku sudah merasakan betapa menderita dan tersiksanya hidup dalam suasana permusuhan, selain itu aku pun yakin banyak anggota perguruan Tay ki bun yang berjiwa ksatria, seperti misalnya Thiat Tiong-tong...

   aaai, jalan pikirannya persis sama seperti jalan pikiranku."

   Che Toa-ho merasa sangat tidak puas setelah mendengar rekannya memuji Thiat Tiong-tong, wajahnya kontan bersungut-sungut.

   Liong Kian-sik segera berkata.

   "Pemahaman Toako sungguh membuat Siaute merasa kagum, apabila setiap umat persilatan bisa memiliki pandangan macam Toako, dunia pasti akan aman tenteram."

   Liu Ji-uh serta Sun Siau-kiau mesti tidak bicara, namun dari mimik mukanya dapat diketahui mereka pun sangat mengagumi jalan pikiran Seng Cun-hau.

   "Kalau memang begitu, buat apa kita menyusul ke sana?"

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seru Che Toa-ho jengkel.

   "Kali ini aku mengundang kalian turun gunung, bukan karena berharap Hiante sekalian membantuku dalam pertarungan berdarah,"

   Tukas Seng Cun-hau cepat.

   "Lantas untuk apa?"

   "Aku hanya berharap Hiante sekalian mau memberi dukungan semangat kepada kami, agar perselisihan yang telah berlangsung seabad ini bisa disudahi sampai di sini."

   Kemudian setelah menghela napas lagi, lanjutnya.

   "Seharusnya Hiante juga tahu, kalau sampai kita membuat generasi berikutnya menderita hanya gara-gara dendam pribadi, kejadian itu merupakan satu tindakan yang sangat keji."

   Che Toa-ho berpikir sejenak, akhirnya dia pun menghela napas sambil menundukkan kepala.

   Sui Leng-kong telah sadar dari pingsannya, dia masih mendekam dalam pelukan Gi Beng sambil menangis terisak.

   Gi Beng tiada hentinya menghibur, namun air mata ikut berlinang membasahi pipinya.

   Sambil tertawa paksa, Im Kian berkata.

   "Kejadian masa lampau telah berlalu, buat apa Hianmoay masih menangis? Berpikirlah hal positip yang bakal kau peroleh di kemudian hari, dengan begitu aku pun ikut merasa lega."

   Perkataan itu mengandung makna yang mendalam, meski orang lain belum tentu paham, namun Sui Leng-kong sangat memahaminya.

   Setelah kenyataan membuktikan dia masih bersaudara dengan Cu Cau, berarti cinta kasihnya dengan Thiat Tiong-tong sudah tidak terhambat lagi dengan masalah lain, bila suatu ketika kelak hubungan mereka semakin berkembang, tidak tertutup kemungkinan mereka akan naik ke pelaminan.

   Tapi entah mengapa, Sui Leng-kong tetap merasakan hatinya amat sedih, untuk sesaat bagaimana mungkin air matanya bisa berhenti berlinang? Malam yang kelam akhirnya berlalu dalam suasana sedih bercampur gembira, tanpa terasa fajar telah menyingsing di ufuk timur.

   Maka Sui Leng-kong pun menyatakan keinginannya untuk pergi.

   Dia ingin mencari Thiat Tiong-tong, dia pun ingin mencari saudara kandungnya, Cu Cau....

   Dari dasar hatinya yang paling dalam, dia pun berharap bisa berjumpa dengan ayahnya, ayahnya yang konon merupakan jagoan paling tersohor di kolong langit.

   Melihat bujukannya tidak berhasil mencegah kepergian gadis itu, dengan sedih Im Kian pun berkata.

   "Aaai...

   sayang aku tidak bisa mendampingi perjalanan adik..."

   Bicara sampai di situ, dia pun melirik sekejap ke arah Gi Beng dan Gi Teng. Buru-buru Gi Teng berseru.

   "Kalau begitu biar Siaute yang mewakili Toako mendampingi perjalanannya."

   "Benar,"

   Ujar Gi Beng pula sambil tertawa.

   "dengan didampingi kami berdua, tanggung Enci Sui tidak akan menjumpai masalah, Im-toako tidak perlu kuatir lagi."

   "Aaah, bila kalian bersedia menemami, tentu saja aku merasa lega,"

   Sahut Im Kian berseri.

   Setelah berpamitan dan meninggalkan pondok Cay-seng, Gi Teng berdua baru teringat kalau mereka telah menyanggupi permintaan Seng Cun-hau, sekarang masalahnya adalah bagaimana mungkin mereka bisa melakukan dua tugas bersamaan? Matahari telah memancarkan sinarnya menerangi seluruh jagad.

   Dua bersaudara ini hanya berharap sepanjang jalan mereka tidak menjumpai halangan, Sui Leng-kong bisa segera menemukan orang yang dicari dan permusuhan yang telah terjalin di masa lalu lambat-laun bisa dipunahkan.

   Sayangnya, perjalanan mereka bertiga tidak mungkin bisa dilalui tanpa masalah.

   Kecantikan Sui Leng-kong, kelincahan Gi Beng, kegagahan Gi Teng...

   banyak menarik perhatian orang.

   Menyadari akan hal itu, Gi Teng dan Gi Beng mulai bertindak lebih hati-hati....

   Mereka menghindari kereta kuda yang kelewat mewah, mereka pun tidak menunggang kuda, tap, perjalanan ditempuh dengan menunggang sebuah kereta kuda yang amat biasa dan umum.

   Maka sementara waktu perjalanan pun bisa ditempuh tanpa banyak kesulitan.

   BAB 32 Nyanyian di Tengah Malam Hari itu mereka bertiga tiba di seputar bukit Lau-san, dua bersaudara Gi serta Sui Leng-kong tidak berani menginap di dalam kota, maka mereka pun memerintahkan kusir kereta untuk melewati kota besar dan beristirahat di sebuah dusun yang amat kecil.

   Selesai makan malam, Gi Beng yang suka bergerak tidak bisa menahan diri untuk tidak berkeliling dusun, dia ajak Sui Lengkong menemaninya berjalan-jalan, terpaksa Gi Teng pun mengintil di belakang.

   Dalam suasana penuh kegembiraan, sepanjang jalan mereka bertiga berpesiar sambil berbincang hingga tanpa sadar telah berjalan meninggalkan dusun itu.

   Di sisi sebuah bukit, mereka saksikan ada cahaya lentera yang menerangi kegelapan, meski terlihat ada bayangan manusia yang hilir mudik, namun suasana sangat hening, selain suara hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan, tidak terdengar suara lain, suasana di sekeliling sana terasa diliputi kemisteriusan.

   Timbul rasa ingin tahu Gi Beng, dengan suara berat bisiknya.

   "Aneh, apa yang sedang mereka lakukan? Kelihatannya mencurigakan, Cici Sui, bagaimana kalau kita selidiki?"

   Dia memang sengaja tidak mengajak Gi Teng, melainkan mengajak Sui Leng-kong, karena dia tahu gadis itu lembut dan penurut, ajakannya tidak bakal ditampik, asal Sui Leng-kong bersedia, Gi Teng pasti akan mengintil juga.

   "Baiklah, mari kita tengok,"

   Sahut Sui Leng-kong sambil manggut-manggut.

   Gi Teng berniat mencegah, namun kedua orang itu sudah pergi jauh, dalam keadaan begini, terpaksa Gi Beng mengikuti di belakang sambil menghela napas panjang.

   Dengan ketajaman mata mereka bertiga, tidak selang beberapa saat kemudian terlihat di balik semak belukar tampak bersembunyi beberapa sosok bayangan manusia, orang-orang itu mendekam tanpa bergerak dan sama sekali tidak menimbulkan suara.

   Berubah wajah Gi Teng menyaksikan hal itu, bisiknya.

   "Hati hati, nampaknya...."

   Belum selesai dia memperingatkan, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia menerjang keluar dari balik semak, tangan kiri orang itu memegang sejenis senjata berbentuk tameng, sementara tangan kanannya membawa lembing pendek, sambil menerjang dia mem-bentak.

   "Akan kulihat mau kabur kemana lagi?"

   Dalam terperanjatnya buru-buru Gi Teng menarik tangan Gi Beng dan Sui Leng-kong sambil mundur tiga langkah.

   Tampak bayangan manusia itu menubruk ke atas tanah, tameng di tangan kirinya seperti menekan sesuatu dan serunya sambil tertawa.

   "Sudah tertangkap...

   sudah tertangkap."

   Waktu itu, sebenarnya Gi Teng sudah siap melancarkan serangan, tapi dengan cepat dia dapat mengenali orang itu hanya seorang lelaki dusun, yang dikira senjata tameng ternyata hanya sebuah keranjang bambu, sedang senjata yang dikira lembing ternyata hanya sebuah tongkat.

   Orang itu mendongakkan kepala, begitu mengenali Gi Teng bertiga, ujarnya sambil tertawa.

   "Ooh, rupanya Khek-koan bertiga ingin ikut menonton keramaian, hati-hati, tempat ini sangat berbahaya."

   "Bahaya? Apa yang kalian tangkap?"

   Tanya Gi Beng keheranan.

   Orang itu tidak menjawab, dia hanya memperlihatkan keranjang bambunya, sewaktu dipukul dengan tongkat, maka terlihatlah seekor ular berbisa muncul dari balik keranjang itu.

   Di bawah remangnya cuaca, tampak ular itu menongolkan kepala sambil mengeluarkan lidahnya yang bercabang, bentuknya sangat menakutkan.

   Gi Beng menjerit kaget, seketika itu juga dia merasa senyuman orang dusun itu penuh diliputi kemisteriusan, tanpa sadar dia mundur dua langkah, bentaknya.

   "Mau...

   mau apa kau?"

   Orang dusun itu tertawa.

   "Hamba hanya ingin memperlihatkan ular ini kepadamu."

   Kembali dia pukul kepala ular itu dengan tongkatnya, ular tadi seketika menarik kembali tubuhnya ke dalam keranjang bambu.

   "Di tengah malam buta begini menangkap ular berbisa, kelihatannya kau bukan orang baik,"

   Bentak Gi Beng nyaring, kemudian sambil menyikut Gi Teng, lanjutnya.

   "Tangkap dia, kita periksa berasal dari mana orang ini?"

   Orang dusun itu seketika terkesiap, buru-buru sahutnya dengan gemetar.

   "Tunggu...

   tunggu sebentar, di tengah malam buta begini hamba sengaja menangkap ular berbisa, karena...

   karena ingin mendapat tambahan beberapa tahil perak." "Uang apa? Dari siapa? Bicara yang jelas."

   "Di atas bukit di depan sana telah kedatangan seorang Budha hidup, bukan saja dia memiliki kemampuan menaklukkan naga menundukkan harimau, bahkan makanan sehari-harinya adalah ular berbisa, konon dia orang tua pernah berjanji di depan Hudco sewaktu berada di barat untuk menghabiskan seratus ribu ekor ular berbisa sebelum berhasil dengan ilmunya, oleh karena itu setiap hari Budha hidup itu bersantap ular, dia bersedia membayar satu tahil perak untuk seekor ular berbisa, itulah sebabnya hamba sekalian menangkap ular sebagai pekerjaan sambilan."

   Walaupun penjelasan itu telah dibumbui dengan dongeng, namun Gi Teng bertiga segera dapat menduga kalau 'Budha hidup' pemangsa ular berbisa itu pastilah seorang jagoan tangguh dari dunia persilatan yang sedang mempelajari sejenis ilmu beracun.

   "Macam apa tampang Budha hidup itu?"

   Tanya Gi Teng dengan kening berkerut.

   "Hamba semua hanya manusia biasa yang tidak kasat mata, mana berani memperhatikan wajah dia orang tua? Kami hanya tahu beliau berdiam di sebuah kuil dewa gunung yang ada di atas bukit dan setiap hari hanya duduk bersemedi."

   "Kalau tidak pernah bersua muka, bagaimana cara kalian menerima uang perak?"

   Tanya Gi Beng.

   "Ular berbisa yang berhasil hamba tangkap, cukup dimasukkan ke dalam sebuah keranjang bambu dan diantar ke depan kuil, keesokan harinya ketika hamba terbangun dari tidur, akan ditemukan keranjang itu sudah tergeletak di atas meja, ular dalam keranjang telah lenyap, sementara isi keranjang itu telah berubah menjadi uang perak.

   Selama beberapa hari terakhir, kejadian itu selalu terulang."

   Gi Beng seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kedipan mata Gi Teng mencegahnya untuk bicara lebih jauh.

   "Aaa... apakah Khek-koan ingin menanyakan sesuatu lagi?"

   Kembali orang dusun itu bertanya.

   "Tidak, kalian boleh segera menangkap ular. kemudian cepatlah pulang dan beristirahat,"

   Sahut Gi Teng cepat.

   Dia segera menarik tangan Gi Beng dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.

   Diam-diam Sui Leng-kong keheranan juga melihat Gi Beng begitu menuruti perkataan kakaknya tanpa berusaha menyelidiki persoalan yang nampaknya amat mencurigakan ini, tak tahan ejeknya sambil tertawa.

   "Aku lihat cuaca hari ini kurang begitu baik."

   "Kenapa kurang baik?"

   Tanya Gi Beng keheranan, matanya terbelalak lebar.

   "Kalau cuaca amat bagus, mana mungkin kau terburu-buru ingin pulang beristirahat?"

   Kata Sui Leng-kong sambil tersenyum.

   Gi Beng tertawa cekikikan.

   "Kau sangka Engkohku tidak suka mencari keramaian? Orang alim? Sejak kecil dia sudah nakalnya setengah mati, bertemu siapa saja selalu berkelahi, betul, sekarang dia memang berlagak sok sopan, sok alim, lihat saja, kepura-puraannya tidak bakal berlangsung lama, kau sangka dia mau pulang untuk beristirahat? Jangan mimpi, itulah taktiknya untuk menghindari perhatian orang-orang dusun itu, dapat dipastikan dia bakal mengambil jalan lain untuk secara diam-diam menyelinap naik ke atas bukit."

   "Benarkah begitu?"

   Tanya Sui Leng-kong sambil melirik Gi Teng sekejap. Gi Teng menoleh dan tertawa tergelak.

   "Susah jadi seorang Engkoh, apalagi kalau segala taktik sudah ketahuan sang adik,"

   Katanya.

   Bukan saja dia tidak berani beradu pandang dengan Sui Lengkong, bahkan begitu dipandang gadis itu, kontan pipinyajadi merah jengah, untung saja gadis itu tidak menaruh perhatian.

   Setelah berputar ke arah lain, betul saja, sekali lagi mereka bertiga naik ke atas bukit.

   Dengan mata berkilat dan penuh bersemangat Gi Beng bergumam.

   "Si Budha hidup itu tentu memiliki tampang wajah yang aneh."

   Geli juga Sui Leng-kong setelah menyaksikan rekannya kegirangan seperti seorang bocah, padahal dia sendiri pun merasa keheranan, rasa ingin tahunya meluap-luap setelah mendengar ada orang bisa makan puluhan ekor ular dalam beberapa hari, tanpa disadari dia pun turut mempercepat langkahnya.

   Bagaimanapun ketiga orang itu adalah anak-anak muda, begitu mendengar ada hal yang aneh, mereka hanya teringat untuk melakukan penyelidikan dan lupa kalau langkah itu sesungguhnya berbahaya dan penuh dengan intaian maut.

   Budha hidup itu bisa hidup mengasingkan diri di tengah kuil bobrok di tengah gunung, hal ini menunjukkan bahwa dia berusaha menyembunyikan jejaknya, mana mungkin dia akan membiarkan orang datang mengusut dan menyelidiki rahasianya? Dilihat dari makanan sehari-harinya berupa ular beracun, inipun membuktikan dia sedang melatih sejenis ilmu beracun yang menakutkan, dengan kepandaian silat yang dimiliki Gi Teng bertiga, bukan jaminan mereka bisa lolos dari ancaman.

   Suasana di atas gunung amat hening, sepi, selain rembulan yang mengintip dari balik awan dan suara serangga malam yang memadukan musik, tiada suara lain yang terdengar, rasa seram dan penuh misteri seolah mencekam sekeliling tempat itu.

   Wajah Gi Beng yang bulat telur meski panas, namun kaki dan tangannya justru dingin kaku, sepanjang jalan tiada hentinya dia menghibur diri sendiri.

   "Jangan takut, dalam semak tidak bakal muncul ular berbisa."

   Dia menghibur orang lain agar jangan takut, padahal dia sendiri sudah ketakutan setengah mati, sepanjang jalan hatinya kebat-kebit, nona itu kuatir kalau secara tiba-tiba muncul ular berbisa dari balik semak dan mendadak mematuk kakinya.

   Menyaksikan itu diam-diam Sui Leng-kong merasageli, tiba-tiba jeritnya tertahan.

   "Ular!"

   Sambil menjerit Gi Beng menjatuhkan diri ke dalam pelukan Sui Leng-kong, wajahnya pucat-pias seperti mayat, bisiknya gemetar.

   "Ular... ada dimana ularnya?"

   "Ular? Ooh... ada dalam perut si Budha hidup,"

   Sahut Sui Leng-kong sambil tertawa cekikikan.

   "Ooh... rupanya kau memang nona jahat, semoga saja kau yang benar-benar digigit ular berbisa...."

   "Sst! Jangan berisik!"

   Tiba-tiba Gi Teng menghardik.

   Sui Leng-kong dan Gi Beng segera berpaling, di antara pepohonan dekat tanah perbukitan, lamat-lamat terlihatlah sebuah bangunan kuil.

   Cahaya lentera yang redup memancar keluar dari balik dinding kuil yang bobrok, hal ini menambah kemisteriusan dan keseraman bangunan itu, seakan-akan kuil itu betul-betul merupakan tempat tinggal setan atau siluman jahat.

   Tanpa sadar ketiga orang itu menghentikan langkahnya dan mulai maju dengan tubuh merunduk.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mendadak terdengar suara langkah manusia berkumandang datang dari bawah bukit.

   Ketiga orang itu sangat terperanjat, tergopoh-gopoh mereka menyembunyikan diri ke balik pepohonan.

   Terlihat sebuah lampu lentera yang terbuat dari kertas putih bergerak mendekat dari bawah bukit, setelah berjalan semakin dekat, tampaklah empat orang manusia berbaju hijau yang mengikuti di belakang lentera itu, empat lelaki dengan empat keranjang bambu.

   Keempat orang itu berjalan dengan kepala tertunduk, tidak ada yang celingukan ke sana kemari, tidak ada juga yang mengangkat wajahnya, setelah tiba di depan pintu kuil, mereka menghentikan langkahnya jauh dari bangunan.

   Setelah meletakkan keranjang bambu itu ke tanah, serentak keempat orang itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sebanyak tiga kali dengan sikap penuh hormat, malah mulut mereka terlihat komat-kamit seakan sedang membaca doa.

   Sinar lentera yang membias dari balik lentera putih membuat paras muka keempat orang itu nampak hijau membesi, menghijau saking takutnya, membuat penampilan mereka terasa lebih aneh dan menakutkan, apalagi dalam suasana seperti itu.

   Di bawah kabut yang mulai menyelimuti permukaan, di tengah hembusan angin malam yang dingin, di tengah goyangan cahaya lentera berwarna putih, keempat orang manusia berbaju hijau itu berlutut di depan kuil dengan sikap amat menghormat.

   Jelas pemandangan semacam ini nampak sangat aneh dan penuh diliputi misteri! Tanpa sadar Gi Beng menggenggam tangan Sui Leng-kong erat-erat, ujung jari tangannya terasa mulai gemetar, telapak tangannya basah oleh peluh dingin.

   Sekalipun perasaan ngeri dan seram mencekam perasaannya, gadis itupun merasa tegang bercampur gembira.

   "Pergilah!"

   Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari balik kuil.

   Biarpun hanya sepatah kata, namun nada suaranya rendah, berat dan disertai satu kekuatan yang sangat aneh, ucapan itu seolah sebuah martil besar yang menghantam perasaan setiap orang, membuat dada terasa sesak dan napas menjadi tersengal.

   "Sungguh hebat tenaga dalam yang dimiliki orang ini!"

   Pikir Gi Beng bertiga dengan perasaan terkesiap.

   Dalam pada itu keempat orang berbaju hijau itu sudah merangkak bangun dan mundur beberapa langkah, kemudian tergopoh-gopoh kabur meninggalkan tempat itu.

   Tidak lama kemudian pintu kuil dibuka orang.

   Seorang kakek bertopi bambu, berjubah abu-abu dan bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang menyelinap keluar dari balik pintu, gerakan tubuhnya cepat dan enteng, jelas merupakan seorang tokoh hebat dari dunia persilatan.

   Dua kali dia bolak-balik keluar masuk kuil, hanya dalam waktu singkat keempat buah keranjang bambu itu sudah dibawa masuk ke dalam, kemudian "Ciiittt!", pintu kuil kembali tertutup rapat, suara keriut pintu seakan helaan napas iblis keji.

   Tidak lama kemudian terdengar suara pembicaraan yang lirih berkumandang dari balik kuil, sayang suara itu amat perlahan hingga tidak jelas apa yang sedang dibicarakan.

   Gi Beng segera berbisik ke sisi telinga Sui Leng-kong.

   "Di dalam kuil terdapat dua orang,"

   "Berarti yang satu adalah si Budha hidup,"

   Sahut Sui Lengkong.

   "Entah... entah macam apa tampangnya?"

   Kedua orang itu berbisik dengan suara lirih, Gi Teng tidak tahu apa yang sedang mereka berdua bicarakan, tapi setelah melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba-tiba dia bangkit berdiri.

   Buru-buru Gi Beng menarik ujung bajunya.

   Dengan setengah berbisik Gi Teng berkata.

   "Kita toh sudah berada di sini, paling tidak mesti mengintip dulu tokoh macam apakah si Budha hidup itu."

   "Aneh,"

   Bisik Gi Beng keheranan.

   "sejak kapan nyali Koko jadi begitu besar?"

   "Kalau takut, lebih baik kau tetap tinggal disini."

   Sambil menggertak gigi Gi Beng segera bangkit berdiri, sambil menahan napas mereka bertiga bergerak maju, siapa pun tidak berani menggunakan ilmu meringankan tubuh, kuatir suara desiran angin akan mengusik ketenangan tokoh sakti yang berada dalam kuil.

   Bangunan kuil itu sangat bobrok, banyak dinding yang sudah retak atau berlubang, ketiga orang itu segera mencari retakan di dinding dan mengintip ke dalam.

   Biarpun bobrok, ternyata ruang dalam kuil itu sudah disapu amat bersih, selain tidak nampak ada debu, meja altar berikut patung pujaan pun sudah disingkirkan sehingga ruang kuil itu nampak kosong melompong.

   Satu-satunya benda yang masih tersisa adalah sebuah lampu lentera yang diletakkan di tengah ruangan, lentera dengan setitik cahaya yang redup.

   Di bawah kerlipan cahaya api, tampak seorang pendeta berbaju merah membara duduk bersila di atas sebuah tikar, wajahnya menghadap ke arah pintu, tubuhnya sama sekali tidak bergerak, dia mirip sekali dengan sebuah patung Budha.

   Orang itu mempunyai perawakan tinggi besar dan kekar, kepalanya amat besar, mukanya merah membara dan memancarkan cahaya merah yang aneh dan menyilaukan mata, bukan cuma kepalanya, bahkan alis matanya pun berwarna merah darah Satu-satunya yang berwarna hitam putih hanya sepasang biji matanya yang tajam.

   Sebenarnya bentuk wajah orang itu tidak terlalu aneh atau menyeramkan, keanehannya justru terletak pada warna merah darah yang menyelimuti sekujur badan orang itu, dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya berwarna merah membara.

   Gi Beng hanya memperhatikan beberapa kejap, dia segera merasakan matanya amat sakit karena silau.

   Kakek berjubah abu-abu yang mengambil keranjang ular tadi, kini duduk bersila di sampingnya, dilihat dari posisi duduknya, tampaknya kakek berjubah abu-abu itu adalah murid pendeta berbaju merah itu.

   Sui Leng-kong bertiga tidak sempat melihat jelas raut muka kakek berbaju abu-abu itu, mereka hanya melihat si kakek sedang sibuk menarik keluar ular-ular berbisa itu dari dalam keranjang.

   Ular-ular berbisa yang kelihatan garang dan menakutkan itu, begitu berada dalam cengkeraman tangannya yang kurus berwarna hitam, seketika berubah jadi lemas tidak bertenaga, bukan saja binatang melata itu tidak melakukan perlawanan, bahkan mandah saja dibolak-balik semaunya.

   Dalam waktu singkat kakek berjubah abu-abu itu sudah memilih sepuluh ekor ular berbisa yang terbesar dan dimasukkan ke dalam keranjang, lalu setelah dipersembahkan ke hadapan pendeta berjubah merah itu, dengan hormat dia mundur kembali ke tempat duduknya.

   Kini Gi Beng bertiga sudah dapat menduga pemandangan ngeri apa yang bakal mereka saksikan, wajah mereka bertiga segera berubah hebat, tubuh mereka pun mulai gemetar.

   Sementara itu pendeta aneh berjubah merah itu telah menangkap seekor ular berbisa dan dimasukkan ke dalam mulut, dengan satu gigitan dia melahap kepala ular itu dan mengunyahnya dengan penuh kenikmatan.

   Gi Beng bertiga merasa hatinya bergidik, tiba-tiba saja perut mereka mual.

   Pendeta berjubah merah itu sama sekali tidak melakukan sesuatu gerakan, yang tampak hanya dadanya yang naik turun.

   Ular berbisa yang besar itupun perlahan-lahan menyusut mengecil mengikuti gerakan dadanya yang naik turun, dalam waktu singkat hanya tersisa selembar kulit ular yang kosong, sementara daging serta darahnya telah terhisap masuk ke dalam perut pendeta itu.

   Gi Beng sekalian merasa sangat mual, andaikata tidak mengertak gigi, mungkin mereka sudah muntah saking tidak tahannya.

   Kalau dilihat mimik muka pendeta aneh berjubah merah itu, dia seolah menganggap ular berbisa itu sebagai hidangan terlezat yang ada di kolong langit, tidak sampai sepeminuman teh, keenam tujuh ekor ular berbisa itu sudah berpindah ke dalam perutnya.

   Caranya makan ular berbisa secara hidup-hidup sudah merupakan satu kejadian yang mengerikan, tapi kemampuan tenaga dalamnya untuk menghisap daging dan darah ular itu sampai lolos dari kulitnya justru membuat perasaan orang bergidik.

   Cahaya merah aneh yang memancar dari sekujur tubuhnya terlihat makin lama semakin menyolok dan berkilauan, sinar matanya makin tajam bersemangat, tampaknya setiap kali dia makan seekor ular berbisa lebih banyak, tenaga dalamnya pun ikut bertambah maju satu tingkat.

   Gi Beng benar-benar merasa terkejut bercampur takut, dia tidak kuasa untuk melihat lebih jauh, diam-diam gadis itu menarik ujung baju Sui Leng-kong dan mengajaknya pergi dari situ.

   Sui Leng-kong manggut-manggut, secara diam-diam dia pun menarik ujung baju Gi Teng.

   Tapi belum sempat ketiga orang itu bangkit berdiri, mendadak kakek berjubah abu-abu itu membalikkan tubuhnya, seolah tanpa sengaja dia melirik sekejap ke tempat persembunyian ketiga orang itu.

   Gi Teng bertiga sekali lagi merasa terkesiap, terlebih Sui Lengkong, rasa kagetnya jauh melebihi dua bersaudara Gi, karena dia segera mengenali kakek berbaju abu-abu itu sebagai tokoh yang sangat dikenal olehnya.

   Untunglah pada saat yang bersamaan si pendeta berjubah merah itu membisikkan sesuatu, kakek berbaju abu-abu itu segera berpaling lagi ke arah lain.

   Dalam keadaan begini, tentu saja Sui Leng-kong bertiga tidak berani berdiam lebih lama lagi di situ.

   Tanpa membuang banyak waktu ketiga orang itu balik tubuh dan kabur dari situ, sampai cahaya lentera dalam kuil tidak nampak lagi mereka baru menghembuskan napas lega.

   "Waah, sungguh lihai!"

   Gumam Gi Beng dengan napas tersengal.

   "Kelihatannya ilmu beracun yang dilatih pendeta berjubah merah itu sudah mencapai puncak kesempurnaan,"

   Kata Gi Teng pula dengan nada berat.

   "andaikata sampai ketahuan mereka, mungkin susah bagi siapa pun untuk kabur dari bukit ini dalam keadaan selamat."

   "Siapa sih orang itu? Apakah kau mengenali mereka?"

   "Jejak jagoan silat amat sulit dilacak,"

   Sahut Gi Teng sambil menghela napas.

   "sekalipun aku merasa agak asing, tapi jelas dia adalah seorang gembong iblis yang sudah lama hidup mengasingkan diri... aaai! Lebih baik kita tidak usah mengenal mereka."

   "Tapi aku mengenali muridnya itu,"

   Tiba-tiba Sui Leng-kong menyela.

   "Siapa dia?"

   Tanya Gi Beng sambil membe-lalakkan matanya.

   "Dia adalah Pocu benteng Han hong-po, Leng It-hong."

   Sampai tiba kembali di tempat pondokannya dalam dusun, Gi Beng masih diliputi perasaan tercengang dan tidak habis mengerti, gumamnya berulang kali.

   "Leng It-hong? Kenapa dia bisa menjadi murid gembong iblis itu?"

   "Kalau sampai manusia macam Leng It-hong pun bersedia menjadi muridnya, jelas kungfu yang dimiliki orang ini sangat menakutkan, lebih baik kita jangan mengusiknyalagi."

   "Siapa yang bilang mau mengusiknya? Aku hanya ingin...."

   "Lebih baik lagi kalau dipikir pun jangan,"

   Tukas Gi Teng cepat.

   Kemudian setelah menatap sekejap Sui Leng-kong, tiba-tiba katanya lagi.

   "Bukan bermaksud takut atau tidak punya nyali, tapi bukankah tujuan kepergian kita kali ini adalah untuk mencari orang? Buat apa mesti mencampuri urusan orang lain?"

   Kontan Gi Beng tertawa cekikikan, katanya.

   "Aku justru melihat kau tidak bernyali, cuma malu untuk mengakuinya... bukan begitu Enci Sui?"

   Sambil tersenyum Sui Leng-kong melirik Gi Teng sekejap. Dengan wajah bersemu merah, buru-buru Gi Teng berdehem, katanya.

   "Sudahlah, besok pagi kita harus melanjut-kan perjalanan, lebih baik cepat tidur!"

   Dia tidak berani memandang wajah Sui Leng-kong lagi, cepat pemuda itu mengundurkan diri dari ruangan.

   Kembali Gi Beng mengomel panjang lebar sebelum akhirnya tertidur.

   Sedang Sui Leng-kong merasa sulit untuk memejamkan mata, walaupun sudah bolak-balik tubuhnya, namun rasa mengantuk seakan sudah jauh meninggalkan tubuhnya.

   Biarpun di hari biasa dia selalu tampil dengan wajah penuh senyuman, namun begitu keheningan malam mulai menjelang, dia selalu akan terombang-ambing oleh pikiran yang kalut, dia merasa banyak masalah yang sulit dihilangkan dari benaknya.

   Sepanjang malam berulang kali Gi Beng mengigau sambil berteriak-teriak.

   "Ular...

   ular...."

   Menyaksikan hal itu, Sui Leng-kong menghela napas panjang, sambil mengenakan mantel diam-diam dia membuka jendela ruangan.

   Di luar jendela tampak langit amat cerah, rembulan dan bintang menghiasi malam yang gelap, di tengah hembusan angin yang dingin, tiada hentinya dia memanggil nama Thiat Tiong- tong.

   Dalam keheningan yang mencekam itulah mendadak dia mendengar suara isak tangis yang amat memedihkan hati, isak tangis itu sayup-sayup terhembus lewat mengikuti angin malam, suara tangisan yang begitu sedih dan memilukan hati, serasa hati tersayat, usus terburai....

   Tanpa terasa air mata ikut berlinang membasahi wajah Sui Leng-kong, tanpa sadar dia melompat keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju ke sumber isak tangis itu.

   Dia tidak sadar, selain dirinya ternyata masih ada orang lain yang ikut berada di sisi jendela.

   Orang itu tidak lain adalah Gi Teng.

   Pemuda itu dapat melihat dengan jelas kemunculan Sui Lengkong yang berambut panjang sebahu dan mengenakan baju berwarna putih di bawah cahaya rembulan....

   Sui Leng-kong nampak begitu cantik, cantik bak bidadari dari kahyangan.

   Tanpa terasa pemuda itu termangu, serta merta dia ikut melompat keluar jendela.

   Saat itu Sui Leng-kong sudah melesat keluar dari dinding pekarangan.

   Baru saja Gi Teng hendak mengejar, satu ingatan kembali melintas, cepat dia balik ke dalam kamar dan membangunkan Gi Beng yang masih terlelap tidur.

   Dengan terkejut Gi Beng melompat bangun dari tidurnya seraya berteriak keras.

   "Ular...."

   Tapi setelah melihat jelas orang yang berdiri di hadapannya adalah Gi Teng, dengan perasaan lebih tenang tegurnya.

   "Ada apa?"

   "Ketika mendengar isak tangis, nona Sui keluar rumah seorang diri, aku...

   aku sangat kuatir, bagaimana kalau kau mengintil di belakangnya?"

   "Kalau toh kau yang kuatir, kenapa tidak pergi sendiri? Aku mau tidur saja...."

   Sahut Gi Beng sambil cemberut, selesai bicara kembali dia merebahkan diri.

   Buru-buru Gi Teng menarik tangannya dan berseru sambil tertawa paksa.

   "Kalau yang menangis seorang wanita, berarti dia menangis dari kamar tidurnya, masa aku seorang lelaki harus masuk ke dalam kamar wanita lain?"

   Gi Beng menghela napas panjang dan menggeleng.

   "Aaai, siapa suruh aku jadi adikmu dan siapa suruh kau adalah kakakku?"

   Buru-buru dia bangun dan mengenakan pakaian luar.

   Menanti dia mengejar keluar, Sui Leng-kong sudah berada jauh sekali, masih untung nona itu berjalan tidak terlalu cepat, pakaian putihnya kelihatan sangat menyolok di tengah kegelapan malam.

   Akhirnya Gi Beng berhasil menemukan Jejaknya, sambil mengerahkan tenaga dalamnya dia menyusul ke depan dan rencananya hendak menegur, namun niat itu segera diurungkan begitu melihat raut muka Sui Leng-kong yang dicekam kesedihan.

   Ketika mengetahui kedatangan Gi Beng, sambil tertawa sedih kata Sui Leng-kong.

   "Coba dengar!"

   Sekarang Gi Beng baru merasa kalau isak tangis itu memang sangat menyedihkan, tanpa terasa tergerak hatinya. Dengan kening berkerut, bisiknya.

   "Ya, betul, anak perempuan siapa yang sedang dianiaya orang? Mari kita tengok ke sana."

   Siapa sangka suara tangisan yang kedengarannya berasal dari tempat dekat itu kenyataan jauhnya setengah mati, harap maklum suasana malam di dusun itu memang kelewat sepi sehingga tidak heran suara isak tangis yang berasal dari tempat jauh pun terdengar sangat jelas.

   Sui Leng-kong yang semula masih berjalan santai, tanpa sadar segera mempercepat langkahnya dan pada akhirnya kedua orang itu sama-sama mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk bergerak.

   Tempat ini adalah bukit Lau-san, di kaki bukit terlihat setitik cahaya hio yang berkedip-kedip bagaikan bintang kesepian, dari arah situlah suara isak tangis itu berasal.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketika Sui Leng-kong dan Gi Beng berjalan semakin dekat, di bawah cahaya bintang tampaklah sebatang hio tertancap di atas sebatang batu hijau di kaki bukit, ada dua orang gadis berbaju hitam yang bertubuh ramping sedang berlutut di hadapan hio itu sambil menangis tersedu-sedu, sayang wajah mereka tertutup oleh kain cadar berwarna hitam, jelas kedua orang itu enggan wajah asli mereka ketahuan orang.

   Gi Beng segera menghentikan langkahnya, dengan kening berkerut dia berbisik.

   "Ternyata mereka bukan sedang dianiaya orang lain, tapi sedang melampiaskan rasa sedihnya di sini."

   "Kalau didengar dari isak tangis yang begitu mengenaskan, kelihatannya orang yang sedang mereka tangisi adalah orang yang sangat dekat dengan kedua orang ini, entah orang itu sempat tidak mendengar suara tangisannya?"

   Kata Sui Leng-kong pula dengan sedih. Berbicara sampai di situ, air mata telah membasahi wajahnya. Menyaksikan sikap rekannya, diam-diam Gi Beng menghela napas panjang, pikirnya.

   "Ternyata Enci Sui adalah orang yang sensitif perasaannya... Sementara di luar, dia berkata.

   "Jika orang itu sudah mati dan ternyata ada orang yang begitu sedih atas kematiannya, boleh dibilang kematian orang itu cukup berharga."

   "Tapi... tapi...."

   "Tapi bila orang itu belum mati dan gara-gara dia orang lain mesti begitu sedih,"

   Tukas Gi Beng cepat.

   "maka orang itu kalau bukan kentut busuk, pastilah seorang lelaki goblok yang memuakkan."

   Pembicaraan kedua orang ini mesti tidak menggunakan suara yang keras, namun tidak pula terhitung lirih, sayang dalam sedihnya yang luar biasa ternyata tidak seorang pun di antara kedua orang gadis berbaju hitam itu yang mendengar.

   Kelihatannya hembusan angin malam pun menemani suara isak tangis mereka, berbaur menjadi satu dan menciptakan seuntai irama lagu yang menyayat hati.

   Sui Leng-kong yang sudah dibasahi air mata, kini terisak makin menjadi.

   Sekali lagi Gi Beng menghela napas, sambil menggelengkan kepala dan tertawa getir, ujarnya.

   "Siapa orangnya yang mereka tangisi kau tidak tahu, masa kau menemani mereka menangis sesedih ini?"

   Dengan air mata masih bercucuran, sahut Sui Leng-kong.

   "Mereka menangisi orang yang dikasihi, sementara aku menangisi masalahku yang menyedihkan, kalau kami sama-sama sedang bersedih hati, apa salahnya menangis bersama,"

   Gi Beng tertegun, sambil menggosok matanya dia berseru.

   "Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan, tapi...

   kalau kau masih menangis terus, aku...

   aku pun tidak tahan untuk tidak menangis."

   "Baik, kalau begitu menangislah...

   menangislah...

   semoga semua orang yang sedang bersedih hati dapat berkumpul semua di sini dan menangis bersama...

   bisa menangis, jauh lebih lega ketimbang menyimpannya di dalam hati."

   "Kalian menangis karena ada yang ditangisi, sementara aku...

   tidak seorang manusia pun yang perlu kutangisi, aku...

   bukankah aku jauh lebih mengenaskan ketimbang kalian?"

   Makin berbicara dia merasa makin sedih, sampai akhirnya dia pun ikut menangis tersedu-sedu, malah suara tangisannya paling keras.

   Entah sudah berapa lama keempat orang itu menangis, akhirnya dua orang gadis berbaju hitam itu berpaling secara tiba-tiba dan berseru.

   "Cici berdua...

   kalian...

   kalian jangan menangis lagi!"

   "Kalian sendiri menangis dengan begitu sedihnya, kenapa kami tidak boleh menangis,"

   Sahut Gi Beng.

   "asal kalian tidak menangis, tentu kami pun tidak akan menangis lagi."

   "Kami... mana mungkin kami tidak menangis? Tapi bila Cici berdua tidak ada masalah yang benar-benar menyedihkan, lebih baik janganlah menangis lagi."

   "Masalah apa pula yang membuat kalian amatbersedih?"

   Gadis berbaju hitam itu mendongakkan kepala memandang ke angkasa, kemudian ujamya sedih.

   "Seseorang telah mati, padahal sepanjang hidupnya dia sudah banyak berkorban demi orang banyak, namun tidak seorang pun yang mengetahui pengorbanannya itu."

   "Benar, dia telah mengorbankan segala-galanya."

   Lanjut gadis yang lain.

   "namun tidak seorang saudara dan sanaknya pun yang memahami pengorbanan itu, bahkan sampai gurunya pun menuduh dia sebagai seorang murid murtad, seorang pengkhianat."

   "Dia dilahirkan tanpa ibu, ayahnya juga telah mati, satu-satunya orang di dunia ini yang paling dekat dengannya ternyata...."

   "Akhirnya dia harus tewas di tangan orang yang paling dekat dengannya,"

   Kembali gadis yang lain menambahkan.

   Walaupun hanya serangkai pembicaraan yang sederhana namun telah menceritakan sebuah kisah kehidupan yang amat tragis, dalam keadaan begini, siapa yang tidak merasa bersedih? Gi Beng berdiri tertegun, lama sekali dia termangu oleh kisah cerita itu, gumamnya.

   "Kalau dia benar-benar manusia macam begini, aku...

   aku pasti akan turut menangisi kepergiannya."

   Sui Leng-kong yang selama ini hanya tertunduk sambil menangis, tiba-tiba mendongakkan kepala, selesai membesut air mata, tanyanya dengan gemetar.

   "Si... siapa yang kau maksud?"

   Kedua orang gadis berbaju hitam itu serentak berpaling, memandang ke arahnya.

   Di bawah cahaya bintang, terlihat nona itu berdiri dengan wajah pucat-pias, wajahnya sayu, meskipun kecantikannya sudah terselubung di balik kepedihan, namun sorot matanya tampak tetap jeli dan indah.

   Kedua orang gadis berbaju hitam itu tertegun, sampai lama sekali tak mampu berkata.

   "Kenapa...

   kenapa kalian tidak bicara?"

   Tanya Sui Leng-kong. Tiba-tiba kedua orang gadis berbaju hitam itu berangkulan kembali dan menangis semakin sedih.

   "Kau... kau...."

   Paras muka Sui Leng-kong semakin pucat.

   "Sebenarnya Cici... Cici pun kenal dengan orang... orang yang kami tangisi...."

   Ujar gadis berbaju hitam itu terbata-bata.

   "Siapa? Siapakah dia?"

   Suara Sui Leng-kong makin gemetar.

   "Thiat... Tiong... Tong!"

   "Thiat Tiong-tong?"

   Gi Beng ikut menjerit keras.

   Sementara itu Sui Leng-kong sudah mencengkeram baju gadis itu sembari menjerit.

   "Thiat Tiong-tong? Kau...

   yang kau maksud benar-benar Thiat Tiong-tong?"

   "Benar! Mana ada orang lain yang jauh lebih banyak berkorban daripada Thiat Tiong-tong?"

   Kata gadis berbaju hitam itu sedih.

   "kecuali untuk Thiat Tiong-tong, mana mungkin aku akan begitu bersedih."

   Sekujur badan Sui Leng-kong mulai gemetar keras, tubuhnya mendadak jadi rapuh bagai selembar daun kering yang dihembus angin kencang, jeritnya.

   "Kau bohong...

   Thiat Tiong-tong tak mungkin mati, dia tak mungkin mati "Dia memang tak pantas mati, tapi dia...

   dia benar-benar telah mati...

   Enci Sui, kau anggap aku tega menipumu?"

   "Kau...

   kau kenal aku? Siapa kau?"

   "Leng...

   Cing-peng...."

   Sambil menjerit keras Sui Leng-kong berpaling ke arah gadis yang lain.

   Perlahan-lahan gadis berkerudung hitam itu melepaskan kain cadarnya dan menampilkan wajahnya yang cantik jelita, wajah yang telah basah oleh air mata....

   Dia tidak lain adalah UnTay-tay.

   Tubuh Sui Leng-kong tampak gontai, mendadak dia merasa pikirannya kosong, tidak ada lagi secuwil kekuatan pun yang menopang tubuhnya.

   Dia cukup mengerti, perkataan orang lain mungkin saja bohong, tapi kedua orang ini tidak nanti akan membohongi dirinya...

   tubuhnya mulai roboh lemas.

   Buru-buru Gi Beng memeluk tubuhnya sambil berteriak.

   "Siapa yang telah membunuh Thiat Tiong-tong? Siapa yang telah membunuh Thiat Tiong-tong? Cepat beritahukan kepadaku."

   "Orang itu adalah adik angkatnya, Im Ceng!"

   Sahut Un Tay-tay dengan kepala tertunduk. Sekali lagi tubuh Sui Leng-kong bergetar keras. Gi Beng ikut tertegun, lama kemudian dia baru bergumam.

   "Im Ceng... Im Ceng... dimana dia sekarang?"

   "Dia pun telah mati!"

   Jiwa Sui Leng-kong yang sudah melemah bagaimana mungkin bisa menerima pukulan batin seberat ini? Belum sempat berteriak, kembali dia jatuh tidak sadarkan diri.

   Gi Beng mendongakkan kepala memandang langit, jeritnya amat sedih.

   "Ooh, Thian...

   sudah terjadi tragedi yang begitu mengenaskan di dunia ini, kenapa kau tidak mencampurinya?"

   Tentu saja dia tidak tahu kalau pada saat yang bersamaan telah terjadi peristiwa yang menyedihkan di tempat lain.

   Walaupun Thiat Tiong-tong belum mati, namun dia jauh lebih menderita dan tersiksa dari pada mati.

   Penderitaan dan siksaan yang dialaminya selama ini, kecuali dia pribadi, mungkin tidak ada orang kedua di dunia ini yang bisa menerimanya, hati dan perasaannya benar-benar sudah dipoles menjadi lebih tangguh daripada lempengan baja.

   Sambil menggertak gigi, dia usir jauh-jauh semua persoalan yang tidak patut dipikirkan, semua masalah yang sulit dilupakan....

   Andaikata dia sendiri pun tidak memiliki masalah masa lalu yang memedihkan hati dan sukar terlupakan, tidak mungkin dia bisa mengetahui betapa sulit dan susahnya untuk "melupakan"

   Semuanya itu.

   Tapi Thiat Tiong-tong yang ulet dan gigih berhasil melakukannya, dia berhasil menghimpun semua semangat, pikiran dan tenaganya untuk berlatih siang malam.

   Dia mati-matian menyiksa diri, mati-matian melecuti diri sendiri, dia tidak memberi waktu yang cukup bagi diri sendiri untuk beristirahat, karena begitu dia berhenti berlatih, siksaan itupun mulai menggigit dan menyiksa batinnya lagi, menyiksa tubuhnya bagai pagutan ular berbisa.

   Sementara itu sepanjang hari Kaisar malam hanya duduk termenung bagaikan sebuah patung batu.

   Lorong rahasia itu meski tetap tampil indah dan mewah, namun sudah kehilangan gelak tawa yang riang dan ramai, semuanya berubah jadi gelap tidak bersinar, sepi, hening hingga susah tertahankan oleh siapa pun.

   Kawanan gadis yang lincah dan menyenangkan pun telah kehilangan senyuman mereka yang menawan, terkadang sewaktu memandang dari balik cermin pun, mereka seolah lupa bagaimana tampang sendiri ketika sedang tertawa.

   Mereka tiada hentinya melecuti diri sendiri, siang malam tanpa berhenti berusaha menyingkirkan guguran bebatuan yang menyumbat lorong itu, mereka berusaha secepatnya menyelesaikan pekerjaan itu, membuat sebuah jalan tembus.

   Akhirnya sampailah pada hari ini, hari dimana menurut perkiraan mereka sudah berada sangat dekat dengan pintu keluar, tinggal bekerja setengah hari lagi, seluruh lorong rahasia itu sudah dapat di tembus.

   Waktu itu wajah mereka sudah sayu dan kucal, rambut mereka sudah kehilangan cahayanya, pakaian indah yang mereka kenakan pun sudah robek dan compang-camping.

   Jari jemari mereka yang semula halus dan ramping, kini sudah berubah kasar dan penuh ditumbuhi kulit keras, kerlingan mata mereka yang jeli pun dipenuhi butiran air mata.

   Tentu saja air mata mereka adalah air mata kegembiraan.

   Setelah berjuang dan bersusah payah sekian lama, pada akhirnya jerih-payah mereka membuahkan hasil.

   Khusus hari ini, Thiat Tiong-tong pun ikut meninggalkan latihannya untuk bergabung dengan mereka, malah Kaisar malam yang selama ini bagaikan patung pun sudah mulai nampak bergairah hidup.

   Tampaknya lorong rahasia itu segera akan tembus, perasaan mereka ketika itu sangat gembira, sangat senang, perasaan yang tidak terlukiskan dengan perkataan apapun.

   Sayangnya, di saat yang terakhir itulah....

   Mendadak mereka jumpai ada sebuah batu raksasa seberat ratusan ribu kati menghadang jalan terakhir mereka, memisahkan harapan mereka yang terbesar, menghancurkan kegembiraan mereka yang terbesar, membuat seluruh jerih-payah berlalu dengan begitu saja.

   Kini semua senyuman, semua kegembiraan telah berubah, berubah jadi derai air mata....

   Dalam waktu singkat semua orang tertegun, semua orang berdiri melongo, seluruh kekuatan tubuh kawanan gadis itupun ikut berubah jadi kekosongan, kehampaan.

   Satu per satu mereka berlutut di tanah sambil menangiS tersedu-sedu, mereka merasa seakan tidak punya tenaga lagi untuk bangkit berdiri.

   Sepasang mata Kaisar malam telah berubah jadi merah membara, tubuhnya gemetar keras, rambutnya berdiri kaku bagai landak, sepasang kepalannya mengepal kuat-kuat, seolah sedang menggenggam semua kesedihan dan kegusaran yang tak mampu diucapkan.

   Thiat Tiong-tong sendiri pun berdiri tertegun sambil mengawasi batu raksasa yang mustahil bisa digeser dengan tenaga manusia, pikirnya dengan sedih.

   "Thian... wahai, Thian... apakah kau benar-benar hendak memerangkap kami di tempat ini? Mengurung kami sampai mati?"

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
BAB 33 Rahasia si Dewa Racun Tapi pada saat itulah di dunia persilatan telah tersiar sebuah berita yang menggemparkan.

   "Kaisar Malam telah muncul kembali!"

   Tentu saja berita ini tersiar dari pulau Siang-cun-to, Un Tay-tay pun ikut mendengarnya.

   Ketika Sui Leng-kong tersadar kembali dari pingsannya, secara ringkas Un Tay-tay mengisahkan kejadian yang telah berlangsung...

   bercerita dengan air mata berlinang.

   Sui Leng-kong maupun Gi Beng mendengarkan kisah itu dengan air mata mengucur pula.

   Terdengar Un Tay-tay berkata lebih lanjut.

   "Mereka telah mati, aku merasa tidak berarti hidup seorang diri, sebenarnya aku pun ingin menyusul mereka berdua, tapi...."

   Ditatapnya Sui Leng-kong dengan pandangan mendalam, kemudian terusnya.

   "Bila kita harus mati dalam keadaan begini, jelas kematian kita sama sekali tidak berharga, paling tidak kita harus melakukan sesuatu terlebih dulu demi mereka, kemudian baru mati.

   Dengan begitu kematian kita ada nilainya, karena kita mati dengan membawa jasa, maka tidak sia-sia kematian kita ini."

   Walaupun perkataan itu seakan ditujukan kepada diri sendiri, tidak disangkal yang menjadi sasaran pembicaraan adalah Sui Leng-kong.

   Dengan pandangan sayu Sui Leng-kong memandang setitik cahaya bintang nun di ujung dunia sana, gumamnya.

   "Betul, kalau mati pun, harus ada nilainya....

   aku tidak akan mati dengan percuma."

   Diam-diam Un Tay-tay menghela napas, katanya lagi.

   "Aku tidak mampu berdiam lebih lama di pulau Siang cun-to, bila aku dipaksa mengendon terus di sana, kalau tidak mati sengsara pasti akan edan jadinya."

   Di antara beberapa orang gadis itu, kesedihan yang dialami Gi Beng paling enteng, pikiran dan perasaannya seketika diliputi rasa ingin tahu yang besar.

   Sesudah mengedipkan mata berulang kali, tidak tahan dia bertanya.

   "Aku dengar orang yang berdiam di pulau Siang cun-to sudah putus hubungan dengan keramaian duniawi, bagaimana ceritanya sehingga Jit ho Nio nio mengizinkan kau pergi meninggalkan pulau itu?"

   "Dia tidak pernah menyetujui permintaanku, aku yang pergi sendiri,"

   Jawab Un Tay-tay.

   Gi Beng membelalakkan matanya lebar-lebar, teriaknya terkejut.

   "Oooh, jadi kau melarikan diri? Konon pulau Siang cun-to ibarat sarang naga gua harimau, dengan cara apa kau melarikan diri?"

   "Walaupun peraturan yang berlaku di pulau Siang cun-to sangat ketat dan keras, namun belakangan telah terjadi berbagai peristiwa di situ, khususnya ada satu kejadian yang membuat suasana di pulau Siang cun-to jadi kalut."

   "Kejadian yang bisa menggemparkan pulau Siang cun-to sudah pasti merupakan satu peristiwa yang luar biasa...

   aaah! Benar, jangan-jangan gara-gara kedatangan Lui-pian Lojin yang ingin menuntut balas?"

   "Lui-pian Lojin terhitung jagoan macam apa? Kenapa nona menganggapnya sebagai manusia luar biasa? Masih mending kalau dia tidak datang, bila berani menginjakkan kakinya di pulau itu, dapat dipastikan dia tidak bakal bisa balik lagi!"

   "Lantas lantaran siapa?"

   Tanya Gi Beng dengan kening berkerut.

   "masa di kolong langit saat ini masih ada jagoan lain yang lebih tangguh ketimbang Lui-pian Lojin? Aaah! Betul, masih ada seorang lagi."

   Kedua orang itu saling berpandangan sekejap, tentu saja dalam hati mereka sudah tahu siapa yang dimaksud.

   "Tapi...."

   Kembali Gi Beng berseru.

   "tapi dia... sudah lama dia tidak pernah muncul."

   Walaupun tidak ada yang menyinggung tentang nama tokoh itu, namun Sui Leng-kong pun dapat menebak siapa yang dimaksud, tiba-tiba perasaan gembira dan terharu yang aneh melintas dalam benaknya. Terdengar Un Tay-tay berkata.

   "Benar, selama ini Kaisar malam memang tidak pernah tampil di depan umum, hal ini dikarenakan dia sudah dikurung oleh Jit ho Nio nio di dalam sebuah gua di tepi pesisir laut."

   Sui Leng-kong tidak kuasa menahan diri lagi, sambil menjerit kaget, tanyanya dengan suara gemetar.

   "Di...

   ada dimana gua itu? Apakah kau..

   kau tahu?"

   "Sekalipun tahu juga tidak ada gunanya, karena belum lama berselang Kaisar malam telah berhasil meloloskan diri dari dalam gua itu."

   "Jadi dia orang tua sudah muncul kembali dalam dunia persilatan?"

   Seru Gi Beng dengan wajah berubah.

   "Aaaai...."

   Un Tay-tay menghela napas panjang.

   "kini dunia persilatan sedang dilanda kekacauan, mana mungkin bisa kekurangan dia?"

   "Tidak heran pulau Siang-cun-to menjadi heboh...."

   Gumam Gi Beng, dia berpaling memandang Sui Leng-kong sekejap.

   Tampak wajah gadis itu sedang diliputi pergolakan emosi, setengahnya menunjukkan perasaan kecewa dan setengahnya lagi merasa gembira.

   Yang membuatnya kecewa adalah setelah sang ayah terjun kembali ke dalam dunia persilatan, keadaannya pasti bagaikan naga sakti yang terbang ke angkasa, sampai kapan lagi dia baru bisa mendengar kabar berita tentang dirinya.

   Yang membuatnya gembira adalah ternyata sang ayah masih hidup sehat walafiat di kolong langit, bagaimanapun juga suatu saat nanti mereka pasti punya kesempatan untuk saling berjumpa.

   Namun kegembiraan sesaat seketika tenggelam kembali oleh perasaan sedih yang luar biasa, perasaan sedih yang selamanya akan melekat di dalam hatinya.

   Thiat Tiong-tong telah pergi! Selamanya dia tidak akan bisa menyaksikan senyumannya yang lembut dan tegas, selamanya tidak dapat menyaksikan cahaya matanya yang berapi walau terkadang nampak begitu lembut dan halus.

   Semua itu sudah terlalu banyak menempati ruang hatinya, dan kini perasaan itu tinggal lembaran kosong, dia menyesal, dia kecewa, karena tiada sesuatu apapun di dunia ini yang bisa menggantikan dan memperbaiki kekosongan hatinya itu.

   Padahal bukan hanya dia seorang yang merasakan hal itu, Un Tay-tay, Leng Cing-peng, semuanya ikut merasakan hati yang pedih, perasaan yang hancur lebur, air mata yang berderai....

   Pada saat semua orang sedang dirundung kepedihan hati yang membetot sukma, di saat semua orang hampir tak kuasa menahan diri, tiba-tiba terdengar Gi Beng menjerit kaget.

   "Ular...

   ular...."

   Walaupun dalam kegelapan malam tidak nampak raut wajahnya, namun bisa diduga wajahnya saat itu pucat-pias bagai mayat, dengan jari tangan yang gemetar dia menuding ke arah batu cadas persis di hadapannya.

   Di atas batu cadas, di bawah hio yang masih mengepulkan asap harum, tampak seekor ular kecil yang berbentuk aneh dengan warna yang aneh pula sedang meliukkan tubuhnya, setiap kali menggerakkan badan, sekilas cahaya keemas-emasan segera membias keluar.

   Panjang ular itu tidak lebih hanya satu jengkal, tubuhnya sebesar ibu jari, boleh dibilang kecil menggemaskan, namun lidah merahnya yang menjulur keluar masuk justru mendatangkan perasaan seram bagi siapa pun.

   Sebenarnya Un Tay-tay ikut terperanjat, namun setelah tahu ular itu hanya seekor ular yang sangat kecil, dengan kening berkerut dia siap mengambil tindakan.

   Belum sempat tangannya melancarkan serangan, dengan cepat Sui Leng-kong telah menariknya, bahkan dia sempat merasakan jari tangannya yang gemetar keras, hal yang membuktikan betapa ngeri dan seramnya perasaan gadis itu.

   Tergerak perasaan Un Tay-tay, cepat dia berpaling, dilihatnya nona itu sedang membelalakkan matanya dengan perasaan ngeri, dengan keheranan dia pun bertanya.

   "Ular itu sangat kecil, apa yang kau takuti?"

   "Ular itu pasti sangat beracun, jangan kau usik dia,"

   Sahut Sui Leng-kong cepat.

   Sejak kecil dia memang dibesarkan di wilayah rawa-rawa, tempat yang paling ideal untuk hidup ular berbisa, namun selama ini belum pernah sekalipun dia jumpai ular berbisa dengan bentuk sedemikian aneh dan seramnya.

   Dalam pada itu, ular emas itupun hanya melingkarkan tubuhnya di atas batu tanpa bergerak, seakan-akan binatang itu sama sekali tidak pandang sebelah mata pun terhadap keempat manusia yang berada di hadapannya.

   Makin dilihat Gi Beng merasa semakin ketakutan, tanyanya lagi dengan gemetar.

   "Ba...

   bagaimana sekarang?"

   Sui Leng-kong memandang sekeliling tempat itu sekejap, kemudian sahutnya.

   "Aku percaya ular berbisa ini memiliki kemampuan yang luar biasa, jarang terdapat ular semacam ini walau di tengah hutan belantara sekali pun."

   "Ke...

   kenapa binatang itu bisa muncul di sini?"

   Tanya Gi Beng tergagap.

   "Pasti ada orang yang sengaja melepaskannya di sini!"

   Kata Sui Leng-kong. Gi Beng menarik napas dingin, ketika mendongakkan kepala, segera terlihat olehnya di atas bukit di bawah rindangnya pepohonan, berdiri sesosok bayangan manusia.

   "Itu... itu dia, orang... orangnya ada di situ!"

   Teriak Gi Beng dengan hati tercekat. Terdengar orang yang berada di balik kegelapan itu tertawa dingin, ejeknya.

   "Masih untung budak itu luas pengetahuannya, kalau tidak, hmmmm... saat ini kalian berempat sudah pergi menghadap raja akhirat."

   Orang itu mengenakan topi caping yang terbuat dari bambu dan berjubah pendeta, kalau dilihat sepintas, dia mirip sekali dengan seorang Tosu, sayang di tengah kegelapan malam sulit untuk melihat jelas raut mukanya.

   "Kami tidak punya dendam sakit hati denganmu, kenal pun tidak, kenapa kau...

   kau melepaskan ular beracun itu untuk mencelakai kami?"

   Tegur Gi Beng. Kembali orang itu tertawa dingin.

   "Betul, kalian empat orang budak cilik memang tidak ada dendam sakit hati dengan Lohu, tapi orang yang sedang kalian tangisi adalah musuh besarku!"

   "Maksudmu... maksudmu Thiat Tiong-tong?"

   Tanya Gi Beng tercengang. Orang itu tertawa seram.

   "Thiat Tiong-tong... wahai, Thiat Tiong-tong, kau bajingan laknat, manusia bedebah, kau adalah binatang yang bukan dilahirkan manusia! Kau...."

   Sambil bicara, dia mengertak gigi kuat-kuat hingga berbunyi gemerutuk, nada ucapannya dipenuhi rasa benci dan dendam yang merasuk tulang.

   Tiba-tiba Leng Cing-peng melompat maju ke depan, teriaknya gemetar.

   "Dia sudah mati, buat apa kau masih mengumpatnya? Kau...."

   Hawa napsu membunuh mendadak terpancar dari balik mata orang itu, bentaknya.

   "Kim-nu, serang!"

   Tiba-tiba sekilas cahaya emas berkelebat, suara pembicaraan Leng Cing-peng pun seketika terhenti di tengah jalan.

   Sui Leng-kong menyaksikan tubuhnya bergetar keras, kemudian paras mukanya berubah hebat, dia ingin menarik tangannya, namun sayang tak sempat, segera jeritnya kaget.

   "Kau...

   kau tidak apa-apa?"

   Di bawah sinar bintang, tampak kain cadar hitam yang menutupi wajah Leng Cing-peng bergelombang tidak beraturan, keempat anggota tubuhnya mulai mengejang keras, dia seperti ingin mengatakan sesuatu, namun sayang tidak punya tenaga lagi untuk mengutarakannya keluar.

   Ketika berpaling lagi ke arah ular emas itu, ternyata binatang melata itu sudah balik kembali ke atas batu, ternyata hanya sedikit melejitkan tubuhnya, ular itu sudah mematuk tubuh Leng Cing-peng, kecepatan serangannya sungguh luar biasa.

   Pucat-pias wajah Sui Leng-kong, baru saja dia bersama Un Tay-tay hendak merangkul tubuhnya, Leng Cing-peng sudah roboh tergeletak di tanah sambil berseru.

   "Kau...

   kau sungguh...

   sungguh keji!"

   Orang itu tertawa seram.

   "Hmrnm, siapa suruh kau cari mampus, jangan salahkan aku.

   Kini Kim-nu sudah meninggalkan bekas gigitan di atas pergelangan tanganmu, berarti tiada obat pemunah lagi di dunia ini yang bisa menolong nyawamu, tunggu saja saatmu bertemu raja akhirat!"

   "Ti...

   tidak salah,"

   Kata Leng Cing-peng pula.

   "aku... aku segera akan bertemu... bertemu dengan Thiat Tiong-tong... kau... kabulkanlah keinginanku ayah...."

   Begitu sebutan 'ayah' diucapkan, semua orang terperanjat "Apa? Dia adalah ayahmu?"

   Tanya Gi Beng setengah menjerit.

   "Benar,"

   Sahut Leng Cing-peng sambil tertawa sedih. Kelihatannya bayangan manusia itupun merasa amat terperanjat, tanyanya.

   "Si... siapa kau?"

   "Putrimu... Leng Cing-peng...."

   Belum selesai perkataan itu diucapkan, orang itu sudah membentak keras sambil berlari naik ke atas bukit bagai orang kesurupan, dengan tangan sebelah dia menarik lengan Leng Cing-peng sementara tangan yang lain digunakan untuk merobek kain kerudung wajahnya.

   Sinar bintang yang bertaburan di angkasa membiaskan cahayanya menyinari wajah Leng Cing-peng yang pucat-pasi, perempuan itu berdiri dengan wajah senyum tidak senyum, meski air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.

   Tampak sekujur tubuh orang itu gemetar keras, sambil roboh ke tanah teriaknya gemetar.

   "Peng-ji...

   ternyata kau memang Peng-ji...."

   Orang itu memiliki kening tinggi dengan hidung bengkok seperti paruh elang.

   Dia, tidak lain adalah Leng It-hong! Sekali lagi sebuah tragedi berlangsung di depan mata.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Un Tay-tay, Sui Leng-kong maupun Gi Beng tidak kuasa menahan rasa sedih, semua orang berdiri mematung dengan air mata berlinang, untuk sesaat mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana.

   Terdengar Leng Cing-peng berkata lagi sambil tertawa sedih.

   "Ayah...

   biarpun kau tidak bisa mengenali putrimu, tapi...

   tapi putrimu sudah mengenali suara ayah."

   "Ke...

   kenapa tidak kau katakan sejak tadi?"

   Bentak Leng It-hong keras.

   "Apakah ayah pernah memberi kesempatan kepada putrimu untuk bicara? Setiap kali menyinggung tentang Thiat Tiong-tong, hatimu selalu terbakar oleh rasa benci dan dendam, pernahkah kau mendengarkan suara orang lain?"

   Leng It-hong mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, giginya saling beradu hingga menimbulkan suara gemerutuk, tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan menjerit keras.

   "Thian...

   oooh, Thian...

   aku benci...

   aku sangat benci!"

   "Dia sudah mati, apakah kau masih membencinya?"

   Kata Leng Cing-peng.

   "Kalau bukan gara-gara dia, tidak akan terjadi peristiwa seperti hari ini... akan kucari mayatnya, akan ku cincang tubuhnya hingga hancur berkeping-keping, aku tidak akan puas sebelum berhasil melumat tubuhnya!"

   Di wajah Leng Cing-peng yang pucat-pias tiba-tiba tersungging sekulum senyuman aneh, katanya.

   "Sebentar lagi putrimu akan bertemu dengannya."

   "Kau... kau berani?"

   Hardik Leng It-hong.

   "Putrimu berani...

   tidak seorang manusia pun di dunia ini yang mampu menghalangi aku lagi...

   selama hidup belum pernah aku merasakan ketenangan dan kegembiraan seperti saat ini, aku....

   Perlahan-lahan dia memejamkan mata, sekulum senyuman mulai menghiasi ujung bibirnya, senyuman yang amat sayu dan mengenaskan Tiba-tiba nada suaranya berubah jadi sangat halus dan lembut, katanya lagi.

   "Coba lihat...

   coba lihat...

   dia sedang menggapai kepadaku...

   apakah kalian telah melihatnya?"

   Sekujur tubuh Leng It-hong gemetar keras, gemetar sangat hebat.

   "Aaaai! Sayang kalian tidak dapat melihatnya...."

   Bisik Leng Cing-peng lagi.

   "begitu lembut senyumannya, begitu hangat tawanya... aaaai! Tidak kusangka, sebelum mati... aku... aku dapat merasakan kegembiraaan ini."

   Un Tay-tay yang semenjak tadi sudah bermandikan air mata, kini tak sanggup mengendalikan diri lagi, dia mulai menangis sesenggukan.

   "Jangan menangis...

   jangan mengganggu ketenanganku...

   coba lihat, kegelapan yang indah makin lama semakin dekat...

   senyumannya...

   senyumannya makin lama pun makin mendekat."

   Suaranya makin lama semakin lemah dan lirih, dia benar-benar mulai terlelap dalam tidurnya.

   Raut muka Leng It-hong yang kurus kering, kini telah berubah hijau membesi, sinar matanya berubah bagaikan merah darah.

   Tiba-tiba dia membalikkan tubuh, berhadapan langsung dengan ular emasnya yang memancarkan sinar aneh, tampaknya dia telah melimpahkan semua kesalahan itu pada binatang peliharaannya, menyalahkan ular emasnya.

   "Kau...

   semua ini gara-gara kau!"

   Dengan suara bagaikan raungan binatang liar dia menjerit.

   Mendadak dia menggerakkan telapak tangannya dan mencengkeram ular emas itu.

   Agaknya si ular emas itupun tidak menyangka, tuan yang selama ini dibela mati-matian malah berbalik melampiaskan rasa dendamnya, dalam gusar dan kagetnya, secepat kilat dia berbalik memagut pergelangan tangan Leng It-hong.

   Pagutan ular berbisa ini sangat mengerikan, pagutan yang mematikan! Leng It-hong merasa ulu hatinya bagai tertusuk jarum tajam, sekujur tubuhnya mengejang keras, cengkeramannya atas ular berbisa itupun semakin bertambah kencang.

   Otot hijau yang menonjol dari punggung tangannya yang kurus kering membuat jari jemarinya berubah makin memucat Pada mulanya ular emas itu masih berusaha meronta, tapi lambat-laun tidak mampu berkutik lagi...

   perlahan tapi pasti, kepala ular itu tertunduk lemas, sekulum senyum kepuasan yang sadis pun tersungging di ujung bibir Leng It-hong.

   Un Tay-tay sekalian merasakan tangan dan kakinya dingin kaku, pemandangan seram yang terpampang di depan mata membuat sekujur tubuh mereka basah kuyup oleh keringat dingin.

   Mendadak Leng It-hong membuka tangannya, telapak tangannya sudah robek dan hancur berlepotan darah kental, gigitan ular emas yang kuat bagai jepitan baja telah mengubah telapak tangannya jadi hancuran daging, memusnahkan hasil jerih payahnya selama ini.

   Gi Beng tidak tahan melihat kengerian itu, dia menjerit tertahan kemudian roboh tidak sadarkan diri.

   Leng It-hong mendongakkan kepala tertawa seram, gelak tertawanya penuh dengan rasa bangga dan puas, seluruh badannya pun mulai berubah hitam pekat, warna hitam yang menyeramkan.

   Tanpa terasa Sui Leng-kong berdiri berhimpitan dengan Un Tay-tay, tubuhnya gemetar, hatinya tercekat, kalau bisa mereka ingin membalikkan tubuh kabur sejauh-jauhnya dari tempat itu, sayang sepasang kakinya sudah lemas, sudah tidak mau menurut perintah lagi.

   Tawa Leng It-hong bertambah lemah....

   makin lama semakin rendah dan berat...

   badannya gontai sebelum akhirnya roboh terjungkal...

   roboh lemas persis di atas tubuh putrinya.

   Suasana amat hening, tidak terdengar sedikit suara pun, langit hening bagaikan mati, hanya asap hio yang masih menari dan beterbangan, sekalipun begitu, tarian asap hio pun serasa membawa udara kematian yang mengerikan, seperti hawa yang memancar dari malaikat elmaut, berputar di kegelapan malam, siap mencabut nyawa manusia.

   Sui Leng-kong dan Un Tay-tay berdiri mematung, sampai ujung jari pun serasa tidak sanggup bergerak, hanya rambut mereka yang masih berkibar karena hembusan angin, satu-satunya kehidupan di tengah kematian.

   Angin, tiada hentinya berhembus, daun dan ranting tiada hentinya menjerit, menjerit dipermainkan angin.

   Entah berapa lama sudah lewat, dengan tangan yang gemetar Un Tay-tay ingin menarik tubuh Leng It-hong, tubuh yang menindih di atas Leng Cing-peng, gadis yang mengenaskan.

   Pada saat itulah mendadak dari sisi tubuhnya telah bertambah dengan sesosok bayangan hitam, bayangan itu muncul tanpa menimbulkan sedikit suara pun, seolah-olah dia adalah roh halus yang muncul dari dasar bumi.

   Dengan perasaan terkesiap Un Tay-tay dan Sui Leng-kong membalikkan badan, di bawah cahaya bintang terlihat orang itu berperawakan tinggi besar seperti iblis yang datang dari neraka, tahu-tahu dia sudah berdiri di belakang mereka berdua, orang itu tidak lain adalah sang pendeta pemakan ular.

   Jubah pendetanya yang berwarna merah menyala nampak begitu menyolok seram di tengah kegelapan malam yang mencekam, ditatapnya Leng It-hong sekejap dengan pandangan dingin, sinar matanya terasa begitu menyeramkan, seram hingga tidak terlukiskan dengan perkataan.

   Un Tay-tay maupun Sui Leng-kong sudah kelewat banyak dibuat terkejut oleh kejadian malam ini, kini mereka tidak sanggup lagi menjerit kaget, yang bisa dilakukan hanya berdiri termangu sambil mengawasi orang itu, tidak sepatah kata pun mampu diucapkan.

   Dengan sorot mata aneh pendeta berbaju merah itu masih mengawasi terus Leng It-hong yang tidak jelas mati hidupnya, sekulum senyuman aneh, penuh misterius dan rasa gembira tiba-tiba tersungging di ujung bibirnya.

   Terdengar dia bergumam tiada hentinya.

   "Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit, perguruan Cia-tok (pemakan racun) malang melintang sampai ujung dunia...

   Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit, perguruan Cia-tok malang melintang sampai ujung dunia...."

   Perkataan itu diucapkan berulang kali, tapi yang diulang hanya berapa patah kata itu saja.

   Walaupun Sui Leng-kong dan Un Tay-tay tidak paham apa yang sedang dimaksud, namun dapat mereka rasakan di balik kata-kata yang pendek itu pasti mengandung satu rahasia yang menakutkan.

   Tiba-tiba pendeta berbaju hitam itu berpaling ke arah Un Tay-tay dan Sui Leng-kong, kemudian tanyanya."Apakah kalian paham dengan perkataanku? Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit, perguruan Cia-tok malang melintang sampai ujung dunia...."

   Walaupun pendeta itu punya tampang yang menakutkan, kelihatannya tidak bermaksud buruk terhadap Sui Leng-kong dan Un Tay-tay.

   Terpaksa Un Tay-tay menggeleng.

   "Kami tidak paham."

   "Benar, mana mungkin dua orang bocah itu mengerti...

   jangankan mereka, berapa banyak orang di kolong langit yang mengerti?"

   Kelihatannya makin bicara dia semakin bangga, sampai akhirnya tidak kuasa lagi dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.

   Gelak tawanya nyaring bagai guntur yang menggelegar di angkasa, bagaikan juga gulungan ombak yang memecah tepian, membuat daun dan ranting berguguran, membuat gendang telinga Sui Leng-kong serta Un Tay-tay terasa sakit.

   Sepeminuman teh kemudian gelak tertawa itu baru melemah, tapi gendang telinga Un Tay-tay serta Sui Leng-kong sudah terasa kaku dan kesemutan, tidak sanggup menangkap suara lain lagi.

   Pada saat itulah dari balik remangnya cuaca mendadak terdengar seseorang tertawa dingin sambil menyela.

   "Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit, perguruan Cia-tok malang melintang sampai ujung dunia...

   hnnnm, apa susahnya memahami perkataan semacam itu?"

   Dari balik kegelapan, terlihat seseorang berjalan keluar dengan langkah yang sangat lamban.

   Dia adalah seorang pemuda tampan berbaju perlente, sekalipun sorot matanya sedikit menyeramkan, meski air mukanya sedikit memucat, namun perawakan tubuhnya lurus bagai sebatang pit.

   Begitu tahu siapa yang datang, lagi-lagi Sui Leng-kong menjerit kaget, dia tidak menyangka kalau orang itu adalah Gi Teng, terlebih tidak menyangka kalau Gi Teng bakal muncul secara tiba-tiba pada saat sekarang.

   Yang membuatnya tidak habis mengerti adalah darimana Gi Teng tahu tentang rahasia "Dewa racun menampakkan diri, tiada tandingan di kolong langit"? Pendeta berbaju merah itu pun kelihatan agak tercengang setelah mengetahui yang muncul hanya seorang pemuda, kontan saja ia tertawa dingin.

   "Usiamu masih begitu muda, tahu apa kau?"

   "Darimana kau tahu kalau aku tidak paham?"

   Saat ini bukan hanya wajahnya kelihatan kaku, gerak-geriknya pun nampak kaku macam orang tidak sadar, jawaban yang diucapkan terdengar datar tanpa emosi, jauh berbeda dengan kelincahan dan kegarangannya di waktu biasa.

   Un Tay-tay tidak terlalu tercengang kendatipun dia dapat menangkap keanehan dari sikap pemuda ini, sebaliknya Sui Leng-kong kelihatan amat terperanjat.

   Dalam pandangan gadis ini, penampilan Gi Teng sekarang seolah bukan berasal dari Gi Teng di hari biasa, dia seperti sudah kehilangan kesadaran, seakan sudah disihir atau ditenung orang lain.

   "Kalau memang mengerti, tahukah kau siapa aku?"

   Kembali pendeta berbaju merah itu bertanya.

   "Cia tok kaucu (ketua perkumpulan pemakan racun), Siang-tok Thaysu!"

   Tidak terlukiskan rasa kaget Un Tay-tay, pikirnya.

   "Aaah, ternyata dia adalah jago lihai nomor satu dari golongan Mo kau, Siang-tok Thaysu yang sudah tiga puluh tahun hilang dari dunia persilatan!"

   Walaupun Un Tay-tay belum lahir ketika nama besar Siang-tok Thaysu menggetarkan kolong langit, namun bukan satu dua kali dia pernah mendengar nama besar orang ini.

   Sekalipun dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kelihaian kungfu Siang-tok Thaysu, namun semua orang yang pernah dijumpai, pasti akan tercekat dan terkesiap hatinya begitu mendengar nama orang itu disebut Dan kini Un Tay-tay telah saling berhadapan dengan tokoh ampuh yang menggetarkan sungai telaga itu, tidak heran hawa dingin seketika mencekam seluruh tubuhnya.

   Terdengar Siang-tok Thaysu berkata lagi dengan kening berkerut.

   "Tidak kusangka dengan usiamu yang masih begitu muda, ternyata tahu akan nama Loceng (pendeta tua), coba aku bertanya sekali lagi, apa yang dimaksud dengan tubuh Dewa racun?"

   "Tubuh Dewa racun merupakan salah satu dari dua ilmu sakti yang dimiliki perguruan Cia tok kau."

   "Benar!" "Bila Dewa racun sudah terlihat di badan, seluruh tubuhnya akan berubah jadi sangat beracun, sekalipun seorang jago dengan taraf ilmu silat yang sempurna pun akan keracunan hebat bila tersentuh tubuhnya!"

   "Benar!"

   Kembali Siang-tok Thaysu manggut manggut.

   "Tapi untuk bisa melatih tubuh Dewa racun, seseorang harus mengorbankan dulu nyawa seorang murid Cia tok kau yang sudah memiliki ilmu beracun tingkat lima."

   "Benar!"

   "Sayangnya anggota perguruan Cia tok kau sangat minim, ini disebabkan karena tidak gampang untuk menjadi pemula yang melatih ilmu beracun ini, bahkan lebih sulit daripada memanjat ke langit, kendatipun begitu, berhasil menguasai ilmu itu maka akan sangat mudah untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi.

   Sepanjang sejarah, dari sepuluh orang yang belajar ilmu beracun ini ada sembilan orang di antaranya sudah tewas duluan ketika mulai belajar ilmu itu sehingga amat langka untuk bisa menemukan seorang murid yang memiliki kemampuan racun tingkat lima, itulah sebabnya belum pernah seorang manusia pun yang mampu belajar hingga mencapai taraf Dewa racun dalam badan."

   "Betul!"

   Lagi-lagi Siang-tok Thaysu manggut-manggut.

   Setelah untuk kesekian kalinya mengatakan "betul", paras mukanya yang semula dingin sadis kini mulai diliputi perasaan tercengang dan rasa tidak percaya, malah nada suaranya pun ikut sedikit berubah.

   Dia benar-benar tidak habis mengerti, darimana anak muda di hadapannya ini bukan cuma tahu tentang rahasia "Dewa racun dalam tubuh", bahkan bisa menguraikan secara jelas dan terperinci.

   "Tapi kondisi Leng It-hong sekarang justru sudah mencapai taraf Dewa racun dalam tubuh!"

   Ujar Gi Teng lebih jauh.

   Begitu perkataan itu diutarakan, bukan hanya ketiga orang pendengar itu saja yang terperanjat, bahkan Un Tay-tay dan Sui Leng-kong pun ikut berubah wajah.

   Tidak aneh bila mereka amat terkesiap, baru saja mereka merasa bergidik karena mendengar uraian tentang Dewa racun dalam tubuh, kini diketahui Leng It-hong telah berhasil mencapai tingkatan yang luar biasa itu, mereka tidak menyangka kalau semua ini telah menjadi satu kenyataan.

   Terdengar Gi Teng berkata lebih jauh.

   "Ini dikarenakan ilmu Ngo tok sin kang yang dipelajari Leng It-hong telah mencapai tingkat kelima, seluruh darah yang beredar dalam tubuhnya telah mengandung racun jahat, selain itu, dia pun setiap hari harus menelan makhluk beracun untuk mengendalikan pengaruh racun yang telah bersarang di tubuhnya, agar tidak perlu menderita siksaan rasa sakit yang luar biasa, maka kandungan racun yang bersarang di tubuhnya pun makin hari makin bertambah berat, meski pukulan beracunnya semakin mematikan, namun siksaan racun di tubuhnya pun ikut bertambah menghebat.

   "Sekalipun dengan cara racun melawan racun dia dapat mengatasi kesulitan ini, namun tanpa terjadinya satu peristiwa besar, mustahil dia bisa lolos dari rongrongan racun yang bersarang di tubuhnya, dan sekarang dia telah mengalami perubahan maha besar itu."

   Uraian Gi Teng bukan cuma terperinci, bahkan mengalir keluar dengan lancar, seakan dia sedang menceritakan sebuah rahasia pribadinya saja, kejadian ini bukan cuma membuat Siang tok Thaysu amat terperanjat, Sui Leng-kong pun ikut tercengang dibuatnya.

   Dia mencoba berpaling, dilihatnya Gi Beng sedang mengawasi Gi Teng dengan mata terbelalak ebar, terbelalak dengan rasa keheranan yang luar biasa.

   Ternyata dia sudah sadar semenjak tadi, bahkan ikut mendengarkan uraian itu dengan terpesona, ditinjau dari mimik mukanya, jelas gadis inipun sedang keheranan, darimana kakaknya bisa mengetahui rahasia besar dunia persilatan itu dengan begitu terperincinya.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Diam-diam Sui Leng-kong berpikir.

   "Kalau Gi Teng bisa mengetahui rahasia besar ini, kenapa Gi Beng tidak tahu? Kalau dibilang mereka memang tidak tahu, kenapa saat ini Gi Teng bisa menguraikan secara terperinci?"

   Menghadapi persoalan yang penuh misteri ini, jangankan sekarang dia memang tidak punya waktu untuk memikirkannya, sekalipun dipikir secara cermat pun belum tentu dia mengetahui jawabannya.

   Dalam pada itu Gi Teng telah berkata kembali.

   "Ular emas itu bukan cuma amat beracun, bahkan memiliki kecerdasan yang luar biasa, binatang itu merupakan salah satu di antara tujuh jenis ular paling beracun yang ada di kolong langit.

   Berdasarkan rahasia melatih ilmu dari perkumpulan Cia tok kau, setiap hari Leng It-hong wajib menggunakan sari darah dalam tubuhnya untuk memberi makan ular itu, agar ular dan dirinya bisa seia sehati, kalau menurut catatan yang ada dalam kitab pusaka Tok kau mo keng, ular emas itu sudah menjadi kekuatan inti Leng It-hong, sudah menjadi jiwa keduanya.

   Meski kedengarannya agak tidak masuk akal, bukan berarti teori ini tanpa alasan yang jelas."

   Mendengar penjelasan yang lebih mirip dongeng ini, Un Tay-tay, Sui Leng-kong serta Gi Beng bertiga merasa hatinya makin tercekat, tanpa sadar mereka berdiri semakin berhimpitan.

   Khususnya Gi Beng, biarpun di waktu biasa dia paling lincah dan terbuka, padahal nyalinya terhitung paling kecil, kini dia berdiri dengan tubuh nyaris menggigil.

   Kembali Gi Teng menerangkan.

   "Barusan Leng It-hong terpagut oleh ular emas itu, padahal racun dalam tubuhnya sudah mempunyai reaksi yang peka terhadap racun ular emas, ketika dua jenis racun saling bertemu, bukan saja seluruh sifat racun yang ada dalam tubuh Leng It-hong terpancing keluar, bahkan terbentuklah racun yang kekuatannya sepuluh kali lipat lebih dahsyat dari gabungan kedua racun itu, itulah sebabnya racun yang dimiliki Leng It-hong saat ini sudah meningkat puluhan kali ketimbang kekuatan racun ular emas, bukan hanya pukulannya yang berbisa, setiap pori badan, setiap bulu badannya pun amat beracun dan sangat mematikan.

   "Padahal kita semua tahu, ular emas itu termasuk salah satu makhluk paling beracun di kolong langit, sementara racun yang dimiliki Leng It-hong saat ini sudah berpuluh kali lipat lebih dahsyat, kalau setetes liur ular beracun cukup mencabut nyawa seseorang, maka garukan kuku jari Leng It-hong saat ini sudah lebih dari cukup untuk merenggut puluhan nyawa manusia!"

   Bicara sampai di sini, dia pun berhenti sejenak untuk tarik napas.

   Dalam pada itu Un Tay-tay sekalian sudah menggigil karena ngeri, saking takutnya gigi mereka sampai saling beradu.

   "Sekalipun begitu, namun belum cukup untuk membentuk 'Dewa racun dalam tubuh',"

   Kata Gi Teng lebih lanjut.

   "ini dikarenakan dalam tubuh Leng It-hong masih mengeram racun jahat. Namun jika ada jagoan silat yang tersentuh oleh tubuhnya, bisa dipastikan dia bakal mampus."

   Paras muka Siang-tok Thaysu yang semula merah kini telah berubah jadi hijau membesi, tegurnya dengan suara berat.

   "Bagaimana caranya supaya berhasil mencapai taraf Dewa racun dalam tubuh? Kau juga tahu?"

   "Setiap umat persilatan pasti tahu, bila seseorang sudah keracunan, terlepas seberapa beratnya racun bersarang di tubuh, maka ketika racun itu mulai bekerja, dia pasti memiliki kekuatan sepuluh kali lebih hebat dari keadaan biasa.

   Padahal racun yang bersarang di tubuh Leng It-hong sekarang jauh lebih berat dari siapa pun, bisa dibayangkan betapa mengerikannya tenaga yang dia keluarkan sewaktu racun itu mulai bekerja.

   "Oleh sebab itu asal dia memanfaatkan kelebihan ini, dengan kekuatan pukulan Ngo tok ciang untuk merangsang kekuatan tersembunyi paling akhir yang dia miliki dan mengubah dirinya menjadi sebuah tubuh beracun, lalu dengan menggunakan obat pemabuk dari perguruanmu merubahnya menjadi sesosok boneka hidup, maka jadilah sebuah alat pembunuh yang hanya menuruti perintahmu seorang.

   Waktu itu biar dia tidak bisa berpikir lagi secara waras, tapi kekuatan ilmu silatnya sepuluh kali lebih hebat dari kungfunya dulu, ditambah racun jahat yang terkandung dalam tubuhnya, siapa yang sanggup menghadapi kalian lagi? Dengan mengandalkan kekuatan ini, kau pun akan malang melintang di kolong langit tanpa tandingan!"

   Begitu perkataan itu selesai diucapkan, Un Tay-tay sekalian langsung merasakan detak jantungnya berdebar keras.

   Siang-tok Thaysu berdiri termangu bagai patung, sinar tajam tiba-tiba memancar keluar dari matanya, dengan suara keras hardiknya.

   "Darimana kau tahu rahasia perkumpulan kami?"

   "Berdirilah lebih dekat, akan kuberitahu,"

   Sahut Gi Teng cepat. Siang-tok Thaysu agak ragu sejenak, akhirnya dengan langkah lebar dia berjalan mendekat.

   "Lebih dekat lagi!"

   Alis mata Siang-tok Thaysu bekernyit, katanya sambil tertawa dingin.

   "Biarpun kau sedang merencanakan siasat busuk, jangan sangka aku takut kepadamu?"

   Benar saja, kembali dia maju dua langkah.

   Pada saat itulah mendadak terlihat sesosok bayangan manusia melompat keluar dari belakang tubuh Siang-tok Thaysu, begitu cepat gerakan tubuhnya sehingga susah terlihat dengan mata telanjang.

   Sui Leng-kong merasakan pandangan matanya kabur, tahu-tahu bayangan manusia itu sudah tiba di hadapannya, dalam tangan orang itu tergenggam sepotong baju besar dan batu besar itu sudah siap dihantamkan ke atas batok kepala Leng It-hong.

   Un Tay-tay segera menyadari apa yang terjadi, pikirnya.

   "Ternyata pemuda itu sejalan dengan orang ini, dia sengaja memberi uraian yang panjang lebar karena tujuannya untuk memecahkan perhatian Siang-tok Thaysu hingga orang ini berkesempatan untuk membunuh Leng It-hong dan melenyapkan ancaman di masa mendatang."

   Di sini pikirannya baru lewat, di sebelah sana batu besar sudah dihantamkan ke bawah.

   Jika batu itu sampai dihantamkan sungguhan, dapat dipastikan batok kepala Leng It-hong bakal hancur berantakan, berarti nyawa Leng Cing-peng pun tidak bakal tertolong lagi, wajah cantiknya pasti akan berubah jadi gumpalan daging yang hancur.

   Waktu itu Siang-tok Thaysu sudah menyadari apa yang terjadi, sambil membentak gusar dia membalikkan tubuh untuk menolong, sayang keadaan sudah tidak sempat lagi.

   Pada saat yang kritis itulah mendadak Sui Leng-kong melompat bangun, dia hantam batu besar itu hingga bergeser tiga jengkal ke samping dan...

   "Blaaam!", diiringi suara keras, batu itu rontok ke tanah, meninggalkan liang yang sangat dalam. Sui Leng-kong sendiri langsung berdiri melongo selesai melakukan aksinya itu. Demi Thiat Tiong-tong, tanpa disadari dia menaruh kesan yang cukup baik terhadap Leng Cing-peng, karenanya terlepas hidup atau mati, Sui Leng-kong tidak tega menyaksikan wajah cantiknya hancur oleh pukulan batu raksasa itu, karenanya tanpa berpikir panjang dia pentalkan batu itu dan menyelamatkan nyawa Leng Cing-peng. Tapi setelah pukulan dilepas, secara tiba-tiba dia baru teringat akan akibat dari tindakannya itu, tidak tahan perasaannya bergidik. Orang yang melempar batu cadas itu sama sekali tidak menghentikan gerakan tubuhnya, secepat kilat dia melesat lewat dari situ. Menanti dia berpaling ketika mendengar suara benturan keras, terdengar orang itu menjerit kaget, tampaknya dia tidak menyangka kalau Sui Leng-kong bakal turun tangan menyelamatkan Siang-tok Thaysu dari kesulitan. Sedikit dia ragu, Siang-tok Thaysu sudah menghadang jalan perginya, dari balik perawakan tubuhnya yang tinggi besar terpancar hawa pembunuhan yang mengerikan. Bayangan manusia itu melompat tiga depa ke samping, kelihatannya dia sadar kalau sulit kabur dari situ, maka setelah berhenti bergerak, dia langsung berdiri saling berhadapan dengan Siang-tokThaysu dalam posisi siaga penuh. Ternyata orang itu mengenakan jubah berwarna hitam yang panjangnya menyentuh tanah, dari balik jubahnya yang berkibar terhembus angin, kelihatan jelas perawakan tubuhnya kurus kering, karena bercadar hitam maka sulit untuk melihat raut muka aslinya. Empat buah mata yang memancarkan sinar setajam pisau belati saling berpandangan tanpa berkedip, tidak ada yang bicara, tidak ada pula yang bergerak. Namun dari balik keheningan yang mencekam itulah terasa hawa pembunuhan yang makin lama semakin bertambah berat. Bukan cuma mereka yang terlibat, bahkan Un Tay-tay sekalian yang menonton dari samping arena pun merasa dadanya sesak dan sulit untuk bernapas. Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Siang-tok Thaysu berseru.

   "Ternyata kau!"

   


Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini