Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 4


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 4



Pendekar Gelandangan Karya dari Khu Lung

   

   "Aku hanya berpendapat bahwa dua orang manusia hidup yang begitu besar tak mungkin bakal lenyap tak berbekas seperti uap yang membuyar di angkasa!"

   Toa-tauke segera tertawa.

   "Sesungguhnya tindakan yang diambil A-kit cukup pintar, sayang dia tak mengira kalau di tempatku sinipun masih terdapat seseorang yang jauh lebih pintar daripadanya!"

   Sikap Tiok Yap-cing semakin merendah dan menghormat, sambil menundukkan kepalanya lebih rendah, ia berkata.

   "Aku dapat berhasil karena selamanya tak berani kulupakan setiap nasehat serta petunjuk yang toa-tauke berikan kepadaku tiap-tiap harinya!"

   Gelak tertawa toa-tauke semakin gembira, katanya lagi.

   "Sekarang asal kita dapat mengetahui asal usulnya dari mulut Kim Lan-hoa, kemudian mempergunakan Biau-cu kakak beradik sebagai umpan, maka masakan ia tidak akan mengantarkan tengkuk sendiri masuk ke dalam tali jeratan?"

   "Aku hanya kuatir kalau Kim Lan-hoa tak bersedia mengaku terus terang.....!", kata Tiok Yap-cing mengemukakan kekuatirannya.

   "Bukankah dia seorang pelacur?", tanya toa-tauke.

   "Benar!"

   "Pernahkah kau jumpai seorang pelacur yang benar-benar setia kepada cintanya terhadap seorang pria?"

   "Tidak pernah!"

   "Pernahkah kau jumpai seorang pelacur yang benar-benar tak mau uang dan tak mau nyawanya lagi?"

   "Tidak pernah!"

   Toa-tauke segera tertawa terbahak-bahak.

   "Dan aku sendiripun tidak pernah!", sambungnya. Seprei itu putih bagaikan salju, bahkan membawa bau harum bunga anggrek yang sedap..... A-kit merobek kain tersebut dan dibuatnya menjadi kain pembalut untuk membalut luka-luka bacokan di tubuhnya. Dia tahu toa-tauke tak akan menerima syarat yang diajukan itu, diapun tahu malam nanti pasti akan terjadi suatu pertempuran yang amat sengit. Akan tetapi dia tidak ambil perduli. Namun, mau tak mau ia harus memikirkan kembali keselamatan Kim Lan-hoa. ........Aku pasti akan menuruti perkataanmu, sekalipun harus mati, rahasiamu tak akan kuberitahukan kepada siapapun. Meskipun bekas air mata yang ditinggalkan di atas wajahnya telah mengering, tapi suaranya seakan-akan masih berkumandang dari sisi telinganya. Dapatkah dipercaya kata-katanya itu? Seseorang apabila dirinya sendiripun dapat diperjual-belikan, siapakah yang akan percaya bahwa dia rela mati daripada menjual orang lain.......? A-kit mengikat kencang-kencang robekan kain itu di atas dadanya. Dalam hatinyapun muncul simpul mati, beribu-ribu macam simpul mati yang sukar dibebaskan, sebagai ia bukan datang dari langit, tentu saja diapun mempunyai masa silamnya yang kelabu. Dalam waktu-waktu yang sudah lewat itu dia pernah bersedih hati, ia pernah bergembira, tentu saja diapun mempunyai perempuan. Ia tidak pernah percaya kepada perempuan macam apapun. Dalam pandangannya perempuan tidak lebih hanya semacam perhiasan, semacam alat pemuas dikala kau membutuhkan mereka, mereka akan bersikap seperti seekor kucing, dengan jinak-jinak merpati masuk ke dalam pelukannya........ Tapi di kala ia merasa jemu, mereka akan dicampakkan dengan begitu saja bagaikan sampah. Terhadap masalah ini tak pernah merahasiakan, diapun tak pernah menyesal, sebab ia selalu beranggapan bahwa ia memang telah ditakdirkan untuk merasakan kenikmatannya seorang perempuan. Bila ada perempuan mencintainya, mencintainya setengah mati, bahkan saking cintanya sampai rela mati dalam pelukannya, maka ia selalu beranggapan bahwa perempuan semacam ini memang pantas hidup sengsara. Oleh sebab itu, apabila sekarang Kim Lan-hoa menghianati dirinya, dia akan menganggap hal tersebut sebagai kesialan buat dirinya. Iapun sama sekali tidak ambil perduli. Karena ia telah bersiap sedia untuk beradu jiwa. Seorang manusia dengan selembar nyawa, entah manusia macam apapun itu, entah nyawa apakah itu, asal ia sendiri telah bersiap sedia untuk beradu jiwa, maka apa lagi yang mesti diperdulikan. ..........Tapi benarkah ia sungguh-sungguh tak ambil perduli? ...........Benarkah dalam hatinya terdapat suatu keluhan yang tak dapat diutarakan kepada orang lain? ..........Benarkah ia pernah menderita suatu luka yang selamanya tak dapat disembuhkan kembali? Siapa yang tahu? Bahkan dia sendiripun telah lupa......paling sedikit dengan hati yang bersungguh-sungguh dia berharap dapat melupakan kesemuanya itu........ Ya, kalau dia sendiripun telah melupakan kesemuanya itu, siapa lagi yang mengetahuinya? Di atas meja terdapat sesuatu mutiara dan sebilah pisau. Di samping meja duduk tiga orang..... Toa-tauke, Tiok Yap-cing dan Kim Lan-hoa. Toa-tauke tidak berbicara apa-apa. Bilamana tidak perlu, ia tak pernah bersuara.........jika ada orang telah mewakilinya untuk berbicara, buat apa dia musti buka suara sendiri. Orang yang buka suara lebih dahulu tentu saja Tiok Yap-cing. Suara pembicaraannya selalu lembut dan halus.

   "Untaian mutiara tersebut merupakan mutiara yang paling bagus, bila dikenakan oleh seorang perempuan cantik, tentu saja akan kelihatan bertambah cantik, sekalipun dikenakan oleh seorang perempuan tidak cantik, banyak juga laki-laki yang akan merasa bahwa secara tiba-tiba ia berubah menjadi amat cantik"

   "Aku tahu!", kata Kim Lan-hoa.

   "Kau adalah seorang perempuan yang amat cantik, tapi setiap perempuan tentu akan tiba pula saatnya menjadi tua!"

   "Aku tahu!"

   "Bagaimanapun cantiknya seorang perempuan di kala usianya sudah tua, dia pasti akan berubah menjadi tidak cantik lagi!"

   "Aku tahu!"

   "Setiap perempuan selalu membutuhkan laki-laki, tapi setelah tiba pada saat itu, kau akan merasakan bahwa mutiara selamanya jauh lebih penting dan berharga daripada seorang laki-laki"

   "Aku tahu!"

   Pelan-pelan Tiok Yap-cing membelai mata pisau yang tajam, kemudian katanya lagi.

   "Benda ini adalah sebilah pisau, sebilah pisau yang dapat dipakai membunuh orang"

   "Aku tahu!"

   "Bagaimanapun cantiknya seorang perempuan, apabila pisau itu sampai menembus ulu hatinya, maka mutiara tak berguna lagi baginya, laki-lakipun tak berguna pula baginya"

   "Aku tahu!", kembali Kim Lan-hoa menjawab.

   "Jika kau disuruh memilih, maka kau lebih suka ditusuk oleh pisau ini atau lebih suka mengenakan mutiara tersebut?"

   "Mutiara!"

   Tiok Yap-cing menatapnya lekat-lekat, lama, lama sekali, pelan-pelan ia baru bertanya lagi.

   "Tahukah kau A-kit yang tak berguna itu She apa? Dan bernama siapa? Ia datang darimana?"

   "Aku tidak tahu!"

   Tiok Yap-cing tertawa.

   Pada saat ia mulai tertawa, pisau di tangannya ikut menyambar ke depan dan menyobek telinga kiri Kim Lan-hoa.

   Sambaran tersebut bukan cuma gertak sambal belaka, ia tahu hanya kenyataan yang disertai dengan cucuran darah baru benar-benar dapat menimbulkan rasa ngeri dan takut bagi perempuan itu.

   Betul juga badan Kim Lan-hoa menyusut ke belakang karena ngeri dan takut.

   Ia telah menyaksikan darahnya yang merah, diapun menyaksikan pula separuh bagian telinganya yang rontok bersama cucuran darah tersebut.

   ~Bersambung ke Jilid-7 Jilid-7 Akan tetapi ia tidak merasa sakit, perasaan ngeri dan seram yang mencekam perasaannya waktu itu hampir saja membuat dia lupa akan arti kata dari sakit.

   Paras muka Tiok Yap-cing masih tenang tanpa emosi, katanya dengan suara hambar.

   "Kalau cuma telinga hilang separuh, cacat tersebut masih dapat ditutup oleh rambut, tapi bila hidung yang terpapas separuh, wah! Jelek sudah wajahmu waktu itu!"

   "Baik, aku akan berbicara.....", tiba-tiba Kim Lan-hoa berteriak keras-keras. Tiok Yap-cing segera tersenyum dan menurunkan kembali pisau tajamnya dari wajah perempuan itu, ujarnya.

   "Asal kau bersedia berbicara terus terang, untaian mutiara itu akan menjadi milikmu!"

   "Padahal sekalipun tidak kujelaskan, seharusnya kalian juga tahu siapakah dia!"

   "Oya? Lantas siapakah dia?"

   "Dia adalah raja akhirat yang menghendaki nyawa kalian!"

   Sebelum ucapan tersebut diutarakan habis, tubuhnya telah menerjang ke arah meja, dengan sepasang tangannya ia menggenggam pisau di meja itu, kemudian di tusukan ke dada sendiri.

   Paras muka toa-tauke berubah hebat, sambil menjambak rambutnya, ia membentak keras-keras.

   "Kau tidak lebih cuma seorang pelacur busuk, kenapa kau musti mati lantaran seorang pria?"

   Wajah Kim Lan-hoa telah berubah menjadi pucat pias bagaikan mayat, darah kental masih meleleh menodai ujung bibirnya, meski begitu dia masih hidup, ia masih sempat mengutarakan suara hatinya.

   "Karena hanya dialah seorang pria sejati, kalian tak lebih cuma segerombolan anak jadah yang lebih rendah martabatnya daripada seekor anjing budukan atau seekor babi. Aku bisa mati deminya, aku.....aku sudah merasa gembira sekali"

   Dalam ruangan tak kedengaran suara, sedikit suarapun tidak ada. Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba toa-tauke bertanya.

   "Janji yang kau buat dengannya apakah berlangsung malam nanti?"

   "Benar!", jawab Tiok Yap-cing.

   "Kalau begitu, sekarang juga kau harus menyusul ke sana dan aturlah segala persiapan di sekitar tempat itu"

   "Toa-tauke benar-benar hendak ke situ?"

   Toa-tauke manggut-manggut.

   "Ya, aku ingin bertemu dengannya!", ia menyahut. Kemudian ia menjelaskan lebih jauh.

   "Karena aku benar-benar tidak menyangka kalau dalam dunia ini masih terdapat seorang pria yang dapat membuat seorang pelacur mengorbankan selembar jiwanya dengan rela demi menutup rahasianya. Aku ingin tahu sesungguhnya keistimewaan apakah yang dimiliki orang itu?"

   Tiok Yap-cing menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tahu semua keputusan yang telah diambil oleh toa-tauke selamanya tak dapat dirubah oleh siapapun jua. Tapi toa-tauke justru bertanya lagi kepadanya.

   "Bagaimana pendapatmu?"

   Tiok Yap-cing tidak segera menjawab.

   Masalah tersebut mempunyai sangkut paut yang amat besar dengan situasi di sekelilingnya, ia tidak boleh teledor atau melakukan kesalahan walau sekecil apapun, dia harus menganalisa serta mempertimbangkannya kembali sebelum mengambil keputusan.

   "Menurut pendapatmu, berbahayakah keadaanku waktu itu?, toa-tauke kembali bertanya. Tiok Yap-cing termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan ia menjawab.

   "Selama Biau-cu kakak beradik masih berada dalam cengkeraman kita, mungkin saja ia tak berani bertindak secara gegabah"

   "Soal itu akupun telah memikirkannya!"

   "Tapi bila seseorang sanggup menyuruh seorang pelacur mampus baginya, mungkin saja perbuatan macam apapun sanggup pula dilakukan olehnya!"

   "Misalnya perbuatan apa?", tanya toa-tauke.

   "Ada sekelompok manusia, walaupun di hari-hari biasa selalu setia kawan dan berjiwa kesatria, akan tetapi setelah tiba pada saat yang dibutuhkan, seringkali ia tak segan-segan untuk mengorbankan temannya bagi keberhasilan dari tujuannya"

   "Kapankah saat yang dibutuhkan itu akan tiba?"

   "Di saat ia memutuskan untuk melakukan suatu usaha besar!"

   Toa-tauke tidak bertanya lebih jauh.

   Tentu saja ia dapat memahami maksud dari Tiok Yap-cing, barang siapa sanggup membinasakan dia, maka kejadian tersebut pasti akan merupakan suatu peristiwa besar yang akan menggetarkan seluruh dunia persilatan.

   "Sebelum malam hari menjelang tiba nanti, aku pasti akan membawa seluruh jago terbaik kita untuk berkumpul di gedungnya Han toa-nay-nay.

   Jago terbaik kita masih dapat digunakan paling sedikit masih ada tiga puluh orang"

   "Belum cukupkah jago-jago sebanyak itu untuk melindungi keselamatan jiwaku?", kata toa-tauke.

   "Mungkin lebih dari cukup, mungkin juga belum cukup, selama hal ini masih ada kemungkinan membahayakan jiwamu, aku tak akan berani untuk melakukannya!"

   "Asal mereka semua menghadang di hadapanku, paling sedikit aku kan bisa mengundurkan diri dari sana!"

   "Tapi tujuan sasarannya hanya toa-tauke seorang, asal kami sedikit teledor, maka kemungkinan besar dia akan segera turun tangan, serangannya itu mungkin tak bisa ditahan oleh siapapun"

   Ia menghela napas panjang, kemudian terusnya.

   "Andaikata Thi-hou (Harimau baja) berada di sini, tentu keadaannya sama sekali berbeda"

   "Jadi maksudmu, aku tak boleh ke sana?"

   "Seandainya toa-tauke bersikeras ingin menjumpainya, tentu saja kau boleh pergi ke situ, cuma........."

   "Cuma kenapa?"

   "Kita toh tidak musti membiarkan ia berjumpa dengan toa-tauke!"

   Tiok Yap-cing tidak menjelaskan lebih jauh, dia tahu toa-tauke segera akan memahami maksudnya.

   Barang siapa dapat menangkap macam toa-tauke tersebut, jelas hal itu bukan dilakukan secara untung-untungan, ia harus mempunyai kepandaian serta kecerdasan yang melebihi orang lain.

   Betul juga, ternyata toa-tauke tidak membuatnya menjadi kecewa, demikian ia berkata.

   "Oleh karena ia belum pernah bertemu denganku, maka kita boleh sembarangan mencari seseorang untuk menyaru sebagai diriku guna menjumpainya, sedang aku dengan menyaru sebagai pengikutnyapun sama saja masih dapat bertemu dengannya"

   "Ya, seandainya dia hendak turun tangan, sebagai sasarannya pasti orang itu, sedang toa-tauke sendiri dapat mengundurkan diri dari situ dengan selamat"

   "Bagus, suatu ide yang sangat bagus!", puji toa-tauke sambil tersenyum.

   "Tidak bagus, sedikitpun tidak bagus!", tiba-tiba seseorang berseru dari luar pintu. Tempat itu merupakan kamar baca dari toa-tauke, juga merupakan tempat paling rahasia yang biasanya dipergunakan sebagai tempat perundingan rahasia dengan pembantu-pembantu setianya. Tanpa seijin toa-tauke, siapapun tidak berani menerjang masuk ke pintu luar. Tapi orang itu telah berada di luar pintu. Maksud hati toa-tauke selamanya tak pernah dibantah oleh siapapun, jika toa-tauke sudah mengatakan 'baik', maka hal itu pasti baik, selamanya tak ada orang yang berani berdebat. Tapi orang itu terkecuali. Selama berada di hadapan toa-tauke, hanya orang ini yang berani melakukan perbuatan yang tidak berani dilakukan orang lain, hanya dia pula yang berani mengucapkan kata-kata yang tak berani diucapkan orang lain.......... Sebab pekerjaan yang dapat ia lakukan bagi toa-tauke tak mungkin bisa dilakukan pula oleh orang lain. Begitu mendengar suaranya, dengan wajah berseri Toa-tauke segera berteriak.

   "Thi-hou telah pulang!"

   Semangkuk besar mie daging sapi yang masih panas dan mengepulkan asap baru saja dihidangkan, kuahnya kental dan diatasnya ditambah dengan dua butir telur serta dua batang tulang bay-kut, tampaknya nikmat sekali rasanya.

   Tapi A-kit tidak tahu bagaimanakah perasaan hatinya pada waktu itu........? Sudah lama tak pernah ia nikmati makanan selezat ini, baginya hidangan semacam itu sudah merupakan suatu kenikmatan, diapun ingin sekali mengajak teman-temannya untuk merasakan pula kenikmatan tersebut.

   Ia ingin sekali pergi ke rumah Toa-gou untuk menjumpai Biau-cu dan si Boneka.

   Akan tetapi ia tak berani menyerempet bahaya.

   Ketika meninggalkan rumah perjudian milik Thi-tau (si kepala baja), di atas meja masih bertumpuk uang perak hasil taruhan semalam.

   Dia hanya membawa pergi setahil perak yang terkecil.

   Dia harus makan sedikit untuk mengembalikan tenaga dalam tubuhnya, dan dia harus memaksakan diri untuk menghabiskan semangkuk mie itu.

   Warung penjual mie itu kecil, berada di lorong sempit dan sangat gelap.

   A-kit duduk di sebuah sudut ruangan yang paling gelap sambil menundukkan kepalanya, pelanpelan makan mie.

   Ia tak ingin melihat orang lain, diapun tak ingin orang lain melihatnya.

   Dia hanya ingin menghabiskan semangkuk mie tersebut dengan tenang, tetapi ia belum menghabiskan mie itu.

   Pada saat dia mulai melahap telur yang kedua, tiba-tiba dari atas atap rumah yang terbuat dari papan-papan kayu lama itu berhamburan segenggam debu yang segera mengotori mangkuk berisi mie itu.

   Menyusul kemudian......"Kreteeek"

   Atap rumah terbuka sebuah lubang besar dan seseorang melayang turun ke bawah, sambil mendekam di belakang tubuhnya ia berbisik lirih.

   "Jangan bergerak, jangan bersuara, kalau tidak kuhabisi segera selembar nyawamu!"

   A-kit tidak bergerak pun tidak berbicara apa-apa.

   Satu-satunya pelayan yang berada dalam warung mie itu berdiri dengan kaki lemas saking takutnya, sebab ia telah menyaksikan sebilah golok yang memancarkan sinar tajam dalam genggaman orang itu, diapun menyaksikan pula sepasang mata bagaikan binatang buas yang liar dan menggidikkan hati.

   Ya, mata itu seperti mata binatang buas yang sedang diburu-buru oleh pemburu dan terpojok tak sanggup kabur lagi, sebab di balik sinar matanya yang liar terselip juga rasa ketakutan ngeri serta hawa pembunuhan yang menggidikkan hati.

   "Kau duduk, pelan-pelan duduk!", perintah orang itu lagi kepada pelayan warung mie tersebut.

   "berlagaklah seakan-akan tak pernah menyaksikan sesuatu apapun"

   Pelayan segera duduk di atas sebuah bangku bobrok dan tak berani berkutik, sekujur badannya hampir lemas karena ketakutan. Orang itu lagi-lagi memberi perintah kepada A-kit.

   "Lanjutkan makan mie mu itu, makan sampai habis!"

   A-kit melanjutkan kembali daharnya melahap mie sapi di hadapannya......

   Bakpao yang telah terjatuh ke dalam tinjapun dia makan, apalagi dalam mangkuk mie hanya kejatuhan abu, sudah barang tentu ia lebih-lebih tak ambil perduli.

   Ia dapat merasakan ketegangan serta kengerian yang mencekam orang di belakangnya itu, entah apa yang sedang ditakuti orang itu? Tapi dia tak ingin tahu.

   Setelah menyaksikan laki-laki tinggi besar itu, sebagian besar orang yang berlalu lalang di atas jalan raya segera membungkukkan badannya sambil menundukkan kepalanya rendah-rendah.

   Dengusan napas orang yang bersembunyi di belakang A-kit bertambah memburu, bahkan sekujur badannya seakan-akan ikut gemetar tiada hentinya......

   ......Laki-laki tinggi besar inikah yang sedang ia takuti? ......Siapakah laki-laki kekar itu? Kenapa begitu banyak orang yang jeri kepadanya? A-kit kembali menundukkan kepalanya sambil mulai makan mie.

   Di saat ia sedang menundukkan kepalanya itu, seakan-akan dilihatnya laki-laki kekar itu melirik sekejap ke dalam warung mie, sinar matanya terasa begitu tajam bagaikan sambaran petir.

   Untung dia hanya melirik sekejap, kemudian dengan langkah lebar berlalu dari sana.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pada waktu itulah A-kit baru melihat bahwa di pinggangnya tergantung seutas tali, pada ujung tali itu terikatlah enam orang manusia.

   Pakaian yang dikenakan ke enam orang itu sangat perlente dan mewah, bahkan ikat pinggang, topi, sepatu dan kaus kakipun merupakan benda-benda mewah yang mahal harganya.

   Akan tetapi raut wajah ke enam orang itu sudah babak belur, ada yang matanya bengkak, hidungnya berdarah, bahkan ada pula tangan dan kakinya patah, namun orang-orang itu bagaikan anjing jinak dengan tenangnya mengikuti helaan tali laki-laki tersebut ke manapun ia pergi.

   Menanti ke enam orang itu sudah berlalu, orang yang bersembunyi di belakang A-kit baru menghembuskan napas lega, genggamannya pada gagang golok ikut mengendor.

   Tiba-tiba A-kit bertanya.

   "Apakah orang-orang itu adalah sahabatmu?"

   "Tutup mulut!", dengan marah orang itu malah membentak.

   "A-kit tidak membungkam, sebaliknya malahan berkata lagi.

   "Kalau kau memang berhasil melarikan diri, kenapa tidak kau tolong pula rekan-rekanmu itu?"

   Belum habis ucapan tersebut diutarakan, mata golok telah ditempelkan di atas tengkuknya, menyusul kemudian dengan marah orang itu mengancam.

   "Jika kau berani bersuara lagi, segera kucabut selembar jiwamu!"

   Belum lagi ucapannya itu selesai diucapkan, kembali ada seseorang menyambung dengan suara dingin.

   "Sekalipun kau tidak bersuara, aku tetap menginginkan selembar jiwamu itu!"

   Laki-laki tinggi besar yang tampak dengan jelas telah keluar dari pintu warung, tiba-tiba telah berjalan kembali, dan secara tiba-tiba ia telah berdiri di hadapan A-kit.

   Sepasang matanya memancarkan serentetan sinar yang lebih tajam dari petir, tulang jidatnya tinggi menonjol keluar, hidungnya mancung seperti elang dan mulutnya sangat lebar.

   Sambil menundukkan kepalanya A-kit masih melanjutkan santapannya untuk melahap mie itu.

   Tiba-tiba orang yang bersembunyi di belakangnya itu menempelkan goloknya di tengkuk orang, lalu ancamnya.

   "Jika kau berani turun tangan, akan kubunuh orang ini lebih dahulu!"

   "Kalau orang itu kau bunuh, maka aku tak akan membunuh dirimu", jawab laki-laki tersebut tenang. Kemudian dengan suara yang lebih berat dan seram ia menambahkan.

   "Paling sedikit akan kusuruh kau hidup tiga tahun lebih lama, agar kau merasakan tiga tahun siksaan hidup"

   A-kit masih saja menundukkan kepalanya sambil makan mie.

   Mendadak orang yang bersembunyi di belakangnya itu melompat ke muka, goloknya secepat sambaran kilat langsung dibacokkan ke atas batok kepala laki-laki kekar itu.

   Laki-laki tersebut sama sekali tidak bergerak, kepalanya juga tidak bergerak, tangannya hanya dijulurkan ke muka dan tahu-tahu pergelangan tangan orang itu sudah tergenggam.

   "Kreeekkk.....!", tulang pergelangan tangan orang itu segera remuk dan.......

   "Traaang.......!", golok dalam genggamannya terjatuh ke tanah, menyusul kemudian orang itu ikut berlutut ke tanah. Di tatapnya kemudian orang itu dengan dingin, lalu laki-laki tadi berkata dengan dingin.

   "Mau ikut aku tidak?"

   Saking sakitnya air matapun ikut bercucuran membasahi wajah orang itu, ia menganggukkan kepalanya berulang kali.

   "Aku mau ikut! Aku mau ikut!"

   Laki-laki itu tertawa dingin, sebelum menyeretnya keluar dari warung, tiba-tiba ia berpaling dan melotot kepada A-kit. A-kit masih menundukkan kepalanya sambil makan mie. Tiba-tiba laki-laki itu tertawa dingin sambil mendesis.

   "Saudara, pandai benar kau menahan diri!"

   A-kit sama sekali tidak mendongakkan kepalanya, dia hanya berkata.

   "Aku lapar sekali, aku hanya ingin makan mie!"

   Kembali laki-laki itu melotot ke arahnya sekian lama, akhirnya berpaling kepada pelayan warung tersebut sambil berkata.

   "Masukkan ongkos mie itu ke dalam rekeningku!"

   "Baik!", jawab sang pelayan cepat sekali.

   "Terima kasih!", A-kit mendesis.

   "Tidak usah!"

   Pada ujung tali telah bertambah lagi dengan seorang manusia, tujuh orang diikat menjadi satu dengan seutas tali, keadaan mereka mirip sekali dengan segerombolan anjing yang dituntun oleh seorang manusia.

   Akhirnya A-kit menghabiskan semangkuk mie daging itu.

   Setelah kenyang ia baru bangkit berdiri dan berjalan ke hadapan pelayan warung itu seraya bertanya.

   "Siapakah orang itu?"

   Rupanya rasa kaget di hati pelayan itu belum hilang, ia balik bertanya dengan suara gemetar.

   "Orang yang mana?"

   "Orang yang barusan membayarkan rekening mie-ku!"

   Pelayan tersebut segera celingukan ke sana kemari, kemudian sambil merendahkan suaranya, ia berbisik.

   "Dia adalah seorang manusia yang paling susah dilayani!"

   "Siapa namanya?"

   "Thi-hou, si Harimau Baja, badannya lebih keras dari baja dan sikapnya lebih garang daripada seekor harimau!"

   A-kit tertawa getir, dibalik tertawanya itu terseliplah nada mengejek yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   "Orang yang dapat menuntun tujuh ekor serigala bagaikan menuntun anjing, tentu saja ia akan lebih garang daripada seekor harimau!"

   Tiba-tiba suara pelayan itu semakin di rendahkan bisiknya lagi.

   "Kau kenal dengan dia?"

   "Tidak, aku tidak kenal!"

   Senyuman di ujung bibirnya berubah semakin aneh, pelan-pelan lanjutnya lebih jauh.

   "Tapi aku tahu, bahwa dengan cepat kami akan segera berkenalan!"

   "Thi-hou telah pulang!"

   Sekarang ia berdiri di hadapan Toa-tauke, meskipun pinggangnya ditekuk dalam-dalam namun sikapnya menunjukkan kesombongan serta rasa hormatnya yang tak mungkin dibuat-buat.

   Ia sombong karena dia telah menyelesaikan suatu pekerjaan besar bagi orang yang dihormatinya.

   "Kau telah kembali jauh lebih awal daripada apa yang kami bayangkan semula!", demikian toatauke berkata.

   "Ya, karena gerombolan serigala itu sesungguhnya bukan serigala, melainkan hanya anjing-anjing budukan!", jawab Harimau Baja. Toa-tauke segera tersenyum.

   "Selama berada di hadapanmu, sekalipun mereka benar-benar seekor serigala juga akan berubah menjadi seekor anjing!"

   Thi-hou ikut tertawa, ia bukan seorang manusia munafik, ia suka mendengarkan pujian orang lain, terlebih pujian dari toa-tauke nya yang paling dihormati.

   "Dimanakah gerombolan anjing-anjing itu sekarang?", kembali toa-tauke bertanya.

   "Enam ekor anjing mati sudah kuberikan kepada serigala, sedang tujuh ekor anjing hidup telah kubawa pulang!"

   "Seekorpun tidak ada yang terlepas?"

   "Sebenarnya di tengah jalan tadi ada seekor diantaranya yang hampir saja lolos, aku tidak menyangka kalau dalam celananya masih tersembunyi sebilah golok"

   "Dimanakah golok itu sekarang?"

   "Sekarang golok itu sudah kutusukkan ke dalam lubang pantatnya"

   Toa-tauke terbahak-bahak setelah mendengar perkataan itu. Ia paling suka dengan cara kerja Thihou, karena cara kerjanya beraneka ragam, semua tindakan yang dilakukan Thi-hou selalu paling langsung, paling sederhana dan paling manjur.

   "Siapa yang hendak kau temui tadi?", tiba-tiba Thi-hou bertanya.

   "Dia bernama A-kit!"

   "A-kit?"

   "Aku tahu nama tersebut pasti belum pernah kau dengar, sebab hakekatnya itu bukan nama aslinya, dan lagi ia paling suka kalau orang lain menganggapnya sebagai seorang manusia yang tak berguna"

   "Padahal ia berguna sekali?"

   "Bukan saja berguna, bahkan mungkin saja sangat ternama, sebab seringkali ada sementara orang yang tak ingin orang lain menyebut nama aslinya lantaran nama tersebut terlampau ternama dalam dunia persilatan"

   Thi-hou dapat memahami maksud ucapan tersebut, karena ia sendiripun demikian, ia sudah puluhan tahun menyembunyikan nama aslinya.

   "Sebenarnya kami telah berjanji akan berjumpa muka malam nanti, tapi Siau-yap kuatir aku ketimpa musibah!", kata toa-tauke lagi. Thi-hou segera tertawa dingin.

   "Heeeehhhh..... heehhhh..... heeeehhhhh.... nyali Siau-yap selamanya memang lebih kecil daripada selembar daun"

   "Kau tak dapat menyalahkan dia, bila seorang bisa melakukan pekerjaan dengan teliti dan berhatihati, tak akan ia jumpai hal-hal yang kurang menyenangkan hati"

   Tiok Yap-cing selama ini hanya sebagai seorang pendengar setia, ia hanya tersenyum belaka. Menunggu Thi-hou sudah tidak bersuara lagi, ia baru berkata.

   "Pada waktu itu mau tak mau aku harus bertindak lebih berhati-hati, sebab Hou-toako belum pulang kemari"

   "Bagaimana sekarang?", Thi-hou bertanya.

   "Sekarang tentu saja berbeda!"

   Ia masih saja tertawa, tapi suara tertawanya membuat orang yang mendengarkan menjadi tak enak badan, katanya lagi.

   "Sekarang apabila toa-tauke ingin bertemu dengan seseorang, asal Hou-toako mau turun tangan, dengan segera orang itu berhasil ditangkapnya!"

   "Kau kira aku tidak sanggup?", seru Thi-hou dengan mata mendelik.

   "Kalau Hou-toako sendiripun tak sanggup, lantas siapakah manusia di dunia ini yang sanggup melakukannya?"

   Sepasang kepalan Thi-hou telah menggenggam kencang.

   "Kau sudah lelah!", tiba-tiba toa-tauke berkata. Kepada Tiok Yap-cing kembali ujarnya.

   "Kini Thi-hou telah pulang, tak ada salahnya kalau kau pulang dulu dan tidurlah barang dua jam!"

   "Baik"

   "Seandainya di atas pembaringanmu ada orang sedang menunggumu untuk menemani kau tidur, kaupun tak usah kaget, lebih-lebih lagi tak usah sungkan-sungkan"

   "Baik!"

   "Tidak terbatas siapapun orang itu!"

   "Baik!"

   Tiok Yap-cing segera mengundurkan diri, ia tidak bertanya siapakah orang itu, diapun tidak menanyakan yang lain.

   Setiap ucapan toa-tauke selamanya ia hanya menuruti tanpa membantah, iapun tak pernah banyak bertanya.

   Hingga Tiok Yap-cing keluar dari pintu ruangan, Thi-hou masih mendelik ke arahnya, sepasang kepalannya masih tergenggam kencang-kencang sehingga otot-otot hijaunya pada menonjol ke luar, biji matanya ikut berputar dengan liar.

   Sebagian besar orang yang kebetulan menyaksikan biji matanya berkeliaran liar, biasanya mereka akan menyingkir jauh-jauh, bahkan semakin jauh semakin baik.

   Toa-tauke mengawasi biji matanya yang berkeliaran itu tajam-tajam, tiba-tiba ia bertanya.

   "Sudah berapa lama kau mengikuti aku?"

   "Lima tahun!"

   "Belum, belum lima tahun. Yang tepat adalah empat tahun sembilan bulan dua puluh empat hari"

   Biji mata Thi-hou tidak jelalatan lagi, sinar kagum dan hormat segera memancar keluar dari balik matanya, ia tak menyangka kalau toa-tauke dapat mengingat-ingat segala persoalan kecil itu sedemikian jelasnya, biasanya orang yang memiliki daya ingatan yang bagus, selalu akan mendatangkan perasaan kagum dan hormat bagi orang lain.

   Toa-tauke kembali bertanya.

   "Tahukah kau sudah berapa lama Siau-yap mengikuti diriku?"

   "Ia jauh lebih lama daripadaku"

   "Benar, ia sudah enam tahun mengikuti aku, tepatnya enam tahun tiga bulan tiga belas hari!"

   Thi-hou tidak berani bersuara. Kembali Toa-tauke bertanya.

   "Selama kau mengikuti diriku, sudah empat puluh tujuh laksa uang perak yang kau hamburkan dan tujuh puluh sembilan orang perempuan yang kau cicipi, tapi dia?"

   Thi-hou tidak tahu.

   "Aku telah memberitahu kepada kasir, bahwa berapapun yang kalian berdua gunakan, aku akan melayani terus, tapi dalam enam tahun ini seluruhnya dia hanya menggunakan uang sebesar tiga ribu tahil perak"

   Thi-hou si harimau baja berusaha menekan sabar, tapi akhirnya meledak juga kesabarannya itu, dia berseru.

   "Maklumlah tauke, ada orang yang pandai menghamburkan uang, tapi ada pula yang tidak mampu.........?"

   "Diapun tidak mempunyai perempuan!", kembali toa-tauke berkata. Thi-hou kembali bersabar agak lama, toh akhirnya ia tak tahan juga, kembali serunya.

   "Siapa tahu kalau hal ini disebabkan dia pada hakekatnya bukan seorang pria jantan?"

   "Akan tetapi pekerjaan yang ia lakukan bagiku tidak bisa dikatakan lebih sedikit dari apa yang telah kau kerjakan untukku!"

   Thi-hou tak mau mengakuinya, tapi diapun tak berani menyangkal. Kembali toa-tauke berkata.

   "Pekerjaan yang ia lakukan bagiku bukan termasuk pekerjaan yang dapat mengangkat nama atau mempopulerkan nama baiknya, dia tak suka uang dan tak mau main perempuan pula, coba pikirlah apa yang ia tuju selama ini.......?"

   Thi-hou lebih-lebih tak berani membuka suara.

   "Kecuali nama, kekayaan dan perempuan, masih ada perbuatan apa lagi di dunia ini yang bisa menggerakkan perasaan seorang pria?", tanya toa-tauke lebih lanjut. Thi-hou mengetahuinya, tapi ia tak berani mengutarakannya keluar.

   "Itulah kekuasaan!", akhirnya toa-tauke mengucapkannya sendiri. Apabila seorang pria telah berhasil memegang tampuk kekuasaan, apapun yang diinginkan dapat segera diperoleh, apa lagi yang merisaukan hatinya? "Apapun tidak ia inginkan", kata toa-tauke lagi.

   "siapa tahu karena dia hanya mengincar kedudukanku ini!"

   Mencorong sinar tajam dari balik mata Thi-hou, katanya.

   "Asal toa-tauke mengucapkan sepatah kata, setiap saat aku dapat membekuk batang leher keparat itu!"

   "Kau yakin sanggup membekuk batang lehernya?"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku........"

   "Aku tahu akan kepandaian silatmu, akupun tahu banyak orang kenamaan yang pernah keok di tanganmu selama ini!", kata toa-tauke. Thi-hou tidak menyangkal, iapun tidak menunjukkan perasaan puasnya.

   "Selama enam tahun ini, belum pernah kuutus Siau-yap untuk turut serta dalam suatu gerakan atau suatu operasi, karena aku sendiripun selalu menganggap bahwa ia adalah seorang manusia yang tidak memiliki kepandaian silat!", ucap toa-tauke menyengir.

   "Pada dasarnya ia memang tidak memiliki kepandaian apa-apa"

   "Keliru......! Keliru........! Kau keliru, akupun keliru!"

   "Oya?", si macan baja kurang percaya.

   "Ya, hingga hari ini aku baru tahu bahwa diapun seorang jago silat kelas satu!"

   "Jago silat macam apakah dia itu?", tidak tahan Thi-hou bertanya.

   "Toa-tauke pernah menyaksikan ia mempergunakan goloknya?"

   "Ya, hari ini aku baru menyaksikan sendiri, kepandaiannya mempergunakan golok jauh lebih bagus dari kepandaian golok manapun yang pernah kujumpai selama ini!" ......Mata golok baru saja berkelebat, separuh telinga Kim Lan-hoa telah tersayat kutung menjadi dua.

   "Bukan cuma cepat saja gerakan goloknya, lagi pula sangat tepat dan mantap, tapi hingga kini dia selalu menyembunyikan kepandaian lihaynya itu, mungkin saja hingga kini dia masih menganggap aku tidak mengetahuinya"

   Sesudah tersenyum, kembali ujarnya.

   "Tapi diapun keliru besar, sekalipun aku tak pernah makan daging babi, paling tidak aku toh pernah menyaksikan babi yang sedang berjalan"

   Senyumannya masih begitu tenang, begitu santai, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu apapun. Thi-hou mulai gusar, agak kesal ia setelah mendengar kata-kata tersebut, katanya kemudian.

   "Aku bukannya tak pernah bertemu dengan orang yang pandai mempergunakan golok!"

   "Aku tahu jago-jago lihay yang berasal dari Ngo-hou-toan-bun-to (Golok sakti panca harimau pemutus nyawa), Ban Sin-to, Jit Ciau-to dan Tay-heng-kuay-to, semuanya pernah keok di tanganmu, paling tidak jumlahnya telah mencapai dua sampai tiga puluh orang lebih"

   "Ya, termasuk Hui-long-to (Golok serigala terbang) Kang Tiong yang ku bekuk hari ini, jumlahnya persis mencapai tiga puluh orang"

   "Akupun tahu bahwa kau pasti masih sanggup untuk melenyapkan dari muka bumi!"

   "Setiap waktu setiap saat aku sanggup melaksanakan tugas ini!"

   "Tapi sekarang masih belum perlu!"

   "Mengapa?"

   "Sebab aku tahu paling tidak hingga kini ia masih belum berniat untuk menghianati diriku"

   "Bila harus menunggu sampai toa-tauke mengetahui hal ini, aku kuatir waktu itu keadaan sudah terlalu lambat!"

   "Tidak, tidak mungkin terlalu terlambat!"

   "Kenapa?"

   "Sebab diapun seorang pria, bagaimanapun macam pria tersebut, biasanya ia tak akan sanggup menyimpan rahasia hatinya, apabila berada di hadapan perempuan yang disukainya"

   Di atas meja kecil terletak sebuah pot bunga, dalam pot ada beberapa kuntum bunga, dipetiknya sekuntum lalu diciumnya sebentar, kemudian katanya kembali.

   "Jika perempuan itu cukup pintar, dan lagi seringkali berada di sisi pembaringannya, maka sekalipun tidak ia katakan, perempuan itupun akan mengetahuinya juga"

   "Masa ada perempuan yang disukainya?"

   "Tentu saja ada!"

   "Siapa?"

   "Ki-ling!"

   Toa-tauke tahu bahwa Thi-hou pasti tidak kenal siapakah Ki-ling tersebut, maka ia menjelaskan lebih jauh.

   "Ki-ling adalah perempuan yang mempunyai tahi lalat pada ujung bibirnya dan kubawa pulang dari Chin-hui-ho itu"

   Thi-hou memang bukan termasuk orang bodoh, ia segera paham.

   "Oh, dan dia pula perempuan yang sedang menantinya tidur pada malam nanti di atas pembaringannya!"

   Toa-tauke tersenyum, ia tahu dia telah membuat Thi-hou memahami dua persoalan.

   ......Toa-tauke adalah seorang manusia yang tidak gampang dihadapi, ia tak akan mengijinkan orang lain membohonginya.

   ......Orang yang benar-benar dipercayai toa-tauke dan betul-betul menjadi orang kepercayaannya hanya Thi-hou seorang.

   Ia tahu hanya mengandalkan dua hal tersebut sudah cukup untuk memperoleh imbalan berupa kesetiaan Thi-hou terhadapnya.

   Sambil tersenyum ia memejamkan matanya, diam-diam Thi-hou telah mengundurkan diri, ia percaya si harimau baja ini pasti mempunyai akal bagus untuk menghadapi A-kit.

   Selain itu diapun tahu bahwa Thi-hou pasti pergi menjumpai Thi-jiu (tangan baja) A-yong untuk menanyakan cara apa yang telah dipergunakan A-kit.

   Di kala mengerjakan tugas lain, meskipun orang ini seringkali menunjukkan sikap serta cara kerja yang gegabah dan sembrono, akan tetapi bila bertemu dengan musuh yang tangguh dan lihai, maka ia akan berubah jauh lebih cerdik, jauh lebih cekatan dari siapapun jua.

   Sejak angkat nama pada sepuluh tahun berselang, jarang sekali korbannya bisa lolos dalam keadaan selamat.

   Walaupun toa-tauke sedang memejamkan matanya, seakan-akan ia menyaksikan A-kit roboh terkapar di ujung pedang Thi-hou dan sedang bermandikan darah kental sendiri.

   ooooOOOOoooo Bab 9.

   Duel Ruangan itu nyaman dan bersih.

   Toa-tauke tak pernah menelantarkan atau mencemooh anak buahnya, A-yong pun belum kehilangan nilai keseluruhan dari kepentingannya untuk melaksanakan suatu tugas.

   Hanya saja tangannya masih dibalut, apalagi sakitnya setengah mati.

   Sewaktu Thi-hou masuk ke dalam ruangan, ia sedang berbaring di atas pembaringan, ia berharap Han toa-nay-nay bisa mencarikan seorang perawan baginya untuk menghilangkan kekesalannya selama ini.

   Tapi dia tahu, orang yang masuk ke dalam kamarnya sekarang pastilah Thi-hou.

   Selamanya hanya Thi-hou seorang yang berani memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu lebih dulu.

   Kendatipun ia merasa sangat tidak puas terhadap sikapnya ini, namun ketidak puasannya itu tidak pernah diutarakan kepada siapapun.

   Ia membutuhkan seorang sahabat macam Thi-hou, terutama dalam keadaan seperti ini, teman semacam itu lebih-lebih lagi dibutuhkan, kendatipun demikian, seandainya Thi-hou mati, diapun tak akan melelehkan setitik air matapun.

   Dengan pandangan tajam Thi-hou mengamati tangannya yang dibungkus rapat oleh kain putih itu, kemudian sambil mengernyitkan dahi tegurnya.

   "Parahkah lukamu itu?"

   A-yong hanya bisa tertawa getir.

   Tentu saja luka yang dideritanya amat parah, bahkan mungkin lengannya tak bisa dipergunakan lagi selamanya, tapi tentang soal ini, dia harus merahasiakan sebaik-baiknya.

   Ia tahu toa-tauke tak akan memelihara seorang manusia tak berguna yang sudah tak ada harapannya dalam suatu jangka waktu yang lama.

   "Siapakah yang telah melukaimu?", Thi-hou mulai membuka pembicaraan.

   "Ia mengatakan dirinya bernama A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   "Tapi ia telah melukai dirimu, membinasakan Toa-kang!"

   A-yong tertawa getir.

   "Mungkin ia tak berguna dalam hal lain, tapi ilmu silatnya jelas sangat berguna"

   "Dengan benda apakah ia melukai dirimu?"

   "Dengan apa lagi? Tentu saja menggunakan tangannya!"

   Sebenarnya dia ingin mengatakan dilukai dengan sebuah benda yang terbuat dari besi, tapi ia tak berani berbohong, sebab masih terdapat banyak orang yang menyaksikan peristiwa tersebut dengan mata kepalanya sendiri ketika itu.

   Sepasang alis mata Thi-hou yang tebal berkernyit semakin kencang.

   Ia tahu ilmu silat A-yong terutama dalam hal telapak tangan bajanya mempunyai kesempurnaan yang meyakinkan.

   Bukan suatu pekerjaan yang gampang bila seseorang ingin melukai telapak tangan bajanya hanya mempergunakan tangan telanjang.

   "Aku tahu kau pasti ingin bertanya kepadaku ilmu slat apakah yang telah ia gunakan?", kata Ayong. Thi-hou mengakuinya, sebab ia memang bukan datang untuk menjenguk si sakit.

   "Sayang aku sendiripun tidak tahu, ilmu silat dari aliran manakah yang telah ia pergunakan"

   Hawa gusar memancar keluar lewat sorot mata Thi-hou, katanya.

   "Sudah hampir dua-tiga puluh tahun kau melatih ilmu silatmu, tidak sedikit pula manusia yang telah kau bunuh, selama dalam dunia persilatan reputasimu cukup baik, tapi sekarang orang lain telah menghajarmu sedemikian rupa, sebaliknya kau malah tidak tahu dengan ilmu silat apakah orang melukai dirimu"

   "Serangannya terlampau cepat, hingga sulit diikuti dengan pandangan mata.....", keluh A-yong. Thi-hou tertawa dingin, tiba-tiba ia mencengkeram tangan A-yong yang terluka dan melepaskan kain pembalut tangannya itu.

   "Hei, mau apa kau?", A-yong segera menegur dengan paras muka berubah hebat.

   "Aku ingin memeriksanya"

   A-yong segera tertawa paksa.

   "Sebuah lengan yang sudah rusak, masa ada yang menarik untuk dilihat.....?", katanya.

   "Ada!"

   "Menurut tabib dari Ciang-po-thong, mereka telah membalutkan tanganku ini sebaik-baiknya, ia minta kepadaku agar dalam dua hari ini jangan sekali-kali menyentuhnya"

   "Aaaahhh.....! Telur busuk maknya!", damprat Thi-hou. Terpaksa A-yong menutup kembali mulutnya, sebab kain pembalut yang membalut tangannya kini sudah terlepas semua. Menyaksikan telapak tangannya itu, paras muka Thi-hou ikut berubah hebat....... Telapak tangan baja yang pernah dilatih selama hampir dua puluh tahun, kini boleh dibilang sudah hancur remuk dan tak ketolongan lagi.... Tangan itu jelas dihancurkan dengan hanya menggunakan tiga batang jari tangan, sebab pada punggung tangannya masih tertinggal tiga bekas jari tangan yang berwarna semu hitam. ....Ilmu silat apakah yang sesungguhnya dilatih oleh A-kit yang tak berguna? Tiba-tiba Thi-hou menghela napas panjang, ujarnya.

   "Bagaimanapun juga, kita masih terhitung bersahabat!"

   "Ya, sejak dulu sampai sekarang kita memang bersahabat!", A-yong menimpali sambil tertawa paksa.

   "Sebab itu kau tak usah kuatir, aku tak akan memberitahukan peristiwa ini kepada siapapun"

   "Peristiwa apa?", suara tertawa A-yong kedengaran makin dipaksakan.

   "Sejak kini tanganmu sudah cacad seumur hidup dan tak bisa dipakai lagi........"

   Senyuman A-yong segera membeku, kelopak matanya menyusut dan wajah wajahnya berubah menjadi pucat pias.

   "Sayangnya, sekalipun aku telah merahasiakan peristiwa ini bagimu, cepat atau lambat toa-tauke pasti akan mengetahuinya juga, sebab itu..........lebih baik susunlah rencana baru untuk menghadapi kehidupanmu di masa mendatang........!"

   A-yong tertunduk lemas, tiba-tiba ia berteriak dengan suara lantang.

   "Aku masih tetap dapat membunuh orang bagi toa-tauke walaupun hanya mempergunakan tangan sebelah!"

   Thi-hou tertawa dingin.

   "Membunuh manusia macam apa? Membunuh manusia yang lebih tak berguna daripada dirimu?"

   Dari sakunya dia ambil keluar setumpuk uang kertas, lalu tanpa dihitung lagi diangsurkan ke hadapan A-yong, katanya.

   "Cepat atau lambat uang ini pasti kau butuhkan, baik-baiklah kau simpan dan tak usah digunakan terlalu royal"

   Selesai mengucapkan kata-kata itu, tanpa berpaling lagi ia keluar dari ruangan tersebut.

   Ketika Tiok Yap-cing masuk ke ruangan, uang kertas itu masih tergeletak di atas pembaringan.

   A-yong masih memandang tumpukan uang kertas itu dengan mata mendelong dan wajah termangu.

   "Aku datang khusus untuk menengok keadaan penyakitmu", kata Tiok Yap-cing dengan lembut.

   "secara kebetulan juga kudengar pembicaraan kalian"

   "Kau telah mendengarnya? Itu memang lebih baik!"

   "Bagaimanapun juga ia memang masih cukup baik sikapnya kepadamu......", Tiok Yap-cing menambahkan.

   "Ya, ia memang bersikap baik kepadaku, bahkan baik sekali, maka dia suruh aku menyimpan baik-baik tumpukan uangnya itu"

   Tiba-tiba ia tertawa tergelak.

   "Haaaahhhhh......haaaahhhhh.....haahhhh......disimpan untuk apa? Memangnya aku akan pergunakan sedikit uang busuknya itu untuk berdagang kecil-kecilan? Atau membuka sebuah kedai kecil penjual daging sapi?"

   Seperti orang gila ia tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba disambarnya uang di pembaringan itu dan dibantingnya keras-keras di atas tanah.

   Kemudian ia menjatuhkan diri ke atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu.

   Tiok Yap-cing cukup memahami perasaannya ketika itu, ia membiarkannya menangis sekian lama, kemudian baru berbisik dengan lembut.

   "kau tak usah kuatir, baik-baiklah merawat lukamu, apapun yang bakal terjadi, aku pasti akan carikan akal bagimu untuk menghadapinya"

   Toa-tauke memejamkan matanya, ia menerima semangkuk kuah jinsom dari sebuah tangan yang hangat, halus dan lembut. Pelan-pelan ia menghirup kuah tersebut dua tegukan, lalu bertanya.

   "Di mana Ki-ling?"

   "Sudah pergi ke tempat tinggalnya Yap-sianseng!"

   "Apakah Yap sianseng telah melakukan......?"

   "Ya, mereka telah mengadakan hubungan satu kali!"

   Toa-tauke tersenyum. Ia percaya Tiok Yap-cing tak akan berani membangkang perintahnya, perintah apapun yang diturunkan Toa-tauke kepada seseorang, belum pernah ada yang berani membangkangnya. Maka Toa-tauke kembali bertanya.

   "Di mana Thi-hou?"

   "Ia sedang keluar!"

   "Tidak bilang mau kemana?"

   "Katanya dia akan menengok A-yong, tapi sekarang mungkin ia sedang menuju ke gedungnya Han toa-nay-nay!"

   Toa tauke mengerutkan dahinya, tapi dengan cepat ia mengerti maksud dan tujuannya melakukan tindakan tersebut.

   Tentu saja ia bukan pergi mencari perempuan.

   ........Ketika A-kit muncul dalam kota untuk pertama kalinya, ia muncul di gedung milik Han toanay- nay.

   Untuk menyelidiki asal usul A-kit, tentu saja ia harus mencari Han toa-nay-nay, sebab paling tidak apa yang diketahuinya tentang A-kit akan jauh lebih banyak bila dibandingkan orang lain.

   Ia biasa berpikir sampai ke situ, hal ini membuktikan bahwa persiapan yang dilakukan Thi-hou jauh lebih teliti dan sempurna dibandingkan sebelumnya.

   Maka tertawa toa-tauke pun jauh lebih cerah, jauh lebih riang..........

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekarang setiap persoalan telah berada di bawah pengaruhnya, setiap orang telah berada dalam cengkeramannya.

   Perduli siapapun yang berani mengganggunya, perduli siapapun berani membohonginya, jangan harap mereka dapat lolos dari hukumannya.

   Hukuman yang ia jatuhkan selamanya adil, tapi cukup mengerikan.

   Thi-hou duduk di hadapan Han toa-nay-nay sambil menatap matanya tajam-tajam, ketika ia merasa bahwa sinar mabuk yang terpancar keluar dari matanya sudah jauh berkurang, pelanpelan ia baru berkata.

   "Kau seharusnya tahu kenapa aku datang kemari?"

   Han toa-nay-nay memicingkan sepasang matanya sehingga tinggal satu garis, sahutnya.

   "Aku tahu tugas yang kau kerjakan kali ini cukup payah, kebetulan saja aku menerima kiriman barang baru diantaranya ada seorang masih asli dan orisinil!"

   "Aku bukan datang untuk mencari perempuan!"

   "Oh, jangan-jangan selera Hou-toaya belakangan ini sudah mengalami perubahan dan kau ingin mencari orang lelaki untuk mencicipinya!"

   Paras muka Thi-hou berubah membesi, katanya dengan dingin.

   "Jika kau masih mabuk, aku mempunyai cara untuk membuatmu menjadi sadar kembali!"

   Senyuman yang menghiasi ujung bibir Han toa-nay-nay segera berubah membeku.

   "Sekarang apakah kau sudah sadar kembali?", tegur Thi-hou kemudian.

   "Ya!"

   "Sekarang tentunya sudah kau ketahui siapakah yang sedang kucari?"

   "Orang yang sedang kau cari pastilah A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   "Konon ia pernah bekerja di sini dan keluar dari tempat ini...........!"

   "Ya, ia memang pernah mengendon beberapa waktu di tempatku ini!"

   "Ia datang darimana?"

   "Siapapun tidak ada yang tahu dari mana dia berasal, ketika sampai di sini ia sudah mabuk hebat, ia mabuk sampai beberapa hari lamanya dan dalam keadaan tidak sadar"

   Thi-hou menatapnya tajam, menatap hingga ia merasa bahwa perempuan itu bukan lagi berbohong, pertanyaan baru dilanjutkan.

   "Secara bagaimana kau telah menerimanya bekerja di sini?"

   "Aku menerimanya lantaran ia tak punya uang untuk membayar rekening, dan lagi kelihatannya ia cukup mengibakan hati orang!"

   "Ditambah lagi ia masih muda, tampangnya cakep lagi!", sambung Thi-hou menyindir. Agak merah jengah selembar wajah Han-toa-nay-nay, serunya dengan cepat.

   "Sekalipun dia tampan, tapi aku sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya"

   "Ya, tentu saja tiada hubungan sebab ia sama sekali tidak tertarik kepadamu!"

   Han toa-nay-nay menghela napas panjang.

   "Aaaai......jangankan aku, perempuan yang lebih cantik dan bahenolpun tidak merangsang gairahnya, ia sepertinya tidak tertarik sama sekali oleh perempuan macam apapun"

   "Selama berada di sini pekerjaan agak istimewa apakah yang pernah ia lakukan?", kembali Thihou bertanya. Setiap pertanyaan ia ajukan dengan amat cepat, ini menunjukkan bahwa sebelumnya semua pertanyaan tersebut telah disusun olehnya secara cermat dan teliti. Namun Han-toa-nay-nay mau tidak mau harus memikirkan dahulu sebelum menjawab, karena ia tahu hanya sepatah kata saja salah berbicara maka akibatnya akan mempengaruhi selembar jiwanya sendiri.

   "Sesungguhnya ia tidak melakukan suatu pekerjaan istimewa selama berada di sini", demikian jawabnya kemudian.

   "apa yang dilakukan tidak lebih hanya mencucikan mangkuk buat kami, mengambilkan air teh......."

   Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu pekerjaan yang agak istimewa, segera tambahnya.

   "Iapun telah mewakiliku untuk menerima beberapa kali tusukan pisau!"

   "Siapa yang melakukan tusukan tersebut?"

   "Agaknya saudara cilik dari si kusir kereta!"

   "A-kit telah membunuh mereka?"

   "Tidak, ia sama sekali tidak melancarkan serangan balasan"

   Tiba-tiba kelopak mata Thi-hou menyusut menjadi kecil sekali, serunya tertahan.

   "Masa ia hanya berdiri belaka sambil menerima tusukan-tusukan pisau setan cilik itu?"

   "Ya, jangankan membalas, bergerak sedikitpun tidak!"

   Biji mata Thi-hou mulai melompat.

   Di kala biji matanya sedang melompat, bukan berarti dia hendak membunuh manusia, kadangkala hal ini merupakan pertanda jelek bagi dirinya sendiri.

   Ia dibesarkan dari lingkungan yang miskin dan serba kekurangan, semenjak kecil ia sudah berkeliaran di antara kaum berandal dan pencoleng-pencoleng kota, tentu saja ia pernah merasakan tusukan pisau orang.

   Sebelum ia merasakan tusukan yang pertama, biji matanya telah melompat pula seperti kali ini.

   Karena waktu itu dia telah berani menantang lotoa yang berkuasa di wilayah tersebut, ia tahu bahwa dirinya akan berhadapan dengan seorang musuh tangguh yang sangat menakutkan.

   Kini lompatan biji matanya hampir sama seperti lompatan yang pernah dirasakan ketika itu.

   .......Sebenarnya manusia macam apakah yang akan dihadapinya kali ini? .......Dia adalah seorang jago tangguh yang sanggup mengetuk hancur telapak tangan baja A-yong dengan ketiga buah jari tangannya, tapi mengapa dia hanya berdiri di sana saja untuk menerima tusukan-tusukan pisau dari setan-setan cilik itu? .......Kenapa ia harus merasakan penderitaan, penghinaan serta rasa malu yang sesungguhnya tak usah ia rasakan? Han toa-nay-nay masih juga menghela napas kembali ujarnya.

   "Waktu itu mimpipun kami tidak menyangka bahwa dia adalah seorang manusia macam begini!"

   "Menurut pendapatmu, manusia macam apakah dia?"

   "Sepintas lalu ia seperti seorang manusia yang benar-benar tak berguna, bagaimanapun kau aniaya dan cemooh dirinya, ia seperti tak ambil perduli, iapun tak mau tahu berapa besar penderitaan dan penghinaan yang bakal dihadapinya, pokoknya ia menerima semua yang menimpa dirinya dengan rela dan pasrah"

   "Sebenarnya ia boleh saja tak usah menerima penderitaan dan siksaan seperti ini!"

   "Ya, akupun mendengar bahwa semalam ia berhasil membinasakan Thi-tau toa-ya!"

   "Menurut pendapatmu, apa sebabnya ketika itu dia rela menerima tusukan orang tanpa melancarkan serangan balasan?"

   Han-toa-nay-nay termenung dan berpikir sebentar, lalu sahutnya.

   "Mungkin pada waktu itu dia masih tak ingin membiarkan orang lain tahu bahwa ia pandai bersilat, diapun tak ingin membiarkan orang lain mengetahui pengalamannya di masa lampau"

   Setelah berpikir sebentar, kembali ujarnya.

   "Mungkin saja di masa lampau dia pernah melakukan suatu perbuatan yang memalukan dan tak ingin diketahui orang lain"

   "Tidak benar!", kata Thi-hou.

   "Tidak benar?"

   "Ia berdiri di sana tanpa bergerak sambil mewakilimu menerima beberapa tusukan pisau, coba bayangkan kebaikan apa yang berhasil ia dapatkan dari perbuatannya itu?"

   "Sama sekali tak ada kebaikan apa-apa!", sahut Han-toa-nay-nay dengan cepat.

   "Ya, memang tak ada manfaat apa-apa, sebab sekalipun ia tidak mewakilimu untuk menerima tusukan-tusukan tersebut, kau masih tetap bersikap baik kepadanya!"

   "Bagaimanapun aku bersikap kepadanya, ia sama sekali tak ambil perduli.......!"

   "Sekarang lantaran Biau-cu kakak beradik ia bersedia adu jiwa dengan toa-tauke, coba pikirkan manfaat apa yang berhasil diperolehnya?"

   "Lebih-lebih tak ada lagi!"

   "Manusia semacam ini, mungkinkah ia bisa melakukan perbuatan memalukan yang tak ingin diketahui orang lain?"

   Han toa-nay-nay tidak berbicara lagi, sebab ia sudah tahu bahwa dugaannya keliru besar.

   "Ia bisa berbuat demikian pasti lantaran pernah mendapat pukulan batin yang cukup berat, pukulan batin tersebut membuat pandangannya terhadap segala persoalan menjadi berubah, ia menjadi putus asa dan kecewa, sehingga dengan hati rela menerima semua penderitaan, semua penghinaan serta cemoohan yang dilimpahkan atas dirinya, diapun pasti berbuat demikian lantaran keluarganya atau namanya terlampau termashur, sekarang lantaran ia telah berubah menjadi begini, maka ia tak akan membiarkan orang lain mengetahui masa silamnya"

   Perkataan tersebut bukan ia ucapkan untuk di dengar Han-toa-nay-nay, sebaliknya tak lain sedang memberi keterangan dan analisa pada diri sendiri tentang manusia yang bernama A-kit.

   Kendati begitu Han-toa-nay-nay telah mendengar semua perkataan itu dengan jelas.

   Ia selalu menganggap Thi-hou sebagai seorang manusia yang garang, ganas dan berangasan, belum pernah ia jumpai sikapnya setenang hari ini, lebih-lebih tak disangka olehnya kalau ia dapat berpikir secermat dan seteliti sekarang ini.

   Sudah banyak tahun ia kenal dengan manusia yang bernama Thi-hou ini, tapi hingga sekarang dia baru merasakan bahwa dia masih mempunyai raut wajah lain.

   Kebengisan serta keberangasannya mungkin hanya sejenis tameng, sejenis pelindung yang melindungi watak serta karakter yang sebenarnya, agar orang lain tak dapat mengetahui kecerdasan dan kenekatannya dalam menghadapi setiap persoalan agar orang lain tidak berjagajaga terhadap dirinya.

   Menyaksikan wajahnya yang tenang serta sepasang matanya yang tajam bagaikan sembilu, tibatiba Han toa-nay-nay merasakan suatu kengerian dan keseraman yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Bahkan secara diam-diam ia mulai merasakan kuatir bagi keselamatan jiwa manusia yang bernama A-kit.

   Terlepas manusia macam apakah A-kit itu, tapi yang pasti musuh tangguh yang dihadapinya sekarang jelas jauh lebih menakutkan daripada apa yang diduganya semula.

   Pertarungan yang bakal berlangsung kali ini mungkin saja merupakan pertarungannya yang terakhir, semua kejayaan, kecemerlangan serta nama besar yang pernah diperolehnya dulu kemungkinan akan segera terkubur untuk selamanya di dalam tanah.

   ........Mungkin itulah akibat dari harapan yang selalu mencekam perasaannya selama ini.

   ........Orang yang mati di sini tidak lebih hanya A-kit yang tak berguna, nama baik serta kejayaannya di tempat kejauhan masih tetap utuh dan bertahan untuk selamanya.

   Han toa-nay-nay menghela napas dalam hatinya, ketika ia menengadah kembali tampak Thi-hou dengan sepasang matanya yang lebih tajam dari sembilu sedang mengawasinya lekat-lekat.

   Tiba-tiba Thi-hou berkata.

   "Padahal kau tak perlu menguatirkan keselamatan jiwanya!"

   "Aku.........."

   "Begitu turun tangan ia berhasil membinasakan Thi-tau, menghancurkan tangan Thi-ciang, bahkan kepandaian apakah yang dipergunakan juga tidak diketahui orang, ini membuktikan bahwa kepandaian silatnya benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan. Setelah aku pikir pulang pergi akhirnya kurasakan bahwa orang yang berhasil melatih ilmu silatnya hingga mencapai tingkatan seperti ini tak lebih dari lima orang dan diantara ke lima orang ini, hanya satu orang yang mempunyai usia semuda dia!"

   "Siapakah orang itu?", tanya Han toa-nay-nay tanpa terasa.

   "Sebenarnya orang itu sudah mati, tapi aku selalu menganggap dia tak akan mati secepat itu!"

   "Kau anggap A-kit adalah orang itu?"

   Pelan-pelan Thi-hou mengangguk.

   "Seandainya A-kit benar-benar adalah orang itu, dalam pertarungan tersebut akulah yang bakal mati!"

   Han toa-nay-nay menghembuskan napas lega dalam hatinya, meski perasaan tersebut tak sampai diperlihatkan pada wajahnya.

   Ia adalah seorang perempuan yang cukup berpengalaman, tentu saja ia mengerti pada saat apakah dan cara bagaimanakah dia harus menyatakan kuatir serta simpatiknya kepada orang lain.

   Pelan-pelan ia menggenggam tangan Thi-hou, lalu katanya dengan lembut.

   "Kalau sudah tahu demikian, kenapa kau musti menjual nyawamu demi kepentingan orang lain? Kenapa kau harus pergi mencarinya?"

   Thi-hou menundukkan kepalanya memandang tangan Han-toa-nay-nay yang gemuk dan penuh gajih itu, lalu sahutnya lirih.

   "Aku belum tentu harus pergi ke situ!"

   Kali ini Han toa-nay-nay benar-benar dapat menghembuskan napas lega. Kedengaran Thi-hou berkata lebih jauh.

   "Meskipun aku tidak pergi, tapi ada seseorang lain yang harus pergi ke sana"

   "Siapakah orang itu?"

   "Kau!"

   Han toa-nay-nay kelihatan amat terkejut.

   "Kau suruh aku pergi mencari A-kit?"

   "Ya, kau harus membawanya menjumpaiku!"

   Han toa-nay-nay ingin tertawa paksa, tapi ia tak mampu tertawa.

   "Darimana aku bisa tahu saat ini dia berada di mana?", katanya dengan jantung berdebar keras. Seperti mata elang Thi-hou menatapnya dengan dingin dan menyeramkan, sejenak kemudian baru ujarnya lagi.

   "Kau pasti mengetahuinya, sebab pada saat ini hanya ada satu tempat yang bisa ia datangi!"

   "Tempat manakah itu?"

   "Di sini!"

   "Kenapa dia pasti dapat datang ke mari?"

   "Karena ia telah berjanji dengan toa-tauke bahwa malam ini akan berjumpa di tempat ini, tentu saja dia akan datang lebih dulu ke mari untuk melihat keadaan di sini, dia harus tahu perangkap dan jebakan apakah yang telah disiapkan toa-tauke di sini!"

   Menyusul kemudian kembali ujarnya.

   "Dalam kota ini hanya tempat ini merupakan tempat yang paling dikenal olehnya, aku lihat setiap orangpun menaruh kesan yang cukup baik kepadanya, ia bisa mencari sembarangan tempat untuk menyembunyikan diri, orangnya toa-tauke pasti tak akan menemukannya, sebab kalau aku, mungkin saja akupun dapat berbuat demikian!"

   Han-toa-nay-nay menghela napas panjang.

   "Aaaaaiii.....sayang dia bukan Hou-toaya, ia tidak secermat dan seteliti Hou-toaya, jadi belum tentu dia akan berbuat demikian!"

   Thi-hou tertawa dingin.

   "Hou toaya, jika kau tidak percaya, silahkan mengadakan penggeledahan sendiri di seluruh gedungku ini", kata Han toa-nay-nay. Ia tertawa paksa, lalu terusnya.

   "Bukankah Hou-toaya juga hapal sekali dengan gedung ini?"

   Thi-hou menatapnya tajam-tajam, selang sesaat kemudian tegurnya.

   "Ia benar-benar tidak datang kemari?"

   "Seandainya ia telah datang, masa aku tidak tahu?"

   Sekali lagi Thi-hou menatapnya lama sekali, tiba-tiba ia bangkit berdiri, lalu dengan langkah lebar berlalu dari situ.

   Sang surya telah condong ke langit barat.

   Han toa-nay-nay duduk seorang diri di situ sambil termangu-mangu, hingga ia merasa yakin kalau Thi-hou sudah jauh meninggalkan tempat itu.

   Pelan-pelan dia baru bangkit berdiri, menghela napas dan bergumam seorang diri.

   "A-kit wahai A-kit, sebenarnya siapakah kau? Masih belum cukupkah kesulitan yang kau cari buat dirimu sendiri? Kenapa kau masih mencarikan begini banyak kesulitan bagi orang lain?"

   Di belakang dapur terdapat sebuah rumah kayu kecil dan bobrok, dalam rumah kayu itu hanya terdapat sebuah pembaringan, sebuah meja dan sebuah kursi.

   Inilah rumah tinggal si koki yang bisu, meskipun kotor dan sempit, baginya sudah merupakan sebuah sorga-loka yang nyaman.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah bekerja keras seharian penuh, di tempat inilah mereka akan berbaring dengan tenang dan tenteram serta melakukan pekerjaan yang mereka inginkan.

   Di atas pembaringan itulah mereka telah lewatkan masa penghidupan yang paling manis, paling indah dan paling syahdu.

   Sekalipun suaminya jelek dan kasar, sekalipun istrinya ceking dan kecil, akan tetapi mereka dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan bagi lawan jenisnya, sebab mereka tahu hanya dengan berbuat demikianlah mereka baru dapat meraih kebahagiaan yang didambakan.

   Apa yang mereka miliki akan mereka nikmati pula sepuas mungkin.

   Terhadap penghidupan mereka yang serba pas-pasan dan sederhana, merekapun merasa sangat puas.

   Sekarang mereka suami isteri berdua duduk di atas pembaringan mereka, sepasang tangannya yang berada di atas meja saling menggenggam dengan kencangnya.

   Memandang kemesraan mereka berdua, A-kit menghela napas panjang dalam hatinya, ..........kenapa aku selalu tak dapat merasakan penghidupan yang tenang dan penuh kedamaian seperti yang mereka alami? Di atas meja tersedia tiga piring hidangan kecil, di situpun tersedia poci berisi arak.

   Ketika si bisu menuding poci arak, istrinya lantas menjelaskan.

   "Arak itu bukan arak baik, tapi benar-benar arak asli, si bisu tahu kalau kau paling suka minum arak!"

   A-kit tidak berbicara.

   Tenggorokannya seakan-akan telah tersumbat, dia tahu penghidupan yang mereka lewatkan sudah cukup payah dan menderita untuk memperoleh dua poci arak ini, mungkin mereka harus mengorbankan satu stel mantel dingin yang dimilikinya.

   Ia sangat berterima kasih atas maksud baik mereka terhadapnya, tapi hari ini ia tak boleh minum arak, setetes arakpun tak boleh membasahi bibirnya.

   Ia cukup memahami keadaan sendiri, asal ia mulai minum arak maka tak akan berhenti sebelum ia benar-benar mabuk.

   Jika ia mabuk hari ini, maka jiwanya pasti akan melayang di tangan toa-tauke dan ia tak akan lolos dari cengkeramannya dalam keadaan hidup.

   Si bisu mengernyitkan alis matanya dan sang istripun menjelaskan.

   "Kenapa kau tidak minum? Meskipun arak kami bukan arak berkwalitet baik, paling tidak bukan kami peroleh dengan jalan mencuri!"

   Bentuk tubuhnya persis seperti sebuah gurdi, apalagi sewaktu berbicara, tajamnya melebihi sebuah gurdi.

   A-kit tidak menjadi marah atau tak senang hati, karena di tahu perempuan itu seperti pula suaminya mempunyai sebuah hati yang hangat dan penuh kasih sayang.

   Iapun tahu dalam menghadapi manusia macam mereka, ada banyak persoalan yang selamanya tak mungkin dapat dijelaskan.

   Oleh sebab itu, terpaksa dia harus minum arak itu.

   Selamanya tak dapat menampik kebaikan orang apalagi orang itu adalah manusia macam si bisu.

   Menyaksikan ia mengeringkan secawan arak, si bisupun tertawa, cepat ia penuhi kembali cawannya yang kosong itu dengan arak, meskipun banyak perkataan hendak diucapkan keluar, dari tenggorokannya hanya bisa mengeluarkan suara parau yang panjang pendek tak menentu.

   ~Bersambung ke Jilid-8 Jilid-8 Untunglah ia mempunyai seorang isteri yang telah lama mendampinginya, ia dapat memahami perasaan hati suaminya waktu itu.

   Maka dengan suara lirih ia menjelaskan.

   "Si bisu ingin memberitahukan kepadamu, bahwa kau bersedia minum araknya berarti kau telah menghargainya, ia telah menganggapmu sebagai sahabat yang paling karib, saudara yang paling baik!"

   Ketika A-kit mendongakkan kepalanya, ia dapat merasakan sorot mata si bisu yang penuh dengan perasaan persahabatan serta keakraban yang hangat.

   Ya, dalam keadaan ini mana mungkin arak tersebut tidak ia teguk sampai habis? Si bisu sendiripun meneguk satu cawan arak, lalu menghela napas dengan puas.

   Baginya minum arak sudah merupakan suatu perbuatan yang amat sulit untuk tercapai, seperti juga ia begitu mendambakan suatu persahabatan yang akrab dan hangat.

   Ia suka minum arak, tapi sangat jarang ada arak yang bisa diminum, ia suka berteman tapi belum pernah ada orang yang bersedia menganggapnya sebagai teman.

   Sekarang kedua-duanya telah ia dapatkan, terhadap kehidupan manusia, ia tidak mempunyai keinginan yang lain lagi, dia hanya merasa puas dan amat berterima kasih.

   Ya, ia berterima kasih kepada Thian karena telah memenuhi segala sesuatu yang diinginkan.

   Menyaksikan mimik wajahnya itu, A-kit merasa tenggorokannya seakan-akan kembali tersumbat.

   Sumbatan tersebut hanya bisa disingkirkan dengan minum arak sebanyaknya, maka sudah banyak arak yang berpindah ke dalam perutnya.

   Dalam keadaan beginilah tiba-tiba Han toa-nay-nay menerobos masuk ke dalam, dengan terkejut dan mata terbelalak ditatapnya cawan kosong di tangannya itu, kemudian tegurnya.

   "Hei, kau lagi-lagi sedang minum arak?"

   "Hanya minum sedikit!", jawab A-kit.

   "Kau sendiri juga tahu bahwa pada hari ini tidak sepantasnya kau minum arak, kenapa kau minum arak juga?"

   "Karena si bisu adalah sahabatku!"

   Han toa-nay-nay menghela napas panjang.

   "Teman, teman, berapa tahilkah harganya seorang teman? Apakah ia jauh lebih berharga daripada selembar jiwamu sendiri?"

   A-kit tidak menjawab, diapun tidak perlu menjawab.

   Siapapun jua pasti dapat mengetahui, bahwa ia memandang suatu persahabatan jauh lebih berharga daripada selembar nyawa sendiri.

   .......Nyawa sebenarnya hanya sesuatu yang kosong, sekalipun kekosongan tersebut dapat diisi dengan pelbagai persoalan yang berharga, tapi kalau di antaranya kekurangan suatu persahabatan, maka berapa banyak lagi yang masih tersisa? Han toa-nay-nay sendiripun seorang peminum arak, ia cukup memahami bagaimanakah perasaan dari seorang setan arak yang mulai minum arak lagi setelah berpantang banyak waktu? Dalam suasana menjelang pertarungannya melawan manusia macam toa-tauke dan manusia macam Thi-hou, keadaan semacam itu justru akan menghancurkan semangat dan tenaga seseorang.

   Tiba-tiba Han toa-nay-nay mengulurkan tangannya dan menyambar poci arak di meja, diteguknya hingga habis sisa arak yang masih tertinggal dalam poci tersebut.

   Arak berkwalitet rendah biasanya merupakan arak keras, sinar matanya segera menunjukkan tanda-tanda mabuk, sambil melotot ke arah A-kit segera tegurnya.

   "Tahukah kau barusan ada manusia macam apa yang datang mencari jejakmu.......?"

   "Thi-hou maksudmu?"

   "Tahukah kau manusia macam apakah itu?"

   "Seorang manusia yang sangat lihay!"

   Han toa-nay-nay segera tertawa dingin.

   "Heeehhh.......heeeeehhh.....heeeeehhh....bukan cuma lihay, bahkan jauh lebih lihay daripada apa yang kau bayangkan semula!"

   "Oya?"

   "Bukan saja dia mengetahui bahwa kau pasti berada di sini, lagi pula diapun bisa menduga siapakah kau?"

   "Siapakah kau?"

   "Seorang yang sebenarnya sudah mati!"

   Paras muka A-kit sedikitpun tidak berubah, hanya ujarnya dengan ewa.

   "Tapi sekarang aku toh masih hidup!"

   "Diapun tidak percaya kalau kau telah mati, tapi aku percaya!"

   Setelah berhenti sejenak, dengan suara lantang dia lantas berteriak kembali.

   "Aku percaya, dia pasti dapat membuat kau mati sekali lagi!"

   "Kalau aku adalah seorang yang seharusnya sudah mati, apa salahnya kalau mati sekali lagi?"

   Han toa-nay-nay tidak dapat berbicara lagi. Terhadap manusia semacam ini, dia benar-benar merasa kehabisan akal dan daya, terpaksa ujarnya setelah menghela napas panjang.

   "Padahal Thi-hou sendiripun mengakui, seandainya kau benar-benar adalah orang itu, maka dia sendiripun bukan tandinganmu, tapi kau......mengapa kau justru menghancurkan dirimu sendiri? Kenapa kau justru minum arak dalam keadaan seperti ini?"

   Makin berbicara kobaran hawa amarah dalam dadanya makin memuncak, dibantingkan poci arak itu ke atas tanah keras-keras, kemudian makinya kalang kabut.

   "Apalagi arak yang diminum adalah arak kwalitet rendah semacam Sau-to-cu yang bisa membuat nyawapun ikut terminum ludas!"

   Paras muka A-kit masih tetap dingin tanpa emosi, ia hanya mengucapkan dua patah kata.

   "Keluar kau!"

   "Apa? Kau tahu aku adalah manusia macam apa di sini? Kau suruh aku keluar dari sini?", teriak Han toa-nay-nay sambil mencak-mencak kegusaran.

   "Aku tidak ambil perduli siapakah kau dan apa jabatanmu di sini, aku hanya tahu tempat ini adalah rumah temanku, entah siapapun yang berani berteriak dan berkaok-kaok dalam rumah sahabatku, aku pasti akan mempersilahkannya keluar dari sini"

   "Tahukah kau siapa yang telah memberikan rumah ini kepadanya?"

   Pelan-pelan A-kit bangkit berdiri, sambil memandang wajahnya lekat-lekat dia berseru.

   "Aku hanya tahu aku minta kepadamu untuk keluar dari sini, lebih baik kau segera ke luar dari tempat ini!"

   Dengan terperanjat Han toa-nay-nay memandang ke arahnya, lalu selangkah demi selangkah mundur ke belakang.

   Dalam sekejap mata itulah dia baru merasakan bahwa A-kit yang tak berguna ini seakan-akan telah berubah menjadi seseorang yang lain, berubah menjadi begitu sadis begitu kejam dan tidak berperasaan.

   Setiap perkataan yang ia ucapkan kini telah berubah menjadi perintah, entah siapapun juga orang itu, mereka tak akan berani membangkang perintahnya itu.

   Karena pada saat itu, siapapun juga akan merasakan bahwa barang siapa berani membangkang perintahnya, maka dia akan segera merasa menyesal.

   Seseorang tak nanti akan mengalami perubahan sedemikian cepatnya, hanya seseorang yang sudah lama terbiasa memberi perintah kepada orang lain yang bisa memiliki kewibawaan sebesar ini.

   Hingga mundur sampai di pintu luar, Han toa-nay-nay baru berani mengucapkan kata-kata seperti apa yang ingin dia katakan.

   "Kau pasti orang itu, kau pasti adalah orang itu!"

   "Bukan!", seseorang menyambung ucapannya secara tiba-tiba dari belakang tubuhnya. Ketika Han toa-nay-nay memutar tubuhnya, ia telah menyaksikan Thi-hou si harimau baja telah berdiri di situ. Wajahnya sekaku batu karang yang terkikis oleh hembusan angin, begitu kasar, begitu seram dan begitu mantap. Wajah Han-toa-nay-nay mulai berkerut dan gemetar keras lantaran ngeri dan takut, bisiknya tergagap.

   "Kau......kau bilang dia........dia bukan?"

   "Terlepas siapakah dia dahulunya, sekarang ia telah berubah, sekarang ia telah berubah menjadi seorang setan arak yang sama sekali tak ada gunanya!"

   "Dia bukan setan arak, jelas dia bukan setan arak!", bantah Han-toa-nay-nay.

   "Perduli siapakah dia, hanya manusia pengecut, hanya setan arak saja yang berani minum arak menjelang berlangsungnya suatu duel!"

   "Tapi akupun tahu bahwa dalam dunia persilatan terdapat tidak sedikit pendekar arak, dia harus minum sampai mabuk lebih dahulu sebelum kepandaian saktinya dapat dipergunakan!"

   Thi-hou tertawa dingin.

   "Cerita-cerita tentang pendekar arak hanya bisa dipakai untuk membohongi anak kecil!"

   "Tapi setiap kali aku sudah minum arak, tanpa terasa nyaliku menjadi bertambah besar!", bantah Han toa-nay-nay lagi.

   "Seorang lelaki yang sejati, tidak akan mempergunakan arak untuk membesarkan nyalinya"

   "Setelah minum arak, tenagaku pun terasa bertambah lebih besar dan kuat........"

   "Pertarungan antara dua orang jago lihay, bukan tenaga yang dipertarungkan"

   Han toa-nay-nay bukannya seorang perempuan yang tak pernah bergaul dengan masyarakat luas, tentu saja diapun memahami ucapan tersebut.

   Sesungguhnya ia sengaja mengajak Thi-hou mengobrol dengan tujuan agar membuyarkan perhatian orang itu serta menciptakan kesempatan baik A-kit.

   Entah mau kabur, atau hendak turun tangan, ia dapat membantu A-kit untuk menciptakan kesempatan baik itu.

   Akan tetapi A-kit sama sekali tidak berkutik, bergeserpun tidak.

   Kembali si harimau baja berkata.

   "Arak dapat membuat reaksi seseorang menjadi lambat, membuat dugaannya menjadi keliru, dalam pertarungan antara sesama jago lihay, hanya sedikit kesalahan yang dilakukan akan mengakibatkan suatu kegagalan total"

   Kata-kata semacam itu sudah tidak ditujukan lagi kepada Han toa-nay-nay, sepasang matanya yang tajam telah menatap wajah A-kit tanpa berkedip, kemudian sepatah demi sepatah kata, dia melanjutkan.

   "Kalau ada dua orang jago lihay sedang bertarung, bila kalah dalam satu gerakan saja, maka akibatnya adalah kematian yang mengerikan!"

   Paras muka A-kit sama sekali tidak memperlihatkan perubahan emosi, hanya tanyanya dengan suara ewa.

   "Kau adalah seorang jago lihay?"

   "Kalau toh aku sudah mengetahui siapakah kau, seharusnya kau juga telah mengetahui siapakah aku!"

   "Aku hanya tahu kau adalah orang yang mengundang aku makan bakmi daging sapi, sayang kau tidak memberi uang untuk membayar rekening tersebut, jadi rekening itu akhirnya aku bayar sendiri"

   Setelah berhenti sebentar, lanjutnya lagi dengan suara tawar.

   "Walaupun aku bukan seorang jago lihay, tapi aku tak pernah makan makanan orang tanpa membayar!"

   Thi-hou menatapnya lekat-lekat, sekujur tubuhnya terutama setiap bagian tulang persendiannya tiba-tiba memperdengarkan suara letupan-letupan nyaring bagaikan berondong mercon.

   Itulah ilmu tenaga gwakang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan yang paling tinggi, orang menyebutnya sebagai ilmu It-cuan-pian (serenteng mercon).

   Dalam dunia persilatan dewasa ini hanya dua orang yang berhasil melatih ilmunya hingga mencapai ke tingkatan setinggi ini.

   Mereka adalah Hong-im-lui-hou (Harimau geledek penimbul badai) Lui Ceng-thian, yang belum pernah menjumpai tandingannya selama hidup dan selama ini berkeliaran di wilayah Liau-pak, serta Giok-pah-ong (Raja bengis kemala) Pek Im-shia, seorang pentolan kaum Liok-lim yang selama dua puluh tahun menguasai bukit Ci-lian-san.

   Sejak berhasil menguasai sebagian besar dunia persilatan, Giok-pah-ong pun mengundurkan diri dari keramaian dunia, jejaknya sudah jarang sekali ditemukan dalam dunia persilatan.

   Jejak si Harimau geledek penimbul badai pada hakekatnya memang misterius dan jarang ditemui orang, apalagi belakangan ini bahkan kabar beritanyapun tak kedengaran lagi.

   Ada orang yang mengatakan bahwa dia telah tewas di ujung pedang seorang jago pedang kenamaan, tapi ada pula orang yang mengatakan bahwa ia telah mati bersama si jago pedang itu.

   Konon menurut cerita yang tersiar di dalam dunia persilatan, jago pedang yang dimaksudkan itu tak lain adalah Yan Cap-sa, si jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit.

   Bahkan ada pula orang yang berkata bahwa Lui Ceng-thian telah menggabungkan diri dengan suatu organisasi rahasia dalam dunia persilatan, ia telah menjadi salah seorang pentolan di antara delapan pentolan yang memimpin organisasi rahasia tersebut.

   Menurut cerita, organisasi rahasia itu jauh lebih rahasia lagi bila dibandingkan dengan perkumpulan Cing-liong-hwee (naga hijau) yang termashur di masa lampau, bahkan kekuasaannya jauh lebih besar dan luas........

   Setelah berkumandangnya serentetan bunyi mercon tadi, tubuh Thi-hou yang tinggi besar seakanakan berubah lebih besar dan mengerikan.

   Tiba-tiba ia menghembuskan napas panjang sambil membentak keras.

   "Masihkah kau tidak tahu siapa aku ini?"

   A-kit menghela napas panjang.

   "Aaaaiiii......hanya satu hal yang masih belum kupahami!", sahutnya.

   "Dalam hal yang mana?"

   "Seharusnya kau tewas di ujung pedang Yan Cap-sa, kenapa sekarang kau malah menjadi kakitangannya orang lain?"

   Thi-hou menatapnya tajam-tajam, mendadak diapun menghela napas panjang.

   "Aaaaiiiii.......ternyata memang kau, ternyata memang benar-benar kau, aku tak salah lagi!"

   "Kau mempunyai keyakinan?"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kecuali kau, siapakah manusia di dunia ini yang begitu berani bersikap kurang ajar kepada aku Lui Ceng-thian?"

   "Apakah toa-tauke mu juga tidak berani?"

   Thi-hou tidak menjawab, kembali katanya.

   "Hampir selama tujuh tahun terakhir ini, setiap waktu setiap saat aku selalu mengharapkan bisa memperoleh kesempatan baik untuk berduel denganmu, tapi justru kau juga orang yang paling tidak ingin kutemui, karena aku sama sekali tidak mempunyai keyakinan untuk bisa menangkan dirimu......."

   "Pada hakekatnya kau sama sekali tidak mempunyai kesempatan tersebut!"

   "Tapi hari ini kesempatan baikku telah tiba, belakangan ini terlalu banyak arak yang kau minum, kesempatanmu untuk berlatih diri tentu jauh lebih berkurang"

   A-kit tak dapat menyangkal kebenaran dari ucapannya itu.

   "Sekalipun hari ini aku bakal mati di ujung pedangmu", demikian Thi-hou melanjutkan.

   "itupun merupakan apa yang ku idamkan selama ini, jadi matipun tak akan menyesal, cuma saja........."

   Tiba-tiba sinar matanya memancarkan hawa pembunuhan yang sangat mengerikan, terusnya.

   "Cuma dalam pertarungan kita hari ini, baik siapa akan menang dan siapa akan kalah, kita tak boleh membiarkan orang ke tiga yang mengetahui rahasia kita ini menyiarkan rahasia tersebut di luaran"

   Paras muka A-kit berubah hebat.

   Thi-hou telah memutar badannya secepat kilat sebuah kepalan segera di sodok ke depan, tubuh Han toa-nay-nay seketika itu juga mencelat jauh sekali dari tempat semula.

   Ketika tubuhnya tergeletak di tanah, selamanya ia tak dapat menjual belikan tubuh dan masa remaja setiap perempuan di dunia ini lagi, diapun tak akan sanggup untuk membocorkan rahasia dari siapapun juga.

   Paras muka A-kit berubah sepucat kertas, namun ia tidak mencegah perbuatannya itu.

   Thi-hou menghembuskan napas panjang, tenaga baru kembali pulih, katanya kemudian.

   "Apakah dua orang yang berada dalam rumah ini adalah sahabatmu?"

   "Benar!"

   "Aku tidak ingin membinasakan temanmu, tapi dua orang itu bagaimanapun jua harus mati!"

   "Kenapa?"

   "Di kolong langit dewasa ini ada berapa orang yang mampu mengalahkan Lui Ceng-thian?", tanya Thi-hou dingin.

   "Tidak terlalu banyak"

   "Bila kau berhasil menang, tentunya kaupun tidak ingin membiarkan orang lain membocorkan rahasia dari hasil pertarungan ini kepada orang lain, bukan?"

   A-kit tak dapat menyangkal perkataan tersebut.

   Asal tidak ada orang lain yang membocorkan rahasia mereka, andaikata ia menang, maka yang dikalahkan olehnya tidak lebih hanya seorang budak di bawah pimpinan Toa-tauke, sebaliknya jika dia yang kalah, maka yang mati tidak lebih hanya seorang A-kit yang tak berguna.

   Bagaimana jika A-kit tetap hidup? Dan bagaimana pula jika ia mati? "Mati hidup kita bukan persoalan", kembali Thi-hou berkata.

   "tapi rahasia kita tak boleh sekali-kali sampai bocor dan diketahui orang lain"

   A-kit membungkam dalam seribu bahasa, wajahnya berubah semakin pucat pasi.

   "Kalau memang demikian, mengapa kau masih juga belum turun tangan sendiri?", tegur Thi-hou. A-kit termenung lama sekali, akhirnya pelan-pelan ia baru berkata.

   "Aku tidak dapat pergi, sebab mereka semua adalah sahabat-sahabatku.......!"

   Thi-hou menatapnya lekat-lekat, mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak.

   "Haaaaahhhh..... haaaahhhhh..... haaahhhhh.... teringat di kala kau malang melintang dalam dunia persilatan dengan sebilah pedangmu dan tidak menemui tandingan di mana-mana, nyawa siapakah yang pernah kau hargai seperti ini? Demi memperoleh kemenangan perbuatan apapun pernah kau lakukan, tapi sekarang kenapa kau tidak tega turun tangan terhadap dua orang manusia semacam itu?"

   Kemudian sambil menengadah kembali ia tertawa tergelak.

   "Haaaahhhhh....... .haaaaaahhh...... haaahhhh....aku tahu kau sendiripun pernah berkata, untuk menjadi seorang jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit, maka kau musti tidak berperasaan dan tidak kenal rasa kasihan, tapi sekarang.....? Heeehhhhh....... heeehhhhh.... heeeehhhh.... sekarang kau telah berubah, kau sudah bukan jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit lagi. Dalam pertarungan ini kau sudah pasti akan menderita kekalahan total!"

   Tiba-tiba A-kit mengepal sepasang telapak tangannya kencang-kencang, kelopak matapun ikut menyurut.

   "Padahal apakah kau hendak membunuh mereka atau tidak, aku sama sekali tidak ambil perduli, sebab asal aku berhasil mengalahkan dirimu, asal aku mampu membinasakan dirimu, apakah mereka bisa pergi dari cengkeramanku dengan begitu saja?"

   Kali ini A-kit benar-benar terbungkam, dia benar-benar tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Setelah hening sejenak, Thi-hou si Harimau Baja, kembali berkata lebih jauh.

   "Sekalipun kau telah mengalami perubahan, tapi kau tetap masih hidup, di manakah pedangmu?"

   A-kit tidak menjawab, pelan-pelan ia membungkukkan badan dan memungut sebatang ranting dari atas tanah.

   "Itukah pedangmu?", jengek Thi-hou setelah mengawasi beberapa kejap ranting kayu yang berada dalam genggaman A-kit itu. A-kit tetap tenang, bahkan suaranya kedengaran agak hambar.

   "Aku telah banyak mengalami perubahan, demikian pula dengan pedangku, senjata itupun ikut mengalami banyak perubahan!"

   "Bagus........bagus sekali........!"

   Hanya kata-kata itu saja yang sanggup diucapkan, dalam keadaan demikian kecuali beberapa patah kata tadi, apalagi yang sanggup diutarakan keluar? Tiba-tiba bunyi gemerutukan yang amat nyaring bagaikan bunyi serenteng mercon kembali berkumandang memecahkan kesunyian.

   Sekali lagi dia telah menghimpun segenap tenaga dalam kekuatannya untuk bersiap-siap melancarkan serangan.

   Tenaga dalam yang paling dia andalkan adalah tenaga gwakang yang telah dilatihnya hingga mencapai puncak kesempurnaan itu, suatu kepandaian sakti yang sukar ditemukan keduanya di dunia ini.

   Dan orangnya memang tak lain adalah Lui Ceng-thian, si jago tangguh yang malang melintang dalam dunia persilatan selama ini tanpa berhasil ditemukan tandingannya.

   Dalam hatinya penuh diliputi keyakinan serta percaya pada diri sendiri, dan tampaknya ia sudah mempunyai keyakinan serta persiapan yang cukup masak untuk menghadapi pertempuran kali ini.

   ooooOOOOoooo Bab 10.

   Pedang Si A-kit Sinar matahari senja memancar merah bagaikan darah, tapi darah belum sampai mengalir ke luar.

   Pedang A-kit masih berada dalam genggamannya.

   Meskipun senjata tersebut bukan sebilah pedang sungguhan, sekalipun hanya sebatang ranting kering yang terjatuh dari atas dahan, tapi setelah berada di tangannya segera berubah menjadi sebuah senjata pembunuh yang tak terkirakan dahsyatnya.

   Ketika ilmu sakti 'serentengan mercon' dari Lui Ceng-thian baru saja dikerahkan, ketika seluruh tubuhnya sedang dipenuhi oleh daya penghancur serta rasa percaya pada diri sendiri, pedang Akit telah menusuk ke depan, persis menutul di atas persendian tulang yang baru saja mengeluarkan bunyi gemeretukan itu.

   Serangan itu dilakukan sangat enteng dan sedikit mengambang, bahkan ranting kering itupun ikut bergetar mengikuti bunyi gemerutukan persendian tulang itu.

   Mula pertama ranting itu berada di atas jari manis tangan kirinya, kemudian melompat naik ke atas pergelangan tangan, lalu melompat lagi ke atas sikut kiri, bahu, punggung.....

   Begitu ilmu sakti 'serentengan mercon' dikerahkan, ibaratnya guntur yang membelah bumi, untuk sesaat tak mungkin bisa dihentikan di tengah jalan.........

   Sekujur tubuh Thi-hou ibaratnya sudah tertempel pada ranting kering tersebut, bergerak sedikitpun tak bisa.

   Ketika ranting kayu itu melompat naik ke atas bahu kirinya, wajah orang itu telah berubah menjadi pusat pasi seperti mayat, peluh dingin sebesar kacang mengucur keluar bagaikan hujan gerimis.

   Menanti setiap persendian tulang di sekujur tubuhnya telah berbunyi dan pada akhirnya berhenti pada jari kelingking pada tangan kanannya, ranting kayu itu tiba-tiba berubah menjadi bubuk dan membuyar terhembus angin dingin.

   Tubuhnya masih juga berdiri tak bergerak di tempat semula, peluh dingin yang membasahi wajahnya tiba-tiba saja menjadi kering dan merekah, bola matanya penuh dengan jalur-jalur merah darah.

   Lama sekali ia menatap wajah A-kit, akhirnya meluncur juga sepatah kata.

   Suaranya ketika itu ikut berubah menjadi berat, rendah dan parau.

   Sepatah demi sepatah kata ia bertanya.

   "Ilmu pedang apakah itu?"

   "Itulah ilmu pedang yang khusus dipergunakan untuk memecahkan ilmu 'serentengan mercon'!"

   "Bagus, bagus......."

   Ketika kata 'bagus' yang kedua kalinya terlontar keluar dari mulutnya, mendadak tubuhnya yang lebih kuat dari sebuah patung Lo-han baja itu mulai lemas, mulai ambruk dan roboh ke tanah.......

   Tubuhnya yang kuat dan keras bagaikan baja, kini telah berubah menjadi lemas dan sama sekali tak berguna lagi.

   Bubuk ranting masih terbang menyebar mengikuti hembusan angin, tapi tubuhnya telah berhenti bergerak untuk selamanya.

   Sinar matahari sore telah pudar.

   Pelan-pelan A-kit membuka telapak tangannya, sepotong ranting kering yang masih berada dalam genggamannya segera berubah menjadi bubuk dan ikut tersebar mengikuti hembusan angin.

   Itulah suatu kekuatan yang amat menakutkan, bukan saja ranting kering itu telah tergetar hancur menjadi bubuk, tangannya ikut tergetar pula sehingga terasa kaku.

   Akan tetapi ia sendiri sama sekali tidak mempergunakan tenaganya walau hanya sedikit jua.

   Semua kekuatan terpancar keluar dari setiap persendian yang meletup-letup di sekujur badan Thihou, dan dia tak lebih hanya menggunakan tenaga yang ada untuk meminjam tenaga belaka, dengan mempergunakan getaran serta kekuatan yang terpancar ke luar dari tulang persendian Thi-hou.

   Yang pertama dia menghancurkan tulang persendian, kedua yang berada di atas seluruh tubuhnya pula.

   Sekarang seluruh tulang persendian di sekujur tubuh Thi-hou telah terpukul hancur......

   terpukul hancur oleh kekuatannya sendiri.

   Seandainya A-kit pun mengerahkan tenaganya, maka kemungkinan besar kekuatan tersebut akan berbalik mengalir ke dalam ranting, menyusup lengan dan menghantam isi perutnya.

   Itulah yang dikatakan bila dua orang jago lihay sedang bertarung, mereka bukan bertarung dengan kekuatan.

   Thi-hou sendiri memahami pelajaran tersebut, sayang ia menilai terlalu rendah musuhnya yang bernama A-kit ini.

   ......Kau telah berubah, kau sudah bukan seorang jago pedang yang tiada tandingannya lagi di dunia ini, kau pasti akan menderita kalah dalam pertarungan ini.

   Sombong, tinggi hati, pada hakekatnya persis seperti arak, bukan saja dapat salah dalam penilaian, dapat pula membuat orang menjadi mabuk.

   A-kit telah minum arak, iapun telah memberikan pula sepoci kepadanya.......'sepoci kesombongan'.

   A-kit tidak mabuk, tapi ia telah mabuk.

   ......Yang dipertarungkan oleh jago-jago lihay bukan cuma kekuatan dan kepandaian silat, merekapun harus beradu kecerdasan.

   Bagaimanapun juga, memang selalu lebih baik daripada kalah, untuk mendapatkan kemenangan.

   Orang memang musti berusaha serta memperjuangkannya dengan cara apapun.

   Ketika angin berhembus lewat, A-kit masih juga berdiri termangu di tempat semula, saat itulah ia menemukan bahwa si bisu suami isteri masih berdiri di luar rumah mereka sambil memandang ke arahnya.

   Sorot mata si bisu memancarkan suatu perubahan mimik wajah yang aneh, sedangkan istrinya tertawa dingin tiada hentinya.

   "Heeeehhhh.....

   heeeehhh....

   heehhhhhh....

   sekarang kami baru tahu manusia macam apakah kau sebenarnya", demikian ia berseru.

   A-kit tidak menjawab, sebab diapun sedang bertanya pada diri sendiri.

   "Manusia macam apakah sebenarnya aku ini?"

   Jawab bininya si bisu.

   "Sesungguhnya kau tak boleh minum arak, tapi kau memaksa untuk minumnya, hal ini disebabkan kau tahu bahwa Thi-hou pasti akan datang, kaupun ingin membunuh kami, tapi tidak juga melakukannya, ini disebabkan karena kau tahu bahwa hakekatnya kami tak akan berhasil kabur, kalau tidak mengapa kau biarkan Thi-hou membunuh Han-toa-nay-nay?"

   Nada suaranya selalu lebih tajam daripada sebuah gurdi, terusnya lebih jauh.

   "Kau sengaja berbuat demikian karena kau berharap Thi-hou menganggapmu telah berubah, sengaja membuat ia tak pandang sebelah mata kepadamu, dan kini setelah kau membunuhnya, kenapa masih belum juga datang ke mari untuk membunuh kami suami isteri berdua? Apakah kau tidak tahu kalau sampai kami membocorkan rahasiamu kepada orang lain?"

   Pelan-pelan A-kit berjalan maju ke depan. Dengan penuh kemurkaan bininya si bisu telah membanting uang perak itu keras-keras ke tanah, lalu teriaknya lebih jauh.

   "Dari dalam periuk nasi tak akan muncul uang sendiri, kamipun tidak menginginkan uang perakmu, kalau toh kau anggap sudah tidak berhutang lagi kepada kami, kamipun tidak merasa berhutang lagi kepadamu........."

   A-kit mengulurkan tangannya pelan-pelan ke depan.

   Tapi bukan uang perak di atas tanah yang diambil, diapun tidak membunuh mereka, ia tak lebih hanya menggenggam tangan si bisu.

   Si bisupun menggenggam tangannya.

   Ke dua orang itu sama-sama tidak bersuara, seakan-akan di dunia ini banyak terdapat persoalan dan perasaan yang sesungguhnya tak dapat diutarakan dengan perkataan.

   Persoalan di antara kaum pria, sesungguhnya terdapat pula banyak hal yang tidak akan dipahami oleh kaum perempuan.

   Sekalipun seorang perempuan sudah banyak tahun hidup berdampingan dengan seorang pria, walaupun mereka sudah hidup senang bersama menderita bersama selama banyak waktu, belum berarti ia dapat memahami seluruh jalan pikiran serta perasaan dari lelaki tersebut.

   .......Pria sendiri belum tentu juga benar-benar bisa memahami jalan pemikiran serta perasaan dari kaum perempuan.

   Akhirnya A-kit berkata.

   "Meskipun kau tak pandai berbicara, tapi apa yang ingin kau katakan di dalam hati telah kupahami semua!"

   Si bisu manggut-manggutkan kepalanya, air mata tampak mengembang dalam kelopak matanya, kemudian meleleh keluar........

   "Aku percaya kau tak akan membocorkan rahasiaku, aku amat mempercayai dirimu!", kembali Akit berkata. Sekali lagi digenggamnya tangan si bisu kencang-kencang, kemudian tanpa berpaling lagi ia pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak tega untuk berpaling, sebab diapun tahu sepasang suami-isteri yang sederhana itu mungkin tak akan merasakan lagi penghidupan meski sengsara tapi amat tenang dan penuh kedamaian itu. Tanpa terasa ia mulai berpikir kepada diri sendiri. .......Sesungguhnya manusia macam apakah aku ini? Kenapa selalu mendatangkan banyak kesulitan serta kesengsaraan bagi orang lain? .......Perbuatanku ini sebenarnya betul atau salah? Ketika ia telah pergi jauh, air mata dalam kelopak mata si bisu benar-benar tak dapat di bendung lagi, bagaikan hujan deras melelehlah air mata itu dengan derasnya. Bininya masih juga mengomel.

   "Hanya kesulitan yang ia berikan untuk kita berdua, kenapa kau masih bersikap demikian kepadanya?"

   Dalam hati kecilnya si bisu menjerit.

   ".....Karena ia tidak memandang hina diriku, karena ia menganggap aku sebagai sahabatnya, kecuali dia belum pernah ada orang yang benar-benar menganggapku sebagai seorang sahabatnya"

   Untuk pertama kalinya perempuan itu tidak berhasil memahami jeritan di dalam hati suaminya, karena ia tak pernah dapat memahami arti kata dari suatu 'persahabatan', iapun tak tahu berapa beratkah bobot dari persahabatan dalam hati seorang pria.

   Seorang pria yang benar-benar sejati, seorang lelaki jantan yang gagah perkasa.

   Mayat Thi-hou diangkut pulang dengan mempergunakan selembar pintu kayu, kini mayat tersebut membujur di dalam gardu segi empat dalam kebun bunga......

   Senja telah menjelang tiba, cahaya lentera mulai dipasang orang di sekitar gardu itu.

   Sambil bergendong tangan dengan tenangnya Tiok Yap-cing mengawasi mayat yang berbaring di atas pintu kayu itu, wajahnya amat hambar sedikitpun tanpa emosi.

   Seakan-akan ia sudah tidak merasa kaget atau tercengang lagi dalam menghadapi kejadian seperti ini.

   Menanti Toa-tauke muncul secara tergesa-gesa, rasa sedih dan murung baru muncul dan menghiasi wajahnya.

   Toa-tauke telah melompat masuk, ketika menyaksikan jenazah dari Thi-hou membujur dalam gardu tersebut, ia melompat sambil berteriak penuh kemarahan.

   "Apakah lagi-lagi hasil perbuatan dari A-kit?"

   Tiok Yap-cing menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan sedih.

   "Tak pernah kusangka klau secepat ini ia dapat menemukan A-kit, lebih-lebih tak pernah kusangka kalau ia bakal mati dalam keadaan yang begini mengenaskan!"

   Toa-tauke tidak berhasil menemukan luka di tubuhnya, maka kembali Tiok Yap-cing memberi penjelasan.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sebelum menemui ajalnya seluruh tulang persendian dalam tubuhnya telah kena dihajar sampai hancur lebur"

   "Dihancurkan oleh benda apa?"

   "Aku tidak berhasil menebaknya!"

   Kembali Tiok Yap-cing termenung sebentar, kemudian ujarnya lebih lanjut.

   "Aku hanya dapat mengetahui bahwa A-kit tidak mempergunakan golok atau pedang, iapun tidak mempergunakan benda keras!"

   "Dari dasar apakah kau dapat berkata demikian?", Toa-tauke segera bertanya dengan perasaan ingin tahu.

   "Di atas pakaian yang digunakan Thi-hou, sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda bekas kena di pukul benda besi, pun tidak dijumpai pakaian yang robek, sebaliknya malah tertinggal bekas-bekas hancuran kayu"

   Sepasang mata Toa-tauke terbelalak lebar-lebar.

   "Masakah benda yang dipergunakan A-kit tidak lebih hanya sebuah tongkat kayu?", teriaknya.

   "Ya, kemungkinan sekali memang demikian!"

   "Tahukah kau kepandaian apakah yang telah dilatih oleh Thi-hou?"

   "Agaknya ilmu Kim-ciong-cang, atau Thi-bu-san dan sebangsanya, jelas semua kepandaian yang dilatihnya adalah sejenis kepandaian yang termasuk kepandaian Gwa-kang!"

   "Pernahkah kau menyaksikan sendiri kepandaian yang dimilikinya itu.....?"

   "Tidak!"

   "Aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, justru lantaran kepandaian yang dimilikinya terlampau tangguh maka aku tak pernah menanyakan asal-usulnya lagi setelah menerima dia sebagai anak buahku, kemudian baru diketahui bahwa dia bukan lain adalah Imtiong- kim-kong (Manusia raksasa dari Im-tiong) Huo Lo-sam yang sudah termashur namanya selama banyak tahun di wilayah Liau-pak!"

   "Aku pernah mendengar persoalan ini dari Toa-tauke!", Tiok Yap-cing segera menerangkan.

   "Meskipun ia pernah dipaksa dan dikejar oleh Lui Ceng-thian sehingga tak mampu untuk kabur lagi, tapi aku yakin kalau kepandaian silat yang dimilikinya sama sekali tidak selisih banyak jika dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki oleh orang she Lui tersebut, diapun tak selisih banyak pula dengan Giok Pah-ong (Raja bengis pualam) tersebut!"

   Tiok Yap-cing tidak berani membantah. Tak ada orang yang berani mencurigai ketajaman mata Toa-tauke, sebab semua persoalan yang sudah melewati pertimbangan dari Toa-tauke tak mungkin bakal salah lagi.

   "Tapi ternyata kau mengatakan bahwa A-kit yang tak berguna, hanya mengandalkan sebuah tongkat kayu telah berhasil meremukkan seluruh tulang persendian di tubuhnya?", seru Toa-tauke lebih lanjut. Tiok Yap-cing tak berani buka suara. Toa-tauke menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang, kembali ia bertanya.

   "Kau jumpai mayatnya di mana?"

   "Di gedung kediaman Han toa-nay-nay!"

   "Tempat itu bukan sebuah kuburan, tentunya ada beberapa orang yang menyaksikan mereka bertarung bukan?"

   "Tempat di mana pertarungan itu berlangsung adalah sebuah halaman kecil di belakang dapur yang merupakan sebuah tempat berisi kayu bakar serta tumpukan sampah. Nona-nona sekalian jarang sekali berkunjung ke situ, maka kecuali A-kit dan Thi-hou sendiri, hanya tiga orang yang ikut hadir di sana pada waktu itu"

   "Siapakah ke tiga orang itu?"

   "Han toa-nay-nay serta sepasang suami isteri si bisu yang bekerja sebagai koki di dapur!"

   "Sekarang apakah kau telah membawa mereka datang kemari?"

   "Belum!"

   "Kenapa?", tanya Toa-tauke dengan marah.

   "Karena mereka telah dibunuh oleh A-kit untuk menghilangkan saksi hidup!"

   Semua otot-otot hijau di atas jidat Toa-tauke pada menonjol keluar semua, sambil gigit bibir menahan emosi, ia berseru.

   "Baik, baik, begitu banyak orang yang ku pelihara, sudah banyak tahun ku pelihara kalian semua, tapi kalian betul-betul bodoh seperti gentong nasi, masa untuk menghadapi seorang bocah keparat pemikul tinjapun tak becus!"

   Tiba-tiba ia melompat sambil meraung lagi keras-keras.

   "Mengapa kalian masih belum juga menyingsingkan lengan bajumu dan berangkat?"

   Menanti hawa amarahnya sudah agak reda, Tiok Yap-cing baru berbisik dengan suara rendah.

   "Karena kami masih harus menunggu beberapa orang lagi!"

   "Siapa yang akan kita tunggu?"

   Tiok Yap-cing berbisik dengan suara yang lebih rendah lagi.

   "Menunggu beberapa orang yang bisa kita pakai untuk menghadapi manusia yang bernama A-kit!"

   Segera mencorong ke luar sinar tajam dari balik mata Toa-tauke, diapun merendahkan suaranya sambil berbisik.

   "Apakah kau merasa yakin pasti berhasil?"

   "Ya, aku yakin!"

   "Bagaimana kalau kau sebutkan dahulu sebuah nama dulu di antaranya.....?"

   Tiok Yap-cing membungkukkan badan dan membisikkan sesuatu di sisi telinganya. Semakin tajam sinar mata yang memancar ke luar dari balik mata Toa-tauke. Dari balik bajunya Tiok Yap-cing mengambil ke luar segulung kertas, lalu ujarnya lagi.

   "Inilah daftar nama yang ia berikan untukku, dia akan bertanggung jawab untuk membawa datang semua orang tersebut"

   Setelah menerima gulungan kertas tersebut, Toa-tauke segera bertanya lagi.

   "Sampai kapan mereka baru akan tiba di sini?"

   "Paling lambat besok sore!"

   Toa-tauke segera menghembuskan napas panjang.

   "Aaaaiii......baiklah atur semua persiapan bagiku, besok sore akan kutemui A-kit!"

   "Baik!"

   Kembali Toa-tauke menepuk-nepuk bahunya lalu berkata lagi.

   "Aku hanya tahu dalam persoalan apapun kau pasti dapat aturkan segala sesuatunya bagiku"

   Sekulum senyuman kembali menghiasi ujung bibirnya, ia berkata lebih jauh.

   "Malam ini kau boleh beristirahat dengan nyenyak, besok pagipun boleh bangun rada lambat, perempuan itu.........."

   Ia tidak melanjutkan kembali kata-katanya. Tiok Yap-cing segera membungkukkan badannya memberi hormat, katanya sambil tertawa paksa.

   "Aku tahu, aku pasti tak akan menyia-nyiakan maksud baik Toa-tauke terhadap diriku!"

   Toa-tauke tertawa terbahak-bahak.

   "Haaaahhhh.......... haaaahhhhhh...... haaahhhhhh....... bagus, bagus sekali!"

   Jenazah Thi-hou masih membujur di sana, tapi ia tidak memandang barang sekejappun.

   Toa-tauke belum pergi lama, Thi-jiu (si tangan baja) A-yong telah memburu datang, ia berlutut di hadapan jenazah Thi-hou dan menangis tersedu-sedu.

   Menyaksikan keadaan tersebut, Tiok Yap-cing segera mengernyitkan alis matanya, lalu menegur.

   "Air mata seorang lelaki sejati tak akan mengucur keluar secara sembarangan, manusia yang telah mati tak akan hidup kembali, apalagi yang kau tangisi?"

   "Aku bukan menangis baginya, aku menangisi diriku sendiri", sahut A-yong sedih. Lalu sambil menggigit bibir dan mengepal sepasang tinjunya, ia berkata lebih jauh.

   "Karena pada akhirnya aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimanakah nasib dari orang-orang yang bekerja baginya!"

   "Sikap Toa-tauke terhadap orang toh terhitung baik sekali.....", kata Tiok Yap-cing.

   "Tapi sekarang setelah Thi-hou mati, paling tidak Toa-tauke harus aturkan penguburannya dengan sepantasnya......."

   "Toa-tauke tahu bahwa aku bisa mengaturkan segala sesuatunya itu baginya", tukas Tiok Yapcing dengan cepat.

   "Kau? Thi-hou mampus lantaran urusan Toa-tauke ataukah karena urusanmu?"

   Dengan cepat Tiok Yap-cing menutup bibirnya, tapi dua puluhan orang laki-laki kekar yang berdiri dalam gardu persegi enam telah berubah wajah sesudah mendengar perkataan itu.

   Siapapun tahu betapa setianya Thi-hou terhadap Toa-tauke, siapapun tak ingin mempunyai nasib seperti apa yang dialaminya sekarang.........

   Kembali Tiok Yap-cing menghela napas panjang, katanya.

   "Aku tak mau tahu Thi-hou mati karena siapa, aku hanya tahu jika sekarang Toa-tauke suruh aku mati, aku akan segera berangkat untuk mati!"

   Malam telah menjelang tiba.

   Tiok Yap-cing menembusi jalan kecil di belakang gardu persegi enam, berjalan ke luar dari pintu sudut dan masuk ke sebuah lorong sempit di luar dinding pekarangan.

   Setelah menembusi tikungan lorong sempit tadi, muncullah sebuah pintu kecil.

   Ia mengetuk pintu itu tiga kali, lalu mengetuk lagi dua kali, pintupun segera terbuka, itulah sebuah halaman kecil yang redup, gelap dan sama sekali tak bercahaya.

   Seorang kakek bungkuk menutup pintu itu, lalu diberi palang kayu di belakangnya.

   "Mana orangnya?", tegur Tiok Yap-cing dengan suara dalam. Kakek bungkuk itu tidak menjawab, dia hanya menggeserkan sebuah gentong air dari sudut ruangan, lalu memindahkan sebuah ubin batu dari permukaan lantai. Gentong air maupun ubin batu itu bukan benda yang enteng, tapi sewaktu memindahkannya ternyata ia seperti tidak ngotot, seakan-akan sama sekali tidak mempergunakan tenaga. Sebercak sinar lirih memancar keluar dari bawah ubin, dan menyinari undak-undakan batu. Sambil bergendong tangan pelan-pelan Tiok Yap-cing menuruni undak-undakan batu itu. Ruangan bawah tanah itu lembab dan gelap, di sudut ruangan duduk dua orang, ternyata mereka adalah si bisu dengan bininya. Tentu saja mereka belum mampus, A-kit sama sekali tak melenyapkan jiwa mereka, tapi siapapun tidak tahu mengapa mereka bisa sampai di situ. Bahkan mereka sendiripun tidak tahu. Mereka cuma teringat batok kepalanya dipukul orang secara tiba-tiba, ketika sadar kembali tahutahu mereka sudah berada di sini. Hawa amarah masih menghiasi raut wajah si bisu, sebab begitu ia sadar kembali dari pingsannya, sang bini lantas mulai menggerutu tiada hentinya.

   "Aku tahu hanya kesulitan dan kesialan yang ia berikan untuk kita berdua, aku sudah tahu kalau kali ini........"

   Perkataan itu tidak berkelanjutan karena ia telah menyaksikan seseorang menuruni anak tangga batu, meskipun sekulum senyuman masih menghiasi ujung bibirnya, tapi di bawah sinar lampu yang redup, tampaklah betapa misteriusnya orang itu.

   Tak tahan lagi ia bergidik dan merinding, dipegangnya lengan suaminya yang besar dan kasar itu erat-erat.

   Tiok Yap-cing tersenyum sambil memandang ke arah mereka berdua, ujarnya dengan lembut.

   "Kalian tak usah takut, aku bukan datang untuk mencelakai kalian, aku tidak lebih hanya ingin mengajukan beberapa buah pertanyaan kepada kamu berdua"

   Dari sakunya dia mengeluarkan setumpuk daun emas dan dua keping uang perak putih, sambil disodorkan ke muka ia berkata.

   "Asal kalian bersedia menjawab dengan sejujurnya, semua emas dan perak ini akan menjadi milik kalian, uang tersebut sudah lebih dari cukup bagi kalian sebagai modal untuk membuka sebuah warung makan kecil"

   Si Bisu menggigit bibirnya kencang-kencang, sementara isterinya menunjukkan sinar mata yang rakus, selama hidupnya belum pernah ia menjumpai uang emas sebanyak itu.

   Perempuan manakah yang tidak suka uang emas? Senyuman yang menghiasi bibir Tiok Yap-cing lebih lembut dan hangat.

   Ia paling suka menyaksikan orang lain menunjukkan titik kelemahan di hadapan mukanya, diapun telah melihat bahwa cara yang ia pergunakan pasti akan mendatangkan hasil seperti apa yang ia harapkan.

   Maka ia segera bertanya.

   "Sebelum mereka langsungkan pertarungan, pernahkah kedua orang itu terlihat dalam suatu pembicaraan sengit?"

   "Ya, pernah!"

   "Benarkah nama asli dari Thi-hou adalah Lui Ceng-thian? Hong-im-lui-hou (Harimau guntur angin dan mega) Lui Ceng-thian?"

   "Agaknya betul!", jawab bininya si bisu.

   "aku seperti mendengar ia mengakuinya sendiri, tidak banyak orang dalam dunia persilatan yang bisa mengalahkan Lui Ceng-thian!"

   Tiok Yap-cing tersenyum. Sekalipun dalam soal ini Thi-hou berhasil membohongi Toa-tauke, tapi tak akan mampu untuk membohonginya, tak pernah ada orang yang mampu membohonginya. Maka ia kembali bertanya.

   "Apakah A-kit telah menyebutkan namanya sendiri?"

   "Tidak!", kembali bininya si bisu menjawab.

   "tapi aku lihat Thi-hou sepertinya telah mengetahui siapa gerangan dirinya......."

   Selama ini si bisu hanya melotot ke arahnya, hawa amarah memenuhi sorot matanya, tiba-tiba telapak tangannya melayang dan........."Plok!", sebuah tamparan bersarang telak di atas wajahnya membuat perempuan itu hampir saja terangkat ke udara.

   


Pendekar Baja -- Gu Long Pendekar Baja -- Gu Long Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung

Cari Blog Ini