Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 12


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 12



Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya dari Khu Lung

   

   Tapi ketika itu si nona berbaju biru sedang memandang awan seperti lagi memikirkan sesuatu, alisnya bekernyit, perasaan tak tenang tampak me-nyelimuti wajahnya, Kakek berambut putih itu berpaling kembali, lalu menjawab.

   "Jago yang tak bernama lebih baik tak usah kukatakan."

   Lamkiong Hian terbahak-bahak, setelah mendengus, ucapnya.

   "Silahkan turun tangan, selewatnya tiga ka-li serangan, kau bakal menyesal!"

   "Ai!"

   Tiba-tiba terdengar helaan napas ber-kumandang dan mulut si nona baju biru. Mendengar helaan napas itu, entah mengapa semua jago juga ikut menghela napas, seolah-olah terpengaruh oleh helaan napas si nona. Dengan suara lirih nona itu berkata.

   "Di dae-rah Tionggoan lwekang Lamkiong Hian terhitung paling tinggi!"

   Tidak puas Ji-sia atas perkataan tersebut, se-runya lantang.

   "Apa nona tidak merasa ucapanmu agak berlebihan? *** ( )*** Memangnya orang Tionggoan tak ada yang kau pandang lagi kecuali dia seorang?"

   Si nona baju biru tertawa.

   "Tenaga dalammu memang hebat, sayang kecerdasanmu masih ketinggal-an jauh, antara yang busuk dan yang baik saja belum becus membedakannya!"

   "Bagaimana dengan diriku?"

   Tiba-tiba Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menyela, tampaknya dia tidak puas dengan pujian terhadap Lamkiong Hian tadi. Nona berbaju biru itu mendengus.

   "Kecerdas-an cukup, cuma sayang kurang mantap!"

   Oh Kay-thian menghela napas.

   "Ai, nona sungguh membuatku kagum, setiap patah katamu me-ngandung arti yang dalam "

   Sementara itu Su-toa-tocu telah bangkit ber-diri, tentu saja mereka pun ingin mengetahui ba-gaimana penilaian si nona baju biru terhadap me-reka, cuma malu untuk mengutarakannya.

   Nona berbaju biru itu bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menduga isi hati keempat Tocu ini, maka jawabnya.

   "Keberanian ada, cuma tidak pakai otak, hakikatnya cuma empat jagal belaka!"

   "Siapa jagal?"

   Bentak Tiang-mo-tocu Siu-tok-hong (angin bambu kurus) Ki Kiu-jin, berbareng ia menubruk ke arah si nona baju biru.

   "Kembali kau!"

   Mendadak Lamkiong Hian membentak, sekali tangannya dikebaskan, segulung tenaga pukulan maha dahsyat memaksanya men-celat balik ke tempat semula.

   Terkejut Siu-tok-hong Ki Kiu-jin, seketika ia tak dapat bicara apa-apa.

   Sementara itu, air muka si kakek berambut putih tampak prihatin, tongkat seberat ribuan kati itu pelahan *** ( )*** diangkat, bisa dibayangkan kekuatan yang terkandung di balik serangan tersebut tentu luar biasa sekali.

   Mendadak Lamkiong Hian memejamkan mat-anya, ia tersenyum dan berdiri tak bergerak.

   "Ayah, hati-hati!"

   Teriak Lamkiong Giok.

   "Jangan kuatir,"

   Kata Ji-sia cepat.

   "bilamana perlu aku akan menolongnya!"

   "Tuk", pada waktu itulah tongkat baja si ke-kek berambut putih itu menyapu ke bawah, debu pasir beterbangan, bayangan tongkat menghantam tubuh Lamkiong Hian. Suasana menjadi gempar, semuanya mengucurkan keringat dingin lantaran menguatirkan keselamat-an Kiam-hong-cengcu.

   "Blang!"

   Dengan suara benturan keras tongkat maut beribu kati itu bersarang telak di atas bahu kiri Lamkiong Hian.

   Dengan cepat si kakek melompat mundur, se-dang air muka Lamkiong Hian berubah pucat dan muntah darah, tubuhnya meski bergontai, tapi kaki-nya masih terpantek di tempat tanpa bergeser.

   Betapa cemas Lamkiong Giok menyaksikan adegan tersebut, suasana tegang membuat dia lupa akan rasa sakit tubuh sendiri, dengan agak gemetar dia berseru pula.

   "Ayah, kenapa engkau tidak me-lancarkan serangan balasan?"

   Sambil tertawa dingin Oh Kay-thian menyela.

   "Siapa suruh dia mencari penyakit sendiri? Kalau sudah begini, jangan salahkan orang lain lagi."

   Lamkiong Giok naik pitam, sambil tertawa seram tantangnya.

   "Oh Kay-thian, berani tidak ber-duel denganku?"

   "O, tidak berani, tidak berani,"

   Jawab Oh Kay-thian sambil tersenyum.

   "lebih baik simpan tenaga-mu antuk membereskan jenazah bapakmu!" *** ( )*** Ji-sia yang menyaksikan semua itu, ia merasa tak enak, tiba-tiba ia membentak marah.

   "Oh Kay-thian, manusia licik berhati busuk macam kau pan-tas dicincang."

   Baru saja ia bicara, di tengah arena kembali terjadi perubahan.

   Dengan menggunakan jurus Kian-kun-to-coan (memutar balik jagat), tongkat si kakek kembali mengemplang ke bawah.

   Serangan sekali ini disertai tenaga lunak, tam-paknya lamban, padahal sangat kuat.

   Tiba-tiba si nona berbaju biru menghela napas, ucapnya.

   "Suheng, kekerasan tanpa perhitungan, lagi-lagi jurus serangan yang tak berguna!"

   "Aku tidak paham maksud Siocia!"

   Tanya Pek Sat dengan wajah dingin.

   "Sebentar akan tahu dengan sendirinya!"

   Singkat perkataannya, tapi sudah melukiskan intisari apa yang terjadi itu.

   Sementara itu embusan angin puyuh telah me-landa sekeliling panggung Kim-leng-tay, pasir dan batu kerikil beterbangan membuat suasana di seki-tar situ mengerikan sekali.

   Darah kental kembali bercucuran membasahi ujung bibir Lamkiong Hian, sekujur tubuhnya mu-lai gemetar keras, tampaknya ia sangat kepayahan, tapi sambil menggigit bibir dia bertahan sekuat te-naga.

   Sebaliknya keadaan kakek itupun mengalami perubahan, rambutnya yang beruban sama berdiri bagaikan kawat, peluh bercucuran membasahi ji-datnya, gerak tongkat tidak seenteng tadi lagi.

   Seperti orang kalap Lamkiong Giok hendak menerjang ke sana, tapi Bok Ji-sia segera menahan bahunya, mereka *** ( )*** memandang ke arah si kakek be-rambut uban itu dengan terbelalak.

   "Serangan ketiga sudah akan dilancarkan, ke-napa kalian berdua tidak segera mundur?"

   Bentak kakek itu. Orang-orang yang di sekeliling tempat itu sama tergetar keras oleh tenaga serangan yang dahsyat tadi, hingga mereka menyingkir jauh. Dengan lantang jawab Ji-sia.

   "Serangan yang terakhir ini biar aku saja yang menerimanya!"

   Ucapan ini segera disambut helaana napas dan geleng kepala para jago di sekeliling sana, keberani-an pemuda ini telah merebut simpati orang, tapi mereka pun menyayangkan kesembronoan anak muda itu. Tiba-tiba Lamkiong Hian tertawa, lalu berseru.

   "Hei, siapa yang suruh kau gantikan diriku?"

   Ji-sia tertegun, dengan mendongkol ia putar ba-dan dan berlalu dari situ.

   "Saudara Bok, jangan marah dulu, buru-buru Lamkiong Giok menghiburnya.

   "watak ayah sela-manya memang begitu."

   Dalam pada itu, si kakek berambut putih itu sudah mengangkat tongkatnya, agaknya serangan ke-tiga segera akan dilancarkan.

   Rasa gembira yang berkobar dalam hati Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian waktu itu sukar di-lukiskan, ia pikir bila Lamkiong Hian disingkirkan maka seorang musuh bebuyutan juga ikut terbasmi.

   Maka ia lantas tertawa terbahak-bahak.

   "Haha.ha, masih ada sekali pukulan lagi, wahai Lam-kiong loji, sanggup tidak kau tahan serangan ketiga?" *** ( )*** "Ai!"

   Tiba-tiba si nona baju biru menghela napas.

   "Suheng, berhenti saja! Sekalipun kau serang dia seratus kali lagi juga jangan harap bisa meng-ganggu seujung rambutnya!"

   Ucapan tersebut disambut kawanan jago de-ngan gempar, serentak mereka mengalihkan sorot matanya ke wajah nona baju biru itu dengan ke-heranan.

   Mendadak Hoa Hong-hui melompat maju, sambil mendorong sastrawan yang berada di sam-ping sadis berbaju biru itu, dia berseru.

   "Siocia, apakah kau lihat sesuatu yang tak beres?"

   Nona berbaju biru itu tak menggubrisnya, malah sambil menarik lengan kiri si sastrawan, pelahan mereka masuk ke arena.

   Pek Bi dan Pek Sat serentak mengikut di be-lakang nonanya.

   Tinggal Hoa Hong-hui berdiri seorang diri sambil memandang bayangan punggung si nona de-ngan termangu.

   Dalam pada itu, keempat Tocu dari empat pulau besar telah bangkit berdiri, sorot mata me-reka sama-sama tertuju kepada si nona baju biru yang sedang berjalan ke tengah arena.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kuatir kesem-patan baik itu tersia-siakan, buru-buru sarunya.

   "Ti-ga pukulan belum lewat, menang kalah belum di-ketahui, harap nona kembali ke tempat semula!"

   "Kau lagi memberi petunjuk padaku atau memerintah?"

   Tanya si nona dengan ketus. Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian terkesiap, buru-buru serunya.

   "O, tidak berani, lantaran sudah ada persetujuan antara kita, aku tak ingin terjadi se-suatu bentrokan!" *** ( )*** "Kalau ada kepentingan bersama kita bergabung, bila berbeda pendapat lebih baik berpisah. Oh Kay-thian! Kerja sama kita putus sampai di sini!"

   "Nona, kau."

   Oh Kay-thian jadi tertegun dan gelagapan.

   "Baiklah, kalau kau ingin membatal-kan kerja sama, aku juga tak bisa berbuat apa-apa."

   Sementara itu si kakek telah menurunkan kem-bali senjatanya ketika melihat kedatangan Sumoay-nya, dengan sikap hormat dia menyingkir ke sam-ping untuk menunggu perintah. Walau begitu, ia tetap curiga, ujarnya kemu-dian.

   "Siocia, aku tak percaya tongkatku tak mam-pu membinasakan dia!"

   "Bila Suheng tak percaya, lanjutkan saja se-ranganmu!"

   Lamkiong Hian sendiri tidak bicara apa-apa, ia berdiri membungkam di situ seolah-olah sudah siap menerima pukulan yang terakhir.

   Lamkiong Giok dan Bok Ji-sia masih berdiri di tengah arena, saking tegangnya Lamkiong Giok menggenggam lengan rekannya kencang-kencang, peluh di-ngin membasahi sekujur tubuhnya.

   "Oh Kay-thian,"

   Tiba-tiba si baju biru itu ber-kata.

   "menurut pendapatmu, sanggupkah serangan tongkat yang terakhir ini membinasakan Lamkiong Hian?"

   "Seratus persen pasti mampus!"

   Jawab Oh Kay-thian tanpa pikir.

   Dengan ucapan itu dia seakan-akan telah menvonis nasib Lamkiong Hian.

   Sementara itu para jago dapat melihat rasa sedih yang menghiasi wajah Lamkiong Hian yang berdiri tegak di kejauhan.

   *** ( )*** Dengan nada dingin, si nona baju biru men-jawab.

   "Tapi kubilang dia tetap sehat tanpa cedera apapun, bahkan segar. Nah, Oh Kay-thian, berani bertaruh dengan nonamu?" "Hahaha, kenapa tidak berani? Katakan dulu apa taruhannya!"

   "Asal Lamkiong Hian tidak mampus, nona minta ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian itu . sebaliknya jika kau menang, nona akan menyerahkan hak atas kitab pusaka Hek-liong-kang, dengan be-gitu kita sama-sama tak rugi."

   "Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata ini!"

   Keempat Tocu dari empat pulau besar bergelak tertawa, kata Cian-ciau-tocu, si Singa baja bercam-bang In Ceng-bu dengan lantang.

   "Su-toa-tocu ber-sedia menjadi saksi!"

   Noba berbaju biru itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya.

   "Suheng, silakan turun tangan!"

   Kakek itu segera menekuk lutut sedikit untuk merendahkan badan, kemudian tongkat diayunkan, segulung angin tajam segera menyambar.

   Sedemikian dahsyatnya serangan tongkat itu sehingga semua jago terkesiap, mereka sama berdiri termangu dengan mata terbelalak dan mulut me-longo.

   Tubuh Lamkiong Hian yang tinggi besar itu pelahan roboh terkulai, sebuah lubang besar mun-cul di atas tanah.

   "Ayah, ayah"

   Teriak Lamkiong Giok.

   Sambil mendekap tubuh Lamkiong Hian, pe-muda itu menangis terisak, membuat orang ikut terharu.

   Rupanya kakek berambut putih itupun kehabis-an tenaga, selesai melancarkan serangan, ia ikut roboh, tongkat sepanjang lima kaki itu menancap di atas tanah dan bergoyang tiada hentinya sambil mengeluarkan suara mendengung.

   *** ( )*** Beberapa orang yang tak tahan segera melari-kan diri terbirit-birit.

   "Nona, kau kalah!"

   Ucap Seng-gwat kiam Oh Kay-thian sambil tertawa bangga. Nona baju biru itu tidak bicara, dia meman-dang awan di angkasa. Keempat Tocu serentak melompat maju dan melirik sekejap ke arah Lamkiong Hian, serunya.

   "Thian-seng-po yang menang! Sorak-sorai menggema di udara, terutama pa-ra jago Thian-seng-po, mereka bertepuk tangan dengan riang gembira.

   "Oh Kay-thian!"

   Tiba-tiba Lamkiong Giok mendongakkan kepalanya sambil membentak.

   "jika ayahku sampai tewas, maka kaulah si pembuat ben-cana"

   Oh Kay-thian menyeringai.

   "Mana, mana, ter-serah pikirmu sendiri!"

   Tiba-tiba berkumandang lagi gelak tertawa merdu yang segera melenyapkan kabut kesedihan di situ, para jago sama tertegun waktu melihat no-na berbaju biru itu tertawa cekikikan dengan ke-rasnya seperti kegelian.

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Oh Kay-thian, kau yang kalah!"

   Katanya ke-mudian setelah berhenti tertawa.

   Sekali lagi para jago dibikin tercengang, sudah terang dia yang kalah, tapi gadis itu malah me-mutar balikkan kenyataan dengan mengatakan pi-hak lawan yang kalah, tertawa ejek segera ber-kumandang dari berbagai penjuru.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa dingin, katanya.

   "Dengan saksi para jago yang hadir di sini, sekalipun kau punya kepandaian juga jangan harap bisa mengelabui penglihatan semua orang!" *** ( )*** Mendadak dari tengah arena bergema gelak tertawa panjang nyaring.

   "Haha tajam amat peng-lihatan nona ini, ternyata melebihi siapapun!"

   Tertampaklah Lamkiong Hian, Cengcu dari Kiam-hong-ceng telah berdiri segar di tengah arena dengan tenang, sama sekali tidak menunjukkan tan-da-tanda terluka.

   Kejadian aneh ini mencengangkan semua orang, beratus pasang mata sama tertuju ke arah jago tua itu dengan curiga dan tidak percaya..

   Lamkiang Giok juga sangat terkejut hingga matanya terbelalak dan mulut melongo, lama sekali ia berdiri tertegun sebelum air mata meleleh mem-basahi pipinya karena terharu.

   "Ayah, aku tidak sedang mimpi bukan?"

   Se-runya kegirangan.

   "Jangan kuatir anak Giok,"

   Jawab Lamkiong Hian sambil tertawa, ditepuknya bahu anak muda itu, kemudian melanjutkan.

   "bila ayah tidak berilmu tinggi, tak nanti kutantang adu pukulan seorang ja-go lihai!"

   Suasana menjadi hening, terutama sekali di ba-rak Thian-seng-po, rasa gembira yang semula meng-hiasi wajah mereka kini lenyap tak berbekas.

   Keempat Tocu dari empat pulau besar juga membungkam, mereka hanya menatap ke arena de-ngan pandangan kosong.

   "Betul-betul ketemu setan,"

   Gumam Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kemudian dengan wajah pucat kelabu.

   Sambil geleng kepala ia menghela napas, seakan-akan menghadapi banyak teka-teki yang tak terpecahkan.

   "Tak kusangka di Tionggoan sini ternyata ada juga yang bisa menggunakan ilmu Un-sin-huan-ing (menyembunyikan badan menciptakan bayangan pal-su)."

   Kata si nona baju biru sambil menuding Lamkiong Hian.

   "cuma jangan keburu *** ( )*** bangga, meski nona tak bisa, ayahku dapat memperguna-kan ilmu tersebut jauh melebihi dirimu, kau masih belum berhak menggunakan gelar jago nomor satu di dunia!"

   "Apakah ayahmu adalah Hek-liong Lo-jin?"

   Tanya Lamkiong Hian dengan melengak.

   "Betul,"

   Nona baju biru itu tertawa.

   "lumayan juga pengetahuanmu!"

   Lamkiong Hian angkat bahu dan tertawa.

   "Kepintaran nona memang pantas dikagumi, cuma tahukah kau akan kegunaan Kim-leng-tay ini?"

   "Hmm, jadi kau yang mengundang kehadiran para jago ini"

   Dengus si nona.

   Suasana dalam arena kembali gempar, tak se-orang pun yang mengira Kiam-hong-eeng yang me-nyebar undangan kehadiran para jago, lalu apa tu-juannya? Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang sejak semu-la menjadi sasaran kemarahan orang menjadi den-dam kepada pendiri Kim-leng-tay tersebut, maka tak terlukiskan gusarnya setelah mengetahui Lamkiong Hian adalah biang keladinya.

   Dengan wajah kelam bentaknya.

   "Bagus sekali, rupanya Lamkiong-loji yang menggunakan siasat ini untuk menfitnah orang."

   Sambil berkata ia pimpin kawanan jagonya maju ke depan dan siap-siap melancarkan serangan.

   Para jago Kiam-hong-ceng serentak tampil pu-la ke depan, jelas antara kedua golongan ini telah ada benih kebencian yang merasuk tulang.

   Lamkiong Hian tertawa hambar, lalu berkata.

   "Keliru besar, masa aku berbuat serendah ini? Ke-napa kalian tidak mengutus orang naik ke panggung dan memeriksa sendiri? Tentu akan tahu jelas persoalannya." *** ( )*** Pada mulanya para jago tak percaya, tapi ucap-an tegas itu membuat mereka mau-tak-mau harus percaya juga, beberapa orang di antara kawanan jago itu segera naik ke panggung misterius itu. Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian segera memberi tanda, Mo-in-jiu Kok Siau-thian mengiakan dan melompat maju, kemudian seperti seekor burung melayang naik ke atas panggung. Menyusul pihak Su-toa-to juga mengutus orang, hanya orang Hek-liong-kang tetap berdiri di tempat-nya. Melihat itu, Lamkiong Hian segera menegur sambil tertawa.

   "Nona, kenapa tidak mengutus orang untuk memeriksa keadaan panggung?"

   "Tak perlu, aku sudah tahu,"

   Sahut si nona.

   Orang-orang yang turun kembali dari panggung rata-rata mengunjuk rasa kaget bercampur curiga, mereka kembali ke tempat semula dengan menunduk murung.

   Mo-in-jiu Kok Siau-thian juga membisikkan se-suatu ke telinga Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, mendengar itu air mukanya tampak berubah.

   Jilid 17

   "Sungguhkah itu?"

   Seru Oh Kay-thian kaget.

   "Hahaha, persoalan dewasa ini bukan cuma menyangkut kita berdua saja melainkan menyangkut semua jago dunia persilatan,"

   Ujar Lamkiong Hian sambil terbahak-bahak.

   Semua jago kembali mengunjuk rasa gugup dan tak tenang, suara bisikan terdengar di sana-sini.

   Matahari sudah tinggi di atas kepala, sudah lohor.

   Tiba tiba muncul sesosok bayangan dari balik benteng Thian-seng-po dan meluncur datang dengan cepat luar biasa.

   *** ( )*** Melihat orang itu, suasana kembali menjadi gempar, kiranya pihak Thian-seng-po telah mengerahkan segenap jago-jagonya, kecuali Oh Kay-thian yang tiba duluan, sekarang Thian-kang-kiam Oh Gu-gwat pun muncul.

   Dengan langkah yang gagah ia masuk ke tengah arena dengan tersenyum.

   Kedatangannya yang tiba-tiba ini bukan saja membuat para jago tak tahu maksud kedatangannya, bahkan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian sendiri juga tak tahu rencana busuk apa yang sedang disusun oleh kakaknya itu.

   Lamkiong Hian bergelak tertawa, katanya.

   "Dari tiga bersaudara, dua diantaranya telah tiba, entah kapan Oh Kay-gak baru akan muncul?"

   Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat mendengus.

   "Hm, Lamkiong Hian, tempat ini adalah Thian-seng-po, bukan Kiam hong-ceng, kalau ingin mengacau, tempat ini bukan tempatnya yang tepat!"

   "Huh, rupanya lantaran ada tiang penyangga di belakang punggung, kau berani berlagak?"

   Jengek Lamkiong Hian. Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat mendengus, pelahan ia berjalan menuju ke depan Bok Ji-sia dan Lamkiong Giok. Melihat kedatangannya, dengan terkesiap Ji-sia berpikir.

   "Tampaknya dia hendak menantang aku lebih dahulu."

   Ternyata Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tidak menggubrisnya, sesudah tak jauh di epannya, mendadak ia mencengkeram sebuah bangku batu yang berada di situ.

   "Hait,"

   Sekali bersuara, bangku batu itu lantas terangkat ke atas, demikian ia berbuat empat kali, lalu sambil membawa keempat bangku batu itu, ia tertawa dingin terus melayang ke atas panggung Kim-leng-tay.

   *** ( )*** Baru selesai bangku-bangku batu itu diatur, dari udara sana muncul empat gumpal awan putih yang bergerak mendekat.

   Tindakan aneh ini membuat melenggong para jago.

   Nona berbaju biru itu tertawa dingin, sindirnya.

   "Oh-lotoa yang ternama ternyata sudi menjadi pelayan orang ."

   "Budak hina,"

   Bentak Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat dengan gusar.

   "tunggu nanti hehehe "

   Habis berkata dia lantas menjura ke langit dengan sikap yang sangat menghormat .

   Sungguh cepat kedatangan gumpalan awan putih tadi, dalam waktu singkat sudah berada di atas Kim-leng-tay.

   Pekikan panjang menggema angkasa, pelahan awan putih itu melayang turun ke bawah.

   "Hong-lay-ho (bangau pulau dewa)!"

   Tiba-tiba ada orang berteriak kaget. Dengan sikap hormat sekali Oh Ku-gwat menjura, lalu menyapa.

   "Su-lo baru tiba, sudah lama cayhe tunggu di sini!"

   Menyusul tertampaklah empat sosok bayangan manusia melayang turun dari atas bangau raksasa, empat orang kakek berbaju putih melayang turun tepat di atas panggung Kim-leng-tay dengan enteng.

   Keempat orang kakek itu mempunyai ciri-ciri khas, mereka sama bermata buta sebelah dan berkaki pincang, cuma wajah kelihatan segar dan bercahaya.

   Terdengar gelak tertawa yang dingin menusuk pendengaran berkumandang.

   Lamkiong Hian, si jago berpengetahuan luas ini terkesiap melihat kehadiran keempat kakek aneh tersebut, serunya tertahan.

   "Hong-lay-su-koay (empat manusia aneh dari pulau Hong-lay)!" *** ( )*** "Pandanganmu cukup tajam! Betul, mereka adalah Hong-lay-su-koay!"

   Sahut Thian kang-kiam Oh Ku-gwat dengan tertawa.

   Hong-lay-su-koay adalah murid Hong-lay-it-sian (dewa sakti dari Hong-lay).

   Makhluk aneh pertama ini bernama Liok Cun, kedua bernama Liok He, ketiga bernama Liok Ciu dan terakhir bernama Tong.

   Mereka berempat tinggal di Hong-lay-to, jarang ada yang mengetahui asal-usul mereka, konon lweekang mereka sudah mencapai tingkat yang tiada tandingan, aneh dan kejam tanpa kenal ampun.

   Begitu turun ke atas mimbar, Toa-koay atau makhluk aneh pertama Liok Cun segera menegur.

   "Oh-lotoa, mereka inikah yang disebut jago-jago sakti daerah Tionggoan?"

   Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat segera memberi hormat, sahutnya.

   "Tugas yang Cianpwe serahkan telah kulaksanakan semua, setiap jago yang punya nama di Tionggoan telah kuundang hadir semua."

   Liok Cun mendengus, tiba-tiba ia membentak.

   "Ayo keluar!"

   Ketika jari tangannya menyentil ke depan, sebatang pohon siong di samping Kim-leng-tay segera patah menjadi dua bagian, sesosok bayangan segera melayang turun. Lamkiong Hian tertawa terbahak-bahak, katanya.

   "Kun-tun si hidung kerbau, rupanya kau juga datang!"

   Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin berdiri termangu dengan rasa sangsi tanpa menggubris ucapan Lamkiong Hian, ia hanya memperhatikan Su-koay tanpa berkedip.

   Sentilan jari Toa-koay tadi betul-betul tiada tara hebatnya, hanya sekali jentikan jari, semua jago serentak dibuat ketakutan.

   *** ( )*** Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tertawa, pujinya.

   "Ilmu jari Thian-liong-ci Liok-cianpwe betul-betul tiada taranya di dunia, demontrasi itu sudah cukup menggetarkan dunia persilatan ."

   "Huh, penjilat pantat, tak tahu malu,"

   Damprat si nona baju biru.

   "wajah semua jago dari Tionggoan telah runtuh di tanganmu seorang!"

   "Siapa dia?"

   Dengus Liok Tong.

   "Putri Hek-liong Lojin dari Hek-liong-kang,"

   Jawab Oh Ku-gwat dengan muka merah. Pelahan Liok Tong mengeluarkan sebuah seruling kemala putih, lalu sambil tertawa katanya.

   "Konon dalam dunia persilatan hanya ada seorang yang berhak disebut jago nomor satu, yaitu adikmu Oh Kay-gak, apakah adikmu telah datang pula? Kenapa tidak tampil ke depan?"

   Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat melengak, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana meski menjawab.

   Tiba-tiba dari bawah panggung terdengar seseorang mendengus tak puas, tentu saja dia adalah Lamkiong Hian.

   Di tengah keheningan itulah seseorang membentak secara mendadak.

   "Oh Kay-gak adalah Ban-kiam-sin-kun yang diagungkan di dunia ini, mana ia sudi menjumpai manusia takabur seperti kau?"

   Menyusul bentakan itu, Bok Ji-sia telah berada di depan Kim-leng-tay dan memelototi Hong-lay-su-koay.

   "Siapa dia? Hebat juga lagaknya,"

   Jengek Liok Ciu.

   "Dia bernama Bak Ji-sia, dia adalah .."

   "Siapa suruh kau banyak mulut!"

   Bentak Ji-sia.

   Sebenarnya Hong-lay-su-koay tidak memperhatikan Bok Jisia, tapi setelah pemuda itu berdiri perkasa di sana, dengan *** ( )*** mata yang buta sebelah keempat manusia aneh itu bersama-sama memperhatikan dia sekejap.

   Selang sejenak Liok Ciu baru tertawa terkekeh-kekeh sambil menegur.

   "Berapa besar kehebatanmu? Berani betul mencari gara-gara padaku!?"

   "Tidak terlalu hebat, tapi cukup untuk hajar adat padamu!"

   Jawab Ji-sia. Tepuk tangan riuh rendah menyambut ucapan tersebut, jelas perkataan Ji-sia itu telah melampiaskan rasa mendongkol para kesatria Tionggoan. Diam-diam Lamkiong Hian juga manggut-manggut, katanya kemudian sambil tertawa.

   "Bok-lote, kau memang hebat! Aku siap di belakangmu!"

   "Su-toa-tocu siap pula ambil bagian!"

   Serentak keempat Tocu keempat pulau besar berseru.

   Melihat semua jago mendukungnya untuk menentang musuh bersama, Bok Ji-sia berpaling dan tertawa.

   Tertawanya membuat Hu Sim-jin, si sastrawan misterius itu, menunduk dengan jantung berdebar.

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nona berbaju biru menepuk bahu Hu Sim-jin, katanya kemudian.

   "Pihak Hek-liong-kang juga bersedia membantu saudara Bok!"

   Situasi dalam arena segera mengalami perubahan, para jago dari berbagai perguruan sama tampil ke depan, mereka melupakan dendam pribadi untuk sementara waktu dan bersama-sama menghadapi musuh dari luar.

   Hanya pihak Thian-seng-po tidak memberi komentar apa-apa, mereka memandang ke arena dengan sikap tak acuh.

   Ji-sia berpekik nyaring, mendadak ia melambung ke udara dan menubruk ke depan.

   Tapi baru saja melambung ke atas, Ji-sia lantas terkesiap, karena saat itulah tenaga pukulan yang *** ( )*** sangat kuat telah menekan tubuhnya, tenaga pukulan itu datang tanpa menimbulkan suara, ia terkejut bercampur gusar.

   Terdengar Liok Tong tertawa terkekeh-kekeh, lalu berseru.

   "Bocah cilik, kalau tak takut mampus ayo maju kemari!"

   "Kau kira aku tak berani?"

   Jawab Ji-sia sambil menyeringai. Sinar bengis terpancar dari mata Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, dia sengaja mengadu domba.

   "Benar, masa Bok-tayhiap takut menghadapi pertarungan semacam ini? Hahahaha .

   "

   Ji-sia sangat mendongkol, dengan gemas ia mendamprat.

   "Keparat yang tak tahu malu, kubinasakan kau lebih dahulu!"

   Sekali lagi ia melambung ke udara dan hendak menubruk ke depan.

   Tapi baru saja tubuhnya bergerak, mendadak ia merasakan sebuah telapak tangan raksasa menekan bahunya .

   Dengan terkejut buru-buru ia merendahkan tubuh dan berganti gerakan, telapak tangan kirinya menangkis ke atas dan balas mencengkeram telapak tangan raksasa yang sedang menekan bahunya itu.

   "Saudara Bok, dia ayahku!"

   Mendadak Lamkiong Giok berteriak.

   Ji-sia tertegun, cepat ia menarik kembali serangannya dan melompat mundur, tampak Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.

   Dengan perasaan tak senang Ji-sia segera menegur.

   "Cianpwe, sebenarnya apa maksudmu menghalangi diriku?"

   Coba kalau ia tidak bersahabat dengan Lamkiong Giok, tak nanti Ji-sia akan bersikap begitu menghormat kepadanya.

   Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, Bok-lote, sukar menyerang ke atas, kenapa tidak gempur yang di bawah?" *** ( )*** Ji-sia merasa benar juga perkataan ini, kalau Hong-lay-su-koay yang berada di atas susah diterjang, kenapa panggung Kim-leng-tay itu tidak dirobohkan lebih dulu? Berpikir demikian, ia siap untuk turun tangan.

   Tiba-tiba si nona baju biru mendengus.

   "Lamkiong Hian, meskipun bagus jalan pikiranmu, sayang susah untuk diwujudkan." "Anak perempuan, memangnya berapa luas pengetahuanmu? Berani mengkritikku?"

   Hi-kan -tocu, Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek segera tertawa dingin, katanya.

   "Aku tidak percaya panggung sekecil Kim-leng-tay bisa menyusahkan diriku ."

   Sambil berkata telapak tangannya segera menghantam.

   Tapi dengan cepat ia menjerit tertahan, lalu menyurut mundur dengan terperanjat, telapak tangan kanannya tiba-tiba membengkak, peluh dingin bercucuran.

   Peristiwa ini membuat para jago terkesiap, sebab Su-toa-tocu sudah lama termashur di dunia persilatan, Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek juga terhitung pentolannya Su-toa-tocu, tapi kenyataannya sekarang tanpa menimbulkan suara ia sudah dilukai begitu rupa, dari sini semua orang mulai sadar tenaga dalam mereka masih jauh ketinggalan, rasa kuatir dan cemas mulai menghiasi wajah mereka.

   Bayangan manusia berkelebat, Su-toa-tocu serentak berdiri berjajar di depan panggung Kim-leng-tay dan melotot pada keempat manusia aneh dengan penuh kegusaran.

   "Bagaimana Lamkiong Hian? Betul tidak ucapan nonamu?"

   Seru si nona berbaju biru sambil tertawa. Sekarang Kiam-hong cengcu Lamkiong Hian baru sadar bahwa gadis baju biru dari Hek-liong-kang ini betul-betul memiliki kecerdasan yang melebihi orang lain. *** ( )*** Setelah tersenyum, iapun bertanya.

   "Lantas bagaimana menurut pendapat nona?"

   "Pertempuran yang bakal terjadi ini adalah pertarungan untuk menentukan mati hidupnya dunia persilatan, sekali pun nona berdiam di Hek-liong-kang, tapi sekarang kami beradanya di Tionggoan, berarti aku terhitung pula jago Tionggoan, bila kalian percaya padaku... bagaimana kalau turut cara kerjaku? Entah bagaimana pendapat Toa-cengcu?"

   Kini semua jago sama bungkam, mereka ingin tahu apa jawaban Lamkiong Hian.

   Hong-lay-su~koay yang berada di atas Kim-leng-tay hanya tertawa dingin sambil mengawasi jago-jago di bawah, sedangkan Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat yang mendampingi keempat manusia aneh itu beberapa kali membisikkan sesuatu, lagaknya seperti seorang penasehat.

   Meski Lamkiong Hian merasa terkejut, namun ia tidak menunjukkan perubahan apa-apa, ia tertawa dan berkata.

   "Aku sangat kagum pada nona dan bersedia mendengarkan petunjukmu!"

   Nona baju biru itu tertawa dingin, lalu putar badan dan melangkah pergi. Sampai di hadapan Bok Ji-sia, tiba-tiba ia bertanya.

   "Bagaimana pendapatmu?"

   Ji-sia tertawa dingin lalu putar badannya dan berdiri.

   Tapi baru saja tubuhnya berputar, ia bentrok pandang dengan Hu Sim-jin yang berada di belakang si nona baju biru itu.

   Hati bergetar, buru-buru ia mengalihkan sorot matanya ke arah lain, namun tetap termenung karena adu pandang yang baru terjadi ini, siapakah dia? Kenapa mukanya seperti sudah dikenalnya? *** ( )*** Hu Sim-jin sendiripun tertegun, tapi dengan cepat sikapnya pulih kembali seperti biasa, ia ikut di belakang nona baju biru itu dan berlalu.

   Setibanya kurang lebih dua tombak di depan panggung Kim-leng-tay baru nona itu berhenti sebelum membenahi rambutnya yang kusut, nona baju biru itu menoleh dan memandang sekejap H u Sim-jin, Pek Bi dan Pak Sat yang berada di belakangnya, kemudian memutar tubuh kembali.

   Hong-lay-su-koay yang berada di atas panggung berdiri dengan wajah dingin dan hambar, dengan sorot mata tajam mereka awasi si nona baju biru yang tersohor karena kecerdasan otaknya itu.

   Nona baju biru itu tersenyum ke atas panggung, kemudian maju dua langkah lagi ke depan.

   "Nona tampil ke muka, memangnya ingin mencari nama?"

   Ejek Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat. Nona berbaju biru itu tertawa.

   "Rase tua, dengan mengundang Hong-lay- su-koay ke sini, apa rencana busukmu?"

   "Rencana memang ada, sayang bukan atas keinginanku sendiri!"

   Jawab Oh Ku-gwat sambil tertawa terkekeh. Lotoa dari Hong-pay-su-koay Liok Cun, segera berseru.

   "Oh-lotoa, katakan saja terus terang kepada mereka!"

   "Huh, sekalipun ia tidak mengatakannya, nonamu juga bisa menebak!"

   Seru si nona baju biru.

   Agak terkejut juga Hong-lay-su-koay mendengar gadis itu bicara dengari mantap, Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat juga menunjuk wajah tak percaya, ia tak percaya nona berbaju biru itu bisa menerka hal-hal yang belum terjadi.

   Dengan suara dingin Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat segera berkata.

   "Meskipun kau seorang perempuan jenius yang *** ( )*** jarang dijumpai, tapi hahaha, kalau tidak kukatakan sendiri, masa kau bisa menebaknya!"

   Mendadak terdengar seseorang mendengus.

   "Hai, belum tentu."

   Sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu di tengah arena telah bertambah satu orang. Melihat orang itu, hati Ji-sia bergetar, ia memburu maju dan berseru.

   "Ku-cianpwe, kaupun datang!"

   Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak memandang sekejap pemuda itu, lalu bisiknya.

   "Bok-lote, kau kira kita tak dapat berjumpa lagi?"

   Gusar Hoa Hong-hui menyaksikan kemunculan Siau-yausian-hong-khek Ku Thian-gak, sekali lompat ia berdiri di hadapannya.

   Ji-sia segera ayun telapak tangan kirinya menghantam Hoa Hong-hui, Sambil menahan tubuhnya, Hoa Hong-hui menegur marah.

   "Bok Ji-sia, apa maksudmu?"

   "Jangan bertindak kurangajar terhadap Ku-lo-cianpwe!"

   "Tak perlu kau campur urusan kami !"

   Teriak Hoa Hong-hui semakin gusar. Ji-sia naik pitam, sambil tertawa dingin kembali ia melancarkan serangan, tapi tangannya segera dicengkeram orang.

   "Bok-tayhiap!"

   Terdengar Ku Thian-gak berbisik dengan pedih.

   "aku betul-betul mempunyai kesulitan yang tak bisa diterangkan, harap engkau jangan mencampuri urusan kami."

   Ji-sia tertegun, dengan bimbang dan tak habis mengerti terpaksa ia mengundurkan diri.

   Terhadap sikap Siau-yau-sian- *** ( )*** hong-khek Ku Thian-gak yang rela menerima hinaan tersebut, ia betul-betul heran.

   Bukan hanya dia, kawanan Jago yang hadir juga cuma beberapa orang saja yang mengetahui hubungan Hoa Hong-hui dengan Ku Thian-gak.

   Dengan perasaan bangga Hoa Hong-hui segera menegur.

   "Ku Thian-gak, siapa yang suruh kau datang kemari?"

   Sikapnya yang sombong menimbulkan perasaan tak senang dalam hati para jago, siapapun tak tahan menghadapi sikap semacam itu, tapi Siau-yau-sian-hong-khek masih tetap tenang. Sambil tertawa sedih jawab Ku Thian-gak.

   "Peristiwa yang terjadi hari ini menyangkut keselamatan seluruh umat persilatan, demi keamanan dunia persilatan, terpaksa aku harus melanggar larangan dan menyumbangkan tenagaku yang terakhir demi kesejahteraan umat persilatan."

   Kata-kata yang gagah perkasa ini memancing sorak gemuruh dari para hadirin.

   Air muka Hoa Hong-hui berubah menjadi pucat, baru saja ia akan mengumbar amarahnya, tiba-tiba ia lihat nona berbaju biru itu sedang melotot gusar ke arahnya, dengan ketakutan cepat ia mundur ke belakang.

   Ia tahu kemarahan orang banyak tak bisa ditahan, maka sambil menyeringai ujarnya.

   "Mengingat kesetiaanmu, untuk sementara tuan muda tak akan mencampuri urusanmu."

   Tampaknya Hong-lay-su-koay tak sabar menyaksikan percekcokan itu, segera Liok Tong berseru.

   "Oh-lotoa, apa yang telah kukatakan padamu?"

   "Harap Cianpwe jangan gusar, segera akan kuumumkan kepada mereka,"

   Cepat Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat menjawab. Setelah putar badan, dengan suara lantang dia berseru ke bawah panggung.

   "Selama ini dunia persilatan hanya terdiri *** ( )*** dari kelompok-kelompok kecil dan jarang diadakan pertemuan besar, oleh sebab itu Hong-lay-su-lo beranggapan bahwa dunia persilatan harus mempunyai seorang pemimpin yang diagungkan umat persilatan . maka dalam pertemuan ini bukan saja kita akan saling mengukur kepandaian masing-masing, kita pun akan mencari seorang yang luar biasa untuk dijadikan Bengcu .."

   Setelah tertawa, ia melanjutkan.

   "Jumlah orang yang boleh mengikuti pertarungan ini tidak terbatas, tapi setiap perguruan hanya boleh mengikut satu orang, sebelum naik panggung Kim-leng-tay ini, mereka akan diperiksa dulu kepandaiannya oleh Su~lo, dan setelah naik ke Kim-leng-tay, maka dia harus bertanding!"

   Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak mendengus.

   "Hm, Oh Ku-gwat, kukira tujuanmu bukan cuma ini saja bukan?"

   "Tak perlu banyak omong, kalau merasa punya kepandaian silakan naik ke atas panggung!"

   Ejek Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat.

   Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak tertawa nyaring, ujung baju mengebas hingga menimbulkan angin keras, segera ia melompat ke atas panggung Kim-leng-tay.

   Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian berpaling dan memandang sekejap kepada putra kesayangannya, lalu berbisik.

   "Anak Giok, kau duduk di sini, aku akan naik ke atas untuk menjumpai jago-jago lihai tersebut!"

   Habis berkata, sekali berkelebat tahu-tahu ia sudah berdiri di atas panggung.

   Waktu itu Lamkiong Giok sudah merasa sehat, meski iapun ingin menjajal kepandaian Hong-lay-su-koay, akan tetapi berhubung ayahnya telah memberi pesan, terpaksa dengan perasaan kesal ia duduk menunggu di dalam barak Kiam-hong ceng.

   Bayangan manusia berkelebat, Su-toa-tocu telah naik pula ke atas panggung disusul oleh Kun-tun Cinjin dan Si-hun- *** ( )*** koay-sat-jin sekalian yang masing-masing menempati satu sudut panggung.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang sejak tadi hanya diam tampaknya tergerak juga hatinya, ia memandang sekejap kawanan jago di belakangnya, lalu dengan enteng melompat ke atas panggung Kim-leng-tay.

   Tiba-tiba terdengar Thian-kang-kiam Oh Ku gwat berseru sambil menuding Su-toa-tocu.

   "Dari pihak Su-toa-to hanya boleh di wakili seorang, kenapa kalian berempat naik bersama?"

   Tun-bu-tocu Ay-te-liong (si naga cebol) Yau Tong-seng menjawab dengan tertawa.

   "Meski empat pulau merupakan satu keluarga, tapi kami masing-masing menempati sebuah pulau tersendiri, sepantasnya keempat pulau berhak turut dalam pertemuan ini!"

   "Banyak atau sedikit juga sama saja, biarkan saja mereka berada di sini,"

   Kata Liok Ciu dari Hong-lay-su-koay.

   Ketika Ji-sia melihat semua jago kenamaan dunia persilatan hampir hadir seluruhnya, berkobar semangat ksatrianya, sambil berpekik nyaring ia terus melompat ke atas panggung.

   "Kenapa dari pihak Hek-liong-kang tak ada yang turut seria?"

   Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat segera menegur.

   Tiba-tiba dari setelah belakang terdengar suara tertawa sinis, dengan kaget Oh Ku-gwat berpaling, entah sejak kapan ternyata si nona berbaju biru sudah berada di belakangnya.

   Sambil tertawa nona baju biru itu berkata.

   "Pertemuan besar yang sukar dijumpai dalam seratus tahun ini masa tidak diikuti oleh Hek-liong-kang?"

   "Asal nona ikut turun tangan, kemenangan pasti berada di pihak kita!"

   Ucap Lamkiong Hian sambil mengelus jenggot. *** ( )*** Nona berbaju biru itu menggeleng kepala.

   "Kesempatan untuk menang hanya setengah-setengah, kita jangan bergembira dulu."

   Air muka setiap orang yang berada di panggung sama berubah demi mendengar perkataan nona berbaju biru ini, dengan sorot mata gusar mereka menatap wajah Hong-lay-su-koay.

   Hong-lay-su-koay yang semuanya bermata satu melirik sinis dengan sikap jumawa.

   "Hai, lihat!"

   Tiba-tiba seseorang berteriak.

   Kawanan jago serentak memandang ke bawah kaki masing-masing dengan perasaaa terkesiap, ternyata di situ terdapat beberapa baris tulisan.

   Wajah Bok Ji-sia berubah kelam setelah memandang ke bawah, diam-diam tenaga dalamnya dihimpun dan siap melancarkan serangan.

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Alis si nona berbaju biru pun bekernyit, sekujur tubuh gemetar.

   Jelas tulisan yang tertera di lantai itu menyangkut hubungan yang amat besar dengan kedua orang ini, kalau tidak, tak nanti mereka bersikap demikian.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang sejak tadi bersikap tenang pun kini ikut terkejut, tapi segera iapun tahu kenapa hari ini Toakonya mengundang kehadiran Hong-lay-su-koay untuk memusuhi dirinya.

   Para jago lain meski juga diliputi rasa tercengang, tapi mereka sama bersikap seolah-olah memang melihat orang lain ketimpa bencana, malah dari balik mata mereka terpancar sinar kerakusan.

   Nona baju biru itu menghela napas lalu berkata.

   "Tak kusangka hanya dikarenakan dua macam benda ini kalian *** ( )*** berempat kakek yang hampir mampus juga kemaruk akan memilikinya."

   Liok Cun, Toakoay dari Hong-lay-su-koay terkekeh-kekeh.

   "Ruyung dan kitab merupakan benda mestika dunia persilatan, sekalipun kami empat bersaudara tinggal jauh di Hong-lay, kabar ini juga sudah lama kudengar, setelah datang sekarang, tentu saja kami takkan kembali dengan bertangan kosong!"

   Sambil menepuk ruyung Jian~kim-si-hun-pian yang berada di pinggangnya, Bok ji-sia tertawa panjang, katanya.

   "Ruyung mestika berada di pinggangku, kalau kalian berempat kakek tua bangka punya kemampuan, ayo coba rampas sendiri!"

   Seraya berkata ia melangkah maju, tangan direntangkan dan siap melangsungkan pertarungan melawan Hong-lay-su-koay. Nona berbaju biru mendengus.

   "Meski kitab pusaka Hek-liong-kang tidak berada padaku, tapi asal kalian berempat siluman sanggup mengalahkan kami, tempat penyimpanan kitab akan nona beritahukan."

   Pada saat itulah secara diam-diam Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat mengeluyur pergi meninggalkan panggung Kim-leng-tay, tak seorang pun yang mengetahui kepergiannya itu, sebab para jago hanya tahu Hong-lay-su-koay adalah musuh yang tangguh, maka segenap perhatian mereka dicurahkan kepada keempat siluman tua itu.

   Berputar biji mata Liok He yang tinggal satu itu, kemudian terbahak-bahak.

   "Hahaha, bagus, bagus! Soal ruyung dan kitab sudah ada pertanggungan jawab, sekarang tinggal pemegang sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian yang belum mengemukakan pendapatnya!"

   Entah ucapan ini langsung ditujukan kepada Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, sorot mata semua orang pun tanpa terasa *** ( )*** sama dialihkan ke wajah Oh Kay-thian, siapa pun tak menyangka sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian telah jatuh ke tangannya.

   Sejak sarung ruyungnya lenyap, Bok Ji-sia berulang kali melakukan penyelidikan tanpa hasil, ia tak menyangka akhirnya berhasil menemukannya dengan cara semudah ini.

   Dengan melotot ia membentak marah.

   "Ok Kay-thian, bangsat kau! Ayo serahkan kembali padaku!"

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tahu Toakonya yaitu Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat telah mengkhianatinya demi mendapatkan sarung ruyung mestika tersebut, dasar keji dan culas, ia tidak memperlihatkan perasaannya. Dengan hambar ia berkata.

   "Siapa yang memegang mestika itu, dialah pemiliknya, begitu bukan Bok-lote? Betul sarung ruyung tersebut berada padaku, tapi aku tidak berniat mengangkanginya sendiri, setelah Su-koay berniat merampasnya sekarang, biarlah kumanfaatkan kesempatan ini untuk memberikannya."

   Cahaya emas terpancar dari tubuh Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, seakan-akan seekor naga emas meluncur ke arah Hong-lay-su-koay.

   Begitu cahaya emas muncul, kawanan jago di sekitar arena serentak bergerak maju, Su-toa-tocu, Kun-tun Cinjin serta Si-hun-koay-sat berenam hampir pada saat yang sama juga turun tangan untuk menyambar sarung ruyung itu.

   Hati Ji-sia bergolak melihat sarung ruyung miliknya berada di depan mata, tapi baru saja dia akan maju, seorang berbisik padanya.

   "Jangan sembarangan bergerak Bok siauhiap, inilah siasat licik Seng gwat-kiam Oh Kay-thian!"

   Setelah melemparkan sarung ruyung Jiam-kim-si-hun-pian ke udara, Oh Kay-thian tersenyum licik, lalu membentak, mendadak telapak tangannya menghantam ke depan, *** ( )*** menghajar kawanan jago yang sedang berebut sarung ruyung itu.

   Melihat kekejaman dan kelicikan orang, sungguh gusar sekali Bak Ji-sia, diam-diam ia menghela napas dan berpikir.

   "Dunia persilatan betul-betul penuh kelicikan dan intrik, tak nyana Oh Kay-thian bisa bertindak selicik ini."

   Berpikir demikian tanpa terasa ia melirik sekejap ke arah Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak dengan rasa terima kasih, andaikata tiada peringatannya tadi yang disampaikan dengan ilmu gelombang suara, niscaya ia sudah berada dalam kesulitan.

   Benturan dahsyat segera bergema, panggung Kim-leng-tay berguncang keras, tapi segera tenang kembali.

   Darah kental meleleh keluar dari ujung bibir Su-toa-tocu, jelas mereka telah menderita gempuran yang keras, sedangkan Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu juga terengah dengan darah bergolak, hampir saja mereka tak tahan.

   Sarung ruyung Jiam-kim-si-hun-pian yang sudah lama menjadi incaran orang persilatan itu tahu-tahu sudah terjatuh ke tangan Hong-lay-su-koay, hal ini membuat para jago semakin terkesiap.

   Waktu itulah Si-hun-koay-sat-jiu baru mendongakkan kepalanya sambil berkata dengan gusar.

   "Oh-losam, kami tak rela mestika itu jatuh ke tangan orang lain, maka dengan mempertaruhkan jiwa aku hendak melindunginya, bila serangan tersebut dilancarkan orang lain masih bisa kuterima, tak tersangka kau "

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa dingin, katanya.

   "Seranganku sebenarnya cuma peringatan bagi Su-koay, siapa tahu kalian menjadi kemaruk ketika melihat mestika dan bermaksud merampasnya, terpaksa seranganku tertuju kepada kalian, lalu siapa yang hendak kau salahkan?" *** ( )*** "Huh, manis betul caramu bicara, jelas seranganmu bermaksud membasmi lawan, tapi bicaramu seperti orang paling gagah?"

   Ejek si nona baju biru.

   Lamkiong Hian lebih cerdas dan banyak tipu akalnya, dia tahu orang pintar daerah Tionggoan sangat terbatas, hanya terdiri dari beberapa orang di atas panggung sekarang, seandainya orang-orang itu sampai bentrok sendiri, bukankah hal ini justru akan memenuhi harapan musuh dan Hong-lay-su-koay yang akan menarik keuntungan? Kerena itu, sewaktu dilihatnya keadaan tidak beres, buru-buru dia berkata.

   "Musuh tangguh masih berada di depan mata, kenapa kalian tidak bekerja sama untuk mengusir lawan? Sebaliknya malah ribut dan saling gontok-gontokan sendiri! Apakah tidak malu dan ditertawakan orang?"

   Hong-lay-su-koay memandang sekejap ke arahnya, jelas ucapan itu diperhatikan dengan serius oleh mereka. Tiba-tiba Liok Tong berseru.

   "Toako, kita harus turun tangan!"

   Liok Cun memandang cuaca sekejap, lalu mengiakan.

   "Ya, waktunya memang sudah tiba!"

   Matahari tepat di tengah cakrawala, cahaya terang memenuhi jagat raya.

   Habis berkata, Liok Cun segera mengeluarkan sebuah tambur tembaga berwarna ungu, para jago tak habis mengerti apa kegunaan tambur tembaga tersebut.

   Liok He mengeluarkan pula sebuah kipas tanpa jeriji dan menggoyangkannya dengan santai seakan-akan seorang sastrawan saja lagaknya.

   Liok Ciu mengeluarkan sebuah cermin, ketika tertimpa cahaya sang surya, segera terpantul sinar yang menyilaukan mata.

   *** ( )*** Sementara Liok Tong mengeluarkan sebuah seruling tanpa lubang.

   Setelah keempat macam senjata yang langka itu diperlihatkan, serentak para jago di atas panggung merasa terkejut, hati menjadi dingin.

   Suasana dalam arena mulai terasa tegang, biarpun kawanan jago tersebut rata-rata berpengalaman dan berpengetahuan luas, tak seorang pun yang kenal, asal-usul beberapa macam senjata itu.

   Tiba-tiba nona berbaju biru itu menghela napas dan mengeluh.

   "Ai, rupanya aku terlalu menilai rendah mereka!"

   Liok Ciu tertegun, tegurnya sambil tertawa.

   "Nona, apakah kaukenal asal-usul benda-benda ini?"

   "Tak perlu banyak bicara lagi,"

   Tukas si nona baju biru dingin.

   "lebih baik cepat turun tangan, irama sakti Liat-yang sin-kik tak akas menunjukkan kehebataanya bila, lewat tengah hari!"

   Kejut bercampur heran Hong-lay-su-koay, rupanya mereka pun kagum akan pengetahuan nona baju biru yang luas itu.

   Perlahan gadis itu berpaling kepada para hadiran, katanya.

   "Bila tiada bantuan malaikat, hari ini jangan harap kita bisa lolos dari bencana, bersiaplah kalian semua!"

   Ucapan yang mengandung maksud mendalam itu mengetuk hati para jago.

   Suatu malapetaka segera akan berlangsung di depan mata, hati para jago mulai dilapisi oleh bayangan kelabu, sementara para jago di bawah panggung sama-sama menahan napas beribu pasang mata tertuju ke atas panggung dan menunggu perkembangan selanjutnya.

   Hawa pembunuhan menyelimuti angkasa, suasana menjadi sangat tegang.

   Liok Cun, kepala Hong-lay-su-koay mendongakkan kepalanya dan bersiul nyaring, kemudian serunya.

   "Silakan *** ( )*** saudara sekalian nikmati dulu Siu-hun-sam-koh (tiga pukulan tambur perenggut nyawa) ini!"

   Habis berkata, dengan khidmat ia menyentil pelahan tamburnya sebanyak tiga kali.

   "Tung! Tung!Tung! Tiga kali suara tambur itu berbunyi, para jago di atas panggung merasakan hati tergetar seakan-akan kehilangan sukma, ada semacam tenaga yang amat berat dan tak kelihatan menekan tubuh mereka.

   Meski para jago sudah melawan dengan sekuat tenaga, akan tetapi irama tambur yang mendengung tiada hentinya seakan-akan berbentuk beribu-ribu pisau yang menusuk ulu hati mereka.

   Keadaan kawanan jago yang lain agak mendingan, berbeda dengan Su-toa-tocu yang sudah terluka lebih dulu, mereka tak tahan, dengan wajah pucat seperti mayat, darah kembali bercucuran dari mulutnya.

   Tiang mo-tocu, Siu-tiok-hong Ki Kiu-jin tertawa pedih, katanya.

   "Irama Siu-hun-sam-koh bukan santapan enak buat kami, saudara-saudaraku kita jangan bikin malu lagi di sini."

   Tapi belum lagi dia sempat angkat kaki, tiba-tiba darah segar menyembur keluar dari mulutnya, ia sempoyongan dan akhirnya roboh terjungkal ke bawah panggung.

   Cian-ciau-tocu, Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu merasa tak puas, segenap tenaga dalamnya dihimpun pada telapak tangannya, lalu menghantam Liok Cun.

   Liok Cun menjengek, matanya yang tinggal satu itu berkedip.

   "tung!"

   Bunyi tambur menggema.

   "Wah!"

   Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu menjerit dan terjungkal ke bawah panggung, menyusul kedua Tocu yang lain juga mendengus tertahan, dengan wajah pucat mereka terlempar dari panggung.

   *** ( )*** Rupanya irama tambur itu dipancarkan khusus terhadap orang tertentu, buktinya orang lain sama sekali tidak mengalami luka apapun, namun mereka tak berani sembrono, masing-masing menghimpun segenap tenaga dalam untuk menghadapi segala kemungkinan.

   Tak seorang pun mengangkat kelopak matanya, semuanya menunduk kepala, seakan-akan Su-toa-tocu tersebut tiada hubungannya dengan mereka.

   Tapi jerit kaget segera berkumandang dari bawah panggung.

   Baru saja Su-toa-tocu roboh ke bawah panggung, anak muridnya segera maju menggotong mereka pergi, dengan membawa pengalaman pahit berlalulah Su-toa-tocu tersebut.

   Tiba-tiba Liok Tong tertawa seram, katanya.

   "Rupanya kalian boleh juga Karena sanggup bertahan, tampaknya di daerah Tionggoan masih terdapat juga beberapa jago tangguh, tidak seperti apa yang dilukiskan Oh-lotoa!"

   Nona baju biru itu membuka matanya, katanya sambil tertawa dingin.

   "Kehebatan Siau-hun-sam-koh jauh dari apa yang kubayangkan semula. Ayo, permainan apa lagi yang masih kalian miliki? Kenapa tidak sekalian dikeluarkan semua?"

   Hong-lay-su-koay menjadi terkejut bercampur heran, mereka tak percaya masih ada orang sanggup berbicara setelah Siau-hun-sam-koh dipancarkan kecuali orang itu sudah melatih semacam ilmu sakti yang kebal terhadap pengaruh tambur.

   Jika dilihat dari usia si nona yang masih muda belia tak mungkin ia pernah melatih ilmu sehebat itu, jangan-jangan lwekangnya sudah berhasil mencapai tingkatan tertinggi sehingga tidak gentar terhadap pengaruh apa pun dari luar.

   "Perkataan nona memang benar, aku setuju sekali!"

   Terdengar Lamkiong Hian mendukung ucapan si nona baju biru.

   *** ( )*** Walaupun kata-katanya diucapkan dengan lancar, namun peluh membasahi jidatnya, cuma tenaga dalamnya juga cukup sempurna dan sanggup menguasai diri sehingga tubuh tidak terluka.

   Waktu itu Ji-sia juga membuka matanya, air muka anak muda ini tampak hambar seakan-akan sama sekali tidak terjadi apa-apa.

   Dia telah menerima warisan tenaga murni dari Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, sebab itulah meski Siu-hun-koh lihay sekali, juga tidak dapat mempengaruhi dia.

   Liok He memutar biji mata tunggalnya, kemudian mengejek.

   "Kalau begitu, kalian tunggu saja akan kelihaian irama Liat-yang-sin-kik kami, coba rasakan kehebatannya!"

   Sambil berkata, kipas tanpa jeriji segera diangkat ke atas dan digerakkan kian kemari, embusan angin dengan cepat melanda angkasa, debu pasir beterbangan.

   Itulah gerak pembukaan dari irama sakti Liat-yang-sin- kik atau Lagu sakti terik matahari.

   Ketika Liok He menarik kembali kipasnya, kabut dan pasir seketika lenyap, matahari yang terang muncul kembali di langit.

   Sambil terbahak-bahak ia berkata.

   "Nah, siapakah yang merasa sanggup menerima serangan kipasku?"

   Ancaman itu memang cukup mengejutkan, meski di atas panggung penuh dengan jago lihai, namun tak seorang pun yang merasa yakin mampu menyambut serangan maut tersebut.

   Tiba-tiba Bok Ji-sia maju ke muka seraya membentak.

   "Bagaimana kalau aku yang melayanimu?"

   "Hehehe, kalau begitu, sambutlah seranganku ini!"

   Jawab Liok He sambil tersenyum. Di tengah kebasan kipas Bu-kut-san, hembusan angin yang amat dahsyat segera menyambar ke depan. *** ( )*** "Wees! Wees!"

   Tenaga serangan yang tiada taranya bagaikan beribu-ribu lapis gelombang yang dahsyat menghantam tubuh Bok Ji-sia, jangankan tubuh manusia, batu pun akan hancur oleh angin dahsyat ini.

   Awan gelap seketika menyelimuti udara di sekeliling tempat itu, debu pasir kembali beterbangan, semua orang hampir tak mampu membuka mata.

   Sesudah angin puyuh itu sirap, para jago menjerit tertahan, ternyata Bok Ji-sia sudah tersapu oleh angin puyuh tadi sehingga lenyap tak berbekas.

   Angin kipas itu betul-betul merupakan embusan maut yang mengerikan.

   Liok He tertawa terbahak-bahak, katanya.

   "Kipas saja tak tahan, masih berani omong besar?"

   Mendadak Bok Ji-sia melompat ke atas panggung, dia tetap segar bugar tanpa kekurangan sesuatu apa pun, membuat Hong-lay-su-koay terkejut, mereka tak menyangka Bu-kut-san tidak berhasil melukai anak muda tersebut.

   "Huh, Bu-kut-san paling-paling cuma begitu saja,"

   Kedengaran Ji-sia mengejek.

   "lebih baik mainkan saja Liat-hyang-sin-kik yang kalian katakan hebat itu!"

   Air muka Liok He berubah hebat, seketika ia bungkam dan cuma melotot gusar ke arah pemuda itu. Liok Tong menyeringai serunya.

   "Bagus, kalian pasti akan mampus semua!"

   "Kalau kami mati, kalian pun jangan harap bisa hidup!"

   Sambung si nona baju biru sambil tertawa dingin. Hati Hong-lay-su-koay tergerak, jelas ucapan si nona tepat mengenai isi hatinya. Ditatapnya keempat siluman tua itu lekat-lekat, lalu nona baju biru itu berkata pula.

   "Permainan irama sakti Liat-yang-sin-kik merupakan ilmu yang banyak makan tenaga dalam, sedangkan kami sebagian besar memiliki tenaga dalam hasil latihan puluhan tahun, bila ingin menguras tenaga kami, kalian *** ( )*** pun harus mainkan irama tersebut sampai tuntas, baru menang atau kalah bisa ditentukan!"

   Perkataan ini justru membongkar titik kelemahan irama Liat-yang-sin-kik, maka Hong-lay- su-koay menjadi terkesiap, selain itu, mereka pun merasa ngeri terhadap luasnya pengetahuan si nona berbaju biru, terpaksa kekuatan lawan perlu dipertimbangkan kembali oleh mereka.

   Selang sesaat kemudian, Liok Cun berseru pula sambil menyeringai.

   "Toako, jangan sangsi lagi, urusan telah berkembang menjadi begini, kita tak mungkin lagi mundur!"

   "Kalau bisa mengundurkan diri secara teratur, hal ini kan tidak terhitung tindakan yang salah!"

   Jengek Ji-sia. Liok Cun melototkan mata yang sebelah itu, tiba-tiba ia berseru.

   "Betul, kita tak bisa memikirkan terlalu banyak, Liat-yang-sin-kik segera dipancarkan!"

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kaki yang pincang menjejak permukaan lantai, secepat terbang ia berputar satu lingkaran di udara, bentaknya.

   "Su-siu-kui-goan!"

   Empat kakek siluman itu segera memisahkan diri dan masing-masing mengambil satu sudut di atas panggung.

   Para jago segera terkurung di tengah.

   Lamkiong Hian segera melolos sebilah pedang berbentuk aneh, cahaya tajam terpancar, sekilas pandang senjata itu mirip seekor ular emas.

   Pada tubuh pedang aneh itu terdapat lima lubang kecil, sewaktu dimainkan berbunyilah suara mendengung yang menggetar perasaan orang.

   Pelahan si nona baju biru berkata.

   "Begitu Liat- yang-sin-kik dimainkan, langit dan bumi akan menjadi rawan, rumput dan pohon sepuluh li di sekitar sini akan layu dan musnah, menghadapi pertarungan antara mati dan hidup ini kita tak boleh berbelas kasihan, lebih baik kita mempertahankan posisi masing-masing!" *** ( )*** "Ehm, tampaknya nona cukup memahami irama Liat-yangsin-kik?"

   Ujar Lamkiong Hian.

   "siasat menghadapi lawan boleh kau saja yang mengatur."

   Kawanan jago yang berada di bawah panggung bisa mengikuti pembicaraan tersebut dengan jelas, suasana menjadi gaduh, dalam waktu singkat sebagian besar kawanan jago sudah kabur meninggalkan tempat itu, kuatir tertimpa bencana.

   Lamkiong Hian memandang sekejap ke bawah panggung, serunya.

   "Anak Giok, harap kaupun mundur sejauh sepuluh li dari sini, tiga jam kemudian datanglah kembali untuk mengurus jenasah ayahmu!"

   Jelas ia tidak mempunyai keyakinan terhadap pertarungan antara mati dan hidup ini, mau-tak-mau ia mesti mengatur langkah berikutnya.

   Jangan sangka wajahnya tetap enteng dan santai, sesungguhnya iapun merasa cemas dan berat.

   Dengan tubuh agak gemetar Lamkiong Giok segera merengek.

   "Oh ayah, ananda bersedia mati bersama engkau!"

   "Ngaco-belo!"

   Hardik Lamkiong Hian.

   "selama Kiam-hong-ceng menjagoi dunia persilatan, mana boleh ada sehari tanpa pimpinan? Kalau kau tidak segera mundur dari sini, kubunuh dirimu lebih dulu!"

   Belum pernah Lamkiong Giok menyaksikan ayahnya semarah ini, ia menggigil takut, setelah melelehkan air mata, dengan perasaan apa boleh buat ia memberi tanda kepada para jagonya untuk meninggalkan tempat itu.

   Sebelum pergi, ia.

   sempat berpaling sambil berbisik sedih.

   "Ayah, baik-baiklah menjaga dirimu, tiga jam kemudian ananda pasti akan datang kembali untuk menjemputmu!"

   Sementara itu jago-jago Thian-seng-po juga telah mendapat perintah untuk meninggalkan tempat itu, lapangan *** ( )*** yang luas kini sudah kosong, tinggal Hu Sim-jin, Pek Bi, Pek Sat, si kakek berambut putih serta Hoa Hong-hui yang tetap tinggal di situ.

   Nona berbaju biru menghela napas, katanya "Lebih baik kalian juga pergi dari sini, seandainya aku mati, laporkan peristiwa ini kepada ayahku!"

   "Kami takkan pergi!"

   Seru si kakek sambil mengentakkan tongkat ke tanah.

   "jika kau mati, kamipun tak punya muka untuk hidup lagi."

   Agaknya Liok He sudah habis sabarnya, tiba-tiba ia berseru.

   "Sudah selesaikah pesan kalian? Kalau belum, katakan saja dengan cepat, sesaat lagi kalian tak akan mampu berbicara lagi!"

   Dengan gusar nona berbaju biru itu melotot sekejap ke arahnya, kemudian ia berpaling kepada Lamkiong Hian, katanya.

   "Pedang lima lubang Toa-ceng-cu bisa digunakan untuk menandingi tambur Siu-hun-koh tersebut, ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian milik Bok Ji-sia sekadarnya juga bisa menandingi Bu-kut-san!"

   Ucapannya mantap, pembagian kerja yang tegas menunjukkan sikap seorang pemimpin yang berwibawa, diam-diam semua jago kagum juga kepadanya, Ia melirik sekejap ke arah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, dia melanjutkan.

   "Sedang kau dan Ku Thian-gak boleh menghadapi seruling tanpa lubang, sebaiknya gunakan pedang untuk, penyerang disertai suitan nyaring, irama seruling lawan harus kalian atasi, ingat tugas ini sangat penting, harap kalian jangan bertindak gegabah!"

   Ketika Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu melihat nona baju biru itu hanya menugaskan orang lain tanpa membagi pekerjaan kepada mereka berdua, dengan gusar dan tak puas mereka berseru.

   "Nona, kenapa kaulupakan kamit" *** ( )*** Nona berbaju biru itu tertawa, jawabnya.

   "Kalian berdua sudah terluka, lebih baik jangan banyak gunakan tenaga lagi, duduk saja di situ sambil mengatur pernapasan, kalau tidak, maka kalian tak tahan lagi terlalu lama."

   Keadaan sekarang berbeda dengan keadaan biasa, masing-masing telah melupakan kedudukan sendiri, masa lalu, semuanya rela dan tunduk untuk menerima perintah seorang gadis jelita.

   Walaupun dalam hati Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu merasa tak puas, namun mereka juga tahu sewaktu mereka berusaha merampas sarung Jian-kim-si-hun-pian tadi, keduanya memang kena dipecundangi orang.

   Begitulah, bicara sampai di sini, si nona baju biru segera menggulung jubahnya hingga kelihatan cincin biru yang dikenakannya, di antara pancaran sinar biru tertampak seakan-akan bersemu ungu.

   Liok Cun, pemimpin Hong-lay-su-koay menghela napas, katanya.

   "Tak nyana nona pandai betul mengatur siasat, sejak meninggalkan Hong-lay, baru sekali ini kami turun tangan, kesempatan ini akan kami coba sampai di manakah kehebatan irama Liat-yang-sin-kik. Nah, saudara-saudaraku, ayo kita mulai turun tangan!"

   Tiga siluman tua lainnya segera mengiakan, serentak mereka maju bersama.

   Mendadak sinar emas berkelebat di udara menyongsong cahaya matahari, semua orang merasa silau oleh sinar yang tajam itu, sehingga untuk sekian lama tak sanggup membuka mata.

   Nona berbaju biru itu menghela napas panjang, tiba-tiba dari cincin birunya terpancar keluar serentetan sinar lembayung yang segera bertumbukan dengan cahaya emas yang terpancar dari cermin Liok Ciu tersebut, kontan sinar emas itu menjadi guram.

   *** ( )*** "Tung!"

   Bunyi tambur perenggut nyawa bergema di udara, semua orang merasa berdebar dan nyaris tak tahan.

   Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian tak berani gegabah, tenaga dalamnya segera disalurkan sehingga pedang lima lubang mengeluarkan suara mendengung yang memekak telinga, suara ini segera membendung irama tambur yang menggetar sukma.

   Kipas Bu-kut-san Liok He dikebaskan pelahan, angin puyuh segera berembus mengiringi suara guntur yang keras, sedemikian dahsyatnya embusan angin itu membuat tubuh para jago sama bergoyang.

   Sesungguhnya ruyung Jian-kim-si-hun-pian Bok Ji-sia terhitung benda mestika dunia persilatan, suara aneh yang terpancar juga amat tajam namun suara itu sukar membendung kehebatan Bu-kut-san, malahan terkadang terdesak.

   Tapi pemuda itu bertahan sekuatnya, sambil mengertak gigi dia himpun segenap tenaga dalam untuk melawan Liok He, dia tahu lebih baik memberi perlawanan sekuatnya daripada menyerah kalah dan mandah dijagal orang.

   Yang paling menakutkan adalah seruling tanpa lubang milik Liok Tong, di bawah tiupannya segera berkumandang semacam suara aneh yang melengking tajam, membuat orang mengkirik, lalu mandi keringat dingin.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah jago pedang kenamaan, tapi dalam keadaan begini ia gagal menggunakan jurus mautnya untuk mendesak musuh, tiap kali serangannya baru mencapai setengah jalan lantas kebentur selapis tenaga penghadang yang membendung serangannya itu, terpaksa ia ganti serangan dengan jurus baru.

   Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak dengan tangan mengepal memperdengarkan suitan panjang melengking, suaranya keras dan berhasil menekan sebagian irama seruling *** ( )*** tanpa lubang yang menggema di udara.

   Betul situasi dapat teratasi untuk sementara waktu, tapi keadaan semacam ini jelas tak bisa bertahan lama.

   Percuma Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu memiliki ilmu silat tinggi, waktu itu mereka hanya merasa telinga seperti tergetar suara guntur, kepala pusing dan mata berkunang-kunang, sekalipun sudah duduk bersila, namun mereka masih terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik.

   Dalam waktu singkat, debu pasir beterbangan, suara aneh berkumandang, suara tambur dan irama seruling memekak telinga, ditambah lagi desing pedang dan deru angin hingga serupa orkes simfoni yang jarang terlihat.

   Sekalipun kedua pihak masih tetap saling bertahan, tapi keadaan para jago semakin payah dan terancam bahaya.

   Mendadak bayangan manusia berkelebat, rupanya Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu tak tahan menghadapi pengaruh irama sakti tersebut, be -runtun mereka terlempar jatuh dan panggung dan tak sadarkan diri.

   "Saudara-saudara, ayo tambah tenaga, mereka sudah hampir habis!"

   Seru Liok He setelah menyaksikan kejadian itu.

   Tenaga serangan diperhebat, hampir saja beberapa orang itu tak sanggup bertahan lagi, tetapi pertarungan ini menyangkut mati-hidup mereka, terpaksa mereka melawan mati-matian.

   Hong-lay-su-koay semula berdiri tegak di empat sudut, kini berada dalam posisi setengah berjongkok, rambut pada berdiri dan mata melotot, otot hijau sama menonjol keluar, tampaknya merekapun kepayahan.

   Napas sama terengah-engah seperti dengus kerbau, peluh mengucur keluar membasahi sekujur badan.

   *** ( )*** "Blang!"

   Terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik yang maha dahsyat itu, sebatang pohon raksasa berusia ratusan tahun mendadak patah dan tumbang.

   Bukan cuma begitu, rumput dan daun sekitar tempat itu pun kuning layu, suasana kelabu suram meliputi sekitar tempat ini.

   Bok Ji-sia dengan Jian-kim-si-hun-pian telah bertahan hampir seratus jurus lebih, namun ia selalu gagal mengatasi serangan kipas Bukut-san, sebaliknya ia mulai merasa tak tenang, kuda-kuda mulai goyah dan darah bergolak keras.

   Kini tangan mulai gemetar, tubuh makin lama juga makin lemah, napasnya tambah berat, rasanya hampir tak tahan.

   Cahaya lembayung terpancar dari cincin biru di tangan si nona baju biru, agaknya cahaya tersebut berhasil mengatasi sinar keemasan lawan, tapi gadis itu tetap berdiri tak bergerak sementara matanya berputar ke sana ke mari memperhatikan situasi gelanggang.

   Nona itu sadar kekalahan bagi pihaknya tinggal soal waktu saja, irama Liat-yang-sin-kik secara langsung telah mengguncangkan pikiran mereka, sekalipun di luar mereka tidak ada gejala apa-apa, padahal diam-diam mereka sudah terluka parah.

   Dengan suara lemah ia lantas berseru.

   "Bila bertahan satu setengah jam lagi, keempat tua bangka inipun tak akan jauh berbeda daripada kita."

   Meskipun hanya sepatah kata yang diucapkan dengan suara lemah, tapi pengaruh kewajibannya justru sangat besar, kontan semua orang merasakan semangatnya bangkit kembali, getaran suara pedang lima lubang milik Lamkiong Hian telah pulih kembali kehebatannya seperti semula, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dengan ilmu Seng-gwat-kiam-hoat juga melancarkan kembali jurus serangan yang mematikan.

   *** ( )*** Sebetulnya suara suitan Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak waktu itu sudah kehabisan tenaga, nampaknya suaranya akan segera tertelan oleh irama seruling tanpa lubang, mendadak suitan melengking kembali dengan nyaringnya hingga berimbang dengan irama seruling.

   Mendadak awan hitam berkumpul di angkasa dan menutupi sinar matahari, udara menjadi suram.

   Tiba-tiba saja irama aneh Liat-yang-sin-kik terhenti di tengah jalan, suasana berubah menjadi hening.

   Sekalipun kipas Bu-kut-san masih bergoyang tapi tidak bertenaga lagi, irama seruling segera terhenti, tubuh Liok Tong menggigil, suara tambur sirap dan cahaya emas dari cermin pun lenyap semuanya menjadi sepi, hening .

   Para jago di atas panggung masih berdiri tegak di tempat semula, terdengar dengus napas mereka yang memburu .

   Wajah Liok Ciu yang pucat kekuning-kuningan menjadi beringas, dengan suara gemetar ia berkata.

   "Thian tidak membantu diriku, apa daya? Apa daya? Ai, rupanya memang takdir.."

   Agaknya Liok Tong merasa tidak puas, serunya tiba-tiba.

   "Toako, keadaan kita ibaratnya sudah berada di atas punggung harimau, biar kita mainkan saja empat bait terakhir irama maut!"

   Liok Cun menghela napas.

   "Ai, betapa senangnya hidup kita di Hong-lay-to selama ini, siapa suruh kita percaya pada obrolan Oh Ku-gwat tanpa menyelediki lebih dulu duduknya perkara, inilah yang dinamakan mencari penyakit sendiri"

   "Kayu sudah menjadi perahu, menyesal juga tak ada gunanya, Lotoa tak perlu banyak bicara lagi,"

   Kata Liok He dengan angkuh. Kipas Bu-kut-san segera direntangkan lebar-lebar, ia siap untuk pertaruhan terakhir. *** ( )*** Nona berbaju biru sejak tadi membungkam, tiba-tiba berkata.

   "Aku sudah mengusai ilmu Cing-peng-kang-khi, sekalipun irama Coat-mia-kik sangat lihai, juga tak bisa berbuat apa-apa terhadap nona!"

   Mendengar perkataan itu, Hong-Iay-su-koay terkesiap, rasa ngeri dan kaget terpancar di wajah mereka, jelas mereka merasa jeri oleh perkataan Cing-peng-kang-khi atau ilmu ketenangan jiwa.

   "Sungguhkah perkataanmu, nona?"

   Tanya Liok Cun terperanjat. Nona berbaju biru itu mendengus.

   "Kalau tidak benar, kenapa aku tidak terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik kailan? Kenapa pula aku tidak terluka? Masa kalian tak dapat melihatnya sendiri?"

   Karena ucapan itu diutarakan dengan nada sungguh- sungguh.

   Hong-lay-su-koay tahu gadis itu tidak main gertak, mau-tak-mau mereka harus pertimbangkan kembali untung ruginya pertarungan selanjutnya.

   Tiba-tiba Liok Tong tertawa, katanya "Bila naga dan harimau bertarung, salah satu akhirnya pasti mati, maka dalam pertarungan hari ini, jika bukan kalian yang mampus biarlah kami yang mati.

   Budak perempuan, nantikan saja kematianmu !"

   Seruling tanpa lubang itu segera ditempelkan lagi pada bibirnya, Liok Ciu juga mulai mengangkat cermin anehnya, Liok Cun melirik sekejap ketiga rekannya, ia menghela napas, terpaksa iapun menabuh tambur pembetot sukmanya.

   Dengan kening berkerut nona berbaju biru berkata.

   "Sekarang teriknya matahari sudah pudar, kalian yakin berapa bagian kelihaian Coat-mia-kik kalian itu bisa dipancarkan?"

   "Tenaga murni kami sudah hilang separuh, sekarang pun tiada bantuan teriknya matahari, kupikir irama Coat-mia-kik *** ( )*** paling banter hanya bisa di pancarkan lima bagian saja, tapi kami percaya tiga bagian teaaga sakti Coat-mia-kik pun takkan mampu kalian lawan." "Baiklah, kala u begitu kalian boleh segera mulai menyerang,"

   Ujar si nona berbaju biru sambil tertawa.

   "cuma irama Coat-mia-kik dirangkai dengan empat bait syair, bila kalian tak sanggup memancarkan kekuatannya hingga sejauh sepuluh li, kukira kami masih dapat mempertahankan diri ."

   Hong-lay-su-koay tidak bicara lagi, diam-diam timbul juga semacam perasaan menghormat dalam hati mereka terhadap jago-jago tangguh yang berada di atas panggung ini.

   Deru angin kencang, embusan angin puyuh kembali berjangkit pula dari empat penjuru, irama Coat-mia-kik mulai berkumandang lagi.

   Ditinjau dari istilah Coat-mia-kik berarti sebelum orangnya mampus irama takkan berhenti, jadi semacam ilmu untuk beradu jiwa.

   Ketika irama maut mulai menggema di udara, suasana menjadi tegang lagi.

   Sedemikian dahsyatnya sehingga jagat seakan-akan berubah menjadi gelap.

   Sejenak lewat sejenak, sejam lewat sejam, sudah sekian lama sang waktu berlalu.

   Huan-in-kiam Lamkiong Giok dengan jago yang sudah mundur sejauh sepuluh li hanya bisa memandang ke arah panggung Kim-leng-tay dengan termangu, dia menyaksikan selapis kabut menyelimuti sekeliling tempat itu.

   Irama aneh yang bercampur aduk kedengaran tiada hentinya, waktu itu ia melupakan segalanya yang diharap adalah semoga ayahnya bisa kembali dalam keadaan selamat.

   Dengan kesempurnaan tenaga dalamnya, ia masih mampu mempertahankan diri terhadap pengaruh irama aneh yang lamat-lamat terdengar, berbeda dengan para jago lainnya *** ( )*** yang sementara itu sudah mundur lagi lima li ke sana, dengan demikian tinggal dia sendiri di situ.

   Ia tidak menyadari telah dicelakai Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian secara diam-diam, tapi irama Liat-yang-sin-kik yang dahsyat dan bisa memusnahkan orang itu juga merupakan pula irama penyembuh yang paling mujarab, tanpa disadarinya racun yang mengeram dalam tubuhnya ketika itu telah tersapu lenyap seluruhnya.

   Mendadak pandangannya terbeliak, sesosok bayangan dengan membawa empat macam benda berat sedang bergerak mendekat ke sini.

   Seketika hati terasa dingin.

   Tertampak olehnya, Hu Sim-jin, si sastrawan misterius itu ctelah melemparkan tubuh Pek Bi dan Pek Sat ke tanah, menyusul dilemparkan pula tubuh Hoa Hong-hui serta si kakek berambut putih yang dikempitnya.

   Dari pihak Hek-liong-kang, kecuali si nona berbaju biru yang masih mampu melawan pengaruh irama Liat-yang-sin-kik, Pek Bi, Pek Sat dan Hoa Hong-hui sudah tidak tahan lagi.

   Sedang si kakek berambut putih itu meski masih bisa melawan, sayang tenaga murninya sudah banyak berkurang, mereka berempat sudah tak sadarkan diri.

   Lantas siapakah sastrawan yang mengaku bernama Hu Sim-jin ini? Kenapa begitu sempurna tenaga dalamnya sehingga tidak takut pengaruh irama Liat-yang-sin-kik yang hebat? Belum pernah terdengar seorang tokoh selihai ini dalam dunia persilatan.

   Lamkiong Giok sangat menguatirkan keselamatan ayahnya, meski dia angkuh dan tak sudi tunduk di bawah perintah orang, tapi keadaan mendesak, terpaksa ia maju ke depan.

   "Saudara, bagaimana keadaan di sana?"

   Tanyanya dengan gelisah.

   *** ( )*** Hu Sim-jin mendengus, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia berjalan balik ke Kim-leng-tay.

   Melihat sikap angkuh orang, Lamkiong Giok naik pitam, timbul niat jahatnya, timbul nafsu membunuhnya, sambil tertawa latah teriaknya.

   "Saudara, apakah kau tak sudi bicara denganku?"

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memangnya kau tak bisa melihat sendiri?"

   Jengek Hu Simjin.

   "Agaknya kaupun seorang tak berguna, kukira Lamkiong Hian benar-benar mempunyai anak bagaikan naga, rupanya apa yang dikabarkan dalam dunia persilatan jauh berbeda dari kenyataan!"

   Habis berkata ia tak menggubris Lamkiong Giok lagi, ia putar badan dan berlalu dari situ, sikapnya angkuh sekali! Lamkiong Giok tertawa.

   "Bagus! Kesombonganmu cukup menarik dan juga menggemaskan, berdasarkan apa kau berani takabur di hadapanku?"

   Tiba-tiba berkelebat cahaya perak seperti naga perkasa langsung mengurung batok kepala Hu Sim-jin.

   Hu Sim-jin tertawa nyaring, gerak tubuhnya mendadak dipercepat dan meluncur ke depan, secara manis dan cekatan ia meloloskan diri dari ancaman tersebut.

   "Hm, Aku tak ada waktu berurusan denganmu, lain kali pasti akan kucoba kelihaian ilmu pedang Huan-in-kiam-hoatmu,"

   Dengus Hu Sim-jin.

   "apalagi sekarang masih banyak orang yang perlu ditolong, ayahmu juga harus ditolong secepatnya!"

   Habis berkata, secepat terbang dia meluncur lagi ke depan. Lamkiong Giok melengak, sambil mengejar dari belakang, serunya.

   "Sampai di mana kehebatanmu, berani meremehkan orang lain?" *** ( )*** Sambil mengerahkan ilmu langkah Thian-ti-liu-in (tangga langit awan mengapung) ia mengejar terus dengan ketatnya, dia sangat gemas sampai giginya gemeretuk. Tiba-tiba berkumandang suara keras yang membawakan empat bait syair. Badai salju menyelimuti bumi, Hari ini berkelana sebagai pendekar. Untuk menikmati kebahagiaan manusia. Marilah ikut ke Hong-lay nirwana! Itulah keempat bait syair irama Coat-mia-kik, agaknya Hong-lay-su-koay telah mengerahkan segenap kekuatan irama Coat-mia-kik untuk merobohkan lawan-lawannya. Ketika bait terakhir itu berkumandang, Lamkiong Giok merasakan tenggorokannya anyir, darah bergolak dalam dadanya, tanpa ampun ia tumpah darah segar, tubuhnya bergoyang terasa berat untuk melangkah lebih jauh. Kekuatan yang terpancar dari sepuluh li jauhnya masih sedahsyat ini, bisa dibayangkan bagaimana jadinya keadaan di atas panggung Kim-leng-tay. Langkah Hu Sim-jin juga sempoyongan, gerak tubuhnya tidak secepat semula lagi, ini menunjukkan dia juga sedang mengendalikan diri terhadap gempuran irama Coat-mia-kik yang maha dahsyat itu. Segala sesuatunya terasa berlangsung dengan tiba-tiba, tapi berakhir pula dengan cepat, suasana menjadi hening dan tenang kembali, seakan-akan tak pernah terjadi apapun. Untung tenaga dalam para jago di atas panggung Kim-leng-tay rata-rata kelas tinggi hingga cuma darah yang meleleh pada ujung bibirnya. Sementara itu Liok Tong dengan mata melotot dan wajah menyeringai telak tewas secara mengerikan di sana. *** ( )*** Liok He dan Liok Ciu juga mati dengan isi perut hancur dan pecah pembuluh darahnya. Hanya Liok Cun yang bertenaga dalam paling tinggi berhasil lolos dari musibah tersebut, meski tenaga dalamnya terkuras habis, namun jiwanya masih bisa diselamatkan. Ia mamandang sekejap kawanan jago yang tergeletak di atas pangung, dengan wajah sedih gumamnya.

   "Bila tidak terlintas setitik sinar kasihan dalam benakku, saat ini kalian tentu tak bernyawa lagi!"

   Dengan lemah tangannya menggapai, empat ekor bangau raksasa putih segera melayang turun di sisinya, setelah naik ke punggung bangau dengan susah payah, ia memberi tanda lagi dan pelahan terbanglah burung-burung itu atas.

   Dari kejauhan terdengar suara senandungnya yang penuh kepedihan bergema di angkasa.

   Suara nyanyian kian lama kian jauh, bangau putih itu akhirnya lenyap di balik awan jauh di ujung langit sana.

   Tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari bawah panggung Kim-leng-tay, ia memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu sambil tertawa keras katanya.

   "Hahaha, usaha penumpasan ini betul-betul berhasil. Hahaha.! Puas! Sungguh puas!"

   Sambil tertawa tiada hentinya, dia berjongkok, untuk memungut Jian-kim-si hun-pian serta sarung ruyung yang tak sempat dibawa oleh Liok Cun.

   "Oh Ku-gwat!"

   Mendadak seorang menegur dengan nyaring.

   "usahamu dan siasat busukmu telah berhasil!"

   Dengan terperanjat jago Thian-seng-po ini berpaling.

   Dilihatnya si nona baju biru telah sadar kembali dari pingsannya, dengan tubuh yang lemah gadis itu sedang merangkak bangun dan menatap ke arahnya penuh kebencian.

   *** ( )*** Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat terkejut, niat jahatnya segera timbul, sambil tertawa dia menjawab.

   "Ah. mana! Masih ada seorang bibit penyakit yang belum sempat kubasmi!"

   Selangkah demi selangkah ia maju ke sana, jelas ia bermaksud membinasakan nona berbaju biru itu agar satu-satunya bibit penyakit inipun bisa disingkirkan dari muka bumi.

   Melihat air mukanya yang menyeringai itu, menggigil juga nona berbaju biru itu, otaknya segera berputar untuk mencari akal.

   Akhirnya sambil menghela napas sedih ia berkata.

   "Jika aku mati, kaupun jangan harap bisa hidup!"

   Oh Ku-gwat tertegun, tanpa terasa ia menghentikan langkahnya.

   "Ah, masa begitu gawat?"

   Dengusnya.

   Waktu itu segenap tenaga dalam nona berbaju biru itu telah punah, sekujur tubuh terasa lemas tak bertenaga, dengan wajah murung, ia tertawa sedih, kemudian katanya.

   "Kedua dayangku dan Suhengku masih berada di sekitar sini, mungkin sebentar lagi mereka akan tiba kembali!"

   "Ngaco-belo!"

   Seru Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat sambil bertepuk tangan dan bergelak tertawa "para pelindungmu sudah musnah terhajar oleh irama Liat-yang-sin-kik, selamanya mereka takkan datang lagi!"

   "Ai,"

   Nona berbaju biru itu menghela napas sedih, agaknya ia sedang menahan siksaan yang mematikan.

   "Kaupun takut mampus?"

   Ejek Oh Ku gwat.

   "Semut saja ingin hidup, apalagi manusia ."

   Jawab si nona berlagak tidak mengerti.

   "Hahaha, kalau mengingat wajahmu yang cantik dan kecerdasan otakmu, aku benar-benar tak tega turun tangan, *** ( )*** tapi persoalan ini menyangkut kepentinganku, sebab itulah.."

   "Kau ingin membunuhku untuk melenyapkan saksi bukan?"

   Jengek si nona sambil tertawa dingia "Hahaha, benar aku memang bermaksud demikian! Aku handak menciptakan suatu teka-teki berdarah di atas panggung Kim-leng-tay ini, agar orang tak berhasil menebak untuk selamanya!"

   "Kalau begitu, ayolah cepat turun tangan!"

   Seru si nona dengan gusar.

   "jangan kau kira aku takut!"

   "Bagus! Bagus! Ingin kulihat bagaimana mimik wajahmu menjelang kcmatianmu nanti!"

   Seru Oh Ku-gwat, lalu ia tertawa lagi dengan senang.

   "Jangan berpikir seenak perutmu, kau pasti akan kecewa!"

   Sahut si nona. Nafsu membunuh muncul lagi di wajah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, pelahan telapak tangan kanannya terangkat. Dengan tenang si nona baju biru itu memejamkan mata dan menunggu datangnya pukulan maut itu. Mendadak seorang tertawa dingin.

   "Meskipun niatmu keji, tapi teka-teki ini diketahui juga olehku!"

   Dengan terkejut Oh Kay-gwat berpaling, entah sedari kapan seorang sastrawan muda sedang memandang sinis padanya di belakang.

   "Hehehe, bagus sekali kedatanganmu ini!"

   Seru Oh Kay-gwat sambil tertawa seram.

   "akan kubereskan sekalian nyawamu!"

   Dengan cepat segera dia cengkeram dada Hu Sim-jin. Merah wajah Hu Sim-jin, ia mengira musuh sengaja bertindak kurangajar kepadanya, dengan marah dia *** ( )*** membentak.

   "Manusia laknat yang tak tahu malu, kau ingin mampus?"

   Ia melangkah maju, telapak tangannya direntangkan dengan jurus Leng-liong-liau-ka (naga sakit membuka sisik) cepat ia sambut ancaman lawan, bukan gerak tubuhnya saja yang aneh, jurus serangan yang dipergunakan juga luar biasa.

   Oh Ku-gwat terkesiap, begitu melihat jurus serangan itu, segera ia menyurut mundur, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian segera bergerak dan secara beruntun melancarkan tiga kali serangan.

   Hu Sim-jin tahu kelihaian ruyung emas itu, cepat ia menggeser kesamping, ia tak berani menyambut ancaman tersebut dengan keras lawan keras.

   Tak terduga, tahu-tahu lengannya sudah dipegang orang, dengan terkejut ia putar badan sambil melepaskan pukulan keras ke dada orang, Tertampak Huan-in-kiam Lamkiong Giok tersenyum sambil berkelit mundur, hati Hu Sim-jin bergetar, dengan jantung berdebar ia menundukkan kepalanya.

   "Harap saudara mundur,"

   Ujar Lamkiong Giok sambil tertawa.

   "biar aku menjajal kehebatan ilmu pedang Thian-kang-kiam-hoatnya!"

   Kemudian kepada Oh Ku-gwat dia berkata.

   "Oh-lotoa, ayahku terluka paruh, hal ini boleh dibilang berkat perbuatanmu, sungguh rendah perbuatanmu itu, mulai hari ini umat persilatan Tionggoan bersama-sama akan memusuhi dirimu ..!"

   Bicara sampai di sini, dengan jurus serangan Huan-in-kiam yang hebat dia menusuk, cahaya putih berkilauan, dengan membawa desing angin tajam ia kurung jalan darah kematian sekujur badan lawan.

   *** ( )*** Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat terkesiap, apalagi dilihatnya makin lama makin banyak orang yang tiba di situ, ia sadar usahanya mengelabui umat persilatan telah gagal total, segera ia bermaksud mengundurkan diri, sebab walaupun usahanya tidak berhasil, barang yang diincar dapat dirampasnya, itu berarti sebagian besar dari tujuannya telah tercapai, bila rahasia ruyung itu bisa dibongkar dan harta karun berhasil didapat.

   Sementara itu beberapa titik cahaya putih sudah menyambar tiba, mendadak ia berkelit, lalu dengan jurus Sin liong-jut-in (naga sakti keluar dari mega) dia melepaskan serangan balasan dengan tangan kanan.

   Deru angin pukulan yang dahsyat segera mendampar ke depan dengan hebatnya.

   Tenaga dalam Lamkiong Giok sesungguhnya termasuk hebat, iapun terhitung salah seorang jago tangguh dewasa ini, tapi Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat adalah seorang gembong iblis, sudah barang tentu tenaga dalamnya jauh lebih hebat, sebab itulah Lamkiong Giok tak berani menyambut dengan kekerasan.

   Cepat dia menarik kembali pedangnya dan melompat mundur.

   Tujuan Oh Ku-gwat memang hendak memaksa dia berbuat demikian, sambil tertawa serunya.

   "Ha-haha, aku berangkat duluan!"

   "Bangsat tua, jangan kabur, tinggalkan dulu Jian-kim-si-hun-pian itu!"

   Bentak Lamkioug Giok. Cahaya putih meluncur ke sana dengan gerakan Liu-in-hui-kiam (pedang terbang bagaikan awan melayang) dia mengejar Oh Ku-gwat.

   "Dalam pada itu Hu Sim-jin telah mendekati si nona baju biru sambil bertanya.

   "Bagaimana keadaan lukamu?" *** ( )*** "Agak baikan,"

   Jawab si nona sambil tertawa.

   "coba kalau kau tidak muncul tepat pada waktunya mungkin aku sudah mati tadi."

   Tiba-tiba Hu Sim-jin tertawa pedih, keluhnya.

   "Andaikan hari ini tidak terjadi kebetulan, darimana aku mempunyai kepandaian sehebat ini?"

   Sambil berkata, sinar matanya beralih ke tubuh Bok Ji-sia, dilihatnya pemuda itu tenang saja, kecuali napasnya yang berat hampir tiada tanda menderita luka.

   Nona berbaju biru itu menghela napas, katanya.

   "Kesempurnaan tanaga dalamnya jauh di luar dugaanku, seandainya Liok Cun tidak sengaja lepas tangan, akibatnya juga sukar dibayangkan!"

   Tiba-tiba Kiam-hong-cengcu bergerak pelahan dan membuka matanya, menyusul Bok Ji-sia juga sadar dari pingsannya, kemudian Seng gwat-kiam Oh Kay-thian dan terakhir Siau-yau-sian-kong-kek Ku Thian-gak.

   Sementara semua jago masih termangu, dari bawah panggung mendadak berkumandang jeritan ngeri, begitu keras suara itu membuat hati semua orang bergetar.

   Tertampaklah Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu dengan rambut terurai tak karuan, mata melotot dan darah kental membasahi bibirnya menubruk ke atas panggung seperti orang gila.

   Hu Sim-jin terkesiap, tanpa terasa dia menghimpun tenaga dalam dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

   Air muka kedua orang itu menyeringai seram, seolah-olah iblis yang siap menerkam mangsanya.

   Siapakah sesungguhnya Hu Sim-jin dan apa hubungannya dengan orang Hek-liong-kang? *** ( )*** Dapatkah Bok Ji-sia merebut kembali sarung ruyung yang menyimpan sesuatu rahasia harta karun itu? -oo0dw0oo-

   Jilid 18 Menyaksikan itu, nona berbaju biru menghela napas, katanya.

   "Kesadaran kedua orang ini sudah dirusak oleh irama Liat-yang-sin-kik, dalam keadaan demikian, kawan atau lawan yang mendekati mereka tentu akan diserangnya secara keji, lebih baik kedua orang itu dibereskan saju nyawanya. Kalau tidak, bisa jadi kita yang akan dicelakai mereka, saudara Hu lebih baik kau Sudah barang tentu Hu Sim-jin tahu arti ucapannya yakni kecuali dia yang sanggup menahan kedua gembong iblis yang sudah gila itu, yang lain boleh dibilang tiada bertenaga lagi. Hu Sim-jin segera memungut pedang berlubang milik Lamkiong Hian yang tergeletak di tanah itu, katanya.

   "Jangan kuatir nona, serahkan saja kedua orang ini padaku!"

   Beribu-ribu kuntum bunga pedang dengan cepat terpancar menyusul bergetarnya pedang berlubang itu, ia menerjang ke arah Si-hun-koay-sat-jiu dan menahas pinggangnya.

   "Saudara tak perlu repot-repot,"

   Mendadak Lamkiong Giok melompat maju sambil tertawa dingin.

   "biar aku saja yang membereskan kedua orang ini."

   Sekali tangan bergerak, dua larik sinar putih segera menyambar ke muka..

   Jeritan ngeri menggema di udara, tubuh Kun-tun Cinjin segera terkapar di tanah, Menyusul darah tepercik ke mana-mana di tengah teriakan kesakitan, batok kepala Si-hun-koay-lat-jiu segera menggelinding ke tanah.

   *** ( )*** Lalu cahaya putih berkelebat, tahu-tahu Lamkiong Giok telah menyimpan kembali pedangnya, senyuman puas menghiasi ujung bibirnya, Hu Sim jin mendengus.

   "Huh, siapa, yang suruh kauturun tangan ..."

   Lamkiong Giok tertegun, katanya kemudian.

   "Aku bukao turun tangan bagimu tapi demi keselamatan orang banyak. ..."

   "Lain di mulut lain di hati. Hmk! pura-pura berbudi, sok murah hati, munafik"

   Damperat si nona baju biru. Lamkiong Giok menjadi tersipu-sipu, dengan tertawa kikuk ia menghampiri ayahnya. Waktu itu Lamkiong Hian telah selesai bersemadi, melihat puteranya mendekat, dengan terharu ia berbisik.

   "Anak Giok, ayah mengira tak bisa bertemu lagi denganmu!"

   "O, ayah, ananda betul-betul cemas"

   Kata Lamkiong Giok dengan terharu. Dibimbingnya orang tua itu berbangkit, kemudian berjalan perlahan.

   "Saudara Bok,"

   Kata Lamkiong Giok kepada Bok Ji-sia sambil tertawa.

   "Siaute berangkat duluan, setelah luka ayahku sembuh tentu akan kutemani saudara Bok berkelana di dunia persilatan dan bersama2 berbakti bagi umat persilatan"

   Ji-sia tertawa pedih.

   "Lantaran kurang hati-hati hingga Siaute mengalami malapetaka, sekalipun sekarang aku dapat bergerak, sayang tak dapat mengantar kepergianmu"

   Lamkiong Hian dan Lamkiong Giok berpaling dan tertawa, tanpa bicara lagi mereka lanjutkan perjalanan, sekejap kemudian bayangan merekapun lenyap di kejauhan sana.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian juga tidak mengucapkan.

   sepatah kata pun berlalu dari sana.

   *** ( )*** Tiba-tiba nona berbaju biru itu berkata kepada Ku Thian-gak sambil tertawa.

   "Ku Thian-gak, ikutlah pulang ke istana!' "Baik, nona!"

   Jawab Ku Thian-gak dengan tertawa pedih. Dengan sinar mata yang aneh tiba-tiba nona berbaju biru itu memandang Bok Ji-sia sekejap, lalu berkata.

   "Saudara Hu, sampai berjumpa lain waktu! Ai, antara cinta dan benci memang tiada perbedaan yang besar, bila hatimu merasa suka maka itulah cinta, bila merasa benci itulah benci, cuma jangan, bertindak kelewat batas."

   Air muka Hu Sim-jin tampak berubah-ubah, agaknya ia sedang menimbang sesuatu persoalan. Sementara itu Siau-yau-sian-kong-kek Ku Thian-gak telah mengikut di belakang nona berbaju biru itu dan meninggalkan tempat itu.

   "Berhenti!"

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendadak bentakan keras berkumandang. Tertampak Bok Ji-sia dengan menyeringai berdiri angker di hadapan mereka, dengan mata melotot gusar ia mengawasi nona baju biru itu.

   "Mau apa kau?"

   Tegur nona berbaju biru itu dengan tertawa dingin.

   "Tinggalkan Ku-cianpwe di sini!"

   Nona berbaju biru itu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Baiklah!"

   Sahutnya "cuma kukira kau tak bisa menahannya tinggal di sini!"

   Habis berkata ia benar-benar pergi seorang diri. Ji-sia jadi tertegun, Hu Sim-jin yang berdiri di samping juga melengak, dengan sinar mata curiga mereka awasi bayangan punggung si nona.

   "Bok-lote!"

   Akhirnya Ku Thian-gak bersuara dengan wajah mengejang menahan sedih.

   "persoalan ini tiada sangkut *** ( )*** pautnya dengan dirimu, lebih baik jangan ikut campur, apalagi budi dan dendam di balik masalah ini tak mungkin bisa dicampuri onng lain, biarlah maksud baikmu kuterima dalam hati saja!"

   Selesai berkata ia lantas buru-buru menyusul di belakang si gadis tadi. Ji-sia hanya menghela napas panjang, sambil memandang awan di angkasa pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, ia bergumam.

   "Ai, Bagaimanapun aku harus menolong Ku-cianpwe."

   Tiba-tiba ia terkejut oleh bergemanya suara tertawa ejek di belangkangnya, tertawa itu sangat menusuk pendengaran, jelas bukan suara seorang pria Ketika ia berpaling dilfhatnya Hu Sim-jin sedang melotot padanya dengan smar mata penuh kebencian.

   Ji-sia tertegun, tegurnya.

   "Saudara, ada urusan apa ? "Dongak kepalamu dan tataplah aku!"

   Seru Hu Sim-jin sambil tertawa dingin.

   Bok Ji-sia kembali melengak, dengan perasaan tak senang ia mendengus, dengan tajam ia melirik sekejab wajah orang, tapi kembali ia tertegun, sebab wajah Hu Sim-jin terlalu mirip dengan seseorang.

   "Urusan magih banyak yang belum selesai, maaf aku tak berniat ribut denganmu!"

   Kata Ji-sia sambil mendengus angkuh.

   Habis berkata, tanpa menggubris orang lagi dia putar badan dan pergi dari situ, Msndadak bayangan berkekbat.

   tahu tahu H u Sim jin ra&ngadang lagi di depannya, hal ini membuat pemuda tersebut naik pitam ....

   *** ( )*** "Kau betul-betul sudah lupa padaku!"

   Teriak H u Sim-jin dengan tubuh gemetar.

   "Aku memang tidak kenal dirimu!"

   Jawab Ji-sia dengan tertawa.

   "Plak! Plok!"

   Dua tamparan keras bersarang telak di pipi Bok Ji-sia, seketika muka pemuda itu marah dan melongo.

   "Kau berani memukul aku!"

   Teriaknya penasaran.

   Kontan ia balas menampar beberapa kali muka Hu Sim-jin.

   Kedua pipi Hu Sim-jin seketika merah bengkak, sambil menjerit ia menutup muka sendiri'seraya menangis sedih.

   Melihat kelakuan orang, kembali Ji-sia tertegun, ia tak mengira seorang lelaki bisa berjiwa sehina itu, cuma ditampar beberapa kali air mata lantas bercucuran.

   Tahu begini tentu ia takkan menghajar orang semacam ini, seorang lelaki pengecut yang tak tahu malu.

   Dengan sedih Hu Sim-jin masih menangis tersedu-sedu.

   "Pukul aku! Bunuh saja diriku!"

   Serunya sambil terisak.

   "lebih baik aku mati daripada disiksa oleh manusia yang tak berperasaan. Bok Ji-sia, ayo pukul saja sampai aku mati!"

   Menyaksikan itu, Bok Ji-sia berpikir lagi dalam hati.

   "Kalau dilihat lebih teliti, orang ini tidak mirip seorang pengecut yang tak tahu rablu, tapi mengapa ia menangis begitu sedih? Jangan-jangan dia seperti diriku dalam hati juga terpendam sesuatu soal yang memilukan hati ., , .

   "

   Berpikir demikian, dengan rasa menyesal ia lantas bertanya.

   "Saudara, sebetulnya ada persoalan apakah engkau begini bersedih hati?"

   Ucapan ini amat menusuk hati Hu Sim-jin hingga sekujur tubuhnya bergemetar. *** ( )*** "Kau betul-betul lelaki kejam yang tak berperasaan!"

   Dampratnya penuh kebencian.

   Seraya berkata ia lantas menarik ikat kepalanya hingga terurailah rambutnya yang hitam dan panjang.

   Ji-sia berdiri melongo, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya.

   Benar-benar di luar dugaan, Hu Sim-jin ternyata seorang gadis ....

   "Kau ..."

   Ia menuding dengan gemetar.

   "Ya, aku Tong Yong-iing!"

   Seru Hu Sim-jin dengan tertawa pedih.

   "seorang perempuan hina yang tak tahu malu, dalam pandanganmu aku tak lebih cuma seorang perempuan sial!"

   Sungguh Ji-sia sangat menyesal, ia merasa banyak berhutang hudi kepadanya, tapi pengalaman pahit masa lalu membuatnya tak berani sembarangan menerima cinta dari seorang gadis.

   "Nona Tong adalah gadis yang suci bersih,"

   Ucapnya pedih.

   "aku merasa berdosa aku tak berani"

   Semenjak berjumpa dengan Bok Ji-sia, dalam hati Bwe-hoa--sian-ktam Tong Yoog-ling telah membekas bayangan anak muda itu, keangkuhan dan kekerasan hati Ji-sia selalu terbayang olehnya.

   Apalagi sejak senasib sependeritaan dengan Bok Ji-sia sewaktu terkurung dalam penjara air, ia hampir tak bisa melupakannya ....

   , Tapi pengalaman hidup Bok Ji-sia terlampau pahit, dendam belum terbalas, musibah yang memalukan selalu terkenang dalam benaknya, hal ini membuat dia tak berani menerima cinta kasih sang nona yang tulus dan suci itu, dengan hati yang berat terpaksa ia menampik kasih sayangnya.

   *** ( )*** Dalam sedihnya timbul perasaan dendam Tong Yong-ling, maka dia ganti nama menjadi Hu Simjin yang suaranya sama dengan arti uw-sim-jin (orang yang suka ingkar janji), dengan membawa hatinya yang luka dia menempuh perjalanan untuk mencari kekasihnya ...

   Bok Ji-sia, Dia tidak tahu bukannya Bok Ji-sia tidak mencintai dia, tapi disebabkan kesulitan yang tak mungkin dijelaskan padanya.

   "Berzinah dengan ibu sendiri .."

   Betapa menusuknya kata-kata tersebut, Bok Ji-sia merasa perbuatannya itu merupakan dosa yang tak terampunkan.

   Betapa tidak? Ia telah melakukan hubungan dengan ibu kandungnya sendiri ....

   Setiap hari ia terbenam dalam penderitaan, saban hari terbayang pada peristiwa yang memalukan itu, sekalipun bukan atas kehendaknya sendiri, tapi peristiwa itu merupakan suatu kenyataan, Tong Yong-ling tertawa sedih, katanya.

   "Bok Ji-sia, kau lelaki berhati keji, kau telah menipuku, merampas hatiku, membawa lari tubuhku, jika tidak berjumpa denganmu, tak nanti aku merana seperti ini!"

   Ji-sia merasa sedih dan menderita, ia membungkam dan hanya menatap gadis itu dengan kesima.

   "Kau tidak beristn, tidak pula berteman perempuan, kenapa kau menolak cintaku,"

   Lanjut gadis itu sambil mengertak gigi.

   "apakah kauanggap aku jelek dan tidak pantas bagimu? Bok Ji-sia, aku benci padamu, akupun menciniai dirimu, agaknya, rasa cintaku lebih besar daripada rasa benciku, kau tahu . ."

   Makin lama suaranya makin rendah dan hampir tak terdengar, rasa pedihnya pun semakin hebat.

   Perempuan memang kebanyakan berjiwa sempit, dalam soal cinta selamanya tak ada toleransi, jika gagal bercinta mereka sanggup mengucapkan apa pun, begitu pula dengan Tong Yong-ling searang.

   - *** ( )*** Ji-sia hampir terpengaruh oleh luapan cinta gadis tersebut, perasaannya menjadi kalut, tak sepatah kata pun sanggup diutarakan.

   Melihat anak muda itu hanya membungkam saja, rasa benci Tong Yong-ling semain menebal, bentaknya keras-keras.

   "Kenapa kau tidak bicara?"

   "Apa yang harus kukatakan?"

   "Kalau tidak kaukatakan, berarti kau ada persoalan yang malu diketahui orang!"

   Desak Tong Yong-ling lebih lanjut.

   Ji-sia.

   terperanjat, ucapan ini menimbulkan perasaan benci dalam hatinya, selama ini hanya membungkam karena ia merasa berhutang budi kepada gadis itu, tapi sekarang hawa amarahnya benar-benar berkobar.

   "Tutup mulutmu!"

   Hentaknya sambil menyeringai.

   "Kau melarang aku bicara, aku justeru ingin bicara terus, mau apa kau?"

   "Kau berani?"

   Bentak Ji-sia gusar.

   "Kenapa tidak berani!"

   Sahut Yong-ling.

   Sebagaimana diketahui, Bok Ji-sia adalah lelaki yang berhati sekeras baja, ia tak sanggup menahan amarah yang berkobar dalam hatinya, terutama bila didesak terus oleh orang, maka tanpa berpikir panjang lagi telapak tangannya diayunkan ke muka menghajar pipi si gadis.

   Pukulan yang dilancarkan dalam keadasa gusar ini sungguh keras, sedikitpun tidak kenai kasihan- "Kau sungguh keji!"

   Pekik Tong Yong-ling dengan suara geletar.

   Ia tidak berkelit atau menghindar, sebaliknya malah membusungkan dada sambil menyongsong datangnya *** ( )*** tamparan itu, matanya terpejam dan kepala disodorkan ke depan.

   Ji-sia melenggong, ia menghela napas sedih dan menarik kembali tangannya.

   Semua keangkuhan dan kekerasan hatinya seketika buyar.

   "Kurangajar, kau berani menganiaya permata hatiku!"

   Tiba-tiba bentakan gusar seorang bergema.

   Terlihat seorang perempuan berbaju merah yang cantik dengan wajah gusar sedang berjalan mendekat, Orang ini bukan lain ialah Han-bwe-kokcu yang termashur dalam dunia persilatan, Bwe-hiang-sian-ki adanya, dia inilah guru Tong Yong-ling.

   Baru saja ia mendekat, Tong Yong-ling lantas menubruk ke dalam pelukannya sambil menangis tersedu-sedu.

   Semua rasa gemas dan sedihnya segera dilampiaskan keluar lewat isak tangisoya yang memilukan hati itu.

   Bwe-hiang-sian-ki melirik sekejap wajah Bok ji-giat kemudian bertanya.

   "Yong-ling, dia orang yang kau maksudkan?"

   Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling mengiakan lirih, sementara isak tangisnya makin menjadi.

   Selama hidup Bok Ji-sia paling takut menghadapi senjata air mata kaum wanita, setelah mendengus dia lantas melengos ke arah lain.

   Bwe-hiang-sian ki jadi marah melihat pemuda itu tidak pandang sebelah mata padanya, setelah mendorong tubuh Tong Yong-ling, dia maju ke depan.

   "Hm, melihat sikapmu yang angkuh, kutahu kau pasti pintar mengganggu perempuan,"

   Bentaknya.

   "selama hidup nyonya besar pantang bertarung dengan orang muda, tapi demi muridku, terpaksa aku harus menghajar adat padamu." *** ( )*** Ucapannya menimbulkan amarah Bok Ji-sia, ia balas mendengus.

   "Hm, buat apa kau berlagak di hadapanku? Aku tak percaya kau memliiki kepandaian setinggi langit."

   Kedua telapak tangannya segera direntangkan dan siap bertarung, sikapnya yang perkasa sama sekali tidak menampilkan rasa takut terhadap keangkeran Bwe-hiang - sian-ki.

   "Coba katakan, apa yang jelek dari muridku ini? Kenapa kau tak sudi menggubris dia?"

   Seru Bwe-hiang-sian-ki dengan tertawa dingin. Bok Ji-sia balas mengejek.

   "Lelaki di jagat ini masih banyak seperti pasir gurun, kenapa muridmu tidak mengejar orang lain, tapi mendesak diriku terus menerus? Apakah cara semacam ini termasuk peraturan Han-Bwe-kok?"

   Bwe-hiang-sian-ki tidak menyangka bakal disudutkan oleh ucapan Bok Ji-sia ini, seketika air mukanya berubah hebat.

   "Memberi hati kepadamu tidak kau terima, boleh kau mampus saja.!"

   Bayangan merah berkelebat, secepat kilat ia menerjang maju, sebelah tangannya segera meceng-keram bahu Bok Jisia.

   Hati Tong Yong-ling sedemikian sedihnya sehingga tak tahan ia mendongakkan kepalanya dan tertawa keras, tertawa melengking seram membuat bulu kuduk orang sama mengkirik, agaknya ia menjadi putus asa dan mengambil keputusan tidak mau kawin seumur hidup.

   Sesungguhnya Ji-sia tak ingin menyakiti hati gadis itu, tapi keadaan memaksanya berbuat demikian.

   Melihat Bwe-hiang-sian-ki menyergap tiba, Ji-sia berpekik nyaring, beruntun iapun lancarkan tiga kali serangan berantai.

   "Kau cari mampus!"

   Bentak Bwe-hiang-sian-ki, *** ( )*** Telapak tangannya berputar, angin pukulan yang sangat kuat segera menyapu ke depan.

   Itulah ilmu pukulan Bwe-sat-ciang andalannya, jelas dia sangat marah hingga mengeluarkan jurus ampuh untuk membereskan-lawan.

   "Suhu, jangan melukai dia!"

   Teriak Yong-ling dengan cemas.

   "Dia bersikap kejam padamu, kenapa kau berbaik kepadanya?"

   Bwe-hiang-sian-ki tidak menggubris seruan muridnya, malahan ia menambah tenaga serangan, nyata dia bertekad mencabut nyawa Bok Ji-sia guna melampiaskan rasa bancinya.

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Biang", di tengah benturan keras, Tong Yong-ling menjerit dan menutup mokanya dengan tangan, untuk sesaat ia tak berani membuka matanya.

   Setelah terjadi benturan yang,sangat keras, tubuh Bok Jisia mencelat ke belakang, Tong Yong-ling menjerit kuatir.

   Bwe-hiang-sian-ki sendiri walaupun berhasil mamentalkan tubuh Bok Ji-sia.

   tapi lengan sendiri pun tergetar hingga kesemutan, hal ini membuatnya terkejut bercampur heran.

   Dalam keadaan terluka, Ji-sia harus menerima serangan yang begitu berat, darah dalam tubuh kontan bergolak, tanpa ampun lagi ia jatuh tak sadarkan diri.

   Mendadak cahaya hijau berkelebat, menyusul sesosok bayangan melayang tiba dan menangkap tubuh Bok Ji-sia ke dalam pelukannya.

   "Siapa?"

   Bentak Bwe-hiang-sian-ki dengan gusar dan terkesiap. Seorang nyonya berbaju hijau balas mendengus.

   "Kau masih belum pantas mengetahui namaku!" *** ( )*** Sebaliknya Tong Yong-ling menjadi dingin hatinya setelah melihat kemunculan orang ini, jeritnya dengan kaget.

   "Dia Lik-ih-hiat-li!"

   Bwe-hiang-sian -ki tertawa tarkekeh-kekek.

   "Hehehe, kukira siapa, rupanya seorang jago yang baru muncul dalam dunia persilatan pendekar perempuan yang menyebut dirinya sebagai Lik-ih-hiat-li. Hehehe, namanya ternyata tidak lebih hebat daripada orangnya. Tidak ada yang istimewa!"

   Lik-ih-hiat-Ii merasa pedih hati ketika melihat wajah Bok Jisia berubah hitam dan darah kental meleleh di ujung bibirnya, dengan wajah seram ia melototi Bwe-hiang-sian-ki dengan penuh kebencian.

   "Kenapa kau lukai dia?"

   Tegurnya dingin. Senyum Bwe hiang-sian-ki segera lenyap tak berbekas, ia mendengus.

   "Kenapa kau mencampuri urusanku?"

   Lik-ih-hiat-li tertawa dingin, pelahan ia menurunkan tubuh Bok Ji sia ke tanah, lalu tertawa panjang dengan seramnya.

   Tertawa yang pedih, keras, marah dan menyeramkan hingga bergema tiada hentinya ....

   Galak tertawa yang menyeramkan itu menimbulkan perasaan iba hati Tong Yong-ling, ia lantas menarik ujung baju Bwe-hiang-sian-ki sambil membisikinya.

   "Suhu, mari kita pergi saja!"

   "Ah, tidak semudah itu, masa kita harus tinggalkan pertemuan yang begini menyenangkan dengan seorang tokoh sakti seperti dia,"

   Jawab Bwe-hiang-sian-ki. Habis tertawa seram, pelahan Lik-ih-hiat-li mengangkat telapak tangan kanan ke udara ....

   "Kau kenal ini bukan!"

   Ujarnya dengan tertawa seram. *** ( )*** Telapak tangannya yang menghadap keluar itu tampak putih bersih bercahaya seperti kristal, di balik lapisan putih bersih itu terpancar selapis cahaya yang menyilaukan mata.

   "Peng-sian-jit-gwat-ciang!"

   Jerit Bwe-hiang- sian-ki dengan hati tergetar keras.

   "Benar"

   


Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long Renjana Pendekar -- Khulung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini