Ceritasilat Novel Online

Anak Naga 27


Anak Naga Karya Chin Yung Bagian 27


Anak Naga Karya dari Chin Yung   "Kurang ajar"   Bukan main gusarnya pembesar Liu.   "Pengawal"   Para pengawal pembesar Liu langsung muncul menghadap pembesar itu. Mereka memberi hormat seraya bertanya.   "Ada perintah apa, Tayjin?"   "Tangkap pemuda itu"   Sahut pembesar Liu.   "Apa?"   Para pengawal terbelalak.   "Cepat tangkap dia"   Bentak pembesar Liu.   "Tapi...."   Para pengawal tetap berdiri di tempat, tiada seorang pun yang berani mendekati Thio Han Liong.   "Tayjin"   Thio Han Liong tersenyum.   "Mereka semua adalah gentong nasi. Kalau menangkap maling biasa, mereka masih bisa. Tapi kalau menghadapi para perampok, mereka sama sekali tiada gunanya. Apalagi menghadapi aku, lebih tak berguna lagi."   Thio Han Liong bangkit dari tempat duduknya lalu menghampiri para pengawal itu dan mendadak mengibaskan ke dua tangannya. seketika terdengar suara menderu-deru, dan para pengawal itu terpental tujuh delapan depa.   "Haaah?"   Betapa terkejutnya pembesar Liu, begitu pula putrinya.   "Tayjin"   Ucap Thio Han Liong sambil memberi hormat.   "Aku mohon pamit"   "Siauhiap. tunggu"   Seru pembesar Liu.   "Maafkan kekasaranku tadi, sudilah kiranya siauhiap menyelamatkan putriku"   "Tayjin...."   Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku dengar Tayjin amat adil dan bijaksana, maka timbullah niatku untuk menyelamatkan putri Tayjin. Kalau Tayjin selalu berbuat sewenang-wenang dan korup, tentunya aku tidak mau turut campur mengenai urusan itu"   "Siauhiap. silakan duduk kembali"   Ucap Liu Tayjin.   "Tin cu, engkau pun boleh duduk di sini."   "Terima kasih, Ayah"   Ucap Liu Tin cu sambil duduk dengan kepala tertunduk. Thio Han Liong tersenyum, lalu duduk sambil memberi hormat kepada Liu Tin cu.   "Maaf Nona Liu, bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan?"   "Silakan, siauhiap"   "Pernahkah Nona Liu bertemu pemimpin perampok itu?"   "Tidak pernah."   "Kalau begitu...."   Thio Han Liong mengerutkan kening.   "Kenapa pemimpin perampok itu tahu tentang Nona Liu?"   "Semula aku pun merasa heran, tapi setelah kupikir lebih mendalam, maka aku berkesimpulan, bahwa pemimpin perampok itu pasti pernah menyamar memasuki kota ini, dan mendengar tentang diriku."   "Ngmm"   Thio Han Liong manggut-manggut.   "Tidak salah memang begitu."   "Han Liong"   Pembesar Liu memandangnya seraya bertanya.   "Cara bagaimana engkau menghadapi para perampok itu?"   "Dalam hal ini aku harap Tayjin tenang saja,"   Sahut Thio Han Liong.   "Pokoknya aku dapat membasmi mereka."   "Kalau begitu...."   Pembesar Liu manggut-manggut.   "Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu."   "Tayjin tidak usah mengucapkan terima kasih."   Thio Han Liong tersenyum.   "Yang penting Tayjin menjalankan tugas sebagaimana mestinya, tentu akan mendapat penghargaan dari istana."   "Selama ini, aku sama sekali tidak pernah menyalah gunakan jabatanku. Aku selalu bertindak seadil-adilnya dengan penuh kebijaksanaan. Namun walau demikian, aku tidak mengharapkan penghargaan apa pun dari istana."   "Bagus, bagus"   Thio Han Liong tersenyum.   "Oh ya"   Pembesar Liu menatapnya dalam-dalam seraya bertanya.   "Bolehkah aku tahu engkau berasal dari mana?"   "Aku berasal dari Pak Hai, kami tinggal di sebuah pulau,"jawab Thio Han Liong dengan jujur.   "Kalau begitu.."   Ujar pembesar Liu.   "Tentu engkau berasal dari keluarga pesilat. Ya, kan?"   "Ya."   Thio Han Liong mengangguk "Ngmmm"   Pembesar Liu manggut-manggut.   "Han Liong, malam ini engkau menginap di sini saja"   "Apakah tidak akan merepotkan Tayjin?"   Tanya Thio Han Liong.   "Tentu tidak."   Pembesar Liu tertawa, lalu menyuruh seorang pelayan lelaki mengantar Thio Han Liong ke kamar tamu. Setelah Thio Han Liong masuk ke dalam bersama pelayan lelaki itu, pembesar Liu menatap putrinya dalam-dalam seraya bertanya.   "Tin cu, engkau tertarik kepada pemuda itu?"   "Ayah...."   Wajah gadis itu langsung memerah.   "Aaah..."   Pembesar Liu menghela nafas panjang.   "Ayah tahu engkau tertarik kepadanya, tapi kita sama sekali tidak tahu jati dirinya...."   "Ayah"   Ujar Liu Tin cu sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku memang tertarik kepadanya, namun belum tentu dia akan tertarik kepadaku. Maka Ayah tidak perlu mencemaskan itu, aku yakin dia pasti pergi setelah menyelamatkan diriku."   "Kok engkau yakin itu?"   "Aaaah..."   Liu Tin cu menghela nafas panjang.   "Dia begitu tampan dan lemah lembut, lagipula dia adalah pendekar muda yang gagah perkasa, tentu akan terus berkelana...."   Pembesar Liu mengerutkan kening.   "Begitu banyak kaum pemuda dari keluarga terkenal, tapi kenapa engkau selalu menolak lamaran mereka?"   "Aku tidak tertarik pada mereka, maka aku tolak lamaran mereka,"   Sahut Liu Tin cu. Liu Tayjin menggeleng-gelengkan kepala.   "Usiamu sudah dua puluh, tidak kecil lagi lho"   "Ayah..."   Liu Tin cu menghela nafas panjang.   "Aku belum bertemu pemuda idaman hati, maka...."   "Engkau jatuh hati kepada Thio Han Liong?"   Tanya pembesar Liu mendadak sambil menatap putrinya dengan tajam sekali.   "Aku...."   Liu Tin cu menundukkan kepala, kemudian kembali ke kamarnya.   "Aaah..."   Pembesar Liu menghela nafas panjang.   sesungguhnya ia pun menyukai pemuda tampan dan lemah lembut itu, namun ia menghendaki putrinya menikah dengan pemuda dari keluarga hartawan atau berpangkat.   -ooo00000ooo- Pagi itu Thio Han Liong dan pembesar Liu bercakap-cakap di ruang depan, Liu Tin cu juga hadir di situ.   "Tayjin tidak usah cemas,"   Ujar Thio Han Liong sambil tersenyum.   "Percayalah, aku pasti bisa membasmi para perampok itu"   Pembesar Liu menghela nafas panjang.   "Apabila engkau tidak bisa membasmi mereka, tentu mereka akan membasmi kita dan para penduduk kota ini."   "Oleh karena itu, aku tidak mau melakukan suatu tindakan yang ragu."   Tegas Thio Han Liong. Pembesar Liu menatapnya seraya bertanya.   "Apabila engkau dapat membasmi para perampok itu, aku pasti menghadiahkanmu lima ratus tael perak."   "Maaf, aku tidak membutuhkan uang"   Ujar Thio Han Liong.   "Oh?"   Pembesar Liu mengerutkan kening.   "Lalu apa syaratmu?"   "Tidak ada syarat apa pun,"   Sahut Thio Han Liong.   "Tidak ada syarat apa pun?"   Pembesar Liu kelihatan tidak percaya, kemudian bertanya dengan suara rendah "Han Liong, apakah engkau jatuh hati kepada putriku?"   Thio Han Liong tersenyum, lalu memandang pembesar Liu sambil menjawab.   "Putri Tayjin memang cantik jelita, namun aku tidak berani sembarangan jatuh hati kepadanya, sebab dia putri Tayjin."   "Han Liong...."   Ketika pembesar Liu mau mengatakan sesuatu, mendadak seorang pengawal berlari ke dalam dengan wajah pucat pias.   "Tayjin Para perampok itu sudah datang"   Anak Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Aaah..."   Pembesar Liu langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan mondar-mandir di situ.   sementara Liu Tin cu malah tampak tenang sekali dan terus memandang Thio Han Liong.   Tak lama kemudian terdengarlah suara derap kaki kuda.   Pembesar Liu berdiri mematung, sedangkan Thio Han Liong hanya tersenyum-senyum.   "Nona Liu,"   Ujarnya sambil memandang gadis itu "Pemimpin perampok itu sudah datang, tapi engkau masih tampak begitu tenang?"   "Sebab aku yakin engkau pasti dapat membasmi mereka,"   Sahut Liu Tin cu dengan tersenyum. Thio Han Liong tertawa.   "Kalau begitu, mari ikut aku ke luar"   "Baik,"   Liu Tin cu mengangguk.   "Tin cu"   Cegah pembesar Liu.   "Engkau tidak boleh ke luar"   "Ayah aku di dalam atau di luar sama saja. Ya, kan?"   Sahut Liu Tin cu.   "Aku ingin ke depan menyaksikan Thio siauhiap membasmi para perampok itu."   "Engkau...."   Pembesar Liu menghela nafas panjang.   "Baiklah. Mari kita keluar bersama"   Thio Han Liong berjalan duluan, Pembesar Liu dan putrinya mengikutinya dari belakang.   setelah melewati pekarangan, sampailah mereka di pintu pagar.   Tampak seorang lelaki berewok berusia empat puluhan berdiri di situ dan puluhan anak buahnya berdiri di belakangnya.   "Ha ha ha"   Lelaki berewok itu tertawa gelak "Liu Tayjin, terimalah hormat dari menantumu ini"   "Hmm"   Dengus Thio Han Liong.   "Engkau adalah pemimpin perampoki kok berani mengaku sebagai menantu pembesar Liu?"   "Anak muda"   Pemimpin perampok itu kelihatan gusar sekali.   "Kalau aku tidak memandang muka pembesar Liu, engkau pasti sudah tergeletak menjadi mayat"   "Oh, ya?"   Thio Han Liong tersenyum dingin. sedangkan pemimpin perampok itu memandang Liu Tin cu, lalu tertawa berbahak-bahak.   "Nona Liu, engkau memang cantik jelita Ha ha ha sungguh beruntung aku mempersunting mu"   "Tertawalah sepuas-puasnya"   Ujar Thio Han Liong.   "Sebentar lagi ajalmu pasti tiba"   "Anak muda"   Bentak pemimpin perampok.   "Engkau betulbetul mau cari mampus barangkali"   "Engkau yang cari mampus"   Sahut Thio Han Liong sambil melangkah maju beberapa tindak. Pemimpin perampok itu menatapnya dengan mata berapiapi, kemudian berseru memberi aba-aba kepada para anak buahnya.   "Cincang pemuda itu"   Seketika juga para anak buah pemimpin perampok itu menyerang Thio Han Liong dengan berbagai macam senjata.   "Kalian memang cari mati"   Ujar Thio Han Liong sambil mengibaskan ke dua tangannya. Terdengarlah suaranya menderu-deru, lalu disusul pula dengan suara jeritan.   "Aaaakh Aaaakh.."   Tampak beberapa perampok terpental lalu roboh dengan mulut mengeluarkan darah, dan nyawa mereka pun putus seketika.   Di saat bersamaan, mendadak badan Thio Han Liong bergerak laksana kilat berkelebat ke sana ke mari, dan di saat itu pula terdengar suara jeritan.   "Aaaakh Aaaaakh Aaaaakh..."   Para perampok itu telah terkapar semuanya dengan mulut mengeluarkan darah. Ternyata mereka sudah binasa.   "Haah...?"   Wajah pemimpin perampok pucat pias.   "Siauhiap. ampunilah aku"   "Hmm"   Dengus Thio Han Liong lalu mendadak mengibaskan tangannya.   "Aaaakh"   Pemimpin perampok itu terpental beberapa depa, kemudian jatuh dengan mulut menyemburkan darah segar.   "Engkau... engkau...."   Pemimpin perampok itu tak bergerak lagi, ternyata sudah binasa. Thio Han Liong membalikkan badannya, lalu memandang pembesar Liu seraya berkata.   "Tayjin, suruh para pengawal mengubur mayat-mayat itu"   "Ya, ya."   Pembesar Liu mengangguk lalu segera menyuruh para pengawalnya menguburkan mayat-mayat tersebut.   "Nona Liu,"   Ujar Thio Han Liong.   "Kini sudah keadaan aman, maka aku mau mohon pamit."   "Kok begitu cepat?"   Liu Tin cu tampak kecewa sekali. Thio Han Liong tersenyum.   "Kalau aku kelamaan di sini, ayahmu pasti tidak senang."   "Jangan berkata begitu, Thio siauhiap"   Liu Tin cu menggeleng-gelengkan kepala.   "Ayahku...."   Thio Han Liong memandangnya.   "Engkau harus menurut kepada ayahmu, sesungguhnya dia bermaksud baik..."   "Bermaksud baik?"   Liu Tin cu tercengang.   "Ayahmu menghendakimu menikah dengan pemuda dari keluarga yang kaya raya atau dari keluarga yang berpangkat,"   Ujar Thio Han Liong.   "Oleh karena itu, engkau harus menurut kata-kata ayahmu"   "Thio siauhiap...."   Liu Tin cu terbelalak. gadis itu tidak menyangka Thio Han Liong tahu akan hal itu. Thio Han Liong tersenyum lembut.   "Mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi kelak"   "Thio siauhiap...."   Mata Liu Tin cu mulai membasah.   "Tayjin"   Thio Han Liong memberi hormat. Di saat itulah ia memperlihatkan Medali Emas Tanda Perintah Kaisar.   "Aku mohon pamit"   "Selamat jalan...."   Mendadak pembesar Liu terbelalak lalu segera berlutut di hadapan Thio Han Liong.   "Hamba memberi hormat kepada Yang Mulia...."   Di saat bersamaan, Thio Han Liong melesat pergi dan itu membuat Liu Tin cu berteriak-teriak "Thio siauhiap Thio siauhiap..."   Akan tetapi, Thio Han Liong sudah tidak kelihatan. Liu Tin cu lalu mendekati ayahnya yang masih berlutut.   "Ayah...."   "Cepat berlutut"   Sahut pembesar Liu.   "Cepaat"   "Ayah Thio siauhiap sudah pergi."   "Apa?"   Pembesar Liu mendongakkan kepalanya, lalu bangkit berdiri dengan wajah pucat pias.   "Kenapa Ayah barusan berlutut di hadapan Thio siauhiap?"   Tanya Liu Tin cu heran.   "Aaaah.."   Pembesar Liu menghela nafas panjang.   "Ayah sudah buta...."   "Lho? Kenapa?"   "Tak disangka sama sekali, ternyata dia wakil kaisar."   Pembesar Liu memberitahukan.   "Ketika dia memberi hormat kepada ayah dia pun memperlihatkan Tanda Perintah Kaisar."   "Apa?"   Liu Tin cu terbelalak.   "Thio siauhiap wakil kaisar?"   "Ya."   Pembesar Liu mengangguk "Sayang sekali dia begitu cepat pergi, kalau tidak..."   "Ayah"   Liu Tin cu menggeleng-gelengkan kepala.   "Dia tidak jatuh hati kepadaku, karena tadi dia menasihatiku agar menurut kata-kata Ayah."   "Aaaah.."   Pembesar Liu menghela nafas panjang.   "Sulit ketemu pemuda seperti dia lagi"   Setelah meninggalkan rumah pembesar Liu, Thio Han Liong terus melanjutkan perjalanannya menuju Tibet.   Sepuluh hari kemudian, ia sudah memasuki daerah itu.   Tidak sulit baginya mencari kuil Agung, sebab penduduk setempat tahu semua.   Maka, ia langsung menuju kuil tersebut, dan di sana di sambut oleh seorang Dhalai Lhama.   "Maaf, Tuan ke mari mau bertemu siapa?"   Anak Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ucap Dhalai Lhama itu.   "Aku mau bertemu sembilan Dhalai Lhama,"   Sahut Thio Han Liong. Dhalai Lhama itu terbelalak.   "Tapi... sembilan Dhalai Lhama tidak akan bertemu siapa pun...."   "Katakan kepada mereka, bahwa aku Thio Han Liong, putra Thio Bu Ki ke mari mencari mereka"   Ujar Thio Han Liong dingini Dhalai Lhama itu tampak terkejut "Tuan tunggu sebentar, aku akan melapor"   "Terima kasih."   Thio Han Liong menunggu di luar kuil. Berselang beberapa saat kemudian, Dhalai Lhama itu telah kembali dan mempersilakan Thio Han Liong masuki "Mari ikut aku ke dalam"   Thio Han Liong mengangguk lalu mengikuti Dhalai Lhama itu ke ruang depan. sesampai di ruang depan Dhalai Lhama itu mempersilakan nya duduk "Terima kasih,"   Ucap Thio Han Liong sambil duduki Tak lama kemudian, muncullah seorang Dhalai Lhama tua, yang jenggotnya panjang putih dan mengkilap. Thio Han Liong segera bangkit dari tempat duduknya, sekaligus memberi hormat sambil menatap Dhalai Lhama tua itu.   "Anak muda, mau apa engkau ke mari cari para muridku?"   Tanya Dhalai Lhama tua. Bukan main terkejutnya Thio Han Liong, ternyata Dhalai Lama tua itu ketua para Dhalai Lhama di kuil Agung, juga guru sembilan Dhalai Lhama tersebut.   "Dhalai Lhama tua,"   Sahutnya.   "Aku ke mari ingin membuat perhitungan dengan sembilan Dhalai Lhama itu."   Dhalai Lhama tua itu mengerutkan kening.   "Silakan duduk"   Ujarnya.   "Terima kasih."   Ucap Thio Han Liong lalu duduk kembali.   "Anak muda"   Dhalai Lhama tua menatapnya tajam.   "Ada permusuhan apa engkau dengan para muridku?"   "Belasan tahun lalu, sembilan Dhalai Lhama itu menyerbu ke tempat tinggal kami. Mereka membunuh bibi, melukai dan merusak wajah ke dua orangtuaku."   Thio Han Liong memberitahukan.   "Oh?"   Wajah Dhalai Lhama tua tampak berubah.   "Belasan tahun lalu, Lie Wie Kiong, pemimpin pengawal istana ke mari mengundang mereka ke istana. Tapi... aku sama sekali tidak tahu akan kejadian penyerbuan itu."   "Itu memang benar."   Thio Han Liong memberitahukan lagi.   "Bahkan mereka pun menangkapku, namun aku berhasil meloloskan diri"   "Oh?"   Dhalai Lhama tua itu segera menyuruh salah seorang Dhalai Lhama muda untuk memanggil para Dhalai Lhama yang dimaksud.   Dhalai Lhama muda itu mengangguk dan segera masuk ke dalam.   Berselang beberapa saat kemudian, Dhalai Lhama muda itu sudah kembali bersama sembilan Dhalai Lhama.   Walau mereka sudah agak tua, Thio Han Liong masih mengenali mereka.   Namun sebaliknya mereka sudah tidak mengenalinya lagi.   "Guru,"   Tanya salah seorang Dhalai Lhama itu.   "Ada urusan apa Guru memanggil kami?"   "Betulkah belasan tahun lalu kalian menyerbu ke tempat tinggal pemuda itu?"   Tanya Dhalai Lhama tua sambil menunjuk Thio Han Liong.   "Guru...."   Dhalai Lhama itu mengerutkan kening, lalu bertanya kepada Thio Han Liong.   "Anak muda, siapa engkau?"   "Kalian sudah lupa? Aku adalah Thio Han Liong, putra Thio Bu Ki. Kalian telah membunuh bibiku, bahkan juga telah melukai sekaligus membuat wajah ke dua orangtuaku menjadi rusak"   Sahut Thio Han Liong dingini "Maka aku ke mari ingin membuat perhitungan dengan kalian"   "Engkau...."   Sembilan Dhalai Lhama itu terbelalak.   "Benar kejadian itu?"   Tanya Dhalai Lhama tua sambil menatap mereka dengan tajam sekali.   "Ya, Guru."   Sembilan Dhalai Lhama itu mengangguk.   "Kalian telah mencemarkan nama baik Dhalai Lhama Tibet, karena itu, kalian harus bertanggungjawab atas perbuatan kalian itu"   Tegas Dhalai Lhama tua dan menambahkan.   "Hukuman kalian adalah memusnahkan kepandaian kalian"   "Guru...."   Sembilan Dhalai Lhama itu segera berlutut di hadapan Dhalai Lhama tua.   "Guru Guru...."   "Kalian yang berbuat, maka kalian pula yang harus bertanggungjawab"   Ujar Dhalai Lhama tua.   "Dhalai Lhama tua,"   Ujar Thio Han Liong.   "Terima-kasih atas kebijaksanaan Dhalai Lhama tua. Aku ke mari ingin bertanding dengan mereka, maka aku mohon agar Dhalai Lhama tua jangan memusnahkan kepandaian mereka"   "Oh?"   Dhalai Lhama tua itu menatapnya tajam.   "Engkau ingin bertanding dengan mereka?"   "Ya."   Thio Han Liong mengangguk "Itu...."   Dhalai Lhama tua berpikir lama sekali, setelah itu barulah manggut-manggut.   "Baiklah! Mari kita ke halaman depan"   Thio Han Liong mengangguk Mereka lalu ke halaman depan yang amat luas itu. Di saat itulah Dhalai Lhama tua berbisik kepada para muridnya.   "Kalian tidak boleh melukainya"   "Ya, Guru."   Para Dhalai Lhama itu mengangguk Sampai di halaman, sembilan Dhalai Lhama itu berdiri di hadapan Thio Han Liong dan memandangnya dalam-dalam.   "Belasan tahun lalu, kalian melukai ayahku dengan ilmu le Kang Tui Tik (Memindahkan Iweekang Menggempur Musuh), dan juga menyerang ayahku dengan Liak Hwee Tan. Nah, aku ingin mencoba ilmu le Kang Tui Tik dan Liak Hwee Tan tersebut"   "Anak muda...."   Salah seorang Dhalai Lhama itu menggeleng-gelengkan kemala.   "Kami menyesal sekali...."   "Menyesal sekali?"   Thio Han Liong tersenyum dingin "Hati-hati Aku mau mulai menyerang"   "Silakan"   Sahut Dhalai Lhama itu Sementara Dhalai Lhama tua terus memperhatikan gerakgerik Thio Han Liong, lalu manggut-manggut.   Di saat bersamaan, Thio Han Liong bersiul panjang sekaligus mulai menyerang para Dhalai Lhama itu dengan ilmu siauw Lim Liong Jiauw Kang.   setelah berlatih di dasar telaga, ilmu tersebut pun bertambah dahsyat dan lihay.   Salah seorang Dhalai Lhama menangkis serangan itu, namun terpental beberapa depa.   Betapa terkejutnya Dhalai Lhama lain, begitu pula dengan Dhalai Lhama tua yang menonton pertandingan itu.   Sembilan Dhalai Lhama itu tidak dapat menangkis serangan-serangan yang dilancarkan Thio Han Liong, akhirnya mereka terpaksa membentuk suatu barisan.   Di saat mereka membentuk barisan, Thio Han Liong mengerahkan Kian Kun Taylo sin Kang.   Mendadak Dhalai Lhama yang paling depan membentak keras, lalu melancarkan serangan.   Thio Han Liong segera berkelit.   Ternyata ia belum mau menyambut Iweekang gabungan sembilan Dhalai Lhama itu.   setelah berkelit, ia bergerak cepat melesat ke belakang barisan itu, maksudnya ingin menyerang Dhalai Lhama yang paling belakang.   Akan tetapi, di saat bersamaan barisan itu berbalik Dhalai Lhama yang berdiri paling belakang kini berubah menjadi paling depan, bahkan sekaligus menyerang Thio Han Liong.   Pemuda itu tidak sempat lagi berkelit, maka terpaksa menyambut serangan itu.   setelah itu, terdengarlah suara benturan yang amat dahsyat.   Blaaam...   Thio Han Liong terpental beberapa depa.   Pada waktu itulah tiga Dhalai Lhama yang di belakang juga terpental beberapa depa dengan mengeluarkan darah segar.   Kini barisan itu tinggal tersisa enam orang.   Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Dhalai Lhama itu.   "Lap Han CoanTe (Enam Bersatu Memutarkan Bumi)"   Seru Dhalai Lhama yang paling depan.   Mendadak Dhalai Lhama yang di belakang meloncat ke atas lalu berdiri di bahu Dhalai Lhama itu, begitu pula Dhalai Lhama yang lain.   setelah itu, mereka pun langsung menyerang ke arah Thio Han Liong.   Pemuda itu tidak berkelit, melainkan menyambut serangan mereka dengan jurus Kian Kun Taylo Hap It (segala galanya Menyatu Di Alam semesta).   Daaar...   Terdengar suara ledakan dahsyat yang memekakkan telinga.   Thio Han Liong terpental beberapa depa, sedangkan enam Dhalai Lhama itu terpental tujuh delapan depa, kemudian roboh dengan mulut mengeluarkan darah.   Wajah Thio Han Liong tampak pucat pias.   la menarik nafas dalam-dalam untuk mengatur pernafasannya dan menekan pergolakan darahnya.   Beberapa saat kemudian, barulah wajahnya normal kembali.   Dhalai Lhama tua itu mendekatinya.   "Engkau telah menghukum mereka, maka kini urusan kalian sudah selesai."   "Dhalai Lhama tua,"   Ucap Thio Han Liong.   "Terima kasih atas kebijaksanaanmu."   Dhalai Lhama tua menatapnya tajam.   "Engkau masih begitu muda, namun... Iweekangmu begitu tinggi. Itu.. sungguh tak masuk akal. Apakah engkau pernah makan semacam buah yang dapat menambah Iweekangmu?"   "Ya."   Thio Han Liong mengangguk "Aku pernah makan buah soatsan Ling che, kemudian aku pun memperoleh petunjuk dari Bu Beng sian su."   "Oooh"   Dhalai Lhama tua manggut-manggut.   "Anak muda, engkau sungguh beruntung"   "Dhalai Lhama tua, aku mohon engkau jangan memusnahkan kepandaian mereka"   Ujar Thio Han Liong.   Anak Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Aku mau mohon pamit"   "Baiklah."   Dhalai Lhama tua mengangguk "Selamat jalan, anak muda"   "Sampai jumpa, Dhalai Lhama tua"   Thio Han Liong memberi hormat, lalu melesat pergi.   Dhalai Lhama tua manggut-manggut, setelah itu barulah mendekati para muridnya yang terkapar itu Bab 52 Dewi Kecapi Thio Han Liong kembali ke Tionggoan dengan hati riang gembira, karena ia telah berhasil membuat perhitungan dengan para Dhalai Lhama itu.   Kini ia telah memasuki daerah Tionggoan.   Ketika ia memasuki sebuah rimba, sayup,sayup terdengar alunan suara kecapi yang amat menggetarkan hati.   suara kecapi itu membuatnya tertarik, maka ia melesat ke arah suara itu.   Tampak seorang gadis berpakaian aneh duduk di bawah pohon.   Bukan main cantiknya gadis itu, dari berpakaiannya sudah dapat diduga bahwa dia bukan gadis Tionggoan, melainkan entah gadis dari suku apa.   Suara kecapi itu memang merdu, namun bernada agak sedih.   Karena tertarik, sehingga tanpa sadar Thio Han Liong mengeluarkan lonceng saktinya, sekaligus membunyikannya mengikuti irama suara kecapi.   Maka terjadilah perpaduan suara lonceng dengan suara kecapi.   Gadis itu tersentak lalu perlahan-lahan mendongakkan kepalanya.   Ketika melihat seorang pemuda tampan duduk tak jauh dari tempatnya, wajahnya langsung berubah kemerahmerahan.   Berselang beberapa saat kemudian, barulah gadis itu berhenti memainkan kecapinya.   Thio Han Liong pun berhenti membunyikan loncengnya, lalu memandang gadis itu.   Kebetulan gadis itu pun sedang memandangnya, sehingga mereka berdua beradu pandang.   Thio Han Liong tersenyum lembut, membuat hati gadis itu berdebar-debar aneh, maka cepat-cepat ia menundukkan kepalanya.   "Maaf, aku telah mengganggu Nona"   Ujar Thio Han Liong.   "Tidak apa-apa,"   Sahut gadis itu lalu bertanya.   "Bolehkah aku tahu siapa saudara?"   "Namaku Thio Han Liong. Karena tertarik akan suara kecapimu, maka aku ke mari. Nona siapa? Kenapa berada di rimba seorang diri?"   "Aku Dewi Kecapi, Putri suku Hui."   "Putri suku Hui?"   Thio Han Liong terbelalak.   "Tapi... kenapa berada di sini?"   "Aku baru memasuki Tionggoan."   Dewi Kecapi memberitahukan.   "Aku sedang mencari seseorang."   "Engkau sedang mencari siap "   "Bu Sim Hoatsu."   "Bu sim Hoatsu?"   "Engkau kenal dia?"   "Maaf, aku tidak pernah mendengar nama orang tersebut,"   Sahut Thio Han Liong.   "Dewi Kecapi, ada urusan apa engkau mencarinya?"   "Dia pembunuh ke dua orangtuaku."   Dewi Kecapi memberitahukan.   "Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, Bu sim Hoatsu adalah kawan baik ayahku. Akan tetapi secara tidak sengaja ayahku memperoleh sebuah kitab pusaka, karena itu, timbullah niat jahat dalam hati Bu sim Hoatsu. Dia meracuni ayahku dan membunuh ibuku, untung pamanku cepat-cepat muncul menolongku, kalau tidak aku pun pasti mati di tangannya. Pada waktu itu, aku baru berusia setahun."   Bagian 27   "Oooh!"   Thio Han Liong manggut-manggut.   "Lalu apa rencanamu sekarang?"   "Aku akan berkelana dalam rimba persilatan Tionggoan untuk mencarinya,"   Jawab Dewi Kecapi dan menambahkan.   "Dia mahir ilmu hitam, kini kepandaiannya pasti sudah tinggi sekali."   "Kalau begitu, cara bagaimana engkau menghadapinya?"   Tanya Thio Han Liong penuh perhatian.   "Kalau kepandaianku masih rendah, tentunya aku tidak berani mencarinya."   Dewi Kecapi tersenyum.   "Hampir lima belas tahun aku belajar ilmu silat...."   "Oh?"   Thio Han Liong memandangnya.   "Bolehkah aku tahu siapa gurumu?"   "Beliau adalah seorang pertapa sakti di gunung Himalaya."   Dewi Kecapi memberitahukan.   "Sebelum aku meninggalkan beliau, beliau pun pernah mengatakan bahwa sesampainya aku di Tionggoan, aku akan bertemu seorang pemuda tampan yang baik hati dan pemuda itu akan membantu aku...."   "oh?"   Thio Han Liong tersenyum.   "Kalau begitu, gurumu pasti ahli nujum juga."   "Kira-kira begitulah."   Dewi Kecapi tertawa kecil.   "Buktinya aku bertemu engkau di sini."   "Tapi belum tentu aku adalah pemuda yang dimaksud itu."   "Namun aku yakin pemuda yang dimaksud itu adalah engkau."   "Buktinya aku tidak bisa membantu apa-apa, karena aku tidak tahu tempat tinggal Bu sim Hoatsu."   "Aku yakin..."   Dewi Kecapi menatapnya sambil tersenyum lembut.   "Engkau pasti membantuku kelak."   "Oh?"   Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.   "Itu belum tentu, sebab sebentar lagi kita akan berpisah."   "Aku tahu."   Dewi Kecapi tersenyum lagi.   "Tapi aku yakin kita pasti berjumpa kembali kelak."   "Oh, ya?"   Thio Han Liong tersenyum.   "Kalau begitu, engkau pasti sudah mewarisi ilmu nujum gurumu. Ya, kan?"   "Aku tidak pernah belajar ilmu nujum, aku cuma mendugaduga saja,"   Sahut Dewi Kecapi dan menambahkan.   "Aku tahu engkau memiliki kepandaian yang amat tinggi. oleh karena itu, aku ingin mohon petunjuk."   "Nona...."   Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.   "Jangan menolak"   Desak Dewi Kecapi.   "Biar bagaimana pun engkau harus memberi petunjuk kepadaku."   "Itu...."   Thio Han Liong menarik nafas dalam-dalam.   "Saudara Thio...."   Dewi Kecapi tersenyum.   "Kalau engkau menolak. aku akan marah lho"   "Nona, cara bagaimana aku memberi petunjuk kepadamu?"   Tanya Thio Han Liong.   "Aku akan bersilat dengan tangan kosong, engkau harus memperhatikan,"   Sahut Dewi Kecapi.   "Setelah aku berhenti, engkau harus memberitahukan kepadaku apakah terdapat kesalahan?"   "Itu...."   Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.   Dewi Kecapi menaruh kecapinya, lalu berjalan ke depan beberapa langkah.   setelah itu, mulailah ia bersilat tangan kosong.   Bukan main kagumnya Thio Han Liong menyaksikan gerakan-gerakannya.   la tidak menyangka Putri Hui itu berkepandaian begitu tinggi.   "Bagaimana?"   Tanya Dewi Kecapiseusai bersilat tangan kosong.   "Apakah terdapat gerakan yang salah?"   "Gerakanmu begitu cepat, sungguh menyilaukan mataku"   Sahut Thio Han Liong dan melanjutkan.   "Menurutku tiada kesalahan dalam gerakanmu."   "Oh, ya?"   Dewi Kecapi tersenyum, lalu duduk disisiThlo Han Liong.   "Aku telah memperlihatkan ilmu silatku, kini giliranmu lho"   "Aku...."   Thio Han Liong menggeleng gelengkan kemala.   "Ayolah"   Desak Dewi Kecapi.   "Jangan terus menolak. itu akan menyinggung perasaanku"   "Baiklah."   Thio Han Liong bangkit berdiri, kemudian mulai bergerak memperlihatkan Kiu Im Pek Kut Jiauw.   Menyaksikan itu, pucatlah wajah Dewi Kecapi.   sebab setiap jurus yang dimainkan Thio Han Liong, justru memecahkan jurus-jurus ilmu silatnya yang diperlihatkannya tadi.   Berselang beberapa saat, barulah Thio Han Liong berhenti.   Anak Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Di saat bersamaan, Dewi Kecapi langsung mendekatinya dan sekaligus mengayunkan tangannya.   Plaaak...   "Auuh"   Jerit Thio Han Liong, kemudian menatap Dewi Kecapi dengan mata terbelalak.   "Kenapa engkau menamparku?"   "Karena engkau telah menipuku,"   Sahut Dewi Kecapi.   "Apa?"   Thio Han Liong mengerutkan kening.   "Aku telah menipumu?"   "Ya."   Dewi Kecapi manggut-manggut.   "Engkau berpura-pura memuji ilmu silatku, tapi engkau pula yang memecahkan ilmu silatku. Nah, bukankah engkau telah menipuku?"   "Nona...."   Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.   "Tadi engkau minta petunjuk, maka aku memberi petunjuk cara memecahkan ilmu silatmu, itu agar engkau berhati-hati menghadapi musuh tangguh. Tapi... engkau malah menampar pipiku, engkau sungguh keterlaluan"   "Jadi...."   Dewi Kecapi tertegun.   "Tadi engkau memberi petunjuk kepadaku, sungguh?"   "Tentu sungguh."   "Kalau begitu, bolehkah engkau mengajarku ilmu silat yang engkau perlihatkan tadi?"   "Ilmu silat yang kuperlihatkan tadi amat ganas, engkau tidak boleh belajar ilmu silat itu,"   Sahut Thio Han Liong sambjl menggelengkan kepala.   "Lho? Memangnya kenapa?"   "Karena engkau cepat marah dan gampang emosi, buktinya tadi engkau langsung menamparku. Kalau engkau belajar ilmu silat itu, tentunya akan mencelakai orang lain."   Mendengar itu Dewi Kecapi malah tertawa, kemudian menatap Thio Han Liong dalam-dalam sambil berkata.   "Engkau memang pemuda yang jujur, tidak sia-sia kita bertemu di sini, aku suka sekali kepadamu."   "Apa?"   Thio Han Liong tertegun.   "Engkau suka sekali kepadaku?"   "Ya."   Dewi Kecapi mengangguk.   "Kok engkau tampak terkejut? Kenapa sih?"   "Terus terang...."   Thio Han Liong memberitahukan.   "Aku sudah punya tunangan, maka engkau tidak boleh suka padaku."   "Hi hi hi"   Dewi Kecapi tertawa geli.   "Seandainya engkau sudah punya isteri aku masih boleh menyukaimu."   "Eh? Engkau...."   "Engkau harus tahu, kaum lelaki Hui boleh punya isteri lebih dari satu,"   Ujar Dewi Kecapi memberitahukan.   "Kalau aku bersedia menjadi isteri mudamu, tunanganmu itu pun tidak bisa berbuat apa-apa."   "Dewi Kecapi, engkau...."   Thio Han Liong menggelenggelengkan kepala.   "Han Liong"   Dewi Kecapi tersenyum.   "Engkau harus tahu aku bukanlah gadis yang cepat marah dan gampang emosi. Tadi aku menamparmu hanya ingin menguji kesabaranmu saja."   "Tak disangka engkau begitu sabar."   "Oh?"   Mulut Thio Han Liong ternganga lebar.   "Dan juga akupun tidak akan belajar ilmu silat itu. Aku berkata begitu hanya ingin menarik panjang waktu bercakapcakap denganmu saja."   Dewi Kecapi menatapnya dengan penuh perhatian.   "Engkau memang amat tampan dan lemah lembut, pokoknya aku akan bersaing dengan tunanganmu."   "Nona...."   Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kemala.   "Aku ingin bertanya, dia atau aku yang lebih cantik?"   Tanya Dewi Kecapi mendadak.   "Kalian berdua sama-sama cantik,"   Jawab Thio Han Liong dengan jujur.   "Tapi masing-masing punya keistimewaan."   "Bagaimana keistimewaan kami?"   "Engkau periang, nakal dan blak-blakan. Dia agak kalem, lembut dan anggun, itulah keistimewaan kalian."   "Oooh"   Dewi Kecapi manggut-manggut.   "Han Liong, aku masih punya urusan lain, terpaksa harus pergi duluan. Kita pasti berjumpa kembali kelak."   "Nona harus ingat, aku sudah punya tunangan"   Ujar Thio Han Liong mengingatkan.   "Maka Nona jangan menaruh hati padaku"   "Oh?"   Dewi Kecapi tersenyum.   "Karena engkau berkata demikian, justru membuatku semakin menaruh hati padamu. sampai jumpa"   Dewi Kecapi melesat pergi, sedangkan Thio Han Liong termangu-mangu berdiri di tempat, lama sekali barulah melesat pergi.   Thio Han Liong menarik nafas lega, sebab Dewi Kecapi telah meninggalkannya.   Kalau tidak- tentunya ia akan kewalahan menghadapinya.   Kini ia melanjutkan perjalanannya menuju Kotaraja dengan perasaan tenang.   Beberapa hari kemudian ia sudah sampai di sebuah desa.   Dilihatnya ada sebuah kedai teh di pinggir jalan dan ia segera mampir.   "Tuan mau minum apa?"   Tanya pemilik kedai.   "Teh saja,"   Sahut Thio Han Liong. Pemilik kedai langsung menyuguhkan teh wangi. Ketika Thio Han Liong baru menghirup tehnya, di saat bersamaan masuk ke dalam seorang pemuda, yang ternyata Ouw Yang Bun. Wajahnya tampak murung sekali.   "Saudara Ouw Yang Bun mari duduk sini"   Seru Thio Han Liong sambil melambaikan tangannya. Begitu melihat Thio Han Liong, wajah Ouw Yang Bun tampak agak berseri dan segera menyapanya.   "Saudara Thio...."   "Silakan duduk"   Ucap Thio Han Liong dengan ramah.   "Terima kasih,"   Ouw Yang Bun duduk. Pemilik kedai langsung menyuguhkan teh wangi kepada Ouw Yang Bun. setelah menghirup teh wangi itu, Ouw Yang Bun berkata.   "Saudara Thio, apakah engkau tidak dendam padaku?"   "Kenapa aku harus dendam padamu?"   Sahut Thio Han Liong lalu menghela nafas panjang.   "Semua itu telah berlalu, mungkin juga merupakan suatu takdir."   "Maaf"   Ucap Ouw Yang Bun sambil menatapnya.   "Engkau bawa ke mana mayat Giok Cu?"   "Ke rumahnya di desa Hok An, dan ku makamkan di pekarangan belakang, di sebelah makam ke dua orangtuanya."   Thio Han Liong memberitahukan.   "Nasib Giok Cu memang malang. Ke dua orangtuanya dibunuh para anggota Hiat Mo Pang, sedangkan dia malah bunuh diri Aaaah...."   "Saudara Thio"   Ouw Yang Bun menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku yang bersalah dalam hal ini. Kalau aku tidak menikah dengannya, tentunya tidak ada kejadian tragis itu."   "Engkau tidak bersalah, sebaliknya aku amat kagum kepadamu,"   Ujar Thio Han Liong sungguh-sungguh.   "Engkau mau memperisterinya yang dalam keadaan begitu, bahkan amat mencintainya. Kalau aku tahu, akupasti tidak akan menyadarkannya, agar tetap hidup berdampingan denganmu."   "Saudara Thio...."   Ouw Yang Bun menggeleng-gelengkan kepala.   "Oh ya, engkau sudah pergi mencari Hiat Mo?"   "Sudah."   Thio Han Liong mengangguk.   "Namun aku tidak membunuhnya, karena harus memandang Lan Nio yang baik hati itu. Lagipula.... Hiat Mo menikahkan kalian dengan maksud tujuan yang baik, maka aku tidak membunuhnya."   "Engkau...."   Ouw Yang Bun terbelalak.   ".... Engkau mampu mengalahkan Hiat Mo?"   "Syukurlah"   Ucap Ouw Yang Bun gembira.   "Saudara Ouw Yang Bun"   Thio Han Liong memandangnya seraya bertanya.   "Kok engkau berada di desa ini, di mana guru dan putrimu?"   "Aaaah...."   Ouw Yang Bun menghela nafas panjang.   "Guruku terluka dan Putriku diculik"   "Apa?"   Thio Han Liong tersentak.   "Siapa yang melukai gurumu dan menculik putrimu?"   "Bu sim Hoatsu."   Anak Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ouw Yang Bun memberitahukan.   "Hah?"   Thio Han Liong terkejut.   "Bu sim Hoatsu?"   "Ya."   Ouw YangBun mengangguk.   "Engkau kenal Bu sim Hoatsu?"   "Tidak kenal."   Thio Han Liong menggelengkan kemala.   "Kok dia melukai gurumu dan menculik putrimu?"   "Guruku dan Bu sim Hoatsu adalah musuh besar, namun sudah hampir dua puluh tahun dia menghilang entah ke mana."   Sahut Ouw Yang Bun.   "Sebulan lalu mendadak ia muncul di tempat tinggal guru, kemudian terjadi pertarungan. guruku terluka dan kebetulan putriku ke luar. Dia tertarik pada putriku, maka menculik-nya."   "Oooh"   Thio Han Liong manggut-manggut.   "Kalau begitu, putrimu tidak dalam keadaan bahaya. oh ya, bagaimana gurumu?"   "Sudah agak sembuh."   Sahut Ouw Yang Bun sambil menghela nafas panjang.   "Sudah belasan hari aku melakukan perjalanan. sungguh kebetulan kita bertemu di sini."   "Engkau sedang mencari Bu sim Hoatsu?"   "Ya. Ketika mau membawa pergi putriku, dia memberitahukan bahwa tempat tinggalnya di gunung oey san Gua Ceng Hong Tong. Maka aku menuju ke sana, tak disangka bertemu engkau di sini."   "Saudara Ouw Yang Bun"   Thio Han Liong menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Percuma engkau ke sana mencari Bu sim Hoatsu."   "Maksudmu?"   "Bagaimana mungkin engkau dapat melawannya?"   "Aku tahu itu, tapi dia menculik putriku. Biar bagaimanapun aku harus melawannya."   "Urungkan niatmu itu, percuma engkau ke sana"   Ujar Thio Han Liong.   "Kalau dia tertarik pada putrimu, tentunya akan menerimanya sebagai murid. Nah, bukankah kelak engkau akan berjumpa dengan putrimu?"   "Memang. Tapi...."   Ouw Yang Bun memandangnya.   "Saudara Thio, aku tahu engkau berkepandaian amat tinggi. Aku... aku ingin mohon bantuanmu."   "Maksudmu aku pergi bersamamu ke oey san?"   "Ya."   "Itu...."   Thio Han Liong berpikir lama sekali, kemudian mengangguk karena teringat akan cerita Dewi Kecapi tentang Bu sim Hoatsu itu.   "Baiklah, aku akan pergi bersamamu ke gunung oey san."   "Terima kasih, saudara Thio,"   Ucap Ouw Yang Bun.   "Terima kasih...."   "Sudahlah Tidak usah terus mengucapkan terima kasih"   Thio Han Liong tersenyum.   "Kita adalah teman, bukan musuh."   "Saudara Thio...."   Ouw Yang Bun menundukkan kepala.   "Saudara Ouw Yang Bun, engkau jangan merasa tidak enak terhadapku,"   Ujar Thio Han Liong.   "Urusan itu telah berlalu, lagi pula itu bukan kesalahanmu."   "Engkau sungguh baik, aku jadi malu hati."   Ouw Yang Bun menggeleng-gelengkan kepala.   "Oh ya, ketika aku mulai melakukan perjalanan, aku dengar dalam rimba persilatan telah muncul seorang nenek gila berkepandaian amat tinggi. Dia menamai dirinya Im Sie Popo (Nenek Alam Baka).   "   "Im Sie Popo?"   Thio Han Liong heran.   "Siapa nenek itu?"   "Entahlah."   Ouw Yang Bun menggelengkan kepala.   "Aku tidak pernah bertemu nenek gila itu, jadi tidak tahu siapa dia."   "Oooh"   Thio Han Liong manggut-manggut.   "Saudara Ouw Yang, bagaimana kita berangkat sekarang?"   "Baik,"   Ouw Yang Bun mengangguk.   Mereka berdua langsung menuju ke gunung oey San menggunakan ilmu ginkang, agar cepat tiba di tempat tujuan.   Dua hari kemudian, Thio Han Liong dan Ouw Yang Bun sudah tiba di Gua Ceng Hong Tong di gunung oey san.   Akan tetapi, gua itu kosong tiada penghuninya.   "Aaah...."   Keluh Ouw Yang Bun.   "Bu sim Hoatsu pasti telah membawa putriku ke tempat lain"   "Ngmm"   Thio Han Liong mengangguk.   "Lalu apa rencanamu sekarang?"   "Aku tetap akan mencari putriku,"   Sahut Ouw Yang Bun dan kemudian menghela nafas panjang.   "Tapi entah dibawa ke mana putriku? Aku...."   "Saudara Ouw Yang Bun"   Thio Han Liong menatapnya seraya berkata.   "Lebih baik engkau pergi ke desa Hok An ziarah ke kuburan isterimu dan ke dua orangtuanya."   "Ya."   Ouw Tang Bun mengangguk.   "Aku memang harus ke sana. Terima kasih atas peringatanmu.   "   "Temui bibi Ah Hiang dan ceritakan tentang dirimu"   Pesan Thio Han Liong sekaligus memberitahukan.   "Bibi Ah Hiang adalah pembantu yang amat setia, dia tetap tinggal di rumah itu."   "Ya."   Ouw YangBun mengangguk.   "Oh ya Kalau engkau bertemu Busim Hoatsu, haruslah berhati-hati, sebab dia mahir ilmu hitam dan ahli racun"   Thio Han uong manggut-manggut, mereka lalu berpisah.   Ouw Yang Bun menuju desa Hok An, sedangkan Thio Han Liong menuju arah Kotaraja.   Ouw Yang Bun telah tiba di desa Hok An.   sesuai dengan petunjuk penduduk desa ia langsung menuju rumah mendiang isterinya.   Ah Hiang, pembantu yang setia itu menyambut kedatangannya dengan penuh keheranan.   "Tuan mau mencari siapa?"   Tanyanya.   "Maaf"   Ucap Ouw Yang Bun.   "Aku ke mari mau ziarah kuburan Giok Cu dan ke dua orangtuanya."   "Oh?"   Ah Hiang menatapnya.   "Tuan siapa?"   "Aku Ouw Yang Bun, suami Giok Cu."   "Oh?"   Ah Hiang terbelalak.   "Ternyata Tuan adalah suami Giok Cu. Mari ikut aku ke halaman belakang"   "Terima kasih."   Ouw Yang Bun mengikutinya ke halaman belakang.   "Han Liong yang membawa mayat Giok Cu ke mari, dia...."   Ah Hiang menceritakan tentang keadaan Thio Han Liong di saat itu, lalu menambahkan.   "Kalau An Lok Kong cu tidak muncul, Han Liong pasti mati...."   "Aku sudah bertemu Han Liong."   Ouw Tang Bun memberitahukan.   "Dia telah menutur tentang semua itu."   "oooh"   Ah Hiang manggut-manggut. Tak lama mereka sudah sampai di halaman belakang. Begitu melihat kuburan Tan Giok Cu, Ouw Yang Bun langsung berlutut, kemudian menangis terisak-isak.   "Giok Cu Giok Cu...."   Air mata Ouw Tang Bun berderaiderai.   "Semoga engkau tenang di sana, aku pasti baik-baik mengurusi Hui sian Tapi... kini dia di tangan Bu sim Hoatsu, aku sedang mencarinya...."   Setelah itu, Ouw Yang Bun pun berlutut di hadapan kuburan ke dua orangtua Tan Giok Cu, lama sekali barulah ia bangkit berdiri "Aaah...."   Ouw Yang Bun menghela nafas panjang.   "semua kejadian itu bagaikan sebuah mimpi...."   "Tuan"   Ah Hiang menatapnya seraya bertanya.   "Betulkah putri Tuan berada di tangan penjahat?"   Anak Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Ya."   Ouw Yang Bun mengangguk.   "Aku sedang mencarinya, tapi tidak tahu dia dibawa ke mana?"   "Kalau begitu...."   Ah Hiang mengerutkan kening.   "Bagaimana mungkin Tuan akan berhasil mencarinya?"   "Aku akan terus menerus mencarinya."   Ujar Ouw Yang Bun.   "Bibi Ah Hiang, aku mohon pamit."   "Tuan..."   Ah Hiang menggelengkan kepala, kemudian mengantarnya sampai di depan rumah.   "Bibi Ah Hiang, sampai jumpa"   Ucap Ouw Yang Bun, lalu berjalan pergi. -ooo000000ooo- Thio Han Liong terus melakukan perjalanan ke Kotaraja. Hari itu dia tiba di sebuah kota, sekaligus bermalam di kota itu pula. la duduk di dalam kamar penginapan, pelayan segera menyuguhkan teh.   "Pelayan"   Panggil Tio Han Liong ketika pelayan itu mau meninggalkannya.   "Ya, Tuan."   Pelayan itu berhenti dan membalikkan badannya.   "Mau pesan apa, Tuan?"   "Siapa yang tinggal di kamar sebelah?"   Tanya Thio Han Liong.   "Kenapa ada suara tangisan?"   "Maaf, Tuan"   Jawab pelayan.   "Aku pun tidak kenal mereka. Kelihatannya anak gadis itu sakit keras, maka ke dua wanita itu tampak cemas sekali."   "Oooh"   Thio Han Liong manggut-manggut. Pelayan itu pergi. Thio Han Liong mengerutkan kening, akhirnya ia berjalan ke luar menuju ke kamar sebelah. Perlahan-lahan diketuknya pintu kamar itu, tak lama terdengar suara sahutan dari dalam.   "Siapa?"   "Maaf, aku juga tamu"   Sahut Thio Han Liong.   "Bolehkah aku masuk untuk bercakap-cakap sebentar?"   Tiada sahutan dari dalam, namun kemudian pintu kamar itu terbuka. seorang wanita cantik berusia empat puluhan berdiri di situ. Ketika melihat Thio Han Liong, wanita itu tampak tertegun.   "Siapa Anda?"   "Namaku Thio Han Liong, Pelayan memberitahukan kepadaku bahwa anak gadis yang bersama kalian itu sakit keras. Aku sedikit mengerti ilmu pengobatan, bolehkah aku mencoba memeriksanya?"   "Terima kasih atas maksud baik Anda, tapi...."   Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala.   "Penyakit yang diderita nona kami, bukan merupakan penyakit biasa. Kami...."   "Biar dia coba periksa penyakit siauw Cui"   Ujar wanita lain, yang duduk dipinggir tempat tidur.   "Ya, Kak."   Sahut wanita yang berdiri dekat pintu, kemudian mempersilakan Thio Han Liong masuk.   "Masuklah"   "Terima kasih,"   Ucap Thio Han Liong sambil melangkah ke dalam mendekati anak gadis yang berbaring di tempat tidur, lalu bertanya pada wanita yang duduk di pinggir tempat tidur.   "Adik kecil ini menderita penyakit apa?"   "Kalau Anda tahu ilmu pengobatan, tentunya akan tahu setelah memeriksanya,"   Sahut wanita itu.   "Kalau begitu, bolehkah aku memeriksanya sekarang?"   "Silakan"   Thio Han Liong mulai memeriksa anak gadis itu dengan intensif sekali. seketika wajahnya tampak serius dan kening tampak berkerut-kerut.   "Aaah...."   Thio Han Liong menghela nafas panjang seusai memeriksa anak gadis itu.   "Bagaimana?"   Tanya wanita itu tegang.   "Anda sudah tahu nona kami menderita penyakit apa?"   "Adik kecil ini tidak sakit."   Sahut Thio Han Liong memberitahukan.   "Dia terkena semacam racun, namun jantungnya masih terlindung oleh semacam obat, maka racun itu belum menyerang kejantungnya. Akan tetapi... obat yang melindungi jantungnya cuma dapat bertahan beberapa hari lagi. setelah itu, adik kecil ini tak akan tertolong."   "Aaaah...."   Ke dua wanita itu menghela nafas panjang, kemudian berlutut dihadapan Thio Han Liong.   "Kami mohon Anda menyelamatkan nyawa nona kami...."   "Bangunlah"   Sahut Thio Han Liong sambil membangunkan ke dua wanita itu.   "Aku akan berusaha menolongnya."   "Terima kasih, Tuan."   Ucap ke dua wanita itu sambil bangkit berdiri "Adik kecil ini terkena racun yang bukan berasal dari Tionggoan."   Ujar Thio Han Liong dan menambahkan.   "Kalau tidak salah, racun itu berasal dari perbatasan Mongolia, dan boleh dikatakan tiada obatnya."   "Betul."   Salah seorang wanita itu mengangguk.   "Kami memang bukan orang Tionggoan."   "Oooh"   Thio Han Liong manggut-manggut.   "Kebetulan aku membawa obat penawar racun, mudahmudahan obat itu dapat menawarkan racun yang ada di dalam tubuh adik kecil ini."   Thio Han Liong mengeluarkan sebuah botol pualam kecil, kemudian manuang dua butir obat ke tangannya.   Ternyata Bu Beng siang su yang meramu obat penawar racun itu dari akar dan daun soat san Ling Che.   Dengan hati-hati sekali ke dua butir obat itu dimasukkannya ke dalam mulut anak gadis tersebut, lalu menyuruh salah seorang wanita itu pergi mengambil sebuah baskom.   "Ya."   Wanita itu segera pergi mengambil baskom, dan tak segerapa lama ia sudah kembali ke kamar itu dengan membawa sebuah baskom tembaga.   "Apabila adik kecil ini mau muntah, cepatlah sodorkan baskom itu ke mulutnya"   Pesan Thio Han Liong.   "Ya."   Wanita itu mengangguk.   Thio Han Liong memandang wajah anak gadis itu yang semula tampak pucat pias, kini sudah agak memerah, dan itu sungguh menggirangkan Thio Han Liong.   la segera membangunkan anak gadis itu, agar duduk dan ia pun duduk di belakangnya.   sepasang telapak tangan Thio Han Liong ditempelkan di punggung anak gadis itu, lalu mengerahkan Kiu Yang sin Kang.   Berselang beberapa saat kemudian, anak gadis itu kelihatan mau muntah.   Wanita yang memegang baskom langsung menyodorkan baskom itu ke mulutnya.   "uaaakh uaaakh uaaakh..."   Anak gadis itu memuntahkan lendir yang agak kehijau-hijauan. Usai muntah, anak gadis itu membuka matanya perlahanlahan. Ternyata tadi la dalam keadaan pingsan dan kini sudah tersadar.   "Bibi Bibi..."   Panggil anak gadis itu "Siauw Cui.. siauw Cui..."   Sahut ke dua wanita itu dengan air mata berderai-derai saking gembiranya. Sedangkan Thlo Han Liong telah menurunkan sepasang tangannya, lalu meloncat turun sambil tersenyum.   "Bibi berdua"   Ujarnya memberitahukan.   "Kini adik kecil ini telah pulih, dia memiliki Iweekang yang cukup tinggi."   "Tuan...."   Mendadak ke dua wanita itu berlutut di hadapan Thio Han Liong.   "Tuan telah menyelamatkan nyawa nona kami, entah harus bagaimana kami berterima kasih kepada Tuan?"   "Jangan berkata begitu"   Thio Han Liong tersenyum.   "Bangunlah"   Ke dua wanita itu bangkit berdiri, sedangkan anak gadis itu terus memandang Thio Han Liong.   "Kakak yang menyelamatkan nyawaku?"   Tanyanya. Thio Han Liong mengangguk.   "Terima kasih, Kakak."   Ucap anak gadis itu.   "Aku telah berhutang budi kepada Kakak, entah bagaimana aku harus membalasnya?"   "Adik kecil"   Thio Han Liong tersenyum lembut.   "Jangan berkata begitu, aku menolongmu tanpa pamrih."   "Oh?"   Anak gadis itu tertawa kecil.   "Bolehkah aku tahu nama Kakak?"   "Namaku Thio Han Liong. Namamu?"   "Namaku siauw Cui."   "Nama yang indah"   Puji Thio Han Liong.   "Adik siauw Cui amat cantik,"   Siauw Cui tersenyum.   "Kakak sungguh tampan, sudah punya isteri belum?"   "Belum, tapi sudah punya tunangan."   Thio Han Liong memberitahukan.   "Aku yakin tunangan Kakak pasti cantik sekali. Ke-napa dia tidak bersama Kakak?"   "Dia tinggal di Kotaraja, sekarang aku sedang mau ke sana"   "Hoooh "siauw Cui manggut- manggut.   "Sayang sekali kami harus segera pulang. Kalau tidak, kami ingin jalan-jalan ke Kotaraja."   Anak Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Adik kecil"   Thio Han Liong membelainya.   "Ke dua orangtua mu pasti sangat mencemaskan mu, maka kalian harus cepat-cepat pulang."   "Betul."   Sahut salah seorang wanita itu, kemudian memandang Thio Han Liong seraya bertanya.   "Thio siau-hiup, obat penawar racunmu itu dibuat dari ramuan apa?"   "Akar dan daun soat san Ling Che."   Thio Han Liong memberitahukan.   "Haah...?"   Mulut ke dua wanita itu ternganga lebar.   "Pantas dapat memunahkan racun itu oh ya, tadi siauhiap menggunakan Iweekang apa membantu nona kami mendesak ke luar racun itu?"   "Kiu Yang Sin Kang."   "Oh?"   Ke dua wanita itu manggut-manggut.   "Tidak disangka siauhiap telah memiliki Iweekang tingkat tinggi itu. Apakah siauhiap yang makan buah soat san Ling che itu?"   "Ya."   Thio Han Liong mengangguk.   "Siauhiap sungguh beruntung."   Ujar salah seorang wanita, itu.   "Siauhiap masih muda, tapi berkepandaian tinggi dan mahir ilmu pengobatan pula, itu sungguh di luar dugaan"   "Bibi berdua pun berkepandaian amat tinggi,"   Sahut Thio Han Liong sambil tersenyum.   "Siauhiap, kami berdua cuma merupakan pelayan. Kepandaian kami tidak seberapa."   "Bibi berdua terlampau merendahkan diri oh ya, bolehkah aku tahu kalian berdua dari mana?"   "Kami...."   Ke dua wanita itu menggeleng-gelengkan kepala.   "Maaf, kami tidak bisa memberitahukan Mudah-mudahan kelak kita akan berjumpa lagi"   "Baiklah."   Thio Han Liong manggut-manggut.   "Kalau begitu aku mohon diri"   "Kakak"   Panggil siauw Cui.   "Kakak tinggal di mana?"   Tanyanya.   "Aku tinggal di pulau Hong Hoang To Pak Hai."   Thio Han Liong memberitahukan.   "Pulau itu jauh sekali."   "Tempat tinggal kami pun jauh sekali."   Siauw Cui memberitahukan.   "Di puncak gunung. Kami tidak pernah berhubungan dengan orang luar."   "Oooh"   Thio Han Liong tersenyum.   "Adik kecil, sampai jumpa kelak"   "Ya, Kakak"   Sahut siauw Cui.   "Semoga kita berjumpa kembali kelak"   Thio Han Liong menatapnya sejenak.   lalu kembali ke kamarnya dan duduk.   la tidak habis pikir, siapa sebenarnya siauw Cui dan ke dua wanita itu....   Bab 53 Bu sim Hoatsu Seorang pendeta Taosme berwajah dingin dan kaku menuntun seorang gadis kecil memasuki sebuah lembah.   Mereka berdua ternyata Bu sim Hoatsu dan Ouw Yang Hui sian, putri Ouw Yang Bun.   "Aku tidak mau ikut Aku tidak mau ikut..."   Gadis kecil itu berhenti.   "Paman pendeta jahat Jahat sekali Aku tidak mau ikut..."   "Hui sian"   Bu sim Hoatsu mengerutkan kening.   "Kalau hari itu aku tidak tertarik padamu, mungkin Tong Koay dan ayahmu telah kubunuh"   "Aku tidak mau menjadi muridmu Aku tidak mau..."   Ouw Hui sian terus menggelengkan kepala dan tak mau berjalan sama sekali.   "Aku benci engkau pendeta jahat"   "He he he"   Bu sim Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh.   "Aku justru mau mengangkatmu sebagai murid, sekaligus menjadikan dirimu pendekar wanita yang tak terkalahkan. He he he..."   "Pokoknya aku tidak mau"   Ouw Yang Hui sian membantingbanting kaki.   "Tidak mau..."   "Oh?"   Bu sim Hoatsu melotot, kemudian mendadak menarik lengan gadis kecil itu seraya membentak gusar.   "Ayoh, cepat jalan"   Bu Sim Hoatsu menyeretnya, namun gadis kecil itu tetap berkeras tidak mau bergerak, bahkan me ronta- ronta dan mencakar tangan Bu sim Hoatsu.   "Kurang ajar"   Bu sim Hoatsu mengayunkan tangannya. Plaaak Pipi Ouw Yang Hui sian terkena tamparan keras, membuatnya menjerit kesakitan.   "Aduuuuh..."   Gadis itu pun menangis dengan air mata bercucuran.   "Pendeta jahat, kenapa engkau menamparku?"   "Diam"   Sahut Busim Hoatsu membentaknya.   "Kalau engkau masih tidak mau jalan, aku akan menyeretmu"   Di saat bersamaan, muncullah seorang wanita tua berusia enam puluhan sambil bernyanyi-nyanyi kecil, lalu tertawa-tawa pula.   Walau pakaiannya compang-camping, tapi kelihatannya bersih sekali.   Ketika melihat Ouw Yang Hui sian menangis, dan melihat Bu sim Hoatsu menyeret gadis kecil itu, wajahnya langsung berubah.   "Hei Pendeta busuk. kenapa engkau menyakiti gadis kecil itu?"   Bentak wanita tua itu sambil mendekati mereka. Bu sim Hoatsu diam saja, namun terus menatapnya dengan penuh perhatian dan kening pun berkerut-kerut.   "Hi hi hi"   Wanita tua itu tertawa.   "Pendeta busuk, ternyata engkau gagu tetapi berhati jahat"   "Popo (Nenek)"   Seru Ouw Yang Hui sian.   "Tolonglah aku, pendeta jahat ini mau membawa ku pergi"   "Hi hi hi"   Wanita tua itu tertawa gembira.   "Betul Betul Aku adalah nenekmu, aku harus menolongmu."   La mendekati Ouw Yang Hui sian, namun mendadak Bu sim Hoatsu membentak.   "Diam di tempat"   "Haaah?"   Wanita tua itu tampak tersentak, kemudian memandang Bu sim Hoatsu dengan mata tak berkedip.   "Engkau tidak gagu, tapi kenapa tadi tidak mau bicara?"   "Nenek gembel"   Bu sim Hoatsu menatapnya tajam.   "Cepatlah tinggalkan tempat ini."   "He he he Pendeta busuk, kalau aku tidak mau meninggalkan tempat ini, mau apa engkau?"   "Nenek gembel"   Bu sim Hoatsu mengerutkan kening.   "Siapa engkau?"   "Aku bukan nenek gembel"   Sahut wanita tua itu.   "Aku Im Sie Popo (Nenek Alam Baka) He he he..."   Wanita tua itu ternyata Kwee In Loan yang sudah tidak waras, setelah berhasil mempelajari ilmu yang tercantum di dalam kitab pusaka Im Sie Cin Keng. Maka ia pun meninggalkan goa yang di dasar jurang itu dan berkelana daiam keadaan gila.   "Im Sie Popo?"   Bu sim Hoatsu tercengang. Karena tidak pernah mendengar nama julukan tersebut.   "Betul"   Im Sie Popo-Kwee In Loan tertawa terkekeh-kekeh, kemudian membentak.   "Pendeta jahat, kenapa engkau menyakiti gadis kecil itu?"   "Hmm"   Dengus Bu sim Hoatsu dingini "Ini adalah urusanku, engkau jangan turut campur"   "Popo Popo"   Seru Ouw Yang Hui sian.   "Tolong aku Tolong aku, Popo"   "Hi hi hi Cucuku yang manis, jangan takut, aku pasti menolongmu"   Sahut Im Sie Popo sambil tertawa cekikikan.   "Hihihi Engkau memang cucuku"   Im Sie Popo mendekati Bu Sim Hoatsu. Pendeta itu terus menatapnya dengan tajam, dan mendadak membentak dengan suara yang amat berpengaruh.   "Engkau harus menuruti semua perintahku"   Suara bentakan itu membuat Im Sie Popo tersentak. Ternyata Bu sim Hoatsu mengerahkan ilmu hitam untuk mempengaruhi Im Sie Popo. Akan tetapi, nenek itu hanya tersentak, sama sekali tidak terpengaruh dan sebaliknya malah terus tertawa terkekeh-kekeh.   "He he he He he he Aku tidak akan menuruti semua perintahmu"   Anak Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ujarnya.   "Hai pendeta jahat, cepat lepaskan gadis kecil itu"   "Eh?"   Bu sim Hoatsu terperanjat, sebab Im Sie Popo tidak terpengaruh oleh ilmu hitamnya. la terus menatapnya tajam kemudian manggut-manggut.   "Engkau ternyata nenek gila, pantas begitu berani terhadapku"   "Pendeta jahat"   Bentak Im Sie Popo.   "Cepat lepaskan gadis kecil itu, kalau tidak...."   "Ha ha ha..."   Bu sim Hoatsu tertawa gelak, akan tetapi mendadak....   "Plaaak"   Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, sehingga ia menjerit kesakitan sambil mengusap pipinya, dan tampak terbelalak pula saking terkejutnya.   "Aduuuuh..."   "He h e h e"   Im Sie Popo tertawa.   "Kalau engkau masih berani menyakiti gadis kecil itu, aku pasti akan menghajarmu lagi Ayoh cepat lepaskan dia"   "Hm"   Dengus Bu sim Hoatsu, kemudian mendadak menyerangnya dengan secepat kilat dan bertubi-tubi.   "He he he"   Im Sie Popo tertawa terkekeh-kekeh.   "Asyik mari kita main-main"   Im Sie Popo berkelit ke sana ke mari.   Dengan gampang sekali ia menghindari semua serangan itu.   Betapa terkejutnya Bu sim Hoatsu.   la tidak menyangka Im Sie Popo berkepandaian begitu tinggi.   Oleh karena itu, ia mulai mengeluarkan jurus-jurus andalannya untuk menyerang Im Sie Popo.   Akan tetapi, nenek itu tetap dapat mengelak sambil tertawa terkekeh-kekeh.   "Popo"   Seru Ouw Yang Hui sian.   "Hajar pendeta jahat itu"   "Baik, cucuku,"   Sahut Im Sie Popo, lalu balas menyerang Bu sim Hoatsu dengan jurus-jurus yang amat aneh.   Bukan main terkejutnya Bu sim Hoatsu karena seranganserangan itu tampak kacau balau tapi cepat, lihay dan dahsyat sekali.   Plak Plok Plaak Pipi Bu sim Hoatsu tertampar beberapa kali.   "Aduuh"   Jeritnya kesakitan. la terhuyung-huyung ke belakang dengan pipi membengkak.   "Hi hi hi"   Im Sie Popo tertawa.   "Pendeta busuk, pipimu sudah bengkak Hi hi hi..."   "Nenek gila"   Bu sim Hoatsu menatapnya dengan mata berapi api.   "Engkau..."   "Mau berkelahi lagi?"   Tanya Im Sie Popo sambil mendekatinya.   Di saat bersamaan, Bu sim Hoatsu merogoh ke dalam bajunya.   Ketika Im Sie Popo sudah mendekat, tiba-tiba ia mengibaskan tangannya.   Tampak asap yang agak ke-merahmerahan mengarah Im Sie Popo.   Namun nenek itu tidak berkelit, sebaliknya malah tertawa gembira menyaksikan asap yang amat indah itu.    Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong

Cari Blog Ini