Anak Rajawali 2
Anak Rajawali Karya Chin Yung Bagian 2
Anak Rajawali Karya dari Chin Yung "Hemm, lalu setelah bertemu denganku, apa yang kau inginkan dariku?!" Tanya Bin Hujin dengan suara yang semakin dingin. Sedangkan Bin Wan-gwe telah mengasi dengan sorot mata yang mengandung kecemasan dan kekuatiran, sebab dia kuatir isterinya yang cantik itu dilukai oleh Hok An. Hok An telah memperlihatkan wajah yang merana sekali, dia telah bilang. "Kim Hoa..... seperti kau ketahui, aku sangat mencintaimu....., dan kau......, mengapa kau selalu berusaha menghindar dariku?! Lihatlah, betapa menderita dan sengsaranya aku ini..... Kim Hoa.....!" Wajah Bin Hujin semakin memucat. Dia telah mengawasi Hok An beberapa saat lamanya, sampai akhirnya dia berkata dengan suara tawar. "Memang dulu kita pernah saling kenal, akan tetapi sekarang di antara kita sudah tidak terdapat hubungan apapun lagi! Pergilah kau.....!" "Kau?!" Muka Hok An jadi pucat pias. "Pergilah kau.....!" "Kau mengusirku?!" "Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi........!" "Kau sudah tidak mencintaiku?!" "Sejak dulu akupun tidak pernah mencintaimu!" Menyahuti Bin Hujin. "Ohhh, jika begitu dulu semua janji dan kata-katamu itu hanya palsu belaka!" Berseru Hok An sambil memperlihatkan sikap yang beringas. "Kau..... kau telah menipuku..... Dulu kau mengatakan sangat mencintaiku, kau mencintaiku sepenuh hati, tetapi sekarang? Apa yang kau katakan?!" Muka Bin Hujin jadi berobah semakin pucat, dia telah bilang. "Jika memang aku mencintaimu, tentu aku tidak menikah dengan orang lain! Dan sekarang aku telah resmi menjadi isteri Bin Wan-gwe..... kami sangat bahagia, dan kami telah memperoleh seorang anak.....!" Berkata sampai di situ, suara Bin Hujin semakin tersendat, akhirnya dia menangis. Dengan ke dua tangan menutupi mukanya dan menangis terisak, Bin Hujin terus juga menangis dan memutar tubuhnya membelakangi Hok An dan Bin Wan-gwe. Sepasang mata Bin Wan-gwe terpentang lebar-lebar. Dilihat semua ini memang kenyataan yang ada, benar adanya bahwa Hok An pernah mengadakan hubungan dengan isterinya. Hanya saja, sekarang tampaknya Bin Hujin, isterinya itu, tidak mau kenal lagi pada Hok An. Waktu itu Hok An telah berseru nyaring. "Jadi..... kau memang sungguh-sungguh tidak pernah mencintaiku?!" Bin Hujin mengangguk di antara isak tangisnya dan menyahuti dengan suara sember. "Ya.....!" Hok An tiba-tiba menjerit dengan suara yang lirih sekali, dia memutar tubuhnya dan menotolkan ujung kakinya, tubuhnya melesat meninggalkan tempat tersebut. Bin Wan-gwe telah berdiri mematung di tempatnya, begitu juga semua tukang pukulnya. Sedangkan Bin Hujin masih juga menangis terisak dan kemudian berlari masuk ke dalam gedung, menghilang dari tatapan suaminya...... Hok An yang waktu itu merasakan hatinya sangat hancur. telah berlari-lari dengan cepat sekali tanpa arah tujuan yang pasti. Dia berlari-lari ke mana saja ke dua kakinya itu membawanya. Setelah berlari-lari sekian lama dan telah berada di luar perkampungan tersebut, Hok An baru berhenti berlari. Dengan sikap kalap dia memukuli kepalanya. "Kim Hoa! Kim Hoa! Betapa kejamnya kau!" Menjerit-jerit Hok An beberapa kali. Dan Hok An telah menangis duduk mendeprok di tanah. Waktu itu terlihat betapa Hok An tengah merenungkan kesedihan hatinya. Dia tidak menyangka, bahwa setelah lima tahun lebih mencari-cari Kim Hoa, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan wanita yang sangat dicintainya itu, dia harus menelan kepahitan seperti sekarang ini. Karenanya, betapa perih luka di hati Hok An. Setelah puas menangis, akhirnya Hok An berdiri dan melangkah perlahan-lahan. Dia bersenandung, membawakan lagu percintaan yang sangat sedih dan merana sekali..... Suaranya itu tergetar, bagaikan berada di antara jurang kedukaan dan di antara getar isak tangisnya. Ketika Hok An tengah melangkah dengan keadaan seperti juga kehilangan semangat, di saat itulah tampak betapa dari arah depannya telah mendatangi seseorang, dengan tindakan kaki yang cepat sekali. Dia seorang pemuda berusia di antara duapuluh empat tahun, berpakaian sebagai seorang pelajar, dengan kopiah warna coklat tua, dengan jubah pelajar berwarna abu-abu. Waktu melihat keadaan Hok An, pemuda pelajar tersebut memperlihatkan sikap terheran-heran, sampat akhirnya dia berseru nyaring dan bertanya. "Ohhh, kesulitan dan kesusahan hati apakah yang tengah melanda dirimu, wahai manusia yang cepat putus asa?!" Hok An tengah berduka, dan dia jadi tersinggung mendengar pemuda pelajar tersebut yang dianggapnya tengah mengejeknya. Dia telah berhenti melangkah, menoleh dengan sorot mata yang beringas, sampai akhirnya dengan geram dia bilang. "Tidak perlu kau mencampuri urusanku.....!" Pemuda pelajar itu tersenyum, dia bilang. "Benar, benar, memang tidak seharusnya aku mencampuri urusan seseorang yang tidak kukenal..... Akan tetapi, kulihat, engkau demikian bersedih, apakah terdapat sesuatu kesulitan yang tidak bisa kau pecahkan?!" Hok An yang tengah bersedih jadi tidak bisa menguasai dirinya, tahu-tahu dia telah melompat cepat sekali ke dekat pemuda pelajar itu. "Kau terlalu rewel sekali.....!" Bentaknya. Dan Hok An pun bukan hanya membentak begitu saja, sebab diapun telah menggerakkan tangan kanannya memukul kepada pemuda itu. Pemuda pelajar tersebut kaget bukan main, karena dia merasakan, belum lagi serangan itu tiba, pakaiannya telah berkibaran terkena angin serangan yang sangat kuat sekali. Maka dia bisa memakluminya, tentu Hok An bukan orang sembarangan, karena pada pukulannya tersebut terlihat kekuatan tenaga lweekang yang dahsyat sekali. Maka cepat-cepat pemuda pelajar tersebut mengelakkan diri dengan melompat ke samping kanan. "Ohoi..... betapa berbahaya sekali! Betapa berbahaya sekali!" Kata pemuda pelajar itu kemudian dengan suara bergurau. "Dan, mengapa kau harus marah-marah beringas seperti itu?" Hok An tampak tambah gusar, karena dia melihat betapa pukulannya itu dapat dihindarkan oleh pemuda pelajar tersebut dengan mudah. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menyerang lebih dahsyat pula. Pemuda pelajar tersebut kali ini tidak berkelit, dia menantikan di saat serangan itu telah menyambar dekat padanya, barulah pemuda pelajar tersebut menangkisnya. Tangkisan yang dilakukan oleh pemuda pelajar tersebut berhasil membuat serangan Hok An tertangkis, malah waktu itu Hok An merasakan pergelangan tangan kanannya jadi sakit sekali, sampai dia mengeluarkan seruan tertahan dan melompat mundur beberapa langkah. Hok An telah melompat mundur lagi dan kemudian menjatuhkan diri duduk mendeprok di tanah sambil menangis menggerunggerung. Pemuda pelajar itu jadi memandang tambah terheran-heran atas sikap Hok An. Tadi dia begitu beringas dan telah menyerangnya dengan serangan yang hebat sekali. Akan tetapi, sekarang Hok An menangis menggerung-gerung. Dilihat dari tenaga pukulannya, kepandaian Hok An tentunya bukan kepandaian yang rendah, dan tidak seharusnya karena gagal dengan ke dua serangannya itu dia jadi menangis begitu sedih. "Kenapa kau?!" Tanya pemuda tersebut akhirnya karena terheranheran dan terdorong dengan penasaran ingin tahunya. Akan tetapi Hok An masih juga menangis dengan sedih, seakanakan dia tidak memperdulikan pemuda pelajar itu, dia tengah melampiaskan kesedihan hatinya. Dikala itu terlihat si pemuda pelajar tersebut semakin digeluti oleh perasaan terheran-herannya dan juga perasaan tidak mengerti. "Apakah memang benar engkau tengah menghadapi kesulitan yang tidak bisa dipecahkan olehmu sendiri? Jika memang kau mau menceritakan kesulitan itu kepadaku, siapa tahu aku bisa membantumu?!" Mendengar pertanyaan terakhir dari pemuda pelajar ini, tiba-tiba Hok An mengangkat kepalanya. "Hemmm, engkau hendak membantuku? Benarkah itu?!" Tanya Hok An sambil menyusut air matanya Pemuda pelajar tersebut mengangguk dengan segera dan pasti. "Ya, kau ceritakanlah, kesulitan apa yang tengah kau hadapi? Jika memang aku bisa membantumu, tentu aku ingin sekali membantu kau dari kesulitan yang ada itu.....!" Hok An tidak segera bicara, dia berdiam dengan air mata yang terus turun berlinang, setelah menyusut lagi, barulah dia bilang. "Sebenarnya..... sebenarnya, aku tengah merasa terhina sekali..... "Merasa terhina? Oleh siapa? Mengapa begitu?!" Tanya pemuda pelajar tersebut. Hok An tidak segera menyahuti, dia mengangkat kepalanya mengawasi pelajar tersebut. Sampai akhirnya dia menghela napas dalam-dalam dan menghapus air matanya, karena dia rupanya memang telah berhasil menguasai dirinya. "Sebenarnya," Kata Hok An akhirnya. "Aku tengah bersakit hati dihina oleh seseorang.....!" "Siapa yang menghinamu?!" Tanya pemuda pelajar tersebut dengan perasaan ingin tahunya. "Menurut apa yang kulihat, engkau mimiliki kepandaian yang cukup tinggi, dan tidak sembarangan orang bisa menghinamu.....!" Hok An mengangguk. "Benar..... akan tetapi orang itu menghinaku bukan tubuh atau juga diriku..... dia menghinaku dengan kata-katanya......!" Menyahuti Hok An akhirnya, dengan suara yang tersendat di antara isak tangisnya. "Mengapa engkau membiarkan begitu saja dirimu dihina oleh orang itu?!" Tanya pelajar tersebut. "Aku..... aku..... apa yang harus kulakukan?!" Tanya Hok An seperti tergagap. "Mengapa engkau membiarkan dirimu dihina oleh orang itu tanpa kau berusaha menghajarnya?!" Tanya pemuda pelajar itu lagi sambil mengawasi Hok An berapa saat lamanya. Hok An menghela napas. "Apa yang bisa kau lakukan..... justru yang telah menghina diriku itu adalah orang yang sangat kucintai!" Kata Hok An pada akhirnya. "Apa..?!" Tanya pemuda pelajar itu tambah terheran-heran lagi dan tidak mengerti Hok An menghela napas sambil mengangguk. "Ya, orang yang telah menghina diriku itu adalah orang yang sangat kucintai, akan tetapi dia telah menghina diriku, memperlakukan aku tidak baik, dan juga mendustai diriku sehingga perasaanku jadi hancur.....!" Kata Hok An akhirnya. Pemuda pelajar tersebut telah mengawasi Hok An beberapa saat, kemudian barulah dia bilang. "Jadi menghina dirimu itu seorang wanita?" Hok An mengangguk. "Ya, wanita yang sangat kucintai!" Sahutnya kemudian. "Jadi kau mencintai wanita itu?!" Tanya pemuda pelajar itu lagi. "Benar!" "Hanya saja wanita itu telah menolak cintamu?!" Tanya pemuda pelajar itu lagi. Hok An tidak segera mengiyakan, dia mengangkat kepalanya mengawasi pemuda pelajar tersebut beberapa saat lamanya. Sampai akhirnya dia bilang perlahan-lahan. "Sebenarnya wanita itu juga sangat mencintai aku.....!" Pemuga pelajar ini tambah terheran-heran. "Aku tidak mengerti maksud dari perkataanmu, tadi kau mengatakan bahwa engkau dihina oleh wanita yang engkau cintai itu, tentunya dia mengeluarkan kata-kata yang kasar dan menghina. Akan tetapi sekarang engkau mengatakan bahwa wanita itu juga sangat mencintaimu! Jika memang wanita itu mencintaimu, mengapa dia bisa menghina dirimu? Menyakiti perasaan dan hatimu?!" Hok An tidak segera menyahuti, untuk sementara waktu dia menghela napas beberapa kali barulah kemudian menjelaskannya. "Sebenarnya, kami berkenalan enam tahun yang lalu, waktu mana memang di antara aku dengan wanita itu saling mencintai. Akan tetapi, suatu hari, aku telah berurusan dengan pihak pemerintah, sehingga aku ditangkap oleh yang berwajib, dan akhirnya ditahan selama setahun lebih! "Hal itu terjadi memang atas dasar kesalahanku juga, di mana aku telah minum arak terlalu banyak sehingga mabok, dan dalam keadaan mabok seperti itu aku telah bertengkar dengan seorang tentara kerajaan, sehingga akhirnya aku telah membunuhnya..... Maka dari itu, aku telah tertangkap dan diadili oleh pihak Tie-kwan, di mana aku ditahan dan dimasukkan ke dalam penjara selama setahun lebih! "Setelah bebas dari tahanan itu, aku segera mencari wanita yang sangat kucintai itu. Akan tetapi dia sudah tidak berada di kampung kami, dia telah pergi entah ke mana! Akhirnya kuputuskan buat mencarinya sampai dapat menemuinya. Begitulah, selama lima tahun lebih aku telah mencari-carinya, sampai akhirnya aku menemuinya, di kampung itu.....!" Sambil berkata begitu, Hok An telah menunjuk ke arah perkampungan di dekat mereka, sedangkan si pemuda pelajar telah mengikuti arah yang ditunjuk oleh Hok An. "Kemudian bagaimana?!" Tanya pemuda pelajar tersebut, yang jadi sangat tertarik mendengar cerita Hok An seperti itu. "Apakah wanita itu sudah tidak mencintaimu?!" "Bukan..... bukan begitu!" Menyahuti Hok An cepat dan dengan nada yang tergetar. "Lalu bagaimana? Mengapa kau bisa mengatakan bahwa wanita itu akhirnya menghina dirimu?!" Hok An menghela napas dalam-dalam. "Wanita itu ternyata tidak mencintai aku, aku telah memperoleh buktinya.....!" Menyahuti Hok An. "Mengapa terjadi begitu?!" Tanya pemuda pelajar tersebut. "Karena waktu aku berhasil menemukan jejaknya, dia telah menjadi milik orang lain, telah menjadi isteri dari seorang hartawan, dia telah menjadi nyonya Bin, isteri dari Bin Wan-gwe...... Ooh, dia telah menipuku dengan semua pernyataannya bahwa dia sangat mencintaiku..... Oooh, dia telah begitu tega buat mendustaiku.....!" Dan Hok An menghela napas beberapa kali lagi. Walaupun Hok An berusaha membendung dan mencegah mengucurnya air mata, akan tetapi dia tidak berhasil, karena butirbutir air mata itu telah berlinang turun di pipinya. Sedangkan si pemuda pelajar tersebut jadi menghela napas dalam-dalam. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dia jadi menaruh rasa iba dan kasihan kepada Hok An. "Sudahlah!" Hiburnya. "Jika memang kau telah memperoleh bukti bahwa wanita itu tidak mencintaimu, terlebih lagi memang dia sekarang telah menjadi isteri orang lain, engkau pun tidak usah memikirkannya lagi, dan engkau pun tidak perlu untuk mengharapkan dirinya lagi..... Engkau boleh memilih wanita lain yang sekiranya bisa mencintai dirimu.....!" Hok An cepat-cepat menggeleng waktu mendengar perkataan pemuda pelajar tersebut. "Kau jangan kurang ajar!" Katanya dengan sikap yang beringas dan sengit. "Mengapa kau mengatakan aku berbuat kurang ajar? Bukankah aku berkata dengan benar, bahwa engkau tidak usah mengharapkan wanita yang telah menghianati cintamu itu dan kini telah menjadi isteri orang lain?!" Tanya pemuda pelajar itu. "Hemmm, apakah kau kira cinta itu mudah untuk dilupakan dan dibuang seperti itu? Hemmm, apakah engkau kira dengan mudah kita akan segera dapat mencintai wanita lain?!" Kata Hok An bertambah sengit. Pemuda pelajar itu jadi bungkam mendengar perkataan Hok An seperti itu. Sedangkan Hok An seperti kalap telah berkata. "Ayo, kau katakan, tidakkah apa yang kubilang itu benar, bahwa cinta itu tidak bisa sembarangan diberikan kepada siapa saja? Aku telah mencintai wanita itu, walaupun dia telah menjadi isteri orang lain, akan tetapi aku tetap mencintainya..... Hanya saja dia telah menghina dan menyakiti hatiku!" Pemuda pelajar tersebut menghela napas. "Nah, jika memang wanita itu telah menjadi isteri orang lain, walaupun engkau tetap mencintainya, apa gunanya lagi? Atau memang engkau masih mengharapkan dirinya? Bukankah jika kau berusaha memperolehnya, sama saja engkau menghancurkan rumah tangganya?" "Akan tetapi aku tetap mencintainya..... dan semula..... semula kukira dia mencintaiku!" Kata Hok An kemudian dengan suara yang sember. "Walaupun apa yang terjadi, aku ingin mengajaknya buat ikut bersamaku, karena aku tetap mencintainya. Akan tetapi..... akan tetapi.....!" Suara Hok An semakin sember dan dia tidak meneruskan perkataannya itu. "Akan tetapi kenapa?!" Tanya pemuda pelajar tersebut yang jadi semakin tertarik ingin mengetahui apa yang telah dialami oleh Hok An. "Akan tetapi..... tadi..... tadi waktu untuk pertama kali bertemu setelah lima tahun lebih kami berpisah, dan sekarang dia telah menjadi milik orang lain, dia baru mengakui bahwa sejak dulu sampai kini..... dia..... dia tidak pernah mencintaiku..... tidak pernah mencintaiku." Dan suara Hok An semakin sember, malah air matanya telah menitik turun deras sekali. "Ohhh, jadi tadi dia menyatakan bahwa dulu dia tidak pernah mencintaimu?!" Tanya pemuda pelajar itu. Hok An mengangguk. "Bahkan..... dia telah mengusir diriku!" Kata Hok An kemudian. Pemuda pelajar tersebut tertawa. "Jika demikian, tidak ada harganya kau mencintai wanita seperti itu!" Kata pemuda pelajar tersebut. Tiba-tiba, bagaikan tersentak oleh gigitan kalajengking, tampak Hok An telah mengangkat kepalanya dan memandang pemuda pelajar itu dengan sorot mata yang sangat tajam dan beringas sekali. "Apa kau bilang?!" Tanyanya dengan suara yang mengandung kemarahan. "Aku mengatakan wanita itu tidak sepantasnya kau cintai!" Menyahuti pemuda pelajar tersebut. "Ohhh, pemuda terkutuk! Engkau jadi ingin mengejek diriku, heh?!" Tanya Hok An dengan sengit. "Sabar..... aku sama sekali tidak bermaksud mengejek dirimu..... akan tetapi memang sepantasnya saja aku memberitahukan kepadamu, bahwa wanita seperti itu sama sekali tidak ada harganya kau cintai..... Jika kau telah disakiti seperti itu, dan kau masih mencintainya, itulah perbuatan yang sangat tolol sekali.....!" "Kau..... kau berani menyebut diriku tolol?!" Teriak Hok An dengan sikap yang beringas dia telah menghampiri lebih dekat kepada pemuda itu tampaknya dia bersiap-siap hendak menyerang. Sedangkan pemuda itu tetah berkata dengan sikap yang tenang. "Kau tidak perlu marah-marah seperti itu. Mari kita bicara secara baik-baik, karena aku akan menjelaskan duduk persoalan ini, agar engkau tidak menjadi korban kekecewaan disebabkan cintamu yang gagal itu! Hemmm, engkau kulihat memiliki kepandaian yang cukup tinggi, dengan demikian tidak sepantasnya engkau kecewa dan menjadi begitu lemah hanya disebabkan cintamu ditolak oleh seorang wanita.....!" Hok An tampak tertegun, dan dia mengawasi pemuda pelajar itu dengan sorot mata yang bimbang, sampai akhirnya dia bilang. "Baiklah, lalu apa maksudmu dengan berkata begitu?!" Tanyanya. "Aku ingin mengartikan bahwa engkau masih dapat melakukan banyak perbuatan besar..... pekerjaan-pekerjaan penting yang bisa membawa kebahagiaan dan keuntungan buat orang banyak pada umumnya.....! Mengapa engkau harus selalu menangisi cintamu yang kandas dan gagal itu, terlebih lagi engkaupun mengetahui wanita yang kau cintai itu telah menjadi isteri orang lain.....?!" "Diapun telah memperoleh seorang anak hasil dari perkawinannya dengan hartawan itu!" Kata Hok An akhirnya dengan suara yang perlahan sekali, seperti juga dia menggumam kepada dirinya sendiri. "Dan walaupun demikian, aku sangat mencintainya..... mencintai Un Kim Hoa.....!" Waktu berkata begitu, tampak Hok An tidak bisa menyembunyikan kedukaan hatinya. "Un..... Un Kim Hoa?!" Tanya pemuda pelajar tersebut seperti tersentak kaget. "Kau mengatakan wanita yang kau cintai itu adalah Un Kim Hoa?!" Hok An mengangguk. "Ya..... kan kini dia telah menjadi Bin Hujin, karena dia telah menikah dengan hartawan she Bin itu!" Menyahuti Hok An. Wajah pemuda pelajar tersebut semakin berobah memperlihatkan sikap sungguh-sungguh. "Jadi...... jadi yang kau maksudkan adalah isteri dari orang yang bernama Bin Ciok Lang?" Tanya pemuda pelajar tersebut. Hok An tidak segera menyahuti, dia merasakan adanya sesuatu kelainan pada nada pertanyaan dari pemuda pelajar tersebut. Namun akhirnya dia menggeleng. "Nama suaminya aku tidak mengetahui, aku hanya mengetahui shenya saja, dia she Bin.....!" Kata Hok An akhirnya. Pemuda berpakaian sebagai pelajar tersebut telah menghela napas, katanya dengan suara yang menggumam. "Aneh, mengapa bisa terjadi urusan yang kebetulan seperti ini? Mengapa bisa terjadi demikian kebetulan?!" Hok An jadi mengawasi pemuda pelajar itu beberapa saat lamanya, dia tidak mengerti akan sikap pemuda pelajar tersebut. Sampai akhirnya dia bertanya. "Apa maksudmu dengan mengatakan semuanya terjadi begitu kebetulan!" Pemuda pelajar ini telah mengawasi Hok An dengan sorot mata yang tajam, sikapnya telah berobah dibandingkan dengan tadi. "Siapakah kau sebenarnya? Siapa she dan namamu?!" Tanya pemuda pelajar itu. "Aku? Aku Hok An.....!" Menyahuti Hok An tanpa sangsi sedikitpun juga. Pemuda pelajar itu termenung sejenak, sampai akhirnya tiba-tiba dia berkata dengan suara yang bersenandung. "Langit dengan megah, hujan dengan petir, tanah dengan pohon. Siapakah yang bisa merobah semua itu?!" Dan kemudian dia menoleh kepada Hok An, tanyanya lagi. "Kau mengetahui di mana rumahnya Bin Wan-gwe itu?!" Hok An mengangguk. "Ya..... aku baru saja dari rumahnya.....!" Menyahuti Hok An. "Hemm, bisakah kau mengantarkan aku ke sana?!" Tanya pemuda pelajar itu pula. "Mengantarkan kau ke sana?!" Tanya Hok An sambil mementang sepasang matanya lebar-lebar. "Apa maksudmu meminta aku mengantarkan engkau ke sana?!" "Untuk menemui Bin Ciok Lang!" Menyahuti pemuda pelajar tersebut. "Untuk apa???!" Tanya Hok An. "Untuk membunuhnya! Dan jika memang dia telah kubunuh, berarti isterinya menjadi janda, kau boleh mengambilnya!" Menyahuti pemuda pelajar tersebut. Hok An jadi tersentak kaget, dia telah memandang pemuda pelajar tersebut dengan sorot mata yang sangat tajam, kemudian katanya. "Ohhh, siapakah kau sebenarnya? Mengapa engkau ingin membunuh hartawan she Bin itu? Ada urusan apakah antara kau dengannya?!" Pemuda pelajar itu memperdengarkan suara tertawa yang dingin. "Hartawan busuk itu harus dibinasakan, dan kau tidak perlu banyak bertanya. Karena jika usahaku itu telah berhasil, bukankah kau bebas buat memiliki isterinya, wanita yang kau cintai itu?!" Muka Hok An berobah jadi pucat, bola matanya memain tidak hentinya, dan akhirnya dia bilang. "Jika demkian..... jika demikian..... mari kuantarkan kau ke rumah hartawan she Bin itu!" Pemuda pelajar itu mengangguk. Begitulah, dia telah mengikuti Hok An untuk memasuki kampung tersebut lagi. Hok An telah mengajak pemuda pelajar itu ke depan rumah Bin Wan-gwe. Waktu itu keadaan di rumah Bin Wan-gwe sangat sunyi sekali, tidak terlihat seorang manusiapun juga. Rupanya para tukang pukul dari Bin Wan-gwe tengah merawat diri dari luka-luka yang mereka derita. "Kau ketuklah pintu...... dan nanti aku yang akan membunuh hartawan busuk itu!" Kata pemuda pelajar tersebut. Tanpa rewel Hok An mengiyakan dan telah menghampiri pintu, yang diketuknya dengan kuat. Dia mengetuk sampai pintu itu tergetar keras. Tidak lama kemudian pintu terbuka, dari dalam melongok seseorang. Hok An tidak sabar, dia mendorong terbuka daun pintu tersebut. Karena ditolak dengan dorongan yang mengandung kekuatan sangat besar, daun pintu itu menjeblak dan telah membuat orang yang berada di balik daun pintu tersebut kena diterjang daun pintu itu, sampai dia terjengkang dan bergulingan di tanah beberapa kali. Hok An kemudian dengan langkah lebar telah memasuki rumah tersebut. Sedangkan pemuda pelajar itu juga mengikuti di belakangnya Dari dalam rumah tersebut, telah keluar dua orang tukang pukul Bin Wan-gwe. Hanya saja, waktu mereka mengenali Hok An, tanpa menegur sepatah perkataan pun juga mereka telah memutar tubuhnya dan melarikan diri dengan segera masuk ke dalam lagi. Pelayan yang tadi membukakan pintu, dan mukanya telah babak belur karena terhajar oleh daun pintu, dengan hidung berlumuran darah dan juga gigi yang pada rontok, telah berlari-lari masuk ke dalam, serta berteriak-teriak. "Ada rampok! Ada rampok!" Tidak lama kemudian tampak beberapa orang keluar dari dalam rumah itu, yang ternyata adalah belasan orang tukang pukul Bin Wan-gwe. Akan tetapi, walaupun mereka berjumlah belasan orang, namun mereka semuanya memperlihatkan sikap yang merasa takut-takut dan jeri kepada Hok An. Sedangkan Hok An telah berseru. "Panggil Bin Wan-gwe keluar!" Pemuda pelajar itu tetap berdiam diri saja, dia hanya mengawasi. Tidak lama kemudian Bin Wan-gwe memang keluar dengan sikap takut-takut. Di sampingnya tampak isterinya Bin Hujin, yang wajahnya masih pucat dan matanya bengul, memperlihatkan bahwa wanita ini baru saja menangis cukup lama. Waktu itu Bin Wan-gwe sambil keluar telah bertanya. "Kekacauan apa lagi yang ingin kau timbulkan disini.....?!" Akan tetapi baru berkata sampai di situ, dia telah melibat si pemuda pelajar, dia tersentak kaget, wajahnya yang memang telah pucat itu semakin pucat saja. "Kau.....?" Serunya. "Kau juga datang kemari?" Pemuda pelajar itu telah mendengus dingin. "Hemmm, sekarang telah tiba waktunya buat kau menghadap Giam-lo-ong, membayar penasaran kedua orang tuaku!" Kata pemuda pelajar itu. Muka Bin Wan-gwe jadi semakin pucat. Dan dia telah berkata dengan suara tergetar. "Lung Hie, sebenarnya..... sebenarnya.....!" "Sebenarnya apa?!" Tanya pemuda pelajar itu, yang dipanggil dengan sebutan Lung Hie, tampaknya memang Bin Wan-gwe dengan pemuda pelajar itu telah saling kenal. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sebenarnya memang aku ingin menghubungimu..... hanya saja aku tidak mengetahui di mana kau akhir-akhir ini berada!" Kata Bin Wan-gwe kemudian dengan sikap yang agak sulit. "Hemm," Pemuda pelajar itu telah memperdengarkan suara tertawa dingin. "Buat apa kau mencoba menghubungiku? Untuk urusan apa?!!" "Aku..... aku ingin memberikan kepadamu harta yang dititipkan ke dua orang tuamu kepadaku!" Kata Bin Wan-gwe. "Kukira sekarang tentunya kau telah dewasa, sehingga pantas menerima harta warisan orang tuamu ini." Mendengar perkataan Bin Wan-gwe terakhir itu, tiba-tiba meledak suara tertawa pemuda pelajar itu. "Hemm, kau terlalu licik, Bin Ciok Lang," Katanya dengan penuh kemarahan. "Sekarang, kau baru mengatakan ingin mengembalikan harta warisan ke dua orang tuaku! Tetapi dulu, kau telah begitu serakah buat memiliki harta warisan ke dua orang tuaku! Bahkan ibuku, juga beberapa orang adikku, telah kau binasakan." Muka Bin Wan-gwe jadi berobah tambah pucat, dia telah berkata dengan sikap yang gugup. "Jangan kau sampai berkata begitu, walaupun bagaimana, aku ini tetap pamanmu..... itu hanya fitnah belaka. Mana mungkin aku sebagai pamanmu sampai hati mencelakai ibu dan adik-adikmu.....?!" Muka pemuda pelajar tersebut berobah merah padam. Dia membentak gusar. "Bin Giok Lang, dengarlah! Walaupun sekarang kau mengemukakan seribu macam alasan, tetap saja aku akan membunuhmu..... karena waktu belasan tahun yang lalu, dengan kejam dan tanpa perikemanusiaan sedikitpun juga, hanya sekedar buat menyerakahi harta warisan dari orang tuaku, kau telah begitu tega membinasakan ibu dan adik-adikku! Hemmm, sekarang kau bersiap-siaplah buat menerima kematianmu!" "Lung Hie!" Teriak Bin Wan-gwe dengan suara yang nyaring. "Tunggu dulu, kau dengar dulu penjelasanku.....!" Akan tetapi pemuda pelajar itu sudah tidak memperdulikan perkataan Bin Wan-gwe. Dia melompat ke depan Bin Wan-gwe, dengan maksud buat menghajar binasa padanya. Namun Bin Hujin waktu itu telah cepat-cepat menyelak ke depan suaminya, dia menghadapi pemuda pelajar itu dengan berani. "Jangan kau ganggu suamiku!" Katanya dengan wajahnya yang tetap pucat, akan tetapi nekad. "Hemmm, engkau ingin melindungi suamimu?!" Tanya pemuda pelajar itu. Sedangkan Bin Wan-gwe sendiri telah memutar tubuhnya, tanpa kenal malu dia berusaha untuk melarikan diri ke dalam gedungnya. Tetapi gerakan pemuda pelajar itu, Lung Hie, sangat cepat sekali. Dia telah melompat ke samping Bin Wan-gwe, kemudian menghantam dengan telapak tangan kanannya pada punggung Bin Wan-gwe. Seketika Bin Wan-gwe jadi terjungkal di atas lantai bergulingan. Sedangkan Bin Hujin menjerit menyaksikan itu dan cepat-cepat menubruk suaminya yang dipeluknya kuat-kuat seakan juga nyonya tersebut melindungi suaminya dengan tubuhnya, jika saja ada sesuatu yang bisa mengganggu keselamatan suaminya. Bin Wan-gwe sendiri telah memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali, darah yang menggenang di lantai begitu mengerikan sekali, mengiriskan hati. Muka Bin Wan-gwe pucat pias. Walaupun hanya terhantam satu kali pada punggungnya, akan tetapi pukulan yang dilakukan oleh pemuda yang bernama Lung Hie itu memiliki tenaga yang kuat sekali, karena dia bukan sembarangan memukul belaka, dia memukul dengan disertai tenaga dalam pada kepalan tangannya. Tidak mengherankan jika Bin Wan-gwe telah tergempur bagian anggota tubuhnya. "Jangan menganiaya suamiku! Jangan menganiaya suamiku!" Teriak Bin Hujin di antara isak tangisnya. Belasan orang kaki tangan Bin Wan-gwe melihat apa yang dialami oleh majikan mereka, segera meluruk akan mengurung Lung Hie, sebab mereka kuatir kalau-kalau Lung Hie akan menerjang maju buat menganiaya majikan mereka lagi. Akan tetapi, walaupun mereka telah mengepung seperti itu, tetap saja mereka semuanya yang berjumlah belasan orang tersebut, yang di tangan masing-masing telah mencekal senjata tajam, telah memandang takut-takut kepada Lung Hie. Mereka menyadari bahwa pemuda inipun sama halnya dengan Hok An yang tangguh dan tampaknya memiliki kepandaian sangat tinggi. Karena dari itu, belasan orang tukang pukul Bin Wan-gwe tidak berani sembarangan bergerak untuk menyerang Lung Hie. Dengan muka yang merah padam tampak Lung Hie melangkah mendekati Bin Wan-gwe yang masih dipeluki isterinya. Sikapnya mengancam sekali. "Lung Hie....., kau..... kau salah paham..... aku..... aku telah difitnah!" Kata Bin Wan gwe bersusah payah, suaranya tidak begitu jelas, karena dia tengah menderita kesakitan yang hebat. Dan setelah berkata begitu, malah Bin Wan-gwe memuntahkan darah segar lagi. Bin Hujin menangis terisak-isak. "Jangan ganggu suamiku..... Mengapa kau hendak menganiaya suamiku?! Pergilah..... ohhh, apakah sudah kau tidak takut pada hamba-hamba negara? Aku akan segera melaporkannya kepada Tie-kwan (hakim) agar kau manusia jahat memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatanmu!" Namun Lung Hie tidak menyahuti, dia melangkah maju terus dengan wajah yang bengis mengandung ancaman hendak membunuh Bin Wan-gwe. Belasan orang tukang pukul Bin Wan-gwe masih ragu-ragu, tapi waktu melihat Lung Hie maju terus dan jaraknya dengan Bin Wangwe sudah tidak jauh lagi, belasan orang tersebut tidak bisa berdiam diri saja. Dengan mengeluarkan suara bentakan, dua orang di antara mereka mempergunakan golok masing-masing buat menyerang dari arah belakang Lung Hie. Lung Hie melangkah dengan mata memandang tajam kepada Bin Wan-gwe, seperti juga ia tidak mengetahui datangnya serangan membokong dari arah belakangnya. Waktu golok salah seorang ke dua penyerangnya itu hampir mengenai punggungnya, tiba-tiba Lung Hie mandek, dia telah menekuk sedikit kaki kirinya, tangan kirinya dikibaskan dan menjapit mata golok orang tersebut dengan ke dua jari tangannya, dan tangan yang satunya bergerak menyelonong masuk menghantam ulu hati orang itu. Disertai suara jeritan kesakitan, tubuh orang itu melayang ke tengah udara, karena hebatnya tenaga pukulan yang dilakukan Lung Hie, sedangkan goloknya masih tetap terjepit di jari tangan Lung Hie, sehingga dia melepaskan cekalannya, tubuh orang itu ambruk di atas tanah sambil mengerang-erang memegangi ulu hatinya. Dia tak bisa segera berdiri lagi, mukanya pucat pias. Tenang sekali Lung Hie menggerakkan golok yang dijepitnya buat menangkis golok yang satunya lagi, yang tengah menyambar ke arahnya. Benturan terjadi, golok Lung Hie, yang hanya dijepit saja oleh ke dua jari tangannya itu telah berhasil membuat golok lawannya patah menjadi dua. Kemudian Lung Hie mematahkan golok rampasannya. "Siapa yang berani ikut campur urusanku?!" Bentak Lung Hie dengan suara yang menyeramkan, dari matanya memancarkan sinar yang mengandung hawa pembunuhan. Orang kedua yang tadi gagal menyerang punggung Lung Hie, malah goloknya telah patah, jadi kaget tidak terkira, namun tetap saja dia nekad menerjang dengan goloknya yang telah buntung, dia bermaksud akan menerjang tanpa memperdulikan keselamatan dirinya. Lung Hie menyaksikan sikap orang seperti itu, dia tertawa dingin. Satu kali kibaskan tangannya, tubuh orang itu terguling ke tempat yang jauh, sampai empat tombak lebih, dan kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, kemudian rebah tidak sadarkan diri. Lima orang lainnya, tidak membuang-buang waktu menyerang juga, walaupun hati mereka gentar menghadapi pemuda yang tampaknya memiliki kepandaian yang tinggi itu, akan tetapi keselamatan majikan mereka tengah terancam, karena dari itu, mereka nekad menerjang maju. Lung Hie mudah saja menghadapi mereka, setiap serangan dielakkannya dan setiap kali tangannya bergerak, dia berhasil merubuhkan lawannya. Sisanya, tidak berani segera maju, namun mereka masih mengambil sikap mengurung. Lung Hie setelah merubuhkan ke lima orang itu, melompat ke samping Bin Wan-gwe, mukanya bengis waktu berkata. "Jika kau tidak mau menyingkir meninggalkan manusia serakah yang kejam ini, aku akan membinasakan juga dirimu!" Bin Hujin masih menangis terisak-isak. "Jika engkau hendak membunuh suamiku, bunuh aku dulu.....!" "Perempuan keras kepala!" Berseru Lung Hie naik darah, segera juga tangan kanannya diulurkan, dia mencengkeram lengan Bin Hujin, sampai nyonya itu menjerit kesakitan. Sekali menghentak tubuh Bin Hujin telah melambung ke tengah udara. "Hei, kurang ajar kau!" Tiba-tiba Hok An yang sejak tadi berdiam diri menyaksikan apa yang dilakukan Lung Hie membentak gusar. Dan Hok An bukan hanya sekedar membentak, karena tubuhnya telah melayang ke tengah udara, tangannya menyanggahi Bin Hujin, sehingga wanita itu tidak sampai terbanting di tanah. "Ohhh, Hok An, tolongilah suamiku! Tolongilah Hok An! Aku mohon kepadamu, tolongilah dia.....!" Sesambatan Bin Hujin yang menyadari bahwa suaminya tengah terancam jiwanya. Hok An tadi gusar waktu melihat Lung Hie melontarkan Bin Hujin, karena Hok An beranggapan Lung Hie berani berbuat lancang dan kurang ajar kepada wanita yang dicintainya. Akan tetapi sekarang mendengar sesambatan Bin Hujin yang meminta kepadanya agar segera menolongi Bin Wan-gwe, malah tampaknya dilihat dari sikapnya itu Bin Hujin sangat menguatirkan sekali keselamatan Bin Wan-gwe begitu besar perhatian dan kuatirnya, membuat tunuh Hok An lemas seperti tidak bertenaga, timbul sirik dan bencinya. "Hemmm, kau tampaknya begitu mencintai suamimu, kau begitu memperhatikannya dan juga begitu menguatirkan keselamatannya, sehingga engkaupun mempertaruhkan dirimu sendiri demi keselamatan jiwa suamimu. Tetapi terhadapku, yang telah menderita dan bersengsara dari tahun ke tahun karena kau menghianati cinta kita, ternyata kau tidak memperlihatkan sedikitpun perhatianmu kepadaku! Ohhh, betapa aku memang tidak bisa menang dari hartawan she Bin itu! Betapa aku hanya manusia tidak berarti di matanya!" Dan setelah berpikir begitu, rasa jelus dan siriknya timbul semakin besar, dengan muka yang merah padam dan suara yang ketus Hok An berkata. "Jika kau mau menolongi suamimu, pergilah kau menolonginya sendiri......!" "Hok An.....!" Berseru Bin Hujin yang tangisnya semakin menjadijadi dan memandang kepada Hok An dengan mata yang digenangi air mata. Setelah memandang beberapa saat lamanya akhirnya Bin Hujin berlari lagi menghampiri suaminya, dia masih berseru-seru. "Jangan mencelakai suamiku, jika memang kau bermaksud membunuhnya, bunuhlah aku sebagai gantinya, bunuhlah aku......!" Akan tetapi belum lagi dia tiba di hadapan suaminya, Lung Hie telah menggerakkan tangan kanannya. "Plakkk!" Pundak Bin Hujin telah dihantam sampai wanita itu menjerit kesakitan. tubuhnya terjungkal di tanah, kemudian rebah tidak bergerak, pingsan dengan air mata masih menggenangi sepasang mata dan pipinya.....! Hok An yang melihat keadaan Bin Hujin seperti itu kaget tidak terkira. Dengan mengeluarkan seruan tertahan, dia melompat ke depan Bin Hujin, dia berjongkok dan kemudian memeriksa keadaan Bin Hujin. "Ohhh, kau....., kau telah menganiayanya! Kurang ajar! Kau telah menganiayanya!" Menggeram Hok An sambil mengangkat kepala dongak mengawasi Lung Hie dengan sorot mata yang bengis sekali. Lung Hie tertawa dingin. "Aku sengaja membuatnya pingsan, agar dia tidak menimbulkan kerewelan dan juga jangan sampai nanti aku lupa diri dan membunuhnya juga! Kau boleh mengawasinya. Nanti setelah bangsat ini kubunuh, dia jelas menjadi janda dan akan menjadi milikmu!" Dingin sekali suara Lung Hie. Hok An tertegun di tempatnya. Waktu itu terngiang-ngiang permintaan Bin Hujin yang sesambatan memohon agar dia menolongi Bin Wan-gwe. Lung Hie waktu itu melangkah mendekati Bin Wan-gwe, yang berdiri dengan muka pucat dan mulut berlumuran darah dengan sikap ketakutan. "Kini tibalah giliranmu untuk menghadap ke Giam-lo-ong, karena dulu waktu kau mengirim ibu dan adik-adikku ke Giam-lo-ong, kau tidak mempunyai rasa kasihan sedikitpun juga....., semua ini untuk menebus dosa-dosamu......!" Sambil berkata bengis seperti itu, Lung Hie juga menghantam mempergunakan tangan kanannya. Bin Wan-gwe memang sejak tadi telah melihatnya bahwa tidak mungkin dirinya dapat mengelakkan kematian di tangan Lung Hie, yang sangat mendendam padanya, maka dia hanya menghela napas dan menggumam perlahan. "Lung Hie, kau hanya diperalat orang.....!" Waktu itu tangan Lung Hie meluncur ke arah kepalanya, jika saja pukulan tersebut mengenai sasarannya, maka Bin Wan-gwe niscaya akan binasa dengan kepala yang remuk. Dan Bin Wangwe yang melihat anak buahnya sudah tidak berdaya menghadapi Lung Hie buat melindunginya diapun memejamkan matanya hanya bibirnya yang bergerak-gerak perlahan seperti juga dia tengah bicarakan penasaran hatinya! Disaat yang sangat kritis sekali buat keselamatan jiwa Bin Wangwe, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dengan gerakan yang lincah sekali, diiringi dengan bentakkannya. "Jangan ganggu dia......" "Plakkk!" Tangan Lung Hie juga kena ditangkis kuat sekali. Sebenarnya waktu itu Lung Hie memukul dengan mempergunakan delapan bagian tenaga dalamnya, itulah bukan pukulan yang ringan akan tetapi akibat tangkisan tangan orang itu, pukulan Lung Hie terhambat di tengah udara, tidak bisa meluncur terus mencapai sasarannya. Malah Lung Hie merasakan betapa pergelangan tangannya agak sakit. Lung Hie mundur dua tindak ke belakang sepasang matanya dipentang Lebar-lebar mengawasi orang yang telah merintangi maksudnya. Diwaktu itulah, dia segera mengenali orang tersebut, sampai Lung Hie berseru gusar. "Kau .....?!" Orang yang menghalangi Lung Hie membunuh Bin Wan-gwe ternyata tidak lain dari Hok An. Dia berdiri di depan Lung Hie, melindungi Bin Wan-gwe. "Sudahlah, kau tidak usah membunuh orang itu!" Kata Hok An sambil menunjuk Bin Wan-gwe. "Akupun sudah tidak mengharapkan jandanya lagi.....!" Lung Hie tertegun sejenak, kemudian tertawa dingin. "Hemm, apa sangkut pautnya urusanku dengan dirimu?!" Kata Lung Hie dengan suara yang dingin. "Jika memang engkau tidak menghendaki jandanya, dan juga tidak mau mencampuri urusan ini, engkau boleh cepat-cepat angkat kaki meninggalkan tempat ini, sedangkan aku tetap akan mengerjakan pekerjaanku, yaitu akan membinasakan bangsat itu......!" Waktu berkata begitu, muka Lung Hie merah padam memancarkan hawa pembunuhan dan nafsu hendak menganiaya Bin Wan-gwe. Beberapa orang anak buah Bin Wan-gwe menghampiri majikan mereka, berdiri untuk bersiap-siap untuk menghadapi sesuatu. Sedangkan Hok An dengan suara mengandung kedukaan yang dalam berkata. "Sudahlah jangan banyak rewel lagi, mari tinggalkan tempat ini! Jika kau membunuh orang itu, berarti isterinya akan berduka sekali. Dan aku tidak mau jika dia berduka. Mari kita tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya membinasakan orang itu, hanya mengotori tanganmu saja!" Tiba-tiba Lung Hie tertawa bergelak-gelak dengan suara yang nyaring sekali. "Jika kau ingin pergi, pergilah. Aku akan mengurus urusanku sendiri!" Hok An membuka matanya lebar-lebar mengawasi Lung Hie, katanya kemudian. "Jika memang kau membuat dia berduka karena suaminya dibinasakan dirimu, berarti engkau berurusan juga dengan diriku!" "Eh, mengapa begitu?!" Tanya Lung Hie tambah gusar dan mendongkol sekali. "Aku tidak perduli dengan urusanmu, dan aku hanya akan mengurus urusanku sendiri......?!" "Sudah kukatakan, jika kau membunuh suaminya dan dia berduka, maka aku akan berhitungan denganmu!" Menyahuti Hok An dengan tegas. Lung Hie tertawa bergelak-gelak, kemudian katanya dengan suara yang bengis. "Bagus! Bagus! Kau sama hinanya seperti seekor anjing? Setelah wanita itu meninggalkanmu, menghianati cinta kalian, kemudian menikah dengan lelaki bangsat ini, dan sekarang malah engkau hendak menolonginya! Sungguh hina sekali! Seharusnya, engkau yang menghantam mampus bangsat ini dan juga menghantam mati perempuan tidak berbudi itu.....!" Mendengar perkataan Lung Hie itu muka Hok An berobah pucat, tampak dia berduka dan bersusah hati. "Jangan bicara sembarangan......!" Bentak Hok An kemudian dengan suara parau. "Memang aku sangat mencintainya, terlalu mencintainya. Walaupun sekarang aku memperoleh kenyataan dia tidak mencintaiku, malah tampaknya begitu sayang dan menguatirkan sekali keselamatan suaminya, kupikir, jika suaminya bisa tetap hidup, dia tentu akan bahagia sekali! Maka demi kebahagiaannya aku rela melupakannya dan membiarkan diriku sendiri yang merana dan bersengsara. Tidak perlu ditanya lagi, demi kebahagiaannya, aku memang rela untuk hidup sendiri dan merana!" Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lung Hie tertawa bergelak-gelak. "Oh, engkau manusia yang terlalu bodoh di dalam dunia ini, kukira tidak ada duanya manusia semacam engkau yang demikian bodoh!" Kata Lung Hie. "Biarlah! Biarlah aku hidup sendiri dan dia menikmati kebahagiaannya! Tokh, jika suaminya kau binasakan, dan dia berduka, aku tetap tidak akan memperoleh hatinya, tidak memperoleh kasih sayangnya dan cintanya, malah akan menambah kedukaanku saja. Buat apa semua itu? Untuk apa? Terlebih baik, biarlah aku hidup sendiri, biarkanlah aku hidup sendiri dengan kemeranaanku ini asal dia bisa bahagia.....!" Lung Hie tertegun sejenak tidak disangkanya Hok An yang tampaknya begitu otak-otakan dan seperti orang sinting, ternyata memiliki perasaan yang begitu halus. Akan tetapi setelah lenyap tertegunnya Lung Hie tertawa dingin. "Hemmm, aku justru tidak mau dihanyutkan oleh jiwa yang begitu lemah seperti kau! Walaupun bagaimana, tetap saja aku harus membinasakannya. Aku harus membunuh bangsat itu, untuk membalas sakit hati ibu dan adik-adikku yang telah dibunuhnya!" Hok An menghela napas dalam-dalam, matanya memandang tajam bersinar kepada Lung Hie, karena ke dua matanya itu telah digenangi air mata. Walaupun Hok An berusaha menahan turunnya air mata, tetap saja dia tidak berhasil, dan air mata itu diluar kehendaknya telah menggenangi ke dua matanya itu. "Apa gunanya kau membunuhnya? Jika kau membunuhnya, apakah ibumu, adik-adikmu itu bisa hidup kembali? Sudahlah! Mari kita pergi! Rupanya kita memang memiliki nasib buruk yang sama, hanya saja berbeda tempat dan kejadiannya, karena dari itu, alangkah baiknya jika kita menikmati kedukaan kita saja. Biarkanlah mereka itu mencicipi kebahagiaan mereka dari dasar penderitaan kita.....!" "Tidak!" Berseru Lung Hie dengan sengit dan gusar. "Walaupun ibuku dan adik-adikku tidak bisa kembali hidup, tetap saja dia harus dibinasakan, biarlah anaknya kelak merasakan, bagaimana jika orang tuanya dibinasakan orang lain..... biar dia sendiri juga menyadarinya, betapa dia telah dibunuh dan berpisah dengan orang-orang yang dikasihinya.....!" Mendengar perkataan Lung Hie yang terakhir itu, Hok An menyusut air matanya. "Kau hendak pergi atau tidak dan membebaskan orang itu dari tangan mautmu?" Pertanyaan Hok An yang terakhir ini diucapkannya dengan angker dan bersungguh-sungguh. "Hemm, tetap aku harus membunuhnya," Menyahuti Lung Hie, walaupun hatinya agak tergetar melihat keangkeran wajah Hok An. Hok An tertawa dingin, katanya. "Baiklah! Jika kau tetap hendak membunuhnya, berarti kita harus bentrok satu dengan yang lainnya, karena aku harus melindunginya.....!" Waktu itu Bin Hujin yang mendengar perkataan Hok An seperti itu, yang baru saja tersadar dari pingsannya, telah cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut dan memanggut-manggutkan kepalanya terus-menerus, diapun sesambatan. "Terima kasih Hok An..... terima kasih Hok An, aku tentu tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini..... terima kasih Hok An......!" Hok An melirik kepada nyonya itu, yang sesambatan sambil menangis dan juga mengucurkan air mata yang deras, dia bilang dengan suara yang tawar mengandung kedukaan yang dalam. "Kim Hoa...... tidak perlu kau berlutut seperti itu..... sudahlah..... aku memang akan membiarkan kau mencicipi kebahagiaanmu! Tidak usah kau mengatakan akan mengingat budi kebaikanku....., karena dulu saja, kau berjanji lebih berat dari itu, di mana engkau mengatakan ingin sehidup dan semati denganku dengan cinta kasih yang manis di antara kita berdua. Engkau masih bisa melanggar dan menghianatinya! "Apalagi sekarang, hanya untuk ingat budi kebaikanku? Ohhh, hanya waktu dalam sekejap mata saja kau akan melupakannya. "Dan juga, aku melindungi suamimu, bukan karena hendak mengharapkan sesuatu darimu! Tidak! Tidak! Aku cinta padamu! Dan cinta tidak bisa ditawar atau diperjual belikan. Karena dari itu, aku tidak bisa merobah pula perkataanku, bahwa aku memang tetap mencintaimu! Karena aku mencintaimu, walaupun engkau mengkhianatiku, aku tetap hendak melihat engkau bahagia! "Jika suamimu ini dibunuh oleh pemuda itu, berarti engkau akan berduka. Dan aku yang sangat mencintaimu, mengasihimu, pasti akan ikut berduka, dan hatiku lebih merana! "Biarlah kau mencicipi kebahagiaanmumu itu, nikmatilah hidupmu yang bahagia bersama suamimu, dan biarkanlah aku hidup sendiri dengan penderitaan dan kemeranaanku ini......dan kau tidak perlu bertanya lagi kelak ke mana aku hendak pergi. Aku akan membawa diriku ke mana saja......!" Sebal bukan main Lung Hie mendengar dan menyaksikan semua itu. Hatinya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sekali hantam membinasakan Bin Wan-gwe. Maka tanpa menantikan lagi selesainya perkataan Hok An, dia melompat, tangan kanannya segera bergerak menghantam tukang pukul Bin Wan-gwe yang sebelah kiri. Kemudian dia mengibas dengan tangan yang lainnya kepada tukang pukul Bin Wan-gwe yang lainnya. Ke dua orang tukang pukul Bin Wan-gwe itu terpelanting dengan keras ke belakang, mereka juga menjerit kesakitan. Sedangkan tangan kanan Lung Hie masih terus bergerak menghantam ke arah dada Bin Wan-gwe. Gerakan yang dilakukannya merupakan pukulan yang sangat kuat sekali, karena Lung Hie merasakan bahwa inilah kesempatan satu-satunya, karena dari itu, jika saja dia gagal dengan serangannya kali ini, niscaya akan menyebabkan dia memperoleh kesulitan dari Hok An. Dalam keadaan seperti itu, Hok An yang sesungguhnya masih banyak ingin memuntahkan perasaan dan kata-kata yang tersimpan di dalam hatinya semua ini, telah melihat Lung Hie mengancam keselamatan Bin Wan-gwe. Cepat sekali dia berseru nyaring, dia telah menerjang dengan cepat, pundaknya dibenturkan kepada pundak Lung Hie. Cara itu memang satu-satunya buat menggagalkan maksud Lung Hie menerjang Bin Wan-gwe. Dan memang ternyata serangan Lung Hie tidak mengenai sasarannya akibat tubuhnya jadi miring dibentur oleh pundak Hok An. Dalam keadaan seperti itu, Bin Wan-gwe sendiri dengan lutut yang gemetaran, berusaha melarikan diri. Lung Hie mengeluarkan jeritan penasaran karena pukulannya yang gagal disebabkan rintangan Hok An. Tanpa memperdulikan Hok An, Lung Hie menjejakkan kakinya, dia melompat mengejar Bin Wan-gwe. Bin Wan-gwe tidak mengerti ilmu silat, mana mungkin dia bisa meloloskan diri dari kejaran Lung Hie, hanya beberapa kali jejakkan kakinya saja, di saat itu Lung Hie berhasil menyusul Bin Wan-gwe. Waktu itulah terlihat betapa Lung Hie tidak membuang waktu lagi menghantam ke arah Bin Wan-gwe. Hok An juga tidak tinggal diam, begitu dia membentur pundak Lung Hie, segera dilihatnya Lung Hie meluncur mengejar Bin Wan-gwe. Maka diapun telah melompat lagi, dia mengulurkan tangannya, dia telah menjambret pundak Lung Hie, kemudian dicengkeramnya dengan keras. Akan tetapi Lung Hie yang telah diliputi rasa dendamnya pada Bin Wan-gwe, menyebabkan dia nekad tidak memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Dia tetap mengayunkan tangannya buat menghantam kepala Bin Wan-gwe tanpa memperdulikan cengkeraman Hok An. Semangat Hok An seperti terbang dari tubuhnya waktu melihat Lung Hie tetap dengan serangannya ke kepala Bin Wan-gwe. Dengan begitu jelas keselamatan Bin Wan-gwe sangat terancam, dan akan membuat dia gagal buat menolongi Bin Wan-gwe. Dalam keadaan seperti itu, Hok An telah mengambil keputusan dengan cepat. Jika semula dia hanya ingin merintangi Lung Hie agar tidak melukai atau membinasakan Bin Wan-gwe, sekarang ini justru jadi lain. Waktu itu tangannya telah mencengkeram baju di bagian pundak Lung Hie, dan tidak ada jalan lain buat Hok An, maka dia mengerahkan tangannya kepada ke lima jari tangannya, cepat luar biasa dia menggentak dengan kuat. Hentakan itu membuat Lung Hie jadi tertarik ke belakang dan juga kepalan tangannya pada kepala Bin Wan-gwe tidak berhasil mengenai sasarannya dengan tepat. Malah, di saat Lung Hie kehilangan keseimbangan tubuhnya, cepat sekali Hok An telah membarengi dengan tangan kirinya yang menotok beberapa jalan darah tubuh Lung Hie. Lung Hie merasa gusar, penasaran, mendongkol dan kecewa yang bercampur menjadi satu. Dia telah berusaha untuk meloloskan diri dari cengkeraman tangan Hok An, akan tetapi cengkeraman Hok An kuat sekali, tidak begitu mudah dia meloloskan diri sekehendak hatinya. Yang lebih mengejutkan lagi, tangan kiri Hok An menyambar akan menotok beberapa jalan darah di tubuhnya, membuat Lung Hie mau atau tidak harus dapat mengelakkan diri dari totokan itu. Sekali saja dia tertotok, niscaya akan membuat dirinya tidak berdaya lagi melakukan perhitungan dengan Bin Wan-gwe. Mati-matian Lung Hie telah menghindarkan diri dari dua totokan Hok An dengan meliukkan tubuhnya, sikut tangan kanannya mendorong ke belakang ke arah ulu hati Hok An, sedangkan tangan kirinya akan menotok ke arah ke dua biji mata Hok An. Ancaman seperti itu memang bukan ancaman sembarangan buat Hok An dan tidak mudah buat dia menghindarkan diri dari serangan Lung Hie. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini Hok An telah bertekad hendak menolongi jiwa Bin Wan-gwe, maka cepat sekali dia mengempos semangatnya, pundak Lung Hie tetap dicengkeramnya dengan kuat. Cengkeraman mana telah membuat Lung Hie kesakitan, dan sikut tangan kanannya tidak bisa mengenai sasaran, karena tenaganya pada tangan kanannya itu seperti telah lenyap begitu saja. Dalam keadaan seperti ini, segera juga terlihat Hok An mempergunakan kesempatan ini, mempergunakan kaki kanannya menendang Lung Hie. Karena jarak mereka terlalu dekat, Lung Hie tidak bisa mengelakkan diri. Dia tertendang sampai tubuhnya terpelanting, karena Hok An juga membarengi melepaskan cengkeramannya pada pundak Lung Hie. Dengan muka yang merah padam karena marah dan kecewa sebab dia tidak berhasil membinasakan Bin Wan-gwe, Lung Hie mendelik pada Hok An. "Bagus! Rupanya kau benar-benar manusia hina? Orang she Bin itu telah mengambil dan merampas kekasihmu yang dijadikan isterinya..... sekarang malah engkau menolonginya! Engkaulah manusia yang paling rendah dan hina di dalam dunia ini. "Kelak aku akan memperhitungkan segalanya dengan kau! Dan mengenai urusanku dengan orang she Bin tersebut, tetap akan kulanjutkan, walaupun bagaimana dia tetap harus kubinasakan.....!" Setelah berkata begitu, Lung Hie menjejakkan kakinya, tubuhnya segera juga mencelat ke tengah udara, di mana dia berjumpalitan dua kali, tanpa menginjak tembok, di saat itu dia telah berada di luar gedung. Hok An yang telah dimaki seperti itu oleh Lung Hie, jadi berdiri mematung di tempatnya. Dia berdiam bagaikan patung, sampai akhirnya dia telah mengeluarkan suara jeritan, menjejakkan kakinya meninggalkan gedungnya Bin Wan-gwe. Bin Hujin yang melihat Hok An hendak berkata, telah berteriak. "Hok An.....!" Tergetar suaranya, dan dia telah terlambat, sebab Hok An telah lenyap di balik tembok itu, malah tidak terdengar suaranya maupun terlihat bayangannya lagi. Bin Hujin menutupi wajahnya dengan ke dua tangannya dan menangis terisak-isak, tubuhnya gemetaran. Akan tetapi setelah berhasil menguasai perasaan dan goncangan hatinya, dia berlari ke dalam gedung buat melihat keadaan suaminya. Waktu Bin Hujin tengah berlari-lari memasuki ruangan di dalam gedung tersebut, dia berpapasan dengan puterinya, yang segera dirangkulnya. "Mana ayahmu.....?" Tanya Bin Hujin dengan suara tergetar di antara isak tangisnya. "Tadi..... tadi ayah berlari masuk ke dalam kamar!" Kata gadis cilik itu. Bin Hujin mengajak puterinya pergi ke kamar Bin Wan-gwe. Waktu pintu kamar di buka, tampak sesosok tubuh menggeletak di lantai. Bin Hujin menjerit keras dengan hati pilu, karena yang rebah di atas lantai tidak lain dari Bin Wan-gwe, yang rebah dengan muka pucat pias. Dia pingsan, karena tengah dalam ketakutan bukan main, setelah berhasil melarikan diri ke dalam kamarnya, pingsan..... terlebih lagi memang dia terluka di dalam yang cukup parah, di mana dia telah memuntahkan darah yang banyak sekali. Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Karya Sin Long Sepasang Pendekar Perbatasan Karya Chin Yung