Anak Rajawali 4
Anak Rajawali Karya Chin Yung Bagian 4
Anak Rajawali Karya dari Chin Yung Hok An jadi gusar bukan main. Dia bisa menduga tentunya yang dimaksudkan Lo Ma adalah Bin Lung Hie. Dia tidak menyangka tangan pemuda yang tampaknya tampan dan lemah lembut itu begitu telengas. Setelah membinasakan Bin Wan-gwe, kemudian secara tidak langsung merupakan penyebab kematian Bin Hujin, dan sekarang telah membasmi dan membunuh seluruh penghuni keluarga Bin Wan-gwe tersebut. "Jadi tidak seorangpun yang lolos dari kematian?!" Tanya Hok An pada akhirnya. "Ya..... ya..... tidak ada seorangpun yang lolos dari kematian..... dia begitu kejam dan telengas sekali, melebihi kejamnya iblis..... sungguh mengerikan sekali..... Ohh!" Dan Lo Ma telah mengerang lagi kesakitan, suaranya semakin lemah di samping napasnya semakin memburu. Gadis cilik itu menangis semakin keras saja. "Lo Ma, jangan tinggalkan aku..... Lo Ma..... ayah telah meninggal, dan ibupun telah dibunuhnya......!" Lo Ma menghela napas, dia mengusap-usap tangan gadis cilik itu. "Kasihan nasibmu Bin Kouwnio..... aku..... aku memikirkan bagaimana keadaanmu nanti dengan segalanya yang terjadi ini, ke dua orang tuamu telah dibinasakan pemuda jahat itu..... kami semuanya telah dicelakai..... oooh, kau sudah tidak mempunyai orang-orang yang bisa memperhatikan dirimu lagi.....!" Berkata sampai di situ, Lo Ma telah mengerang kesakitan lagi. Hok An menghela napas, katanya menghibur. "Kau tenangkan hatimu, aku yang akan merawat nona majikan kecilmu ini..... aku akan berusaha merawatnya......!" "Kau.....!" Berkata sampai di situ, kembali Lo Ma mengerang kesakitan. Malah selanjutnya dia tidak bisa berkata-kata lagi. Sesungguhnya masih banyak yang hendak dikatakannya, akan tetapi dia sudah tidak bisa mengeluarkan kata-kata pula. Dia hanya mengerang kesakitan, sampai akhirnya, dengan tubuh berkelejotan, napasnya berhenti dan dia telah meninggal. Gadis kecil itu menangis terisak-isak, puteri hartawan she Bin tersebut tidak mengetahui kepada siapa dia harus mengadu dan akan menggantungkan nasibnya. Hok An menepuk bahunya, katanya. "Dia sudah mati..... mari kita pergi..... kita harus mencari pemuda she Bin itu, dia harus dihajar untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya yang sangat kejam ini..... tentu dia belum pergi jauh!" "Tetapi..... tetapi ayahku..... ayahku belum lagi dikubur.....!" Kata gadis cilik itu. "Nanti bisa kita minta bantuan dari pemilik toko peti mati untuk bantu mengurus jenazah ayahmu..... juga semua pembantu rumah tangga keluargamu ini..... sedangkan kita bisa pergi mencari jejak pembunuh kejam itu......!" Gadis cilik yang memang masih kanak-kanak itu tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Apa yang dialaminya selama beberapa hari ini benar-benar membuat hatinya tergempur hebat dan jiwanya mengalami goncangan tidak kecil. Hok An tanpa menantikan persetujuan gadis cilik itu, telah menyambar pinggangnya dan membawanya lari meninggalkan rumah tersebut. Pertama-tama Hok An mendatangi sebuah toko peti mati, kepada pemiliknya Hok An meminta agar pemilik toko peti mati itu mengurus semua mayat-mayat yang terdapat di dalam gedung Bin Wan-gwe sebaik-baiknya dengan penguburan yang sederhana. Seluruh biaya perongkosan untuk mengubur telah diberikan Hok An. Kemudian dengan mengajak gadis cilik itu, Hok An meninggalkan perkampungan itu, karena dia ingin mencari jejak Bin Lung Hie, kepada siapa Hok An ingin melakukan perhitungan dengan pemuda she Bin itu. Apa yang telah dilakukan Bin Lung Hie benarbenar melewati batas dan membuat hati Hok An diliputi kemarahan yang luar biasa. Satu alasan lainnya membuat Hok An jadi begitu marah dan berusaha mencari jejak Bin Lung Hie, ialah kematian Bin Hujin, wanita yang sangat dicintainya. Hok An beranggapan, jika saja Bin Lung Hie tidak menculik puteri Bin Wan-gwe dan membawa tingkahnya seperti itu, niscaya Bin Hujin tidak akan berlaku nekad menghabisi jiwanya sendiri dengan terjun ke dalam jurang...... Waktu matahari naik cukup tinggi, Hok An mengajak gadis cilik itu telah cukup jauh meninggalkan perkampungan tersebut, di mana Hok An masih tidak berhasil menemui jejak Bin Lung Hie. Akan tetapi Hok An bertekad, walaupun bagaimana ia akan mencari jejak Bin Lung Hie sampai berhasil ditemuinya, buat mengadakan perhitungan dengannya. Belasan jiwa yang terbinasa ditangan Bin Lung Hie dengan cara yang begitu mengerikan. Hok An dapat menduga-duga peristiwa yang terjadi itu, di mana setelah melemparkan puteri Bin Wan-gwe ke dalam jurang dan Bin Lung Hie melarikan diri. Dia bukan pergi ke mana-mana, melainkan kembali ke gedung Bin Wan-gwe. Semua penghuni gedung itu dibinasakannya, tidak besar tidak kecil, tidak muda tidak tua, semuanya telah dibinasakan dengan tangan yang telengas dan kejam sekali. Bahkan Bin Lung Hie kemudian membawa uang dan harta kekayaan Bin Wan-gwe, yang telah digondolnya pergi. Karena dari itu, Hok An ingin mengadakan perhitungan dengan Lung Hie, sebab yang benar-benar menyakit hatinya, dia menyaksikan belasan pembantu rumah tangga Bin Wan-gwe yang telah dibinasakan begitu kejam oleh Lung Hie, sehingga dia dapat menduganya bahwa Bin Lung Hie bukan sebangsa pemuda baikbaik! Disamping itu juga kematian Bin Hujin merupakan salah satu alasan mengapa Hok An berusaha mencari jejak Bin Lung Hie. Puteri Bin Wan-gwe yang telah diajak berlari-lari oleh Hok An meninggalkan perkampungan itu, letih bukan main. Akhirnya ketika mereka tiba di persimpangan jalan, di mana pada ke dua tepi jalan tersebut tumbuh banyak pohon yang tinggi dan besar, dengan daun-daunnya yang rindang, puteri Bin Wan-gwe meminta Hok An agar mau beristirahat dulu. Hok An seperti baru tersadar dari tidurnya, dia segera ingat keadaan gadis cilik itu. Memang buat Hok An sendiri, walaupun dia tidak tidur tiga hari tiga malam, hal itu tidak menjadi persoalan haginya, akan tetapi bagi gadis cilik itu, niscaya perjalanan ini meletihkan sekali. Terutama sekali memang puteri Bin Wan-gwe tengah berduka sangat atas kematian ke dua orang tuanya. Cepat-cepat Hok An mengiyakan, diapun telah menurunkan puteri Bin Wan-gwe tersebut, katanya. "Bin Kouwnio..... kau beristirahatlah.......!" Puteri Bin Wan-gwe hanya mengangguk, dia menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon yang rindang, kemudian dengan sikap ragu-ragu katanya. "Aku..... aku lapar.....!" Hok An mengangguk, katanya. "Kau tunggu di sini sebentar saja, aku akan pergi mengambil makanan, segera akan kembali....!" Sebenarnya puteri Bin Wan-gwe tengah ketakutan, namun dia memaksakan diri buat mengangguk juga. Selama berada di tempat itu seorang diri, puteri Bin Wan-gwe telah memandang sekitarnya tidak hentinya. Dia kuatir kalau-kalau Bin Lung Hie, pemuda yang diketahuinya sangat kejam itu, bisa muncul di situ. Akan tetapi Hok An pergi tidak lama, karena dia segera kembali membawa ayam panggang dan beberapa macam sayur. Hok An juga segera mempersilahkan puteri Bin Wan-gwe buat memakan barang makanan yang dibawanya. Karena perutnya terlampau lapar, gadis cilik tersebut tanpa malumalu lagi telah memakan ayam panggang dan beberapa macam sayur yang dibawa Hok An. Rupanya Hok An telah membeli makanan itu dari seorang penduduk di sekitar tempat tersebut. Sambil mengawasi gadis cilik yang tengah makan dengan lahap, Hok An menghela napas berulang kali. Sampai akhirnya puteri Bin Wan-gwe mengangkat kepalanya, dia melihat sikap Hok An yang tengah memandanginya seperti itu! Gadis cilik ini jadi malu dengan sendirinya. "Paman, kau tidak ikut makan?!" Tanyanya perlahan. Hok An menggeleng perlahan. "Kau makanlah..... aku tidak lapar.....!" Kata Hok An kemudian. "Jika aku lapar, aku akan makan.....!" Gadis cilik itu tidak memaksa, sedangkan Hok An masih mengawasi gadis cilik itu dengaa berbagai perasaan, di mana dia merasa berkasihan sekali atas nasib gadis cilik ini, yang tampaknya begitu buruk, di mana dia harus menjadi seorang anak yatim piatu, kehilangan orang tua dan juga kini hidup terlunta-lunta di luar rumahnya. Sesungguhnya gadis cilik ini hidup bahagia, jika saja ke dua orang tuanya tidak dibinasakan oleh Bin Lung Hie. Dan Hok An sendiri teringat, betapa buat kebahagiaan Un Kim Hoa, sesungguhnya dia sendiri rela mengorbankan perasaannya dan membiarkan Un Kim Hoa hidup bahagia di sisi suami dan puterinya ini. Akan tetapi justru dengan munculnya Bin Lung Hie, telah membawa perobahan besar atas nasib si gadis cilik ini. "Siapa namamu?" Tanya Hok An setelah melihat gadis cilik itu selesai makan, sebagian dari ayam panggangnya tidak dihabisinya. Gadis cilik itu mengangkat kepalanya, dia telah mengawasi Hok An beberapa saat lamanya. Jika dilihat dari apa yang dilakukan Hok An selama ini, gadis cilik tersebut melihatnya bahwa Hok An tidak memiliki maksud buruk, baik kepada dirinya maupun terhadap keluarganya. Malah selama dalam perjalanan Hok An telah menjelaskan padanya, bahwa dia ingin mencari Bin Lung Hie buat melakukan perhitungan, karena Lung Hie telah melakukan pembunuhan kejam seperti itu pada keluarga Bin Wan-gwe. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya gadis cilikitu berkata. "Panggil saja aku si Giok.....!" Kata gadis cilik tersebut dengan disusul juga pertanyaannya. "Sebenarnya kau memusuhi keluargaku atau tidak?!" Hok An menghela napas. Wajahnya seketika berobah muram. "Jika kuceritakan, engkaupun tidak mengerti, karena engkau masih terlampau kecil?!" Kata Hok An. "Karenanya, jika nanti engkau telah dewasa, engkau akan mengetahuinya dengan jelas! Hanya saja di sini kukira ada baiknya jika kujelaskan, bahwa sebenarnya aku sama sekali tidak memiliki maksud buruk terhadap keluargamu.....!" "Lalu mengapa waktu pertama kali kau datang ke rumah kami, kau marah-marah dan hendak memukul ayah?!" Tanya gadis cilik itu. Hok An tertegun, wajahnya tambah muram malah dia telah menghela napas beberapa kali. "Sebenarnya..... sebenarnya......!" Kata Hok An yang kemudian tidak bisa meneruskan perkataannya. "Sebenarnya kenapa? Bukankah memang benar, bahwa pertama kali engkau datang, engkau memperlihatkan sikap bermusuhan kepada ayahku?!" Hok An akhirnya mengangguk, dia menyahut. "Bukan permusuhan, waktu itu memang benar aku marah sekali, sebab mengetahui ayahmu telah mengawini ibumu.....!" "Mengapa begitu? Ada sangkutan apakah dengan kau perihal perkawinan ke dua orang tuaku itu?!" Tanya si Giok sambil membuka matanya lebar-lebar mengawasi Hok An. Hok An tambah muram, dia menunduk, lama..... lama sekali sampai akhirnya dari pelupuk matanya menitik butir-butir air mata. "Ibumu telah mengkhianati cinta kami..... sebenarnya antara aku dengan ibumu itu saling mencintai! Akan tetapi akhirnya dia menikah dengan ayahmu, bahkan waktu bertemu dengan ku, dia memperlihatkan sikap tidak acuh sama sekali, bagaikan aku orang yang sangat memuakkan di matanya, membuat aku marah. "Namun setelah kupikir-pikir, dan kuketahui mereka telah memiliki seorang anak, yaitu engkau, maka aku mengambil keputusan buat membiarkan ibumu hidup bahagia bersama ayahmu dan engkau! Sama sekali aku tidak memiliki maksud buruk. Sebab aku malah ingin melihat ibumu itu hidup bahagia. Siapa tahu, justru akhirnya aku harus menyaksikan kematian ibumu itu, wanita yang sangat kucintai itu, tanpa aku berdaya dan tidak berhasil menolonginya.....!" Si Giok ini memang masih kecil, karena itu dia hanya bisa mengawasi Hok An tanpa mengerti. Dan si Giok memang merupakan gadis yang masih polos, dia belum mengerti apa yang dimaksudkan Hok An dengan mencintai ibunya. Dia hanya mengetahui bahwa Hok An memang membawa sikap seperti seorang yang merasa bingung dan kaku. Hok An waktu itu telah berkata lagi dengan suara yang perlahan mengandung sesal. "Jika saja aku mengetahui sebelumnya bahwa ibumu itu hendak bunuh diri dengan terjun ke dalam jurang, niscaya aku akan berusaha menahannya dan menyelamatkannya. Justeru aku tidak mengetahuinya, waktu dia melompat ke dalam jurang, aku hanya berhasil menjambret ujung bajunya yang robek dan tubuhnya meluncur ke dasar jurang, akhirnya dia terbanting di dasar jurang.....!" Masih gadis cilik yang minta agar dipanggil si Giok itu tidak mengerti urusannya, dia bertanya. "Mengapa ibu sampai membunuh diri seperti itu?" "Karena dia mendengar engkau telah mati dilempar ke dalam jurang tersebut oleh si pemuda yang bertangan telengas itu!" Kata Hok An. "Karena dalam kedukaan yang sangat seperti itu, dan juga putus asa, di mana suaminya juga telah menemui ajalnya. "Kini mengetahui engkau telah dilempar ke dalam jurang itu, di mana tidak mungkin ada seorang manusia yang terjerumus ke dalam jurang itu bisa mempertahankan hidupnya, pasti tubuhnya akan terbanting di dasar jurang dan menemui kematian..... maka dari itu, ibumu tidak menyangka sama sekali akan terjadi suatu kemujijatan pada dirimu. Engkau ternyata tidak mati, sedangkan ibumu dalam keputus asaan dan juga kedukaan yang sangat mendalam itu telah terjatuh ke dalam jurang dan menemui ajalnya.....!" Gadis cilik itu baru mengerti sedikit duduk persoalannya, tanya. "Jadi kau ingin mengatakan, bahwa orang yang melemparkan diriku ke dalam jurang itu adalah pemuda jahat bertangan telengas dan berhati kejam itu?!" Hok An mengangguk. "Waktu dia melihatku dan yakin tidak bisa menandingi kepandaianku, pemuda itu rupanya jadi bingung, dia melemparkan engkau ke dalam jurang setelah gagal dengan ancamannya padaku, di mana waktu tengah sibuk berusaha menolongi dirimu, dia mempergunakan kesempatan tersebut buat melarikan diri. Aku tidak berhasil menahan dirimu yang meluncur dengan cepat ke dalam jurang, sampai akhirnya ibumu telah datang menyusul. Waktu aku memberitahukan apa yang telah terjadi, dia akhirnya mengambil jalan nekad seperti itu.....!" Setelah berkata begitu Hok An menghela napas dalam-dalam, dia mengambil sepotong sisa ayam panggang yang tidak dihabisi oleh puteri Bin Wan-gwe. Gadis cilik yang minta dipanggil dengan sebutan Giok itu, jadi berdiam diri dengan sikap tertegun. Dia seperti tengah membayangkan, betapa dirinya dilemparkan ke dalam jurang oleh Bin Lung Hie, kemudian ibunya datang menyusul dan telah ikut menerjunkan diri ke dalam jurang buat membunuh diri. Betapa menyedihkan sekali. Hok An melihat gadis cilik itu berdiam diri, telah menghela napas, katanya. "Sekarang engkau tidak perlu bersedih hati lagi, karena semuanya terjadi..... dan engkau masih boleh bersyukur, karena jika kelak engkau telah dewasa, engkau bisa membalas dendam dan sakit hatimu, mencari jejak orang she Bin itu! "Memang sekarang aku pun ingin sekali mencari jejaknya, buat memperhitungkan segalanya padanya namun aku kurang yakin bisa mencari jejaknya, sebab aku berada di dasar jurang cukup lama, di mana aku tengah berusaha menolongi dirimu! Karena itu, engkau jangan terlalu berduka. Dan mulai sekarang, engkau memikirkan, bagaimana caranya engkau bisa mempelajari ilmu silat yang liehay buat kelak dipergunakan mengadakan perhitungan dengan Bin Lung Hie!" Gadis cilik itn berdiam diri bagaikan tengah berpikir dengan hati dan pikiran yang melayang-layang. Sampai akhirnya dia bilang. "Jika memang demikian, baiklah! Aku mau mempercayai keteranganmu itu..... ternyata engkau bukan seorang jahat..... engkau hanya mempunyai urusan dengan ibuku belaka dan kepada ayahku merasa marah karena ayahku kau anggap telah merebut kekasihmu, yaitu ibuku! Benarkah itu?!" Tanya gadis cilik tersebut. Hok An mengangguk. "Ya, garis besarnya memang begitu, akan tetapi urusan demikian berbelit, karenanya jika aku menjelaskan sejelas-jelasnya sekarang kepadamu, pun akan sia-sia belaka, akan percuma di mana engkau tidak akan dapat memahami keseluruhannya..... Nanti saja jika memang engkau telah dewasa dan kita masih bisa bertemu, aku akan menceritakan yang sejelas-jelasnya.....!" Gadis cilik itupun tidak memaksa, sampai akhirnya dia merebahkan dirinya buat tidur. Hok An membiarkan gadis cilik itu tidur sedangkan dia sendiri telah duduk termenung, memikirkan nasibnya yang selalu sial. Tengah Hok An duduk terpekur seperti itu, tiba-tiba terdengar samar-samar suara bentakan yang tidak begitu jelas. Dia memasang pendengarannya lebih tajam, sampai dia bisa mendengar lebih jelas, bahwa bentakan-bentakan yang didengarnya itu bagaikan ada beberapa orang yang tengah bertempur dan saling serang di tempat yang terpisah cukup jauh. Cepat-cepat Hok An berdiri, akan tetapi waktu dia ingin membangunkan gadis cilik itu, dia bimbang. Dilihatnya gadis cilik itu tengah tertidur nyenyak sekali, karenanya dia tidak sampai hati buat membangunkannya, mengganggu tidurnya. Akhirnya Hok An tidak membangunkan gadis cilik itu, hanya dengan mempergunakan ginkangnya, dia berlari pesat sekali ke arah datangnya suara bentakan-bentakan tersebut. Hok An ingin melihat siapakah yang tengah bertempur itu, dan dia pikir, meninggalkan si Giok sebentar saja pun tidak ada halangannya. Setelah berlari-lari beberapa saat, akhirnya Hok An tiba di sebuah persimpangan jalan, di hadapannya tampak sebuah ladang rumput yang subur, di kejauhan juga terlihat sebuah empang yang cukup besar. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Di dalam empang itu terdapat banyak sekali pohon-pohon bunga teratai yang tengah bermekaran, yang mengambang di permukaan air empang tersebut. Pemandangan di sekitar tempat itupun cukup indah. Akan tetapi yang membuat Hok An jadi berdiri tertegun, dia melihat empat sosok tubuh yang tengah bergerak-gerak di atas daun-daun pohon teratai itu dengan gerakan yang ringan sekali, melompat ke sana kemari dengan lincah. Dengan melihat seperti itu saja Hok An dapat mengetahui ke empat orang tersebut tentunya orang-orang liehay yang memiliki kepandaian tinggi. Jika saja ginkang mereka tidak tinggi, niscaya mereka tidak akan bisa melompat-lompat di atas daun-daun pohon teratai itu, dari daun teratai yang satu melompat ke daun pohon teratai yang satunya lagi, namun daun pohon teratai yang diinjaknya itu tidak melesak tenggelam ke dalam air walaupun menahan berat tubuhnya. Malah air empang itupun tidak bergerak sama sekali. Hal ini benarbenar membuktikan bahwa ginkang ke empat orang itu tinggi sekali. Lama Hok An tertegun di tempatnya menyaksikan pemandangan yang ada seperti itu, sampai akhirnya Hok An menghampiri lebih dekat. Ke empat orang yang tengah bergerak-gerak dan melompat dari daun teratai yang satu ke daun teratai yang lainnya pula seperti juga tidak memperdulikan kehadiran Hok An, mereka tetap saja dengan saling serang satu dengan yang lain, karena ke empat orang tersebut tengah terlibat dalam suatu pertempuran yang seru. Yang membuat Hok An heran, setelah mengawasi sekian lama, ke empat orang yang tengah bertempur di atas pohon teratai di permukaan air empang itu, adalah empat orang lawan, mereka saling serang satu dengan yang lainnya, tanpa pilih bulu, karena seperti juga memang pertempuran itu berlangsung di antara mereka berempat dan juga tidak ada di antara mereka yang berkawan. Jadi jika memang yang seorang gagal dengan penyerangannya kepada lawannya yang satu, dia akan menyusuli menyerang kepada lawannya yang lain. Jika sebelumnya Hok An menduga bahwa ke empat orang ini pasti merupakan dua pasang musuh yang tengah saling bertempur, di mana dari ke empat orang itu, menjadi dua kelompok. Akan tetapi dugaan Hok An meleset sama sekali. Ke empat orang itu masingmasing tidak memiliki kerja sama satu dengan yang lainnya. Tegasnya mereka berempat bertempur terus tanpa saling ada kerja sama di antara mereka. Dengan begitu pula, maka mereka selalu menyerang kepada lawan yang terdekat dengan mereka. Yang membuat Hok An jadi kagum justeru ginkang ke empat orang ini yang sangat tangguh, yang dapat bertempur di atas daun teratai dan juga di permukaan empang itu. Malah setiap gerakan mereka tidak menyebabkan teratai itu tenggelam atau air empang itu bergerak. Setelah menantikan sekian lama, dan menyaksikan jalannya pertempuran itu, Hok An sempat menyaksikan, seorang lelaki yang berpakaian biru tua, dengan kumis panjang sampai di dadanya. Salah seorang di antara ke empat orang yang tengah bertempur itu, telah menghantam dengan gerakan tangan yang aneh sekali, karena dia bukan menyerang ke arah dada atau bagian lain di tubuh lawannya, dia hanya menyerang bagian kaki dari lawannya yang diserang. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, Hok An segera dapat menduganya maksud orang itu menyerang lawannya dengan cara seperti itu, karena orang tersebut tentu ingin menyerang kelemahan lawannya, yaitu kuda-kuda kedua kakinya. Jika kuda-kuda ke dua kaki lawannya bisa digempur, sehingga lawannya kehilangan keseimbangan tubuhnya, menyebabkan dia menginjak daun teratai itu lebih keras dan kuat, sehingga kakinyapun akan tenggelam!" Mungkin di antara ke empat orang itu terdapat satu pertaruhan, yaitu siapa yang kakinya menginjak tenggelam daun teratai atau juga kakinya itu menginjak air empang tersebut, dialah yang dihitung kalah. Akan tetapi lawan dari si baju biru itu, seorang laki-laki yang tua, yang berusia hampir enampuluh tahun, dengan kumis yang tipis terpilin rapi dan mengenakan baju singsat warna jingga telah tertawa. "Aha, licik sekali kau, Lam-siong.....!" Katanya, nyaring suaranya. Berbeda dengan wajah nya yang tampaknya bengis, namun suaranya halus sekali. "Bukan licik! Pak-kiang! Dengarlah baik-baik, walaupun bagaimana Lam-siong harus memperoleh kemenangan hari ini! Pak-kiang, See-bun dan Tong-ling, semuanya harus tunduk pada Lamsiong.....!" "Jangan bicara tekebur!" Kata orang yang memakai baju warna jingga ketika orang yang berbaju biru itu selesai dengan katakatanya. "Karena bukannya aku yang rubuh, malah hari ini merupakan keruntuhan dari Lam-siong.....!" Setelah berkata begitu, orang yang dipanggil dengan sebutan Pakkiang, tertawa terbahak-bahak, dia menggerakkan ke dua kakinya dengan lincah dan ringan, belum lagi serangan dari Lam-siong mengenai sepasang kakinya, Pak-kiang telah pindah ke daun teratai lainnya pula. Sedangkan seorang lainnya, yang mengenakan baju warna merah, dengan celananya juga warna merah, telah berkata. "Kalian berdua jangan mengoceh tidak karuan, karena semua itu hanya kentut kosong belaka! Baik Lam-siong maupun Pak-kiang ataupun Tong-ling, semuanya harus mengakui keunggulan See-bun! Kalian boleh membuktikan hari ini, bahwa See-bun merupakan satusatunya jago yang paling hebat di kolong jagat ini!" Setelah berkata begitu, orang tersebut, yang menyebut dirinya sebagai See-bun, tertawa gelak-gelak. "Tidak mungkin!" Tiba-tiba salah seorang di antara ke empat orang itu, yaitu yang memakai baju warna hijau dengan celana warna abu-abu, telah berteriak dengan suara yang nyaring sekali. "Tongling yang akan memegang peranan dan menjagoi rimba persilatan di seluruh jagat ini..... See-bun, Pak-kiang atau juga Lam-siong, kalian semua tidak mungkin nempil dengan kepandaianku.....!" Akan tetapi Lam-siong dan Pak-kiang sudah tidak banyak bicara lagi, karena ke duanya telah saling menerjang maju dan menyerang. Kepandaian mereka memang tinggi dan sama liehaynya, di mana walaupun mereka bertempur di tengah-tengah empang, dengan daun teratai sebagai tempat menginjak, tokh mereka bisa bergerak gesit sekali. Hok An yang menyaksikan pertandingan yang tengah berlangsung di antara ke empat orang itu, diam-diam jadi merasa kagum sekali. Sedangkan Lam-siong waktu itu dengan diiringi peringatan agar Pak-kiang berlaku hati-hati, menyerang beruntun sampai empatpuluh jurus. Anakrawali 03.015. Namun memang kepandaian Lam-siong maupun Pak-kiang tampaknya berimbang, usahanya itu tidak berhasil. Malah lawannya telah balas menyerang. Berbareng dengan itu, See-bun juga telah menyerang kepada Lam-siong, dengan begitu Lam-siong menghadapi seranganan dari dua jurusan. Sedangkan Tong-ling tidak tinggal diam, diapun menyerang Pak-kiang. Dengan begitu, mereka jadi saling serang silih berganti, mereka tidak memiliki sistim kawan, karena ke empat orang ini sama-sama bertempur dan merupakan lawan! Mereka bertempur untuk kepentingan dan keselamatan diri mereka. Jika dapat mereka masing-masing ingin sekaligus merubuhkan ke tiga orang lawan mereka. Sedangkan Tong-ling yang nampaknya agak berangasan, dan juga selalu menyerang dengan mempergunakan kekuatan dan tenaga yang dahsyat, sudah tidak sabar, karena dia berulang kali membuka serangan serangannya itu bisa tanpa memperdulikan menimbulkan lagi goncangan apakah pada air permukaan empang itu. Padahal, setiap kali tenaga serangan dari Tong-ling berhasil dielakkan lawannya, tenaga serangannya menghantam permukaan air empang, membuat air empang itu bergolak cukup keras. Dengan terjadinya gerakan pada permukaan air empang, juga terjadi gerakan pada daun-daun teratai itu, sehingga membuat ke empat orang yang tengah bertempur di atas daun-daun teratai di permukaan air empang tersebut, lebih sulit lagi mengimbangi dirinya. Tong Ling berulang kali gagal dengan serangannya, sampai akhirnya Lam-siong membentak nyaring, menyusul mana dia bilang. "Kau hanya mengacau saja. Jangan anggap bahwa ginkangmu yang paling sempurna, walaupun air permukaan empang ini bergolak, aku tidak akan menyerah.....!" Setelah berkata begitu, Lam-siong melayani setiap serangan Tong-ling. Dan juga tenaga pukulan yang dipergunakannya memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Tong-ling tidak menyahuti bentakan dan ejekan Lam-siong, hanya saja dia menyambuti serangan lawannya itu. Akan tetapi begitu tenaga dalamnya tengah berusaha membendung tenaga serangan Lam-siong, justru di saat bersamaan, Pak-kiang telah menyerang kepadanya dengan pukulan yang tidak kurang kuatnya. Dengan bersiul nyaring, Tong-ling kemudian melompat ke tengah udara. Gerakan yang dilakukannya luar biasa gesitnya. Dengan melompat seperti itu, tenaga serangan dari Lam-siong jadi lenyap karena tenaga itu tidak memperoleh tenaga melawan, dan lenyap di udara. Sedangkan gempuran dari Pak-kiang pun telah mengenai tempat kosong. Namun Tong-ling sendiri tidak tinggal diam. Dia melihat ke dua lawannya telah gagal menyerangnya, cepat sekali dia membarengi buat menyerang Lam-siong. Di waktu tubuh Lam-siong tengah doyong ke depan, waktu itulah tenaga serangan dari Tong-ling telah tiba. Memang Tong-ling menyerang di saat tubuhnya berada di tengah udara, diapun telah menghantam begitu tiba-tiba sekali, di saat dia telah berhasil memunahkan dan mengelakkan serangan ke dua lawannya. Walaupun diserang secara hebat seperti itu, Lam-siong pun bukan orang lemah. Tiba-tiba dia membuka mulutnya, dia memonyongkan dan menyemburnya dengan kuat. Luar biasa sekali. Angin semburan mulut Lam-siong justru telah berhasil menangkis dan memunahkan tenaga serangan Tong-ling. Waktu itu See-bun pun tidak tinggal diam, melihat tubuh Tong-ling tengah meluncur turun, dia membarengi dengan uluran tangan kanannya, yang hendak mencengkeram. Yang membuat Hok An jadi memandang terpaku di tempatnya menyaksikan cara menyerang See-bun, waktu tangan See-bun diulurkan seperti itu, justru telah keluar asap yang tebal dari telapak tangannya! Itulah menunjukkan lwekang See-bun telah mencapai tingkat yang tinggi! Tong-ling tidak gugup. "Hu, hu, cara permainan anak-anak hendak dipergunakan di hadapanku! Jika memang, terkena air empang ini, tentunya panas telapak tanganmu itu akan lenyap.....!" Walaupun berkata begitu, di saat tubuhnya tengah meluncur turun, Tong-ling tidak tinggal diam. Dia bukan menangkis, hanya saja dia mengelakkan dengan tubuh yang dimiringkan dengan gerakan yang manis sekali. See-bun penasaran bukan main, dia tidak menarik pulang tangannya yang masih mengeluarkan asap tebal dari telapak tangannya itu, dia hanya memiringkan telapak tangannya dan merobah arah serangannya, tetap mengincar ke arah diri Tongling, ke arah perutnya. Tong-ling telah menjejakkan kakinya waktu hinggap di atas sehelai daun teratai, sehingga dia melompat menjauhi See-bun. Dan sebagai pengganti Tong-ling, justru Pak-kiang yang berada dekat dengan See-bun, karena dari itu, serangan telapak tangan Seebun, yang rupanya mengandung hawa panas seperti api menyambar kepada Pak-kiang. Pak-kiang sesungguhnya waktu itu tengah bersiap-siap hendak menyerang kepada See-bun juga, dan justru sekarang melihat See-bun telah mendahului menyerang kepadanya. Dia tertawa, dan menangkisnya dengan berani sekali. "Tasss.....!" Suara ini seperti juga api yang disiram air, kemudian tampak See-bun melompat mundur, begitu juga Pak-kiong melompat mundur ke daun teratai di seberangnya. "Oho, rupanya engkau telah memperoleh kemajuan dengan telapak apimu itu....!" Mengejek Pak-kiang. "Akan tetapi terhadap Pak-kiang, walaupun bagaimana liehaynya telapak api mu itu, tetap saja tidak berarti apa-apa malah tadi jika aku hendak mempergunakan serangan telapak Es, niscaya kau akan terluka di dalam.....!" See-bun menyadari, dengan disebutnya Telapak Es, memang Pak-kiang hendak menyindirnya, karena ilmu yang dipergunakan See-bun merupakan ilmu yang mengandung unsur panas, yang diberi nama Telapak Api. "Tunggu saja, sekarang tokh kita baru mulai..... nanti juga engkau akan mengakui bahwa See-bun merupakan satu-satunya jago yang terliehay di jagat ini.....!" Kata See-bun sambil memperdengarkan suara tertawa dingin. Sedangkan Pak-kiang beberapa kali telah berusaha melompat menyerang Tong-ling, setelah gagal dengan serangannya, dia menyerang kepada Lam-siong. Begitulah, mereka berempat memang terdapat saling serang satu dengan yang lainnya. Hok An yang menyaksikan jalannya pertandingan ke empat orang itu, yang memang aneh sekali, karena mereka bertempur bukan di darat, melainkan di atas daun-daun teratai yang memang banyak sekali di permukaan air empang itu. Pertandingan seperti ini jarang sekali terjadi dan dapat disaksikan di dalam rimba persilatan, juga orang-orang yang bisa bergerak begitu ringan di atas daun-daun teratai di permukaan air empang itu memiliki ginkang yang telah mahir sekali. Sebagai orang berpengalaman di dalam rimba persilatan, Hok An juga kaget mendengar ke empat orang itu saling menyebut dan membahasakan diri mereka masing-masing mempergunakan sebutan Pak-kiang (Si Edan dari Utara), Lam-siong (Si Alim dari Selatan), Tong-ling (Si Bego dari Timur), dan See-bun (Si Bengis dari Barat). Hok An mengetahui siapa ke empat orang itu, yang tidak lain dari empat orang tokoh rimba persilatan, yang masingmasing memiliki daerah kekuasaan di Selatan, Utara, Timur dan Barat. Dan sekarang, ke empat tokoh sakti dari empat penjuru rimba persilatan telah berkumpul di tempat itu, tengah mengadakan pertandingan di atas permukaan air empang itu, di mana mereka saling mengukur ilmu dan kepandaian. Karenanya, Hok An sampai menyaksikan dengan tubuh yang berdiri tertegun tanpa bergerak sama sekali, dia telah mengawasi tertarik sekali. Ke empat orang yang tengah bertanding itu pun bukannya tidak mengetahui kedatangan Hok An, akan tetapi mereka tidak acuh atas kehadiran Hok An di tempat itu. Karena ke empat orang ini, tokoh-tokoh sakti dari empat penjuru rimba persilatan, tengah asyik dengan permainan mereka, yaitu bertempur di atas permukaan air empang, di atas daun-daun teratai itu. Apa yang diduga oleh Hok An memang tidak meleset, karena Lamsiong, Pak-kiang, Tong-ling san See-bun merupakan empat orang tokoh rimba persilatan yang memiliki keharuman nama tidak kecil. Hanya saja ke empat orang ini memiliki perangai yang aneh, sama halnya dengan bunyi julukan mereka yang tidak karuan itu, yaitu mereka sama sekali tidak usil terhadap urusan di dalam rimba persilatan. Sejak berusia duapuluh tahun lebih, waktu mereka berempat berusia muda, ke empat orang ini selalu mengadakan pertemuan buat mengadu kepandaian. Dan mereka selalu bertanding hanya berempat, tidak pernah mengundang jago rimba persilatan lainnya. Walaupun mereka mendengar juga perihal banyaknya jago-jago sakti lainnya di dalam rimba persilatan, ke empat tokoh sakti rimba persilatan yang memiliki perangai aneh ini tidak tertarik buat piebu dengan mereka. Dan ke empat tokoh sakti ini hanya berkenan jika mereka dapat bertanding berempat, buat menemukan kepandaian siapa di antara mereka yang tertinggi. Akan tetapi, selama itu mereka tidak pernah dapat merubuhkan atau dikalahkan. Mereka tidak pernah berhasil untuk merebut kedudukan yang terjago di antara mereka berempat. Itulah sebabnya, setiap lima tahun sekali ke empat orang ini mengadakan pertemuan buat bertanding. Tempat bertanding ke empat orang inipun tidak tetap. Mereka selalu menemukannya selang satu tahun sebelum tiba waktunya pertandingan itu. Karenanya, mereka selalu memilih tempattempat yang aneh, dan tidak diduga. Misalnya seperti sekarang. Ke empat jago itu telah memilih empang tersebut, buat bertanding di atas daun-daun teratai. Karena dari itu, ke empat tokoh rimba persilatan ini memang selalu berusaha membuktikan kepandaian mereka sangat tinggi dan berlomba juga buat merebut kedudukan sebagai jago nomor satu di antara mereka berempat. Dengan demikian, tempat-tempat yang sulit dan juga keadaan yang boleh dibilang hampir tidak memungkinkan dipergunakan sebagai arena pertempuran, telah mereka pilih dan sangat menarik hati mereka. Sekarang ke empat orang itu masing-masing telah berusia enampuluh tahun lebih, namun kebiasaan mereka untuk setiap lima tahun sekali mengadakan pertemuan buat mengadu kepandaian tetap saja berlangsung. Jika memang ada seseorang yang sakit atau berhalangan, sehingga tidak bisa datang buat bertanding, maka tiga orang lainnya mengundurkan waktu pertandingan itu. Mereka akan menantikan sampai yang seorang dapat hadir. Dalam pertandingan itupun mereka telah mengeluarkan seluruh kepandaian mereka yang dapat diandalkan. Jika dalam pertempuran yang pertama mereka seri dan tidak ada yang menang atau kalah, maka segara juga mereka berjanji lima tahun lagi akan bertemu dan mengadakan pertandingan lagi. Mereka mempergunakan waktu selama lima tahun itu buat melatih diri dengan giat, untuk menciptakan ilmu yang lebih dahsyat. Karena keranjingan sampai begitu untuk melatih dan menciptakan ilmu silat yang lebih hebat, ke empat orang itu boleh dibilang sudah tidak mau diganggu dengan urusan lainnya. Mereka sama sekali tidak mau mencampuri urusan di dalam rimba persilatan, seperti juga mereka berempat hanya dapat mengurusi diri mereka masing-masing belaka. Apa yang telah disaksikan oleh Hok An sekarang ini, benar-benar tidak pernah diduganya, karena tidak mudah orang bisa menyaksikan ke empat tokoh persilatan yang sangat dimalui oleh orang-orang rimba persilatan, bisa dijumpainya tengah bertempur secara luar biasa ini. Malah, perkembangan selanjutnya di antara ke empat orang yang tengah bertanding di permukaan air empang itu berlangsung lebih aneh lagi. Waktu itu, setelah mengelakkan diri dari totokan tangan Pak-kiang, tampak See-bun telah duduk di atas sehelai daun teratai, dia duduk bersila, tubuhnya seperti juga mengambang, ringan sekali! Itulah ginkang yang benar-benar terlatih mahir sekali. Pak-kiang yang gagal dengan serangannya, cepat-cepat membarengi dengan serangan berikutnya. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dia melatih semacam ilmu yang luar biasa sekali, di mana setiap kali dia menyerang, angin serangan yang dipergunakannya sangat dingin sekali, juga tidak terasa berkesiuran. Jika lawan yang memiliki kepandaian tanggung-tanggung menghadapi serangan Pak-kiang seperti itu, siang-siang lawan tersebut akan terbinasa. Tanpa adanya kesiuran angin tentu lawannya tidak akan dapat mengetahui ke arah mana sasaran yang tengah diincar Pak-kiang. Karena itu, di situlah letak keistimewaan ilmu Pak-kiang. Sedangkan See-bun yang telah duduk di atas sehelai daun teratai sama sekali tidak bergerak. Dia tetap saja duduk diam malah dengan sepasang mata terpejam. Benar-benar See-bun seperti tidak mengetahui serangan Pakkiang yang tidak menerbitkan kesiuran angin itu, tengah datang menyambar ke dadanya. "Bukkkk!" Telapak tangan Pak-kiang telah hinggap di dada See-bun namun segera juga tubuh See-bun seperti dapat ciut, dadanya itu seperti juga balon, setelah melesak dan menyebabkan tenaga serangan Pak-kiang lenyap, dia mengembang lagi, membusung dan memiliki daya tarik yang kuat sekali pada telapak tangannya Pak-kiang. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, Pak-kiang mengetahui bahwa lawannya tengah mempergunakan tenaga dalam menghisap. Karena itu, jika dia mengempos semangatnya dan berusaha untuk menarik tetapak tangannya, dia akan menghadapi kesukaran. Semakin kuat dia mengerahkan dan mempergunakan tenaga dalamnya, semakin kuat juga tenaga menghisap di dada See-bun. Maka dari itu menyadari bahaya yang bisa menimpah dirinya, karena jika dia mengerahkan pula tenaga yang mengandung kekerasan, injakannya pada daun teratai itu akan bertambah berat dan daun teratai itu akan tenggelam, juga kaki Pak-kiang akan menginjak permukaan air empang itu. Karenanya, segera dia cepat-cepat duduk bersila, diapun mengempos semangat dan hawa murninya. See-bun tetap diam dalam keadaan memejamkan sepasang matanya dan duduk bersila di atas daun teratai itu. Hanya saja, dia tidak tinggal diam belaka dengan tenaga dalamnya, karena dia telah mengempos dan menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya itu untuk berusaha menindih kekuatan lawannya. Belum lagi See-bun bisa mengatasi kekuatan tenaga Pak-kiang, yang telah mempergunakan tenaga menghisap dan mendorong ke dada See-bun, waktu itu Tong-ling yang rupanya tertarik dengan cara bertempur seperti itu, cepat-cepat telah duduk. Diapun kemudian menghantam dengan ke dua telapak tangannya. Dia menyerang bukan ke tubuh See-bun, karena setiap kali telapak tangannya hampir mengenai sasarannya di tubuh See-bun dia memiringkan dan mengalihkan sasaran ke arah lainnya. Dengan ke dua telapak tangan yang digerakkannya pulang pergi seperti itu, membuat angin yang berkesiuran pun sangat kuat sekali. Semakin lama semakin kering dan kuat bagaikan hembusan angin di gurun pasir. Dan keringat di tubuh See-bun semakin deras mengucur keluar, dia seperti juga dimasukkan ke dalam perapian dan terpanggang panasnya angin serangan Tongling yang begitu kering. Lam-siong pun tidak tinggal diam. Dia telah memilih sehelai daun teratai di dekat See-bun, kemudian ikut pula buat mengerahkan kekuatan tenaga dalam dan hawa murninya, sepasang tangannya itu bergerak-gerak dengan lincah juga. Namun berbeda dengan angin serangan Tong-ling yang kering dan tandus, seperti api perapian, dia telah menyerang dengan serangan yang dingin seperti es. Dengan begitu, hawa angin serangan yang memiliki sifat-sifat berlawanan membuat See-bun menerima tindihan yang kurang menggembirakan. Pak-kiang sendiri, yang tidak menerima serangan langsung merasakan tubuhnya seperti dibakar oleh api gurun yang tandus dan dinginnya es di kutub. Begitulah, ke empat orang aneh itu tengah mengadu kepandaian mereka, sedangkan Hok An yang berdiam di tempatnya berdiri terpaku memandang takjub atas semua peristiwa yang dapat disaksikannya itu. Dengan ke empat orang itu mengadu kekuatan tenaga dalam, maka keadaan di sekitar tempat itu hanya terdengar suara "srrr, wuttt, derrr" Dari suara angin serangan tenaga dalam ke empat orang itu. Angin pukulan itu juga merupakan angin yang cukup kuat menggoncangkan permukaan air empang yang jadi bergerakgerak. Dari sebelah selatan empang itu, tiba-tiba tampak mendatangi seorang lelaki berusia masih muda sekali, baru berumur duapuluh tiga atau duapuluh empat tahun, mengenakan pakaian pelajar berwarna putih, dengan kopiah Siauw-yau-kin nya yang berwarna putih, dan sepatunya pun berwarna putih. Sambil melangkah perlahan-lahan, dia menggoyang-goyangkan kipasnya, yang juga berwarna putih, hanya saja terdapat lukisan yang terdiri dari warna merah dan hijau serta kuning, warna-warna yang tampak manis dalam keadaan serba putih di dekatnya seperti itu. Sikap pelajar itu tenang sekali, dia sambil mengipas dan melangkah seperti juga seorang yang benar-benar tengah kesima menikmati keindahan di sekitar tempat itu. Hok An mengawasi pelajar itu, dia tidak kenal, dan tidak mengetahui entah siapa pelajar itu. Hok An hanya menduga tentunya pelajar ini tentunya tengah pesiar di tempat tersebut. Cepat-cepat Hok An menjejakan ke dua kakinya, tubuhnya melompat ke dekat pelajar itu. Pelajar itu terkejut, dia mundur dua langkah ke belakang sambil melipat dan menutup kipasnya. "Jangan lewat di tempat ini, lebih baik kau kembali saja!" Kata Hok An sambil menunjuk ke tengah empang itu. "Lihatlah, di sana tengah ada orang yang sedang bertempur!" Pemuda pelajar itu tidak bilang suatu apapun juga, dia hanya mementang matanya lebar-lebar menoleh memandang ke tengah empang, sampai dia bisa melihat See-bun berempat dengan Pakkiang, Tong-ling dan Lam-siong tengah saling mengadu kekuatan. "Ihhh!" Pemuda itu mengeluarkan suara tertahan. "Benar-benar menakjubkan, seperti juga tengah menyaksikan sebuah peristiwa di dalam dongeng saja! Sungguh menarik! Sungguh menarik!" Melihat pemuda pelajar itu seperti seorang yang tolol dan tidak mengenal bahaya yang bisa mengancam dirinya, Hok An jadi banting-banting kakinya, katanya. "Kau jangan berayal lagi, jika nanti mereka telah selesai bertempur dan juga kalau saja mereka hendak mengganggumu, niscaya engkau akan memperoleh kesukaran yang tidak kecil..... cepat kau pergi meninggalkan tempat ini..... jangan berayal.....!" Pelajar itu melihat Hok An sibuk demikian rupa, telah membuka matanya lebar-lebar menatap Hok An, kemudian dia membuka lipatan kipasnya, dia tertawa, katanya sambil mengipas perlahanlahan. "Kau tampaknya begitu menguatirkan keselamatanku, menganjurkan agar aku segera meninggalkan tempat ini! Akan tetapi Siauwte melihat engkau sendiri berada di tempat ini dan tidak cepat-cepat meninggalkan tempat ini, jika memang benar ke empat orang itu merupakan manusia-manusia kurang baik......?!" Hok An mendongkol sekali melihat pemuda pelajar ini demikian tolol. "Jika aku memiliki kepandaian yang sekiranya bisa dipergunakan melindungi diriku! Sedangkan engkau hanya seorang pelajar lemah, jika memang nanti engkau memperoleh kesukaran, niscaya engkau akan memperoleh bahaya yang tidak kecil buat keselamatan dirimu....., cepat kau berlalu sebelum terlambat!" Akan tetapi pemuda pelajar itu telah menggeleng. "Pemandangan yang terdapat di daerah ini sangat menarik sekali. Sekarang juga terdapat pemandangan yang luar biasa, aneh dan menarik hati, di mana empat orang dapat duduk di atas daun teratai di permukaan air empang! Bukankah itu merupakan tontonan yang sangat menarik sekali dan tidak mudah untuk bisa melihatnya dalam kesempatan lainnya? Mengapa justeru aku harus meninggalkan tontonan bagus yang menarik hati ini?" Sambil berkata begitu, pelajar tersebut, tanpa memperdulikan Hok An, telah melangkah menghampiri tepi empang sambil menggerakkan kipasnya perlahan-lahan, mengipas dengan sikap yang tenang sekali. Hok An tertegun mendengar jawaban dan sikap terakhir dari pelajar baju putih itu. Dia akhirnya menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pemuda dungu.....!" Menggumam Hok An, dan dia tidak memaksa lagi pemuda baju putih itu buat meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan pelajar baju putih itu berdiri di tepi empang memperhatikan ke empat orang, yang tengah mengukur ilmu tersebut. Tampaknya pelajar ini tertarik sekali. See-bun waktu itu telah mengempos dan mempergunakan hawa murninya yang paling tinggi, demikian juga ke tiga orang lawannya, masing-masing mengerahkan tenaga murni mereka yang tertinggi, karena mereka berusaha untuk saling tindih. Mereka berempat mempergunakan kekuatan tenaga murni yang seluruhnya dari Tan-tian, maka mereka jadi tidak menggerakkan tangan lagi, cukup asal tangan mereka dapat saling menempel, maka hawa murni itu bisa disalurkan buat menyerang lawan. Melihat ke empat orang yang tengah bertanding di tengah permukaan air empang, pemuda pelajar tersebut jadi heran, karena ke empat orang itu duduk diam bersemedhi dengan tubuh diam tidak bergerak, hanya saja dari atas kepala mereka masingmasing mengepul uap yang tipis. "Hemm, mereka berempat tentunya tengah berdoa.....!" Menggumam pelajar berbaju putih tersebut. "Coba, aku lihat, apakah mereka akan kaget jika permukaan air empang itu bergerak dan menyebabkan daun teratai, mereka yang duduki itu bergerak-gerak?!" Setelah menggumam seperti itu, pelajar berbaju putih itu membungkuk mengambil beberapa batu kerikil. Melihat apa yang dilakukan pelajar baju putih itu, Hok An kaget. "Hei, kau cari mati?!" Bentak Hok An perlahan, sambil tubuhnya telah melompat ke dekat pelajar baju putih itu, berusaha merebut batu-batu kerikil di tangan pelajar baju putih itu. Namun pelajar baju putih tersebut seperti tidak mendengar bentakan perlahan Hok An, dia membungkukkan tubuhnya lagi, mengambil dua butir batu kerikil. Karena pelajar baju putih itu demikian tiba-tiba membungkukkan tubuhnya lagi, sambaran tangan Hok An jatuh di tempat kosong, tidak berhasil merebut batu kerikil di tangan pemuda pelajar baju putih tersebut. Sedangkan pelajar baju putih itu telah berdiri tegak lagi, dia memperlihatkan sikap terheran-heran. "Mengapa kau tampaknya begitu gugup!" Tanyanya kemudian memperlihatkan sikap heran karena Hok An tengah memandangnya tajam sekali, juga tampaknya Hok An seperti tengah kebingungan. "Kau ingin mencari mati?!" Kata Hok An dengan suara perlahan, akan tetapi nadanya mengandung kegugupan. "Jika engkau melemparkan batu itu ke empang dan menyebabkan ke empat orang yang tengah mengadu kepandaian tersebut merasa terganggu, jiwamu sulit dilindungi lagi!" "Kenapa?!" Tanya pelajar baju putih itu seperti orang yang benarbenar tolol. Muka Hok An jadi berobah merah karena mendongkol menghadapi sikap tolol pelajar ini. "Tentu saja mereka akan membunuhmu, karena kau telah mengganggu ketenangan mereka dalam mengadu ilmu!" Menyahuti Hok An. Pemuda pelajar itu tertawa. "Kau jangan takut-takuti aku....." Katanya kemudian. "Aku tidak percaya mereka bisa membunuhku! Justeru aku ingin melihat, betapa sekarang mereka tengah duduk di atas daun teratai, di permukaan air empang itu. Jika aku menimpukkan batu ini, air empang itu bergerak, dan daun teratai yang mereka duduki itu bergerak, apakah mereka akan gugup dan cepat-cepat naik kedarat?!" Bukan main kagetnya Hok An. "Gila kau!" Bentak Hok An. "Kau jangan mencari penyakit..... karena jika ke empat orang telah gusar dan marah. walaupun aku bersedia menolongmu, akan tetapi aku tentu tidak berdaya buat menolongi dirimu.....!" Pemuda pelajar itu tersenyum, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya, menimpukkan batu kerikil yang tadi diambilnya. Sekali meluncur dua butir. Bahkan batu kerikil itu jatuh tepat di pinggiran daun teratai yang diduduki See-bun, sehingga air empang itu muncrat dan membuat daun teratai yang tengah diduduki oleh See-bun jadi bergoyanggoyang. Waktu itu See-bun tengah mengerahkan tenaga dalam dan hawa murni tingkat tinggi, sebetulnya perhatiannya tidak boleh terpecah. Sekarang daun teratai tempat dia duduk itu bergoyang, sesungguhnya See-bun merasa heran, namun dia tidak membuka matanya, dia tetap memusatkan seluruh perhatiannya buat mengempos semangatnya Akan tetapi pelajar itu, yang telah membuat Hok An jadi kaget tak terkira, dan belum lagi Hok An sempat buat menegur dan mencegah perbuatannya, pelajar itu mengulangi lagi timpukan batu kerikilnya itu. Kali ini jatuh di samping daun teratai Pak-kiang, di mana Pak-kiang pun tidak berani membuka matanya walaupun merasakan teratai yang didudukinya itu bergoyang-goyang. Hok An sudah tidak bisa menahan diri. "Hai, gila kau?!" Bentak Hok An sambil menerjang dan berusaha merebut batu kerikil yang masih bersisa dan terdapat di tangan pelajar baju putih itu. Pelajar baju putih itu telah mundur tiga tindak. "Kau jangan kurang ajar!" Bentaknya berani dan tenang sekali. "Aku tidak mengganggu dirimu, akan tetapi sejak tadi kau selalu mengganggu diriku, selalu melarang aku agar tidak menikmati pemandangan indah di tempat ini? Jika memang engkau kuatir nanti dianiaya ke empat orang itu, pergilah engkau yang angkat kaki meninggalkan tempat ini......!" Pipi Hok An berobah merah. "Semua ini demi keselamatan dirimu!" Kata Hok An. "Aku kasihan jika engkau teraniaya dan terbinasa di tangan keempat orang itu. Pelajar itu tersenyum tawar, katanya. "Aku tidak membutuhkan kasihanmu..... kukira aku cukup makan dan cukup pakaian, tidak patut dikasihani orang!" Disanggapi seperti itu, muka Hok An berobah merah lagi. Bukan main mendongkolnya. "Hemm, pelajar tidak berbudi!" Pikir Hok An. Walaupun mendongkol, namun dia tidak memiliki alasan buat bersikeras melarang pelajar baju putih itu menimpukkan batu kerikilnya. Sedangkan pelajar baju putih itu seperti sudah tidak ingin melayani Hok An, dia berdiri membelakangi Hok An, tangan kanannya bergerak. "Plunggg, plunggg!" Beberapa butir batu kerikil telah melayang dan jatuh tenggelam di empang itu. Akan tetapi ke empat orang itu tetap saja dengan sikap mereka, duduk di atas daun teratai tanpa bergerak dan dengan sepasang mata tetap terpejamkan. Pelajar baju putih itu tertawa-tawa girang. "Jika melihat mereka seperti juga melihat empat orang dewa yang tengah duduk bersemedhi di atas daun teratai!" Kata pelajar itu sambil menoleh dan melirik pada Hok An. Hok An mengambil sikap seperti tuli tidak mendengar perkataan pemuda itu. Dia mendongkol karena tadi disanggapi seperti itu oleh pemuda tersebut, maka sekarang dia yang tidak mau melayani pelajar itu. Melihat Hok An berdiam diri saja, pelajar berbaju putih itu tidak tersinggung, dia tertawa lagi, kemudian langan kanannya melontarkan batu kerikilnya lagi, sehingga batu itu meluncur dengan cepat. Kali ini, mungkin juga karena perhitungan tenaga menimpuknya tidak tepat, batu kerikil tersebut tidak jatuh di permukaan air empang, melainkan meluncur dan menghantam kepada Pakkiang. Agak keras benturan itu, sampai terdengar suara "Tukkk!" Hok An tercekat hatinya, tetapi dia hanya melirik kepada pelajar tersebut, sedangkan pelajar itu tampak kaget melihat batu yang ditimpukkannya mengenai kepala Pak-kiang. "Ohhh, maaf, maaf, aku tidak sengaja!" Pelajar itu berseru-seru sendirinya. Pak-kiang sesungguhnya masih bermaksud hendak menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya guna meneruskan pertandingan mengukur tenaga dan kepandaian itu. Namun disebabkan kali ini kepalanya yang terkena timpukan batu kerikil itu, walaupun tidak terlalu sakit, Pak-kiang jadi gusar juga, karena menduga ada orang yang hendak mempermainkannya dan mengganggunya. Dia telah menarik pulang hawa murninya, dia bermaksud untuk memisahkan diri. Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Setelah hawa murni itu berhasil ditariknya pulang ke Tan-tian, Pakkiang melompat berdiri. Kebetulan waktu itu si pelajar tengah menimpuk lagi. Tadi dia menimpuk agak rendah dan mengenai kepala Pak-kiang. Karena sekali ini pelajar itu menimpuk agak ke atas. Siapa tahu, waktu batu itu tengah meluncur, justru Pak-kiang tengah berdiri. Keruan saja kepalanya telah dihantam batu kerikil itu pula. Hati Hok An tergoncang juga menyaksikan semua itu, diam-diam dia jadi menguatirkan keselamatan si pelajar. Walaupun tadi dilihatnya pelajar baju putih ini seorang yang tidak berbudi, namun sebagai seorang rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, dia mengetahui siapa adanya Pak-kiang. Sedangkan pelajar itu tampaknya lemah dan tidak mengerti ilmu silat. Sekali saja Pakkiang menggerakkan tangannya, niscaya pelajar itu akan terluka hebat atau terbinasa. Pak-kiang waktu merasakan kepalanya disambar batu kerikil itu lagi, segera memutar tubuhnya, sehingga ia melihat Hok An dan pelajar baju putih itu tengah berdiri di tepi empang. Dan mata Pakkiang yang tajam dapat melihat di tangan pelajar baju putih itu masih terdapat sisa beberapa butir batu kerikil. Dengan wajah yang memerah, Pak-kiang menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melesat ke darat ke dekat pelajar itu. Dengan mendongkol dan sikap sengit, dia menegur di saat dia melompati salah satu daun teratai yang berada di tepi empang itu. "Apakah engkau yang menggangguku?!" Pelajar itu memandang Pak-kiang dengan mulut terpentang lebar, rupanya dia takjub melihat Pak-kiang dengan beberapa kali lompatan dan menotol daun-daun teratai cepat sekali telah bisa berada di dekatnya Melihat pelajar itu tidak menyahuti, Pak-kiang tambah mendongkol. Dia menoleh kepada Hok An. "Dia atau engkau yang telah menimpukkan batu pada kepalaku, heh?!" Hok An jadi serba salah, cepat-cepat dia merangkapkan ke dua tangannya, katanya. "Maafkan, pelajar itu, tampaknya agak tolol dan tidak mengerti ilmu silat, tadi dia tanpa sengaja telah menimpukkan batu mengenai kepala Lojinke.....!" Pak-kiang memperdengarkan suara tertawa dingin. "Agak tolol dan tidak mengerti ilmu silat?!" Katanya. "Hemmm, kentut kosong, saja kau! Jika memang dia tidak memiliki kepandaian ilmu silat, mana mungkin dia bisa menimpukkan batu itu mengenai kepalaku?!" Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Si Angin Puyuh Tangan Kilat Karya Gan Kh Geger Solo Karya Kho Ping Hoo