Si Racun Dari Barat 7
Si Racun Dari Barat Karya Jin Yong Bagian 7
Si Racun Dari Barat Karya dari Jin Yong Pek Tho San San Kun cepat-cepat meloncat ke belakang sekaligus mengeluarkan senjatanya, lalu mulai menyerang Pek Bin Lo Sat. Tak terasa pertarungan mereka berdua telah melewati belasan jurus, namun kelihatannya masih berimbang. Itu membuat Pek Tho San San Kun bergirang dalam hati, karena Pek Bin Lo Sat yang amat terkenal itu, kepandaiannya cuma setinggi itu. Sedangkan Pek Bin Lo Sat merasa amat penasaran, karena sudah belasan jurus, namun dia belum dapat merobohkan si Kerdil Jen It Thian. Mendadak dia bersiul panjang. Gerakannya juga berubah. Ternyata dia mulai mengeluarkan ilmu Thian Lo Ci (Ilmu Jari Langit). Pek Tho San San Kun terkejut bukan main, ketika tubuh Pek Bin Lo Sat mengeluarkan hawa yang amat dingin, sehingga membuatnya tak dapat mengerahkan kepandaiannya. Keempat murid Pek Tho San San Kun tahu guru mereka sudah berada di bawah angin. Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong dan Sang Pwe Jeh Nuh membentak keras, kemudian menyerang Pek Bin Lo Sat serentak. Ketika melihat kedua orang itu menyerang Pek Bin Lo Sat, Ouw Yang Coan segera maju. Akan tetapi, Pek Bin Lo Sat segera berseru. "Anak Coan, aku masih dapat menghadapi mereka bertiga!" Mendengar seruan Pek Bin Lo Sat itu, Ouw Yang Coan langsung diam, tidak berani menyerang kedua orang itu. Pada saat bersamaan, Pek Bin Lo Sat bergerak meraih senjata Sang Pwe Jeh Nuh, yang berupa sepasang cangkir. Itu membuat Sang Pwe Jeh Nuh bergirang dalam hati, karena dia yakin tangan Pek Bin Lo Sat akan terluka. Dia cepat-cepat menarik senjatanya itu, namun mendadak merasa tangannya amat dingin, seakan membeku tak dapat bergerak sama sekali. Bukan main terkejutnya Sang Pwe Jeh Nuh. Dia ingin meloncat ke belakang, tapi mendadak salah satu dari kedua cangkir itu meluncur secepat kilat menghantam dadanya. "Aaaakh ...!" Jeritnya lalu roboh, pingsan. Tertegun Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong. Pek Bin Lo Sat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia langsung mengibaskan lengannya menyerang orang tersebut. "Aaaakh ...!" Jerit Tay Mok Sin Seng Teng Khie Hong. Badannya terpental beberapa depa, dalam keadaan luka parah. Sang Seng Kiam Giok Shia dan Wan To Ma Sih terbelalak. Mereka berdua sama sekali tidak berani maju. Sedangkan si Kerdil Pek Tho San San Kun gusar sekali. "Pek Bin Lo Sat, kau mau apa?" Bentaknya berapi-api. "Aku menghendaki kalian melepaskan gadis ini! Kalau tidak, kau pasti mampus di sini!" Sahut Pek Bin Lo Sat. "Kau menghendaki apa pun boleh, asal jangan menghendaki gadis ini. Kau juga seorang wanita, untuk apa kau menghendakinya?" Kata Pek Tho San San Kun dengan ringan. "Untuk apa aku menghendakinya! Hanya saja dia adalah kekasih adiknya Ouw Yang Coan, maka kau harus melepaskannya!" Sahut Pek Bin Lo Sat. Pek Tho San San Kun berkertak gigi, tidak bicara sepatah kata pun. Pek Tho San Cung merupakan aliran yang amat besar di daerah See Hek. Maka tidak mengherankan kalau si Kerdil Pek Tho San San Kun malang melintang dan bersikap sewenang-wenang di daerah tersebut. "Pek Bin Lo Sat, hari ini aku terpaksa harus mengadu nyawa denganmu!" Pekiknya dengan melotot. Wanita itu tidak melayaninya, melainkan mendekati Bokyong Cen, lalu memandangnya dengan penuh perhatian. "Sungguh cantik kau! Anak Coan, pantas adikmu mau menolongnya!" Katanya dengan suara rendah. Mendadak jari tangannya bergerak, tahu-tahu jalan darah Bokyong Cen yang tertotok itu sudah bebas. "Terimakasih Cianpwee!" Ucap Bokyong Cen sambil menatapnya. "Mengapa rambut Cianpwee sudah putih semua?" Pek Bin Lo Sat tertegun, kemudian tertawa ringan. "Hi hi! Kalau kau terus memikirkan sesuatu, bagaimana rambutmu tidak akan berubah putih? Karena Ouw Yang Hong amat baik padamu, maka kau tidak merasa risau, rambut pun tidak akan berubah putih." Usai berkata, dia menarik tangan Bokyong Cen mengajak pergi sambil bergumam. "Sungguh kesepian melewati hari! Orang sudah tua, rambut pasti memutih, tidak tahu cinta kasih kemarin, hari ini sudah berakhir .. .?" Ouw yang Coan dan Ouw Yang Hong mengikutinya dari belakang. Pek Tho San San Kun amat penasaran, tapi tidak berani menghadang mereka, hanya memandang kepergian mereka dengan mata berapi-api. Tak lama, mereka sudah hilang dari pandangannya. Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara jeritan Sang Seng Kiam Giok Shia. "Wajahku! Wajahku ..." Sementara itu, Pek Bin Lo Sat dan lainnya terus berjalan meninggalkan Pek Tho San Cung. "Baik, mari kita beristirahat di sini sebentar!" Ajak Pek Bin Lo Sat. Wanita itu duduk di atas sebuah batu, Ouw Yang Coan dan Ouw Yang Hong berdiri di sisinya, sedangkan Bokyong Cen duduk di hadapannya. Bulan yang bergantung di langit bersinar remang-remang. Sungguh sepi tempat itu, hanya kadang-kadang terdengar suara desiran angin. "Nona Bokyong, kau adalah orang Kang Lam, berasal dari perguruan mana?" Tanya Pek Bin Lo Sat sesaat kemudian. "Aku adalah murid Kuil Cing Ani," Sahut Bokyong Cen. "Kuil Cing Am di Kang Lam? Aku tidak pernah mendengarnya," Kata Pek Bin Lo Sat. Nada kata-kata Pek Bin Lo Sat agak meremehkan kuil tersebut, maka sudah barang tentu membuat Bokyong Cen merasa tidak senang. Namun dia tidak diperlihatkan perasaan itu pada wajahnya, sebaliknya malah tersenyum. "Tentunya Cianpwee tahu, ilmu silat aliran Kuil Cing Am tidak begitu luar biasa, maka Cianpwee tidak pernah mendengarnya," Katanya. Pek Bin Lo Sat tertegun, tidak menyangka gadis itu begitu pandai berbicara, maka manggut-manggut seraya berkata. "Lumayan! Kau memang lumayan!" Ucapan tersebut membuat Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen terheran-heran, karena tidak tahu akan makna ucapan itu. Tapi Ouw Yang Coan bergirang dalam hati. Dia tahu gurunya yang jarang memuji orang itu kini memuji Bokyong Cen lumayan, pertanda terkesan baik padanya. "Guruku jarang memuji orang lain ..." Katanya. Bokyong Cen tidak mengerti, hanya tersenyum-senyum. Kemudian perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu memberi hormat kepada Pek Bin Lo Sat. "Terimakasih atas pujian Cianpwee!" Ucapnya. Di antara mereka bertiga, Ouw Yang Hong-lah yang sudah tahu jelas akan sifat Bokyong Cen. Tapi kini dia justru termangu-mangu akan sikap gadis itu. Kelihatannya sifat gadis itu telah berubah, tidak cepat emosi lagi. Pikirnya sambil tersenyum. "Anak Coan, kulihat ... kalian tidak bisa kembali ke Pek Tho San Cung lagi. Lebih baik kau pergi mengatur orang-orang yang ada di rumahmu, setelah itu pergi mencariku!" Kata Pek Bin Lo Sat. Ouw Yang Coan memberi hormat. "Aku memang harus pergi mencari Lo Ouw dan Ceh Liau Thou, menyuruh mereka pergi bersembunyi. Tapi adikku dan Nona Bokyong ..." "Aku akan membawa mereka ke goa es, kau harus cepat kembali!" Sahut Pek Bin Lo Sat. Wanita itu lalu bangkit berdiri, dan langsung berjalan pergi. Ouw Yang Coan segera berkata pada Ouw Yang Hong. "Adik, ajaklah Nona Bokyong mengikuti guruku! Aku pergi sebentar dan akan kembali secepatnya." Usai berkata, Ouw Yang Coan langsung melesat pergi. Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen saling memandang, lalu mengikuti Pek Bin Lo Sat dari belakang. Berselang beberapa saat kemudian, mereka bertiga sudah sampai di mulut goa es itu. Pek Bin Lo Sat melesat ke dalam. Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen terbelalak, berdiri termangu-mangu di mulut goa es itu. "Saudara Ouw Yang, aku ..." Kata Bokyong Cen dengan kening berkerut. Ouw Yang Hong tahu bahwa gadis itu merasa takut. "Aku akan meloncat ke dalam duluan, lalu menyambutmu dari bawah," Sahutnya. "Tangan dan kakimu begitu kaku, lagi pula amat bodoh! Bagaimana mungkin dapat menyambut diriku!" Wajah Bokyong Cen tampak kemerah-merahan. Tampaknya dia sedang berpikir, apabila meloncat ke bawah, Ouw Yang Hong tidak kuat menyambutnya. Tentunya mereka berdua akan terjatuh bersama saling menindih. Ouw Yang Hong menatap Bokyong Cen. Menyaksikan wajah gadis itu yang tersorot sinar rembulan tampak kemerah-merahan, membuatnya ter-heran-heran. Sungguh mengherankan nona Bokyong itu, kelihatannya dia takut meloncat ke dalam lubang goa, tapi ... mengapa wajahnya kemerah-merahan? Begitulah pikir Ouw Yang Hong yang tak dapat menduga pikiran gadis itu. Berselang sesaat, Ouw Yang Hong berkata. "Kalau begitu, kau meloncat duluan saja!" Bokyong Cen menggeleng-geleng kepala, pertanda tidak mau. Ouw Yang Hong jadi gelisah, takut guru kakaknya tidak sabaran menunggu. "Baik! Biar aku saja yang meloncat duluan!" Ujarnya kemudian. Usai berkata begitu, Ouw Yang Hong langsung meloncat ke dalam lubang itu. "Tidak bisa! Tidak bisa! Aku yang harus meloncat duluan, aku takut seorang diri berada di sini!" Teriak Bokyong Cen. Akan tetapi, bayangan Ouw Yang Hong sudah tidak tampak, karena sudah meloncat ke dalam lubang itu. Bokyong Cen menengok ke sana ke mari. Suasana gelap dan amat sunyi, sehingga menimbulkan rasa takutnya. Tanpa banyak pikir lagi, dia memejamkan matanya lalu meloncat ke dalam. Suara angin menderu-deru melewati telinganya. Hal itu membuatnya terkejut sekali karena sama sekali tidak menduga sedemikian dalam lubang tersebut. Entah berapa lama kemudian Bokyong Cen merasa badannya didorong orang hingga jatuh menyentuh sesuatu yang amat licin, tapi bergemerlapan memancarkan cahaya. Sesaat kemudian terdengar suara seruan Ouw Yang Hong. "Nona Bokyong, kau sudah meloncat turun?" Suara nadanya penuh perhatian, membuat hati Bokyong Cen terasa hangat. Ouw Yang Hong memang orang baik, katanya dalam hati. Tiba-tiba ada orang meraba-raba tubuhnya, bahkan sampai ke bagian dadanya. Dia menjerit karena terperanjat. Mendengar jeritan itu, Ouw Yang Hong jadi terkejut sekali. "Nona Bokyong, kau kenapa?" Tanyanya kekerasan. "Ti ... tidak apa-apa. Mari kita ke dalam!" Ketika sampai di dalam, mereka tidak dapat melihat apa-apa. Setelah lewat beberapa saat, barulah mata mereka dapat melihat tempat tersebut. Tempat itu terdiri dari batu es yang bergemerlapan. Terdapat sebuah terrowongan es yang amat panjang. Mereka berdua memasuki terowongan tersebut. Setelah berjalan, beberapa saat kemudian mereka melihat Pek Bin Lo Sat duduk di atas es batu yang amat besar. Bab 12 Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen tidak kuat berdiri lama di tempat itu, karena hawanya sangat dingin. Keduanya menengok ke sana ke mari, ingin mencari suatu tempat yang tidak terlalu dingin. Namun goa itu seluruhnya terdiri dari batu es. Kini mereka semakin merasa kedinginan. Selain itu mereka mulai lapar. Akhirnya terpaksa mendekati Pek Bin Lo Sat. "Lo Cianpwee, apakah di sini tiada tempat yang hangat?" Tanya Ouw Yang Hong. Pek Bin Lo Sat diam saja. Bokyong Cen pun ikut berkata. "Cianpwee berkepandaian tinggi, tentunya dapat melawan hawa dingin di dalam goa ini. Tapi aku dan saudara Ouw Yang tidak dapat bertahan, mohon Lo Cianpwee memberi petunjuk!" Pek Bin Lo Sat menatap mereka seraya menyahut. "Tempat ini memang dingin, hati pun jadi beku. Kalau bukan suatu hal, bagaimana dingin dan panas jadi satu?" Si Racun Dari Barat Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tertegun Ouw Yang Hong mendengar itu, lalu berpikir. Kelihatannya guru kakakku memberitahukan, bahwa dia pun terpaksa tinggal di dalam goa es ini, maka harus bertahan hidup dalam kedinginan. Di saat Ouw Yang Hong sedang berpikir, Bokyong Cen berteriak-teriak. "Aku akan mati kedinginan! Aku akan mati kedinginan!" Pek Bin Lo Sat tidak memperdulikan gadis itu, dia meloncat turun lalu menyambar Ouw Yang Hong, dan langsung dibawanya ke atas batu es itu. Begitu berdiri di atas batu es itu, Ouw Yang Hong langsung menggigil. "Cianpwee, batu es ini amat dingin ..." Ujarnya dengan suara gemetaran. Pek Bin Lo Sat tertawa. "Ini adalah batu es ribuan tahun, tentunya amat dingin sekali!" Ouw Yang Hong terbelalak. Dia merasa tak memiliki lwee kang yang tinggi, bagaimana mungkin dapat melawan hawa dingin itu. Menyaksikan Ouw Yang Hong menggigil kedinginan, Bokyong Cen jadi tercengang seraya berpikir. Aku dan dia sama-sama berada di dalam goa es ini, tapi mengapa dia tidak dapat bertahan, bahkan menggigil kedinginan? Apakah batu es yang diduduki Pek Bin Lo Sat itu jauh lebih dingin? Bokyong Cen menjulurkan tangannya meraba batu es itu. Rasa dingin langsung menyerang telapak tangannya, itu membuatnya terkejut bukan main! Sedangkan Ouw Yang Hong sudah tidak tahan, dia ingin meloncat turun dari batu es itu, tapi mendadak Pek Bin Lo Sat berkata. "Aku dengar dari anak Coan, bahwa kau tidak mau belajar ilmu sastra lagi, melainkan ingin berkecimpung dalam rimba persilatan jadi seorang pendekar. Namun kau harus tahu, tidak gampang belajar ilmu silat, sebab harus tahan derita. Misalnya batu es ribuan tahun ini, dinginnya sampai menusuk ke dalam tulang sumsum, tapi tahukah kau? Batu es ini justru merupakan suatu benda mustika bagi orang yang belajar ilmu silat! Apabila kau dapat bertahan beberapa waktu, berarti kau dapat menahan derita dan akan berhasil menguasai ilmu silat tingkat tinggi!" Mendengar itu, Ouw Yang Hong jadi tertarik dan berusaha menahan rasa dinginnya. Dia duduk di hadapan Pek Bin Lo Sat. Dirasakan badannya semakin menggigil. Rasa dingin itu pun merasuk ke dalam aliran darahnya, membuatnya jadi seperti manusia es. Dia tahu lwee kangnya masih dangkal, kalau tak untung dia akan mati kedinginan. Tapi dia tetap berkeras hati. Meski akan mati kedinginan, dia tetap harus duduk di atas es itu. Hatinya sudah bulat bertekad. Sementara Bokyong Cen terjadi beringsut mundur dari batu es itu. Ia tahu betapa dinginnya. Ketika melihat Ouw Yang Hong berkeras hati duduk di atas es itu, dia kelihatan gelisah sekali. "Bodoh sekali kau! Batu ini amat dingin, sedangkan kau berkepandaian rendah, jangankan berlama-lama, sesaat saja kau pasti mati beku!" Teriak gadis itu. Walau Bokyong Cen berseru dengan suara keras, Ouw Yang Hong malah memejamkan matanya, tidak memperdulikan seruan gadis itu. Beberapa saat telah berlalu, wajah Ouw Yang Hong tampak berubah putih kehijau-hijauan. Bibirnya pun sudah kebiru-biruan. Hawa dingin telah menjalar ke seluruh tubuhnya, sedangkan dia telah kehilangan kesadaran. Ketika dia kembali tersadar, tampak goa itu telah diterangi nyala obor-obor. Tampak pula Ouw Yang Coan dan Bokyong Cen menatapnya dengan penuh perhatian. Ouw Yang Hong tercengang, karena dadanya terasa hangat dan sekujur badan pun terasa nyaman sekali. "Adik, guruku telah menyelamatkanmu!" Berkata tiba-tiba Ouw Yang Coan. Ouw Yang Hong terbelalak mendengar itu. Dia menoleh ke arah Pek Bin Lo Sat dengan tidak mengerti. Pek Bin Lo Sat menoleh ke arah Ouw Yang Coan. "Anak Coan, aku lihat dia cukup gagah dan bertulang bagus. Kalau dia belajar ilmu silat, keherhasilannya kelak pasti tidak berada di bawahmu!" Dengan penuh gembira Ouw Yang Hong langsung bersujud di hadapan Pek Bin Lo Sat. "Ouw Yang Hong memang ingin belajar ilmu silat, harap guru menyempurnakan diriku!" Ujarnya penuh harap. Ouw Yang Hong yang tidak begitu tahu peraturan rimba persilatan mengira guru kakaknya adalah juga gurunya, maka memanggil Pek Bin Lo Sat sebagai guru pula. Pek Bin Lo Sat tertawa. "Anak Coan, perlukah aku menerima adikmu sebagai murid?" Ouw Yang Hong memandang Ouw Yang Coan dengan wajah berseri-seri. Pek Bin Lo Sat bertanya demikian pada kakaknya, tentu orang ini bersedia menerimanya sebagai murid, tentu kakaknya pasti setuju. Akan tetapi, mendadak Ouw Yang Coan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pek Bin Lo Sat. "Guru, keluarga Ouw Yang hanya mengandalkan pada adikku, dia harus punya keturunan. Biar teecu saja yang ikut guru pergi menuntut balas, jangan menerimanya! Harap guru mengabulkan permohonan teecu!" Apa yang dikatakan Ouw Yang Coan membuat Ouw Yang Hong terheran-heran, sama sekali tidak mengerti. Kalaupun Pek Bin Lo Sat punya musuh besar, cari saja musuh besar itu dan membunuhnya, bukankah urusan jadi beres? Mengapa kakaknya harus mengungkit tentang itu? Aku ingin berguru pada Pek Bin Lo Sat, lalu apa hubungannya dengan keturunan keluarga Ouw Yang? Apa-kah setelah aku berguru pada Pek Bin Lo Sat, seumur hidup tidak boleh kawin dan punya anak? Ouw Yang Hong betul-betul merasa tak habis pikir. Mendengar percakapan mereka, Bokyong Cen sama sekali tidak turut campur. Gadis itu cuma diam saja. Sementara Ouw Yang Coan terus memandang Pek Bin Lo Sat. Kelihatannya dia sedang menunggu jawaban gurunya itu. Oleh karena itu, Ouw Yang Hong berpikir lagi, Kakak berkepandaian amat tinggi, merupakan jago nomor satu di daerah See Hek, sedangkan diriku tak berguna sama sekali, selalu dihina dan dipermainkan orang. Kalau guru kakakku tidak mau mengajarku ilmu silat, aku harus cari siapa untuk belajar ilmu silat? Setelah berpikir begitu, Ouw Yang Hong pun bangkit berdiri dan mendekati Bokyong Cen. Apabila Pek Bin Lo Sat tidak mau mengajarnya ilmu silat, lalu untuk apa berada di dalam goa es itu? Ouw Yang Hong memandang Bokyong Cen. Ternyata dia teringat akan seruan gadis itu yang penuh perhatian ketika dirinya duduk di atas batu es. Namun dia tidak mengucapkan apa pun. Pek Bin Lo Sat tetap duduk diam di atas batu es. Berselang sesaat, dia berkata dengan suara rendah. "Anak Coan, kemarilah kau!" Ouw Yang Coan segera mendekati Pek Bin Lo Sat yang memandangnya. "Anak Coan, kau pernah mengatakan bahwa di Tionggoan telah muncul sebuah kitab Kiu Im Cin Keng. Setelah kupikir-pikir, harus memperoleh kitab tersebut. Kepandaian musuhku itu amat tinggi sekali. Walaupun kita bergabung, mungkin masih bukan lawannya. Lagipula dia sudah belasan tahun tidak memunculkan diri dalam rimba persilatan, tentu kepandaiannya bertambah tinggi. Karena itu, kau boleh ke Tionggoan mencari kitab pusaka tersebut. Siapa tahu kau akan memperolehnya, sehingga kelak kita dapat menuntut balas dendam itu!" Ouw Yang Coan manggut-manggut. Sementara Pek Bin Lo Sat memandang Bokyong Cen seraya tersenyum. "Nona, kau dari keluarga di Kang Lam. Panorama di Kang Lam amat indah, tidak seperti di daerah See Hek. Oleh karena itu, kau ikut anak Coan ke daerah selatan, dia bisa menjagamu dalam perjalanan!" Betapa girangnya Bokyong Cen, yang tak menduga Pek Bin Lo Sat akan mengatur demikian. Gadis itu buru-buru maju, lalu memberi hormat pada Pek Bin Lo Sat. "Terimakasih, Cianpwee!" Pek Bin Lo Sat tesenyum sambil manggut-manggut, sedangkan Ouw Yang Hong amat kesal dalam hati. Kakakku pergi ke Kang Lam ditemani nona Bokyong Cen, dalam perjalanan mereka berdua pasti bersenda gurau sambil menikmati keindahan alam. Sebaliknya aku harus tetap berada di dalam goa es ini menemani guru kakak. Berpikir begitu, dia pun berseru sekeras-kerasnya. "Kakak, kau kurang tahu jalan menuju ke Tionggoan, biar aku yang menemanimu ke sana!" Ouw yang Coan menyahut. "Adik, lebih baik kau menungguku di sini, aku pergi paling lama satu tahun, mungkin setengah tahun aku sudah pulang!" Ouw Yang Hong mengerutkan kening. Berada di dalam goa es ini setengah hari rasanya seperti sudah setengah tahun. Bagaimana kalau harus menetap selama setengah tahun atau setahun? Dia berkata dengan kening berkerut-kerut. "Kakak ke Tionggoan, harus kenal beberapa orang di sana! Kalau tidak, begitu kakak muncul, pasti akan dianggap sebagai musuh, itu amat merepotkan!" Pek Bin Lo Sat terus mendengar percakapan itu. Dia tahu kalau Ouw Yang Hong lehih cerdik dari Ouw Yang Coan. Apahila mereka bergahung, kemungkinan besar akan berhasil memperoleh kitab Kiu Im Cin Keng tersebut. "Ouw Yang Hong, kau kenal kaum rimba persilatan Tionggoan?" Tanya Pek Bin Lo Sat kemudian. Ouw Yang Hong menyahut dengan jujur. "Aku pernah ke Tionggoan sampai di kotaraja, berkenalan dengan Oey Yok Su majikan Pulau Tho Hoa To, kepandaiannya amat tinggi. Aku juga melihat seorang padri muda bergelar It Sok Taysu. Dia mengadu kepandaian dengan Oey Yok Su. Kepandaiannya juga amat tinggi, seimbang dengan Oey Yok Su, dia berasal dari keluarga Tayli Yun Lam ti Mendengar nama It Sok Taysu, mendadak sekujur badan Pek Bin Lo Sat tampak tergetar. "Kau bilang It Sok Taysu berasal dari keluarga Tayli Yun Lam?" Ouw Yang Hong mengangguk. "Tidak salah!" "Dia mahir ilmu telunjuk?" Lanjut Pek Bin Lo Sat. Ouw Yang Hong mengangguk lagi. "It Sok Taysu memang mahir ilmu telunjuk. Ketika mengadu kepandaian dengan Oey Yok Su, aku melihat jari telunjuknya bergerak ke sana ke mari!" Paparnya menjelaskan. "Berapa usianya dan bagaimana rupanya?" Ouw Yang Hong tercengang, sebab Pek Bin Lo Sat terus bertanya tentang padri tersebut. "Usianya sekitar lima puluhan, berwajah ramah, dan suaranya pun amat lembut. Siapa yang melihatnya, pasti menaruh hormat padanya!" Mendadak Pek Bin Lo Sat tertawa terkekeh-kekeh, kemudian menyingkap rambutnya yang amat panjang itu. "Kau lihat aku, kira-kira berapa usiaku?" Tanyanya dengan nada sedih. Ouw Yang Hong terheran-heran, tidak mengerti mengapa Pek Bin Lo Sat bertanya begitu. Kelihatannya Pek Bin Lo Sat kenal haik dengan It Sok Taysu. Tapi mereka terpisah, yang satu di Yun Lam, yang satu lagi berada di See Hek, bagaimana saling mengenal? Melihat Pek Bin Lo Sat begitu emosi, Ouw Yang Hong tahu pasti ada sebab-musababnya. "Apakah jari telunjuknya bergerak demikian?" Pek Bin Lo Sat memperagakan gerakan itu, Ouw Yang Hong melihat dengan penuh perhatian. Seusai memperagakan gerakan itu, Pek Bin Lo Sat bertanya. "Apakah hweeshio itu bergerak demikian jari telunjuknya?" Ouw Yang Hong mengangguk. "Ya!" Pek Bin Lo Sat menundukkan kepala agak lama. Kemudian dia membuka mulut dengan suara dalam. "Ternyata dia sudah jadi hweeshio ..." Ouw Yang Coan yang sejak tadi diam, kini mengerti, ternyata musuh perguruannya adalah It Sok Taysu, berasal dari keluarga Toan di Tayli. Pek Bin Lo Sat mendongakkan kepala, dan berseru sekeras-kerasnya. "Toan kongcu (Tuan Muda Toan)! Toan kongcu! Mengapa kau jadi hweeshio? Mengapa?" Bersamaan itu, melelehlah air mata Pek Bin Lo Sat. Sedangkan Ouw Yang Hong cuma terbengang-bengong tidak mengerti sama sekali. "Anak Coan, ada baiknya kau ajak adikmu ke Tionggoan!" Ouw Yang Coan mengangguk. "Ya, Guru!" Wajah Ouw Yang Hong berseri-seri karena begitu gembiranya, sebab akan meninggalkan goa es yang amat dingin itu. Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong, dan Bokyong Cen meninggalkan goa es. Dan setelah melewati Mok Pak, akhirnya mereka bertiga sudah tiba di Ciau Liang. Ciau Liang merupakan kota besar di wilayah utara, yang terbilang ramai. Ouw Yang Hong yang rupanya banyak mengetahui kota ini banyak memberi penjelasan kepada kakaknya dan Bokyong Cen diam saja. Kemudian mereka bertiga memasuki rumah makan. Rumah makan Ting Ih Lou yang amat terkenal di kota Ciau Liang. Suasananya tampak tidak begitu ramai sebab bukan waktunya makan. Di lantai atas rumah makan itu terdapat dua puluh meja. Si Racun Dari Barat Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Selain mereka bertiga, tampak ada delapan orang, mereka duduk dekat jendela, menghadapi cawan arak dengan kepala tertunduk. Ouw Yang Coan memperhatikan kedelapan orang itu. Dia tahu kalau mereka memiliki kepandaian. Salah satu dari mereka adalah wanita. Empat orang yang duduk di sisi kanan meja, semuanya berpakaian compang-camping. Di tubuh mereka tergantung sembilan buah kantong kecil, delapan buah kantong kecil, dan enam buah kantong kecil. Pakaian mereka yang compang-camping itu menyiarkan bau busuk. Sedangkan tiga lelaki dan seorang wanita yang duduk di sisi kiri meja, semuanya berpakaian amat indah. Di atas meja terdapat tiga buah guci arak. Ouw Yang Coan tahu mereka sedang menunggu orang. Ouw Yang Hong tidak begitu memperhatikan mereka, terus hercakap-cakap dengan Bokyong Cen. Gadis itu pun melayaninya dengan penuh semangat. Tak lama kemudian terdengar suara langkah. Tampak dua orang berjalan menuju lantai atas. Ouw Yang Hong mendongakkan kepala memandang. Seketika hatinya bergirang karena ternyata dia kenal kedua orang yang baru muncul itu, yang tak lain adalah Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong yang pernah membawanya ke istana mencuri makanan. Ouw Yang Hong ingin pergi menyapa mereka, namun dicegah oleh Ouw Yang Coan, bahkan juga diberi isyarat agar dia tidak bersuara. Sementara Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong sama sekali tidak memandang ke arah meja Ouw Yang Hong, langsung menuju ke meja yang dekat jendela. Ouw Yang Hong memperhatikan Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong. Yang membuatnya heran melihat Su Ciau Hwa Cu kelihatan tak bersemangat. Dia mengenakan pakaian yang amat aneh, berlubang-lubang tapi amat bersih. Dia dan Ang Cit Kong menuju ke meja itu dengan wajah muram. Duduk di salah sebuah kursi yang kosong, kemudian manggut-manggut pada kedelapan orang itu. Ouw Yang Coan terus memperhatikan mereka, sementara Su Ciau Hwa Cu sudah duduk, namun tiada seorang pun bersuara. Berselang sesaat, barulah Su Ciau Hwa Cu membuka mulut. "Arak wangi! Arak wangi! Ini adalah arak wangi berusia lima puluh tahun, aku harus minum secawan!" Su Ciau Hwa Cu mulai meneguk arak wangi itu. Sekejap saja sudah menghabiskan sembilan cawan. Delapan orang yang duduk di sisi kiri kanan meja sama sekali tidak bersuara. Mereka memandangi Su Ciau Hwa Cu yang meneguk arak wangi. Tiba-tiba salah seorang yang berpakaian mentereng berkata. "Pengcu (Ketua), lihat ..." Belum juga orang itu usai berkata, Su Ciau Hwa Cu sudah membentak keras. "Jangan panggil aku pangcu, kalian jangan panggil aku pangcu! Apa gunanya aku jadi pangcu kalian? Setiap hari kalian cuma berkelahi, sebentar disebut partai Baju Mentereng, kemudian jadi partai Baju Kembang, membuat kepalaku sakit sekali. Sekarang aku punya usul, lagipula kalian pun sudah melihat pakaianku ini. Separuh adalah pakaian mentereng, separuhnya lagi merupakan pakaian kembang, pertanda adalah partai Baju Mentereng dan partai Baju Kembang! Ya kan?" Su Ciau Hwa Cu memandang mereka sambil melanjutkan. "Tapi tidak baik aku berpakaian demikian, karena semua orang akan menganggap diriku sebagai makluk aneh! Tidak baik, ini sungguh tidak baik." Orang berpakaian mentereng berkata. "Pangcu berpakaian begini, memang kurang pantas ..." Su Ciau Hwa Cu langsung membentak gusar. "Kau hilang apa? Ini tidak pantas, itu tidak pantas! Lalu aku harus berpakaian apa?" Orang berpakaian mentereng amat gugup ketika melihat Su Ciau Hwa Cu marah. Lalu dengan gugup dia menyahut. "Maksudku pakaian Pangcu tidak sesuai dengan peraturan. Pangcu ..." Mendengar orang berpakaian mentereng mengatakan begitu, kegusaran Su Ciau Hwa Cu memuncak, membentak dengan suara mengguntur. "Bagaimana pakaianku tidak sesuai dengan peraturan kalian? Coh Lo Toa, katakanlah! Separuh pakaianku bukankah merupakan baju mentereng? Tahukah kau, aku telah mengeluarkan hampir lima puluh tael perak untuk membeli bahannya." Coh Lo Toa terkejut mendapat bentakan. "Pakaian Pangcu memang mentereng, persis seperti baju partai kami! Tapi ..." Su Ciau Hwa Cu menyelak dengan suara lantang. "Persis ya sudah! Ayo, mari kita minum! Sungguh bagus apabila partai Baju Mentereng kalian sudah tiada urusan lain, begitu pula partai Baju Kembang!" Salah seorang lelaki langsung bangkit berdiri, memberi hormat seraya berkata. "Pangcu, apa yang dikatakan saudara Coh memang benar. Pakaian Pangcu tidak mirip baju mentereng juga tidak mirip baju kembang. Kami murid Kay Pang tidak mengerti sama sekali, harap Pangcu memikirkan suatu cara yang terbaik!" Su Ciau Hwa Cu menyahut dengan wajah lesu. "Sudahlah! Harus memikirkan cara apa lagi? Kalian menyuruhku berpakaian compang-camping, yang lain menyuruhku berpakaian mentereng. Sungguh membuatku pusing tujuh keliling, lebih baik aku berpakaian begini saja!" Semua orang diam. Sementara Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong, dan Bokyong Cen sudah paham. Ternyata orang-orang itu sedang mempermasalahkan pakaian, yang amat merepotkan ketua Kay Pang. Ternyata pada masa itu terdapat partai yang amat besar, yaitu Kay Pang (Partai Pengemis). Partai ini terbagi jadi dua aliran. Aliran Baju Mentereng dan aliran Baju Kembang yang penuh tambalan. Prinsip aliran Baju Kembang harus mengenakan pakaian yang penuh tambalan, sedangkan aliran Baju Mentereng harus berpakaian indah. Oleh karena itu, kedua aliran tersebut sering terjadi keributan, bahkan ketuanya terbawa-bawa karena harus berpakaian mentereng dan berpakaian kembang. Karena itu, ketua terpaksa membuat pakaian aneh tersebut. Beberapa saat kemudian, Su Ciau Hwa Cu sudah tampak tidak saharan, dia berkata pada delapan orang itu. "Aku tidak sudi jadi ketua kalian, aku mau pergi! Kalian mau melakukan apa, lakukan saja!" Su Ciau Hwa Cu bangkit perlahan-lahan, setelah itu berkata lagi. "Menurutku, kalian harus memilih seorang ketua lain. Aku sudah pusing dengan masalah pakaian, aku tidak tahu harus berpakaian apa!" Dengan gugup delapan orang itu segera bangkit berdiri dan cepat-cepat menghadang kepergiannya. "Hei! Apakah kalian menghendaki nyawaku?" Bentak Su Ciau Hwa Cu. Su Ciau Hwa Cu ingin kabur, tapi delapan orang itu bergerak cepat menghadangnya. Hal itu membuat Su Ciau Hwa Cu mencak-mencak. "Mengapa kalian menghadangku? Lebih baik kalian duduk minum arak wangi saja!" Delapan orang itu tetap berdiri di hadapan Su Ciau Hwa Cu tanpa bergerak. Su Ciau Hwa Cu menatap Ang Cit Kong. "Kau kenapa tenang-tenang saja? Kalau kau sudah jadi pangcu, barulah akan pusing!" Sementara Ouw Yang Coan terus memperhatikan Su Ciau Hwa Cu. Dia tahu kepandaian pengemis tua itu masih di atas kepandaian gurunya. Sesunggguhnya, pengemis tua itu dapat kabur sesukanya, tapi rupanya dia tidak mau menyinggung perasaan delapan orang itu, maka duduk kembali. Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara seman di lantai bawah. "Siangkoan Pangcu dari Tiat Ciang Pang (Partai Telapak Besi) datang!" Menyusul terdengar suara langkah menaiki tangga, tampak sembilan orang berjalan ke lantai atas. Mereka bercakap-cakap dengan gembira. Sampai di lantai atas dan ketika melihat Su Ciau Hwa Cu serta yang lain, mereka langsung diam. Tampak salah seorang berbisik perlahan. "Pangcu, perlukah kita pindah ke tempat lain?" Seorang yang berdiri di tengah-tengah mereka menyahut. "Tidak perlu pindah, kita duduk di sini saja!" Orang yang berbisik itu mengangguk, lalu mempersilakan Siangkoan Pangcu duduk. Setelah itu dia memanggil pelayan, memesan beberapa macam hidangan dan arak wangi. Sementara si pelayan pergi, sembilan orang itu duduk diam menunggu hidangan disiapkan. Dari tadi Ouw Yang Coan sudah memperhatikan mereka. Dalam hati dia tahu, di antara sembilan orang itu terdapat tujuh orang berkepandaian tinggi, terutama orang yang dipanggil Siangkoan Pangcu itu. Dia berusia empat puluh lebih, sepasang tangannya berwarna hitam sekali. Tak seberapa lama kemudian, pelayan mulai menyajikan semua hidangan tersebut. Siangkoan Pangcu segera berkata singkat. "Cepat makan dan cepat melanjutkan perjalanan!" Mereka mulai bersantap secepatnya bagaikan macan kelaparan. Namun tampak Siangkoan Pangcu itu sama sekali tidak bersantap, hanya duduk tertegun sambil melihat semua orang yang bersantap. Orang-orang itu tidak memperdulikannya, terus bersantap dengan cepat. Sebentar kemudian, seorang pelayan membawakan seguci arak ke hadapannya. Siangkoan Pangcu itu membuka tutup guci, lalu mencium arak di dalamnya. Ketika dia mau menuang arak ke dalam cawannya, mendadak seorang anak kecil berpakaian compang-camping masuk dan menuju ke hadapannya. Maksudnya ingin menuju meja orang Kay Pang, namun saking cepatnya berlari, sehingga menyenggol lengan Siangkoan Pangcu, membuat guci arak yang di tangan Siangkoan Pangcu terjatuh. Anak kecil itu berseru kaget, tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan guci arak itu terus meluncur ke bawah, kelihatannya sulit ditangkap lagi. Di saat bersamaan, terdengar suara tawa Siangkoan Pangcu. Dia mengayunkan kakinya menendang guci arak itu ke atas, lalu menjulurkan tangan menyambarnya dengan cepat. Seorang lelaki yang berada di situ membentak gusar, langsung mencengkeram tangan anak kecil itu. "Kenapa kau berlari begitu cepat seperti dikejar setan? Apakah ayah bundamu mati mendadak?" Si anak kecil tak dapat bersuara, dia menahan rasa sakit di tangannya karena dicengkeram oleh orang itu. Salah seorang lelaki lagi ketika melihat anak kecil itu diam, langsung bangkit berdiri seraya membentak. "Kalau aku tidak membunuhmu, kau pasti akan berkeliaran di sini!" Lelaki itu mengayunkan tangannya memukul anak kecil, tapi mendadak Siangkoan Pangcu menjulurkan tangannya menarik baju anak kecil itu. Serrrt! Baju anak kecil tersobek, sehingga membuatnya menangis seketika dan berteriak-teriak. "Kau harus ganti pakaianku! Kau harus ganti pakaianku!" "Kau telah menjatuhkan guci arak pangcu kami, sudah bagus kau tidak dihukum! Apakah kau mau dipukul?" Bentak orang yang hendak memukulnya. Ketika lelaki itu hendak memukul anak kecil, Siangkoan Pangcu segera mencegahnya. "Siapa namamu?" Tanyanya. "Aku bernama Ciu Cian Jen!" Sahut si anak kecil dengan lantang. "Nama yang bagus, Cian Jen! Cian Jen, apakah tinggi sekali?" Anak kecil itu menyahut. "Aku tidak tinggi sekali. Kakakku bernama Ciu Cian Cang, dia lebih tinggi dariku. Adik perempuanku bernama Ciu Cian Ciok, dia lebih pendek dariku." Sementara Ouw Yang Coan yang memperhatikan kejadian itu, sudah siap menolong si anak kecil, apabila lelaki itu memukulnya. Begitu pula Su Ciau Hwa Cu, tangannya memegang sebatang sumpit, siap menyambit lelaki tersebut. Untung Siangkoan Pangcu mencegah lelaki itu bertindak. Hal itu membuat Ouw Yang Coan dan Su Ciau Hwa Cu menarik nafas lega. "Namaku Siangkoan Wei, namaku tidak sebagus namamu." Siangkoan Wei berpaling pada temannya. "Saudara Mai, kau ke toko pakaian yang di depan, belilah pakaian yang bagus!" Mai San tampak tak mengerti. "Pangcu, siapa yang akan ganti pakaian baru? Apakah Pangcu ingin ganti pakaian baru?" "Buat apa aku ganti pakaian haru?" Sahut Siangkoan. "Kau lihat anak kecil ini! Pakaiannya sudah compang-camping tidak karuan, kau pergi beli pakaian untuknya, dia harus ganti pakaian baru!" Si Racun Dari Barat Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mai San masih tidak begitu mengerti. Tapi karena itu perintah sang Pangcu, maka dia tidak berani membangkang, segera berlari ke toko yang di seberang. "Di mana kakak dan adik perempuanmu?" Tanya Siangkoan Wei pada si anak kecil. Anak kecil itu menyahut dengan wajah muram, kemudian air matanya meleleh membasahi pipinya. "Mereka ... mereka kerja di rumah orang." Siangkoan Wei bertanya dengan lembut. "Mereka bekerja di rumah siapa?" Ciu Cian Jen memberitahukan. "Mereka bekerja di rumah dermawan Tio, kakakku bekerja sebagai budak, adik perempuanku bekerja sebagai pelayan." "Orang itu disebut dermawan Tio, dia pasti baik sekali terhadap kalian kau?" Ujar Siangkoan Wei. Mendengar itu, Ciu Cian Jen malah menangis sedih memilukan hati. "Akan kusuruh orang pergi membawa kakak dan adik perempuanmu ke mari. Bagaimana?" Bujuk Siangkoan Wei lembut. Anak kecil itu tampak tersentak. Cepat-cepat dia menolak. "Tidak bisa! Tidak bisa! Kalau mereka kemari, orang-orang dermawan Tio pasti akan memukul mereka!" Siangkoan Wei tersenyum. "Kakakmu bekerja di sana, dermawan Tio memberikannya berapa tael perak?" Ciu Cian Jen menyahut. "Tidak diberi uang tapi hanya diberi makan saja!" Siangkoan Wei manggut-manggut. "Aku akan bawa kakak dan adikmu kemari, biar mereka bekerja padaku. Setiap bulan akan kuberikan mereka tiga puluh tael perak. Bagaimana?" Tertegun Ciu Cian Jen mendengar itu, sehingga mulutnya jadi ternganga lebar, kemudian memandang Siangkoan Wei. "Kau membohongiku? Kau pasti membohongiku!" Siangkoan Wei tersenyum lembut. "Mengapa aku harus membohongimu?" Pangcu itu berpaling, lalu menjulurkan tangannya ke arah seorang lelaki yang berdiri di sini. Lelaki itu segera mengeluarkan uang perak. Siangkoan Wei mengambil uang perak itu, kemudian ditaruhnya ke tangan Ciu Cian Jen seraya berkata. "Ini lima puluh tael perak, perlihatkan pada kakak dan adikmu, apakah mereka berdua mau ikut kau kemari?" Ciu Cian Jen masih kecil. Dia tentu tidak pernah melihat uang perak sebanyak itu. Maka tampak terbengong-bengong melihat uang itu. "Aku akan beritahukan mereka, mereka pasti mau kemari!" Siangkoan Wei berkata pada lelaki yang di sisinya. "Kau pergi ke sana, katakan pada dermawan Tio bahwa kau akan membawa kakak dan adik anak kecil ini ke dalam Pang kita!" Lelaki itu mengangguk dan segera berangkat. Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong, dan Bok-yong Cen semakin tidak mengerti, mengapa Siangkoan pangcu itu berbuat demikian. Apakah betul dia berhati-hati? Su Ciau Hwa Cu yang menyaksikan itu juga tidak mengerti. Bab 13 Kalau Tiat Ciang Pang terkenal baik dalam dunia persilatan, itu memang tidak mengherankan. Akan tetapi, semua orang tahu Tiat Ciang Pang merupakan partai yang jahat. Siangkoan Wei adalah ketua partai tersebut. Tentunya dia berhati jahat dan kejam. Seharusnya dia memperlakukan anak kecil itu dengan galak, namun justru malah sebaliknya. Dia memperlakukan anak Ciu Cian Jen dengan baik dan amat lembut. Siangkoan Wei menuruh Ciu Cian Jen duduk, kemudian berseru. "Tiam Keh (Pemilik Rumah Makan), cepat kemari!" Pemilik rumah makan segera menghampiri Siangkoan Wei dengan terbungkuk-bungkuk, memberi hormat. "Pangcu mau pesan apa, katakan saja!" Siangkoan Wei menatapnya tajam. "Tiam Keh, aku bertanya padamu, mengapa di dalam arak ini terdapat racun?" Bukan main terkejutnya para tamu yang sedang minum di situ. Wajah mereka langsung berubah. Begitu pula pemilik rumah makan, wajahnya berubah pucat sambil menggoyang-goyangkan sepasang tangannya. "Pangcu, jangan bergurau! Ini adalah arak wangi yang amat terkenal, baru diambil dari gudang. Bagaimana mungkin beracun? Apa yang dikatakan Pangcu, sungguh membuatku merasa tidak enak!" Siangkoan Pangcu tersenyum sinis. "Seandainya anak kecil itu tidak menabrak lenganku, aku tidak tahu kalau arak ini mengandung racun. Apabila aku mati keracunan oleh arakmu, apakah kau akan merasa gembira sekali?" Siangkoan Wei mengangkat tangannya, sikapnya seakan ingin memukul pemilik rumah makan itu. Pemilik rumah makan tahu jelas, kalau dirinya terpukul nyawanya pasti melayang seketika. Dengan gugup dan panik orang itu segera memohon. "Pangcu jangan gusar, aku akan pergi menyelidikinya, tapi ..." "Tapi kenapa?" Bentak Siangkoan Wei, sengit. "Tapi apakah benar arak ini beracun?" Tanya pemilik rumah makan. "Kau kira aku sedang bergurau denganmu?" Sahut Siangkoan dengan gusar sekali. Mendadak Siangkoan Wei memukul guci arak itu hingga hancur. Arak yang di dalam guci langsung mengucur ke lantai, mengeluarkan suara 'Ces! Cess!' Itu pertanda arak itu mengandung racun. Pemilik rumah makan terbelalak, memandang arak itu dengan mulut terbungkam. "Lihatlah! Bukankah arak itu mengandung racun?" Bentak Siangkoan Wei lagi. Pemilik rumah makan tak mampu mengeluarkan suara, karena sudah terbukti arak itu mengandung racun. Salah seorang bangkit berdiri, dan berkata dengan dingin. "Kau berani meracuni pangcu kami dengan arak? Nyalimu sungguh besar!" Orang itu menyambar leher baju pemilik rumah makan. Tentu saja si pemilik rumah makan tak bisa berkata apa-apa, karena dia sama sekali tidak tahu siapa yang menaruh racun ke dalam arak itu. "Cepat bilang! Siapa yang menaruh racun ke dalam arak itu? Kalau kau tidak bilang, aku akan memhinasakanmu!" Bentak orang itu sambil mengeluarkan belatinya. Suaranya mengguntur, membuat pemilik rumah makan bertambah ketakutan. Dia ingin bersuara tapi tenggorokannya seakan tersumbat. Ternyata pemilik rumah makan itu masih punya bos besar, berada di lantai bawah. Mendengar suara ribut-ribut di lantai atas, bos besar itu segera naik. Begitu melihat Siangkoan Pangcu, dia berkeluh dalam hati, lalu segera menghampiri mereka dengan wajah berseri. "Maaf, Tuan! Ada apa, bicarakan saja!" Lelaki itu melepaskan pemilik rumah makan, kemudian dengan cepat mencengkeram bos besar itu dengan mata melotot tajam. "Baik, kau adalah bos besar rumah makan ini? Aku ingin bicara denganmu!" Bos besar itu manggut-manggut. "Bicaralah! Tapi ... lepaskan tanganmu!" Lelaki itu mendengus. "Hmm! Tapi kalau hari ini kau tidak menjelaskan, aku pasti mencabut nyawamu!" Kejadian itu diam-diam telah menggusarkan Ouw Yang Coan. Dia ingin memberi pelajaran kepada lelaki yang bertindak kurang ajar terhadap pemilik rumah makan. Karena berpikir demikian, dia melirik Bokyong Cen. Wajah gadis itu tampak emosi sekali, begitu pula Ouw Yang Hong. Sementara di meja Su Ciau Hwa Cu, semuanya tampak diam. Saat itu mendadak seseorang berbicara, suaranya amat keras dan lantang, sepertinya kuatir orang-orang Tiat Ciang Pang tidak mendengarnya. "Lihatlah! Apa baiknya dunia persilatan? Seperti halnya Tiat Ciang Pang itu, pada dasarnya memang seperti perampok! Entah bagaimana mereka berkecimpung dalam dunia persilatan, sehingga kini punya muka sedikit. Bukankah amat aneh sekali?" Siapa yang berbicara itu? Ternyata seorang pengemis tua Su Ciau Hwa Cu. Dia memandang cawan araknya sambil berteriak-teriak. Sementara pihak Tiat Ciang Pang tahu, di meja itu terdiri dari orang-orang Kay Pang, bahkan ketuanya juga hadir di situ, yaitu Su Ciau Hwa Cu. Didampingi pula Ang Cit Kong yang sudah terkenal, sehingga pihak Kay Pang itu jadi amat kuat sekali. Sesungguhnya pihak Tiat Ciang Pang tidak ingin berurusan dengan Kay Pang. Namun kini Su Ciau Hwa Cu sudah mulai menyindir. Apa boleh buat! Siangkoan Wei terpaksa menyahut. "Cianpwee menyindir Tiat Ciang Pang, apakah memandang rendah Tiat Ciang Pang kami?" Su Ciau Hwa Cu tertawa gelak mendengar pertanyaan Siangkoan Wei. "Mengapa aku harus menyindir Tiat Ciang Pang, aku sudah pusing mengurusi perkumpulanku. Bagaimana mungkin aku masih berniat menyindir Tiat Ciang Pang kalian? Hei, Sobat Siangkoan, lihatlah! Apakah pakaianku ini sedap dipandang?" Su Ciau Hwa Cu tampak gembira, sebaliknya Siangkoan Wei amat gusar. Kau telah menyindir Tiat Ciang Pangku, bahkan juga memandang rendah diriku! Walau kau adalah Su Ciau Hwa Cu, namun aku tetap tidak dapat menerima sindiran-mu! Kemudian Siangkoan Wei bangkit berdiri, lalu memberi hormat kepada pengemis tua tersebut. "Kalau tidak salah dugaanku, Cianpwee pasti adalah Su Lo Cianpwee!" Su Ciau Hwa Cu menyahut. "Lo cianpwee atau bukan lo cianpwee, aku adalah Su Ciau Hwa Cu!" Su Ciau Hwa Cu menyindir Siangkoan Wei di hadapan para anak buahnya. Hal itu tentu saja membuat Saingkoan Wei amat marah. Dia berkata dalam hati, Tiat Ciang Pangku juga tergolong partai besar dalam dunia persilatan, kau hebat apa? Apakah Kay Pang boleh sembarangan menghinaku? "Su Lo Cianpwee, aku sedang mengusut urusan ini, tapi Lo Cianpwee malah menyela dengan sindiran! Apakah racun dalam arak itu berkaitan dengan Kay Pangmu itu?" Su Ciau Hwa Cu bangkit berdiri, lalu berjalan ke hadapan Siangkoan Wei. "Bukan! Bukan! Kay Pang berkecimpung di dunia persilatan, jika melakukan sesuatu pasti secara terang-terangan. Tidak akan meracuni orang, dan juga tidak akan membokong orang. Maka ... Kay Pang tidak melakukan itu!" Ketika berkata demikian, wajah Su Ciau Hwa Cu tampak serius, tidak bersikap bergurau lagi seperti tadi. Tapi setelah itu, dia tertawa lagi seraya menatap Siangkoan Wei dan melanjutkan. "Siangkoan Pangcu! Pihak Tiat Ciang Pangmu, bulan kemarin melukai orang di telaga Thai Ouw, bahkan juga merampok dua belas perahu nelayan! Ya, kan?" Dalam hati Siangkoan yakin, bahwa pihak Kay Pang yang menaruh racun ke dalam aruk itu. Kalian pihak Kay Pang berkumpul di sini, ternyata ingin meracuniku! Kay Pang memang amat besar, namun Tiat Ciang Pangku juga cukup besar! Setelah berkata dalam hati, Siangkoan Wei lalu berkata dengan sengit. "Su Ciau Hwa Cu, apakah kedatanganmu sengaja ingin cari gara-gara dengan Tiat Ciang Pang kami?" Su Ciau Hwa Cu menyahut. "Tidak salah! Sesungguhnya orang-orangku kemari hanya ingin membicarakan pakaianku. Tapi begitu melihatmu, sudah tidak perlu membicarakan pakaianku lagi! Melainkan ... ingin cari gara-gara denganmu!" Sebetulnya Siangkoan Wei masih ingin bersabar, jangan sampai bertikai dengan Su Ciau Hwa Cu. Tapi Su Ciau Hwa Cu terus menghinanya. Tentu saja itu membuatnya tidak dapat mengendalikan diri. "Su Ciau Hwa Cu! Kau mau apa?" Dengusnya dengan dingin. Su Ciau Hwa Cu tidak menyahut, melainkan langsung meloncati meja, lalu memandang mereka satu persatu. "Kalian mau berkelahi? Itu bagus sekali! Tahukah kalian! Beberapa hari ini hatiku amat kesal, ingin melampiaskannya. Siangkoan Wei, ayolah! Kau adalah pangcu, aku pun pangcu! Bagaimana kita berdua saja yang berkelahi?" Siangkoan Wei menyahut dengan dingin. "Baik!" Anak buahnya ingin maju, tapi Siangkoan Wei segera mencegah mereka. Memang lebih baik aku saja yang bertarung dengan Su Ciau Hwa Cu. Walau dia amat lihay, tapi hatinya tidak jabat! Kalaupun aku kalah, tidak apa-apa! Begitu pikir Siangkoan Wei. Sementara Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong, dan Bokyong Cen juga tahu Siangkoan Wei tidak rendah kepandaiannya, sebab dia berani menerima tantangan Su Ciau Hwa Cu yang amat terkenal itu. Sedangkan Su Ciau Hwa Cu ingin melampiaskan rasa kesalnya dalam hati, maka Siangkoan Wei jadi sasarannya. Sambil tertawa gelak dia berkata. "Rimba persilatan Kang Lam memiliki tiga perkumpulan yang suka bertindak sewenang-wenang, yaitu Sang Ih, Yang Kiam, dan perkumpulan Tiat Ciang! Sudah lama aku ingin mencarimu. Kebetulan bertemu di sini. Jangan me-nyalahkanku jika bertindak bengis terhadap kali-an!" Siangkoan Wei cuma mendengus dingin. Su Ciau Hwa Cu tertawa panjang, kemudian mendadak mulai menyerangnya. Siangkoan Wei juga berkepandaian tinggi, dia segera mundur selangkah, lalu balas menyerang pula dengan ilmu pukulan Telapak Besi. Kepandaiannya telah sampai ke tingkat enam, maka tidak mengherankan kalau ilmu pukulannya itu begitu lihay. Ketika melihat Siangkoan Wei mengeluarkan ilmu pukulan tersebut, Su Ciau Hwa Cu tampak gembira sekali. "Ha ha ha! Kau memiliki ilmu pukulan hebat, aku pun memiliki ilmu pukulan dahsyat! Tapi sudah pasti ilmu pukulanmu tidak dapat menandingi ilmu pukulanku!" Si Racun Dari Barat Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Katanya sambil tertawa gelak, lalu mulai mengeluarkan ilmu pukulan andalannya. Begitu menyaksikan ilmu pukulan itu, hati Ouw Yang Coan tersentak seketika, bahkan juga tercengang. Sebab ilmu pukulan yang dikeluarkan Su Ciau Hwa Cu tampak sederhana, apakah dapat digunakan untuk melawan musuh? Ouw Yang Coan justru tidak tahu, bahwa itu merupakan ilmu rahasia Kay Pang, yaitu Hang Liong Cap Pwe Ciang atau Hang Liong Sip Pat Ciang (Delapan Belas Jurus Ilmu Penakluk Naga). Siangkoan Wei terhuyung-huyung ke belakang dengan badan sempoyongan, membuatnya nyaris roboh. Meja yang ada di belakangnya hancur berkeping-keping, dan beberapa orang yang berdiri dekat situ terpelanting tersambar angin pukulan Su Ciau Hwa Cu. Ternyata Su Ciau Hwa Cu mengeluarkan jurus Ti Liong Yu Hui (Naga Menunduk Merasa Menyesal). Jurus tersebut amat dahsyat, sehingga membuat Siangkoan Wei terhuyung-huyung sempoyongan. Wajah Siangkoan Wei tampak berubah. Kini dia baru sadar akan kelihayan ilmu pukulan Hang Liong Cap Pwe Ciang. Kalau Su Ciau Hwa Cu menggunakan tenaga sepenuhnya, nyawa Singkoan Wei pasti sudah melayang ke akhirat. Itu membuatnya berkeluh dalam hati, dan kemudian menjadi nekat. Dia menggeram, lalu menyerang Su Ciau Hwa Cu dengan sepenuh tenaga. Ciu Can Jen yang berusia tiga belas tahun itu merupakan anak yang cerdas. Tadi Siangkoan Wei bersikap begitu lembut dan memberikannya lima puluh tael perak, guna menyuruh kakak dan adiknya bekerja di markas Tiat Ciang Pang. Oleh karena itu, Ciu Cian Jen menganggap Siangkoan Wei sebagai tuan penolongnya. Sebaliknya dia menganggap Su Ciau Hwa Cu adalah orang jahat. Anak kecil itu menyaksikan pertarungan mereka dengan mata tak berkedip. Ketika melihat Siangkoan Wei berada di bawah angin, dia ke-lihatan ingin sekali maju memukul pengemis tua itu. Siangkoan Wei menyerang Su Ciau Hwa Cu dengan dahsyat sekali. Pengemis tua itu menangkis dengan jurus Kian Liong Cai Tian (Naga Tampak Di Sawah), menggunakan tujuh bagian tenaganya. Terdengar suara benturan, kemudian tampak Siangkoan Wei terpental membentur tembok. Sepasang mata Siangkoan Wei melotot, kemudian dia mendadak menyerang Su Ciau Hwa Cu lagi. Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen menyaksikan itu dengan jelas. Ketika Siangkoan Wei dan Su Ciau Hwa Cu mulai bertarung, para anak buah Siangkoan Wei kelihatan tegang sekali, sedangkan pihak Kay Pang malah kelhatan santai, Ang Cit Kong dan lainnya bersantap dan minum. Para anak buah Siangkoan Wei menyaksikan pertarungan itu dengan mata tak berkedip. Tangan mereka menggenggam senjata, siap menyerang Su Ciau Hwa Cu apabila Siangkoan Wei dalam bahaya. Sementara Siangkoan Wei terus menyerang Su Ciau Hwa Cu. Sedangkan pengemis tua itu cuma berkelit ke sana ke mari. "Siangkoan Wei, kau berhati-hatilah!" Bentak pengemis tua itu. Usai membentak, Su Ciau Hwa Cu balas menyerang dengan jurus Liong Can Kan Ya (Naga Menyerang Dengan Liar). "Aaaakh ...!" Jerit Siangkoan Wei terkena pukulan itu. Badannya terpental melayang bagaikan layang-layang putus, lalu roboh. Namun kemudian dia segera kembali berdiri tegak. "Su Ciau Hwa Cu, lebih baik bunuhlah aku!" Bentaknya sengit. Di saat bersamaan, enam orang anak buahnya menggeram sambil menyerang Su Ciau Hwa Cu dengan senjata. , Pengemis tua itu cuma tertawa, memandang remeh pada mereka. Saat ini semua senjata telah mengarah pada dirinya. Anak kecil bernama Ciu Cian Jen juga kelihatan ingin memukulnya. Akan tetapi, mendadak terdengar suara hiruk pikuk. Ternyata semua senjata para penyerang itu telah terbang dari tangan masing-masing. Golok dan pedang menancap di dinding, sebuah cambuk melingkar di sebuah meja dan beberapa senjata lain menancap di lantai, sehingga keenam orang itu berdiri tertegun di tempat. Ternyata delapan Tetua Kay Pang dan Ang Cit Kong berdiri di hadapan orang-orang itu. Merekalah yang membuat semua senjata itu terlepas dari tangan mereka. Pihak Tiat Ciang Pang telah mengalami kekalahan. Wajah Siangkoan Wei tampak lesu tak bersemangat, sedangkan para anak buahnya berdiri dengan kepala tertunduk. Su Ciau Hwa Cu menatap Siangkoan Wei seraya berkata. "Aku masih memandangmu sebagai seorang ketua, maka aku tidak akan menyulitkanmu! Hanya saja apa yang kau perbuat di Kang Lain, Tetua Liang akan memperhitungkannya!" Salah seorang berpakaian mentereng maju ke depan. Dia adalah Tetua Liang dari Kay Pang. Badannya agak gemuk, dan wajah selalu berseri-seri. "Dalam dua tahun ini Siangkoan Pangcu telah banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang cukup menggemparkan. Agar kau tidak melupakannya, maka aku harus membacakannya!" Katanya sambil tersenyum. Setelah berkata, dia mengeluarkan selembar kulit kambing yang mengkilap, lalu membacanya. "Tahun kemarin, tanggal lima bulan lima, membunuh keluarga Liu seratus tiga orang, membawa kabur uang perak berjumlah tiga puluh ribu tael. Tahun kemarin akhir musim Rontok, ketika hari ulang tahun pendekar tua Chu, Tiat Ciang Pang membunuh orang di sana dengan racun ber-jumlah tiga puluh tujuh orang, menculik wanita dan anak kecil. Tahun ini tanggal delapan belas bulan satu, Tiat Ciang Pang membunuh tiga orang Pek Tho San Cung di daerah See Hek, lalu mayat-mayat mereka dibuang di dalam hutan. Tanggal sembilan bulan kemarin, ketua Tiat Ciang Pang membunuh keluarga mertuanya berjumlah tujuh orang, dan semua kasus pembunuhan itu dikambinghitamkan pada Kay Pang kami." Mendengar itu, wajah orang-orang Tiat Ciang Pang itu langsung berubah, lalu mereka saling memandang. Sedangkan suara Tetua Liang amat dingin. Ketika membaca sampai di situ, dia menatap mereka dengan dingin. "Apakah harus dibacakan terus?" Tanyanya. Siangkoan Wei menyahut dengan wajah pucat pias. "Apa yang kuperbuat, tentunya aku tahu jelas dalam hati." Su Ciau Hwa Cu meloncat ke atas meja, kemudian duduk di situ seraya berseru. "Tetua Sun, Siangkoan Wei melakukan perbuatan itu, dia harus dia pakan?" "Aku tahu dosa orang itu sudah amat berat. Berdasarkan peraturan Kay Pang, dia harus dikeluarkan dari perkumpulan, biar dia mati di luar," Sahut Tetua Sun. Usai menyahut, Tetua Sun merasa tidak enak dalam hati, sebab Siangkoan Wei adalah ketua Tiat Ciang Pang, bukan anggota Kay Pang. Bagaimana mungkin menghukumnya dengan peraturan Kay Pang? Lagi pula juga tidak masuk akal dia dikeluarkan dari Tiat Ciang Pang. "Baik, harus dihukum mati! Biar dia mati di sini saja!" Kata Su Ciau Hwa Cu. Usai berkata, Su Ciau Hwa Cu mengibaskan tangannya. Berdasarkan peraturan Kay Pang, apa yang diucapkan ketua, itu merupakan suatu ke-putusan yang tak dapat diganggu gugat, artinya Siangkoan Wei harus dihukum mati. Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen menyaksikan itu dengan mata terbelalak. Mereka bertiga tidak percaya Siangkoan Wei akan dihukum mati oleh ketua Kay Pang, hanya berdasarkan ucapan ketua Kay Pang saja. Sementara wajah Siangkoan Wei semakin memucat, dan nafasnya pun memburu. Namun dia dan para anak buahnya sama sekali tidak berusaha kabur, sebab Siangkoan Wei amat baik terhadap para anak buahnya, semua diperlakukan bagaikan saudara. Maka, ketika melihat ketua dalam bahaya, para anak buahnya tidak mau pergi, tetap setia mendampingi sang ketua. Salah seorang anak buah Siangkoan Wei yang sudah agak tua, memandang ketua itu, kemudian berkata. "Tiat Ciang Pang Toan Kiam Cih Cak, Liong Pian Di Lip, Siau Yu Sin Hou Kim Hong, Khau Cioh Sin kakak beradik Su dan Pok To Cu Beng rela mati!" Setelah berkata demikian, orang tua itu menatap Su Ciau Hwa Cu dan melanjutkan. "Orang Kay Pang dengar baik-baik, pangcu kami telah terluka! Kalau kalian ingin membunuh ketua kami, harus membunuh kami berenam dulu!" Perintah Maut Karya Buyung Hok Bara Naga Karya Yin Yong Goda Remaja Karya Kho Ping Hoo