Kembalinya Pendekar Rajawali 55
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 55
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung Tapi segera seorang Tosu bagian protokol lantas memberitahu bahwa mulai sekarang kedudukan pejabat ketua telah dilimpahkan kepada Tio Ci-keng. Perwira itu melengak kaget, tapi segera ia bergirang dan mengucapkan selamat kepada Ci-keng. Siau-siang-cu berdiri di belakang perwira Mongol itu dengan diam saja, mukanya kaku dingin, entah suka atau duka. Dengan munduk2 pula Ci-keng membawa perwira Mongol itu ke tengah pendopo, lalu berkata. "Silakan Tayjin membacakan titah raja." Diam2 perwira itu bersyukur bahwa Coan cin kau sekarang diketuai orang macam Tio Ci-keng. ia lantas mengeluarkan Sengci (titah raja), Ci-keng. juga lantas bertekuk lutut, lalu perwira itu mulai membaca titah raja. "Dengan ini ketua Coar-cin-kau di..." Melihat secara terangan Ci-keng menerima anugerah raja Mongol, Ci-siang, Ci-heng dan lain2 tidak tahan lagi, serentak mereka melolos pedang, Ci-heng dan Tek-hong terus melangkah maju dan mengancam punggung Ci-keng dengan ujung pedang mereka, Ci-siang lantas berseru dengan lantang. "Coan-cin-kau ini berdiri berdasarkan cita2 setia kepada negara dan bakti kepada rakyat, se-kali2 kita tidak sudi menyerah kepada Mongol, Tio Ci-keng telah mengkhianat dan setiap orang wajib mengutuknya, dia tidak boleh menjabat ketua Coan-cin kau dan kitapun tidak mengakuinya lagi." Sementara itu beberapa Tosu lain juga sudah mengelilingi perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu dengan pedang terhunus. Peristiwa ini terjadi dengan sangat mendadak, Meski sebelumnya Ci-keng juga menduga Ci-siang dan kawannya pasti tidak mau menyerah, tapi sama sekali tidak diduganya pihak lawan berani menggunakan kekerasan terhadap pejabat ketua yang biasanya sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Sekarang senjata lawan telah mengancam, ia menjadi kaget dan gusar, tapi ia tidak gentar, segera ia membentak. "Kurangajar, kalian, berani membangkang terhadap pimpinan?" Tapi Ci-heng lantas balas membentak "Bangsat! Pengkhianat! Berani kau bergerak, segera punggungmu akan tembus!" Sebenarnya kepandaian Ci-keng terlebih tinggi daripada kedua lawannya, tapi secara mendadak dia dikuasai selagi tengkurap, dengan sendirinya dia mati kutu, sebelumnya dia juga menyiapkan belasan anak muridnya yang bersenjata lengkap, namun pihak lawan bertindak lebih dulu, betapapun anak buah Ci-keng itu tak sempat berkutik lagi. Segera Li Ci-siang berkata kepada perwira MongoI itu. "Mongol sudah menjadi musuh Song Raya kami, rakyat Song mana boleh menerima anugerah dari pihak Mongol." Maka sekarang kalian silakan pulang saja, kelak kalau bertemu di medan perang bolehlah kita selesaikan di sana." Walaupun terancam bahaya, perwira Mongol itu ternyata tidak gentar sedikitpun, ia malah menjengek. "Hm kalian berani bertindak secara semberono, tampaknya Coan-cin-kau yang sudah terpupuk kuat ini akan musnah dalam sekejap saja, Sungguh harus disayangkan." "Negara kami seluas ini saja sudah terancam musnah, Coan-cin-kau yang cuma secuil ini apa pula artinya?" Ujar Ci-siang. "Jika kalian tidak lekas pergi, kalau sebentar kalian diperlakukan secara kasar mungkin Siauto tidak dapat berbuat apa2 lagi." Tiba2 Siau-sing-cu menimbrung. "Bagaimana perlakuan kasarnya? Coba, aku ingin tahu!" - Mendadak kedua tangannya meraih, tahu2 pedang Ong Ci-heng dan Song Tek-hong yang mengancam punggung Ci-keng itu telah dirampasnya. Cepat Cikeng melompat bangun terus berdiri di samping perwira Mongol itu, Siau-siang-cu lantas mengangsurkan sebuah pedang rampasan di tangan kirinya itu kepada Ci-keng, sedang pedang lain terus menusuk ke arah Li Ci-siang. Trang", Ci-siang menangkis serangan itu, mendadak tangan terasa kesemutan, tenaga lawan ternyata kuat luar biasa. Diam2 ia mengeluh cepat iapun mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan, tapi cepat terdengar suara gemerantang nyaring, kedua pedang patah semua dan jatuh ke lantai. Tindakan Siau-siang-cu itu dilakukan dengan cepat luar biasa, merampas pedang dan menyerang serta menggetar pedang hingga patah, semua itu terjadi dalam sekejap saja, Menyusul lengan bajunya lantas mengebut dan kedua tangan menyodok sekaligus ke depan sehingga empat murid tertua Coan-cin-kau yang mengitarinya itu didesak mundur. Keruan semua orang kaget, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang yang mirip "mayat hidup" Ini ternyata memiliki kepandaian setinggi ini. Biasanya Ci-keng suka meremehkan ilmu silat Ong Ci-heng, Song Tek- hong dan lain2, sekarang di hadapan orang banyak dia telah diancam hingga tak bisa berkutik selagi mendekam diatas tanah, tentu saja dia sangat murka. Maka begitu dia menerima pedang dari Siau-siang-cu, segera pula dia menusuk ke perut Ong Ci-heng. Cepat Ci-heng mendoyong ke belakang, namun Ci-keng tidak kenal ampun lagi, ia mendorongkan ujung pedang sehingga nasib Ci-heng tampaknya sukar dihindarkan, semua orang ikut kuatir sehingga suasana menjadi hening. Pada detik gawat itulah mendadak dari samping seorang mengebaskan lengan bajunya, pedang Ci-keng tergulung dan tertarik ke samping. "bret". lengan baju robek terpotong dan kesempatan itupun digunakan Ci-heng untuk melompat mundur menyusul dua pedang terjulur pula dari samping untuk menahan pedang Ci-keng. Ketika diawasi orang yang mengebutkan lengan baju itu kiranya adalah In Ci-peng. Ci-keng menjadi gusar, bentaknya sambil menuding Ci-peng. "Kau....kau berani...." "Tio-suheng," Kata Ci-peng. "kau sendiri menyatakan takkan menerima anugerah raja Mongol, karena itulah aku menyerahkan pejabat ketua padamu, mengapa dalam waktu sekejap saja kau sudah ingkar janji?" "Bilakah pernah ku berjanji begitu?" Jawab Ci keng. "Tadi kau bertanya soal anugerah raja MongoI rni, aku menjawab. "Aku tidak ingin kau menerima, anugerah raja Mongol! Nah, masakah aku ingkar janji? Yang menerima anugerah sekarang kan aku dan bukan kau?" "Oh, kiranya begitu, kiranya begitu?" Ci-peng menggumam penuh rasa pedih. "Licik benar kau, Tio-suheng!" Dalam pada itu Li Ci-siang sudah menerima pedang dari seorang muridnya segera ia berseru. "Saudara2 di dalam agama, kita tetap mengakui In-suheng sebagai pejabat ketua, marilah kita tangkap pengkhianat she Tio ini." - Menyusul ia lantas menubruk maju dan menempur Ci-keng. Ci-heng dan enam orang lainnya lantas memasang Pak-tau Kiam-hoat mengepung Siau-siang-cu di tengah, Meski tinggi ilmu silat Siau-siang-cu, tapi barisan pedang Coan-cin-kau yang terkenal itupun sangat hebat, sekali bergebrak, daya tempurnya juga Iihay. Cepat Siau-siang-cu mengeluarkan pentungnya untuk menangkis kerubutan lawan. Perwira Mongol tadi sudah mundur ke pojok ruangan, melihat gelagat jelek, segeia ia mengeluarkan tanduk kerbau dan ditiup keras2. Ci-peng terkejut, ia tahu orang sedang mengundang bala bantuan, menghadapi ancaman bahaya, semangatnya terbangkit, kemampuannya memimpin biasanya Iantas timbul Iagi. Segera ia memberi perintah. "Ki Ci-seng, kau tangkap perwira itu, Ih To-hoan Suheng, Ong Ci-kin Suheng, kalian membawa tiga kawan dan lekas ke Giok-bi-tong di belakang gunung untuk membantu Sun-suheng berjaga di sana agar kelima guru kita tidak terganggu serbuan musuh. Tan Ci-ek Sute lekas kau membawa enam orang pergi berjaga di depan gunung. Pang Ci ki Sute dengan enam orang berjaga di kiri gunung dan Lau To-leng Sute bersama enam orang berjaga di kanan gunung." Orang2 yang ditugaskan berjaga di kanan kiri dan muka belakang itu adalah murid Ong Ju-ki semua, sedangkan Ih To-hian dan Ong Ci-kin adalah murid paman gurunya yang dapat dipercaya dengan cara pengaturan pertahanan ln Ci-peng ini, sekalipun musuh menyerbu secara besarkan juga sukar menembusnya. Akan tetapi sebelum semua orang yang diberi perintah itu pergi, tiba2 terdengar suara teriakan ramai, belasan orang telah melompat masuk, dari kanan nampak dipimpin ln Kik-si dan sebelah kiri dipimpin Nimo Singh, dari depan dikepalai Be Kong-co, belasan orang yang dipimpin adalah jago2 pilihan dari berbagai suku bangsa. Kiranya Kubilai tidak berhasil memboboI pertahanan Siangyang selama ber-bulan2, mendadak terjangkit wabah di tengah pasukannya, maka setelah serangan terakhir pada Siangyang juga gagal, segera ia mengundurkan pasukannya, Pasukan Mongol yang dilihat Siao-liongli tempo hari ketika bergerak ke selatan itu adalah serangan terakhir yang dilakukan Kubilai. Berhubung sukarnya Siangyang direbut, dengan sendirinya kerajaan Song juga sukar diruntuhkan, maka sebelum mengundurkan pasukannya Kubilai sudah mengirim antek2nya untuk mendekati dan membeli orang2 gagah di Tionggoan. Raja Mongol sengaja merangkul pihak Coan-cin-kau juga termasuk tipu muslihat Kubilai. Tapi dia tahu Coan-cin-kau belum tentu mau menerima anugerah, maka Kim-lun Hoat-ong diperintahkan memimpin jago2 lainnya bersembunyi di sekitar Cong-lam-san, bila Coan-cin-kau menolak titah raja, segera digunakan kekerasan untuk menindasnya. Biasanya penjagaan di Cong-Iam-san cukup ketat, tapi lantaran sehari terjadi dua kali penggantian pejabat ketua, suasana di Tiong-yang-kiong sedang kacau, anak murid yang bertugas berjaga di luar sama di tarik ke dalam untuk ikut hadir dalam upacara, sebab itulah kedatangan rombongan Nimo Singh, In Kik-si dan lain2 tidak diketahui Kini musuh mendadak muncul, seketika orang2 Coancin-kau menjadi panik, Perwira Mongol yang tadinya sudah ditawan Ki Ci-seng itu sekarang lantas berteriak. "Para Totiang dari Coan-cin kau, kalau ingin selamat, lekas kalian membuang senjata dan tunduk kepada perintah pejabat ketua Tio-totiang." Tapi Ci-peng lantas membentak. "Tio-Ci-keng telah berkhianat dosanya tak terampunkan, dia bukan lagi pejabat ketua kita." Meski menyadari keadaan sangat gawat, tapi Ci-peng bertekad melawan musuh dengan mati2an, maka dia lantas memberi aba2 untuk bertempur, Namun para Tosu sebagian tak membawa senjata dan terkepung pula, maka hanya sebentar saja sudah belasan orang terkapar tak bernyawa lagi. Menyusul Ci-peng sendiri, Li Ci-siang, 0ng-Ci-heng, Song Tek-hong dan lain2 juga kecundang ada yang senjatanya terampas musuh dan ada yang terluka dan menggeletak atau tak bisa bergerak karena Hiat-to tertutuk. Sisa Tosu yang lain menjadi kelabakan seperti ular tanpa kepala, mereka terdesak ke pojok ruangan dan tak dapat melawan lagi. Perwira Mongol tadi tidak tinggi ilmu silatnya, tapi pangkatnya sangat tinggi, maka In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain2 harus tunduk kepada perintahnya, Melihat pihaknya sudah menang total, perwira itu lantas berseru kepada Ci-keng. "Tio cinjin, mengingat kesetiaanmu, tentang pemberontakan Coan-cin-kau ini takkan kulaporkan kepada "Sri Baginda." Ci-keng memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, Tiba2 teringat sesuatu olehnya, cepat ia membisiki Siau-siang-cu. "Masih sesuatu urusan penting perlu bantuan cianpwe. Guruku dan para paman guruku sedang menyepi di belakang gunung, kalau mereka menerima berita dan memburu kesini..." "Kebetulan kalau mereka ke sini, akan kubereskan mereka bagimu," Ujar Siau-siang-cu dengan tak acuh. Ci-keng tak berani bicara pula, dalam hati ia mendongkol karena orang berani meremehkan gurunya, namun iapun serba susah, kalau guru dan para paman gurunya dapat mengusir orang2 Mongol berarti pula jiwanya sendiri terancam. Dalam pada itu perwira Mongol tadi telah berkata pula. "Tio-cinjin, silakan kau terima dulu anugerah Sri Baginda, habis itu baru kau selesaikan kawanmu yang membrontak itu." Ci-keng mengiakan dan segera berlutut mendengarkan titah raja Mongol. Ci-peng, Ci-siang dan lain2 dapat mengikuti kejadian itu dengan dada se-akan2 meledak saking gusarnya. Song Tek-hong berduduk di sebelah Li Ci-siang, ia coba membisiki sang Suheng. "Li-suheng, harap lepaskan pengikat tanganku, biar kuterjang keluar untuk melapor pada guru kita." Ci-siang mengangguk punggungnya lantas dirapatkan di punggung Tek-hong, ia mengerahkan tenaga dalam pada jarinya untuk membuka tali pengikat tangan Song Tek-hong yang ditelikung itu. Setelah berhasil dengan suara tertahan ia memberi pesan. "Kau harus hati2, jangan sampai kelima guru kita terkejut." Tek-hong mengangguk dan siap2 untuk meloloskan diri. sementara itu pembacaan titah raja sudah selesai, Ci-keng telah berdiri, perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu sedang mengucapkan selamat padanya. Melihat semua orang sedang mengitari Tio Ci-keng, cepat Song Tek-hong melompat ke sana, segera ia berlari ke balik altar pemujaan. "Berhenti!" Nimo Singh membentak Akan tetapi Tek-hong tidak ambil pusing, ia berlari terlebih cepat. Karena kedua kakinya sudah buntung, sukar bagi Nimo Singh untuk mengejar, sebelah tangannya lantas mengambil sebuah Piau kecil berbentuk ular terus disambitkan "PIok", dengan tepat kaki kiri Tek-hong tertimpuk Piau itu. Akan tetapi Tek-hong hanya sempoyongan sedikit saja dan tetap kabur ke depan dengan menahan sakit. Beberapa jago Mongol segera mengejar, namun bangunan rumah di kompIek Tiong-yang-kiong sangat banyak, hanya memutar beberapa rumah saja Tek-hong sudah menghilang dari kejaran musuh. Sampai di tempat sepi, dengan menahan sakit Tek hong mencabut Piau yang masih menancap di kakinya itu, lalu membalut lukanya, ia kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil pedang, lalu berlari ke Giok-bi-tong di belakang gunung, di mana guru dan para paman gurunya sedang menyepi. Sesudah dekat, dari balik pepohonan ia memandang ke sana, ia jadi mengeluh ketika dilihatnya lebih 20 orang Mongol sedang sibuk memindahkan batu2 besar untuk menyumbat mulut gua Giok-hi-tong. Seorang , paderi Tibet tinggi kurus mengawasi dan memberi petunjuk cara menyumbat gua itu. Di samping itu terdapat pula dua orang lagi sedang sibuk mengatur ini dan itu. Tek-hong kenal kedua orang di samping itu itu adalah Darba dan Hotu yang dahulu pernah cari setori ke Tiong-yang-kiong, dengan sendirinya iapun kenal ilmu silat kedua orang itu. Sedang paderi yang tinggi itu jelas kepandaiannya lebih tinggi dari pada Darba dan Hotu, mulut gua Giok-hitong sudah tinggal sedikit saja yang belum tersumbat batu, entah bagaimana keadaan kelima guru dan paman gurunya? Song Tek-hong menyadari tenaga sendiri tak berguna andaikan menerjang maju untuk mengalangi perbuatan musuh itu, paling2 jiwa sendiri juga akan ikut melayang, tapi mengingat keselamatan guru dan nasib Coan cin-kau yang menghadapi kehancuran, mana boleh ia cuma memikirkan keselamatannya sendiri. Segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya, secepat kilat ia menusuk paderi Tibet yang berdiri membelakanginya itu, ia pikir kalau menyerang harus serang pimpinannya, kalau berhasil tentu pihak musuh kacau lebih dulu. Paderi Tibet itu adalah Kim lun Hoat-ong, tempo hari ia sudah menanyai Tio Ci-keng mengenai seluk-beluk Coan cin-kau, maka begitu sampai di Tiong-yang-kiong segera ia menuju belakang gunung untuk menyumbat Giok-hi-tong serta mengurung kelima tokoh utama Coan-cin-kau itu di dalam gua, dengan begitu sisa anak murid Coan-cin-kau yang lain tentu mudah diatasi. Ketika ujung pedang Song Tek-hong hampir mengenai punggungnya ternyata Hoat-ong tidak merasakan apa2, Tek-hong bergirang, Tak terduga mendadak cahaya kuning berkelebat menyusul terdengar suara "trang" Sekali, sejenis senjata aneh paderi itu telah menyamber ke belakang dan membentur pedangnya. Tek-hong merasakan tangannya kesakitan, pedang terlepas dari cekalan, hanya benturan itu saja telah membuat dia muntah darah dan pandangan menjadi gelap. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sayup2 ia dengar suara teriakan orang ramai di ruangan pendopo, entah peristiwa apa lagi yang terjadi, tapi segera ia tak ingat apa2, ia jatuh pingsan. Kim-lun Hoat-ong juga mendengar suara teriakan ramai itu, tapi ia pikir Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 berada di sana, tentu anak murid Coan-cin-kau takkan mampu melawan mereka, maka ia tidak menjadi kuatir, ia perintahkan para busu Mongol itu mempercepat penyumbatan gua itu dengan batu agar Khu Ju-ki berlima tidak sempat menerjang keluar secara mendadak. Di ruangan pendopo memang terjadi lagi sesuatu sesudah Song Tek-hong pergi, Perwira Mo-ngol itu telah berkata kepada Ci-keng. "Tio-cinjin, anggota kalian yang memberontak tampaknya tidak sedikit, agaknya kedudukanmu tidak begitu enak bagimu." Sudah tentu Ci-keng juga menyadari hal ini, namun keadaan sudah telanjur, ibaratnya sudah berada di punggung macan, kalau melompat turun tentu akan dicaplok sang harimau malah, Segera Ci-keng berteriak. "Menurut undang2 kita, apa hukumannya bagi kaum pemberontak?" Para Tosu diam2 saja, malahan dalam hati mereka pikir. Kau sendiri pemberontak dan pengkhianat." Ci-keng bertanya lagi satu kali dan tetap tiada yang menggubrisnya, diam2 Ci-keng sangat mendongkol, ia bertanya lagi sekali sambil memandangi muridnya sendiri, yaitu Ceng-kong, agar dia menjawab nya. Ceng-kong ini adalah Tosu gemuk yang dahulu menganiaya Nyo Ko itulah, ia lantas menjawab " Pemberontak harus membunuh diri di depan pemujaan Cousuya." "Betul" Seru Ci-keng. "Nah, In Ci-peng, sudah tahu dosamu belum? Kau terima tidak?" "Tidak!" Jawab Ci-peng tegas. "Baik, bawa dia ke sini!" Kata Ci-keng. Segera Ceng-kong mendorong Ci-peng ke depan dan berdiri dihadapan arca pemujaan. Lalu Ci-keng menanyai Cisiang, Ci-heng dan lain2, semuanya juga menyatakan tidak terima. Di antaranya hanya tiga orang saja yang ketakutan dan minta ampun, segera Ci-keng memerintahkan dibebaskan, sedang 20 - an orang tetap berdiri tegak tidak mau menyerap malahan Ci-heng dan beberapa Tosu yang berwatak keras segera mencaci-maki. "Kalian teramat kepala batu dan sukar diampuni" Kata Ci-keng kemudian "Baiklah, Ceng-kong, boleh kau melaksanakan hukuman bagi Coan-cin-kau kita." Ceng-kong mengiakan, ia melangkah maju dan mengangkat pedangnya, sekali tusuk ia binasakan In To-hian yang berdiri di ujung kiri. Serentak para Tosu lantas berteriak murka dan mencaci-maki lebih keras, suara riuh ramai inilah yang tadi di dengar oleh Song Tek-hong dan Kim lun Hoat-ong di belakang gunung. Ceng-kong adalah manusia yang berani pada yang lemah dan takut pada yang keras, ia menjadi jeri mendengar suara ramai orang banyak. "Lekas kerjakan, kenapa ragu2," Bentak Ci-keng. Terpaksa Ceng-kong mengiakan dan membunuh lagi dua orang, Yang berdiri nomor empat ialah In Ci-peng, baru saja Ceng-kong angkat pedangnya hendak menusuk dada Ci-peng, tiba2 suara seorang perempuan membentaknya. "Nanti dulu?" Waktu ia menoleh, dilihatnya seorang perempuan muda berbaju putih sudah berdiri diambang pintu, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li. "Kau minggir ke sana, orang ini akan kubunuh sendiri" Demikian kata Siao-liong-li. Ci-keng menjadi girang melihat Siao-liong-li mendadak muncul, ia pikir di tengah tokoh2 sakti sebanyak ini, kedatanganmu ini berarti mengantarkan kematianmu, maka ia lantas membentak. "perempuan siluman ini bukan manusia baik2 tangkap saja!" Akan tetapi para Busu Mongol itu tidak tunduk pada perintahnya, semuanya tidak menggubris-nya. Hanya dua murid Ci-keng sendiri lantas melompat maju, tanpa dipikir mereka terus hendak memegang lengan Siao liong-Ii. Siao-liong-li sama sekali tidak ambil pusing terhadap serbuan para Busu MongoI serta kekacauan yang terjadi di antara orang Coan-cin-pay sendiri. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hanya ketika melihat Ceng-kong hendak membunuh ln Ci-peng, betapapun ia tidak mau membiarkan orang lain membinasakan Tosu itu, maka ia lantas bersuara mencegah. Belum lagi tangan kedua murid Ci-keng menyentuh bajunya, tahu2 tangan mereda sendiri kesakitan, sinar perakpun berkelebat, cepat mereka melompat mundur Waktu mereka mengawasi kiranya pedang mereka yang tergantung di pinggang tahu2 sudah dilolos oleh Siao-liong-li dan dalam sekejap itu pergelangan tangan merekapun telah dilukai. Gerakan Siao liong-li ini sungguh cepat luar biasa, sebelum orang lain melihat jelas cara bagaimana dia merebut pedang dan menyerang, tahu2 kedua Tosu itu sudah terluka dan melompat mundur. Keruan anak murid Ci-keng yang lain sama melengak kaget Ceng-kong lantas berseru . "Hayo maju be-ramai2, kita berjumlah lebih banyak, kenapa kita gentar padanya?" Segera dia mendahului menerjang dan menusuk. Tapi sebelum orang mendekat ujung pedang Siao liong-Ii sudah bergetar, tahu2 pergelangan tangan kanan kiri Ceng-kong kedua kakinya terkena tusukan pedang. Sambil mengaung keras, Ceng kong terus menggeletak tak bisa bangun. Keempat kali tusukan Siao-liong-ii sungguh cepat luar biasa, sampai tokoh kelas wahid seperti Siau-siaug-cu dan lain2 juga tercengang. Mereka heran mengapa ilmu pedang si nona maju sepesat ini, padahal tempo hari waktu dia bertempur melawan Kongsun Ci belum tampak sesuatu yang luar biasa, apakah mungkin dia, sengaja menyimpan kepandaian? Rupanya setelah mendapatkan ajaran Ciu Pek-thong, sekaligus Siao liong-li dapat memainkan sepasang pedang dengan cara yang berbeda, kini kepandaiannya memang sudah berlipat ganda. Sudah sekian lama dia menguntit In Ci-peng dan Tio Ci-keng dan merasa bingung cara bagaimana harus menyelesaikan kedua orang itu. sekarang orang Coan cin-kau menyerangnya lebih dulu, kesempatan ini segera digunakannya untuk balas menyerang dan sekali pedangnya berbau darah, serentak dendam kesumatnya meledak. Di tengah berkelebatnya sinar pedang, dan bayangan baju putih, dalam sekejap saja pedang para Tosu sama jatuh dilantai, pergelangan tangan setiap orang sama tertusuk pedang tanpa diberi kesempatan untuk menangkis atau mengelak. Sungguh kejut para Tosu itu tak terkatakan. Bayangkan saja, jika serangan Siao liong-li itu tidak mengarah tangan, tapi menusuk perut mereka, maka jiwa para Tosu itu pasti sudah melayang sejak tadi. Karuan Tosu2 itu ketakutan dan berlari menyingkir sehingga di tengah2 ruangan pendopp itu tertinggal In Ci-peng dan kawan2nya yang teringkus itu. Melihat mereka tak bisa berkutik dan tidak memusuhi dirinya, untuk sementara Siao-liong-li juga tidak mencelakai mereka. Diam2 iapun terkejut sendiri atas kepandaian yang dipelajarinya dari Ciu Pek-thong itu, sungguh tak diduganya ilmu berkelahi yang aneh itu mempunyai daya tempur selihay itu. Melihat gelagat jelek, sambil menghunus pedang untuk menjaga diri, diam2 Ci-keng menggeser mundur dan bila ada kesempatan segera akan kabur. Namun Siao-liong-li sudah teramat benci padanya, sekali melompat ia telah mencegat jalan mundur dan maju Tio Ci-keng dengan kedua pedangnya. Dalam keadaan kepepet, Ci-keng putar pedangnya terus hendak cari jalan lagi, Tiba2 terdengar suara "trang" Nyaring, In Kik-si berkata padanya . "Kau takkan berhasil, mundur saja sana!" Kiranya In Kik-si telah menangkiskan pedang Siao-liong-li dengan ruyung emasnya yaug lemas itu. Baru sekarang ada orang yang mampu menangkis pedang Siao hong-li sejak berpuluh Tosu itu dilukainya. "Tujuanku sekarang hanya ingin menuntut batas pada Tosu Coan-cin-kau dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar, lekas kau menyingkir," Seru Siao liong-Ii. Meski rada jeri juga menyaksikan kelihayan ilmu pedang Siao-liong-li tadi, namun In Kik-si adalah tokoh kelas wahid, betapapun dia tak dapat mundur begitu saja hanya karena ucapan Siao-liong-li itu. Maka dengan tertawa ia menjawab. "Orang Coan-cin-kau sangat banyak dan dengan sendirinya ada yang baik dan ada yang busuk, ada sebagian memang pantas dibinasakan Entah Tosu bangsat yang manakah yang telah bersalah kepada nona?" Akan tetapi Siao-liong-li hanya mendengus saja dan tidak menjawabnya, sorot matanya tidak pernah meninggalkan diri In Ci-peng dan Tio Ci-keng se-akan2 kuatir kaburnya kedua Tosu itu. "Untuk apa nona marah kepada kawanan Tosu keparat ini, asalkan nona memberi tanda Tosu mana yang harus dibereskan, segera Cayhe wakili nona untuk membereskannya," Kata In Kik-si. "Baik, lebih dulu kau binasakan dia ini!" Kata Siao-liong-li sambil menuding Tio Ci-keng. "Tapi Tio-cinjin ini cukup baik orangnya, mungkin ada salah paham nona padanya, biarlah kusuruh dia minta maaf saja kepadamu," Kata In Kik-si. Siao-liong-li mengernyitkan dahinya, mendadak pedangnya menyamber ke depan secepat kilat, tampaknya menusuk In Kik-si. Dengan sendirian In Kik-si angkat ruyungnya untuk menangkis. Tapi mendadak terdengar jeritan, ternyata Tio Ci-keng yang berdiri tegak di belakang In Kik-si sudah terkena tusukan di pundaknya. Keruan In Kik-si terkejut, meski tusukan itu tidak mengenai dirinya, tapi dirinya tidak mampu melindungi Ci-keng, rasanya sama memalukan bagi-nya. Cuma serangan lawan teramat cepat datangnya dan tak jelas cara bagaimana Siao-Iiong-li memutar pedangnya untuk mengarah sasarannya, kalau saja pertarungan demikian dilanjutkan, jelas dirinya pasti kalah, diam2 ia menjadi jeri ia coba berseru pula. "Nona Liong, harap kau bermurah hati!" Namun Siao-liong-li tidak menjawabnya, sikapnya seperti tidak mau bermusuhan tapi juga tidak ingin berkawan, ia menggeser pelahan ke kiri, ln Kik-si juga ikut memutar dan tetap ingin membela Tio Ci-keng. Tapi mendadak terdengar pula Ci-keng menjerit tertahan, waktu ia melirik, ternyata bahu kiri Ci-keng sudah terluka pula. Cara bagaimana Siao-liong-li menusuk Ci-keng lagi, orang lain tetap tidak tahu dan sama melongo heran. Sungguh cepat luar biasa ilmu pedangnya itu, bukan saja gerakannya tidak kentara, bahkan pedangnya seperti bisa membelok sendiri. Ber-turut2 tertusuk dua kali, Ci-keng menjadi ketakutan setengah mati, ia mengira kepandaian ln Kik-si terlalu rendah dan tidak sanggup dimintai perlindungan, segera ia melompat ke sana untuk berlindung di belakang Siau-siang-cu. Tapi Siao-ltong-Ii anggap seperti tidak tahu saja, ia memutar tubuh, pedang di tangan kiri menusuk ke arah In Kik-si dan pedang icanan menusuk Nimo Singh. Cepat Nimo Singh menggunakan tongkat kiri untuk menahan tubuh, tangan kanan menangkis dengan senjata ular besi. Namun kembali terdengar jeritan Ci-keng disusul dengan suara nyaring jatuhnya pedang, rupanya pergelangan tangan Ci-keng kembali terkena pedang lagi. Serangan ini terlebih aneh daripada yang duluan tadi, sudah jelas jarak Siao-liong-li dengan Ci-keng sangat jauh, ketika dia menyerang In Kik-si dan Nimo Singh, tahu2 dia sempat pula melukai Ci-keng. "Hm, hebat benar ilmu pedang nona, biarlah akupun belajar kenal padamu," Jengek Siau-siang-cu sambil mendorong dengan tangan kirinya ke samping, kontan Ci-keng merasa ditolak oleh suatu tenaga raksasa dan jatuh terguling hingga beberapa meter jauhnya, untung Lwekangnya cukup kuat. Meski sudah terluka tiga tempat, tapi masih sanggup bertahan dan merangkak bangun, Dalam pada itu pentung Siau-siang-cu juga lantas menghantam ke arah Siao-liong-li. Si dogol Be Kong-co selalu bersimpatik kepada Nyo Ko dan Siao-liong-li, kiai iapun merasa tidak adil melihat Siao-liong-li diserang In Kik-si dan Siau-siang-cu pula. Segera ia berteriak. "Huh, tidak tahu malu, beberapa tokoh Bu-lim mengerubut seorang nona cilik!" Sudah tentu Siau-siang-cu dan In Kik-si merasa jengah, biarpun mereka tidak ambil pusing urusan harga diri segala, tapi biasanya merekapun cukup angkuh, jangankan main keroyok, sekalipun satu lawan satu juga mereka kurang terhormat berkelahi dengan seorang nona muda. Tapi sekarang menyadari pasti bukan tandingan ilmu pedang Siao-liong-li yang ajaib itu jika cuma mengandalkan kepandaian seorang saja, maka mereka pura2 tidak tahu saja atas olok2 Be Kong-co itu, diam2 mereka mengomel dalam hati terhadap si dogol yang malah - membela orang luar daripada kawan sendiri Mereka tidak berani lagi meremehkan Siao-liong-li, mereka pikir kalau berlangsung lama, mungkin ilmu pedang Siao-liong-li itu akan dapat ditemukan titik kelemahannya. Karena itu mereka lantas memainkan segenap kepandaian untuk menjaga diri, senjata mereka berputar sedemikian kencang sehingga yang terlihat hanya selapis kabut belaka, yang mengelilingi tubuh mereka. Siao-liong-li memandang tenang ketiga orang itu, pikirnya. "Aku tiada permusuhan apa2 dengan kalian, siapa ingin bergebrak dengan kalian?" Dilihatnya Ci-keng sedang mengkeret ke sana dan hendak mengeluyur pergi, segera ia melangkah maju. Tapi Nimo Singh dan Siau-siang-cu lantas mengalanginya dengan rapat. "Kalian mau menyingkir tidak?" Bentak Siao-liong-li dengan mendongkol. "Tidak mau! Apa kemampuanmu keluarkan saja semua!" Tantang Nimo Singh yang berangasan itu. Karena kedua kakinya buntung atas jarum berbisa Li Bok-chiu dan Nyo Ko, ia tahu Nyo Ko adalah kekasih Siao-liong-li, maka rasa dendamnya itu sebisanya akan dilampiaskan atas diri Siao-Iiong-li, maka pikirannya sekarang berbeda dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si, ia sudah nekad, kalau perlu hendak mengadu jiwa dengan Siao-liong-li. Sama sekali Siao-liong-li tidak menjadi marah, dilihatnya Ci-keng sudah kabur ke ruangan belakang, ia mencoba memburu, tapi dirintangi lagi oleh Nimo Singh dan Siau-siang-cu. Watak Siao-liong-li adalah pendiam dan sabar, urusan apapun tidak pernah membuatnya gelisah atau ter-buru2, seperti halnya pengejarannya kepada ln Ci-peng dan Tio Ci-keng yang berlangsung bulanan dan tetap hanya dikuntit belaka, sekarang iapun tetap sabar saja, ia biarkan ketiga lawannya memutar senjata sekencangnya, ia sendiri malah menonton belaka seperti tiada terjadi apa2. Orang pertama yang tidak tahan lagi adalah Nimo Singh, sambil meraung ia terus menerjang maju dengan senjata ular besinya. Tapi sekali dia mulai menyerang, segera tempatnya menjadi luang, ketika Siao-liong-li putar pedangnya, cepat Nimo Sing menangkis dengan tongkatnya sambil melompat mundur. Namun begitu bahunya sudah terasa sakit, waktu ia mengamati kiranya baju di bagian bahu kiri ada lima lubang kecil, darah segar tampak me-rembes dari situ. Sekali menyerang tidak berhasil dan berbalik ia sendiri malah terluka, tentu saja Nimo Singh sangat penasaran, tapi juga tambah jeri, ia tidak berani lagi sembarangan bertindak. Mereka hanya berdiri di tempatnya sambil memutar senjatanya. Siao-liong-li tetap berdiri di tengah dan tenang2 saja menghadapi ketiga lawan yang memutar senjatanya seperti kitiran itu, Lama2 Siau-siang-cu bertiga menjadi gemas karena si nona diam saja tidak melayani mereka. Tidak lama kemudian, tiba2- In Kik-si mendapat akal, ia berseru. "Siau-heng dan saudara Singh, marilah kita mendesak maju dengan pelahan." Nimo Singh dan Siau-siang-cu tidak paham maksud sang kawan, tapi mereka kenal In Kik-si sebagai saudagar besar negeri Persi, pengalamannya luas dan pengetahuannya tinggi, cerdik dan pintar pula, maka mereka percaya tujuannya pasti bagus, segera mereka menurut dan melangkah maju satu tindak. Berbareng In Kik-si juga melangkah maju-sambil memutar senjatanya tanpa peluang sedikitpun. Habis itu, setelah merasa pertahanan mereka tetap rapat dan kuat, lalu In Kik-si menyerukan kawan2nya melangkah maju lagi setindak. Baru sekarang Nimo Singh dan Siau-siangcu melihat jelas bahwa lingkaran kepungan mereka terhadap Siao liong-li sudah semakin ciut. walaupun begitu mereka tikak berani menyerang melainkan cuma bertahan saja, mereka putar senjata dengan kencang hingga mirip tembok baja yang tak tertembuskan dan sebentar2 lantas mendesak maju lagi selangkah. Melihat musuh semakin mendesak maju, lama2 dirinya tentu akan tergencet mati di tengah, mau tak-mau Siao-liong-li harus bertindak, mendadak kedua pedangnya menusuk ber-ulang2, terdengar suara "trang-tring" Yang ramai, setiap tusukannya selalu terbentur senjata lawan. Beberapa puluh kali ia menyerang dan selalu tertangkis oleh lawan, sementara itu ketiga orang itu telah melangkah maju pula. Siao-liong-li menjadi rada tak sabar waktu ia melangkah mundur, terasa kakinya tersandung sesuatu dan tergeliat, untung Siau-siang-cu bertiga cuma bertahan saja dan tidak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, kalau tidak tentu Siao liong-li bisa celaka. Di lantai banyak berserakan senjata2 para Tosu yang terjatuh tadi, karena kesandungnya itu, tiba2 timbul pikiran Siao1iong-Ii untuk memanfaatkan senjata itu untuk membobolkan pertahanan ketiga musuh. Karena pikiran itu, sedikit ia menggeser ke kanan, segera kaki kiri mencukil sebatang pedang yang jatuh di lantai itu, secepat kilat pedang itu menyamber ke arah Nimo Singh, menyusul kaki Siao-liong-li yang lain mencukit pula dan sebatang pedang menyamber. lagi ke muka Siau-siang-cu dan begitu seterusnya hingga belasan pedang dia hamburkan ke arah lawan. Beberapa pedang yang menyamber tiba itu da-pit ditangkis Nimo Singh dan kawannya hingga terbang balik ke arah Siao-liong-li, tapi sekali sampuk dengan pedangnya, pedang tak bertuan itu kembali menyamber ke arah In Kik-si. Begitulah terjadi hujan pedang, keruan Siau-siang-cu bertiga menjadi kelabakan, semula mereka masih dapat menyampuk dan menangkis pedang yang menyamber tiba, tapi makin lama, makin cepat datangnya pedang2 itu hingga mereka dibikin kerepotan Suatu ketika In Kik-si sedang menangkis sebatang pedang yang menyelonong ke mukanya, tahu2 pedang yang lain menyamber tiba pula ke perutnya, supaya perutnya tidak tertembus, terpaksa In Kik-si melompat mundur ke samping, Dan karena inilah pertahanan mereka lantas bobol, peluang itu segera digunakan oleh Siao-Iiong-li untuk menyelinap ke ruangan belakang. Ginkang Siao-liong-li jauh lebih tinggi daripada Siau-siang-cu bertiga, begitu dia sudah lepas dari rintangan, secepat terbang ia terus mengejar ke arah larinya Tio Ci-keng tadi. Seketika Siau siang-cu bertiga masih sibuk melayani berpuluh senjata yg dihamburkan Siao-Iiong-Ii tadi, sesudah senjata2 itu dipukul jatuh barulah mereka dapat berhenti. Sejenak kemudian dan belakang sana terdengar kumandangnya suara benturan senjata, dari suara menderingnya senjata itu jelas Siao liong li telah ke-pergok Kim lun Hoat-ong dan sudah mulai bertempur. Sebenarnya ketiga orang itu sudah jeri menghadapi Siao-Iiong-li, kini mereka lantas mendapat angin lagi karena Kim-lun Hoat-ong juga sudah tiba, Segera ln Kik-si berseru. "Marilah kita susul kesana." Segera ia mendahului berlari ke belakang di susul oleh Siau-siang-cu dan Nimo Singh serta para Busu Mongol. Semua orang hanya pandang Siao-liong-li sebagai musuh satu2nya sehingga tidak menaruh perhatian lagi kepada para Tosu Coan cin-kau, Maka setelah semua musuh sudah pergi, Ci-peng, Ci-siang dan lain2 lantas saling tolong melepaskan tali ikatan serta menjemput pedang masing2, berbondong-bondong merekapun cepat menyusul kebelakang. Begitu rombongan Siau-siang-cu sampai di depan Giok-hi-tong, tertampaklah bayangan roda berkelebatan dan cahaya pedang berseliweran, suara geraman Kim-lun Hoat-ong terdengar menggelegar sedangkan Siao-liong-li dengan baju putihnya tampak lemah gemulai, kedua orang sedang bertempur dalam jarak jauh. Sementara itu rombongan In Ci-peng juga sudah menyusul tiba, melihat mulut gua Giokhi tong sudah tersumbat batu, nasib kelima guru mereka tak diketahui, tentu saja mereka kuatir. Be-ramai2 mereka mendekati mulut gua, tapi mereka lantas dicegat oleh Darba dan Hotu, hanya beberapa gebrakan saja para Tosu Coan-cin-kau itu sudah didesak mundur. "Suhu, Suhu! Baikkah engkau!" Seru Ci-heng kuatir se-akan2 orang hendak menangis. Ci-peng pikir kepandaian kelima guru dan paman guru cukup lihay dan tidak mudah dikurung begitu saja oleh musuh, mungkin sekali semadi mereka sedang memuncak sehingga tidak sempat mengurus apa yang terjadi di luar gua ini, sekarang Ci-heng berteriak2, jangan2 malah akan mengacaukan pikiran orang2 tua itu. Maka cepat ia memberikan tanda kepada Ong Ci-heng agar jangan bersuara lagi. Ci-heng lantas menyadari hal itu, cepat ia membangunkan Song Tek-hong yang menggeletak di samping gua sana, melihat lukanya cukup parah, lekas ia memberi pertolongan seperlunya. pertarungan Kim-lun Hoat-ong dan Siao-liong-li sedang berlangsung dengan sengitnya, namun Hoat-ong tampak lebih banyak berjaga daripada menyerang, cuma setiap diserang beberapa kali iapun balas menyerang satu kali, kelima rodanya yang ber-beda2 daya tekanannya itu memaksa Siaoliongli tak berani terlalu mendekat. Melihat pertempuran dahsyat itu, diam2 Siau-sian-g-cu bertiga merasa kagum dan juga iri, mau-tak-mau merekapun mengakui kalau Kim-lun Hoat-ong memang pantas diangkat menjadi jago nomor satu di negeri Mongol. Semula mereka bermaksud membantu Hoat-ong, tapi demi teringat gelar "jago nomor satu", karena rasa iri hati, seketika mereka tidak jadi membantu Hoat ong. Padahal meski tampaknya Hoat-ong dapat balas menyerang dengan hebat, tapi sebenarnya dalam hati dia mengeluh. Cara Siao-liong-li seorang memainkan dua pedang ternyata lebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Nyo Ko. Kim-lun Hoat-ong adalah seorang tokoh berbakat ilmu silat yang sukar dicari bandingannya, sejak dia dikalahkan gabungan Nyo Ko dan Siao-liong-li, senantiasa ia berusaha memecahkan cara mengatasi ilmu pedang kedua muda-mudi itu. Kebetulan di sini ia pergoki Siao-liong-li dalang sendirian tanpa didampingi Nyo Ko, tentu saja ia bergirang, ia pikir jika Siao-liong-li dibinasakan maka selanjutnya dia takkan ada tandingan lagi, siapa tahu setelah bergebrak barulah ia merasakan ilmu pedang Siao-liong-li sendirian justeru terlebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Nyo Ko. Sebab itulah baru beberapa puluh jurus saja keadaan Hoat-ong sudah terdesak dan ber-ulang2 hampir termakan oleh pedang lawan, terpaksa ia tak berani main timpuk dengan roda lagi, ia tarik kembali rodanya satu persatu sehingga akhirnya dia cuma berjaga diri saja dan tidak menyerang, serupa dengan Siau-siang-cu bertiga tadi. Pertarungan mereka semakin sengit dan cepat luar biasa, sekalipun tokoh2 macam Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 juga sukar mengikutinya. Di tengah bayangan putih dan kelebat cahaya beraneka warna kelima roda Kim-lun Hoat-ong itu, se-konyong2 Nimo Singh merasa mukanya sakit sedikit seperti digigit nyamuk, ia terkejut dan coba meraba muka sendiri, terasa tidak apa2, tapi pada jari tangan yang meraba itu ada setitik darah segar. ia melengak, segera dilihatnya pula badan ln Kik-si juga terciprat dua-tiga titik darah, baru sekarang ia tahu di antara kedua orang yang sedang bertempur itu ada yang terluka. Selang tak lama pakaian Siao-liong-li yang putih itu tampak penuh oleh bintik2 merah darah sehingga seperti lukisan di atas kain sutera putih. "Hah, perempuan siluman itu sudah terluka," Ojar Nimo Singh dengan gembira. Di antara berkelebatnya sinar pedang segera terdengar pula suara geraman Hoat-ong yang tertahan. Siau-siang-cu lantas menanggapi ucapan Nimo Singh tadi. "Tidak, Hwesio gede itu yang terluka!" Setelah berpikir, Nimo Singh percaya ucapan Siau-siang-cu itu memang tidak salah, darah segar itu memang terciprat dari tubuh Hoat-ong ke baju Siao-liong-li. ia menjadi kuatir kalau Hoat-ong sampai terbunuh, tentu sukar lagi untuk mengatasi Siao-liong-li, cepat ia berseru. "ln-heng dan Siau-heng, dari kita maju sekalian." - Sambil memutar senjata ular besi pelahan2 ia lantas raerunduk ke belakang Siao-liong-li. Melihat gelagat jelek, mau tak-mau Siau-siang-cu dan In Kik-si harus bertindak juga, segera merekapun menerjang maju dari kanan dan kiri. Keadaan lantas berubah seketika, betapapun tinggi kepandaian Siao-liong-li juga tidak dapat menahan serentak keempat tokoh kelas wahid itu, sekalipun yang menghadapi mereka adalah Ciu Pek-thong, Ui Yok-su atau Kwe Cing juga sukar seorang melawan empat tokoh sehebat itu. Hoat-ong sudah terluka dua kali, tapi tidak mengenai tempat yang mematikan apalagi sekarang kedatangan bala bantuan, hatinya menjadi lega dan serangannya segera bertambah gencar, kalau tadi dia cuma bertahan saja, sekarang ia berebut menyerang bersama ketiga kawannya. Pertarungan dahsyat ini membuat para Tosu Coan-cin-kau dan kawanan Busu Mongol ikut berdebar, be-ratus pasang mata sama tertuju ke tengah kalangan tempur, pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh yang dahsyat disertai berhamburnya batu pasir dan debu, berpuluh potong batu besar yang tadinya menyumbat mulut gua Giok-hi tong itu telah runtuh, lima Tosu berjubah kuning tampak melangkah keluar dari gua, mereka adalah Khu Ju-ki berlima. Dengan girang In Ci-peng, Li Ci-siang dan lain lantas memapak maju dan berseru. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Suhu!" Darba dan Hotu terkejut, mulut gua itu tersumbat batu besar sebanyak itu, mengapa bisa dibobolkan seketika. Cepat mereka menerjang maju dengan senjata masing2. Mendadak Khu Ju-ki berlima mengelak ke samping, serentak sepuluh tangan mereka bergerak dan menahan di punggung Darba dan Hotu, begitu terpegang terus di dorong, kontan kedua orang itu dilemparkan ke dalam Giok-hi-tong. Padahal kepandaian Darba dan Hotu seimbang dengan Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian, walaupun lebih rendah daripada Khu Ju-ki dan Ong Ju - it, tapi juga tidak kecundang hanya dalam satu kali gebrak saja. Rupanya selama kelima tokoh Coan cin-kau itu bertapa di dalam Giok-hi-tong untuk mencari ilmu cara mengalahkan Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, selama itu mereka harus memeras otak dan merenungkan titik2 kelemahan ilmu silat Ko-bong-pay itu, namun apa yang pernah mereka lihat dari permainan Nyo Ko dan Siao - liong - li itu ternyata teramat hebat, setiap jurusnya se-akan2 merupakan maut bagi ilmu silat Coan-cin-pay, jadi tidak mungkin di temukan lubang kelemahannya. Tapi akhirnya Khu Ju-ki menemukan satu jalan, kalau kalah dalam hal kebagusan jurus serangan, kelemahan ini harus ditambal dengan tenaga gabungan lima orang. Maka langkah pertama yang mereka latih adalah cara menyerang musuh secara serentak dengan tenaga gabungan mereka. Karena menyadari di antara anak murid Coan-cin-kau sekarang tiada tokoh yang menonjol, hanya dengan tenaga orang banyaklah mungkin bisa bertahan, maka selama lebih sebulan ini mereka berhasil menciptakan satu jurus yang disebut "Pek-joan-hui-hay" (beratus sungai mengalir ke laut) Waktu Kim-lun Hoat-ong bersama kawanan Busu Mongol menyumbat gua, jurus Pek-joan-hui-hay itu sedang terlatih sampai titik yang menentukan dalam keadaan begitu sedikitpun pikiran mereka tidak boleh terpencar, karena itulah meski tahu jelas musuh sedang menyerang, terpaksa mereka tidak menggubris. Baru sesudah latihan mereka telah sampai pada puncaknya, segala sesuatu sudah lancar, mendadak barulah mereka membobol mulut gua dan keluar, Cuma sayang, karena ter-buru2 menghadapi musuh, kekuatan ilmu mereka itu baru mencapai delapan bagian saja, walaupun begitu juga Darba dan Hotu tidak dapat menahannya, mereka kena dilemparkan ke dalam gua dan terbanting semaput Waktu Khu Ju-ki memandang ke sana, ter-tampak Kim-lun Hoat-ong berempat sedang mengerubuti Siao-liong-li. Hanya sebentar saja mereka mengikuti pertarungan itu, segera mereka saling pandang dengan wajah pucat dan semangat lesu, pikir mereka. "Sungguh celaka, kiranya ilmu silat Ko-bong-pay sedemikian bagusnya, untuk mengalahkannya jelas tiada harapan selama hidup ini." Kepandaian Kim-lun Hoat-ong berempat jauh lebih tinggi daripada kelima tokoh utama Coan-cin kau ini, menurut penilaian Khu Ju-ki, kalau mendiang gurunya masih hidup tentu dapat mengungguli mereka, Ciu-susiok (maksudnya Ciu Pek-thong) mungkin juga lebih tinggi setingkat daripada mereka tapi kalau sekaligus dikeroyok empat orang ini, besal kemungkinan juga sukar menandingi mereka. Dalam pada itu pertarungan di tengah kalangan telah berubah lagi keadaan nya, Siao-liong-li terus menyerang, tapi Kim-Iun Hoat-ong berempat bertahan dengan rapat dan jarang balas menyerang, namun setindak demi setindak mereka terus mendesak maju sehingga semakin tidak menguntungkan Siao-liong-Ii. Beberapakali Siao-liong-Ii bermaksud menjebol kepungan musuh, namun penjagaan Hoat-ong berempat sangat rapat, setiap kali selalu dipaksa mundur lagi, ia menyadari gelagat jelek, apalagi tenaga sendiri juga semakin berkurang setelah bertempur sekian lama, sedangkan Khu-Ju-ki berlima dilihatnya juga sudah berada di samping, kini di sekelilingnya adalah musuh semua, sedangkan ia cuma sendirian, jiwanya mungkin akan melayang di tempat orang Coan-cin-kau ini. Dalam keadaan demikian tiba2 terpikir olehnya. "Begini sudah nasibku, biarpun mati juga tidak perlu disayangkan lagi, Cuma... cuma dekat ajalku ini betapapun aku ingin dapat melihat muka Ko-ji untuk penghabisan kalinya. Dimanakah dia saat ini? Ah, besar kemungkinan dia sedang ber-mesra2an dengan nona Kwe, mereka tentu sedang dimabuk cinta, bisa jadi mereka sudah menikah, sebagai pengantin baru mana dia ingat kepada perempuan bernasib malang yang sedang dikerubut orang ini? Akan tetapi..." "Ah, tidak, tidak! Ko-ji pasti takkan begitu, sekalipun dia sudah menikah dengan nona Kwe juga pasti takkan melupakan daku, Asalkan aku dapat bertemu sekali lagi dengan dia, ya, asal dapat bertemu sekali lagi dengan dia..." Ketika dia meninggalkan Siang-yang dahuIu, dia sudah bertekad takkan menemui Nyo Ko lagi, tapi pada detik yang menentukan mati-hidupnya sekarang ini hatinya semakin rindu kepada Nyo Ko, dan begitu hatinya memikirkan Nyo Ko, seketika daya tempurnya menjadi lemah malah, Mestinya dia dapat memainkan dua pedang dengan cara yang berlainan dengan kedua tangan, sekarang pikirannya terganggu, permainan ilmu pedangnya menjadi rada kacau. Melihat perubahan serangan Siao-liong-li itu, semula Kim lun Hoat ong mengira si nona sengaja hendak menjebaknya. Tapi setelah beberapa jurus lagi dan tampaknya Siao-liong-li tidak menyadari kelemahannya sendiri itu, segera Hoat-ong melangkah maju, roda perak digunakan menjaga diri dan roda emas di tangan kanan terus menghantam ke batang pedang Siao-liong-li, Terdengarlah suara "trang" Yang keras, tahu2 pedang kiri si nona mencelat ke udara dan patah menjadi dua. Sungguh di luar dugaan Hoat-ong bahwa serangan percobaannya ini membawa hasil, menyusul roda perak di tangan lain terus mengepruk lagi ke depan, Dalam kagetnya lekas2 Siao-liong-li menenangkan diri "sret-sret-sret", kontan ia balas menusuk tiga kali, Tapi sekarang ia hanya menggunakan pedang tunggal, ilmu pedangnya sudah bukan lagi tandingan Kimlun Hoatong. Tentu saja keadaan ini dapat dilihat oleh Siau-siang cu bertiga, serentak tiga macam senjata merekapun menyerang sekaligus. Siao-liong-Ii hanya tersenyum hambar saja, kini dia tidak berusaha melawan lagi, sekilas dilihatnya di sebelah sana ada tetumbuhan bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya, Tiba2 terkekang olehnya dia bersama Nyo Ko berlatih Giok-Iisim-keng di semak2 bunga dahulu, Katanya di dalam hati. "Kalau aku tidak dapat bertemu lagi dengan Ko-ji, biarlah sebelum mati kukenangkan dia di dalam hati saja." Karena itu air mukanya berubah menjadi lembut, seketika ia tenggelam dalam lamunannya dengan tersenyum simpul. Dengan kepungan mereka yang semakin ciut, sekali serang mestinya Hoat-ong berempat dapat membinasakan Siao-liong-li, tapi mendadak mereka melihat sikap si nona sangat aneh, seperti lupa menghadapi musuh, Keruan Hoat-ong berempat terkesiap heran dan mengira lawan memasang sesuatu perangkap, ketika itu senjata mereka sudah terangkat dan seketika terhenti di tengah jalan, Tapi sesudah merandek sejenak, segera ular besi Nimo Singh menghantam pula ke depan. Se-konyong2 Nimo Singh merasa angin menyambar dari samping, ada orang menusukkan pedangnya, Cepat ia membaliki ular besinya untuk menangkis, tapi mengenai tempat kosong, tahu2 sesosok bayangan menyelinap lewat, kiranya In Ci-peng telah melompat ke depan Siao-liong-li serta menyodorkan pedangnya yang dipegang terbalik, jadi garan pedang dia sodorkan ke tangan si nona. Saat itu Siao-liong-li seperti orang linglung yang memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak kerungu, pertarungan sengit tadi sudah tak dipedulikan lagi, ketika mendadak terasa tangannya berpegang pedang lagi, sekenanya ia lantas menggenggam-nya, Melihat In Ci-peng mendadak menerobos ke tengah pertempuran antara kelima tokoh kelas wanid itu, tindakan ini sama saja seperti mencari kematian. Keruan para Tosu Coan-cin-kau sama menjerit kuatir. Dari gerakan tubuh Ci-peng segera Hoat-ong tahu ilmu silatnya tidak tinggi dia tidak ingin mencelakainya, segera ia menyodok bahu orang dengan sikunya hingga Ci-peng terdorong ke pinggir. Menyusul rodanya terus meagepruk pula ke muka Siao liong-li. Ci-peng tergetar ke samping, tapi ia menjadi kuatir melihat Siao-liong-li yang Iinglung itu terancam oleh hantaman roda Kim-lun Hoat-ong, kalau saja kena pasti nona itu hancur binasa. Tanpa pikir lagi ia lantas menubruk maju dan berseru. "Awas, nona Liong!" - ia mengadang di depannya dan menggunakan punggung sendiri untuk menyambut hantaman roda Hoatong itu. Betapa dahsyatnya hantaman roda Hoat-ong itu tidak perlu dijelaskan lagi, mana Ci-peng sanggup menahannya? "Blang", seketika tubuhnya terhuyung ke depan. sementara itu Siao-liong-li masih ter-mangu2 sambit memegangi pedang yang disodorkan Ci-peng tadi, maka Ci peng yang menyelonong, ke depan itu tepat menubruk ke ujung pedang itu sehingga menancap di dadanya. Siao - liong - li kaget, baru sekarang dia sadar bahwa jiwanya telah diselamatkan oleh Ci-peng, dilikatnya punggung Ci-peng terkena hantaman roda, dada tertusuk pedang pula, semuanya tempat yang mematikan, sesaat itu rasa dendam kesumatnya yang memenuhi dada serentak berubah menjadi rasa kasihan, katanya dengan suara tersebut. "Perlu apa kau bertindak begini?" Jiwa In Ci-peng sudah hampir tamat, ia menjadi kegirangan luar biasa ketika mendengar kata. "Perlu apa kau bertindak demikian? yang diucapkan Siao-liong-li itu, dengan suara lemah ia menjawab. "Nona Liong, aku bersalah kepadamu, dosaku tak terampunkan, apakah kau dapat memaafkan diriku?" Siao-liong-li melenggong sejenak, teringat apa yang dibicarakan antara Ci-peng dan Ci-keng di tempat Kwe Cing itu, sekilas timbul pikirannya . "Sebabnya Ko-ji hendak meninggalkan aku dan bertekad menikah dengan nona Kwe, tentu disebabkan dia mengetahui aku pernah dinodai oleh Tosu ini." Teringat akan hal ini, dari rasa kasihannya tadi seketika berubah menjadi dendam dan benci, rasa gusarnya lantas memuncak lagi, tanpa bicara pedangnya terus menikam ke dada Ci-peng. Khu Ju-ki menyaksikan Ci-peng tertusuk pedang Siao-liong-li, tapi ia tak sempat menolongnya, Sekarang dilihatnya Siao-liong-li menusuk muridnya itu untuk kedua kalinya, tanpa pikir ia terus melompat maju tangan kiri menyampuk pergelangan tangan si nona yang sedang menusuk itu, tangan lain terus mencengkeram ke mukanya pula. Karena tidak terduga tangan Siao-liong-Ii ter-sampuk sehingga pedangnya mencelat ke samping, tapi betapa cepatnya, belum pedang jatuh ke tanah sudah dapat disambernya kembali, berbareng itu iapun dapat mengelakkan serangan Khu Ju-ki, pada saat lain pedangnya juga lantas mengancam dada Khu Juki. Pada saat itu juga terdengar In Ci-peng menjerit keras, lalu roboh dengan dada berlumuran darah. sementara itu pedang Siao-liong-li yang lain juga lantas menusuk ke perut Khu Ju-ki. Sekaligus diserang dengan dua pedang, betapapun hebat kepandaian Khu Ju-ki juga kerepotan dan sukar menangkisnya. Syukur Ong Juit dan lain2 lantai menubruk maju untuk membantu, dengan demikian Kim-lun Hoat-ong berempat berbalik terdesak keluar kalangan. Semula Hoat-ong rada heran melihat tokoh2 Coan-cin-kau itu melabrak Siao-liong-li, tapi mengingat-hal ini sangat menguntungkan pihaknya, segera ia memberi tanda kepada kawan2nya, mereka sama mundur untuk menyaksikan pertarungan sengit itu. Betapapun hebat kepandaian kelima tokon Coan-cin- pay itu ternyata tidak lebih lihay daripada ilmu pedang Siao liong li, jurus "Pek joan-hui-hay" Hasil pemikiran mereka selama sebulan ini ternyata tidak sempat dikeluarkan mereka. sebaliknya dalam sekejap saja Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian malah kena dilukai, namun mereka masih terus bertempur mati2an. Scjenak kemudian. "cret" Bahu Sun Put-ji juga terluka oleh pedang Siao-liong-Ii, habis itu malahan mata kiri Ong Ju-it juga kena dilukai. Lima tokoh Coan-cin-pay kini sudah terluka empat, kalah-menang sudah jelas kelihatan. Dengan tertawa Kim lun Hoat-ong lantas berseru. "Para To-heng silakan mundur saja, biar kubereskan Suu-yati-li (perempuan siluman cilik) ini," Segera Hoat-ong memberi tanda kepada kawannya, serentak mereka mengerubut maju dengan senjata masing2. Maka jadilah kini sembilan tokoh terkemuka mengeroyok seorang nona jelita. Begitu Hoat-ong berempat maju, segera Khu Ju-ki berlima terlepas dan tekanan pedang Siao liong-li, sambil berteriak mereka lantas berdiri sejajar sambil tangan berpegangan tangan, tenaga lima orang lantas dipersatukan untuk menggunakan jurus "Pek-joan-hui-hay" Itu. Jurus serangan ini memang lain daripada lain kekuatannya, cepat Siao-liong-li mengegos ke samping. "Blang", debu pasir bertebaran kiranya serangan Coan-cin-ngo-cu (lima tokoh Coan-cin) itu telah mengenai Nimo Singh sehingga terjungkal Sebagaimana diketahui, kedua kaki Nimo Singh buntung dan berdiri dengan tongkat menyerupai kaki palsu, dengan sendirinya bagian kaki itu tidak kuat dan tidak tahan oleh hantaman keras itu, Untung dia sempat mengelakkan tenaga pukulan dahsyat itu, meski terbanting jatuh, tapi tidak sampai terluka, segera ia dapat melompat bangun dian berkaok-kaok murka, segera ular besinya mengepruk ke kepala Lau Ju-hian, seketika terjadi pula pertempuran sengit Melihat Nimo Singh bertempur dengan Coan-cin-ngo-cu, segera kesempatan itu hendak digunakan Siao-liong-li untuk angkat kaki. Tapi sebelum ia melangkah pergi, tiba2 Kim-Iun Hoat-ong telah mengadangnya sambil berseru. Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo