Kembalinya Pendekar Rajawali 74
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 74
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung "Apakah paman Loh? marilah kita minum dan mengobrol" Hatinya ber-debar2, tapi juga sangat ingin melihat arwah halus Loh Yu ka. Tapi segera didengarnya seorang menegurnya. "Tengah malam buta kau main gila apa di sini? ibu mencari kau, lekas pulang!" Secepat itu pula seorang lantas menyelinap masuk, kiranya Kwe Hu adanya. Kwe Yang sangat kecewa, katanya. "Aku sedang memanggil arwah paman Loh untuk bertemu di sini, dengan gangguanmu ini mana dia mau datang lagi? Cici, silakan kau pulang dahulu, segera aku menyusul." "Kembali kau mengaco belo lagi, dalam benakmu yang kecil itu selalu berpikir hal2 yang tidak karuan. Mana bisa arwah Loh Yu-ka mau menemui kau?" "Biasanya dia sangat akrab denganku, apalagi sudah kusanggupi akan memberitahukan sesuatu padanya sudah kujanjikan akan kuberitahu pada hari ulang tahunku. Siapa tahu, dia tidak dapat menunggu lagi," Sampai di sini, anak dara itu menjadi berduka lagi. "Sekejap saja kau lantas menghilang, segera ibu menduga kau datang ke sini dan ternyata tepat dugaan ibu," Kata Kwe Hu. "Hm, se-nakal2nya monyet kecil macammu ini masakah dapat mengelabuhi perhitungan ibu? Kau benar2 teramat bandel, ibu sangat marah, coba kalau Hotu itu bersembunyi di sekitar sini, sedangkan tengah malam buta kau sendirian berada disini, kan sangat berbahaya?" Kwe Yang menghela napas, katanya "Aku terkenang kepada paman Loh sehingga tidak memikirkan bahaya lagi, O, Cici yang baik, temanilah duduk sebentar di sini, boleh jadi arwah paman Loh akan datang benar2 menemui aku. Cuma engkau jangan bersuara agar tidak mengejutkan dia." Biasanya Kwe Hu kurang menghormati Loh Yu-ka, menurut anggapannya bisanya Loh Yu-ka diangkat menjadi Pangcu adalah karena dukungan ibunya, maka ia pikir kalau betul arwah Loh Yu-ka akan datang juga tidak perlu ditakuti, iapun tahu watak kepala batu adiknya itu, sekali sudah menyatakan hendak menunggu di situ, maka sukar-lah disuruhnya pulang begitu saja kecuali kalau ayah-ibu datang sendiri dan mengomelinya. Maka ia lantas berduduk, katanya dengan gegetun. "Ji-moay, usiamu makin menanjak, tampaknya kau semakin ke-kanak2an. Tahun ini kau sudah 16 tahun, selang dua-tiga tahun lagi juga akan punya mertua, memangnya sesudah di rumah mertua kau juga akan angin2an seperti ini?" "Memangnya apa bedanya?" Ujar Kwe Yang. "Setelah kau menikah dengan Cihu (kakak ipar, suami kakak), bukankah kaupun tetap bebas merdeka seperti waktu masih gadis?" "He, mana boleh kau membandingkan Cihu-mu dengan orang Iain?" Jawab Kwe Hu dengan bangga. "Dia adalah ksatria sejati jaman kini, pengetahuan dan pandangannya sudah tentu jauh lebih daripada orang lain, dengan sendirinya dia takkan mengekang kebebasanku. Bakat seperti Cihumu itu jasanya jarang ada bandingannya di antara jago2 angkatan muda sekarang. Kelak kalau bakal suamimu ada setengah kepandaiannya saja, kukira ayah-ibu sudah cukup merasa puas." Mendengar ucapan sang Taci yang sombong itu, Kwe Yang balas mcncibir, katanya. "Sudah tentu Cihu adalah tokoh yang hebat, cuma aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada orang lain yang melebihi dia." "BoIeh lihat saja nanti kalau kau tidak percaya" Ujar Kwe Hu. "Aku justeru mempunyai seorang kenalan yaog berpuluh kali lebih hebat daripada Cihu," Kata Kwe Yang. Keruan Kwe Hu menjadi gusar, teriaknya. "Siapa dia? Hayo katakan lekas!" "Untuk apa kukatakan? Asalkan aku sendiri tahu di dalam hati saja, kan cukup?" Jawab Kwe Yang. "Huh, apakah kau maksudkan Li-samte? atau Ong Kiam bu? Atau Tio Si-kong?" Jengek Kwe Hu-Yang disebutnya itu adalah beberapa ksatria muda yang ganteng kenalan mereka. Namun Kwe Yang menggeleng, katanya. "Bukan, bukan! Memadai Cihu saja mereka tidak dapat, mana bisa dikatakan lebih hebat berpuluh kali daripada nya?" "Habis siapa?" Kwe Hu menegas-. "Ya, kecuali Gwakong kita, atau ayah dan ibu atau paman Cu Cu-liu dan beberapa ksatria angkatan tua," "Tidak, orang yang kumaksud itu justeru lebih muda daripada Cihu, wajahnya juga lebih cakap, sedangkan ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada Cihu, hakikatnya bedanya seperti langit dan bumi, sama sekali tak dapat dibandingkan...." Setiap kalimat diucapkan Kwe Yang, setiap kali pula disambut oleh Kwe Hu dengan mencemoohkan. "Cis, cis, cis!" Tapi Kwe Yang tidak peduli, ia menyambung pula. "Jika kau tidak mau percaya, ya terserah padamu, Pokoknya orang itu sangat baik budi, siapapun yang ada kesukaran, tak peduli kenal atau tidak selalu dia suka memberi pertolongan." Bicara sampai akhirnya, wajahnya yang cantik itu tampak memandang kesima ke depan seperti mengenangkan sesuatu yang sukar dilupakannya. Dengan gusar Kwe Hu lantas berkata. "Dalam benakmu yang kecil ini selalu berkhayal saja. Baik-lah, setelah matinya Loh Yu-ka, jabatan Pangcu menjadi lowong, tadi ibu mengatakan, mumpung para pahlawan berkumpul di sini, maka kesempatan ini sebaiknya digunakan mengadakan pemilihan Pangcu. Biarlah orang banyak ikut bertanding, siapa yang berkepandaian paling tinggi, dia yang diangkat menjadi Pangcu, dengan begitu persengketaan antara Ut-ih-pay (aliran baju kotor) dan Ceng-ih-pay (aliran baju bersih) dalam Kaypang dapat dihindarkan. Kalau orang yang kau anggap hebat itu benar2 lihay, nah boleh kau suruh dia maju dan bertanding dengan Cihumu untuk memperebutkan kedudukan Pangcu." "Hihi, belum tentu dia kepengin menjadi Pangcu kaum jembel begitu," Ujar Kwe Yang dengan tertawa. "Hm, kau berani meremehkan kedudukan Pang-cu?" Semprot Kwe Hu dengan marah. "Dahulu kedudukan itu pernah di jabat Ang Jit-kong, ibu kita juga pernah menjabatnya, masakah kau berani menghina Ang- lokongkong dan ibu?" "Baik aku pernah menghina beliau2 itu, kan kau sendiri yang bilang? Kau sendiripun tahu aku sangat akrab dengan paman Loh dan bergaul baik dengan kaum jembel lain," "Baiklah, boleh kau suruh pahlawanmu itu bertanding dengan Cihumu," Kata Kwe Hu pula. "Sementara ini para ksatria sama berkumpul di Siangyang, lihat saja nanti, siapa pahlawan dan siapa kerbau, sekali gebrak segera akan ketahuan." "Cici, bicaramu memang suka melamur tak genah, bilakah kubilang Cihu adalah kerbau? Kalau dia kerbau, bukankah engkaupun menjadi hewan? Padahal kita dilahirkan dari satu ibu, kan aku ikut kurang terhormat?" Kwe Hu menjadi serba runyam, ya dongkol dan geli, ia lantas berbangkit dan berkata. "Aku tidak ada waktu buat ribut dengan kau. Hayolah pulang, jangan2 nanti aku ikut didamprat" Kwe Yang bersifat lincah dan pintar bicara, biasanya memang suka adu mulut dengan sang Ta-ci, segera ia ber-olok2 pula. "Ai, engkau kan nyonya muda yang sudah menikah, biasanya ayah dan ibu juga paling sayang padamu, engkau juga isteri calon pangcu, siapakah gerangannya yang sudah makan "hati harimau sehingga berani mendamperat kau?" Mendengar adiknya menyebutnya "isteri calon Pangcu", hati Kwe Hu menjadi senang, katanya. "Sekian banyak kaum ksatria berkumpul di sini, siapa orangnya yang tidak ingin menjadi Pangcu? Cihumu juga belum tentu akan terpilih, sebaiknya kau jangan bicara muluk2 dahulu agar tidak ditertawakan orang." Kwe Yang termangu2 sejenak pula, dilihatnya bulan setengah bulat itu menghiasi cakrawala yang kelam, suasana sunyi sepi, katanya kemudian dengan gegetun. "Tampaknya arwah paman Loh takkan datang, Cici, mengapa begini cepat mengangkat Pangcu? pengganti paman Loh kan dapat ditunda sementara waktu agar kita dapat lebih lama mengenangkan jasa beliau." "Kembali kau bicara seperti anak kecil," Ujar Kwe Hu "Kay-pang adalah organisasi terbesar di dunia Kangouw, naga tanpa kepala, mana boleh jadi?" "Ibu bilang kapan akan diadakan pemilihan Pangcu?" Tanya Kwe Hu. "Tanggal 15 adalah hari pembukaan Eng-hiong-tay-hwe dengan acara utama bagaimana menghimpun para pahlawan dari segenap penjuru untuk bersama2 melawan Mongol. Musyawarah itu bisa berlangsung hingga lima enam hari atau bisa juga 8-9 hari. Jadi pemilihan ketua Kay-pang itu kukira baru dapat diselenggarakan pada tanggal 23 atau 24 nanti." "Ahhhh!" Kwe Yang bersuara tertahan "Ada apa?" Tanya Kwe Hu. "Tidak apa2," Jawab Kwe Yang. "Soalnya tanggal 24 adalah bertepatan dengan hari ulang tahun-ku, Karena kesibukan kalian dalam pemilihan pangcu itu, tentunya ibu menjadi tidak sempat merayakan hari ulang tahunku nanti." "Hahahaha!" Kwe Hu bergelak tertawa. "Cuma hari ulang tahun anak dara seperti kau ini memangnya begitu penting? Mana boleh kau anggap urusan penting pemilihan pangcu itu justeru mengganggu hari ulang tahunmu? Haha, kalau didengar orang bisa jadi gigi orang akan rontok menertawakanmu, Ai, mungkin di dunia ini hanya kau saja yang selalu ingat kepada urusan tetek bengek begitu?" Dengan muka merah padam Kwe Yang menjawab. "Umpama ayah tidak ingat ibu pasti ingat. kau bilang urusan tetek bengek, aku justeru bilang ini urusan penting, Sekali ini ulang tahunku genap berusia 16. kau tahu tidak?" Kwe Hu tambah geli dan ber-oIok2. "Ya, ya! Pada hari itu nanti, berpuluh ksatria dan pahlawan yang berada di Siangyang ini akan hadir memberi selamat kepada Kwe-jisiocia kita, setiap orang akan menyumbangkan kado padamu, sebab tahun ini Kwe-jisocia kita genap berusia 16 dan bukan lagi anak dara melainkan sudah nona besar, Hahahaha!" "Orang lain mungkin takkan ambil pusing, tapi paling sedikit ada seorang pahlawan besar pasti ingat kepada hari ulang tahunku, dia sudah berjanji akan datang menemui aku," Kata Kwe Yang dengan rasa bangga. "Ah, pahlawan besar apakah? Ya, tahulah aku, tentu pahlawan yang jauh lebih hebat daripada Cihumu itu," Ujar Kwe Hu. "lngin kukatakan padamu, pertama, di dunia ini hakikatnya tiada tokoh nomor satu begituan, hanya benakmu sendiri yang berkhayal seperti itu. Kedua, seumpama ada orang begitu, betapa banyak urusan penting yang harus dilakukannya, mana dia mau datang memberi selamat kepada anak dara seperti kau ini. Kecuali dia juga menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, kalau tidak masakah dia datang ke Siangyang ini." Hampir2 menangis Kwe Yang oleh olok2 sang taci, sambil banting2 kaki ia berseru. "Dia sudah berjanji padaku, dia sudah berjanji. Dia takkan menghadiri Eng-hiong tay-hwe dan juga tak ikut berebut pangcu segala." "Dia bukan Enghiong, dengan sendirinya ayah takkan mengirim Eng-hiong-tiap padanya," Kata Kwe Hu. "Sekalipun dia ingin menghadiri pertemuan besar ini kukira juga belum memenuhi syarat." Kwe Yang mengusap air matanya dengan sapu-tangan kecil, katanya. "Jika begitu akupun takkan hadir pada pertemuan kalian itu, masa-bodoh kalian hendak mengangkat Pangcu segala, betapapun ramainya juga aku takkan meiihatnya." "Aduh, jika Kwe-jisiocia kita tidak hadir, lalu bagaimana jadinya Eng-hiong-tay-hwe itu nanti?" Demikian Kwe Hu ber-olok2 pula. "Yang terpilih menjadi Pangcu nanti juga kurang gemilang, mana boleh kau tidak hadir." Sambil menutupi kedua telinganya Kwe Yang terus berlari keluar kelenteng, Tapi mendadak bayangan berkelebat tahu2 diambang pintu kelentertg telah berdiri seorang dan mengalang jalan keluarnya, keruan Kwe Yang kaget, cepat ia melompat mundur sehingga tidak bertubrukan dengan pengadang-nya itu. Di bawah cahaya bulan tertampak perawakan orang itu sangat jangkung, mukanya hitam, anehnya tubuh bagian atas ternyata sangat cekak, hanya bagian pinggang ke bawah yang teramat panjang. Setelah diawasi lebih teliti baru tahu jelas, rupanya kedua kaki orang itu buntung, kedua ketiaknya di sanggah dengan sepasang tongkat yang panjangnya-hampir dua meter, karena itulah lengan celananya menjadi bsrgoyang-gontai di bagian bawah, orang pendek memakai egrang sehingga menjadi orang jangkung. "He, kau, Nimo Singh!" Seru Kwe Hu terkejut. Kiranya orang ini memang betul Nimo Singh adanya. Sekali ini raja Mongol memimpin sendiri pasukannya ke selatan, maka segenap jago silat benua barat dan Mongol telah dikerahkan, setiap orang sama berharap dapat memamerkan kemahirannya dalam pertempuran nanti untuk mendapatkan pahala dan kedudukan. Meski kedua kaki Nimo Singh sudah buntung, tapi ilmu silatnya belum punah, selama gembleng belasan tahun itu, sepasang tongkat penyanggah tubuhnya itu dapat dimainkan terlebih lihay daripada sebelum buntung kakinya. Sementara ini pasukan Mongol masih ratusan li di utara Siangyang, tapi para pengintai yang terdiri dari jago2 silat pilihan seperti Nimo Singh dan lain2 sudah tiba lebih dulu di sekitar Siangyang. Malam ini maksudnya hendak menginap di kelentong Yo-tayhu ini tak terduga didengarnya percakapan Kwe Hu berdua, keruan ia menjadi kegirangan, ia tahu berhasilnya Siangyang dipertahankan sekian lama oleh kerajaan Song adalah berkat perjuangan Kwe Cing, kalau sekarang kedua puteri kesayangannya ini ditawan, andaikan tak dapat memaksa Kwe Cing menyerah, sedikitnya juga dapat mengacaukan semangatnya dan sungguh suatu jasa besar baginya bila dilaporkan kepada raja Mongol. Karena itulah ia lantas menjawab. "Eh, nona Kwe, sungguh bagus daya ingatanmu, ternyata kau tidak pangling padaku, Baiklah, supaya tidak membikin susah kedua pihak, silakan kalian ikut padaku saja." Gusar dan kuatir pula Kwe Hu, ia tahu ilmu silat orang Hindu ini sangat lihay, sekalipun dirinya kakak beradik maju sekaligus juga bukan tandingannya. Tanpa terasa ia melotot gusar pada Kwe Yang, pikirnya. "Semua ini gara2mu, coba cara bagaimana harus menghadapi bahaya di depan mata sekarang?" Sebaliknya Kwe Yang telah berkata pada Nimo Singh. "Eh, kenapa kedua kakimu itu begitu aneh? Sebelum buntung dahulu apakah juga sepanjang itu?" Nimo Singh hanya mendengus saja dan tidak menggubrisnya, tapi lantas berkata pula kepada Kwe Hu. "Kalian berjalan di depan, jangan sekali2 timbul pikiran hendak melarikan diri." - Nyata dia telah anggap kakak beradik itu sebagai tawanannya yang sudah berada dalam genggamannya. Kwe Yang lantas berkata pula. "He, cara bi-caramu ini sungguh aneh, tengah malam buta kau suruh kami kakak beradik pergi ke mana?" "Jangan banyak bicara, lekas ikut pergi!" Bentak Nimo Singh, ia kuatir kedatangan musuh yang kini banyak berkumpul Siangyang dan usahanya ini mungkin bisa gagal, maka ingin lekas2 pergi. "Jimoay, si cebol ini adalah jagoan pihak Mongol, kepandaiannya cukup lihay, marilah kita mengerubutnya dari kanan dan kiri," Bisik Kwe Hu kepada adiknya. Habis barkata. "sret", segera ia melolos pedang terus menusuk ke pinggang musuh. Kwe Yang tidak membawa senjata, ia lihat Nimo Singh tidak mempunyai kaki, bisanya berdiri adalah berkat tongkatnya saja, sekarang sang Taci menyerangnya, apakah dia bisa menangkisnya? Dasar hati Kwe Yang memang welas asih, maka ia berbalik berseru. "He, Cici, orang ini harus dikasihani jangan dilukai!" . Tak terduga, belum lenyap suaranya, mendadak Nimo Singh menyangga tubuhnya dengan tongkat kiri, tongkat kanan terus menyabet. "trang" Tongkat membentur pedang Kwe Hu dan memercikkan lelatu api dalam kegelapan, pedang Kwe Hu hampir saja terlepas dan cekalan. Seketika Kwe Hu merasa tangannya kesemutan dan dada sakit Cepat ia menggeser ke samping dan menyerang pula, ia mainkan "Wat-li-kiam hoat" Dan menempur Nimo Singh dengan sengit. Wat li-kiam hoat atau ilmu pedang gadis cantik diajarkan Kwe Cing kepada puterinya ini untuk mengenang salah seorang gurunya dari Kanglam-jit-koay, yaitu Han Siao-eng yang tewas secara mengenaskan di Mongol. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ilmu pedang ini mengutamakan kelincahan dan kegesitan, akan tetapi karena terbatas oleh tenaga, betapapun Kwe Hu memang bukan tandingan Nimo Singh. Melihat cara Nimo Singh menggunakan kedua tongkatnya dengan bergantian, yang satu digunakan menyangga tubuh, yang lain lantas digunakan menyerang, gerak geriknya cepat dan gesit tiada ubahnya seperti orang yang berkaki, apalagi kedua tongkatnya itu sangat panjang, dari atas menggempur ke bawah, daya serangannya menjadi lebih hebat, jelas sang Taci tidak sanggup melawannya, baru sekarang Kwe Yang merasa kuatir. Sesungguhnya kepandaian Nimo Singh memang jauh lebih tinggi daripada Kwe Hu, hanya kepandaian nona itu adalah ajaran Kwe Cing dan Ui Yong yang lihay, maka dapatlah Kwe Hu bertahan sekian lama, tapi dirasakannya tekanan tongkat musuh semakin berat sehingga sukar ditangkis lagi. Nampak kakaknya terdesak, tanpa pikir lagi Kwe Yang lantas menubruk maju dengan bertangan kosong. "Kena!" Mendadak Nimo Smgh berteriak tongkat kiri menutul lantai, tubuhnya mengapung ke atas, kedua tongkat digunakan sekaligus untuk menyerang, tongkat yang satu kena menutuk bahu kiri Kwe Yang, tongkat lain tepat menutuk Hiat to di dada Kwe Hu. Kwe Yang tergeliat sempoyongan dan mundur beberapa tindak. sedangkan Kwe Hu cukup berat ditutuk oleh tongkat lawan, ia tidak tahan dan "bluk", jatuh terduduk. Gesit luar biasa Nimo Singh, cepat lagi keji, begitu tongkatnya menutul pelahan, segera ia mendesak maju ke depan Kwe Hu sambil menjengek. "Nah, sudah kukatakan ikut saja padaku..." Di luar dugaannya, mendadak Kwe Hu sambil berseru. "Jimoay, lekas lari ke belakang!" Nimo Singh terkejut, sudah jelas Hiat-to di dada Kwe Hu kena ditutuknya dengan ujung tongkat, mengapa nona itu masih dapat bergerak dengan bebas? ia tidak tahu bahwa Kwe Hu memakai baju wasiat berduri landak (Nui-wi-kah) pemberian sang ibu, disangkanya keluarga Kwe punya ilmu kekebalan yang tidat mampu ditutuk dan tidak mempan dilukai. Padahal setelah terkena tutukan tongkat tadi, meski tidak beralangan apa2, namun rasa sakitnya juga tidak kepalang, dan kurang leluasa lagi buat bergerak. Tapi Kwe Yang lantas memainkan ilmu pukulan "Lok-eng-ciang-hoat" Dan melindungi di belakang sang Taci sambil berseru. "Cici, engkau saja lari lebih dulu!" Namun sebelum mereka angkat kaki, tahu2 Nimo Singh melayang lewat di atas mereka dan mengadang di depan Kwe Hu sambil membentak "jangan bergerak!" Kwe Yang menjadi gusar dan mendamperat. "Tadinya kau harus dikasihani tak tahunya kau begini jahat!" "Hahaha!" Nimo Singh bergelak tertawa. "Anak dara, rupanya kau belum kenal kelihayan kakek sebelum tahu rasa." Habis ini, kedua tongkatnya bergantian melangkah maju sehingga menerbitkan suara "tok-toktok" Yang keras, dengan muka menyeringai selangkah demi selangkah ia mendesak maju. Keruan Kwe Hu dan Kwe Yang melangkah mundur dengan ketakutan. Selama hidup Kwe Yang belum pernah melihat wajah orang sebengis ini, dilihatnya kedua mata Nimo Singh melotot, mukanya beringas dan muIutnya menyeringai iblis, tampak pula taringnya yang runcing putih, se-akan2 drakula yang akan menerkam dan menggigit lehernya, saking takutnya ia menjerit ngeri. Pada saat itulah tiba2 Kwe Yang mendengar suara halus berkata di belakangnya. "Jangan takut, serang dia dengan Am-gi (senjata rahasia)!" Dalam keadaan gawat begitu, tak berpikir lagi oleh Kwe Yang siapa yang bicara itu, segera ia meraba bajunya, tapi lantas disadarinya dia tidak membawa senjata apapun juga, katanya dengan cemas. "Aku tidak membawa Am-gi." Sementara itu Nimo Singh telah mendesak maju Iagi, ia menjadi bingung dan terpaksa kedua tangannya disodorkan ke depan dengan gaya membela diri. Tak terduga baru saja tangannya menjulur ke depan, se-konyong2 dari belakang se-akan2 ditiup serangkum angin, lengannya terasa tergetar pelahan, sepasang gelang untiran emas yang dipakainya itu tahu2 terlepas dari pergelangan tangannya dan melayang ke depan. "tring-tring", sepasang gelang emas itu membentur kedua tangan Nimo Singh. Tampaknya benturan itu sangat pelahan, tapi entah mengapa, Nimo Singh ternyata tidak sanggup memegangi lagi kedua tongkatnya dan mendadak ia terlempar keras ke belakang. "blang-blang" Dua kali kedua tongkat membentur dinding dan membikin debu pasir sama rontok. Karena tongkat penyangganya terlepas dari cekalan, tubuh Nimo Singh lantas jatuh, tapi si cebol ini memang lihay juga, baru punggungnya menempel lantai, sekali melejit, tahu2 ia meloncat lagi ke atas, sepuluh jarinya yang berkuku panjang tajam itu terus menubruk ke arah Kwe Yang. Dalam kagetnya tanpa pikir Kwe Yang cabut tusuk kundai kemala hijau yang dipakainya itu terus disambitkan ke depan, terasa angin meniup pula lari belakangnya, tusuk kundai itu disurung cepat ke depan. Melihat samberan tusuk kundai itu sangat aneh, cepat kedua telapak tangan Nimo Singh memapak ke depan, tapi terdengarlah dia bersuara tertahan, lalu jatuh terdukuk pula dan tidak bergerak lagi. Kuatir musuh main akal licik, cepat Kwe Yang melompat ke samping Kwe Hu dan berseru dengan-suara gemetar. "Cici, le.... lekas lari!" Tapi mereka melihat Nimo Singh tetap diam saja tanpa bergerak sedikitpun ditunggu lagi sejenak juga tetap begitu, Kwe Hu menjadi berani katanya. "Apakah dia kena penyakit angin duduk dan mati mendadak?" Segera ia membentak "Nimo Singh, kau main gila apa?" Kwe Hu pikir musuh sudah kehilangan tongkat dan tidak leluasa bergerak, tentunya tidak perlu ditakuti lagi, dengan pedang terhunus ia lantas mendekatinya. Dilihatnya kedua mata Ntmo Singh mendelik dengan penuh rasa ketakutan, mulut ternganga lebar ternyata sudah mati sejak tadi. Kejut, heran dan girang pula Kwe Hu, cepat ia menyulut lilin pada altar sembahyangan. "belum lagi ia sempat memeriksa lebih jauh, tiba2 terdengar suara orang berteriak di luar kelenteng. "Hu-moay Jimoay, apakah kalian berada di dalam kelenteng? Nyata itulah suaranya Yalu Ce. Dengan girang Kwe Hu lantas menjawab. "Lekas kemari, kakak Ce, sungguh kejadian sangat aneh!" Sejenak kemudian Yalu Ce berlari masuk dengan dua anggota Kay-pang berkantong enam, Iapun terkejut melihat Nimo Singh tewas menggeletak di situ, ia tahu ilmu silat Nimo Singh sangat tinggi, sekalipun dirinya juga bukan tandingannya, tapi kini jagoan Hindu itu ternyata bisa dibunuh oleh isterinya, sungguh sangat di luar dugaan. Segera ia mengambil tempat lilin dari tangan Kwe Hu dan mendekati Nimo Singh, setelah diperiksanya, ia tambah keheranan Ternyata kedua telapak tangan Nimo Singh sama berlubang, sebuah tusuk kundai kemala hijau tepat menancap pada Sin-ting-hiat di batok kepalanya. Padahal tusuk kondai kemala itu sangat mudah patah, namun dapat menembus telapak tangan seorang jago silat kenamaan dan dan sekaligus membinasakannya maka betapa lihay kepandaian pemakai tusuk kundai ini sungguh sukar diukur dan dibayangkan Yalu Ce lantas berpaling dan tanya Kwe Hu. "Apakah Gwakong datang ke sini? Lekas pertemukan aku dengan beliau." Kwe Hu menjadi heran, jawabnya. "Siapa yang bilang Gwakong datang ke sini?" "Bukan Gwakong?" Yalu Ce menegas, mendadak ia menjadi girang dan menambahkan "Aha, jika begitu Guruku yang datang!" Lalu ia memandang sekeliling situ, namun tidak dilihatnya sesuatu jejak Ciu Pek-thong, gurunya itu jenaka dan suka bergurau bisa jadi sengaja sembunyi untuk membuatnya kaget, Cepat ia berlari keluar kelenteng dan melompat ke wuwungan untuk memeriksa sekitar, namun tiada sesuatupun yang ditemukannya, terpaksa ia melompat turun kembali. "He, apa2an kau bilang Gwakong dan Suhu segala?" Tegur Kwe Hu dengan bingung. Yalu Ce lantas bertanya cara bagaimana mereka kepergok Nimo Singn dan mengapa orang itu bisa tewas begitu saja? Kwe Hu lantas menceritakan apa yang terjadi tadi, tentang tusuk kundai adiknya itu dapat menancap mati Nimo Singh, ia sendiripun tidak dapat menjelaskan. "Di belakang jimoay pasti ada seorang kosen yang membantu secara diam2," Ujar Yalu Ce. "Ku kira orang yang memiliki kepandaian setinggi ini jaman kini selain ayah mertua hanyalah Gwakong kita Uitocu, guruku, It-teng Taysu serta Kim-lun Hoat-ong saja berlima. Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu Mongol, tentunya dia takkan membunuh kawan sendiri, sedangkan It teng Taysu tidak sembarangan mau melanggar pantangan membunuh, maka kukira kalau bukan Gwakong tentulah guruku, Jimoay, coba jelaskan, siapakah gerangan orang yang membantumu itu?" Kelika menyambitkan tusuk kundainya tadi dan membinasakan Nimo Singh, Kwe Yang segera menoleh dan tidak melihat bayangan seorangpun, maka diam2 ia meresapi ucapan "jangan takut, serang dia dengan Am-gi", ia merasa suara itu sudah dikenalnya, ia menjadi sangsi apakah Nyo Ko adanya? Maka waktu ditanya Yalu Ce, seketika ia tak dapat menjawab karena dia masih kesima merenungkan suara itu. "He, kenapa kau, Jimoay?" Seru Kwe Hu sambil menarik lengan adiknya, ia kuatir jangan2 adiknya itu menjadi Iinglung karena kejadian yang menakutkan tadi. Tiba2 air muka Kwe Yang berubah menjadi merah dan menjawab. "O, tidak apa2." "Cihu bertanya padamu siapa yang membantu tadi, kau dengar tidak?" Kata Kwe Hu dengan mendongkol. "O, siapakah yang membantuku membinasakan orang jahat ini? Ah, sudah tentu dia! Kecuali dia siapa lagi yang memiliki kepandaian setinggi ini?" Kata Kwe Yang. "Dia? Dia siapa?" Kwe Hu menegas. "Apakah pahlawan besar yang kau katakan itu?" "O, tidak, tidak! Kumaksudkan arwah halus paman Loh," Jawab Kwe Yang cepat. "Cis!" Semprot Kwe Hu sambil mengipatkan tangan adiknya itu. "Memangnya apakah kau melihat sesuatu bayangan orang?" Kata Kwe Yang pula. "Pastilah paman Loh yang melindungi aku secara diam2. Kau tahu, semasa hidupnya paman Loh sangat karib denganku." Sudah tentu Kwe Hu menyangsikan cerita Kwe Yang itu, namun memang nyata tadi dirinya tidak melihat sesuatu bayangan orang dan tahu2 Nimo Singh sudah mati. Sementara itu Yalu Ce sedang memeriksa kedua tongkat Nimo Singh, katanya dengan gegetun. "Kepandaian sehebat ini, sungguh sangat mengagumkan." Waktu Kwe Hu dan Kwe Yang ikut meneliti, tertampak setiap tongkat itu terbingkai sebuah gelang emas untiran. Padahal gelang itu cuma terbuat dari untiran emas yang halus, tapi orang dapat mendorongnya dengan tenaga dalam yang dahsyat dan membentur jatuh kedua tongkat Nimo Singh, pantasIah kalau Yalu Ce merasa gegetun dan kagum tidak kepalang. "Marilah kita perlihatkan pada ibu, siapakah sebenarnya orang yang membantu jimoay secara diam2 itu, tentu ibu mengenalnya," Ujar Kwe Hu. Nimo Singh dan sepasang tongkatnya segera dibawa kedua anak murid Kay pang dan ikut Yalu Ce pulang ke kota. Ketika Kwe Cing dan Ui Yong mendengar cerita Kwe Hu dan membayangkan betapa berbahaya kejadian itu, mau tak-mau Kwe Cing terperanjat. Semula Kwe Yang menyangka keonaran yang diterbitkannya ini pasti akan mendapat persen damperatan, tapi Kwe Cing justeru gembira oleh keberanian dan tinggi budi puteri kecil yang menurunkan gaya sang ayah itu, ia tidak mendamperat, malah menghiburnya. Begitu pula demi nampak sang suami tidak gusar, maka Ui Yong segera saja merangkul puteri kecil itu dengan penuh sayangnya. Tapi kemudian setelah dilihatnya mayat Nimo Singh serta keadaan kedua tongkatnya, Ui Yong ter-menung2, kemudian ia baru tanya Kwe Cing. "Cing-toko, siapakah orangnya menurut kau?" "Tenaga dalam orang ini mengutamakan keras dan kuat, setahuku,selamanya hanya ada dua orang" Sahut Kwe Cing. "Ya, tapi guru berbudi kita Ang Jit-kong sudah lama wafat, pula bukan kau sendiri," Ujar Ui Yong. Ia coba menanya lebih jelas tentang kejadian di kelenteng itu, namun tetap tak bisa diterkanya. Sesudah Kwe Hu dan Kwe Yang kembali ke-kamar masing2, segera Ui Yong berkata lagi pada sang suami. "Cing-koko, kau tahu tidak puteri ke-dua kita ada apa2 yang membohongi kita." "Membohong? Membohong apa?" Tanya Kwe Cing heran. Nyata wataknya sangat sederhana dan jujur, maka tidak pernah ia mencurigai orang lain. "Sejak kembalinya dari utara mengantar kartu undangan," Demikian tutur Ui Yong. "seorang diri ia selalu ter-menung2, cara bicaranya malam ini juga sangat aneh." "Ia terkejut, sudah tentu pikirannya tidak tenang," Ujar Kwe Cing. "Bukan, bukan," Sahut Ui Yong. "la sebentar malu2 kucing, lain saat tersenyum kecil, itu sekali2 bukan karena terkejut,.tapi, dalam hatinya justeru merasa senang tak terkatakan." "Anak kecil mendadak mendapat bantuan orang kosen, sudah tentu akan terkejut serta kegirangan, apapun tak perlu dibuat heran," Kata Kwe Cing Iagi. Ui Yong tersenyum, ia tidak buka suara pula, tapi dalam hati ia berkata. "Perasaan anak perempuan yang dirundung asmara, waktu mudamu saja kau tak paham, sampai tua juga kau tetap tak mengerti!" Karena itu, lalu iapun belokkan pokok percakapan mereka tentang siasat2 yang harus digunakan, untuk menghadapi musuh serta acara2 penyambutan tamu dalam perjamuan ksatria besok.Habis itu masing2pun pergilah mengaso. Tapi di atas ranjang Ui Yong sukar pulas, sebentar2 ia terbayang oleh sikap puteri kecil yang aneh itu, pikirnya. "Pada waktu anak perempuan ini baru lahir lantas mengalami kesukaran, selama ini aku selalu berkuatir hidupnya akan banyak terjadi alangan, tapi syukurlah selama 16 tahun ini telah dilewatkan dengan selamat, apakah mungkin sekarang inilah bakal terjadi sesuatu atas dirinya?" Apabila teringat olehnya musuh sudah dekat, malapetaka yang akan datang bakal dihadapi oleh setiap penduduk kota, jika sebelumnya bisa diketahui, sedikit apa2 yang bakal terjadi juga ada gunanya untuk ber jaga2. Namun tabiat puteri kecil ini sangat aneh, apa yang tak ingin dikatakannya tetap tak dikatakan, betapapun orang tua membujuk dan mendamperatnya, ia tetap bungkam dalam seribut basa, dalam keadaan begitu orang tua jadi kewalahan. BegituIah makin dipikir perasaan Ui Yong semakin tak enak, diam2 ia berbangkit dan menuju ke pintu kota, ia suruh penjaga benteng membukakan pintu terus menuju ke kelcmeng Yo-tayhu di barat kota. Tatkala itu sudah jauh lewat tengah malam, bintang guram dan rembulan suram. Ui Yong keluarkan ilmu entengi tubuhnya yang tinggi berlari ke sana. Ketika dekat kelenteng Yo-tayhu itu, tiba2 terdengar di belakang tugu "Tui-lui pi ada suara percakapan orang, Lekas2 Ui Yong mendekam ke tanah dan merunduk maju pelahan, setelah beberapa tombak dari tugu itu, ia mengumpet di belakang pohon besar. Terdengar seorang berkata. "Sun-toako, In kong (tuan penolong) suruh kita menanti dibelakang Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata) ini. Sebab apakah tugu ini diberi nama yang begini menyedihkan, bukankah ini alamat jelek?" "lnkong agaknya selalu hidup kurang senang, oleh sebab itu bila mendengar nama2 tentang Tui-pi (mengucurkan air mata)," Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Yu-jiu" (bersedih) dan lain2 yang menyedihkan lantas mudah teringat akan nasibnya," Demikian sahut orang she Sun itu. "Ah, orang berkepandaian tinggi seperti Inkong, seharusnya tiada urusan sulit baginya," Ujar orang yang duluan. "Tapi kulihat wajahnya senantiasa bermuram durja. Tui-lui-pi" Ini mungkin sekali dia sendiri yang menamakannya." "ltulah bukan," Sahut orang she Sun. "Aku pernah mendengar cerita kuno bahwa kelenteng Yo-taybu ini didirikan orang di kaki bukit Hian, ini untuk memperingat seorang menteri bernama Yo Koh yang sangat cinta pada rakyat di daerah sekitar sini, maka telah didirikan pilar (atau tugu) sebagai tanda jasanya. Rakyat yang melihat pilar ini lantas ingat pada kebaikannya dan saking terharu banyak yang menangis, sebab itu pilar ini disebut Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata), Tan lakte, hidup manusia kalau bisa seperti Yo tayhu ini barulah boleh dikata seorang laki2 sejati." "lnkong selamanya membela keadilan di Kangouw hingga banyak dipuji orang, bila ia menjadi pembesar negeri di Siangyang, boleh jadi namanya akan lebih cemerlang daripada Yo tayhu nya orang she Tao." "Benar," Sahut si orang she Su. "malahan Kwe-tayhiap yang namanya terkenal diseluruh jagat memiliki kebaikan yang meliputi apa yang dipunyai Yo-tayhu dan Inkong kita." Mendengar kedua orang itu memuji suaminya, sudah tentu diam2 Ui Yong senang, tapi ia lantai berpikir juga. "Siapakah gerangannya Inkong (tuan penolong) yang mereka maksudkan itu? Apakah mungkin orang yang diam2 menolong Yang-ji itu?" Sementara itu terdengar si orang she Sun berkata pula. "Kita berdua dahulu bermusuhan dengan Inkong, tapi kemudian jiwa kita malah dia yang menolong. Caranya menghadapi musuh seperti kawan sendiri. sungguh boleh dikata melebihi Yo Koh, Yo-tayhu. Menurut cerita kuno, dijaman Sam Kok waktu itu, Yo Koh menjaga Siangyang dan bertempur melawan panglima Tang Go yang bernama Liok Gong, sewaktu Yo Koh menyerbu daerah Tang Go, waktu perlu memotong tanaman rakyat untuk rangsum pasukannya, ia berkeras mengganti kerugian penduduk setempat Waktu Liok Gong sakit, ia malah mengirim obat untuknya dan Liok Gong pun sama sekali tidak curiga terus mcminumnya, sesudah minum obat itu ternyata lantas sembuh sakitnya. Begitulah betapa tinggi martabat Yo Koh sebagai manusia, sampai musuh sekalipun sangat menghormati dan segan padanya," "Sewaktu Yo Koh meninggal, perwira dan tentara Tang Go yang menjadi musuhnya juga ikut menangis sedih, Caranya menaklukkan hati manusia berdasarkan kebajikan itulah baru benar2 disebut Enghiong (pahlawan sejati)." "He, Sun samko," Tiba2 si orang she Tan berseru. "kau sebut2 Yo Koh, bukankah nama ini sama suaranya dengan nama Inkong kita....." "Sssst, diam, ada orang datang!" Mendadak orang she Sun itu mendesis. Ui Yong terkejut, benar segera terdengar dari bawah bukit ada suara orang berlari mendatangi dalam hati iapun berpikir. "Nama yang sama suaranya dengan "Yo Koh",, apakah mungkin adalah Nyo Ko? Ah, tidak, tidak mungkin, Sungguhpun, ilmu silat Ko-ji banyak maju juga tak nanti meningkat sampai tarap yang susah diukur itu." .. Selang tak lama, orang yang datang itu tepuk2 tangan tiga kali, lantas orang she Sun itu membalas tepuk tangan, orang yang datang itu mendekati tugu Tui-lui-pi, lalu katanya. "Sun dan Tan berdua saudara, Inkong suruh kalian tak usah menunggunya lagi, Tapi disini ada dua kartu nama Inkong agar kalian berdua lekas mengirimkannya. Sun-samte mengirimkan kartu ini kepada Tio-lokunsu di Sin-yang, HoIam, Sedang Tan-lakte hendaklah mengirimkan kartu yang ini kepada Liong-ah Thauto di Oh-ah-san. Katakanlah pada mereka bahwa mereka berdua diminta berkumpul di sini dalam waktu sepuluh hari." Maka terdengarlah orang she Sun dan Tan itu menyahut dengan hormat dan menerima kartu undangan itu. Percakapan orang2 itu membikin Ui Yong semakin heran dan terkejut. Kiranya Tio-lokunsu atau si guru silat tua sho Tio yang disebut itu adalah keturunan lurus dari kerajaan Song, ilmu pukulan 32 jurus Tiang kun dan 18 jurus permainan toyanya sangatlah terkenal. Sedang Liong-ah Thauto atau si paderi berambut bisu dan tuli dari Oh-ah-san adalah jago silat pendaman yang sangat tersohor di daerah Ohlam. Cuma sejak kecilnya bisu dan tuli, meski ilmu silatnya sangat tinggi, namun selamanya tiada hubungan dengan orang luar. Karena adanya Eng-hiong-tay-hwe atau perjamuan besar kaum ksatria, Kwe Cing dan Ui Yong tahu kedua orang itu suka menyepi dan pasti tidak suka tampil ke dunia ramai, tapi untuk menghormati nama mereka, toh kartu undangan tetap dikirim, namun betul juga, kedua orang itu membalas dengan surat, dengan alasan halus mereka menolak untuk hadir. Tapi kini "lnkong" Yang disebut itu apakah benar2 begitu hebat hingga melulu berdasarkan secarik kartu namanya lantas kedua tokoh terpendam itu sudi datang dalam waktu 10 hari yang ditentukan? Demikian Ui Yong berpikir penuh tanda tanya. Tapi bila ia pikir pula, tiba2 ia menjadi kuatir. Besok perjamuan besar kaum ksatria sudah akan dibuka, kini ada seorang sedang mengumpulkan tokoh2 Kangouw ternama ke Siangyang, apakah tujuannya? jangan2 hendak membantu pihak Mongol? Namun bila mengingat watak Tio-lokunsu dan Liong-ah Thauto yang khas, agaknya bukanlah sebangsa manusia khianat, pula "lnkong" Yang disebut itu bila benar orang yang membantu Yang-ji membunuh Nimo Singh itu, maka jelas pula orang itu adalah kawan pihak sendiri. Begitulah selagi Ui Yong mengasah otak sendiri, sementara itu terdengar ketiga orang tadi sedang bisik2 pula sebentar, namun jaraknya sudah jauh, maka tak terdengar jelas, hanya sayup2 terdengar si orang she Tan itu bilang. "selamanya Inkong tak memberi tugas pada kita, sekali ini kita harus melakukannya dengan baik.... kita harus menaikkan pamornya... kado kita esok.... kata2 lain tak yang jelas. "Baiklah, sekarang juga kita berangkat, kau jangan kuatir, rencana Inkong pasti takkan kapiran," Demikian lantas terdengar si orang she Sun mengiakan. Habis itu, ke tiga orang lantas turun bukit dengan cepat. Sesudah orang pergi jauh, Ui Yong masuk kelenteng itu dan memeriksanya, tapi tiada sesuatu tanda2 aneh yang dilihatnya. Bangunan kelenteng itu sangat megah dan kuat tapi karena pasukan musuh telah mendekat, maka penghuninya sudah lama lari ke kota hingga tiada seorang pula. Sungguhpun Ui Yong orang pintar, tapi seketika juga bingung oleh orang yang disebut "lnkong" Atau tuan penolong itu, iapun tak ingin "mengeprak rumput mengejutkan ular" Dengan menangkap ke tiga orang itu untuk ditanyai, maka sampai fajar menyingsing, barulah ia kembali ke kota. Ketika sampai disimpang jalan dekat pintu barat kota, tiba2 dilihatnya ada dua penunggang kuda secepat terbang menyerempet lewat, cepat Ui Yong menyingkir kepinggir jalan, waktu diawasinya, ternyata kedua penunggang itu adalah laki2 kekar semua. Setiba disamping jalan itu, seorang memutar kuda ke barat-laut dan yang lain membalik ke barat-daya. Ketika hendak berpisah, terdengar seorang diantaranya berseru. "lnsat, jangan lupa bilang pada Thio-toagocu bahwa dalang, pesinden dan penabuh-nya harus dia sendiri yang membawanya dan pula jangan lupa membawa tukang pembuat bunga api!" "Ah, tak perlu kau mengingatkan aku terus menerus, kau sendiri disuruh pergi memanggil tukang isak yang kesohor itu, jika terlambat sehari, kau akan diomeli orang banyak," Sahut kawannya itu. Habis itu, cepat sekali kedua orang itu lantas berpisah. Perlahan Ui Yong masuk ke kota dalam hati ia tambah heran, nama Thio-toagocu (si selendang besar she Thio) sudah dikenalnya sebagai seorang berpengaruh di Hanggau, masakah ada seorang secara begitu mudah bisa memanggilnya datang, apakah ini juga suruhan "lngkong" Yang disebut itu. Mereka main secara besar2an, sebenarnya apakah maksudnya? BegituIah penuh tanda tanya dalam hati Ui Yong. Mendadak hatinya terkesiap, katanya. "Ya... ya, sekarang tahulah aku, pasti inilah sebabnya." Cepat ia kembali ke rumah serta menanyai sang suami. "Cing-koko, apakah tamu undangan kita ada yang ketinggalan dikirim kartu?" "Ketinggalan mengirimkan undangan?" Tanya Kwe Cing heran "Tapi kita sudah memeriksanya beruIang kali, rasanya tiada yang ketinggalan." "Memangnya akupun berpikir begitu," Ujar Ui Yong. "Karena kuatir ada yang ketinggalan tak di undang, maka orang gagah mana saja, walaupun tidak terlalu dikenal juga kita kirimkan kartunya. Tapi apa yang kulihat tadi jelas sekali ada seorang tokoh besar yang merasa sakit hati hingga akan mengadakan suatu perjamuan besar kaum ksatria untuk mengkonkireni kita." Namun Kwe Cing yang berjiwa luhur dan berhati terbuka, bukannya iri, sebaliknya ia girang, katanya. "Aha, itulah kebetulan jika ada seorang Enghiong yang bercita2 sama, itulah paling baik. Kita akan mendukung dia sebagai Bengcu (ketua perserikatan) dan biar dia memimpin para ksatria untuk melawan MongoI, kita sendiri tunduk pada perintahnya saja." Namun Ui Yong lantas mengkerut keningnya, katanya. "Tapi melihat tindak-tanduknya, tidak mirip hendak melawan musuh, ia telah kirim undangan kepada Tio-lokunsu di Sinyang, Liong-ah Thauto di Oh-ah-san, Thio-toagocu dan lain-lain lagi." Tapi Kwe Cing malahan bertambah girang, ia tepuk meja serta berseru. "Ha, jika orang ini sanggup mengundang Tio-lokunsu, Liongah Thauto dan Thio toagocu ke Siangyang, pasti kekuatan kita akan bertambah bcsar. Yong-ji, tokoh2 seperti itu, kita harus bersahabat baik2 dengan mereka." Namun Ui Yong tidak menyahut lagi, sementara itu petugas memberitahu bahwa tamu2 telah datang hingga terpaksa Kwe Cing dan Ui Yong sibuk menyambut. Saking sibuknya harus menyambut tetamu yang datang ber-bondong2 dari segala pelosok itu, terhadap pengalamannya semalam sementara tak sempat dipikirkan lagi oleh Ui Yong. Esok harinya adalah Eng-hiong-tay-hwe, pertemuan besar ksatria itu tidak kurang disediakan 400 meja perjamuan, komandan militer kota pemerintah Song, Lu Bun-hwan, telah menyuguh sendiri arak kehormatan kepada para ksatria atau pahlawan itu. Dalam perjamuan, ketika semua orang berbicara tentang keganasan serdadu Mongol yang membunuh rakyat dan merebut tanah airnya, semua orang merasa murka sekali, be-ramai2 semua orang akan bertempur matian melawan musuh -" Dan malam itu juga dengan suara bulat Kwe Cing dipilih sebagai Bengcu atau ketua perserikatan, semuanya bersumpah dengan darah dan berjanji melawan musuh hingga titik darah penghabisan. Di lain pihak sesudah hari itu Kwe Yang bertengkar dengan sang Taci di kelenteng Yo-taybu serta menyatakan takkan ikut hadiri perjamuan besar ksatria itu, betul juga ia tak menampakkan diri melainkan makan-minum sendirian dikamarnya, katanya pada dayang yang melayaninya. "Taci pergi menghadiri perjamuan ksatria itu, aku sendirian enak2 makan-niinum, masa kalah gembiranya daripada dia?" Kwe Cing dan Ui Yong sendiri lagi pusatkan pikiran untuk menghadapi musuh, sudah tentu mereka tak sempat menilik kelakuan anak dara yang lagi ngambek itu, Kwe Cing boleh dikatakan sama sekali tak tahu menahu. Ui Yong pernah juga menanyakan, tapi iapun tahu adat puteri kecil itu memang aneh, maka ia hanya ganda tersenyum saja. Dalam perjamuan besar itu kebanyakan para pahlawan adalah jago minum, sesudah banyak minum hingga pengaruh alkhohol sudah bekerja, lantas saja banyak yang lupa daratan, ada juga yang lantas memamerkan ilmu silat mereka sebagai selingan. Betapapun juga akhirnya Ui Yong terkenang pada puteri kecilnya itu, maka katanya pada Kwe Hu. "Coba kau pergi memanggil adikmu itu keluar untuk melihat keramaian ini, perjamuan seperti ini, selama hidup orang belum tentu dapat menyaksikannya satu kali." "Ah, aku justeru tak mau mengundangnya," Sahut Kwe Hu. "Adik memangnya lagi ngambek dan ingin mencari gara2 padaku, bukankah aku cari penyakit bila pergi kesana." "Biar aku saja menyeret Ji-ci kemari," Ujar Kwe Boh-lo. Lalu iapun berbangkit dan menuju kebelakang. Tapi tak lama Boh-lo telah kembali sendirian, belum lagi ia buka suara atau Kwe Hu sudah mendahului berkata. "Gimana? Aku kan sudah bilang ia takkan datang sekarang betul tidak?" Melihat wajah puteranya itu penuh rasa keheranan segera Ui Yong bertanya. "Apa yang dikatakan Ji-ci?" "Sungguh aneh, mak!" Sahut Boh-lo. "Sebab apa?" Tanya sang ibu. "Kata Ji-ci, di kamarnya sedang diadakan perjamuan kecil kaum ksatria, maka takkan menghadiri perjamuan besar ksatria ini!" Demikian Boh-lo menerangkan. Namun Ui Yong hanya tersenyum, katanya. "Ji-cimu itu memang suka berpikir yang tidak2, biarkanlah." "Mak, tapi di kamar Ji-ci benar2 ada tetamunya," Kata Kwe Bob-lo lagi. "Diantaranya lima laki2 dan dua wanita, semuanya lagi minum arak bersama Ji-ci." Dengar itu, mau tak-mau Ui Yong mengkerut kening, ia pikir anak dara ini makin lama semakin berani, masakah kamar seorang perawan memasukkan orang laki2 untuk makan-minum sesukanya? sungguh nama julukan Siau-tong-sia yang diberikan orang benar2 tidak salah. Tapi hari ini semua orang lagi bergembira, tidak pantas untuk soal sekecil ini puteri itu harus didamperat hingga menghilangkan kegembiraan semua orang. "Cobalah kau pergi mengundang teman2-adikmu itu agar minum arak ke ruangan besar ini, biar ramai2 bergembira bersama," Demikian katanya kepada Kwe Hu, Nyata ia mengira Boh-lo tak pandai menghadapi tamu, maka puteri sulung ini yang di suruhnya sekarang. Kwe Hu sendiri memang juga heran dan ingin mengetahui kamar adiknya itu kedatangan tamu siapakah, ia cukup kenal watak sang adik yang tak pedulikan adat perbedaan laki2 perempuan segala macam dan lapisan masyarakat suka bergaul, ia pikir teman yang lagi minum arak bersamanya itu tentu sebangsa orang2 tak keruan. Kini mendengar perintah sang ibu segera iapun berbangkit menuju ke kamar Kwe Yang. Ketika hampir dekat kamar adiknya itu, terdengarlah suara anak dara itu lagi berseru. "Hai, Gin-koh, suruhlah koki membawakan lagi dua guci arak!" Pelayan yang disebut itu menyahut sekali, lalu terdengar Kwe Yang menambahkan. "Dan pesan pula koki lekas masak dua paha kambing serta memotong 20 kati daging rebus yang hangat2." Maka pergilah pelayan menerima perintah itu. Kemudian terdengar suara seorang seperti bunyi gembreng pecah berkata pula. "Kwe-jikohnio (nona Kwe kedua) benar- bertangan sangat terbuka, sayang aku Jin-tu-cu tidak kenal sejak dulu, kalau tahu, sudah lama aku berkawan dengan kau." "Berkawan sekarang juga belum terlambat," Sahut Kwe Yang tertawa. Mendengar percakapan itu, Kwe Hu mengkerut kening, waktu ia mengintip melalui sela2 jendela, terlihatlah dalam kamar adiknya itu terletak sebuah meja pendek, delapan orang berduduk dilantai, diatas meja sendok-piring simpang siur tak ter-atur, perjamuan sedang berlangsung dengan meriahnya. Yang duduk menghadap kemari terlihat adalah seorang gemuk gede, simbar dada hingga bulu dadanya yang hitam lebat itu kelihatan, disebelah kirinya adalah seorang sastrawan berjenggot cabang tiga, pakaiannya rajin bersih. Dan sebelahnya lagi adalah seorang wanita setengah umur, cuma mukanya penuh codet bekas luka, sedikitnya berpuluh tempat. Dan yang duduk disebelahnya lagi adalah segarang thauto berambut memakai sebuah ikat rambut emas yang berkilau2, ia sedang menggerogoti sepotong ayam panggang dengan lahapnya. Sedang tiga orang lainnya duduk mungkur, maka tak jelas muka mereka, agaknya yang dua adalah kakek2 yang beruban rambutnya dan seorang lagi adalah Nikoh (paderi wanita) berbaju hitam. Kwe Yahg sendiri duduk diantara orang2 itu, wajahnya yang cantik itu sudah bersemu merah, suatu tanda pengaruh alkohol, tapi anak dara ini asyik beromong tak pernah diam, nyata sekali hatinya sangat bergembira. Tidak lama kemudian koki telah antarkan masakan yang diminta tadi, maka semuanya orang makan se-puas2nya pula, malahan yang minum dan makan paling banyak adalah si Nikoh berbaju hitam itu. Diam2 Kwe Hu pikir, melihat betapa gembiranya mereka, seumpama diundang keruangan besar di depan sana juga mereka tak mau pergi. Dalam pada itu terlihatlah seorang kakek2 beruban diantaranya telah berdiri, lalu berkata. "perjamuan ini rasanya sudah mencukupi delapan bagian, biarlah hari ini kita sampai di sini saja, kelak kalau hari ulang tahun nona, pasti kami akan makan minum lebih besar pula, Kini orang tua ada sedikit hadiah. harap saja nona Kwe jangan mencela!" Habis berkata, dikeluarkannya sebuah kotak terbungkus sutera dan diletakkan di meja. "Pek-cau-siao hadiah apakah yang kau berikan itu, hayolah perlihatkan." Segera kakek yang lain berteriak. Sembari berkata iapun ulur tangan membuka kotak itu sendiri. Tapi segera ia berseru tertahan. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ah, ini adalah "Jian-lian-swat-som" (Kolesom salju berumur ribuan tahun), dari mana kau memperolehnya?" - Lalu benda mestika itupun dijemputnya dan di-amat2i. Dari sela2 jendela dapatiah Kwe Hu melihat jelas kakek itu memegangi sebatang Jin-som seputih salju yang panjangnya kira2 satu kaki, bentuknya menyerupai benar anak orok, kepala, tubuh dan anggota badan semuanya lengkap, malahan kulitnyapun bersemu merah, sungguh semacam benda mestika yang sukar didapatkan saking kagumnya hingga semua orang ber-keplok2 memuji. Tampaknya kakek yang dipanggil Pek-cau sian atau Dewa Seratus Rumput itu menjadi senang, katanya. "Jian-lian-swat-som ini manjur menyembuhkan penyakit yang paling berat dan untuk memunahkan segala racun, boleh dikata khasiatnya dapat menghidupkan yang masti dan menyambung umur yang hidup. Bahwa nona hidup bahagia hingga berumur seabad, memangnya tak memerlukannya. Tunggu saja sampai hari ulang tahun seabad, ambil Jim som ini dan meminumnya agar nona panjang umur lagi seratus tahun, bukan kah sangat bagus." Semua orang bertepuk tangan sambil tertawa, mereka memuji kakek itu pandai mengucapkan kata2 pujian. Dalam pada itu orang gemuk gede yang bernama Jin-tuicu (si jagal orang) lantas mengeluarkan sebuah kotak besi juga, katanya dengan tertawa. "Nah, aku menghadiahi nona semacam mainan, hanya untuk bikin tertawa nona saja, tapi tak bisa dibandingkan dengan benda mestika hadiah Pek Cau-sian-ong tadi." Dan ketika kotak besi itu dijeplakkan, mendadak dari dalam kotak meloncat keluar dua Hwe-sio gemuk terbuat dari besi, panjangnya masing2 kira2 tujuh dim, lalu yang satu memukul dan yang lain menendang terus saling serang-menyerang. Betapa lucu boneka besi itu hingga semua orang tertawa geli, Ternyata dari gerak gerik pukulan2 kedua boneka besi itu adalah ilmu pukulan "Siau-limlo-han-kun" Yang terkenal, tak lama kemudian, sesudah alat putaran (pergas) dalam boneka besi itu habis barulah mendadak kedua boneka itu berhenti dengan berdiri tegak, gayanya mirip jago silat kelas satu. Melihat ini semua orang tidak sanggup tertawa lagi, sebaliknya mereka berwajah kuatir. "Jin-tu-cu," Tiba2 wanita yang bermuka codet itu berkata. "jangan kau jaga mukamu, tapi malah mendatangkan penyakit bagi nona Kwe. Thi-lo-han" (orang2an besi) ini adalah milik Siau-lim-si, darimana kau dapat mencurinya?" "Hehe," Sahut Jin-tu-cu tertawa, sungguhpun aku Jin-tu-cu bernyali sebesar langit juga tak berani coba2 gerayangi Siau-lim-si, Tapi ini justeru adalah Bu-sik Siansu, itu paderi utama ruangan Lo-han-tong dari Siau-lim-si yang menyuruh aku membawanya kemari, ia bilang tepat pada hari ulang tahun nona pasti akan sampai di Siangyang untuk memberi selamat. Nah, yang inilah baru benar2 adalah hadiahku sendiri yang tak berarti!" Habis berkata, ia buka lapisan bawah kotak besi itu hingga tertampaklah sepasang gelang kemala hitam. Gelang hitam itu tertampak ber-kilat2, bentuknya tidak menarik, mendadak Jin-tu-cu melolos sebilah golok terus membacok gelang kemala itu, maka terdengarlah suara "trang" Yang nyaring, golok itulah yang membal ke atas, sebaliknya gelang kemala tak kurang apapun. Maka bersoraklah memuji semua orang, Menyusul itu lantas si sastrawan, Nikoh, Thau-to dan si wanita muka codet masing2 juga memberi kado kepada Kwe Yang, semuanya barang aneh dan mestika yang jarang dilihat. Tentu saja Kwe Yang kegirangan, dengan senyum simpul semua kado itu diterimanya. Menyaksikan itu Kwe Hu semakin terperangah sekali putar tubuh, segera ia lari kembali keruangan depan dan ceritakan semua apa yang dilihatnya kepada sang ibu. Mendengar itu kejut Ui Yong melebihi Kwe Hu, segera ia mengajak Cu Cu-liu dan bertiga masuk ke ruangan dalam. Lalu Ui Yong tuturkan apa yang dilihat Kwe Hu tadi kepada Cu-Iiu, itu murid tertua dari It-teng Taysu. Cu Cu-liu ikut ter heran2, katanya. "Jin-tuicu dan Pek cau-sian? Mengapa mereka bisa datang ke Siangyang sini? si Nikoh berbaju hitam itu mungkin sekali adalah Coat hou-jiu Seng-in Suthay yang membunuh orang tak berkesip, sedang kipas lempit si sastrawan itu terlukis satu setan Bu-siang (setan gentayangan), ehm, apakah mungkin ialah Coan-lun-ong Thio It bin?" Sembari berkata Ui Yong ber-ulang2 mengangguk sebaliknya Cu-liu sendiri geleng2 kepala, katanya. "Tapi hal ini teranglah tak mungkin. berapakah usia nona Kwe, kecuali akhir2 ini pernah keluar sekali, selain itu belum pernah kakinya menginjak tempat lebih jauh 10 li di luar Siangyang, mana bisa ia kenal orang2 kosen dari segala pelosok itu? Pula, Bu-sik siansu dari Siaulim-si itu sudah berpuluh tahun tak pernah turun gunung, orang lain sengaja mohon bertemu saja ditolak, mana mungkin sekarang ia malah datang ke Siangyang melulu untuk memberi selamat ulang tahun kepada seorang nona? Menurut pendapatku, tentu nona cilik ini sengaja bersekongkol dengan kawannya dan membesarkan segalanya untuk menggoda encinya." "Tapi nama2 seperti Seng-in Suthay, Thio It-bin dan lain2 jarang kita sebut2, darimana Yang-ji bisa kenal mereka, hendak main2 juga tidak selengkap itu," Ujar Ui Yong ter-mangu2. "Marilah kita coba menemui mereka menurut aturan, jika mereka adalah teman Kwe-jikohnio kedatangan mereka ke Siangyang ini pasti tiada maksud jahat," Kata Cu-Iiu kemudian. "Akupun berpikir begitu," Sahut Ui Yong. "Cuma Seng-lo Suthay, Coan-lun-ong Thio It-biti dan lain2 itu biasanya lurus2 serong tak tertentu, walaupun kita tak jeri, tapi kalau terlibat permusuhan, rasanya cukup akan bikin kepala pusing, kini pasukan musuh dekat didepan mata, betapapun tak boleh lagi memencarkan perhatian untuk melayani manusia2 aneh ini..." Sampai di sini, mendadak terdengar suara seorang bergelak ketawa di luar jendela dan berkata. "Kwe-hujin, kami datang ke Siangyang melulu untuk memberi selamat ulang tahun dan tiada maksud jahat lain, kenapa harus menjadi pusing kepala?" Ketika mengucapkan "tiada maksud jahat, kenapa harus pusing kepala," Ternyata suara itu sudah menjauh. Cepat Ui Yong, Cu Cu-Iiu dan Kwe Hu memburu ke pinggir jendeia, terlihatlah satu bayangan berkelebat diatas pagar sana, gerak tubuh itu cepat luar biasa, hingga sekejap saja sudah menghilang. Sedianya Kwe Hu hendak mengudak, tapi Ui Yong telah menariknya "Jangan sembrono, tak mungkin kau bisa menyandaknya!" Dan ketika ia mendongak tiba2 terlihat di atas dahan pohon diluar itu tertancap sebuah kipas putih yang terpentang. Kipas itu tingginya empat tombak lebih, Kwe Hu menduga dirinya tak mampu sekali loncat meraihnya, maka serunya. "Mak!" Ui Yong meogangguk, dengan enteng saja ia meloncat, tangan kirinya menahan pelahan disuatu dahan terus mencelat naik pula keatas dan kipas itupun dapat dicabutnya turun. Ketika mereka periksa kipas itu dibawah sinar lampu di dalam rumah, terlihatlah disebelah kipas itu terlukis setan Bu-siang putih yang lidahnya melelet panjang dengan muka ber-seri2, kedua tangannya terangkap mengunjuk hormat, disampingnya tertulis 14 huruf besar yang berbunyi. Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung Mustika Gaib Karya Buyung Hok