Pendekar Pemanah Rajawali 16
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 16
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Lagi-lagi darahnya Kwee Ceng bergolak. Ia sungguh membenci orang punya kelicinan dan kekejaman itu, terutama untuk memperdayakan seorang ibu yang hatinya demikian mulia. Tidakkah binatang yang harus dikasihani itu sengaja disakiti? Bukankah ibu telah didustai, untuk mengobati binatang yang sengaja disiksa? Kalau terhadap ibu sendiri saja ia mendusta demikian, maka bisalah diketahui buruknya sifat anak itu. Oey Yong yang tubuhnya menempel sama tubuh si anak muda merasakan tubuh orang bergemetar. Ia menginsyafi bahwa orang ada sangat gusar. Tentu saja ia khawatir kawan ini perluap hawa amarahnya itu hingga Wanyen kang bisa pergoki mereka. Ia lantas pegang tangannya si pemuda itu, yang ia tarik untuk diajak mengundurkan diri. "Jangan pedulikan dia, mari kita pergi cari obat," Bisiknya. "Tahukah kamu obat itu disimpan di mana?" Kwee Ceng tanya. Nona itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu," Sahutnya. "Mari kita cari" Kwee Ceng bersangsi. Dimana mesti mencari obat di istana demikan besar? Bukankah berbahaya kalau mereka kepergok See Thong Thian atau lainnya? Ia tidak sempat berpikir lama-lama. Pikirannya itu berhenti secara tiba-tiba. Sebab kupingnya segera mendengar orang mengoceh seorang diri dan di depan matanya berkelebat sinar api. "Anak yang manis, kalau kau tidak mencintai aku, kau mencintai siapa lagi? Maka, kau kasihanilah aku" Sembari perdengarkan suaranya yang berlagu, terlihatlah seorang bertindak dengan perlahan-lahan. Dia mencekal sebuah tenglong. Selagi Kwee ceng hendak menyembunyikan diri di belakang sebuah pohon, Oey Yong justru maju memapak orang itu, hingga ia menjadi tercengang, lalu lantas saja ia diam bagai patung, hatinya goncang keras. Oey Yong telah ancam dia dengan sebatang pisau belati. "Siapa kau?" Si nona menanya, membentak tapi perlahan. Orang itu kaget dan ketakutan, selang berepa detik baru ia dapat menyahuti, suaranya tidak lancar. Ia adalah pengurus surat-surat di istana itu. "Kau menjadi pengurus, bagus!" Kata si nona. "Di mana disimpannya obat-obatan yang hari ini pangeranmu yang muda menitahkan orang membeli?!" "Semua itu siauw-ongya yang simpan sendiri, akuaku tidak tahu" Oey Yong cekal tangan orang dengan tangan kirinya untuk memencet, sedang ujung pisaunya ditempel kepada kulit leher. Orang itu kesakitan akan tetapi ia tidak berani berteriak. "Kau hendak bilang atau tidak?!" Si nona mengancam. "Benar-benar aku tidak tahu." Jawab orang itu dengan gugup. Oey Yong kerahkan tenaga di tangan kirinya itu, lalu dengan menerbitkan suara membeletak, patahlah tangan kanan si pengurus itu. Ia buka mulutnya, untuk berteriak tetapi dengan cepat si nona sambar kopiah orang, untuk dipakai menyumbat mulutnya. Maka hanya sekali saja dia itu mengasih dengar suara keras tertahan, lalu ia roboh dengan pingsan. Kwee Ceng tidak menyangka satu nona demikian cantik dan halus gerak-geriknya dapat berbuat demikian telengas, ia menjadi tercengang, tak dapat ia membilang apa-apa. Oey Yong menotok dua kali kepada iganya pengurus istana itu, lantas ia sadar. Ia tarik kopiah orang, untuk dibelesaki ke kepelanya. "Apakah kau ingin tangan kirimu pun dipatahkan?" Ia tanya. Pengurus itu lantas saja menangis, ia menjatuhkan diri berlutut. "Dengan sebenarnya aku tidak tahu, percuma umpama nona membunuh aku," Katanya. Sekarang Oey Yong mempercayainya, tetapi ia kata. "Sekarang pergi kau kepada pengeranmu itu, bilang bahwa kau jatuh dan patah tanganmu. Kau kasih tahu bahwa tabib membilang kau perlu obat hiat-kat, gu-cit, thim-tha dan bu-yok. Obat itu semua tak dapat dibeli di kota raja ini, maka kau mintalah kepada pangeran itu." Pengurus itu sudah membuktikan si nona tidak pernah main gila, ia suka menurut. "Siauw-ongya ada pada ibunya, lekas-lekas kau pergi padanya!" Oey Yong bilang. "Aku akan ikuti padamu. Jikalau kau tidak dengar aku dan sengaja kau membuka rahasia, akan aku patahkan batang lehermu, akan aku kerek matamu!" Tubuhnya orang itu bergemetar, ia merayap bangun, lalu dengan menggertak gigi, menahan sakit, ia lari ke arah kamarnya onghui, si selir. Wanyen Kang masih ada pada ibunya, mereka masih pasang omong. Ia heran ketika ia lihat datangnya pengurus itu, yang bermandikan peluh dan air mata, dengan separuh mewek dia mohon diberi obat. Dia mengaku seperti ajarannya Oey Yong. "Kasihlah dia obat!" Berkata onghui, yang hatinya lemah. Ia lihat muka orang berpucat-pasi dan ia merasa kasihan. Wanyen Kang mengkerutkan alisnya. "Semua obat itu ada apa Nio Losianseng," Katanya. "Pergi kau mengambil sendiri!" "Tolong ongya memberikan sehelai surat," Si pengurus meminta. Onghui itu sudah lantas sediakan perabot tulisnya. Wanyen Kang menulis beberapa kata-kata, untuk si Nio Losianseng, ialah io Cu Ong. Pengurus itu mengangguk-angguk mengucapkan terima kasihnya. "Lekas kau pergi!" Menitah onghui. "Sebentar sesudah sembuh baru kau haturkan terima kasihmu!" Pengurus itu lantas saja bertindak keluar. Ia baru jalan beberapa tindak, atau pisau belati telah tertanda di pundaknya. "Pergi kepada Nio Losianseng!" Menitah Oey Yong separuh berbisik. Orang itu berjalan, baru beberapa puluh tindak, ia sudah terhuyung, rupanya tak sanggup ia menahan rasa sakitnya. "Sebelum kau dapatkan obat itu, jangan harap jiwamu selamat!" Si nona mengancam pula. Kaget hamba itu, ia mengeluarkan keringat dingin, entah dari mana, datanglah tenaga kekuatannya, maka dapat ia berjalan terus. Sekarang ia jalan dengan menemui beberapa hamba lainnya, mereka itu lihat ia diikuti si nona dan pemuda, mereka itu heran tetapi tidak ada di antara mereka yang menanya apa-apa. Tiba di kamarnya Nio Cu Ong, pintu kamar tertutup terkunci. Pengurus itu tanya satu hamba, ia dapat jawaban bahwa Nio Losianseng lagi menghadari perjamuannya pengeran di ruang Hoa Cui Kok. Kwee ceng lantas merasa kasihan menampak orang seperti tidak kuat jalan, ia lantas mencekal tubuh orang, untuk dipepayang. Bersama-sama mereka menuju ke tempat pesta itu. "Berhenti! Siapa kamu!" Itulah teguran oleh dua orang, yang memapaki sekira beberapa tindak dari Hoa Cui Kok. Mereka itu masing-masing memegang golok dan cambuk. "Aku hendak menemui Nio Losianseng," Sahut si pengurus, yang perlihatkan suratnya siauw-ongya. Dia lantas dikasih lewat. Ketika Kwee Ceng dan si nona ditanya, pengurus itu mendahului menerangkan. "Mereka kawan kita." Oey Yong berlaku tenang. Ia kenali dua orang itu, ialah dua dari keempat Hong Ho Su Koay, yaitu Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong. Mereka ini sebaliknya tidak mengenali orang, yang telah dandan sebagai asalnya, seorang nona. Hanya melihat Kwee Ceng, mereka tercengang, lantas mereka mau seraya angkat tangan mereka. Tapi sejenak itu, tidak dapat mereka menyerang dengan golok dan cambuk mereka. Tiba-tiba saja iga mereka kaku. Karena dengan kesebatannya yang luar biasa, Oey Yong sudah totok mereka. Kwee Ceng kagum vukan main. Ia berada di samping si nona tetapi ia tak sempat melihat gerakan tangan orang. Mendadak ia mengingat kejadian di rumah makan di Kalgan, tempo kawanan nona-nona serba putih hendak rampas kudanya, tahu-tahu mereka itu roboh tanpa berkutik. "Pastilah mereka telah terkena tangan lihay dari si Yong ini," Pikirnya lebih jauh. "Eh, kau pikirkan apa?" Menegur si nona sambil tertawa menampak orang termenung. Ia lantas saja tarik Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong ke belakang pot-pot kembang, untuk disembunyikan, kemudian ia tarik tangan si pemuda, untuk menyusul si pengurus. Di depan Hoa Cui Kok, Oey Yong tolak tubuh si pengurus, untuk ia masuk, ia sendiri bersama Kwee Ceng lantas lompat naik ke payon, guna mengintai dari jendela, hinngga mereka dapat melihat jelas ke dalam. Terang sekali ruang dalam itu di mana ada sebuah meja penuh dengan pelbagai barang hidangan dan arak, tetapi yang membuat Kwee ceng terperanjat adalah kapan matanya bentrok sama hadirin yang duduk mengitari meja itu, sampai hatinya berdenyutan. Ia lihat dan mengenali Auwyang Kongcu dari pek To San, Kwie-bun Liong-ong See Thong Thian, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, Som Sian Lao-koay Nio Cu Ong dan Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw. Menemani mereka itu, duduk di sebelah bawah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, yaitu Liok-hong-cu atau pangeran keenam dari negara Kim. Duduk di samping, di atas kursi tay-su-ie yang besar dan tebal amparnya, adalah Tay-cu-in Leng Tie Siangjin, kedua mata siapa terbuka sedikit dan mukanya bagaikan kertas kuning, suatu tanda lukanya tak enteng. Diam-diam Kwee Ceng girang sekali, maka ia kata di dalam hatinya. "Kau hendak mencelakai Ong Totiang, kau juga dapat merasakan enak." Si pengurus bertindak masuk untuk terus berlutut di depan Nio Cu Ong, kedua tangannya mempersembahkan suratnya siauw-ongya. Nio Cu Ong menyambuti, ia baca surat itu, terus ia awasi si pembawa surat, kemudian ia angsurkan surat itu kepada Wanyen Lieh. "Ongya, benarkah ini tulisannya siauw-ongya?" Ia tanya. Chao Wang membaca surat itu, ia mengangguk. "Benar," Katanya. "Berikanlah dia obat itu." Nio Cu Ong menoleh kepada kacung di sisinya. "Tadi siauw-ongya ada mengirimkan empar macam rupa obat," Katanya. "Kau ambilkan masing-masing itu satu tail, berikan kepada koankee ini." Bocah itu menyahuti, lalu ia ajak si koankee atau pengurus itu mengundurkan diri. Kwee Ceng berbisik di kupingnya Oey Yong. "Mari kita pergi, lekas! Semua mereka itu sangat lihay!" Oey Yong tertawa perlahan, ia menggeleng kepala. Oleh karena ia menggoyang kepalanya,rambutnya si nona mengenai mukanya si pemuda, hingga Kwee Ceng merasa gatal dari muka terus ke hatinya. Pemuda ini tidak hendak berbantahan, ia hanya lantas geraki tubuhnya untuk melompat turun. ia baru bergerak, atau si nona telah sambar tangannya, untuk ditahan. Untuk itu, nona itu mesti menyantel keras kedua kakinya pada payon, habis mana perlahan-lahan ia kasih turun tubuh si pemuda. Kwee Ceng terkejut, di dalam hatinya ia kata. "Ah, aku semberono sekali. Tidakkah ini berbahaya? Bukankah orang-orang di dalam itu lihay semua? Jikalau aku berlompat mundur, bagaimana mereka tidak dapat memergokinya?" Ia insyaf, dasar baru masuk dalam dunia kangouw, ia jadi kurang berpengalaman. Dengan lantas ia ikuti si pengurus dan kacung itu. Satu kali ia menoleh ke belakang, ia dapatkan Oey Yong masih belum turun, dengan masih bergelantungan nona itu mengawasi ke dalam ruangan. Oey Yong tidak segera berangkat. Untuk mencari tahu orang di dalam ketahui tentang dirinya atau tidak, ia mengintai terus. Ia lakukan itu setelah itu setelah ia lihat Kwee Ceng sudah pergi belasan tembok jauhnya. Katika ia mengawasi ke dalam, sinar matanya bentrok sama sinar mata tajam dari Pheng Lian Houw, ynag kebetulan berpaling. Ia tidak berani mengawasi terus, ia hanya memasang kuping. Seorang yang suaranya serak, berkata; "Saudara-saudara, bagaimana pandangan kamu mengenai Ong Cie It? Adakah ia datang dengan maksud sengaja atau itu cuma kebetulan saja?" "Peduli ia datang dengan sengaja atau bukan!" Berkata seseorang, yang suaranya nyaring dan keras sekali. "Dia telah merasai tangannya Leng Tie Siangjin, jikalau ia tidak mampus, sedikitnya ia mesti bercacad seumur hidupnya!" Oey Yong lantas mengawasi pula. Ia dapatkan orang itu adalaha Pheng Lian Houw yang matanya tajam, yang tubuhnya kate dan kecil. Seorang, yang suaranya tedas sekali, berkata smabil tertawa; "Selama aku berada di wilayah Barat, aku pernah dengar namanya Coan Cin Cit Cu yang kesohor itu, sekarang terbukti mereka benar-benar lihay, coba Leng Tie Siangjin tidak menghadiahkan dia pukulan Tay-ciu-in, pastilah hari ini kita roboh di tangan mereka itu." Seorang yang suaranya keras tetapi dalam berkata; "Auwyang Kongcu, janganlah kau menempeli emas di mukamu.. Kita berdua pihak sama-sama nampak kerugian, siapa juga tidak ada yang menang" Orang yang dipanggil Auwyang Kongcu itu berkata pula. "Biar bagaimana, kalau ia tidak kehilangan jiwanya, dia bakal bercacad. Siangjin cuma perlu beristirahat sekian waktu." Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sampai di situ, tuan rumah mempersilahkan tetamunya mengeringi arak mereka. Habsi itu terdengar seorang berkata. "Tuan-tuan telah memerlukan datang dari tempat ynag jauh, atas itu siauw-ong sangat berterima kasih. Sungguh inilah keberuntungan dari Negara Kim yang tuan-tuan telah dapat diundang!" "Dia tentulah Chao Wang Wanyen Lieh," Pikir Oey Yong. Atas kata-kata itu, beberapa orang perdengarkan suara yang merendah. Setelah itu, terdengar pula suaranya Chao Wang. "Leng Tie Siangjin adalah paderi suci mulia dari Tibet, Nio Losianseng adalah guru silat kenamaan Kwan-gwa, Auwyang Kongcu biasa hidup berbahagia di wilayah Barat dan belum pernah datang ke Tionggoan. Pheng Ceecu jago dari Tionggoan dan See Pangcu jago dari sungai Hong Hoo. Dari lima tuan-tuan, satu saja sudi datang membantu, pasti uasaha besar dari Negara Kim bakal berhasil, apapula sekarang lima-limanya telah datang semua. Hahahaha!" Agaknya bukan main gembiranya pangeran itu. "Jikalau ongya ada titah apa-apa, pasti kami akan lakukan itu dengan sepenuh tenaga kami," Berkata Nio Cu Ong sambil tertawa. "Apa yang dikhawatirkan adalah tenagaku tidak cukup nanti dan mensia-siakan kepercayaan ongya yang dilimpahkan kepada kami. Jikalau itu sampai terjadi, pastilah kami akan kehilangan muka kami." Ia pun lantas tertawa. Kelima orang itu adalah bangsa jago dari beberapa puluh tahun, maka itu meskipun mereka bicara secara merendah, masih tetap tak hilang sifat jumawanya. Chao Wang mengangkat pula cawannya, mempersilahkan mereka itu minum. Terus ia kata. "Siauw-ong telah mengundang tuan-tuan, pasti sekali siauw-ong akan menaruh kepercayaan kepada tuan-tuan, urusan bagaimana besar juga, tidak nanti siauw-ong sembunyikan, dilain pihak, apabila tuan-tuan telah ketahui segala apa, aku percaya tidak nanti tuan-tuan beritahukan itu kepada lain orang siapa juga, untuk mencegah pihak yang bersangkutan nanti mendapat ketahui dan dapat bersiap sedia." Semua orang itu mengerti maksudnya pangeran ini, yang mempercayai mereka tetapi secara tidak langsung masih memesan untuk mereka menyimpan rahasia itu. "Baik Ongya tetapkan hati, tidak nanti kami membikin rahasia bocor," Kata mereka. Dengan sendirinya mereka itu tegang hatinya. Mereka percaya, Chao Wang bakal percayakan mereka satu rahasia besar. "Di tahun Thian-hwee ketika dari Sri Baginda Thay Cong kami dari Negara Kim," Berkata pula Chao Wang kemudian. "Itulah tahun Soan-hoo ketujuh dari Kaisar Hiw Cong dari Keluarga Tio. Ketika itu dua Panglima besar kami ienmeho dan Kanlipu telah pimpin angkatan perangnya menerjang kerajaan Song, mereka berhasil menawan kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim Cong dari kerajaan musuh itu. Sejaka jaman dahulu, belum pernah negeri kami sekuat itu, walaupun demikian, sampai sekarang ini, Keluarga Tio itu yang tetap duduk sebagai raja di Hangciu. Tahukah tuan-tuan sebab dari pada itu?" Semua orang terdiam. Mereka heran raja muda itu membicarakan urusan negera. Cuma Nio Cu Ong yang lantas memohon penjelasan. "Duni telah ketahui yang kerajaan kami telah berulang-ulang kalah di tangan Gak Hui, tentang ini tak usah disembunyikan lagi," Berkata pula Chao Wang. "Wunchu, panglima kami, pandai mengatur tentara, akan tetapi menghadapi Gak Hui, dia selamanya kena dipecundangi. Benar kemudian Gak Hui dapat dibinasakan Cin Kwee yang dititahkan pemerintah kami, akan tetapi tenaga kami sudah lemah, kami tidak sanggup lagi berperang ke Selatan. Atas ini, aku tidak puas, tanpa mengukur tenaga sendiri, ingin aku mendirikan suatu jasa besar untuk negeraku. Untuk ini, tidak dapat tidak, aku mebutuhkan bantuan tuan-tuan." Orang saling memandang, bagi mereka belum jelas maskudnya raja muda ini. Mereka bukan orang peperangan tukang merobohkan atau merampas kota. Chao Wang tampaknya sangat puas den bernafsu ketika ia berbicara pula, suaranya sedikit menggetar. Katanya. "Baru beberapa bulan yang lalu, diluar dugaanku, aku telah dapat menemui sebuah surat peninggalan pemerintahku yang dulu. Itulah suratnya Gak Hui yang bunyinya luar biasa. Selang beberapa bulan, barulah aku dapat terka maksudnya surat itu. Gak Hui menulis itu ketika ia dipenjarakan. Rupanya ia mengerti bahwa ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, tetapi ia sangat mencintai negaranya, maka ia tinggalkan warisannya itu. Itulah surat yang merupakan rahasia ilmu perang, bagaimana harus mendidik tentara dan berperang. Ia mengharapkan warisannya itu terjatuh di dalam tangan seorang yang nanti bisa pakai itu untuk melawan negara Kim. Tapi Cin Kwee menjaga keras sekali, sampai hari matinya Gak Hui, surat itu tidak dapat diberiakan kepada orang luar. Para hadiran sangat tertarik hatinya, sampai mereka melupakan arak dan barang hidangan mereka. Oey Yong pun ketarik hatinya. "Gak Hui dapat mengetahui warisan itu tidak dapat diloloskan, ia terus simpan itu ditubuhnya," Chao Wang melanjuti. "Sebagai gantinya, ia meninggalkan sepucuk surat warisan, yang bunyinya tidak keruan junterungannya. Cin Kwee mempunyai kepandaian sebagai conggoan, ia masih tidak dapat menangkap artinya surat wasiat itu, maka surat itu ia dikirim ke negriku. Selama beberapa puluh tahun, surat itu disimpan di dalam istana. Dipihak kami juga tidak ada yang bisa mengartikan surat itu, orang hanya menduga, saking berduka dan penasaran, disaat-saat kematiannya, Gak Hui menulis ngaco belo. Tidak tahunya, itu adalah sebuah teka-teki istimewa." Orang heran tetepi sekarang mereka memuji kecerdikan Chao Wang itu. "Gak Hui begitu pandai, kalau kita bisa dapatkan surat warisan ilmu perangnya itu, bukankah gampang untuk negaraku mempersatukan benua ini?" Berkata Chao Wang. Mendengar itu barulah semua orang dapat menerka maksudnya pangeran ini. Mereka pada berkata dalam hati masing-masing. "Kiranya Chao Wang mengundang kita untuk minta kita menjadi pembongkar kuburan" "Turut dugaanku semula, surat wasiat itu mestinya dibawa Gak Hui ke dalam liang kubur," Chao Wang berkata pula. Ia berdiam sebentar, agaknya ia berpaling. "Tapi.Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah, mustahillah aku nanti meminta tuan-tuan pergi mencuri dengan membongkar kuburan? Di samping itu, ada satu keberatan lainnya. Gak Hui itu memang musuh negaraku, tetapi ia adalah satu orang gagah dan setia, satu pencinta negara, yang siapa pun menghormatinya, dari itu, cara bagaimana aku berani mengganggu tempat perkuburannya? Karena ini, aku sudah lantas memikirkannya terlebih jauh. Aku pun telah membongkar surat-suratnya kerajaan Song, yang telah dikirim semenjak dulu-dulu. Diakhirnya, aku telah berhasil memperoleh suatu sumber lain. Ketika itu hari Gak Hui menjalankan hukuman mati di paseban Hong Po Teng, dia dikubur di tepinya jembatan Ciong An Kio di dekat paseban itu, baru kemudian kaisar Song Hauw Cong memindahkan kuburannya ke tepi telaga See Ouw, dimana pun didirikan sebuah rumah abu untuknya. Dilain pihak lagi, pakaian dan kopiahnya Gak Hui disimpan di tempat lain, ialah di kota raja Liman. Karena itu tidak gampang untuk mencari surat wasiat itu. Pada ini ada satu rahasia yang tidak boleh didengar lain orang, atau orang nanti mendahului kita mengambilnya. Harus diketahui di wilayah Selatan ada banyak sekali orang-orang gagah. Maka itu, setelah memikir lama, tidak ada jalan bagiku kecuali mengundang tuan-tuan, yang terhitung orang-orang Rimba Persilatan kelas satu." Mendengar ini, para hadiran itu pada mengangguk. "Pernah aku menduga, mungkin surat wasiat itu telah diambil lain orang," Wanyen Lieh berkata lebih jauh. "Bukankah pakaiannya Gak Hui itu telah dipindahkan? Ada kemungkinan, selama perpindahan itu, suratnya telah diambil orang. Hanya kalau surat itu sampai ada yang ambil, orang itu mesti mengerti kepentingannya itu. Siapa yang menghormati Gak Hui, dia tentu tidak berani menggangu pakaiannya. Aku percaya, belum ada lain orang yang mengetahuinya. Kalau kita sudah sampai di sana, aku percaya, kita bakal dapatkan surat itu. Memang, kalau dikata sukar, sukarnya bukan main, akan tetapi di mata orang lihay, gampangnya bukan buatan. Sebenarnya surat wasiat itu disimpan di.." Baru Chao Wang mengucapkan sampai di situ, tiba-tiba pintu ruang ada yang tabrak hingga terbuka terpentang, lalu satu orang terlihat menebros masuk, matanya bengkat dan mukanya matang biru. Dia lantas lari ke Nio Cu Ong. "Suhu!" Dia berseru, lantas suaranya tertahan. Segera orang kenali, dia adalah si kacung yang tadi Nio Cu Ong titahkan pergi mengambil obat Bab 20. Tombak Besi Dan Pakaian Lama Kwee Ceng telah terus ikut si pengurus bersama si kacung pergi untuk mengambil obat. Jalanan ada berliku-liku. Selama itu ia masih terus mengancam si pengurus, yang khawatir nanti jatuh atau main gila. Akhirnya mereka tiba di tempatnya Nio Cu Ong. Kacung itu membuka pintu, ia masuk ke dalam dan menyulut lilin. Begitu ia berada di dalam kamar, Kwee Ceng lihat obat-obatan memenuhi meja, pembaringan dan lantai. Di situ pun ada banyak botol dan guci, besar dan kecil. Rupanya Nio Cu Ong gemar sekali membuat obat- obatan. Kacung itu rupanya mengerti obat-obatan, ia sudah lantas mengambil kertas, untuk menjumput empat rupa obat yang dibungkus masing-masing. Obat-obatan mana terus ia serahkan pada si koanke. Tapi Kwee Ceng yang, yang tak tahan sabar, sudah lantas mengulur tangannya, akan sambut obat-obatan itu, terus tanpa pedulikan si koanke, ia bertindak untuk pergi lebih dulu. Si koankee itu cerdik, walaupun ia telah terluka, pikirannya berekrja. ia sengaja jalan perlahan. Ia tunggu sampai Kwee Ceng dan si kacung sudah keluar dari kamar, dengan sebat ia tiup padam api lilin, segera ia sambar daun pintu, untuk digabruki dan dikunci, menyusul mana ia berteriak-teriak. "Ada penjahat! Ada penjahat!" Kwee Ceng terkejut, ia memutar tubuh, ia mencoba membuka pintu tetapi sia-sia belaka, ia sudah ketinggalan. Ia gusar dan terburu nafsunya, selagi begitu si kacung sambar bungkusan obat di tangannya, bungkusan mana terus dilemparkan ke empang di dekat mereka. Kacung itu adalah muridnya Nio Cu Ong, dia masih kecil tetapi cerdik, mendegar teriakannya si koanke, dia menjadi kaget dan heran, kemudian dia menjadi curiga, maka ia rampas obat itu dan dibuang. Dalam gusarnya, kwee Ceng kerahkan tenaganya menghajar pula pintu kamar. Kali ini daun pintu dapat digempur terbuka. Dalam sengitnya, ia serang si koanke yang segera roboh tanpa dapat membuka suara. Tempo Kwee Kwee Ceng menoleh, si kacung sudah lari. Dalam murkanya, ia berlompat untuk mengejar, segera ia berada di balakang kacung itu, pundak siapa ia jambret. Kacung itu dapat dengar suara menyambar, ia berkelit sambil mendak, lalu seraya memutar tubuh, ia membalas menyerang denagn sapuan kakinya. Kwee Ceng jadi tambah penasaran, setelah berkelit, ia menyerang dengan hebat. Dua kali kacung itu kena dihajar mukanya, cuma sebab ia masih keburu membuang mukanya, dia tak sampai roboh. Adalah kemudian, setelah kepalanya ke disampok, dia roboh dengan pingsan. Dengan satu dupakan, Kwee Ceng bikin tubuh si kacung terlempar ke tempat tumbuh rumput didekatnya, habis itu ia lari ke dalam kamar. Ia lantas menyalakan api. Terlihat si koanke masih rebah tanpa berkutik. Ia mengawasi obat, ia menjadi bingung. tadi ketika si kacung mengambil obat, dia tidak perhatikan darimana orang mengambilnya. Pun nama obat yang tertempel di peles obat tidak dapat ia baca, sebab itu ditulis dalam huruf-huruf Nuchen. Tapi ia mesti bekerja cepat, tidak bisa ia memikir lama-lama. "Tadi kacung ini berdiri di dekat sini, baik aku ambil semua obat ini, sebentar Ong Totiang yang pilih sendiri," Pikirnya kemudian. Maka ia lantas ambil kertas, ia membungkus setiap obat. Karena ia bekerja cepat, tanpa sengaja Kwee Ceng kena langgar sebuah keranjang di sampingnya. Ketika itu jatuh ke lantai, tutupnya terbuka. Untuk kagetnya, ia lihat isi keranjang adalah sebuah ular besar yang tubuhnya merah mulus. Malah ular itu segera menyambar! Kwee Ceng kaget, syukur ia masih sempat berlompat. Sekarang ia dapat melihat dengan tegas, tubuh ular ada sebesar cangkir, separuh tubuhnya masih ada di dalam keranjang, jadi belum ketahuan berapa panjangnya tubuh ular itu. Yang aneh adalah itu warna merah mulus. Lidah ular, yang diulur keluar, bercabang dua, lidah itu bergerak-gerak tak hentinya. Selagi mundur, Kwee Ceng membentur meja, lilin di atas meja roboh dan padam, maka ruangannya segera menjadi gelap-gulita. Tapi obat telah didapat, ia lantas lari ke pintu untuk mengangkat kaki. Tiba-tiba ia merasakan kakinya disambar dan dipeluk, atau itu mirip dengan libatan dadung/tali, saking kaget, ia melompat untuk meloloskan diri. Tapi ia dapat berhasil. Sebaliknya ia lantas merasakan barang adem mengenakan lengannya.Kembali ia menjadi kaget. Ia tahu sekarang bahwa ia telah dililit ular. Tapi ia tak hilang akal, dengan tangan kirinya hendak ia cabut golok emas hadiah Jenghiz Khan. Disaat itu, ia merasakan bau obat tercampur bau amis menyambar hidungnya, lalu mukanya terasa dingin. Itulah ular yang telah menjilati mukanya! Lagi sekali ia kaget tak terkira! Tak sempat ia menghunus goloknya, dengan tangan kirinya ia sambar leher ular untuk dipencet. Ular itu agaknya kaget, dia bertenaga besar, sebelum lehernya tercekik, ia pentang mulutnya, untuk mencoba mengigit muka Kwee Ceng. Dilain pihak, ia melibat dengan mengerahkan tenaganya, hingga Kwee Ceng lantas merasai tubuhnya terlilit keras, sampai napasnya mulai sesak bahkan tenaga tangan kirinya mulai berkurang. Baunya ular itu sangat mengganggu pernapasan si anak muda, hingga ia menjadi mual, hendak ia muntah. Adalah sejenak kemudian, ia kehabisan tenaga, ia seperti hendak pingsan, cekikan tangan kirinya terlepas sendirinya.. Adalah disaat itu dilain pihak si kacung telah sadar dari pingsannya. Dia mendapatkan kamar gelap sekali. Dia tahu, orang jahat itu tentu telah kabur. Maka tidak ayal lagi, ia lari keluar dari kamar, dia kabur kepada gurunya itu. Oey Yong terkejut akan dengar keterangan si kacung, denagn gerakan "Burung meliwis turun di pasir datar", dengan enteng sekali, ia lompat turun. ia menaruh kaki tanpa menerbitkan suara. Meski begitu, tak urung ia telah keperogok. Inilah sebabnya, segera setelah keterangan si kacung, semua orang menjadi curiga. Mereka memang semuanya orang-orang lihay. Sejenak saja tubuh io Cu Ong sudah mencelat keluar, bahkan segera ia menghadang di depan si nona. Dia lantas menegur; "Siapa kau?" Oey Yong menginsyafi bahaya. Ia tahu orang lihay. Disamping dia ini, masih ada yang lainnya. Maka ia hendak menggunakan akal. Untuk ini ia cerdik sekali. Tiba-tiba saja ia tertawa dengan manis. "Bunga bwee ini indah sekali, maukah kau memetiknya setangkai untuk aku?" Ia berkata kepada orang she Nio itu, jago dari Kwan-gwa. Nio Cu Ong tercengang. Tidak ia sangka bakal menghadapi satu nona, malah satu nona yang begitu cantik manis, yang suaranya halus dan merdu. Tanpa merasa ia mengulurkan tangannya, akan memetik setangkai bunga, yang untuk terus diangsukan kepada si nona. Oey Yong menyambuti. "Loya-cu, terim kasih!" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Katanya, kembali tertawa dengan suaranya yang halus merdu itu. Di ambang pintu berkumpul semua orang lainnya, merek aitu berdiri mengawasi kedua orang itu. Ketika Oey Yong lantas memutar tubuhnya, untuk berlalu. "Ongya," Pheng Lian Houw menanya. "Adakah nona ini, nona dari istana ini?" "Bukan," Menjawab Wanyen Lieh sambil menggelengkan kepala. Hanya dengan menjejak dengan kakinya yang kiri, Lian ouw sudah mencelat ke depan si nona. "Tunggu nona!" Katanya. "Aku pun akan memetik setangkai bunga untukmu!" Terus ia ulur tangannya yang kanan, hendak menangkap lengan orang, tetap sebat luar biasa, ia ubah tujuan, untuk meraba buah dada si nona. Oey Yong kaget bukan main. Ia sebenarnya hendak berpura-pura tidak mengerti ilmu silat. ia gagal. Lian Houw, sebagai jago di antara berandal di Hoopak, adalah sangat tajam matanya dan cerdik. Tidak bisa lain, ia geraki tangan kanannya, jari tangannya menyambuti tangan jago itu. Lian Houw terperanjat waktu ia merasakan getaran di jalan darahnya koik-tie-hiat, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu, dengan begitu dia dapat lolos dari bahaya. Dia menjadi heran, nona demikian muda tetapi demikian lihay, dia pun tak kenal ilmu silat si nona itu. Tentu saja ia tidak ketahui kepandaian yang Oey Yong dapatkan sebagai warisan, namanya Totokan Bunga Anggrek. Yang lain-lain pun terkejut dan heran. "Nona, kau she apa?" Lian Houw lantas menanya. "Siapakah gurumu?" "Bukankah bunga bwee ini permai sekali?" Tanya Oey Yong sambil tertawa. Ia terus berlagak pilon, ia tidak menunjukki kagetnya tadi. "Bukankah kau menghendaki aku menancapnya di dalam pot?" Sikap ini kembali membuatnya orang heran dan menjadi menduga-duga. "Kau dengar apa tidak, apa yang kami tanya?" Lian Houw menegur. Ia tidak sabaran, dia lantas menunjuki kesembronoannya dengan campur bicara. "Apakah itu yang kau bicarakan?" Balik tanya Oey Yong, tertawa. Justru itu, Pheng Lian Houw dapat mengenali si nona ini adalah si nona yang diwaktu siangnya sudah mempermainkan Hauw Thong Hay, cuma waktu itu orang menyamar menjadi satu bocah dekil. "Lao Houw, apakah kau tidak kenal nona ini?" Ia tanya sahabatnya. Ia tertawa. Thong hay tercengang. Lantas ia awasi si nona, dari atas sampai bawah dan sebaliknya. Cepat sekali, ia mengenalinya. Mendadak saja hawa amarahnya meluap. "Ha, anak busuk!" Dia mendamprat. Dia pun terus pentang kedua tangannya untuk menubruk. Dengan berkelit ke samping, Oey Yong bebaskan dirinya. Tapi di sini ia dipapaki See Thong Thian, yang tubuhnya tahu-tahu berkelebat dan tangannya menyambar ke lengan. "Kau hendak lari ke mana?" Menegur Kwie-bun Liong Ong. Oey Yong terkejut. Ia tidak menyangka lengannya bisa disambar secara demikian. Tapi ia tidak gugup, ia pun tidak kekurangan akal. Dengan dua jari dari tangan kirinya ia menotok kepada kedua matanya si orang she See itu. Hebat See Thong Thian itu, hampir tak nampak bagaimana ia geraki tangannya, juga tangan kiri si nona sudah lantas kena dia cekal. "Tidak tahu malu!" Mendamprat Oey Yong, yang kaget sekali. "Tidak tahu malu apa?!" Balik tanya See Thong Thian. "Tua bangka menghina anak kecil! Laki-laki menghina anak perempuan!" Oey Yong menyahuti. See Thong Thian terperanjat. Dia memang seorang tua dan kenamaan juga. Memang, dengan perbuatannya ini, terang dia telah menghina anak kecil, seorang anak perempuan.. "Masuk ke dalam!" Katanya seraya kendorkan cekalannya. Oey Yong tahu tidak dapat ia menolak, ia lantas turut masuk. "Nanti aku bikin dia bercacad dulu baru kita bicara!" Kata Hauw Thong Hay, yang ada sangat mendongkol. Dia terus maju, untuk menanyakan kata-katanya itu. "Tanyakan dulu, siapa gurunya dan siapa yang menitah ia itu datang ke mari!" Berkata Pheng Lian Houw. Hauw Thong Hay tidak pedulikan jago dari Hoopak itu, sebelah tangannya sudah lantas melayang. Oey Yong berkelit. "Benar-benarkah kau hendak menurunkan tangan?" Ia menanya. "Aku hendak cegah kau melarikan diri!" Jawab Thong Hay. Dia paling takut si nona minggat, karena terang sudah, dia bakalan tidak dapat mengejar. "Jikalau kau benar hendak adu kepandaian denagn aku, baiklah!" Kata Oey Yong yang sikapnya sabar tapi rada mengejek. Ia terus mengisikan enam buah cawan arak di atas meja. Cawan yang satu ia letaki di batok kepalanya dan dua yang lain ia cekal di antara kedua tangannya. Lantas ia menantang. "Beranikah kau mencontoh aku ini?" "Setan alas!" Berseru orang she See itu, jago tunggal dari sungai Hong Hoo. Oey Yong tidak mengambil mumat, ia memandang kepada orang banyak. Ia kata. "Aku tidak bermusuhan dengan tuan ini, bagaimana jadinya apabila aku keliru menggeraki tangan dan kena melukakan dia?" Thong Hay maju setindak, kedua matanya terbuka lebar. "Kau dapat melukakan aku? Kau?" Katanya sengit. Kembali Oey Yong tidak mengambil mumat. Ia kata pula. "Dengan cara begini hendak aku mengadu kepandaian dengannya! Siapa yang araknya tumpah lebih dahulu, dialah yang kalah? Akurkah kau?" Nona ini menggunai kecerdikannya. Ia tahu bahwa ia tidak bakal meloloskan diri dari orang-orang lihay ini. Sekalipun terhadap Hauw Thong Hay, ia menang cuma sebab ia andalkan kegesitan dan kelincahannya. Ia percaya, dengan bergurau secara demikian, ia bakal dapat lolos. "Siapa kesudian main-main denganmu!" Thong Hay membentak. Kembali ia menyerang sambarannya bagaikan angin. "Bagus!" Oey Yong tertawa, seraya ia berkelit. "Pada tubuhku ada tiga buah cawan, kau snediri boleh bertangan kosong! Nah mari kita adu kepandaian!" Bukan alang kepalang gusarnya Thong Hay. Dia berusia jauh terlebih tua, meski ia tidak sangat kesohor seperti See Thong Thian, kakak seperguruannya itu, ia toh ternama juga. Sekarang dia dipermainkan secara begini! Tanpa berpikir sejenak juga, ia jumput sebuah cawan arak, untuk diletaki di batok kepalanya, habis mana ia sambar dua yang lain, masing-masing dengan sebelah tangan. Kemudian, dengan sama cepatnya, ia tekuk sedikit kaki kirinya, untuk menyusul melayangkan kaki kanannya mendupak nona itu! "Bagus! Nah ini barulah namanya enghiong sejati!" Oey Yong berseru sambil tertawa, seraya ia berkelit. Belum sempat ia melanjuti perkataannya atau dia sudah ditendang pula, kali ini berulang-ulang. Karena dengan kedua tangan mencekal cangkir dan kepala ditaruhkan cangkir juga, Thong Hay tidak dapat berbuat lain dari menggunai kedua kakinya. Oey Yong akhirnya repot akan tetapi ia selalu dapat lompat berkelit atau mengegos tubuhnya, menyingkir dari tendangan. Untuk ini, ia mesti seperti memutari ruangan itu. Nio Cu Ong memasang mata kepada gerakan kakinya si nona cilik. Itulah gerakan bagaikan "Mega berjalan atau air mengalir". Tubuh tetap tegak, tidak bergerak sedikit juga, dan kedua kaki seperti ketutupan kun tetapi bergeraknya cepat. Dipihak sana, tindakannya Hauw Thong Hay cepat dan lebar. Si nona berkelit bukan cuma main berkelit saja, ia saban-saban mencoba dengan sikutnya akan membentur lengan lawannya, supaya benturannya dapat membuat arak tumpah atau ngeplok. "Bocah ini begini lihay, sebenarnya sulit untuk melatih diri hingga begini rupa" Berpikir jago tua ini. "Hanya, lama-lama dia toh bakal menjadi bukan tandingannya Lao Hauw" Disaat itu, tiba-tiba Cu Ong ingin obat-obatannya, maka lenyaplah keinginannya menyaksikan pertempuran, ingin ia lari ke pintu, untuk terus ke kamarnya, guna cari si pencuri obat. Tentu saja ia tidak sempat memikir bagaimana halnya dengan si pencuri obat sensiri Kwee Ceng belum sampai pingsan tatkala ia merasakan bau ular menjadi semakin hebat. Ia insyaf bahayanya apabila binatang berbisa itu sampai dapat memagut padanya. Maka ia lantas tempel mukanya di tubuh ular itu. Oleh karena ia tidak dapat menggeraki tubuhnya, atau kaki tangannya, sekarang tinggal mulutnya yang masih merdeka. Mendadak saja ia ingat suatu apa. Lantas ia kuatkan hatinya, agar tidak sampai roboh pingsan, terus ia gigit leher ular itu. Binatang itu kaget dan kesakitan, dia bergerak, hingga lilitan kepada anak muda itu menjadi semakin keras. Tanpa pedulikan apa juga, Kwee Ceng menggigit terus, lalu terus menghisap, menyedot darah binatang itu. Ia tidak ambil mumat lagi binatang itu berbisa. Ia juga tidak gubris pula bau darah yang sangat tidak enak. Ia melainkan ketahui, kalau darahnya berkurang, maka tenaga binatang itu juga akan berkurang pula dan dengan begitu, lilitannya akan menjadi kendor. Itu pun artinya ia bakal terlolos dari bahaya maut. Maka ia menghisap terus-terusan, hingga tanpa merasa, perutnya mulai kembung. Dugaannya bocah ini tepat. Setelah darahnya terkuras banyak, tenaganya binatang itu segera menjadi berkurang, lilitannya segera menjadi kendor, atau sesaat kemudian, ia lepaskan lilitannya itu, tubuhnya pun jatuh sendirinya. Sebab itu waktu, dia kehabisan tenaga, napasnya lantas berhenti berjalan! Kwee Ceng terjatuh duduk. Tapi dia masih sadar, lekas-lekas ia empos semangatnya, untuk menjalankan napasnya dengan beraturan. Dengan dapat bersemadhi lekas ia dapat pulang tenaganyanya. Hanya aneh sekarang ia merasakan darahnya bergerak keseluruh tubuhnya. Ia mengerti itulah darahnya si ular yang lagi bekerja. Ia terus bersemadhi sampai ia merasa sangat lega hati dan tubuh. Segera setelah merasa segar betul, ia gunai tenaganya untuk mencelat bangun. Yang pertama diingat bocah ini adalah obat-obatan di dalam sakunya. Ia lantas meraba. Ia menjadi girang sekali. Obat-obatan itu masih ada. Karena ini, ia segera teringat pula kepada Bok Ek. "Dia dan anak gadisnya dikurung Wanyen Kang, aku telah ketahui halnya itu, bagaimana dapat aku tidak menolongi mereka?" Demikian ia berpikir. Ia lantas bekerja. Ia tindak ke pintu, dari situ, setelah melihat ke sekitarnya, ia jalan dengan cepat ke arah kurungannya Bok Ek dan gadisnya. Selagi ia mendekati kurungan, ia mendapati penjagaan kuat di situ. Tapi ia mesti bisa masuk ke dalam. Ia memutar ke belakang. Di situ ia tunggu lewatnya serdadu ronda, lalu cepat sekali ia lompat turun ke sebelah dalam. Ia hampirkan kurungan. Sembari memasang kuping, ia melihat ke sekeliling. Tidak ada serdadu jaga di situ. "Bok Cianpwee, aku datang untuk menolongi," Ia lantas berkata dengan perlahan. "Kau siapa, tuan?" Ada jawabannya Bok Ek yang menanya. Kwee Ceng perkenalkan dirinya. Bok Ek pernah dengar lapat-lapat namanya Kwee Ceng itu, karena berisik dan ia pun terluka, ia tidak sempat memikirkannya, sekarang di tengah malam, ia mendengarnya dengan nyata. "Kaukau she Kwee?" Tanyanya, menegaskan. Agaknya ia terperanjat. "Benar," Sahut si bocha hormat. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku yang muda adalah orang yang tadi siang melawan si pangeran muda." "Siapakah ayahmu?" Bok Ek tanya pula. "Ayahku almarhum bernama Siauw Thian," Kwee Ceng menyahut pula. Dengan tiba-tiba saja air matanya Bok Ek mengembang dan berlinang-linang, lalu ia angkat kepalanya, dongak, seraya mengeluh. "Oh, Thian.Thian." Ia pun ulur keluar tangannya dari dalam jeruji, untuk mencekal tangannya si anak muda dengan erat. Kwee Ceng merasakan tangan orang itu bergemetar dan air mata orang itu pun menetes jatuh ke belakang telapakan tangannya itu. Ia kata dalam hati kecilnya. "Rupanya dia ketahui ada orang bakal menolong dia, dia menjadi girang luar biasa." Maka ia kata dengan perlahan sekali. "Aku punya golok yang tajam, dengan itu kunci dapat dirusak untuk Cianpwee bisa keluar dari kerangkeng ini" "Ibumu she Lie, bukankah?" Bok Ek menanya pula, ia seperti tidak pedulikan perkataan orang. "Apakah ibumu itu masih ada atau ia telah menutup mata?" Kwee Ceng heran sehingga ia balik menanya. "Ah, kenapa Cianpwee ketahui ibuku she Lie? Ibu masih ada di Mongolia." Hatinya Bok Ek goncang keras, ia cekal tangan Kwee Ceng semakin keras, ia tidak hendak melepaskannya. "Tolong, lepaskan cekalanmu, nanti aku bacok kunci ini," Kwee Ceng bilang. Bok Ek tetap memegangi erat-eart. Ia seperti mendapati sesuatu yang berharga dan tak ingin itu lenyap pula. "Ah, kau telah menjadi begini besar" Katanya menghela napas. "Ah, dengan memeramkan mata sekejapan saja, lantas aku dapat membayangkan wajah ayahmu yang telah almarhum itu" Kwee Ceng menjadi semakin heran. "Cianpwee kenal ayahku itu?" Tanyanya. "Ayahmu adalah kakak angkatku," Bok Ek beritahu. "Kita telah mengangkat saudara hingga perhubungan kita erat bagaikan saudara kandung." Orang tua ini tidak dapat melanjuti kata-katanya, ia menangis sesegukan. Tanpa merasa, air matanya Kwee Ceng pun berlinang. Ia tidak tahu Bok Ek ini adalah Yo Tiat Sim, yang dulu hari itu, diwaktu bertempur bersama tentera negeri, sudah terluka tusukan tombak pada punggungnya, karena lukanya parah, ia roboh pingsan. Syukur untuknya, disebabkan malam dan gelap, dia tidak kena tertawan. Adalah besok paginya ia sadar sendirinya, dengan merayap dia pergi ke rumah seorang petani di dekat tempat kejadian. Satu tahun lebih ia merawat dirinya, baru dia sembuh. Setelah itu ia merantau mencari Lie Peng, istrinya Kwee Siauw Thian, serta Pauw See Yok, istrinya sendiri. Tentu saja ia tidak berhasil. Karena yang satu berada jauh sekali di gurun pasir, yang lain berada di Utara. Dia tidak pakai terus she dan namanya Yo Tiat Sim dia hanya rombak she Yo itu, di ambil bagiannya ynag kiri, yaitu huruf "Bok" Yang berarti "Kayu". Tapi juga huruf "Bok" Ini diganti lagi dengan huruf "Bok" Yang berarti "Akur". Dia cuma ambil suaranya saja. Dan nama "Ek" Dia ambil dari huruf pecahan sebelah kanan dari huruf "Yo" Shenya itu. Huruf "Yo" Itu terdiri dari dua huruf "Bok = kayu dan Ek = gampang atau tukar". Selama delapan belas tahun ia merantau. Sekarang secara kebetulan ia bertemu sama putra sahabat atau saudara angkatnya itu, cara bagaimana ia tidak menjadi bersedih hati? Selama ayahnya itu berbicara sama si anak muda, Bok Liam Cu berniat memberi ingat serta meminta Kwee Ceng menolongi dulu mereka, tentang pasang omong, itu boleh dilanjuti lain kali, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, lalu datang pikiran lain, yang membuatnya berubah. Ia kata dalam hatinya. "Satu kali kita keluar dari sini, aku khawatir untuk selama-lamanya aku nanti tidak dapat bertemu dengan dia" Dengan "dia" Yang dimaksud oleh Liam Cu adalah Wanyen Kang, si pangeran muda. Dengan sendirinya, ia telah jatuh cinta kepada pangeran itu, hingga ia tak ingin pergi jauh, untuk memisahkan diri. Kwee Ceng pun ingat bahaya yang mengancam mereka, maka ia sudah lantas tarik keluar tangannya dari dalam kerangkeng, hanya di saat ia hendak ayun goloknya, untuk menggempur kunci, mendadak ia tampak sinar terang yang disusul sama suara tindakan kaki. ia terkejut, dengan sebat ia simpan goloknya, dengan gesit ia lompat sembunyi di belakang pintu. Sekejap saja, dengan mengasih suara, daun pinttu dipenntang, lalu terlihat masuknya beberapa orang, di antara siapa yang jalan di muka adalah yang menenteng lentera. Kwee Ceng heran akan melihat orang itu yang bukan lain daripada onghui atau selirnya Chao Wang dan ibunya Wanyen Kang. Ia tidak dapat menerka orang datang dengan maksud apa. Ia memasang kuping dan matanya. "Adakah mereka ini yang hari ini dikurung siauw-ongya?" Demikian Kwee Ceng dengan pertanyaannya si nyonya mulia. "Ya," Menyahuti si opsir atau pemimpin dari beberapa pengiring nyonya itu. "Sekarang juga merdekakan mereka!" Onghui memberi titah. Opsir itu terkejut, dia ragu-ragu, hingga tak dapat ia segera menjawab. "Jikalau siauw-ongya menanyakan, bilang aku yang memerdekakan mereka," Onghui berkata pula menampak orang sangsi. "Lekas buka kuncinya!" Sampai di situ, opsir itu tidak berani berlambat pula. Setelah ayah dan gadis itu sudah berada di luar kerangkeng, onghui merogoh sakunya untuk mengeluarkan dua potong emas, yang mana ia angsurkan kepada Bok Ek atau Yo Tiat Sim. Ia kata. "Nah, pergilah kamu baik-baik!" Tiat Sim tidak menyambut emas itu, sebaliknya ia mengawasi dengan tajam. Ditatap demikian, onghui heran. "Putraku berbuat keliru, harap kamu tidak sesalkan dia" Dia berkata lagi kemudian. Cuma sedetik atau Tiat Sim telah ubah pikiran. Ia sambuti itu emas, terus ia tuntun tangan putrinya, untuk diajak berlalu dengan tindakan lebar. "Ha, orang kasar!" Membentak si opsir. "Kamu tidak membilang terima kasih kepada onghui yang telah menolong jiwamu!" Bagaikan tidak mendengar, Tiat Sim jalan terus. Sampai di situ, onghui pun berlalu bersama sekalian pengiringnya. Kwee Ceng tunggu sampai pintu sudah ditutup dan mendengar tindakan kaki onghui sudah jauh, baru ia keluar dari tempat sembunyinya, untuk keluar juga. Ia melihat ke sekeliling, ia tidak dapatkan Bok Ek dan Liam Cu. "Pasti mereka sudah keluar dari istana," Pikirnya. Maka ia lantas menuju ke Hoa Cui Kok untuk mencari Oey Yong. Ingin ia membujuk nona itu buat jangan mengintai lebih lama, supaya mereka bisa lekas pergi menolongi Ong Cie It. Baru ia tiba disebuah tikungan, Kwee Ceng lihat sinar terang dari dua buah lentera serta mendengar suara tindakan kaki yang cepat. Ia lantas lompat ke samping di mana ada gunung-gunungan dari batu, untuk umpatkan diri, kemudian ia segera dengar teguran dari orang yang jalan di paling depan. "Siapa?!" Bahkan orang itu sudah lantas berlompat maju dan tangannya menyambar. Kwee Ceng geraki tangannya, untuk membebaskan diri. Berbareng dengan itu, ia terkejut juga. Di antara cahaya api, ia kenali Wanyen Kang si siauw-ongya atau pangeran muda. Wanyen Kang telah datang dengan cepat karena baru saja ia terima laporan dari opsir yang mengiringi onghui bahwa Bok Ek dan gadisnya telah dimerdekakan. Ia kaget dan kata dalam hatinya. "Sungguh lemah hati ibu, hingga tidak memperdulikan urusan besar, ia merdekakan dua orang itu. Kalau guruku ketahui ini, cara bagaimana aku dapat menyangkal?" Ia berniat memegat Bok Ek dan Liam Cu, maka ia datang dengan cepat, diluar dugaannya, ia bertemu dengan Kwee Ceng. Pemuda she Kwee ini hendak meloloskan diri, ia membikin perlawanan. Wanyen Kang hendak menawan, dia menyerang dengan hebat. Maka itu, mereka lantas saja bertempur seru melebihkan pertandingan mereka tadi siang. Bukan main masgul dan cemasnya Kwee Ceng. Beberapa kali ia mencoba untuk meloloskan diri, saban-saban ia gagal. Tak kurang hebatnya rintangan si siauw-ongya. Sementara itu dilain pihak, Nio Cu Ong yang menduga Oey Yong bakal kalah baru saja memutar tubuhnya atau pertandingan telah salin rupa. Hebat si nona, ia perlihatkan kepandaian yang luar biasa. Dengan satu gerakan berbareng ia membuat tiga cawan di kepala dan kedua tangannya terlepas, mumbul naik ke atas menyusul mana dengan satu lompatan enteng tetapi gesit ia menerjang pada Thong Hay dengan kedua tangannya. Orang she Hauw ini menjadi repot. Dengan kedua tangan mencekal cawan, tidak dapat ia menangkis, maka terpaksa ia berkelit ke kiri. Justru itu, dengan kesebatannya, tangan kanan si nona menyambar pula. Kali ini, Thong Hay tidak dapat mengegos pula tubuhnya, terpaksa ia menangkis! Begitu kedua tangan bentrok, begitu juga kedua cawan di tangan orang she Hauw itu tergerak, isinya lantas tumpah, membasahkan lantai. Yang hebat adalah cawan di batok kepalanya, cawan itu jatuh ke lantai, pecah hancur menerbitkan suara berisik dan araknya melulahkan. Oey Yong sudah lantas mencelat mundur, kedua tangannya menyambar kedua cawannya, yang baru saja turun, sedang kepalanya menyambut cawan yang ketiga yang tadi ia letaki di batok kepalanya itu. Semua terjadi dengan cepat luar biasa, semua cawan itu tidak miring, araknya tidak tumpah! "Bagus!" Seru orang banyak. Mau atau tidak, mereka mesti puji nona ini yang merebut kemenangan dengan kecerdikan dan kelincahannya itu. Thong Hay sebaliknya bermuka merah, berparas bermuram durja, saking malu dan mendongkolnya. "Mari kita bertanding pula!" Ia menantang. Oey Yong bawa jari-jari tangan ke pipinya "Tak malukah kau?" Dia bertanya, mengejek. "Hm!" See Thong Thian mengasih suaranya menyaksikan adik seperguruannya itu dibikin malu secara demikian. "Budak cilik, kau licin sekali! Siapa sebenarnya gurumu!" "Besok akan aku mengasih keterangan kepada kau!" Menjawab si nona tertawa. "Sekarang aku mesti pergi dulu!" Setahu bagaimana gerakkannya Thong Thian, tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke ambang pintu, untuk menghalangi di situ. Oey Yong telah merasakan tadi bagaimana orang she See ini tanpa ia mengetahui, hingga kedua tangannya tidak dapat digeraki lagi, sekarang ia menyaksikan cara mencelat orang, yang ada dari tipu "Menukar wujud, mengganti kedudukan", semacam ilmu yang luhur, ia kaget sekali. Tapi ia dapat menenangkan diri, parasnya tidak menunjuki perubahan. Ia hanya mengkerutkan kening. "Mau apa kau menghalangi aku?" Dia bertanya, berlagak pilon. "Aku ingin ketahui kau murid siapa?" Menyahut See Thong Thian. "Aku ingin ketahui untuk apa kau datang nyelusup ke istana ini?" Sepasang alis yang bagus dari si nona bergerak bangun. "Jikalau aku tidak sudi mengasih keterangan?" Tanyanya, menantang. "Pertanyaannya Kwie-bun Liong Ong tidak dapat tidak dijawab!" Sahut orang she See itu. Oey Yong melihat ke sekitarnya. Pintu ada di belakang Thong Thian, tidak dapat ia memaksa menerobos keluar. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Justru itu ia dapatkan Bio Cu Ong hendak pergi ke luar, ia lantas menegur. "Lopepe, dia pegat aku, dia tidak mau kasih aku pulang?" Katanya. Hati Cu Ong tertarik. Suara orang merdu dan bernada minta dikasihani. Ia pun mau percaya, bocah ini bukan sembarang orang. Tanpa merasa, ai menjadi merasa suka kepada si nona. "Kau jawablah pertanyaannya See Liong Ong," Ia kata, tertawa. "Setelah kau berikan jawabanmu, dia nanti mengasih ijin kau berlalu. Oey Yong tertawa, tetap dengan manis. "Aku justru tidak sudi menjawab dia!" Sahutnya. Lantas dia hadapkan Thong Thian untuk mengancam. "Jikalau kau tidak mengijinkan aku pergi, nanti aku pergi denagn cara paksa!" See Thong Thian tertawa dingin."Asal kau mampu!" Bilangnya. "Tapi awas, kau tidak boleh serang aku!" Berkata si nona, ynag hendak menggunai pula kecerdikannya. "Untuk memegat kau, budak cilik, buat apa See Liong Ong sampai menurunkan tangan?" Katanya. "Bagus!" Seru Oey Yong. "Seorang laki-laki, satu kali ia mengucap, itu telah menjadi kepastian! Eh, See Liong Ong, kau lihat itu di sana apa?" Semabri mengucap, dia menunjuk ke arah kiri. See Thong berpaling ke arah yang ditunjuk itu. Oey Yong gunai kesempatan ketika orang menoleh, tubuhnya meleset, lewat di samping jago tunggal dari sungai Hong Ho itu. Benar-benar lihay See Thong Thian. Baru orang berkelebat, atau kepalanya sudah menghadang di depan si nona. Syukur si nona itu pun lihay, ia dapat menahan tubuhnya hingga ia tidak usah melanggar kepala orang itu. Ia meundur dengan cepat. See Thong Thian mengawasi. Sekarang telah buntu jalannya si nona itu. Dua kali lagi ia mencoba, jago sugai Hong Ho itu senantiasa menghadang di depannya. Nio Cu Ong menyaksikan itu, ia tertawa. "See Liong Ong, adalah satu ahli tersebar," Katanya. "Maka janganlah kau mensia-siakan tenaga, kau mengaku kalah saja!" Habis berkata, ia lantas hendak pergi, untuk lari ke kamarnya. Baru saja ia tiba di ambang pintu atau hidungnya sudah tercium bau yang membuatnya sangat terkejut. "Celaka!" Serunya. Ia sudah lantas nyalakan api, hingga ia menjadi tercengang. Di situ tergeletak bangkai ularnya, dan obat-obatannya kacau tidak karuan. Hampir ia menjerit menangis, karena habislah usahanya beberapa puluh tahun. Som Sian Lao Koay bukan melainkan pandai ilmu silat tetapi pun ia paham ilmu tabib, maka kebetulan untuknya pada suatu waktu ia dapat resep yang istimewa, resep untuk membikin sehat dan kuat tubuh. Untuk ini, ia lantas pergi berkelana, untuk mencari bahan-bahan obatnya. Pula, setelah banyak kesulitan, ia telah dapatkan ularnya yang besar itu yang sanat berbisa. Lantas ular ini ia kasih makan pelbagai macan obat pilihan. Mulanya tubuh ular itu warnanya hitam abu-abu, setelah makan banyak macan obat itu, warnanya lantas berubah menjadi merah mulus, warna merah itu menjadi marong sesudah sang ular dipiara duapuluh tahun lamanya. Ia sudah memikir buat lagi beberapa hari akan menghisap darahnya ular itu, untuk membikin ia panjang umur, untuk menambah kekuatan tubuhnya, sebab ia berangan-angan untuk menjagoi dan merobohkan segala jago lainnya, siapa tahu sekarang ularnya itu terbinasa, malah ia ketahui juga terbinasanya ular itu sebab darahnya telah orang sedot. Cepat setelah ia tersadar, io Cu Ong periksa tubuh ularnya itu, terutama lukanya, maka tahulah ia, musuh belum pergi jauh. Tidak bersangsi lagi, ia lari keluar, ia lompat naik ke atas pohon besar, untuk memandang sekitarnya, guna mencari si pencuri. Ia dapat melihat di dalam taman ada dua orang lagi bergumul. Berbangkit pula hawa amarahnya, maka dengan lantas ia lari ke arah taman. Sebentar saja ia sudah sampai si taman di mana Kwee Ceng dan Wanyen Kang tengah bertempur. Baru ia datang atau hidungnya telah mendapat cium bau obat tercampur bau amis yang datangnya dari arah si pemuda. Dalam halnya ilmu silat, Kwee Ceng kalah dari Wanyen Kang, maka juga kali ini diwaktu mulai bertempur, ai sudah lantas keteter, akan tetapi, begitu lewat beberapa jurus, begitu juga datanglah perubahan atas dirinya. Mendadak ia merasa perutnya sangat panas seperti ada bola api di dalam perutnya itu. Disaat itu tenaganya lantas bertambah sendirinya. Satu kali ia serang Wanyen Kang, maka si pangeran menangkis, beda daripada biasanya, dia terhuyung. "Heran, kenapa tenaganya menjadi kuat?" Tanya si pangeran dalam hatinya. Kwee Ceng pun pun terus merasakan perubahan. Tubuhnya panas hingga ia seperti tidak sanggup menahannya. Ia menjadi sangat berbahaya. Di mana-mana ia merasakan gatal pada tubuhnya. "Kali ini habislah jiwaku" Pikirnya. "Tentulah bisa ular lagi bekerja" Ingat kepada bisa ular, hatinya pemuda ini menjadi kecil. Karena ini, ia pun menjadi alpa, hingga dua kali bebokongnya kena dihajar si pangeran, yang sudah dapat memperbaiki dirinya. Tapi juga penyerangan ini mendatangkan perubahan lainnya. Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung Pendekar Misterius Karya Gan Kl Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Karya Hong San Khek