Pendekar Pemanah Rajawali 41
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 41
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Cit Kong memuji. Ia girang sekali. Mereka lantas menuju ke Jalan Gie-gay, untuk menyewa kamar di penginapan Kim Hoa. Oey Yong benar saja lantas pergi ke dapur itu untuk memasak tiga rupa barang hidangan, yang baunya lantas tersiar, hingga orang-orang di penginapan itu menanyakan pelayan, koki kesohor yang mana yang pandai masak itu. Diwaktu bersantap, Pek Thong tidak turut. Ia mendongkol dikatakan tak ada wanita yang sudi menikah dengannya. Tapi dia dibiarkan saja ngambek.! Habis bersantap, Cit Kong masuk untuk tidur, Kwee Ceng mengajak Pek Thong jalan-jalan, Loo boan Tong tetap ngambek. "Kalau begitu, baik-baiklah kau temani guruku," Kata Oey Yong tertawa. "Sebentar aku belikan kau beberapa rupa barang bagus untuk kau buat main." Mendengar itu, bangkit kegembiraan si berandalan tua itu. "Apakah kau tidak mendustakan aku?" Tanyanya. "Pasti tidak!" Si nona memberikan perkataannya. Ketika Oey Yong berlalu dari rumahnya di musim semi, pernah ia pergi ke kota Hangciu ini, yang letaknya dekat dengan Tho Hoa To, hanya karena khawatir dapat disusul ayahnya, ia tidak berani berdiam lama-lama di situ, sekarang ia luang tempo, dia mengajak Kwee Ceng pesiar ke telaga See Ouw yang tersohor itu. Biar bagaimana, Kwee Ceng nampak tidak terlalu gembira. Oey Yong melihat itu, ia menduga itulah disebabkan si pemuda memikirkan sakitnya Cit Kong. Maka ia berkata. "Suhu bilang ada serupa barang yang dapat menyembuhkan penyakitnya, hanya itu sangat sukar didapatkannya, bahkan ia melarang kita menanya barang apa itu. Biar bagaimana, aku hendak berdaya untuk mendapatkannya, buat mengobati dia hingga sembuh!" "Yong-jie, itulah paling bagus!" Kata Kwee Ceng girang. "Apakah kau merasa pasti akan bisa mendapatkannya itu?" "Aku tengah memikirkan jalannya. Tadi sebelum bersantap, pernah aku menanyakan keterangan suhu. Disaat suhu hendak memberitahu, tiba-tiba ia sadar, lantas ia bungkam. Tapi aku akan berdaya mengorek keterangannya." Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik, hatinya menjadi lega. Sembari berbicara, mereka tiba di Toan-kio, jembatan buntung di tepi telaga. Inilah salah satu tempat yang kesohor di See Ouw, dimana orang bisa mendapat lihat sisa salju, cuma karena sekarangt musim panas, yang terlihat ialah pohon-pohon teratai dengan bunganya yang tumbuh di kolong jembatan itu. "Mari kita minum di sana sambil memandangi bunga teratai," Oey Yong mengajak. Di tepian itu ia melihat sebuah rumah makan kecil yang nampaknya resik. Kwee Ceng akur, maka berdua mereka pergi ke rumah makan itu. Mereka meminta arak dan beberapa rupa barang santapan yang rasanya lezat. Sembari minum, Oey Yong memandang ke sekitarnya. Ia mendapatkan di jendela timur ada sebuah kesokol, yang ditutupi dengan kain indah. Ia lantas mendekati itu. Nyata di bawahnya itu ada tulisan yang berupa syair. "Syairnya indah juga," Katanya. "Apakah artinya itu?" Tanya Kwee Ceng. Oey Yong memberi penjelasan, tetapi anak muda itu tak ketarik hatinya. Ia kata; "Di sini kota raja, segala menteri luang temponya, mereka main minum arak dan pesiar saja. Rupanya urusan negara mereka kesampingkan." "Benar begitu," Sahut Oey Yong. "Maka itu ayahku paling jemu semua orang semacam mereka. Umpama ayah dapat membaca syair ini, mungkin ia cari penulisnya untuk menebas tubuhnya menjadi dua potong." Tiba-tiba di belakang mereka ada orang tertawa dingin yang berkata. "Jiwi tahu apa maka kamu bicara semabarangan di sini?" Kwee Ceng berdua menoleh dengan cepat. Mereka melihat seorang dengan dandanan sebagai sastrawan, umurnya kurang lebih empatpuluh tahun, yang masih saja tertawa dingin. Kwee Ceng lantas memberi hormat dan berkata. "Aku yang rendah tidak mengerti, tolong tuan menjelaskannya." "Kau tahu inilah buah kalam istimewa dari Thayhaksu Jie Kok Po dari tahun Sun-hie," Kata orang itu. "Ketika itu Kaisar Hauw Cong datang ke mari untuk minum arak, dia dapat melihat syair itu, dia puji tinggi, lalu di itu hari juga ia memberikan pangkat kepada Jie Kok Po karena karyanya itu. Itulah untuk bagus dari seorang sastrawan. Maka kenapa jiwi bicara sembarangan saja?" "Jadi kesokol ini pernah dilihat kaisar maka tuan rumah menutupinya?" Tanya Oey Yong. "Bukan itu saja!" Kata orang itu, tetap tertawa dingin. "Coba lihat itu bagian kata-kata 'Besok datang kembali dengan sisa mabuk'. Bukankah pada itu ada dua tanda hurufnya yang diubah?" Oey Yong berdua Kwee Ceng mengawasi. Benar mereka mendapatkan dua huruf perubahan itu. "Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak,' tetapi kaisar cela itu, katanya pandangannya cupat, lalu ia mengubahnya yaitu huruf 'bawa' ditukar dengan huruf 'mendukung' dan huruf ' arak' ditukar dengan huruf 'mabok'. Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak'. Kalau kaisar tidak pintar, mana dapat ia mengubah itu?" Habis berkata orang itu menggeleng kepala dan menghela napas. "Ha, satu kaisar begitu gila arak!" Seru Kwee Ceng dengan gusar, dan ia dupak terbalik kekosol itu, hingga rusak. Sejak masih kecil Kwee Ceng telah mendengar keterangan ibunya perihal kekejaman bangsa Kim, ia menyangka itu hanya disebabkan kelemahannya kerajaan Song, maka ia mengharap, sepindahnya ke Selatan, raja nanti bergiat memajukan negera, untuk menuntut balas, siapa tahu, raja gila pelesiran. Maka dalam gusarnya, ia hajar sekosol ini, terus ia jambak si sastrawan, untuk dijoroki, hingga ia roboh masuk ke jambangan arak. Kepala di bawah, kaki di atas! "Bagus!" Oey Yong berseru. Ia sambar kedua kaki meja dan patahkan itu, lalu dengan sepasang kaki meja itu, ia menghajar kalang-kabutan. Pemilik rumah makan dan tetamu lainnya, yang tidak tahu telah terjadi apa, lari keluar dengan ketakutan. Kwee Ceng lantas mengamuk seperti Oey Yong, akhirnya ia hajar sebuah tiang hingga tiang itu patah dan rumah makan itu ambruk. Setelah itu keduanya tertawa, sambil berpegangan tangan, mereka ngeloyor ke Utara. Tidak ada orang yang berani menyusul mereka. "Puas juga sekarang!" Kata Kwee Ceng di tengah jalan. Ia tertawa pula. "Ya, apa yang kita lihat dan tak menyenangi, mari kita hajar!" Oey Yong membenarkan. "Bagus begitu!" Jalan lebih jauh di sepanjang jalan itu mereka nampak banyak syair, di batu, di pohon, di tembok. Melihat itu, Kwee Ceng menghela napas. "Kalau begini, tak bisa kita menghajar semua," Ia bilang. "Kau cerdik, Yong-jie, kau ada punya daya apa?" "Aku lihat ada syairnya yang baik," Sahut si nona. "Ah, peduli apa!" Selagi bicara, mereka tiba di puncak Hui Lay Hong. Di tengah itu ada paseban Cui Bie Teng tulisannya Jenderal Han See Tiong. Girang Kwee Ceng melihat itu, sebab Han See Tong ialah panglima tersohor yang menentang bangsa Kim. Ia bertindak masuk ke dalam paseban itu. Di dalam itu ada sebuah syair tulisan Han See Tiong. "Bagus syair ini!" Kwee Ceng memuji. "Sebenarnya itulah syairnya Bu Bok Ong Gak Hui," Kata Oey Yong. "Eh, mengapa kau ketahui itu?" "Ayah pernah menuturkan itu padaku. Tempo tahun Ciauw-hin ke 11 di musim dingin, Gak Bu Bok difitnah dan dihukum mati oleh Cin Kwee, lalu di lain tahunnya di musim semi, Han See Tiong membangun paseban ini sebagai tanda peringatan dan ia menuliskan syairnya Bu Bok itu, yang terus diukir." Kwee Ceng mengagumi panglima kenamaan itu, lama ia berdiri diam mengawasi syairnya, yang pun ia usap-usap. Sedang begitu, mendadak Oey Yong mendak seraya menarik ujung bajunya, hingga ia mesti mengikuti, masuk ke dalam gombolan pohon bunga. Di situ pundaknya di tekan, hingga ia berjongkok seperti si nona. Hampir di itu waktu, mereka mendengar tindakan kaki memasuki paseban itu. "Han See Tiong itu memang seorang enghiong," Berkata seorang. "Tetapi istrinya pun gagah meski istri itu asal bunga raja. Bukankah ia telah turut maju di medan perang dan telah memukul tambur untuk mengajurkan suaminya memperoleh kemenangan?" Kwee Ceng mengenali suara itu tetapi tak ingat ia suara siapa itu. "Gak Hui dan See Tiong memang enghiong tetapi mereka kalah dengan kaisar," Kata seorang lain. "Bukankah kaisar menghendaki kematiannya dan semua kekuasaannya atas angkatan perang telah ditarik pulang? Mereka gagah tetapi mereka mesti menerima nasib. Demikian pengaruh kaisar, yang tak dapat ditentang!" Sekarang Kwee Ceng ingat suaranya Yo Kang. Ia heran. Ia menduga-duga, mengapa pemuda ini berada di tempat ini. Justru itu terdengar satu suara lain, yang seperti cecer pecah, hingga ia bertambah heran dan kaget. Itulah suaranya See Tok Auwyang Hong si Bisa dari Barat. Kata Auwyang Hong. "Benar! Asal kaisar gelap pikiran yang bertahta dan segala dorna memegang kekuasaan atas pemerintahan tak peduli satu enghiong terbesar, ia tak ada gunanya!" "Maka kalau raja bijaksana," Berkata orang yang pertama. "Pastilah orang-orang seperti Auwyang Sianseng bakal dapat memperlihatkan kegagahan dan kepandaiannya!" Kwee Ceng mengenali suara orang ini, ialah Wanyen Lieh, putra keenam dari negara Kim atau musuh yang membunuh ayahnya. Tadi, dalam tempo pebdek, ia tak segera mendapat ingat. Mereka berdiam tidak lama di dalam paseban, habis bicara dan tertawa, mereka berlalu pula. "Coba duga," Kata Kwee Ceng pada Oey Yong setelah mereka itu pergi jauh. "Apa maksud mereka datang ke Lim-an ini? Dan adik Kang, kenapa ia ada bersama mereka itu?" "Memang sudah lama aku melihatnya adikmu itu bukan orang baik-baik, kau tetap membilang ia turunan orang gagah," Menyahut si nona. "Baru sekarang kau mengerti! Kalau ia benar orang baik, kenapa dia bergaul sama See Tok dan pangeran musuh itu?" "Aku juga tidak mengerti," Kata Kwee Ceng. Oey Yong lantas menyebut hal yang ia dengar di ranggon Hoa Cui Kok di istana Chao Wang baru-baru ini. Ia menambahkan. "Wanyen Lieh telah mengumpulkan Pheng Lian Houw dan kambrat- kambratnya, maksudnya untuk mencari surat wasiat Gak Bu Bok, maka mau aku menduga surat wasiat itu mesti berada di dalam kota Lim-an ini. Sungguh celaka rakyat Song kita apabila surat wasiat itu benar-benar terjatuh di tangan mereka itu!" Tergetar hatinya Kwee Ceng. Memang itulah hebat. "Yong-jie," Katanya. "Kita mesti mencegah mereka berhasil mencuri surat wasiat itu!" "Hanya sulitnya mereka itu ada bersama si Bisa dari Barat itu" "Apakah kau jeri?" "Apakah kau sendiri tidak takut?" "Memang aku takut terhadap See Tok, tetapi urusan ada begini besar, karenanya tak dapat kita main takut saja." Oey Yong tertawa. "Kau tidak takut, aku juga tidak takut!" Katanya. "Bagus! Sekarang mari kita susul mereka!" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mereka berlalu dari paseban itu, tetapi mereka tak dapat menyandak Wanyen Lieh bertiga, dan sia-sia saja mereka ubak-ubakan di dalam kota. Hangciu kota besar, dalam tempo yang singkat, kota itu tak dapat diputari seluruhnya. Maka itu setelah setengah harian dan sang sore mendatangi, mereka pergi ke taman Bu Lim Wan di Tiong-wa-cu. Oey Yong melihat sebuah toko yang menjual pelbagai macam topeng, yang lukisannya bagus dan hidup, ia menjadi ketarik hatinya. Ia ingat janjinya kepada Ciu Pek Thong, yang ia hendah membelikan sesuatu, maka ia masuk ke dalam toko itu, dengan mengeluarkan lima chie, ia dapat membeli belasan topeng, seperti dari Ciong Hiok si raja setan, hakim neraka, toapekkong dapur, malaikat tani, serdadu langitdan hantu lainnya. Semua itu dibungkus jadi satu. "Entah rumah makan apa itu?" Kata Oey Yong. Ia mendapat cium bau makanan lezat dari restoran di sebelah toko topeng itu. "Rupanya jiwi bukan orang sini maka jiwi tidak ketahui," Berkata pelayan toko tertawa. "Itulah restoran Sam Goan Lauw, yang kesohor nomor satu di kota kita. Jangan jiwi melewatkan kesempatanmu ini!" Oey Yong ketarik hatinya, ia menyambuti topengnya, lantas ia tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi. Rumah makan itu dipajang indah, catnya pun bagus. Diatas lauwtengnya ada dipanjar banyak tengloleng. Di pekarangannya dalam ada pohon-pohon bunga dan lainnya. Setibanya mereka di lauwteng, pelayan menyambut mereka dengan manis, menunjuki mereka tempat duduk. Kemudian, setelah dapat pesanan makanan, pelayan itu mengundurkan diri. Dari terangnya api, Kwee Ceng melihat beberapa puluh bunga raja dengan pakaiannya yang mewah berkumpul di samping lorong. Ia heran. Ia hendak menanyakan pelayan atau mendadak ia tunda maksudnya itu, sebab kupingnya segera mendapat dengar satu suara dari balik tembok. "Baik juga! Coba suruh mereka bernyanyi menemani kita minum arak!" Itulah suaranya Wanyen Lieh. Kwee Ceng dan Oey Yong saling merilik. Di dalam hatinya mereka kata. "Bagus!" Mereka telah mencari berputaran, tak tahunya orang ada disini. Lalu terdengar suara memanggil dari pelayan, atas mana satu nona bunga raja menyahuti lantas datang menghampirkan. Dia bertindak elok dan tangannya memegang kecrek. Tidak lama kemudian, sudah terdengar suara bernyanyi yang merdu, nyanyian yang memujikan sungai Cian-tong dan kotanya yang indah. "Bagus!" Demikian terdengar pujiannya Wanyen Lieh dan Yo Kang diakhirnya lagu itu. Habis itu terdengar ucapan terima kasih dari si tukang nyanyi, yang lantas mengundurkan diri dengan gembira, rupanya ia mendapat persenan besar. "Anak," Kemudian terdengar suara Wanyen Lieh. "Kau tahu tidak, syairnya Liu Eng itu ada hubungannya sama negara Kim yang besar?" "Anak tidak tahu, coba ayah menjelaskannya," Terdengar jawabannya Yo Kang. Mendengar orang saling memanggil anak dan ayah, Kwee Ceng dan Oey Yong saling melirik. Kwee Ceng berdongkol berbareng masgul. Kalau bisa, ingin ia menjambak Yo Kang, untuk paksa ia memberi keterangan. Yang dibilang syairnya Liu Eng itu ialah syair "Bong Hay Tiauw" Atau "Memandang gelombang" Yang tadi dinyanyikan si nona tukang nyanyi itu. Lantas terdengar penjelasan Wanyen Lieh. "Di dalam tahun Ceng-liong dari negara Kim yang agung. Junjungan kita Liang telah melihat syairnya Liu Eng itu yang memuji telaga See Ouw. Karena ini, ketika dikirim utusan ke Selatan, sekalian dikirim juga seorang pelukis, buat dia menggambar panorama kota Lim-an dalam mana dilukiskan juga Junjungan kita lagi berdiri bersama kudanya di puncak bukit Gouw San, kemudian Junjungan sendiri yang menulis syair di dalam gambar itu, syair yang menguraikan ia membawa angkatan perang ke See Ouw dan ia berdiri di puncak ke satu dari bukit Gouw San itu." "Sungguh bagus!" Yo Kang memuji. Kwee Ceng meremas tangannya sendiri saking mendongkolnya. Lalu terdengar Wanyen Lieh menghela napas yang berkata dengan menyesal. "Sayang tak tercapai cita-cita Junjungan Lian membawa angkatan perang ke Selatan untuk mendaki puncak Gouw San itu, meski begitu, cita-cita itu sekarang akan ditelad oleh anak cucunya. Cita-cita luhur dari Junjungan itu terbukti dengan syair yang ia tulis pada sebuah kipas, bunyinya, 'Kalau gagang kipas ada di tangan, maka angin sejuk akan memenuhi kolong langit'." Di waktu mengucap begitu, pastilah semangat Wanyen Lieh tengah tersengsam. Setelah itu terdengar tertawa nyaring dari Auwyang Hong, yang berkata. "Kalau di lain hari ongya yang memegang kekuasaan besar pastilah akan tercapai itu cita-cita berdiri di puncak gunung Gouw Wan!" "Semoga terjadi apa yang sianseng katakan," Kata Wanyen Lieh perlahan. "Di sini ada banyak mata dan kuping, mari kita minum saja." Sampai di situ, bertukarlah pokok pembicaraan mereka itu bertiga. Mereka berbicara tentang keindahan tempat dan adat kebiasaan penduduknya. "Mereka minum dengan gembira sekali, aku justru akan membikin mereka tidak gembira!" Oey Yong berbisik di telinga Kwee Ceng, yang ia terus ajak pergi ke taman belakang. Di sini si nona menyulut api, untuk membakar gudang kayu di empat penjuru, maka di lain saat, berkobarlah api itu merupakan satu kebakaran! Dalam sekejap berisiklah suara orang yang berteriak- teriak dari berlari-larian. "Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Padamkan api!" "Mari lekas ke depan!" Si nona membisiki lawannya. "Nanti mereka keburu lenyap lagi!" "Malam ini mesti aku berhasil menikam mampus Wanyen Lieh!" Kata Kwee Ceng sengit. "Tapi kita mesti temani suhu masuk dulu ke istana," Kata Oey Yong. "Kemudian kita minta Ciu Toako layani See Tok, supaya kita leluasa menghadap itu sepasang manusia celaka!" "Benar!" Kata Kwee Ceng setuju. Mereka lantas turut berdesakan pergi ke depan dimana justru Wanyen Lieh bersama Yo Kang dan Auwyang Hong terlihat lagi keluar dari rumah makan. Mereka menguntit dari kejauhan, melintasi sejumlah jalan dan gang, sampai di penginapan Siang Hong di See-sie-tiang. Sekian lama mereka menantikan, tidak juga Wanyen Lieh keluar, maka mereka menduga tentulah tiga orang itu mondok di hotel itu. "Mari kita pulang, setelah mengajak Ciu Toako, baru kita satroni pula mereka!" Kata Oey Yong. Kwee Ceng menurut. Mereka pulang ke penginapan Kim Hoa. Baru sampai di depan penginapan, mereka sudah dengar suara berisik dari Ciu Pek Thong, Kwee Ceng kaget, ia khawatirkan luka gurunya. Ia lari masuk. Tiba di pekarangan, hatinya lega. Di sana Pek Thong lagi berselisih sama beberapa anak-anak. Nyata dia kalah bertaruh dan hendak menganglap dan anak-anak itu tidak mau mengerti. Melihat Oey Yong, karena takut ditegur, Pek Thong lantas ngeloyor masuk. Oey Yong berdua Kwee Ceng mengikuti, sesampainya di dalam, si nona mengeluarkan macam-macam topeng yang ia beli itu, ia perlihatkan pada si orang tua. Pek Thong gembira, ia pakai itu satu demi satu, hingga sebentar ia jadi hakim neraka, sebentar ia jadi hantu. Oey Yong lantas bicara. Ia minta sebentar si tua itu membantu ia untuk menghadapi Auwyang Hong. "Baik!" Pek Thong menjawab. "Sebentar aku lawan dia dengan kedua tanganku, dengan dua macam ilmu silat juga!" Oey Yong khawatir si tua ini nanti berlaku seperti di Tho Hoa To, sebab menghukum diri disebabkan menggunai ilmu silat Kiu Im Cin-keng, dia sudah ikat kedua tangannya untuk bertempur sama ayahnya. Maka itu ia lantas berkata. "See Tok itu manusia sangat busuk, kalau kau gunai Kiu Im Cin-keng untuk menghajar dia, kau tentu tidak melanggar larangan kakak seperguruanmu!" "Ah, itu tidak dapat!" Menampik Ciu Pek Thong sambil membuka lebar matanya. "Aku toh sudah menyakinkan ilmu silat baru tanpa menggunai Kim Im Cin-keng itu." Oey Yong tidak mau memaksa. Ia khawatir si tua itu nanti ngambek. Siang hari itu, hatinya Ciu Pek Thong sudah seperti berada di dalam dapur istana. Maka begitu tiba jam dua, Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, dengan sambil jalan diatas genteng, berempat mereka pergi ke istana, menuju langsung ke dapur, yang berada di belakang bukit Liok Pouw San dan dekat dengan pendopo istana Kee-beng-thian. Pendopo ini ialah tempat menyiapkan barang hidangan untuk raja. Istana terjaga kuat tapi di tengah malam seperti itu, dapur sepi, cuma apinya yang terang menderang. Beberapa orang kebiri menjaga di situ tapi mereka ini sudah keburu tidur pulas. Kwee Ceng mendudukkan Ang Cit Kong di atas penglari. Oey Yong bersama Ciu Pek Thong menggerataki almari untuk mencari barang hidangan seadanya, maka dilain saat, berempat mereka sudah menggoyang janggut. "Ah, pengemis bangkotan, barang makanan di sini mana lebih lezat daripada masakannya Nona Oey," Kata Pek Tong menggeleng kepala. "Jauh-jauh kau datang kemari, habisnya tak menggembirakan." "Sebenarnya aku ingin dahar Wanyon Ngo-tin-kwee, sayang kokinya entah pergi kemana," Sahut Ang Cit Kong. "Yang ada di sini ialah barang makanan biasa, ini memang kurang lezat. Baik besok kita bekuk itu koki dan suruh ia memasaki." "Aku tidak percaya dia dapat menangkan masakan Nona Oey!" Kata pula Pek Thong. Oey Yong tertawa. Ia tahu dia dipuji, sebab Pek Thong bersyukur sudah dibelikan topeng. "Aku mau berdiam di sini menantikan koki itu," Kata Cit Kong. "Kalau kau tidak gembira, pergilah kau bersama anak Ceng, biar anak Yong menemani aku. Besok malam baru kau datang menyambut aku." Pek Thong membekal topengnya, ia pakai topeng malaikat kota. "Tidak, aku akan ebrdiam di sini menemani kau!" Katanya tertawa. "Besok aku akan pakai topeng ini untuk menemui raja! Saudara Kwee dan nona Oey, kamu awasi See Tok jangan sampai ia berhasil mencuri surat wasiatnya Gak Bu Bok." "Loo Boan Tong benar, maka pergilah kamu lekas," Kata Ang Cit Kong. "Asal kamu waspada." Muda-mudi iru menyahuti bahwa mereka akan taati pesan itu. "Malam itu jangan tempur si tua bangkotan yang berbisa, tunggu saja besok, lihar aku!" Pek Thong memesan pula. "Meskipun kita tidak menang, kita mesti tempur dia," Oey Yong bilang. Lalu bersama Kwee Ceng ia berlalu, maksudnya pergi ke penginapan Siang Hong untuk mengintai Wanyen Lieh bertiga. Dua pendopo istana telah dilewati ketika si nona merasakan hawa dingin serta kupingnya mendengar suara air. Angin halus pun membawa datang harumnya bunga. Oey Yong memang paling menggemari bunga, mendapat cium bau semerbak itu, ia lantas berpikir di istana ini, di dekatnya, bunga-bunga di istana mestinya beraneka warna, maka itu, mesti ia melihatnya. Karena ini ia tarik tangannya Kwee Ceng, buat ajak si anak muda pergi mencari pohon bunga itu. Tidak gampang untuk muda-mudi ini sampai di tempat tujuannya, mereka hanya merasai hawa semakin dingin dan suara air makin keras dan berisik. Mereka jalan terus sampai melewati dua lorong panjang dan menikung, lalu sampai di satu tempat di mana ada ditaman rapi banyak pohon cemara dan pohon bambu, hingga suasana di situ menjadi teduh ayem. Oey Yong bergembira. Ia dapatkan jalanan di dalam istana ini kalah dengan jalanan di Tho Hoa To, pulaunya itu, tetapi pepohonannya tidak usah menyerah. Ketika ia jalan beberapa tindak, di hadapannya ia melihat air tumpah turun dari gunung putih bagaikan rantai perak, jatuhnya ke sebuah pengempang lebar. Di dalam empang itu kedapatan banyak pohon teratai dengan bunganya yang merah dan putih. Di depan empang ada sebuah paseban indah dengan merknya Cui Han Tong. Tanpa sangsi-sangsi, Oey Yong bertindak masuk ke dalam paseban itu di mana di bagian depannya terlihat banyak macam bunga musim panas, seperti melati, giokkui dan ang-ciauw yang harum, dan di sebelah belakangnya ada di pasang hio wangi dan dupa, yang menambah harumnya pesaben itu. Di atas meja pun tersajikan banyak macam buah, seperti obi teratai, semangka, tho dan lainnya. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Di atas kursi ada beberapa buah kipas. Mungkin tempat raja berangin sebelum raja itu masuk tidur. "Sungguh raja berbahagia!" Kwee Ceng mengeluh. "Nah, kau pun mencobai menjadi raja barang satu kali!" Kata Oey Yong tertawa seraya ia tarik tangan si anak muda itu, untuk orang bercokol di atas pembaringan, kemudian ia ambil beberapa rupa buah, ia menyuguhinya sambil berlutut dan berkata. "Silahkan Sri baginda bahar bebuahan!" Kwee Ceng tertawa, sambil tangannya mengambil buah piepee, ia berkata. "Silahkan bangun!" "Salah!" Berkata Oey Yong. "Raja tidak pernah mengatakan silahkan bangun, itu terlalu sungkan!" Kwee Ceng tertawa pula, begitu pun si nona. Selagi mereka gembira itu, hingga mereka seperti lupa daratan, dari kejauhan terdengar bentakan. "Siapa di sana?!" Keduanya menjadi kaget, serentak mereka berlompat, untuk terus sembunyi di belakang gunung-gunungan. Teguran itu disusul sama tindakan cepat dan berat dari dua orang, mendengar tindakan mana lega hatinya si pemuda dan pemudi itu. "Jangan pedulikan mereka!" Oey Yong berbisik. "Dua kantong nasi itu tidak bakal menemui kita!" Itu waktu lantas terlihat dua orang, yang tubuhnya besar, tiba di paseban, tangan mereka masing-masing mencekal sebatang golok. Mereka itu lantas celingukan. Cuma sebentar, yang satu lantas tertawa. "Ah. Lao Su, kau melihat setan!" Katanya. "Ya, dalam beberapa hari ini mataku seperti lamur!" Sahut kawannya yang dipanggil Lao Su itu, artinya Su si tua. Kemudian dua orang itu mengundurkan diri. Oey Yong tertawa di dalam hatinya, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng niatnya untuk diajak keluar, tetapi belum lagi mereka muncul dari tempat persembunyiannya mereka itu, kuping mereka mendapat dengar seruan tertahan dari dua centeng istana itu, benar suara itu perlahan akan tetapi si noa dan si pemuda mengerti, itulah suara dari orang yang kena ditotok jalan darahnya. Mereka lantas berpikir. "Tentu Ciu Toako tak sabaran, dia pun lantas keluar pesiar!" "Itu paseban di samping air tumpah ialah Cui Han Tong!" Tiba-tiba Oey Yong dan Kwee Ceng mendnegar suara orang, perlahan. "Mari kita pergi ke sana." Muda-mudi ini terperanjat. Mereka mengenali suaranya Wanyen Lieh. keduanya saling menjabat tangan erat-erat, terus mereka menyembunyikan diri mereka. Tubuh mereka tidak berkutik, tetpai mata mereka dipasang, diincarkan ke depan. Di antara sinar bintang-bintang terlihat beberapa tubuh orang, bahkan lantas dikenali, kecuali Wanyen Lieh dan Auwyang Hong, ada Pheng Lian Houw, See Thong Thian, Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong. "Heran, mau apa mereka datang ke istana" Pikir muda mudi ini. "Tak mungkin mereka pun hendak mencuri barangan makanan raja" "Siauw-ong telah meneliti surat yang ditinggalkan Gak Bu Bok," Terdengar suaranya Wanyen Lieh. "Juga siauw-ong telah periksa surat-surat dua kaisar Kho Cong dan Hauw Cong, mak aitu berani siauw-ong memastikan surat wasiat Gak Bu Bok itu mestinya disimpan di sini, lima belas tindak di Timur Cui Han Tong ini." Sembari berkata pangeran Kim itu menunjuk dengan tangannya, maka semua kawannya memandang ke arah tempat yang di tunjuk itu. Di sana adalah air tumpah, tidak ada benda lainnya. "Di dalam air tumpah mana bisa di simpan barang?" berkata Wanyen Lieh heran. "Toh bukti-bukti memastikan demikian" See Thong Thian pandai berenang, julukannya pun Kwie-bun Liong Ong, si Raja Naga Pintu Setan, maka ia lantas berkata. "Nanti aku terjun akan memeriksa air tumpah ini." Cepat ia bersiap, atau ia sudah terjun ke dalam air. Tidak lama, ia sudah timbul pula dan terus mendarat. Semua kawannya menghampirkan padanya. "Ongya benar pandai!" Kata orang she See ini. "Di belakang air tumpah ini ada sebuah gua dengan pintunya besi yang terkunci." Wanyen Lieh menjadi sangat girang. "Surat wasiat Gak Bu Bok mesti di simpan di dalam gua itu!" Katanya nyaring. "Sekarang siauw-ongya minta tuan-tuan suka pergi membuka pintu besi itu." Titah ini tak usah diulangi atau orang sudah lantas berlompat maju untuk memasuki air tumpah itu, kecuali Auwyang Hong yang dengan tertawa dingin berdiam terus di sisinya si pangeran Kim itu. Ia merasa derajatnya lain, tak sudi ia berbuat seperti kawan-kawan itu. See Thong Thian maju paling dulu. Begitu ia melewati air tumpah, mendadak ada angin menyambar padanya. Dia lihay tetapi dia tidak menyangka jelek, maka itu hendak ia berkelit, atau segera tangan kirinya kena orang cekal terus ditolak dengan keras, hingga ia terpental balik menubruk Nio Cu Ong! Syukur, dua-dua mereka lihay, keduanya tidak terluka, mereka melainkan terhuyung mundur. Semua orang heran, tetapi sementara itu, untuk kedua kalinya, See Thong Thian sudah menyerbu pula air tumpah itu. Ia penasaran dan kali ini ia berseiap sedia. Ia melindungi mukanya. Benar saja, baru ia lewati air, atau sebuah kepalan sudah meninju kepadanya. Karena ia sudah bersedia, ia menangkis dengan tangan kirinya seraya kepalan tangan kanan dipakai membarengi menyerang membalas. Ketika itu Nio Cu Ong pun menyerbu air tumpah itu, hanya untuk kagetnya, ia dipapaki tongkat. Ia kaget, ia tidak sempat menangkis, maka itu ia berkelit dengan melenggakan tubuhnya. Tentu sekali, karenanya, ia roboh ke air dan kena ditarik. Celaka untuknya, kakinya kena tergaet. Dasar lihay, ia masih sempat lompat keluar dari air tumpah. Berbareng dengan itu, See Thong Thian pun mesti keluar lagi karena ia kena didesak tinju yang dahsyat. Hauw Thong Hay telah menyaksikan semua itu. Ia sembrono, maka itu ia tidak ingat bahwa ilmu silat ia kalah dari See Thong Thian, sang kakak seperguruan, ia lantas maju. Ia mau mengandalkan kepandaiannya bisa berenang dan di dalam air bisa membuka matanya. Pheng Lian Houw menginsyafi bahaya yang mengancam bahaya yang mengancam kawan ini, hendak ia memberikan bantuannya, tapi belum sempat ia maju, atau suatu benda besar dan hitam sudah mental keluar dari air tumpah itu, jatuh ke tanah dengan suara gedebuk nyaring, yang mana disusl sama jeritannya Hauw Thong Hay, sebab dialah yang melayang dan roboh itu. Lian Houw lantas lompat menghampirkan. "Perlahan, saudara Hauw!" Ia memperingati, berbisik. "Kau kenapa?" "Celaka, kempolanku kena terhajar!" Sahut Sam-tauw-kauw Si Ular Naga Kepala Tiga. Lian Houw kaget dan heran dan merasa lucu juga. "Sebenarnya telah terjadi apa?" Ia menegasi. Ia meraba kempolan orang, di situ ia tidak merasa ada yang luar biasa. Ia teliti, tentu ia tidak mau sembarang menyerbu air tumpah itu. Maka ia menanya pula. "Ada orang di dalam? Siapakah dia?" "Mana aku tahu?" Sahut Thong Hay ketus. Ia kesakitan dan mendongkol. "Begitu aku masuk begitu aku terhajar keluar!" Lian Houw tercengang. Justru itu Leng Tie Siangjin, dengan jubahnya berkibaran, memasuki air tumpah itu, atau dilain saat dia perdengarkan suaranya dalam bahasa Tibet, dia berbicara sambil berseru-seru dan terdengar juga suara pertarungannya. Maka teranglah ia pun dapat sambutan dan jadi berkelahi. Wanyen Lieh semua saling mengawasi, mereka terbenam dalam keheranan. Tidak tahu mereka, ada musuh siapa di dalam air tumpah itu. Menurut See Thong Thian dan Nio Cu Ong, mereka samar-samar melihat sepasang pemuda-pemudi, si pemuda dengan tangan kosong, si pemudi dengan tongkat. Kembali terdengar teriakan Leng Tie Siangjin, teriakan kemurkaan. Rupanya dia pun "menderita" "Kenapa Siangjin juga begini tidak tahu selatan?" Kata Wanyen Lieh sambil mengerutkan kening. "Dia membikin banyak berisik, bagaimana kalau pahlawan-pahlawan raja dapat mendengarnya? Dengan begitu masih bisakah kita mencuri wasiat?" Baru berhenti suaranya pangeran ini atau mereka melihat air tumpah membawa serupa benda merah, yang segera juga dikenali jubah suci dari Leng Tie Siangjin, menyusul mana, dengan diberikuti suara air, dua cecernya orang suci ini terlempar keluar dari dalam air tumpah itu. Hauw Thong Hay khawatir cecer itu jatuh dengan menerbitkan suara berisik, ia lomat untuk menangkapinya. Dari dalam air tumpah lagi sekali terdengar dampratan Leng Tie Siangjin, hanya kali ini disusul sama mencelatnya tubuhnya yang besar, akan tetapi karena ia lihay, ketika ia tiba di luar, ia dapat berdiri dengan tegar. "Itulah bocah dan budak yang kita ketemukan di perahu!" Leng Tie kata dengan sengit. Bab 48. Apa yang nampak dari tempat sembunyi Kwee Ceng dan Oey Yong, yang bersembunyi di belakang gunung, mendengar nyata pembicaraannya Wanyen Lieh beramai. Karena mereka itu hendak mencuri surat wasiat Gak Hui, mereka takut sekali surat wasiat itu kena didapatkan pangeran itu. Inilah hebat. Dengan menggunai siasatnya Gak Hui itu, pasti bangsa Kim bakal berhasil menyerbu negara Song. Bagaimana itu bisa dicegah? Diantara orang-orangnya Wanyen Lieh pun ada Auwyang Hong yang lihay. Oey Yong mencoba mencari akal, untuk membikin mereka itu kaget dan nanti lari kabur. Kwee Ceng sebaliknya tidak sabaran, karena tidak ada tempo lagi untuk berpikir lama-lama atau mengatur tipu. Akhirnya pemudi ini menarik tangan si pemuda, untuk diajak pergi ke belakang air tumpah. Mereka sampai di sana tanpa ada yang lihat dan tanpa ada yang dengar, sebab tumpahnya air sangat berisik. Muda-mudi ini telah siap sedia ketika See Thong Hay mencoba memasuki air tumpah itu, dengan gampang dia dihajar kembali. Hasilnya penolakan ini membikin mereka berdua jadi heran dan kagum, girang sekali. Itulah buahnya pernyakinan mereka atas ilmu Ie-kin Toan-kut Pian. Demikian mereka menghajar Hauw Thong Hay dan akhirnya Leng Tie Siangjin hingga pendeta Tibet ini mencaci kalang kabutan. "Engko Ceng, mari lekas!" Oey Yong mengajak. "Mari kita keluar dan berteriak-teriak, biar kawanan pahlawan pada datang kemari, dengan begitu mereka ini tentulah tak dapat bekerja terlebih jauh melakukan pencurian!" Oey Yong berkata berpikir demikian sebab ia percaya, habis Leng Tie Siangjin, Auwyang Hong bakal turun tangan, kalau See Tok yang maju, pasti mereka tidak berdaya lagi. "Pergi kau keluar dan berteriak-teriak, aku sendiri akan berjaga di sini!" "Tapi ingat, jangan tempur si bangkotan yang berbisa itu!" Oey Yong memesan. "Aku mengerti! Nah, keluarlah! Keluarlah lekas!" Baru Oey Yong mau keluar atau mendadak mereka merasakan tolakan angin keras sekali. Mereka kaget tetapi mereka tidak mau menangkis, hanya dengan berbareng keduanya lompat ke samping masing-masing. Hebat tolakan itu, yang ada Kap-mo-kang, pukulam Kuntauw Kodok dari Auwyang Hong. Karena tidak memperoleh perlawanan, serangan itu mengenai tepat pintu besai dari gua, maka itu terdengarlah satu suara nyaring sedang air muncrat ke segala penjuru. Oey Yong melompat tetapi ia kalah sebat, punggungnya kena tersampok angin. Dalam sekejap itu ia merasakan sulit bernapas, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, akan tetapi ia masih ingat tugasnya, hanya berdiam sejenak, untuk memusatkan pikiran, segera ia melompat keluar, akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya. "Ada pembunuh gelap! Ada pembunuh gelap! Tangkap! Tangkap!" Dan sembari berteriak-teriak, ia kabur ke depan. Wanyen Lieh semua kaget. "Marilah kita hajar mampus dulu budak ini!" Pheng Lian Houw berseru bahna mendongkolnya. Ia gusar dan penasaran. Segera ia melompat, untuk mengejar. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Suaranya Oey Yong mendengung dalam malam yang sunyai itu, suara itu dapat didengar rombongan-rombongan Siewie atau pahlawan kaisar di empat penjuru istana. Paling dulu terdengar seruan mereka berulang-ulang, untuk saling memberi tanda, habis itu mereka lantas bergerak. Oey Yong berlompat naik ke atas genting, ia mencabuti genting dengan apa ia menimpuk kalang-kabutan. Perbuatannya ini pun menambah suara berisik. Pheng Lian Houw, disusul Nio Cu Ong, merangsak, untuk mendekati si nona. Dalam keadaan seperti itu, Wanyen Lieh masih dapat bersikap tenang. Ia menoleh ke sisinya, kepada seorang yang mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam juga. "Anak Kang, pergilah kau bersama Auwyang Sianseng masuk ke air tumpah untuk mengambil surat wasiat itu!" Katanya. Pangeran itu masih belum mau melepaskan ikhtiarnya mencuri surat yang dia sangat harapkan itu. Orang dismapingnya itu, yang memakai topeng, memang Yo Kang adanya, putra pungutnya . Auwyang Hong sendiri sudah lantas nongkrong di tanah, untuk mengerahkan tenaganya, guna menggunai Kuntauw Kodok menyerang pula ke arah air tumpah, maka itu, begitu ia menyerang, terdengar pula suara berisik seperti tadi. Bahkan kali ini kedua daun pintu gua tertolak mundur ke dalam. Setelah berhasil dengan serangannya itu, Auwyang Hong mau berlompat maju guna masuk ke dalam air tumpah, guna memasuki gua dan mengambil surat wasiat yang diarah itu. Justru ia bertindak, matanya melihat bayangan orang yang berkelebat dari samping, dan belum lagi bayangan itu tiba, angin serangannya sudah mendahului. Ia mengenali, itulah pukulan Hui Liong Thay-thian, Naga Terbang ke Langit. "Hm!" Pikir See Tok sambil ia berkelit. "Memang aku hendak tanyakan dia keterangan kitab Kiu Im Cin-keng, kebetulan sekali, sekarang baik aku sekalian membekuk dia!" Karena ini, sambil berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, guna menjambak penyerang itu. Si penyerang benar Kwee Ceng adanya. Anak muda ini sudah nekat. Ia bertekad membelai surat wasiatnya Gak Hui, maka itu, ia tidak peduli musuh lihay dan Oey Yong telah melarang ia menempur See Tok. Ia harap, dalam tempo yang pendek, kawanan siewie akan sudah tiba di situ. Ketika ia menampak gerakannya Auwyang Hong, ia menduga orang tidak niat berbuat telengas, ia hanya hendak ditangkap. Ia sebenarnya heran. Tapi tak ada ketika untuk menduga-duga maksud orang. Dengan tangan kirinya ia menangkis, dengan tangan kanan ia menyerang ke pundak. Ia menggunai satu jurus dari Khong-beng-kun, yaitu Pukulan Kosong. Kwee Ceng menggunai ilmu silatnya ajaran Ciu Pek Thong, yaitu sepasang tangan saling berkelahi sendiri dan jurus yang ia pakai ialah jurus Khong-beng-kun, meskipun itu tak sehebat Hang Liong Sip-pat Ciang, toh tak dapat dipandang enteng. Tidak heran kalau Auwyang Hong terkejut. "Bagus!" Berseru See Tok yang lihay. Ia mendak dengan pundaknya, sebelah tangannya dilonjorkan, guna menangkap lengannya si penyerang. Biar bagaimana, ia berkelahi dengan waspada, sebab ia dapat kenyataan, tiap hari kepandaiannya pemuda ini bertambah terus. Auwyang Hong penasaran yang ia belum berhasil menyakinkan Kiu Im Cin-keng, ia ingin mengerti jelas kitab itu, keinginannya bertambah ketika ia dengar ocehan Ang Cit Kong di atas getek. Ia hanya tak insyaf bahwa ia tengah dipermainkan bocah she Kwee itu, sebab kitab Kiu Im Cin-keng yang berada di tangannya ialah kitab yang tidak karuan macam, yang Kwee Ceng kacaukan urutan huruf-hurufnya, hingga tak dapat diartikan lagi. Sementara itu di empat penjuru Cui Han Tong sudah terlihat obor api terang bagaikan siang. Pelbagai siewie muncul dalam satu-satu rombangan, mereka itu lari ke arah darimana terdengar teriakan-teriakan, ialah teriakannya Oey Yong. Wanyen Lieh melihat terangnya obor, ia menjadi bingung juga. Sejak masuknya Auwyang Hong dan Yo Kang ke dalam air tumpah, mereka tidak kelihatan muncul kembali. Syukur untuknya, semua siewie lari ke arah Oey Yong, siapa sedang menungkuli dua-dua Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong yang terus mengejar padanya. Untuk sementara, wilayah air tumpah itu masih selamat. Walapun begitu, pangeran ini membanting-banting kakinya, tangannya menggapai-gapai tak hentinya. "Lekas! Lekas!" Ia memanggil Leng Tie Siangjin dan putranya. "Jangan sibuk, ongya!" Berkata Leng Tie. "Nanti siauwceng masuk pula!" Pendeta Tibet ini lantas masuk ke air tumpah, dimana ia melihat Auwyang Hong sedang menempur Kwee Ceng, sedang Yo Kang yang hendak menerobos masuk, tidak mendapatkan ketikanya. Leng Tie Siangjin tidak puas mengawasi pertempuran itu. Bukankah tempo mereka sudah sangat mendesak? Kenapa Auwyang Hong bersikap seperti sedang berlatih? "Auwyang Sianseng, mari aku bantu kau!" Ia berseru. "Minggir jauh-jauh!" Auwyang Hong membentak. Leng Tie menjadi tidak puas. Di dalam hatinya ia kata. "Disaat seperti ini mana dapat kau masih bertingkah seperti satu enghiong? Jangan kau masih bawa lagakmu sebagai guru besar!" Lantas ia maju ke samping, ke arah Kwee Ceng, sebelah tangannya melayang ke tempilingan kiri si bocah. Menampak demikian, Auwyang Hong menjadi gusar sekali. Ia maju sambil menjambil pundaknya pendeta Tibet itu, terus ia mengangkatnya, terus ia melemparkannya! Tepat serangannya See Tok ini. leng ie Siangjin itu lihay dan tangannya pun ada racunnya, maka untuk melayani dia, anggota tubuhnya yang tak berbahayayang mesti dihadapi. Bukan main murkanya pendeta Tibet itu, tidak memperdulikan pula orang lihay dan dipandang Wanyen Lieh, ia mencaci kalang-kabutan, cuma ia memakai bahasa Tibet, Auwyang Hong tidak mengerti. Ia pun tak bisa mencaci lama-lama atau segera ia tak dapat bersuara lagi, sebab mulutnya lantas kemasukan air. Karena oleh Auwyang Hong ia dilemparkan ke air tumpah, hingga mulutnya tersumpal air! Wanyen Lieh terkejut akan melihat tubuh Leng Tie Siangjin terlempar keluar air tumpah. Justru itu kupingnya juga mendengar suara berisik dari arah Cui Han Tong di mana ternyata, pot kembang yang besar di depan paseban itu telah jatuh hancur. Menyusul itu, ia menampak munculnya sejumlah siwi. "Celaka!" Ia mengeluh dalam hati. Tidak ayal lagi, dengan menjinjing jubahnya, dia berlompat ke air tumpah, untuk masuk ke situ, guna menyembunyikan diri. Ia mengerti ilmu silat, tetapi di tempat begitu, kepandaiannya masih belum berarti, begitu kakinya menginjak tanah, begitu ia terpeleset jatuh. Syukur untuknya, Yo Kang dapat melihatnya dan putra ini segera lompat menyambar, menolongi padanya. Dengan melongo pangeran Kim itu melihat ke sekitarnya. "Auwyang Sianseng, apakah bocah ini dapat kau usir?" Ia tanya See Tok. Pertanyaan ini menandakan Wanyen Lieh seorang besar. Ia bukan memerintah, ia hanya menanya. Pertanyaannya itu membangkitkan hawa amarah orang. Hatinya Auwyang Hong menjadi panas. "Kenapa tidak bisa?" Menjawab Auwyang Hong, yang terus berjongkok seraya mulutnya mengasih dengar suara seperti kerak-keroknya kodok. Dengan begitu ia bersiap dengan Kuntauw Kodoknya, lalu terus kedua tangannya dimajukan ke depan. Si Bisa dari Barat ini telah mengerahkan tenaganya, umpama di situ ada Ang Cit Kong atau Tong Shia Oey Yok Su, tidak nanti mereka berani melawannya dari depan, apa pula seorang seperti Kwee Ceng. Sebenarnya juga, Auwyang Hong melayani Kwee Ceng sebagai lagi berlatih, tidak heran Leng Tie Siangjin melihatnya menjadi muak. Ada sebabnya kenapa See Tok berbuat demikian. Itulah disebabkan Kwee Ceng menggunai Khong-beng-kun. Maka See Tok melayani, untuk menanti sampai anak muda itu habis menjalankan semua jurus dari ilmu silatnya itu, habis itu baru ia hendak turun tangan, mencekuk si pemuda. Sayang maksudnya tak segera kesampaian. Mendadak Wanyen Lieh masuk ke air tumpah itu dan ia mesti dengarb itu pertanyaan yang seperti serupa ejekan, hingga hatinya menjadi panas. Ia lantas bertindak. Meski begitu, ia tidak mau membinasakan Kwee Ceng, sebab si bocah masih dibutuhkan olehnya. Dilain pihak, ia tidak menginsyafi bocah yang polos dan jujur itu, yang taat dengan tugasnya. Kwee Ceng tidak mau mundur, sekalipun ia mesti mati terbinasa. Hendak ia melindungi surat wasiatnya Gak Bu Bok. Begitu ia menyingkir, pasti Auwyang Hong akan mendapatkan surat wasiat itu, di situ ada banyak pahlawan raja tetapi menghadapi Auwyang Hong, pastilah mereka tidak berdaya. Di dalam keadaan seperti itu, selagi bahaya mengancam - sebab ia tahu ia tidak sanggup menangkis- ia mengenjot kedua kakinya, akan mengapungi diri tinggi empat kaki. Secara begitu, ia bebas dari serangan. Ketika turun pula, ia tetap berada di muka gua di mana ia menghadang seperti semula. "Bagus!" Berseru Auwyang Hong kagum. Segera ia menarik pulang kedua tangannya. See Tok ada sangat hebat. Kalau serangannya bertenaga beberapa ratus kati, tarikan pulang tangannya pun masih bertenaga besar, ada tenaga menariknya. Kwee Ceng terkejut akan merasakan angin menolak punggungnya. Ia mengerti ancaman bahaya. Ia memutar balik tangannya, untuk membela diri. Kali ini ia menggunai jurus "Sin liong pa bwee" Atau "Naga sakti menggoyang ekor" Tentu saja itulah gerakan keras lawan keras. Seharusnya ia mencoba berkelit, sebaliknya, ia menangkis. Siapa kalah tenaga dalam, dialah yang bakal bercelaka. Wanyen Lieh berdiri menjublak menonton cara orang berkelahi itu, yang mengherankan ia. Kenapa Auwyang Hong berdiam saja sebagai patung, cuma kedua tangannya yang ditolakkan ke depan dan ditarik pulang? Kenapa Kwee Ceng main berlompatan dan hanya mengawasi See Tok? Kenapa See Tok menarik pulang tangannya dan si bocah menangkis ke belakang, hingga keduanya berdiam bagaikan patung? Kedua pihak sebenarnya tengah mengadu tenaga dalam, Auwyang Hong tetap menarik, Kwee Ceng tetap mempertahankan diri. Lekas juga bocah ini bermandikan keringat. Ia telah mesti mengeluarkan seluruh tenaganya untuk dapat bertahan itu. Kembali Auwyang Hong menjadi kagum. Ia tahu benar, lagi sejenak Kwee Ceng bakal terluka parah. Ia membutuhkan bocah itu, tidak dapat ia mencelakainya. Maka ia memikir untuk mengalah. Lantas mengurangi tenaga manriknya itu. Tapi berbareng sama dikuranginya tenaganya, ia merasakan tolakan keras pada dadanya. Ia terkejut. Syukur tenaga dalamnya mahir, kalau tidak tentulah ia roboh terguling. Benar-benar ia tidak menyangka, begitu muda Kwee Ceng, tenaganya besar sekali. Segera ia menahan napas, tangannya menolak. Dengan begitu, lenyaplah tenaga mendorong tadi. Kalau Auwyang Hong terus menyerang, robohlah Kwee Ceng. Tapi ini tidak dilakukan See Tok. Dia masih mengharap habisnya tenaga si bocah, untuk menangkap hidup padanya, guna menggorek keterangan hal Kiu Im Cin-keng dari mulut orang. Sesaat kemudian mulailah terlihat tenaganya dua orang itu, yang satu berlebihan, yang lainnya berkurang. Tapi Wanyen Lieh dan Yo Kang, yang tetap menonton, tidak mendapat tahu kapan akan selesainya pertempuran macam itu, karenanya mereka menjadi cemas sendirinya. Mereka bingung mendengar suara berisik, satu tanda rombongan siwi tengah bekerja keras mencari si orang jahat Sekonyong-konyong dari dalam air tumpah terlihat dua siwi menerjang keluar. Yo Kang berlaku sangat sebat, sebelum kedua siwi itu tahu apa-apa, mereka sudah diterjang pangeran muda ini, yang kedua tangannya menyambar ke masing-masing ulu hati mereka, hingga menancap, dengan begitu robohlah mereka denagn jiwa mereka melayang. Yo Kang dengan bengis sudah menggunai cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw. Setelah itu Yo Kang menghunus pisau belatinya, lalu dengan menggenjot diri, ia lompat kepada Kwee Ceng, untuk menikam pinggangnya si anak muda. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng tidak dapat berkelit. Kalau ia mencoba menyingkirkan tubuhnya, segera ia bakal terbinasa pukulan Kodok dari Auwyaang Hong. Maka itu dalam sekejap saja ia merasakan sakit pada pinggangnya, hingga ia berbareng merasa juga pernapasannya berhenti berjalan. Maka lupalah ia segala apa, tanpa merasa ia menghajar lengannya si penyerangnya itu, si pembokong. Yo Kang merasakan sakit sekali. Ia bukan lagi tandingannya Kwee Ceng, walaupun ia mencoba menarik pulang tangannya, lengannya menjadi korban pula. Tapi itu waktu separuh pisaunya sudah masuk ke pinggang si anak muda. Karena bergeraknya itu, tenaga Kwee Ceng menjadi semakin berkurang, dari itu, ia lantas terkena dorongan tenaganya Auwyang hong. Tanpa bisa menjerit lagi ia roboh terkulai. "Sayang!" Berseru Auwyang Hong, yanga akhirnya toh juga melukai bocah lawannya itu. "Ia bakal mampus, baiklah aku tak usah pedulikan lagi padanya. Paling erlu aku lekas mencari surat wasiatnya Gak Bu Bok." Maka tanpa bersangsi lagi, ia berlompat ke dalam air tumpah. Wanyen Lieh bersama-sama Yo Kang, lantas mengintil di belakang See Tok. Auwyang Hong sudah lantas dirintangi sejumlah siwi, tetapi ia seperti tidak menghiraukan mereka itu, siapa datang dekat, ia sambar dan lempar, setelah mana, siwi lainnya tak dapat maju terlebih jauh, hingga tak lagi ada yang bisa mendekati pintu gua. Yo Kang turut masuk ke dalam gua. Ia menyalakan api untuk dipakai menyuluhi. Di tanah ada banyak tanda debu, suatu tanda tak pernah ada orang yang datang ke situ. Di tengah-tengah gua ada sebuah meja batu, di atas mana ada satu kotak batu persegi dua kaki, kotak mana tersegel. Lainnya barang tak nampak di situ. Dengan membawa apinya, Yo Kang menyuluhi hingga dekat. Di segelan ada suratnya tetapi, rupanya karena sudah terlalu tua, huruf-hurufnya tak dapat terbaca lagi. "Surat wasiat itu ada di dalam kotak ini," Berkata Wanyen Lieh. Yo Kang menjadi sangat girang, ia ulur tangannya akan mengambil peti itu. Melihat gerakan orang, Auwyang Hong menggeraki tangan kirinya ke pundak orang, atas mana tidak tetaplah berdirinya Yo Kang, tubuhnya terhuyung berberapa tindak. Pemuda ini tak mengerti, ia melongo mengawasi orang. Auwyang Hong sebaliknya sudah lantas mengempit kotak itu. "Kita sudah berhasil, mari kita lekas mengundurkan diri!" Kata Wanyen Lieh nyaring. Auwyang Hong bertindak di depan, diikuti oleh Wanyen Lieh dan Yo Kang. Selagi lewat di dekat Kwee Ceng, Yo Kang melihat tubuh orang mandi darah dan rebah tak bergeming di antara siwi korbannya See Tok, ia lantas menghela napas. "Dasar kau tidak tahu selatan, suka kau usilan," Katanya perlahan. "Maka itu janganlah kau sesalkan aku" Sebelum jalan terus, Yo Kang ingat pisau belatinya masih nancap di pinggang mangsanya, maka ingin ia mencabut senjatanya itu. Selagi ia membungkuk, untuk mengambil pisau itu, di air tumpah itu terlihat satu bayangan berkelebat di susul sama pertanyaan ini. "Engko Ceng, kau di mana?" Yo Kang terkejut. Ia mengenali suaranya Oey Yong. Lupa pada pisau belatinya, ia lompat melewati tubuhnya Kwee Ceng, terus lari keluar air tumpah, akan menyusul Auwyang hong dan Wanyen Lieh. Oey Yong mencari Kwee Ceng setelah ia permainkan Nio Cu Ong, yang ia tinggalkan begitu lekas terlihat siwi muncul disana-sini. Sebaliknya, Pheng Lian Houw berdua tidak berani mengejar terus sebab takut keperogok kawanan siwi. Mereka kembali ke dekat air tumpah, akan menggabungkan diri dengan See Thong Thian dan lainnya. Di sini mereka bertempur sama beberapa siwi sampai Auwyang Hong muncul, maka beramai-ramai mereka mengangkat kaki. Oey Yong sia-sia mencari Kwee Ceng, ia lantas masuk ke dalam air tumpah. Ia menyalakan api, dari itu ia segera melihat tubuh Kwee Ceng yang mandi darah rebah di antara beberapa siwi. Ia kaget sekali - rebahnya si pemuda tepat di sampingnya. Saking kagetnya, tubuhnya gemetaran, sampai api terlepas jatuh dari tangannya. Di itu waktu di luar gua terdengar riuh suaranya kawanan siwi yang berteriak-teriak. "Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!" Tapi mereka itu cuma berteriak-teriak, tidak ada satu pun yang berani maju akan merintangi Auwyang Hong beramai. Sebabnya ialah, lebih dulu dari itu, beberapa kawannya sudah menjadi korban See Tok hingga mereka menjadi kecil hatinya, terpaksa mereka mementang bacot saja. Oey Yong sadar dengan cepat. Ia membungkuk akan memeluk tubuhnya Kwee ceng. Ia merasakan tubuh itu hangat. Ia memanggil beberapa kali, ia tidak memperoleh jawaban. Ia menjadi bingung sekali. Maka itu ia lantas panggul tubuh engko itu, untuk dibawa menyingkir ke belakang gunung-gunungan. Di Cui Han Tong sendiri telah berkumpul banyak orang, sebab ada datang juga siwi dari lain-lain bagian istana. Obor di situ terang bagaikan siang hari. Maka ketika Oey Yong berkelebat - tak peduli ia sangat gesit - ada siwi yang melihatnya. Siwi itu lantas berteriak, terus ia memburu diikuti beberapa kawannya. Dalam mendongkolnya, Oey Yong mencaci dalam hatinya. "Ah, kawanan kantung nasi! Sungguh, kamu tidak punya guna! Kenapa kau bukan pergi mengejar orang jahat hanya orang baik-baik?" Ia menggertak gigi, tapi ia lari terus. Ada beberapa siwi yang lihay, yang larinya cepat, mereka sudah lantas datang dekat. Oey Yong menjadi bertambah mendongkol, ia meraup jarum rahasianya, ia menimpuk ke belakang, ke arah pengejar-pengejar itu. "Aduh!" Demikian terdengar etriakan, saling susul. Itulah tanda robohnya beberapa siwi, karena mana yang lainnya tidak berani mengejar terlebih jauh. Maka si nona bersama engko Cengnya terus lari keluar dari tembok istana. Keributan itu membikin istana menjadi kacau balau. Orang pun bingung, sebab tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada huru-hara di dalam untuk merampas tahta kerajaan atau ada menteri yang berontak guna merampas pemerintahan? Toh setelah itu, orang berisik sendirinya. Tidak ada kejadian lainnya lagi. Di situ telah berkumpul semua siwi, semua serdadu Gie-lim-kun. Dari tengah malam itu, hingga pagi, orang bergelisah tidak karuan. Sedatangnya fajar, tentara penunggang kuda di kirim ke pelbagai jurusan, untuk mencari si orang jahat, antaranya dengan melakukan penggeledahan secara besar-besaran. Tentu saja di itu waktu Wanyen Lieh semua telah kabur keluar kota, bahkan Oey Yong bersama Kwee Ceng telah tiba di dusun kemarinnya mereka mondok. Sebenarnya Oey Yong kabur tanpa pilih arah, baru setelah melihat tidak ada yang mengejar, ia tidak lari keras seperti semula.Lebih dulu ia sembunyi di dalam sebuah gang kecil. Di sini ia pegang hidungnya Kwee Ceng. Ia merasakan hembusan napas. Di situ tidak ada api, tak jelas ia melihat muka si anak muda. Ia mengerti diwaktu siang tidak dapat ia berkeliaran di dalam kota dengan membawa-bawa orang terluka, karena ini, ia terus lari ke tembok kota, untuk melompatinya. Maka dilain saat tibalah ia ditempatnya Sa Kouw, si nona tolol. Walaupun ia kuat, setelah berlari-lari setengah malaman, mana hatinya pun berkhawatir dan bingung. Oey Yong toh tersengal-sengal. Ia lantas menjatuhkan diri akan berduduk, guna meluruskan jalan napasnya itu. Dengan begitu, dengan perasaannya pulih hatinya pun menjadi terang. Sekarang ia lantas menyalakan sebatang kayu cemara dengan apa ia menyuluhi mukanya Kwee Ceng. Apa yang ia lihat membikin ia kaget, melebihi kagetnya di dalam gua tadi. Kwee Ceng rebah tak bergeming, kedua matanya tertutup rapat, mukanya sangat pucat. Taklah ia ketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati. Inilah pukulan sangat hebat untuk Oey Yong, hingga hatinya goncang keras. Ia berdiri bengong dengan tangannya memegangi obor kayunya itu. Ia merasakan ketika ada orang datang mendekati padanya, ia baru sadar tempo obor kayunya itu ada yang sambar. Segera ia menoleh, akan mengenali Sa Kouw. Si tolol muncul karena ia dengar suara tak seperti biasanya. Sa Kouw pun cemas menyaksikan keadaan Kwee Ceng itu. Ia lari ke dapur, untuk mengambil air dingin. Oey Yong mengerti apa yang harus ia kerjakan. Ia keluarkan sapu tangannya, ia celupkan itu ke dalam air, untuk dilain saat mulut menyusut muka yang keciprutan darah dari si anak muda. Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo