Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 58


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 58


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Kata Liam Cu.   "Di dalam keranjang besar itu ada satu orang, ialah ini adik Cin!"   Oey Yong dan Kwee Ceng mengasih dengar suara kaget perlahan.   Baru sekarang nona Cin itu berbicara, matanya memandang ke kali, sikapnya tenang sekali.   Ia kata; "Semenjak inkong dan nona Oey pergi, bersama kakek aku tetap menuntut penghidupan sebagai penangkap ular.   Kami selalu ingat kepada inkong, tak habisnya kami membicarakannya meskipun inkong tinggal di rumah kami cuma satu hari dua malam.   Dengan begitu, hidup kami tidak kesepian.   Sampai pada suatu hari, selagi aku menangkap ular, aku kedatangan tiga orang yang berpakaian hitam semua.   Tidak karuan rupa, mereka tertawa terhadapku.   Aku curiga, lantas aku lari pulang.   Mereka mengikuti.   Belum aku tiba di rumah, mereka telah berhasil menyusul aku dan aku lantas dipegang.   Aku ketakutan dan menjerit minta tolong.   Kakek keluar, dia mau menolongi aku.   Dengan lantas kakek dibunuh mereka itu."   Kwee Ceng gusar sekali hingga ia menumbuk pahanya. "Dulu ada inkong yang menolong, kali ini ada siapa?"   Si nona melanjuti.   "Begitu aku dibawa ke gunung Tiat Ciang San. Setibanya di puncak, baru aku mendapat tahu mereka juga telah menawan beberapa puluh orang lain yang hidupnya sebagai tukang menangkap ular. Khiu Pangcu mau menangkap banyak ular, untuk dipakai melatih semacam ilmu."   Oey Yong mengangguk.   "Aku tahu itu,"   Katanya. Lam Kim seperti tidak mendegar perkataan si nona, ia bicara terus.   "Tiat Ciang Pang menitahkan aku menangkap ular. Sampai sebegitu jauh, aku tidak diganggu, bahkan dia menitahkan aku mengusir kodok hijau untuk berkelahi dengan kodok besar dan juga mengusir ular untuk memakani kodok besar itu. Hanya di dalam beberapa hari, tahulah aku apa sebabnya aksi mereka itu. Ialah mereka itu memperhatikan caranya semua binatang itu berkelahi, lalu mereka melatih diri dengan mencontoh perkelahiannya kodok hijau dan ular itu."   Mendengar sampai di situ, Oey Yong berlompat bangun. "Engko Ceng!"   Katanya.   "Juga Khiu Cian Jin lagi mengharap-harap Kiu Im Cin-keng!" Kwee Ceng tidak mengerti.   "Bagaimana?"   Dia tanya. "Dia lagi memahamkan ilmu silat Kap Moa Kang dari See Tok. Kalau nanti datang waktu pertemuan yang kedua kali di gunung Hoa San, dia mau menjadi jago nomor satu di kolong langit ini."   Baru sekarang Kwee Ceng mengerti. "Biar mereka berdua bertempur mati hidup, itu baru bagus,"   Kata Oey Yong.   "Engko Ceng, coba bilang, di antara mereka berdua, siapa yang terlebih lihay?"   Kwee Ceng berpikir. Lantas ia menggoyang kepala. "Aku tidak tahu, mereka sama lihaynya."   "Ya, biarlah,"   Kata pula si nona. Ia berpaling kepada Lam Kim, untuk menanya.   "Enci, bagaimana kejadiannya maka kau dimasuki ke dalam keranjang?"   "Aku telah menjadi budaknya, jangan kata baru dimasuki ke dalam keranjang, disuruh mendaki gunung golok atau masuk ke dalam kuali panas, semua terserah kepadanya "   Sahut nona Cin masgul. Oey Yong tidak puas dengan jawaban itu, tetapi mengingat orang lagi bersusah hati, ia tidak bilang suatu apa. "Aku hampir menjerit melihat adik Cin muncul dari dalam keranjang,"   Kata Liam Cu, yang melanjuti penuturannya.   "Dia pun kaget. Bandit Tiat Ciang Pang itu berkata sambil tertawa kepada Yo Kang. 'Siauw-ongya, permainan ini tak ada kecelaannya, bukan?' Yo Kang menggoyang-goyang tangannya. 'Jangan- jangan!' katanya, 'Lekas bawa dia pergi! Kalau nona Bok ketahui ini, bisa onar ' Mendengar suaranya itu, aku menyangka dia benar berlaku baik padaku. Tapi si bandit membujuk. 'Nona Bok mana tahu? Kalau ongya suka, lagi beberapa hari, apabila ongya turun gunung, dengan cara diam-diam kami nanti mengantarkan dia ke istana, tapi jika ongya sudah bosan, biarkan saja dia di www.kangzusi.com   sini.   Semua akan dilakukan hingga iblis pun tidak tahu.' Lantas dia pegang adik Cin, untuk ditarik keluar dari keranjang, dia kata.   'Baik-baik kau melayani siauw-ongya.   Inilah tugas bagus untukmu!' Setelah itu dia suruh dua orangnya berlalu dengan membawa keranjang itu, dia sendiri turut berlalu sesudah memberi hormat pada Yo Kang.   Ketika dia pergi, dia sekalian menutup pintu.   Setelah berada sendirian, Yo Kang mengambil gunting, buat menggunting sumbu lilin, hingga apinya jadi lebih terang, hingga dia bisa memandang kecantikannya adik Cin.   Sembari tertawa dia menghampirkan, untuk menarik tangan orang.   Dia menanya nama dan umur adik Cin.   Adik Cin tidak menyahuti.   Lantas ia dipeluk dan mukanya dicium, sembari tertawa dia kata; 'Harum sungguh harum!' Menyaksikan itu, bukan main panas hatiku, mataku seperti kabur, hingga aku tidak melihat apa yang dia lakukan terlebih jauh, sampai aku mendapatkan adik Cin memegang sebatang cagak kecil, dua cagaknya diarahkan ke dadanya sendiri.   Ia mengancam.   'Memang aku sudah tidak mengharap lagi jiwaku, asal kau langgar pula tubuhku, akan kubunuh diri di depanmu!' Aku puji adik Cin.   Aku juga harap Yo Kang nanti mundur.   Dugaanku itu meleset.   Acuh tak acuh, Yo Kang memutuskan dua buah kancing bajunya, dengan itu dia menyentil dua kali.   Dengan satu kancing dia membikin jatuh cagak di tangan adik Cin dengan yang lain dia menotok urat gagu orang.   Sampai di situ, habis sabarku, maka aku mendobrak jendela dan berlompat masuk ke dalam kamar.   Dia tercengang tapi lantas dia tertawa.   "Adikku, kebetulan kau datang!"   Kata dia padaku.   Entah kenapa melihat dia tertawa, hawa marahku lenyap separuhnya.   Ketika kemudian dia membujuki aku, aku jadi bimbang, tidak tahu aku mesti berbuat apa.   Adalah ketika itu, adik Oey, kau memanggil aku."   "Ketika itu aku juga tidak menyangka kau berada di atas gunung Tiat Ciang San,"   Kata Oey Yong. "Ketika enci bertempur sama Khiu Pangcu,"   Kata Liam Cu.   "Aku pergi ke luar, niatku untuk membantui, tetapi entah ke mana perginya enci semua. Kembali hatiku menjadi jeri. Diam-diam aku kembali ke kamar, aku mengintai di jendela. Samar-samar aku melihat dia memeluk pula adik Cin. Tiba-tiba saja aku muntah darah, lantas aku berseru. 'Baiklah, putus kita sampai di sini! Untuk selama-lamanya aku tidak akan melihat pula padamu!' Tanpa menanti jawaban, aku lari turun gunung. Keadaan ada sangat kacau itu waktu. Aku melihat dengan membawa obor orang-orang Tiat Ciang Pang meluruk ke puncak Tiong Cie Hong. Dengan begitu, aku turun gunung tanpa rintangan. Hatiku menjadi tawar, niatku ialah untuk mati saja. Aku bertemu sebuah bangunan, yang gelap, aku langsung masuk ke dalamnya. Itulah sebuah kelenteng. Di tembok kiri aku melihat gambar lukisan seorang imam yang bersenjatakan sebatang pedang panjang, sikapnya gagah, di samping itu ada tulisan tiga huruf, bunyinya Wa Sie Jin, artinya orang mati yang hidup. Aku tidak tahu artinya kata-kata itu, hanya aku berpikir, kalau aku mati, siapa akan membalas sakit hati ayah dan ibu angkatku? Maka itu, aku lantas berdiam di situ, aku di terima menjadi murid oleh tookouw tua dari kelenteng tersebut. Besoknya aku merasakan tubuhku panas, lalu aku lupa akan diriku. Lewat beberapa hari, aku tersadar, aku mendapatkan adik Cin ini ada di depan pembaringanku, lagi merawati aku. Ia pun telah berdandan sebagai tookouw."   Oey Yong hendak menanya Lam Kim, bagaimana caranya dia lobos dari Tiat Ciang San, akan tetapi karena khawatir nanti dapat jawaban kurang tepat seperti tadi, ia membatalkan niatnya itu.   Sebaliknya nona itu mengawasi Kwee Ceng, sikap siapa seperti juga nona Oey, agaknya ingin ia memperoleh keterangan.   Ia lantas berkata.   "Orang she Yo itu telah digaplok beberapa kali oleh enci Bok, dia menjublak saja. Ketika dia mendengar suara berisik dari sakunya dia mengeluarkan pedang pendek, yang ia selipkan di pinggangnya, terus dia memadamkan api. Dia mendekati aku, dia mengusap-usap mukaku, setelah itu dia tertawa dan lompat keluar jendela. Kira satu jam, suara berisik menjadi kurangan, rupanya orang telah pada memburu turun gunung. Sebenarnya itulah saatnya untuk aku melarikan diri, apa celaka si orang she Yo telah mengikat aku, hingga aku mesti rebah di samping pembaringan tanpa berdaya. Masih aku mendengar suara berisik, yang makin lama makin jauh dan akhirnya sirap. Selagi keadaan sunyi itu, si orang she Yo kembali dengan jalan melompati jendela seperti tadi. Lantas dia duduk di kursinya, dari bayangannya aku melihat dia menunjang janggut, dia duduk terpekur. Kemudian aku mendengar dia mengoceh sendirian, katanya. 'Bocah she Kwee itu berani mendaki gunung, mestinya di belakang dia ada orang yang pandai yang menyusul. Maka inilah bukan tempat yang bagus! Buat apa aku berdiam lama-lama di sini?'"   "Manusia hina!"   Kata Oey Yong sengit. Lam Kim menyambungi.   "Kemudian dia menepuk meja, dia kata. 'Hm! Kau tidak sudi bertemu pula denganku selamanya Perduli apa? Asal usahaku berhasil, kekayaan dan kemuliaanku bakal tidak ada batasnya, itu waktu di dalam keratonku tentu telah berkumpul tiga ribu selir dan dayang! Mana aku kekurangan si cantik manis?"   "Dasar bangsat!"   Mendamprat Kwee Ceng yang mendongkol sekali.   Lam Kim terkejut mendapatkan tuan penolongnya begitu gusar.   Ia tidak tahu, dari kata-katanya Yo Kang itu, terang sudah orang she Yo itu hendak menjual negara, untuk keuntungan dirinya sendiri.   "Coba kau cerita terus,"   Kata Kwee Ceng kemudian, sabar. "Kau menghendaki aku bicara terus?"   Si nona menegasi. "Kalau kau letih, kau beristirahatlah dulu,"   Sahut si pemuda. Nona Cin mengawasi pula, air mukanya berubah, toh ia bersikap tenang. "Letih, itulah tidak,"   Katanya.   "Hanya aku mengalami kemalangan dan malu, susah aku mengatakannya "   "Kalau begitu, tidak usah kau bercerita. Mari kita omong dari lainnya hal."   "Tidak. Sebenarnya aku mesti menuturkan semua supaya kau tahu."   "Nah, nanti aku pergi ke sana, kau boleh bicara sama ini dua enci Bok dan Oey,"   Berkata si pemuda yang lantas berbangkit, untuk bertindak pergi. Ia menduga tentulah Yo Kang sudah main gila terhadap nona ini, sehingga dia likat untuk menuturkan pengalamannya itu. Tetapi Lam Kim berkata.   "Jikalau kau pergi, sampai mati juga aku tidak akan menuturkan. Selama dua hari ini, enci Bok berlaku baik sekali padaku, meski begitu, aku tidak mau bercerita kepadanya "   Kwee Ceng memandang Oey Yong, nona itu mengedipi mata, menganjurkan ia berduduk, maka urung ia mengangkat kaki, bahkan ia duduk pula di tempatnya. Lam Kim menghela napas. Ia nampak lega hatinya. Lantas ia mulai bercerita pula.   "Telah tetap keputusannya orang she Yo itu. Dia lantas berbenah. Untuk itu dia menyalakan api. Ketika dia melihat aku di tepi pembaringan, dia terperanjat. Dia menyangka bahwa aku sudah kabur. Dia membawa ciaktay, untuk menyuluhi mukaku. Lantas dia tertawa dan berkata 'Hm! Karena kau, aku kehilangan dia! Sekarang kau pikirlah. Jikalau kau suka menurut aku, akan aku ajak kau turun gunung. Kalau tidak, boleh tetap rebah di sini, supaya orang-orang Tiat Ciang Pang perlakukan apa mereka suka. Aku menjadi bingung, aku bersangsi. Berdiam di gunung, akibatnya tentu berbahaya, tetapi dengan turut dia, juga entah bagaimana akhirnya. Melihat aku berdiam saja, dia tertawa nyaring. Mendadak timbul nafsu binatangnya, dia lantas merusak diriku "   Tiga orang itu berdiam, cuma Bok Liam Cu berdiam sambil mengucurkan air mata.   Itulah bukti Yo Kang main gila terhadapnya.   Ia tahu Yo Kang busuk tetapi tidaklah disangka dia hina begitu rupa.   Ia pernah mengasih ampun, tetapi sekarang? Lam Kim tenang luar biasa.   Dia bercerita seperti juga dirinya tidak ada sangkutnya dengan ceritanya itu.   Dia kata;   "Karena aku telah ternodakan, aku lantas mengambil putusan. Aku ikut dia turun gunung. Aku telah pikir, aku mesti menuntut balas, habis mana, hendak aku menghabiskan jiwaku. Gunung Tiat Ciang San itu sangat berhahaya, dengan susah payah dia membantu aku turun. Sampai fajar muncul, kita masih ada di tengah gunung. Dia malu bertemu sama orang Tiat Ciang Pang, dia mengambil jalan dari belakang gunung. Dia sengaja memilih tempat yang tidak ada jalannya. Dengan begitu, sering dia merayap pada pohon rotan. Maka perjalanan jadi semakin lama. Lereng gunung pun makin berbahaya. Di sana ada jurang yang dalam sekali, aku melihatnya hingga kakiku lemas. Tiba di tempat tinggi, kaki tanganku bergemetaran. Dia tertawa. 'Aku nanti gendong kau, asal kau jangan bergerak! Nanti kita berdua habis ' Lantas dia jongkok di depanku. Aku pikir inilah ketika yang paling baik untukku, untuk mati bersama. Aku lantas mendekam di punggungnya kedua tanganku memeluk erat lebernya. Selagi dia hendak berbangkit, dengan kakiku, aku menjejak keras batu besar di sisiku. Dia kaget. dia menjerit keras. Kita berdua jatuh."   Bok Liam Cu kaget hingga ia berkaok. Tapi segera ia ingat kejahatannya Yo Kang, lantas ia mengertak gigi. ia menguati hati. "Aku merasakan tubuhku melayang,"   Lam Kim meneruskan.   "Aku girang.   Kalau tubuhku hancur lebur, dia tentu bakal hancur lebur juga.   Mendadak aku merasakan gentakan hebat, mataku kabur, hatiku memukul.   Aku menduga habislah aku.   Tapi segera aku mendengar Yo Kang tertawa terbahak.   Ketika aku membuka mataku, aku melihat tangan kanannya merangkul cabang pohon cemara, yang tumbuh di lereng itu.   Tubuh kita berdua bergelantungan di cabang itu, yang telah menolong jiwanya.   Tapi dia tidak sadar bahwa aku hendak membikin celaka padanya.   Dia menyangka aku ketakutan dan tak dapat berdiri betul.   Dia puas sekali yang kami ketolongan.   Sembari tertawa dia kata.   'Jikalau bukan siauw-ongya lihay ilmu silatnya, apa kira jiwa kecilmu masih ada?' Pohon itu terpisah dari tanah cuma tujuh atau delapan tombak.   Dia lantas merayap ke pohon.   Dia kata pula.   "Sekarang kita turun dulu ke lembah, di sana baru kita mencari jalan keluar.' Di dalam lembah itu ada hanya rumput-rumput yang sudah busuk dan tulang-tulang binatang.   Dengan satu tulang paha, dia membuka jalan, sembari jalan dia bicara sambil tertawa-tawa padaku.   Aku takut dia curiga, nanti sukar aku turun tangan, terpaksa aku melayani dia bicara.   Tidak lama, dia berteriak sambil lompat mundur.   Dia menggunai tulangnya membiak rumput tebal di mana tadi dia menaruh kaki.   Di situ dia mendapatkan satu mayat, yang mengenakan baju kuning.   Muka mayat rusak hingga tak dapat dilihat lagi, cuma kumis dan jenggotnya yang putih bertitikan darah segar.   Rupanya belum lama dia jatuh mati di situ."   "Si tua bangka Khiu Cian Lie telah mampus, toh masih ada orang yang melihat cecongornya!"   Kata Oey Yong. "Yo Kang memeriksa tubuhnya mayat itu,"   Berkata pula Lam Kim.   "Banyak barang yang didapatkan, seperti cincin, pedang pendek dan batu bata. 'Kiranya tua bangka ini mati di sini,' dia kata. Sembari berkata begitu, dia menarik keluar se   Jilid buku "   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Mungkin itu buku sulapnya,"   Kata Oey Yong. Seperti yang tidak mendengar perkataan si nona, Lam Kim bercerita terus.   "Si orang she Yo itu membuka dan memeriksa buku itu, kelihatannya dia ketarik hatinya, dia membalik-balik terus lembaran dengan romannya girang. Kemudian dia simpan buku itu di dalam sakunya. Habis itu kami berjalan terus. Satu hari kami berada di dalam selat, sampai magrib baru kami tiba di mulut selat itu. Kami mencari rumah seorang tani untuk menumpang bermalam. Dia suruh aku mengaku sebagai istrinya, katanya agar orang jangan curiga. Habis bersantap malam, dia menyalakan api, dia membuka buku yang tadi, untuk diperiksa pula. Aku melihat dia menggeraki tangan dan kakinya, seperti lagi bersilat. Rupanya buku itu ada buku pelajaran silat. Aku menyender di pembaringan letih dan berduka, rasanya malas aku bergerak. Mendadak aku mendengar dua kali suara kodok di luar jendela. Aku tahu betul, itulah suara kodok hijau dicekuk ular berbisa. Dengan tiba-tiba aku mendapat pikiran. Aku ingat kakekku yang telah mati itu, ia tentu telah berkumpul bersama ayah ibuku, sekalian pamanku dan yang lainnya di dunia baka. Aku sebaliknya, di dalam dunia ini aku hidup sebatang kara, hidup menderita, sengsara dan ternoda, bahkan mau mati juga sukar. Karena mendapat ingat itu, aku kata pada orang she Yo itu. 'Siauw-ongya, aku hendak keluar sebentar.' Dia tertawa. 'Baik,' katanya. 'Asal jangan kau memikir untuk kabur, sebab dalam sekejap, pasti aku dapat menyusul kau!' Aku menjawab; 'Aku lari? Lari ke mana?' Ia tertawa pula dan kata. 'Itu betul. Dengan tidak memikir lari, kaulah anak yang manis!' Sekeluarnya dari kamar, aku pergi ke belakang. Aku berdiri sebentar. Aku mendengar suara si ular lagi menelan mangsanya. Diam-diam aku menghampirkan ular itu, aku tangkap ekornya, terus aku menekuk dia, lalu aku membungkusnya dengan sapu tangan. Lantas aku kembali ke dalam. Senang dia melihat aku kembali begitu cepat. Dia tertawa dan mengangguk-angguk. Kembali dia membaca bukunya itu. Kemudian dia kata; 'Pergi kau tidur lebih dulu, sebentar aku temani kau.' Di dalam hatiku, aku damprat dia. 'Orang jahat, hari ini Thian menyuruhnya aku membalas sakit hatiku!"' Mendengar sampai di situ, Oey Yong lantas ketahui apa cara membalas sakit hati nona Cin ini. Liam Cu juga mendapat menduga samar-samar, maka teganglah hatinya. Cuma Kwee Ceng yang masih belum mengerti. "Aku mengebut pembaringan mengusir nyamuk, terus aku menurunkan kelambu,"   Lam Kim menyambungi pula.   "Sembari merebahkan diri, aku membuka sapu tanganku, akan mengeluarkan ular itu. Aku menekannya, supaya dia tidak berkutik-kutik. Dengan tangan kiriku, dengan kipas, aku menutup tubuh ular. Kemudian aku menantikan. Aku mesti menahan napas. Sampai lama dia belum naik ke pembaringan, dia seperti melupakan aku. Hatiku berdenyutan. Aku khawatir aku gagal. Minyak pelita menjadi semakin kurang, cahayanya pun menjadi guram, akhirnya api padam. Barulah itu waktu aku mendengar dia tertawa dan berkata. 'Haha, aku harus mati! Lantaran membaca buku saja, aku sampai melupakan si manis! Mustikaku, jangan kau sesalkan aku ' Aku tidak menyahuti, malah aku berlagak pulas dengan mengasih dengar suara menggeros perlahan. Tetapi kupingku kupasang. Aku mendengar dia menutup bukunya, yang di kasih masuk ke dalam sakunya. Aku mendengar dia membuka baju luarnya. Aku mendengar juga dia naik di pembaringan dan membuka sepatunya. Ketika itu hawa sangat panas, dia meloloskan semua pakaiannya. Ketika dia memeluk aku, aku masih terus berpura-pura pulas, adalah tangan kiriku dengan perlahan-lahan menyingkirkan kipas, lalu tangan kananku membawa kepala ular ke dadanya. Dengan kukuku, aku mencubit ular itu, membikinnya kesakitan dan kaget, karena mana dia lantas menggigit dada si jahat. Dia kaget, dia berteriak. 'Apa?' Terus dia berlompat turun dari pembaringan. Sekarang dia merasakan ular masih menggigit dadanya, dia menariknya hingga terlepas, tetapi gigi ular itu copot dan nancap di dadanya."   Liam Cu kaget hingga ia berjingkrak bangun, matanya mengawasi nona Cin.   Ia ini bercerita sampai di bagian sangat tegang itu tetapi romannya, suaranya juga, tenang- tenang saja.   Menampak demikian, nona Bok ini kagumsekali.   "Dia lantas berteriak-teriak.   'Ular! Ular!"' Lam Kim masih meneruskan dengan sabar sekali.   "Ketika itu aku masih belum memikir lantas mati, aku hendak menyaksikan dia tersiksa, habis itu baru aku mau pergi ke dunia baka menjenguk kakek dan ayah bundaku, maka aku pun berpura-pura kaget dan berteriak-teriak. 'Apa? Ular? Mana? Mana?' Dia menyahuti. 'Aku digigit ular!' Aku menanya pula. 'Mana ularnya? Lekas pasang api! Lekas!' Benar-benar dia menyalakan api. Aku melihat empat liang kecil dan hitam-hitam di dadanya, diam-diam aku bergirang. Lantas aku kata padanya. 'Kau rebah saja, jangan bergerak, nanti aku pergi mencari daun obat-obatan.' Tuan rumah pun bangun dengan kaget. Dia kata. 'Memang di sini ada ular berbisa, hanya heran dia bolehnya naik ke pembaringan ' Aku lantas bawa pelita dan pergi ke luar, untuk mencari daun obat-obatan. Yang aku cari bukan daun obat untuk memunahkan bisa ular, sebaliknya obat yang bisa membikin racun ular itu bekerja semakin berbahaya "   Ketika si. nona bercerita sampai di situ, sebelah tangannya Liam Cu melayang ke mukanya, hingga sebelah pipinya menjadi merah dan bengkak. Oey Yong lantas menyambar tangannya nona Bok. "Enci, bukankah binatang itu harus mendapatkan bagiannya?"   Ia menegur. Liam Cu berdiam, kepalanya pusing. Ia berdiam dengan mata mendelong. Lam Kim telah di tempiling ia tidak menggubrisnya, ia masih melanjuti ceritanya.   "Daun obat itu tidak dapat dicari dalam tempo sebentaran itu, aku pun tidak terus mencarinya. Dia telah digigit ular beracun, dia tidak dapat bertahan enam jam, maka aku mencabut rumput sembarangan, aku mamah itu, dengan itu aku beborehkan dia. Dadanya itu telah bengkak dan bergaris hitam. Beberapa kali sudah dia pingsan. Aku berduduk di sisinya berpura-pura menangis. Mulanya aku berpura-pura, di akhirnya aku menangis benar-benar. Aku ingat akan nasibku, aku jadi sangat bersedih. Satu kali dia sadar dia mengawasi aku dengan tajam. Rupanya dia menyangka akulah yang sengaja menggigitkan ular itu kepadanya. Setelah melihat aku menangis, kecurigaannya itu lenyap. ia menghela napas dan kata; Akhirnya toh ada juga seorang yang mengucurkan air mata untukku ' Dari tengah malam sampai fajar, lagi tiga kali dia pingsan lantas dia kedinginan, tubuhnya menggigil. Dia rupanya menduga jiwanya tidak bakal ketolongan lagi, dia kata padaku. 'Aku mau minta tolong padamu, kalau beres dan berhasil, kau akan mendapat pembalasan baik sekali.' Aku menjawab, 'Aku tidak mengharapi hadiah. Kau sebutkan saja. Dia menyuruh aku mengambil bukunya dari sakunya, dia kata. 'Kalau aku sudah mati, kau ambil pedang pendekku ini, bersama ini buku, kau mengantarkannya ke istana Pangeran Chao Wang dari negara Kim, kau mesti menyerahkannya sendiri di tangan pangeran itu. Bilang bahwa halnya surat wasiat Gak Bu Bok berada di dalam buku ini." Mendengar itu Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi hati mereka sama bertanya.   "Kenapa bukunya Khiu Cian Lie itu ada hubungannya sama bukunya Gak Hui?"   "Dengan tenaganya yang hampir habis, dia melanjuti pesannya padaku,"   Lam Kim melanjuti tanpa memperhatikan sikap orang-orang di dekatnya itu.   "Dia kata. 'Kau beritahu kepada Chao Wang bahwa dengan mulutku sendiri aku menjanjikan kau supaya kau diangkat menjadi permaisuri. Dengan begitu, maka kau bakal hidup senang dan mulia tak ada taranya.' Aku mengangguk tanpa membilang suatu apa. Dia tertawa sedih dan menanya. 'Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih padaku?' Aku tetap tidak menyahuti. Aku telah memikir, sesudah dia tidak dapat menggeraki tangan dan kakinya, hendak aku membikin hancur kitab itu di depan matanya, supaya di saat kematiannya itu tidak saja dia tersiksa lahir tetapi juga bathinnya "   "Kau! Kau!"   Membentak Liam Cu bengis.   "Kenapa kau begitu kejam? Benar dia berbuat tak pantas kepadamu tetapi itu disebabkan dia menyukai kecantikanmu?!"   Oey Yong berduka.   "Sayang, saying "   Katanya perlahan. "Sayang?"   Kata Lam Kim. Baru sekarang ia memperhatikan suara orang.   "Manusia begitu jahat tetapi kematiannya masih di sayangi?"   Nona ini keliru mengerti. Oey Yong menjawab dia. "Aku bukan menyayangi dia, aku menyayangi bukunya itu " Nona Cin tidak meladeni pula, ia hanya melanjutkan.   "Di waktu fajar, manusia jahat itu berteriak-teriak meminta air. Aku menuangi air ke dalam sebuah mangkok dan meletaki mangkok itu di tepi pembaringan. 'Ini air', kataku. Dia mengulur tangannya, untuk mengambil mangkok itu. Aku menggesernya sedikit jauh. Dia tidak dapat mengambil, maka dia memaksakan diri untuk bangun, untuk berduduk. Nyata tenaganya tidak mengijinkannya. 'Tolong, tolong kau kasihkan aku "   Dia minta.   'Kau ambil sendiri,' kataku.   Dia mengeluarkan seluruh tenaganya, tangannya dilonjorkan.   Dia berhasil mengambil mangkok air itu.   Nampaknya dia girang sekali.   Akan tetapi tangannya kaku, tangannya itu tidak dapat ditekuk, ketika dia memaksa menekuknya, prang! Maka mangkok itu terlepas dan jatuh pecah di tanah.   Aku tahu bahwa dia telah habis tenaganya, maka aku ambil bukunya, aku bawa ke depannya seraya berkata.   'Bukankah kau menghendaki buku ini aku membawanya ke istana Chao Wang? Baiklah, kau lihat!' Aku merobeknya selembar, lembaran itu aku merobek-robeknya pula.   Dia nampak kaget.   'Kau kau "   Katanya.   Terang dia kaget dan gusar.   Aku hendak menyiksa dia.   Habis merobek selembar, aku merobek selembar lainnya.   Dia gusar hingga dia pingsan.   Aku menanti, aku menanti sampai dia sadar, lalu aku merobek pula.   Demikian sampai aku merobek beberapa lembar, dia lantas merapatkan matanya, tidak suka dia melihatnya lebih jauh.   Meski dia tidak melihat, kupingnya dapat mendengar, kupingnya itu masih mendengar terus.   Demikian dia mendengari suara robekan kertas "   Seorang diri Lam Kim berbicara, tiga orang mendengari dia.   Tiga orang ini masing-masing kesannya.   Mereka seperti dapat membayangkan romannya Yo Kang di atas pembaringannya, selagi nona Cin merobeki kertasnya.   "Tiba-tiba aku melihat perubahan pada air mukanya,"   Nona Cin melanjuti.   "Dia seperti lagi memasang kuping, memperhatikan sesuatu. Aku berhenti merobek kertas. Aku juga memasang kupingku. Segera aku mendengar suara bicaranya beberapa orang serta tindakan kaki mereka itu, mulanya jauh. Di saat kematiannya, binatang itu masih licik sekali. Dia berpura-pura tidak mendengar suara itu. 'Air, air, kasih aku air ' katanya. Aku mendengar suara orang datang semakin dekat, datang sampai di luar rumah. Lantas aku mendengar cacian. 'Binatang perempuan! Pastilah dua binatang cilik itu diambil. Sin Soan Cu!' Lantas terdengar suara seorang lain.   "Menurut aku, baiklah perempuan hina itu dibakar mampus berikut binatang cilik itu!' Lagi seorang berkata. 'Tidak dapat kita berbuat demikian. Kalau dia tidak terbakar mati? Binatang itu lihay, dia bisa menjadi biang penyakit untuk kaum kita Tiat Ciang Pang.' Mendengar mereka ada orang-orang Tiat Ciang Pang, aku kaget. Aku takut mereka nanti masuk dan menolongi orang she Yo itu. Tiat Ciang Pang memelihara banyak ular berbisa, mereka pasti bisa mengobati siapa keracunan bisa ular. Lantas aku menjumput pecahan mangkok. Aku sudah memikir, kalau mereka itu masuk ke dalam, hendak aku membinasakan dulu si orang she Yo, setelah itu baru aku membunuh diri. Aku takut dia membuka mulut, maka dengan bajunya aku membungkus kepalanya dan mulutnya aku sumbat dengan hancuran kertas. Entah bagaimana, orang-orang Tiat Ciang Pang itu lewat terus, tidak ada seorang juga yang mampir dan masuk ke dalam rumah. Setelah merasa orang sudah pergi jauh, aku membukai bungkusan kepalanya. Aku berniat mengulangi menyobek lembaran buku itu. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu pekarangan ditolak. Aku heran. Aku tahu di situ sudah tidak ada orang lain. Suami istri petani pemilik rumah itu, sudah pergi ke sawahnya. Aku pergi ke pintu dan mengintai. Aku melihat delapan orang datang sambil berpegangan tangan, perlahan jalannya, tangan mereka mencekal masing-masing sebatang galah, yang mereka ketruk-ketruki ke tanah. Nyatalah mereka semua orang-orang buta dan pakaian mereka dekil, tetapi masih terlihat tegas, asalnya pakaian itu ialah putih."   "Itulah budak-budaknya si bisa bangkotan,"   Kata Oey Yong perlahan.   Lam Kim menoleh kepada Kwee Ceng dan berkata.   "Baru-baru ini ketika inkong dan aku berada di dalam rimba, selagi inkong hendak menangkap hiat-niauw, aku melihat sendiri budak-budak jahat itu dipatuki burung api itu, maka itu aku lantas mengenali mereka.   Dengan lantas aku pakai baju panjang itu menutup pula muka si bangsat.   Lalu aku mendengar seorang budak jahat itu berkata.   "Ngamal, ngamal bagilah sayur dan nasi dingin pada orang-orang buta ' Aku tidak berani bersuara, aku diam saja. Si buta itu berkata pula, dia mengemis nasi. Aku tetap tidak menjawab. Beberapa kali permintaannya itu diulangi. Akhirnya aku dengar, 'Di sini tidak ada lain orang, mari kita mencari ke lain tempat. Tadinya mereka itu pada berduduk, lantas mereka pada bangun berdiri. Aku khawatir mereka nanti masuk ke dalam, maka aku lantas batuk-batuk, terus aku membuka pintu. Aku tanya mereka itu siapa. Nampaknya mereka itu kaget. Yang satu lantas berkata, 'Nona, sukalah berlaku baik, tolong kau membagi makanan untuk kami.' Yang lainnya mengeluarkan sepotong perak dari sakunya seraya berkata; 'Kita membeli dengan uang ' Aku lantas mempersilahkan mereka duduk, kataku, nanti aku masak nasi untuk mereka. Aku ingin mereka lekas-lekas pergi. Aku lantas pergi ke dapur, aku masak nasi, aku menggorengi sayur. Demikian mereka duduk berdahar. Habis mereka bersantap, disaat mereka mau pergi, mendadak si orang she Yo berteriak. Aku lari ke dalam. Aku melihat dia mencoba berduduk, tangannya menuding aku, dengan roman ketakutan, dia berteriak pula; 'Auwyang Kongcu! Auwyang Kongcu!' Aku kaget hingga aku mencelat. Aku tidak tahu siapa itu Auwyang Kongcu. Aku berkhawatir sekali, aku takut orang-orang buta itu mendengar suaranya. Maka aku pungut bajunya, untuk membungkus pula kepalanya. Di luar dugaanku, dia menjadi kuat sekali, dia berontak hingga aku terjatuh. Lagi sekali dia mengasih dengar suaranya; 'Auwyang Kongcu, kau, kau ampuni aku kau ampuni aku '"   Oey Yong, Kwee Ceng dan Bok Liam Cu meliha tegas Yo Kang membunuh Auwyang Kongcu, mereka mengerti ketakutannya Yo Kang dalam keadaan was-wasnya itu, meski begitu, mereka merasakan punggung mereka dingin.   Mereka merasa ngeri.   Bahkan nona Oey, meskipun dia gagah, dia berlompat kepada Kwee Ceng, untuk duduk menyenderkan tubuhnya.   Lam Kim melihat eratnya perhubungan muda-mud itu, sakit ia merasakan hatinya.   Tapi ia meneruskan.   'Begitu orang she Yo itu menyebut-nyebut Auwyang Kongcu, budak-budak buta itu pada nerobos ke dalam, mulut mereka bertanya berulang-ulang.   'Kongcu! Kongcu'! Kau di mana?' Aku menjadi kaget.   Tahulah aku, mereka itu bujang dan majikan.   Aku merasa aku bakal gagal.   Dalam takutku, aku lantas lari.   Entah kenapa, waktu itu aku tak lagi ingin mati.   Aku takut nanti ditangkap mereka, aku bisa disiksa, maka aku kabur terus.   Bagaikan ada malaikat yang menunjuki aku lari sampai di kuilnya enci Bok, justru enci Bok lagi sakit berat, tubuhnya sangat panas.   Aku lantas merawati sebisanya.   Malam itu aku berpikir keras, akhirnya, aku minta too-kouw tua itu menerima aku sebagai muridnya.   Dua hari kemudian baru panas tubuhnya enci Bok kurangan dan ia sadar "   "Kemudian bagaimana?"   Liam Cu memotong cerita nona itu. "Bagimana? Tentu saja dia mati!"   Menyahut Lam Kim. "Nanti, nanti aku lihat !"   Sambil berkata begitu, Liam Cu berlompat bangun, terus dia lari. "Enci! Enci!"   Oey Yong memanggil.   Liam Cu tidak mendengar, dia lari terus, hingga sebentar saja dia lenyap di sebuah pengkolan.   Oey Yong bertiga tahu Liam Cu tidak dapat melupakan Yo Kang, tidak perduli orang she Yo itu terbukti kejahatannya.   Mereka menghela napas.   Setelah berdiam sekian lama, Lam Kim berbangkit.   "Inkong,"   Katanya perlahan pada Kwee Ceng.   "Aku telah menutur segala apa, maka bersyukurlah kepada Thian, aku dapat dipertemukan pula kepada inkong."   Ia merogoh ke sakunya, ia mengeluarkan se   Jilid buku yang sudah rusak, ia menyerahkan itu pada si anak muda seraya menambahkan.   "Buku ini telah aku robek belasan lembarannya, aku tidak tahu ini sebenarnya buku apa, tetapi orang she Yo itu menganggapnya sebagai mustika, maka mungkin ada faedahnya. Coba inkong periksa."   Kwee Ceng menyambuti buku itu, tanpa memeriksa lagi, ia masuki ke dalam sakunya. "Sekarang kau berniat pergi ke mana?"   Ia menanya. Ia lebih memerlukan nasibnya nona yang berperuntungan sangat malang ini. "Aku telah bertemu pula sama inkong, untukku, ke mana aku pergi, sama saja,"   Menyahut nona Cin. "Kelihatannya Tiat Ciang Pang bermaksud tidak baik kepada inkong maka itu aku harap inkong berdua suka berhati-hati."   "Kenapa kau ketahui tukang perahu itu orang Tiat Ciang Pang?"   Oey Yong tanya. "Sebab dialah orang yang memasuki aku ke dalam keranjang dan menyerahkan aku pada si orang she Yo itu."   "Oh "   Kata nona Oey yang lantas telah mengetahuinya bagaimana ia harus mengambil sikap kepada si tukang perahu. "Setelah enci Bok sembuh, kita berdamai untuk melakukan perjalanan bersama,"   Lam Kim masih berkata lebih jauh.   "Demikian tadi di rumah makan, kami melihat inkong berdua serta itu tukang perahu. Dasar Thian tidak mengijinkan orang jahat dapat berbuat sesukanya, kami telah dibuatnya memergoki dia."   Habis mengucap, si nona memberi hormat kepada Oey Yong, terus ia berlutut pada Kwee Ceng seraya berkata;   "Sekarang perkenankan aku meminta diri. Semoga inkong panjang umur dan beruntung!"   Kwee Ceng mengasih bangun nona itu, hatinya pepat, Tidak tahu ia mesti membilang apa. "Enci Cin,"   Berkata Oey Yong.   "Kau sudah tidak punya rumah, maka baiklah kau turut kami pergi ke Kanglam."   Lam Kim menggeleng kepala. "Aku berniat balik ke hutannya kakekku,"   Katanya. "Kau tinggal sebatang kara, mana dapat?"   Oey Yong kata. "Seumurku, aku memang bersendirian saja "   Oey Yong berpaling kepada Kwee Ceng, ia membungkam. Lam Kim menoleh kepada si anak muda, habis mana ia memutar tubuhnya, untuk bertindak pergi. Pemuda itu masih menjublak sampai ia ingat suatu apa. "Nona, tunggu dulu!"   Ia memanggil. Nona itu menghentikan tindakannya, ia tidak memutar tubuhnya. "Nona, kalau kau ketemu lagi orang jahat, bagaimana?"   Kwee Ceng tanya, nona itu tunduk, ia menyahuti dengan perlahan.   "Aku sebatang kara dan lemah, aku cuma akan menerima nasib saja "   "Mari aku ajarkan kau serupa ilmu,"   Berkata Kwee Ceng.   "Jikalau kau rajin mempelajarinya, aku percaya lain kali kau bisa melawan sedikitnya lima orang." Nona itu berpikir sebentar, lalu ia memberikan penyahutannya.   "Baiklah kalau inkong menitahkannya, nanti aku mempelajarinya."   Kwee Ceng heran melihat orang tidak bergembira karenanya.   Ia lantas mengajari nona itu ilmu yang ia dapatkan dari Tan Yang Cu Ma Giok selama di gurun pasir.   Itulah ilmu tenaga dalam, Lwee Kang Sim-hoat yang terdiri dari sepuluh jurus.' Lam Kim berotak cerdas, ia memperhatikan pengajaran itu.   Tidak lama, ia telah dapat mengingat baik-baik.   "Setelah dipelajari sungguh-sungguh nanti baru nampak kefaedahannya pelajaran ini,"   Kwee Ceng memberi keterangan.   "Kau tidak mengerti ilmu silat, tetapi dengan meninju dan menendang kalang kabutan, kau dapat juga melukai orang."   Nona itu berdiam, lalu ia meminta diri pula dan pergi dalam kesunyian. Setelah orang pergi jauh, Oey Yong kata kepada kawannya.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Aku memberi selamat padamu telah mendapat seorang murid!"   "Mana dapat dibilang dialah muridku,"   Kata si anak muda.   "Aku cuma mengharap dia tidak nanti diperhina lagi segala orang jahat."   "Itulah sukar dibilang,"   Kata Oey Yong.   "Sekalipun orang sepandai kau, kau masih dipermainkan orang jahat ."   Kwee Ceng menghela napas. "Di jaman kacau seperti ini, manusia kalah dengan anjing,"   Ia bilang.   "Apa mau di kata ?"   "Sekarang, mari kita mampusi anjing gagu itu!"   Berkata si anak muda tanya. "Anjing gagu yang tadi,"   Sahut si nona, yang lantas menggerak-geraki tangannya seraya mengasih dengar suara ah-aha-uh-uh. Melihat itu Kwee Ceng tertawa. "Jadi kita tetap menaiki perahunya si gagu palsu itu?"   Ia menegaskan. Bab 67. PERGULATAN DI ATAS PERAHU "Pasti kita akan memakai perahunya itu,"   Menyahut si nona.   "Bangsat tua Khiu Cian Jin telah melukai hebat kepadaku, hendak aku membalas terhadapnya, umpama kata aku tidak sanggup melayani dia, puas juga sedikit hatiku apabila aku bisa menyingkirkan beberapa pengikutnya."   Keduanya lantas kembali ke rumah makan.   Di sana si tukang perahu yang gagu itu lagi tangal-tongol, mengharapi kedatangan orang.   Ia menjadi girang sekali apabila ia menampak kembalinya si muda-mudi.   Dengan berlagak pilon, Kwee Ceng berdua pergi ke perahu orang Tiat Ciang Pang itu.   Mereka melihat sebuah perahu sedang, tidak besar dan tidak kecil, dan gubuknya hitam.   Itulah perahu pengangkutan yang paling banyak digunai di sungai Goan Kang.   Di atas perahu ada dua orang, yang masih muda, yang lagi mencuci lantai.   Begitu keduanya turun ke perahu, tukang perahu itu melepaskan tambatannya dan menolak perahu ke tengah sungai di mana layar lantas dipasang.   Kebetulan sekali angin Selatan meniup keras, perahu laju cepat mengikuti aliran sungai.   Kapan Kwee Ceng memikirkan kebinasaannya Yo Kang serta nasibnya Liam Cu dan Lam Kim, ia sangat berduka.   Sambil menyenderkan tubuhnya, ia tunduk diam, matanya memandang jauh ke depan.   "Engko Ceng,"   Berkata Oey Yong tiba-tiba.   "Coba kau kasih lihat bukunya nona Cin itu? Entah ada hubungan apa di antara itu buku dan buku wasiatnya Gak Bu Bok "   Anak muda itu seperti sadar. "Hampir aku lupa!"   Katanya. Ia terus mengeluarkan bukunya, diserahkan pada si nona. Oey Yong menyambuti, lantas ia membalik beberapa lembaran. "Oh, kiranya begini!"   Katanya agak terperanjat. "Engko Ceng, mari lihat!"   Kwee Ceng berbangkit dan menghampirkan, ia duduk di samping si nona di tangan siapa ia melihat buku itu.   Ketika itu sudah magrib, sinar layung memain di permukaan air.   Sinar itu, yang menyorot berbalik dari air, mengenakan juga mukanya si nona, baju dan buku di tangannya itu.   Sepasang muda-mudi itu besar hatinya, walaupun mereka berada di dalam kendaraan air musuh, mereka tidak takut.   Dengan asyik mereka memperhatikan buku pemberian nona Cin itu.   Buku itu ada buku buah tangannya Siangkoan Kiam Lam, pangcu yang ke-23 dari Tiat Ciang Pang.   Di situ Kiam Lam mencatat segala apa mengenai sepak terjang partainya.   Dialah salah seorang punggawanya jenderal Han See Tiong.   Ketika Gak Hui terbinasakan dorna Cin Kwee dan Jenderal Han dipecat, dia pun berhenti.   Banyak orang sebawahan dan serdadunya, yang turut mengundurkan diri dan hidup bertani.   Tapi dia benci kawanan dorna, yang menguasai pemerintahan, maka dia mengajak serombongan sebawahannya, yang menyetujui cita-citanya untuk menaruh kaki di wilayah Kheng-siang, bekerja sebagai berandal.   Hanya kemudian, mereka masuk dalam kalangan Tiat Ciang Pang, malah ketika pangcu yang tua menutup mata, dia menyambut sebagai gantinya.   Mulanya Tiat Ciang Pang ada perkumpulan biasa saja akan tetapi setelah dipimpin dia, sifatnya berubah dan menjadi kuat.   Dia berhasil mengumpul kawan orang-orang gagah di Ouwlam dan Ouwpak, hingga kedudukannya tangguh seimbang dengan kedudukan Kay Pang di Utara.   Tidak pernah Kiam Lam melupakan negara dan musuh negaranya, untuk membangunnya pula, sering dia mengirim mata-mata ke Lim-an.   Ia mengharap ketika baik guna bergerak.   Kemudian Kaisar Kho Cong mengundurkan diri dari takhta kerajaan, yang ia serahkan kepada Kaisar Hauw cong, ia sendiri merasa senang menjadi Thay sianghong.   Kaisar Hauw Gong ingat kesetiaannya Gak Hui, ia menitahkan memindahkan kuburannya dari tepi jembatan Cong An Kio ke tepian See Ouw, Telaga Barat, di mana pun dibangun rumah abunya, sedang pakaian dan semua barang lainnya dari Gak Bu Bok disimpan di istana.   Malamnya dari siangnya jenazah dipindahkan, bekas orang-orangnya Gak Hui datang dengan diam-diam untuk bersembahyang.   Mata-mata Tiat Ciang Pang di Lim-an mengetahui hal itu dan mendengarnya juga bahwa di antara warisan Gak Bu Bok ada se   Jilid kitab tentang ilmu perang, maka hal itu diwartakan ke Tiat Ciang San.   Kiam Lam lantas bekerja.   Ia mengajak sejumlah orangnya yang pandai, mereka berangkat ke kota raja.   Pada suatu malam mereka memasuki istana dan berhasil mencuri kitabnya Gak Hui itu, yang mana malam itu juga dibawa dan diserahkan kepada Han See Tiong.   Ketika itu Jenderal Han sudah berusia lanjut dan bersama istrinya, Nio Hong Giok, ia tinggal menyendiri di tepi See Ouw.   Dia telah terbangun semangatnya menyaksikan kitabnya Gak Hui itu, hingga ia menghunus pedang dan membacok meja.   Ia menghela napas.   Untuk memperingati sahabat kekalnya itu, Gak Hui, ia lantas mengumpulkan pelbagai karyanya Gak Bu Bok, dijadikan sebuah buku, buku mana dia kasihkan pada Siangkoan Kiam Lam, yang dinasehati untuk mencoba mewujudkan cita-cita Gak Hui untuk mengusir bangsa asing, guna membangun pula negara sendiri.   Kiam Lam menerima itu semua.   Ia juga bisa berpikir, maka ia ingat, tidak mungkin Gak Hui menulis kitab perangnya itu untuk dibawa ke kubur, tentulah itu untuk diwariskan kepada suatu orang, hanya saking kerasnya penjagaan Cin Kwee, kitab tersebut tak sempat disampaikan.   Pula mungkin, karena sesuatu sebab, orang yang harus menerima kitab tidak keburu sampai di kota raja.   Kalau ini benar, ada kemungkinan orang itu datang ke istana dan menubruk tempat kosong disebabkan kitab itu sudah tercuri.   Karena ini, ia lantas membikin petanya gunung Tiat Ciang San diberikuti keterangan singkat bunyinya; "Kitab warisan Gak Bu Bok adanya di Tiat Ciang San, di puncak Tiong Cie Hong, di lereng yang kedua."   Jenderal Han khawatir orang tidak mengerti petunjuk singkat itu, ia menambahkan dengan cabutan sayirnya Gak Bu Bok sendiri.   Jenderal Han juga percaya bahwa orang yang bakal menerima warisan itu, jikalau bukannya murid Gak Bu Bok sendiri, tentulah salah seorang sebawahannya.   Kapan Siangkoan Kiam Lam telah pulang ke Tiat Ciang San, ia memanggil kumpul banyak pencinta negara, ia mengajaknya mereka bergerak.   Tapi pemerintah Song jeri kepada negara Kim, bukan saja gerakan mulia itu tidak ditunjang bahkan ditindas, dalam hal mana, bangsa Kim pun membantu.   Maka gagallah usahanya Siangkoan Kiam Lam, ia mati di atas puncak Tiat Ciang Hong karena luka-lukanya.   Bukunya itu bagian belakang, tulisannya tidak karuan, mungkin ditulis sesudah dia terluka.   Yang paling hebat ialah setelah belasan lembarnya dirobek-robek Cin Lam Kim.   "Tidak disangka Siangkoan Pangcu seorang pencinta negara,"   Kata Kwee Ceng masgul, hingga ia menghela napas.   "Sampai pada ajalnya, dia masih memegangi erat- erat bukunya ini. Aku tadinya menduga dia sama dengan Khiu Cian Jin si pengkhianat, mulanya aku memandang rendah kepadanya. Kalau tahu begini, tentulah aku sudah menghunjuk hormatku kepada tulang-belulangnya itu."   Tidak lama dari itu, cuaca mulai gelap, maka tukang perahu meminggirkan perahunya dan menambatnya, hendak ia masak nasi dan menyembelih ayam, untuk mempersiapkan barang makanan.   Oey Yong dan Kwee Ceng khawatir nanti diracuni, dengan alasan si tukang perahu tidak resik, mereka membawa daging ayam dan sayurannya ke darat, ke rumah seorang desa, untuk tolong dimatangi, untuk mereka bersantap di sana.   Tukang perahu itu mendongkol, tetapi karena dia gagu, dia tidak bisa bilang apa-apa kecuali nampak sinar mata dan romannya yang muram.   Habis bersantap, sepasang muda-mudi itu masih berangin di bawah pohon di depan rumah si orang kampung.   "Entah apa yang ditulis dalam beberapa lembar halaman yang dirobek enci Cin itu,"   Berkata si nona. "Di dalam dunia ini cuma Khiu Cian Lie dan Yo Kang yang pernah membaca itu tetapi mereka dua-duanya telah mati."   "Khiu Cian Lie cuma mengambil buku ini, tidak bukunya Gak Bu Bok, kenapakah?"   Tanya Kwee Ceng "Mungkin itu disebabkan dia mendapat dengar suara kita. Dan baru ambil   Jilid ini, dia tidak berani mengambil   Jilid lainnya.   Mungkin beberapa lembar yang tersobek itu penting isinya.   Bukankah si tua bangka sangat memperhatikan itu?"   "Hanya heran tentang Siangkoan Pangcu itu.   Dia lari ke puncak.   Kenapa tentara negeri tidak mengejarnya terus?"   "Ini pun aneh.   Rupanya cuma setelah melihat isinya sobekan baru duduknya hal akan dapat dimengerti "   Kata si nona, yang mendadak tertawa.   "Kalau enci Cin tidak merobeknya dan kejadian dia pergi kepada Wanyen Lieh, itu waktu pasti bakal ada pertunjukan yang bagus sekali "   Ia berhenti pula, atau kembali ia berkata, berseru;   "Bagus!"   "Apakah itu?"   Kwee Ceng menanya. "Kita menyerahkan buku ini kepada Wanyen Lieh,"   Menerangkan si nona.   "Dengan begitu, dia pasti akan mengirim orang ke Tiat Ciang San untuk mencari buku warisan Gak Bu Bok itu. Bukankah Tiong Cie Hong tempat keramat Tiat Ciang Pang? Mana Khiu Cian Jin suka membiarkan tempat sucinya diganggu? Maka itu pasti sekali mereka bakal saling bunuh di antara kawan sendiri! Tidakkah ini bagus?"   "Ya, itu benar bagus!"   Kwee Ceng kata sambil bertepuk tangan. "Aku tidak sangka sekali Suko Kiok Leng Hong telah mendirikan jasa besar sekali!"   Kata Oey Yong yang pun girang. Kwee Ceng tidak mengerti.   "Bagaimana?"   Ia tanya. "Kitab Gak Bu Bok disimpan di dalam gua di tepi Cui Han Tong di dalam istana,"   Berkata si nona.   "Karena Siangkoan Kiam Lam telah mencurinya dari sana, tentulah gambarnya ia telah taruh di tempat buku itu. Benar bukan?"   "Benar."   "Kiok Suko telah diusir dari Tho Hoa To tetapi ia tidak melupakan budi gurunya. Ia tahu ayah gemar akan tulisan, gambar dan barang lainnya asal barang kuno, ia rupanya ketahui semua itu ada terdapat banyak di dalam istana, maka tanpa menghiraukan bahaya, ia nyelundup ke istana dan berhasil mencuri banyak gambar, tulisan dan lainnya "   "Benar, benar!"   Kwee Ceng bilang.   "Sukomu itu telah mencuri semua itu berikut gambar peta rahasia itu, lalu semuanya dia simpan di kamar rahasia di Gu-kee-cun, untuk dia nanti menghadiahkan kepada ayahmu, maka apa lacur, dia kena disusul rombongan siewi dan kena dibinasakan. Maka itu ketika Wanyen Lieh pergi ke istana, ia kebogehan, sudah buku Gak Hui tidak ada, petanya juga hilang. Ah, kalau tahu begitu, selama di gua itu tidak usah kita mati-matian merintangi mereka, hingga aku tidak nanti sampai dilukai si bisa bangkotan dan kau tidak usah bersusah hati tujuh hari tujuh malam "   "Soalnya tidak dapat dipandang dari sudutmu itu,"   Membantah si nona.   "Jikalau kau tidak beristirahat di kamar rahasia itu, mana kita bisa dapatkan gambar peta itu? Juga mana "   Ia berdiam. Ia menjadi ingat pertemuannya sama putri Gochin Baki. Maka ia jadi masgul. Selang sesaat, ia kata pula.   "Entah bagaimana dengan ayahku sekarang ?"   Ia memandang rembulan sisir. "Segera bakal tiba Pee-gwee Tiong Ciu,"   Katanya. "Setelah pertandingan di Yan Ie Lauw di Kee-hin, apakah kau bakal kembali ke gurun pasir di Mongolia?"   "Tidak. Lebih dulu aku membunuh Wanyen Lieh, guna membalaskan sakit hatinya ayahku dan paman Yo."   "Setelah itu?"   Tanya si nona, matanya tetap mengawasi si Putri Malam.   "Masih banyak urusan lainnya! Suhu mesti diobati dulu hingga sembuh.   Pula Ciu Toako mesti dicari, untuk menyuruh dia pergi ke rawa lumpur hitam kepada Eng Kouw "   "Setelah semua itu beres, kau toh akhirnya kembali ke Mongolia?"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kwee Ceng tidak bisa menyahut, tak tahu ia mesti membilang apa. "Ah, aku tolol!"   Kata si nona tiba-tiba.   "Perlu apa aku memikirkan semua itu? Justru ada ini ketika baik, satu hari lebih lama kita berkumpul, satu hari terlebih baik! Mari kita kembali ke perahu, kita permainkan si gagu palsu itu "   Kwee Ceng menurut. Keduanya berjalan pulang. Tiba di perahu, tukang perahu dan dua pembantunya sudah tidur. "Pergi kau tidur, aku nanti berjaga-jaga,"   Kwee Ceng membisiki si nona.   Oey Yong merasakan kesehatannya belum pulih semua, maka itu ia letaki kepalanya di paha si anak muda.   Dengan perlahan ia pulas.   Kwee Ceng tidak mau membikin tukang perahu nanti curiga, meskipun ia tidak menginginkan, ia terpaksa merebahkan diri, hanya diam-diam ia menghapal ajaran It Teng Taysu bagian dari Kiu Im Cin-keng yang memakai bahasa Sansekerta.   Ia menghapali terus sekitar satu jam, akhirnya ia menjadi gembira.   Tidak saja ia tidak merasa kantuk, ia bahkan menjadi segar.   Hanya tengah ia bergirang itu, ia mendengar Oey Yong mengigau perlahan.   "Engko Ceng, jangan kau menikah sama putri Mongolia itu, aku sendiri yang hendak menikah denganmu."   Ia melengak. Kembali ia mendengar suara si nona. "Bukan bukan, aku salah omong. Aku tidak meminta apa-apa dari kau, aku tahu kau suka aku, itu saja sudah cukup."   "Yong-jie, Yong-jie,"   Kata si anak muda terdengar.   Oey Yong tidak menyahuti, hanya napasnya perlahan.   Pemuda itu bingung.   Ia mencintai si nona, ia merasa kasihan.   Ia mengawasi wajah orang yang tidur nyenyak di pahanya itu.   Paras si nona itu putih tersinarkan cahaya rembulan, karena kesehatannya belum pulih, kulit mukanya belum kembali bersemu dadu.   Ia mengawasi dengan menjublak.   "Dia tentulah bermimpi dan dalam mimpinya ia mengingat peruntungan kita berdua,"   Pikir anak muda ini.   "Aku tidak boleh melihat dia dari sikapnya sehari- hari saja, yang bergembira, seperti orang tidak pernah berduka, sebenarnya di dalam hatinya, ia masgul. Ah, akulah yang membikin dia mengalami kesulitan ini. Coba itu hari kita tidak bertemu di Thio-kee-kauw, bukankah itu baik untuknya?"   Selagi yang satu bermimpi atau mengigau itu dan yang lain mengawsinya dengan pikiran bimbang, tiba-tiba di permukaan air itu terdengar suara pengayuh bekerja, lalu terlihat sebuah perahu mendatangi dari sebelah hulu.   Kwee Ceng menjadi heran.   "Air sungai ini sangat deras dan berbahaya, siapa begitu bernyali besar berani menjalankan perahu malam-malam?"   Pikirnya.   Karena ini, ingin ia melihat.   Ketika ia hendak mengangkat kepala, mendadak ia mengurungkan itu.   Tiba-tiba ia mendengar tiga kali tepukan tangan perlahan dari perahunya.   Diwaktu sunyi seperti itu, suara tepukan tangan itu nyata terdengarnya.   Setelah itu terdengar suara layar dibenahkan.   Tidak usah lama Kwee Ceng menanti akan mendapatkan perahu itu di pinggirkan dan dikasih nempel sama perahunya, maka dengan perlahan ia menepuk-nepuk tubuhnya Oey Yong untuk mengasih bangun kawannya itu.   Hampir di itu waktu, tubuh perahu bergoyang sedikit.   Pemuda itu segera mengintai.   Ia masih sempat melihat satu orang, dalam rupa bayangan, berlompat ke perahu yang baru sampai itu.   Orang itu ialah si tukang perahu yang berlagak gagu.   "Kau tunggu di sini, aku mau pergi melihat,"   Kwee Ceng berbisik pada kawannya.   Oey Yong yang telah lantas bangun, mengangguk.   Dengan cepat Kwee Ceng pergi ke kepala perahu.   Ia melihat perahu tetangga itu masih bergoyang, ia lantas lompat ke situ.   Dengan membarengi bergoyangnya perahu ia membikin penghuni perahu itu tidak curiga.   Dengan lantas ia mengintai.   Maka terlihat olehnya tiga orang dengan pakaian hitam semua, seragamnya kaum Tiat Ciang Pang.   Pula ia mengenali satu di antaranya, yang tubuhnya tinggi besar, ialah Kiauw Thay yang pernah dipecundangi Oey Yong.   Pemuda ini sangat gesit, maka itu, ia seperti mendahului si tukang perahu.   Sesudah ia mengintai, baru tukang perahu itu tiba di dalam gubuk.   Segera dia ditanya Kiauw Thay.   "Apa kedua binatang cilik itu ada di sini?"   "Ya,"   Menyahut si tukang perahu yang sekarang bisa bicara. "Apakah mereka bercuriga?"   Kiauw Thay menanya pula.   "Nampaknya tidak.   Cuma mereka tidak sudi dahar dari itu aku tidak dapat bekerja."   "Hm! Biarlah mereka mengantari jiwa di Chee-liong-tha! Lusa tengah hari perahu kamu tiba di Chee-liong-tha, terpisah satu lie dari muara itu, ada dusun Chee-liong-cip.   Di sana kau singgah kami nanti menantikan kamu untuk membantu."   "Ya,"   Si tukang perahu menyahuti pula. "Dua binatang cilik itu lihay, kau mesti berhati-bati,"   Kiauw Thay memesan.   "Kalau kau berhasil, pangcu bakal menghadiahkan kepadamu. Sekarang pergi kau balik ke perahumu dengan ambil jalan dari dalam air, supaya perahumu itu tidak bergoyang, agar mereka tidak curiga."   "Apakah Kiauw Cee-cu tidak ada titah lainnya?"   "Tidak!"   Menyahut Kiauw Thay seraya mengibaskan tangannya.   Tukang perahu itu lantas keluar dari gubuk perahu.   Ia pergi ke belakang, di sana ia turun ke dalam air, untuk berenang ke perahunya sendiri.   Kwee Ceng berlaku sebat, ia mendahului kembali ke perahunya.   Ia membikin Oey Yong apa ia lihat dan dengar.   "Hm!"   Kata si nona perlahan.   "Di tempat It Teng Taysu, air jauh terlebih deras, kita tidak takut, apalagi segala Chee-liong-tha? Mari tidur!"   Karena mengetahui rencananya orang jahat, muda-mudi ini jadi lega hatinya. Di hari ketiga pagi, ketika tukang perahu hendak mengangkat jangkar, untuk mulai berangkat pula, Oey Yong kata padanya.   "Tunggu sebentar! Lebih dulu kau mendaratkan kuda kami jangan kalau nanti perahu karam di Chee-liong-tha, dia nanti mengantarkan jiwanya!"   Tukang perahu itu berlagak pilon. Oey Yong tidak memperdulikannya, bersama Kwee Ceng ia menuntun kudanya mendarat. "Yong-jie, baik kita jangan bergurau sama mereka,"   Kata Kwee Ceng perlahan.   "Baik dari sini kita melanjuti perjalanan kita dengan menunggang kuda."   "Kenapa begitu?"   Menanya si nona. "Tiat Ciang Pang bangsa manusia rendah, buat apa melayani mereka? Kita diam-diam saja."   "Apa dengan diam-diam saja kita aman?"   Tanya si nona.   Pemuda itu berdiam.   Oey Yong mengendorkan les kuda, tangannya menunjuk ke jalanan di sebelah utara.   Kuda itu mengerti.   Sudah sering dia berpisah dari majikannya, senantiasa mereka dapat bertemu pula.   Maka dia lari ke arah utara itu di mana sebentar kemudian dia lenyap.   "Mari kita kembali ke perahu,"   Kata si nona, menepuk tangan. "Kesehatanmu belum pulih, perlu apa kau menempuh bahaya?"   Kwee Ceng kata pula. "Kita terpaksa,"   Sahut nona itu.   Ia berjalan balik, ia turun ke perahunya.   Kwee Ceng mengiringi kawannya itu.   Putrinya Oey Yok Su tertawa, dia kata gembira; "Engko tolol, kita ada bersama, biar kita mengalami banyak yang aneh-aneh, kalau kemudian kita berpisah, bukankah jadi banyak yang dapat direnungkan? Bukankah itu bagus?"    Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Karya Chin Yung Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini