Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 69


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 69


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Begitu meletakkan tubuh ibunya, Kwee Ceng menolak, serdadu itu terguling jatuh.   Sebelumnya Kwee Ceng sempat merampas tombaknya.   Sekarang ia bergerak dengan cepat dan hebat.   Ia membuka jalan, merobohkan setiap serdadu di depan atau di sampingnya.   Ia berhasil kabur, maka Chilaun dan barisannya mengejar pemuda itu.   Dengan cara ini, Kwee Ceng tidak jadi menuju gunung, melainkan ke arah bertentangan, semakin menjauh dari gunung.   Namun ia masih berpikir akan langsung menuju Selatan atau mampir ke gunung.   Sementara itu Borchu pun menyusul dengan barisannya.   Jenghis Khan gusar luar biasa, tetapi ia masih ingat untuk menitahkan menangkap hidup-hidup Kwee Ceng.   Para serdadunya menyusul untuk mengurung pemuda itu.   Bahkan ada pasukan berkuda yang mendahului ke Selatan untuk mencegat.   Kwee Ceng bertindak nekat, la berhasil menerobos pasukan Borchu.   Sekarang pakaian dan kudanya telah berlepotan darah.   Ia meraba tubuh ibunya, terasa dingin.   Ia sedih bukan main, tetapi ia menguatkan hati.   Dilarikannya kudanya ke Selatan.   Ia berhasil meninggalkan semua pengejarnya jauh di belakang, namun sementara itu hari sudah mulai terang, sang fajar telah menyingsing.   Ia masih berada di daerah musuh, bahkan di pusatnya...   Masih ada ribuan li untuk sampai di Tionggoan.   Bisakah ia seorang diri, dengan membawa-bawa jenazah ibunya, meloloskan diri? Tengah berlari.   Kwee Ceng melihat debu mengepul di depannya.   Itu pasti pasukan berkuda.   Ia memutar kudanya untuk kabur ke timur.   Mendadak kaki depan kuda itu tertekuk, binatang itu tidak dapat bangun lagi.   Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini tidak mau menyerah.   Ia memondong tubuh ibunya, sambil mencekal keras tombaknya, la maju untuk menyerbu pasukan itu.   Tiba-tiba ia terkejut.   Sebatang anak panah menyambar, tepat mengenai ujung tombaknya.   Ia merasakan getaran akibat bentrokan itu.   Celaka untuknya, ujung tombak itu patah.   Menyusul itu sebatang anak panah lain menyambar ke dadanya.   Ia melemparkan tombaknya, menangkap anak panah itu.   Ketika mengamati anak panah itu, ia melengak.   Ujung anak panah yang tajam itu tidak ada.   Ia tidak bisa diam saja.   Ia mendongak memandang ke depan.   Terlihat olehnya perwira yang mengepalai pasukan berkuda di depan itu menahan barisannya.   Sang perwira maju menghampiri seorang diri.   Kwee Ceng mengenali Jebe, jago panah yang menjadi gurunya dalam ilmu memanah.   ."Guru, apakah Guru hendak menangkapku?"   Tanya Kwee Ceng. "Ya,"   Sahut Jebe. Kwee Ceng berpikir cepat.   "Kelihatannya aku tak bakalan bisa lolos. Daripada ditangkap orang lain, biarlah aku menyerahkan diri pada guruku ini."   Maka ia lantas berkata.   "Baiklah! Tapi aku mau menguburkan ibuku dulu!"   Ia melihat ke sekitarnya.   Di kirinya ada bukit kecil.   Ia membawa jenazah ibunya ke sana.   Dengan tombak buntungnya ia menggali tanah.   Setelah berhasil membuat liang, ia meletakkan tubuh ibunya di situ, la tidak tega mencabut belati di dada ibunya.   Ia lantas berlutut untuk paykui, kemudian menguruk liang itu.   Ia sedih bukan main mengingat budi serta kesengsaraan ibunya, sampai-sampai tidak sanggup menangis lagi.   .Jebe melompat turun dari kudanya.   Ia paykui empat kali di depan kuburan Li Peng, kemudian menyerahkan kantong anak panah, busur, dan tombaknya kepada si pemuda.   Terakhir ia menyerahkan kudanya sendiri, tali lesnya dijejalkan ke tangan si murid.   Ia berkata.   "Pergilah! Mungkin kita tak bakal bertemu lagi...."   Kwee Ceng tercengang. "Guru!"   Katanya. "Dulu kau bersedia berkorban menolongku "   Kata Jebe.   "Apakah kausangka aku bukan laki-laki hingga aku pun tak bisa berkorban menolongmu?" "Tapi, Guru, kau melanggar titah Khan, kau bisa terancam bahaya...."   "Aku telah berperang ke timur dan ke barat. jasaku bukannya sedikit,"   Kata Jebe.   "Maka kalau Khan mempersalahkanku, paling juga aku dirangket, kepalaku tak bakal dipenggal. Maka lekaslah kau pergi!"   Kwee Ceng masih ragu-ragu. "Aku khawatir pasukanku tidak menaati perintahku, maka yang kubawa ini bekas pasukanmu yang berperang di Barat."   Jebe menambahkan.   "Tanyailah mereka, apakah mereka temaha akan jasa dan akan menawanmu...."   Kwee Ceng menuntun kuda menghampiri pasukan itu. Serentak semua serdadu turun dari kuda mereka, lantas berlutut di tanah. Mereka berkata.   "Kami mengantar Ciangkun pulang ke Selatan!"   Kwee Ceng mengawasi. Mereka memang bekas pasukannya yang pernah menantang bahaya bersamanya, maka ia menjadi sangat terharu, la berkata.   "Aku bersalah pada Khan yang Agung. Berat hukumanku. Sekarang kalian melepaskan aku, jika Khan Agung tahu hal ini, besar risiko yang harus kalian pikul..."   "Ciangkun baik sekali pada kami, budi itu sebesar gunung, kami tak berani melupakannya."   Sahut semua serdadu itu.   Pemuda itu menghela napas, lantas menjura kepada mereka.   Sesudah itu dengan memegang tombak ia melompat naik ke kudanya.   Tepat saat akan melarikan kudanya, ia melihat debu mengepul di depannya.   Kembali sepasukan serdadu berkuda mendatanginya, la terkejut, demikian juga Jebe.   "Aku telah bersalah melepaskan Kwee Ceng, kalau aku melawan pasukan ini, terang aku memberontak,"   Pikir Jebe. Tapi ia tidak mengubah putusannya, ia berkata pada si anak muda.   "Anak Ceng, lekas lari!" Hampir berbareng dengan itu, terdengar teriakan para serdadu yang baru datang.   "Jangan ganggu Huma! Jangan ganggu Huma!"   Sekarang terlihat jelas ternyata pasukan itu membawa bendera Pangeran Keempat, malahan seorang penunggang kuda segera bergegas menghampiri dari antara pasukan itu.   Orang itu adalah Tuli yang sedang menunggang kuda merah Kwee Ceng, tidak heran kalau ia datang cepat sekali.   Begitu tiba di depan Kwee Ceng, pangeran itu melompat turun dari kudanya.   "Anda, apakah kau tak terluka?"   Demikian pertanyaannya yang pertama. "Tidak,"   Jawab Kwee Ceng.   "Guru Jebe hendak menawan dan membawaku menghadap Kha Khan!"   Sengaja Kwee Ceng bicara begitu untuk mencegah gurunya itu dicurigai. Tuli melirik Jebe. lalu berkata pada Kwee Ceng.   "Anda, naiklah ke kuda merahmu ini dan lekaslah pergi!"   Ia meletakkan bungkusan di atas kuda merah itu dan menambahkan.   "Ini uang emas seribu taill Di belakang hari kita akan bertemu lagi!"   Kwee Ceng mengerti, ia lantas melompat naik ke kuda merahnya. Ia berkata kepada saudara angkatnya itu.   "Tolong sampaikan pada Adik Gochin agar dia merawat diri baik-baik! Biarlah dia menikah dengan orang lain, jangan memikirkan diriku lagi...."   Tuli menghela napas. "Selamanya Adik Gochin tak mau menikah dengan orang lain,"   Ia berkata.   "Kurasa dia bakal pergi ke Selatan untuk mencarimu. Kalau itu sampai terjadi, aku nanti mengatur orang untuk mengantarkannya."   "Jangan, jangan mencariku,"   Kata Kwee Ceng. "Jangan kata di dalam negara yang luas sulit mencariku, umpama kita akhirnya dapat bertemu, cuma akan menambah keruwetan!"   Tuli diam, Kwee Ceng diam juga. "Jalanlah, akan kuantar kau serintasan!"   Kata si pangeran kemudian. Kwee Ceng menurut, ia menyuruh kudanya berjalan. Tuli naik kuda yang lain, mereka berjalan berendeng. "Anda,"   Kata Kwee Ceng setelah mereka berjalan sekitar tiga puluh li.   "silakan kau kembali. Ada yang bilang, meski mengantar sampai seribu li, akhirnya mesti berpisah juga."   "Aku akan mengantarmu serintasan lagi,"   Kata Tuli.   Maka berjalanlah mereka sampai sepuluh li lebih.   Di sini keduanya turun dari kuda masing-masing untuk saling menjura, kemudian dengan sama-sama mengucurkan air mata, mereka berpisahan.   Tuli mengawasi Kwee Ceng hingga tampak kecil sekali lalu lenyap, barulah ia memutar kudanya untuk kembali.   Ia masygul bukan main.   Kwee Ceng melarikan kudanya selama beberap hari, akhirnya ia keluar dari daerah yang berbahaya.   Sekarang ia langsung menuju Selatan.   Di sepanjang jalan, ia menyaksikan bekas-bekas peperangan, terutama rumah-rumah rusak dan tulang-tulang berserakan.   Pemandangan yang menggiriskan.   Ia sedih sekali.   Akhirnya sampai juga Kwee Ceng di Tionggoan.   Ia merasa dirinya seperti orang asing, sebab tidak tahu mesti pergi ke mana.   la tidak mempunyai rumah dan sanak saudara.   Dalam setahun, ia kehilangan ibunya.   Oey Yong, dan guru-gurunya, la ingat Auwyang Hong dan timbul niatnya untuk membalaskan dendam Oey Yong, tetapi begitu ingat keadaan yang menyedihkan sekali di Khoresm, hatinya menjadi tawar, la berhasil membalaskan sakit hati ayahnya, namun demikian banyak jiwa manusia yang melayang dalam keadaan memilukan.   la jadi sangsi, jangan-jangan balas dendam itu bukan cara yang tepat untuknya.   "Seumur hidup aku belajar ilmu silat, sekarang beginilah kepandaianku,"   Ia berpikir.   "Tapi aku tak bisa membela kekasihku dan ibuku, maka apa gunanya aku belajar silat? Tujuan hidupku adalah jadi orang baik-baik, bagaimana sekarang? Siapa yang memperoleh kesenangan karenanya? Ibu dan Yongji binasa gara-gara aku.... Karena aku, seumur hidup Adik Gochin takkan senang... Ya, banyak orang yang telah kubikin celaka...."   Ia berhenti berpikir sebentar, terus melamun lagi.   "Wanyen Lieh dan Raja Khoresm memang orang-orang busuk, tapi bagaimana dengan Jenghis Khan? Dia membunuh Wanyen Lieh, dia orang baik.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dia telah memelihara ibuku dan aku selama dua puluh tahun, tapi dia menitahkanku untuk menyerang Pemerintah Song, dan sekarang dia memaksakan kematian ibuku.   Dengan Yo Kang aku saling mengangkat saudara, tapi hatinya tidak lurus.   Adik Liam Cu orang baik, mengapa dia mencintai Yo Kang mati-matian? Anda Tuli baik sekali padaku, kalau nanti dia menyerang ke Selatan, haruskah aku menghadapinya di medan perang untuk bertempur hidup-mati? Tidak, tidak! Setiap orang punya ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan susah payah merawatnya hingga besar, maka mana bisa aku membunuh anak orang hingga ibunya bakal jadi susah?"   Ia diam, berpikir lagi. "Belajar silat adalah untuk menghajar orang, membunuh orang...,"   Ia melamun lebih jauh.   "Kelihatannya hidupku selama dua puluh tahun salah semuanya.   Dengan rajin dan susah payah aku belajar silat, akhirnya cuma untuk mencelakai orang....   Kalau tahu begini, lebih baik aku tak mengerti silat sama sekali! Tapi kalau tak belajar silat, aku mesti mengerjakan apa? Sebenarnya untuk apa aku hidup di dunia? Setelah beberapa puluh tahun nanti, bagaimana lagi? Bukankah lebih baik mati siang-siang? Kalau aku hidup terus, bukankah akan lebih banyak keruwetan? Tapi kalau aku mati siang-siang, untuk apa ibuku melahirkan aku? Kenapa Ibu mesti bercapek lelah merawatku hingga besar?"   Semakin lama pikirannya menjadi semakin ruwet.   Selama beberapa hari Kwee Ceng merasa tidak keruan, makan tidak bernafsu, tidur pun kurang.   la mondar-mandir di tegalan, memikirkan semua pertanyaannya itu.   "Ibuku dan semua guruku mengajariku supaya memegang kepercayaan,"   Kemudian ia berpikir lagi.   "Sekarang timbul urusan Yongji.   Aku sangat mencintainya.   Tapi di sana ada putri Jenghis Khan.   Dapatkah aku menolak putri itu? Kesudahannya perjodohanku itu menyebabkan kematian ibuku dan Yongji, dan karenanya Khan yang Agung, Tuli, dan Adik Gochin jadi bersusah hati....   Ketujuh guruku dari Kanglam dan Suhu Ang adalah orang-orang gagah dan mulia hatinya, tapi tak ada satu pun yang selamat.   Sebaliknya Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin jahat, kenapa mereka hidup merdeka dan senang? Sebenarnya di dunia ini ada hukum Thian atau tidak...?"   Suatu hari tibalah anak muda ini di sebuah dusun di kota Cee-Iam, Shoatang.   la singgah di rumah makan, la duduk seorang diri menenggak arak, pikirannya pepat.   Ketika ia baru minum tiga cawan, mendadak seorang laki-laki menghampirinya, sambil menuding dan mendamprat.   "Hai, Tartar bangsat, kau telah memusnahkan rumahku dan membinasakan keluargaku, sekarang aku hendak mengadu jiwa denganmu!"   Kata-kata itu disusul dengan tinjunya.   Kwee Ceng terkejut, heran.   Langsung ia menangkis sambil menangkap, ketika ia menarik pelan saja, orang itu jatuh ngusruk.   Jelas orang itu tidak mengerti ilmu silat.   Kepalanya mengenai lantai dan darahnya mengucur.   "Saudara, apakah kau salah lihat orang?"   Tanyanya seraya menolong orang itu bangun, la merasa tidak enak hati tanpa sengaja melukai. Orang itu gusar sekali. "Tartar bangsat! Tartar bangsat!"   Cacinya berulang-ulang.   Dari luar rumah makan lantas menerobos masuk belasan orang.   Tanpa banyak omong mereka menyerbu Kwee Ceng.   Tentu saja anak muda ini menjadi repot.   Ia main berkelit, karena tidak mau melukai orang lain.   Tapi ia repot, sebab serangan makin seru, sedangkan ruangan sempit.   Tiba-tiba dari balik pintu terdengar suara nyaring.   "Anak Ceng, kau bikin apa di sini?"   Kwee Ceng lantas menoleh, untuk melihat orang yang menegurnya, la mendapati imam dengan kumis putih panjang, romannya suci dan berwibawa. Ia mengenali Khu Ci Kee, maka ia girang bukan main. "Tootiang!"   Jawabnya.   "Tak keruan orang-orang ini mengepungku!"   Khu Ci Kee lantas masuk, mendorong setiap orang, kemudian menarik tangan si anak muda, mengajaknya berlalu.   Mereka disusul oleh banyak orang yang gusar, tapi setibanya di luar, setelah Kwee Ceng memanggil kuda merahnya, dengan cepat mereka menghilang.   Setelah mereka tinggal berdua, Kwee Ceng mengulangi keterangan bahwa ia dikeroyok tanpa sebab.   Khu Ci Kee tertawa.   "Kau berdandan sebagai orang Mongolia, maka mereka salah menyangkamu,"   Katanya.   Di wilayah Provinsi Shoatang ini, orang Mongolia telah bertempur hebat dengan orang Kim.   Penduduk Shoatang telah sangat menderita karena bangsa Kim, maka mereka membantu bangsa Mongol.   Siapa tahu, ternyata bangsa Mongol itu sama kejamnya dengan bangsa Kim.   Setelah bangsa Kim dikalahkan, mereka pun menindas rakyat.   Maka rakyat sangat gusar dan benci.   Sudah biasa terjadi, apabila ada pasukan tentara Mongolia lewat dan salah satu serdadu atau opsirnya tertinggal orang itu lantas dibunuh rakyat.   "'Kenapa kau membiarkan dirimu ditinju dan ditendangi?"   Tanya Ci Kee kemudian.   "Lihat, kau jadi tak keruan, tubuhmu bengkak dan bengep...."   Kwee Ceng menghela napas. "Aku tak berniat melayani mereka,"   Sahutnya sedih.   Ia lantas menceritakan tentang ibunya yang seperti dipaksa bunuh diri oleh Jenghis Khan.dan bahwa selama ini pikirannya kacau.   Khu Ci Kee terkejut.   "Kalau Jenghis Khan bemiat menyerang Kerajaan Song, mari kita lekas berangkat ke Selatan,"   Katanya. "Pemerintah mesti diberi kisikan supaya siap sedia menyambut musuh!"   "Apa gunanya?"   Tanya si pemuda sambil menggelengkan kepala.   "Kesudahannya kedua pihak bakal berperang hingga mayat-mayat bakal bertumpuk setinggi gunung, rumah rakyat akan musnah, dan nyawa rakyat akan lenyap...."   "Kalau Kerajaan Song dimusnahkan bangsa Mongol, rakyat bakal lebih menderita,"   Tiang Cun Cu. memberi pengertian.   "Penderitaan itu tiada taranya."   "Tootiang,"   Kata si anak muda.   "ada banyak soal yang tak kumengerti, tolong Tootiang jelaskan."   Khu Ci Kee menggandeng anak muda itu, mengajaknya ke bawah pohon, lalu mereka duduk bersama. "Bicaralah!"   Katanya.   Kwee Ceng mengutarakan keruwetan dalam hatinya.   kemudian menghela napas dan menambahkan.   "Sekarang aku memuruskan tak berniat bentrok dengan siapa pun.   Aku menyesal tak dapat melupakan ilmu silatku.   Tadi pun tanpa sengaja aku melukai orang itu hingga berdarah...."   "Anak Ceng, pandanganmu salah,"   Kata Tiang Cun Cu sambil menggeleng.   "Beberapa puluh tahun lalu ketika muncul kitab mestika Kiu Im Cin Keng, orang-orang gagah kacau, memperebutkannya dengan saling bunuh, sampai kemudian ada keputusan dalam rapat di Gunung Hoa San, tempat orang melakukan pertempuran terakhir. Di sana guruku, Ong Tiong Yang, telah keluar sebagai pemenang, berhasil mendapatkan kitab itu. Mulanya guruku juga berpikir akan memusnahkan kitab itu, tapi kemudian mengubah niatnya. Dia ingat bahwa air dapat membuat perahu berlayar, tapi juga dapat mengaramkannya. Keberuntungan dan bencana tergantung pada masing-masing orang. Maka ia mempertahankan dan menyimpan kitab itu. Kepandaian manusia, sipil maupun militer, tentara kuat, serta senjata tajam, semuanya bisa membuat manusia beruntung, tapi juga bisa membikin manusia celaka. Kau tahu, asal orang berniat baik, makin gagah dia makin baik. Karena itu, mengapa kau ingin melupakan ilmu silatmu?"   Kwee Ceng berpikir. Ia berkata.   "Tootiang benar, tapi... sekarang kaum kangouw rata-rata menyebut Sesat Timur, Racun Barat, Raja Selatan, dan Pengemis Utara sebagai orang-orang yang paling gagah. Untuk menyamai kepandaian mereka, sukar bukan buatan. Tapi lihatlah, apa gunanya kepandaian mereka itu? Kulihat tak ada faedahnya bagi manusia."   Ditanya begitu, Khu Ci Kee melengak. Selang sejenak, ia berkata.   "Oey Yok Su aneh, pasti ada sebabnya yang tak dapat dilampiaskannya. Dia sekarang berbuat sesuka hatinya, tak pernah memikirkan orang lain, maka aku tak mau mengambil perbuatannya sebagai teladan. Auwyang Hong jahat, dia tak usah dibicarakan lagi. Toan Hongya baik hati, kalau tetap menjadi raja, dia bisa berbuat banyak untuk rakyat. Sayang karena satu urusan kecil, hatinya jadi tawar hingga sekarang dia bersembunyi. Lain halnya dengan Ang Cit Kong. Dia tetap bekerja untuk orang banyak, padanya aku kagum dan takluk sekali. Akan segera tiba saatnya pertemuan di Hoa San. Meski ada orang yang dapat melebihi kegagahannya. aku percaya orang banyak bakal mengangkat dia jadi orang nomor satu di Rimba Persilatan."   Mendengar disebutnya pertemuan orang gagah di Gunung Hoa San, Kwee Ceng lantas ingat gurunya. "Apakah luka guruku sudah sembuh?"   Tanyanya. "Benarkah guruku bakal turut ambil bagian dalam pertemuan di Hoa San itu?"   "Sejak aku kembali dari Barat, belum pernah aku bertemu dengan Ketua Ang,"   Sahut Ci Kee. "Tapi aku percaya, bagaimanapun dia tentu bakal pergi ke Hoa San. Sekarang aku sedang dalam perjalanan ke Hoa San, bagaimana kalau kau turut aku pergi ke sana untuk melihat-lihat?"   Kwee Ceng menggeleng. Hatinya telah tawar dan kepalanya pusing kalau ingat soal pergulatan itu. Ia menjawab.   "Maaf, Tootiang, aku tak bisa turut Tootiang pergi ke sana."   "Habis kau hendak pergi ke mana?"   "Aku tidak tahu. Aku pergi ke mana saja kakiku melangkah...."   Imam itu sedih.   Menurut penglihatannya, pemuda itu seperti baru sembuh dari sakit berat.   Ia mencoba membujuknya, tetapi anak muda itu tetap menggoyangkan kepala.   Ia berpikir, Kwee Ceng biasanya menuruti kata-kata Ang Cit Kong, ada baiknya kalau pemuda ini mau pergi ke Hoa San untuk bertemu dengan gurunya itu.   Bagaimana ia mesti membujuknya? "Anak Ceng,"   Katanya kemudian.   "Kau ingin melupakan ilmu silatmu, untuk itu ada jalannya,"   Katanya kemudian. "Benarkah itu, Tootiang?"   Mendadak pemuda ini tertarik. "Ya,"   Sahut Ci Kee.   "Ada seseorang yang di luar tahunya telah meyakini ilmu yang mahir dari Kiu lm Cm Keng, kemudian dia merasa pelajaran itu menyalahi janjinya, dia menyia-nyiakan pesan seseorang, maka dia ingin melupakan ilmu itu. Dia lalu mencoba sebisa-bisanya. Kalau kau hendak mencontohnya, kau mesti mencari dia untuk minta diajari."   Kwee Ceng melompat bangun. "Benar!"   Katanya.   "Orang itu Kakak Ciu Pek Thong!"   Mendadak muka pemuda ini memerah, la likat sendiri, ingat bahwa Ciu Pek Thong adalah paman guru Ci Kee dan ia memanggilnya "Kakak"   Saja. Khu Ci Kee dapat menerka penyebab jengahnya pemuda itu. la tersenyum dan berkata.   "Paman Guru Ciu memang biasanya tidak membedakan derajat, maka kau dapat memanggilnya sesukamu."   "Sekarang dia ada di mana?"   "Dia bakal menghadiri pertemuan di Hoa San. Dia tentu akan pergi ke sana."   "Baiklah, aku akan ikut Tootiang"   Kata Kwee Ceng akhirnya.   Ci Kee puas, ia lantas mengajak anak muda itu berangkat.   Mereka berjalan bersama.   Di dusun pertama, Kwee Ceng membelikan si imam seekor kuda, untuk mempercepat perjalanan mereka.   Tujuan mereka adalah Barat.   Suatu hari, tibalah mereka di kaki Gunung Hoa San di sebelah selatan.   Mereka lantas singgah di perhentian San-sun-teng.   Di samping tempat itu tumbuh dua belas batang pohon rotan yang dinamakan "rotan naga", karena batangnya panjang dan berbentuk mirip naga.   "Hoa San merupakan gunung suci bagi kami kaum Too Kauw,"   Kata Khu Ci Kee.   "Menurut cerita, dua belas batang pohon rotan ini dulunya ditanam oleh Hi I Sianseng Tan Pok Loocouw."   "Tan Pok Loocouw? Bukankah dia dewa yang tidur selama genap setahun tanpa bangun sama sekali?" "Tan Pok Loocouw lahir di akhir zaman Tong. Sepanjang lima pemerintahan, setiap kali mendengar penguasa kerajaan berganti, selalu dia tidak puas, maka dia mengunci pintu rumahnya, terus tidur. Orang bilang dia tidur setahun suntuk tanpa mendusin. Yang benar ialah, karena jengkel mengingat nasib rakyat, dia tak suka memunculkan diri. Yang terakhir, ketika mendengar Song Thay-couw naik takhta, dia baru dapat tertawa lebar dan mengatakan bahwa mulai saat itu negara bakal aman sentosa."   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kalau Tan Pok Loocouw lahir di zaman sekarang, dia pasti bakal tidur lagi berbulan-bulan dan bertahun-tahun!"   Kata Kwee Ceng. Khu Ci Kee menghela napas. "Bangsa Mongol menjagoi wilayah Utara, mereka hendak menerjang ke Selatan. Sebaliknya Raja Song dan menteri-menterinya bangsa dogol semua, maka negara bakal kacau,"   Katanya.   "Kita adalah bangsa laki-laki, meski tahu kita tak bakal bisa apa-apa, kita perlu bangun untuk melawannya. Sebab aku pun tak setuju dengan sikap Tan Pok Loocouw yang main mengunci pintu dan tidur saja."   Sampai di situ mereka menghentikan pembicara- an, menitipkan kuda di kaki gunung, lantas mereka mendaki.   Mereka melintasi Toh-hoa-peng, Hi I Ap, dan See-bong-peng.   Makin tinggi jalanan makin sukar.   Setibanya di See-hian-bun, mereka naik dengan berpegangan pada rantai besi.   Bagi mereka, perjalanan memanjat itu tidak sulit.   Kira-kira tujuh li kemudian, tibalah mereka di Ceng-peng, Tanah Datar Hijau.   Lalu mereka menemukan batu-batu yang berdiri tajam, di sebelah utaranya ada sebuah batu yang memegat jalan.   "Inilah batu yang diberi nama Hwee-sim-cio,"   Kata Ci Kee.   Pelancong yang tiba di sini dapat balik kembali.   Hwee-sim-cio berarti Hati Berbalik Pulang.   Maju lebih jauh adalah tempat-tempat yang bernama Cian-cio-kiap dan Pek-cio-kiap, celah yang lebarnya tidak ada setengah kaki, hingga orang mesti berjalan miring.   Kwee Ceng langsung ingat.   "Kalau ada musuh memegat dan menyerang di sini, orang yang sangat lihai pun sukar melawan...."   Baru saja ia berpikir begitu, dari depan mereka terdengar bentakan.   "Khu Ci Kee, di Yan I Lauw kami telah mengampuni jiwamu, apa perlunya kau sekarang mendaki Gunung Hoa San ini?"   Khu Ci Kee mendengar suara itu, dengan segera ia mempercepat langkahnya, hingga sampai di samping gua.   Ia mengangkat kepala melihat ke depan.   Di sana, yang merupakan ujung jalan terakhir, terlihat lima orang, yaitu See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti, Nio Cu Ong, dan Hauw Thong Hay, yang memegat jalan.   Melihat mereka itu, ia heran.   Ia menyangka akan menemui Auwyang Hong, Kiu Cian Jin, Ciu Pek Thong, dan Ang Cit Kong, tidak tahunya, di sini ada rombongan pengkhianat itu.   Tentu saja ia mengerti bahaya yang mengancamnya, sebab ia dan Kwee Ceng di tempat yang letaknya buruk.   Begitu terdesak, mereka berdua bakalan terjerumus ke dalam jurang.   Karena itu.   ia menghunus pedangnya, lantas mendului melompat maju.   Ia menyerang Hauw Thong Hay, bukan saja karena orang itu yang terlemah, tapi karena ia yang jaraknya paling dekat.   Thong Hay menangkis serangan, la lantas dibantu Pheng Lian Houw dan Lama Leng Ti yang menggencet musuh dengan senjata masing-masing, poankoan-pit dan cecer, bermaksud mendesak Khu Ci Kee sampai terjatuh ke jurang.   Khu Ci Kee tahu apa yang mesti diperbuatnya.   Setelah menikam Thong Hay, ia menjejak dengan kedua kakinya untuk melompat tinggi melewati kepala Hauw Thong Hay.   Selain bebas dari gencet- an, ia pun tiba di tempat yang lega.   Senjata Leng Ti dan Lian Houw mengenai batu, hingga lelatu bepercikan.   Selama di Tiat Ciang Bio, See Thong Thian telah kehilangan sebelah tangannya, namun ia tetap gagah.   Menampak adik seperguruannya gagal memegat Khu Ci Kee.   ia melompat maju guna membantu.   Tapi, karena lihainya Tiang Cun Cu, yang merampas kedudukan, ia juga bisa dilewati.   Ia lantas mengejar, disusul oleh Lian Houw.   Ci Kee tidak lari terus, ia melawan dua musuhnya itu, yang segera dibantu Lama Leng Ti, hingga ia jadi dikepung tiga orang.   Selama pertempuran itu berjalan, Kwee Ceng tidak membantu Khu Ci Kee, padahal sepantasnya ia turun tangan di pihak imam itu.   Hatinya tawar, ia jemu dengan pertarungan.   Bukan saja ia tidak sudi membantu, melihat pun tidak.   Untuk naik terus, ia mengambil jalan lain, ialah dengan berpegangan pada oyot rotan.   Toh ia terganggu satu pertanyaan yang berkutat dalam hatinya.   "Bantu atau jangan? Bantu atau jangan...?'1 "Bagaimana kalau Khu Tootiang mereka binasakan? Bukankah itu salahku? Kalau aku membantu dan mereka mati, perbuatanku itu benar atau salah?"   Pikirannya terus-menerus terganggu, sedangkan ia tidak menunda jalannya, hingga kupingnya tidak mendengar lagi bunyi senjata beradu.   Sekarang ia berhenti untuk menyender pada batu.   Ia bengong.   Tiba-tiba ada bunyi di sampingnya, di belakang pohon cemara.   Ia segera menoleh.   Ia melihat seorang bermuka merah dan berambut putih, yaitu Nio Cu Ong.   Orang ini tahu Kwee Ceng lihai, ia takut, maka ia bersembunyi.   Namun Kwee Ceng tidak peduli, ia terus merenung, mulutnya kemak-kemik.   Nio Cu Ong heran.   Ia menduga si pemuda tidak melihatnya.   "Aneh kelakuan bocah ini,"   Pikirnya.   "Baiklah kucoba-coba."   Ia tidak berani mendekat, ia memungut batu, lalu menimpukkannya ke punggung si pemuda.   Mendengar bunyi sambaran angin, Kwee Ceng berkelit, tapi ia masih diam saja.   Som Siam Lao Koay merasa lega.   Ia meng- hampiri beberapa langkah.   "Menghajar orang adalah perbuatan yang sangat busuk, itu tidak pantas."   Katanya. "Oh. kau pun berpikir demikian?"   Tanya si anak muda "Sungguh aku ingin dapat melupakan ilmu silatku...."   Mata Nio Cu Ong bersinar tajam. Kebenciannya jadi bertambah begitu ia ingat pemuda ini telah mengisap darah ularnya. Ia mendekati Kwee Ceng dari belakang, tapi berkata pelan.   "Aku juga sedang berpikir untuk melupakan ilmu silatku. Bagaimana kalau aku membantumu?"   Kwee Ceng jujur, pikirannya sedang bimbang, ia lupa akan kelicikan orang itu. "Baik,"   Jawabnya.   "Bagaimana caranya?"   "Aku tahu caranya,"   Jawab Cu Ong, lalu mendadak mencekuk dua jalan darah thian-cu di leher belakang dan sin-tong di punggung Kwee Ceng.   Kwee Ceng terkejut, tubuhnya langsung terasa kaku, ia tidak dapat bergerak.   Cu Ong memegang kuat-kuat, kemudian meng- gigit leher pemuda itu untuk mengisap darahnya.   la mau ganti menyedot darah pemuda itu.   Bukankah ular yang sudah dipeliharanya susah-susah menjadi korban si pemuda? Kwee Ceng sangat kesakitan, sampai kedua matanya kabur la berontak, tapi dua jalan darahnya telah ditekan, tenaganya habis, la melihat roman Cu Ong yang sangat bengis dan menakutkan, la merasa semakin sakit, sebab gigitan orang itu keras.   Bukankah ia akan binasa kalau tenggorokannya putus? Dalam kagetnya, mendadak ia berontak lagi.   Kali ini ia menggunakan tipu yang didapatnya dari / Kin Toan Kut Piant dan tenaganya juga terkerah pada kedua jalan darah yang ditekan itu.   Nio Cu Ong sedang menekan ketika ia merasa ada tenaga menolak yang keras, lantas telapak tangannya sakit, tekanannya pun terus meleset, seperti berada di tempat licin.   Kwee Ceng menunduk, lalu tenaganya di ping- gang bekerja.   Begitu anak muda ini membungkuk, tubuh Cu Ong terangkat, lalu terlempar dari punggung si anak muda.   Ia menjerit ngeri, karena tubuhnya terlempar ke arah jurang.   Menyusul itu dari dalam jurang terdengar jeritan yang lebih hebat lagi, menyayat hati, berkumandang ke segala penjuru lembah, membuat bulu roma berdiri.   Kwee Ceng menjublek karena kejadian itu.   Ia mengusap-usap lehernya yang luka tergigit, lalu sadar bahwa dengan ilmu silatnya ia kembali telah membunuh.   Pikirnya.   "Kalau aku tak membunuhnya, dia akan membunuhku. Kalau dengan membunuhnya aku berbuat tak pantas, lalu bagaimana dengan dia yang hendak membunuhku, perbuatannya pantas atau tidak?"   Ia melongok ke jurang yang sangat dalam.   Ia tidak melihat apa pun, maka tak tahulah ia, di bagian mana Nio Cu Ong terjatuh....   Sambil duduk di batu, Kwee Ceng membalut lukanya.   Selang sekian lama, mendadak terdengar bunyi seperti langkah kaki, namun kadang-kadang terputus.   Segera terlihat seorang aneh muncul dari tikungan Ia terkejut tapi mengawasi.   Orang itu berkelakuan aneh, berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangannya diulurkan lem-peng ke samping tubuhnya.   Karena jalannya berlompatan, terdengar bunyi luar biasa dari batok kepala yang membentur bebatuan gunung.   Kemudi- an ia lebih heran lagi.   Setelah mengawasi, ia mendapati orang itu adalah si Racun Barat Auwyang Hong.   Kwee Ceng baru saja diperdaya orang.   Ia men- duga Racun Barat pun sedang pasang siasat, maka ia lantas mundur dua langkah.   Ia pasang mata sambil siaga.   Auwyang Hong aneh.   Ia melompat naik ke batu, tidak ambil mumet pada si anak muda.   Dia berdiri tegar dengan kepalanya seperti mayat hidup.   "Paman Auwyang, kau sedang apa?"   Akhirnya Kwee Ceng bertanya.   Si Racun Barat tetap tidak memedulikannya, ia seperti tidak mendengar pertanyaan pemuda itu.   Kwee Ceng mundur lagi beberapa langkah supaya berdiri agak jauh.   Ia memasang tangan kiri di dadanya, sebab khawatir jago dari Barat itu menyerangnya mendadak.   Tetapi Auwyang Hong tetap berdiri dengan cara aneh itu, dan Kwee Ceng terus memperhatikan.   Selang sesaat, karena penasaran dan ingin tahu, Kwee Ceng mengawasi muka orang tua itu sambil membungkuk dan menempelkan kepalanya ke tanah.   Ia melihat lewat selangkangannya dengan mementangkan kedua kakinya.   Baru sekarang ia melihat dengan tegas.   Kepala Auwyang Hong bermandikan peluh, mukanya meringis.   Kwee Ceng menduga orang itu tentu sedang melatih suatu ilmu.   Ia pun lantas melihat Racun Barat mementang kedua tangannya, tubuhnya ditekuk sedikit hingga mirip keong besar.   Tangannya digerakkan, makin lama makin cepat Ilmu itu aneh, pantas Auwyang Hong berlatih di tempat sepi.   Kalau keliru cara mempelajarinya, barangkali ilmu ini bakal membuat orang itu sesat dan membahayakan keselamatan dirinya sendiri.   Namun aneh, kenapa yang dipilihnya justru Gunung Hoa San ini, tempat pertemuan itu? Bukankah di sini bakal segera berkumpul banyak orang? Kenapa ia seperti tidak menjaga diri? Tidakkah dalam keadaan seperti ini Racun Barat gampang dibokong? Mungkin orang yang tidak mengerti ilmu silat pun dapat dengan gampang merobohkannya....   Tiba-tiba pemuda ini ingat sakit hatinya.   Mengapa ia tidak mau menuntut balas? Bukankah ini kesempatan baiknya? Namun karena baru saja membinasakan Nio Cu Ong, ia jadi sangsi.   Ia tidak lantas turun tangan.   Auwyang Hong tetap tidak memedulikan si anak muda.   Setelah berlatih sekian lama, kembali terdengar bunyi nyaring kepalanya.   Ia kembali ke tempat dari mana tadi ia muncul.   Bukan main herannya Kwee Ceng.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ia menjadi ingin tahu, maka diam-diam ia melangkah mengikuti.   Auwyang Hong berjalan dengan kepala tetapi tidak kalah cepat dari orang yang berjalan biasa dengan kaki.   Yang lebih heran lagi.   ia juga dapat mendaki gunung, makin lama makin tinggi.   Kwee Ceng mengikuti terus sampai di depan gua.   Di situ ia berhenti, bersembunyi di balik batu besar.   Tepat di depan gua itu Auwyang Hong berhenti.   Mendadak ia berkata bengis.   "Haphouvvbun-poat-eng sengji-kit-kin, si-kouw-ji! Tidak, tak tepat penjelasanmu ini! Tak sempurna aku melatihnya."   Kwee Ceng terkejut.   Itu bunyi kitab Kht Im Cin Keng palsu yang ditulisnya selama di atas perahu di tengah laut ketika ia dipaksa si Racun Barat.   Dengan siapa si Bisa Bangkotan sedang bicara? Lantas dari dalam gua terdengar jawaban seorang wanita.   "Latihanmu belum sempurna, pasti kau tak memperoleh hasil,"   Demikian suara nona itu.   "Kapan aku salah membacakannya?"   Kwee Ceng terkejut berbareng girang, ia hampir berteriak.   Itu suara Oey Yong, yang dipikirkannya siang-malam! Jadi.   mungkinkah nona itu tak binasa di gurun pasir? Apakah ia tengah bermimpi? Atau, apakah ia salah mendengar atau salah mengenali? "Aku berlatih menurut penjelasanmu, tak mungkin salah!"   Kata Auwyang Hong.   "Sekarang aku merasakan otot jim-wi dan yang-wi-ku tak tersalur dengan betul."   "Aku sudah bilang, latihannya masih kurang,"   Si nona pun berkeras.   "Kalau kaupaksakan. percuma saja."   Sekarang Kwee Ceng mendengar jelas sekali.   Tidak salah, itulah Oey Yong, Yongji-nya.   Saking girangnya, tubuhnya terhuyung, hampir ia pingsan.   Ia menguatkan hati, maka luka di lehernya pecah hingga berdarah, merembesi balutannya.   Tapi ia seperti tidak merasakannya.   Auwyang Hong terdengar berkata lagi, suaranya menyatakan ia gusar sekali.   "Besok tengah hari tepat adalah saat pertemuan itu berlangsung, mana dapat aku berlatih ayal-ayalan!"   Katanya bengis.   "Lekas terjemahkan seluruh isi kitab itu, jangan coba-coba main gila!"   Sekarang Kwee Ceng mengerti betul bahwa orang itu sedang mempelajari Kiu Im Ciri Keng.   Ia akan memakai ilmu itu untuk mengadu kepandaian dalam pertemuan, supaya menjadi orang kosen nomor satu.   Pantas Racun Barat gelisah.   Dari dalam terdengar tawa Oey Yong.   "Kau telah berjanji pada Kakak Ceng-ku, dia sudah mengampuni jiwamu sampai tiga kali,"   Kata si nona.   "Karena itu, kau tak dapat memaksaku, kau mesti menyerah, menanti sampai hatiku senang untuk mengajarimu...."   Kwee Ceng senang mendengar gadis itu me- nyebutnya Kakak Ceng-ku.   Ia nyaris tidak dapat mengendalikan diri lagi, hampir ia melompat sambil berseru dan berlari menghampiri si nona manis.   Auwyang Hong tertawa dingin.   "Temponya sudah mendesak, meskipun ada, janji itu sekarang mesti ditangguhkan!"   Katanya sengit. Lantas ia menggerakkan tubuhnya, dalam sekejap ia telah berdiri dengan kakinya. Terus ia melangkah lebar-lebar ke gua itu. "Tak tahu malu!"   Seru Oey Yong.   "Tidak, aku tak mau mengajarimu!"   Auwyang Hong kembali memperdengarkan tawa dinginnya lagi hingga beberapa kali. "Aku mau lihat, kau mengajariku atau tidak!"   Katanya, kali ini perlahan.   79.   INSAF MENDADAK terdengar jeritan Oey Yong, disusul bunyi robeknya baju.   Di saat seperti itu, Kwee Ceng lupa akan keruwetan persoalannya sendiri, yaitu pantas atau tidak ia menggunakan ilmu silatnya untuk melawan.   Ia berteriak.   "Yongji, aku akan membantumu!"   Ia lantas melompat, berlari ke dalam gua.   Tepat saat itu ia melihat Auwyang Hong memegang tongkat si nona dengan tangan kirinya, tangan kanannya akan dipakainya untuk mencekuk lengan kiri nona itu.   Untuk mengatasi itu Oey Yong menggunakan jurus Menyontek Anjing Buduk.   Dengan menolak dan terus menarik, ia dapat meloloskan tongkatnya, hingga berbareng dengan itu tangan kirinya pun terbebas.   "Bagus!"   Auwyang Hong memuji.   Ia hendak menyerang lagi ketika mendengar suara Kwee Ceng dari luar gua.   Mendadak mukanya memerah.   Bukankah ia telah memberikan janjinya? Mana dapat ia menyangkal janji itu? Ia berbuat begini pun karena terpaksa.   Ia malu pada dirinya sendiri.   Maka langsung ia mengundurkan diri.   dengan berkelit ia melompat keluar gua, menutupi mukanya dengan lengan bajunya.   Dalam sekelebatan saja, ia telah menyingkir ke luar gua dan lenyap.   Kwee Ceng tidak peduli orang itu kabur.   Ia lari menghampiri Oey Yong, langsung mencekal keras kedua tangan si nona.   "Yongji!"   Serunya.   "Kaubikin aku hampir mati memikirkanmu!"   Begitu kencang debar hatinya, hingga tubuhnya bergetar. Oey Yong melepaskan tangannya. "Kau siapa?"   Tanyanya dingin.   "Mau apa kau me-megangiku ?"   Pemuda itu tercengang. "Aku Kwee Ceng,"   Sahutnya.   "Kau baik-baik saja?"   "Aku tak kenal kau!"   Kata si nona seraya terus melangkah keluar. Kwee Ceng menyusul mendului, lalu berulang- ulang menjura. "Yongji!"   Panggilnya.   "Yongji, dengarkan aku...!"   "Hm! Apa kau kira kau dapat menyebut nama Yongji?"   Kata si nona.   "Kau siapa?"   Kwee Ceng celangap, tidak dapat mengeluarkan suara.   Nona itu mengawasi, maka sekarang ia melihat muka si pemuda yang pucat dan kucel, tubuhnya pun agak kurus.   Sesaat timbul rasa kasihannya, rasa tidak tega.   Tapi begitu ingat berulang kali ia telah disia-siakan, hatinya jadi panas lagi.   "Fui!"   Ia meludah, lalu melangkah cepat. Kwee Ceng cemas, ia menyambar ujung baju si nona dan menariknya. "Dengarkan dulu perkataanku...!"   Katanya. "Bicaralah!"   "Di embal pasir aku menemukan gelang rambut dan bajumu, kusangka kau...."   "Kau ingin aku mendengarkan perkataanmu, se- karang aku sudah mendengarkannya!"   Potong si nona.   Ia menarik lepas bajunya, terus berjalan.   Kembali Kwee Ceng bengong, pikirannya bi- ngung.   Ia tidak pandai bicara, maka tidak tahu mesti mengatakan apa.   Ia khawatir si nona nanti lenyap lagi, maka ia lantas mengikuti.   Oey Yong berjalan terus dengan pikiran kusut.   Ia pulang dari Barat dengan hati tawar.   Di Tionggoan, ia sebatang kara.   Ia ingin pulang ke Pulau Persik untuk mencari ayahnya.   Apa lacur, tiba di Shoatang ia menderita sakit berat.   Celakanya, tidak ada orang yang merawatnya.   Selagi rebah di pembaringan, ia sakit hati teringat sikap Kwee Ceng yang ia anggap tipis budi pekertinya.   Kalau ingat nasibnya yang buruk, ia menyesal telah dilahirkan di dunia.   Syukurlah, ia dapat sembuh dari sakit, tapi belum bebas dari penderitaan.   Di Shoatang Selatan ia bersampokan dengan Auwyang Hong yang memaksanya turut pergi ke Hoa San.   Ia dipaksa untuk menjelaskan isi kitab Kiu Im Cin Keng.   Kalau tidak ada si pemuda, entah apa yang akan diperbuat Auwyang Hong pada dirinya.   Dengan sedih ia berjalan terus.   Kwee Ceng terus mengintil.   Kalau si nona ber- jalan cepat, ia pun mempercepat langkahnya.   Kalau si nona pelan, ia ikut pelan.   Sesudah berjalan sekian lama, mendadak si nona menoleh ke belakang.   "Mau apa kau mengikutiku ?"   Tegurnya sinis. "Aku akan mengikutimu selamanya...,"   Sahut si pemuda.   "Seumur hidup aku tak mau berpisah darimu...."   Oey Yong tertawa dingin. "Kau menantu Jenghis Khan! Buat apa kau mengikuti budak melarat?"   "Jenghis Khan telah menyebabkan kematian ibuku, mana dapat aku menjadi menantunya?"   Kwee Ceng menjawab. Muka si nona memerah. "Bagus!"   Serunya.   "Kukira kau masih ingat sedikit padaku, rupanya kau telah didepak Jenghis Khan! Setelah tak dapat menjadi huma, kau sekarang mencariku si budak melarat! Apa kau sangka aku manusia hina-dina yang dapat kau hina sesukamu ?"   Si nona lantas menangis, air matanya bercucuran. Kwee Ceng terharu, tetapi ia bingung. Apa yang mesti diperbuatnya? Apa yang mesti dikatakannya...? "Yongji...,"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Katanya kemudian, selagi nona itu sesenggukan.   "Aku ada di sini, jika kau hendak membunuhku, silakan, terserah padamu...."   "Buat apa aku membunuhmu?"   Tanya si nona, suaranya pilu.   "Anggap saja perkenalan kita siasia belaka.... Kumohon, janganlah kau mengikutiku...."   Muka Kwee Ceng bertambah pucat. "Apa yang harus kulakukan supaya kau percaya padaku?"   Tanyanya. "Sekarang kau baik denganku,"   Kata si nona. "Kalau besok kau bertemu dengan Adik Gochinmu, kembali kau akan melupakanku, kau bakal menyia-nyiakanku.... Sekarang ini. asal kau mati di depanku, baru aku percaya padamu..-"   Darah Kwee Ceng meluap, ia mengangguk.   Ke- mudian ia memutar tubuhnya dan melangkah ke jurang.   Kebetulan saat itu ia berada di tepi Sia Sin Gay, Jurang Mengorbankan Diri.   Kalau ia terjun di situ, pastilah tubuhnya hancur lebur.   Oey Yong tahu hati pemuda itu keras, ia me- lompat menyusul, tangannya terulur untuk menyambar punggung si pemuda.   Ia menarik keras, tubuhnya meucelat, maka sekejap kemudian justru dialah yang berada di tepi jurang.   Ia mencucurkan air mata.   hatinya tegang.   "Bagus ya, sedikit pun kau tak kasihan padaku!"   Katanya.   "Aku baru mengeluarkan sepatah kata karena panas hatiku, kau langsung tak mau me-lewatkannya! Aku bilang padamu, jangan marahi aku, cukup asal kau jangan bertemu lagi denganku..."   Muka Oey Yong pucat, tubuhnya gemetar. "Yongji, kemarilah,"   Kata Kwee Ceng. Tadi ia mau bunuh diri, sekarang ia khawatir si nona yang akan terjun. Oey Yong mendengar suara pemuda itu bergetar. Ia tahu si pemuda masih mencintainya, ia sangat sedih. Sembari menangis, ia berkata.   "Aku tahu kau pura-pura saja berkata begini. Ketika aku sakit di Shoatang, tak seorang pun memedulikanku.... Apakah waktu itu kau datang menjengukku? Aku dikekang Auwyang Hong, aku tak dapat meloloskan' diri, apakah kau datang menolongku? Ibuku tak menyayangiku, dia pergi mati sendiri saja. Ayah pun tak menghendakiku, dia tak mencariku.... Apalagi kau, lebih-lebih tak menginginkanku! Di dunia ini, tak seorang pun menyayangiku, mengasihaniku...."   Ia menangis terus, sambil membanting-banting kaki.   Kwee Ceng diam.   Ia masih tidak tahu mesti bilang apa.   [a bisa merasakan panasnya hati si nona.   Ia cuma bisa mengawasi.   Sunyi di antara mereka,-cuma terdengar embusan sang angin.   Rupanya si nona merasa kedinginan, tubuhnya menggigil.   Kwee Ceng membuka baju luarnya, berniat me- ngerobongi tubuh nona itu.   Selagi ia akan melakukannya, mendadak ada bentakan dari ujung jurang.   "Siapa yang nyalinya begitu besar berani menghina Nona Oey-ku?"   Kwee Ceng girang sekali. Ia langsung men- dongak, melihat seorang tua dengan rambut pendek dan kumis putih, dialah Ciu Pek Thong si Bocah Tua Nakal. "Kakak Ciu!"   Panggil Kwee Ceng. Oey Yong pun memperdengarkan suaranya de- ngan agak mendongkol.   "Eh. Bocah Tua Nakal! Aku menitahkanmu untuk membunuh Kiu Cian Jin! Mana kepalanya?"   Ciu Pek Thong- menghampiri mereka, ia tidak menjawab, hanya tertawa haha-hihi. "Nona Oey, siapa yang mengganggumu?"   Ia bertanya.   "Nanti Bocah Tua Nakal membikinmu puas!"   "Siapa lagi kalau bukan dia!"   Sahut si nona seraya menunjuk Kwee Ceng.   Untuk menyenangkan si nona, si Bocah Tua Nakal bertindak sejadinya saja.   Tahu-tahu Kwee Ceng telah digaploknya dua kali hingga kelabakan.   Kwee Ceng sama sekali tidak menyangkanya.   Ka- rena itu, bengaplah pipi kiri dan kanannya.   Ketika baru dihajar, matanya juga berkunang-kunang.   "Nona Oey, cukupkah?"   Tanya Bocah Tua Nakal. "Jika belum cukup, nanti kuhajar lagi dia."   Menampak muka si pemuda merah dan bengap, di pipinya tampak bekas tapak tangan dengan lima jari, kedongkolan Oey Yong mereda, lantas timbul rasa kasihannya.   Ia berbalik jadi mendongkol kepada si tua tukang guyon itu.   "Aku marah sendiri, tak ada hubungannya denganmu!"   Ia tegur orang tua itu.   "Kenapa kau lancang memukulnya? Kuperintahkan kau membunuh Kiu Cian Jin, mengapa kau tak dengar perintahku?' Pek Thong menjulurkan lidahnya panjang-pan- jang. Ia tidak dapat menjawab. Ketika itu, jauh di belakang jurang, terdengar bunyi beradunya senjata. Pek Thong mendengarnya, ia segera mendapat akal. "Pastilah si tua bangka Kiu sudah datang, aku akan mendatanginya!"   Katanya seraya terus memutar tubuh untuk lari ke belakang jurang itu.   Tentu saja Bocah Tua Nakal bukan mau mencari Kiu Cian Jin, bahkan sebaliknya ia jeri dengan ketua Tiat Ciang Pang itu.   Di antara kedua jago ini, keadaan seperti jungkir balik.   Di rumah batu, tempat Kwee Ceng dan Auwyang Hong berlalu saling susul, Pek Thong dan Cian Jin bertempur tidak lama.   Cian Jin bisa lolos dan kabur, ia dikejar Pek Thong, ke mana pun lari ia disusul, hingga akhirnya ia mendongkol berbareng putus asa.   Ia berpikir, ia toh jago dan ketua partai, mengapa sekarang ia begini sial menghadapi Ciu Pek Thong yang lihai itu? la merasa sangat terhina.   Karena putus asa, ia menjadi nekat.   Daripada kena bekuk, lebih baik ia bunuh diri.   Kebetulan ia melihat seekor ular berbisa di sela batu, ia menangkap ular itu.   la berniat memagutkan ular itu ke dirinya sendiri.   Dengan memegangi ular itu, ia berkala pada Ciu Pek Thong.   "Eh, Pek Thong, bangsat, lihat ini!"   Sebenarnya Cian Jin hendak menempelkan mulut ular itu ke lengannya, tapi mendadak Ciu Pek Thong menjerit, lalu memutar tubuhnya dan lari kabur.   Cian Jin menjadi heran.   Namun sejenak kemudian ia lantas dapat menduga, tentulah Bocah Tua Nakal takut ular.   Maka ia sekarang berbesar hati, ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri, lantas mengejar si tua bangka berandalan itu.   Lebih dari itu ia menangkap seekor ular lain, hingga tangan kiri dan kanannya masing-masing mencekal binatang berbisa itu.   Sembari mengejar, ia berteriak-teriak mengancam musuhnya.   Pek Thong ketakutan, ia lari ngacir.   Kiu Cian Jin mempunyai julukan Sui-siang- piauw, yang berarti larinya sangat pesat.   Seandainya tidak jeri, ia tentu sudah dapat menangkap Pek Thong.   Maka mereka cuma main kejar-kejaran.   Dari siang mereka berlari-lari sampai hari gelap, setelah itu barulah Pek Thong bisa lolos.   Dalam hati Cian Jin tertawa.   Ia mengejar hanya untuk menggertak.   Sekarang ia pun bebas dari ancaman si tua berandalan itu.   Oey Yong melihat orang tua itu pergi, ia melirik Kwee Ceng.   Ia menghela napas lantas menunduk.   "Yongji!"   Panggil Kwee Ceng.   Nona itu menyahut lirih.   Kwee Ceng hendak berbicara tetapi tidak tahu mesti mengatakan apa, ia berdiri diam.   Karena si nona pun terus membungkam, keduanya berdiri bagaikan patung, tubuh mereka disampoki angin.   Tidak lama kemudian Oey Yong bangkis akibat terlalu banyak kena angin.   Kwee Ceng ingat bajunya, ia lantas menghampiri untuk menutupi tubuh si nona dengan bajunya itu.   Tadi ia diganggu oleh Ciu Pek Thong, sekarang tidak ada rintangan lagi.   Oey Yong diam saja, menunduk terus.   Dalam kesunyian itu.   kuping mereka mendengar tawa nyaring Ciu Pek Thong yang ierus berseru memuji.   "Bagus! Bagus"' Mendadak si nona mengulurkan tangannya, men- cekal tangan Kwee Ceng seraya berkata pelan. "Kakak Ceng, ayo kita lihat!"   Kwee Ceng mengikuti.   Ia tidak bisa menyahut.   Kali ini saking girangnya ia mencucurkan air mata.   Dengan ujung bajunya Oey Yong mengusap air mata si pemuda.   "Di mukamu ada air mata dan bekas tapak tangan.   Kalau orang tak tahu, dia bisa menyangka akulah yang menamparmu...."   Dengan tertawanya si nona, berarti mereka berdua sudah akur lagi.   Dengan bergandengan mereka lari melintasi ju- rang, pergi ke tempat asal datangnya tawa Ciu Pek Thong.   Di sana mereka melihat banyak orang dengan sikap yang aneh-aneh.   Pek Thong terlihat girang bukan main.   Ia memegangi perutnya sambil terbungkuk-bungkuk.   Ia tertawa puas sekali.   Di dekatnya tampak Khu Ci Kee berdiri diam dengan pedang di tangan.   Di antara mereka masih ada empat orang lagi, ialah See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti, dan Hauw Thong Hay.   Sikap keempat orang itu luar biasa.   Mereka memegang senjata masing-masing, ada yang sedang menyerang, ada yang sedang berkelit atau mundur.   Sikap tubuh mereka tetap begitu, sebab mereka tidak dapat bergerak bagaikan patung.   Sebab mereka korban totokan si Bocah Tua Nakal yang kekanak-kanakan.   "Tempo hari itu aku membuat obat pulung dari lumpur tubuhku,"   Kata Ciu Pek Thong kepada See Thong Thian berempat.   "Aku menitahkan kalian untuk menelannya. Kemudian kalian kawanan bangsat cerdik juga, kalian tahu itu bukan obat penawar racun, lantas kalian tak mau dengar kata-kata kakekmu ini. Hm! Bagaimana sekarang T* Pek Thong mengatakan demikian sebab meski berhasil membekuk mereka, ia tidak tahu bagaimana harus menghukum mereka. Tapi begitu melihat Oey Yong dan Kwee Ceng, ia lantas mendapat pikiran. Katanya.   "Nona, empat bangsat bau ini kuserahkan padamu!"   "Apa gunanya mereka buatku?"   Tanya si nona. "Kau main gila, ya? Kau tak mau membunuh tapi juga tak mau melepaskan mereka! Kau telah"   Menangkap mereka tapi tak berdaya mengurus! Lekas kaupanggil aku kakak yang baik tiga kali, nanti kau kuajari..-!"   Pek Thong tidak mau banyak pikir, ia juga tidak peduli dengan segalanya, maka tanpa sangsi sedikit pun ia memanggil "Kakak yang baik!"   Tiga kali. Bahkan ditambah dengan menjura dalam-dalam. Oey Yong tersenyum. "Geledah dia!"   Kata si nona seraya menunjuk Pheng Lian Houw. Pek Thong menurut. Dari tubuh Lian Houw ia mendapatkan cincin dengan jarum beracun dan dua peles kay-yok, obat pemunah racun. Kata si nona.   "Dia pernah menusuk Ma Giok, kemenakan seperguruanmu, dengan jarumnya ini. Sekarang tusuklah dia .beberapa kali, juga ketiga kawannya!"   Lian Houw semua mendengar perkataan si nona, mereka kaget dan takut bukan main, tetapi mereka masih tertotok, tidak dapat lari ataupun meronta. Maka mereka mesti merasakan sakitnya ditusuk Pek Thong beberapa kali. "Obatnya ada di tanganmu,"   Kata si nona lagi kepada Bocah Tua Nakal.   "Sekarang kau dapat menitahkan mereka untuk melakukan apa pun yang kaukehendaki. Coba lihat mereka berani membangkang atau tidak!"   Pek Thong girang.   Ia lantas mengasah otak.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ia tidak usah membuang tempo untuk mendapatkan akal.   Ia membuat obat lagi dari kotoran, namun kali ini kotoran itu dicampur dengan kay-yok, dipulung menjadi butiran-butiran kecil, kemudian diserahkannya kepada Khu Ci Kee sambil berkata.   "Sekarang kaugiring kawanan bangsat bau ini ke Kuil Tiong Yang Kiong di Ciong Lam San. Penjarakan mereka selama dua puluh tahun. Jika selama dalam perjalanan mereka menurut kata-katamu, beri mereka masing-masing sebutir pil mustajabku ini. Tapi kalau sebaliknya, biarkan saja, biar mereka tahu rasa! Mereka berbuat, mereka mesti bertanggung jawab, jangan sekali-kali kasihan pada mereka!"   Khu Ci Kee menerima obat itu sambil menjura.   Ia menghaturkan terima kasih seraya memberikan janjinya.   Oey Yong tertawa dan berkata pada Pek Thong.   "Bocah Tua Nakal, kata-katamu ini tepat sekali, sangat pantas! Tak kusangka, baru setahun kita tak bertemu kau telah maju begini pesat!"   Pek Thong puas sekali, ia tertawa senang. Sesudah itu ia membebaskan totokan keempat orang itu. Katanya pada mereka.   "Sekarang kalian mesti pergi ke Tiong Yang Kiong, tinggallah di sana baik-baik selama dua puluh tahun. Jika kalian benar-benar hendak bertobat, di belakang hari kalian masih dapat menjadi orang baik. Tapi jika kalian masih tetap jahat... hm! Hm! Perlu kalian ketahui, kami para imam dari Coan Cin Kauw bukan orang yang dapat dibuat permainan, kami ahli membetot otot tanpa mengerutkan alis! Maka, empat bangsat bau. berhati-hatilah kalian!"   Lian Houw berempat tidak berani banyak omong, mereka cuma mengangguk.   Khu Ci Kee menahan tawa melihat sikap paman gurunya yang lucu itu.   la kembali menjura, lantas menggiring pergi keempat tawanannya turun gunung, untuk pulang ke gunungnya sendiri.   "Eh, Bocah Tua Nakal,"   Kata Oey Yong tertawa. "Sejak kapan kau belajar mendidik orang? Kata-katamu yang bagian depan masuk akal, tapi yang belakangan lantas jadi tak keruan...."   Pek Thong tidak menjawab, ia hanya tertawa sambil melengak. Saat itu ia melihat sinar putih berkelebat di puncak kiri, lalu lenyap, la yakin itu sinar senjata tajam. "Eh, apa itu?"   Tanyanya heran. Oey Yong dan Kwee Ceng mengangkat kepala, tapi sinar itu sudah lenyap. Pek Thong takut Oey Yong akan menanyakan Kiu Cian Jin lagi, maka ia lantas menggunakan alasan. "Biar kulihat!"   Katanya.   Terus ia lari pergi.   Oey Yong berdua Kwee Ceng membiarkan orang tua itu pergi, sebab banyak yang hendak mereka bicarakan.   Mereka mencari tempat untuk duduk, lalu saling menuturkan pengalaman masing-masing dan saling mengutarakan isi hati.   Sampai matahari sudah turun ke barat, mereka masih belum berhenti pasang omong.   Kwee Ceng berbekal ransum kering.   Ia menge- luarkannya untuk mereka santap bersama-sama.   Sembari makan, Oey Yong berkata.   "Bangsat tua Auwyang Hong memaksaku menjelaskan isi Kiu lm Citi Keng. Bukankah kitab tulisanmu yang kauberikan padanya kacau-balau? Nah, aku pun tak keruan menjelaskannya! Tapi dia percaya, maka dia bersengsara selama beberapa bulan ini untuk mempelajari ilmu itu. Kubilang dia mesti berlatih terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, dia menurut. Dia sungguh hebat, dapat membuat jalan darahnya tersalur secara bertentangan, yaitu jalan darah im-wu yang-wi. im-kiauw. dan yang-kiauw. Entah bagaimana andai kata dia membalik semua jalan darahnya."   Kwee Ceng tertawa. "Pantas aku melihat dia jalan meloncat-loncat dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kiranya dia sedang kaupermainkan!"   Katanya. Memang sulit untuk berlatih dengan cara demikian. Oey Yong tersenyum. "Kau datang kemari, apa kau juga hendak turut berebut gelar orang gagah nomor satu di kolong langit itu?"   Tanyanya. "Ah, Yongji, kau menggodaku,"   Sahut si pemuda. "Aku datang ke gunung ini buat mencari Kakak Ciu supaya diajari ilmu untuk melenyapkan ilmu silatku...."   Kwee Ceng lantas menjelaskan alasan mengapa ia sampai mendapat pikiran demikian. Oey Yong memiringkan kepalanya, berpikir. "Ya, melupakan itu pun baik juga,"   Katanya kemudian.   "Memang, semakin kita pandai, pikiran kita semakin tak tenang. Lebih baik seperti waktu masih kecil, kita tak bisa segala-galanya, tak ada yang kita pikirkan, tak ada yang menyusahkan kita...."   Waktu mengatakan itu, si nona tidak berpikir bahwa sudah wajar dengan bertambahnya usia manu- sia berarti bertambah juga keruwetan hidupnya, bahwa kehidupan ini tidak ada hubungannya dengan pandai silat atau tidak. Kemudian ia berkata.   "Besok tiba saatnya pertemuan di Hoa San ini, untuk mengadu pedang. Ayah pasti akan ambil bagian. Karena kau tak berniat turut memperebutkan gelar jago itu, menurutmu bagaimana cara kita untuk membantu ayahku?"   "Yongji,"   Kata si pemuda.   "bukannya aku tak mau mendengar perkataanmu, tapi dalam hal ayahmu, sebagai manusia, dia kalah dari Ang Insu...."   Ang Insu berarti Guru Ang yang berbudi, yaitu Ang Cit Kong.   Oey Yong sedang duduk bersender.   Begitu ia mendengar Kwee Ceng mengatakan ayahnya kalah dari Cit Kong, artinya ayahnya bukan manusia baik-baik, mendadak ia menjadi gusar.    Si Rase Hitam Karya Chin Yung Pendekar Bunga Karya Chin Yung Persekutuan Pedang Sakti Karya Qin Hong

Cari Blog Ini