Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 70


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 70


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Ia mendorong Kwee Ceng.   Tentu saja Kwee Ceng melengak.   Hanya sedetik, si nona lantas tertawa.   "Memang, memang Suhu Ang baik pada kita,"   Katanya.   "Sekarang begini saja. Kita tidak membantu pihak mana pun! Bagaimana menurutmu?"   "Ayahmu dan Suhu Ang sama-sama kesatria, jika kita membantu diam-diam, tentu mereka tak senang,"   Kata Kwee Ceng. "Apa? Diam-diam? Apa sangkamu aku orang jahat?"   Lantas si nona memperlihatkan roman tidak senang. Kwee Ceng heran. "Ah, aku salah omong...,"   Katanya. Si nona mengawasi, tiba-tiba ia tertawa lagi. "Sudahlah!"   Katanya.   "Sebenarnya, asal kau tak menyia-nyiakanku, kita masih bisa cukup lama berkumpul...."   Bukan main girangnya Kwee Ceng, ia mencekal keras tangan si nona. "Mana bisa aku menyia-nyiakanmu!"   Katanya. "Ya, sebab si tuan putri tak menghendakimu lagi, baru kau menghendaki aku si budak hina...."   Kwee Ceng diam.   Disebutnya nama Gochin membuat ia teringat kepada ibunya yang mati secara menyedihkan di gurun pasir.   Cahaya rembulan menyinari muka anak muda ini.   Oey Yong melihat muka itu pucat dan lesu, ia terkejut.   Ia menyangka telah salah omong.   "Kakak Ceng,"   Katanya lekas-lekas.   "lebih baik kita jangan membicarakan lagi urusan yang sudah-sudah. Kita sekarang telah berkumpul, kita senang. Aku sebenarnya senang sekali. Bagaimana jika kubiarkan pipiku kaucium?"   Muka Kwee Ceng memerah. Ia tidak berani mencium. Oey Yong tertawa, ia melengos. Ia likat sendiri. "Coba bilang, siapa yang bakal menang besok?"   Ia menyimpangkan pembicaraan.   "Itu sukar dibilang.   Entah It Teng Taysu datang atau tidak...."   "Dia sudah menjadi orang suci, dia takkan berebut nama kosong lagi."   "Aku pun menduga demikian.   Ayahmu, Suhu Ang, Kakak Ciu, Kiu Cian Jin, dan Auwyang Hong mempunyai kepandaian masing-masing.   Mengenai Suhu Ang, aku tak tahu dia sudah sembuh atau belum dan entah bagaimana kepandaiannya...."   Waktu mengucapkan begitu, Kwee Ceng sedih. "Menurut keadaan. Bocah Tua Nakal yang paling lihai,"   Kata si nona.   "Tapi kalau tidak menggunakan Kiu Jm Cin Keng, dia kalah dari empat orang yang lain...."   Kwee Ceng membenarkan dugaan itu.   Mereka masih bicara sampai rasa kantuk si nona datang, maka tidak lama kemudian, ia pulas di dada si pemuda, yang membiarkannya.   Tidak lama setelah itu.   Kwee Ceng pun ingin tidur, namun ketika baru layap-layap tidurnya, mendadak ia mendengar langkah yang disusul dengan ber- kelebatnya dua bayangan yang lari ke belakang jurang.   Ia terkejut, samar-samar ia mengenali Pek Thong dan Cian Jin.   Ia heran melihat Bocah Tua Nakal dikejar Cian Jin.   Ia tidak tahu ketua Tiat Ciang Pang itu menggunakan ular berbisa.   Bukankah tadinya Cian Jin yang dikejar-kejar Pek Thong? Pelan-pelan ia membangunkan si nona dan berkata.   "Lihat!"   Oey Yong bangun, mengangkat kepalanya. Ia lantas melihat Pek Thong yang lari berputar-putar di dekat mereka.   "Kemudian didengarnya Bocah Tua Nakal berkata.   "Bangsat tua Kiu, di sini bersembunyi kawanku tukang menangkap ular berbisa! Apa kau masih tak mau lekas-lekas kabur?"   Lalu Kiu Cian Jin menjawab sambil tertawa.   "Apa kausangka aku bocah umur tiga tahun?"   Ciu Pek Thong berteriak-teriak.   "Saudara Kwee! Nona Oey! Lekas bantu aku!"   Kwee Ceng hendak membantu. Ketika ia mau melompat bangun, Oey Yong menariknya dan tetap merebahkan diri di dada si pemuda. "Jangan bergerak!"   Kata si nona lirih. Pek Thong terus lari berputar-putar, ia tidak juga melihat kemunculan kedua orang yang di-teriakinya itu. Setelah mengulangi tapi tetap tidak ada yang memedulikannya, ia berteriak.   "Bocah busuk! Budak iblis! Kalau kau tetap tak mau keluar, nanti kucaci maki delapan belas leluhurmu!"   Oey Yong lantas muncul. Ia tertawa. "Aku tak mau keluar!"   Katanya.   "Kalau kau bisa, makilah!"   Pek Thong tidak berani memaki. "Nona, bantulah aku,"   Katanya.   "Bagaimana kalau aku mencaci delapan belas leluhurku?"   Melihat munculnya sepasang muda-mudi itu, hati Kiu Cian Jin ciut.   Ia lantas berniat kabur, sebab celakalah kalau ia dikepung mereka bertiga.   Kalau besok, bertempur satu lawan satu.   ia tidak jeri.   Lantas ia mengangkat ularnya, menyampokkannya ke muka Pek Thong.   Bocah Tua Nakal kaget, ia berkelit.   Mendadak ia merasakan sesuatu yang dingin di lehernya, ia kaget sekali.   Ia menyangka itu ular berbisa.   "Mati aku! Mati aku!"   Teriaknya berulang-ulang.   Binatang itu meronta-ronta di punggungnya.   Ia pun tidak berani merogoh.   Mendadak ia lemas, lantas tubuhnya roboh.   Oey Yong dan Kwee Ceng kaget, keduanya melompat menubruk untuk menolong.   Kiu Cian Jin heran melihat robohnya Pek Thong, tapi karena ini kesempatannya yang baik, ia hendak lari pergi.   Belum lagi ia mengangkat kaki, dari gerumbulan pohon muncul sesosok bayangan, yang lalu berkata dengan dingin.   "Bangsat tua Kiu, hari ini kau tak dapat lolos lagi!"   "Siapa kau?"   Bentak Cian Jin. Orang itu berdiri membelakanginya, hingga Cian Jin tidak dapat melihat mukanya. Ia hanya bisa khawatir. Pek Thong rebah di tanah, mengira dirinya sudah ada di alam baka. Tapi kupingnya mendengar.   "Tuan Ciu, jangan takut, itu bukan ular!"   Ia pun ditolong bangun. Ia lantas melompat berdiri. Kembali ia merasakan sesuatu yang dingin di punggungnya, benda itu bergerak-gerak. Kembali ia kaget, hingga menjerit.   "Dia menggigitku! Ular! Ular!"   "Bukan ular. hanya ikan emas!"   Kata orang itu lagi.   Sekarang Oey Yong berdua Kwee Ceng telah melihat orang yang bicara itu, malahan mereka mengenalinya, yaitu si tukang pancing, murid kepala It Teng Taysu.   Orang itu pun lantas mengambil ikan dari punggung Bocah Tua Nakal.   Si tukang pancing datang ke Gunung Hoa San, ia melihat sepasang ikan emas Kim-wawa, maka ia lantas menangkapnya.   Entah bagaimana ia membuat yang seekor terlepas, bahkan tepat sekali jatuh ke dalam baju Ciu Pek Thong.   Tak heran Pek Thong kaget dan takut bukan main, sebab ia menyangka itu ular Kiu Cian Jin.   Begitu Pek Thong membuka mata dan meng- awasi orang itu, ia bengong.   Ia seperti mengenali orang itu, tetapi lupa siapa.   Kemudian ia berpaling kepada Kiu Cian Jin, ketua Tiat Ciang Pang itu sedang mundur selangkah demi selangkah, sedangkan si bayangan maju selangkah demi selangkah juga.   Ia mengawasi bayangan itu.   Akhirnya ia kaget tak terkira, semangatnya seolah terbang tinggi.   Bayangan itu ternyata Eng Kouw atau Lauw Kui-hui dari istana Negara Tali! Kiu Cian Jin juga kaget bukan main.   Ia datang ke Hoa San dengan harapan besar, sebab meski gagah Ciu Pek Thong bisa dipengaruhi dengan ular.   Ia sama sekali tidak menyangka sekarang Lauw Kui-hui muncul tiba-tiba.   Selama di Chee-liong-toa, ia telah menyaksikan selir itu mengamuk, maka sekarang hatinya jadi ciut.   Justru itu terdengar si nyonya berkata.   "Kembalikan jiwa anakku...!"   Sebenarnya Cian Jin heran bagaimana nyonya ini mengenalinya, karena dulu ketika menyatroni istana Toan Hongya, ia menyamar.   Dulu ia juga tidak berniat membinasakan anak itu.   sebab maksudnya ialah supaya Toan Hongya mengobati anaknya dan menjadi lelah karenanya.   "Eh, perempuan edan, buat apa kau mengganggu-ku?"   Tanyanya sambil memaksakan diri tertawa. "Pulangkan jiwa anakku!"   Jawab Eng Kouw. "Buat apa kau menyebut-nyebut anakmu?"   Tanya Cian Jin.   "Anakmu sudah mati, apa hubungannya denganku?"   "Sebab kaulah pembunuhnya! Malam itu aku tak melihat mukamu, tapi aku mendengar tawamu! Nah, coba kau tertawa lagi! Tertawa! Cepat!"   Kiu Cian Jin mundur lagi.   Ia melihat wanita itu akan menerkamnya.   Ketika nyonya itu benar-benar maju, ia menggeser sedikit ke samping, tangan kirinya menepuk tangan kanannya, lalu tangan kanannya itu meluncur ke perut si nyonya.   Itulah jurus Imyang Kwi It, Bersatunya Im dan Yang, salah satu di antara ketiga belas jurus dari Tiat Ciang Kiat, silat Tangan Besi-nya yang lihai.   Tenaga tangan kanannya dibantu dengan tangan kirinya.   Eng Kouw tahu hebatnya serangan itu.   la hendak membebaskan diri dengan Ni Ciu Kang, ilmu Lindung-nya, tetapi di luar dugaannya, gerakan Cian Jin sangat sebat.   Ia menjadi nekat.   Maka bukannya menangkis atau berkelit, ia justru menubruk untuk memeluk musuh, supaya mereka sama-sama jatuh ke jurang.   Belum lagi kedua pihak mempertaruhkan jiwa mereka, Kiu Cian Jin merasakan sambaran angin di sampingnya, sedangkan matanya melihat bayangan berkelebat.   Terpaksa ia menarik pulang serangannya untuk dipakai menangkis.   Ia lantas melihat siapa yang telah merintanginya, ia gusar sekali.   "Ah, Bocah Tua Nakal, kau lagi!"   Serunya.   Memang Pek Thong-lah yang menolong Eng Kouw dari bahaya.   Tiba-tiba saja datang rasa cinta si orang tua, bahkan ia menyerang dengan jurus dari Kiu Im Cin Keng.   Meski menolong, Pek Thong tidak berani memandang langsung kekasihnya.   Sembari membelakangi ia berkata.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Eng Kouw, kau bukan tandingan tua bangka ini, lekas pergi! Aku pun mau pergi dari sini!"   Bocah Tua Nakal benar-benar mau angkat kaki. tetapi Eng Kouw bertanya.   "Ciu Pek Thong, kau hendak menuntut balas untuk anakmu atau tidak?"   "Apa? Anakku?"   Tanya Bocah Tua Nakal. Ia heran hingga melengak. "Benar! Pembunuh anakmu adalah Kiu Cian Jin!"   Sahut Eng Kouw.   Pek Thong bingung, la tidak tahu bahwa hubungannya beberapa hari dengan Lauw Kui-hui telah menghasilkan anak.   Selagi ia diam, telah datang beberapa orang lain, maka tempo mengangkat kepala ia melihat It Teng Taysu serta keempat muridnya.   Kiu Cian Jin mendapati dirinya berada kurang tiga kaki dari jurang, artinya ia sudah terkurung dan terancam bahaya, sedangkan semua musuhnya lihai.   Dalam keadaan seperti itu, ia menjadi nekat.   Ia menepukkan kedua tangannya dan berkata angkuh.   "Aku mendaki Gunung Hoa San ini untuk memperebutkan gelar orang kosen nomor satu di kolong langit, tapi kalian berkumpul sekarang! Hm! Apakah kalian mengepungku hendak me- nyingkirkan satu lawan lebih dulu? Dapatkah kalian melakukan perbuatan sehina ini?"   Menurut Ciu Pek Thong perkataan orang itu beralasan. "Biarlah besok, sehabis pertemuan adu silat, baru aku mengambil jiwamu yang busuk!"   "Baiklah!"   Kata Kiu Cian Jin. "Tidak bisa!"   Teriak Eng Kouw.   "Mana bisa aku menanti sampai besok!"   "Bocah Tua Nakal!"   Oey Yong turut bicara. "Dengan orang terhormat kita bicara tentang kehormatan, dengan manusia licik kita bicara secara licik."   Muka Kiu Cian Jin memucat, la mengerti sedang menghadapi bahaya. Tapi ia licik, ia mendapat akal. "Kenapa kau hendak membunuhku?"   Tegurnya. "Kau jahat sekali, setiap orang berhak membunuhmu!"   Jawab si pelajar. Cian Jin tertawa terbahak sambil melengak. "Kalian lebih banyak, aku bukan tandingan kalian!"   Ejeknya.   "Tapi apa kalian kira aku takut? Barusan kalian bicara tentang kehormatan dan kejahatan, baiklah! Sekarang aku bersedia melayani kalian! Nah, majulah siapa di aniara kalian yang seumur hidup belum pernah membunuh manusia serta belum pernah berbuat jahat! Kalian boleh turun tangan, aku nanti manda menyerahkan leher- ku untuk dipenggal! Jika aku mengerutkan alis, aku bukan laki-laki!"   It Teng Taysu menghela napas.   Ia lantas men- dului mengundurkan diri untuk duduk bersila.   Kata-kata Cian Jin berpengaruh sekali.   Sekalipun si tukang pancing, tukang kayu, petani, dan pelajar pernah memangku pangkat, mereka semua pernah membunuh orang.   Ciu Pek Thong dan Eng Kouw saling memandang, keduanya teringat segala hal yang mereka alami bersama dulu.   Kwee Ceng dan Oey Yong turut diam.   Kiu Cian Jin menggunakan kesempatan, la me- langkah ke arah Kwee Ceng.   Si pemuda minggir.   Cian Jin mengerahkan tenaganya untuk lompat melewatinya, namun mendadak dari balik batu besar menyambar sebatang tongkat bambu ke mukanya.   Ia terkejut tapi bisa menangkis untuk menangkap tongkat itu, berniat merampasnya.   Di luar dugaannya, ia gagal, bahkan tiga kali beruntun tongkat itu menyerang.   Ia kaget, ternyata setiap serangan adalah totokan ke jalan darah.   Ia kewalahan, sedangkan di situ tidak ada jalan mundur.   Terpaksa ia mundur ke tempatnya tadi, mendekati jurang.   Segera setelah ia mundur, sesosok bayangan melompat ke depannya.   "Suhu!"   Teriak Oey Yong. Si nona mengenali sosok itu, yaitu Kiu Ci Sin Kay Ang Cit Kong! "Hai, pengemis bau!"   Kiu Cian Jin mencaci. "Kenapa kau usil? Sekarang masih belum tiba waktunya pertemuan untuk beradu ilmu pedang!"   "Aku datang untuk menyingkirkan kejahatan!"   Jawab Ang Cit Kong.   "Siapa mau rapat beradu pedang denganmu!"   "Bagus, orang gagah, pendekar!"   Teriak Kiu Cian Jin.   "Ya, aku si orang jahat, kau sendiri si manusia baik yang belum pernah melakukan perbuatan busuk!"   "Memang!"   Jawab Cit Kong lagi.   "Aku si penge- mis tua telah membinasakan 531 orang yang semuanya jahat, pembesar rakus, hartawan, jago jahat, atau manusia tak berbudi! Benar, aku si pengemis tua sangat kemaruk hidangan lezat; tapi seumur hidupku belum pernah aku membunuh orang baik-baik! Kiu Cian Jin, kaulah orang ke-532 yang akan kubunuh!"   Mendengar itu Cian Jin tersentak. "Kiu Cian Jin,"   Ang Cit Kong berkata lagi.   "Ketua Siangkoan Kiam Lam dari Tiat Ciang Pang adalah orang gagah perkasa, seumur hidup dia setia pada negara, tak pernah berubah pikiran.   Tapi kau, yang sama-sama menjadi ketua, bersekongkol dengan bangsa Kim, berkhianat, menjual negara! Kalau nanti kau mati, apakah kau punya muka untuk bertemu dengan Ketua Siangkoan? Sekarang kau mendaki Gunung Hoa San ini, kau bemiat gila mengharapkan kehormatan sebagai orang kosen nomor satu di kolong langit! Jangan kata ilmu silatmu tak mampu menandingi orang-orang gagah lain, umpama kata kau benar tiada tandingan, di kolong langit ini, orang gagah mana yang sudi takluk pada pengkhianat penjual negara!"   Kiu Cian Jin berdiri menjublek.   Hebat kata-kata itu.   Teringatlah ia akan kejadian-kejadian beberapa puluh tahun lampau ketika ia pertama kali menerima kedudukan sebagai ketua Tiat Ciang Pang.   Waktu itu Siangkoan Kiam Lam, ketua yang lama, sambil rebah sakit di pembaringan, telah meninggalkan pesan, menjelaskan pada Kiu Cian Jin tentang aturan suci Tiat Ciang Pang, berpesan supaya mencintai negara dan menyayangi rakyat.   Kiu Cian Jin ingat, semakin menanjak usianya, semakin tinggi kepandaiannya, sepak terjangnya semakin bertentangan dengan cita-cita partainya.   Semua anggotanya yang jujur dan setia mengundurkan diri; sedangkan yang buruk tetap berkumpul bersamanya, hingga kemudian Tiat Ciang Pang yang suci murni itu telah berubah menjadi kotor, menjadi sarang penjahat.   Ia mengangkat kepalanya, melihat rembulan bersinar terang.   Sepasang mata Ang Cit Kong bersinar tajam mengawasinya.   Mendadak ia menginsafi semua perbuatannya dulu bertentangan dengan Thian.   Tanpa sadar peluh membasahi seluruh tubuhnya.   "Ketua Ang, kau benar!"   Katanya akhirnya.   Ia memutar tubuh untuk melompat ke jurang.   Cit Kong kaget.   Ia memegang tongkatnya untuk menjaga diri.   Ia khawatir, karena gusarnya, Kiu Cian Jin akan menerjangnya.   Ia tahu ketua Tiat Ciang Pang itu lihai.   Maka ia tidak menyangka orang itu menjadi nekat hendak bunuh diri.   Ia tercengang.   Selagi ia tidak berdaya, orang lain telah mencelat maju ke lepi jurang.   Orang itu adalah It Teng Tay.su yang sejak tadi duduk bersila saja.   Pendeta ini melompat tidak dengan kakinya, namun dengan tubuh melayang.   Ia masih dalam posisi bersila.   Tangan kirinya terulur, ia menyambar kaki Kiu Cian Jin dan menariknya keras-keras, sambil memuji.   "Siancay! Siancay! Laut kesengsaraan tidak ada batas pinggirnya. Siapa yang menoleh, melihat tepian! Kau telah insaf, kau telah menyesal, maka bagimu masih belum kasip untuk kembali menjadi manusia benar! Pergilah kau mengurus dirimu baik-baik!"   Kiu Cian Jin menangis menggerung-gerung, berlutut di depan si pendeta, pikirannya pepat.   tidak dapat ia mengatakan sesuatu.   Eng Kouw melihat orang itu berlutut membe- lakanginya.   Melihat kesempatan itu, ia menghunus belatinya, menikam punggung musuhnya itu.   "Tahan!"   Seru Ciu Pek Thong seraya menahan tangan si nyonya. "Kau mau apa?"   Bentak Eng Kouw gusar. Bocah Tua Nakal memang tidak mau berurusan dengan si nyonya, maka dibentak begitu ia ber- teriak, lantas memutar tubuhnya untuk lari kabur. "Ke mana kau mau pergi?"   Bentak Eng Kouw lalu mengejar. "Perutku sakit, aku hendak buang kotoran!"   Sahut Pek Thong sambil lari terus. Sejenak Eng Kouw tergugu, lantas ia mengejar lagi. Ia tidak memedulikan kata-kata orang itu. Pek Thong berteriak-teriak lagi.   "Celaka! Celaka! Celanaku penuh kotoran bau sekali, jangan dekat-dekat aku!"   Eng Kouw tidak memedulikannya, ia terus me- ngejar.   Sudah dua puluh tahun ia mencari, kalau sekarang ia membiarkan orang itu lolos lagi, lain kali sukar mencarinya hingga ketemu.   Ia lari kencang.   Bocah Tua Nakal mendengar langkah kakinya, ia kaget.   Sekarang ia benar-benar terkejut.   Kalau tadi ia mengatakan hendak buang air besar hanya untuk menggertak Eng Kouw.   sekarang ia benar-benar hendak melakukannya....   Kwee Ceng dan Oey Yong tersenyum melihat lagak Pek Thong itu, yang bersama Eng Kouw lenyap dengan cepat.   Kemudian mereka menoleh, memandang lt Teng Taysu.   Pendeta itu bicara berbisik kepada Kiu Cian Jin, dan ketua Tiat Ciang Pang itu mengangguk-angguk.   Kemudian Toan Hongya yang sudah "mati"   Itu bangkit. "Mari berangkat!"   Katanya.   Sampai di situ Kwee Ceng dan si nona menghampiri untuk memberi hormat.   Mereka pun mem- beri hormat pada si tukang pancing berempat.   It Teng mengusap-usap kepala sepasang muda- mudi itu.   Ia tersenyum, kelihatan nyata pada romannya bahwa ia mengasihi mereka.   Ia menoleh kepada Ang Cit Kong dan berkata.   "Saudara Cit, kau sehat walafial, lebih gagah daripada dulu! Kau pun telah menerima dua murid yang baik sekali, selamat padamu!" Ang Cit Kong menjura. "Hongya juga baik!"   Katanya. It Teng tertawa. "Sekarang aku bukan hongya lagi!"   Katanya. Ia menolak sebutan hongya atau raja.   "Saudara Cit, gunung itu tinggi, air itu panjang. Sampai bertemu lagi!"   La merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat, lantas membalikkan tubuh akan beranjak pergi. "Eh, eh,"   Kata Cit Kong.   "besok pertemuan berlangsung. Kenapa Toan Hongya pergi sekarang?"   Karena telah jadi kebiasaan, ia tidak dapat mengubah panggilan Toan Hongya itu. It Teng berbalik. la tertawa. "Aku dari kalangan lain, tak berani aku berebutan dengan orang-orang gagah di kolong langit,"   Sahutnya.   "Kedatanganku hari ini hanya untuk menyelesaikan keruwetan dari dua puluh tahun lampau. Maka aku bersyukur maksudku telah tercapai. Saudara Cit, sekarang siapa lagi orang gagah itu kalau bukannya kau. Janganlah merendahkan diri!"   Lagi-lagi pendeta ini memberi hormat, lantas "   Pergi dengan menggandeng Kiu Cian Jin. Si tukang pancing herempat menghormat pada Ang Cit Kong, kemudian mengikuti guru mereka. Si pelajar lewat di dekat Oey Yong, melihat muka si nona bercahaya, ia tertawa dan menggoda dengan bersenandung.   "Di lanah rendah ada pohon yang toh, cabangnya halus dan lemas."   Oey Yong membalas sindiran itu.   "Sang ayam menclok di para-paranya, hari sudah jadi malam...."   Si pelajar tertawa lebar, ia menjura dan melanjutkan perjalanan. Kwee Ceng heran, ia tidak mengerti. Ia menduga mereka main teka-teki. "Yongji, apakah itu kata-kata Sanskerta?"   Tanyanya. Si nona tertawa. "Bukan. Itu syair dari Kitab Syair"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kedua syair si pelajar dan Oey Yong itu masih ada sambungannyaj tetapi mereka sengaja menyebut permulaannya saja.   Si pelajar mengatakan si nona belum menikah tapi sudah kegirangan, sedangkan Oey Yong mengumpamakan si pelajar sebagai binatang.   Sementara itu Kwee Ceng, yang telah mendengar teguran Ang Cit Kong kepada Kiu Cian Jin, turut tersadar.   Ia seperti mendapat petunjuk untuk mengatasi keruwetannya selama ini.   Gurunya itu telah membunuh banyak orang, tapi semuanya orang jahat.   Tindakan gurunya itu tidak dapat dikatakan tidak pantas.   Guru itu bukannya jahat, bahkan , sebaliknya, gurunya orang baik.   sebab ia menindas kejahatan.   Karena itu semestinya ia tidak melupakan atau membuang ilmu silatnya.   Lantai muda-mudi ini menghampiri guru mereka untuk memberi hormat, kemudian mereka pasang omong tentang segala hal yang terjadi sejak perpisahan mereka yang terakhir.   Ang Cit Kong ikut Oey Yok Su ke Pulau Persik Di sana ia dapat menyembuhkan diri dengan memahami Kiu i m Ciri Keng.   dengan melatih ilmu tenaga dalamnya untuk memperlancar jalan pernapasan dan jalan darahnya.   Dalam tempo setengah tahun ia sembuh, lalu dalam tempo setengah lahun berikutnya ia berhasil memulihkan kepandaian silatnya, la sudah sembuh, tetapi ia meninggalkan Pulau Persik sesudah Oey Yok Su, yang pergi lebih dulu untuk mencari anak daranya yang selalu dipikirkan dan dirindukannya.   Oey Yok Su bertolak ke utara.   Cit Kong bertemu dengan Lou Yu Kiak, maka ia tahu tentang kedua muridnya itu, kecuali hal-hal yang terjadi setelah rombongan Yu Kiak meninggalkan Mongolia.   "Suhu, sekarang silakan Suhu beristirahat,"   Kwee Ceng mempersilakan.   "Sang fajar bakal lekas tiba, sebentar lagi tiba waktunya beradu kepandaian. Suhu mesti menggunakan banyak tenaga."   Cit Kong tertawa dan berkata.   "Usiaku telah lanjut, tapi kegemaranku akan menang pun bertambah. Tapi mengingat yang bakal kuhadapi Sesat Timur dan Racun Barat, hatiku kurang tenteram. Selama ini, Yongji, kepandaian ayahmu maju pesat sekali. Coba tebak, siapa yang akan lebih kuat atau lebih lemah di antara ayahmu dan gurumu?"   "Sebenarnya kepandaian Suhu dan kepandaian Ayah berimbang,"   Sahut Oey Yong.   "Tapi sekarang Suhu telah mewarisi // Yang Ci dari lt Teng Taysu dan Suhu sendiri telah meyakinkan Kiu Im Cm Keng, maka tentulah ayahku bukan tandingan Suhu lagi. Aku akan omong dengan ayahku, supaya Ayah tak usah melawan Suhu lagi, lebih baik lekas-lekas pulang ke Pulau Persik."   Ang Cit Kong memikirkan perkataan si murid yang nada suaranya berbeda, ia lantas menduga isi hati gadis itu. Ia tertawa lebar dan berkata.   "Tak usah kau bicara berputar-putar. // Yang Ci kepunyaan Toan Hongya dan Kiu Im Cin Keng kepunyaan kalian berdua, maka tak usah kalian sebut lagi. Aku si pengemis tua tidak bakal menebalkan muka menggunakannya. Kalau nanti tiba saatnya pibu, aku akan menggunakan kepandaian asalku."* Memang itulah maksud Oey Yong, maka ia tertawa. "Suhu,"   Katanya.   "jika kalah dari ayahku, kau akan kumasakkan seratus macam masakan untuk berpesta pora. Bagaimana, akur?"   Air liur Cit Kong langsung terbit. "Eh, bocah cilik, hatimu tak bagus!"   Kalanya. "Sudah membakar hatiku, kau menyogok juga! Kau sangat licik, berharap supaya ayahmulah yang menang!"   Oey Yong tertawa. Belum lagi ia menyahut, mendadak Cit Kong bangun berdiri dan sambil menunjuk ke belakangnya berkata.   "Bisa Bangkotan, kau datang begini pagi!"   Kwee Ceng dan si nona melompat bangun, lantas menoleh, berdiri di samping guru mereka.   Mereka segera melihat Auwyang Hong yang tinggi besar sedang berdiri.   Racun Barat datang secara diam-diam, hingga muda-mudi itu tidak tahu.   Mereka heran dan terkejut.   "Datang lebih pagi.   pibu lebih pagi!"   Sahut Auwyang Hong.   "Datang siang, pibu siang. Eh. pengemis tua, hari ini kita bakal bertempur. Katakan, kita bakal bertempur untuk mencari kemenangan yang memutuskan atau untuk mengadu jiwa?"   "Karena kita bertaruh untuk kalah dan menang, itu berarti hidup dan mati,"   Jawab Ang Cit Kong. "Maka kalau kau menurunkan tangan, tak usah kau main kasihan-kasihan lagi!"   "Baik!"   Kata Auwyang Hong. Ia lantas menggerakkan tangan kirinya, yang tadi ditaruhnya di belakang. Ternyata ia telah menyiapkan tongkatnya. Ia menotok batu seraya berkata lagi.   "Di sini saja atau di tempat lain yang lebih lebar?"   Cit Kong belum menyahut, tapi sudah didului Oey Yong. "Tidak bagus Gunung Hoa San ini dipakai sebagai tempat pibul"   Kata si nona.   "Lebih baik kita pergi ke perahu!"   Pengemis Utara melengak. "Apa kau bilang?"   Ia bertanya menegaskan. "Dengan bertempur di perahu, kita dapat memberikan kesempatan sekali lagi pada Paman Auwyang untuk membalas kebaikan dengan kejahatan!"   Si nona menjelaskan.   "Biarlah dia mendapat kesempatan untuk membokong lagi!"   Ang Cit Kong tertawa terbahak. "Dulu kita teperdaya satu kali, maka satu kali juga kita belajar pintar!"   Katanya.   "Jangan harap si pengemis bangkotan nanti memberi ampun lagi!" Racun Barat merasakan sindiran si nona, air mukanya tidak berubah sama sekali, namun tanpa bilang apa-apa ia lantas menekuk kedua dengkulnya, menongkrong, sedangkan tongkatnya berpindah ke tangan kiri. Tangan kirinya itu lantas dipakai untuk mengerahkan ilmu silat istimewanya, Kap-mo-kang. Melihat demikian. Oey Yong segera menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang kepada gurunya. "Suhu!"   Katanya.   "Lawan bangsat licik ini dengan Tah-kauw-pang dan // Yang O'! Terhadap dia kau jangan pakai lagi segala aturan atau kemurahan hati!"   Cit Kong lantas berpikir.   "Dengan kepandaianku sendiri, belum tentu aku dapat mengalahkan dia, sedangkan sebentar lagi aku mesti melayani Oey Yok Su. Kalau aku sudah letih, mana bisa aku melayani Sesat Timur."   Ia menyambut tongkat keramat partainya itu.   lalu bergerak dalam sikap Mengeprak Rumput Membikin Ular Kaget dan Membiak Rumput Mencari Ular.   tongkatnya bergerak ke kiri dan ke kanan.   .   Sudah beberapa kali Auwyang Hong bertempur melawan Pengemis Utara, namun belum pernah ia melihat orang itu menggunakan tongkatnya, yang pernah disaksikannya adalah ilmu tongkat Oey Yong, yang kurang diperhatikannya.   Sekarang untuk pertama kalinya ia melihat, ia kagum.   Gerakan Cit Kong pulang-pergi, mengembuskan angin keras.   karena itu tanpa ayal lagi ia maju menyerang ke liong-kiongtengah.   Tempo hari ketika Cit Kong dibokong Auwyang Hong, jiwanya nyaris melayang, sehingga ia mesti berobat dan merawat diri hampir dua tahun, setelah itu barulah kesehatannya pulih dan kepandaiannya kembali, maka hari ini ia tidak mau berkelahi secara sembarangan.   Kekalahannya dulu adalah kekalahan besar yang belum pernah dialaminya seumur hidup, juga bahaya yang belum pernah dihadapinya.   Sekarang, berhubung merupakan saat penentuan kehormatan dan kehinaan, atau hidup dan mati, ia tidak main sungkan lagi.   Bab 80.   PIBU DI GUNUNG HOA SAN AUWYANG HONG bertubuh tinggi dan besar, meskipun telah sedikit menekuk kedua kakinya untuk menjalankan ilmu Kodok-nya, ia masih lebih tinggi daripada Ang Cit Kong.   Ia sekarang menggunakan tongkat yang ketiga, yang baru dibikinnya, sebab dua tongkat ularnya yang pertama telah lenyap.   Tongkatnya ini, di bagian ujungnya berukiran kepala manusia, tetapi aneh dan mengerikan.   Di situ dililit-kan dua ekor ular berbisa, tapi kedua ular ini baru, kurang lincah dibandingkan dua ularnya yang dulu.   Di samping itu, ia sekarang bertempur melawan Pengemis Utara untuk keempat kalinya, maka caranya berbeda.   Pertama kali ia melawan Cit Kong di Gunung Hoa San ini, dan itu juga untuk memperebutkan kehormatan dan Kiu Im Cin Keng.   Yang kedua terjadi di Pulau Persik, yaitu untuk membela Auwyang Kongcu yang berebut jodoh dengan Kwee Ceng.   Yang ketiga ialah pertempuran di laut.   Usia kedua pihak semakin lanjut, tetapi berbareng dengan itu, ilmu silat mereka juga semakin maju, maka pertarungan menjadi hebat.   Inilah pibu untuk nama baik, menyangkut hidup atau mati.   Siapa yang alpa atau kurang gesit, ia harus menerima nasibnya.   Dalam sekejap seratus jurus lebih telah dilewatkan.   Mendadak sang putri malam menghilang.   Lang- sung suasana menjadi gelap.   Perubahan seketika itu terjadi karena pergantian waktu, sang malam telah lewat dan akan digantikan oleh sang fajar.   Suasana akan menjadi terang.   Namun sekarang kedua pihak sukar melihat satu sama lain dengan jelas.   Mereka saling menyerang dengan lebih banyak menutup diri.   Kwee Ceng dan Oey Yong menonton dengan perhatian tertumpah- sepenuhnya.   Bagaimanapun, mereka mengkhawatirkan guru mereka.   Mereka maju beberapa langkah, supaya kalau perlu mereka bisa menolong guru mereka.   Mata Kwee Ceng mengawasi tajam tapi hatinya berpikir.   "Mereka inilah jago-jago nomor satu di zaman ini, hanya bedanya yang satu orang gagah dengan hati mulia; yang lain berhati buruk, mengganas karena mengandalkan kekosenannya. Jadi, ilmu silat tidak mengenal baik dan jahat, hanya terbawa oleh orang yang bersangkutan. Siapa baik, ilmu silatnya menambah kebaikan; siapa jahat, ilmu silatnya menambah kejahatan."   La cemas ketika mendengar Racun Barat dan gurunya bergantian berseru, tanda hebatnya pertarungan mereka. "Suhu telah terluka parah, itu artinya dia telah menyia-nyiakan waktu hampir dua tahun,"   Anak muda ini berpikir lagi, hatinya berdebar-debar.   "Memang ilmu silat mereka seimbang, tapi kalau Suhu terhalang begitu, mungkin Racun Barat mempunyai kepandaian lebih.   Pertarungan ini berarti hanya dengan satu langkah maju dan satu langkah mundur.   Kalau Suhu kalah? Ah, sayang aku telah memberi ampun hingga tiga kali pada jago dari Barai ini...."   Kwee Ceng kembali ingat ajaran Khu Ci Kee bahwa kepercayaan dan kebajikan besar haruslah dibedakan dari kepercayaan dan kebajikan kecil; kalau karena kepercayaan dan kebajikan kecil orang roboh, itu bukan lagi kepercayaan dan kebajikan.   Singkatnya, itu bukanlah kehormatan.   "Racun Barat mengatakan untuk berkelahi satu lawan satu, dengan cara terhormat,"   Anak muda ini berpikir lebih jauh.   "Habis bagaimana kalau dia tetap bertindak curang? Bagaimana kalau dia lantas mengganas dengan lebih hebat lagi? Berapa banyak korban jatuh karenanya? Dulu-dulu aku tak dapat membedakan arti kepercayaan dan kebajikan ini, jadi aku telah melakukan banyak ketololan...."   Karena berpikir begini, Kwee Ceng lantas ber-ketetapan membantu gurunya. Tapi belum lagi ia maju, didengarnya suara Oey Yong. "Auwyang Hong, dengar!"   Demikian si nona.   "Kakak Ceng telah berjanji padamu, hendak memberi ampun jiwamu tiga kali.   Siapa tahu ternyata kau mengandalkan kekosenanmu, tetap menghinaku.   Untuk menjadi orang kecil tak ternama dari Rimba Persilatan, kau tak surup, bagaimana mungkin kau hendak memperebutkan gelar jago nomor satu di kolong langit ini?"   Racun Barat telah melakukan kejahatan yang tidak terhitung banyaknya, namun ia orang yang selalu menepati janji, belum pernah menyangkal kata-kata atau janjinya.   Ia juga sangat jumawa.   Ia memaksa Oey Yong karena sangat terpaksa, sebab ia ingin sekali si nona menjelaskan isi kitab itu padanya.   Sekarang selagi hebatnya ia bertarung melawan Ang Cit Kong, nona itu mengungkit-ungkit kesalahannya.   Kupingnya panas, karena itu gerakan tangannya terlambat, ia hampir kena sodok tongkat si pengemis.   "Kau dinamakan Racun Barat,"   Kata Oey Yong lagi.   "maka tak bisa dikatakan apa-apa mengenai segala perbuatan busukmu, tapi kau diberi ampun sampai tiga kali oleh orang muda. sungguh kau telah kehilangan muka! Bagaimana dapat kau menelan kata-katamu sendiri terhadap orang muda? Sungguh kau menyebabkan orang-orang gagah kaum kangouw tertawa hingga mulut mereka men- cong! Auwyang Hong, Auwyang Hong! Ada satu hal pada dirimu yang tak dapat dikalahkan siapa pun di kolong langit ini, kau orang nomor satu yang tak tahu malu!"   Racun Barat gusar bukan kepalang, tetapi ia tahu maksud si nona yang hendak membangkitkan amarahnya, supaya perhatiannya terpecah, supaya ia tidak dapat mengutamakan pertempurannya dengan Ang Cit Kongtegasnya, supaya ia kalah.   Karena itu, sebagai orang licik, ia tidak mau dirinya kena bakar.   Ia tidak menghiraukan ocehan itu.   Tapi Oey Yong sangat cerdik, ia tidak mau berhenti mengoceh, bahkan menyebutkan kebusukan yang sebenarnya belum pernah dilakukan Auwyang Hong.   Ia sengaja supaya Racun Barat dipandang sebagai manusia terjahat di dunia ini.   Mulanya Racun Barat dapat bersabar, namun akhirnya terbakar juga, ia lantas membela diri, menyangkal tuduhan si nona.   Inilah yang diharapkan Oey Yong, ia lantas mengoceh lebih jauh.   Maka Racun Barat berkelahi di dua kalangan.   Melawan Pengemis Utara, ia bersilat dengan kaki dan tangannya; melayani Oey Yong, ia bersilat dengan lidahnya.   Sedangkan dalam hal bersilat lidah.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Oey Yong lebih pandai daripada Cit Kong.   Lewat sekian lama, Auwyang Hong merasa ter- desak.   Saat itu ia teringat.   "Pengemis tua ini tentunya tak mengerti Kiu Im Ciu Keng, maka, untuk merebut kemenangan, aku mesti menggunakan ilmu itu."   Ia lantas menggunakan ilmunya itu.   Tidak peduli yang didapatnya ajaran sesat, ia lihai dan berbakat baik sekali, hingga ia memperoleh kemajuan juga.   Dengan begitu berubahlah gerakan tongkatnya.   Ang Cit Kong terkejut.   Ia mesti melayani dengan memasang mata tajam luar biasa, dengan kegesitan yang bertambah.   Oey Yong dapat melihat perubahan di kedua pihak, ia kini as berkata nyaring.   "' Goansu-engji, pasi-palok-pou, soaliok-bunpeng!"   Auwyang Hong mendengar itu dan terperanjat. "Apa arti kata-kata Sanskerta itu?"   Pikirnya.   Ia tidak tahu si nona cuma asal mengoceh, kata-kata itu tidak ada artinya.   Oey Yong tidak berhenti bicara, ia menambahkan kata-kata yang lain lagi.   la juga berseru-seru dan menghela napas bergantian, beberapa kali nadanya seperti bertanya.   "Apa yang kaukatakan?"   Akhirnya Racun Barat bertanya. Oey Yong menyahut dengan kata-kata Sanskerta ngawur, hingga jago dari See Hek itu makin bingung. Mendadak Ang Cit Kong berseru.   "Kena!"   Pengemis Utara tahu perhatian Racun Barat telah dikacaukan, ia menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, tongkatnya menghajar ke batok kepala lawannya yang tangguh itu.   Auwyang Hong kaget melihat datangnya serang- an itu, ia menjerit sambil berkelit, terus menyeret tongkatnya dan berlari pergi.   "Ke mana kau hendak pergi?"   Bentak Kwee Ceng sambil meloncat untuk mengejar, tetapi ia tidak dapat mencandak.   Auwyang Hong lari dan melompat berjumpalitan tiga kali, lalu bergulingan dan lenyap di balik jurang.   Ang Cit Kong bengong, demikian juga Oey Yong.   Hanya sebentar, lantas keduanya saling memandang dan tertawa.   Kwee Ceng ikut tertawa.   "Yongji,"   Kata si pengemis sesaat kemudian.   "kali ini aku berhasil mengalahkan si Bisa Bangkotan, semua ini karena jasamu...."   Ia menghera napas. Oey Yong tersenyum. "Tapi, Suhu,"   Kata si nona.   "Bukankah itu kepandaian ajaranmu sendiri?"   "Sebenarnya itu bakatmu sendiri!"   Cit Kong tertawa.   "Dengan adanya tua bangka yang licin sebagai ayahmu, muncullah anak perempuan yang licin seperti kau!"   "Bagus ya!"   Tiba-tiba terdengar seruan di belakang mereka.   "Di belakang kau omong jelek tentang orang lain! Pengemis Bangkotan, kau malu atau tidak?"   "Ayah!"   Oey Yong berteriak seraya melompat maju, lalu berlari-lari ke arah dari mana suara itu datang.   Sekarang sang matahari sudah menyingsing.   maka terlihat kemunculan seorang dengan jubah hijau yang melangkah dengan tenang.   Orang itu tidak lain adalah pemilik Pulau Persik.   Oey Yok Su.   Oey Yong menubruk ayahnya, merangkulnya.   Sang ayah balas merangkulnya.   Ayah itu mengawasi putrinya.   Ia melihat anaknya telah berubah, sifat kekanak-kanakannya berkurang, sekarang romannya mirip dengan mendiang istrinya.   Oey Yok Su bahagia sekaligus sedih.   "Sesat Tua."   Kata Ang Cit Kong.   "kau ingat tidak apa yang kubilang padamu di Pulau Persik, bahwa anakmu sangat cerdik dan banyak akalnya, orang lain dapat dikelabuinya tapi ia sendiri tak bakal dapat teperdaya, bahwa kau tak usah meng-khawatirkannya? Nah, sekarang katakan, benar atau tidak perkataan si Pengemis Tual"   Oey Yok Su tersenyum, sembari menarik tangan anaknya ia mendekati Pengemis Utara. "Aku memberi selamat padamu yang telah membikin si Tua Bangka Berbisa kabur!"   Katanya. "Dengan kekalahannya itu, legalah hatimu dan hatiku.v Ang Cit Kong tersenyum. "Jago di kolong langit ini adalah kau dan aku si Pengemis Tua,"   Katanya.   "Tapi melihat anakmu ini, cacing dalam perutku langsung mengamuk tak keruan, liurku pun meleleh. Mari kita lekas-lekas bertempur! Bagiku sama bagusnya baik kau maupun aku yang jadi jago, aku hanya menunggu menyikat habis hidangan yang lezat-lezat!" ."Ingat!"   Seru Oey Yong.   "Kalau kau kalah, baru aku akan masak untukmu!" "Fui. tak tahu malu!"   Cit Kong membentak. "Jadi kau hendak menggencetku, ya?"   Oey Yok Su beradat tinggi, katanya.   "Pengemis Tua,'setelah lerluka kau menyia-nyiakan waktumu selama dua tahun, maka sekarang aku khawatir kau bukan tandinganku! Yongji, aku tak peduli siapa menang siapa kalah, kau mesti memasak dan mengundang gurumu bersantap!"   "Benar begitu!"   Puji Cit Kong.   "Itu baru kata-kata guru besar! Pemilik Pulau Persik mana boleh berpandangan cupet seperti anak gadisnya! Sekarang mari kita mulai, tak usah menanti sampai tepat tengah hari!"   Sehabis, berkata. Cit Kong mengangkat tongkatnya lalu maju menyerang. Oey Yok Su menggelengkan kepalanya. "Baru saja kau bertempur lama melawan Racun Barat,"   Katanya.   "Meski benar kau tak letih, tapi kau toh telah mengeluarkan banyak tenaga. Mana dapat aku Oey Yok Su mau menang tempo! Baiklah kita tunggu sampai tengah hari tepat, supaya kau sekalian bisa menghimpun tenagamu kembali!"   Cit Kong tahu itu benar dan pantas sekali, tetapi ia tidak dapat menahan sabar,- maka ia mendesak untuk mulai bertempur saja.   Oey Yok Su sebaliknya, ia duduk di batu tidak memedulikan si Pengemis Tua.   Melihat kedua orang tua itu berkutat, Oey Yong menengahi.   "Ayah, Suhu, aku punya cara."   Katanya.   "Dengan caraku ini kalian bisa langsung bertempur tanpa ada yang menang tempo."   "Bagus!"   Kata Cit Kong dan Yok Su berbarengan. "Bagaimana caranya?"   "Ayah dan Suhu adalah sahabat kekal, siapa menang siapa kalah akhirnya toh persahabatan di antara kedua belah pihak akan terganggu juga,"   Jawab Oey Yong.   "Pibu hari ini adalah pibu yang menghendaki menang atau kalah, bukan?"   Cit Kong dan Yok Su telah berpikir serupa, maka mereka mengiyakan. Lantas keduanya ber- tanya bagaimana cara si anak atau si murid. "Caraku begini,"   Kata Oey Yong.   "Mula-mula Ayah bertempur melawan Kakak Ceng. Coba lihat, dalam berapa jurus Ayah dapat mengalahkannya. Setelah itu Suhu bertempur melawan Kakak Ceng. Umpama dalam 99 jurus Ayah dapat mengalahkan Kakak Ceng sedangkan Suhu mesti menggunakan seratus jurus, maka Ayahlah yang menang. Sebaliknya kalau Suhu menang dalam 98 jurus, Ayahlah yang kalah."   "Bagus, bagus!"   Cit Kong memuji. "Kakak Ceng bertempur lebih dulu melawan Ayah."   Oey Yong berkala lagi.   "Kedua pihak masih segar dan bertenaga cukup. Kalau nanti Kakak Ceng melawan Suhu, mereka sama-sama bekas bertempur, jadi seimbang. Tidakkah itu adil?"   Oey Yok Su mengangguk. "Cara ini bajk."   Katanya.   "Anak Ceng, mari maju. Kau pakai senjata atau tidak?"   "Terserah!"   Jawab Kwee Ceng. Ia setuju dengan cara sama (engah itu. Ia lantas akan melangkah maju. "Perlahan dulu!"   Oey Yong mencegah.   "Masih ada yang harus dijelaskan. Bagaimana umpama dalam tiga ratus jurus Ayah dan Suhu masih belum sanggup mengalahkan Kakak Ceng?"   Ang Cit Kong tertawa tergelak. "Sesat Tua,"   Katanya.   "mulanya aku sangat mengagumi putrimu yang pandai sekali membela ayahnya, ha, siapa tahu dia toh tetap wanita, dia akhirnya membela pihak luar juga! Tapi ini wajar! Sebenarnya dia ingin sekali supaya si tolol ini yang memperoleh gelar orang gagah nomor satu di kolong langit."   Sesat Timur bertabiat sangat aneh. Setelah men- dengar ucapan putrinya dan si Pengemis Utara, ia memutuskan.   "Biarlah kubikin tercapai keinginan anakku ini."   Ia lantas berkata.   "Apa yang dikatakan Yongji benar adanya. Kita dua tua bangka, kalau kita tak dapat mengalahkan Anak Ceng dalam tiga ratus jurus, mana kita punya muka untuk terhitung sebagai orang-orang nomor satu?"   Namun, setelah berkata begitu, -ia berbalik pikir lagi.   "Aku bisa saja mengalah, membiarkan dia sanggup melayani-ku sampai tiga ratus jurus; tapi jika si Pengemis Tua tak sudi mengalah, tentu dia bakal dapat mengalahkan Anak Ceng dalam tiga ratus jurus itu! Dengan demikian, aku jadi bukan mengalah pada Anak Ceng, melainkan pada si Pengemis Tua...,"   Ia jadi ragu-ragu. Ang Cit Kong langsung menolak tubuh muridnya. "Lekas mulai!"   Katanya.   "Mau tunggu apa lagi?"   Kwee Ceng terhuyung ke depan Oey Yok Su, yang terpaksa mengambil keputusan segera. Ia berkata dalam hati.   "Baiklah, sekarang aku mencoba dulu tenaga dalamnya, sebentar akan kupikirkan lagi."   Tangan kirinya bergerak ke arah pundak si anak muda.   "Jurus pertama!"   Serunya. Kalau Oey Yok Su berpendirian tidak tetap, demikian juga Kwee Ceng. Pemuda ini berpikir. "Sudah pasti aku tak dapat menjadi orang kosen nomor satu di dunia ini, tapi manakah yang akan kubiarkan menang, ayah Yongji atau Suhu?"   Tengah ia ragu-ragu, tangan Oey Yok Su menyambar padanya. Tangan kanannya terangkat untuk menangkis. Karena ia belum sempat memperbaiki diri, dengan bentroknya (angan mereka, ia terpental hingga hampir jatuh. Lantas ia mendapat pikiran baru.   "Aku gila! Kenapa mesti kupikirkan soal mengalah atau tidak? Biarpun kukeluarkan semua kepandaianku, mana bisa aku melawan sampai tiga ratus jurus?"   Maka ketika serangan kedua Oey Yok Su tiba.   ia berniat melawan.   Ia akan membiarkan mereka berdua menggunakan kepandai-an mereka untuk mengalahkannya, terserah siapa lebih dulu dan siapa ketinggalan, ia sendiri tidak mau berat sebelah.   Selelah jurusnya yang kedua dapat dihindari, Oey Yok Su melanjutkan serangannya lebih jauh.   Baru beberapa jurus ia sudah heran sekali hingga bertanya dalam hati.   "Baru setahun lebih berlalu, kenapa anak tolol ini sudah maju begini rupa? Kalau aku mengalah, kecuali tiga ratus jurus yang disebutkan itu, mungkin aku terkalahkan olehnya...."   Dalam beberapa jurus itu, lantaran ia mengalah dan cuma memakai tujuh bagian tenaganya, Oey Yok Su berada di bawah angin, (tulah sebabnya ia heran.   Maka selanjutnya ia bersilat dengan ilmu Lok Eng Ciang.   Kwee Ceng sekarang benar-benar bukan Kwee Ceng yang dulu.   Yok Su telah mencoba belasan jurus, namun pemuda itu belum bisa diunggulinya.   Ia menukar dengan belasan macam jurus lagi, tetapi masih belum berhasil juga.   Demikianlah puluhan jurus telah dilewatkan.   Setelah seratus jurus lebih, Kwee Ceng yang jujur bertindak alpa, ia nyaris kena tendang- kaki kiri lawan.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Syukurlah ia keburu melompat mundur, tapi karena itu kedudukan kedua pihak jadi seimbang.   Oey Yok Su menarik napas lega.   "Hebat,"   Pikirnya.   Baru setelah menggunakan tipu ia bisa mengubah keadaan, tapi untuk menang di atas angin ia mesti bekerja lebih keras lagi.   Setelah pengalaman pertamanya itu Kwee Ceng memasang kedudukan kokoh teguh, biar diserang bagaimana juga, ia tetap membela diri.   la telah mengambil sikap, walaupun tidak menang asal jangan sampai kalah.   "Dua ratus tiga!"   Oey Yong menghitung.   "Dua ratus empat!"   Oey Yok Su menjadi bingung juga. "Tangan sf Pengemis Tua lihai, bagaimana kalau dia dapat merobohkan muridnya dalam tempo seratus jurus?"   Pikirnya.   "Di mana aku mesti menaruh mukaku?' Maka kembali ia bekerja keras untuk menyerang hebat. Baru sekarang Kwee Ceng terdesak, malahan ia hampir sukar bernapas. Ia merasa seperti tertindih gunung, matanya mulai kabur. Oey Yok Su menyerang hebat sekali, cepat serangannya itu, tetapi sang wasit, putrinya sendiri, juga cepat sekali hitungannya. Saat Kwee Ceng merasa bibir dan lidahnya kering, kaki dan tangannya lemas, hingga ia akan berseru menyerah kalah. mendadak terdengar suara nyaring si nona.   "Tiga ratus!"   Segera muka Oey Yok Su memucat, ia melompat mundur.   Kwee Ceng menderita hebat sekali.   Matanya kabur, kepalanya pusing, kaki dan tangannya kehilangan tenaga.   Pertempuran telah berhenti, tapi ia belum berhenti bergerak, ia berputar-putar dan terhuyung-huyung, hampir ia roboh ketika sadar bahaya yang mengancam dirinya.   Mendadak ia menancapkan kaki kirinya dengan tipu Cian Kin Twi, Berat Seribu Kati.   Baru sekarang ia dapat berdiri tegak.   Untuk memulihkan kesegarannya, tangan kanannya bergerak; dengan ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang ia menyerang sepuluh kali.   Otaknya lantas menjadi jernih.   Ia diam sejenak, terus berkata.   "Tuan Oey, beberapa jurus lagi pastilah aku roboh...!"   Sesat Timur malu dan sedih, ia sedikit men- dongkol, tetapi menyaksikan ketangguhan anak muda itu ia berbalik menjadi girang.   Luar biasa pemuda itu dapat bertahan dari serangannya dengan tipu silat Ki-bun Ngo-coan, yang telah dipahaminya selama belasan tahun.   Dengan ilmu itu ia biasa membikin letih lawannya.   "Pengemis Tua,"   Katanya pada Ang Cit Kong.   "aku tak berguna, kaulah yang mendapatkan gelar orang gagah nomor satu di kolong langit ini!"   Ia memberi hormat, terus memutar tubuh untuk berlalu. "Tunggu dulu, tunggu dulu!"   Kata Cit Kong. "Segala di dunia bagaikan catur, perubahannya tak dapat diterka...."   Ia lantas mengliampiri Kwee Ceng, melemparkan tongkatnya, lalu dari pinggangnya ia menghunus sebilah pedang yang diserahkannya pada Kwee Ceng. Ia berkata.   "Kau menggunakan senjata, aku akan melawanmu dengan tang'an kosong!"   Kwee Ceng melengak. "Suhu...."   Katanya.   "mana..."   "Ilmu silat tangan kosongmu aku yang mengajarkannya. Kalau kau menggunakan kepalanmu, apa itu namanya pihuT kata si orang tua.   "Majulah!"   Kata-kata ini disusul dengan sambaran tangan kiri untuk merampas pedang Kwee Ceng. Kwee Ceng tidak dapat menerka maksud gurunya itu, ia melepaskan pedangnya, tidak melawan. "Anak tolol!"   Damprat Cit Kong.   "Kita sedang pibu, tahu!"   Ia menyerahkan kembali pedang itu dengan tangan kirinya, tapi tangan kanannya merampas lagi. Kali ini Kwee Ceng menghindarkan pedang itu hingga tidak terampas. "Satu!"   Oey Yong lantas menghitung.   Ang Cit Kong langsung menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang.   Tentu saja ia hebat luar biasa.   Sambaran-sambaran anginnya sedemikian rupa, hingga meskipun bersenjatakan pedang Kwee Ceng tidak dapat mendekati lawannya ini.   Sebenarnya si anak muda tidak biasa menggunakan senjata, tapi setelah didesak Auwyang Hong di rumah batu, ia jadi pandai menggunakannya.   Tapi berbeda dari orang-orang lain, ia menggunakan kepandaian senjatanya delapan bagian untuk pembelaan diri, dua bagian untuk penyerangan.   Dari Kanglam Cit Koay ia memperoleh apa yang dinamakan "kepandaian kasar".   Setelah mendapatkan Kiu Im Cin Keng baru ia memperoleh kemajuan yang berarti, sekarang ditambah dengan kepandaiannya dalam menggunakan senjata.   Menghadapi Auwyang Hong, ia membela diri dari serangan tombak kayu, sekarang ia membela diri dari serangan tangan kosong.   Ang Cit Kong girang mendapati muridnya dapat bertahan demikian bagus.   "Anak ini dapat maju, tak kecewa aku men-didiknya."   Pikirnya.   "Tapi kalau aku merobohkannya dalam dua ratus jurus, itu jelek untuk si Sesat' Tua. Lebih baik aku menanti sampai dua ratus jurus lebih, baru aku menggunakan tangan berat...."   Lalu Pengemis Utara menggunakan ilmu silat tiang Liong Sip-pat Ciang, Delapan Belas Jurus Menaklukkan Naga.   Ia mengurung muridnya, angin serangannya mendesir-desir.   Dalam sikapnya ini Ang Cit Kong telah membuat kekeliruan.   Kalau ia terus mendesak, mungkin Kwee Ceng kewalahan dan perlawanannya patah.   Tapi ia mengulur tempo, mau menanti hingga dua ratus jurus.   Ia lupa Kwee Ceng orang muda, tenaganya sedang penuh.   Apalagi setelah mempelajari Kiu Im Toan Kut Pian, pemuda itu telah maju jauh sekali.   Sebaliknya Cit Kong sendiri orang tua, jadi tidak dapat beradu ulet.   Demikianlah, ketika ia sudah menyerang hingga sembilan putaran, atau artinya 162 jurus, serangannya tidak dahsyat lagi seperti semula.   Bahkan sesudah sampai jurus kedua ratus, di samping tangan kanannya memegang pedang, tangan kiri Kwee Ceng jadi semakin hebat.   "Ini hebat,"   Pikir si Pengemis Utara yang merasa tidak tenang.   Tapi ia orang yang berpengalaman, ia tahu ia tidak bisa beradu tenaga, maka terpaksa ia menggunakan akalnya dan mementang terbuka kedua lengannya.   Kwee Ceng dapat melihat perubahan itu, ia heran.   "Ini jurus yang belum pernah Suhu ajarkan padaku...,"   Pikirnya. Kalau menghadapi orang lain, tentu ia lelah merangsek ke nong-kiong^ tengah, .untuk menyerang dada. Namun menghadapi gurunya, ia tidak bisa bertindak telengas. Karena itu ia mesti berpikir dulu untuk menyerang. "Tolol!"   Tegur si guru.   "Kau teperdaya!"   Mendadak kaki kiri sang guru melayang naik, menendang pedang muridnya hingga terlepas, sedangkan tangan kanannya menyambar ke pundak.   la lianya menggunakan delapan bagian tenaganya, karena tidak berniat melukai si murid.   Ia yakin muridnya akan roboh dan ia sendiri akan menang.   Tapi ia keliru.   Walaupun muda, Kwee Ceng telah banyak pengalaman, tubuhnya sering menderita, hal itu bagaikan semacam latihan untuknya.   Hajaran itu hanya membikin ia terhuyung beberapa langkah dan membuat pundaknya terasa sakit, tidak sampai membikin ia roboh.   Maka kagetlah si guru yang lantas berseru.   "Lekas kibaskan tanganmu tiga kali, lalu sedot napas, nanti kau terluka dalam!"   Kwee Ceng menurut. Benar saja, ia langsung merasa lega. "Saya menyerah,"   Katanya. "Tidak!"   Kata guru itu.   "Kalau kau menyerah,si Sesat Tua mana puas! Sambutlah!"   Tangannya lantas menyambar.   Sekarang Kwee Ceng tidak mempunyai senjata, ia mesti melawan dengan tangan kosong.   Ia menghindar dengan jurus Kong-beng-kun ajaran Ciu Pek Thong, semacam ilmu silat lunak yang paling lunak yang diciptakan Bocah Tua Nakal setelah ia membaca kitab Too Tek Keng bagian "Serdadu kuat bisa musnah, kayu kuat bisa patah, yang keras kuat jatuh di bawah, yang lunak lemas jatuh di atas."   Air adalah benda terlunak di kolong langit ini, tidak ada yang melebihinya, tetapi kuat serangannya tidak ada yang dapat menahan.   Hang Liong Sip-pat Ciang adalah ilmu silat yang terkeras, maka mesti dilawan dengan ilmu yang terlunak.   Tapi Kwee Ceng tidak melawan hanya dengan yang lunak, melainkan juga dengan yang keras, sebab di samping pandai Kong-beng-kun, Pukulan Memisah Diri, ia pun paham Hang Liong Sip-pat Ciang dari gurunya ini.   Jadi kedua tangannya bergerak masing-masing, keras dan lunak.   Dengan begitu, gurunya kewalahan.   Oey Yong menonton sambil menghitung.   Melihat tidak ada tanda-tanda Kwee Ceng bakal kalah, ia girang.   Ia menghitung terus sampai 299.   Ang Cit Kong mendengar hitungan itu.   Men- dadak muncul tabiatnya yang suka menang sendiri, ia menyerang dengan jurus Kang Liong Yu Hui yang hebat sekali, bagaikan gunung roboh dan laut terbalik.   Setelah itu ia menyesal, karena khawatir Kwee Ceng tidak dapat mempertahankan diri dan akan terluka parah, la berteriak.   "Hati-hati!"   Kwee Ceng mendengar peringatan itu saat tangan gurunya sudah di depan mukanya, la kenal baik serangan itu, sebab waktu mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang, itulah jurus pertamanya.   Ia mengerti bahwa tidak ada jurus Kong-beng-kun yang dapat menghindari serangan itu, maka ia menggunakan jalan keras lawan keras, ia menyambut dengan Kang Liong Yu Hui juga.   Tidak ampun lagi kedua tangan beradu keras, hingga terdengar bunyi nyaring.   Sebagai akibatnya, tubuh kedua orang itu sama-sama bergetar.   Oey Yok Su dan putrinya terkejut, hingga mereka berseru, keduanya melangkah menghampiri.   Guru dan murid itu seperti berpegangan, tangan mereka bagaikan menempel satu sama lain.   Kwee Ceng mempertahankan diri.   ia lantas tahu, kalau mengalah ia akan terluka parah.   Ia tahu baik bahwa gurunya lihai.   Maka ia hendak menanti sampai tangan gurunya sudah tidak begitu membahayakan, baru ia mau menyerah kalah.   Ang Cit Kong kaget berbareng girang mendapati muridnya bisa bertahan, segera timbul rasa sayangnya, hingga berkuranglah tabiat suka menang sendirinya.   Ia lantas memikirkan cara untuk mengalah supaya muridnya mendapat nama.   Maka pelan-pelan ia memperlunak tenaganya.   Tepat selagi guru dan murid itu tidak menang dan tidak kalah, dari balik jurang terdengar tiga kali seruan nyaring, dibarengi munculnya seorang yang berjungkir balik hingga tiga kali.   la adalah Racun Barat Auwyang Hong, yang muncul lagi tiba-tiba.   Kwee Ceng dan Ang Cit Kong mengendurkan tenaga mereka berbareng serta melompat mundur.   dengan begitu mereka bisa mengawasi si Racun Barat yang bajunya robek rubat-rabit dan mukanya berlepotan darah.   Kembali orang itu berteriak.   "Raja Langit telah tiba! Giok Hong Taytee turun ke bumi!"   Lantas dengan tongkat ularnya ia merabu keempat orang yang berada di situ.   Ang Cit Kong menjumput tongkatnya, lalu me- nangkis, hingga mereka jadi bertempur.   Setelah beberapa jurus, ia heran.   Oey Yok Su, Kwee Ceng, dan Oey Yong juga tidak kurang herannya.   Aneh sekali kelakuan Racun Barat ini.   la berkelahi tetapi adakalanya mencakar muka sendiri, menyentil, mendepak kempolannya sendiri, atau tengah menyerang, mendadak ia menarik pulang serangannya untuk diubah dengan jurus yang lain.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Menyaksikan demikian, Ang Cit Kong mengambil sikap membela diri.   Lewat beberapa jurus kembali Auwyang Hong memperlihatkan keanehannya.   Beruntun tiga kali ia menggaplok mukanya sendiri, hingga terdengar suara nyaring diikuti jeritannya yang keras.   Setelah itu mendadak ia melonjorkan kedua tangannya untuk merayap di depan Cit Kong.   Pengemis Utara girang.   Ia berpikir.   "Menyerang anjing adalah keistimewaan tongkatku ini. sekarang kau bersikap seperti anjing, bukankah kau mengantarkan dirimu sendiri masuk ke jaring?"   Ia menusuk pinggang lawannya itu.   Sekonyong-konyong Auwyang Hong membalik- kan tubuh, dengan begitu ia menindih ujung tongkat, terus menggelindingkan tubuhnya mendaki tongkat.   Cit Kong terkejut hingga tongkatnya terlepas.   Menyusul itu, tubuh Racun Barat mencelat tinggi, kedua kakinya berbareng menendang ke arah kedua mata lawannya, Cit Kong terkejut, ia melompat mundur.   Oey Yok Su maju seraya mencabut pedangnya, lalu menusukkannya pada si Racun Barat.   "Toan Hongya, aku tak takut It Yang O'-mu!"   Kata Auwyang Hong yang menangkis, tapi terus merangsek untuk menubruk.    Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Tugas Rahasia Karya Gan KH Darah Daging Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini