Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 11
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 11
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya dari Hong San Khek Sahut Poan Thian. "maka selanjutnya kita harus berlaku sangat hati-hati akan menghindarkan diri kita daripada akal muslihat musuh yang keji itu." Hwat Yan menyatakan mufakat dengan pikiran pemuda kita itu. Y Tatkala mereka menanyakan hal ini pada Ban Tho Hoa, si nona lalu menunjuk ke atas tiong-cit sambil berkata. "Alamat yang kamu minta itu, tidak diterimakan ke dalam tanganku sendiri, hanyalah ditaruh di sana, digantungkan di atas tiong-cit itu." Ketika Poan Thian dan Hwat Yan menengadah ke arah tiong-cit tersebut, betul saja di sana tertampak sebuah sampul merah yang digantungkan dengan sepotong tali. Dan jikalau perbuatan itu bukannya dilakukan oleh seorang yang ilmu kepandaian silatnya amat tinggi, niscaya tidak akan mampu melakukan pekerjaan yang sesukar itu. Setelah menyaksikan perbuatan Wie Hui itu, Poan Thian lalu tersenyum sambil menoleh pada Hwat Yan dan berkata. "Sekarang aku mengerti, apa sebabnya Wie Hui minta kita datang ke sini buat meminta alamatnya....." 334 "Itulah melulu buat mempamerkan ilmu kepandaiannya di hadapan kita berdua," Kata Hwat Yan yang memotong pembicaraan si pemuda. 3.21. Pengejaran Terhadap Murid Khianat "Itu benar," Poan Thian menyetujui. "Tetapi apakah artinya perbuatan itu bagi kita, yang juga mengerti ilmu silat dan tidak ada di bawah daripadanya?" Hwat Yan membenarkan omongan kawan itu. Tetapi ketika Poan Thian hendak mengambil piauw akan menyambit sampul merah itu, si calon paderi lalu mencegah sambil berkata. "Tidak usah Suheng mencapaikan hati, biarkan saja perkara kecil ini diurus olehku sendiri." "Ya, kalau begitu, aku persilahkan kau mengambil sampul itu menurut caramu sendiri," Kata Lie Poan Thian yang lantas urungkan niatnya buat menyambit sampul yang tergantung di atas tiong-cit itu. Sementara Hwat Yan yang merasa telah dikasih ketika akan mengunjukkan kepandaiannya, lalu merogo sakunya dan keluarkan sebuah pelanting dengan sebutir peluru besi dengan mana ia telah tembak jatuh sampul itu, karena talinya putus terlanggar peluru tersebut. Poan Thian jadi sangat kagum dan memuji atas kepandaian Hwat Yan dalam mempergunakan alat yang tergolong pada senjata-senjata rahasia itu. Dan tatkala sampul itu dibuka, ternyata di dalamnya terisi beberapa baris tulisan yang berbunyi. Kamu berdua boleh susul aku ke Giok-hong-kok di pegunungan Jiesian-san pada hari esok di waktu lohor. Aku tunggu 335 kedatangan kamu berdua dengan segala senang hati. Jangan salah. Surat itu tidak dibutuhi tandatangan, tetapi sudah terang bahwa itulah telah ditulis oleh Wie Hui sendiri. "Tetapi dimanakah letaknya pegunungan Jie-sian-san itu?" Bertanya Lie Poan Thian yang baru saja pada kali itu mendengar ada sebuah gunung yang bernama begitu. Sedangkan Hwat Yan sendiri yang tidak tahu dimana letaknya pegunungan itu, tentu saja tak dapat berbuat lain dari pada menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian ia berjanji akan menanyakan ini kepada penduduk-penduduk yang berdiam di luar kota Leng-po. "Apabila gunung itu betul ada," Katanya. "niscaya tidak sukar akan kita dapat ketemukan, tidak perduli berapa jauh letaknya dari kota ini." Poan Thian mufakat dengan omongan itu. Begitulah setelah berpamitan pada nona Ban Tho Hoa, kedua orang itu lalu menuju keluar kota Leng-po dan mampir di sebuah kedai makanan dan minuman yang banyak dikunjungi oleh orang-orang yang mondarmandir keluar masuk kota. Di sini, sambil berpura-pura membicarakan soal ini dan itu dengan orang-orang yang pada berkumpul di kedai itu, akhirnya Poan Thian mendapat kesempatan buat menanyakan, dimana letaknya pegunungan Jiesian- san itu. "Tuan ini orang dari mana?" Bertanya orang itu sambil mengawaskan pada pemuda kita sesaat lamanya. "Kami berasal dari utara," Sahut Lie Poan Thian. "yang sekarang berada dalam perjalanan ke Jie-sian-san akan mencari seorang sahabatku." 336 "Tuan," Kata orang itu, setelah bercelingukan ke kirikanan. "menurut pikiranku, lebih baik kau jangan pergi ke sana. Pegunungan itu bukan tempat kediaman orang baik-baik. Itulah sarang kawanan perampok yang di kepalai oleh seorang kepala kampak muda yang bernama Wie Hui." "Ya, ya, benar, dia itulah yang kami hendak cari," Kata Lie Poan Thian yang merasa tidak perlu lagi akan berlaku dengan secara sembunyi. Karena ia telah yakin dari bukti-bukti yang telah dialaminya selama itu, biarpun mereka telah mencoba akan menyelidiki dengan secara diam-diam, tidak urung perbuatan itu telah ketahuan juga oleh pihak bakal lawannya itu. Maka dari itu, apakah perlunya ia selanjutnya berlaku sembunyi-sembunyi pula? Orang yang ditanyakan keterangan tadi jadi semakin heran, ketika menyaksikan tingkah-laku dan pembicaraan Poan Thian yang begitu terbuka dan tidak mengunjuk sikap yang khawatir barang sedikitpun. Ia jadi kelihatan ragu-ragu akan bicara lebih jauh. "Aku percaya bahwa tuan ini tentulah seorang yang jujur dan berhati tulus," Kata Poan Thian pula pada orang itu. "Oleh sebab itu, kukira tidak jahatnya akan aku menerangkan dengan sejujur-jujurnya, tentang maksud kunjungan kami ke pegunungan Jie-sian-san tersebut. Kami berdua ini adalah kakak dari satu golongan perguruan ilmu silat dengan Wie Hui itu. Tetapi oleh karena perbuatan-perbuatan adik itu sangat mencemarkan nama baik perguruan silat kami, maka hari ini kami perlu memperingati supaya ia suka menghentikan perbuatan-perbuatannya yang tidak baik itu. Syukur jikalau ia mau mendengar nasehat kami, 337 apabila ia ternyata sudah menjadi sukar akan diperbaikinya, terpaksa kami harus menggunakan kekerasan dan membasmi padanya sebagai seorang perampok biasa. Demikianlah maksud yang benar dari perkunjungan kami ini. Oleh sebab itu, sudilah apa kiranya tuan memberikan petunjuk pada kami, berapa jauh dan dimana letaknya pegunungan Jie- sian-san itu?" "Pegunungan itu letaknya lebih-kurang tigapuluh lie jauhnya dari tempat ini," Sahut orang yang ditanya itu. "Dari sini kamu boleh menuju ke arah tenggara dengan mengikuti jalan ini." Sambil berkata ia menunjuk pada sebuah jalan kecil yang terpecah dari jalan desa yang lebih besar dan lebar. "Tetapi jalan itu semakin jauh semakin sempit dan buruk, dan sudah sekian lama tidak diurus oleh pihak yang berwajib. Karena kekurangan pengurusan ini, maka kawanan perampok yang bersarang di daerah itu jadi semakin enak melakukan pekerjaan mereka. Bahkan menurut kabar di luaran, Wie Hui sendiri pernah mengakui, bahwa pegunungan Jie-sian-san itu adalah punyanya sendiri." Poan Thian dan Hwat Yan jadi heran mendengar keterangan begitu. "Apakah barangkali Wie Hui hendak memberontak dengan mempergunakan gunung itu sebagai pangkal operasinya?" Tanya pemuda kita. Tetapi, sudah tentu, saja, pertanyaan-pertanyaan demikian ada di luar kemampuan orang itu akan menjawabnya. "Di atas gunung itu kudengar ada sebuah gedung atau bangunan yang bernama Giok-hong-kok," Kata Poan Thian pula. "apakah gedung atau bangunan itu 338 berupa rumah berhala atau hanya suatu nama saja yang sengaja dikarang untuk menyesatkan orang?" "Tentang ini aku memang tahu dan bukan suatu isapan jempol belaka," Sahut orang itu. "Adapun nama Giok-hong-kok itu, asalnya sebuah rumah berhala dari kaum Taoist. Umurnya rumah berhala ini memang sudah amat tua, karena menurut ceritera orang tua- tua, rumah berhala tersebut telah didirikan di jaman Tong Tiauw, di masa kaisar Tong Thay Cong (Lie Sie Bin) duduk bertakhta. Ketambahan di situ pernah bersemayam seorang pertapaan she Lie yang bergelar Thay Liong Cin-jin, maka kaisar jadi lebih-lebih mengindahkan dan lalu perbaiki rumah berhala itu dengan serba-serbinya dari lantai sehingga ke atas wuwungan dibuat daripada bahan-bahan tembaga, berhubung kaisar menaruh kepercayaan, bahwa agama Too Kauw itu telah diturunkan oleh leluhurnya Lie Jie yang kemudian dikenal orang sebagai Lo Cu, bapak dari agama Too Kauw tadi. Tetapi setelah Thay Liong Cin-jin naik menjadi dewa, mendadak di dalam rumah berhala itu tampak lukisan Cin-jin di ruangan sembahyang. Oleh karena itu, maka anak negeri yang menganggap Cin-jin sebagai keramat, tidak putusnya datang bersembahyang buat meminta ini atau itu, sehingga kepercayaan itu berlangsung turuntemurun sampai di jaman ini. Pada suatu hari lebih kurang 1,5 tahun yang lampau, tiba-tiba di dalam rumah itu telah muncul seekor ular amat besar yang telah makan semua orang yang berdiam di situ, bahkan orang-orang yang datang untuk bersembahyang, pun tidak sedikit yang jiwanya telah melayang di makan oleh binatang yang tidak diketahui dari mana datangnya itu. 339 Karena terjadinya peristiwa-peristiwa yang sangat menggemparkan itu, sudah tentu saja selanjutnya orang tak berani berkunjung pula ke rumah berhala itu. Maka selama berselang beberapa bulan saja, jalan ini yang menyambung, ke jalan-jalan lain dengan mana orang bisa sampai ke Giok-hong-kok telah menjadi sunyi dan kembali pula pada asal mulanya, yalah jalan pegunungan yang ditumbuhi oleh alang- alang yang semakin hari kelihatan bertumbuh semakin tinggi karena kurang dirawat. Pihak yang berwajib telah mengambil tindakantindakan yang perlu untuk membasmi binatang itu, tetapi segala percobaan telah berhasil nihil, berhubung pemburu-pemburu yang diperintah pergi membinasakan binatang itu, hanya beberapa orang saja yang bisa lari pulang dan mati di rumah. Sedangkan yang lain-lain semua telah hilang dan tidak ada kabar ceritanya sehingga sekarang ini." "Kalau betul di Giok-hong-kok itu ada bersarang seekor ular besar sebagaimana katamu tadi," Poan Thian memotong pembicaraan orang itu. "Cara bagaimanakah Wie Hui bisa bersarang juga di situ dengan tidak mengalami gangguan-gangguan dari binatang liar yang telah mengorbankan sekian jiwa manusia itu?" "Itulah karena Wie Hui sendiri yang memang telah membasminya, yang telah membakarnya dengan mempergunakan bahan-bahan bakar yang terdiri dari getah cemara yang mudah menyala," Sahut orang itu. "Maka setelah binatang itu dapat dibinasakan, barulah kemudian tersiar kabar di luaran, bahwa Wie Hui dengan mengajak beberapa orang kawannya di kalangan Kang-ouw hitam telah mendiami Giok-hong- kok yang 340 telah dipergunakannya sebagai markas besar kawanan perampok dan melakukan pekerjaannya dengan dimulai dari kecil dahulu. "Dan tatkala kabar tentang dibinasakan ular yang berbahaya itu telah tersiar ke mana-mana, barulah orang mulai berani lagi akan berjalan-jalan ke pegunungan Jiesian-san, yang mula, tidak pernah diganggu oleh Wie Hui dan kawan-kawannya yang bersarang di situ. "Tetapi ketika lalu-lintas di situ menjadi semakin ramai dan umum juga dilalui oleh pengantar-pengantar kereta piauw untuk memperpendek perjalanan mereka, barulah Wie Hui dan kawan-kawannya mulai beraksi dengan mengadakan peraturan-peraturan cukai jalan yang sangat menggelisahkan bagi khalayak ramai yang kerap kali melewat di tempat itu. "Lebih-lebih terhadap para pengantar piauw yang dimestikan membayar 10% dari jumlah angkutan mereka, hingga banyak antara piauwsu-piauwsu yang merasa kurang puas dengan peraturan itu dan telah menentang dengan sekeras-kerasnya, telah terbit perselisihan dan pertempuran yang telah mengakibatkan tidak sedikit antara piauwsu-piauwsu itu yang mendapat luka atau binasa di tangan Wie Hui dan kawan-kawannya itu. "Oleh sebab adanya peristiwa-peristiwa tersebut, tidaklah heran apabila selanjutnya orang jadi segan akan melewat di situ, hingga jalan pegunungan yang telah mulai jadi ramai itu, pun pelahan dengan pelahan telah kembali pada keadaan seasalnya dahulu, yalah menjadi sunyi dan tidak tampak pula manusia yang berjalan mondar-mandir seperti pada beberapa waktu yang lalu itu." 341 Demikianlah menurut penuturan orang yang telah ditanyakan oleh Poan Thian dan Hwat Yan tadi. "Apabila Wie Hui telah bertindak sekian jauhnya," Kata Lie Poan Thian. "nyatalah kita tak boleh membiarkan saja ia berbuat menurut sesuka hatinya. Kita harus membasmi padanya selekas mungkin, untuk bantu meringankan penderitaan orang-orang yang tertindas oleh manusia keji dan kawan- kawannya itu." Hwat Yan membenarkan atas omongan saudara segolongannya itu. "Kalau begitu," Katanya. "sekarang hari masih siang. Apakah tidak baik jika kita berangkat ke sana sekarang juga?" "Ya, benar," Poan Thian menyetujui kawannya itu. Begitulah sesudah membayar harga makanan dan minuman yang mereka telah pesan tadi, Poan Thian dan Hwat Yan mengucap banyak terima kasih atas petunjukpetunjuk orang itu, kemudian mereka menuju ke Jie-siansan dengan menuruti jalanan yang telah ditunjukkan orang itu tadi. Sesampainya di kaki pegunungan yang dituju, Poan Thian dan Hwat Yan telah berjumpa dengan seorang pemotong kayu yang lalu menghampiri kepada mereka sambil bertanya. "Tuan-tuan, apakah kamu berdua bukan orang-orang yang sedang mencari tuan Wie?" "Ya, benar," Sahut Poan Thian yang sekarang telah tidak merasa heran lagi, karena ia telah yakin bahwa mata-matanya saudara segolongan yang berkhianat itu telah tersebar dengan luas di segala pelosok. "Apakah barangkali Tuan Wie ada meninggalkan pesan apa-apa bagi kami berdua?" 342 "Ya," Kata orang itu sambil mengangguk. "Dalam daerah dan jalan pegunungan-pegunungan di sini banyak terdapat perangkap-perangkap yang sehingga tentara negeri tak berani datang melakukan penggerebekan untuk kedua kalinya. Oleh sebab kuatir kamu akan terjerumus ke dalam perangkap- perangkap itu, maka tuan Wie telah perintah aku buat menjemput padamu berdua akan naik ke atas gunung. Tuan Wie mengatakan, bahwa ia tunggu kedatangan tuan-tuan di sana dengan segala senang hati." Poan Thian dan Hwat Yan mengucap terima kasih dengan suara yang hampir berbareng. Kemudian mereka mengikut si pemotong kayu itu akan bersama-sama naik gunung. Tatkala berjalan beberapa lamanya, akhirnya mereka menampak di muka perjalanan mereka ada sebuah gedung mirip kelenteng yang atapnya seolah-olah mengeluarkan sinar karena menjadi sasaran matahari yang hampir selam ke barat. Gedung itu tidak berapa besar bentuknya, tetapi buatannya amat teguh dan bercokol di atas gunung bagaikan sebuah menara. "Gedung itu adalah apa yang dinamakan orang Giokhong-kok," Kata pemotong kayu itu pada Lie Poan Thian dan kawannya. "Perjalanan dari sini sudah tidak berapa jauh lagi, maka dari itu, aku percaya tuan-tuan tentu akan dapat menyampaikan gedung itu tanpa diantar pula olehku. Akan tetapi, buat mencegah kejadian-kejadian yang tidak diingini, janganlah sekali-kali kamu masuk ke Giok-hong-kok dengan melalui pintu besar atau menginjak halaman lantai yang terbentang di sekitar tempat itu." 343 "Kalau begitu," Kata mereka. "dari manakah kami akan dapat masuk ke situ, apabila di sekitar tempat itu tidak dapat dilalui orang?" "Jalan satu-satunya adalah kamu harus mengambil jalan dari atas wuwungan gedung tersebut," Kata pemotong kayu itu pula. "kemudian kamu mengikuti tembok wuwungan menuju ke barat. Dari situ jangan kamu berjalan terus, tetapi kamu harus melalui wuwungan emper yang terletak di sebelah kiri dan terus menuju ke halaman cim-che. Itulah ada jalan yang paling selamat akan kamu dapat masuk ke Giok-hong-kok." Lie Poan Thian yang mendengar begitu dan kelihatan agak sukar untuk dapat mengikuti petunjuk-petunjuk itu dengan sebaik-baiknya, sudah tentu saja jadi tertawa dan berbalik mengejek pada diri Wie Hui sambil berkata. "Hm, apakah itu ada perbuatan seorang ho-han, yang berani "mengundang" Orang tetapi seolah-olah tidak berani bertemu muka dengan sengaja mengambil jalan yang mempersukar orang begitu rupa? Kita sendiri bukan beranggapan ia takut pada kita. Tetapi apakah orang lain tidak nanti menganggap demikian, apabila mereka tahu tentang adanya cara-cara yang sangat tidak masuk diakal ini?" Kemudian ia berpura-pura menoleh pada Hwat Yan sambil menambah. "Saudara, kukira sekarang paling betul kita kembali saja ke tempat penginapan kita, sebab Wie Hui yang mau dijumpai itu ternyata tidak berani bertemu dengan kita. Marilah. Buat apakah kita mesti dijemur orang di sini sampai berjam-jam dengan tak ada gunanya sama sekali?" Lalu kedua orang itu membalikkan badan masingmasing, seolah-olah benar-benar mereka hendak membatalkan perjalanan mereka dan berlalu dari situ. 344 Tetapi ketika mereka baru saja berjalan beberapa tindak jauhnya, mendadak Poan Thian merasakan ada angin yang berkesiur agak hebat menyamber ke jurusannya. Pemuda kita mengerti, bahwa ia hendak "dijajal" Orang, maka ia sengaja berdiri jejak buat mengunjukkan sedikit kelihayan dalam hal menjaga diri dengan jalan Thia-hong atau mendengar berkesiurnya suara angin. "Itulah ada tiga buah hui-piauw yang orang sambitkan kepadaku," Kata Poan Thian di dalam hatinya. Dan sebegitu lekas ia mendengar suara-suara itu telah mendatangi cukup dekat, dengan sebat ia lantas putarkan badannya sambil menggerakkan kaki tangannya untuk menghindarkan diri daripada penyerangan gelap yang orang telah sengaja jujukan pada dirinya. "Jangan main kayu!" Katanya sambil menyambuti sebuah piauw dengan tangan kirinya. Dengan tangan kanannya ia menyambuti sebuah piauw yang lainnya, sedangkan yang sebuah lagi lalu disambut olehnya dengan tendangan, sehingga senjata rahasia itu telah terpental entah kemana perginya! Semua itu telah dilakukan olehnya dengan kesebatan yang begitu mengagumkan, sehingga orang hampir tidak melihat dengan jalan apa ia telah dapat menghindarkan diri daripada sambitan-sambitan itu. Hal mana, bukan saja telah menerbitkan rasa kagumnya Hwat Yan, tetapi si pemotong kayu tadipun yang telah melakukan perbuatan itu, jadi melongo dan kemudian buru-buru membungkukkan dirinya memberi hormat sambil berkata. "Tuan, nyatalah bahwa kau ini 345 ada seorang ahli silat paling pandai yang aku pernah jumpai seumur hidupku!" Poan Thian tersenyum sambil menyindir. "Benar. Aku pun baru pernah pada kali ini saja menjumpai seorang ahli silat paling curang seumur hidupku!" Orang itu jadi kebogehan, sehingga tak dapat pula ia berkata-kata barang sepatahpun. "Beruntung juga sambitan itu kau telah lakukan atas diriku," Kata Poan Thian pula. "apabila itu dilakukan atas diri orang lain, apakah itu tidak nanti membahayakan jiwa orang itu?" Orang itu jadi semakin bungkem. Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Pergilah kau sampaikan omonganku pada Wie Hui," Kata Hwat Yan yang campur bicara. "Jikalau sesungguhnya ia minta bertemu dengan kita berdua, bolehlah ia lekas keluar bicara dengan kami di sini, jikalau ia tidak mau bertemu dengan kita, kitapun boleh segera berlalu dari sini. Perlu apakah mesti membicarakan segala urusan tetek-bengek yang tidak ada gunanya sama sekali?" Orang itu yang kemudian ternyata ada seorang kakitangannya Wie Hui yang menyamar sebagai seorang pemotong kayu, dengan rupa malu segera memberi hormat dan berjanji akan sampaikan pesan itu kepada pemimpinnya. Tetapi pada sebelum ia berlalu dari situ, tiba-tiba dari kejauhan tampak mendatangi seorang muda yang perawakan badannya tegap, halisnya hitam jengat, berpakaian baju pendek dengan menyoren sebilah golok tan-to di pinggangnya. 346 Hwat Yan jadi mengawasi dengan mata mendelong dan bertanya pada diri sendiri. "Siapakah adanya orang muda ini?" Y Tetapi Poan Thian kelihatan tidak asing lagi terhadap pada orang muda yang sedang mendatangi itu. "Ia itulah bukan lain dari seorang penjahat yang pernah mengacau di Sam-li-tun," Katanya. "Ia pernah mengaku bernama Hok Cie Tee, tetapi menurut keterangan yang pernah kuperoleh, ia ini sebenarnya bernama Hok Cit. Hanya belum tahu cara bagaimana ia bisa berada di sini?" "Suheng rupanya kenal juga pada orang ini?" Tanya Hwat Yan. "Ya," Sahut Poan Thian dengan pendek. Penjahat muda itu jadi agak terperanjat ketika melihat Poan Thian datang bersama-sama seorang lain yang ia tidak kenal. "Wie-toako mengundang Ji-wie akan datang ke Giokhong-kok," Katanya dengan suara ragu. "Kau jangan omong kosong!" Kata Hwat Yan dengan suara ketus. "Kedatangan kita kemari adalah karena menerima undangan Wie Hui. Oleh sebab itu, pergilah kau kasih tahu pada Wie Hui, supaya ia datang menyambut sendiri pada kita, tetapi bukanlah kita yang harus pergi "menghadap" Kepadanya!" Orang muda itu kelihatan kurang senang mendengar omongan Hwat Yan yang seketus itu. 347 Lalu ia menuding pada calon paderi itu dengan mata mendelik dan membentak "Hei, sahabat! Di sini bukan di rumah tanggamu sendiri, sehingga dalam segala sesuatu kau boleh menuruti apa kata hatimu. Inilah ada tanah daerah kekuasaan kami, dimanakah kau sebagai seorang tetamu harus tunduk kepada segala peraturan yang umumnya berlaku di tempat ini!" "Tak usah kau banyak bicara!" Akhir-akhirnya Poan Thian teturutan membentak. "Pergilah kau panggil kawanmu Liu Tay Hong buat sekalian bertemu juga dengan Wie Hui di sini!" Hok Cit jadi sengit dan lalu dengan tidak banyak bicara lagi ia menerjang pada Lie Poan Thian dengan menghunus golok di tangannya. Begitulah selanjutnya di lereng gunung Jie-sian-san itu telah terjadi pertempuran yang dahsyat antara Lie Poan Thian dan Hok Cit, sedangkan Hwat Yan mendapat lawan si pemotong kayu tetiron tadi, yang kemudian baru diketahui bernama Sin-to-thay-swee Khu Siu Cun. Kedua pasang lawan ini mula-mula kelihatan berimbang dalam hal tenaga kepandaiannya. terutama mengenai kepandaian Hwat Yan yang bertempur dengan menggunakan joan-pian dengan Khu Siu Cun yang bersenjatakan sebilah golok. Tetapi Lie Poan Thian yang bersenjata pedang pemberian In Cong Sian-su yang amat tajam dan bergerak dengan amat lincahnya, pelahan dengan pelahan telah dapat mendesak pada Hok Cit yang segera merasa, bahwa ia lebih selamat akan mundur ke atas gunung daripada mendesak pada musuhnya yang ia belum tentu mampu kalahkan. Maka setelah dua kali ujung goloknya terkupas oleh pedangnya Lie Poan Thian, Hok Cit lekas melarikan diri 348 dengan diikuti oleh Siu Cun yang dikejar oleh Hwat Yan dari sebelah belakang. "Hei, beburonan hutan! Kemanakah kamu hendak menyembunyikan diri!" Teriak calon paderi itu yang hendak melanjutkan pengejarannya. Tetapi Poan Thian lekas mencegah sambil berkata. "Sutee! Sabar dulu! Paling baik kita tunggu Wie Hui di sini, daripada mesti membuang tenaga dengan sia-sia dalam pertempuran dengan kawanan tikus hutan itu!" Hwat Yan pikir omongan itu memang ada benarnya juga. "Pergilah kamu panggil Wie Hui buat bicara dengan kami di sini!" Menyeruhkan calon paderi itu pada dua orang musuhnya yang lari naik ke atas gunung itu. Tidak antara lama, betul saja dari atas gunung telah muncul seorang muda yang Hwat Yan lantas kenali sebagai saudara seperguruannya yang sedang dicari dan telah mengundang mereka akan datang ke Jie- siansan. "Inilah dia yang bernama Wie Hui, dan kita sedang cari untuk membikin perhitungan guna kebaikannya nama rumah perguruan kami di Po-to-sie," Berbisik Hwat Yan pada pemuda kita. Poan Thian mengangguk. 3.22. Hukuman Bagi Murid Murtad Sementara Wie Hui yang dari kejauhan telah mengenali pada Hwat Yan, dengan wajah yang tenang dan berseri-seri lalu berjalan menghampiri dan memberi hormat kepada mereka berdua sambil berkata. "Selamat 349 datang, saudara-saudaraku, aku sebenarnya tidak menyangka yang kamu akan datang dengan cara yang begitu terkonyong-konyong, sehingga aku telah terlambat datang menyambut dan bikin kamu berdua kesal menunggu-nunggu." "Engkau tidak perlu berlaku pura-pura untuk menyembunyikan segala cacad-cacadmu," Kata Hwat Yan dengan suara kaku. "Engkau telah mencemarkan nama baik guru dan rumah perguruan sendiri, kau ketahui ini, tetapi engkau tidak mau merubah kekeliruankekeliruanmu itu. Bahkan disamping itu, engkau telah menimbun dari satu kepada kedosaan yang lainnya dengan sama sekali tidak berikhtiar untuk menghentikan. Maka oleh sebab itu, apakah bukan berarti bahwa kau memang sengaja hendak mencari setori dengan orangorang dari golongan sendiri?" "Suheng!" Kata Wie Hui dengan suara menyindir. "di waktu aku masih berdiam di Po-to-sie, memang tidak lebih dari pantas jika aku mesti menuruti segala perintah guru di sana. Tetapi setelah sekarang aku berada di luaran dan tidak ada pula sangkut pautnya dengan guru dan kelenteng Po-to-sie, cara bagaimanakah engkau masih juga tetap menganggap aku sebagai seorang kacung yang harus mentaati perintah induk semangnya dimana saja ia berada?" "Kalau begitu," Kata Hwat Yan dengan hati mendongkol. "engkau ini tidak berbeda dengan seekor babi atau binatang-binatang lain yang tak mengenal budi kebaikan orang! "Ingatlah olehmu, bagaimana engkau dari seorang anak jembel yang sebatang kara telah ditolong oleh guru dan dididik sehingga menjadi seorang yang agak pantas dilihat orang. Tetapi bukannya engkau berterima kasih atas susah payah guru yang telah 350 mendidik padamu, sebaliknya kau telah melemparkan najis ke muka orang yang telah menolongmu. "Apakah itu suatu perbuatan seorang yang menamakan dirinya "manusia-manusia? Seekor anjing masih ingat kebaikan majikannya, tetapi seekor babi tidak pernah memikirkan kebaikan majikannya barang sedikitpun! Demikian juga dengan halnya dirimu, hingga itu patut kukatakan perbuatannya seekor babi!" Mendengar dirinya dicaci-maki sedemikian hebatnya, sudah barang tentu ia menjadi sangat gusar, tetapi dilahir ia tetap kelihatan tenang dan berkata. "Suheng, kukira tidak perlu kau memberikan aku nasehat- nasehat sampai begitu, apalagi karena aku sendiripun memangnya tidak bersedia akan menerimanya. Sekarang hanya terbuka satu jalan untuk mengakhiri urusanku dan kamu dari Po-to-sie. Apakah kau sanggup kalahkan aku, bolehlah aku menyerah kepadamu untuk dibawa kembali kepada guru di sana, jikalau tidak, jangan harap akan kamu bisa memaksa kepadaku!" "Kurang ajar!" Teriak Lie Poan Thian yang tidak tahan mendengar omongan Wie Hui yang sangat brutal itu. "Aku Lie Poan Thian memang telah sengaja dikirim ke sini untuk menjajal sampai dimana kekerasan kepalamu! Apabila dengan tanganku sendiri aku tak mampu menaklukan kepadamu, aku bersumpah tak akan hidup lebih lama pula di dalam dunia ini!" Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu minta supaya Hwat Yan menyingkir ke suatu pinggiran, kemudian ia bertindak maju sambil menanyakan pada sang lawan itu, apakah ia hendak bertempur dengan tangan kosong atau bersenjata? 351 Wie Hui lalu mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidung sambil dengan cepat mencabut golok yang disoren di pinggangnya. Itulah jawabannya atas tantangan Poan Thian tadi. Maka dengan tidak banyak bicara lagi Poan Thian pun lalu maju menerjang dengan pedang terhunus dan berseru. "Aku mendatangi!" "Persilahkan!" Sahut Wie Hui yang juga segera mainkan goloknya untuk menangkis bacokan pemuda kita yang dijujukan pada dirinya. Begitulah dengan terjadinya pertempuran itu, maka terjadilah pula pertempuran antara Hwat Yan dan beberapa orangnya Wie Hui, yang kemudian telah turun ke bawah gunung dengan beramai-ramai dan segera mengepung calon paderi itu. Tetapi biarpun jumlah lawan di kedua pihak tidak sama banyaknya, ternyata pertempuran itu telah berlangsung dengan sama imbangan dalam kekuatannya. Dalam pertempuran itu, sebenarnya Wie Hui tidak mengetahui bahwa pedangnya Poan Thian ada begitu tajam. Jikalau ia ketahui ini lebih siang, ia tentu lebih suka berkelahi dengan tangan kosong saja. Tahu-tahu ketika goloknya terbacok putus oleh pedangnya Lie Poan Thian, barulah ia jadi terperanjat dan lekas-lekas berlompat ke samping sambil melemparkan senjatanya yang telah tinggal separuh itu. Sementara Poan Thian sendiri yang menyaksikan lawannya telah tidak bersenjata lagi, buru-buru ia masukkan pedang itu ke dalam serangkanya. Demikianlah, pertempuran selanjutnya telah dilakukan olehnya dengan sama-sama bertangan 352 kosong, yang mana sebenarnya lebih digemari oleh Poan Thian daripada bertempur dengan memakai senjata. Kedua lawan ini yang masih asing dengan kepandaian musuh masing-masing, kelihatannya agak ragu-ragu tatkala pertempuran baru saja berjalan beberapa jurus lamanya. Tetapi setelah kedua pihak telah menyaksikan dan mengetahui gerakan-gerakan masing-masing, barulah pertempuran itu menjadi semakin sengit, semakin hebat, sehingga orang cuma menampak saja bayangan orang-orang yang sedang bertempur, tetapi tidak dapat melihat tegas yang mana Lie Poan Thian atau yang mana Wie Hui! Selagi pertempuran itu berlangsung dalam saat-saat yang amat tegang dan seolah-olah tak dapat disudahi apabila belum ada salah seorang yang mati atau mau menyerah kalah, tiba-tiba Poan Thian telah dibikin kaget oleh seorang yang muncul dengan sekonyong- konyong dan membentak. "Hei, budak she Lie! Setelah beberapa kali kita bertemu untuk menjajal ilmu kepandaian masingmasing, sekarang inilah ada hari yang terakhir bagimu akan melihat dunia ini! Jangan lari! Aku Liu Tay Hong belum merasa puas apabila belum dapat meminum darah atau memakan dagingmu!" Dalam pada itu, Poan Thian yang memang selalu berlaku waspada memperhatikan serangan-serangan Wie Hui yang semakin lama menjadi semakin gencar itu, dengan lantas mengerti, bahwa dia hendak dijebak oleh pihak musuhnya, terutama Liu Tay Hong ini yang memang menjadi musuh besarnya dan permusuhan itu tidak akan bisa berakhir, jikalau salah seorang belum ada yang mati. 353 Maka pada sebelum Wie Hui keburu memberi tanda supaya sang kawan itu jangan turut campur dalam pertempuran yang sedang berlangsung itu, mendadak Tay Hong telah berlompat maju sambil menghunus sebilah golok dan menerjang pada Lie Poan Thian dengan secara mati-matian. Oleh sebab itu, pemuda kita yang sedang bertempur dengan Wie Hui dan belum ketahuan bagaimana kesudahannya, sudah tentu saja jadi agak sibuk untuk menjaga diri dari serangan-serangan Tay Hong yang bersenjata dan nekat itu. Maka sambil meladeni Wie Hui di satu pihak, pemuda kitapun telah tidak mensia-siakan kesempatan untuk melindungi diri dengan ilmu pukulan Khong-siu-jip-pek-jim, yang memang khusus diciptakan oleh para ahli silat angkatan tua dalam perlawanan tangan kosong terhadap pihak musuh yang bersenjatakan golok atau barang tajam yang lainnya. Dalam pertempuran satu melawan dua yang agak ganjil itu, banyak macam ilmu pukulan telah diajukan buat merobohkan salah satu pihak, tetapi berkat ketangkasan dan kepandaian masing-masing, belumlah tampak pihak mana yang lebih unggul atau asor, walaupun pertempuran itu telah berlangsung beberapa puluh jurus lamanya. Pada satu saat ketika Poan Thian maju menerjang pada Wie Hui dengan menggunakan ilmu tendangan Soan-hong-tui yang sudah cukup terkenal tentang kelihayannya, Liu Tay Hong di lain pihak telah mengayunkan goloknya dari bagian atas ke arah bawah, hendak membelah kepalanya pemuda kita dengan menggunakan tipu Tok-pek-hoa-san. Tetapi Poan Thian yang bermata celi dan tidak mudah diselomoti oleh pihak musuhnya, buru-buru miringkan kepalanya sedikit untuk 354 meluputkan diri dari bacokan itu. Dengan cara-cara ini Poan Thian memang telah berhasil dapat meluputkan dirinya daripada bacokan tersebut, tetapi berbareng dengan itu, ia telah luput pula akan merobohkan pada Wie Hui dengan tendangannya. Hal itu, sudah barang tentu, telah membikin pemuda kita jadi amat jengkel dan sengit. Karena dengan bertambahnya Tay Hong dalam pertempuran segi tiga itu, bukan saja telah memperlambat pekerjaannya untuk mengakhiri pertempurannya dengan Wie Hui, tetapi juga tak dapat ia "mengukur" Dengan betul, sampai dimana kepandaiannya Wie Hui yang benar dalam pertempuran satu lawan satu. Maka untuk dapat melaksanakan dan menjajakkan ini semua, ia pikir paling betul robohkan dahulu Tay Hong yang menjadi cumi-cumi dalam pertempuran itu, kemudian baru melangsungkan jalannya pertempuran untuk menguji sampai dimana kepandaian Wie Hui yang namanya sangat disohorkan orang sebagai salah seorang ahli Pek-houw-kang yang termuda di masa itu. Tetapi, sebagaimana telah kita katakan di muka ini, ilmu kepandaian Tay Hong sekarang telah beroleh banyak kemajuan dan berbeda jauh semenjak ia pertama kali bertempur dengan Lie Poan Thian di rumahnya Tan Tong Goan, hingga untuk dapat lekas mengakhiri separuh dari pertempuran segi tiga ini, Poan Thian tak dapat berbuat lain daripada menggunakan pedangnya dalam menghadapi Tay Hong yang bersenjata dan gerakan-gerakannya amat gesit itu. Maka setelah ia berpikir beberapa saat lamanya, buru- buru ia berlompat untuk mengasih lewat kakinya Wie Hui yang ditendangkan ke arah ulu hatinya, sedang tangan kanannya lekas menghunus pedang yang lalu 355 dipergunakan untuk menahan serangan-serangan Liu Tay Hong, yang ketika itu telah menerjang maju sambil menusuk ke arah iganya dengan kecepatan bagaikan kilat yang menyamber ke muka bumi. Lie Poan Thian yang sekarang tidak boleh pandang terlalu ringan pula lawannya itu, dengan cepat telah putarkan pedangnya dan membacok ujung golok Tay Hong yang dijujukan ke arah tubuhnya itu. Dan berbareng dengan terdengarnya suara barang tajam yang beradu dan muncratnya beberapa banyak lelatu api, separuh dari golok yang tergenggam oleh Tay Hong itu telah terkupas dan terpental entah kemana perginya! Bacokan yang berhasil itu karena dibarengi juga dengan satu tendangan, telah membikin Tay Hong yang terperanjat karena goloknya terkupas, jadi semakin terkesiap hatinya, tatkala melihat menyambernya tendangan Poan Thian yang secepat kilat itu. Dan sebelum ia keburu mengegos untuk menghindarkan diri daripada tendangan itu, kakinya Poan Thian telah sampai dan bikin ia mengeluarkan satu suara jeritan ngeri sambil membuang diri ke samping jalan gunung yang penuh ditumbuhi dengan rumput-rumput. Dan ketika Tay Hong jatuh ke atas rumput-rumput itu, mendadak Poan Thian mendengar ia itu berseru. "Matilah aku sekali ini!" Hal mana, sudah barang tentu, telah membikin Poan Thian jadi heran dan tidak mengerti. Karena, pikirnya, cara bagaimana Tay Hong boleh berteriak begitu, sedangkan ia sama sekali tidak kena tertendang dan telah keburu membuang dirinya? "O Mi To Hud!" Begitulah Poan Thian telah mengucapkan, tatkala menyaksikan di antara tepi jalan yang ditumbuhi rumput-rumput itu mendadak tampak merekah sebuah lubang jebakan yang besar dan dalam, kemana Tay Hong telah jatuh terjerumus dan tak pernah 356 kembali ke dunia fana! Itulah sebabnya mengapa Tay Hong telah memperdengarkan teriakannya yang mengandung rasa ketakutan tadi, hingga Poan Thian jadi bergidik apabila mengetahui jelas duduknya perkara yang sangat menyeramkan ini! Maka dengan hilangnya seorang lawan ini, Poan Thian jadi dapat melanjutkan pertempurannya dengan Wie Hui dengan secara lebih leluasa dan mencurahkan sepenuhnya perhatiannya ke suatu jurusan saja. Begitulah tatkala pertempuran itu telah berlangsung pula setelah Poan Thian menyimpan kembali bsp; pedangnya, pemuda kita lalu "ngepiah" Dengan ilmu- ilmu tendangannya yang sangat lihay untuk merobohkan pada Wie Hui, yang ternyata amat licin dan mengerti, bahwa jikalau ia berlaku lambat sedikit saja dalam sesuatu gerakannya, siang-siang ia bisa dapat celaka atau terbinasa dalam tangan lawannya yang ternyata amat lihay itu. Dari itu, ia insyaf, bahwa ia kalah jauh dalam bagian yang musuhnya amat paham, hingga selanjutnya Wie Hui tidak memberi kesempatan untuk Poan Thian menyerang padanya terlalu dekat. Dan jikalau dia tak dapat menghalaukan serangan-serangan itu, buru- buru ia berlompat ke sana-sini, ke atas, ke bawah atau ke jalan-jalan gunung yang lebih tinggi dan sempit halamannya. Maka Poan Thian yang kuatir akan kena terjebak oleh pihak musuhnya, sudah tentu saja berlaku sangat hati, buat tidak sembarangan menginjak bagian- bagian jalan gunung atau tepi jalan yang tidak terinjak oleh Wie Hui. Pada satu saat dalam pertempuran di antara karangkarang yang licin dan curam di lereng pegunungan Jie357 sian-san itu, Poan Thian merasa agak kewalahan juga, karena kalah biasa dengan Wie Hui yang memang telah lama menjadi penghuni daerah pegunungan yang berada di bawah kekuasaannya itu. Dan itulah ada di bagian ini, yang Poan Thian telah menyaksikan kepandaiannya Wie Hui, yang gerakangerakannya lincah sekali dalam hal berlari naik-turun di lamping-lamping gunung yang licin bagaikan lakunya seekor cicak. Dengan punggung menempel pada batubatu karang atau dinding-dinding batu yang tinggi, Poan Thian melihat Wie Hui meloloskan diri dari tendangantendangannya dengan secara gesit dan tanpa dapat dituruti olehnya sendiri. Maka biarpun benar bahwa Wie Hui itu seorang musuhnya, tetapi tidak urung ia harus memuji juga, atas ilmu kepandaiannya yang amat bagus dan telah mencapai pada puncaknya yang tertinggi itu. Demikianlah ilmu Pek-houw-kang yang ia pernah dengar namanya, tetapi baru saja pada waktu itu dapat menyaksikan dilakukan orang, hingga selanjutnya belum pernah ia menjumpai seorang ahli Pek-houw-kang lain yang dapat mempergunakan ilmu tersebut dengan sama baik dan lincahnya daripada apa yang pernah diunjukkan oleh pihak lawan pada kali itu. Lebih jauh karena Wie Hui selalu menjauhkan diri dan tidak lagi mau bertempur seperti barusan, maka apa boleh buat Poan Thian lalu melakukan pengejaran padanya ke sana sini. Setelah bertempur dan meloloskan diri dari tendangan-tendangan yang dilakukan Lie Poan Thian tadi, kembali Wie Hui melompat kian-kemari selaku orang yang mengejek atau memang jeri melanjutkan pertempuran itu. Oleh sebab itu, Poan Thian yang akhirnya menjadi sangat jengkel, lalu sengaja membikin panas hati sang 358 lawan sambil mengatakan, bahwa dia bukan seorang hohan, (seorang laki-laki sejati), karena berkelahinya selalu dengan berlari-lari saja. Dan jikalau ia benar-benar sudah putus asa untuk mengalahkan padanya, paling baik ia menyerah saja, agar supaya ia masih mempunyai kesempatan untuk hidup di dunia, dengan jalan mengoreksi perbuatan- perbuatannya yang sesat itu. Tetapi sebaliknya, jikalau ia benar berani dan tidak sudi dicap sebagai seorang pengecut, perlu apakah ia mesti mempermainkan orang sampai begitu, sedangkan kedatangannya ke situ pun adalah karena menerima "undangannya" Yang katanya bersifat "ramah tamah" Itu? Wie Hui yang usianya masih muda dan berdarah panas, ternyata berhasil juga dibikin panas hatinya dan lalu berbalik menerjang pemuda kita sambil berseru. "Orang she Lie, janganlah engkau membuka mulut besar! Aku Wie Hui bersumpah tak akan mau hidup bersamasama kau, apabila belum dapat membinasakan kepadamu!" "Ayoh! Marilah kau boleh buktikan omonganmu itu!" Membalas Poan Thian sambil menggerakkan kaki tangannya bagaikan angin taufan yang hendak menggoncangkan gelombang di lautan. Dari itu Wie Hui yang merasa dirinya dihinakan, kali ini telah bertempur bagaikan seekor harimau yang haus darah. Ia tidak kenal takut atau memikirkan bahaya apaapa yang bakal menimpah atas dirinya sendiri. Sementara Lie Poan Thian yang telah menyaksikan pihak lawannya yang mendadak jadi nekat, dengan sikap yang tenang dan cepat lalu maju menghujani pukulanpukulan dan tendangan-tendangan dalam gerakangerakan paling cepat yang ia pernah unjuk dalam pertempuran seumur hidupnya. Maka jikalau yang satu 359 tidak ingin mengalah mentah-mentah, adalah yang lain pun tidak mandah saja akan dicap lawannya sebagai seorang pengecut. Mereka bertempur dengan sepenuhnya tenaga dan ilmu kepandaian yang pernah diyakinkan seumur hidup mereka. Beberapa banyak pukulan telah tiba di badannya Lie Poan Thian, seperti juga tendangan-tendangannya sendiri yang telah membikin Wie Hui jatuh bangun dan saban-saban menjerit karena kesakitan. Dalam pertempuran itu Wie Hui yang kepingin lekas menghabiskan jiwa lawannya, bukan saja tak pernah memikirkan tentang keadaan tempat-tempat yang begitu curam dan berbahaya di kiri kanannya, bahkan akibat tendangan-tendangan Poan Thian tadipun ia sama sekali tidak bayangkan bagaimana akan jadinya nanti. Tetapi lain sekali dengan pandangan Lie Poan Thian yang ternyata telah matang betul-betul dalam hal menggunakan siasat-siasat di waktu sangat perlu untuk dapat menjatuhkan seorang lawan, ia telah melakukan penyerangan-penyerangannya dengan cara yang tidak tergesa-gesa. Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maka setelah dengan berturut-turut ia mundur beberapa kali untuk menghindarkan diri dari seranganserangan Wie Hui yang senekat itu, dengan tiba-tiba Poan Thian telah merangsek sambil menghujani pula pukulan-pukulan dan tendangan- tendangan yang telah memaksa akan membikin Wie Hui berlompat, berkelit dan mengegos untuk menghindarkan diri. Dan tatkala ia berbalik menjadi pihak yang diserang, Wei Hui lalu sengaja mundur sehingga punggungnya menempel pada batu-batu karang yang licin dan tinggi itu. 360 Tetapi Poan Thian yang telah mengerti, bahwa dalam cara itu Wie Hui bisa menggunakan ilmu Pek-houw- kang buat meloloskan diri, buru-buru ia menggunakan siasat Thian-ong-tok-tha buat menyolok kedua biji mata Wie Hui sambil membentak "Murid pengkhianat, ternyatalah bahwa ilmu kepandaianmu belum cukup untuk dibanggabanggakan di hadapan orang banyak! Jangan lari!" "Kurang ajar!" Teriak Wie Hui yang karena perhatiannya dicurahkan pada pihak musuh yang sedang menghujani serangan-serangan kepadanya, maka ia tidak sadar, bahwa ia telah sengaja dibikin lebih panas hatinya untuk tidak kabur pada saat-saat yang terbaik akan Poan Thian segera dapat mengakhiri pertempuran itu. Maka sebegitu lekas Wie Hui memiringkan sedikit kepalanya untuk menyingkir daripada dua jari tangan Poan Thian yang dijujukan ke arah biji matanya, ia segera melompat ke samping jurang dengan kesebatan melombai seekor kera. "Lekaslah menyerah!" Sambil maju mendesak. membentak pemuda kita Dalam pada itu Lie Poan Thian yang telah menendang dengan sangat bernapsu, mendadak kakinya telah kena tersandung batu karang sehingga ia jatuh ngusruk dengan tak dapat dicegah pula. "Aih!" Ia berseru dengan rupa sangat kaget. Melihat ketika yang terbaik itu untuk turun tangan, dengan sebat Wie Hui lantas mengayunkan kakinya akan menendang. "Celaka!" Poan Thian yang terkenal bisa berlaku tenang dalam waktu-waktu yang kesusu, pada waktu itu 361 kelihatan terkesiap dan lekas menyampok kaki Wie Hui yang ditendangkan ke jurusan tubuhnya yang separuh terbaring di antara batu-batu karang. Tetapi pada sebelum Wie Hui sempat memikirkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya, Poan Thian telah keburu melompat bangun dan lalu balas menendang dengan ilmu Lian-hwan Sauw-tong-tui yang telah membikin Wie Hui jadi kelabakan dan amat sibuk akan menghindarkannya. Satu tendangan yang dijujukan ke ulu hatinya telah dapat disingkirkan olehnya dengan bagus sekali, tetapi tendangan lain yang menyambar dari bawah dan kelihatan agak mustahil akan dapat disingkirkan tanpa berlompat ke atas, telah membikin Wie Hui lupa, bahwa di belakangnya terletak jurang yang curam dengan di bawahnya terbentang batu-batu karang yang tajam dan tiada seorang pun yang jatuh ke situ akan bisa utuh baik pun badan maupun jiwanya. Maka di waktu berlompat ke atas dengan menggunakan tipu Hui-yan-cwan-thian, Poan Thian segera mengirim pula satu tendangan sambil menyapu kaki musuhnya yang tiba di tanah, hingga Wie Hui yang berlompat terlalu jauh dan kemudian diserang pula dengan tendangan yang serupa itu, sudah barang tentu jadi amat gugup dan dengan tidak terasa lagi telah "menyelonong" Ke tempat kosong dan terjerumus ke dalam jurang, sehingga badannya remuk di antara batubatu gunung yang tajam dan sangat mengerikan hati itu! Demikianlah akhirnya pertempuran itu, yang di setiap waktu ia beromong-omong dengan handai taulannya, Poan Thian kerap mengakui sebagai salah satu pertempurannya yang paling dahsyat yang pernah ia alami seumur hidupnya. Karena selain merasakan sangat 362 lelah sesudah mengalami pertempuran itu, iapun baru pertama kali ini mengalami dapat luka dari pukulanpukulan musuhnya, sehingga buat itu ia mesti berobat sehingga hampir sebulan lamanya dengan berturut-turut, barulah luka-luka itu sembuh kembali dan ia bisa bergerak pula dengan leluasa seperti sediakala. Dan tatkala Poan Thian mengetahui bahwa Wie Hui tidak akan bisa hidup kembali, barulah ia ingat pada Hwat Yan yang sedang bertempur dengan Hok Cit tadi. Buru-buru .ia menengok dan memandang ke sana-sini, tetapi sang Sutee itu tidak kelihatan bayangbayangannya. Lebih jauh karena teringat pula pada nasib Tay Hong yang telah terjerumus ke dalam perangkap yang dalam dan seolah-olah telah disediakan sebagai kuburannya, Poan Thian jadi sangat berkuatir dan buruburu mencari Hwat Yan dengan melalui jalan-jalan yang kiranya selamat dan tidak terdapat jebakan menurut petunjuk-petunjuk Sin-to-thay-swee Khu Siu Cun tadi. Karena jikalau mula-mula ia menganggap bahwa itulah hanya merupakan omongan-omongan untuk menakutnakuti saja kepadanya, adalah sekarang ia harus mengakui, bahwa itulah sesungguhnya bukan mustahil dan tidak bisa dipandang ringan dengan begitu saja. Tetapi betapa girangnya hati pemuda kita, tatkala ia membiluk ke suatu jalan gunung yang sedikit teraling oleh semak-semak yang agak tinggi, ia melihat Hwat Yan berjalan mendatangi dalam keadaan sehat wal'afiat, walaupun pakaiannya compang-camping karena terlanggar oleh senjata yang dipergunakan dalam pertempuran oleh musuh-musuhnya tadi. Kemudian Poan Thian lekas menghampiri dan menjabat tangan sang Sutee itu sambil menanyakan. 363 "Kemanakah perginya kawanan berandal yang telah mengepung padamu tadi?" "Mereka itu telah pada kabur ketika mengetahui Liu Tay Hong mati dan kau sendiri sedang menguber pada Wie Hui," Sahut calon paderi itu. "Tetapi bagaimana dengan halnya Wie Hui si terkutuk itu?" Poan Thian lalu menjawab. "Dia sekarang sudah tidak berbahaya. Dia mati terjerumus ke dalam jurang, tatkala ia bertempur denganku tadi." "Syukur," Kata Hwat Yan dengan perasaan puas. "karena dengan begitu, hilanglah suatu noda besar yang sangat mencemarkan nama baik kaum kita golongan Siauw-lim....." Begitulah dengan tidak menghiraukan pula apa yang selanjutnya akan terjadi di pegunungan Jie-sian-san itu, Poan Thian dan Hwat Yan lalu kembali ke tempat penignapannya di Leng-po, dari mana mereka segera kembali ke kelenteng Po-to-sie dan melaporkan usaha mereka yang telah berhasil itu, hingga In Cong Sian- su yang mendengar laporan tersebut, girang bukan main dan berterima kasih atas bantuan pemuda kita yang sangat berharga itu. Maka setelah sebulan lamanya Poan Thian berobat di kelenteng itu dari luka-luka yang telah dialaminya dalam pertempuran dengan Wie Hui, barulah ia bisa melanjutkan perjalanannya ke Tiong-ciu, untuk mencari kakaknya yang berniaga garam di sana, pada siapa ia bermaksud akan mengabarkan tentang pernikahannya dengan gadis keluarga Na itu. Tetapi karena kakak itu tidak dapat diketemukannya, maka apa boleh buat ia kembali kedesa Sam-li-tun rumah obat Tiang-seng-tong, dimana ia telah disambut 364 oleh An Chun San yang telah tahan ia berdiam di situ sehingga beberapa bulan lamanya. Y Dari desa itu Poan Thian kemudian menuju ke propinsi Ho-lam, dengan maksud akan menyambangi Cin Kong dan Bu Liu Sian yang membuka sebuah piauw-kiok di sana. Pada hari itu Poan Thian justeru telah sampai ke Tian- tien, sebuah kota kecil yang terpisah delapanpuluh lie jauhnya di sebelah barat kota Hang-ciu. Kota kecil ini walaupun hanya mempunyai lima atau enamribu penduduk saja banyaknya, tetapi keadaannya boleh dikatakan ramai juga. Karena selain di situ terdapat banyak bangunaan-bangunan yang besar, gedunggedung, toko-toko, rumah-rumah penginapan dan kedaikedai makanan, kota itupun terhitung "hidup" Oleh karena mempunyai jalan-jalan penting yang dapat menghubungkan beberapa propinsi yang tersebar di empat penjuru dengan sekaligus. Sedangkan pedagang-pedagang keliling, orangorang perjalanan dan pelindung-pelindung kereta piauw yang kerap mondar-mandir dari satu propinsi pada yang lainnya, biasa berkumpul di situ jika kebetulan kemalaman atau menantikan kawan-kawan mereka untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota lain yang letaknya terpisah agak jauh dari kota kecil yang tersebut. Demikianlah keadaan kota Tian-tien tersebut. Pada hari itu sebenarnya Poan Thian tidak bermaksud akan bermalam di Tian-tien, tetapi karena 365 kehujanan dalam perjalanan, maka terpaksa ia mencari juga rumah penginapan, agar supaya bisa melanjutkan perjalanannya ke Ho-lam pada keesokan harinya. Tatkala itu kota Tian-tien yang telah sekian lamanya mengalami "kekeringan", mendadak telah ditimpah hujan yang bukan main lebatnya, sehingga selain jalan-jalan raja tergenang air, orangpun sukar sekali berjalan dengan leluasa, sedangkan rumah-rumah yang penuh sesak dengan para tamu, membuat Poan Thian mengalami kesukaran mencari kamar. Maka setelah keluar-masuk di beberapa banyak rumah-rumah penginapan dengan selalu mendapat jawaban. "Sangat menyesal, tuan, kami di sini tidak ada kamar kosong," Akhirnya Poan Thian telah sampai ke rumah penginapan Cee Hok, yang ternyata ada rumah penginapan satu-satunya dimana orang masih bisa dapat kamar kosong, yang jumlahnyapun hanya tinggal satusatunya pula. "Kamar ini sebenarnya telah dipesan oleh serombongan pelindung kereta piauw yang mestinya datang ke sini pada hari ini," Menerangkan pemilik rumah penginapan itu. "tetapi berhubung mereka tidak datang, maka boleh juga tuan pakai kamar itu, walaupun itu sebenarnya terlalu besar untuk ditinggali oleh hanya seorang saja." "Soal besar kecilnya kamar," Kata pemuda kita. "itulah sama sekali aku tidak pikiri. Pendeknya, asal ada saja sudah merasa puas. Begitupun tentang uang sewaannya, engkau boleh perhitungkan menurut apa yang dirasa pantas." "Ya, ya, baiklah," Kata pemilik rumah penginapan itu. 366 "Tetapi cara bagaimanakah mesti diaturnya apabila mereka mendadak datang dan hendak pakai kamar itu?" "Sudah tentu saja akan kumengalah dan serahkan itu pada mereka, yang memang berhak untuk mendiami kamar itu," Sahut Lie Poan Thian. Si pemilik rumah penginapan itupun menyatakan mufakat, hingga dengan begitu, Poan Thian boleh merasa bersyukur, akan tidak kebasahan atau kedinginan selama hujan turun ke muka bumi bagaikan dituang-tuang hebatnya. Akan tetapi, apa mau, selagi baru saja ia tidur layaplayap, mendadak Poan Thian mendengar pintu kamarnya diketok orang. "Siapa?" Ia bertanya dengan gugup. "Aku, pemilik rumah penginapan ini," Sahut satu suara yang ia kenali sebagai suara pemilik tersebut. Buru-buru ia turun dari ranjang dan membuka pintu. Si pemilik rumah penginapan yang telah datang dengan diikuti oleh tiga orang piauw-su yang berbadan tegap dan salah seorang antaranya bertubuh tinggi besar, dengan paras muka yang berseri-seri lalu maju memberi hormat pada Lie Poan Thian sambil berkata. Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo