Ceritasilat Novel Online

Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 7


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 7


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya dari Hong San Khek   Oleh karena Tang Ngo sedang sibuk menjaga serangan dari atas, maka tak keburu ia mengelakkan serangan Poan Thian dari sebelah bawah.   Hampir dalam saat itu, segera terdengar suara-suara dan jeritan yang mengerikan.   Duk! Aduh! Gedebuk! Ternyata dada Tang Ngo telah kena ditendang dengan telak sekali oleh Lie Poan Thian, hingga tidak ampun lagi, orang she Tang itu jadi terpental ke belakang dan jatuh terlentang di tanah bagaikan seekor ajam yang kelabakan karena disembelih dan hampir putus nyawanya.   Oleh karena dada itu adalah tempat berkumpulnya paru-paru dan hati, yang merupakan bagian yang sangat penting dalam tubuh manusia, maka orang yang anggota badannya kena dilukakan di bagian itu, banyakan menjadi celaka daripada selamat.   202 Maka setelah berkali-kali memuntahkan darah segar, Tang Ngo terus jatuh roboh dengan tidak sadar lagi akan dirinya.   Sementara kawan-kawannya yang turut datang bersama-sama ke tempat itu, ketika melihat gelagat tidak baik, sudah lantas memanjangkan langkahnya buat melarikan diri, dengan meninggalkan kawan-kawan mereka yang menderita luka-luka berat itu.   Lie Poan Thian mengetahui, bahwa tempat itu tidak baik buat didiami terlebih lama pula.   Syukur juga luka-lukanya Cin Kong Houw pun telah mulai menjadi baikan, maka tidak berayal pula ia segera pergi ke istal buat menuntun keluar dua ekor kuda.   Sesudah membereskan barang-barang mereka serta membayar rekening hotel, kedua orang itu terus cemplak kuda masing-masing yang lalu dilarikan dengan pesat meninggalkan tempat itu.   Sesudah mereka melarikan diri sekira tigapuluh lie lebih jauhnya, barulah mereka berani berjalan lebih perlahan.   Selanjutnya, untuk menghindarkan diri daripada kerewelan-kerewelan yang mungkin bakal terjadi, jikalau nanti Bu Goan Kwie mengirimkan pasukan berkuda buat mengejar mereka, maka Poan Thian dan Kong Houw terus mengambil jalan kecil yang sunyi dan di kedua tepinya banyak ditumbuhi semak-semak dan pohonpohon yang lebat.   Sesudah berjalan beberapa lie jauhnya, mereka sudah hampir tak menemui pula perkampungan, sedangkan orang yang lalu-lintas di jalan itupun tidak dijumpai mereka barang seorang pun.   203 Kemudian karena keadaan jalanan itu semakin lama semakin menanjak dan berkelok-kelok, maka Poan Thian jadi takut menyasar dan segera menanyakan kepada Cin Kong Houw, apakah mereka tidak mengambil jalan yang keliru? "Jangan kuatir,"   Kata orang she Cin itu.   "jalan-jalan kecil di sekitar daerah ini, aku ketahui semua dengan baik sekali. Di sini kita sedang mendaki bukit Jie-liongnia, sesudah melewati bukit ini, kita akan ketemukan pula sebuah bukit lain yang dinamakan Hek-gu-nia, dan selanjutnya adalah bukit Tay-hun-nia. Sesudah kita berjalan pula kira-kira delapanpuluh lima lie jauhnya, kita akan tiba di residensi Heng-ciu, kemudian mulai masuk ke daerah Kang-souw utara."   Mendengar keterangan begitu, sudah tentu saja Poan Thian jadi merasa agak kecewa, karena tempat tujuannya yang sebenarnya adalah Tiong-ciu, hingga sekarang ia jadi berbalik menjauhkan diri dari tempat yang ditujunya itu.   Lalu ia memberitahukan maksud hatinya kepada orang she Cin itu.   "Letak Tiong-ciu dan Khay-hong tidak berjauhan,"   Menerangkan Kong Houw.   "dan kedua-duanya daerah itu berada dalam kekuasaan Bu Goan Kwie. Apabila Lauwhia belum pernah campur tangan dalam urusanku, sudah tentu saja engkau boleh pergi ke tempat-tempat itu dengan sekehendak hatimu. Tetapi sekarang karena Lauw-hia sudah pernah menerbitkan keonaran di daerah kekuasaannya, maka aku percaya, apabila orang she Bu itu mengetahui kedatangan Lauw-hia ke sana, tentulah dia akan berdaya-upaya buat mencelakakan kepada dirimu. Apabila dia berani mengganggu Lauw-hia dengan secara berterang, Lauw-hia tentu masih bisa 204 menghindarkan diri, tetapi apabila dia mempergunakan tipu-muslihat busuk dengan secara menggelap, sudah tentu sukar sekali buat Lauw-hia bisa menjaganya. Maka daripada mengantarkan diri ke tempat yang berbahaya itu, kukira lebih baik Lauw-hia turut aku bersama-sama pergi ke Kang-lam, untuk pesiar dan menghilangkan sedikit rasa jengkel kita dengan jalan memandang keindahan alam di sana yang terkenal permai."   Pemuda kita jadi merasa tertarik juga dengan omongan Cin Kong Houw itu, yang kemudian menceritakan berbagai macam keindahan alam di daerah Kang-lam, sehingga dengan begitu ia menurut juga buat bersama-sama pergi ke sana.   Begitulah setelah berjalan beberapa akhirnya tibalah mereka di kota Kim-leng.   lamanya, Sesudah puas pesiar di ibu-kota kuno itu, mereka terus berangkat lagi keselatan dan menuju ke kota Hangciu, yang termasyhur sebagai salah sebuah "Sorga dalam Dunia"   Disamping kota Souw-ciu yang menjadi timpalannya.   Kota Hang-ciu ini adalah ibu propinsi Ciat-kang, yang mempunyai pemandangan alam sangat indah dan termasyhur di dalam dunia, terutama telaga See-ouw nya, yang tak asing lagi dan sering disebut-sebut dalam sajak-sajak para penyair kenamaan di jaman dahulu dan sekarang.   Cin Kong Houw ini ternyata sudah paham sekali dengan keadaan tempat-tempat di situ, maka dengan tiada menanyakan pula kepada orang lain, ia sudah bisa mengajak Lie Poan Thian mengunjungi ke perbagai tempat yang indah-indah pemandangan alamnya, serta tempat-tempat termasyhur peninggalan dari jaman kuno 205 yang sering dikunjungi dan dipuji orang sedunia.   Setelah puas berputar kayun di sekeliling tempattempat itu, akhirnya mereka merasa haus dan lapar, hingga mereka lalu mampir ke sebuah kedai arak yang terletak di pantai telaga See-ouw, dari mana sambil duduk-duduk dan berminum arak orang dapat menikmati pemandangan alam yang terbentang di sekitar tempat itu.   Begitulah sesudah memilih tempat duduk yang terletak di dekat mulut jendela, mereka lalu panggil seorang pelayan dan memesan arak dan makanan yang menjadi kegemaran masing-masing.   Dalam pada itu, di lain meja di dekat mereka, terdapat pula dua orang tamu lain yang sedang duduk bercakap-cakap sambil makan minum dengan asyik sekali.   Salah seorang di antaranya mengenakan baju biru, sedangkan yang lainnya berbaju panjang yang berwarna kuning.   Rupanya mereka inipun ada orang-orang pelancong yang telah sengaja pesiar ke telaga yang termasyhur permai itu.   Dalam omong-omong yang dilakukan oleh kedua orang itu, Poan Thian dan Kong Houw mendengar orang yang berjubah panjang itu berkata demikian.   "Di antara pemandangan-pemandangan alam yang termasyhur di sekitar tempat ini, kelenteng kuno Leng-coan-sie di pegunungan Houw-kiu-san pun kiranya baik juga buat dikunjungi. Karena selain pemandangannya tak bisa dicela, juga ketua kelenteng itu yang bernama Siang Goan Taysu bukan lain daripada salah seorang kenalanku yang baik sekali." 206 Tetapi orang yang berbaju biru lalu memotong pembicaraan orang itu sambil berkata.   "Kukira paling betul kita jangan pergi ke sana. Karena selain terkabar Taysu sudah lama meninggal dunia, di sanapun kini terbit suatu peristiwa aneh yang telah membikin orang-orang yang pesiar ke tempat itu segan mengunjungi kelenteng tersebut. Dari itu, disamping mengalami seranganserangan dengan sambitan batu atau genteng dari dalam kelenteng itu, mungkin juga rumah berhala itu sekarang telah menjadi sarang tikus atau ular."   Kemudian ia menunda sebentar pembicaraannya, karena mengirup arak yang disajikan di hadapannya.   "Tempo hari,"   Ia melanjutkan.   "ada beberapa orang yang iseng-iseng mengunjungi kelenteng itu. Tetapi sungguh tidak dinyana, selagi mereka asyik memandang keindahan alam di sekitar situ, tiba-tiba mereka telah diserang entah oleh siapa yang telah menggunakan batu-batu dan pecahan-pecahan genteng yang dibuat menyambiti orang, hingga dua orang di antara mereka telah menderita luka-luka yang agak berat juga. Oleh karena itu, semenjak hari itu dan selanjutnya, tidak pernah lagi ada orang yang berani datang mengunjungi pula kelenteng tersebut. Itulah sebabnya mengapa aku tidak suka pujikan kau akan mengunjungi kelenteng Leng-coan-sie itu."   Hal mana, sudah tentu saja, telah membikin si baju kuning jadi heran dan lantas bertanya.   "Sebenarnya ada perkara aneh apa sih yang terjadi di dalam kelenteng itu?"   "Menurut cerita orang-orang yang mengetahui,"   Demikianlah si baju biru memulai bercerita pula.   "kabarnya di dalam kelenteng itu orang sering menjumpai setan yang selalu muncul di waktu tiap-tiap tengah 207 malam. Setan itu sekujur badannya berwarna putih, bisa berlompat-lompat dengan cepat sekali dan sering dijumpai orang menangis tersedu-sedu sambil menghadapi rembulan, hingga kejadian ini sangat menyeramkan orang dan membuat orang takut akan mengunjungi kelenteng Leng-coan-sie tersebut. Pada suatu hari, pernah ada seorang yang bernama Siauw Cu Ceng, seorang terpelajar yang gemar pesiar dan tidak percaya segala urusan takhayul yang bersangkut-paut dengan setan-setan atau malaikatmalaikat, yang di waktu terang bulan telah berjalan-jalan ke pegunungan Houw-kiu-san buat memandang rembulan dari atas bukit. Petang hari itu sinar rembulan yang sangat terang dan menyoroti muka dunia kita ini, boleh dikatakan hampir mirip dengan keadaan di waktu siang hari. Keadaan di sekitarnya sunyi-senyap, sehingga siliran angin yang paling halus sekalipun dapat didengar suaranya dengan tegas melalui daun-daun pohon yang bersuara keresekkan. Tatkala orang she Siauw itu sedang enak berjalanjalan, ia hampir tidak merasa lagi telah sampai di muka kelenteng Leng-coan-sie yang terkenal angker itu. Tetapi ini semua tidak membikin ia jadi keder atau takut. Selanjutnya karena merasa keisengan, maka ia lantas mendekati kelenteng itu sambil melihat-lihat ke bagian dalamnya dari pintu depan yang ternyata tidak terkunci. Selagi berbuat demikian, betul saja ia telah menyaksikan di dekat ruangan besar kelenteng itu tampak berdiri satu makhluk gaib sebesar manusia, berpakaian serba putih dan justru sedang menengadah ke langit sambil memandang bulan purnama yang gilanggemilang. Kemudian ia menghela napas dengan 208 berulang-ulang, seolah-olah ada sesuatu yang menjadi "ganjelan"   Di dalam hatinya.   Sementara Siauw Cu Ceng yang tinggal mengawasi dari kejauhan, mendapat kenyataan bahwa makhluk itu berambut panjang yang terurai di atas kedua bahunya, mukanya putih dan sepasang matanya mengeluarkan sinar yang menakuti orang.   Begitulah ketika Cu Ceng sedang terliput oleh rasa heran yang sekarang tercampur aduk dengan rasa takut, tiba-tiba makhluk gaib itu telah mendusin, jikalau segala perbuatannya telah diketahui orang, oleh sebab itu, dengan kaget ia jadi menoleh kepada Cu Ceng, yang dengan mendadak merasakan bulu romanya jadi pada berdiri! Tetapi syukur juga makhluk itu tidak mengunjukkan aksi apa-apa yang bisa membahayakan bagi diri Cu Ceng.   Hanya setelah menendangkan kakinya ke tanah dengan sama sekali tak mengeluarkan suara apa-apa, makhluk itu lalu melayang ke atas wuwungan kelenteng dan terus menghilang entah kemana perginya.   Cu Ceng jadi kemekmek sehingga buat beberapa saat lamanya ia berdiri tegak bagaikan sebuah patung.   Tetapi sebegitu lekas perasaan kagetnya telah menjadi kurangan, akhirnya timbullah rasa kepingin tahu di dalam hatinya kemana selanjutnya makhluk gaib itu telah berlalu.   Jikalau Cu Ceng segera berlalu dari tempat itu, ada kemungkinan dia tak akan mengalami kecelakaan atau kejadian-kejadian tidak enak bagi dirinya sendiri.   Tetapi justru karena ini, maka selanjutnya banyak orang yang jerih akan mengunjungi pula kelenteng kuno itu.   Diceritakan tatkala Cu Ceng melihat makhluk itu melayang ke atas wuwungan kelenteng, buru-buru iapun 209 masuk ke dalam buat coba memperhatikan kemana dia itu pergi.   Tidak kira selagi bercelingukan kian kemari, mendadak ia telah dihujani sambitan batu dan pecahan genteng yang telah memaksa ia melarikan diri dari dalam kelenteng tersebut dengan mendapat luka-luka di badan dan dengan kepala separuh bonyok! Cu Ceng lari terbirit-birit dengan tidak memperdulikan lagi pada pakaiannya, yang dalam tempo sekejapan saja telah menjadi compang-camping karena tersangkut pohon-pohon berduri yang banyak terdapat di antara jalanan gunung yang sunyi senyap itu.   Setibanya di rumahnya sendiri, ia telah jatuh pingsan karena, letih berlari-lari tidak henti-hentinya.   Demikianlah, pada hari esoknya, mulailah Cu Ceng menuturkan pengalamannya yang seram itu kepada teman-teman dan handai-taulannya.   Maka setelah kabar itu bersambung-sambung dari satu ke lain mulut, orang lantas berpendapat bahwa kelenteng yang telah lama tidak diurus itu, tidak baik akan dikunjungi orang.   Bukan saja di waktu malam hari, bahkan di waktu siang hari juga, selanjutnya tak ada pula orang yang sudi datang ke situ.   Sekarang ditambah pula dengan munculnya makhluk gaib yang bersarang di situ, maka ada siapakah pula yang begitu edan buat berurusan dengan segala setan pejajaran itu?"   Si baju kuning yang mendengar penuturan itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sebentarsebentar minum arak yang dituangkan oleh kawannya itu.   "Ceritaku ini belum habis sampai di situ saja,"   Kata si baju biru setelah membasahkan pula tenggorokkannya dengan arak. 210 Sambil bermakan minum dengan perlahan, Poan Thian dan Kong Houw memperhatikan ceritanya si baju biru itu.   "Cerita tentang adanya setan atau makhluk gaib di kelenteng Leng-coan-sie ini memang telah tersiar ke sana-sini dan diketahui oleh setiap penduduk kota Hangciu,"   Si baju biru memulai pula ceritanya.   "Tatkala itu di Hang-ciu kebetulan ada serombongan piauw-su yang baru saja datang habis menghantarkan uang kiriman dari Gie Hin Piauw-kiok di Kwi-say. Salah seorang di antaranya yang menjadi pemimpin dan bernama Chio Hoat Coan, adalah seorang ahli silat jempolan yang sangat terkenal tentang keberaniannya. Ketika Chio Piauw-su mendengar kabar yang agak menggemparkan ini, ia jadi penasaran dan menyatakan tidak percaya dengan kabar yang bukan-bukan itu. Apalagi ketika mengunjungi kelenteng itu dan tidak dapat ketemukan apa-apa, ia jadi mendongkol dan lalu pergi menegur pada Siauw Cu Ceng, yang dikatakannya telah menyiarkan kabar justa untuk membikin para penduduk kota Hang-ciu jadi gelisah. Tetapi sudah tentu saja Cu Ceng pun tidak mau terima begitu saja tuduhan itu, hingga selain ia telah menetapkan itu dengan suara persumpahan, iapun menyatakan kesediaannya buat menghantarkan si piauw-su itu buat pergi mengunjungi kelenteng itu di waktu malam hari. Hoat Coan terima baik tawaran itu. Begitulah dengan hanya berduaan saja dan secara diam-diam, Cu Ceng dan si piauw-su itu lalu mengunjungi kelenteng tersebut.   "Dimanakah biasanya setan itu terlihat?"   Bertanya 211 Hoat Coan dengan perasaan tidak percaya.   "Di sana, di ruangan besar,"   Sahut Cu Ceng sambil menunjuk ke dalam kelenteng itu.   "Kalau begitu,"   Kata si piauw-su itu pula.   "biarlah aku nanti pergi sendiri buat coba buktikan omonganmu itu."   Cu Ceng menjawab.   "Baik,"   Kemudian ia menantikan di luar untuk menyaksikan hal apa yang akan terjadi selanjutnya.   Diceritakan ketika Hoat Coan masuk ke dalam kelenteng yang gelap itu, ternyata buat beberapa saat lamanya ia tidak melihat ada apa-apa yang menandakan bahwa di situ benar-benar pernah ada setan yang bersarang.   Tetapi buat memastikan betul atau tidaknya kata orang di luaran, ia tidak lekas berlalu pada sebelum mendapat lihat apa-apa yang dirasanya baik untuk dijadikan bahan laporan dari penyelidikannya nanti.   Tidak kira selagi ia menoleh ke sana-sini di dalam kegelapan yang membungkus keadaan di sekitarnya kelenteng itu, mendadak ia berpapasan dengan benda putih yang ia tidak lihat dari mana datangnya! Hoat Coan biarpun hatinya terkenal tabah, tidak urung pada waktu itu telah jadi gentar juga dan lalu berlompat mundur tanpa ia merasa lagi.   Itulah ternyata suatu makhluk gaib yang telah dikatakan oleh Cu Ceng tadi! Maka setelah menetapkan hatinya, Hoat bertindak maju buat mencekal makhluk gaib makhluk tersebut lalu tendangkan kakinya ke dan terus menghilang di antara wuwungan yang bersusun bagaikan mercu.   Coan lalu itu, tetapi atas jubin kelenteng Hoat Coan jadi semakin penasaran dan lalu susul 212 makhluk itu dengan jalan mengikuti melayang ke atas wuwungan tersebut.   Tetapi, tidak kira, pada sebelum bisa menginjak wuwungan itu, mendadak ia telah dihujani batu dan pecahan genteng yang telah membikin ia terpaksa lompat turun pula ke ruangan besar, dengan badan mendapat luka-luka dan kepala setengah bonjok seperti apa yang pernah dialami oleh Cu Ceng pada beberapa waktu yang lampau itu.   Tetapi Hoat Coan ini ternyata berkepala lebih keras dan berlaku lebih nekat buat melakukan penyelidikan lebih jauh.   "Jikalau aku belum ketahui apakah kau sesungguhnya setan atau manusia yang menyamar jadi setan,"   Kata si piauw-su itu.   "belumlah puas aku melakukan penyelidikan ini!"   Begitulah buat kedua kalinya ia telah mencoba buat naik ke atas wuwungan kelenteng itu, tetapi "sambutan"   Pada kali inipun ternyata tidak kalah "hangatnya"   Daripada apa yang telah dialaminya tadi.   Karena selain batu-batu yang dipergunakannya untuk menyambit jauh lebih besar daripada tadi, bahkan genteng-genteng yang melayangpun bukan lagi dalam rupa pecahan yang kecilkecil saja, hanyalah genteng-genteng utuh, yang sebuah antaranya telah mengenai dengan tepat sekali pada belakang kepala Chio Hoat Coan, hingga ini telah membikin mata Hoat Coan berkunang-kunang, kemudian tak ampun lagi jatuh roboh dalam keadaan pingsan.   Tatkala akhirnya ia tersadar, ia dapatkan dirinya telah berada di luar kelenteng di atas dukungannya Siauw Cu Ceng Oleh sebab itu, ia sekarang baru mau percaya, bahwa apa yang telah dikatakan orang she Siauw itu, 213 sesungguhnyalah berbukti dan bukan omong kosong belaka! Maka dengan terjadinya peristiwa yang tersebut paling akhir itu, boleh dikatakan sudah tidak ada barang satu manusia lagi yang sudi mengunjungi kelenteng kuno itu."   Demikianlah si baju biru penuturannya yang luar biasa itu.   telah mengakhiri Lebih jauh oleh karena si baju kuning pun mengetahui, bahwa Siauw Cu Ceng dan Chio Hoat Coan itu adalah orang-orang yang namanya cukup terkenal di kota Hang-ciu, maka ia kelihatan mau percaya juga penuturan sahabatnya itu.   Dari itu, ia terpaksa membatalkan maksudnya buat mengunjungi kelenteng tua Leng-coan-sie yang terletak di pegunungan Houwkiu-san itu.   Kemudian sesudah mereka puas bermakan minum dan membayar harganya makanan dan minuman, kedua orang itu lalu meninggalkan kedai arak itu, untuk melanjutkan perjalanan mereka akan pesiar di sekitar telaga yang terkenal itu.   Sementara Poan Thian yang memasang telinga mendengari penuturan si baju biru tadi, lalu menoleh pada Cin Kong Houw dengan roman yang menandakan tidak percaya dengan segala obrolan yang dianggapnya kosong itu.   "Apakah engkau percaya apa kata orang itu tadi?"   Ia bertanya pada Kong Houw.   "Ya, itu memang mungkin juga bisa dipercaya", sahut Cin Kong Houw.   "Karena dalam dunia yang seluas jni tentunya segala macam keanehan pun memang bisa 214 kejadian di luar dugaan kita. Coba saja kau pikir tentang lelakon setan yang sering mengganggu manusia itu. Jikalau perkara itu memangnya tidak ada, cara bagaimanakah orang bisa menceritakan tentang segala keanehan-keanehan yang bersangkut-paut dengan urusan setan-setan itu?"   Poan Thian tersenyum dengan hati yang tetap tidak percaya dengan penuturan si baju biru tadi.   "Aku kira iblis di Leng-coan-sie itu bukanlah iblis sungguhan,"   Katanya.   "tetapi bukan lain daripada manusia yang menyamar sebagai iblis, buat membikin orang takut akan mengunjungi tempat itu."   "Ya, ya, pendapatmu itupun memang bisa jadi juga masuk akal,"   Sahut Kong Houw yang kelihatan lebih mementingkan untuk mengisi perut daripada campur tahu dalam urusan yang agak takhayul itu.   Begitulah ketika matahari telah menyelam ke barat, barulah mereka kembali ke rumah penginapan.   Malam hari itu karena turun hujan gerimis dan hawa udara agak dingin, maka sore-sore Kong Houw sudah tidur menggeros bagaikan seekor kerbau yang disembelih.   Kecuali Poan Thian sendiri yang karena tak sudahsudahnya memikirkan lelakon setan itu, maka sudah barang tentu tinggal gulak-gulik di atas pembaringan tak dapat lekas tidur pules.   Dalam pada itu pemuda kita kembali membayangkan lelakon kera tetiron yang lampau itu, kemudian ia coba bandingkan lelakon itu dengan setan di kelenteng Lengcoan-sie yang sekarang sedang dihadapinya itu.   "Tentang maksud tujuan si kera tetiron itu, memang 215 sudah terang ditujukan untuk maksud jahat,"   Pikirnya.   "Tetapi apakah maksudnya iblis dari kelenteng kuno itu, yang sampai sebegitu jauh belum pernah mencelakai jiwa manusia dan tampaknya agak kuatir akan "sarangnya"   Di sana dikunjungi manusia? Apakah barangkali di kelenteng itu ada tersembunyi sesuatu rahasia yang diorganisir oleh sekelompok manusiamanusia yang tidak bertanggung jawab terhadap pada kesusilaan atau ketertiban umum?"   Poan Thian yang semakin memikirkan hal itu, jadi semakin penasaran dan kepingin tahu rahasia apa yang terletak dibalik tabir lelakon iblis di kelenteng kuno itu.   Oleh karena ini, maka akhir-akhirnya ia telah mengambil keputusan, buat di malam hari itu juga mengunjungi kelenteng tersebut, agar supaya dengan begitu, ia bisa membuktikan dengan mata kepalanya sendiri, sampai dimana kebenaran omongan orang di luaran itu.   Begitulah setelah selesai menukar pakaian untuk berjalan di waktu malam dan membawa genggaman yang dirasa perlu, Poan Thian lalu menolak daun jendela dan berlompat kelataran rumah penginapan bagaikan lakunya seekor kucing.   Kemudian dengan jalan melalui tembok pekarangan rumah penginapan itu ia keluar ke jalan raya.   2.14.   Puteri Kepala Polisi Sejati Dari situ, syukur juga karena keadaan masih sore dan banyak orang yang masih berkeliaran di jalan raya, maka Poan Thian dapat menanyakan dengan cukup jelas, dimana letaknya kelenteng Leng-coan-sie yang hendak ditujunya itu.   Hal mana, sudah barang tentu, telah membikin orang 216 banyak jadi heran dan coba menasehatkan, agar supaya pemuda kita jangan pergi mengunjungi tempat yang berbahaya itu.   Tetapi Poan Thian yang mendengar begitu, tinggal mengganda mesem dan berbicara dengan secara memain, bahwa ia akan pergi menangkap iblis yang telah sekian lamanya menerbitkan ribut-ribut di antara kalangan khalayak ramai di kota itu.   Kemudian ia menuju ke gunung Houw-kiu-san itu dengan tindakan cepat.   Dan tatkala berjalan kira-kira satu jam lamanya, maka tibalah ia di muka kelenteng yang dituju itu, yang selain keadaannya sangat busuk karena sudah lama tidak dirawat, juga di sana-sini amat gelap dan seram sekali kelihatannya dalam pandangan mata.   Maka buat menghindarkan sesuatu kemungkinan yang tidak diinginkan, Poan Thian lalu mendekati kelenteng itu dengan golok terhunus di tangannya.   Mula-mula ia menuju ke ruangan besar dari pintu depan, tetapi ternyata makhluk berpakaian putih yang dikatakan Cu Ceng dan Chio Piauw-su itu tidak tampak bayang-bayangannya, hingga ini telah mulai membikin ia percaya, bahwa kabar-kabar yang menggemparkan itu adalah isapan jempol belaka.   Lalu ia berjalan mondar-mandir di ruangan pertengahan kelenteng yang kosong melompong itu.   Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tidak ada kursi meja atau perabotan apapun juga.   Tengah ia memandang ke sana-sini hendak melanjutkan penyelidikannya, mendadak dari sebelah belakang terasa bersiurnya angin aneh yang telah membikin Poan Thian buru-buru tundukkan kepalanya.   217 Dan berbareng dengan itu, ia mendengar suara barang pecah di sebelah atasan kepalanya, suatu tanda bahwa sebuah genteng yang disambitkan orang ke jurusannya telah luput dari sasarannya dan membentur dinding tembok di hadapannya.   "Kurang ajar!"   Pikirnya, sambil hendak berjalan terus.   Tetapi sebuah genteng lain telah menyamber pula ke jurusannya.   Buru-buru Poan Thian berkelit dengan jalan bersembunyi di belakang sebuah tiang batu yang terdekat, hingga sambitan itupun kembali telah mengenai tempat kosong.   Selanjutnya, oleh sebab sambitan-sambitan itu masih saja dilakukannya dengan gencar sekali, maka pemuda kita terpaksa melanjutkan penyelidikannya dengan jalan merayap di bawah kaki tembok.   Karena jikalau sedikit saja ia berlaku lalai, ia bisa mengalami kejadian-kejadian tidak enak seperti apa yang pernah dialami oleh Siauw Cu Ceng dan Chio Hoat Coan pada beberapa waktu yang lampau itu.   Lama-lama dengan mengandal pada sinar rembulan yang agak guram dan mulai mengintip ke dalam rumah berhala itu dengan melalui cim-che, Poan Thian melihat ada suatu benda putih yang berkelebat dan bersembunyi di belakang sebuah tiang batu lain yang terpisah kira seratus beberapa puluh tindak lebih jauhnya dari tempat mana ia berdiri.   Maka Lie Poan Thian yang sekarang telah ketemui iblis yang sedang dicari itu, tentu saja lantas mengejar dengan golok terhunus di tangannya.   "Soal ini tentulah tidak banyak bedanya dengan lelakon kera putih tetiron yang pernah kualami duluan itu,"   Pikir pemuda kita di dalam hatinya.   218 Tetapi ketika baru saja ia berjalan beberapa puluh tindak jauhnya, mendadak di sebelah depan tertampak sebuah sinar berkilau-kilauan yang menyambar ke jurusannya.   Poan Thian jadi terperanjat.   Oleh karena merasa bahwa dia tak mendapat jalan untuk menghindarkan diri, apa boleh buat ia lantas angkat goloknya dan menyampok benda yang berkilaukilauan itu, yang telah terlempar ke arah cim-che dengan mengeluarkan suara berkontrangan.   Karena sinar itupun ketika kemudian diperhatikannya, bukan lain daripada sebatang tombak pendek yang berujung sangat runcing dan tajam, hingga ini dapat mengeluarkan sinar yang berkilau-kilauan apabila dilontarkan di tempat gelap yang disinari oleh penerangan bintang-bintang atau rembulan yang tergantung di angkasa! "Kurang ajar!"   Mengejar terus. membentak pemuda itu sambil Sekarang Poan Thian telah ketahui cukup jelas, bahwa apa yang dinamakan "iblis dari Leng-coan-sie"   Itu, ternyata bukan lain daripada samaran manusia belaka.   Karena sebegitu jauh yang pernah ia dengar dari ceritacerita yang pernah dituturkan oleh orang-orang tua, adalah bahwa iblis-iblis atau setan-setan itu tidak pernah, bahkan tidak mampu, mempergunakan barang-barang tajam atau tombak untuk mencelakai manusia.   Karena itu, Poan Thian jadi berani menetapkan dugaannya, bahwa "iblis-iblis itu adalah samaran manusia belaka, hingga dengan tidak ragu-ragu pula ia lantas membentak.   "Hei, sahabat! Janganlah engkau salah sangka atas kedatanganku ini! Aku tidak bermaksud jahat, juga tidak mau banyak "usil"   Dalam 219 urusan orang lain.   Dan jikalau sekarang aku datang juga ke sini, itulah karena aku hendak mencari tempat perlindungan untuk sementara melewati malam dan hawa dingin serta hujan gerimis yang baru saja berhenti itu.   Nanti pada hari esoknya pagi-pagi sekali aku sudah mesti berlalu lagi dari sini.   Harap supaya engkau jangan mencurigai apa-apa terhadap pada diriku!"   Tetapi belum lagi bentakan itu selesai diucapkan, ketika dengan secara mendadak benda putih itu telah keluar dari tempat sembunyinya dan terus menerjang kepada Lie Poan Thian dengan golok yang terhunus di tangannya.   Melihat dirinya diserang dengan secara tiba-tiba dan tidak diketahui sebab musababnya, sudah barang tentu Poan Thian tidak membiarkan dirinya hendak dilukai orang dengan begitu saja.   Sambil mengayunkan goloknya untuk dipakai menangkis bacokan yang menyamber ke arah dirinya itu, Poan Thian coba mengamat-amati macamnya iblis itu, yang akhirnya ia baru ketahui dengan jelas dan cocok dengan dugaannya, ialah seorang manusia yang menyamar sebagai iblis.   Tetapi apa yang tak pernah diimpikannya sama sekali, adalah bahwa orang itu bukan orang laki-laki seperti kera tetiron itu, hanyalah seorang perempuan muda yang berpakaian serba putih! Dan karena warna pakaiannya yang dikenakannya itu, maka dari kejauhan ia terlihat sebagai bayangan putih, yang dalam waktu yang amat singkat telah menggemparkan seluruh kota Hang-ciu dengan beritaberita tentang adanya "Makhluk Putih"   Di rumah berhala Leng-coan-sie yang kuno itu. Maka setelah sekarang ia bisa menyaksikan dengan 220 mata kepala sendiri apa adanya dan bagaimana macam "makhluk gaib"   Yang sangat menggemparkan itu, barulah Poan Thian mengerti dan berbareng merasa heran, karena pakaian putih itu adalah tidak umum dipakai oleh penjahat-penjahat yang biasa keliaran di kalangan Kangouw.   Dan jikalau ada juga penjahat-penjahat yang berani berpakaian begitu, maka dengan lantas mereka dicap "dogol"   Oleh rekan-rekan mereka. Karena selain pakaian begitu mudah ternoda, juga sangat menyolok mata apabila dipakai dalam "melakukan pekerjaan"   Di waktu malam.   Oleh sebab itu, Poan Thian jadi merasa curiga akan asal usul perempuan muda yang sikapnya agak mengherankan itu.   Pemuda kita sebenarnya tidak bermaksud akan meladeni ia bertempur, tetapi karena ia diserang dengan berturut-turut, maka apa boleh buat ia telah meladeninya juga sampai beberapa jurus lamanya biarpun di dalam hati ia mendapat firasat, kalau-kalau ilmu kepandaian orang perempuan itu masih terlalu jauh akan dibandingkan dengan ilmu kepandaiannya sendiri.   Sebaliknya orang perempuan itupun yang perlahan dengan perlahan telah mulai keteter, segera mengerti bahwa dia bukan lawan Lie Poan Thian yang setimpal.   Maka sebegitu lekas ia melihat ada kesempatan untuk meloloskan diri, buru-buru ia tendangkan kakinya ke atas jubin dan terus melayang ke atas wuwungan kelenteng dengan menggunakan siasat Hui-yan-ciong-thian, atau burung kepinis menerobos ke angkasa.   Poan Thian yang melihat begitu, pun tidak mau ketinggalan akan mengejar terus pada si nona itu.   "Hei, jangan lari!"   Teriaknya dengan suara bengis.   221 Tetapi orang perempuan itu setelah berlompat beberapa kali melalui wuwungan kelenteng, segera turun ke bawah dan terus melarikan, diri ke dalam rimba.   Poan Thian membuntuti dengan tidak mengalami terlalu banyak kesukaran.   Karena biarpun keadaan dalam rimba itu sangat gelap, tetapi ia mudah dapat melihatnya kemana saja si nona yang berpakaian putih itu menuju, karena warna putih itu justeru terlalu menyolok sekali akan dilihat orang, meski umpama di tempat gelap sekalipun.   Begitulah hutan yang lebat dan gelap itu mereka telah lalui, kemudian mereka tiba di sebuah tegalan yang luas dan datar.   Ketika orang yang dikejar itu hampir kecandak, mendadak Poan Thian melihat orang perempuan itu merandek, memutarkan badannya dan membentak dengan suara keras.   ,,Hei, bangsat! Apakah maksudmu engkau mengejar aku terus menerus?"   Sambil membentak begitu, si nona lalu mengayunkan goloknya yang terus dibacokkan ke jurusan batok kepala Lie Poan Thian dengan menggunakan siasat Tok-pekhoa-san.   Serangan itu memang cukup hebat, tetapi Lie Poan Thian tidak gentar dengan ilmu pukulan yang telah diunjuk oleh pihak lawannya itu.   Buru-buru ia melompat ke samping buat menghindarkan diri dari serangan itu, hingga bacokan itu telah mengenai tempat kosong.   Sementara si nona yang melihat serangannya telah luput, sudah tentu saja jadi semakin mendongkol dan lalu menabas pula pinggangnya Lie Poan Thian dengan 222 sekuat-kuat tenaganya.   Tetapi Poan Thian yang telah ulung dalam pertempuran, untuk keberapa kalinya telah berkelit dengan secara sebat dan bagus sekali.   Hal mana, tidaklah heran, jikalau ini telah membikin si nona jadi sangat jengkel dan menyerang sang lawan terus menerus dengan secara nekat sekali.   Lama-lama Poan Thian tak dapat berkelit begitu rupa terus menerus, maka akhir-akhirnya ia terpaksa mesti mempergunakan juga genggamannya buat menangkis setiap serangan yang ditujukan kepada dirinya itu.   Pertempuran ini belum lagi berlangsung terlalu lama, ketika dengan sekonyong-konyong si pemuda terdengar mengeluarkan satu suara teriakan, dan berbareng dengan itu, iapun kelihatan jatuh roboh ke atas tanah.   Sementara nona itu yang menampak lawannya mendadak jatuh roboh, sudah tentu saja tak mau menyianyiakan ketika yang baik itu.   Lalu ia maju memburu, mengayunkan goloknya dan terus dibacokkan pada Poan Thian yang seolah-olah telah dirobohkan sehingga tak dapat ia berdaya pula.   Tetapi, cepat bagaikan kilat, Poan Thian telah menggulingkan dirinya ke sebelah belakang si nona.   Di satu pihak ia berkelit dari serangan sang lawan itu, sedangkan di lain pihak ia mengangkat sebelah kakinya dengan menggunakan siasat Oey-kauw-sia-niauw.   Pada sangka perempuan yang berpakaian putih itu, lawannya tadi benar-benar telah jatuh karena menderita Iuka yang disebabkan oleh serangannya, tidak tahunya itulah ada dia sendiri yang justeru sedang diakali oleh pemuda kita.   223 Oleh karena siasat Lie Poan Thian itu sukar diduga, karuan saja si nona tak keburu berkelit buat menghindarkan sabetan kaki pemuda kita, hingga ketika bagian belakang tekukan lututnya kena tersabet, tidak ampun lagi ia jatuh mengusruk.   Sementara Poan Thian yang dengan secara sebat telah dapat berlompat bangun dari atas tanah, bukan saja tidak menunjukkan sikap yang hendak melanjutkan pertempuran itu, malah sebaliknya ia mengucapkan maaf atas perbuatan kasar yang telah diunjuknya itu.   Tetapi orang perempuan itu yang juga telah berlompat bangun, dengan sorot mata menyala-nyala tinggal mengawasi pada lawannya dengan napas memburu karena kegusaran yang bukan alang kepalang besarnya.   Dan ketika ia hendak menerjang pula, Poan Thian lalu melemparkan goloknya sendiri ke tanah sambil menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata.   "Nona, haraplah kau suka bersabar dengarkanlah sebabmusabab mengapa aku datang ke sini."   Oleh karena melihat sikap pemuda kita yang suka damai itu, maka si nona itupun tampaknya jadi lebih sabar dan tenang, biarpun suara bicaranya masih tetap kaku ketika ia berkata.   "Baik! Bicaralah!"   Poan Thian lalu mulai penuturannya, dengan mengatakan bahwa di antara si nona dan dirinya bukan saja tidak pernah terbit permusuhan apa-apa, malah bertemu muka pun baru saja pada kali itu.   Ia tidak bermaksud jahat, hal mana ia bisa unjuk, bahwa jikalau ia memang mengandung maksud tidak baik, buat mengambil jiwanya si nona itu bolehlah dikatakan sama mudahnya dengan orang yang mengambil barang dari 224 dalam kantong.   Karena di waktu si nona jatuh tadi, apakah itu bukan ketika yang terbaik untuk ia turunkan tangan kalau saja ia mau? Tetapi tak mau ia mengambil kesempatan itu, karena ia sendiri pun memang bukan bermaksud untuk mencari setori dengan segala orang.   "Aku bukan berasal dari tempat ini,"   Poan Thian melanjutkan penuturannya.   "Tetapi karena tertarik oleh cerita orang tentang adanya iblis yang sering mencelakai orang di kelenteng Leng-coan-sie ini, maka malammalam aku telah datang berkunjung ke sini, untuk membuktikan benar atau tidaknya perkabaran itu. Jikalau iblis itu benar-benar bisa mencelakai orang, akupun merasa turut berkewajiban untuk bantu membasmi dia dengan sekuat-kuat tenagaku. Tetapi syukur juga bahwa iblis itu bukan iblis sesungguhnya,"   Begitulah pemuda kita tertawa ketika berbicara sampai di sini, hingga ini tidak perlu lagi untuk dibicarakan lebih jauh.   Oleh karena mendengar omongan itu, maka si nona itupun jadi menghela napas sambil mengunjukkan roman yang menandakan lesu.   Ia kelihatan hendak berbicara apa-apa, tetapi lantas membatalkan niatannya ketika mendengar Poan Thian berkata pula.   "Maka setelah sekarang kau ketahui maksud yang benar dari kunjunganku ini, sudikah kiranya kau memberitahukan kepadaku kau siapa, orang dari mana, dan karena apa kau berada di sini dengan menyamar sebagai iblis dalam kelenteng Leng-coan-sie ini?"   Orang perempuan itu mula-mula kelihatan ragu-ragu akan memberikan segala keterangan yang bersangkutpaut dengan dirinya sendiri, tetapi ketika ia menyaksikan sikap Lie Poan Thian yang lemah-lembut dan sopansantun, barulah ia jadi menghela napas dan berkata.   225 "Tuan, nyatalah bahwa aku telah keliru menyangka engkau sebagai seorang jahat!"   Kemudian ia menerangkan, bahwa ia berasal dari kabupaten Ham-yang dalam propinsi Siam-say, she Bu bernama Liu Sian.   Ayahnya yang bernama Ciang Tong adalah seorang murid jempolan dari perguruan ilmu silat cabang Cengleng-sie di pegunungan Ngo-tay-san.   Bu Ciang Tong ini semasa mudanya memangku jabatan kepala polisi dalam kabupaten Ham-yang yang menjadi tanah tumpah darahnya.   Oleh karena ilmu silatnya yang tinggi dan ditambah dengan kecakapannya dalam tugas yang di jalankannya, maka tidak sedikit penjahat-penjahat dari Rimba Hijau yang telah dibekuk dan dihadapkan olehnya kepada pembesar yang berwajib, hingga untuk jasa-jasa besar yang telah diperolehnya itu, bukan saja ia mendapat hadiah dan pujian dari pihak seatasannya, tetapi berbareng juga ia jadi semakin dibenci oleh musuh-musuhnya yang selalu berdaya-upaya buat menyingkirkan jiwanya yang merupakan sebagai duri besar di mata kawanan penjahat pihak lawannya tersebut.   Tetapi sampai sebegitu jauh Ciang Tong tinggal tetap tak dapat dicelakai ataupun dibikin terguling dari kedudukannya, berhubung di kalangan cabang-cabang atas dalam komplotan Rimba Hijau belum ada orang yang sanggup merobohkan atau melebihi ilmu kepandaiannya.   Demikianlah kejadian pada suatu hari sekawanan perampok yang di kepalai oleh Cap-ek-sin-kauw atau kera malaikat yang bersayap Ngay Houw Cun telah masuk ke sebuah dusun dalam kabupaten Ham-yang itu untuk melakukan "pekerjaannya".   Tetapi, apa celaka, pada sebelum pekerjaan itu dimulai, mendadak telah 226 diketahui oleh Bu Ciang Tong, yang tidak membuang tempo lagi segera membawa sepasukan orang-orang polisi dan menyergap kawanan perampok yang sial itu.   Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun sendiri biarpun bukan tandingan Bu Ciang Tong, tetapi masih boleh dikatakan mujur juga telah dapat meloloskan diri dari dalam pengepungan hamba-hamba negeri itu.   Sedangkan kawan-kawannya yang terbanyak, jikalau tidak terbunuh atau tertangkap, tentulah dapat juga melarikan diri dengan susah payah dan menderita lukaluka yang dapat dibuat peringatan daripada pekerjaan mereka yang telah gagal itu.   Oleh sebab pekerjaannya telah digagalkan, sudah tentu saja Ngay Houw Cun jadi amat sakit hati dan selanjutnya telah berdaya upaya sedapat mungkin buat membalas dendam kepada kepala polisi she Bu itu.   Begitulah setelah ia "mencari kawan"   Sekian lamanya di kalangan Kang-ouw, akhirnya Houw Cun telah ketemukan seorang gagah yang sanggup untuk merobohkan Bu Ciang Tong dengan suatu perjanjian, bahwa jikalau ia mati dalam pertempuran dengan kepala polisi itu, Houw Cun harus tanggung seumur hidup ongkos penghidupan anak-isterinya.   Dan jikalau ia memperoleh kemenangan, Houw Cun harus berikan separuh dari harta-bendanya yang berjumlah ratusan ribu tail banyaknya itu.   Perjanjian mana, sebenarnya kurang disetujui oleh kepala kampak itu.   Tetapi karena mengingat yang ia boleh mungkir buat mengongkosi rumah-tangga si hohan itu jikalau dia mati dalam pertempuran, maka Houw Cun lalu menyangggupi sambil menambahkan.   "bahwa semua itu adalah perkara remeh saja,"   Hingga si ho-han boleh tak usah merasa ragu-ragu lagi. 227 Maka sesudah perjanjian itu "ditutup"   Dengan diadakan suatu perjamuan makan minum sebagai tanda pemberian selamat jalan dan "berharap akan berhasil"   Dalam pekerjaannya itu.   Si ho-han lalu berangkat ke Ham-yang buat menjajal sampai dimana kepandaian Bu Ciang Tong yang disohorkan sebagai seorang murid cabang Ceng-leng-sie yang jempolan itu.   Pada suatu hari sesudah menanyakan kepada orangorang yang kebetulan dijumpainya berjalan mundarmandir di jalan raya, si ho-han itu telah berhasil dapat ketemukan rumah kepala polisi she Bu itu, yang ketika itu kebetulan berada di rumahnya.   Tetapi karena Ciang Tong selalu bercuriga kepada orang-orang asing yang minta bertemu dengannya, maka ia telah memesan pada bujang-bujangnya, agar supaya kalau ada orang yang datang menanyakan kepadanya, katakan saja bahwa ia tak ada di rumah.   Dan jikalau orang itu juga menanyakan kemana ia pergi, bujangbujang itu boleh menjawab.   "Tidak tahu."   Terkecuali kalau orang itu mengatakan mau bicara pada siapa saja yang ada di rumah itu, bolehlah bujangbujang itu menjawab.   "Di rumah hanya ada Ji-ya saja," (dimaksukkan. adiknya Ciang Tong yang sebenarnya sudah lama telah meninggal dunia) atau apa saja sekenanya, menurut suka mereka. Tetapi tidak kira ketika si ho-han sampai di rumahnya, Ciang Tong dari sebelah dalam justeru mau berjalan keluar, sehingga kedua orang itu jadi berpapasan dan saling mengawasi satu sama lain dengan tidak dapat dicegah lagi.   "Tuan ini tentunya kepala rumah tangga ini bukan?"   Kata si ho-han itu sambil memberi hormat. 228 Bu Ciang Tong yang selalu bisa berlaku hati-hati dalam waktu yang kesusu, sambil membalas memberi hormat ia bersenyum dan berkata.   "Ah, sangat menyesal perkunjungan tuan ini sedikit terlambat. Toa-ya baru saja keluar pada setengah jam yang lalu itu. Sudikah tuan duduk-duduk dahulu untuk minum satu-dua cawan air teh?"   Si ho-han itu tidak lantas menjawab tawaran itu, hanyalah tinggal mengamat-amati pada Bu Ciang Tong sesaat lamanya, kemudian ia menghela napas dan berkata.   "Sayang, sayang. Tetapi belum tahu kapan tuanmu kembali?"   "Itu aku kurang tahu. Menyesal,"   Kata kepala polisi she Bu itu dengan hati semakin bercuriga.   Dalam pada itu, si ho-han yang ingin menunjukkan berapa tinggi ilmu kepandaiannya, lalu sengaja membanting-bantingkan kakinya ke atas jubin, maka jubin-jubin itu jadi berlubang sebesar bekas sepatu si hohan itu! Maka Ciang Tong yang sekarang telah ketahui maksud yang benar dari tetamu yang tidak diundang itu, sudah tentu saja lantas bersedia untuk menghadapi segala kemungkinan, dan sebegitu lekas ia melihat si hohan itu selesai menunjukkan "kelihayannya", buru-buru iapun membungkukkan badannya selaku orang memberi hormat dan merasa kagum atas kepandaian itu.   "Tuan,"   Katanya.   "nyatalah kau ini ada seorang ahli silat yang mempunyai ilmu kepandaian jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian yang dipunyai majikanku sendiri! Aku merasa sangat kagum melihat kepandaianmu itu. Oleh karena itu, terimalah ini pemberian hormatku!" 229 Sambil berkata begitu, Ciang Tong pun lalu membungkukkan pula badannya sambil menyoja ke arah si ho-han itu. Di mata seorang yang sama sekali tak mengerti ilmu silat yang tergolong pada bagian ilmu lweekang, perbuatan itu boleh dianggap lumrah dan tidak ada apaapanya yang kelihatan aneh. Tetapi bagi si ho-han yang telah melihat tegas gerak gerik Ciang Tong yang semulanya dianggap orang pelayan belaka, sudah tentu saja jadi amat kaget dan buru-buru balas memberi hormat sambil mengumpulkan khi-kangnya ke bagian dada. Karena sebegitu lekas ia melihat Ciang Tong menggerakkan tangannya, dengan sekonyong-konyong ia merasakan dadanya seperti didesak oleh suatu tenaga amat berat yang telah memaksa ia mundur ke belakang dengan napasnya dirasakan sesak! Maka biarpun sampai beberapa kali ia mencoba akan menolak tenaga yang tidak kelihatan itu, tetapi ternyata maksudnya siasia saja, dan tatkala paling belakang ia mengerti yang ia bukan lawan Ciang Tong yang setimpal. Buru-buru ia berlompat ke samping sambil berkata.   "Tuan, ilmu kepandaianmu itu sesungguhnya amat tinggi dan aku harus akui, bahwa aku ini lebih tepat akan menjadi "kacungmu,"   Daripada lawanmu yang telah sengaja berkunjung ke sini untuk merobohkan kepadamu!"   "Ya, tetapi aku ini adalah bujangnya Bu Too-ya,"   Kata Ciang Tong yang masih saja hendak berpura-pura. Tetapi si ho-han lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata.   "Tidak perlu kau menjustai aku. Aku tahu, bahwa kau inilah memang Bu Ciang Tong sendiri yang aku niat cari. Selamat tinggal, dan lagi beberapa hari akan kuberkunjung pula ke sini!" 230 Begitulah si ho-han telah akhiri bicaranya sambil berlalu dari situ dengan tindakan amat cepat. Sementara Bu Ciang Tong yang mengerti bahwa urusan tidak habis sampai di situ saja, sudah barang tentu jadi semakin hati-hati dalam hal menjaga keselamatan dirinya. Karena ia sendiripun yakin, bahwa kalau musuh-musuhnya tak berani membikin pembalasan dengan secara berterang, tentulah mereka akan mencelakai padanya dengan jalan lain yang lebih halus. Maka semenjak terjadinya peristiwa yang telah dialaminya itu, Ciang Tong selalu mengenakan kaca tembaga di bagian ulu-hati dan punggungnya, dengan ditutupi oleh pakaian yang dikenakannya di bagian luar, agar supaya dengan berbuat demikian ia dapat meringankan kecelakaan bagi dirinya, kalau nanti pihak musuh membokong kepadanya dengan secara sekonyong-konyong. Diceriterakan ketika berselang hampir satu minggu lamanya, betul saja si ho-han itu telah kembali pula ke rumah kepala polisi she Bu itu dengan mengajak dua orang kawannya yang masing-masing bertubuh tinggibesar dan beroman agak "menyeramkan"   Di pemandangan mata. Kedatangan ketiga orang itu telah disambut oleh bujang-bujangnya Bu Ciang Tong, yang memang telah dipesan mesti berbuat bagaimana apabila si ho-han itu benar-benar balik kembali ke tempat kediamannya di situ.   "Hari ini tuanku justeru belum kembali dari kantor,"   Kata salah seorang bujang itu, sambil persilahkan mereka masuk dan duduk di kamar tetamu.   Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Tetapi rupanya ia 231 telah ketahui, bahwa tuan-tuan akan datang hari ini, karena sedari pagi ia telah memberitahukan pada kami sekalian, agar supaya kami jangan pergi ke mana-mana. Dan jikalau nanti tuan-tuan datang ke sini. katanya, kami boleh menyampaikan kabar pada tuan-tuan sekalian, bahwa ia akan kembali ke sini selekas mungkin."   Si ho-han dan kedua kawannya itu jadi saling lihatlihatan satu sama lain dengan rupa yang menyatakan heran.   "Cara bagaimanakah dia bisa tahu bahwa kita akan datang ke sini pada hari ini?"   Ketiga orang itu seolah-olah hendak saling menanyakan pendapat masing-masing.   Tetapi sampai beberapa kali, tidak juga mereka dapat pikir bagaimana Ciang Tong telah dapat ketahui, bahwa mereka akan datang ke situ pada hari itu.   Padahal mereka tak pernah pikir sama sekali, bahwa siasat itu memang telah diaturnya dari di muka untuk membingungkan pikiran mereka bertiga.   "Kalau begitu, tidaklah mengherankan, apabila segala gerak-gerik saudara-saudara kita di kalangan Liok-lim bisa diketahui oleh kepala polisi bajingan ini,"   Berbisik si ho-han pada dua orang kawannya, sebegitu lekas melihat para pelayan tadi berlalu dari hadapan mereka.   "Dia itu rupanya pandai meramal!"   Kata si ho-han.   "Ya, ya, itu boleh jadi,"   Menyetujui kedua orang kawannya. Selagi mereka "kasak-kusuk"   Membicarakan halnya kepala polisi she Bu itu, adalah salah seorang bujang Ciang Tong yang boleh dipercaya telah pergi menyampaikan kabar tentang kedatangan ketiga orang yang rupanya tidak mengandung maksud baik itu kepada 232 induk semangnya.   Ciang Tong sekarang mengerti, bahwa saat yang tegang dan sedang ditunggu-tunggu itu akhirnya telah tiba.   Maka sebegitu lekas ia diberitahukan tentang kedatangan si ho-han dan kedua orang kawannya itu, buru-buru ia kembali ke rumahnya dengan membekal lima buah Tiok-yap-piauw yang disembunyikn di sisi sepatunya, pada bagian yang bersambung di bawah lipatan kaki celananya.   Tetapi alangkah mengejutkannya hati si kepala polisi itu, tatkala sampai di muka pintu pekarangan rumahnya, ia menampak dua buah singa-singaan batu yang tadinya ditaruh di kiri-kanan rumah, mendadak berpindah ke tengah pintu pekarangan tersebut.   Maka dengan mengandangnya kedua singa-singaan ini di tengah jalan masuk, sudah barang tentu tak dapat ia masuk ke dalam rumahnya, jikalau singa-singaan tersebut tidak terlebih dahulu disingkirkan ke tempat lain! 3.15.   Jebakan Untuk Kepala Polisi Jujur Perbuatan ini memang merupakan suatu rintangan atau kesukaran bagi orang-orang yang bertenaga kecil, tetapi bagi Ciang Tong yang memang bertenaga amat kuat, semua ini bukanlah suatu hal yang perlu diributi sama sekali.   Dari itu, segera juga ia singsingkan lengan bajunya, pasang bee-sie (kuda-kuda) dan lalu angkat singasingaan batu itu, yang olehnya lalu dikembalikan pada tempat asalnya masing-masing dengan tidak banyak bicara pula! Sesudah menunjukkan sedikit kelihayan itu, dengan laku yang tenang si kepala polisi lalu menghampiri pada mereka bertiga, memberi hormat dan 233 menunjukkan roman yang berseri-seri sambil berkata.   "Tuan-tuan, haraplah kamu sekalian sudi memaafkan atas kelambatanku ini." (Seolah-olah apa yang telah terjadi tadi tidak pernah dialaminya sama sekali).   "Setelah sekarang kita saling berhadapan,"   Ia melanjutkan omongannya.   "belum tahu ada pengajaran apa pula yang tuan-tuan sekalian hendak sampaikan kepadaku?"   Kedua orang yang baru datang itu tinggal bungkam dan hanya mengamat-amati pada kepala polisi itu dengan mata tidak berkesip, hingga si ho-han yang melihat "kebungkeman"   Itu, lalu tampil ke muka dengan sikap yang sombong dan mata yang menyala-nyala.   "Sebagaimana telah kukatakan pada beberapa hari yang lampau itu,"   Demikianlah memulai si ho-han itu.   "aku telah berjanji akan datang pula ke sini. Maka setelah sekarang kami berada di sini, mengapakah engkau berbalik berpura-pura meminta pengajaran dari kami?"   Bu Ciang Tong yang mendengar begitu jadi tersenyum dan berkata.   "Oh, kalau begitu, cobalah engkau beritahukan syarat-syarat apa yang harus dikemukakan dalam pertempuran ini, agar supaya sesuatu orang yang kalah bisa merasa rela dan selanjutnya urusan ini jangan sampai "menjadi kepanjangan"."   "Ya, ya, itu aku mufakat,"   Kata si ho-han.   "Tentang syarat-syarat yang engkau katakan tadi, itulah boleh dikatakan perlu, juga boleh dikata tidak perlu. Tetapi pokoknya harus dititik-beratkan kepada kejujuran dan kepercayaan. Apabila orang berkelahi dengan jujur dan akhirnya masih juga kena dikalahkan, maka yang menderita 234 kekalahan pun akan rela mengaku kalah, tetapi jikalau ia merasa yang ia telah dikalahkan dengn secara curang, cara bagaimanakah orang bisa terima itu dan urusan itu lalu disudahi sampai di situ saja?"   "Itu benar, itu benar,"   Sahut Bu Ciang Tong.   "Di belakang rumahku ini ada sebidang pekarangan yang agak luas dan baik sekali untuk "berlatih". Marilah tuantuan boleh ikut padaku, supaya pertandingan persahabatan ini bisa kita lakukan di sana."   Ketiga orang itu lalu menjawab.   "Baik,"   Tetapi dalam prakteknya ternyata berlainan daripada apa yang telah mereka katakan itu.   Karena sebegitu lekas Ciang Tong membalikkan badannya akan mengajak mereka pergi ke pekarangan tempat berlatih di belakang rumahnya, mendadak ho-han itu melirik pada kedua orang kawannya sambil memberi isyarat-syarat dengan kedipan mata.   Kedua orang itu yang lantas mengerti apa maunya isyarat itu, dengan sebat lalu mencabut badi masing-masing yang disembunyikan di bawah lipatan kaki celana mereka, dengan mana mereka lalu menyerang pada kepala polisi itu dengan tidak banyak bicara pula.    Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini