Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 10


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 10


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Nah, kena kau!"   Betapa kaget hati mereka ketika Ding Tao tidak terlihat cemas dengan perkembangan itu, sebaliknya pemuda itu melepaskan serangan yang hebat, memaksa keduanya mundur setengah langkah, kemudian dengan gerakan yang gesit pemuda itu melemparkan dirinya bergulingan keluar dari rumah makan.   "Selamat tinggal iblis jelek!!!", seru pemuda itu sambil tertawa terbahak-bahak.   Barulah keduanya sadar, sudah salah mengambil keputusan.   Dengan mengubah posisi mereka menjadi sejajar, bersama- sama menghadapi Ding Tao dalam satu sisi yang sama, memang pertahanan dan serangan mereka bisa menjadi lebih kuat.   Iblis jantan akan lebih mudah untuk membantu iblis betina, tatkala pasangannya itu didesak oleh serangan-serangan Ding Tao.   Tapi pada saat yang sama, pergerakan mereka itu akan membuka celah bagi Ding Tao untuk melarikan diri.   Dan dengan cerdiknya pemuda itu sengaja menunggu hingga dirinya berada di dekat pintu keluar rumah makan, sebelum dia berpura- pura kalah dalam perebutan kedudukan.   Pucatlah wajah keduanya, dari bergirang karena merasa berhasil memaksa Ding Tao membatalkan taktik bertarungnya, berubah menjadi rasa kaget dan sesal.   Setelah pulih dari rasa kagetnya, bergegas keduanya memburu keluar, berusaha mengejar Ding Tao yang sudah sempat berlari dan bersembunyi dalam kerumunan orang di luar.   Untung mereka cukup cepat dalam bergerak, meskipun sudah berada cukup jauh, tapi kepala Ding Tao yang menyembul di antara kepala-kepala yang lain masih sempat terlihat.   Kedua iblis itu pun segera mengemposkan semangat dan bergerak mengejar.   Ding Tao yang sempat menoleh, melihat sepasang Iblis itu bergerak ke arahnya dengan kecepatan yang tinggi.   Sambil berlari, matanya tak henti-hentinya melihat berkeliling, setiap ada simpangan atau keramaian Ding Tao akan bergerak ke arah tersebut.   Ding Tao yang masih belum paham betul jalan-jalan di kota ini, bergerak tanpa memilih tujuan.   Semakin ramai dan semakin tajam dan rumit simpangan-simpangan yang ada, semakin baik, itu saja yang ada dalam pikirannya.   Beruntung jarak antara Ding Tao dan sepasang iblis itu cukup jauh, memanfaatkan kekagetan sepasang iblis itu sebelumnya.   Tapi sayang, ilmu meringankan diri Ding Tao masih dua usap di bawah sepasang Iblis itu.   Beberapa kali Ding Tao sempat lenyap dari pandangan mereka, memanfaatkan jalan sempit dan tikungan-tikungan yang ada.   Sayangnya Ding Tao tidak tahu, bagian mana dari kota yang akan menguntungkan dirinya untuk menghilangkan jejak.   Beberapa kali pula dia salah memilih tikungan dan sampai di jalan utama yang lebar dan lurus, membuat dia lebih mudah diikuti.   Sementara jarak di antara mereka, sedikit demi sedikit semakin mengecil.   Pemuda yang banyak akal itu pun memutar otaknya keras.   Satu tipuan yang cerdik sempat dia lakukan, ketika sampai di sebuah perempatan yang cukup ramai.   Ding Tao berlari cepat berbelok ke simpangan ke arah kanan, kemudian setelah tikungan itu menutupi dirinya dari pandangan mata sepasang iblis itu, dia merendahkan tubuhnya dan berlari secepat-cepatnya menuju ke simpangan yang berlawanan arah.   Nekat memang, tapi kenekatannya membuahkan hasil, meskipun jantungnya sempat hampir melompat keluar saat mereka berpapasan.   Untung sepasang iblis itu tidak melihat dirinya yang sedang berlari sambil merunduk-runduk di balik gerobak penjual mie yang sedang berjualan.   Jarak di antara mereka pun mulai membesar, karena mereka berlari ke arah yang berlawanan.   Sayang nasib Ding Tao kurang begitu baik, saat menoleh untuk melihat posisi sepasang Iblis itu, Ding Tao menabrak orang dengan tidak sengaja.   "He keparat! Kau taruh di mana matamu!?", maki orang itu dengan kesal.   Ding Tao yang sedang terburu-buru tidak ingin terjebak dengan hal yang tidak perlu, cepat-cepat meminta maaf sambil terus berlari.   Tapi orang yang ditabraknya tidak dengan mudah memberi maaf, berbagai maki-makian dilemparkan ke arah Ding Tao dengan suara keras, menarik perhatian sepasang iblis untuk menengok ke belakang.   Kejar-kejaran itu pun kembali berlangsung dengan sengitnya.   Nafas Ding Tao sudah mulai memburu, seluruh tubuhnya basah oleh keringat, pemuda itu hampir putus asa dan berniat untuk membalik badan lalu menerjang.   Meskipun dia tahu bahwa dia belum mampu menang melawan sepasang iblis itu.   Dalam keadaan yang hampir putus asa itu tiba-tiba, sebuah kereta menghadang jalan Ding Tao.   Ding Tao yang sedang berlari kencang hampir saja menabrak kereta itu.   Baru saja pemuda itu hendak berbalik arah, pintu kerete terbuka dan satu suara yang halus dan lembut memanggilnya, "Sstt cepat masuk ke mari."   Tertegun Ding Tao, membeku di tempat, matanya memandang dengan rasa tidak percaya.   Di dalam kereta ada dua orang gadis berpakaian sutra halus yang mewah.   Yang seorang bajunya berwarna merah, mengenakan jubah sutra dengan sulaman warna-warni yang mengingatkan pada warna daun di musim gugur, diikat dengan ikat pinggang dari kain sutra berwarna merah menyala.   Matanya yang lincah berkilat nakal, bibirnya tipis dengan senyum setengah mengejek tersungging di sana.   Gadis yang seorang lagi mengenakan jubah sutra berwarna putih, baju dan ikat pinggangnya juga berwarna putih, di tangannya ada kipas gading yang dibuka, menutupi sebagian wajahnya, hingga yang terlihat hanyalah sepasang matanya yang jeli, dihiasi sepasang alis dan bulu mata yang lentik.   Tidak sabar menunggu Ding Tao, gadis berjubah musim gugur, menjulurkan tangannya dan menarik Ding Tao ke dalam kereta.   Tenaga gadis itu jauh di bawah Ding Tao, tapi masih tertegun dengan kejadian yang mengejutkan itu, terlena oleh kecantikan kedua gadis itu dan merasa tidak ada jalan lain untuk lepas dari pengejaran sepasang Iblis muka giok, Ding Tao mandah saja saat ditarik masuk ke dalam kereta.   Begitu Ding Tao masuk, dengan cepat pintu kereta ditutup, dari balik tirai Ding Tao masih sempat melihat sepasang iblis itu muncul dari sebuah tikungan.   Kereta tidak dipacu untuk berjalan cepat, kereta itu berjalan saja dengan wajar seperti dua-tiga kereta lain yang kebetulan ada di jalan.   Sepasang iblis itu belum sadar bahwa hilangnya Ding Tao dari jalan adalah karena pemuda itu mendapatkan tumpangan kereta.   Disangkanya Ding Tao menghilang lagi di salah satu tikungan yang ada di jalan itu.   Ketika mereka memeriksa tiap-tiap tikungan yang ada, dengan lenggang kangkung, kereta itu pergi meninggalkan kota.   Yang pertama dirasakan Ding Tao saat masuk ke dalam kereta adalah bau harum dan segar yang memenuhi kereta itu.   Mencium bau itu, Ding Tao jadi teringat dengan dirinya yang berkeringat dan berbau apek setelah berlarian menyusuri jalan.   Dengan wajah bersemu, pemuda itu mengucapkan terima kasih.   "Terima kasih atas pertolongan nona-nona sekalian." "Tidak perlu sungkan, kami kenal dua orang yang sedang mengejarmu. Sepasang iblis yang kejam. Siapa pun yang dikejar mereka, sudah tentu orang yang patut ditolong.", jawab gadis berbaju putih, suaranya lembut selembut kelopak bunga peoni. "Sudah ditolong kenapa tidak cepat-cepat memperkenalkan nama dan apa urusannya hingga dirimu dikejar sepasang iblis itu?", dengan lirikan nakal, gadis berjubah musim gugur mencela. Ding Tao memang paling gampang dipermainkan dan digoda, dia bukan pemuda yang lincah dengan kata-kata. Mukanya yang sudah merona merah, makin terasa panas karena malu.   "Ya, ya, maafkan aku lupa memperkenalkan diri, namaku Ding Tao. Dua orang itu mengejarku karena mereka menginginkan sesuatu dariku." "Oh, namamu Ding Tao, tapi kenapa berputar-putar menjelaskan. Kalau mereka mengejarmu, sudah tentu karena menginginkan sesuatu darimu. Tapi apa yang mereka inginkan darimu? Apakah kepalamu, atau peta harta karun atau mungkin kau menyimpan kitab rahasia. Yang pasti jangan bilang, kalau iblis betina menginginkan cintamu dan iblis jantan yang cemburu menginginkan nyawamu, meskipun wajahmu lumayan menarik untuk dilihat tapi sepasang iblis itu biarpun berwatak iblis, tapi cukup mengenal arti kata setia.", cerocos gadis berjubah musim gugur. "Itu.. itu, tak dapat dengan bebas kukatakan. Masalahnya cukup pelik dan menyangkut masalah yang berbahaya. Lebih baik jika nona-nona tidak tahu apa-apa mengenainya", jawab Ding Tao dengan terbata-bata. "Astaga, cici dengar itu? Sudah ditolong tidak tahu pula berterima kasih, beraninya dia menaruh curiga pada kita.", omel gadis berjubah musim gugur. "Bukan begitu maksudku", ujar Ding Tao dengan memelas, sungguh dia tidak habis pikir bagaimana harus menjawab. Pemuda yang baru saja berhasil menipu dan mengadu domba, jagoan-jagoan yang sudah kenyang makan asam garamnya dunia persilatan, sekarang mati kutu di hadapan seorang gadis muda. Memang terkadang berurusan dengan pedang lebih mudah daripada menghadapi lidah tajam seorang gadis yang cantik nan menawan. Gadis berbaju putih, melepit pula kipasnya, kemudian mengetuk tangan gadis berjubah musim gugur menggunakan kipas itu sambil menegur.   "Cobalah kau diam, orang tidak mau kau tahu urusan, mengapa kau harus usil?"   Kipas dilepit, wajah yang tadi tertutup sekarang jadi terlihat, Huang Ying Ying adalah seorang gadis yang cantik, gadis berjubah musim gugur itu pun seorang gadis yang cantik.   Tapi gadis berbaju putih ini, jauh lebih cantik, kecantikannya begitu anggun dan mempesona.   Ekspresinya anggun dan tenang, memancarkan kedamaian, memandang gadis itu Ding Tao jadi teringat kisah-kisah tentang Change, dewi bulan.   Melihat mata Ding Tao yang terpesona memandangi kakak perempuannya, jelas saja si gadis berjubah musim gugur tidak tinggal diam.   "O la la, cici coba lihat, matanya tidak berkedip memandangmu. Aku tahu memang aku tidak secantik dirimu, tapi baru kali ini kulihat seorang pemuda dengan terang-terangan tidak mengacuhkan diriku."   Mulut Ding Tao pun menganga hendak menjawab, tapi tak bisa juga hendak menjawab apa.   Melihat wajah pemuda itu sekarang ini sungguh-sungguh memelaskan hati.   "Wah, mengapa kau membuka mulutmu seperti itu? Apakah sedang menanti aku menghadiahimu manisan?", buru gadis berjubah musim gugur.   Dengan muka yang sudah merah padam Ding Tao cepat-cepat mengatupkan mulutnya.   Dengan menundukkan kepala dia berusaha meminta maaf.   "Maaf, maaf, sikapku kurang sopan. Terima kasih banyak atas pertolongan nona-nona sekalian, tapi keadaan sudah aman, mungkin sebaiknya aku turun di sini saja." "Tidak perlu", kata gadis berbaju putih dengan lembut, tangannya bergerak menahan tubuh Ding Tao yang sudah beringsut hendak melompat keluar dari kereta. Baru memandang saja Ding Tao sudah terpesona, saat tangan gadis itu menyentuh pundaknya dengan lembut, bau harum bunga menyebar keluar dari arah gadis itu, jari-jari yang lentik terasa menyentuh ringan pundaknya. Jantung Ding Tao jadi berdebaran, ingatannya berkelebat pada Huang Ying Ying yang menantinya di Wuling, hatinya merasa bersalah dan malu. Inginnya dia segera melompat keluar dan melupakan kejadian hari itu. Tapi jari yang lentik itu seperti memilki mantra yang membuat Ding Tao diam menurut dan tidak bisa melompat pergi. "Jangan pergi dulu, tidak usah kau dengarkan perkataan adikku, dia memang nakal. Sebaiknya kau ikut sampai kediaman kami di luar kota, di sana lebih aman dan jauh dari sepasang iblis itu."   Ah, betapa lemah hati seorang pahlawan, ketika berhadapan dengan gadis cantik.   Meskipun wanita sering menginginkan lelaki yang halus perasaannya, tapi Lelaki yang tidak berperasaan mungkin lebih setia daripada lelaki yang terlalu halus perasaannya.   Tak tega menolak, Ding Tao mengangguk diam.   Gadis berjubah musim gugur, tidak berani mengeluarkan kata-kata, tapi dia masih berani meleletkan lidahnya dan mengerling menggoda, saat kakak perempuannya tidak melihat.   Perjalanan dilalui dengan diam, sejak teringat dengan Huang Ying Ying, Ding Tao tidak lagi berani menengadahkan kepalanya.   Pemuda itu takut terpikat lebih jauh lagi dengan gadis berbaju putih, lebih takut lagi digoda oleh gadis berjubah musim gugur.   Sebenarnya ada rasa penasaran, ingin tahu lebih jauh siapakah kedua gadis itu.   Keduanya tidak mengenalkan nama, meskipun Ding Tao sudah mengenalkan namanya.   Ding Tao tidak berani bertanya, kalau bertanya, cari mati namanya, lidah tajam gadis berjubah musim gugur tentu sudah siap dengan godaan yang lain.   Masih bagus sekarang dia tidak berani menggoda Ding Tao setelah ditegur oleh kakak perempuannya.   Tapi apakah mereka benar saudara sekandung? Atau ada hubungan keluarga yang berbeda? Gadis berjubah musim gugur itu memang cantik, tapi gadis berbaju putih itu terlampau jauh lebih cantik.   Meskipun sama-sama cantik tapi keduanya tidaklah mirip.   Mungkin saudara satu ayah lain ibu, atau saudara sepupu dan banyak atau lainnya.   Sementara Ding Tao sedang mereka- reka, mulutnya terkunci rapat.   Gadis berbaju putih tidak menanyakan apa-apa padanya, yang berjubah musim gugur pun sekarang lebih sibuk melihat-lihat keluar daripada berbicara.   Waktu dilalui dengan diam, kereta bergerak dengan malasnya menuju keluar kota, melintasi sungai kecil dan sebuah desa yang cukup ramai.   Kereta baru berhenti saat tib di pinggir sebuah mata air yang jernih, airnya mengalir jauh dan berhenti di sebuah danau kecil.   Di pantai danau kecil itu ada sebuah bangunan besar dengan bentuk yang sederhana, dikelilingi taman bunga dan berbagai macam tanaman obat-obatan.   Di depan bangunan itulah kereta berhenti, gadis berjubah musim gugur membuka pintu kereta lalu melompat keluar.   "Ah akhirnya kita sampai juga cici. Lihat, bunga peoni yang kau tanam sudah mekar dengan indahnya." "Bibi, bibi, kami sudah sampai.", kicau gadis itu, berlari sambil melambaikan tangan, meninggalkan Ding Tao dan gadis berbaju putih sendirian dalam kereta. Sejenak mereka berpandangan, saat pandang mata mereka bertemu, jantung Ding Tao berdebaran. Sadar bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan, cepat-cepat Ding Tao turun dari kereta. Sambil menunggu gadis berbaju putih turun dari kereta, Ding Tao berjalan lambat sambil melihat ke sekelilingnya. Sebagai bekas tukang kebun di kediaman Tuan besar Huang Jin, Ding Tao adalah seorang yang mencintai keindahan, perasaannya yang halus dan peka terhadap segala sesuatu yang cantik. Dengan cepat perhatiannya ditarik oleh keindahan taman yang ada di sekelilingnya. Tidak jemu-jemunya dia memandangi pohon dan bunga-bungaan, yang ditata apik dan rapi. Ketika dilihatnya sesuatu yang kurang pas menurut perasaannya, tanpa sadar dia bergumam.   "Ah, bunga itu seharusnya dipindahkan, sedikit digeser mundur, sementara jalan setapak dibuat sedikit berkelok. Lalu bukit kecil yang di bagian sana, tentu lebih indah lagi kalau tanah di depannya sedikit direndahkan."   Tidak sadar bahwa gadis berbaju putih sudah ada di sampingnya dan sedang mendengarkan dengan seksama.   "Menurut Saudara Ding, itu akan membuat taman ini jadi lebih indah?", tegurnya bertanya.   Tersadar dari lamunannya Ding Tao menengok ke samping dan meminta maaf.   "Ah, tidak juga, tidak juga, cuma sempat lewat dalam benak saya. Tapi taman ini sungguh sangat indah, saya sendiri belum tentu mampu menata yang seperti ini."   Terdiam Ding Tao tidak tahu harus berkata apa, gadis berbaju putih mengitarkan pandangannya ke sekeliling taman. Merenung. Ding Tao-lah yang akhirnya memecahkan kebisuan itu.   "Nona, kukira sudah saatnya aku berpamitan. Budi baik nona akan selalu kuingat, bila nona tidak keberatan, bolehkah aku tahu siapa nama nona?" "Namaku?", gadis itu menoleh dan bertanya balik. Matanya yang bulat jeli, seakan bertanya, apa ada maksud lain dibalik pertanyaanmu? "Ya, nama nona, itu jika nona tidak berkeberatan. Rasanya aneh jika saya sampai tidak tahu nama penolong saya sendiri.", jawab Ding Tao cepat-cepat menjelaskan. Gadis berbaju putih itu tersenyum dan jika saat diam dia sudah nampak cantik dan anggun, saat tersenyum, senyumnya membawa rasa hangat di dadamu. Senyum yang seakan berkata, aku tahu dirimu dan apa yang kulihat dalam dirimu, aku menyukainya. "Namaku Murong Yun Hua dan Saudara Ding kuharap kau mau menginap di kediaman kami beberapa hari lamanya. Sudah lama tidak ada tamu yang berkunjung. Melihat orang yang sama setiap hari, meski kau sangat menyukai orang itu, lama- lama timbul juga rasa sebal dalam hati. Sesekali bertemu orang yang berbeda, seperti membuka jendela di pagi hari dan merasakan angin yang sejuk menerpa wajahmu." "Tapi, apakah tidak merepotkan?", jawab Ding Tao dengan sedikit segan. Ding Tao punya banyak alasan untuk merasa segan, pertama dia bukan sedang dalam perjalanan tamasya, ada tugas yang dia sandang di pundaknya. Lalu hawa murni Tinju 7 Luka yang masih mengeram dalam tubuhnya, sehari hawa murni itu masih mengeram di sana, sehari pula dia tidur dengan rasa was-was. Pertarungannya dengan Sepasang Iblis Muka Giok, membuktikan bahwa kekhawatirannya punya alasan yang kuat. Dan satu alasan lagi, Murong Yun Hua terlalu cantik, jika dia berlama-lama dekat gadis itu, Ding Tao khawatir hatinya akan berubah. Jika itu terjadi, lalu bagaimana dengan Huang Ying Ying yang menanti dirinya dengan setia? "Apakah kau keberatan? Apakah tingkah nakal adikku sudah mengesalkanmu?", tanya Murong Yun Hua dengan wajah sedih. "Jangan salah paham Nona Murong, bukan begitu, adik nona memang nakal, tapi aku tahu hatinya baik. Tidak nanti aku memendam rasa kesal padanya.", jawab Ding Tao dengan rasa bersalah. Sambil memalingkan wajah gadis itu menyambung dengan sendu.   "Ya, kutahu, tentu bukan karena adikku sifatku memang buruk, sering adikku bilang, aku terlalu pendiam dan membosankan. Saudara Ding, maafkan aku sudah berusaha menahanmu di sini, padahal kau tentu ada keperluan yang lebih penting di tempat lain."   Caranya mengatakan keperluan yang lebih penting seakan mengatakan, tentu ada orang lain yang sudah menarik hatimu di tempat lain.   Apalah artinya diriku ini? Lalu bukankah tidak salah juga kalau dikatakan demikian, bukankah ada Huang Ying Ying di Wuling? Murong Yun Hua sudah tidak menahan dirinya untuk menginap, lalu mengapa Ding Tao tidak juga pergi? Jika Ding Tao laki-laki yang tidak berperasaan, sudah tentu dia akan pergi.   Jika Ding Tao laki-laki yang tidak mengenal arti kesetiaan, sudah tentu sejak tadi undangan untuk menginap diterimanya.   Ding Tao punya perasaan, bahkan perasaannya peka dan halus.   Ding Tao juga tahu arti kata setia.   Jadi apa yang hendak dia lakukan? Apakah dia akan menerima undangan Murong Yun Hua atau tidak? Mungkin itu sebabnya banyak lelaki lebih memilih untuk jadi tidak berperasaan atau tidak setia.   Memilih keduanya mengundang rasa tersiksa dalam hati.   Tapi saat ini yang ada di hadapan Ding Tao adalah Murong Yun Hua dengan wajah yang sendu, senyumnya yang tadi membuat dunia tampak ikut bersinar.   Sekarang senyumnya terlihat seperti bunga indah yang kesepian sendirian, sementara awan kelabu bergayut di atasnya.   "Nona Murong, jangan berkata bodoh, hanya orang yang buta dan tuli yang akan mengatakan nona membosankan.   Nona begitu cantik, hanya memandangi nona pun orang akan merasa bahagia, suara nona begitu lembut dan halus, mendengarnya seperti mendengar nyanyian merdu bidadari.", ujar Ding Tao berusaha menghibur hati gadis itu.   "Wah wah wah, lihat di sini, ada seorang tukang rayu ulung rupanya.", tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara nakal menggoda.   Tidak perlu menoleh, Ding Tao sudah tahu siapa yang ada di belakangnya, siapa lagi jika bukan gadis berjubah musim gugur itu.   Merona merah wajah pemuda itu, dalam hati dia memaki mulutnya, mengapa bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu.   "Bukan, bukan, bukan maksudku merayu.", ujarnya dengan susah hati.   "Bukan, bukan, bukan, bukankah tidak salah perkataanku, baru kutinggal berdua beberapa lama, kau sudah mencoba merayu ciciku.", tiru gadis nakal itu dengan memutar mata.   Melihat wajah Ding Tao yang memelas, pecahlah tawa Murong Yun Hua yang pipinya merona merah kena goda adiknya, "Saudara Ding, sudahlah jangan terlalu dipikirkan, adikku ini memang suka menggoda.   Sudahlah, bagaimana dengan tawaranku tadi?" "Ya, benar, jangan cuma merayu saja.   Kau bilang tidak bermaksud merayu, kalau benar, buktikan, jangan tolak tawaran cici, apakah kau sengaja membuat malu dirinya?", desak gadis berjubah musim gugur.   "Baiklah, baik, tapi aku tidak bisa berlama-lama, sebenarnya ada urusan penting yang harus dikerjakan.", jawab Ding Tao menyerah.   "Hmmm aku sedang berpikir, untuk menata taman kami seperti idemu tadi, bagaimana kalau Saudara Ding, tinggal di sini, sampai perubahan itu selesai dikerjakan? Paling satu atau dua hari sudah selesai.   Apa urusanmu itu, kira-kira bisa ditunda barang 2 hari?", tanya Murong Yun Hua dengan wajah yang cerah.   Melihat wajah gadis itu yang begitu cerah, mana tega Ding Tao untuk menawar apalagi menolak.   "Dua hari, ya dua hari tidak masalah, baiklah aku akan merepotkan nona sekalian selama dua hari ini.", jawab Ding Tao dengan pasrah.   "Nah, bagus kalau begitu, ayo sekarang kita ke ruang latihan, kau dikejar-kejar sepasang iblis itu tentu kau termasuk orang persilatan juga.   Aku sudah lama tidak berlatih tanding dengan siapapun.", gadis berjubah musim gugur dengan senang menggandeng tangan Ding Tao dan menyeretnya pergi.   "Eh, bagaimana dengan cicimu?", tanya Ding Tao sambil menoleh ke arah Murong Yun Hua.   "Kenapa memang dengan ciciku? Tuh dia di situ, jangan seperti anak kecil ditinggal ibunya, apa kau takut berdua denganku? Memangnya kaupikir aku mau menggigitmu?", jawab gadis nakal itu dalam rentetan kata-kata.   Murong Yun Hua berlari kecil menyusul mereka.   "Eh, jangan ditinggal, aku juga mau lihat kalian berlatih."   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sambil tertawa geli dia menambahkan.   "Saudara Ding, sebaiknya kau ikuti saja kemauannya. Sudah lama dia mengeluh karena tidak ada yang bisa diajak bertanding."   Sambil menggaruk kepala Ding Tao hanya bisa mengangguk, mengiyakan, sambil menyengir kuda.   Gadis berjubah musim gugur itu sudah melepas jubahnya.   Saat ini dia mengenakan pakaian ringkas yang cocok untuk berlatih silat.   Di tangannya dia membawa dua bilah pedang.   Tanpa jubah, gadis ini terlihat semakin menarik, mungkin dia kalah cantik dengan Murong Yun Hua, tapi tubuhnya justru lebih padat berisi dengan lekuk-lekuk yang indah di tempat yang tepat.   Kalau kecantikan Murong Yun Hua seperti embun pagi yang sejuk, kecantikan gadis berjubah musim gugur ini, lebih mirip arak yang memabokkan.   Apalagi jika ditambah dengan sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang.   Tanpa jubah musim gugurnya, rasanya aneh jika kita masih memanggil dia gadis berjubah musim gugur, beruntung Murong Yun Hua dengan cepat memperkenalkan nama gadis itu pada Ding Tao "Oh ya, nama anak nakal ini, Murong Huolin, lidahnya tajam tapi hatinya baik.   Kau tidak perlu risaukan perkataannya."   Keceriaan Murong Huolin menular juga pada Murong Yun Hua, Ding Tao jadi tidak menyesal sudah menerima tawarannya.   Hatinya ikut senang melihat wajah yang cantik itu nampak berseri.   Dalam waktu yang singkat mereka sudah sampai di sebuah ruangan yang cukup luas.   Rak-rak senjata ada di ke-empat sisinya.   Macam-macam senjata ada di sana.   "Kulihat kau membawa-bawa pedang, jadi kau pilih saja salah satu pedang kayu yang ada di sana.   Aku sudah terbiasa memakai sepasang pedang.   Kalau sudah siap kita langsung saja.   Tidak usah banyak basa-basi, ya.", Murong Huolin mendorong Ding Tao ke arah salah satu rak senjata yang berisi bermacam jenis pedang kayu dengan macam-macam ukuran dan bentuk.   Ding Tao melihat-lihat, kemudian memilih satu pedang kayu yang mirip sekali dengan Pedang Angin Berbisik.   Ditimang- timangnya pedang itu di tangan, kekaguman muncul di hatinya, tidak salah lagi, pembuat pedang kayu ini, tidak kalah ahlinya dengan pembuat Pedang Angin Berbisik.   Diamat-amatinya pedang itu dengan lebih teliti, diangkatnya mata pedang setinggi mata dan ditelusurinya mata pedang yang diraut dengan halusnya.   Ditimang-timangnya dalam genggaman, merasakan keseimbangan antara mata pedang dan pegangannya.   Kemudian diayunkannya pedang itu dan dimainkannya beberapa jurus.   Dalam hati jadi timbul rasa sayang untuk menggunakan pedang itu dalam latihan.   Sementara itu Murong Huolin sudah menanti dengan tidak sabar, kakinya mengetuk-ngetuk lantai yang terbuat dari papan- papan kayu yang sudah diserut halus.   "Ayo cepat! Mau tunggu sampai aku beruban?", omel gadis itu memecahkan lamunan Ding Tao.   Sambil menyengir Ding Tao buru-buru berjalan ke tengah arena dan bersiap untuk melayani Murong Huolin yang sudah bersiap, mengambil kuda-kuda dengan dua pedang siap di tangan.   Yang sebilah teracung ke atas, yang sebilah lagi melintang di depan dada.   Melihat kuda-kuda gadis itu Ding Tao jadi tertarik, dia ingin melihat serangan seperti apa yang akan dilontarkan gadis itu.   "Nona Huolin, silahkan kau duluan yang memulai.", ujarnya sopan.   "Hmph! Baiklah, awas serangan!"   Begitu menyerang, lenyap sudah kilatan nakal di mata gadis itu, serangannya cepat dan telengas.   Bilah pedang yang teracung ke atas dengan cepat menyambar ke arah ubun-ubun Ding Tao.   Menyurut mundur Ding Tao ke belakang.   Murong Huolin pun dengan cepatnya maju ke depan, bilah pedang yang melintang di dada, sudah menyambar pula ke arah Ding Tao, menabas cepat, dalam gerakan yang akan memotong tubuhnya menjadi dua.   Sekali lagi Ding Tao menyurut mundur, tapi bilah pedang yang lain ternyata sudah siap untuk menyerang ubun-ubunnya sekali lagi.   Dalam sekejapan sudah 10 kali gadis itu menyerang dan 10 kali pula Ding Tao menyurut mundur ke belakang.   Dengan cepat pemuda itu sudah hampir keluar dari arena pertandingan.   Sebenarnya Ding Tao sedang menanti serangan yang berikutnya, tapi tiba-tiba Murong Huolin, berhenti menyerang an membanting kaki.   "Mundur dan mundur terus! Apa kau sebangsa undur-undur?"   Melengong Ding Tao melihat gadis itu marah-marah, tapi segera saja rasa bingungnya berubah menjadi geli.   "Sabar dulu Nona Huolin, aku baru saja mau mencoba ganti menyerangmu pada serangan berikutnya."   Alis Murong Huolin terangkat, wajahnya menunjukkan eskpresi tidak mau percaya.   "Hmm apa benar? Jangan-jangan ilmu andalanmu hanya jurus langkah seribu saja." "Tidak-tidak, aku tadi baru mengamati serangan nona yang gencar. Tapi berikutnya tentu nona akan lihat kalau aku ada jalan keluar.", jawab Ding Tao dengan sabar, sedikit demi sedikit dia sudah mulai terbiasa dengan tingkah Murong Huolin yang sedikit mirip Huang Ying Ying, meskipun Huang Ying Ying tidaklah setajam gadis ini. "Baiklah, ayo kita ulangi lagi. Aneh-aneh saja, berkelahi kok seperi undur-undur.", gerutu gadis itu sambil melangkah kembali ke tengah ruangan. "Saudara Ding, jangan sungkan-sungkan, kau beri saja adikku itu sedikit hajaran.", teriak Murong Yun Hua dari pinggir arena sambil tertawa geli. Murong Huolin membalas dengan meleletkan lidahnya.   "Tak usah yaa Ding yang satu ini cuma kencang bunyinya, belum ada buktinya."   Dengan nakal gadis itu memelesetkan nama marga Ding Tao dengan kata berbunyi sama, Ding, tapi ding yang artinya suara gemerincing seperti bel.   Tapi Ding Tao tidak menjadi marah, justru ikut tertawa geli, meskipun dia yang dijadikan bahan lelucon.   Sikap Ding Tao ini membuat Murong Huolin senang, dengan gaya yang tidak merendahkan dia bersiap kembali.   "Ayo, kita mulai lagi." "Baik" "Awas serangan!"   Sekali lagi jurus serangan yang sama digunakan oleh Murong Huolin, sepasang pedang menyerang bergantian tanpa jeda, setiap kali satu serangan selesai, bilah pedang yang lain sudah sampai di posisi awal dan ganti menyerang.   Sekali lagi Ding Tao mundur ke belakang dan ke belakang tapi pada serangan yang ketiga, Ding Tao berkelit, bergerak memutar dan posisinya tiba di belakang Murong Huolin dan dengan ringan pedang kayu di tangannya menepuk pundak gadis itu.   "Kena kau Adik Huolin.", sambil tertawa Murong Yun Hua meneriaki adiknya yang masih berdiri tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.   "Eh, bagaimana bisa begitu mudah?", seru gadis nakal itu.   Dengan sebelah tangan di pinggang dia berbalik menghadapi Ding Tao.   "Eh Kakak Ding, kenapa bisa begitu mudah? Kulihat gerakanmu tidak begitu cepat. Seranganku juga kuyakin tidaklah lambat, jurus ini sudah kulatih selama beberapa bulan, kupikir sudah cukup sempurna. Ternyata"   Melihat wajah sedih Murong Huolin, Ding Tao jadi kasihan.   "Nona Huolin, jurusmu sebenarnya cukup hebat, tidak mudah untuk lolos dari jurus itu. Serangan dari atas, jika ditangkis akan membuka lubang di bagian tubuh, dan serangan yang mendatar akan memanfaatkan lubang itu. Demikian juga serangan yang mendatar jika ditangkis, maka pedang akan tertahan dan lubang pertahanan dari atas akan terbuka." "Begitu juga jika lawan bergerak menghindar, serangan dari atas, jika dikelit ke samping tentu serangan yang mendatar akan segera menyusul, menutup jalan mundur lawan. Jika dikelit mundur, maka sambil memburu maju serangan yang mendatar akan mendesak lawan, sementara pedang yang satu kembali mengambil posisi untuk menyerang dari atas. Dengan bergantian begini, asalkan dalam hal kecepatan bisa dipertahankan, meskipun belum bisa memenangkan lawan tapi bisa mendesak mundur lawan." "Eh kau ini memuji saja, lalu kalau memang begitu bagus, kenapa begitu mudah dikelit?", tanya Murong Huolin sambil cemberut. "Masalahnya nona kurang pandai dalam mengatur irama serangan. Kecepatan gerakan nona dari awal hingga akhir tetap sama. Setelah menghadapi serangan yang sama beberapa kali segera saja iramanya ketahuan. Maka dengan mudah saya menyesuaikan diri dengan irama serangan nona dan mengambil kesempatan untuk berkelit di saat jeda antara dua serangan.", jawab Ding Tao dengan sabar menjelaskan. "Ah, itu berarti aku masih kurang cepat? Tapi tanganku sudah sampai pegal berlatih supaya bisa melancarkan serangan itu secepat mungkin.", keluh Murong Huolin. "Tidak juga, seharusnya nona mengubah-ubah kecepatan serangan nona, sehingga lawan susah menangkap iramanya. Secepat apapun, pasti akan ada jedanya antara serangan yang satu dengan serangan yang selanjutnya. Tapi bila antara serangan ada serangan tipuan dan serangan sungguhan, maka lawan jadi lebih sulit menebak.", ujar Ding Tao coba menerangkan. "Hmm.. aku mengerti, serangan bisa saja dengan sengaja dibuat lambat, jika lawan terpancing baru bergerak cepat. Lawan yang tidak menduga aku bisa menyerang secepat itu akan terkena serangan." "Ya, bisa juga seperti itu, tapi bisa juga cepat-lambat-lambat dan cepat, dengan irama yang sedikit tidak beraturan, lawan pun akan kesulitan untuk mengikuti. Bayangkan jika serangan nona berubah dari cepat ke lambat, lawan mungkin sudah bergeser padahal serangan nona masih belum sepenuhnya dikembangkan. Nona bisa dengan mudah mengganti arah serangan dan lawan yang terlanjur bergerak justru masuk dalam perangkap.", sambil menjelaskan Ding Tao memperagakan jurus yang sama dengan irama yang berubah-ubah, sesuai dengan penjelasan yang dia berikan. Mendengar penjelasan Ding Tao, sambil melihat cara pemuda itu memainkan jurus yang sederhana namun keras itu, Murong Huolin jadi makin paham akan penerapan jurus itu dalam pertarungan. Gadis itu pun bertepuk tangan sambil melompat kegirangan. "Wah hebat-hebat. Ding Tao ternyata kau seorang ahli pedang.", pujinya dengan wajah ceria. Sambil tersipu malu Ding Tao menggeleng-gelengkan kepalanya.   "Tidak juga, mungkin hanya sedikit lebih menang pengalaman dari Nona Huolin." "Hmmm tidak perlu berpura-pura malu begitu, kau pintar main siasat, jangan-jangan lidahmu pun pandai berputar, memuji dan menyanjung orang, padahal ada maunya.", goda Murong Huolin sambil melirik penuh arti ke arah Murong Yun Hua yang berjalan mendekat. "Ah, tidak-tidak, mana berani saya berpikir yang tidak-tidak.", jawab Ding Tao sambil menggelengkan kepala. Murong Yun Hua yang ikut mendengar ucapan Murong Huolin ikut tersipu malu, sambil mencubit adiknya itu dia mengomel, "Ih, anak nakal, harusnya kau berterima kasih bukannya malah menggoda." "Aduh, aduh, cici, kalau godaanku benar apakah cici tidak merasa senang?", ujar Murong Huolin sambil berkelit lari dari cubitan cicinya, bersembunyi di belakang Ding Tao yang wajahnya merah padam. "Eh anak nakal, apa maksudmu?", tanya Murong Yun Hua dengan alis terangkat dan wajah tersipu malu. Dikejarnya Murong Huolin yang bersembunyi di belakang Ding Tao, tapi Huolin yang lebih gesit dengan cepat bergerak memutar, menjadikan Ding Tao sebagai perisai di antara dirinya dan Murong Yun Hua. Ding Tao yang dikelilingi dua gadis cantik, mati kutu tidak berani bergerak sedikit pun. Setelah beberapa kali berputaran, akhirnya Murong Huolin berlari pergi meninggalkan ruangan, tertawa geli, sambil berteriak minta ampun pada cicinya. Murong Yun Hua hanya bisa memandangi saja dengan nafas yang sedikit tersengal. Saat dia menoleh ke arah Ding Tao, wajahnya pun tersipu malu.   "Saudara Ding, kau jangan dengarkan perkataan gadis nakal itu."   Ding Tao hanya bisa menyengir kuda sambil mengangguk, dalam hati ada juga terselip rasa senang.   Kepalanya masih berdenyut karena tadi darahnya ikut juga berputaran dengan kencang, saat dia dikelilingi kedua gadis cantik itu.   Bau harum tubuh mereka masih tersisa di rongga hidungnya, juga singgungan-singgungan kecil dengan tubuh keduanya masih terasa hangatnya.   "Hari sudah siang, bibi tentu sudah menyiapkan makan siang, mari ikut aku ke ruang makan.", ajak Murong Yun Hua sambil tersenyum manis.   Sambil berjalan ke arah bangunan utama, menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok membelah taman, mereka berdua bercakap-cakap.   Sedikit banyak Ding Tao mulai mengenal keadaan tuan rumahnya.   Dari keluarga Murong ini, hanya tinggal kedua gadis itu yang masih hidup.   Kedua orangtua mereka sudah meninggal saat mereka masih remaja.   Tapi mereka tidak tinggal sendirian, masih ada belasan pengikut setia yang ikut menjaga dan memelihara rumah itu.   Harta yang diwariskan sendiri masih cukup untuk beberapa turunan.   Sementara untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mengandalkan dari kebun dan sawah yang mereka miliki.   Dengan menjaga pengeluaran sehari-harinya, dapatlah keluarga ini bertahan hidup tanpa banyak menggunakan harta peninggalan orang tua Murong Yun Hua dan Murong Huolin.   Pengurus lama yang setia banyak berperan dalam hal ini.   Murong Yun Hua dan Murong Huolin bukanlah saudara kandung, mereka adalah saudara sepupu.   Bagaimana meninggalnya kedua orang tua mereka, gadis itu tidak mau menjelaskan.   Ding Tao pun tidak tega untuk bertanya lebih lanjut.   Makan siang berjalan dengan baik, masakan yang dihidangkan bukan masakan yang mewah, namun itu justru mencocoki selera Ding Tao.   Karena sikap tuan rumah yang ramah, obrolan mereka berjalan seperti tak ada habisnya.   Tanpa terasa Ding Tao pun bercerita tentang keadaannya yang sedang terluka dalam.   Perihal Pedang Angin Berbisik masih disimpannya erat-erat, bukan karena mencurigai tuan rumah, melainkan karena khawatir hal itu akan membuat keluarga yang terlihat hidup damai ini jadi tersangkut paut dengan urusan berdarah.   Memikirkan hal itu Ding Tao merasa resah karena sudah setuju untuk tinggal selama beberapa hari di rumah Murong.   Ada rasa khawatir bahwa jejaknya akan tercium hingga kemari, menyebabkan masalah datang ke dalam keluarga ini.   Tergerak oleh kebaikan tuan rumah, dalam hati pemuda itu berjanji, jika sampai hal itu terjadi, dia akan bertarung sampai darah penghabisan.   Malam itu saat Ding Tao sudah terbaring di tempat tidur, pikirannya mulai melayang ke mana-mana.   Dikenangnya apa-apa saja yang terjadi sepanjang hari itu.   Siasatnya yang berjalan dengan baik, telah menelan belasan korban.   Ketika teringat hal itu, Ding Tao mengerutkan alis dan menghela nafas panjang.   Sejenak dia mengatupkan mata dan berdoa, bagi arwah mereka yang mati terbunuh hari itu.   Jika memikirkan betapa lebih banyak lagi korban yang harus mati di tangannya, entah lewat pertarungan atau lewat siasat seperti yang baru saja dia lakukan hari ini.   Tapi hal itu tidak bisa dia hindari, setelah lukanya sembuh dia masih harus merebut kembali Pedang Angin Berbisik dari Tiong Fa, sudah tentu Tiong Fa tidak akan berdiam diri begitu saja.   Belum dihitung jika nanti ternyata Tiong Fa memiliki pula anak buah.   Berapa orang lagi harus mati di tangannya? Setelah berhasil merebut pedang itupun bukan berarti sudah tidak ada lagi pertarungan lain yang harus dijalani.   Pertemuan 5 tahunan itu masih kira-kira satu setengah tahun dari sekarang.   Sepanjang masa itu, entah berapa banyak pendekar yang akan mencoba menantangnya secara terang-terangan demi mendapat pedang.   Atau lewat siasat licik seperti yang terjadi pada pemilik pedang sebelumnya.   Jika dia berhasil mempertahankan pedang itu sampai saatnya di pertemuan 5 tahunan, masih ada Ren Zuocan.   Bilai dia mengikuti uraian gurunya, maka itu berarti satu-satunya jalan yang terbaik adalah membunuh Ren Zuocan.   Entah dia mampu atau tidak, tapi setidaknya dia akan maju bertanding dengan membawa niat membunuh sejak awal.   Pemuda itu menghela nafas panjang-panjang, terkenang pertandingan persahabatan yang dilakukan melawan keluarga Huang, dia mengeluh, seandainya saja semua pertarungan seperti itu.   Menjadi ajang menguji diri, menjadi ajang berlatih, tidak perlu terlalu berpikir keras tentang kalah atau menang.   Dan yang terpenting, tidak perlu ada pembunuhan, selesai bertanding justru menjadi sahabat.   Teringat Tiong Fa pemuda itu mengerenyitkan alis, tapi yang dikira sahabatpun ternyata bisa jadi menyimpan sakit hati.   Memikirkan hal ini Ding Tao jadi menyesal telah mempelajari ilmu pedang.   Menggelengkan kepala Ding Tao berusaha mengusir semua pikiran yang menyusahkan dirinya itu jauh-jauh.   Lebih baik memikirkan sesuatu yang menyenangkan, pikir pemuda itu dalam hati, Seperti ah seperti pertemuanku Nona Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Memikirkan kedua gadis itu, tiba-tiba jantung Ding Tao berdebar, ada satu perasaan muncul dari hatinya.   Perasaan yang dia kenal baik, karena belasan tahun lamanya dia memendam perasaan yang sama terhadap seorang gadis.   Pikiran itu menyadarkan Ding Tao, buru-buru pemuda itu mengalihkan pikirannya pada hal lain sambil memaki diri sendiri.   Ah bodoh bodoh gila, kenapa bisa begini? Apa aku ini termasuk laki-laki mata keranjang?, pikir pemuda itu dengan rasa malu dan kecewa pada diri sendiri yang amat sangat.   Malam itu Ding Tao baru tertidur setelah lewat larut malam, pikirannya dipenuhi dengan tiga orang gadis cantik.   -------------------- o -------------------- Dua hari berlalu dengan cepat, kekhawatiran Ding Tao tidak menjadi kenyataan.   Dua hari itu berjalan tanpa ada gangguan dari luar.   Setelah beberapa hari terus menerus dalam keadaan harus berwaspada, dua hari ini merupakan kelegaan yang besar.   Ding Tao menyibukkan diri dengan ikut menata taman bersama pekerja-pekerja keluarga Murong.   Setiap siang dan sore hari, Murong Huolin akan mengajaknya berlatih tanding.   Jika tidak sedang berada di kebun atau berlatih tanding dengan Murong Huolin, Ding Tao menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan Murong Yun Hua.   Dari gadis itu Ding Tao belajar mengenal karya-karya sastrawan besar di masa lalu, mengenal kisah-kisah kepahlawanan dari buku-buku bersejarah.   Gadis itu memiliki banyak hal untuk diceritakan membuat Ding Tao tidak pernah bosan bersamanya.   Keluarga Murong memiliki satu kamar yang khusus digunakan untuk menyimpan berbagai macam buku dan tulisan.   Seni lukis dan ukiran.   Di bangunan yang sedikit terpisah terdapat pula satu tempat kerja berisi peralatan pandai besi, tukang kayu, pembakaran tembikar dan lain lain.   Murong Yun Hua bersama adiknya Murong Huolin menemani Ding Tao melihat-lihat.   Waktu yang dua hari itu dengan cepat berlalu, otak Ding Tao yang haus dengan segala macam pengetahuan seperti menemukan mata air yang tidak ada habisnya.   Ada rasa lega bercampur segan, dengan datangnya hari kedua.   Lega karena akhirnya bisa melanjutkan lagi perjalanannya, bercampur sayang dan segan untuk meninggalkan tempat itu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ding Tao dan Murong Yun Hua sedang melihat-lihat taman yang sudah selesai disesuaikan dengan saran Ding Tao.   Bawaan Ding Tao sudah disiapkan dalam satu buntalan, uang, pedang, semuanya sudah dibawa.   Hari itu Murong Huolin tidak terlihat sama sekali, hanya Murong Yun Hua yang menemani Ding Tao.   Wajah gadis itu tampak sedikit murung, tapi setiap kali Ding Tao melihat ke arahnya, senyumnya mengembang meskipun tampak dipaksa.   "Saudara Ding, perkataanmu tempo hari ada benarnya.   Lihat taman ini jadi lebih menarik.", ujar Murong Yun Hua.   "Ya, pekerjamu melakukannya dengan baik sekali, di beberapa bagian, mereka justru yang mengubahnya.", jawab Ding Tao merendah.   "Ya, mungkin saja itu benar, mereka memang dipilih dan dilatih sendiri oleh ayah, dalam hal seni dan tanaman.   Tapi sudah bertahun-tahun sejak kematian orang tua kami, tidak ada keinginan untuk mengubah segala sesuatunya.   Selama bertahun-tahun, sepertinya kami berhenti hidup.", Murong Yun Hua terdiam mengenangkan masa yang lewat.   "Kedatanganmu, benar-benar membawa angin segar bagi rumah kami.   Terima kasih Saudara Ding.", ujarnya sambil tersenyum pada Ding Tao.   "Sama-sama, kalian yang terlebih dahulu menolongku waktu itu.   Aku berhutang nyawa pada kalian.", jawab Ding Tao tersipu.   "Jadi, apakah kau akan pergi sekarang juga?" "Ya keadaanku saat ini, ah, sudahlah.   Maaf aku sudah banyak merepotkan kalian.   Lagipula, aku memang ada keperluan yang sangat penting.", mendesah panjang Ding Tao siap-siap berpamitan.   "Nona Yun Hua, sebaiknya aku pergi sebelum hari bertambah siang"   Mendongak ke atas, melihat ke arah langit yang cerah, Murong Yun Hua dengan segan menganggukkan kepala.   "Ya, hari cerah, sebentar siang tentu akan sangat panas. Saudara Ding, berhati-hatilah di jalan" "Sampaikan salamku pada Nona Huolin.", sambil memberi hormat pada Murong Yun Hua, Ding Tao mulai membalikkan badan lalu melangkah. "Tunggu sebentar", tiba-tiba Murong Yun Hua mengejar dari belakang, membuat langkah Ding tao terhenti. "Ada apa Nona Yun Hua?" "Sebenarnya, sebenarnya engkau hendak pergi ke mana?" "Ke Biara Shaolin.", tanpa pikir panjang Ding Tao menjawab, dalam 2 hari ini hubungan mereka sudah seperti sahabat yang kenal bertahun-tahun lamanya. "Shaolin? Jangan-jangan Saudara Ding apa kau hendak menjadi biksu?", tanya Murong Yun Hua dengan ekspresi wajah terkejut, kaget dan was-was. Melihat ekspresinya Ding Tao jadi tertawa geli.   "Tidak, tidak, bukan begitu, aku sedang menderita luka dan menurut tabib yang memeriksaku, hanya Biksu Khongzhe atau Pendeta Chongxan yang bisa menyembuhkan lukaku itu." "Ah syukurlah, eh maksudku, maksudmu, kau sedang terluka saat ini? Tapi mengapa Biksu Khongzhe dan Pendeta Chongxan? Mereka bukan orang yang ahli dalam hal pengobatan. Dan kau tidak terlihat sakit Ding Tao apa kau sedang coba menipuku?" "Tidak tentu saja aku sedang tidak membohong. Dari luar sepertinya aku baik-baik saja, tapi di dalam tubuhku ini mengeram hawa liar dari Tinju 7 Luka, selama aku tidak mencoba mengerahkan hawa murniku terlalu banyak, hawa liar itu tertidur dan tidak terjadi apa-apa. Tapi saat aku coba menggunakan hawa murniku terlalu banyak, hawa liar itu bangkit dan menimbulkan pergolakan dalam tubuhku ini.", ujar Ding Tao coba menjelaskan. "Apakah Saudara Ding ingin jadi pendekar nomor satu di dunia? Untuk apa gelaran macam itu? Ataukah masalah dendam? Apa pentingnya mengingat dendam dan menyimpan benci? Asalkan Saudara Ding tidak ikut campur dalam urusan dunia persilatan, tinggal di suatu tempat yang tenang, menghabiskan hidup dalam kedamaian hingga usia tua", ujar Murong Yun Hua dengan nada sendu dan kepala tertunduk. Berdebar hati Ding Tao, meraba-raba maksud dari perkataan nona itu. Memandang ke arah kediaman keluarga Murong, terbayang kehidupan penuh kedamaian, jauh dari intrik-intrik keji dunia persilatan, jauh dari pertarungan berdarah. Memandang ke arah sebaliknya, ke arah jalan pergi dari kediaman keluarga Murong, terbayang perjuangan berat dan berliku, tapi di ujung sana ada Huang Ying Ying yang menanti. "Tidak, gelar pendekar nomor satu tidak kuinginkan. Dendam aku juga tak punya. Akupun ingin hidup damai, jauh dari urusan dunia persilatan, tapi", berat hati Ding Tao, tapi dia tidak bisa melupakan kekasih yang menanti, juga pesan dan tugas gurunya. "Tapi apa? Apakah Kakak Ding tidak ingin tinggal lebih lama di sini? Apakah tempat kami kurang menyenangkan? Adakah aku dan Adik Huolin begitu membosankan? Tidak tahukah Kakak Ding, jika Adik Huolin semalaman menangis, karena Kakak Ding hendak pergi hari ini?", dua tetes air mata yang bening mengalir dari sepasang mata yang jeli, memalingkan muka Murong Yun Hua, menyembunyikan air matanya, namun Ding Tao masih sempat melihatnya. Pedih hati Ding Tao, dalam hati dia mengeluh, menyesal telah bersedia untuk tinggal selama dua hari di tempat ini. Seandainya saja dia lebih teguh hati, mungkin dia tidak akan terjerat dalam perasaan bersalah seperti saat ini. "Bukan begitu Nona Yun Hua, tapi demi menjalankan tugas dan pesan guruku, lagipula tugas ini berkaitan dengan kewajibanku sebagai seorang laki-laki terhadap negaranya." "Kakak Ding, aku tidak mengerti, tugas apa yang dibebankan gurumu sebenarnya? "Nona Yun Hua, pernahkah nona mendengar tentang pertemuan lima tahunan antara tokoh-tokoh persilatan? Pernahkah nona mendengar tentang ambisi Ketua Sekte Matahari dan Bulan, Ren Zuocan?", tanya Ding Tao. Raut wajah Murong Yun Hua berubah jadi serius, matanya mengawasi Ding Tao dengan pandangan menyelidik.   "Ya, aku tahu tentang hal itu, bahkan mengetahuinya dengan cukup jelas. Ambisi Ketua Ren Zuocan untuk menguasai dunia persilatan kita, ancaman dari luar perbatasan jika dia berhasil melakukannya." "Syukurlah kalau nona tahu akan hal itu, tugas dari guruku adalah agar aku berusaha untuk membendung ambisi Ren Zuocan." "Saudara Ding, bukannya aku hendak meremehkanmu, melihatmu berlatih tanding dengan Adik Huolin, aku tahu kau punya bakat yang luar biasa. Tapi tingkatan Ren Zuocan jauh di atasmu, bahkan tanpa luka dalam tubuhmu kurasa kau masih beberapa tingkat berada di bawahnya."   Sejenak Murong Yun Hua berhenti berbicara, pandang matanya tajam, menyelidik raut wajah Ding Tao, kemudian dengan suara bergetar dia lanjut bertanya.   "Apakah kau punya satu andalan yang lain?"   Untuk beberapa lama Ding Tao merasa ragu, tapi saat memandang Murong Yun Hua muncul perasaan bersalah karena masih menyimpan rahasia dari mereka, seakan mereka orang-orang yang patut dicurigai.   Padahal selama dua hari ini mereka memperlakukannya dengan sangat baik, tidak ubahnya keluarga sendiri.   Akhirnya dia memutuskan untuk menceritakan tentang bagaimana dia mendapatkan Pedang Angin Berbisik, tugas yang dibebankan gurunya padanya dan bagaimana dia bisa kehilangan pedang itu.   Mendengar kisah Ding Tao, wajah Murong Yun Hua berubah pucat, tiba-tiba dua tangannya mencengkeram lengan baju Ding Tao.   Menggelengkan kepala seakan tak percaya, dipandanginya wajah pemuda itu dengan mata yang basah oleh air mata.   "Kakak Ding Kakak Ding akhirnya doaku terjawab sudah"   Menghadapi sikap Murong Yun Hua yang demikian tiba-tiba, Ding Tao jadi gelagapan.   Bukan hanya Ding Tao saja, sikap Murong Yun Hua yang mengejutkan itu juga menarik perhatian mereka yang sedang bekerja.   Mereka semua berdiri tertegun, tidak tahu harus berbuat apa.   Apa yang sudah dilakukan pemuda itu hingga Murong Yun Hua bersikap aneh? Perlahan-lahan kesadaran Murong Yun Hua pun kembali, cengkeramannya pada lengan baju Ding Tao dilepaskan, dipandangnya wajah pemuda itu.   "Kakak Ding, maafkan sikapku barusan.   Tapi benarkah kau sempat memiliki Pedang Angin Berbisik dan meskipun saat ini pedang itu tidak ada padamu, tapi kau tahu di mana pedang itu saat ini?" "Ya, memang benar begitu, setidaknya aku pikir aku tahu di mana aku harus mencari dan merebut kembali pedang itu.   Tapi sebelum itu, aku harus berhasil menyembuhkan terlebih dahulu luka dalam yang kuderita.", jawab Ding Tao, dpandanginya wajah Murong Yun Hua, pemuda itu khawatir Murong Yun Hua kembali bersikap histeris.   "Ada sesuatu tentang keluargaku yang kau belum tahu.   Jika Kakak Ding tidak keberatan, maukah kau mendengarkan sedikit kisahku? Kita bisa mencari tempat yang teduh untuk bercakap-cakap sejenak", tanya Murong Yun Hua, pandang matanya terarah pada satu gubuk tempat di bawah pohon yang rindang, di sana ada beberapa potongan batu besar diletakkan dan ditata sebagai tempat duduk.   "Baiklah, mari.", ujar Ding Tao dengan hati mulai tertarik.   Setelah mereka sampai di tempat yang dituju, Murong Yun Hua tidak segera bercerita.   Ding Tao menunggu dengan sabar, meskipun dalam hati ingin segera mendengar kisah gadis itu.   "Kakak Ding, tahukah kau siapa pembuat Pedang Angin Berbisik?", tanya Murong Yun Hua, membuka percakapan.   Pertanyaan itu hanya dijawab dengan gelengan kepala, karena jawabannya pasti akan segera menyusul.   Timbul pula satu tebakan dalam pikiran Ding Tao, mengingat pedang kayu, replika Pedang Angin Berbisik yang ada di ruang latihan keluarga Murong.   Tapi dia tidak mau mengatakan tebakannya itu, ditunggunya saja Murong Yun Hua memberikan jawaban yang pasti.   Murong Yun Hua mendesah panjang, seakan melepaskan beban di hati, sebelum kemudian menjawab.   "Ayahkulah yang membuat Pedang Angin Berbisik, hal ini memang tidak diketahui oleh banyak orang dalam dunia persilatan."   Ding Tao mengangguk perlahan.   "Ah, ayah nona pastilah seorang yang mahir dalam pembuatan pedang." "Bukan hanya dalam hal pembuatan pedang, ayahku seorang yang mahir dalam banyak hal, kesukaannya berkeksperimen dengan apa saja yang terpegang oleh tangannya. Mempelajari setiap buku yang bisa dia dapatkan. Pedang Angin Berbisik hanyalah satu dari sekian banyak hasil pekerjaan tangannya. Lalu Kakak Ding, tahukah kau siapa isteri dari Pendekar Jin Yong, pemilik pertama dari Pedang Angin Berbisik?"   Sekali lagi Ding Tao menggelengkan kepalanya, meskipun dalam benaknya dia mulai menebak-nebak.   Apakah Pendekar Jin Yong masih terikat dengan hubungan keluarga dengan keluarga Murong? Apakah Murong Yun Hua adalah isteri Pendekar Jin Yong? Ah, tidak mungkin, Murong Yun Hua masih begitu muda, sedangkan sekitar 12 tahun yang lalu, Pendekar Jin Yong sudah berumur 20-an.   Cukup lama sebelum Murong Yun Hua menjawa pertanyaannya sendiri dengan suara yang lirih.   "Akulah isteri dari Pendekar Jin Yong"   Meskipun tebakan itu sempat lewat dalam benaknya, tidak urung Ding Tao terkejut dan bergumam tanpa sadar.   "Ah, tapi itu tidak mungkin"   Menaikkan alis kepala Murong Yun Hua bertanya.   "Mengapa tidak mungkin?"   Ditanya demikian, Ding Tao jadi tersipu.   "Ehm, maksudku, umur umur nona.. eh nyonya, kukira masih lebih muda dariku."   Mendengar jawaban Ding Tao wajah Murong Yun Hua yang sedari tadi tampak murung jadi berseri, sambil menahan tawa dia bertanya.   "Oh, memang umur Kakak Ding sekarang berapa?" "Umurku umurku tahun ini genap 20 tahun.", jawab Ding Tao menahan malu, entah mengapa membicarakan umur Murong Yun Hua membuatnya merasa malu. Sambil tersipu Murong Yun Hua berkata.   "Umurku tahun ini menginjak 28 tahun, aku menikah dengan Pendekar Jin Yong sejak berusia 15 tahun. Kakak Ding ataukah aku seharusnya memanggilmu Adik Ding?" "Eh ya, sungguh kupikir, nona, nyonya, masih berumur 19 atau 20-an, benar, aku tidak membohong. Maafkan aku kalau bersikap kurang sopan.", ujar Ding Tao merasa jengah, sudah bersikap layaknya teman, tanpa tahu jika Murong Yun Hua sudah berumur jauh lebih tua dari dirinya. Mendesah sedih Murong Yun Hua menjawab.   "Adik Ding ah sebenarnya aku justru merasa senang dengan sikapmu selama ini. Tapi biarlah aku memanggilmu Adik Ding tapi sebaliknya kau panggil aku kakak, jangan nona, bisa?" "Oh, tentu tapi itu jika nona, tidak keberatan."   Wajah Murong Yun Hua pun menjadi cerah kembali, ajaib memang begitu mudah raut wajah seseorang berubah-ubah dalam satu percakapan.   "Tentu saja aku tidak keberatan dan anggap saja kau tidak tahu umurku yang sebenarnya. Benarkah aku masih kelihatan begitu muda?"   Melihat Murong Yun Hua menjadi gembira, hati Ding Tao pun ikut terhibur.   "Ya, itu benar-benar yang sesungguhnya, selama ini kukira umur Kakak Yun Hua tidak lebih tua dari umurku. Eh, lalu umur Nona Huolin berapa ya?" "Umur Adik Huolin? Nah, nah, kenapa bertanya? Apakah kau tertarik padanya?", goda Murong Yun Hua yang hatinya sedang senang. "Bukan begitu, cuma, kukira umurnya tidak jauh berbeda dengan umurku, tapi siapa tahu kau salah lagi.", jawab Ding Tao cepat-cepat. "Hmmm, soal itu aku tak tahu, apa harus kukatakan padamu atau tidak.", jawab Murong Yun Hua dengan pandang mata menggoda. "Eh, tidak dikatakan pun tak apa.", jawab Ding Tao cepat. Sambil tersenyum Murong Yun Hua menyudahi godaannya.   "Adik Huolin, tahun ini tepat berumur 17."   Tapi senyumnya dengan cepat menghilang, menghitung umut Murong Huolin, gadis itu jadi teringat masa-masa suram bagi keluarga Murong, dengan sedih dia berujar.   "Kasihan Adik Huolin, ayah bundanya meninggalkan dia di usia yang sangat muda." "Kakak, jika aku boleh bertanya, apakah yang ingin nona bicarakan ada hubungannya dengan, dengan kematian suami Kakak Yun Hua?", Ding Tao bertanya dengan hati-hati. Raut wajah Murong Yun Hua memang sendu tapi juga ada ketegasan di sana.    Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Perangkap Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH

Cari Blog Ini