Pedang Angin Berbisik 44
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 44
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Tetua, jika Shaolin diminta menjaga Shao Wang Gui selama semalam saja, apa kira-kira ada halangan?" "Hmm iblis itu sendiri memiliki banyak akal, selain itu para pendukungnya yang tidak berani muncul saat dia panggil. Bukan tidak mungkin masih memiliki cukup keberanian dan kesetiaan untuk mencoba melepaskannya di waktu malam.Tapi jika Pendeta Chongxan, Bhiksuni Huan Feng,Rekan Hua Ng Lau, Rekan Xun Siaoma dan Saudara Bai Chungho bersedia membantu Shaolin untuk menjaganya. Kukira tidak akan ada masalah jika Ketua Ding Tao ingin menunda hukumannya sampai besok pagi.", jawab Bhiksu Khongzhen. Ding Tao yang peka segera menangkap kesan yang disampaikan oleh Bhiksu Khongzhen, dari enam ketua perguruan besar dan tokoh yang hadir, nama Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang tidak disebut di dalamnya. "Hmmm, aku mengerti. Lalu bagaimana dengan Tetua dan Ketua sekalian, apakah kira-kira ada masalah jika kalian membantu penjagaan atas diri Shao Wang Gui malam ini?" "Tidak, tidak ada masalah, tentu saja kami dengan suka hati akan membantu.", demikian mereka yang duduk satu meja, beramai-ramai menjawab, termasuk Zhong Wei Xia dan Guang Yong Kwang. "Baiklah kalau begitu, biarlah hukuman Shao Wang Gui kita tunda sampai besok pagi, tidak perlu pula semua orang menyaksikannya yang hendak pulang ke tempatnya masing-masing hari ini juga, biarlah pulang. Tapi untuk malam ini kuharap Tetua Bhiksu Khongzhen, Tetua Pendeta Chongxan, Tetua Hua Ng Lau, Tetua Bai Chungho dan Tetua Xun Siaoma bersedia untuk berjaga-jaga. Tentunya orang-orang dari partai pedang keadilan pun akan ada yang ditugaskan untuk membantu berjaga di Biara Shaolin.", ujar Ding Tao sambil memandang ke arah mereka yang namanya disebutkan. "Ketua Ding Tao sungguh bijaksana, memang terlampau kasar jika perayaan seperti ini harus dinodai dengan penumpahan darah.", ujar Guang Yong Kwang sambil melirik Bai Chungho dengan senyum dikulum. "Heheh siapa yang tidak tahu kalau pengemis itu wataknya kasar, yang penting luar dan dalam, tidaklah berbeda. Daripada penampilan bagus namun isinya busuk, ini yang repot.", jawab Bai Chungho tidak mau kalah. Guang Yong Kwang sudah membuka mulut hendak menjawab, tapi Zhong Weixia meletakkan gelasnya ke atas meja dengan suara yang cukup keras, membuat Guang Yong Kwang menoleh ke arahnya. "Hmm orang muda seharusnya belajar hormat pada yang lebih tua. Lagipula apa Ketua Kunlun tidak malu, berdebat mulut dengan seorang pengemis?" "Hee jika ada yang hendak membuka suara, baiklah dia mengatakan hal-hal yang baik saja. Jangan sampai suasana jadi rusak karena hal-hal sepele.", Xun Siaoma membuka mulut menengahi. Wajah Guang Yong Kwang sudah memerah karena kesal, namun pemuda itu cepat menekan emosinya dan tersenyum kembali. "Ah rekan-rekan, aku mohon maafkan aku. Terkadang mulutku memang susah diatur. Ketua Bai Chungho, harap kau anggap angin omonganku yang sebelumnya." Bai Chungho tadinya masih ingin mendamprat pemuda itu beberapa kali lagi, namun karena Guang Yong Kwang sudah memohon maaf di depan yang lain, dia pun jadi sungkan untuk menerukskan perdebatan. "Ya..ya aku pun minta maaf pada Ketua Guang Yong Kwang, maklumlah sehari-harinya aku ini hanya seorang pengemis. Mana mengerti tentang ajaran- ajaran yang baik." Suasana yang sempat memanas pun jadi mereda, Ding Tao yang khawatir akan terjadi pertengkaran di antara mereka pun jadi lega. Hari itu pun berlalu tanpa ada kejadian penting yang perlu diceritakan. Ding Tao masih harus bertemu dengan ketua-ketua dari berbagai perguruan. Mendengar pendapat mereka mengenai apa-apa yang harus dia pertimbangkan sebagai seorang Wulin Mengzhu. Keesokan harinya, kecuali dilakukannya hukuman atas Shao Wang Gui di depan tokoh- tokoh persilatan, kesibukan yang sama seperti di hari sebelumnya masih menghabiskan waktu Ding Tao. Demikian 3 hari berturut-turut Ding Tao dan para pengikutnya menghabiskan waktu di Gunung Songshan, menjadi tamu Biara Shaolin dan Ding Tao menghabiskan waktu hanya untuk mendengarkan masukan-masukan dari tokoh dunia persilatan yang ingin bertemu dengan dirinya. Ada pula ketua-ketua dari perguruan yang datang untuk mengakui keterlibatan mereka dalam rencana Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui. Mereka ini datang untuk meminta ampunan dari Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu, kebanyakan mengaku bahwa mereka mengikuti rencana Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui karena terpaksa. Ada yang anggota keluarganya disandera, ada pula yang dipaksa karena sudah menelan racun tertentu. Tentu saja setiap laporan ini perlu diurus lebih lanjut, mereka yang mengaku anggota keluarganya disandera, selain datang untuk mengaku tentu saja juga datang untuk memohon bantuan. Demikian juga mereka yang dipaksa meminum racun buatan dua iblis itu.Ding Tao pun harus membagi-bagi tugas dan memohon bantuan dari tokoh-tokoh yang dia percayai, seperti Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan dan yang lain. Tidak ada kesempatan sedikitpun bagi Ding Tao untuk bertemu dengan Huang Ren Fu untuk meluruskan kesalah pahaman di antara mereka. Atau menemui Hua Ying Ying untuk melepas rindu. Tapi kesibukan itu pun akhirnya berakhir, sedikit demi sedikit tokoh-tokoh dunia persilatan yang menunggu di kaki Gunung Songshan untuk bertemu dengan Ding Tao semakin sedikit. Hingga akhirnya tidak tersisa seorang pun, tinggal para bhiksu Biara Shaolin, Hua Ng Lau serta dua orang murid dan anak angkatnya, dan beberapa orang pengikut utama Ding Tao yang masih menunggu. Saat akhirnya mereka berpamitan dengan Bhiksu Khongzhen dan para pimpinan di Shaolin pun, rombongan mereka tinggal hanya 8 orang. Ding Tao, Hua Ng Lau, Hua Ying Ying, Huang Ren Fu, Ma Songquan, Chu Linhe, Tang Xiong dan Li Yan Mao. Pengikut Ding Tao yang lain, yang jumlahnya mendekati seratus orang sudah kembali terlebih dahulu ke tempat masing-masing membawa kabar gembira tentang terpilihnya Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu di generasi yang sekarang ini. Bagaimana pun juga apa yang mereka khawatirkan ternyata tidak terjadi. Dengan terkuaknya Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui sebagai dua orang otak dibalik penyerangan atas keluarga Huang di Wuling, ketakutan yang membayangi mereka rasanya sebagian besar sudah hilang. Dari pengakuan Shao Wang Gui, dua orang yang lain adalah Wu Shan Yee dan Kong Wan, raja perampok yang menguasai pegunungan dan hutan-hutan di wilayah barat tenggara. Seharusnya Kong Wan dan anak buahnya ikut pula membaur dengan penonton lain yang menghadiri pemilihan Wulin Mengzhu. Bersama dengan beberapa perguruan-perguruan kecil dan besar yang ditundukkan oleh Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui secara diam-diam. Dari Shao Wang Gui juga didapatkan banyak informasi yang diperlukan Ding Tao untuk membebaskan mereka yang dipaksa oleh sepasang Iblis itu untuk tunduk pada perintahnya. Mereka yang mengikut secara suka rela karena iming-iming harta dan kekuasaan dicatat pula untuk diperiksa dan diawasi lebih lanjut. Setelah menghabiskan tiga hari penuh dengan berbagai macam urusan, berjalan dengan bebas dengan langit yang biru cerah di atas, udara yang segar untuk dihirup dan pemandangan indah di kiri dan kanan jalan, hati Ding Tao pun terasa sangat lega. Beberapa li jauhnya dari Biara Shaolin, melewati jalan yang lenggang, pemuda itu pun menghembuskan nafas lega, "Hahhhh Adik Ying Ying, bukankah hari ini indah sekali?" "Benar, ini hari yang cerah, apalagi setelah beberapa hari terkurung terus dalam ruangan, tentu perasaan Kakak Ding Tao jadi ringan berjalan di luar.", jawab Hua Ying Ying sambil tersenyum. Ding Tao pun tersenyum, saat dia menengok ke arah Hua Ying Ying, bau harum yang tersiar keluar dari tubuh gadis itu pun tercium oleh hidungnya yang tajam. Saling bertatapan, Hua Ying Ying kemudian menundukkan kepala, tersipu malu. Demikian juga dengan Ding Tao, pemuda itu merasa malu dan jengah, apalagi dia teringat dengan keadaannya sekarang ini. Dia sudah beristeri dua dan sekarang sedang mengagumi seorang gadis yang bukan isterinya. Teringat hal itu, mulut Ding Tao jadi terkunci, lidahnya kelu dan kegembiraannya pun menguap hilang. Betapa mudah manusia dipermainkan susah dan senang. Hua Ying Ying juga terdiam dan berjalan sambil menundukkan kepala saja. Entah sudah berapa hari, berapa minggu dan berapa bulan dia merindukan Ding Tao? Sekarang ketika akhirnya dia berjalan di sisinya, justru dia tak mampu berbicara. Padahal sekian banyak malam dia habiskan, membayangkan dan merencanakan, apa yang akan dia katakan seandainya dia bertemu muka dengan Ding Tao. Sekarang justru dia tidak bisa mengucapkan apa-apa. Untuk beberapa lama, sepasang kekasih yang dipisahkan oleh nasib ini pun berjalan dalam diam. Anggota rombongan yang lain adalah orang-orang dekat mereka, tanpa perjanjian lebih dulu, dengan sendirinya mereka berjalan sedikit terpisah dari sepasang kekasih itu. Ma Songquan, Hua Ng Lau dan Chu Linhe, berjalan sedikit di depan. Huang Ren Fu, Tang Xiong dan Li Yan Mao tertinggal cukup jauh di belakang, berbicara banyak tentang pengalaman mereka sejak kejadian di Wuling dan mengenang sahabat dan saudara yang terbunuh di hari yang terkutuk itu. Setiap kali hendak membuka percakapan, jantung Hua Ying Ying berdegup kencang. Sambil menggigit bibir gadis ini mengumpulkan segenap keberaniannya untuk memulai pembicaraan. Matanya melirik ke arah Ding Tao, siapa sangka di saat yang bersamaan Ding Tao juga sedang memandang dirinya. Wajah setengah tengadah, mata jeli dan bibir ranum yang digigit, tiba-tiba Ding Tao merasa kakinya lemas dan jantungnya berdebaran lebih kencang. "Ah uhm, Adik Ying Ying, kau cantik sekali.", di luar maunya dia pun berucap. Hua Ying Ying yang tadinya mau bicara pun jadi lupa dengan apa yang sudah dia rencanakan, tergagap dia menundukkan wajahnya dan menjawab. "Ah Kakak Ding Tao bisa saja bukankah kata orang isteri kakak secantik bidadari dari langit?" Selesai berkata barulah gadis itu berpikir dan menyesal, Jangan-jangan Kakak Ding Tao pikir aku cemburu padahal bukan seperti itu maksudku. Tapi apa memang aku tidak cemburu? Kembali keduanya terdiam beberapa lama, namun Ding Tao yang sudah memuji Hua Ying Ying tanpa maksud apa-apa, merasa tidak enak jika tidak menjelaskan. Lagipula jawaban Hua Ying Ying memang bisa berarti macam-macam. Ding Tao yang merasa dirinya memang bersalah, merasa harus menjelaskan. Mengapa harus menjelaskan? Karena dia ingin Hua Ying Ying memaafkan dirinya, tidak marah apalagi benci terhadap dirinya? Apakah karena dia masih berharap bisa memperisteri Hua Ying Ying? Berbagai pertanyaan ini berkecamuk dalam pikirannya, membuat dia terdiam. "Kakak Ding Tao, apakah kakak marah oleh ucapanku barusan?", dengan suara perlahan Hua Ying Ying bertanya. Ding Tao yang sedang berpikir dan berkutat dengan tuduhan-tuduhan dalam hatinya sendiri pun terkejut mendengar perkataan Hua Ying Ying. "Apa? Marah? Tidak tentu saja tidak. Apa yang adik katakan itu tidaklah salah. Adik tidak bersalah sedikitpun, justru justru diriku-lah yang bersalah pada kalian semua." Setelah terdiam sejenak, Ding Tao pun berkata. "Adik Ying, maafkanlah aku, aku tidak bisa menepati janjiku padamu. Ternyata aku bukanlah lelaki yang setia." "Tidak kakak tidak salah Aku tahu, kalian semua mengira kami sudah mati terbunuh juga dalampembunuhan hari itu.", jawab Hua Ying Ying, menggelengkan kepalanya perlahan. Ding Tao pun bimbang, alangkah mudahnya untuk berkata ya, lama dia terdiam, hingga Hua Ying Ying menjadi ragu atas jawabannya sendiri. "Kakak bukankah benar kataku?" Ding Tao menghela nafas panjang sebelum menjawab. "Seandainya aku bisa mengatakan ya, dengan nurani yang tidak terganggu" Bibir Hua Ying Ying bergetar, jantungnya berdegup kencang. "Maksud kakak apakah kakak tahu bahwa kami masih hidup ketika" "Tidak tidak bukan itu maksudku. Kami semua berpikir kalian sudah meninggal saat itu, memang sempat muncul harapan saat kami berhasil menangkap Tiong Fa. Tapi.. kemudiankami berusaha mencari jejak kalian dan tidak dalam hati kecilku aku percaya bahwa kalian berdua memang masih hidup. Tapi aku tidak tahu apakah itu hanyalah keinginanku, atau memang hatiku berkata demikian", Ding Tao buru-buru berusaha meluruskan maksudnya. "Maafkan aku Adik Ying, di saat yang penting, aku justru kehilangan keyakinanku", ujarnya perlahan. Hua Ying Ying diam untuk beberapa lama, bergumul dengan perasaannya. Ding Tao hanya bisa memandanginya dengan hati terasa perih, menyesal dan menyalahkan diri sendiri untuk kelemahannya. Apakah dia menyesali pernikahannya dengan Murong Yun Hua dan Murong Huolin? Pemuda itu pun bertanya-tanya dalam hati, ada di sudut hatinya satu kejengkelan pada Hua Ying Ying, mengapa gadis itu harus marah? Tidakkah dia bisa mengerti? Mengapa Hua Ying Ying tidak mau membuat masalah ini menjadi mudah? Jika dia sudah bebas, mengapa tidak secepat mungkin menemui dirinya, jika saja dia berbuat demikian, tentu Ding Tao tidak menikah dengan kedua Murong bersaudara dan tidak perlu merasa bersalah seperti sekarang ini. Namun dengan cepat Ding Tao mengusir rasa itu pergi, merasa kesal pada diri sendiri karena berpikir demikian. "Tidak apa kakak tidak bersalah aku bisa mengerti keadaan kakak. Bahkan Kak Huang Ren Fu dan Ayah Hua Ng Lau pun berpikiran sama. Itu sebabnya kami memilih untuk menghilang, seandainya Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui tidak muncul pada saat itu, sampai sekarang pun kami tidak akan muncul di hadapanmu.", ujar Hua Ying Ying setelah diam cukup lama, bergumul dengan perasaannya sendiri. "Mengapa kalian tidak datang padaku? Jika aku tahu bahwa kau masih hidup, maka aku tidak akan menikahi mereka berdua.", tiba-tiba Ding Tao bertanya dengan kesal. Hua Ying Ying yang mendengar nada kesal dalam suara Ding Tao jadi terkejut. Sejak tadi dia sudah menahan perasaan sakit yang timbul karena cemburu, mendengar nada kesal dalam suara Ding Tao, segala perasaan yang berusaha ditekan pun meledak keluar. "Apa maksudmu mengapa kami tidak datang padamu!? Berapa lama kau menunggu dan mencari keberadaan kami? Apakah lebih lama dari penantianku? Selama kami dalam tangan Tiong Fa, bisakah kau membayangkan apa yang harus kami lalui setiap harinya? Ketika akhirnya kami berhasil membebaskan diri, aku mendengar bahwa kau sudah menikah! Justru karena rasa cintaku padamu, aku memutuskan untuk membiarkanmu hidup bahagia, dengan dua orang isterimu!", seru Hua Ying Ying dengan suara cukup keras. Hua Ng Lau yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas. Ma Songquan melirik ke arah isterinya dan Chu Linhe hanya menggelengkan kepala perlahan. Ma Songquan pun hanya bisa menghela nafas, apalagi baginya urusan cinta Ding Tao bukanlah urusan yang paling penting bagi dirinya. Di belakang, rombongan Huang Ren Fu, Tang Xiong dan Li Yan Mao pun ikut mendengar seruan Hua Ying Ying itu. Huang Ren Fu yang sudah mendengar banyak cerita dari Tang Xiong dan Li Yan Mao mengenai keadaan Ding Tao saat dia berusaha mencari mereka berdua, melangkah maju ke depan, ingin mendamaikan keduanya, tapi Li Yan Mao yang sudah kenyang dalam pengalaman hidup, meraih tangannya dan menahan Huang Ren Fu untuk ikut campur. "Biarlah masalah ini tidak bisa diselesaikan orang luar kecuali jika Nona Ying Ying yang datang padamu untuk minta pendapat.", ujarnya tersenyum menenangkan. Di depan sana Ding Tao menggertakkan gigi, menyesali apa yang barusan dia katakan. "Adik Ying Ying maafkan aku maafkan aku aku merasa marah pada diriku sendiri. Terlalu malu untuk mengakui kelemahanku dan aku aku aku berusaha lari dari kenyataan itu dan melemparkan kesalahan itu padamu.", ujarnya dengan setulus hati. Masih dengan mata membara Hua Ying Ying menatap Ding Tao lurus-lurus, saat itu Ding Tao masih menunduk dengan penuh penyesalan. Saat dia menengadahkan kepala dan memandang Hua Ying Ying, Ding Tao bisa melihat kemarahan dan kesedihan di dalam dirinya. "Adik Ying memang aku yang bersalahmaafkan aku", ujarnya dengan sepenuh hati. Perlahan kemarahan dalam hati Hua Ying Ying mereda, tidak sakit itu tidak hilang sepenuhnya tapi kemarahannya sudah mereda, perlahan dia menggelengkan kepala. "Sudahlah Kakak Ding Tao juga tidak bersalah" "Tidak kalian belum mendengar seluruh kisahnya", ujar Ding Tao, suaranya sedikit bergetar. Awalnya sedikit terbata-bata, namun dengan semakin banyaknya kata yang keluar, semakin lancar dia berbicara. Dari mulut Ding Tao mengalirlah kisah pertemuannya dengan Murong Yun Hua, bagaimana dalam perjalanannya ke Biara Shaolin dia bertemu dengan dua gadis itu. Hingga pada malam itu, di mana dia akhirnya menyerah pada keinginan Murong Yun Hua. Seperti membersihkan hatinya dari luka yang bernanah, kata-kata keluar dengan menderas. "Adik Ying kau lihat, sesungguhnya memang aku bersalah padamu Bersalah pada kalian semua, aku mengerti jika kau tidak bisa memaafkanku atau percaya padaku untuk kedua kalinya. Tapi jika kau masih mau memberiku kesempatan maukah kau maukah kau menikah denganku?" "Tidak jangan kau jawab sekarang aku sepenuhnya paham jika kau menolaknya", ujar Ding Tao menatap lurus ke arah Hua Ying Ying. Gadis itu menatap Ding Tao dengan berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatinya, kemudian dia perlahan menganggukkan kepala. Hari itu pun berlalu tanpa ada lebih banyak kata-kata di antara mereka berdua. Anggota rombongan yang lain pun memberikan ruang bagi keduanya untuk mengurai benang cinta yang terajut kusut di antara keduanya. Beberapa hari berlalu, kejadian yang sama masih berulang. Hua Ng Lau, Ma Songquan dan Chu Linhe berjalan di depan. Huang Ren Fu, Li Yan Mao dan Tang Xiong berjalan jauh di belakang. Sementara Ding Tao dan Hua Ying Ying berjalan berdua dalam diam. Hua Ying Ying benar-benar bergulat dengan perasaannya yang campur aduk tidak karuan, antara cinta, marah, benci dan cemburu. Ketulusan Ding Tao, penyesalannya yang sungguh-sungguh dan rasa cinta yang belum pernah padam, membuat gadis itu ingin memaafkan dan mengalah. Segala rasa sakit dan cemburu akan dia kubur dalam-dalam asalkan dia bisa bersamanya. Di saat yang sama, rasa cinta itu juga yang membangkitkan kecemburuan dalam hatinya, cemburu dan sakit hati karena merasa dikhianati. Ketika mereka beristirahat di penginapan pun, Hua Ying Ying akan menyendiri, tak hendak dia bercakap-cakap dengan yang lain, kecuali beberapa kalimat pendek, sekedar untuk menjaga kesopanan. Jika dia merasa sangat penat, dia akan datang pada Hua Ng Lau, orang tua itu sudah menjadi pengganti ayah yang sangat dekat dengan hatinya. Lebih mirip seorang kakek yang memanjakan cucunya, daripada seorang ayah yang lebih keras dalam mendidik puterinya. Bila saat seperti itu tiba, Hua Ying Ying akan datang pada Hua Ng Lau, tidak ada kata yang keluar. Dia hanya datang untuk menyandar di bahu Hua Ng Lau dan menangis sepuas-puasnya. Hua Ng Lau yang sudah berumur, mengenal betul perangai Hua Ying Ying, yang bisa manja namun juga keras dalam kemauan. Dia mengerti Hua Ying Ying tidak ingin bertanya, dia ingin mengambil keputusan sendiri, dia datang hanya untuk mendapatkan penguatan dan dukungan, dan itulah yang diberikan Hua Ng Lau. Hua Ng Lau tidak pernah membicarakan masalah Ding Tao dengan Hua Ying Ying. Jika gadis itu datang, maka Hua Ng Lau pun akan membiarkan dia menangis sepuasnya. Jika dilihatnya, perasaan Hua Ying Ying sudah membaik, orang tua itu akan bercerita tentang banyak hal, tapi tidak sedikitpun dia memberikan nasehat. Dia menunggu Hua Ying Ying bertanya, namun tidak juga gadis itu bertanya. Demikian beberapa hari berlalu, yang lain tidak berani ikut campur dalam urusan yang peka itu. Masalah hati memang masalah yang rumit, apalagi hati seorang gadis. Ratusan li jauhnya dari tempat Hua Ying Ying, seorang gadis lain dilanda masalah asmara yang tidak kalah peliknya. "BRAGG !!!", seorang lelaki terlempar keluar lewat pintu yang belum dibuka, dari ruangan besar tempat pertemuan Persatuan Harimau Putih yang merajai propinsi Shanxi. Kalau terlempar keluar saja sudah sakit bukan main, apalagi sebelum keluar harus menuburuk pintu kayu yang keras, setelah sampai di luar masih juga terguling-guling, lalu menabrak pot besar dari batu. Tapi yang terjungkal keluar setelah ditendang oleh seseorang dari dalam ruang pertemuan bukan orang biasa. Nama aslinya Auwyang Xia, nama panggilannya kerbau besi, tubuhnya benar-benar liat dan keras. Benar-benar badannya seperti seekor kerbau yang berkulit dan berotot besi. Sayangnya otaknya juga setingkat kerbau dan lebih suka main seruduk daripada berpikir dahulu sebelum bertindak. Malasnya juga mirip kerbau, jika sudah kambuh penyakit malasnya, pekerjaan apapun akan dia tunda-tunda. Tidak heran, kalau bekerja di mana pun Auwyang Xia sering mendapatkan caci maki dari atasannya. Herannya meskipun kemalasannya sudah terkenal di mana-mana, tidak kurang juga orang yang berusaha mempekerjakan dia. Termasuk yang baru saja menendang dia keluar dari ruangan sampai memecahkan daun pintu dan pot dari batu. Yang ditendang punya nama, tentu yang menendang lebih ternama lagi. Siapa orangnya? Ternyata yang baru saja menendang keluar Auwyang Xia adalah Wang Shu Lin atau yang lebih dikenal sebagai Ximen Lisi. Terbukanya rahasia Ximen Lisi dalam pertemuan untuk memilih Wulin Mengzhu di kaki Gunung Songshan benar-benar membuat pusing gadis itu. Maklum saja yang namanya geng-geng itu, berisi orang-orang kasar yang tidak kenal pendidikan dan andalannya hanyalah kekuatan. Seringkali mereka memandang kaum wanita derajatnya beberapa lapis di bawah kaum lelaki. Selama ini Ximen Lisi membuat mereka takluk dengan kepandaian dan kekuatannya. Namun ketika mengetahui bahwa dirinya adalah seorang gadis, mulailah muncul perlawanan kecil di sana-sini. Seperti yang baru saja terjadi dengan Auwyang Xia yang ditendang keluar olehnya. "Kerbau! Kutunggu laporanmu akhir minggu ini. Jika urusan itu belum juga selesai, jangan salah jika lain kali bukan kakiku lagi, tapi pedangku yang bicara. Boleh kita lihat apakah kulit kerbaumu benar-benar sekeras besi.", seru Wang Shu Lin dari dalam ruangan, sedikitpun dia tidak menengok keluar untuk melihat nasib Auwyang Xia yang baru saja dia tendang hingga terlempar belasan kaki jauhnya. "Baik baik nona eh tuan sebelum minggu ini berakhir aku akan datang untuk melapor", jawab Auwyang Xia sambil meringis menahan sakit. Di dalam ruangan Wang Shu Lin, mendengarkan jawaban Auwyang Xia dengan alis berkerut. Jari-jemarinya memijit dahinya yang serasa mau pecah, karena banyak urusan tertunda, hanya karena dia seorang gadis. Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun, sejak terbongkarnya penyamaran Wang Shu Lin, ikut datang ke Shanxi dan membantu Wang Shu Lin menjalankan perkumpulannya. Dengan nada prihatin, Zhu Jiuzhen mendekati Wang Shu Lin. "Shu Lin, sabarlah, pelan-pelan mereka juga akan mengerti. Bahwa Wang Shu Lin dan Ximen Lisi tidak ada bedanya." Wang Shu Lin menghela nafas. "Hehh Jiuzhen, sampai kapan kau dan kawanmu mau menumpang di sini? Apa kau pikir aku tidak bisa mengatasi masalah ini sendiri?" Lu Jingyun yang ikut datang sebagai sahabat Zhu Jiuzhen, hanya duduk di sudut ruangan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Jiuzhen Jiuzhen ada ribuan gadis cantik di luar sana, mengapa harus mencari harimau betina?, batinnya dalam hati. Zhu Jiuzhen sudah kenyang berhadapan dengan Wang Shu Lin yang berlidah tajam. "Hmm apa kau sudah tidak menganggapku sebagai teman? Masa kau keberatan hanya karena beberapa mangkok nasi dan beberapa guci arak saja?" Wang Shu Lin sudah membuka mulutnya untuk memaki lagi, namun melihat ketulusan Zhu Jiuzhen untuk membantu dirinya, tiba-tiba dia jadi tak tega. Apalagi dia tahu Zhu Jiuzhen menaruh hati padanya. Dahulu dia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang konyol dan patut ditertawakan, tapi sekarang, sekarang dia sendiri sudah mengenal apa itu cinta. Tidak bisa lagi dia menertawakan Zhu Jiuzhen seperti dulu. "Ah dasar kalian segerombolan orang pemalas, kalau memang mau makan dan minum gratis sebaiknya kalian berdua bekerja. Kau gantikan aku menyelesaikan urusan di sini, aku mau tidur, kepalaku pusing!", ujarnya sambil bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan. "Ya beristirahatlah yang banyak. Tidak usah kuatir segala urusan, ada kami berdua di sini, kau tidak usah kuatir.", ujar Zhu Jiuzhen sambil memandangi Wang Shu Lin berjalan pergi. Wang Shu Lin hanya melambaikan tangan dan tidak menengok ke belakang. Air mata mengembang di pelupuk matanya. Mengapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak menentu? Mudah terharu, mudah marah, apakah aku sudah mulai gila...? Ah Ding Tao, pikir gadis itu dalam hati. Begitu dia sampai di luar dan tidak terlihat dari tempat Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun berada, gadis itu pun menyusut air mata yang sudah mau tumpah keluar. Setengah berlari, gadis itu pergi ke kamarnya. Jika dilihatnya orang lewat cepat-cepat dia berjalan dengan wajar, dengan wajah keras dan tegas, Wang Shu Lin menyembunyikan kegundahan dalam hatinya. Apa yang sebenarnya membuat seseorang jatuh cinta? Sulit dikatakan, tiap-tiap orang mungkin berbeda, yang pasti saat ini Wang Shu Lin sedang jatuh cinta pada Ding Tao. Cinta pertama di hatinya yang tertutup rapat, seperti air yang membual keluar, semakin kuat di tekan, semakin rasa itu mendesak keluar dengan derasnya. Begitu sampai di dalam kamar, gadis itu pun segera menutup dan memasang palang pintu, kemudian melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Mengapa juga harus jatuh cinta, jika jatuh cinta, mengapa bukan pada Zhu Jiuzhen yang mencintainya sepenuh hati? Mengapa harus jatuh cinta pada seorang pria yang sudah beristeri dua. Bahkan di luar dua isterinya itu, masih pula memiliki seorang kekasih dan tidak ada satu pun dari ketiganya yang buruk rupa. Sudah berpuluh bahkan beratus kali Wang Shu Lin mematut-matut dirinya di depan cermin sejak dia meninggalkan kaki Gunung Songshan. Tidak sekalipun dia merasa dirinya secantik Hua Ying Ying yang dia lihat berada dalam pelukan Ding Tao. Kekuatan yang dulu dia banggakan, sekarang justru dia benci. Tubuh berotot yang menyimpan kekuatan yang bisa menundukkan setiap lawan, betapa jauh berbeda dengan Hua Ying Ying yang gemulai dan begitu lembut dalam pelukan Ding Tao. Terkadang perasaannya melambung ke atas bila mengingat seorang Zhu Jiuzhen bisa pula jatuh cinta padanya. Wajahnya tidaklah buruk, bila dia melepas bajunya dan mengamati tubuhnya yang telanjang, dia bisa melihat lekak-lekuk tubuhnya yang menggiurkan. Tapi di saat lain, penilaiannya terhadap diri sendiri berubah 180 derajat, apalagi jika mengingat pujian orang akan kecantikan dua orang isteri Ding Tao dan lebih-lebih lagi jika teringat oleh keayuan Hua Ying Ying yang dilihatnya sendiri. Kalau ditimbang-timbang, entah siapa yang lebih merana. Apakah Hua Ying Ying ataukah Wang Shu Lin. Yang seorang merasa dikhianati, karena dialah yang pertama memiliki Ding Tao, namun justru orang lain yang lebih dahulu menikah dengan Ding Tao. Yang seorang lagi justru tidak pernah hadir dalam kehidupan Ding Tao sedikitpun, betapa dia mendambakannya, betapa pula dia merasa dirinya terlalu mengada-ada. Saat air matanya mengering, Wang Shu Lin bangkit berdiri, menatap cermin yang terpasang di kamarnya. Sebelum dia pulang dari kaki Gunung Songshan, cermin itu tidak ada. Segera setelah dia kembali dari kaki Gunung Songshan, cermin itu pun ada dalam kamarnya. Sudah belasan kali Wang Shu Lin berpikir untuk pergi dari Shanxi dan mencari Ding Tao untuk menyampaikan perasaan dalam hatinya. Belasan kali pula dia menyingkirkan pikiran itu dari benaknya. Hari ini segenap rasa kesal dan juga cinta sudah tak tertahankan lagi olehnya. "Gadis bodoh, apa pula yang kau takuti dan apa pula yang kau tangisi. Baik kita pergi sekarang, biarkan kata-kata yang pedas menyadarkanmu dari mimpi!", ujarnya dengan marah pada sosok dirinya yang terpantul di cermin. Inilah Wang Shu Lin, Wang Shu Lin yang membasmi habis 16 orang kepala geng di Shanxi tanpa ampun. Boleh jadi dia seorang gadis dengan segala emosinya, tapi Wang Shu Lin memang macan betina. Jika dia sudah mengambil keputusan, apakah dunia mau menertawakan dia atau menghalanginya dia tidak akan mau tahu. Siapa peduli apakah tabu atau tidak. Siapa mau peduli, apakah nanti Ding Tao akan menerima cintanya atau tidak. Dia mau kepastian dan dengan kepastian itu dia ingin melangkah ke depan. Tak hendak dia terhenti di tempat dan menangisi seorang lelaki yang belum tentu mencintainya, seperti dirinya mencintai dia. Jika memang ada kemungkinan, dia akan memperjuangkan cintanya. Jika memang tidak ada kemungkinan, dia akan melupakannya. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Belasan kali dia berpikir demikian, namun rasa takut akan penolakan membuat dia terhenti. Tapi hari ini kekesalannya sudah sampai di puncaknya. Dengan jantung berdebar, dia mengeluarkan selembar kertas yang sudah dia tulis beberapa malam sebelumnya. Sebuah pesan bagi Lu Jingyun dan Zhu Jiuzhen. Wang Shu Lin memang berbakat untuk jadi orang besar dalam dunia persilatan, meskipun dia sering mengeluhkan keberadaan Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun, dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk menunjukkan pada setiap pengikutnya, bahwa kedudukan dua orang itu hanyalah di bawah dirinya, namun di atas setiap pengikut yang lain. Lain kata, lain pula siasat dan perbuatan. Dengan demikian, selembar surat inipun sudah cukup baginya untuk meninggalkan perkumpulan yang dia bangun di atas banjir darah dan peluh, di tangan dua orang yang dia percayai. Bagi Wang Shu Lin, waktu terasa berjalan begitu lambat. Menunggu hingga kentongan berbunyi, menandakan malam sudah larut, barulah dia mengendap-endap pergi keluar. Dalam hati Wang Shu Lin sempat tertawa geli, mengapa pula dia harus mengendap-endap di tempatnya sendiri seperti seorang pencuri. Malam itu pun Wang Shu Lin menghilang dari Shanxi dan keesokan paginya seisi rumah pun jadi geger oleh perbuatan gadis itu. "Ke mana harimau betina itu pergi, seenaknya saja menitipkan urusan sebesar ini pada orang lain.", omel Lu Jingyun sambil membaca surat itu untuk ke sekian kalinya. Tidak mendapat tanggapan sedikit pun dari Zhu Jiuzhen dia menengok pada sahabatnya itu, dilihatnya Zhu Jiuzhen diam termenung. Mendesah panjang Lu Jingyun pun berkata. "Sudahlah, begitu banyak gadis di dunia ini, mengapa pula kau harus memikirkan yang seorang itu?" "Menurutmu dia pergi menemuinya?", tanya Zhu Jiuzhen tanpa menengok sedikitpun. Lama Lu Jingyun terdiam, cara nasib mempertemukan orang memang unik. Persahabatannya dengan Zhu Jiuzhen, diawali dari kejadian yang tak disengaja. Namun dalam waktu singkat, mereka sudah menjadi sahabat dekat. Kecocokan yang timbul dengan begitu saja, setelah melewati berbagai petualangan bersama, berubah menjadi persahabatan yang kuat. Sedemikian sehingga Lu Jingyun yang menyukai kebebasan, bersedia mengorbankannya buatcinta Zhu Jiuzhen pada Wang Shu Lin. Sekarang sebagai sahabat dia tidak ingin menyampaikan pendapatnya, tidak ingin pula membohongi dia. "Saudara Jing Yun, menurutmu dia pergi untuk menemuinya kan?", sekali lagi Zhu Jiuzhen bertanya. Lu Jingyun menghela nafas dan menjawab. "ya" Zhu Jiuzhen diam cukup lama, kemudian bangkit berdiri dan berkata. "Ayolah, kita toh tidak mungkin makan, minum dengan gratis." Tanpa banyak cakap, Lu Jingyun bangkit berdiri dan mengikuti Zhu Jiuzhen. Entah apa itu cinta, yang pasti, banyak orang berbuat bodoh karena satu perkataan itu. Banyak dari mereka yang saat rasa itu mulai mereda kemudian menyesalinya. Tapi ada juga yang hidup hingga sekian puluh tahun tanpa pernah menyesali kata itu. Jauh di selatan, rombongan Ding Tao akhirnya sampai juga di tepian sungaiYangtze. Sungai besar yang menjadi garis pemisah, memisahkan dua wilayah daratan menjadi bagian utara dan selatan. Membentang sepanjang daratan, dari tibet hingga Shanghai, sungai itu menjadi sumber penghidupan bagi jutaan orang, tapi juga menjadi sumber bencana saat banjir datang menerpa. Seperti biasa, di tempat-tempat penyeberangan, ramai sekali orang berlalu lalang, pedagang kecil yang menjajakan makanan, para saudagar dengan barang-barang bawaan mereka, tukang perahu, para pengelana dan sekian banyak macam orang lainnya. Saat itu Ding Tao dan rombongannya beristirahat di sebuah kedai teh yang ada di dekat tempat penyeberangan, sementara Tang Xiong pergi mencari tukang perahu langganan keluarga Huang. Selama beberapa hati melakukan perjalanan bersama, hubungan Ding Tao dan Huang Ren Fu yang sempat merenggang sudah kembali membaik. Satu-satunya ganjalan di antara mereka hanyalah hubungan Ding Tao dengan Hua Ying Ying, sebagai seorang kakak Huang Ren Fu terperangkap di antara keduanya. Sedangkan masalah keputusan Ding Tao atas nyawa Shao Wang Gui, mereka berdua akhirnya sepakat untuk berbeda pendapat, namun saling menghargai, berdasarkan saling percaya akan ketulusan masing-masing pihak. Tentang hal itu Huang Ren Fu pernah berkata. "Jika aku memiliki kesempatan untuk menyatroni Biara Shaolin dan menemukan iblis kecil itu di dalam sel tahanannya, tanpa berpikir dua kali aku akan turun tangan untuk memenggal kepalanya." Yang atas perkataan itu Ding Tao hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Aku bisa mengerti aku juga tidak akan menyalahkanmu seandainya hal itu terjadi. Hanya saja sebagai seorang sahabat, satu hal kupinta, sebelum kau menebas lehernya, cobalah lihat dia sebagai manusia, bukan sebagai sesosok iblis atau siluman." Huang Ren Fu tercenung sejenak, sebelum kemudian pembicaraan mereka beralih pada hal-hal lain, tiba-tiba dia berkata pula. "Aku akan lakukan itu, aku akan coba lihat dia sebagai seorang manusia, namun kukira, tetap saja aku akan menebas batang lehernya." Ding Tao pun jadi sedikit bingung, setelah beberapa saat otaknya bekerja, barulah dia sadar Huang Ren Fu tengah menjawab permintaannya mengenai Shao Wang Gui. "Terima kasih", jawabnya singkat. "Tidak perlu aku tahu, nasehatmu itu kau tujukan bagi diriku sebagai sahabatmu. Bukan karena Shao Wang Gui, tapi karena aku.", jawab Huang Ren Fu. Lama Ding Tao menatap pemuda di hadapannya, beberapa tahun yang lalu dia adalah tuan muda bagi dirinya, sekarang mereka berdiri sejajar. Namun tidak sedikitpun tampak adanya sikap yang merendahkan muncul dari Huang Ren Fu. Ding Tao pun mengingat kembali, saat pertama mereka berjanji untuk menjadi sahabat. Dia mengingat pula sikap pemuda itu jauh sebelumnya. Ding Tao pun merasa kagum pada kerendahan hati Huang Ren Fu, diingatnya setiap tingkah laku dan tindak tanduk pemuda itu dan tidak didapatinya cela di dalamnya. "Terima kasih terima kasih sudah mau menjadi sahabatku", ujar Ding Tao setulus hati. Huang Ren Fu hanya tertawa saja, sambil menuangkan secangkir the untuk dirinya sendiri. Di luar sana orang lalu lalang dengan ramai, suara orang berteriak dan berbicara dengan keras. Hua Ying Ying sedang melihat-lihat keramaian ditemani Chu Linhe. Hua Ng Lau berdua dengan Ma Songquan berjalan di belakang mereka, mengobrol tentang berbagai hal. "Ah sebenarnya ada satu masalah yang cukup penting, yang harus kusampaikan pada Ketua Ding Tao, tapi rasanya waktunya tidak juga pas. Apalagi dengan adanya masalah dalam hubungan anak perempuanku dengannya.", ujar Hua Ng Lau. "Ah ada soal apakah, kalau aku boleh tahu?", tanya Ma Songquan. "Tentu saja boleh, justru aku berharap, Saudara Ma Songquan bisa membantu memikirkan masalah ini, tanpa menambah kepusingan Ketua Ding Tao. Tentang penting atau tidaknya bolehlah kalian pertimbangkan sendiri.", jawab Hua Ng Lau. "Tabib Hua, anda membuat aku makin penasaran, cobalah ceritakan masalahnya.", kata Ma Songquan tertarik. Hua Ng Lau pun mulai menceritakan tentang percakapan yang ia curi dengar dari seorang pendekar Kunlun dan seorang pengikut Ding Tao di Gui Yang. Berlanjut pada usaha mereka untuk mengurai masalah tersebut dan kesimpulan yang mereka dapatkan. "Nah itulah yang ingin kami sampaikan pada Ketua Ding Tao, masalah ini sudah sempat aku bicarakan pula dengan Ketua Bai Chungho, namun belum ada waktu yang terasa tepat untuk menyampaikannya pada Ketua Ding Tao. Lagipula dengan terpilihnya Ketua Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu, juga dengan kekalahan sepasang iblis tua itu, ada kalanya kupikir masalah ini tidaklah sebesar yang kutakutkan.", ujar Hua Ng Lau menutup ceritanya. Alis Ma Songquan berkerut-kerut, jarinya membelai-belai pipi sendiri yang sudah mulai ditumbuhi jenggot kasar. "Hmm masalah ini tidak bisa dibilang kecil, sejak awal kami sudah merasa curiga dengan Perguruan Kunlun, memang tadinya kami berpikir mereka semua adalah satu komplotan besar. Tapi bisa juga, orang-orang ini bergerak sendiri-sendiri dengan ambisinya masing-masing. Partai Pedang Keadilan tumbuh terlalu cepat dan membangkitkan pikiran jahat dari orang-orang yang berambisi besar." "Benar, itulah yang awalnya aku khawatirkan, namun ternyata di kaki Gunung Songshan, meskipun terjadi kejutan, tapi tidaklah sebesar yang kita takutkan.", jawab Hua Ng Lau. "Ya, tapi bisa jadi api itu tidak jadi membara, justru karena kekalahan Thai Wang Gui yang di luar rencana. Seandainya Thai Wang Gui menang, dan kurasa sebagian besar orang berhitung demikian, tentu akan berbeda pula kejadiannya.", ujar Ma Songquan. "Apakah menurut Saudara Ma, ada kemungkinan memang benar pihak Kunlun bekerja sama dengan sepasang iblis tua itu?", tanya Hua Ng Lau. "Kenapa tidak? Kalau menurut Tabib Hua sendiri bagaimana?", Ma Songquan bertanya balik. "Bisa jadi, yang ada mungkin bukan satu kumpulan dengan satu pimpinan, tapi beberapa kekuatan yang bersekutu untuk menguasai dunia persilatan. Sepasang iblis tua itu bagian yang terlihat, sementara Kunlun dan mungkin beberapa perguruan lurus lainnya bekerja di belakang. Seandainya Thai Wang Gui menang, mereka semua akan munculke permukaan, namun karena Thai Wang Gui kalah, mereka pun urung untuk maju ke depan.", jawab Hua Ng Lau. "Benar, kurasa juga begitu, Shao Wang Gui memang memberikan daftar panjang dari para pendukungnya. Namun tidak ada satupun perguruan atau perkumpulan besar dalam daftar itu. Bukan berarti tidak ada dari perguruan atau perkumpulan ternama yang muncul, tapi kukira kelicikan Shao Wang Gui membuat dia menyembunyikan nama-nama besar yang bekerja bersamanya.", kata Ma Songquan. "Ya iblis kecil itu, tentu tidak ingin mencari perkara dengan orang penting, sementara dirinya sudah menjadi cacat. Lebih baik mengumpankan beberapa ikan kecil untuk menunjukkan kerja sama dan mencari muka. Sementara rahasia kelam orang-orang ternama dia simpan, selain mencari balas budi, juga bisa digunakan sebagai modal tawar menawar di kemudian hari.", angguk Hua Ng Lau menyetujui pemikiran Ma Songquan. "Hari ini juga aku akan mengirim berita ini ke Saudara Chou Liang yang sekarang menjalankan segala urusan perkumpulan selama kami pergi. Biarlah Ketua Ding Tao memiliki waktu untuk dirinya sendiri selama beberapa hari ini. Tabib Hua sungguh banyak berjasa bagi kami, mewakili sekalian pengikut Partai Pedang Keadilan, aku ucapkan terima kasih.", ujar Ma Songquan sambil merangkap tangan di depan dada, menunjukkan rasa terima kasihnya pada Hua Ng Lau. Hua Ng Lau pun membalas penghormatan itu. "Ah tidak perlu, bagaimana pun juga, perkumpulan kalian memiliki hubungan yang erat dengan anak angkat dan murid tunggalku. Mana mungkin kami berdiam diri jika melihat sesuatu mengancam perkumpulan kalian." "Hahaha, kami sangat beruntung bisa memiliki sekutu seperti Tabib Hua.", balas Ma Songquan sambil tertawa. "Ah, lihat itu, Tang Xiong sudah datang, kukira perahu untuk kita tentu sudah siap.", ujar Ma Songquan saat melihat Tang Xiong berjalan mendekat. "Baguslah, aku sudah tua, tidak begitu lagi menikmati perjalanan panjang", ujar Hua Ng Lau sambil tertawa pelan. Chu Linhe dan Hua Ying Ying yang ada di depan, bertemu lebih dulu dengan Tang Xiong, setelah bercakap-cakap beberapa saat, mereka bertiga pergi menemui Ma Songquan dan Hua Ng Lau. Barulah kemudian mereka berlima pergi ke kedai tempat Ding Tao dan yang lain menunggu. Bersama-sama mereka pergi ke tempat perahu yang disewa Tang Xiong disandarkan. Perahu itu cukup besar, dengan ruang untuk beristirahat. Tidak aneh karena pemilik perahu ini adalah langganan lama keluarga Huang, sudah tentu bukan perahu biasa. Saat pergi ke kaki Gunung Songshan Ding Tao dan pimpinan Partai Pedang Keadilan yang lain juga menggunakan perahu yang sama. Itu sebabnya, sedikit banyak Ding Tao sudah kenal pula dengan pemilik perahu. Mereka pun bercakap-cakap beberapa saat, sebelum menaiki perahu itu. Ma Songquan yang ingin secepatnya mengirimkan kabar pada Chou Liang, berpamitan pada Ding Tao. "Ketua Ding Tao, kalian jalanlah terlebih dahulu. Aku dan Chu Linhe ada sedikit urusan di sini, besok pagi tentu kami sudah akan menyusul kalian semua." "Apakah ada masalah penting?", tanya Ding Tao perhatian. "Tidak ada, hanya masalah kecil saja, ada beberapa pesan yang ingin kukirimkan pada saudara-saudara yang ada di pusat. Selain juga memberitahukan tentang perjalanan kita, supaya mereka tidak usah merasa khawatir", jawab Ma Songquan. "Oh begitu, tentu saja, itu pemikiran yang baik. Mengapa juga aku sampai tidak berpikir ke sana.", jawab Ding Tao sambil menepuk jidatnya. "Hahaha, Ketua Ding Tao tidak perlu memikirkan hal-hal yang kecil seperti ini. Sesekali nikmati saja perjalanan dan pemandangan yang ada. Setelah menjadi Wulin Mengzhu, saat-saat seperti ini tentu akan sulit ditemukan lagi.", ujar Ma Songquan sambil tertawa lebar. "Hahaha, ya aku beruntung memiliki banyak sahabat. Baiklah, kami akan berangkat terlebih dahulu.", ujar Ding Tao. Ma Songquan dan Chu Linhe pun, memandangi orang yang mereka percayai bersama sahabat-sahabat mereka, menaiki perahu dan menyeberang. Cukup lama mereka berdiri di tepian sungai, memandangi perahu yang bergerak perlahan ke tengah, sembari mengikuti aliran sungai. Ding Tao dan rombongannya tidak akan menyeberang di tempat itu, melainkan beberapa li jauhnya ke hilir, di jalan besar yang lebih dekat menuju ke Wuling. "Kakak, entah mengapa perasaanku sedikit tidak enak. Apalagi setelah mendengar cerita kakak tentang penemuan Tabib Hua di Gui Yang.", ujar Chu Linhe sambil memandangi perahu yang makin lama makin jauh dan sebentar lagi tidak akan nampak dari tempat mereka berdiri. "Hmm, kukira tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan, sudah cukup lama kita mengamati pergerakan orang-orang Kunlun di daerah kita. Memang sedikit kecolongan di Gui Yang, tapi hal itu tidak begitu aneh, karena Gui Yang baru saja kita kuasai, waktunya pun begitu dekat dengan pemilihan Wulin Mengzhu sehingga kita tidak bisa menaruh banyak perhatian di sana. Akibatnya tidak banyak orang yang bisa dipercaya di sana.", ujar Ma Songquan sambil menepuk lengan Chu Linhe mengajaknya pergi, karena perahu yang ditumpangi Ding Tao dan yang lainnya sudah tidak nampak lagi dari tempat mereka berdiri. Sambil berjalan pergi, menuju tempat penghubung dari daerah itu ke Jiang Ling, di mana seluruh pergerakan Partai Pedang Keadilan dikoordinasikan, dengan Chou Liang sebagai pemikirnya dan Ding Tao sebagai pengambil keputusan terakhir. Beberapa puluh langkah mereka berjalan Ma Songquan masih diam, Chu Linhe juga tidak menganggunya, mereka sudah begitu saling mengenal hingga Chu Linhe tahu bahwa Ma Songquan masih memikirkan apa yang dia katakan. "Hmm, mungkin kau merasa demikian karena segala sesuatunya berjalan terlalu lancar.", ujar Ma Songquan tiba-tiba. "Mungkin kakak benar, tapi apakah kakak tidak merasa aneh, menjadi Wuling Mengzhu setelah baru saja muncul dalam dunia persilatan. Apakah mungkin memang ada yang dinamakan pilihan dari langit?", tanya Chu Linhe setelah merenungi jawaban Ma Songquan. "Mana aku tahu, selama ini yang kurasa langit tidak pernah bersahabat dengan kita. Setidaknya sampai kita bertemu Ding Tao. Tapi kita sudah mengikuti pemuda itu sejak awal terjunnya dia dalam dunia persilatan, menurutmu apakah ada yang aneh dengan sepak terjangnya?", Ma Songquan bertanya balik. Ganti Chu Linhe yang terdiam dan lama merenungi pertanyaan Ma Songquan itu. Apakah ada yang aneh dalam diri Ding Tao? Kepribadiannya yang tulus dan tidak berambisi, bisa dikatakan aneh. Lebih aneh lagi jika seseorang yang sedemikian tidak berambisi, justru sekarang menjadi pimpinan puncak dari seluruh tokoh persilatan di dalam perbatasan. Apakah mungkin Ding Tao adalah seorang cerdik, licin dan ambisius, namun begitu pandai membungkus ambisinya, sedemikian rupa sehingga mereka semua menjadi buta matanya, sehingga puluhan bahkan ratusan tokoh persilatan yang kenyang makan asam dan garamnya kehidupan ditipu mentah-mentah olehnya? "Apa menurut kakak, kita sudah salah melihat orang?", tanya Chu Linhe pada Ma Songquan. Kali ini jawaban Ma Songquan datang dengan cepat, sebelum kaki kanan melangkah untuk kedua kalinya dia sudah menjawab. "Tidak sekali-kali aku tidak salah mengenal orang. Kalau aku salah menilai orang, dengan dua tanganku sendiri akan kubunuh orang itu dan kubutakan dua mataku yang sia-sia melihat dunia selama puluhan tahun lamanya." Chu Linhe pun jadi terdiam, dalam hati dia maklum, betapa runyam keadaan mereka berdua sebelum bertemu Ding Tao. Bisa dikatakan, setiap hari yang ada hanya kegelapan, jika kemudian Ding Tao yang dianggap sebagai secercah cahaya, hanyalah sebuah kegelapan, betapa gelapnya kegelapan tempat mereka hidup saat ini. Dari jawaban kekasihnya itu, dia bisa merasakan, rasa percaya yang mutlak bahkan hampir-hampir putus asa pada sosok Ding Tao. Sebuah kengerian menyelip dalam hatinya, bagaimana jika benar semua yang ditampilkan Ding Tao hanyalah kepalsuan saja? Masih bisakah mereka berdua bertahan hidup dalam keadaan itu? Chu Linhe selamanya satu perasaan dengan Ma Songquan, kali inipun dia bisa mengerti benar apa yang dikatakan Ma Songquan barusan. Apakah memang sudah kodrat wanita untuk mencintai dan mendukung pengejaran hidup seorang laki-laki? Dan sudah kodrat laki-laki untuk mengejar kesempurnaan hidup? Jika benar Ding Tao hanyalah sebuah kepalsuan, secercah cahaya yang nyatanya adalah kegelapan, Chu Linhe bertekad untuk membantu Ma songquan membunuhnya dan kemudian hidup sebagai satu-satunya cahaya dalam pencarian Ma Songquan, menjadi pengganti sepasang bola mata Ma Songquan, yang dia yakin benar akan dicukil keluar oleh Ma Songquan sendiri tanpa penyesalan, diiringi lolongan kepedihan dari dasar hatinya yang terdalam. Dua hari kemudian, berita yang dikirimkan Ma Songquan sampai pula ke Jiang Ling. Chou Liang yang membaca pesan dari Ma Songquan, berkerut alis membaca surat itu berulang-ulang, seakan khawatir ada satu atau dua kata yang terlewatkan. Sesungguhnyalah demikian, Chou Liang yang mengawasi jaringan mata dan telinga mereka, sangat khawatir dengan berita yang datang dari Ma Songquan. Meskipun terlihat kecil dan tidak berarti di saat mereka akhirnya berhasil mengantar Ding Tao sampai pada kedudukan Wulin Mengzhu, hal yang sekecil ini bisa jadi adalah batu kerikil yang membuat mereka terpeleset dan jatuh terguling-guling. Dan batu kerikil ini tidak bisa dikatakan kecil, jika benar cabang Gui Yang sudah jatuh ke tangan orang-orang yang dijerat oleh obat perebut jiwa milik orang Kunlun, maka kemungkinan penyebarannya sulit diperhitungkan. Bisa jadi terbatas di Gui Yang, bisa juga saat ii sudah mulai menyebar ke cabang-cabang lain. Chou Liang pun mulai menghitung-hitung, jumlah pengikut yang bisa dipercaya dan tidak bisa dipercaya. Hatinya semakin getir ketika menyadari, sebagian besar dari mereka yang bisa dipercaya adalah bekas pengikut keluarga Huang. Di saat yang sama, Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu justru muncul ke permukaan. Dalam pesan Ma Songquan tersirat masih adanya ganjalan dalam hubungan antara Hua Ying Ying dan Ding Tao. Pesan kiriman Ma Songquan memang padat tapi mendetail dalam setiap hal yang penting. Kesetiaan Ma Songquan benar-benar terletak pada Ding Tao, berbeda dengan Tang Xiong dan Li Yan Mao yang berdiri dengan satu kaki di sisi Ding Tao dan kaki yang lain di sisi keluarga Huang. Bagi Tang Xiong dan Li Yan Mao, yang mereka harapkan adalah terjadinya pernikahan antara Ding Tao dan Hua Ying Ying, dengan demikian tidak ada lagi pertentangan di antara dua kesetiaan yang ada dalam hati mereka. Tapi bagi orang-orang seperti Ma Songquan dan Chou Liang, kesetiaan mereka terletak sepenuhnya pada Ding Tao. Bagi mereka ini, kehadiran Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying adalah hal yang hanya memperumit keadaan. Jika Ding Tao berhasil memenangkan hati Hua Ying Ying, maka kesetiaan pengikut keluarga Huang dalam Partai Pedang Keadilan akan semakin kokoh. Tapi jika tidak, maka kehadiran mereka berdua justru memperlemah kekuatan Partai Pedang Keadilan. "Saudara Chou Liang, seharian kau tidak keluar ruangan, apa tidak bosan?", ujar Murong Yun Hua, berjalan masuk tanpa mengetuk pintu. Chou Liang pun untuk sejenak setelah sekian lamanya menekuni surat kiriman Ma Songquan, menegakkan badan dan meluruskan lehernya. "Ah.. Nyonya Murong" Setelah begitu lama membaca dalam keadaan tegang, barulah sekarang terasa betapa pegal lehernya, sembari memijat bagian belakang lehernya, Chou Liang menjawab. "Ada berita baru dari Saudara Ma Songquan mengenai rombongan Ketua Ding Tao." "Ah, baguslah kalau begitu, dengan ini kukira banyak orang akan merasa lega, meskipun kalau dipikirkan sebenarnya tidak ada yang perlu dikuatirkan.", ujar Murong Yun Hua sambil berjalan mendekat. Murong Yun Hua pun menarik kursi, duduk di depan Chou Liang dan bertanya. "Benar kan? Tidak ada yang perlu dikuatirkan." Tanpa menjawab dengan satu patah kata pun, Chou Liang mengangsurkan surat yang dia terima dari Ma Songquan. Murong Yun Hua segera menerima surat itu dan mulai membaca. Tidak berapa lama dia selesai membaca, ekspresinya sudah berubah sama keruhnya dengan ekspresi wajah Chou Liang. "Tentang Gui Yang, menurutmu bagaimana?", tanya Murong Yun Hua. "Anggap saja Gui Yang sudah lepas dari tangan kita.", jawab Chou Liang perlahan. "Hmm Ketua Ding Tao baru saja terpilih menjadi Wulin Mengzhu, pijakannya belum kuat, jika kejadian di Gui Yang ini tersebar, kira-kira apa yang akan terjadi?", tanya Murong Yun Hua dan Chou Liang pun diam tak menjawab untuk waktu yang cukup lama. Meskipun Chou Liang tidak juga menjawab, Murong Yun Hua pun diam tidak memberikan pendapat, sampai akhirnya Chou Liang membuka mulut dan berkata. "Jika kita tidak bisa membereskan masalah Gui Yang dengan cepat, penilaian orang akan kemampuan Partai Pedang Keadilan dan ketua Ding Tao akan turun drastis. Jika itu terjadi, maka Wulin Mengzhu akan menjadi sebuah nama kosong. Bagaimana mungkin seseorang mengurus seluruh dunia persilatan, jika dia tidak bisa mengurus satu cabang kecil?" "Perintahnya akan dipertanyakan dan dilaksanakan dengan setengah hati. Seandainya Ketua Ding Tao orang yang tegas dan hatinya dingin, masalah seperti itu bisa dengan mudah diatasi. Namun menilik sifatnya, jika sampai terjadi hal seperti itu, tentu akan berusaha dicari jalan yang damai, yang hanya akan memberi angin pada lebih banyak orang untuk membangkang pada dirinya." "Jadi bagaimana pendapat Saudara Chou Liang, dengan cara apa kita harus menangani masalah ini?", tanya Murong Yun Hua. "Untuk saat ini, kita harus menunggu kedatangan Ketua Ding Tao dan yang lain. Kekuatan inti kita tidaklah terlalu besar, sementara penyusupan pihak luar, entah sudah sejauh mana. Baru setelah Ketua Ding Tao ada di pusat, kita akan mengerahkan seluruh saudara yang bisa dipercaya untuk membereskan masalah di Gui Yang.", ujar Chou Liang. "Tanpa memberitahu Ketua Ding Tao lebih dahulu?", sambung Murong Yun Hua. "Ya, tergantung dengan keadaan Ketua Ding Tao nanti. Apakah Nyonya punya pendapat yang berbeda?",jawab Chou Liang dengan sedikit ragu, dia merasakan ada nada kurang puas dalam pertanyaan Murong Yun Hua. Murong Yun Hua pun terdiam untuk beberapa lama sebelum akhirnya menjawab perlahan. "Kukira tidak ada jalan lain, jika memang masalah ini hendak diselesaikan dengan tangan besi Tapi entah ada berapa banyak masalah yang sudah Saudara Chou Liang selesaikan tanpa sepengetahuan Kakak Ding Tao." Ditanya demikian Chou Liang jadi terdiam, memang bukan sekali ini Chou Liang melakukan sesuatu di belakang Ding Tao. Hanya saat segala sesuatunya terjadi dan tidak mungkin disembunyikan barulah dia melaporkan hal itu pada Ding Tao. Memang bisa dikatakan, setiap kali Chou Liang bertindak demikian, tentu tidak ada kerugian yang didapatkan Partai Pedang Keadilan atau Ding Tao. Bahkan bisa dikatakan, perbuatan Chou Liang itu menguntungkan kedudukan Ding Tao. Dalam segala hal, nama Ding Tao tidak pernah tersangkut dalam urusan yang buruk. Jika nama Chou Liang mewakili sisi mengerikan dan mengancam dari Partai Pedang Keadilan, nama Ding Tao mewakili segala yang baik dari Partai Pedang Keadilan. Golok Sakti Karya Chin Yung Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo