Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 17


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 17


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Selesai bicara, tanpa menunggu jawaban dari Ding Tao, orang itu pergi meninggalkan kedai teh itu, berjalan kembali ke arah kota Wuling.   Mengikuti kepergian orang itu, beberapa orang yang lain ikut berdiri, ada yang dengan ragu-ragu, tapi ada pula yang bersikap ketus seperti dia.   Dalam waktu yang singkat, hanya tinggal 7 orang tersisa, 4 di antaranya adalah Ding Tao, Wang Xiaho, Liu Chun Cao dan Tabib Shao Yong.   Tiga orang yang lain adalah seorang tua bernama Li Yan Mao, seorang berumur pertengahan tiga puluhan bernama Tang Xiong dan seorang muda yang bahkan lebih muda dari Ding Tao bernama Qin Bai Yu.   Li Yan Mao, mungkin adalah orang tertua yang bekerja pada keluarga Huang, umurnya sedikit lebih tua dari Huang Yun Shu, paman Tuan besar Huang Jin.   Seorang yang pendiam dan jarang berbicara, lebih suka menyendiri, mengerjakan tugasnya tanpa banyak berbicara.   Bukan berarti Li Yan Mao seorang yang sombong karena Li Yan Mao suka sekali tertawa bahkan pada orang yang baru dikenalnya.   Jika tertawa maka terlihatlah giginya yang sudah hampir habis.   Anak-anak kecil, termasuk Ding Tao sewaktu masih kecil, suka menjulukinya Kakek berlidah cun, karena saking pendiamnya dia.   Tang Xiong adalah sahabat dekat Wang Sanbo, jagoan tua yang pernah bertanding melawan Ding Tao.   Seperti juga Wang Sanbo, Tang Xiong sering dikirim untuk menagih hutang.   Tang Xiong lebih mirip juru bicara Wang Sanbo yang dingin dan pendiam jika mereka sedang bertugas bersama.   Perawakannya sedang dengan wajah yang menyenangkan, seperti bumi dan langit dibandingkan Wang Sanbo yang terlihat galak.   Jika dikatakan ada ciri-ciri yang menonjol dari Tang Xiong, maka itu adalah tidak adanya ciri-ciri yang menonjol.   Perawakannya sedang, wajahnya tidak buruk tidak pula tampan.   Dengan sedikit mengubah penampilan Tang Xiong bisa berubah menjadi orang yang berbeda dalam sekejap saja.   Qin Bai Yu, anak muda ini mulai tinggal dalam kediaman keluarga Huang sejak ujian ilmu silat, di mana Ding Tao lulus sebagai peserta terbaik.   Karena itu Ding Tao tidak begitu mengenal pemuda ini, hanya kenal nama dan tidak lebih dari itu.   Wajahnya tampan, gerak-geriknya halus, tubuhnya sedikit mungil buat ukuran seorang anak laki-laki, ditambah lagi dengan kulit yang putih, jika didandani dengan baju perempuan, mungkin orang akan salah mengenalinya.   Ding Tao mengedarkan pandangan pada enam orang yang tertinggal, lalu dengan senyum kecut dia bertanya.   "Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian tidak ingin pergi juga?"   Wang Xiaho tertawa dan menjawab.   "Banyak orang bilang aku ini orang keras kepala, jika aku sudah memutuskan sesuatu jangan harap bisa mengubah keputusanku."   Liu Chun Cao menghirup tehnya perlahan-lahan sebelum menjawab.   "Hmm kukira keberadaanku di sini sudah menjadi jawaban buatmu."   Tabib Shao Yong mengangguk-angguk mendengar perkataan dua orang itu dan berkata.   "Pekerjaanku adalah seorang tabib, seorang tabib berusaha menyembuhkan manusia. Seorang tabib berusaha menyelamatkan jiwa manusia. Pandanganmu justru sangat mencocoki hatiku."   Li Yan Mao tersenyum lebar, mempertontonkan giginya yang sudah jarang-jarang.   "Heh, sebenarnya ada sedikit kesamaan antara apa yang kau utarakan dengan pandangan pendiri keluarga Huang. Itu salah satu sebab mengapa dia berpesan agar keluarga Huang lebih baik memilih penghidupan sebagai pedagang dan tidak terlalu banyak berurusan dengan dunia persilatan. Ayah tuan besar Huang Jin sangat patuh pada ayahnya dan tidak pernah melupakan pesan itu."   Giliran berikutnya adalah Tang Xiong.   "Mungkin Ding Tao dan yang lain juga tahu, aku ini sahabat dekat Wang Sanbo. Sejak pertandingan persahabatan melawan Ding Tao, Wang Sanbo jatuh hati pada sikap Ding Tao yang sederhana dan tulus. Tidak henti-hentinya dia memuji-muji dirimu saat kami sedang mengobrol. Hari ini kulihat kenyataannya, memang kau seorang pemuda yang memiliki sifat yang unik tapi terpuji."   Terdiam sejenak, mengenangkan sahabatnya yang sudah mendahului dia, Tang Xiong melanjutkan.   "Sebagai sahabat Wang Sanbo, aku bisa merasakan, bahwa jika saat ini dia yang berada di sini, dia akan berdiri di pihak Ding Tao. Sebagai sahabatnya, aku ingin mewakili dirinya mendukung Ding Tao mencapai cita-citanya."   Pandangan semua orang akhirnya tertuju pada Qin Bai Yu, Qin Bai Yu masih sangat muda dibandingkan yang lain, sebenarnya dia tidak ada cukup keberanian untuk ikut bicara, namun sekarang semua orang menanti perkataannya dengan terbata-bata akhirnya dia menjawab.   "Sejak melihat Kakak Ding Tao bertarung pada ujian kelulusan beberapa tahun yang lampau. Siauwtee sudah merasa sangat kagum."   Sesaat lamanya dia terdiam, tapi melihat yang lain masih menunggu dia melanjutkan jawabannya akhirnya dia berkata, "Asalku dari kota Lu Jiang, di salah satu kantor cabang keluarga Huang, lulus dari ujian aku terpilih untuk meneruskan pelajaranku di bawah salah satu anggota keluarga Huang.   Orang tua dan keluargaku masih ada di Lu Jiang.   Aku tahu banyak yang penasaran karena tidak ada satu pun orang-orang dari anak cabang yang muncul." "Banyak yang curiga dan segera menghakimi mereka.   Tapi kakak Ding Tao tidak bersikap demikian.   Kupikir, alangkah baiknya jika dunia persilatan seperti dalam bayangan Kakak Ding Tao, di mana orang tidak dengan mudahnya menghakimi orang lain dan darah bertumpahan hanya karena salah paham atau terlalu kukuh terhadap prinsip sendiri tanpa memandang kesulitan orang lain."   Liu Chun Cao mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri dan menepuk pundak anak muda itu. Menoleh pada Ding Tao dia bertanya.   "Anak muda ini benar, urusan cabang-cabang keluarga Huang memang terasa janggal. Bagaimana dengan rencanamu, apakah kita akan ikut campur tangan untuk menyelidiki keadaan di tiap-tiap anak cabang?"   Ding Tao menjawab.   "Ya, siauwtee kira sebaiknya begitu. Masalah itu sudah bisa dipastikan menyimpan satu rahasia. Tidak mungkin seluruh anak cabang lupa diri seperti yang disangka beberapa saudara yang lain. Tapi sebelumnya kita selesaikan dulu urusan di Wuling ini."   Kebetulan saat itu pemilik kedai sedang mengangkat beberapa mangkok mie, mengantarkan pesanan mereka. Liu Chun Cao menoleh dan menjawab.   "Ya, segera setelah kita makan, kita akan pergi ke sana. Lebih baik memikirkan urusan penting dengan perut kenyang."   Pemilik kedai yang menyajikan mie bawaannya, sebelum kembali ke dapur tiba-tiba berkata.   "Perkataan Pahlawan muda ini benar, aku bukan orang dunia persilatan, tapi kupikir jika pahlawan muda ini berhasil, kehidupan banyak orang pun akan merasakan perubahan yang baik."   Sekali lagi dia mengangguk hormat pada Ding Tao, lalu pada enam orang yang lain, kemudian pergi berlalu untuk kembali ke dapur. "Hmm jika orang awam bisa berkata demikian, kukira kita tidak perlu ragu, bahwa yang kita lakukan itu benar adanya.   ", ujar Liu Chun Cao sambil memandangi punggung pemilik kedai itu. Mereka berenam melanjutkan makan dan minum mereka dalam diam. Masing-masing sedang merenungkan keputusan yang telah mereka ambil. Tidak perlu diragukan lagi, meskipun akan ada yang mendukung, akan ada banyak pula yang akan memandang rendah mereka. Setelah mereka selesai makan, Tabib Shao Yong berdiri hendak memanggil pemilik kedai teh dan membayar. Namun Ding Tao yang merasa sebagai yang lebih muda, buru-buru menahannya dan pergi untuk membayar biaya makan dan minum mereka. Karena pemilik kedai tidak kunjung keluar dari dapur, Ding Tao pergi menyusulnya. Ding Tao melongokkan kepala ke dalam dapur dan melihat pemilik kedai sedang berdiri menunggu kedatangannya. Pemilik kedai itu menggamit Ding Tao untuk masuk ke dalam dapur, jauh dari pandangan mata orang lain. Dengan suara berbisik, pemilik kedai itu memperkenalkan dirinya dan membungkuk hormat pada Ding Tao. "Tuan Ding Tao, perkenalkan namaku Song Luo, orang biasa memanggilku si tua Song. Sebelum membuka kedai teh ini aku hanya seorang pelayan di dapur sebuah rumah makan di kota Wuling. Suatu hari seorang yang tidak kukenal menawariku modal untuk membuka kedai di pinggir jalan ini, dengan satu syarat, yaitu agar aku selalu memperhatikan orang yang mampir dan lewat di jalan ini. Sesekali orang itu akan datang dan menanyakan sesuatu padaku."   Menelan ludah membasahi tenggorokan, si tua Song kembali bercerita.   "Dalam hati sebenarnya ada perasaan bersalah, karena aku pun tidak tahu, informasi yang kusampaikan itu apakah digunakan untuk mencelakai orang atau untuk kebaikan. Namun untuk menolak aku pun gentar jika memikirkan nasibku dan keluarga. Hari ini aku mendengar perkataan Tuan, hatiku jadi tergerak. Jika tuan bersedia, aku akan berhenti bekerja untuk orang itu, biarlah aku bekerja untuk tuan, menjadi mata dan telinga tuan di kedai ini. Meskipun tiada kepandaian, biarlah orang tua ini ikut pula menyumbang sedikit yang ada untuk menciptakan keadaan yang seperti tuan impikan."   Ding Tao merasa terkejut mendengar pengakuan si tua Song, sekaligus merasa terharu bahwasannya orang tua yang tidak bisa bersilat ini memiliki keberanian untuk menentukan sikap, meskipun maut ancamannya.   "Bapak tua, sungguh bapak seorang yang pemberani", ujar Ding Tao dengan spontan.   Setelah berpikir sejenak, Ding Tao pun berkata.   "Bapak, apa yang bapak tawarkan sangatlah berharga. Memang, jika hendak melakukan pekerjaan besar, seseorang harus punya banyak mata dan telinga. Namun akupun tidak ingin bapak mengambil resiko yang terlalu besar. Dengarlah, aku ada akal yang baik. Biarlah bapak tetap memberikan informasi pada orang itu jika dia memintanya. Namun di saat yang sama, jika dia datang pada bapak dan menanyakan sesuatu, atau ada kejadian lain yang bapak rasa menarik segera bapak laporkan hal itu padaku juga."   Wajah pemilik kedai itu menjadi cerah, sebelumnya dia sudah membayangkan akan menyongsong kematian demi melakukan sesuatu yang akan membersihkan hati nuraninya dari perasaan bersalah.   Tapi apa yang diajukan Ding Tao, memberikan dia harapan bahwa dia bisa melakukannya tanpa terancam oleh kematian.   "Ah, terima kasih banyak atas perhatian tuan.   Tapi dengan cara bagaimana saya menghubungi tuan?", tanyanya.   "Untuk masalah itu, biarlah siauwtee pikirkan lebih dahulu.   Jika siauwtee mendapat cara yang baik, siauwtee akan menghubungi bapak", jawab Ding Tao sambil menepuk pundak pemilik kedai tersebut.   "Baiklah, aku akan menunggu kabar dari tuan", jawab pemilik kedai itu, lalu setelah meragu sejenak dia menambahkan, "Tuan, jika bisa biarlah hal ini menjadi rahasia antara tuan dan saya, setidaknya pada orang-orang yang benar-benar bisa tuan percaya.   Dari enam orang yang ada di luar, tampaknya ada beberapa yang baru hari ini menyatakan kesetiaan pada tuan.   Saya harap tuan sadar ada kemungkinan orang yang jahat menyusup juga dalam organisasi bentukan tuan."   Ding Tao mengangguk.   "Ya.. siauwtee juga sadar akan hal itu, meskipun siauwtee berharap bisa mempercayai setiap orang dalam organisasi ini nanti, tapi kemungkinan seperti itu tetap saja ada. Bapak jangan kuatir, sebelum siauwtee bisa percaya penuh pada seseorang, tidak akan siauwtee membocorkan rahasia yang menyangkut keselamatan orang lain." "Terima kasih tuan, semoga apa yang tuan cita-citakan bisa berhasil. Dahulu banyak kisah tentang pahlawan yang berjuang dan berkorban demi kepentingan orang banyak. Hari ini banyak orang yang mengaku pahlawan, namun menindas yang lemah demi kepentingannya sendiri. Sungguh baik cita-cita tuan, orang seperti tuan dan mereka yang bersumpah setia pada tuan hari inilah yang sesungguhnya pantas disebut pahlawan", ujar pemilik kedai itu dengan nada prihatin. Muka Ding Tao jadi memerah karena malu.   "Sudahlah paman, aku pun hanya orang biasa, bukan pahlawan. Ini pembayaran untuk makanan dan minuman yang kami habiskan." "Eh, tidak perlu tuan, jangan, bukankah mulai hari ini, saya pun sudah termasuk menjadi pengikut tuan?", ujar pemilik kedai itu sambil berusaha mengembalikan uang yang diberikan Ding Tao. "Ah kalau benar begitu, tentu bapak harus menurut pada keputusanku dan inilah keputusanku, bapak harus menerima pembayaran ini. Anggap saja, ini biaya bagi bapak untuk terus membuka kedai serta menyerap informasi bagiku", balas Ding Tao sambil tertawa. Setelah beberapa kali didesak Ding Tao, akhirnya pemilik kedai itupun mau menerima uang yang diberikan Ding Tao. Ketika Ding Tao kembali ke mejanya, Wang Xiaho bertanya pula.   "Eh, kenapa begitu lama hanya untuk membayar makan dan minum? Apakah dia mempersulit kita?" "Bukan-bukan, justru dia hendak menolak pembayaran. Itu sebabnya siauwtee agak lama di sana, karena harus mendesak- desaknya lebih dahulu. Dia berkeras untuk memberi kita makan dan minum gratis, karena merasa bersimpati pada perjuangan kita", jawab Ding Tao dengan cerdik tanpa menceritakan alasan yang sesungguhnya. "Hehe, kalau di setiap kedai dan rumah makan ada kejadian yang sama, boleh juga kita terima kebaikan mereka", sahut Li Yan Mao sambil tertawa. Tawa Li Yan Mao menular pada yang lain, sambil tertawa bergelak mereka meninggakan kedai makan itu, mengikuti Liu Chun Cao yang memimpin di depan. Untuk sementara kabut yang membayang tersapu bersih dari hati dan pikiran, oleh tawa lepas yang mengiringi langkah kaki mereka. Liu Chun Cao mengetuk pintu rumah tempat persembunyian orang yang mereka cari. Beberapa kali dia mengetuk namun tidak ada jawaban. "Apakah dia sedang tidak ada di rumah?", tebak Qin Bai Yu. Liu Chun Chao mengerutkan alisnya.   "Hmm cobalah kau pergi tanyakan pada tetangga sebelah."   Qin Bai Yu mengangguk, Li Yan Mao mengikut di belakangnya sambil berkata.   "Mari kutemani engkau bertanya-tanya ke sekitar."   Ding Tao berlima sedang menunggu Qin Bai Yu dan Li Yan Mao, ketika seseorang berjalan melewati mereka.   Lima orang asing berkerumun di depan pintu rumah, tentu saja menarik perhatian.   Orang itu menengok kemudian berhenti, sepertinya seikit ragu, tapi akhirnya dia menyapa dan bertanya.   "Apakah kalian sedang mencari Mao Bin?"   Ding Tao berlima menoleh ke belakang, ke arah suara yang menyapa mereka.   Penampilan orang itu sedikit aneh, pakaiannya sedikit compang camping tapi dipakai dengan sangat rapi.   Orang itu berdiri dengan bersandar pada sebuah tongkat yang dia bawa-bawa.   Meskipun tertutup oleh bajunya, tapi dari postur tubuhnya, terlihat salah satu kakinya lebih pendek dari kaki yang sebelah.   Menilik pakaian yang dimiliki, tempat dia tinggal dan cacat di tubuhnya, wajarnya orang demikian tentu seorang yang rendah diri.   Tapi orang ini justru tampi percaya diri bahkan cenderung bersikap seperti menantang orang lain untuk menghina dirinya.   Pakaiannya yang sederhana dan sedikit compang camping dipakai dengan rapi dan teliti.   Rambutnya disisir dan digelung dengan rapi, meskipun tali pengikatnya sudah pudar warnanya dan terlihat rapuh dimakan usia.   Dengan alis terangkat, Wang Xiaho menjawab.   "Ya, kami sedang mencari Mao Bin, apa kau tahu dia sedang ada di mana? Ini benar rumahnya kan? Beberapa kali kami mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban." "Ya memang benar ini rumahnya, aku pun tidak tahu dia ada di mana, tapi pagi tadi ada pula orang yang mencari dia dan bertanya di mana rumah Mao Bin. Mungkin mereka sedang ada di luar, entahlah.", jawab orang itu. "Boleh kami tahu, seperti apa ciri-ciri orang itu?", tanya Liu Chun Cao. Orang yang ditanya memandang mereka dengan tatapan ingin tahu, sejenak kemudian dia menjawab. "Orang itu cukup tinggi, lebih tinggi daripada kebanyakan orang. Meskipun tidak setinggi tuan muda yang di sana.   ", katanya sambil menunjuk pada Ding Tao. "Kupikir agak aneh menemukan orang seperti itu di daerah seperti ini. Kulitnya putih, alis berbentuk golok, kumisnya yang tipis dicukur dengan rapi. Giginya terlihat putih bersih. Meskipun potongan pakaiannya sederhana tapi kulihat terbuat dari bahan yang baik, lagipula terlihat bersih." "Apa ada ciri-ciri yang tidak umum?", tanya Wang Xiaho. "Ciri-ciri yang tidak umum? Hmm.. entahlah, aku tidak yakin, wajahnya tidak ada ciri khusus, tapi kupikir orang ini adalah seorang kidal yang sudah berlatih menggunakan tangan kanannya dengan baik." "Hmm dari mana kau bisa berpendapat demikian?", tanya Liu Chun Cao sambil memandang orang itu penuh selidik. Sekilas mata orang itu berkilat nakal, jawabnya.   "Orang itu menenteng-nenteng pedang dan dari penampilannya sudah jelas dia orang yang memiliki cukup harta. Dia memakai pakaian yang sederhana jelas maksudnya hendak menutupi identitasnya. Namun orang itu juga terlalu yakin pada diri sendiri sehingga tidak mau bersusah payah untuk menyembunyikan wajahnya atau sedikit mengotori tangan dan tubuhnya." "Tentu saja, hatiku jadi tertarik. Tanpa sengaja saat dia hendak berpamitan, tanganku hendak menggaruk punggungku yang gatal, tanpa sengaja menyenggol topi bambuku dan menyebabkannya terjatuh. Secara refleks orang itu membungkuk hendak mengambil topiku dengan tangan kirinya, terlihat dari tubuh sebelah kiri lebih condong ke depan, tapi teringat tangan kirinya membawa pedang, dengan cepat tangan kanannya bergerak untuk menangkap topiku yang jatuh itu."   Mata Liu Chun Cao berkilat, dia mengamati orang yang di depannya itu dengan penuh rasa tertarik.   "Menarik sekali lalu apa kesimpulanmu?"   Bukan hanya Liu Chun Cao yang tertarik mendengar pengamatan orang itu, yang lain pun demikian juga.   Tidak disangka hari ini mereka bertemu orang-orang yang menarik.   Pertama pemiliki kedai yang tiba-tiba ikut berbicara memuji pandangan Ding Tao tentang dunia persilatan.   Lalu sekarang, mereka bertemu orang yang punya pengamatan yang tajam dan rasa ingin tahu yang besar.   "Menurutku orang itu adalah seorang pendekar yang cukup punya nama dari sebuah perguruan atau kalangan yang terhormat.   Terlihat dia berusaha menolong menangkap topiku yang jatuh.   Dia hendak melakukan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain, itu sebabnya dia menyamar.   Tapi dia begitu yakin dengan kemampuannya sendiri sehingga dia pun tidak takut bila sampai ketahuan."   Selesai menguraikan kesimpulannya orang itu pun menatap mata mereka berlima dengan membusungkan dada.   Tabib Shao Yong dan Liu Chun Cao mengamati orang di depannya itu dengan wajah heran dan tertarik.   Sementara Wang Xiaho merasa sedikit kesal dengan sikap sombong orang itu tapi masih bisa menahan diri.   Adalah Tang Xiong yang membuka mulut lebih dulu.   "Sahabat, sungguh pandai benar dirimu. Membuat orang jadi heran, mengapa orang macam dirimu bisa tinggal di tempat kumuh seperti ini? Apakah kau ini seorang sastrawan yang gagal lulus ujian kenegaraan?"   Kata-kata Tang Xiong dikeluarkan begitu saja tanpa pikir panjang, dimaksudkan untuk menyindir. Siapa tahu justru kata- kata itu kena tepat pada sasaran, wajah orang itu berubah dan dengan ketus dia menjawab.   "Hmph! Apakah yang bodoh menguji yang lebih pandai? Apakah yang korup menghakimi yang benar? Siapa sudi ambil pusing pada hasil ujian negara?"   Mendengar jawaban orang itu tentu saja, mereka langsung tahu bahwa kata-kata Tang Xiong justru menebak dengan tepat keadaan orang itu saat ini.   Tang Xiong baru saja hendak membuka mulut dan membalas dengan pedas sikap sombong orang itu ketika dia merasakan tangan Ding Tao menggamitnya mundur ke belakang.   Tang Xiong terkejut dan cepat-cepat menutup mulutnya yang usilan saat dia melihat Ding Tao membungkuk hormat pada orang cacat yang sombong di hadapan mereka itu.   "Ah, harap tuan memaafkan kami, tadinya sikap tuan yang sombong membuat kami merasa penasaran, tapi sebenarnya kalau dipikir, pengamatan tuan sungguh tajam.   Tuan sombong bukan tanpa alasan yang jelas, tidak banyak orang dapat berpikir secerdik tuan ini.   Bolehkah aku tahu nama tuan?"   Sejak bertemu dan bercakap-cakap dengan pemillik kedai yang ternyata juga bertugas sebagai mata-mata seorang misterius, Ding Tao mulai sadar bahwa lawan-lawannya tidak bisa dikalahkan hanya dengan kepandaian ilmu silat saja.   Dia bukan sedang berhadapan dengan satu atau beberapa orang lawan saja, yang menjadi lawannya adalah sebuah organisasi yang besar.   Jika dia hendak mendirikan organisasinya sendiri, dia memerlukan orang dengan berbagai macam kepandaian dan bakat.   Termasuk orang dengan kepandaian seperti orang yang ada di hadapannya saat ini.   Sikap Ding Tao yang demikian tiba-tiba mengejutkan banyak orang, termasuk pelajar cacat yang disapanya.   Untuk sesaat sikap sombong yang dia tampilkan tampak goyah, tapi cepat dia pulih dari rasa kagetnya dan dengan nade sinis bertanya, "Hmm jika seseorang bersikap sopan padaku, biasanya itu karena dia ingin memanfaatkanku.   Anak muda bukankah benar demikian?"   Tang Xiong yang merasa kesal Ding Tao diperlakukan demikian sudah membuka mulut untuk menyergah, namun Liu Chun Cao cepat menggamit tangannya dan memberi tanda agar dia diam.   Dengan terpaksa Tang Xiong hanya bisa memelototi orang yang sombong tersebut.   Berbeda dengan Tang Xiong, Ding Tao justru bisa tertawa sopan mendapat dampratan dari orang tersebut, kemudian dia mengangguk membenarkan.   "Tidak bisa siauwtee pungkiri, kenyataannya memang siauwtee memerlukan bakat dan lemampuan tuan.   Apakah siauwtee boleh tahu siapa nama tuan?", untuk kedua kalinya Ding Tao menanyakan nama pelajar cacat itu.   "Hmm kau ini punya impian setinggi langit, tapi mengapa mandah saja aku hina?" "Siauwtee punya cita-cita yang tinggi, tuan punya kemampuan yang bisa membantu siauwtee meraih cita-cita itu, sedikit penghinaan, adalah harga yang murah." "Jika aku memintamu untuk berlutut dan menghormat tiga kali sebelum aku mau membantumu apa yang akan kau lakukan?"   Kali ini Ding Tao tidak memberikan jawaban dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan, tanpa ragu pemuda itu berlutut dan hendak menghormat pada pelajar cacad yang sombong itu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tapi segera saja pelajar itu menahan pundak Ding Tao dan dengan susah payah berlutut di depan pemuda itu lalu balik menghormatnya.   Ujar pelajar cacat itu.   "Bertahun-tahun belajar, tidak ada yang menghargai jerih payah dan segenap pengetahuan yang siauwtee kumpulkan, hari ini bisa bertemu dengan tuan sungguh merupakan keberuntungan. Sedikit yang siauwtee miliki, biarlah jadi kayu bakar bagi perjuangan tuan."   Perubahan sikap yang demikian tiba-tiba tentu saja membuat orang jadi melengak keheranan.   "Nama siauwtee adalah Chou Liang, ayah siauwtee pernah menjabat sebagai pejabat militer dan berharap agar siauwtee mengikuti jejaknya mengabdi pada negara.   Sayang saat masih kecil siauwtee terkena penyakit aneh, sehingga sebelah kaki siauwtee tidak tumbuh dengan semestinya.   Untuk memenuhi harapan ayah, maka siauwtee menghabiskan waktu untuk mempelajari tulisan-tulisan orang bijak di masa lampau dan berniat untuk mengikuti ujian negara dalam bidang sastra." "Tunggu, mari bangunlah, jangan berlutut seperti itu.", ujar Ding Tao sambil menarik berdiri pelajar cacat tersebut.   Tang Xiong yang tadinya ingin mendamprat dan mengolok-olok pelajar cacat itu, sekarang setelah terbukti perkataannya tepat mengena justru berdiam diri dan dalam hati menyesal sudah mengeluarkan kata-kata tersebut.   Menanti pelajar cacat itu berdiri dan membenahi pakaiannya, barulah Ding Tao bertanya lebih lanjut.   "Saudara, silahkan lanjutkan ceritamu.   O ya sebelumnya, perkenalkan nama siauwtee" "Nama tuan adalah Ding Tao, lahir dan dibesarkan dalam keluarga Huang, kurang lebih 2.5 tahun yang lalu menghilang secara diam-diam bersamaan dengan menghilangnya salah seorang pelatih silat keluarga Huang, Gu Tong Dang.   Saudara yang lain, bernama Tang Xiong, Tabib Shao Yong, dan Pendeta Liu Chun Cao.   Yang seorang lagi sepertinya baru kali ini datang ke Wuling karena aku tidak mengenalnya.", ujar Chou Liang memotong perkataan Ding Tao "Heheh, namaku Wang Xiaho", jawab Wang Xiaho sambil sedikit membungkuk memberi hormat.   "Siauwtee Chou Liang", ujar Chou Liang, membungkuk membalas salam dari Wang Xiaho, sekalian dia memberi hormat juga pada yang lain.   "Kira-kira 6 bulan yang lalu, Tuan Ding Tao, kembali pula ke kota Wuling dan mengunjungi keluarga Huang.   Kunjungan kali ini membawa bencana, setidaknya satu orang meninggal dan tuanpun terpaksa harus melarikan diri secara diam-diam.   Kemungkinan besar dalam keadaan terluka.   Sekarang tuan kembali untuk menyelesaikan urusan, entah apapun urusan itu, tapi di luar dugaan sebelum kedatangan tuan, justru keluarga Huang tertimpa bencana besar dan tuan pun berkeinginan untuk menyelidikinya", dengan lancar dia mengemukakan apa yang berhasil dia ketahui mengenai Ding Tao.   "Kurang lebih itulah yang siauwtee mengerti, tentu jika tuan berkenan untuk bercerita lebih lanjut, siauwtee akan bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan bisa memberikan pandangan-pandangan yang mungkin membantu tuan", ujarnya mengakhiri uraian yang cukup panjang.   Ding Tao berlima tentu saja merasa kagum dengan uraian itu.   Liu Chun Cao bahkan merasa sedikit curiga dan bertanya.   "Saudara, kau sepertinya tahu banyak hal tentang dunia persilatan, apakah semua yang kau ceritakan itu hasil pengamatanmu semata?" "Ah, jika harus berbicara sejujurnya, nama Ding Tao sudah kudengar bertahun-tahun sebelumnya. Sejak gagal dalam ujian negara, sifatku menjadi sinis terhadap setiap orang, terutama pejabat negara. Siauwtee merasa jauh lebih pandai dari mereka semua dan ingin membuktikan hal itu. Itu sebabnya setiap ada kejadian yang janggal dalam kota, apapun itu, siauwtee pasti berusaha mencari tahu dan memecahkannya. Diminta atau tidak. Tapi meskipun berhasil memecahkan banyak kasus, siauwtee tidak menyiarkan penemuan siauwtee, hanya merasa puas karena berhasil membuktikan pada diri siauwtee sendiri bahwa kenyataannya siauwtee masih lebih pandai dari mereka." "Wah, orang ini benar-benar sombong", umpat Tang Xiong dengan berbisik. Jika Ding Tao suka tersipu malu saat memamerkan kepandaiannya, seratus delapan puluh derajat bedanya dengan Chou Liang. Saat menceritakan kesuksesannya itupun dia menampilkan ekspresi seakan apa yang dia lakukan itu adalah satu hal yang remeh. Tang Xiong yang tadinya menyesal sudah mengingatkan Chou Liang pada kegagalannya dalam ujian negara jadi gatal-gatal untuk memaki orang tersebut. Chou Liang rupanya mendengar pula umpatan Tang Xiong itu, dengan senyum mengejek dia memainkan matanya ke arah Tang Xiong.   "Ya memang demikianlah perasaan orang yang berotak dangkal ketika bertemu orang lain yang berotak encer." "Apa? Apa katamu? Wah, rupanya kau ini perlu dihajar supaya mengerti sopan santun", ujar Tang Xiong dengan muka merah padam. Yang lain tertawa bergelak melihat Tang Xiong ketemu batunya, Ding Tao menepuk-nepuk pundaknya berusaha menenangkan jagoan yang lagi marah tersebut.   "Sudahlah jangan marah Paman Tang Xiong, Saudara Cou Liang sudah menyatakan keinginannya untuk bergabung, berarti sejak hari ini diapun sudha menjadi saudara kita. Di antara saudara sedikit perkataan menggoda tidak perlu dimasukkan dalam hati."   Karena Ding Tao sudah menengahi, Chou Liang pun tidak melanjutkan gurauannya, hanya sedikit memutar mata sambil tersenyum pada Tang Xiong.   Kata-kata Ding Tao juga cukup menyadarkan Tang Xiong, Tang Xiong pun teringat bahwa sebelumnya dia juga sempat mengeluarkan kata-kata yang tentu menyakitkan Chou Liang.   Sambil menghela nafas jagoan itu pun ikut tersenyum saja.   "Ya sudahlah, anggap saja otakku memang dangkal. Tapi sikap sombongmu itu suatu hari tentu akan menyebabkan orang datang untuk menghajarmu." "Hehe, kalau ada orang datang untuk menghajarku, bukankah aku masih bisa lari untuk minta perlindungan dari Kakak Tang Xiong", jawab Chou Liang "Dan akan aku biarkan dia memberi satu dua pukulan sebelum aku ikut campur, biar jadi pelajaran buat dirimu", jawab Tang Xiong pula. "Wah, wah rupanya otak Kakak Tang Xiong tidak sedangkal yang kuduga, bisa pula memiliki siasat meminjam pedang orang untuk menghajar lawan", jawab Chou Liang sambil mengacungkan jempolnya disambut tawa oleh yang lain. Menunggu tawa mereka mereda, Chou Liang berbalik pada Ding Tao dan bertanya dengan nada yang serius.   "Tuan Ding Tao, meskipun sedikit banyak siauwtee sudah punya gambaran tentang apa yang terjadi, sekiranya tuan berkenan untuk menceritakan pengalaman tuan saat berada dalam kediaman keluarga Huang, siauwtee rasa segalanya bisa jadi lebih jelas." "Baiklah, akan aku ceritakan, tapi pertama-tama kuharap Saudara Chou Liang jangan terus menerus memanggilku tuan, panggil saja Saudara Ding Tao.", jawab Ding Tao pada Chou Liang. "Mana bisa begitu? Jika perkumpulan sudah didirikan, meskipun didasarkan pada persaudaraan, kedudukan haruslah jelas dari awal, jika tidak maka organisasi bisa menjadi kacau, jika keberatan dipanggil tuan, setidaknya dipanggil sebagai ketua. Urutan dan jalur otoritas haruslah jelas, baru sebuah perkumpulan bisa berjalan dengan efektif, karenanya tidak boleh ada kata sungkan dalam hal ini. Ketua Ding Tao harus bisa melupakan masalah umur dan kedudukan yang lampau jika mau perkumpulan yang didirikan menjadi kuat. Bukan tanpa alasan jika ada peribahasa, tidak boleh ada dua matahari di atas langit."   Perkataan Chou Liang ikut menyadarkan yang lain.   Wang Xiaho yang sering memandang Ding Tao yang jauh lebih muda, seperti anak atau keponakan sendiri.   Liu Chun Cao yang merasa lebih banyak makan asam garam dibanding Ding Tao.   Tabib Shao Yong dan Tang Xiong yang belum sepenuhnya melupakan kedudukan Ding Tao sebagai tukang kebun di masa lalu.   Wang Xiaho menepuk pundak Ding Tao perlahan.   "Ketua Ding Tao , perkataannya itu masuk akal dan baik untuk diikuti." "Wah paman, kenapa jadi ikut-ikutan?", ujar Ding Tao merasa serba salah. Liu Chun Cao menyahut.   "Ketua Ding Tao, tidak boleh merasa sungkan, sejak hari ini, harus sadar dengan kedudukan, bukan berarti melupakan persahabatan. Tapi segala sesuatu memang harus ada pengaturannya."   Tabib Shao Yong ikut pula menguatkan pendapat mereka.   "Benar sekali Ketua Ding Tao, jangan merasa bersalah menerima panggilan itu, apalah artinya perubahan panggilan, yang terpenting adalah hatimu sendiri. Jika kau tetap menghargai kami yang lebih tua, bagaimanapun caranya kami memanggil dirimu tentu tidak akan menjadi ganjalan." "Ketua Ding Tao, jangan sungkan-sungkan lagi, memang sudah nasibmu harus memikul tanggung jawab ini, masakan sekarang hendak llari hanya karena kami memanggilmu ketua?", ujar Tang Xiong sambil memutar-mutar matanya dan tersenyum lebar. "Ah kalau kalian semua berkata begitu, aku bisa berkata apa lagi. Terserah kalian sajalah", ujar Ding Tao menyerah. Kemudian mulailah Ding Tao menceritakan kejadian yang dia alami beberapa bulan sebelumnya saat dia kembali ke kediaman keluarga Huang setelah dua tahun menghilang. Diceritakannya sejak dari awal pertemuan, sikap dan kebaikan keluarga Huang. Pertandingan persahabatan memperbutkan Pedang Angin Berbisik, sampai pada malam di mana Pedang Angin Berbisik direbut dari tangannya dan bagaimana dia akhirnya bisa lepas berkata bantuan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying. Saat Ding Tao sedang bercerita Li Yan Mao dan Qin Bai Yu sudah kembali, namun melihat Ding Tao sedang bercerita mereka tidak berani mengganggu, diam-diam keduanya berkumpul kembali dengan yang lain. Dengan berbisik Li Yan Mao bertanya pada Tang Xiong sambil menggerakkan kepala ke arah Chou Liang.   "Siapa itu?"   Dengan singkat Tang Xiong menjelaskan, Li Yan Mao dan Qin Bai Yu mengangguk-angguk mendengar penjelasan Tang Xiong.   Ding Tao menjelaskan dengan sedetail-detailnya tanpa menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi.   Karena kejadian itu terjadinya sudah cukup lama, beberapa kali Ding Tao harus berhenti untuk mengingat kejadian itu dengan jelas.   Ding Tao berbuat demikian karena dia yakin Chou Liang, menanyakan hal itu tentu dengan maksud yang tulus hendak membantu.   Selesai Ding Tao bercerita, Chou Liang menghela nafas.   "Ketua Ding Tao, rasa-rasanya dugaanku sembilan dari sepuluh bagian sudah cukup tepat, hanya saja apakah Ketua Ding Tao akan senang mendengarnya atau tidak aku tidak tahu."   Berkerut alis Ding Tao.   "Saudara Chou Liang, jika punya pendapat atau pandangan, utarakan saja. Aku percaya maksudmu baik dan tulus, tentang apakah aku bisa menerimanya atau tidak, itu masalah yang berbeda. Sebisa mungkin aku akan menelaah masukan dari tiap orang tanpa tergantung padanya."   Chou Liang sejenak merenungi jawaban Ding Tao kemudian mengangguk puas.   "Baiklah, kalau begitu aku akan mengemukakan pendapatku, apakah ada gunanya atau tidak, kita lihat nanti." "Aku yakin peristiwa di mana Ketua Ding Tao hampir mati kena serangan gelap saat ada dua orang bertopeng mencuri pedangnya, hal itu bisa jadi memang dilakukan Tiong Fa tapi yang memerintahkan adalah Tuan besar Huang Jin sendiri." "Jangan bicara sembarangan !", sergah Qin Bai Yu sambil tangannya meraba pedang, tapi Li Yan Mao yang berada di dekatnya cepat menahan tangan pemuda itu. "Jangan dengarkan dulu", ucapnya dengan sabar, wajahnya yang biasa tertawa, terlihat begitu serius sehingga Qin Bai Yu jadi terdiam. Chou Liang diam menunggu, memandangi wajah-wajah yang tegang di sekelilingnya, baru setelah dia melihat Ding Tao mengangguk ke arahnya dia baru melanjutkan penuturannya.   "Ada beberapa dasar mengapa aku berpendapat demikian. Yang pertama, kejadian itu terjadi dalam kediaman keluarga Huang, jika Tiong Fa memang bekerja sendiri, apa salahnya menunggu waktu 2-3 hari? Dari reputasi yang kudengar, Tiong Fa adalah orang yang berpikir panjang tentu saja ada kurang lebihnya dalam rencana untuk menunggu sampai Ding Tao berada di luar wilayah keluarga Huang. Tapi dari segi keamanan jauh lebih mendukung." "Yang kedua, rencana itu sendiri baru menjadi rencana baik, dikarenakan Ketua Ding Tao meminum obat yang membantu dia untuk tidur. Tapi dari penuturan Ketua Ding Tao, sejak kapan dia terserang rasa kantuk? Sebelum atau sesudah Nona muda Huang memberikan obat itu? Bukankah dari saat sebelum meminum obat buatan Nona muda Huang, Ketua Ding Tao sudah merasakan kantuk? Jadi kapan Ketua Ding Tao meminum obat itu?"   Perlahan Chou Liang mengedarkan pandangan ke para pendengarnya. Adalah Liu Chun Cao yang menjawab dengan suara perlahan.   "Tuan besar Huang Jin, sudah meracuninya pada saat dia mengajak Ding Tao bersulang."   Memerah wajah-wajah bekas pengikut keluarga Huang, termasuk Ding Tao sendiri juga merasakan wajahnya memanas, "Lalu mengapa Adik Huang Ying Ying, memberikan pula obat yang memulihkan tenagaku dan membantu menghimpun hawa murni yang membuyar? Bukankah lebih baik jika aku tertidur dalam keadaan lemah?"   Chou Liang menjawab dengan nada prihatin.   "Ketua Ding Tao, kurasa selain Tuan besar Huang Jin dan beberapa orang kepercayannya, tidak ada yang lain yang mengerti tentang rencana itu. Bagaimana pun juga hal ini menyangkut nama baik keluarga Huang. Nona muda Huang, kurasa menaruh kasih padamu dan dengan inisiatifnya sendiri memberikan obat itu, di luar perintah ayahnya."   Tabib Shao Yong mendesah, teringat dengan peristiwa malam itu yang tepat sesuai uraian Chou Liang. Meskipun berat hatinya untuk memburukkan nama keluarga Huang, namun demi meluruskan segala permasalahan dia pun membenarkan perkataan Chou Liang.   "Sesungguhnya, apa yang dituturkan oleh Saudara Chou Liang tidak jauh dari kenyataan sebenarnya. Malam itu Nona muda mendapat pesan dari Tuan besar Huang Jin untuk mengambil obat yang akan membantu Ketua Ding Tao tertidur pulas, ada secarik surat pendek yang ditanda-tangani oleh Tuan besar Huang Jin sebagai pengantarnya. Sedangkan tentang obat pemulih tenaga, adalah inisiatif Nona muda Huang sendiri. Sebenarnya obat itu termasuk obat simpanan keluarga Huang, namun karena yang meminta adalah Nona muda Huang sendiri dan menimbang hubungan baik di masa lalu, aku pun memberikannya pada Nona muda Huang."   Qin Bai Yu mendesis.   "Tidak mungkin"   Li Yan Mao hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan sedihnya.   Tang Xiong yang mendengar cerita dari Wang Sanbo tentang pertandingan persahabatan demi merebut Pedang Angin Berbisik dari tangan Ding Tao terdiam dan merenungi kembali satu per satu percakapan mereka mengenai hal itu.   Melihat perkataannya, meskipun dengan berat hati, sudah mulai diterima oleh bekas pengikut keluarga Huang, Chou Liang melanjutkan penuturannya.   "Yang ketiga adalah sikap Tuan besar Huang Jin sendiri saat Tiong Fa mengajukan usul untuk mengadakan pertandingan persahabatan demi menentukan siapa yang layak untuk menyimpan Pedang Angin Berbisik. Kita semua sudah cukup dewasa di sini, sudah cukup bisa belajar menimbang apa yang ada dibalik perkataan seseorang. Banyak alasan bisa diajukan ketika seseorang menginginkan sesuatu. Alasan untuk membenarkan keinginannya, untuk menenangkan hati nuraninya yang berontak." "Bukankah sepanjang malam itu Tuan besar Huang Jin berdiam diri, mendengarkan berbagai alasan yang diajukan Tiong Fa? Jika dia tidak setuju, tentu dia sudah menghentikan Tiong Fa. Kalau melihat dari kejadiannya, justru kurasa Tiong Fa maju sebagai perisai dari Tuan besar Huang Jin."   Ding Tao terdiam dan berpikir, Apakah sudah sebegitu liciknya manusia? Ataukah dirinya saja yang terlalu bodoh dan mudah ditipu? "Ketua Ding Tao tidak perlu berkecil hati, Ketua Ding Tao tumbuh dan besar di sana, setiap hari Ketua Ding Tao belajar untuk percaya bahwa Tuan besar Huang Jin dan orang-orang kepercayaannya sebagai orang yang terhormat.   Jangankan Ketua Ding Tao, bahkan putera dan puterinya pun tentu berpikir demikian.   Selain segelintir orang dalam pertemuan malam itu, aku yakin yang lainnya berpikir sama seperti Ketua Ding Tao.", ucap Chou Liang yang melihat Ding Tao termenung.   Qin Bai Yu masih menggeleng-gelengkan kepala, menolak untuk mempercayai perkataan Chou Liang.   Li Yan Mao tampak tertunduk dengan mata membasah.   Tabib Shao Yong hanya bisa terdiam dengan mulut kelu, terbayang bagaimana dia justru mengharap keselamatan dari Tuan besar Huang Jin.   Terbayang juga dua orang muda yang berperan paling besar dalam keselamatannya justru ikut mati terbakar dan dia tidak mampu berbuat apa-apa.   Tang Xiong menggeram, menghilangkan kesesakan di hatinya.   Wang Xiaho dan Liu Chun Cao sebagai orang luar, tidak bisa mengucapkan apa-apa.   Dalam hati mereka bisa ikut merasakan goncangan yang dirasakan oleh mereka.   Chou Liang sebagai orang yang menyampaikan kebenaran ini pada mereka pun, ikut larut dalam kesedihan, kesombongan yang dijadikan topeng untuk menyembunyikan kekecewaan dan perasaan rendah dirinya ikut larut dalam kediaman itu.   Ding Tao bertanya pada Chou Liang dengan suara sedikit serak.   "Saudara Chou Liang, apakah kau yakin dengan uraianmu?"   Chou Liang yang kepalanya tertunduk cepat-cepat menengadahkan kepala dan menjawab.   "Sembilan dari sepuluh bagian, aku pun bukan dewa dan tidak bisa memberikan kepastian 100%. Namun jika keluarga Huang tulus ingin mengamankan pedang dan bukan memilikinya, mereka toh bisa membiarkan pedang tetap berada di tangan Ketua dan sebaliknya menyediakan perlindungan bagi Ketua Ding Tao sekaligus pedangnya. Bukankah tidak ada bedanya?"   Li Yan Mao yang sejak tadi diam perlahan berkata.   "Sejak meninggalnya ayah dari Tuan besar Huang Jin, ambisinya untuk ikut berusaha merajai dunia persilatan mulai nampak. Berdua bersama dengan Tiong Fa mereka memupuk kekuatan. Kenyataan ini berat untuk diterima, tapi jika kita mau maju ke masa depan yang lebih baik. Tidak ada jalan lain kecuali harus menerima dan belajar dari kesalahan di masa lalu."   Semua perlahan-lahan mengangguk, membenarkan perkatan Li Yan Mao.   Meskipun berat dan pahit, kenyataan itu harus mereka terima dan akui.   "Paman Li, jika demikian, apakah yang sedang kulakukan ini bukannya sama saja dengan apa yang hendak dilakukan Tuan besar Huang Jin?", tanya Ding Tao pada orang tua itu.   "Tentu saja tidak, tujuanmu yang mula-mula adalah menjadi pelindung, baik bagi negara maupun bagi sesama.   Impianmu adalah mengarahkan pergerakan dunia persilatan ke arah yang lebih manusiawi.   Mengurangi kekerasan dan kekejaman dalam dunia persilatan.   Mengenalkan satu pandangan baru bagi jalan pedang.   Menjadi Wulin Mengzhu hanyalah salah satu jalannya.   Itu yang harus kau ingat-ingat selalu, sehingga ketika jalan tidak lagi sesuai dengan tujuan yang mendasarinya, jalan itupun harus ditinggalkan", ujar Li Yan Mao menjawab pertanyaan Ding Tao.   "Ding Tao, bukankah kita sudah pernah membahas hal ini? Dan saat itu, kaupun sudah sampai pada kesimpulan yang sama? Mengapa sekarang hatimu meragu kembali? Teguhkan niatmu, perketat pengawasanmu terhadap gejolak akal dan rasa", timpal Liu Chun Cao.   Ding Tao memandangi kedua orang itu, kemudian mengitarkan pandangan pada orang-orang yang berkumpul di sekitarnya.   Dari Liu Chun Cao dan Li Yan Mao dia mendapati kebijakan.   Dari Wang Xiaho, Tang Xiong dan Qin Bai Yu dia mendapatkan persahabatan yang tidak tergoyahkan.   Dari Tabib Shao Yong dia mendapati terpancar kelembutan.   Dan dari Chou Liang dia mendapati seorang penasihat yang cerdik dan banyak akal.   Tiba-tiba beban berat di pundaknya terasa ringan, dia tahu dia tidak sendirian.   Ding Tao tersenyum memandang mereka semua, kemudian pandangannya beralih pada Qin Bai Yu dan Li Yan Mao, "Bagaimana, ada kabar mengenai Mao Bin?"   Qin Bai Yu menengok ke arah Li Yan Mao, baru setelah Li Yan Mao memberi tanda agar dia yang menyampaikan laporan, Qin Bai Yu menjawab pertanyaan Ding Tao.   "Kami sudah berkeliling ke sekitar tempat ini, bertanya pada orang-orang yang ada. Dari apa yang kami kumpulkan, sepertinya Mao Bin tidak pernah keluar dari rumahnya sejak pagi hari ini." "Jangan-jangan ada yang mencelakai dia", ujar Liu Chun Cao. Mendengar itu wajah Ding Tao memucat.   "Paman kalau begitu, cepat dobrak pintunya." "Tahan dulu", ucap Chou Liang menahan Wang Xiaho yang sudah bergerak hendak mendobrak pintu. Mendengar teriakan Chou Liang otomatis gerakan itu terhenti dan berbalik dia menanya pada Chou Liang.   "Kenapa ?" "Soal Mao Bin dicelakai orang sudah hampir pasti itu memang benar terjadi dan kukira yang mencelakai tentu orang yang mencarinya tadi pagi. Kejadiannya sudah cukup lama, menilik situasinya, kukira sudah tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menolong Mao Bin.", ucap Chou Liang dengan santai. "Ho.. lalu maksudmu kita diam saja?", tanya Wang Xiaho. "Bukan begitu, hanya saja, daripada kita mendobrak masuk, lalu menjadi tersangka, lebih baik kita menghubungi dulu kepala perkampungan ini dan menyampaikan kecurigaan kita, biar kita bersama orang-orang beramai-ramai mendobraknya. Aku tahu bagi kalian urusan pemerintahan bukan masalah penting, tapi jika bisa menghindari kesulitan, mengapa harus mencarinya.", jawab Chou Liang dengan enteng. "Baiklah, kalau begitu Saudara Chou Liang dan disertai dua tiga orang, biarlah mencari kepala perkampungan di sini. Aku dan sisanya akan menunggu dan berjaga jangan sampai ada orang menyatroni rumah ini.", ujar Ding Tao dengan tenang, dia dapat menerima alasan Chou Liang dan mengambil keputusan yang terbaik. "Baiklah, biarkan aku, Pendeta Liu Chun Cao dan Saudara Wang Xiaho pergi menemui kepala perkampungan. Ayolah", ujar Chou Liang sambil menggamit Wang Xiaho yang berada di dekatnya. Bertiga mereka pergi meninggalkan Ding Tao bersama empat orang yang lain. Selama menunggu kedatangan Chou Liang bersama kepala perkampungan, kelima orang itu tidak dapat berdiri dengan tenang. Ding Tao beberapa kali menggertakkan gigi. Akhirnya ketika dia tidak tahan lagi, dia menoleh pada empat orang yang lain dan bertanya.   "Menurut kalian, bagaimana dengan saudara-saudara yang memisahkan diri dari kita tadi?" "Maksud Ketua Ding Tao, saudara-saudara yang tidak setuju dengan pandangan Ketua Ding Tao?", tanya Li Yan Mao menegas. "Ya, maksudku mereka." "Jika benar ada yang mencelakai Mao Bin, maka ada kemungkinan mereka pun terancam bahaya. Tapi kita tidak bisa pula meninggalkan tempat ini sebelum ada kepastian.", jawab Li Yan Mao. "Bagaimana kalau kita berpencar, sebagian menunggu di sini, sebagian lagi menyusul dan memperingatkan saudara- saudara yang lain?", tanya Qin Bai Yu ikut memberikan pendapat. Tang Xiong berpandangan untuk sejenak lamanya dengan Li Yan Mao, kemudian menjawab.   "Sayangnya orang yang berpencar dari Ketua Ding Taolah yang akan terancam bahaya. Bicara terus terang, untuk saat ini hanya Ketua Ding Tao saja yang ilmu silatnya bisa diandalkan."   Kemudian diceritakannya uraian Chou Liang tentang orang misterius yang menanyakan kediaman Mao Bin sebelum mereka datang.   Dari reaksi Ding Tao yang berdiam diri dan tidak menyetujui pendapat Qin Bai Yu, bisa diperkirakan jika Ding Tao pun memiliki pemikiran yang sama dan tidak tega untuk meninggalkan ke-empat orang yang lain.   "Apakah sehebat itu?", tanya Qin Bai Yu setengah tak percaya.   "Hmm ini kebetulan saja, tapi di malam penyerangan itu, aku sempat bertarung bersama-sama saudara yang lain mempertahankan bangunan utama.   Di pihak kita pertahanan dipimpin oleh Tuan besar Huang Jin sendiri, Tetua Huang Yunshu dan Tuan muda Huang Ren Jin.   Kehebatan ilmu mereka jauh di atas dugaanku.   Beberapa kali mereka mengeluarkan ilmu yang jelas-jelas bukan milik keluarga Huang.   Pada saat-saat terakhir bahkan kulihat Tuan muda Huang Ren Jin mengeluarkan sebuah pedang pusaka.", ujar Tang Xiong bercerita.   "Apakah itu Pedang Angin Berbisik?", tanya Qin Bai Yu setengah berbisik.   Mata Tang Xiong menerawang ke langit sambil bercerita, mengenangkan kejadian malam itu.   "Kukira demikian, pedang lawan hampir terpapas kutung oleh pedang pusaka itu. Namun ketiga lawan mereka, masih berada di atas angin. Bisa dikatakan mereka bertiga sama sekali tidak memiliki kesempatan, padahal sesekali kami-kami inipun masih sempat memberikan bantuan." "Apakah paman melihat dengan cara apa mereka dikalahkan?", tanya Qin Bai Yu dengan mata terbelalak lebar. "Tidak, sebuah pukulan lawan membuatku terlempar dan terjatuh tidak sadarkan diri", jawab Tang Xiong. "Siapa yang memukul paman hingga jatuh pingsan itu? Apakah salah satu dari ketiga orang jagoan dari pihak lawan itu?", tanya Qin Bai Yu. "Bukan, bukan mereka bertiga, saat itu meskipun keadaan Tuan besar Huang Jin bertiga semakin memburuk, tapi keadaan kami yang lain justru perlahan-lahan mulai membaik. Segera setelah selesai menghabiskan lawan, tentu kami bisa menolong mereka bertiga, setidaknya meringankan tekanan atas mereka. Tapi tiba-tiba saja datang seorang lagi yang berkepandaian tinggi, gerakannya sangat cepat dan tangkas. Barisan pertahanan yang mulai merapat mengepung lawan, tiba-tiba buyar diterjang olehnya.", jawab TangXiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. Geramnya.   "Kalau teringat peristiwa malam itu, mau tidak mau hati ini jadi penasaran sekali." "Tidak perlu disesali, justru karena pukulan itu, dirimu tidak sampai mati.", kata Li Yan Mao sambil tertawa. Jika orang lain yang tertawa mungkin akan membuat Tang Xiong naik darah, tapi tawa Li Yan Mao bukan tawa menghina, ada ketulusan dan juga terasa kesedihan dan kepahitan di sana. Tentu saja nasib Li Yan Mao tidak jauh berbeda dengan nasih dirinya dan beberapa orang lain yang selamat. Qin Bai Yu termenung kemudian berkata.   "Setidaknya paman masih sempat bertarung dan melawan. Aku justru tidak sadarkan diri karena tertimpa runtuhan bangunan yang terbakar. Belum sempat menarik pedang sedikit pun." "Heh, kalau mau adu kebodohan, akulah juaranya, aku Cuma bersembunyi sementara kalian semua berusaha sekuat tenaga untuk melawan.", ujar Tabib Shao Yong dengan jenaka berusaha menghibur Qin Bai Yu. "Apa pun yang terjadi, aku bersyukur hal itu membuat kalian semua selamat, sehingga hari ini aku masih bisa berbicara dengan kalian. Hargailah hidup kalian, jangan sia-siakan dengan tindakan yang terburu nafsu. Guru Gu Tong Dang pernah berkata padaku, dalam keadaan terjepit, sebisa mungkin lebih baik aku mundur melarikan diri.", ujar Ding Tao berusaha menghibur mereka semua. "Hah, si tua Gu Tong Dang, ingin aku berjumpa lagi dengannya, biar kumaki dia sudah mengajari muridnya jadi penakut.", ujar Tang Xiong sambil tertawa, jelas tidak ada maksud menghina di dalam perkataannya yang pedas. Tabib Shao Yong mengangguk-angguk katanya.   "Ding Tao, di manakah Pelatih Gu Tong Dang sekarang? Aku pun ingin juga bertemu lagi dengan orang tua itu."   Ding Tao menggelengkan kepala.   "Terus terang aku pun tidak tahu, di mana guru tinggal sekarang ini. Dia sudah menjelaskan rencananya, begitu aku memulai perjalanan kembali ke kota Wuling, dia akan menghilangkan jejak dan pergi merantau." "Hmmm benar-benar orang tua yang panjang akal. Ketua Ding Tao, budi baiknya padamu demikian dalam, jika kedudukanmu sudah mapan, seharusnyalah kita mencarinya sampai dapat.", ucap Tang Xiong, diikuti dengan anggukan kepala oleh Ding Tao. "Akupun berniat demikian." "Paman Tang, mengapakah Pelatih Gu harus menghilangkan jejak?", tanya Qin Bai Yu yang maish muda. "He, Ketua Ding Tao pergi berkelana membawa pedang, jika kau tidak bisa mengalahkan Ketua Ding Tao, tentu saja, sasaran selanjutnya adalah titik lemah dari Ketua Ding Tao. Dalam hal ini Pelatih Gu Tong Dang, memandang dirinya sebagai titik lemah, jika musuh berhasil menawan dirinya, mau tidak mau Ketua Ding Tao akan dengan terpaksa menyerahkan Pedang Angin Berbisik.", ujar Tang Xiong menerangkan. "Ya kira-kira demikianlah penjelasan guru. Sungguh sayang, Pedang Angin Berbisik tetap saja hilang dari tanganku. Sungguh aku malu sudah menyia-nyiakan kepercayaan guru.", desah Ding Tao teringat tugas yang dibebankan Gu Tong Dang pada dirinya. "Hmm selama masih hidup, kesempatan masih ada. Lagipula, Ketua Ding Tao kehilangan pedang tapi sebaliknya berhasil mengumpulkan sahabat dan membentuk satu perkumpulan. Aku yakin dengan bantuan saudara sekalian kita akan bisa membentuk perkumpulan yang cukup besar pula.", hibur Li Yan Mao. "Ya aku mengandalkan bantuan kalian semua untuk dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan guru", jawab DingTao dengan senyum cerah. "Lihat itu mereka datang", ujar Tang Xiong menunjuk ke arah Chou Liang bertiga, yang datang bersama beberapa orang penduduk kampung situ. Dengang singkat rumah Mao Bin dibuka dengan paksa, disaksikan beberapa penduduk kampung itu yang ikut datang bersama kepala perkampungan dan benar saja di dalam rumah mereka menemukan Mao Bin dalam keadaan tak bernyawa. "Astaga aku harus melaporkan hal ini pada Hakim Huo di kota Wuling, kalian", kepala perkampungan itu ragu harus memerintahkan apa pada Ding Tao dan teman-temannya. Jelas-jelas mereka orang persilatan, mau datang dan pergi dia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Lebih-lebih sudah jelas bukan mereka pelakunya, untuk apa dia memaksakan diri untuk menahan mereka? Namun untuk membiarkan mereka begitu saja, bisa-bisa dia kena damprat Hakim Huo. Melihat kepala kampung itu ragu-ragu, Chou Liang cepat memberikan jalan.   "Sudah jelas kami tidak ada urusannya dengan pembunuhan ini, kalau kami diam dan kalian diam toh tidak ada yang perlu tahu. Kalau kalian ada yang berani buka mulut, itulah cari mati sendiri.Ular diam mengapa harus kau ganggu, benar kan?"   Beberapa orang penduduk kampung yang ikut menjadi saksi dan kepala kampung itu pun mengangguk-angguk.   "Nah, kalian cepat saja pergi memberi laporan, biarkan kami di sini sebentar untuk menyelidiki keadaan, demi kepentingan kami sendiri.   Kalau ada yang ditanyakan Hakim Huo, bilang saja kalian cepat-cepat melapor, sehingga lupa tidak menyiapkan orang berjaga di sini.   Apa yang terjadi saat kalian pergi tentu tidak ada yang tahu.   Aku tanggung saat Hakim Huo tiba, kami sudah menghilang dari tempat ini", ujar Chou Liang.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kepala kampung masih berdiri ragu, meskipun hatinya condong untuk mengikuti anjuran Chou Liang.   "Ayo cepat sana melapor, mau tunggu apa lagi?", ujar Chou Liang.   "Ah iya, iya, apa kau yakin kalian semua sudah menghilang saat aku kembali bersama Hakim Huo?", tanyanya sekali lagi sebelum meninggalkan rumah.   "Iya, iya, sana kalian semua pergi sana.", ujar Chou Liang sambil mengibas-kibaskan tangannya.   Bergegas Kepala kampung dan beberapa orang yang mengikut pergi meninggalkan Ding Tao dan kelompoknya sendirian.   "Sekarang bagaimana?", tanya Qin Bai Yu setelah semua orang itu pergi meninggalkan mereka.   "Buka mata, masing-masing memeriksa salah satu bagian dari rumah ini.   Rumah ini tidak terlalu besar, kurasa sebentar saja pemeriksaan kita selesai.", ujar Chou Liang.   Dalam waktu singkat setiap orang sudah memilih bagiannya sendiri-sendiri, memeriksa setiap sudut rumah, melihat-lihat bila bisa ditemukan petunjuk tentang pembunuhan itu.   Tinggal Ding Tao, Tabib Shao Yong dan Chou Liang berdiri di dekat Mao Bin dan mengamati luka yang membunuh Mao Bin.   Sebuah luka tepat di tengah pelipis Mao Bin, menembus lurus hingga ke belakang kepala, cairan otak dan darah, meleleh keluar membasahi lantai.   "Apakah menurutmu luka itu yang membunuhnya?", tanya Ding Tao pada Chou Liang.   Perlahan-lahan Chou Liang menggelengkan kepala dengan ragu-ragu, kemudian menoleh pada Tabib Shao Yong.   "Entahlah, luka itu tentu luka yang mematikan, tapi lihat ceceran darah yang memanjang ini, sepertinya dia masih sempat menyeret dirinya bergerak sebelum akhirnya mati, menurut Tabib Shao Yong bagaimana?" "Ya, luka di kepala hingga menembus ke belakang, sudah tentu menyebabkan kerusakan otak yang parah, tetapi tidak menyebabkan kematian secara langsung. Jika diobati dengan benar, masih ada kesempatan untuk hidup meskipun mungkin dia akan jadi manusia yang tidak berguna", jawab Tabib Shao Yong sambil memandangi mayat di depannya itu. Perlahan-lahan, Tabib Shao Yong mengeluarkan sebilah pisau kecil, tipis dan sangat tajam. Pisau yang biasa digunakannya untuk membedah pasiennya. Dengan gerakan yang tepat dan cermat, dia menyobek baju Mao Bin. Mao Bin mati tertelungkup, dengan sendirinya bagian punggungnya yang dibuka oleh Tabib Shao Yong, bagian punggung tepat di daerah jantung. Sebuah luka lebam terlihat di sana. Luka itu tidak besar, kira-kira setebal dua jari dan sepanjang jari telunjuk. Tabib Shao Yong dengan hati-hati meletakkan bagian sisi dasar telapak tangannya ke bagian yang lebam itu. Mereka melihat bentuknya sesuai. Liu Chun Cao yang baru selesai memeriksa bagiannya memperhatikan apa yang mereka kerjakan dan sambil memperagakan sebuah pukulan dengan sisi dasar tangan dia bertanya.    Badik Buntung Karya Gkh Badik Buntung Karya Gkh Perangkap Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini