Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 51


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 51


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Melanggar pesan keduanya untuk tidak membantu juga tidak berani, sehingga akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah menanti berita tentang nasib mereka berdua.   Juga jika dipikir lebih jauh, memang ada pentingnya memasang telinga, dengan demikian dalam pelarian nanti mereka bisa punya pegangan akan keadaan terakhir di Kota Jiang Ling.   Maklum penyebaran berita tidaklah sepesat di jaman sekarang, kecuali jika memang ada orang-orang yang bertugas untuk itu.   "Kalau begitu biar aku yang menemani kakak berdua", ujar Chen Taijiang.   Yang lain pun segera mengangguk setuju, karena setelah Zhu Yanyan, maka yang paling penyabar di antara mereka adalah Chen Taijiang, harapannya tentu saja jika ada berita yang tidak mengenakkan hati dan membangkitkan emosi, Chen Taijiang bisa meredamnya.   Sementara Hu Ban yang panjang akal akan lebih dibutuhkan bagi mereka yang bergerak membawa Ding Tao.   Zhu Yanyan dan Khongti sendiri tampaknya puas dengan pembagian yang dilakukan.   "Baiklah, kalau begitu, sebaiknya kalian mulai bergerak sekarang.   Sementara aku, Adik Khongti dan Adik Chen Taijiang akan bergerak mendekati dini hari nanti, sehingga kami akan masuk kota bersamaan dengan orang-orang yang lain.", ujar Zhu Yanyan memberi keputusan.   "Wang Shu Lin, mari kita tengok keadaan Ketua Ding Tao lebih dulu, sementara yang lain bersiap.", ujar Hu Ban sembari bangkit dan menggamit tangan Wang Shu Lin.   "Aku ikut", ujar Shu Sun Er.   "Baiklah kalian pergi menengok dia, sementara aku akan mempersiapkan keberangkatan kita.", ujar Pang Boxi bangkit berdiri.   "Ayolah, akan kami bantu juga, toh masih lama sebelum kami berangkat", ujar Khongti diikuti oleh Zhu Yanyan dan Chen Taijiang.   Sekilas ada kepahitan memancar dari mata Zhu Yanyan dan Khongti ketika menyebutkan nama Ding Tao.   Dalam hati tidak rela, mengapa kakak seperguruan yang begitu mereka sanjung dan hormati, harus mempertaruhkan nyawa untuk Ding Tao yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan mereka.   Sungguhpun sebagai orang yang sudah berumur dan dibesarkan dalam lingkungan yang mendidik mereka keras dalam hal keagamaan, toh masih ada bagian dari diri mereka yang belum bisa menerima.   Zhu Yanyan pun menghela nafas saat mengingat keikhlasan yang terpancar dari wajah Pendeta Chongxan dan mengeluh pendek saat mengingat betapa dirinya masih sulit menerima sedangkan orang yang menjalaninya sendiri sudah meng-ikhlas-kan.   Sambil melangkah dan bekerja, menyiapkan segala sesuatunya, baik Zhu Yanyan dan Khongti terus menerus mengingatkan diri sendiri, berusaha mengikis kepahitan yang mereka rasakan pada Ding Tao.   Kalaupun mereka belum bisa sampai pada keikhlasan yang ditunjukkan oleh kakak seperguruan mereka, setidaknya mereka sudah berada di jalan yang sama.   Di dalam kamar Ding Tao terlihat pemandangan yang berbeda.   Ding Tao yang mulai menyadari keadaan dirinya dan sekitarnya, melompat bangkit dan berdiri dengan sikap menantang ketika Wang Shu Lin, Hu Ban dan Shu Sun Er masuk ke dalam kamar itu.   "Siapa kalian!?", tanya Ding Tao dengan nada suara bermusuhan.   "Tenang Ding Tao ini aku Wang Shu Lin.", ujar Wang Shu Lin dengan sedih dan cemas.   "Wang Shu Lin?", jawab Ding Tao dengan nada bertanya, jelas pikirannya belum sepenuhnya bekerja dengan mapan.   "Wang Shu Lin, Ximen Lisi, kita bertemu pertama kali di kaki Gunung Songshan", jawab Wang Shu Lin sedih melihat Ding Tao melupakan dirinya.   "Wang Shu Lin Ximen Lisi oh Nona Wang Shu Lin", suara Ding Tao pun berubah melembut, ketika ingatannya akan Wang Shu Lin mulai kembali.   Tapi hanya sebentar saja karena rasa simpati yang dulunya dikaitkan dengan diri Wang Shu Lin sebagai seorang nona muda yang cantik, gagah dan menarik hati, sekarang berubah menjadi rasa curiga.   Ya, menjadi curiga, karena sekarang seorang wanita yang cantik dan menarik hati sudah memiliki arti baru dalam benak Ding Tao.   Sejak pengkhianatan Murong Yun Hua, wanita cantik dan memikat hati sekarang sama dengan seorang pengkhianat, sama dengan udang di balik batu, sama dengan tidak bisa dipercaya dan sederetan keburukan yang lain.   Wajahnya yang sempat melembut pun berubah menjadi dingin.   Dengan sopan namun dingin dia bertanya.   "Nona Wang Shu Lin, rupanya nona dan rekan-rekan nona yang menolong diriku. Aku ucapkan terima kasih pada kalian. Sekarang apa rencana kalian selanjutnya? Kukira kalian tentunya sudah memikirkan sesuatu."   Serasa diiris-iris dengan sembilu perasaan Wang Shu Lin mendengar cara Ding Tao menjawab, demikian dingin dan pertanyaan yang terakhir seperti bermakna dua.   Antara menanyakan rencana mereka untuk menyelamatkan Ding Tao namun dibaliknya, yang tidak terkatakan adalah, apa mau kalian dariku? Bukan hanya Wang Shu Lin yang tertusuk hatinya, kedua orang gurunya juga ikut tersentuh dan mereka bisa merasa amarah mulai muncul dalam hati mereka.   Baiknya keduanya merupakan tokoh-tokoh tua yang sudah matang pribadinya, dengan pengendalian diri yang sempurna mereka menekan amarah hendak muncul dalam hati mereka itu.   "Ketua Ding Tao baru saja mengalami satu peristiwa yang sangat menyakitkan, kami mengerti jika Ketua Ding Tao merasa curiga terhadap kami pula, meski kami adalah orang-orang yang menolong Ketua Ding Tao lepas dari bahaya.", ujar Hu Ban dengan tenang, dengan ucapannya itu selain menegur Ding Tao secara halus, juga ingin mengingatkan dan menghibur Wang Shu Lin muridnya.   Wang Shu Lin pun mengerti maksud gurunya, dengan senyum sedikit dipaksakan dia tersenyum pada Hu Ban lalu mengenalkan mereka pada Ding Tao.   "Ding Tao, mereka ini adalah guru-guruku. Beliau ini adalah Guru Hu Ban dari Hoashan dan ini Guru Shu Sun Er dari Enmei."   Wajah Ding Tao sedikit memerah mendengar sindiran halus Hu Ban, meski demikian kecurigaan dalam hatinya tidak hilang begitu saja, tapi tetap saja dia kemudian membungkuk hormat dan nada suaranya berubah jauh lebih ramah.   "Tetua, rupanya tetua berdua adalah guru dari Nona Wang Shu Lin. Maafkan kecurigaanku yang mungkin tidak pada tempatnya" "Tidak apa-apa kami bisa membayangkan perasaan Ketua Ding Tao saat ini. Hanya saja kami harap, Ketua Ding Tao masih menyediakan tempat untuk mempercayai orang lain. Memang hari ini Ketua Ding Tao dihadapkan pada pengkhianatan yang sangat mengejutkan dan menyakitkan hati, tapi bukankah di saat yang sama Ketua Ding Tao juga melihat kesetiaan dan persahabatan yang diberikan orang pada ketua, meski harganya adalah kematian?", ujar Hu Ban dengan lembut. Wang Shu Lin memandang wajah Ding Tao dengan cemas dan tak habis pikir, mengapa gurunya justru mengingatkan kembali Ding Tao pada kenangan buruk itu. Benar saja wajah Ding Tao tampak menggerenyit menahan nyeri di dada, mengenangkan kematian puluhan orang yang merelakan nyawanya bagi keselamatannya. "Ketua Ding Tao, mungkin sakit mendengarkan ucapanku barusan. Namun aku tetap harus menyampaikannya, jika tidak bukankah sama saja aku membiarkan Ketua Ding Tao melupakan kesetiaan mereka? Membiarkan mata Ketua Ding Tao tertutup dari satu sisi yang indah dari kehidupan ini dan hanya melihat pada sisi buruknya saja.", lanjut Hu Ban kemudian. "Bukan berarti aku menyarankan Ketua Ding Tao untuk melupakan pengkhianatan yang terjadi dan hanya melihat pada kesetiaan yang ditunjukkan oleh puluhan pengikut Ketua Ding Tao. Jika demikian maka peristiwa ini pun akan berlalu tanpa memberikan sumbangan kebaikan, yang kuharapkan dari Ketua Ding Tao adalah membuka mata pada kedua kenyataan itu secara berimbang. Memang ada pengkhianatan ada penipuan, tapi juga ada ketulusan dan kesetiaan."   Ding Tao pun termenung mendengarkan uraian Hu Ban, inilah salah satu sifat baik dari Ding Tao.   Berkat gemblengan orang tuanya semasa dia kecil, telinganya terbuka pada nasihat orang lain, terutama mereka yang lebih tua dari dirinya.   Terkadang saat kita sakit, kita sulit mendengar nasihat orang.   Orang yang datang dengan nasihat, tidak jarang kita tanggapi dengan amarah.   Biasanya kita akan berkata, memang mudah untuk bicara tapi siapa yang bisa melakukan? Padahal bukankah lebih baik jika nasihat yang diberikan kita dengar dan renungkan lebih dahulu? Penghalang terbesar, biasanya adalah kesombongan dan ego, merasa diri lebih baik dari orang lain, sehingga sulit menerima nasihat dari orang lain.   Ini yang tidak ada dalam diri Ding Tao, pemuda yang rendah hati, sehingga dengan mudah menempatkan diri sebagai orang yang kurang tahu, sebagai orang yang perlu diajar.   Pada hati yang demikian, sebuah nasihat mendapatkan tempat yang baik untuk bertumbuh.   Bahayanya jika tidak diiringi kebijakan dalam menyaring nasihat orang, bisa jadi dia akan menjadi pribadi yang terombang-ambing.   Baiknya Ding Tao adalah seorang yang jujur pada nuraninya sendiri, inilah pegangannya yang terakhir.   "Jadi, jangan mudah percaya, selalu waspada, tapi di saat yang sama juga jangan menghakimi seseorang bila belum memiliki bukti yang kuat.", kata Hu Ban mengakhiri nasihatnya.   Selesai mendengarkan nasihat Hu Ban, Ding Tao pun menghela nafas.   "Aku mengerti aku mengerti terima kasih untuk nasihat tetua, tapi entah apakah aku bisa melakukannya dalam kehidupan sehari-hari."   Hu Ban tersenyum senang, hatinya mulai merasa simpati pada Ding Tao.   "Kita semua berusaha melakukan yang terbaik, adapun keadaan kita yang sering lupa, itulah perjuangan kita, di mana kita selalu berusaha menengok ke dalam diri, adakah kita sudah menyerong dari jalan yang benar, masih adakah yang perlu diperbaiki dan demikian seterusnya, sampai ajal menjelang."   Setelah hatinya merasa tenang barulah Ding Tao bisa berpikir dengan lebih jernih, hatinya masih pedih jika mengingat kematian Ma Songquan dan yang lainnya, namun setidaknya dia mulai bisa berpikir.   Maka teringatlah dia, ketika dia baru sadar, sepertinya ada suara yang dia kenal sedang bercakap-cakap di ruangan yang lain.   "Tetua, kalau tidak salah, tadi aku mendengar suara tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.   Benarkah mereka ada juga di sini?", tanya Ding Tao pada kedua guru Wang Shu Lin itu.   Shu Sun Er sekilas memandang Hu Ban, Hu Ban pun tidak segera menjawab, membuat jantung Ding Tao berdebar.   "Ada apa? Mengapa diam? Benarkah kedua tetua sempat datang ke mari, jika benar ke mana mereka pergi sekarang?", tanya Ding Tao dengan perasaan tak enak.   Sebelum Hu Ban sempat menjawab, Zhu Yanyan dan yang lain sudah selesai menyiapkan segala sesuatunya dan sekarang mereka sudah berkumpul di tempat itu.   Mendengar pertanyaan Ding Tao, baik Zhu Yanyan dan Khongti merasa nyeri dalam dada, namun di luar mereka tetap tenang.   "Bagus kalau Ketua Ding Tao sudah sadar.   Kedua ketua memang sempat berada di sini, bisa dikatakan mereka berdualah yang mengatur rencana penyelamatan dirimu.   Sekarang mereka pergi pula untuk satu urusan.   Penjelasannya cukup panjang, sedangkan kita sedang diburu waktu, sebaiknya kita berangkat sekarang nanti akan aku jelaskan di jalan.", jawab Hu Ban dengan cerdik.   "Ah baiklah, kita hendak pergi ke mana dan maaf apa benar tetua berempat juga guru dari Nona Wang Shu Lin? Terima kasih atas pertolongan kalian, budi baik ini tentu akan aku ingat selalu dalam hati.", ujar Ding Tao sambil membungkuk hormat pada empat orang yang baru masuk.   "Benar mereka ini guruku", jawab Wang Shu Lin untuk kemudian memperkenalkan mereka satu per satu, sesaat kemudian basa-basi sebuah perkenalan pun berjalan dengan singkat.   "Ayolah akan aku jelaskan sambil kita berjalan, tujuan kita kali ini adalah ke Desa Hotu, sebuah desa di luar perbatasan.", ujar Hu Ban menjawab pertanyaan Ding Tao selanjutnya.   Sambil menjawab, dia pun berjalan keluar dari kamar menuju ke pelataran di mana kuda dan perbekalan mereka sudah disiapkan.   Dengan sendirinya yang lain pun berjalan mengikuti Hu Ban dengan Ding Tao dan Wang Shu Lin sebagai yang termuda berada paling belakang.   "Desa Hotu?", ujar Ding Tao dengan nada bertanya.   "Benar Desa Hotu, ini adalah pesan dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, nanti di sana kita disuruh menemui seseorang.   Ada apa sebenarnya dengan desa itu kami sendiri kurang jelas, karena beliau berdua tidak cukup waktu untuk menjelaskan semuanya.   Yang pasti desa itu berada di luar perbatasan, itu pun sudah merupakan alasan yang cukup kuat karena seperti yang kita ketahui, lawan kita kali ini punya pengaruh yang kuat hampir di seluruh daratan Tionggoan.", ujar Hu Ban menjelaskan.   Mendengar penjelasan Hu Ban, Ding Tao tercenung diam, terselip keraguan dalam hatinya.   Hatinya masih belum sembuh benar dari sakitnya dikhianati, tapi dengan cepat pemuda itu menyadari keadaannya dan berusaha mengusir kecurigaan yang kurang beralasan itu dari dalam hatinya.   Dia pun berpikir, Untuk saat ini, kukira itu jalan yang terbaik, menjauh sejauh mungkin dari daratan Tionggoan.   Untuk sampai ke sana masih butuh waktu berbulan-bulan.   Jika ada siasat dibalik pertolongan mereka, masih belum terlambat untuk membongkarnya dan memikirkan jalan keluarnya. Diamnya Ding Tao bukannya tak lepas dari pengamatan Hu Ban yang tajam, melihat Ding Tao bisa menahan diri, Hu Ban pun tersenyum dalam hati.   Senyum yang sendu, karena terbayang pengorbanan demikian banyak orang demi pemuda ini.   Dalam hati Hu Ban pun berujar, Ah semoga pengalaman pahit ini membuat dia lebih dewasa.   Dunia persilatan mungkin butuh seorang jujur dan tulus seperti Tetua Bhiksu Khongzhen dan Tetua Pendeta Chongxan, tapi tokoh itu juga harus secerdik dan sebijaksana mereka, jika tidak dia hanya akan jadi bulan-bulanan dari orang-orang licik yang ada dalam dunia persilatan. Sebentar saja mereka sudah sampai di pelataran, dengan sigap mereka melompat ke atas punggung kuda.   Wang Shu Lin serta tiga orang gurunya yang ikut dalam perjalanan ke Desa Hotu pun berpamitan pada Zhu Yanyan bertiga.   Kemudian Ding Tao pun berpamitan.   Zhu Yanyan dengan perasaan campur aduk memandangi pemuda itu, kemudian berkata.   "Ketua Ding Tao, hati-hatilah dalam perjalanan, jangan pikirkan apa pun kecuali menyelamatkan diri. Ada banyak tanggung jawab dan kepercayaan orang yang diletakkan di atas pundakmu. Jangan sampai kau mengecewakan mereka."   Lama Ding Tao memandangi Zhu Yanyan, dia bisa merasakan kepedihan dalam suara itu, hatinya pun tersentuh dan untuk sejenak seluruh kecurigaan yang sering mengganggunya hilang lenyap digantikan rasa empati.   Meskipun dia tak mengerti apa yang membuat Zhu Yanyan bersedih, namun ingin dia berbuat sesuatu untuk menghibur orang tua itu.   "Aku mengerti tetua aku mengerti", ujar Ding Tao dengan tulus.   Melihat ketulusan dan rasa simpati yang terpancar dari wajah Ding Tao, hati Zhu Yanyan dan Khongti jadi sedikit terhibur.   Muncul harapan dalam hati mereka, agar pemuda ini tumbuh menjadi tokoh besar seperti kakak seperguruan mereka.   Kiranya pengorbanan itu bukanlah pengorbanan yang sia-sia.   Semoga harapan mereka berdua, terwujud benar dalam diri pemuda ini.   Terkadang ketulusan beribu-ribu kali lebih berarti dibandingkan kata-kata yang dirangkai dengan indah.   Meski kadang orang lebih tersanjung oleh pujian dan bukan ketulusan.   Buktinya banyak gadis tertipu oleh rayuan gombal seorang laki-laki atau sebaliknya.   "Bagus sekarang cepatlah berangkat, kami pun memiliki tugas di sini.", jawab Zhu Yanyan dengan hati yang jauh lebih lapang dari sebelumnya.   Kemudian dia pun menengok ke arah Hu Ban yang menjadi pemimpin dari rombongan kecil ini.   "Adik Hu Ban, segera setelah kami selesai menyerap berita di Jiang Ling, kami akan pergi pula ke Desa Hotu, kita akan bertemu di sana." "Baik, akan kami tunggu kedatangan kalian di sana, sepanjang jalan, jika ada perubahan rencana, tentu aku akan meninggalkan tanda-tanda tertentu untuk menjadi petunjuk.", jawab Hu Ban. "Baik, sudah pergilah kalian sekarang", ujar Zhu Yanyan mengakhiri percakapan. Dalam gelapnya malam, empat ekor kuda pun pergi ke arah utara, meninggalkan tiga orang yang memandangi punggung mereka sampai mereka menghilang dari pandangan. "Kakak sepertinya dia memang pemuda yang baik", ucap Khongti sambil memandang ke kejauhan. "Hmm aku juga berpikir demikian. Lagipula mereka berdua sudah begitu terasah mata batinnya, jarang sekali mereka salah menilai seseorang. Jika Kak Chongxan berpendapat dia adalah seorang pemuda yang baik, aku yakin memang demikianlah kenyataannya.", jawab Zhu Yanyan. "Sekarang masalahnya tinggal, apakah dia bisa selamat melewati cobaan ini? Apakah kepribadiannya tidak berubah akibat cobaan yang berat ini.", ujar Chen Taijiang dengan prihatin. "Itu adalah tanggung jawab kita semua, jangan sampai emas berubah jadi loyang.", ujar Zhu Yanyan. "Kakak benar, tapi kukira hal itu tidak akan terjadi, bukankah ada ujar-ujar, meskipun mutiara terendam lumpur, dia akan tetap jadi mutiara.", sahut Khongti. "Ya sudahlah, tak ada gunanya menduga-duga masa depan. Yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaiknya di masa sekarang demi masa depan yang lebih baik tentang hasil akhirnya hanya langit yang tahu.", desah Chen Taijiang sambil berjalan masuk kembali ke dalam rumah. Zhu Yanyan dan Khongti masih berdiri di depan pelataran beberapa lama sebelum bergerak lambat mengikuti Chen Taijiang yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumah. Meski mereka mengerti dan bisa memahami keputusan yang diambil Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dalam satu gambaran yang luas, tetap saja terasa ada beban yang memberati hati mereka. Ketulusan Ding Tao yang mereka lihat sekilas tadi, menjadi hiburan yang mengurangi beban di hati. Sementara Ding Tao sedang bergerak ke arah utara, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sedang duduk-duduk di pinggir jalan dengan santai sembari membakar umbi-umbian semacam singkong. Di depan mereka api unggun menyala, lidahnya menari-nari membentuk berbagai macam bayangan. "Hmm lama juga mereka ya, masakan mereka mengambil jalan berputar?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan suara perlahan. "Kurasa tidak, coba saja pikirkan kalau kita ada di posisi mereka, saat ini siapa yang menjadi penghalang bagi mereka untuk menguasai dunia persilatan? Ketua Ding Tao dengan ketergantungannya pada Obat Dewa Pengetahuan justru bisa diletakkan ke nomor yang ke-sekian.", jawab Pendeta Chongxan. "Tentu saja kau benar, tapi perhitungan kita sebagai manusia kadang meleset juga. Bagaimana jika Obat Dewa Pengetahuan itu cuma satu bualan saja, sehingga Ketua Ding Tao tetap menjadi sasaran utama? Mungkin Zhong Weixia dan yang lain melihat kita menghadang di jalan ini, kemudian mereka mencari jalan memutar untuk menghindari hadangan kita.", ujar Bhiksu Khongzhen sembari meniup-niup singkong yang sudah matang. "Heh.. biasanya orang menggunakannya dalam sup, siapa tahu dibakar pun enak rasanya", ujar Pendeta Chongxan sambil mulai mengupas bagiannya. "Haha, benar, tidak disangkan sudah sampai di penghujung usia, masih juga sempat merasakan makanan yang nikmat.", jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa. "Nah, coba dengar, bukankah itu suara langkah kaki orang yang mengendap-endap?", ujar Pendeta Chongxan tiba-tiba, di tengah mereka sednag menikmati umbi-umbian itu. "Hoho bagus, rupanya otak kita belum berkarat. Hmm satu dua tiga ah tidak kurang dari tujuh orang.", kata Bhiksu Khongzhen. "Mungkin itu sebabnya mereka datang sedikit terlambat, rupanya mereka mencari bala bantuan lebih dulu. Saudara Khongzhen, sayang sekali, kita belum sempat menghabiskan makanan ini, mereka sudah keburu datang.", sahut Pendeta Chongxan dengan santai. "Menurutmu, mereka mau tidak kita suguhi makanan ini?", tanya Bhiksu Khongzhen sambil menyisihkan umbi-umbian yang sudah matang dari tengah api unggun. "Coba saja kita tawarkan, sayang kalau terbuang", jawab Pendeta Chongxan tersenyum simpul. "Sobat, kenapa tidak datang ke mari? Malam begitu dingin, di sini ada makanan panas dan api unggun, kami pun tidak keberatan untuk berbagi", seru Bhiksu Khongzhen ke arah datangnya suara langkah kaki. Mendengar seruan Bhiksu Khongzhen itu pun, segera muncul tujuh sosok laki-laki, dipimpin oleh Zhong Weixia di depan. Seperti Bhiksu Khongzhen yang berlaku seolah-olah menyapa sesama pejalan kaki yang datang, demikian juga Zhong Weixia dan ke-enam rekannya. Meskipun sedari awal sudah berencana untuk melenyapkan nyawa dua orang tokoh tua itu, di luarnya mereka berlaku seakan-akan menemukan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan secara tidak sengaja. "Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, tidak kusangka akan bertemu kalian di sini, sedang menikmati bakar-bakaran. Bagaimana dengan pengejaran kalian atas diri Ketua Ding Tao?", sapa Zhong Weixia setelah jarak mereka cukup dekat. "Ah, kita bicarakan soal itu nanti dulu saja, sekarang kenapa kalian tidak ikut bergabung di sini bersama kami. Lihat jumlah yang sudah matang cukup untuk kita semua.", jawab Pendeta Chongxan sambil menunjuk ke tempat-tempat yang kosong di sekeliling api unggun. Tanpa banyak cakap ke-tujuh orang itu pun memilih tempat masing-masing. Zhong Weixia, Xun Siaoma, Bai Chungho dan Guang Yong Kwang memilih duduk berhadapan mengelilingi Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Tiga orang yang lain, duduk sedikit mundur di belakang, di sisi kiri dan kanan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Dengan punggung bersandar pada pohon yang besar, kedua orang tokoh tua itu jadi terkepung dari semua sisi. "Nah, cobalah rasa umbi-umbian ini, iseng-iseng kami coba membakarnya di api unggun, ternyata rasanya cukup nikmat juga dimasak dengan cara demikian.", ujar Pendeta Chongxan sambil menawarkan umbi-umbian yang sudah matang. Zhong Weixia dan Bai Chungho tampak meragu, sedangkan Xun Siaoma tanpa banyak cakap segera memilih yang terbesar dan mulai mengupas kulit umbi yang kasar dan menikmati penganan itu. Yang lain menunggu sambil berpura-pura sibuk dengan berbagai urusan, ketika mereka melihat Xun Siaoma tidak mengalami apa-apa, barulah mereka mengambil umbi- umbian itu satu per satu. Melihat keraguan mereka Xun Siaoma mendengus pendek, sedangkan Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen hanya tersenyum-senyum saja sambil menikmati penganan mereka sendiri, seakan tak tahu kecurigaan orang. Sambil makan itu, Zhong Weixia pun kembali bertanya.   "Jadi apakah ketua berdua sudah menemukan jejak Ketua Ding Tao?" "Hmm hmm", keduanya tidak langsung menjawab, tapi masih saja sibuk dengan makanan di tangan. Zhong Weixia saling berpandangan dengan rekannya yang lain, Xun Siaoma justru sengaja tidak mau memandang wajah Zhong Weixia dan ikut-ikutan sibuk dengan makanan di tangan, sedang Bai Chungho tersenyum-senyum geli. Melihat itu, Zhong Weixia pun mulai naik darah, selama hidupnya dia senang kalau orang takut padanya, tapi hari ini mereka yang berkumpul di situ bukanlah orang yang bisa dia takut-takuti. Zhong Weixia sudah membuka mulut untuk bertanya kedua kalinya, ketika Pendeta Chongxan melemparkan sisa kulit umbi yang ada di tangannya setelah melahap habis potongan terakhir.   "Ah nikmat sekali, dingin-dingin begini memang paling nikmat memanaskan badan di dekat api unggun sambil menikmati makanan hangat."   Bhiksu Khongzhen menyusul sahabatnya itu melahap potongan terakhir umbi di tangannya dan menyahut.   "Lebih nikmat lagi kalau ada minuman yang menghangatkan tubuh." "Aku ada sedikit arak, bagaimana apa Bhiksu Khongzhen mau melanggar pantangan?", ujar Pendeta Chongxan dengan mata mengerdip jenaka. "Haa haa haa. Biasanya aku selalu menaati perintah dan larangan, tapi malam ini, boleh juga sedikit melanggar, mana araknya?", jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa terbahak-bahak. Semakin keduanya bersikap wajar, malah semakin tegang perasaaan tujuh orang yang mengepungnya. Pendeta Chongxan pun benar-benar mengeluarkan seguci arak dan berbagi dengan Bhiksu Khongzhen, masing-masing menyesap sedikit saja untuk melegakan tenggorokan yang baru dilewati makanan. "Hmm benar-benar arak yang nikmat, entah sudah berapa puluh tahun aku tidak pernah merasakannya", ujar Bhiksu Khongzhen sambil berkecap-kecap, sementara Pendeta Chongxan tertawa geli melihat laku sahabatnya itu. Bhiksu Khongzhen kemudian menatap lurus ke arah Zhong Weixia.   "Ketua Zhong Weixia, mengapa harus bertanya pula? Sandiwara kami boleh saja menipu orang lain, tapi tentunya tidak menipu kalian. Larinya Ketua Ding Tao adalah polah tingkah kami berdua, jadi mana mungkin kami mengejar untuk menangkap dia?"   Zhong Weixia berpura-pura terkejut dan menjawab.   "Bhiksu Khongzhen, anda jangan bercanda, apa maksud anda ini? Ketua Ding Tao adalah seorang penjahat yang berbahaya, apa benar ketua berdua memutuskan untuk melindunginya?"   Bhiksu Khongzhen tertawa hambar.   "Malam sudah semakin larut, sudahlah apa perlunya kita terus bersandiwara. Pilihan kalian cuma dua, kembali ke Jiang Ling atau berhadapan dengan kami berdua. Jangan harap kalian bisa menangkap Ketua Ding Tao selama kami berdua masih ada di sini."   Tapi Zhong Weixia masih saja berkeras dengan sandiwaranya.   "Bhiksu Khongzhen! Pendeta Chongxan! Apa kalian bersungguh-sungguh dengan perkataan itu? Jika benar, jangan salahkan kami jika kami memberanikan diri mengangkat senjata melawan kalian." "Astaga, memangnya ada berapa orang di sini? Apa perlunya juga kau bersandiwara? Kami berdua yakin, seyakin- yakinnya, bahwa Ketua Ding Tao telah dijebak. Siapa yang menjebak, aku rasa aku tak perlu mengatakannya, cukup ingat, tak akan bisa kalian menangkapnya kalau belum melewati kami berdua.", jawab Bhiksu Khongzhen sambil menggeleng- gelengkan kepala. Sembilan orang itu duduk bersama, seperti sekumpulan pengelana yang sedang menikmati hangatnya api unggun, tapi nyatanya urat syaraf setiap orang sudah menegang. "Bhiksu Khongzhen, kalau aku bertanya sekali lagi, apa jawabmu?", tanya Zhong Weixia, diam-diam jari tangannya sudah mengait salah satu rantai senjatanya. "Kau bertanya ribuan kali pun jawabanku tetap sama. Sekarang aku tanya, kalian pilih yang mana? Kembali ke Jiang Ling atau mau mencoba-coba kepandaian kami berdua?", jawab Bhiksu Khongzhen, hawa murni pun diam-diam sudah dikerahkan melindungi tubuh. "Kami ada di pihak yang benar, kenapa harus takut?", ujar Zhong Weixia menjawab, namun sebelum habis dia berkata, roda bergeriginya sudah terlontar cepat menyambar mata Bhiksu Khongzhen. Seperti anak panah dilepas dari busurnya, ke-enam orang yang lain bergerak dengan cepat pula, susul menyusul melontarkan serangan mereka ke arah dua orang tokoh tua itu. Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dengan tak kalah sigapnya melompat berdiri dan menghalau serangan. Dalam sekejapan jalan yang sepi itu pun dipenuhi suara denting pedang dan berbagai macam senjata yang saling beradu. Bhiksu Khongzhen menggunakan tasbih di tangannya sebagai senjata, sedang Pendeta Chongxan sudah mencabut pedang di tangannya. Tetua Xun Siaoma dan Guang Yong Kwang dengan pedangnya, Bai Chungho dengan tongkat pemukul anjingnya, Zhong Weixia menggunakan sepasang roda bergerigi yang dikaitkan pada seuntai rantai besi. Tiga orang yang lain, masing-masing bersenjatakan pedang, tombak berkait dan sebilah golok tipis. Dalam gebrakan pertama itu terbukti mereka bertujuh tak mampu mengambil keuntungan atas Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, di saat yang sama dua orang tokoh tua itu ternyata juga tidak mendapatkan kesempatan untuk lolos dari kepungan. Untuk beberapa lamanya mereka bersembilan pun hanya saling memandang, menunggu lawan membuat kesalahan. Sesekali ada di antara mereka yang menyesuaikan kedudukannya, mencari lubang di pertahanan lawan, dan segera disusul oleh ke-delapan orang yang lain yang menyesuaikan kedudukan mereka dengan perubahan yang terjadi. Perlahan-lahan area pertempurang sedikit bergeser menjauhi api unggun. "Kalian bertiga, aku tak pernah melihat kalian, tapi nyatanya gerakan kalian boleh dikata tergolong nomor satu dalam dunia persilatan. Jika boleh tahu, siapa nama kalian bertiga?", ujar Pendeta Chongxan kepada tiga orang yang tak dikenal itu. Salah seorang dari mereka, yang sepertinya menjadi pemimpin dari dua orang yang lain menjawab dengan tenang.   "Kami bertiga adalah pelayan-pelayan setia dari keluarga Murong, sejak kecil kami sudah digembleng dengan berbagai macam aliran ilmu silat sebelum memilih senjata tertentu untuk didalami. Tetua berdua tidak pernah mendengar nama kami, karena memang selama puluhan tahun ini kami tidak pernah keluar rumah." "Ah menarik sekali, rupanya keluarga Murong menyimpan kekuatan dengan diam-diam. Ada berapa orang seperti kalian dalam keluarga Murong?", tanya Pendeta Chongxan dengan tenang, seperti bercakap-cakap dengan seorang kenalan. "Hmph baiklah, kalian dengarkan baik-baik. Jumlah kami seluruhnya ada 34 orang dan kami bertiga berada di posisi menengah. Sudah lama nyonya kami memperhitungkan kekuatan kalian berdua, jika nyonya hanya mengutus kami bertiga itu artinya, dia yakin bantuan kami bertiga sudah cukup untuk melenyapkan nyawa kalian.", ujar orang itu dengan nada sombong. "Ah hebat sekali nyonya kalian, pernahkah kalian berpikir bahwa ada kemungkinan dia salah perhitungan? Jangan- jangan justru kalian bertiga yang kembali ke Jiang Ling tanpa nyawa.", tanya Pendeta Chongxan dengan senyum mengejek. Dari cara mereka berbicara terlihat jelas betapa tiga orang itu memiliki harga diri yang tinggi, sekaligus memuja Murong Yun Hua secara berlebihan. Ejekan Pendeta Chongxan yang biasa saja itu pun sudah cukup untuk menyentuh harga diri mereka. Dengan teriakan marah ketiganya berkelebat menyerang Pendeta Chongxan, merusak kepungan yang mereka buat. Dalam hati Zhong Weixia dan yang lain pun memaki kebodohan tiga orang itu, tapi bukan tokoh kelas satu jika mereka terlambat bertindak. Dalam waktu yang singkat itu pun kedudukan sembilan orang itu bergese-geser dengan cepat. Lubang pertahanan yang muncul akibat gerakan tiga orang anak buah Murong Yun Hua dengan cepat berusaha ditutup oleh Zhong Weixia dan Bai Chungo. Namun Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan tidak kalah sigap memanfaatkan kelemahan yang muncul sesaat itu. Sekali lagi jalan yang sunyi itu dipenuhi dengan dentangan senjata, pasir-pasir pun berterbangan oleh hembusan serangan mereka. Di sini dua orang tokoh tua itu menunjukkan kehebatan mereka, pedang Pendeta Chongxan berkelebatan menahan gerak Zhong Weixia dan Bai Chungho yang berusaha menutup lubang dalam kepungan mereka. Dengan gerak langkah kaki yang rumit dan tepat, sembilan orang itu pun dibuat kesulitan untuk saling membantu. Tidak jarang justru kawan sendiri yang menjadi penghalang untuk bergerak lepas. Selain dari tiga orang anak buah Murong Yun Hua, empat orang yang lainnya belumlah terbiasa untuk bekerja sama dalam sebuah serangan. Bisa dikata di antara mereka berempat hanya Xun Siaoma dan Bai Chungho yang sering berlatih bersama, mereka berdua dengan mudah bisa menyesuaikan gerakan masing-masing. Sayangnya mereka berdua pun memiliki ganjalan dalam hati, tidak seperti Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang saling percaya dan memiliki rasa persahabatan yang kuat, sehingga sedetik dua detik, gerakan Bai Chungho dan Xun Siaoma masih kalah cepat dan tepat dibandingkan lawannya. Lagipula permainan pedang Pendeta Chongxan dan kekuatan hawa pukulan Bhiksu Khongzhen yang menyambar-nyambar, cukup membuat jeri lawan-lawannya. Pertempuran pun berlangsung cukup berimbang. Di satu sisi menang jumlah, di sisi lain menang dalam hal ilmu silat dan kerja sama. Keuletan dan kegigihan dua orang jagoan tua itu pun akhirnya membuahkan hasil, dalam sebuah serangan kepungan tujuh orang lawan mereka itu pun terpecahkan. Keduanya dengan sebat meloloskan diri dari kepungan lawan dan dengan satu serangan mampu menghentikan lawan yang hendak bergerak mengepung mereka kembali. Sekali lagi dua kelompok yang bertarung ini pun kembali diam. Kali ini mereka berdiri berhadap-hadapan. Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen sudah berada di luar kepungan, tujuh orang lawannya hanya mampu membentuk setengah lingkaran dan tak melihat cara untuk bergerak ke belakang dua orang jago tua itu. "Nama Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan benar-benar bukan nama kosong Tapi jangan dulu berbangga hati", ujar Zhong Weixia dengan matanya yang tajam tak pernah lepas dari dua orang itu. "Terima kasih terima kasih, apakah sekarang kalian bersedia untuk berhenti mengejar Ketua Ding Tao?", jawab Bhiksu Khongzhen, matanya pun tak pernah lepas dari tujuh orang di hadapannya. "Dalam mimpimu!, dengan perkataan itu kembali Zhong Weixia berkelebat menyerang. "Bagi jadi dua kelompok! Kalian bertiga layani Pendeta Chongxan,sedang keledai gundul ini serahkan pada kami berempat! Pisahkan mereka berdua! Jangan biarkan mereka bertarung berpasangan!", seru Zhong Weixia sembari menghempaskan tenaganya beradu pukulan dengan Bhiksu Khongzhen. Kaget juga Bhiksu Khongzhen dengan tenaga Zhong Weixia yang besar, selamanya Zhong Weixia lebih dikenal dengan serangan-serangan licik dan kejam menggunakan senjata roda bergeriginya, siapa nyana ketua Partai Kongtong itu menyimpan juga pukulan-pukulan tangan yang berat, bahkan mampu mengimbangi tenaga raksasa Bhiksu Khongzhen yang ditakuti lawan dan kawan. "Ketua Zhong Weixia, selamat, rupanya sudah berhasil menyelami puncak ilmu tinju tujuh luka", seru Bhiksu Khongzhen sembari menangkis pukulan tangan Zhong Weixia yang datang berkelebat dan tanpa berhenti bergerak, menggeser kedudukannya untuk menghindari serangan pedang di tangan Guang Yong Kwang, tangan yang lain pun tidak menganggur melainkan menggebahkan tasbihnya diiringi hawa murni untuk mendesak mundur Bai Chungho dan Xun Siaoma. Seruan Bhiksu Khongzhen ini bukan hanya membuat Pendeta Chongxan mengerutkan alis, tapi juga sekutu-sekutu Zhong Weixia sendiri ikut mencatatnya dalam hati. Rupanya Ketua Kongtong ini diam-diam menyempurnakan pukulan tenaga dalam warisan perguruannya. Sejak Ketua Partai Kongtong dua generasi di atas Zhong Weixia, belum pernah terdengar lagi ada anak murid Kongtong yang mampu menyempurnakan tinju tujuh luka, siapa nyana diam-diam Zhong Weixia menyempurnakannya. "Hahaha, kalau sudah tahu apakah Bhiksu Khongzhen hendak menyerah sekarang?", jawab Zhong Weixia sambil tertawa berkakakan, kedua tinjunya pun bergerak tanpa henti menyambar-nyambar mengincar titik-titik penting di tubuh Bhiksu Khongzhen. "Hahaha, siapa bilang aku hendak menyerah, justru aku merasa senang, kalau demikian aku pun tidak perlu sungkan- sungkan untuk mencoba Telapak Dewa Buddha tingkat 8 dan Genta emas tingkat akhir yang baru aku kuasai.", jawab Bhiksu Khongzhen telapak tangannya pun bergerak dengan cepat menyambuti pukulan tangan Zhong Weixia. Plak! Plak! Plak! Zhong Weixia pun menyeringai gemas, pukulan tangannya bertemu dengan telapak tangan Bhiksu Khongzhen yang sama liatnya. Tadinya dia sudah bergirang hati, siapa sangka Bhiksu Khongzhen pun tidak berkurang liatnya seiring dengan pertambahan umur. Tapi tiga orang yang lain pun tidak berhenti menyerang dan juga membantu sekutunya bertahan, sehingga Bhiksu Khongzhen pun harus menguras tenaga untuk mengimbangi ke-empat lawannya. Pertempuran berlangsung makin seru. Pukulan-pukulan yang dilancarkan makin berat dan angin pun menderu-deru di sekeliling mereka berlima. Di sisi lain pertempuran Pendeta Chongxan dan tiga orang lawannya pun berlangsung tidak kalah serunya. Pendeta Chongxan yang sudah berumur masih mampu bergerak lincah dan efektif, meliuk-liuk di tengah serangan lawan. Pedangnya bergulung-gulung, melipat dan mennghanyutkan serangan lawan. Tidak ubahnya sebuah pusaran angin, gerakannya yang melingkar lingkar, mampu menyeret lawan ke dalam permainan pedangnya. Tapi tiga orang itu bukan orang sembarangan, secara pengalaman mereka beberapa lapis di bawah Pendeta Chongxan, namun kekurangan itu mampu mereka tutupi dengan kerja sama yang sangat apik. Jelas mereka sudah belasan tahun berlatih bersama. Terutama pemimpin dari tiga orang itu yang bersenjatakan tombak berkait. Senjatanya yang panjang mampu bergerak dengan luwes, tombak besi yang keras, bisa bergerak lentur tak ubahnya sebuah rantai panjang. Kaitan yang ada di ujung pun digunakan dengan sempurna, bergerak menusuk, membacok dan mengait dari belakang, Pendeta Chongxan harus benar-benar waspada, tak boleh lengah sedikitpun. Di lain pihak, golok yang tipis memang benar bergerak tanpa suara, namun golok tipis yang biasanya lentur, ternyata bergerak seperti golok besar dan berat saat menyerang. Saat bergerak tak bersuara, saat ditangkis tenaga yang menekan terasa berat benar. Yang keras bergerak lentur, yang lentur bergerak keraS, sedang pedang di tangan orang ketiga bergerak seperti cucuran air hujan, mengisi setiap kekosongan dari serangan dua orang yang lainnya. Pendeta Chongxan tidak bisa mengendurkan semangatnya sedikit pun. Bagusnya jagoan tua itu mampu bergerak dengan hemat, gerakan-gerakannya tidak menghamburkan tenaga yang tidak perlu, gulungan pedangnya mampu menggunakan kekuatan lawan untuk menangkis serangan lawan. Ulet benar dua orang jagoan tua itu, seandainya lawan-lawan mereka hari ini bukan jagoan-jagoan kelas satu sudah sedari tadi mereka akan menyerah. Sekarang pun luka-luka kecil mulai menghiasi tubuh lawan Pendeta Chongxan. Luka kecil yang tak berbahaya namun cukup mengganggu dan membangkitkan kemarahan. Melihat keadaan tiga orang itu, Zhong Weixia mengeluh dalam hati. Hmm, benar memang mereka berilmu tinggi, tapi terlalu sombong untuk melihat tingginya langit, pikir Zhong Weixia ketika sesekali melirik keadaan di kelompok yang lain. "Huh! Dasar anak-anak muda yang sombong.", geram Xun Siaoma yang rupanya juga menilik keadaan di sana. Zhong Weixia tidak ingin menyinggung tiga orang kepercayaan Murong Yun Hua itu, namun menilik keadaan mereka dia pun tidak mungkin mendiamkannya saja, dia pun berteriak,"Sobat! Lawanmu sudah tua, berbelas kasihan sedikitlah. Lihat! Nafasnya sebentar lagi tentu akan habis!" "Hahaha! Siapa bilang nafasku sudah hampir habis?", seru Pendeta Chongxan sambil mengemposkan semangatnya, dalam satu ledakan tenaga lawan-lawannya seakan melihat bayangan naga berkelebatan menyambar-nyambar dari gulungan pedang Pendeta Chongxan. Tiga lawan yang lebih muda pun dibuat terpukul mundur, menjauh beberapa langkah dari serangan yang menakutkan itu. Melihat keadaan mereka yang kritis, Xun Siaoma pun melompat mendekat, meninggalkan Bhiksu Khongzhen yang ditahan oleh Zhong Weixia, Guang Yong Kwang dan Bai Chungho. Bagai kilat pedang Xun Siaoma menyambar, tidak salah jika Hoasan dikatakan Gunung Thaisannya ilmu pedang, sambaran kilat pedang Xun Siaoma diiringi hawa murni yang kuat, melesat lurus menyerang pusat gulungan pedang Pendeta Chongxan. Memaksa Pendeta Chongxan untuk menarik kembali serangannya dan tidak memburu tiga orang lawannya. Secepatnya perhatian Pendeta Chongxan pun berpindah ke arah Xun Siaoma, namun Xun Siaoma cepat menarik mundur serangannya, tidak mau terlibat dalam pertarungan melawan Pendet Chongxan. Waktu yang singkat itu sudah cukup untuk memulihkan keadaan tiga orang kepercayaan Murong Yun Hua yang sempat terguncang. Dari pendekar pedang keluarga Murong, berkelebat meyambar Pendeta Chongxan, tujuh buah senjata bidik yang dilontarkan dengan tenaga dalam. Pendeta Chongxan terpaksa menarik serangannya dan mengalihkan kembali perhatiannya pada tiga orang kepercayaan keluarga Murong, sementara Xun Siaoma dengan cepat sudah kembali membantu Zhong Weixia bertiga untuk menahan serangan Bhiksu Khongzhen yang memanfaatkan kesempatan di saat lawannya berkurang seorang. "Awas serangan!", seru pendekar dengan tombak berkait menyerang Pendeta Chongxan. Tidak sia-sia seruan Zhong Weixia, tiga orang itu terbuka matanya oleh kelebihan lawan mereka, tapi juga dengan kekurangannya. Mereka menyerang dengan berhati-hati dan mengambil jarak, sengaja membuat gerakan Pendeta Chongxan semakin luas, dengan demikian mengeluarkan tenaga yang lebih besar. Menggunakan kelebihan panjang tombak, si tombak berkait menyerang dari kejauhan. Menggunakan gerakan goloknya yang tak bersuara, pendekar golok itu mencari-cari kesempatan untuk meyerang Pendeta Chongxan dari belakang. Sementara yang berpedang, sekarang lebih sering menggunakan senjata rahasia untuk menyerang Pendeta Chongxan. Jika Pendeta Chongxan berkelahi sambil menyimpan tenaga, mereka bertiga pun akan mencecar dengan serangan-serangan yang memaksanya bergerak, tapi ketika Pendeta Chongxan balas menyerang dengan hebat, mereka akan bergerak menjauh, memaksa Pendeta Chongxan untuk mengejar. Melihat cara mereka berkelahi, mengeluhlah Pendeta Chongxan dalam hati. Dia sadar kelebihannya dalam hal ilmu silat tidak berselisih jauh dengan ketiga orang lawannya. Ketika mereka bertiga melayani permainan pedangnya dengan keras dalam jarak yang dekat, dia justru punya kesempatan untuk mencuri-curi serangan di sela serangan lawan. Sekarang lawan, menyerang dengan berhati-hati dan bermain dalam jarak yang jauh, memaksa dia bekerja lebih keras, sementara serangannya sulit berhasil karena lawan berjaga dengan ketat. Pendeta Chongxan pun sadar, cepat atau lambat, tenaganya akan terkuras terlebih dahulu dibandingkan lawan yang usianya jauh lebih muda. Fisiknya yang tua tidak mampu menunjang penggunaan hawa murni yang terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Ketika tadi dia memaksakan diri untuk mengeluarkan jurus pamungkasnya, dia sudah bisa merasakan betapa gerakan itu membebani tubuh fisiknya yang sudah renta. Seandainya tidak ada Xun Siaoma mungkin pengorbanan itu akan memberikan hasi l yang pantas, setidaknya dia akan berhasil melukai satu atau dua orang lawannya. Sayang ada Xun Siaoma di sana, dalam hal ilmu pedang dia tidak di bawah Pendeta Chongxan, meski dalam hal himpunan hawa murni dan pengerahannya dia masih selapis dua lapis di bawah Pendeta Chongxan, tapi dalam hal ketajaman mata untuk menganalisa jurus pedang lawan, Xun Siaoma merupakan lawan yang setanding. Beberapa li jauhnya dari pertarungan itu, Ding Tao, Hu Ban, Pang Boxi, Wang Shu Lin dan Shu Sun Er sedang berpacu dengan kuda mereka menuju ke utara. Sebuah perjalanan yang amat panjang, namun setiap langkah menjauh dari Zhong Weixia dan sekutunya memperbesar kesempatan mereka untuk selamat. "Tetua Hu, ada apakah di Desa hotu itu?", tanya Ding Tao memecahkan kesunyian. Hu Ban mengerutkan alis, dia sendiri merasa penasaran dengan desa itu.   "Tepatnya seperti apa, aku sendiri kurang jelas. Tetua Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen yang lebih tahu, sayang waktunya sendiri sangat singkat, semuanya serba terburu-buru tak ada kesempatan untuk menjelaskan segala sesuatunya. Petunjuk mereka berdua sendiri cukup jelas, kukita semuanya akan jadi jelas begitu kita bertemu dengan tabib di desa itu." "Menurut Tetua Hu Ban, kita akan bertemu dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan di sana?", tanya Ding Tao lebih lanjut. Berat perasaan Hu Ban untuk menjawab.   "Kukira demikian, tapi kedua tetua itu tidak bisa meninggalkan begitu saja urusan Shaolin dan Wudang di saat situasi demikian genting. Kemungkinan besar, anak murid kepercayaan mereka yang akan datang." "Kedua tetua sungguh tokoh yang berjiwa ksatria, kuharap akan ada kesempatan untuk mengucapkan terima kasih pada mereka.", ujar Ding Tao membuat mereka yang mendengarnya mendelu. Wang Shu Lin pada dasarnya punya hati sangat berperasaan, terhadap lawan memang seperti api yang membara, terhadap orang-orang yang kasar dia pun ikut bersikap berangasan dan tak kalah kerasnya. Namun sesungguhnya hatinya mudah tersentuh, terhadap kebaikan orang tentu dia tidak akan lupa. Bagi gadis ini ke enam orang gurunya adalah dewa penolong, tempat dia mendapatkan kasih sayang, pengganti orang tua. Demi dirinya mereka terasing dari saudara-saudara seperguruan mereka. Kebaikan orang pada enam orang gurunya ini, berkali lipat jauh lebih berarti dibandingkan kebaikan orang pada dirinya sendiri, itu sebabnya kesannya pada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan amatlah baik. Mendengarkan percakapan Ding Tao dan Hu Ban, hati gadis itu mengharu biru, tenggorokan tercekat ingin menangis menumpahkan perasaan. Demikian pula Hu Ban yang harus menjawab pertanyaan Ding Tao sementara dia tahu kedua orang tetua itu justru sedang menjelang ajal, memasang badan agar mereka bisa berlari menjauh dari bahaya dengan tenggorokan sedikit tercekat Hu Ban menjawab.   "Kau banyak berhutang budi pada mereka berdua, karena itu jangan kecewakan mereka, ingat keduanya mempercayakan satu tangggung jawab besar di atas pundakmu." "Tanggung jawab besar? Apakah kedua tetua ada menyampaikan satu pesan untukku ketika aku tidak sadarkan diri?", tanya Ding Tao heran. "Ya", jawab Hu Ban sedikit ragu. "Apa pesan mereka?"   Tanya Ding Tao dengan bersemangat.   "Hmm saat mereka menyerangmu di Jiang Ling, apakah Ketua Ding Tao masih ingat?", tanya Hu Ban.   "Ya aku ingat", jawab Ding Tao sambil mengerutkan dahi.   "Menurut tetua berdua, serangan mereka itu adalah inti sari dari ilmu warisan Shaolin dan Wudang yang mereka dapatkan setelah merenunginya selama puluhan tahun.   Mereka titipkan perenungan mereka itu, untuk kau sampaikan pada anak murid Shaolin dan Wudang di masa depan.", ujar Hu Ban menjelaskan.   Dahi Ding Tao semakin berkerut mendengarkan penjelasan Hu Ban.   "Apakah Ketua Ding Tao mengerti? Itu sebabnya saat ini Ketua Ding Tao harus menjaga baik-baik diri ketua, karena di atas pundak Ketua Ding Tao bukan hanya ada harapan pengikut-pengikut setia Ketua Ding Tao tapi juga warisan bagi anak murid Shaolin dan Wudang di generasi berikutnya.", ujar Hu Ban berusaha menguatkan semangat Ding Tao untuk bertahan hidup.   "Tunggu mengapa kesannya kedua tetua membuat pertanda buruk bagi dirinya sendiri?", keluh Ding Tao.   "Itu situasi saat ini sangat genting, sementara di generasi sekarang belum ada yang siap untuk menerima tuntunan kedua tetua mengenai inti dari ilmu silat mereka.   Karenanya kedua tetua tidak merasa tenang sebelum ada dari generasi yang lebih muda yang mewarisi hasil pemikiran mereka selama bertahun-tahun.", Hu Ban berusaha menjawab ganjalan di hati Ding Tao.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tapi perasaan Ding Tao yang peka bisa merasakan ada yang disembunyikan dari jawaban Hu Ban, sekilas dia melihat ke kiri dan ke kanan, mengamati ekspresi di wajah Wang Shu Lin, Pang Boxi dan Shu Sun Er.   Seketika itu juga sebuah pemahaman merasuk ke dalam pikiran Ding Tao.   Kuda yang menderap maju, tiba-tiba berhenti karena ditahan tali kekangnya.   "Apakah kedua tetua hendak mengorbankan diri demi menyelamatkan aku dari kejaran lawan?", tanya Ding Tao tiba-tiba.   Ding Tao berhenti begitu mendadak, dengan sendirinya empat orang yang lain sekarang berada beberapa langkah di depan Ding Tao, Hu Ban dengan wajah pucat berusaha menjawab.   "Dengar, kedua tetua adalah tokoh terbesar di jaman ini, tak ada orang yang dapat menyakiti mereka." "Benar keduanya adalah tokoh terbesar golongan lurus di jaman ini, dengan sendirinya mereka berdua adalah penghalang terbesar bagi mereka yang memiliki niat jahat.", jawab Ding Tao, kudanya perlahan-lahan bergerak mundur dan hendak berbalik arah. "Tunggu! Apa yang hendak Ketua Ding Tao lakukan? Apakah sudah lupa dengan segala pengorbanan mereka? Apa yang mereka percayakan pada Ketua Ding Tao, akankah ketua mengecewakan mereka berdua?", tegur Hu Ban dengan jantung berdebar-debar. Bayangan tubuh-tubuh tak berkepala berkelebatan dalam benak Ding Tao, sambil menggertakkan gigi dia menjawab.   "Itu urusan mereka berdua! Aku tak pernah memintanya dan aku tak mau berhutang pada siapapun untuk kesekian kalinya!"   Ding Tao pun menark tali kekang kudanya kuat-kuat, berbalik arah dan menggebah kuda tunggangannya untuk melaju ke arah yang berlawanan.   "Sial!!! Ketua Ding Tao jangan jadi orang egois!!!", seru Hu Ban dengan kesal, keringat dingin membasahi dahinya, kudanya pun dipacu untuk mengejar Ding Tao.   Shu Sun Er dan Wang Shu Lin dibuat melengak bingung dengan perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba.   "Hmph! Sungguh pemuda pujaanmu itu bukan pemuda sembarangan, hanya bikin pusing saja.", dengus Shu Sun Er sebelum memacu kudanya menyusul Ding Tao dan Hu Ban yang sudah lebih dahulu melaju di depan.   "Ho! Ayolah kita mati berbareng saja, ini lebih baik daripada lari seperti anjing kurap.", gumam Pang Boxi sebelum memacu kudanya mengikuti yang lain.   Apa lagi yang bisa dilakukan Wang Shu Lin kecuali mengikuti ketiga orang gurunya, memacu kudanya mengejar Ding Tao yang melesat cepat di depan.   Sementara jauh di depan Hu Ban masih berteriak berusaha menghentikan Ding Tao.   "Ketua Ding Tao! Kau bahkan tak tahu mereka ada di mana saat ini! Semuanya baru dugaan saja!" "Jika sembarangan bergerak, ketua justru mengacaukan semuanya!"   Tapi Ding Tao tak menggubris sedikit pun seruan-seruan Hu Ban.   Kematian Ma Songquan dan yang lain kasih terlalu lekat dalam benaknya untuk berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu.   Celaka, rusak semuanya, semoga saat melewati pondokan Kakak Zhu Yanyan dan yang lain bisa membantuku untuk menghentikannya., keluh Hu Ban dalam hati.   Beberapa li jauhnya, kembali pada pertarungan sengit antara pihak yang lurus dan yang sesat, pertarungan semakin lama semakin tidak berimbang.   Tubuh renta Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen tidak dapat mengimbangi jurus-jurus pamungkas mereka dan penerapan hawa murni yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama.   Dua orang itu bukannya tidak sadar dengan keadaan mereka, namun pilihannya hanyalah bertahan selama mungkin atau mempertaruhkan segalanya dalam satu serangan yang bukan hanya membahayakan lawan, tapi juga merugikan tubuh mereka sendiri.   Di antara mereka berdua, Pendeta Chongxan lah yang keadaannya paling parah.   Tiga orang lawannya sudah terlatih bekerja sama selama belasan tahun, mereka juga berusia 30-an, tepat pada puncak fisiknya.   Sementara lawan Bhiksu Khongzhen yang berusia muda hanyalah Guang Yong Kwang dan Zhong Weixia, keadaan Bai Chungho dan Xun Siaoma sendiri sudah sama payahnya dengan Bhiksu Khongzhen.   Menyadari keadaannya muncul perasaan tak rela dalam hati Pendeta Chongxan.   Dia tiba-tiba merasa betapa puluhan tahun yang dia habiskan untuk melatih ilmunya terbuang sia-sia, mati di tangan orang tak bernama.   Dalam keadaan itu, Pendeta Chongxan pun memutuskan untuk mempertaruhkan segala sesuatunya pada serangan berikutnya.   Setidaknya sebelum dia mati, dia bisa menunjukkan segala apa yang sudah dia capai, jangan sampai orang lupa nama besar Pendeta Chongxan.   "Saudara Khongzhen! Aku jalan lebih dulu! Tolong jaga agar tidak ada yang mengganggu!", serunya sambil menghimpun segenap hawa murni yang dia himpun selama belasan tahun lamanya di titik-titik pusat energi dalam tubuhnya.   "Saudara Chongxan! Aku akan mengiringimu!", seru Bhiksu Khongzhen menjawab.   "Awas hati-hati semuanya!"   Seru Zhong Weixia merasakan hawa pembunuh yang menekan berat keluar dari seluruh tubuh Pendeta Chongxan.   Tanpa peringatan Zhong Weixia pun, mereka bertujuh bisa merasakan tekanan yang keluar dari tubuh Pendeta Chongxan yang kurus dan renta.   "Xun Siaoma awas serangan!", seru Bhiksu Khongzhen berkelebat menekan Xun Siaoma.   Di saat yang bersamaan, Pendeta Chongxan bergerak menyerang, pedangnya bergerak cepat menusuk ke depan, terlihat sangat sederhana, tapi tidak demikian bagi pendekar bergolok tipis yang harus menghadapi serangan itu.   Seandainya ilmunya tidak setinggi saat ini, tentu dia tidak merasakan kengerian seperti yang dia rasakan saat ini.   Nalurinya mengatakan betapa berbahayanya serangan Pendeta Chongxan di saat yang sama dia tidak mampu menentukan di mana letak bahayanya.   Dengan putus asa dia membuang tubuhnya bergulingan ke belakang, namun serangan Pendeta Chongxan sampai lebih cepat dari yang ditangkap oleh panca inderanya.   Serangan itu sampai sebelum dia bisa memahami bagaimana serangan itu sampai di tubuhnya, dengan jeritan menyayat hati dia pun rubuh bergulingan dengan lubang di dadanya.   Serangan Pendeta Chongxan tidak berhenti di sana, pedangnya bergerak berbalik mencecar si tombak berkait dan pendekar berpedang yang bergerak hendak membantu rekannya.   Yang paling mengerikan dari serangan Pendeta Chongxan adalah kecepatannya yang sulit diikuti, ketika dirasa telah tiba ternyata belum tiba, ketika dikira belum tiba, ternyata serangan itu sudah sampai.   Sepertinya sederhana, namun hanya dengan pengerahan hawa murni yang sempurna saja serangan itu bisa dilakukan, kecepatan yang melebihi kecepatan yang dapat diikuti oleh tokoh-tokoh kelas satu tersebut.   Menciptakan serangan bayangan dan serangan sungguhan yang seakan sama mematikannya.   Dalam satu gerakan yang berkesinambungan, pedang Pendeta Chongxan bergerak menyerang tanpa bisa ditahan.   Tombak berkait terpotong menjadi dua, sebuah luka menyilang lebar di depan dada, beruntung dia masih cukup sigap untuk menghindar sehingga tidak sampai melepas nyawa, namun rekannya yang bersenjatakan pedang dan senjata rahasia tidak cukup cepat bergerak, terhuyung mundur dengan luka mengucur deras dari dadanya, dalam waktu yang sepersekian saatnya dia menghamburkan senjata rahasia di kantungnya ke depan, berharap bisa menghambat gerakan Pendeta Chongxan yang sudah tak bisa dia ikuti dengan panca inderanya.    Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini