Pedang Angin Berbisik 21
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 21
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Itu sebabnya ketika Tiong Fa menawari dia untuk bergabung dengan organisasinya, Pang Ho Man akhirnya bersedia untuk ikut membantu, meskipun dengan keragu-raguan. Tapi Pang Ho Man memiliki ambisi yang tinggi dan di saat yang sama, seperti kebanyakan orang dunia persilatan di masa itu, yang kuat berkuasa yang lemah ditindas, itulah hukum yang alami bagi mereka. Selamanya kelinci dan kambing akan jadi makanan bagi harimau. Jika tidak mau dimakan, maka pilihannya haruslah menjadi yang terkuat. Jika tekanan atas diri semua orang tiba-tiba lenyap, bagaimana dengan Ding Tao yang dalam waktu sekejapan itu menjadi sasaran dan pusat konsentrasi dari segenap hawa dan tenaga yang menyatu dalam satu serangan? Dalam waktu yang sekejapan itu, tekanan yang dirasakan Ding Tao naik berpuluh-puluh kali lipat, tapi Ding Tao tidak lengah, diapun bisa merasakan bagaimana dari serangan yang satu ke serangan yang lain, dirinya diarahkan pada satu kedudukan. Di sini letak kepekaan dan daya tanggap Ding Tao menjadi kunci dari hasil pertarungan antara dirinya dan pembunuh bertopeng itu. Dengan tepat Ding Tao berhasil membaca serangan lawan, sehingga serangan terakhir lawan bisa diantisipasinya dengan tepat. Saat seluruh tenaga dan semangat lawan, tiba-tiba terkonsentrasi pada dirinya, Ding Tao sudah pula menarik kembali segenap semangat dan tenaganya ke satu titik, tempat di mana serangan itu akan dilancarkan. Itu sebabnya mereka yang menonton pertandingan itu merasakan kelegaan yang luar biasa secara tiba-tiba, karena dua hawa pedang yang tadinya mengamuk dan menekan keberadaan mereka, ditarik dalam waktu yang hampir bersamaan secara tiba-tiba. Jika para penonton merasakan kelegaan yang tiba-tiba dan Ding Tao merasakan peningkatan tekanan atas dirinya berpuluh-puluh kali lipat dalam waktu yang sekejapan mata, maka berbeda pula perasaan orang bertopeng itu. Dalam waktu yang sekejapan itu, dia tahu bahwa dirinya sudah kalah. Saat dia menarik seluruh hawa dan semangat ke dalam satu serangan, dia masih memiliki keyakinan dan dengan teriakannya dia berusaha menguatkan keyakinannya itu. Sepersekian kejap mata dia bisa merasakan serangannya mulai menembus hawa pertahanan Ding Tao, tapi dalam hitungan yang singkat dia bisa merasakan serangannya menghadapi hambatan yang makin lama makin kuat dan dalam sekejapan mata serangannya terhenti sepenuhnya, tertahan oleh hawa dan tenaga yang tidak kalah kuatnya. Di titik itu, orang bertopeng ini menyadari kekalahannya dan kesadaran ini menyergap tiba-tiba, seluruh keyakinan dirinya runtuh. Sejak semula dia menempatkan dirinya sebagai juara dan pemenang dari pertarungan ini, semangatnya, kemarahannya, semuanya adalah berdasarkan perasaan superioritas ini. Ketika dia menghadapi kenyataan yang berbalik 180 derajat, seluruh dasar dan pijakannya pun runtuh ke dalam jurang keputus asaan yang dalam. Hawa murni dan semangatnya membuyar. Pedang di tangannya bergetar dan hancur menjadi ratusan keping baja, berterbangan ke segala arah. Beberapa orang yang tidak siap jatuh menjadi korban, yang beruntung hanya mengalami luka-luka saja. Dua-tiga orang mati seketika karena luncuran kepingan baja itu menembus organ tubuh yang penting. Dari pihak Ding Tao ada Ma Songquan dan Chu Linhe yang sekali lagi dengan sigap menghalau semua pecahan pedang dan mengamankan rekan-rekannya. Di pihak Tiong Fa, jagoan-jagoan yang ada sudah kerepotan untuk menolong dirinya sendiri, tidak ada yang sempat untuk menolong yang lain. Ding Tao masih sempat menahan pedangnya yang sudah bergerak lurus ke arah lawan. Meskipun tidak mampu untuk menahan seluruhnya, setidaknya pemuda itu masih sempat membelokkan arah serangan, hingga pedang tidak sampai menembus jantung lawan. Yang menjadi korban adalah pundak kanan lawan yang tertembus oleh pedang Ding Tao. Ma Songquan dan Chu Linhe menghembuskan nafas kagum karena di saat yang paling kritis itupun pemuda itu masih sempat berusaha menyelamatkan nyawa lawan. Tapi takdir manusia sudah dituliskan oleh langit, orang bertopeng itu sudah membuyar seluruh hawa murni dan semangatnya. Sebagai orang yang terdekat dari pusat ledakan tenaga, jumlah pecahan pedang yang terlempar ke arah dirinya lebih banyak dibanding orang lain. Puluhan pecahan pedang dengan kecepatan tinggi, melesat menembusi seluruh tubuhnya. Dalam sekejapan mata, tubuhnya pun sudah dibanjiri oleh darah, jantung, otak dan lambungnya ditembusi oleh pecahan pedangnya sendiri. Orang bertopeng itu mati tanpa dapat ditolong lagi. Ding Tao yang baru saja dipaksa untuk mengerahkan segenap semangat dan hawa murninya, terpaku di tempatnya untuk beberapa lama. Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya, pemuda itu segera mengambil posisi bermeditasi dan mengatur kembali hawa murninya. Bisa dikatakan pemuda ini mendapatkan peruntungan yang baik, karena berhasil menguasai Ilmu Tenaga Dalam Inti Bumi. Dengan penguasaannya itu, pemuda inipun mampu menyerap dan mengolah hawa murni yang terpancar dari bumi, dia juga mampu menggunakan getaran alam yang ada untuk membantu dirinya menenangkan kembali hawa murninya yang bergejolak keras. Sifat tanah yang tenang, teguh dan tidak bergerak, membantu Ding Tao mengatur pernafasan, energi dan semangatnya menjadi tenang kembali. Ma Songquan dan rekan-rekannya yang lain pun tidak kalah sigap untuk segera berjaga atas segala kemungkinan. Meskipun hal-hal yang tidak diiginkan tampaknya tidak akan terjadi. Pertarungan yang baru saja terjadi sudah mengguncang hati semua orang. Termasuk mereka yang menjadi pengikut Tiong Fa. Bukan hanya harta Tiong Fa yang menarik mereka untuk masuk mengikutinya, tapi juga karena adanya dukungan dari orang-orang misterius yang berilmu tinggi. Orang seperti Pang Ho Man, sudah memperhitungkan bahwa orang bertopeng yang menjadi pelindung dari Tiong Fa tentunya memiliki kedudukan dan nama dalam dunia persilatan. Bukan hanya karena menilik dari tingginya ilmu mereka, tapi juga karena kemisteriusan mereka yang berusaha menyembunyikan jati diri mereka yang sesungguhnya. Karena itu kemenangan Ding Tao dan kekalahan orang misterius itu, membuat semangat bertarung merekapun menguap entah ke mana. Itulah perbedaan antara mereka yang berjuang demi ketenaran dan harta, dibandingkan dengan mereka yang berjuang demi kebenaran dan keadilan. Selama dunia masih ada kebenaran dan keadilan pun tidak akan hilang. Nilai-nilai yang tertuliskan dalam hati nurani setiap manusia, abadi keberadaannya, sementara harta dan ketenaran sifatnya sementara saja. Keadaan sudah terlanjur memasuki tahap yang demikian, Ma Songquan dan kawan-kawan tidak mau mengambil keputusan tanpa ada persetujuan dari Ding Tao. Fu Shien dan kawan-kawannya tidak mungkin pula untuk diam-diam pergi setelah sebelumnya saling menepuk dada dan mengadu pedang. Mau tidak mau kedua kelompok itupun terdiam di tempatnya masing-masing, menunggu Ding Tao selesai memulihkan tenaga. Cukup lama Ding Tao duduk, menghimpun dan menenangkan hawa murninya kembali. Sepanjang waktu itu, tidak ada petugas keamanan yang berani muncul. Meskipun sempat ada yang datang pula ke tempat kejadian, mereka tidak berani untuk menerjunkan diri ke dalam pertikaian tersebut. Apalagi kedua kelompok itu tidak mengusik warga yang lain, kekacauan yang terjadi juga tidak menyebar ke bagian lain dari kota. Jika ada sedikit masalah dalam kota, itulah berkumpulnya orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa itu dari kejauhan. Demikian cerita tentang pertarungan Ding Tao melawan orang bertopeng itu disaksikan ratusan orang di kota Jiang Ling. Saat Ding Tao akhirnya membuka mata dan bangkit berdiri, isi dada Fu Shien dan kawan-kawannya bergemuruh tak menentu. Tangan yang memegang pedang, tak terasa basah oleh keringat. Tapi meskipun terasa tak nyaman, tidak berani mereka mengendurkan pegangan untuk mengeringkan telapak tangan yang basah. Berbalik 180 derajat adalah Ding Tao dan kawan-kawannya, dengan tenang Ding Tao melangkah ke arah Fu Shien yang berada di depan, mewakili rekan- rekannya. Di belakang Ding Tao mengiringi para pengikutnya yang jumlahnya tidak sampai sepuluh orang. "Kungfu hebat", ujar Fu Shien menangkupkan dua kepalan tangan untuk memberi salam hormat. "Terima kasih, bukan apa-apa, hanya sedikit keberuntungan saja.", jawab Ding Tao tidak kalah sopannya. "Tidak perlu basa-basi, seberapa tinggi tingkatan tuan dan seberapa tinggi tingkatan kami, sepertinya sudah bukan rahasia lagi. Kita berhadapan sebagai lawan dan tuan yang memenangkan pertarungan, sekarang apa mau tuan terhadap kami?", jawab Fu Shien dengan suara tenang. Tidak perlu malu jadi jagoan macam Fu Shien, dalam segala situasi bisa menjaga agar kepalanya tetap dingin. Itu sebabnya dia bisa malang melintang dalam dunia persilatan selama belasan tahun. Soal ilmu silat, tentu di atas langit masih ada langit. Yang biasanya berumur panjang, justru bukan yang memiliki ilmu silat tinggi, melainkan mereka yang bisa melihat situasi. Jagoan muda yang berbakat tidak sedikit, tapi yang tidak berdarah panas, bisa dihitung dengan jari. Mereka yang berbakat tapi berdarah panas, bisa dipastikan umurnya dalam dunia persilatan tidak lebih dari beberapa tahun saja. Jagoan seperti Ding Tao sedikit sulit dicari bandingannya, benar-benar berbakat dan memiliki keberuntungan yang baik, sehingga meskipun memiliki sifat yang sulit berkompromi dengan orang lain, mereka masih sempat hidup bertahun-tahun lamanya dan meningkatkan ilmu silatnya sampai pada taraf di mana tidak ada orang berani mencari masalah dengan mereka. Segelintir orang-orang macam inilah yang membuat cerita dunia persilatan menjadi menarik untuk diikuti. Kisah- kisah kepahlawanan mereka, membuat banyak pemuda memiliki cita-cita yang sama, sayang sebagian besar dari mereka hanya akan menambah jumlah batu nisan di pekuburan. Tapi kali ini belum waktunya bagi Ding Tao untuk mati, masih banyak tugas dan kesulitan yang harus dia jalani. Kali ini, Ding Tao berdiri dengan tegap, di kiri dan kanannya para pengikutnya yang setia. Di depannya adalah lawan yang sudah kehilangan semangat bertarung dan menanti kemurahannya saja. Apa yang terjadi sudah masuk dalam perhitungan Chou Liang, perkumpulan yang dibangun Tiong Fa, dibangun dengan uang dan bersandar pada tokoh misterius yang berilmu tinggi. Sekarang tokoh itu sudah mati di tangan Ding Tao, sandarannya sudah hilang. Dan apakah uang punya arti jika harus kehilangan nyawa? Tentu saja tidak dan dengan satu gebrakan, satu perkumpulan yang terlihat kokoh kuat itu disapu habis. "Seperti yang telah aku katakan sebelumnya, aku tidak mencari perkara dengan siapa pun. Kami ke tempat ini hanya menuntut keadilan pada Tiong Fa. Jika kalian tidak menghalangi usaha kami untuk bertemu Tiong Fa, kami pun juga tidak akan mengganggu kalian.", ujar Ding Tao dengan tenang. Sejenak Fu Shien saling berpandangan dengan orang di kiri kanannya, tapi tidak ada satupun yang berniat menjual nyawa. Akhirnya dengan senyum tawar Fu Shien mengangkat pundak dan menjawab. "Kalaupun kami ingin menghalangi, apakah kami ada kemampuan? Silahkan jika tuan ingin mencari Tiong Fa, hanya saja menilik keadaannya orang itu tentu sudah menghilang." Ding Tao menghela nafas, dengan senyum tawar dia menjawab. "Sepertinya memang demikian, tapi biarlah kami coba mencarinya." "Bagaimana dengan orang itu?", tanya Fu Shien sambil menunjuk pada mayat orang bertopeng yang terbaring di atas genangan darahnya sendiri. "Ketua, biar aku yang mengurusnya, ketua dan saudara-saudara yang lain bisa coba mencari Tiong Fa di dalam", sela Ma Songquan mengajukan diri. "Jika diperbolehkan, aku ingin membantu Saudara Ma Songquan mengurus jenazah ini, ilmunya begitu tinggi, kurasa dia bukan orang sembarangan", ujar Liu Chun Cao menambahkan. Ma Songquan berpikir sejenak kemudian berkata. "Kurasa cara begitu juga lebih baik. Bagaimana menurut ketua?" Ding Tao tanpa banyak berpikir, segera saja mengangguk setuju. "Baiklah kalian lakukan apa yang menurut kalian baik. Yang lain, mari ikut aku memeriksa gedung ini." Ding Tao dan beberapa orang lain segera bergerak memasuki gedung tempat markas besar Tiong Fa. Kali ini tidak ada seorangpun yang berusaha menahan mereka. Pengikut-pengikut Tiong Fa dengan jinaknya menyibak ke kiri dan kanan, memberikan jalan bagi Ding Tao dan kawan-kawannya. Sementara itu, bukan hanya Ma Songquan dan Liu Chun Cao yang bergerak mendekati mayat orang bertopeng itu, Fu Shien dan rekan-rekannya juga melakukan hal yang sama. Liu Chun Cao yang melihat gerakan mereka, memalingkan wajah dan menyapa. "Heh, apa kalian juga penasaran?" "Tentu saja penasaran, tadinya kupikir kali ini aku mendapatkan sandaran yang cukup kuat, siapa nyana, baru beberapa bulan bekerja harus melihat kenyataan yang di luar dugaan", jawab Fu Shien dengan ringan. Wajah Pang Ho Man tampak gelap, maklum dia bukan orang yang terbiasa berpindah-pindah pekerjaan macam Fu Shien. Tapi diapun mau tidak mau harus mengakui bahwa keputusan Fu Shien sudahlah tepat. Pada pertarungan tadi, meskipun mereka menang jumlah, namun dari kelompok Ding Tao ternyataa ada beberapa orang yang kemampuannya di atas dugaan. Untuk mengimbangi Ma Songquan dan pasangannya saja mereka harus menempatkan banyak orang. Satu-satunya harapan mereka adalah orang bertopeng itu. Siapa sangka, orang bertopeng itu justru kalah pula di tangan Ding Tao. Berbeda dengan Fu Shien dan Pang Ho Man, adalah Si racun dari Utara, pekerjaannya memang seorang pembunuh bayaran. Pindah-pindah majikan bukan barang baru baginya, oleh karena itu manusia yang satu ini tampak tidak terganggu sama sekali dengan kekalahan mereka. Tapi ada satu kesamaan, mereka semua penasaran dengan wajah di balik topeng itu. Semua ingin melihat wajah di balik topeng itu, tapi tidak ada juga yang bergerak untuk membuka topeng itu. Dalam hati mereka semua merasa, wajah di balik topeng itu tentu akan membuat kehebohan baru dalam dunia persilatan dan ada keengganan jika tidak mau dikatakan takut, untuk menjadi orang yang membongkar misteri itu. Di antara mereka mungkin Ma Songquan yang paling tidak ambil peduli dengan tokoh-tokoh dalam dunia persilatan, selain ilmunya cukup tinggi wataknya memang sedikit sesat, tidak peduli aturan dan unggah-ungguh yang biasa dipakai dalam dunia persilatan. Namun kali ini Ma Songquan tidak langsung membuka topeng itu, orang ini justru terdiam memandangi mayat bertopeng itu, seakan tidak sadar bahwa orang lain justru menunggu dirinya untuk membuka topeng itu. Liu Chun Cao akhirnya tidak sabar lagi dan bergerak hendak membuka topeng itu sambil berkata gemas. "Buka topeng ya buka topeng, memangnya siapa orang ini hingga terhadap mayatnya pun harus berpikir seribu kali." Tangan sudah bergerak ke arah topeng yang menutupi wajah, hati Fu Shien dan yang lain berdetak kencang, tapi tiba-tiba Ma Songquan bergerak dengan sangat cepat, menahan gerak tangan Liu Chun Cao yang hendak membuka topeng. "Tunggu bagaimana kalau dikubur saja tanpa membuka topengnya?", tanya Ma Songquan. Melengak Liu Chun Cao mendengar perkataan Ma Songquan, yang lain mungkin tidak tahu siapa Ma Songquan sebenarnya, tentu saja tidak seheran Liu Chun Cao sewaktu mendengar pertanyaan yang kedengaran pengecut tersebut. Si racun dari utara tiba-tiba terkekeh geli. "Wah sobat, kalau melihat caramu berkelahi, pantasnya malaikat penjaga pintu nerakapun akan ketakutan jika harus berhadapan dengan dirimu. Siapa sangka hanya urusan kecil begini membuat nyalimu mengkerut." Alis Ma Songquan berkerut sampai hampir bertaut kedua ujungnya, dengan menggeram bengis dia berkata. "Bocah cebol, lidahmu sama beracunnya dengan senjata rahasiamu. Untung aku punya obat penawarnya, kalau kau buka mulut sekali lagi, boleh aku berikan padamu." Si racun dari utara hanya meleletkan lidah sambil menyengir, matanya melirik ke arah Fu Shien yang cepat tanggap dan menimpali ucapan si racun dari utara. "Saudara jangan keburu marah, memang lidahnya beracun, tapi ada benarnya juga. Memang apa masalahnya kalau topeng ini dibuka?" Ma Songquan bukan anak kemarin sore, sudah tentu dia melihat lirikan mata si racun dari utara. Oleh karena itu perkataan Fu Shien membuat dia makin geram, tapi orang berkata dengan sopan, diapun segan untuk mengumbar kekesalannya. Dengan menahan kesal dia memalingkan wajah ke arah Liu Chun Cao dan berkata. "Sudah kupikirkan masak-masak dan aku sudah bisa mengira-ngira siapa orang ini. Jika sampai tersiar bahwa dia terbunuh di tangan ketua, tentu akan mengundang banyak kesulitan bagi ketua, itu sebabnya menurutku, paling baik dia dikuburkan atau dibakar saja dalam keadaan masih bertopeng." Liu Chun Cao mengerutkan alisnya tapi kemudian mengangguk setuju, kepetingan Ding Tao tentu lebih didahulukan daripada sekedar rasa ingin tahu. "Baiklah aku setuju." Fu Shien dan kawan-kawannya pun hanya mampu menyeringai kecut saat Ma Songquan melotot pada mereka dan bertanya. "Bagaimana, ada yang keberatan?" "Tidak, tentu saja tidak keberatan. Marilah kami bantu menggalikan makam untuk orang ini. Di mana dia sebaiknya dikuburkan?", jawab Fu Shien sambil menyengir masam. Ma Songquan memalingkan wajah ke antara kerumunan orang yang mulai mendekat, dari antara mereka terlihat Chou Liang yang berjalan dengan beberapa orang petugas keamanan kota Jiang Ling. Melihat Chou Liang wajah Ma Songquan langsung menjadi cerah, meskipun baru mengenal orang itu beberapa hari, dia sudah merasa bisa mempercayai orang ini untuk mengurus setiap persoalan hingga masalah sekecil-kecilnya. Begitu mendekat, Chou Liang menunjuk ke arah mayat orang bertopeng itu dan berkata pada petugas keamanan yang berjalan ke arahnya. "Nah ini mayatnya, semua orang di sini bersedia menjadi saksi bahwa orang yang mati ini sudah melakukan banyak pembunuhan di kota Wuling. Anda lihat sendiri sejak tadi orang ini memakai topeng, sudah jelas orang ini punya niatan yang tidak baik. Tapi kalau anda buka topengnya, urusannya bisa jadi panjang. Kenapa tidak diurus saja diam-diam, tentu ada imbalan untuk uang tutup mulut." Petugas itu mengusap-usap dagunya yang baru ditumbuhi beberapa helai rambut yang kasar. "Hmm" "Apa lagi yang perlu dipikirkan? Yang mati sudah jelas tidak akan ada yang mengurus, anda tidak ingin lebih banyak keributan, kami pun tidak ingin ada keributan lebih lanjut. Paling baik urusan ini dikubur dalam-dalam.", ujar Chou Liang berusaha meyakinkan petugas yang ada di depannya itu. "Hmm.. baiklah, tentu saja ini menyimpang dari prosedur yang benar, mau tidak mau harus ada uang tutup mulut untuk beberapa orang. Kulihat memang lebih baik jika dirahasiakan, jadi aku mau mengusahakannya, tapi ingat jangan terlalu kikir dengan uang tutup mulutnya.", jawab petugas itu diikuti oleh anggukan kepala oleh rekan-rekan yang lain. "Sudah tentu, toh ini urusan termasuk urusan keluarga Huang dan kukira kalian sudah tahu, seperti apa royalnya keluarga Huang pada kalian selama ini", jawab Chou Liang. "Tentu, tentu, soal itu kami tidak lupa, baiklah biarlah mayat ini kami bawa sekarang dan soal uang tutup mulut itu, kami serahkan saja urusannya pada kalian.", ujar petugas itu sambil menggerakkan kepalanya ke arah mayat orang bertopeng itu, memberi kode pada teman-temannya untuk segera mengangkat mayat itu. Wajah Liu Chun Cao dan Ma Songquan pun menjadi cerah, merasa lega urusan ini sudah selesai dengan hanya beberapa kata dari Chou Liang. Sambil tertawa lebar Ma Songquan menyambut Chou Liang. "Nah, kukira tidak lama lagi akan ada peri bahasa baru, Chou Liang datang, masalah hilang", ujarnya sambil tertawa tergelak. "Hahaha, kedengarannya seperti iklan penjual obat di pinggir jalanan", sahut Chou Liang sambil tertawa. Liu Chun Cao pun bertanya pada Ma Songquan. "Tadi kau bilang sudah bisa mengetahui identitas mayat bertopeng itu, jadi siapa dia sebenarnya?" "Hmm, tahu persis sih tidak, tapi kukira kecil kemungkinan dugaanku ini meleset", ujar Ma Songquan. "Jadi siapa dia?", tanya Liu Chun Cao tidak sabar. Tiba-tiba terdengar seruan orang kaget. "He ! Apa yang kau lakukan!?", seru petugas keamanan yang mendapat suap dari Chou Liang. Disusul suara si racun dari utara. "Ini Ketua Partai Hoasan!" Seruan kaget si Racun dari utara, segera disusul teriakan kaget dari orang-orang lain yang mendengar seruannya itu. "Pendekar pedang Pan Jun si pedang kilat?!" "Jangan omong sembarangan, mana mungkin ketua Hoasan jadi pembunuh bayaran?" "Lihat saja sendiri" "He itu benar Pan Jun ketua partai Hoasan yang baru, aku pernah bertemu dengannya sekali sewaktu upacara pengangkatan dirinya menjadi ketua." "Jangan omong sembarangan, orang macam dirimu memangnya ikut diundang?" "Jangan kurang ajar, diundang atau tidak, kenyataannya aku datang." Riuh rendah ributnya orang saling bersahutan, tapi Ma Songquan, Liu Chun Cao dan Chou Liang hanya tertegun di tempatnya, wajah mereka memucat. Karena merasa urusan sudah selesai, Ma Songquan dan rekan-rekannya pun melonggarkan kewaspadaan. Siapa sangka si racun dari utara, berani mati, nekat membuka topeng mayat itu. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ma Songquan mengedarkan pendangan matanya, tapi orang yang dicari sudah menghilang. Fu Shien yang kena pandang Ma Songquan, merasa bergidik bulu kuduknya, dalam hati dia memaki si racun dair utara yang mencari perkara kemudian dengan seenaknya menghilang, meninggalkan kawan-kawannya untuk memakan getah perbuatannya. Ma Songquan berjalan mendekati Fu Shien, hawa pembunuhan menguar keluar dari setiap langkahnya. Sambil menggelengkan kepala Fu Shien berjalan mundur selangkah demi selangkah, tangannya sudah menggenggam pedang, namun dalam hati dia tidak memiliki keyakinan. "Tunggu, bukan aku yang membuka topeng mayat itu", ujarnya dengan sedikit gemetar. Suasana yang tadi riuh, tiba-tiba menjadi senyap. Beruntung buat Fu Shien, Liu Chun Cao cepat tersadar dengan apa yang sedang terjadi. Cepat-cepat pendeta itu memburu Ma Songquan dan dengan hati-hati menggamit lengannya. "Saudara, tunggu dulu, jangan kesalahan tangan membunuh orang yang tidak lagi mau melawan", ujarnya menahan Ma Songquan. Chou Liang yang ikut tersadar, secepat mungkin mendekati Ma Songquan, meskipun dengan terpincang-pincang. "Ingat, ingat tujuan kita. Ingat apa yang hendak dicapai oleh Ketua Ding Tao, jangan menumpahkan darah yang tidak perlu. Kita bukan sedang mendirikan perkumpulan yang bersandar pada kekuatan dan menyebar ketakutan." Perkataan kedua orang itu, masih terdengar oleh Ma Songquan. Bukan pembunuh berdarah dingin jika keinginan membunuh dengan mudahnya menulikan dan membutakan panca indera. Bertahun-tahun malang melintang sebagai sepasang iblis, Ma Songquan dan Chu Linhe bukanlah orang yang kehilangan akal dan takluk pada nafsu membunuh. Sebenarnya justru di sinilah letak kengerian mereka, sebenar-benarnyalah jika mereka mendapat julukan sepasang iblis. Tapi bagaimana dengan para pendekar pedang dan tokoh dunia persilatan lain? Seperti Pan Jun misalnya, bukankah dia juga bisa membunuh orang tanpa berkedip, dengan akal sehat yang tidak diselimuti nafsu? Sama-sama iblis, yang seorang digelari pahlawan dan yang lain digelari iblis. Semuanya hanya permainan kata dan cara pandang yang diputar balikkan, disesuaikan dengan kebutuhan dari pelakunya. Ma Songquan yang sekarang apakah bedanya dengan Ma Songquan yang dulu, sulit dikatakan, tapi yang pasti berbeda, Ma Songquan yang dulu pasti akan menepis peringatan kedua sahabatnya dengan senyum sinis, sementara pedang di tangannya tetap berkelebat memenggal sasaran. Ma Songquan yang sekarang, menghela nafas dalam-dalam, lalu menyarungkan kembali pedang yang sudah sempat setengah ditarik keluar. Fu Shien pun menghela nafas lega, untuk sesaat nafasnya memburu karena sebelumnya tanpa sadar dia menahan nafas menanti pedang menjemput ajal. Di saat ketegangan sudah mencair itu, muncul pula Ding Tao dan rekan-rekan yang lain, memburu keluar. Mengikuti di belakang mereka, orang-orang bekas pengikut keluarga Huang yang berada di kota Jiang Ling itu. Wajah-wajah yang terlihat bersemangat dan bergembira atas kemenangan Ding Tao, berubah menjadi khawatit melihat keadaan yang menegangkan di luar. "Ada apa?", tanya Ding Tao melihat suasana yang terlihat kaku. "Kau sajalah yang cerita", ujar Ma Songquan sambil berjalan pergi mendekati isterinya yang tadi mengikuti Ding Tao berusaha mencari Tiong Fa. Liu Chun Cao dan Chou Liang yang ditinggalkan, bergantian menceritakan kejadian barusan. Fu Shien mau tidak mau merasa malu juga atas tingkah laku Si Racun dari Utara, bagaimanapun juga mereka berdua berdiri di pihak yang sama beberapa saat yang lalu. "Maafkan kami, sungguh tindakan biang racun dari Utara itu di luar sepengetahuan kami", ujarnya dengan wajah tersipu. Ding Tao yang mudah jatuh kasihan pada orang segera mengulapkan tangan dan menjawab. "Tidak perlu dipikirkan, bukan kalian yang bersalah. Lagipula apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Mau ditutupi atau tidak, kenyataannya hari ini aku sudah membunuh seseorang. Siapapun dia, apakah dia ketua Partai Hoasan atau seorang pembunuh bertopeng." Jawaban Ding Tao yang menyejukkan itu, menggerakkan hati Fu Shien dan rekan-rekannya. Pang Ho Man yang dari tadi diam saja, tiba-tiba bertanya," Pendekar muda, apakah benar perkataan Ketua Partai Hoasan tadi, bahwa dirimu ingin maju dalam pemilihan Wulin Mengzhu yang akan diadakan kira-kira tahun lagi?" "Rasanya pertanyaanmu itu sudah terjawab saat kami bercakap-cakap dengan pembunuh bertopeng tadi", jawab Ding Tao. "Aku ingin mendengarkan ketegasanmu sekali lagi, apakah dirimu maju karena memang keinginan dari dirimu pribadi, ataukah dirimu hanya mengikuti permainan orang belaka?", tegas Pang Ho Man. Berkerut dahi Ding Tao, sambil mendesah pemuda itu menjawab. "Jika menuruti keinginan pribadi, sudah tentu aku tidak ingin maju dalam pemilihan itu. Tapi tidak benar juga jika dikatakan aku maju sebagai boneka yang digerakkan oleh orang-orang lain. Karena keinginan mereka pada satu titik bersesuaian pula dengan keinginanku." "Dan apakah keinginan kalian itu?", kejar Pang Ho Man. Di luar sadarnya Ding Tao menegakkan badan, suaranya tidak gemetar, tidak pula penuh perhitungan, semuanya diucapkan dengan sederhana dan wajar tanpa nada suara yang dibuat-buat. "Perdamaian atas dasar kebenaran, keadilan dan pengampunan." "Pengampunan?", ujar Pang Ho Man dengan nada bertanya dan alis diangkat. "Ya, pengampunan. Kenapa?", tanya Ding Tao balik. "Hmm bagaimana keadilan bisa berjalan seiring dengan pengampunan?", tanya Pang Ho Man. "Bagaimana kedamaian bisa tercapai tanpa adanya pengampunan?", Ding Tao bertanya balik. Pertanyaan Ding Tao membuat mereka semua tercenung, Fu Shien akhirnya membuka mulut bertanya. "Jika seorang anak tidak membalaskan kematian ayahnya, apakah dia bisa dikatakan berbakti? Jika hutang nyawa tidak dibayar dengan nyawa, apa bisa dinamakan adil? Jika keadilan tidak ditegakkan tentu rasa permusuhan itu tidak akan hilang, dan tidak akan ada pula kedamaian." Ding Tao mengangguk setuju. "Memang pertanyaan-pertanyaan semacam itu tentu akan sulit untuk dijawab. Tapi dendam hanya melahirkan dendam yang lain, kita semua di sini sudah pernah menyaksikan atau setidaknya sering mendengar bagaimana hal seperti itu berlanjut. Sampai-sampai muncul perkataan, membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya. Dengan dasar pemikiran yang kita miliki saat ini maka satu-satunya jalan yang terbuka hanyalah pembantaian habis- habisan." "Lalu kapankah kedamaian itu akan tercapai? Saat kita semua mati terbunuh oleh pedang dan tinggal seorang pendekar atau satu golongan saja yang hidup dengan pedang berlumuran darah di tangannya?", tanya Ding Tao pada mereka yang berdiri di hadapannya dengan wajah-wajah merenung. "Keadilan memang harus ditegakkan, seseorang yang menggunakan kekuatannya untuk menekan pihak lain, mencari keuntungan untuk diri sendiri atau golongannya, harus dihentikan. Tapi bukan berarti tidak ada pengampunan, dan hanya ada jalan kematian bagi orang tersebut. Penindasannya harus dihentikan, tapi penindasnya harus diberi kesempatan untuk memlilih jalan hidup yang baru. Dengan demikian, rantai dendam boleh diputuskan tanpa kita membiarkan ketidak adilan meraja lela.", ujar Ding Tao berusaha menjelaskan gambaran yang ada dalam benaknya. "Dengan demikian, menegakkan keadilan bukanlah dimaksudkan membalaskan kejahatan dengan kejahatan yang setimpal, tapi menegakkan keadilan, diartikan sebagai menghentikan segala tindakan dan keadaan yang tidak adil." "Itulah yang aku maksudkan dengan kedamaian atas dasar kebenaran, keadilan dan pengampunan.", ujar Ding Tao menutup uraiannya. Lama tidak ada yang berbicara, kemudian dengan suara perlahan Fu Shien berkata. "Kedengarannya indah, namun kenyataannya hal tersebut tidak lebih hanyalah satu impian kosong saja. Ketika pedang sudah beradu, korban selalu akan berjatuhan. Hari ini adalah salah satu contohnya, meskipun mungkin dirimu tidak ingin membunuh, kenyataannya seseorang sudah terbunuh dan akan datang orang yang akan menagih hutang nyawa ini padamu." Ganti Ding Tao yang tercenung, pemuda itu memandangi pedang dan pakaiannya yang penuh noda darah. Ding Tao memandangi mayat Pan Jun yang dipapah oleh dua orang petugas keamanan, topengnya sudah terbuka dan wajahnya terlihat jelas. Beberapa jalur darah yang sudah mengering menghiasi wajahnya dengan sepasang mata yang terbuka, seakan tak percaya kematian sudah datang menjemput. Betapa kematiannya adalah sebuah kesia-siaan. Ding Tao memikirkan bakat yang dimiliki oleh orang ini, latihan berat yang tentu dia jalani bertahun-tahun lamanya untuk mengasah permainan pedangnya hingga tingkat yang sedemikian tinggi. Perlahan pemuda itu menggelengkan kepala dan berkata lirih, seakan berkata pada dirinya sendiri. "Entahlah, aku pun tidak tahu ke manakah jalan yang kupilih ini akan mengantarkanku. Tapi ke mana jalan yang atasnya aku memalingkan wajahku, aku tahu ke mana jalan itu menuju. Jika aku memlih jalan itu, makan yang ada hanyalah kehancuran dan kebinasaan." Ding Tao kemudian memalingkan wajahnya ke arah Fu Shien dan dengan tersenyum menjawab. "Impian tidak akan menjadi impian kosong, selama ada orang yang mau mempercayai dan memperjuangkannya." Tiba-tiba terdengar Pang Ho Man tertawa terbahak-bahak, otomatis semua orang jadi memalingkan wajah pada orang ini dengan alis berkerut merasa tidak suka atau alis terangkat dengan keheranan. Saat tawanya terhenti, Pang Ho Man tiba-tiba membungkuk hormat ke arah Ding Tao dan berkata. "Aku Pang Ho Man, sejak aku mulai belajar ilmu silat aku sudah memiliki rencana untuk masa depanku. Dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak saat itu, aku sudah menjadi salah seorang pengawal dalam sebuah biro pengawalan yang ternama. Hidupku sudah berkecukupan, namaku pun cukup dikenal orang. Siapa sangka, setelah semua yang kurencanakan itu kuraih, hidup terasa hampa. Aku pun memutuskan untuk meninggalkan itu semua dan mengadu nasib terjun dalam carut marutnya dunia persilatan. Tapi hal itu pun ternyata terasa membosankan." Kemudian dengan nada yang sungguh-sungguh dia melanjutkan. "Namun hari ini, mendengar perkataan seorang muda tentang impiannya yang terdengar naif, hatiku justru bergolak. Jika tuan berkenan, ijinkan aku untuk ikut dalam perkumpulan tuan, menghidupi dan memperjuangkan impian yang tuan miliki." Orang banyak terdiam mendengar ucapan Pang Ho Man yang terdengar hikmat, mereka ikut bersama Pang Ho Man, menunggu jawaban dari Ding Tao. Rasa haru memenuhi dada Ding Tao, dengan suara tersendat pemuda itu lekas-lekas meraih bahu Pang Ho Man dan menegakkannya. "Tentu saja, tentu saja, sudahlah tidak perlu terlalu banyak adat. Di antara saudara, segala macam peraturan tidak perlu terlalu dijaga dengan kaku." Dengan senyum lebar, para pengikut Ding Tao yang lain mendekat dan ikut memberikan selamat pada Pang Ho Man. Tiba- tiba saja Fu Shien dan beberapa orang rekannya merasa iri dengan Pang Ho Man. Entah mengapa, dalam hati mereka muncul keinginan untuk merasakan ikatan yang sama, yang saat ini dirasakan oleh Pang Ho Man. Tapi untuk menyatakan hal itu sekarang ini, ada pula rasa enggan, karena sepertinya mereka mengikuti perbuatan Pang Ho Man. Fu Shien pun memutuskan untuk memikirkan hal ini beberapa hari lagi, sebelum dia akan mengambil keputusan. Setelah mengambil keputusan itu, hatinya merasa sedikit lega. Dengan mulut ikut tersenyum dia mengitarkan pendangan ke sekitarnya. Tanpa sengaja pandangan matanya terbentur pada ketiga petugas keamanan yang berdiri dengan canggung. Teringatlah Fu Shien dengan masalah mayat Pan Jun, ketua Partai Hoasan, dengan sedikit ragu dia menyela pembicaraan Pang Ho Man dan para pengikut Ding Tao yang lain. "Bagaimana dengan mayat ini?", ujarnya sambil menunjuk mayat Pan Jun. Serentak mata setiap orang memandang lagi mayat dari tokoh kenamaan yang kini tinggal nama saja. Sambil menghela nafas Ding Tao menjawab. "Yang terjadi sudah tidak bisa diubah lagi, tapi setidaknya kita bisa melakukan penguburan yang layak dan mengirimkan berita serta permintaan maaf pada partai Hoasan. Mungkin aku dan beberapa saudara yang lain akan pergi ke Hoasan." "Tunggu dulu.", ujar Chou Liang. "Apakah Kakak Chou Liang punya pendapat yang berbeda?", tanya Ding Tao. "Penguburan yang layak memang tidak ada salahnya dilakukan, tapi jika saudara-saudara yang ada di sini sekalian setuju, biarlah kita menutup mata terhadap identitas mayat tersebut.", ujarnya sambil mengitarkan pandangan pada setiap orang yang berada di sana. "Benar, selama identitasnya sebagai ketua Partai Hoasan tidak dibuka secara terang-terangan. Aku yakin, dengan desas- desus dan gosip yang beredar tentang pertarungan yang mengakibatkan kematiannya dan alasan dari pertarungan tersebut, maka Partai Hoasan pun akan ragu-ragu untuk menuntut keadilan pada perkumpulan kita.", ujar Ma Songquan membenarkan. "Hmm, aku kurang mengerti dengan apa yang kalian katakan. Bagaimana bisa demikian?", tanya Ding Tao. "Ah, tentu saja benar. Partai Hoasan adalah partai yang cukup besar, berita tentang kekalahan ketua mereka tentu akan menjatuhkan pamor perguruan pedang mereka. Apalagi jika ada yang mengatakan ketua partai mereka, mengenakan topeng dan melakukan pembunuhan, nama besar Partai Hoasan sebagai perguruan pedang yang lurus akan tercoreng.", ujar Fu Shien sambil menepuk pahanya. "Oleh sebab itu, selama kita sendiri tidak menyiarkan berita ini, Partai Hoasan akan memilih diam dan ikut merahasiakan kejadian ini, berpura-pura bahwa ketua mereka tidak pernah terbunuh di tangan Ketua Ding Tao.", sambung Liu Chun Cao sambil tersenyum lebar. "Tapi bagaimana jika Si Racun dari Utara menyebarkan kabar ini?", tanya Ding Tao. "Bukan masalah, perkataannya akan dipandang sebagai gosip tidak sedap dalam kalangan dunia persilatan. Tentu saja diam-diam akan banyak orang yang membicarakannya, tapi dengan sikap diam Partai Hoasan, maka tidak akan ada seorangpun yang berani membicarakannya secara terang-terangan.", jawab Wang Xiaho sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Wajah Ding Tao terlihat galau, sambil memandangi wajah Pan Jun yang sudah memucat dan dihiasi oleh aliran darah yang mengering dia mengeluh. "Sungguh sayang, sungguh kasihan. Ilmunya begitu tinggi, bakat dan ketekunannya dalam berlatih ilmu pedang, sungguh sulit dicari bandingannya. Masakan sekarang setelah dia meninggal, justru keberadaannya dipandang sebagai ketiadaan? Siapa yang akan menyembahyanginya? Siapa yang akan mengurus makamnya?" Chou Liang berusaha menenangkan hati Ding Tao dan berkata. "Ketua Ding Tao jangan lupa, sudah ada berapa nyawa yang melayang oleh perbuatannya. Lagipula, perbuatan kita ini akan menyelamatkan banyak nyawa orang. Jika kita memaksa untuk mengatakan secara berterang bahwa Ketua partai Hoasan, terbunuh oleh tangan Ketua Ding Tao, maka Partai Hoasan pun tidak akan memiliki pilihan lain kecuali membalaskan dendam ketuanya. Pertempuran antara perkumpulan kita dengan Partai Hoasan pun tidak terelakkan lagi. Saat itu terjadi, entah berapa banyak nyawa akan melayang." Ding Tao tercenung dan akhirnya mengangguk. "Tentu saja kakak benar, sudahlah, lakukan yang terbaik menurut kalian." Melihat wajah Ding Tao yang masih suram, Ma Songquan pun berkata. "Tentu saja kita tidak bisa menyiarkan bahwa yang mati ini adalah ketua Partai Hoasan, tapi tidak ada pula yang bisa mencegah ketua untuk melakukan upacara pemakaman yang layak untuk dirinya. Untuk selanjutnya, biarlah perkumpulan kita yang mengurus dirinya, baik acara pemakamannya maupun adat istiadat lain yang akan dilakukan secara rutin." Ding Tao menoleh ke arah Ma Songquan, sejenak lamanya dia terdiam berpikir, kemudian dengan senyum yang lebih cerah diapun mengangguk setuju. "Itu jalan keluar yang terbaik, bagaimanapun dia ini seorang yang pantas disebut pahlawan. Saat ini sulit untuk menerka apa yang menjadi latar belakang perbuatannya, tapi aku yakin, tokoh seperti dia tentu memiliki alasannya sendiri. Apapun itu, sekarang orangnya sudah mati, segala kesalahannya tidak perlu kita ungkit-ungkit lagi, biarlah dia menerima penghormatan yang selayaknya bagi tokoh sebesar dia." Chou Liang tersenyum dan menepuk pundak Ma Songquan atas jalan keluar yang dia berikan. "Baiklah kalau itu keputusan ketua, biarlah aku yang mengurus segala sesuatunya." Dengan perkataan itu, masalah Pan Jun pun terselesaikan, Chou Liang segera mendekati ketiga petugas keamanan yang terlihat lega mendengar hasil pembicaraan mereka. Bagaimanapun ketiga orang itu merasa khawatir dengan kemungkinan bentrokan antara bekas keluarga Huang dengan partai Hoasan. Tidak semua orang memiliki perasaan yang sama seperti ketiga petugas keamanan tersebut. Sebagian besar di antara bekas pengikut keluarga Huang dari kota Jiang Ling sendiri berbagi rasa dan kekhawatiran yang sama. Namun ada juga sebagian dari mereka dan banyak bekas orang-orang Tiong Fa yang diam-diam justru mengharapkan hal yang sebaliknya. Tidak semuanya berharap demikian karena maksud buruk, tidak sedikit pula yang berharap demikian karena rasa penasaran dan juga kebiasaan jelek orang dunia persilatan yang selalu saja keranjingan menonton perkelahian. Pada beberapa orang yang masih muda terselip juga keyakinan bahwa Ding Tao yang berhasil menundukkan ketua dari Partai Hoasan, tentu tidak akan mengalami kesulitan menghadapi anak murid partai Hoasan yang lain. Padahal kenyataannya dalam Partai Hoasan tentu saja masih tersembunyi orang-orang golongan tua yang ilmunya tidak berada di bawah Pan Jun ketua Partai Hoasan sendiri. Lepas dari apa yang berkelebatan dalam benak dan hati setiap orang, dengan selesainya masalah pembunuh bertopeng itu, perhatian mereka mulai beralih pada nasib mereka masing-masing. Seorang yang sudah berumur cukup lanjut tapi masih berpenampilan gagah, maju ke depan berhadapan dengan Ding Tao, dia membungkuk hormat di depan Ding Tao. "Ketua Ding Tao", ujarnya dengan hormat. Cepat Ding Tao berbalik dan membalas penghormatannya. "Paman Qin Hun, tidak perlu sungkan-sungkan." "Ketua, saya hanya ingin menyampaikan keinginan rekan-rekan yang lain.", ujarnya dengan sopan. "Silahkan paman, silahkan.", jawab Ding Tao. "Kami sudah membicarakan hal ini. Pada akhirnya kami semua memutuskan untuk menggabungkan diri dengan perkumpulan yang Ketua dirikan dan menyerahkan seluruh kegiatan yang ada di Jiang Ling ini menjadi bagian dalam perkumpulan yang baru berdiri ini.", ujarnya diikuti anggukan kepala dari rekan-rekannya yang ikut berdiri di belakang Qin Hun. Meskipun apa yang terjadi ini sudah berada dalam perhitungan Chou Liang dan menjadi salah satu pertimbangan mereka untuk menyerang secepatnya, setelah hal ini benar-benar terjadi, Ding Tao justru merasa keripuhan dan sungkan. "Tunggu dulu" Ujar Ding Tao. Wajah Qin Hun pun berubah. "Ada apa Ketua Ding Tao? Apakah ada yang tidak berkenan?" "Bukan begitu, bukan begitu. Sesungguhnya penyerangan kali ini sudah pula memperhitungkan hal ini, dengan kemenangan ini memang kami mengharapkan penyatuan cabang kota Jiangling" Saat mendengar penjelasan Ding Tao sampai di situ, memerahlah wajah Chou Liang, dengan berbatuk kecil dia berharap bisa menarik perhatian Ding Tao, tapi Ding Tao yang sedang menjelaskan apa yang ada dalam benaknya pada Qin Hun tidak mendengar suara batuk Chou Liang dan terus saja berusaha menjelaskan. " kami berpikir, dengan demikian tentu perkumpulan akan menjadi kuat dan kemungkinan untuk mencapai tujuan kami bisa semakin besar. Namun setelah sekarang semuanya terjadi, entah mengapa aku merasa tidak enak pada kalian semua. Sepertinya kami memanfaatkan keadaan kalian yang sedang terjepit. Karena itu, tentu masuknya cabang usaha di kota Jiang Ling ini, rasa-rasanya sebaiknya tidak dilakukan.", ujar Ding Tao tanpa menutupi apapun. Qin Hun pun tertegun dan tak tahu hendak menjawab apa. Pada dasarnya sejak dia mendengar puteranya Qin Bai Yu menjadi pengikut Ding Tao, dia sudah berkeinginan untuk mengikuti puteranya. Dengan susah payah dia berusaha meyakinkan rekan-rekannya untuk mengikuti jejaknya. Siapa sangka, justru Ding Tao menggagalkan rencana mereka saat semuanya sudah terlaksana dengan baik. "Ah.. tentang hal itu", dan terdiamlah Qin Hun memikirkan apa yang harus dia katakan. Untunglah di saat yang membingungkan bagi Qin Hun tersebut, salah seorang rekannya yang berdiri di belakangnya, menepuk pundaknya dan maju untuk menjawab permintaan Ding Tao. "Sudahlah Saudara Qin Hun, Ketua Ding Tao tidak menghendaki usaha cabang kota Jiang Ling menyatukan diri dengan perkumpulannya, tapi aku yakin beliau juga tidak akan mencegah tiap-tiap orang yang dengan keinginannya sendiri ingin bergabung ke dalam perkumpulannya.", ujar rekannya itu. Wajah Qin Hun pun menjadi cerah dan dengan cepat dia berbalik pada Ding Tao dan bertanya. "Apakah yang dikatakan saudaraku Wu Long ini salah Ketua Ding Tao?" Sedikit terkejut melihat perkembangan percakapan mereka Ding Tao cepat-cepat menjawab. "Tentu saja tidak, kami mendirikan satu perkumpulan karena memiliki satu cita-cita, jika banyak orang yang memiliki cita-cita yang sama ingin bergabung, tentu saja kami akan sangat gembira." Rekan Qin Hun yang bernama Wu Long itu pun dengan senyum lebar segera membungkuk hormat pada Ding Tao dan berkata. "Kalau begitu aku orang she Wu akan mengikuti Kakak Qin Hun untuk memohon agar diterima menjadi anggota perkumpulan yang diketuai oleh Ketua Ding Tao." Demikianlah dengan senyum lebar dan tawa kecil, satu per satu orang-orang bekas pengikut keluarga Huang dari cabang kota Jiang Ling yang berada di sana, maju, membungkuk hormat dan menyatakan keinginan mereka untuk bergabung. Sikap ini bahkan mengundang beberapa orang yang tadinya bekerja untuk Tiong Fa, untuk melakukan hal yang sama. Jika perkataan tiap orang diceritakan, tentu akan menghabiskan berlembar-lembar halaman untuk mengisahkan hal yang sama. Singkat cerita kemenangan Ding Tao di kota Jiang Ling hari itu adalah kemenangan mutlak. Bukan hanya berhasil menang dalam pertarungan, Ding Tao juga berhasil memenangkan hati banyak orang. Dalam waktu satu hari perkumpulan yang baru saja dibuat, bahkan belum memiliki nama yang resmi, tumbuh menjadi kekuatan baru yang patut diperhitungkan. Mungkin hasil terbesar dalam perjudian kali ini bagi Ding Tao dan kawan-kawannya adalah usaha dagang yang dulunya milik keluarga Huang, kini jatuh dalam pengawasan mereka. Meskipun tetap dijalankan oleh orang-orang lama, namun setelah dipotong untuk penghidupan mereka, sebagian besar keuntungan disumbangkan pada kepentingan perkumpulan. Demikian juga rencana Tabib Shao Yong untuk membuka toko obat dan usaha pertabibab berjalan dengan lancar, karena tidak perlu lagi memikirkan masalah modal dan tempat usaha. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Satu minggu berlalu sejak kejadian yang menghebohkan kota Jiang Ling itu. Hari itu di gedung usaha keluarga Huang tampak kesibukan yang luar biasa padahal justru hari itu mereka tidak melayani traksaksi sama sekali. Mereka yang terlihat keluar masuk gedung, semuanya berpakaian rapi dan baru, meskipun tidak semuanya bisa dikatakan mewah. Tentu saja kesibukan mereka mengundang keingin-tahuan dari tetangga-tetangga yang tidak tahu menahu. Salah seorang dari mereka kebetulan mengenal orang dari keluarga Huang yang sedang mengangkat keranjang berisi makanan- makanan kecil yang tersusun rapi ke atas kereta pengangkut. "Psst.. A Kau, A Kau", panggil orang itu, sedikit ragu karena tahu bahwa keluarga Huang bukan usaha dagang biasa, apalagi setelah ikut menyaksikan pertempuran yang terjadi seminggu yang lalu, tapi rasa penasarannya tidak bisa diredam begitu saja. Yang dipanggil A Kau segera menoleh lalu sambil tersenyum lebar menyapa kenalannya itu. "Oh kau Lau Sau, ada apa?" "Hehe, apa aku tidak mengganggu kerjamu?", tanya Lau Sau berbasa-basi. "Oh tidak-tidak, lagipula kalau kau takut mengganggu kenapa juga kau memanggil-manggil begitu", jawab A Kau sambil menyengir. "Hehehe, ya begitulah, sebenarnya tidak ada yang penting, cuma kami ini penasaran, ada apa sih sehingga kalian kelihatan sibuk sekali?" Tanya Lau Sau pada A Kau, sambil menunjuk pada teman-temannya yang bergerombol sedikit di belakang. Dalam hati teman-temannya memaki si Lau Sau. Dasar tua bangka, cari kesulitan kok ngajak2 teman., batin mereka dalam hati, tapi di luaran mereka ikut mengangguk dan tersenyum pada A Kau. "Oh, soal kesibukan kami ini. Kalian bukan orang persilatan, maka dari itu kalian mungkin belum dengar, tapi hari ini adalah hari penting di kota Jiang Ling, hampir segenap orang dunia persilatan mendengar kabar ini, tamu-tamupun tidak lama lagi tentu akan mulai berdatangan dari banyak wilayah.", jawab A Kau sambil tersenyum bangga, karena menjadi bagian dari sesuatu yang istimewa. Dengan rasa tertarik mereka yang mdengar perkataan A Kau itu bergerak mendekat, yang tadinya memaki Lau Sau dalam hati sudah lupa pada makiannya. "A Kau, memangnya ada hal penting apa di Kota Jiang Ling, sampai orang-orang dunia persilatan dari berbagai wilayah datang ke mari?", tanya Lau Sau semakin ingin tahu. "Hmm kau kan ikut melihat juga pertarungan yang hebat seminggu yang lalu?", tanya A Kau pada Lau Sau. Lau Sau dan beberapa temannya yang kebetulan ikut melihat kejadian itu menganggukkan kepala, sebenarnya tidak tepat jika mereka ini dikatakan ikut menyaksikan, karena mereka sama seperti orang kebanyakan, hanya berani melihat dari kejauhan saja. "Ya, kami melihatnya, memangnya kenapa? Apa kesibukan kali ini masih ada hubungannya dengan pertarungan waktu itu?", jawab Lau Sau yang segera balik bertanya. "Tentu saja ada hubungannya, bahkan hubungannya erat sekali. Pendekar yang waktu itu bertarung adalah seorang pendekar muda yang lahir dan besar dari keluarga Huang di kota Wuling. Meskipun sudah beberapa tahun dia memilih jalannya sendiri, dia tidak lupa dengan budi baik keluarga Huang. Begitu mendengar tentang musibah yang dialami oleh keluarga Huang, diapun tidak tinggal diam. Ditelusurinya jejak para pembunuh yang membantai keluarga Huang di Wuling, hingga sampai ke kota Jiang Ling ini." "Oh begitu, lalu mengapa dia bertarung dengan orang dari keluarga Huang di kota ini?", tanya Lau Sau. "Nah inilah yang tidak kalian ketahui, para pembunuh itu bukan hanya membinasakan keluarga Huang di kota Wuling, tapi juga membunuh orang-orang penting di tiap anak cabang keluarga Huang, kemudian dengan menggunakan kekuatan mereka, menekan kami yang ada di anak cabang ini agar bekerja untuk mereka.", jawab A Kau menjelaskan. "Wah kenapa kalian menurut saja?", tanya Lau Sau dengan lagak tidak puas. "Hmm..hmm, kau ini gampang saja bicara, tapi apakah kau mengerti tentang kehebatan para pembunuh itu? Jangankan kami yang di anak cabang, sedangkan pusat keluarga Huang di kota Wuling saja mereka hancurkan.", jawab A Kau sambil memelototi Lau Sau. "Eh, eh, jangan marah saudara. Aku kan awam soal ini, benarkah para pembunuh itu sehebat itu hingga kalian semua bisa dikalahkan oleh dirinya seorang?", tanya Lau Sau sambil menyengir minta maaf. "Hmm, tentu saja benar, memang dia sangat hebat sekali, dia itu orang kenamaan dalam dunia persilatan. Jangankan kami semua, ditambah dua kali lipat jumlah kamipun, ibaratnya hanya seperti ngengat yang menerjang api.", jawab A Kau dengan sungguh-sungguh. Penjelasan A Kau membuat mereka yang mendengar saling berpandangan dan meleletkan lidah. Lau Sau yang serba ingin tahu cepat bertanya. "Eh A Kau, kalau dia jagoan sehebat itu dan sangat terkenal, siapa pula namanya? Dan apa kedudukannya dalam dunia persilatan?" "Dia itu Pendekar pedang Pan Jun, ketua Partai Hoasan", jawab A Kau dengan dada terangkat, dalam hatinya dia tidak ingin diremehkan oleh teman-teman kenalannya itu. Semakin hebat orang yang membuat mereka tunduk tanpa mampu melawan tentu makin baik. Jawaban A Kau itu mengundang kericuhan kecil dari mereka yang mendengar, maklum, meskipun mereka orang awam, namun nama besar Partai Hoasan sudah dikenal oleh segenap rakyat. Melihat reaksi mereka, pucatlah wajah A Kau ketika teringat oleh petuah Chou Liang, untuk tidak menyebar luaskan berita tentang identitas pembunuh bertopeng itu, cepat-cepat dia menakupkan tangan ke mulut Lau Sau yang mengulang-ulang ucapannya. "Siapa kira coba, Pendekat pedang Pan..", ujar Lau Sau yang terputus karena mulutnya disumpal oleh A Kau. "Sssttt jangan diulang2 perkataan itu", ujar A Sau dengan wajah sedikit pucat. Lau Sau yang kesal mendorong pergi tangan A Kau lalu bertanya. "Lho, kenapa juga kau ini, tadi kau sendiri yang bilang, kenapa sekarang kami harus tutup mulut." "Ssssttt! Goblok, apa sudah kau pikirkan apa yang bakal terjadi kalau kau menceritakan hal itu pada orang-orang yang kau jumpai?", tanya A Kau dengan gemas pada Lau Sau. "Ho memangnya kenapa?", tanya Lau Sau dengan wajah bingung. "Hmm kau kira orang Partai Hoasan mau mengakui kalau ketuanya terjungkal di bawah pedang ketua kami?", tanya A Kau menggertak Lau Sau, nada suaranya sudah lebih tenang karena sekarang ini dia sudah memiliki pegangan untuk menakut- nakuti Lau Sau. "Ehm, maksudmu mereka belum tahu kalau ketuanya mati di tangan kalian?", tanya Lau Sau ragu-ragu. "Hehehe, bukannya mereka tidak tahu, tapi mereka pura-pura tidak tahu. Kalau dunia persilatan tahu bahwa ketua Partai Hoasan mati di tangan seorang pemuda yang baru keluar perguruan, apa nama Partai Hoasan tidak akan terjun ke dalam rawa berlumpur?", jengek A Kau. "Oh jadi maksudmu, orang Partai Hoasan sudah tahu tapi mereka berusaha menutupi hal itu?", tanya Lau Sau. "Tentu saja, itulah yang terjadi, coba saja bayangkan sendiri kalau ada orang mengatakan mie buatannya lebih enak daripada mie buatanmu, apa kau mau mengakuinya pada orang lain?", tanya A Kau pada Lau Sau. "Hmm mie buatanku memang paling enak di kota ini, kalau sampai ada yang sembarangan mengatakan bahwa mie buatannya lebih enak, tentu akan aku labrak.", jawab si Lau Sau, yang rupanya punya usaha kedai mie. "Nah apakah sekarang kau sudah mengerti?", tanya A Kau sambil menggendong tangan dan tersenyum menang. Mulailah Lau Sau dan teman-temannya merenungkan perkataan A Kau dengan tengkuk meremang. "Untung kau mengingatkan kami, tapi A Kau, kalau demikian kenapa kalian tidak menyiarkan berita ini untuk meningkatkan pamor kalian?", tanya Lau Sau sambil mengusap-usap lehernya. "Itulah sifat ketua kami yang baru, beliau tidak menyukai kekerasan. Prinsip dan aturan perkumpulan kami yang baru adalah menciptakan kedamaian atas dasar kebenaran, keadilan dan pengampunan. Jadi tujuan kami yang utama adalah menjaga kedamaian.", jawab A Kau sambil membusungkan dada. Jawaban A Kau ini mengundang pertanyaan dan keheranan dari pendengarnya. Mereka saling berpandangan dan diam. Lalu dengan suara perlahan Lau Sau bertanya. "Eh A Kau, apa tidak salah dengar?" "Hoo, apa maksudmu salah dengar? Kau anggap aku ini orang linglung?", tanya A Kau dengan alis berkerut. "Sabar kawan, sabar, bukannya kalian ini belajar ilmu silat untuk berkelahi, mengapa pula sekarang ada kata-kata menjaga kedamaian, bahkan pengampunan? Apa kalian beralih aliran dan membuka satu agama?", tanya Lau Sau mewakili rasa penasaran teman-temannya. "Agama? Tentu saja tidak, tapi pada awalnya seseorang belajar ilmu silat bukankah karena ingin menjadi pahlawan yang menolong rakyat yang lemah? Adalah satu penyelewengan ketika orang-orang dunia persilatan makin banyak yang menggunakan kepandaiannya untuk keuntungan diri sendiri, apalagi hingga menekan orang yang lebih lemah. Itu sebabnya kami berniat untuk meluruskan kembali penyimpangan ini. Itu mengapa tujuan kami adalah menciptakan kedamaian.", ujar A Kau dengan rasa bangga, seakan-akan perkataan itu muncul dari isi kepalanya sendiri, padahal kata-kata itu dia contoh dari keterangan yang diberikan oleh Qin Hun. "Oh begitu, lalu mengapa dikatakan pula pengampunan? Apakah penjahat harus diampuni juga? Jika demikian di mana letak keadilannya?", tanya Lau Sau "Hoo Lau Sau, kerjamu hanya membuat mie, apa kau belum pernah mendengar cerita seorang sarjana bernama Chen Shi? Tentang pencuri yang ketahuan dan kemudian bertobat?", tanya A Kau semakin sombong. "A Kau, jangan terlalu merendahkan orang, jelek-jelek begini aku juga pernah bersekolah, tentu saja aku pernah mendengarnya. Orang baik pun ada kalanya dikarenakan keadaan, jatuh dalam perbuatan dosa, karena itu orang yang bijak, seharusnya membenci kejahatan namun memberi kesempatan pada pelaku kejahatan untuk bertobat.", jawab Lau Sau sambil memonyongkan bibirnya. Sambil tersenyum penuh kemenangan A Kau pun menjawab. Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Badik Buntung Karya Gkh Geger Solo Karya Kho Ping Hoo