Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 46


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 46


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Jika kurang rasa percaya pada pasangan, tentu mudah membuat timbulnya pertengkaran.   Apalagi jika si suami rendah diri, tentu pernikahan jadi neraka.   Bukan tidak mungkin isteri yang setia pun jadi berubah hati.   Beruntung baik Ding Tao maupun kedua isterinya saling percaya, atau mungkin karena mereka masih pengantin baru? Entahlah kita Cuma bisa ikut menyimak saja perjalanan cinta mereka semua.   Ajakan Murong Yun Hua awalnya membuat Hua Ying Ying terkejut, namun melihat keceriaan Murong Huolin dan ketulusan Murong Yun Hua, perasaan gadis itu pun ikut terbawa suasana, meskipun debar-debar kecil masih samar-samar terasa dalam dada.   Ketiganya saling bercanda, bercakap-cakap dengan ramai, seperti biasa ketika gadis-gadis berkumpul, seakan- akan sudah bersahabat sejak lama.   Meskipun demikian Hua Ying Ying dalam hatinya yang terdalam merasa, bahwa tentunya Murong Yun Hua memiliki maksud tertentu ketika mengatur agar mereka bertiga mendapatkan kamar yang sama.   Debar-debar itu semakin jelas terasa, saat Murong Yun Hua dengan lembut berkata.   "Adik Ying Ying, bisakah kita berbicara mengenai hubunganmu dengan Kak Ding Tao?"   Ying Ying tergagap menjawab.   "Ah apa perlunya di antara kami sudah tidak ada apa-apa."   Murong Yun Hua tersenyum dengan lembut.   "Adik Ying Ying, tidak ada yang perlu kau sembunyikan, kami tahu kalian berdua pernah saling mencintai dan kukira masih saling mencintai." Apakah keramahan mereka hanya sandiwara saat berada di depan Kak Ding Tao? Dan sekarang setelah kami tinggal bertiga, mereka ingin memastikan agar tidak ada hubungan asmara di antara kami berdua?, dalam hati Hua Ying Ying bertanya-tanya. Melihat Hua Ying Ying diam tak segera menjawab, Murong Yun Hua memegang tangan Hua Ying Ying dengan lembut.   "Adik Ying mengapa tidak terbuka saja, percayalah kami memahami keadaanmu."   Mendengar suara Murong Yun Hua yang lembut dan keibuan, air mata pun mulai mengembeng di pelupuk mata Hua Ying Ying, terisak dia menjawab.   "Ah enci kalaupun sudah tahu, apa lagi yang perlu diceritakan?"   Murong Yun Hua menghapus air mata yang mulai mengalir, sementara Murong Huolin memeluk Hua Ying Ying dari samping.   Untuk beberapa lama, mereka bertiga tidak ada yang berbicara.   "Setelah pertemuan kalian di kaki Gunung Songshan, apakah Kak Ding Tao pernah menyatakan cintanya padamu? Apakah dia sudah pernah meminanngmu untuk jadi isterinya?", tanya Murong Yun Hua perlahan, ketika isak Hua Ying Ying sudah berkurang.   Hua Ying Ying menganggukkan kepala sebagai jawaban, kepalanya menunduk memandangi lantai, tak berani bertatap muka dengan dua orang isteri Ding Tao yang sekarang sedang menghiburnya.   "Lalu apakah Adik Ying Ying sudah menjawab?", tanya Murong Huolin hati-hati.   Hua Ying Ying menggelengkan kepala, kemudian berkata.   "Tapi enci berdua tidak perlu khawatir, semuanya sudah kupikirkan baik-baik dan aku memutuskan untuk menolak pinangan Kak Ding Tao."   Untuk sejenak Murong Yun Hua dan Murong Huolin saling berpandangan penuh makna, namun Hua Ying Ying yang masih menenangkan diri tak melihat hal itu.   "Hei mengapa demikian? Apakah Adik Ying Ying sudah tak mencintainya lagi?", tanya Murong Huolin dengan heran.   Agak lama sebelum Hua Ying Ying menjawab.   "Aku aku tidak ingin berbohong pada enci berdua, sebenarnya perasaan itu belumlah hilang. Tapi aku tidak ingin menjadi pengganggu kebahagiaan kalian. Aku yakin Kak Ding Tao sudah mendapatkan dua orang isteri yang sangat baik, yang akan dapat membahagiakan dirinya. Sedangkan diriku, kukira setelah beberapa tahun, tentu perasaan ini akan hilang dengan sendirinya." "Anak bodoh", tegur Murong Yun Hua penuh rasa sayang. "Bagaimana mungkin dia bisa berbahagia, jika dia tidak bersanding dengan dirimu, tak tahukah kamu, betapa dia mencintaimu?", tanya Murong Yun Hua pada Hua Ying Ying. Pipi Hua Ying Ying bersemu dadu mendengar perkataan Murong Yun Hua dan tidak menjawab apa-apa. Meskipun sudah bertekad untuk menolak pinangan Ding Tao, bagaimanapun juga hatinya mengembang mendengar kata-kata Murong Yun Hua itu. Tiba-tiba Murong Yun Hua mendesah sedih dan Hua Ying Ying pun menengadahkan kepala, melihat kesedihan di wajah Murong Yun Hua dan bertanya. "Enci mengapakah enci bersedih?", tanya Hua Ying Ying dengan kuatir. "Bagaimana aku tidak bersedih? Kalian berdua tidak bisa bersatu, semua itu adalah salahku.", keluh Murong Yun Hua. Hua Ying Ying yang sudah timbul perasaan suka dan sayangnya pada kedua bersaudara Murong itu, dengan serta merta menjawab.   "Jangan berpikir demikian, aku sudah mendengar semua kisahnya dari Kak Ding Tao dan aku kira itu semua bukan kesalahan enci berdua." "Ah benarkah demikian? Coba kau ceritakan apa yang Kak Ding Tao katakan kepadamu tentang pertemuannya dengan kami berdua.", ujar Murong Yun Hua. Maka Hua Ying Ying pun bercerita, menceritakan pengakuan Ding Tao tentang pertemuannya dengan kedua Murong bersaudara itu. Ding Tao adalah seorang pemuda yang tulus hati, dengan sendirinya dalam cerita itu dia tidak menceritakan bagaimana Murong Yun Hua menggodanya. Sebagai seorang pemuda yang lembut hati, dia menjaga nama baik kedua orang isterinya itu, dan kesalahan sepenuhnya tertimpa pada kelemahan hatinya. Setelah Hua Ying Ying selesai bercerita, maka Murong Yun Hua pun berkata.   "Ah Ding Tao memang sungguh seorang lelaki sejati, tak hendak dia membuka aibku, meskipun dengan demikian dia bisa membersihkan namanya. Adik Ying, kisah Ding Tao itu meskipun tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar." "Maksud enci?", tanya Hua Ying Ying dengan hati berdebar. Murong Yun Hua memandangi Hua Ying Ying lama sekali, kemudian berkata.   "Adik Ying Ying, sebelum kuceritakan yang sebenarnya, maukah kau berjanji untuk tidak memandang rendah diriku?" "Tentu saja aku tidak akan pernah melakukan hal itu, sudah kudengar banyak hal yang baik tentang Enci Yun Hua, dan hari ini aku membuktikannya dengan mataku sendiri, mana mungkin aku memandang rendah enci?", jawab Hua Ying Ying dengan yakin. Tersenyum sedih, membuat mereka yang melihatnya merasa pilu, Murong Yun Hua pun menjawab.   "Jika sudah kuceritakan kisah yang sebenarnya, mungkin Adik Ying Ying tidak akan berpikir demikian lagi. Namun demi kebahagiaan kalian berdua, biarlah aku membuat pertaruhan ini." "Dengarlah, sesungguhnya antara aku dan Ding Tao tidak pernah terjadi apa pun, sebelum pernikahan kami. Meskipun benar adanya kami berdua sudah jatuh cinta padanya, namun Ding Tao selalu mengingat dirimu semata. Hanyalah setelah mengira engkau sudah tiada, barulah hatinya terbuka bagi kami berdua. Itu pun pada awalnya dilakukan semata-mata karena rasa kasihan dan keinginan untuk membalas budi.", ujar Murong Yun Hua menjelaskan pada Hua Ying Ying. "Aku tidak mengerti, jika kalian berdua belum pernah berhubungan, lalu lalu", ujar Hua Ying Ying terbata-bata, tak tega hendak melanjutkan pertanyaannya. "Lalu dengan siapa aku berhubungan hingga akhirnya aku berbadan dua.", sambung Murong Yun Hua melanjutkan pertanyaan yang tidak sampai hati diselesaikan oleh Hua Ying Ying. Air mata pun meleleh, membasahi kedua pipi Murong Yun Hua .   "Ah adik sebelum aku bertemu dengan Ding Tao, aku tidak tahu seperti apa lelaki yang baik itu."   Untuk beberapa saat lamanya ruangan itu hening, tak ada seorang pun yang bicara, kemudian Murong Yun Hua melanjutkan.   "Aku tertipu oleh seorang laki-laki kukira apa yang terjadi tidak perlu kujelaskan, kau toh sudah mengerti. Tadinya sudah kuputuskan hendak hidup jauh dari orang-orang, biarlah kusembunyikan aib ini sendiri. Tapi nasib berkata lain, dalam pelariannya Ding Tao bertemu kami berdua." "Saat itu dia dalam keadaan terluka dan dikejar-kejar oleh Sepasang Iblis Muka Giok, oleh belas kasihan, kami berdua memutuskan untuk menolong dirinya. Dalam waktu yang singkat itu, memang kami berdua dibuat terpikat oleh sifat- sifatnya yang mulia. Namun dalam hatinya hanya ada dirimu, tak ada tempat bagi yang lain. Aku pun bisa menerima kenyataan itu, mengingat keadaanku ah masakan aku cukup berharga untuknya?", Murong Yun Hua bercerita penuh perasaan, membuat Hua Ying Ying ikut hanyut dalam ceritanya. "Ketika kami mendengar nasib buruk yang menimpa dia, tak tahan, kami pun datang mengunjunginya, untuk memberikan sedikit bantuan yang bisa kami berikan. Keadaanku yang berbadan dua, tentu saja mengundang pertanyaan. Tapi di sinilah kemurahan haitnya sungguh terlihat, tanpa ragu dia mengakui anak ini sebagai anaknya. Adik Ying Ying, kau yang paling mengenal dirinya, jika dia merasa berhutang budi pada seseorang, dalam keadaan seperti itu, di mana dia juga mengira dirimu sudah meninggal, menurutmu apakah dia akan berlaku demikian?", tanya Murong Yun Hua pada Hua Ying Ying. Hua Ying Ying pun tercenung, dan mengingat-ingat segala sifat baik Ding Tao. Kelembutannya bahkan kelemahan hatinya jika melihat kesusahan orang lain. Apakah mungkin ini kisah yang sebenarnya? Bagi kita yang mengikuti perjalanan Ding Tao dari awal hingga sekarang, tentu saja kita tahu bahwa cerita Murong Yun Hua tidak lebih hanyalah karangan belaka. Jika Ding Tao mengisahkan pertemuannya dengan Murong Yun Hua sambil menutupi bagian-bagian yang dia anggap bisa mempermalukan Murong Yun Hua, maka justru Murong Yun Hua tanpa ragu mengisahkan kisah itu dengan memikul semua aib pada dirinya, mengangkat Ding Tao seakan dia seorang lelaki tanpa cacat, serupa malaikat atau orang suci. Apakah ada manusia sebaik itu? Mungkin demikian kita akan bertanya-tanya, tapi Hua Ying Ying yang sedang jatuh cinta pada Ding Tao, mana mungkin bertanya demikian. Melihat Hua Ying Ying termakan oleh ceritanya, Murong Yun Hua pun melanjutkan.   "Sungguh aku berterima kasih tak terkira dalamnya saat dia meminang wanita yang penuh noda ini, menjadi pahlawan yang menghapuskan aib, yang kukira harus kutanggung oleh diriku dan oleh anak dalam kandunganku seumur hidupku."   Air mata Hua Ying Ying kembali mengembeng, perasaannya campur aduk antara terharu, bangga dan bahagia.   "Tapi aku merasa diriku tak pantas baginya, di saat yang sama, pinangan itu adalah berkah yang tak terkira harganya.   Kebetulan aku tahu bahwa Adik Huolin menyimpan rasa pada dirinya, dan aku memutuskan untuk menerima pinangannya, asalkan dia bersedia menikah pula dengan Huolin adikku yang masih suci.   Hanya dengan cara itu, setidaknya aku tidak merasa terlampau malu, merasa tak pantas setiap kali aku bersanding dengan dirinya.", ujar Murong Yun Hua melengkapi kisah buatannya.   "Adik Ying Ying, mengertilah, sungguh hanya dirimu yang ada dalam hatinya.   Jika sekarang kau menolak pinangannya, betapa kau juga menambahkan bara di atas kepalaku.   Jika karena keegoisanku, kalian berdua tidak bisa bersatu, lebih baik lebih baik aku mati saja sekarang ini", ujar Murong Yun Hua menutup siasatnya, diiringi tangis yang sangat sedih.   "Ahenci janganlah berpikir demikian", ujar Murong Huolin dengan sedih dan ikut pula menangis.   Ketiga gadis itu pun bertangis-tangisan untuk beberapa lama.   Perasaan memang mudah dipermainkan, betapa banyak orang mencari untung dengan curang bermodalkan kepandaian mereka memainkan perasaan orang lain.   Kali ini Murong Yun Hua membuat perasaan Hua Ying Ying naik dan turun, air mata diperas seperti curahan hujan.   Tapi jika penipu, menipu untuk keuntungannya sendiri, Murong Yun Hua menipu untuk keuntungan suaminya dan merugikan diri sendiri.   "Ah lebih baik aku mati", keluh Murong Yun Hua untuk ke sekian kalinya.   Dengan penuh rasa haru Hua Ying Ying pun menggenggam erat tangan Murong Yun Hua yang sedang menarik-narik rambut sendiri.   "Sudahlah enci, hentikan hentikan, jangan pernah berpikir demikian. Jika enci meninggal bagaimana dengan anak enci yang masih kecil?" "Tapi jika karena diriku, aku justru membuat tuan penolongku tak bisa bersatu dengan gadis yang dia cintai, masakan aku kasih punya muka untuk hidup lagi", ujar Murong Yun Hua sambil menangis. "Tidak tidak, aku akan menerima pinangannya, jadi enci janganlah berpikiran demikian lagi.", jawab Hua Ying Ying dengan air mata berlinangan. "Maksud adik adik tidak jadi memutuskan untuk menolaknya?", tanya Murong Yun Hua sambil menyusut air mata. Dengan wajah bersemu merah Hua Ying Ying menganggukkan kepala, disambut dengan seruan gembira oleh kedua orang bersaudara Murong. Sekali lagi mereka saling berangkulan dan sungguh sulit mengerti wanita, saat sedih mereka menangis, siapa sangka saat bahagia pun mereka juga menangis. Puas menangis, barulah mereka saling berpandangan dan melihat keadaan masing-masing. Sambil tertawa geli mereka merapikan diri masing-masing, kemudian dengan kerlingan nakal Murong Huolin berkata.   "Tapi biarlah keputusan Adik Ying Ying ini, jangan kita sampaikan dulu pada Kak Ding Tao. Mulai besok, kita bertiga harus bersikap agak dingin padanya. Biarlah dia diberi pelajaran, agar tidak mudah menebar pesona, jika tidak, sekarang ada tiga, bisa-bisa nanti akan ada yang ke-empat, ke-lima dan selanjutnya."   Usul Murong Huolin yang nakal itu dengan serta merta diterima, diiringi oleh tertawa terkikir dari kedua orang gadis yang lain.   Dengan ini, maka selesailah masalah Ding Tao dengan Hua Ying Ying, meskipun sisa perjalanan mereka dipenuhi dengan berbagai macam kejahilan ketiga orang wanita ini kepada Ding Tao.   Meskipun demikian, melihat ketiganya akur adalah hiburan terbaik bagi Ding Tao.   Kalaupun terkadang dia mendapati sikap yang bermusuhan dari ketiganya, hal itu masih jauh lebih baik bagi dia, daripada melihat ketiganya bertengkar di depan dirinya.   Perubahan suasana ini tentu saja ditangkap oleh anggota rombongan yang lain, dengan sendirinya perjalanan yang cukup panjang jadi lebih menyenangkan.   Sesampainya mereka di Jiang Ling, tidak banyak yang bisa diceritakan lagi, kecuali tentang persiapan pernikahan Ding Tao dan perjalanan Wang Shu Lin yang semakin lama semakin mendekati kota Jiang Ling.   Sementara nama Murong Yun Hua semakin harum di antara mereka yang mendengar kisah tentang kesetiaan dan kebesaran hatinya.   Sosok wanita itu jadi semakin menawan, bagi dia yang diam-diam menyimpan cinta padanya.   Semakin besar cinta yang terasa, semakin sakit pula karena tidak bisa memilikinya.   Di satu sisi, seakan kekusutan jaring-jaring cinta dalam kehidupan Ding Tao sudah bisa diluruskan, tapi diam-diam justru tumbuh masalah lain yang semakin besar, namun sampai saat ini belum kelihatan.   Hampir satu bulan lamanya Jiang Ling disibukkan dengan persiapan pernikahan Ding Tao dengan Hua Ying Ying.   Di saat yang sama, Tiong Fang mengajukan hukum-hukum dan peraturan dalam partai yang nantinya disiapkan untuk menangani para pengkhianat di Guiyang, sesuai dengan pemikiran Murong Yun Hua.   Dunia persilatan pun ramai dengan kabar pernikahan Ding Tao dengan isteri yang ketiga.   Tidak sedikit yang meragukan kerja dari Wulin Mengzhu yang baru, bayangkan saja dalam waktu kurang dari satu tahun menikahi tiga orang wanita.   Apakah dia lawan yang sepadan bagi Ren Zuochan? Jika dia sibuk dengan kehidupan cintanya sementara Ren Zuochan sibuk melatih ilmunya.   Baiknya masih ada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.   Lepas dari Ding Tao sebagai tokoh paling menonjol di generasi yang sekarang, dua orang tokoh tua ini masih merupakan pilar yang menjadi penyangga kegarangan dunia persilatan dalam perbatasan.   Hanya mereka yang tidak mengenal Ding Tao yang berpikir demikian, atau mereka yang memang ingin melihat kejatuhan pemuda itu.   Dalam kenyataannya Ding Tao sangat menyadari posisinya saat ini.   Hampir setengah dari seluruh waktunya dia habiskan untuk mendalami apa yang sudah dia pelajari.   Beruntung ada orang-orang yang bisa dia percayai untuk memegang kendali partai, sementara dia berkonsentrasi untuk meningkatkan terus ilmu-ilmu yang sudah dia miliki.   Pamor Partai Pedang Keadilan semakin mencorong dengan dua pedang pusaka di tangan mereka.   Pedang Angin Berbisik kembali dipegang Ding Tao, sementara Pedang Amarah Phoenix menjadi penanda kuasa bagi mereka yang diutus Ding Tao atas nama Partai Pedang Keadilan.   Di tangan seorang ahli pedang seperti Liu Chun Cao, maka memberikan tanda kuasa dalam bentuk sebuah pedang pusaka sungguh membuat perbedaan yang besar, seperti seekor harimau tumbuh sayap.   Tapi semuanya datang dengan harga yang tidak murah, orang boleh saja iri dengan Ding Tao yang memiliki dua orang isteri yang cantik dan dalam waktu dekat akan menikah dengan isteri yang ketiga.   Memiliki nama besar dalam usia yang sangat muda, memiliki kedudukan nomor satu dalam dunia persilatan, apa lagi yang kurang? Namun dalam kenyataannya, dengan segala pencapaiannya itu, Ding Tao menghabiskan lebih banyak waktu untuk memenuhi tanggung jawabnya, daripada menikmati pencapaian-pencapaian itu.   Semakin sibuk Ding Tao, semakin sedikit waktu yang bisa dia berikan untuk kedua orang isterinya.   Satu malam Ding Tao yang baru saja selesai bercinta dengan kedua isterinya, tengah berbaring sambil memeluk Murong Yun Hua dan Murong Huolin di kiri dan kanannya.   Dengan lembut dia membelai-belai rambut mereka yang hitam tebal, sementara matanya menerawang ke langit-langit kamar tidur mereka.   Menghitung balok-balok kayu yang saling silang di atas sana.   Tiba-tiba dia menghela nafas.   "Hehh., isteriku, kalau dipikir baik-baik, betapa banyak yang kalian berikan, namun betapa sedikit aku membalas kebaikan kalian."   Sambil tertawa lembut Murong Huolin tidak berkata banyak, hanya bergerak merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan Ding Tao.   Membuat darah Ding Tao berdesir dan dadanya dirambati kehangatan, saat merasakan tubuh lembut dan hangat Murong Huolin merapat ke tubuhnya.   Apalagi ketika kaki Murong Huolin yang panjang bergerak menindih paha Ding Tao, dan Ding Tao bisa merasakan bulu-bulu di bagian tertentu milik Murong Huolin membelai pangkal pahanya, membangkitkan kembali yang baru saja tertidur.   Perubahan pada tubuh Ding Tao tidak lepas dari perhatian Murong Yun Hua, sambil tertawa geli Murong Yun Hua menggeser tubuhnya ke atas, membuat sepasang putingnya tepat berada di depan wajah Ding Tao.   Remangnya malam, tidak mampu menyembunyikan bentuk sempurna dari sepasang buah dada Murong Yun Hua.   Cahaya lilin yang sesekali bergoyang, membentuk siluet lengkung yang sempurna di mata Ding Tao.   Murong Yun Hua pun merintih perlahan saat Ding Tao dengan lembut merengkuh sepasang payudaranya.   Sekali lagi kamar itu pun dipenuhi desahan dan erangan kenikmatan.   Waktu pun terus berjalan, entah berapa lama sebelum akhirnya mereka bertiga berbaring dengan tenaga terperas namun puas.   Berbantalkan sebelah tangan Murong Yun Hua, kepala Ding Tao bersandar pada dada isterinya itu, sementara Murong Yun Hua dengan lembut membelai dan menyisir rambut Ding Tao.   "Ding Tao jangan pernah berpikir tentang siapa yang lebih banyak memberi dan siapa yang lebih banyak menerima. Bagi kami, asalkan kau sungguh-sungguh mencintai kami, kami sudah merasa sangat bahagia." "Itu benar Kak Ding Tao", ujar Murong Huolin sambil menyandarkan kepalanya di dada Ding Tao yang bidang. "Kalian terlalu baik padaku", kata Ding Tao terharu. "Asalkan kami selalu ada dalam hati kakak", jawab Murong Huolin. "Tentu saja aku tidak akan pernah berhenti mencintai kalian berdua.", jawab Ding Tao dengan setulusnya. Udara semakin dingin, namun mereka merasa hangat meskipun tanpa selembar kain pun untuk menutup tubuh mereka. Kehangatan yang menyebar dari dalam dada mereka. Murong Yun Hua diam-diam menghela nafas, Apakah ini yang namanya kebahagiaan? Ding Tao dan Murong Huolin sudah tertidur pulas, perlahan-lahan Murong Yun Hua menarik lengannya dari bawah kepala Ding Tao dan bangkit berdiri dari pembaringan. Berjalan dalam keadaan telanjang, Murong Yun Hua perlahan tanpa suara duduk di sebuah kursi tempat dia biasa merias diri. Sebuah cermin besar terbuat dari perunggu ada di depannya. Duduk dengan punggung tegak, Murong Yun Hua perlahan menyisir rambutnya yang panjang dan lebat, sembari mengamat-amati bentuk tubuhnya. Mengamati garis rahangnya yang lembut namun tegas, membingkai sepasang mata yang jeli, hidung yang mancung dan bibir merah merekah . Mengamati lehernya yang jenjang yang menopang wajah yang cantik itu, sebuah garis lembut ke bawah, kemudian melekuk mendatar, menampilkan dua bahu yang halus. Perlahan Murong Yun Hua mengangkat dua buah tangannya, menggelung rambutnya yang panjang. Matanya menelusuri garis lengan, yang mengalir bersambung dengan garis yang membentuk tubuhnya, ke arah sepasang payudara yang menggantung, mengundang. Memandang ke arah pinggangnya yang ramping dengan pinggul membulat. Ke arah pahanya yang bersilang, menyembunyikan miliknya yang paling berharga. Salahkah dia bila merasa bangga dengan kecantikannya sendiri? Tersenyum bangga melihat kesempurnaan tubuhnya, Murong Yun Hua mengalihkan pandangannya, memandangi Ding Tao yang tertidur pulas dengan Murong Huolin dalam pelukannya. Memandangi Ding Tao, perasaan Murong Yun Hua bercampur aduk tak menentu. Sungguh dia tidak mengerti, apa yang membuat Ding Tao berbeda dari lelaki lain dalam hidupnya. Dengan cara apa pemuda itu mampu membuat perasaannya goyah? Memandangi Ding Tao, Murong Yun Hua tiba-tiba terkenang pada lelaki pertama dalam hidupnya, Jin Yong, pendekar pedang yang terkenal itu. Dia teringat pertama kali ayahnya mengundang Jin Yong untuk menginap di kediaman keluarga Murong dan memperkenalkan Jin Yong pada setiap anggota keluarga Murong. Waktu itu umurnya belum lagi genap 15 tahun, meskipun tubuhnya sudah mulai menojolkan lekuk tubuh wanita dewasa, pikirannya masihlah seorang kanak- kanak yang baru mulai mengerti apa itu cinta antara lelaki dan perempuan. Bersama teman sebaya saling menggoda dan terkikik geli membicarakan anak lelaki yang seumuran. Jin Yong memang pantas untuk menjadi tokoh kenamaan di generasinya, wajahnya mungkin tak setampan Ding Tao, namun gerak-gerik dan perilakunya jauh lebih berwibawa dan memancarkan rasa percaya diri yang tinggi, membuat orang yang berhadapan dengannya merasa kagum dan lawan yang berhadapan dengannya merasa gentar. Murong Yun Hua pun saat itu dibuat kagum dan berdebar-debar saat ayahnya memperkenalkan pendekar pedang kenamaan itu pada dirinya. Usia Murong Huolin saat itu masih terlampau muda untuk mengerti hal-hal demikian. Gadis kecil itu bersembunyi di belakang tubuh ibunya, takut dan malu-malu saat hendak diperkenalkan pada Jin Yong. Meskipun menyimpan rasa kagum pada Jin Yong, tetap saja Murong Yun Hua terkejut dan ragu, ketika ayahnya mengusulkan pada Jin Yong, untuk mengambil Murong Yun Hua sebagai isterinya. Saat itu Murong Yun Hua belum memahami pesona dirinya sendiri atas lelaki. Apalagi di usianya yang masih remaja, kecantikannya memancarkan keluguan kanak-kanak, yang seakan bersih dari dosa, memberikan kesan yang berbeda dari kecantikan yang berasal dari dunia lain, seperti seorang peri hutan yang malu-malu. Hati Jin Yong pun tergetar begitu pertama kali melihat dia. Seperti juga Ding Tao saat pertama kali melihat dia. Gayung pun bersambut, Jin Yong yang terpukau oleh kecantikan Murong Yun Hua tentu saja menyambut gembira usulan ayah Murong Yun Hua. Sementara Murong Yun Hua yang belum benar-benar mengerti cinta, setidaknya menyimpan rasa kagum atas diri Jin Yong dalam hatinya. Pernikahan pun dilaksanakan, sampai pada titik itu, tidak ada seorang pun yang merasa diperalat, baik Murong Yun Hua maupun Jin Yong sendiri. Tapi tidak ada pernikahan yang berjalan tanpa masalah. Teringat dengan Jin Yong maka ingatan Murong Yun Hua pun berkelebat pergi, berkelana kembali pada pengalamannya yang pertama dengan kebuasan laki-laki. Saat itu Murong Yun Hua sedang berbaring dengan jantung berdebar-debar di atas pembaringan yang sudah disiapkan. Bau wewangian memenuhi ruangan, kepalanya masih terasa ringan setelah meneguk arak pernikahan. Jin Yong belum masuk, masih tertahan di luar dengan beberapa orang tamu laki-laki, yang terdengar dari tempat Murong Yun Hua menanti, hanyalah suara ramai yang tidak jelas. Dengan jantung berdebar, Murong Yun Hua memasang telinga, membayangkan apa yang terjadi di luar sana. Satu kali sorakan terdengar lebih keras dari sebelumnya, disusul langkah kaki yang perlahan-lahan mendekat. Jantung Murong Yun Hua pun terasa berdebar begitu keras, seakan dadanya akan pecah oleh detakan jantungnya. Ketika pintu perlahan-lahan terbuka, Murong Yun Hua yang gugup, berpura-pura sudah tertidur dan menutup matanya rapat-rapat. "Yun Hua", panggil Jin Ying perlahan, diiikuti suara pintu ditutup dan dipalang dari dalam. Detak jantung Muring Yun Hua semakin keras, memenuhi telinganya, wajahnya merah padam, namun dalam cahaya lilin yang temaram, hal itu hanya membuat dia makin menawan. "Yun Hua apakah kau sudah tertidur?", sekali lagi Jin Yong bertanya dengan suara perlahan sambil berjalan mendekat. Kelopak mata Murong Yun Hua sedikit bergetar, terlalu lama dipaksa menutup, padahal dia belum tertidur pulas. Murong Yun Hua yang tidak tahu harus berbuat apa, meneruskan saja sandiwaranya, nafasnya dibuat sehalus mungkin menyerupai orang yang sudah tertidur pulas. Meskipun demikian, seluruh inderanya yang lain bekerja dengan keras. Jantungnya serasa akan melompat saat dia merasa, selimut yang menutupi tubuhnya ditarik pergi. Menyusul pembaringan yang bergerak saat Jin Yong membaringkan tubuhnya di sisi Murong Yun Hua. Bau arak samar-samar tercium, makin lama makin keras, bersamaan dengan hangatnya nafas Jin Yong yang menghembus lehernya. "Yun Hua apakah kau sudah tertidur?", untuk kedua kalinya Jin Yong bertanya, pertanyaan yang tidak menunggu jawaban dari Murong Yun Hua. Sejak tadi Jin Yong sudah menyadari gadis di depannya hanyalah berpura-pura tertidur pulas. Dia tidak menjadi marah, justru dia menikmati pemandangan yang ada di depannya, menghabiskan waktu mengagumi gadis yang baru dia nikahi. Dadanya berdebar, tapi bukan oleh rasa takut seperti Murong Yun Hua, melainkan berdebar karena nafsu yang makin memuncak. Darah Murong Yun Hua pun berdesir, saat hembusan nafas Jin Yong semakin dekat, meniup-niup lehernya. Apalagi ketika dia merasakan bibir Jin Yong mengecupi lehernya yang jenjang. Sebuah perasaan yang sulit dijabarkan dengan kata-kata, desir-desir sensasi kenikmatan yang merambat ke seluruh tubuhnya. Setengah sadar, Murong Yun Hua merasakan jubah luarnya disingkapkan. Murong Yun Hua pun terkesiap kaget, saat tangan Jin Yong menyusup masuk ke dalam pakaian dalamnya dan meremas-remas sepasang payudaranya, kepalanya yang terasa ringan setelah meminum arak pernikahan, sekarang semakin melayang. Seluruh tubuhnya terasa panas, terutama di bagian tertentu dari tubuhnya. Murong Yun Hua tak bisa lagi berpura-pura tertidur pulas, nafasnya memburu dan tanpa bisa ditahan dia mengerang nikmat. Antara sadar dan tidak, Murong Yun Hua samar-samar mengingat, bagaimana pakaiannya dilucuti satu per satu, rasa malu bercampur takut tidak bisa mengalahkan kenikmatan yang dia rasakan. Semuanya begitu membingungkan sampai ketika Jin Yong mulai menindih tubuhnya dan dia bisa merasakan sesuatu yang keras hendak memasuki dirinya. Di saat itu, tiba-tiba panik dan takut menguasai dirinya. "Tunggu jangan", rintih Murong Yun Hua sambil meronta berusaha lepas dari tindihan Jin Yong. Tapi Jin Yong sudah tidak bisa mengendalikan diri,sedikitpun dia tidak menyadari ketakutan dalam suara Murong Yun Hua. Rontaan dan rintihan Murong Yun Hua justru seperti minyak yang disiramkan ke atas api, membuat nafsu Jin Yong semakin membara. Apalah artinya kekuatan Murong Yun Hua dibandingkan kekuatan Jin Yong? Semakin Jin Yong memaksa, semakin besar ketakutan dan kepanikan yang menguasai Murong Yun Hua, dan semakin bersemangat pula Jin Yong untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya. Puncaknya saat Jin Yong dengan sekuat tenaga mengambil kesucian Murong Yun Hua. Murong Yun Hua memekik kesakitan saat kesuciannya direnggut dengan paksa, tapi hal itu tak sedikitpun memadamkan bara api dalam dada Jin Yong. Tanpa mempedulikan permohonan dan isak tangis Murong Yun Hua, Jin Yong bergerak tanpa henti, merobek-robek khayalan indah Murong Yun Hua menjadi satu mimpi buruk yang panjang. Teringat kembali dengan kejadian malam itu, Murong Yun Hua menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mengusir pergi ingatan yang pernah menghantui dirinya. Tidak, dia bukan lagi seorang gadis bodoh seperti belasan tahun yang lalu. Seulas senyum mengejek terbentuk di wajahnya, menertawakan kebodohan dirinya di masa muda. Murong Yun Hua berdiri dan mulai berpakaian, gerak-geriknya lugas, seakan ingin lari dari ingatan masa lalu yang sering menyergap dirinya di saat-saat seperti ini. Tapi ingatan masa lalu tidak ubahnya seperti arwah penasaran yang berkeras tak mau pergi dengan damai ke alam kematian. Malam pertama yang menakutkan bagi Murong Yun Hua hanyalah awal dari serangkaian mimpi buruk yang lain. Mengingat satu hal, kemudian ingatan lain datang mengikuti. Wajah Murong Yun Hua mengeras, saat dia teringat guncangan terbesar dalam hidupnya. Hari itu dia menangis sesenggukan, datang pada ayahnya yang selama ini selalu memanjakan dirinya. Mencari pertolongan dan rasa aman yang selama ini dia dapatkan, meskipun merasa malu, dengan terbata dan serba samar, dia mengisahkan kebuasan Jin Yong terhadap dirinya. Tentu saja Murong Yun Hua sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa yang terjadi adalah hal yang memang sudah sewajarnya. Sudah menjadi bagian dari tugasnya sebagai seorang isteri, namun seumur hidupnya dia hidup dikelilingi orang- orang yang memanjakan dirinya, sulit bagi Murong Yun Hua ketika dia kemudian ditempatkan pada posisi harus menerima keinginan orang lain atas dirinya, meskipun orang itu adalah suaminya. Pikirannya masih berkutat pada masa lalu, ketika dia perlahan-lahan meninggalkan kamar mereka. Dengan hati-hati ditutupnya pintu, kemudian tanpa suara dia berjalan, menelusuri lorong yang sepi, menuju ke tempat beristirahatnya pelayan-pelayan pribadi keluarga Murong. Jalan yang ditempun tidaklah jauh, namun belasan tahun lamanya berkelebatan dalam benak Murong Yun Hua sebelum dia mencapai tempat yang dia tuju. Guncangan terbesar dalam hidupnya, adalah ketika dia mendapati ayahnya yang dia puja dan cintai, sosok ayah dan sosok laki-laki yang ideal dalam hidupnya, ternyata tidak mencintainya dengan tulus sebagai seorang anak. Ayahnya hanya memandang dia sebagai barang berharga yang bisa digunakan untuk mencapai cita-citanya sendiri. Saat itu seperti juga malam ini, Murong Yun Hua berjalan perlahan dalam gelap, dengan tubuh sakit dan anggota tubuh yang paling dia jaga terasa pedih tersayat-sayat, terpincang-pincang menahan nyeri, menyusuri lorong dalam rumah mereka. Sementara Jin Yong sudah tertidur pulas, dipenuhi kepuasan yang tiada tara. Tujuannya hanya satu, mencari tempat di mana dia merasa aman, mencari sosok yang bisa menenangkan kegalauan dalam hatinya. Murong Yun Hua mencari ayahnya. Kakinya membawa dia ke arah ruang belajar pribadi milik ayahnya. Ruang yang dipenuhi buku-buku tua, gulungan kitab dari sutra dan terkadang tersusun dari bilah-bilah tipis bambu yang diikat menjadi satu. Kenangan manis saat dia diajar ayahnya untuk membaca, membuat dia tanpa sadar berjalan ke ruangan itu, dalam hatinya dia tahu betul ayahnya akan berada di sana, seperti biasa membaca kitab-kitab kuno hingga larut malam. Di sisi lain, Murong Yun Hua pun sadar, apa yang terjadi malam itu adalah satu kewajaran, satu bagian dalam kehidupan berumah tangga. Didikan dari ayah dan ibunya, akan tugas dia sebagai seorang isteri membuat langkahnya dibayangi keraguan. Itu sebabnya, saat dia akhirnya sampai di sana, Murong Yun Hua tertegun di dekat pintu dan tidak memiliki keberanian untuk mengetuknya, justru perlahan-lahan dia bersimpuh dengan tubuh yang terasa lemas, bersandar di dinding dekat pintu masuk. Nyala api lilin yang terlihat menerangi ruangan itu dari kertas-kertas tipis yang menutup jendela dan dari berkas-berkas cahaya yang menerobos keluar dari celah-celahnya, memberi tahukan pada Murong Yun Hua bahwa ayahnya ada di sana. Namun sedekat itu dia dari apa yang dia cari, justru keberaniannya hilang di saat terakhir. Bisa dikatakan, nasib Murong Yun Hua sudah mulai ditentukan sejak saat itu. Sisa keberanian dan keinginan yang ada dalam hati Murong Yun Hua untuk menemui ayahnya, menguap seketika, ketika dia mendengar suara pamannya dari dalam ruangan. "Hmm kakak, menurut kakak, apakah sudah cukup tali-tali yang kita pasang untuk menggerakkan Jin Yong sebagai boneka kita, dengan menikahkan dia dengan Yun Hua?", ujar paman Murong Yun Hua, ayah Murong Huolin terdengar bertanya pada ayah Murong Yun Hua. "Tentu saja tidak, kita butuh jaminan yang lebih pasti sebelum kita memberikan Pedang Angin Berbisik padanya.", jawab ayah Murong Yun Hua dengan segera. "Apakah kakak sudah memiliki sebuah ide?", tanya paman Murong Yun Hua. "Hmm aku sedang membaca mengenai satu macam obat yang tertulis dalam salah satu catatan murid Tabib Hua yang tidak pernah ditemukan orang." "Apakah semacam obat perebut jiwa? Tapi kita tidak ingin memiliki sebuah mayat hidup, yang kita butuhkan adalah orang dengan pikiran yang sehat, namun berada di bawah kendali kita, mengikuti secara aktif apa yang kita rencanakan. Jin Yong seharusnya akan menjadi ujung tombak dalam rencana kita, sementara kita hanya bergerak di balik layar.", ujar Paman Murong Yun Hua mengajukan keberatan. "Hoho, tunggu dulu, aku belum selesai menjelaskan. Jika benar apa yang tertulis dalam buku ini, obat ini sesungguhnya akan membuat orang yang meminumnya menjadi lebih cerdas dan sistem syarafnya bekerja dengan lebih sempurna. Sejak awal tujuan orang tersebut berusaha meramu obat, bukanlah untuk membuat obat perebut jiwa.", jawab Ayah Murong Yun Hua dengan penuh semangat. "Hmmm cobalah kakak jelaskan sampai selesai.", ujar Paman Murong Yun Hua dengan tertarik. "Ya, yang dicari oleh tabib ini adalah obat yang bisa membuat dia lebih cerdas, lebih mudah mengingat segala macam pengetahuan, ambisinya adalah menjadi tabib yang paling ternama, melampaui gurunya. Menurut catatan hariannya, pada awalnya obat ini memang memberikan efek yang dia inginkan, namun ada efek samping yang tidak berhasil dia pecahkan." "Apa itu?" "Obat itu menciptakan ketergantungan, benar memang saat dia mengkonsumsi obat itu, pikirannya berjalan lebih terang, namun saat dia berhenti meminumnya, tubuhnya bereaksi dengan keras, menuntut dirinya agar meminum obat itu lagi, Jika tidak, selain membuat tubuhnya sulit bergerak, pikirannya pun menjadi kabur.", ujar Ayah Murong Yun Hua memberi penjelasan. Sesaat lamanya tidak terdengar suara, sebelum kemudian paman Murong Yun Hua dengan antusias berkata.   "Wah, tidak sia-sia kakak berusaha membaca setiap buku yang ada di tempat ini. jika obat itu benar ada, maka akan mudah sekali membuat Jin Yong takluk di bawah kehendak kita, selama dia tidak mengetahui cara pembuatan dari obat itu, selamanya dia akan menjadi budak kita." "Hahahaha kau benar, dan dalam kasus ini dia akan menjadi budak yang sangat pandai dan menguntungkan bagi pemiliknya.", sahut Ayah Murong Yun Hua sambil tertawa terbahak-bahak. "Kalau begitu, mengapa pula kita perlu memberikan Murong Yun Hua padanya? Apakah tidak sebaiknya, kakak menikahkan Murong Yun Hua dengan tokoh lain lagi, supaya semakin banyak tokoh dunia persilatan yang berada dalam kekuasaan kita?", setelah tawa mereka mereda Paman Murong Yun Hua kembali bertanya. "Hehh sewaktu aku melihat bakat dalam diri Jin Yong, aku belum menemukan tulisan tentang obat ini. Jadi pada saat itu, yang terlintas dalam benakku, hanyalah sebisa mungkin mengikat dirinya dengan keluarga kita, sebelum ada partai lain dalam dunia persilatan yang mengikat dirinya. Tapi tentu saja tidak cukup hanya sampai di situ, itu sebabnya setelah menjalin hubungan baik dengannya dan mempersiapkan jalan bagi kita untuk menikahkan dia dengan Murong Yun Hua, aku pun menghabiskan waktu untuk mencari kemungkinan-kemungkinan lain, sampai akhirnya aku menemukan kitab ini.", jawab Ayah Murong Yun Hua. "Tapi kau benar, jika pada saatnya obat ini sudah terbukti cukup ampuh untuk menjadikan Jin Yong sebagai boneka kita, maka Murong Yun Hua bisa digunakan untuk kepentingan lain.", sambung Ayah Murong Yun Hua setelah berhenti beberapa saat. Dan perkataan ayah Murong Yun Hua yang berikutnya membuat bulu kuduk Murong Yun Hua berdiri dan seluruh dunianya jungkir balik. "Kita bisa menggunakan Murong Yun Hua, untuk memikat tokoh lain, kemudian memberikan obat yang sama pada mereka. Satu, dua, tiga, hahahaha,dan seluruh tokoh penting dalam dunia persilatan akan jatuh dalam tangan kita." Apakah benar itu suara ayahnya? Apakah benar yang ada dalam ruangan itu adalah ayahnya? Jika benar itu ayahnya, apakah tidak salah yang sedang dia dengar? Ayahnya hendak menggunakan dirinya sebagai umpan, mengumpankan dirinya pada sekian banyak laki-laki yang tidak pernah dia kenal?, ribuan pikiran berdentang-dentang memenuhi kepalanya, matanya terbuka lebar menatap jauh ke depan, pada kekosongan yang tak berujung. Malam itu seluruh kehidupan Murong Yun Hua direnggut dari dirinya. Tidak ada lagi yang bisa dia percayai. Jika ayahnya yang dia pandang sebagai contoh dari lelaki ideal ternyata orang yang semacam itu, maka macam apakah lelaki lain di dunia ini? Lalu bagaimana dengan ibunya? Tidakkah dia tahu apa yang ada dalam benak ayahnya? Apakah dia seorang ibu yang bodoh dan buta, tak melihat apa yang sedang direncanakan atas diri anaknya? Ataukah ibunya sama dingin dan sama penuh perhitungannya seperti ayahnya. Lututnya terasa lemas, tapi dia tidak ingin berada di tempat itu lebih lama lagi. Rasa nyeri yang dirasakan tubuhnya, tidak sebanding dengan kengerian yang terasa dalam hatinya. Perlahan-lahan, merangkak, beringsut, Murong Yun Hua pergi menjauh dari ruangan itu, menutup telinganya dari suara yang keluar dari dalam sana. Ruangan itu bukan lagi tempat yang hangat, tempat penuh kenangan akan cinta seorang ayah pada dirinya. Ruangan itu sudah menjadi dasar neraka, tempat iblis-iblis yang paling keji tinggal dengan rencana-rencana kejam mereka. Bukan karena rasa sakit di tubuhnya dia bergerak dengan begitu perlahan, tanpa suara. Murong Yun Hua tidak peduli dengan perih dan pedih yang dirasakan tubuhnya, dia ingin lari secepatnya, pergi dari tempat itu dan suara-suara yang seperti pedang berkarat, mengiris dan menusuk hatinya, meninggalkan luka bernanah. Tapi suara yang sama yang membuat dia ingin berlari pergi secepatnya, suara yang sama juga membangkitkan rasa takut yang tiada tara. Kekejaman yang tidak pernah dia bayangkan ada dalam diri orang yang dia kagumi dan cintai. Rasa takut yang menguasai dirinya itu, seakan menyerap habis sedikit kekuatan yang masih tersisa. Entah berapa lama Murong Yun Hua beringsut, menggeleser menjauh dari ruangan itu, perlahan-lahan rasa takut dan guncangan yang dia rasakan makin berkurang, seiring dengan menjauhnya dia dari ruangan itu. Sampai pada satu saat, dia menemukan kembali kekuatannya untuk bangkit berdiri, dan berjalan pergi, meskipun masih tertatih-tatih. Murong Yun Hua ingin lari, tapi ia tak tahu hendak lari ke mana. Tempat ini mengerikan, tapi dunia di luar pun tidak kalah mengerikan dalam benaknya yang sudah kehilangan kepercayaan akan adanya kebaikan dalam diri manusia. Murong Yun Hua belumlah dewasa, usianya tidak lebih dari 15 tahun. Dengan rasa pahit, dia menelan kenyataan. Tertatih dia kembali ke kamar tidurnya. Dengan tubuh lemah dan kesakitan, dia perlahan-lahan membaringkan diri di sisi Jin Yong yang masih tertidur pulas. Dengan hati hancur dan hampa, dia menutup mata dan membiarkan tidur mengubur segala kekisruhan dalam hatinya. Sejak malam itu kehidupan Murong Yun Hua tidak pernah lagi sama. Ketika dia bangun keesokan harinya, sebuah pikiran tiba-tiba menembusi pikirannya. Dia bukan buah catur yang tak berotak dan tak memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri. Selama ini dia tidak lebih dari sebiji buah catur karena dia bodoh dan tidak menyadari kenyataan di sekelilingnya. Tapi sekarang dia sadar. Dia sadar dan itu artinya, dia bukan lagi sebuah biji catur yang digerakkan tanpa pernah mengerti mengapa dia bergerak ke kotak yang ini dan bukan yang itu. Sebuah pemikiran mulai terbentuk dalam benak gadis muda ini. Semua laki-laki pastilah busuk, bahkan lebih busuk dari ayahnya. Jika tidak, maka betapa busuknya dia yang menjadi anak dari lelaki terbusuk di dunia. Tidak, setiap laki-laki haruslah sebusuk ayahnya, kalaupun mereka tidak melakukan apa yang dilakukan oleh ayahnya, itu adalah karena kebodohan mereka. Ya seperti A Sau yang menjadi tukang kebun mereka, yang ada di otaknya hanyalah kotoran kerbau, tanah dan cangkul. Dia tidak berbuat busuk, bukan karena dia tidak busuk. Dia tidak berbuat busuk karena dia tidak memiliki otak. Seandainya saja dia berotak, tentu dia akan berlaku sebusuk ayahnya. Bukankah A Sau pernah memandanginya dengan penuh nafsu? Bukankah itu bukti bahwa si A Sau pun adalah lelaki yang busuk? Dia tidak berani berbuat apa-apa yang busuk karena dia bodoh dan penakut. Seandainya dia pandai dan memiliki nyali, tentu dia sudah akan menggagahi dirinya, memuaskan keinginannya pada dirinya. Demikianlah pikiran-pikiran mulai terbentuk dalam benak Murong Yun Hua. Bagaimana dengan Jin Yong? Apakah yang dia lakukan semalam tidak menunjukkan kebusukannya? Dan yang pasti Jin Yong lebih bodoh dari ayahnya, jika tidak tentu dia yang akan memperalat ayahnya dan bukan sebaliknya. Tidak, ayahnya mungkin busuk, tapi memang begitulah semua laki-laki. Ayahnya masih lebih baik dari segala macam lelaki, karena ayahnya cerdik dan berambisi. Murong Yun Hua bukanlah anak lelaki terbusuk di dunia. Dia adalah anak lelaki paling cerdik dan bernyali di dunia. Tapi dia tidak akan mendah menerima perlakuan ayahnya. Jika ayahnya cerdik, maka dia bisa berlaku lebih cerdik. Jika ayahnya busuk, dia bisa jadi lebih busuk. Pagi itu ketika Jin Yong terbangun, dia tidak mendapati Murong Yun Hua yang bermuram durja dengan tubuh lemas tak bersemangat. Meskipun tubuhnya masih nyeri, bahkan ada lebam di beberapa tempat, di mana Jin Yong mencengkeram dirinya agar tidak bisa meronta lepas, Murong Yun Hua justru bangun lebih pagi dari Jin Yong. Membersihkan diri dan berias. Memakai bajunya yang terbaik, kemudian mengaturkan sarapan untuk diantarkan pada mereka di dalam kamar. Pagi itu saat Jin Yong terbangun, dia mendapati isterinya yang cantik jelita, menyambut dia dengan senyuman di wajah, bau yang segar dan harum menguar dari tubuhnya. Makanan dan minuman sudah tersaji rapi di meja yang ada dalam ruangan mereka. Betapa haru hati Jin Yong, apalagi jika dia teringat pada kejadian semalam. Penyesalan datang terlambat, pengaruh arak dan nafsu yang tak tertahan membuat dia melampiaskan keinginannya dengan buas. Perlahan Jin Yong bangkit berdiri dan menyambut Murong Yun Hua dengan kecupan yang lembut, begitu lembut hingga tak terbayang orang yang sama bisa menjadi demikian buas di malam sebelumnya. Di luaran Murong Yun Hua menerima kecupan itu dengan mesra dan penuh cinta. Dalam hati yang terbayang adalah kekejian ayahnya yang tersembunyi di balik perilaku yang kebapakan. Tak ada seorangpun yang tahu, apa yang ada dalam hati Murong Yun Hua. Selama kurang lebih satu tahun, yang nampak dari luar adalah pasangan yang berbahagia dan saling mencinta. Seandainya waktu terus berjalan seperti demikian, mungkin pada akhirnya cinta Jin Yong yang sungguh-sungguh, lepas dari kebodohannya dalam memperlakukan seorang gadis, akan bisa mengikis kegelapan dalam hati Murong Yun Hua. Mungkin satu saat, entah setelah berapa tahun lewat dan berapa kali Jin Yong membuktikan ketulusan cintanya, Murong Yun Hua akan kembali bisa percaya pada kebaikan dalam diri manusia. Tapi hanya satu tahun waktu yang diberikan bagi mereka berdua. Dalam satu tahun itu Ayah Murong Yun Hua akhirnya bisa membuat dan meyakinkan obat yang hendak dia berikan pada Jin Yong. Seberapa banyak perasaan yang mulai terpupuk dalam hati Murong Yun Hua untuk Jin Yong, tersapu habis di hari itu, saat ayah dan pamannya akhirnya dihadapkan pada kenyataan, bahwa tengkuk Jin Yong terlalu keras untuk ditundukkan dengan segala persiapan mereka. Murong Yun Hua melewati belokan terakhir, di bagian kediaman Ding Tao ini, tidak ada seorang pun pengikut Ding Tao dari Partai Pedang Keadilan yang tinggal. Ding Tao tidak pernah memiliki pelayan pribadi, sementara bagian ini hanya berfungsi sebagai tempat beristirahat Ding Tao dan keluarganya. Memang di luar area ini ada penjagaan dari orang-orang Partai Pedang Keadilan, namun di dalam hanya ada Ding Tao, Murong Yun Hua, Murong Huolin dan pelayan-pelayan setia keluarga Murong. Maka sepanjang perjalanan Murong Yun Hua hanya bertemu dengan beberapa orang pelayan pribadinya yang juga bertugas sebagai penjaga. Akhirnya sampai juga Murong Yun Hua di tempat tujuannya, sebuah kamar kecil, salah satu di antara beberapa kamar lain tempat pelayan pribadinya beristirahat. Murong Yun Hua berdiri diam di depan pintu kamar, seperti merenungi sesuatu. Kemudian sambil menghela nafas, dia mendorong pintu kamar hingga terbuka, masuk ke dalam kemudian menutup pintu rapat-rapat. Di dalam kamar yang kecil itu hanya ada satu pembaringan. Sementara ada dua orang yang tidur di dalamnya. Yang seorang berbaring di atas pembaringan dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya, sampai di bawah dagu. Yang seorang lagi, tidur di kaki pembaringan. Ketika Murong Yun Hua masuk ke dalam, yang di atas pembaringan tetap saja tertidur pulas, namun yang berbaring di kaki pembaringan, melompat berdiri dengan cekatan. Seorang wanita berusia 50-an, rambutnya sudah mulai beruban, namun matanya terlihat tajam dan gerak-geriknya lincah, jelas dia mengerti ilmu silat. Ketika melihat bahwa Murong Yun Hua yang datang, dengan segera dia memberi hormat. Murong Yun Hua menggerakkan kepalanya, menunjuk ke arah pintu. Wanita tua itu pun dengan patuh meninggalkan kamar dan berjaga di depan pintu. Meninggalkan Murong Yun Hua sendirian dengan orang yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Murong Yun Hua pun mengambil sebuah bangku, duduk di samping pembaringan, lalu dengan lembut membangunkan orang yang masih juga tidur dengan nyenyaknya itu.   "Suamiku bangunlah bagaimana kabarmu?"   Ya, orang itu adalah Jin Yong yang dikabarkan telah tewas.   Kenyataannya mayatnya tidak pernah ditemukan, kabar kematian dia hanyalah kabar burung yang disebarkan oleh sumber yang tidak jelas.   Bagaimana dia mati dan siapa yang membunuh selalu dijawab dengan kata tidak tahu, namun setelah waktu lewat beberapa lama, semua orang pun percaya bahwa Jin Yong telah tewas, karena orangnya sendiri tidak pernah muncul untuk menyangkal berita itu.   Pendekar pedang yang namanya pernah menggetarkan dunia persilatan itu pun akhirnya membuka matanya, lamat-lamat dia mengenali Murong Yun Hua.   Otaknya bekerja tidak beraturan, meskipun seluruh panca inderanya berjalan dengan baik, meskipun apa yang dikatakan Murong Yun Hua dengan jelas dia dengar dan ingat, namun butuh waktu lama bagi dia untuk memahami apa yang sedang dibicarakan oleh Murong Yun Hua.   Inilah Jin Yong yang pernah terkenal dan sekarang tidak lebih dari mayat hidup.   Melihat Jin Yong terbangung, ingatan Murong Yun Hua pun melayang pada kejadian belasan tahun yang lalu.   Ayah Murong Yun Hua yang merasa Jin Yong sudah berada di bawah kekuasaannya, tanpa ragu mulai menjelaskan rencana-rencana keluarga Murong untuk menguasai dunia persilatan dan pada akhirnya, cita-citanya untuk menghidupkan kembali dinasti Yan, yang pernah jaya di bawah kepemimpinan keluarga Murong.   Impian gila bagi beberapa orang, tapi impian yang nyata bagi Ayah Murong Yun Hua dan adiknya.   Dan demi cita-cita itu, segala cara akan dia gunakan dan segala hal akan dia korbankan.   Sayangnya dia salah menilai watak Jin Yong.   Penuh kebanggaan dengan apa yang dia capai, Jin Yong pun dengan tegas menolak segala rencana Ayah Murong Yun Hua.   Tentu saja hal itu membangkitkan murka dari Ayah Murong Yun Hua.   Sebagai persiapan, sebelum dia mulai menjelaskan rencananya pada Jin Yong, sudah beberapa hari lamanya, pasokan obat yang diberikan secara diam-diam pada Jin Yong, lewat makanan dan minuman yang disajikan, sudah dihentikan.   Efek obat itu sendiri belum muncul dengan seluruh kekuatannya, Jin Yong hanya merasakan tubuhnya melemah dan pikirannya, tiba- tiba sulit berkonsentrasi.   Betapa kejut dan murka Jin Yong ketika mendengar penjelasan Ayah Murong Yun Hua, penolakan itu pun ditanggapi Ayah Murong Yun Hua dengan tenang.   Diberikannya waktu beberapa hari bagi Jin Yong untuk berpikir, sementara dia menjadi tahanan rumah sambil menunggu hatinya melunak.   Yang berada di luar dugaan Ayah Murong Yun Hua pertama-tama adalah sikap Murong Yun Hua sendiri.   Tak pernah tahu bahwa Murong Yun Hua sempat mencuri dengar pembicaraan mereka, Ayah Murong Yun Hua menggunakan kepandaiannya bicara untuk memenangkan hati Murong Yun Hua, supaya anak gadisnya itu tidak berusaha membantu Jin Yong dan membantu ayahnya untuk meyakinkan suaminya itu.   Di luar Murong Yun Hua sepertinya terpengaruh dengan nasehat ayahnya, namun dibalik sandiwaranya itu, ingatan akan kejadian di malam jahanam itu teringat dengan jelas.   Murong Yun Hua pun menjadi panik, karena jika sekali saja Jin Yong mengikuti kemauan ayahnya akibat kecanduan dengan obat yang diberikan, maka itu artinya akan tiba saatnya bagi Murong Yun Hua untuk menjadi pelacur.   Dipaksa untuk menyerahkan tubuhnya pada laki-laki, bukan demi uang tapi demi memupuk kekuasaan ayahnya.   Di saat yang sama, meskipun Murong Yun Hua belum bisa mencintai Jin Yong dengan setulusnya, meskipun kebahagiaannya tidak lebih dari sandiwara, tapi setidaknya dia masih mendapatkan rasa aman di sisi Jin Yong.   Malam itu pun Murong Yun Hua memutuskan untuk membantu Jin Yong kabur dari kediaman keluarga Murong.   Dengan membawa Pedang Angin Berbisik dan sekantung obat dewa pengetahuan, mereka melarikan diri dalam gelapnya malam.   Tapi apalah artinya Murong Yun Hua jika dibandingkan dengan ayahnya.   Ayahnya sudah tentu memiliki jaringan yang luas dan kecerdikan di atas rata-rata, jika tidak segala usahanya tentu sudah jauh-jauh hari tercium oleh tokoh-tokoh dalam dunia persilatan.   Nyatanya, jangankan rencananya, bahkan keberadaan keluarga Murong pun mampu dia sembunyikan dengan baik.   Kantung obat yang dicuri Murong Yun Hua ternyata hanya berisi obat palsu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dalam keadaan yang tidak sempurna, dengan mudah Jin Yong dibekuk untuk kedua kalinya.   Di antara mereka yang ikut menangkap mereka berdua, adalah tokoh sesat yang menjadi sasaran berikutnya dari Ayah Murong Yun Hua.   Dengan kata lain, orang itu adalah laki-laki berikutnya yang akan menikmati kemolekan tubuh Murong Yun Hua.   Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Thai Wang Gui.   Thai Wang Gui beradat tinggi hati, dari mana dia yang beradat tinggi bisa bekerja sama dengan Shao Wang Gui? Tidak lain dan tidak bukan, hal ini adalah hasil dari kerja Ayah Murong Yun Hua.   Shao Wang Gui yang berhati pengecut, kemaruk harta dan kesenangan, dengan mudah dijerat masuk menjadi pembantu yang diandalkan.   Tapi tidak mudah mencari hal yang bisa menjerat hati Thai Wang Gui.   Maka dibantu dengan Shao Wang Gui, ayah Murong Yun Hua mulai mencari cara untuk menjerat hati Thai Wang Gui.   Demi mendapatkan kerja sama dari Thai Wang Gui, ayah Murong Yun Hua tidak segan-segan untuk merendah dan menjilat Thai Wang Gui, termasuk di dalamnya menawarkan puterinya sendiri untuk menjadi permainan Thai Wang Gui.   Thai Wang Gui yang memang pendek pikir dan gemar disanjung puji, dengan mudah jatuh dalam kelicinan kata-kata ayah Murong Yun Hua.   Sungguh kebetulan di hari Jin Yong dan Murong Yun Hua melarikan diri, Thai Wang Gui sedang diundang untuk menikmati kemolekan Murong Yun Hua untuk pertama kalinya.   Benar-benar buruk nasib kedua orang itu, tanpa keberadaan Thai Wang Gui di situ pun sudah sulit untuk melarikan diri.   Apalagi ada Thai Wang Gui di sana, belum genap sehari mereka meninggalkah rumah kediaman keluarga Murong, keduanya sudah tertangkap kembali.   Tapi pelarian mereka bukannya tanpa hasil, karena di waktu yang singkat itu, Jin Yong berhasil menjauhkan Pedang Angin Berbisik dari genggaman keluarga Murong.   Entah di mana dan kapan, diam-diam Jin Yong telah menyembunyikan pedang pusaka itu.   Tentu saja hal itu membuat ayah Murong Yun Hua murka.   Jin Yong pun dihajar habis-habisan, namun pendekar itu tetap keras kepala dan tak mau membuka rahasia, di mana dia menyembunyikan pedang pusaka itu.   Dalam murkanya ayah Murong Yun Hua pun menghadapkan sepasang suami isteri itu dengan satu pilihan.   Jika Jin Yong tidak bersedia untuk tunduk pada ayah Murong Yun Hua, maka ayah Murong Yun Hua akan membiarkan puterinya itu, isteri Jin Yong, untuk diperkosa Thai Wang Gui dan sekalian orang yang menghendakinya, di depan mata Jin Yong.    Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok

Cari Blog Ini