Pedang Angin Berbisik 23
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 23
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Uraian dan penjelasan yang bagus, sebagian besar kejadian hari ini sudah kau jelaskan. Sisanya akan kita lihat sebentar lagi, bukan sesuatu yang penting, tapi cukup menarik untuk ditunggu.", ujar Sun Liang sambil memainkan matanya. "Maksud ayah?", ragu-ragu Sun Gao bertanya sambil berpikir. "Ah ya, aku mengerti.", ujarnya sambil menepuk paha, sebelum ayahnya memberikan jawaban. Melihat anak bungsunya mampu berpikir dan mendapatkan jawaban tanpa menunggu dirinya Sun Liang merasa berbesar hati. Sun Gao adalah putera bungsunya, putera satu-satunya yang diharapkan menjadi penerus keluarga Sun. Memang Sun Liang memiliki 6 orang anak dari kedua orang isterinya, namun 5 yang lain adalah perempuan. Meskipun Sun Liang mengasihi mereka semua, namun tidak mungkin mengharapkan salah seorang dari puterinya untuk melanjutkan nama keluarga. Ketika Sun Gao lahir, betapa meriah pesta yang diadakan. Banyak orang mengira, Sun Liang akan memanjakan putera satu-satunya ini. Namun tidak demikian yang terjadi, Sun Liang mendidik Sun Gao bukan hanya dengan kasih sayang, namun juga dengan ketegasan. Setiap kali ada kesempatan untuk mendidik puteranya, baik dalam pengetahuan budi pekerti maupun mengasah kecerdikan dalam hidup, tentu Sun Liang akan melakukannya. Demikian pula dalam hal ilmu silat, Sun Liang terkenal keras dalam melatih putera satu-satunya tersebut. Semuanya itu tidak sia-sia, dalam usianya yang 16 tahun, Sun Gao sudah disegani kawan dan lawan di kotanya sendiri. Nama baik keluarga Sun dalam dunia persilatan pun jadi makin cemerlang, karena sekarang Sun Liang sudah memiliki penerus yang bisa diharapkan. Mereka yang mendengar penjelasan Sun Gao jadi kagum pada kecerdasan pemuda itu dan cara Sun Liang mendidiknya. Beberapa orang dari mereka yang masih lambat dalam berpikir, mengikuti arah pandang kedua orang itu dan menanti, apa gerangan yang akan terjadi. Tapi bagi mereka yang cukup berotak, dengan mengikuti percakapan kedua orang itu, maka menjadi cukup jelas bagi mereka tentang apa yang sedang dan akan terjadi sebentar lagi. Kembali pada Ding Tao dan Xun Siaoma, mendengar Xun Siaoma menganggap masalah di antara mereka sudah selesai, bukan main rasa syukur Ding Tao. Dengan tulus pemuda itu membungkuk hormat pada kedua tetua dan mengucapkan terima kasih. "Ah, sungguh siauwtee merasa bahagia, tadinya ada rasa khawatir bahwa berita yang tidak mengenakkan itu akan mengakibatkan perselisihan yang tidak perlu antara siauwtee dan Partai Hoasan. Siauwtee ucapkan beribu terima kasih pada Tetua Xun dan Tetua Bai, kedatangan Tetua berdua hari ini membuat siauwtee merasa ringan, terlepas dari beban pemikiran dan kekhawatiran." Chou Liang yang paling tajam pikirannya, tentu saja dengan cepat memahami apa yang terjadi. Diapun merasa sangat bersyukur dengan perkembangan yang terjadi. Sehingga saat Ding Tao membungkuk dan mengucapkan terima kasih, diapun segera mengikuti apa yang dilakukan Ding Tao, meskipun tidak ikut mengucapkan kata apa-apa. Beberapa orang seperti Qin Hun, Qin Bai Yu, Li Yan Mao dan Tang Xiong segera pula mengikuti apa yang dilakukan Chou Liang. Tentu saja sulit kita mengharapkan Ma Songquan yang angkuh untuk membungkuk hormat pada orang lain selain Ding Tao, namun bahkan Ma Songquan berdua pun menunjukkan ekspresi yang ramah di wajah mereka. Berbeda dengan kehangatan yang menyebar dari kelompok Ding Tao, nampak mendung kelabu masih meliputi anak-anak muda dari Partai Hoasan. Meskipun hawa permusuhan sudah tidak setajam sebelumnya, namun jelas mereka belum bisa mengikuti teladan Xun Siaoma yang menganggap masalah sudah selesai. Hal itu tidak lepas dari pengamatan Ding Tao, namun pemuda itu dapat pula memahami perasaan mereka dan tidak menyalahkan sikap mereka itu. Karenanya dengan ramah diapun mengangguk dan tersenyum pada mereka. Yang dibalas dengang anggukan sopan yang kaku dan canggung. Xun Siamo yang melihat hal itu menanggapinya dengan tenang, ekspresi wajahnya memang begitu datar, hingga orang sulit menebak apa yang berkecamuk dalam hatinya. Dengan tenang tokoh tua itu menunggu beberapa saat sebelum kemudian berkata. "Ketua Ding Tao, kedatanganku saat ini memiliki pula tujuan lain." Ding Tao yang mendengar itu tentu saja menjadi bertanya-tanya. "Tetua Xun, apakah tujuan Tetua Xun yang kedua? Jika kami dapat membantu Tetua Xun, tentu saja dengan senang hati akan kami lakukan." "Hmm tujuanku yang kedua adalah untuk menambah pengalaman dari murid-muridku ini. Kelima orang ini adalah generasi muda Partai Hoasan yang pendidikannya telah dipercayakan padaku. Bakat mereka cukup bagus, namun sayang sedikit terlalu tinggi dalam menilai diri sendiri. Mendengar tentang kemampuan Ketua Ding Tao yang masih muda, aku ingin mereka menyaksikan dan merasakan sendiri, bahwa ada orang seumuran dari mereka yang masih jauh lebih tinggi tingkatannya dalam ilmu bela diri dibandingkan mereka ini." Mendengar penjelasan Tetua Xun, wajah tiap orang jadi berubah. Namun sungguh Ding Tao memang cepat belajar dan beradaptasi dengan kedudukannya saat ini. Jika Ding Tao yang dulu mungkin akan keripuhan, merendahkan diri, serta menolak ajakan untuk bertanding itu, maka Ding Tao yang sekarang, menyadari bahwa dirinya mewakili pula rekan-rekan yang lain. Jika dia tampil tidak meyakinkan dan memalukan, maka yang malu bukan hanya dirinya sendiri, tapi juga sekian banyak dari mereka yang sudah mengikut dirinya. Karena itu, meskipun sempat terkejut dengan cepat Ding Tao menguasai diri. Dengan dada tengadah, pemuda itu menggerakkan tangannya, menunjukkan panggung yang ada di tengah ruangan. Panggung itu digunakan bagi beberapa anak murid bekas keluarga Huang untuk memamerkan sedikit kebolehan mereka. Baik untuk menghibur para tetamu dan juga untuk menunjukkan sedikit kekuatan dari Partai Pedang Keadilan. Selain itu karena mereka tahu bahwa para tamu yang datang adalah orang-orang dunia persilatan, maka panggung itu juga disiapkan bila ada tetamu yang ingin sedikit mencoba-coba dan menguji kekuatan dari partai yang baru berdiri itu. Bila kebetulan ada tantangan yang muncul dari mereka yang datang, panggung itu menjadi arena pertandingan persahabatan. Dengan senyum yang ramah Ding Tao mempersilahkan anak murid Xun Siaoma. "Marilah kalau begitu, akupun merasa senang jika bisa menjalin persahabatan dengan kalian semua. Orang bilang, setelah beradu kepalan, bolehlah mengikat persahabatan. Mari, mari" Tanpa menunggu jawaban, Ding Tao berjalan menuju ke atas panggung, mereka yang kebetulan sedang menunjukkan kebolehannya di atas panggung, buru-buru menghentikannya, membungkuk hormat pada Ding Tao yang datang, lalu turun meninggalkan panggung. Tetua Xun Siaoma diam dan menimbang-nimbang, kali ini dia harus dapat mengembalikan nama baik Partai Hoasan. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia mengirimkan murid tertuanya. "Yi Ji, kau perlihatkanlah bagaimana kemampuan Hoasan, ingat jika benar dia dapat mengalahkan Pan Jun, berarti dia memiliki kekuatan beberapa lapis di atasmu, jangan gegabah, bertarunglah dengan cerdik.", ujar Xun Siaoma setengah berbisik pada murid tertuanya yang bernama Yi Ji. Yi Ji mengangguk tanda paham, lalu segera menyusul Ding Tao yang sudah terlebih dahulu melangkah menuju panggung. Sesaat kemudian, keduanya pun berhadapan dan saling memberi hormat. Sebagai seorang yang berkedudukan lebih tinggi Ding Tao pun mempersilahkan Yi Ji untuk menyerang terlebih dahulu. Meskipun Yi Ji lebih tua dari Ding Tao, dia tidak mau meremehkan pemuda itu, dia pun sadar dengan beban yang ada di pundaknya kali ini. "Saudara Yi Ji, silahkan memulai lebih dahulu", ujar Ding Tao sambil mengangguk ramah. "Baiklah", jawab Yi Ji pendek, dari getar suaranya, Ding Tao dapat merasakan ketegangan yang membebani pundak Yi Ji. Tapi tidak salah Xun Siaoma mengirimkan Yi Ji, dalam keadaan tertekan, beberapa orang justru bertindak penuh emosi dan terburu-buru. Tidak demikian dengan Yi Ji, dia menyadari keadaannya dan terlebih dahulu mengatur pernafasan dan menenangkan hati dan pikirannya. Ketika dia sudah tenang kembali, barulah dia mulai memikirkan serangan apa yang hendak dia gunakan. Karena Ding Tao sudah mempersilahkan Yi Ji untuk menyerang terlebih dahulu, maka meskipun Yi Ji tidak segera melakukan serangan, Ding Tao tidak akan menyerangnya. Melihat ketenangan Yi Ji, Ding Tao mengangguk-angguk, setengah berbisik dia menyatakan kekagumannya. "Hmm bagus" Yi Ji tidak pandang sikap lawan, pikirannya hanya berfokus pada bagaimana dia harus bertarung melawan Ding Tao. Setelah pikirannya mantap, tanpa ragu dia pun mulai menyerang Ding Tao. Yi Ji memilih untuk menyerang Ding Tao dengan jurus yang dia tahu, sangat disukai oleh Pan Jun. Sebuah tusukan kilat menyerang Ding Tao, meskipun tidak sekuat serangan Pan Jun, namun tidak kalah cepatnya. Ding Tao yang tidak menginginkan terjadi perselisihan lebih jauh dengan Hoasan, membatasi diri dalam pertarungan ini dan memilih menangkis serangan lawan sambil mencari kedudukan yang lebih baik. Meskipun sebenarnya ada peluang untuk mengirimkan serangan, namun jika serangan itu dilakukan setengah-setengah dan gagal, maka justru akan merugikan dirinya. Tapi jika dilakukan dengan sepenuh hati, ada kemungkinan besar Yi Ji akan terbunuh atau setidaknya terluka parah dan cacat seumur hidupnya. Keringat dingin membasahi punggung Yi Ji sesaat setelah dia mengirikan serangan, dia sudah memiliki cukup banyak pengalaman dan pada saat Ding Tao menekan pedangnya dan menggeser arah serangannya, Yi Ji sudah bisa membayangkan satu serangan mematikan akan dikirimkan ke arahnya. Untuk sesaat gerakannya terhenti, dan gelombang perasaan yang sulit digambarkan memenuhi dadanya, ketika dia sadar Ding Tao hanya menghindar saja. Jantungnya masih berdebar-debar, ditatapnya Ding Tao lalu dengan gerakan yang tidak kentara dia mengangguk mengucapkan terima kasih tanpa kata. Ding Tao membalas anggukannya dengan ramah, tapi Yi Ji mengemban tugas sebagai anak murid Hoasan. Meskipun dia merasa berhutang nyawa pada Ding Tao, hutang budinya pada Hoasan jauh lebih menggunung. Tanpa ragu Yi Ji memanfaatkan kemurahan Ding Tao. Serangan yang lain pu dilontarkan dengan cepat, lebih cepat dari serangan yang pertama, karena sekarang Yi Ji tahu bahwa Ding Tao tidak akan mengirimkan serangan yang bisa mencelakainya. Ding Tao yang bertarung dengan membatasi diri, Yi Ji yang bertarung dengan sepenuh hati, siapakah yang akan menang dalam pertarungan ini? Serangan Yi Ji datang seperti curahan hujan derasnya, Ding Tao menghindar dan menangkis serangan Yi Ji tanpa bisa membalas. Mereka yang menyaksikan pertarungan itu, sempat pula merasa kecewa dengan lemahnya Ding Tao, namun itu hanya sesaat saja. Serangan Yi Ji sudah membuat sebagian dari mereka merasa kagum, menilik usianya yang masih muda, ilmunya bisa dibilang sudah cukup matang. Tapi lebih-lebih lagi mereka kagum pada Ding Tao yang berusia lebih muda, bisa berkelit dengan mudahnya dari serangan yang tercurah, sehingga panggung yang berukuran 5x5 itu bisa menjadi ruang yang tak berbatas luasnya. Apakah Ding Tao dapat menang melawan Yi Ji? Sebuah pertanyaan yang tidak perlu diajukan, perbedaan mereka cukup besar, beberapa lapis jaraknya. Pertarungan ini tidak jauh berbeda dengan pertarungan saat Ding Tao ditantang Tiong Fa untuk menunjukkan siapa yang paling layak untuk menyimpan Pedang Angin Berbisik, dirinya ataukah keluarga Huang. Jika dibandingkan tingkatan Yi Ji dengan Tiong Fa, dia masih seusap di bawah Tiong Fa. Sementara Ding Tao sudah beberapa lapis lebih maju dibanding saat itu. Jika Ding Tao tidak memandang muka Partai Hoasan, mudah saja baginya untuk mengakhiri pertarungan. Namun Ding Tao ingin menguburkan kesan buruk yang sudah tertanam dalam hati orang-orang Hoasan terhadap Partai Pedang Keadilan. Karena itu dia tidak segera menjatuhkan Yi Ji, melainkan memikirkan cara untuk mengalahkannya secara tidak kentara. Setelah bertarung belasan jurus, Yi Ji pun menyadari hal ini. Hanya ingatannya akan kebaikan Hoasan pada dirinya yang memaksa dia untuk tetap berusaha, melawan Ding Tao sekuat yang dia bisa. Tapi ketika dalam satu serangan, pedang Ding Tao berhasil menyentuh dengan ringan, pergelangan tangannya, Yi Ji pun sampai pada batas rasa malunya. Pemuda itu segera melompat ke belakang, menghentikan serangan dan dengan jantan berkata. "Aku kalah." "Hanya kebetulan saja", jawab Ding Tao dengan ramah sambil sedikit membungkukkan badan dengan tangan terangkap di depan dada. Xun Siaoma tampaknya santai saja dengan kekalahan itu, meskipun sulit untuk menebak apa yang ada dalam kepala tokoh tua ini dengan wajahnya yang tak pernah berubah. Dengan tenang dia menoleh pada anak muridnya yang lain yang berjumlah empat orang. "Bagaimana? Masih ada yang penasaran ingin mencoba-coba Ketua Ding Tao?", tanyanya pada mereka. Ke empat pemuda itu pun saling berpandangan, keraguan membayang di wajah mereka. Bukan takut mati, tapi takut kalau sampai kalah maka akan menambahkan corengan di wajah partai mereka. Di lain pihak, merekapun merasa penasaran untuk menyerah kalah sebelum mencoba. Meskipun jujur, mereka pun mengakui pemuda yang seumuran dengan mereka itu masih beberapa lapis tingkatannya di atas mereka. Tampaknya Xun Siaoma bisa membaca apa yang ada dalam benak mereka, karena dia kemudian berbalik menghadap ke arah Ding Tao yang sedang beriringan dengan Yi Ji menghampiri mereka. "Ketua Ding Tao, kuharap kau mau memberi muka pada orang tua ini. Tampaknya murid-muridku yang lain penasaran ingin juga mencoba-coba kepandaianmu." Ding Tao berhenti di tempatnya dan berpikir sejenak lalu menjawab. "Tentu saja, kata orang, lewat bela diri, bisa juga menjalin persahabatan." Yi Ji yang saat itu sudah sampai di belakang Xun Siaoma, merenungkan perkataan Ding Tao dan mendesah dalam hati, Seandainya saja tidak ada masalah terbunuhnya ketua dari partainya, Pan Jun, tentu dia akan suka menjadi sahabat Ding Tao. Keempat orang yang lain saling berpandangan, jika memang diperbolehkan untuk maju mencoba kepandaian Ding Tao, lalu siapa yang akan maju, masing-masing dari mereka sudah kehilangan rasa percaya diri jika harus berhadapan dengan Ding Tao. Baguslah kalau begitu, tapi kali ini sedikit berbeda.", ujar Xun Siaoma setelah mendengar jawaban Ding Tao. "Maksud Tetua Xun bagaimana?", tanya Ding Tao. "Kalau Ketua Ding tidak keberatan, biarlah mereka berempat maju bersama. Per orangan tentu saja mereka bukan tandingan Ketua Ding, tapi berempat mungkin pertarunagan bisa sedikit lebih berimbang. Jika perbedaan tingkatan antara yang berhadapan terlalu jauh, bukankah jadi kurang menarik, bagaimana?", ujar Xun Siaoma menjelaskan. Mendengar ucapan Xun Siaoma, mereka yang mengikuti apa yang sedang terjadi antara dua pihak yang berhadapan ini, saling berbisik. Bukan apa-apa, jika empat murid Hoasan maju bersama-sama, lalu mereka juga mengalami kekalahan, bukankah nama Hoasan akan makin jatuh lagi di mata orang-orang dunia persilatan? Ada pula yang berpendapat, meskipun kedudukan Ding Tao adalah ketua sebuah partai, namun umurnya tidak terpaut jauh dengan anak murid Hoasan yang datang kali ini, jadi bukankah keterlaluan jika Xun Siaoma hendak mengadu Ding Tao melawan 4 orang sekaligus? Apakah ini bukan usaha Xun Siaoma untuk membalaskan dendam Pan Jun? Terluka atau mati dalam satu pertandingan persahabatan, bukannya satu hal yang tak pernah terdengar dalam dunia persilatan. Yang lain berpendapat bahwa wajar saja jika Xun Siaoma mengajukan 4 orang anak muridnya untuk bersama maju melawan Ding Tao, meskipun dari segi usia merasa sepadan, namun dalam tingkatan dan kedudukan, jelas ada perbedaan yang besar. Sun Liang bertanya pula pada Sun Gao. "Menurutmu apakah yang dilakukan Tetua Xun Siaoma ini sudah pantas? Ataukah hal ini hanya membuat Partai Hoasan semakin turun nilainya di mata dunia persilatan." "Hmm kepandaian orang yagn pertama tadi tidaklah buruk, jika aku yang harus bertarung melawan dirinya di atas panggung, belum tentu juga aku bisa menang. Hanya orang yang buta matanya yang merendahkan Partai Hoasan oleh kekalahan pendekar muda tersebut.", jawab Sun Gao. "Yang jadi permasalahan di sini ada dua.", ujarnya lagi. "Oh begitu, kalau begitu apakah dua permasalahan itu?", tanya Sun Liang sambil mengulum senyum. "Yang pertama, seberapa tinggi kepandaian Ketua Ding Tao, dalam pertarungan perbedaab di antara keduanya ada beberapa lapis dan sulit untuk melihat seberapa tinggi tingkatan ilmunya. Dengan mengirimkan 4 orang, Tetua Xun Siaoma bisa melihat lebih jelas tingkatan ilmu dari Ketua Ding Tao." "Lalu yang kedua?" "Yang kedua, bila Tetua Xun Siaoma ingin menjalin hubungan antara Partai Hoasan dengan Partai Pedang Keadilan, maka pertama-tama dia harus mampu meredakan permusuhan yang masih bercokol dalam dada anak murid Partai Hoasan." "Dan hal itu bisa dilakukan lewat pertarungan ini?" "Ya, kurasa begitu, sebagai orang yang terjun dalam dunia persilatan, seringkali kita menilai orang dari tingkatannya dalam ilmu silat. Setidaknya mereka bisa dibuat menyadari kekuatan dari lawan dan tidak salah menilai diri sendiri dan lawan, hingga mudah tersulut oleh orang luar yang menyebabkan terjadi bentrokan antara Partai Hoasan dan Partai Pedang Keadilan.", jawab Sun Gao dengan yakin. Tapi kemudian merasa ragu dia pun bertanya pada ayahnya. "Ayah, sudah betul tidak pengamatanku?" "Hahaha, tidak ada pengamatan yang 100% tepat, setiap orang memiliki pengamatannya sendiri. Siapa benar dan siapa yang salah, baru ketahuan nanti pada waktunya. Yang terpenting adalah memililki pengamatan yang teliti, kebijaksanaan untuk menguraikan apa yang diamati dan tidak bergantung pada pendapat orang lain tanpa berani berpikir untuk diri sendiri. Tapi jika kau bertanya, maka menurutku, pengamatanmu itu sudah sangat baik." Berbunga-bunga hati Sun Gao mendengar pujian ayahnya. Mereka yang mendengarkan ikut merenung dan beberapa orang di antara mereka jadi merasa malu, karena selama ini mereka mudah diombang-ambingkan oleh perkataan orang, tanpa pernah memiliki keberanian atau kesadaran untuk berusaha berpikir dan merenungkan sendiri. Sehingga tidak jarang mereka hanya menjadi pion yang dimanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya. Sementara itu dengan senyum lebar Ding Tao sudah menjawab tantangan Xun Siaoma. "Tentu saja tidak ada masalah, aku gembira kita bisa saling belajar dan bertukar pengalaman, meskipun lewat kepalan dan ujung pedang." Wajah keempat orang anak murid Hoasan itupun dipenuhi semangat, maju seorang demi seorang mereka tahu mereka tidak memiliki kesempatan, tapi maju berbareng mereka masih memilikisatu pegangan untuk menang melawan Ding Tao. Tanpa banyak perkataan kelima orang itu sudah menaiki panggung. Biasanya jika banyak orang melawan satu orang, maka yang sendirian akan dikepung di tengah. Tidak demikian kali ini, setelah mereka saling menghormat dan berbasa-basi, keempat anak murid Hoasan itu mengambil kedudukan seperti busur panah, keempatnya menghadap Ding Tao dalam satu sisi saja, tidak ada yang berjaga di kiri, kanan dan belakang Ding Tao. "Silahkan mulai terlebih dahulu", ujar Ding Tao dengan tenang, namun perhatiannya benar-benar tercurah penuh. Begitu melihat kedudukan setiap orang, Ding Tao langsung tahu bahwa dia tidak boleh memandang remeh lawan-lawannya kali ini. Sudah beberapa kali Ding Tao mengalami, berkelahi melawan lawan yang berjumlah banyak. Setiap kali dia mengalami hal itu dia selalu bisa melihat lubang dalam barisan lawan, dia bisa melihat bagaimana dia bisa bergerak dan mengacaukan barisan mereka. Berbeda saat melihat keempat orang itu, melihat mereka Ding Tao teringat saat dia menghadapi sepasang iblis muka giok, jika yang seorang menyerang, yang lain akan bertahan. Lebih mudah untuk melarikan diri dari kepungan, karena memang tidak ada yang menjaga jalan mundurnya. Dia juga tidak perlu menjaga sisi yang tidak terlihat. Namun menjadi sulit jika dia bukan sedang berencana untuk lari dari pertarungan dan dengan saling membantu dalam satu barisan, serangan tiba-tiba yang dilancarkan bisa lebih berbahaya, karena saat yang seorang menyerang, yang lain akan memperhatikan dirinya baik- baik. Jika Ding Tao lengah dan ada bagian dari pertahanannya yang terbuka, maka dia akan menyelinap dan mengirimkan serangan. Ding Tao juga dihadapkan pada kesulitan lain, jika ini pertarungan hidup mati, tanpa ragu dia akan melumpuhkan lawan satu per satu. Seandainya dia seorang ahli totok yang dapat melumpuhkan lawan lewat menyerang titik-titik jalan darah dan jalan energi di tubuh lawan mungkin tidak serepot sekarang. Tapi dia bukan seorang ahli di bidang itu, tidak bisa seseorang menjadi ahli dalam sesuatu jika perhatiannya terlalu melebar. Kebanyakan ahli silat memilih untuk mendalami satu ilmu tertentu dan Ding Tao telah mengkhususkan diri dalam penggunaan pedang. Pertarungan di antara kelima orang itu berlangsung dengan cepat, tidak seperti Yi Ji yang harus banyak berpikir sebelum menyerang, keempat anak murid Hoasan ini sudah terlatih untuk menyerang dan bertahan dalam barisan. Lagipula keyakinan mereka sangat tinggi pada barisan yang diajarkan oleh Xun Siaoma sendiri. Keempat orang itu bekerja sama dengan sangat baik, di antara mereka sudah terjalin rasa percaya yang tinggi. Yang mendapat bagian untuk menyerang tidak akan mengkhawatirkan pertahanan dirinya sama sekali karena percaya bahwa rekannyalah yang melakukan hal itu untuk dirinya. Seorang demi seorang, mereka tidaklah lebih baik dari Yi Ji, tapi berempat, mereka tidak kalah berbahaya dibandngkan Pan Jun. Sedikit demi sedikit Ding Tao terdesak, bergerak semakin mendekati pinggir arena. Para pengikut Ding Tao mengikuti pertarungan itu dengan hati berdebar. Serangan ke empat orang itu tidak secepat serangan Pan Jun hingga tiap orang bisa melihat jalannya perkelahian dengan cukup jelas. Tapi kurangnya kecepatan dan kekuatan, diimbangi oleh jumlah. Jika Pan Jun yang menggunakan satu pedang, bisa membuat seakan-akan dia menusuk dari dua arah yang berbeda dengan kecepatannya. Kali ini memang ada dua sampai tiga orang yang terkadang menyerang Ding Tao dengan selisih waktu yang sangat singkat. Setiap kali Ding Tao menghindar atau menangkis satu serangan, penyerang yang lain dengan cepat mengirimkan serangan ke bagian yang terlemah dari pertahanannya. Hanya Ma Songquan dan Chu Linhe yang bisa mengikuti pertarungan itu dengan tenang, mereka sudah pernah merasakan seberapa kokoh benteng pertahanan Ding Tao dan bagaimana dia bisa mempelajari jurus-jurus lawan sambil bertahan dari serangan lawan. Puluhan jurus berlalu dan akhirnya Ding Tao sampai pula di pinggir panggung, selangkah lagi dia mundur maka dia akan terjatuh dari panggung. Meskipun dalam pertarungan yang sesungguhnya dia belum kalah, namun dalam pertandingan kali ini, tentu saja hal itu akan dipandang sebagai satu kekalahan. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat keadaan Ding Tao tidak juga berubah, bahkan Ma Songquan dan Chu Linhe pun jadi mengerutkan alis dan merasa cemas. Mereka melihat beberapa kali Ding Tao melepaskan kesempatan untuk menyerang karena tidak mau melukai lawan. Padahal dalam keadaan terdesak seperti ini, menyia-nyiakan kesempatan tentu saja sangat merugikan posisi Ding Tao. Di saat yang genting bagi Ding Tao itu, Xun Siaoma menghela nafas. Yi Ji yang mendengar helaan nafas Xun Siaoma pun merasa heran. Apakah Tetua Xun Siaoma menyayangkan kekalahan Ding Tao? Ataukah Tetua Xun Siaoma ingin keempat muridnya menyadari bahwa Ding Tao sudah mengalah dan ingin agar mereka pun menunjukkan hal yang sama, untuk menunjukkan bahwa Hoasan pun tidak menginginkan perselisihan. Yi Ji tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui mengapa Xun Siaoma menghela nafas. Empat orang tentu saja berbeda dengan satu orang. Empat pikiran tidak sama dengan satu pikiran. Seorang guru menciptakan barisan, karena empat pikiran selamanya tidak bisa saling mengerti seperti satu orang mengerti dengan jelas apa yang akan dilakukan sepasang tangan dan kakinya. Oleh karena itu mereka harus berlatih untuk bekerja sama dalam satu barisan, dengan daftar aturan tertentu. Dengan cara itu, jika seorang bergerak ke arah tertentu, tiga orang yang lain bisa segera tahu ke arah mana mereka harus bergerak. Demikian juga satu orang tadi juga tahu posisi ketiga orang rekannya tanpa harus melihat. Tapi kali ini seperti Ding Tao dibatasi oleh panggung, gerakan keempat orang itupun sesungguhnya sama dibatasinya oleh empat sisi panggung yang ada. Selama puluhan jurus berlangsung, Ding Tao sudah mencoba-coba dan mengingat reaksi mereka terhadap berbagai keadaan. Dengan cara itu Ding Tao mulai memahami cara kerja dari barisan mereka. Memanfaatkan pengetahuan itu, perlahan-lahan dia bergerak ke salah satu sisi panggung. Meskipun dia terdesak untuk mundur ke belakang, namun di saat yang sama dia berhasil mendesak lawan yang berada di ujung kanan barisan dan memaksa barisan tersebut menggeser ke kiri, sementara di sisi tersebut batas panggung sudah begitu dekat. Akibatnya lawan yang berada di kiri ujung barisan, terpaksa harus memilih antara bergerak ke arah belakang Ding Tao, atau mundur ke belakang barisan untuk kemudian menjadi ujung paling kanan dari barisan. Tapi Ding Tao sudah menunggu-nunggu saat itu, pada saat dia melihat bagian paling kiri dari barisan mundur ke belakang dan berada segaris lurus dengan orang kedua dari kiri, Ding Tao segera menyerang dengan kuat orang tersebut. Diserang Ding Tao dan kehilangan rekan di sisi kirinya, orang itu pun terdesak mundur ke belakang, orang yang berada di belakangnya jadi gagal untuk bergeser ke kanan karena terbentur oleh rekannya yang mundur ke belakang. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Ding Tao mendesak ke depan dan sekarang berada di tengah, membagi keempat orang itu menjadi dua bagian. Ganti sekarang Ding Tao menyerang dua orang yang lain, yang berada segaris lurus dengan dirinya yang sudah maju ke depan. Demikian Ding Tao bergantian menyerang dan mendesak, hingga barisan itu pun tercerai berai. Ding Tao tidak membiarkan mereka mengatur kembali barisan mereka. Sekali barisan itu terpecah, kemampuan orang per orang tidaklah dapat dibandingkan dengan kepandaian Ding Tao. Menyadari kedudukan mereka, keempat orang itu tiba-tiba melompat menyebar jauh ke belakang. Ding Tao segera memburu salah seorang dari antara mereka, tapi sebelum dirinya sampai keempat orang itu sudah menyarungkan kembali pedang mereka, merangkapkan tangan di depan dada dan berseru. "Kami mengaku kalah." Ding Tao pun tersenyum lega, menyarungkan pedangnya dan membalas salam mereka. "Terima kasih sudah banyak mengalah." Dengan lesu keempat orang itu berjalan kembali ke tempatnya. Yi Ji sekarang mengerti mengapa gurunya Xun Siaoma menghela nafas. Dengan wajah muram Yi Ji tersenyum lemah pada keempat saudarnya yang kembali dengan lesu. Xun Siaoma tentu saja bisa merasakan menurunnya semangat mereka. Orang tua itu berpikir sejenak lamanya, kemudian setelah mengambil nafas dalam-dalam dia berdiri dari tempat duduknya. "Guru", terkejut Yi Ji melihat gurunya berdiri. "Heh sedikit kekalahan sudah membuat kalian lesu seperti ini, bagaimana aku bisa berdiam diri. Akan kuperlihatkan seperti apa ilmu pedang Perguruan Hoasan, biar mata kalian terbuka lebar.", ujarnya sambil melangkah ke arah Ding Tao yang hendak menuruni panggung. Melihat Xun Siaoma berjalan ke arah panggung, Ding Tao tidak jadi turun dari sana. Dengan hati berdebar dia menunggu kedatangan Xun Siaoma di atas panggung. Xun Siaoma melangkah dengan perlahan, jika orang tidak tahu dia seorang ahli pedang, melihat gerak-geriknya tentu akan disangka seorang tua yang sudah lemah tubuhnya. Sesampainya di atas panggun Xun Siaoma merangkap tangan di depan dada. "Ketua Ding Tao, tidak disangka di umur yang masih sangat muda sudah menguasai kepandaian yang begitu tinggi. Di masa depan tentu dirimu akan menjadi obor penerang bagi generasi dunia persilatan di masa itu." Meskipun sudah membiasakan diri menerima penghormatan dari orang lain, kali ini Ding Tao tetap saja tersipu malu mendapatkan pujian dari seorang tetua seperti Xun Siaoma. Mukanya memerah dan dengan sedikit tergagap dia menggelengkan kepala dan menjawab. "Tidak berani, pujian setinggi itu siauwtee tidak berani menerimanya. Siauwtee sadar di atas langit masih ada langit, kepandaian para ketua perguruan besar tentunya jauh di atas diri siauwtee. Apalagi jika dibandingkan dengan para tetua, apalah artinya kepandaian siauwtee ini?" "Pujian Tetua Xun, siauwtee tidak berani menerima. Tidak berani menerima.", ujarnya merangkapkan tangan di depan dada sambil menundukkan kepala dalam-dalam. "Hmmm baguslah kalau kau sadar, di atas langit masih ada langit. Rendah hati adalah sifat yang baik. Hari ini dua kali anak murid Hoasan kalah di tanganmu, jika aku orang tua tidak menunjukkan sedikit kemampuan, tentu orang akan memandang rendah partai kami. Hal itu tidak boleh terjadi. Kuharap kau mengerti, bukan karena aku orang tua ingin menekan yang lebih muda.", ujar Xun Siaoma sambil menatap Ding Tao. "Siauwtee mengerti, harap orang tua memberi pelajaran pada yang lebih muda.", ujar Ding Tao sambil membungkuk sekali lagi. Pedang sudah dicabut dari sarungnya, Ding Tao tidak berani meremehkan tokoh tua di hadapannya ini. Dia menghadapi Xun Siaoma dalam sikap bertahan. Xun Siaoma berdiri dengan tenang, pedangnya diacungkan lurus ke depan. Untuk beberapa lama mereka berhadapan tanpa ada yang memulai terlebih dahulu. Akhirnya Xun Siaoma membuka mulut dan berkata. "Ketua Ding, kau mulailah lebih dahulu." "Baiklah, harap Tetua Xun bersiap-siap", jawab Ding Tao pendek. "Awas serangan!", seru Ding Tao sebelum melontarkan serangan yang dahsyat. Inilah Ding Tao yang sekarang, jauh berbeda dengan Ding Tao yang menahan serangan saat berhadapan dengan Tiong Fa dulu. Tapi bukan hanya karena mengalami pahitnya kelicikan orang, tapi Ding Tao juga yakin bahwa Tetua Xun Siaoma menyimpan banyak kejutan bagi dirinya. Ding Tao tidak ingin mempermalukan dirinya dan partai yang dipimpinnya. Yang paling mengejutkan adalah serangan yang dilakukan adalah jurus serangan yang dimiliki Pan Jun dan tadi juga digunakan oleh Yi Ji. Bukan hanya mereka yang melihatnya, bahkan Tetua Xun Siaoma dan Bai Chungho yang sudah kenyang malang melintang puluhan tahun dalam dunia persilatan pun sempat dibuat terkejut. Xun Siaoma mundur setapak, sebelum menggeser tubuhnya dan menangkis pedang Ding Tao. Sementara Tetua Bai Chungho di luar pengamatan orang telah mengepalkan tangan dan menegakkan tubuhnya. Meskipun hanay sedikit gerakan yang tidak kentara dan tidak ada seorang pun yang melihatnya, tapi jarang sekali ada sesuatu yang mampu mengejutkan orang tua ini. Apakah dia sekedar menirukan saja?, demikian kurang lebih pikiran yang berkelebat dalam benak kedua orang itu. Namun serangan-serangan Ding Tao yang berikutnya menjawab pertanyaan mereka. Serangan Ding Tao sudah memiliki inti dari jurus tersebut, meskipun dalam hal latihan dan pendalaman masih dua-tiga lapis di bawah Pan Jun yang sudah menekuninya belasan tahun lamanya. Jika dibandingkan dengan Yi Ji Ding Tao bisa dikatakan masih satu lapis lebih baik, karena Yi Ji belum mampu menyelami jurus serangan itu hingga ke intinya. Xun Siaoma pun dipaksa untuk mundur tiga langkah lagi. Namun jika kedua tetua itu terkejut oleh serangan Ding Tao, maka Ding Tao pun tidak kalah terkejutnya. Saat dia menghadapi Pan Jun, dia harus pontang panting hanya untuk bertahan menghadapi jurus serangan itu. Berhadapan dengan Xun Siaoma, ternyata jurus serangan itu bisa dihindarkan dengan mudah. Serangan Ding Tao cukup cepat meskipun tidak secepat pedang kilat Pan Jun tapi Xun Siaoma bisa menghindarinya dengan gerakan yang wajar-wajar saja dan tidak terlalu cepat, hanya saja sangatlah tepat menempatkan diri di posisi terlemah Ding Tao. Merasakan sendiri bagaimana Tetua Xun Siaoma mengatasi jurus serangan pedang kilat milik Pan Jun, pikiran Ding Tao jadi terbuka dan heran, mengapa dulu tidak terpikirkan hal ini. Setelah melihat Xun Siaoma melakukannya, barulah terasa betapa sebenarnya sederhana saja untuk memecahkan jurus serangan kilat Pan Jun. Sebenarnya tidaklah sepenuhnya tepat, Xun Siaoma sebagai tetua dari Partai Hoasan tentu saja mengenal jurus serangan Pan Jun lebih dari Ding Tao yang baru melihatnya beberapa kali. Sebab kedua adalah perbedaan antara Ding Tao yang baru menyelami intinya tanpa sempat melatih jurus tersebut hingga mendarah daging, dibandingkan dengan Pan Jun yang mencurahkan waktu dan usahanya untuk menyempurnakan jurus tersebut. Meskipun tidak sepenuhnya pula salah, seandainya waktu itu Ding Tao tidak terpaku pada kedahsyatan jurus serangan kilat Pan Jun, maka seharusnya dia pun mampu melihat celah-celah di antara serangan Pan Jun. Hanya saja perbawa serangan Pan Jun begitu kuat menekan Ding Tao hingga mempengaruhi pikiran dan permainan pedangnya. Menyadari bahwa jurus serangan milik Pan Jun tidak akan m ampu mendesak Xun Siaoma lebih jauh, maka mulailah Ding Tao mengombinasikannya menggunakan jurus-jurus serangan yang berbeda. Ilmu pedang Ding Tao bisa dikatakan campur aduk, meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan untuk melatih ilmu pedang keluarga Huang secara mendalam, namun dalam perjalanannya Ding Tao menyerap banyak jenis ilmu lain. Di antara jurus-jurus yang dia serap dalam pengalamannya, jurus serangan Pan Jun mungkin yang terkuat, namun juga yang paling lemah dalam penguasaan. Tapi Ding Tao memang tidak seperti Pan Jun yang menghabiskan waktunya untuk menyempurnakan suatu jurus. Kelebihan Ding Tao justru ada pada keaneka ragaman jurus yang dia serap, kecepatan cara berpikirnya, keluwesan dalam menyesuaikan diri dengan keadaan dan kepekaannya dalam menilai keadaan lawan dan dirinya. Gaya permainan pedang Ding Tao justru sangat bersesuaian dengan gaya permainan pedang Xun Siaoma. Pada masa mudanya Xun Siaoma pun mengikuti cara berpikir Pan Jun dan memilih untuk menyempurnakan satu jurus pilihan. Dengan satu dua jurus pilihan dia mampu menaklukkan pendekar-pendekar pedang dari sembilan propinsi. Namun berjalannya waktu, kemampuan fisik Xun Siaoma pun menurun. Tokoh tua itu mulai memikirkan, permainan pedang yang membutuhkan kekuatan dan kecepatan seminimal mungkin, untuk mengimbangi penurunan fisiknya. Xun Siaoma pun mulai menapaki jalan yang kini sedang ditapaki oleh Ding Tao. Saling berhadapan, dua jagoan pedang yang memiliki gaya permainan yang menitik beratkan pada strategi dan permainan pikiran untuk mengalahkan lawan, terciptalah pertarungan yang membuat kagum para tokoh dunia persilatan. Gerakan mereka tidaklah secepat kilat, sehingga mudah untuk diikuti. Namun tiap gerakan memiliki pecahan kemungkinan yang banyak jumlahnya. Keduanya saling berusaha menguasai permainan, setiap jengkal panggung tempat mereka bertanding memiliki arti. Panggung yang berukuran sedang, sudah berubah menjadi sebuah medan perang yang seluas dataran padang pasir Gobi. Terkadang mereka bertempur sengit demi menguasai satu petak, namun di lain saat mereka dengan sengaja melepaskan kedudukan mereka untuk menjebak lawan dalam permainan mereka. Mengikuti permainan pedang mereka memang tidak menyusahkan mata, namun ternyata memeningkan kepala. Bagi Ding Tao inilah pertama kalinya dia menghadapi lawan yang memiliki gaya permainan pedang mirip dirinya. Semakin lama mereka bertarung, semakin dia larut dalam permainan pedang mereka. Tidak ada ubahnya anak kecil yang baru mendapatkan kawan bermain yang sesuai dengan dirinya, Ding Tao tidak lagi memikirkan kalah atau menang, hanya menikmati saja permainan adu otak ini. Bercampur antara penasaran, keinginan untuk menang dan juga kegembiraan yang sulit dijabarkan. Xun Siaoma pun merasakan hal yang mirip dengan Ding Tao, bedanya dia sudah beberapa kali menghadapi tokoh dengan tingkatan yang setinggi dirinya. Salah satunya adalah pengemis tua Bai Chungho, ada juga Pendeta Chong Xan dari Butong. Beberapa kali Xun Siaoma, bertanding dan mendiskusikan masalah permainan pedang dengan dua orang yang sama gilanya dengan ilmu silat. Bagi mereka yang belum begitu dalam pemahamannya akan ilmu silat maka kurang dapat mengerti apa yang sedang terjadi di atas panggung, dengan sendirinya meskipun menikmati pula keluwesan dan kelincahan kedua orang yang sedang bertarung, mereka tidak ikut merasakan ketegangan yang dirasakan oleh mereka yang mampu mengikuti jalannya pertarungan dan apa yang diinginkan oleh kedua orang yang sedang bertarung itu dengan serangan yang mereka bangun. Bagi mereka ini, justru Yi Ji dan keempat saudaranya menampilkan serangan yang lebih dahsyat. Para guru dan orang tua yang membawa murid atau anaknya, dengan segera menyuruh mereka untuk memperhatikan baik-baik pertarungan kedua orang itu. Jika ada yang bertanya, tentu akan dijawab agar mencurahkan seluruh perhatian mereka untuk melihat dan mengingat sebanyak mungkin apa yang mereka lihat. Nanti baru setelah pertarungan itu selesai, mereka bisa bertanya. Maklumlah pada masa itu belum ada alat yang bisa digunakan untuk merekam satu kejadian. Satu- satunya yang bisa digunakan untuk merekam kejadian yang penting adalah mata dan ingatan mereka. Pertarungan kali ini berlangsung hingga puluhan jurus, tapi menginjak jurus ke 58, mulai terlihat Ding Tao kalah pengalaman dibandingkan dengan Xun Siaoma. Hanya kepekaan perasaannyalah yang beberapa kali menyelamatkan dia dari kedudukan yang tidak memiliki jalan keluar lagi. Dengan sekuat tenaga dan segenap pikiran Ding Tao berupaya keluar dari permainan pedang Xun Siaoma, namun tokoh tua itu jelas menang dalam hal pengalaman. Ding Tao beberapa kali melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan dan akhirnya terpojok, terkurung oleh serangan-serangan Xun Siaoma. Ding Tao pun tidak mau mengalah begitu saja, menyadari dirinya sudah berada dalam posisi yang terjepit, pemuda itu membangun benteng pertahanan yang kuat untk melindungi sekujur tubuhnya. Tinggal selangkah lagi dan Xun Siaoma akan mengalahkan Ding Tao. Namun keuletan dan daya juang pemuda itu membuktikan bahwa yang selangkah itu tidak dijual murah. Ding Tao tidak mampu berpindah dan keluar dari posisinya saat ini, namun Xun Siaoma pun belum bisa menyarangkan satu serangan ke arah Ding Tao. Tokoh tua itu tidak berani melepaskan serangan dengan sekuat tenaga karena dia khawatir akan melukai Ding Tao terlalu parah. Jika Ding Tao mampu mengalahkan anak muridnya tanpa melukai, maka Xun Siaoma pun ingin bisa melakukan hal itu. Jika tadi sikap Ding Tao membuat dia melepaskan banyak kesempatan, demikian juga sekarang, Xun Siaoma harus melepaskan banyak kesempatan untuk mengakhiri perlawanan Ding Tao. Tapi berbeda dengan sikap pendirian anak murid Hoasan, Ding Tao tidak memiliki beban untuk menghapus arang yang mencoreng partainya. Jika sampai sekarang Ding Tao tidak juga menyerah, itu adalah karena kegembiraannya yang meluap. Otaknya bekerja dengan cepat menyerap setiap detik dan saat dari pengalaman baru yang dia rasakan saat ini. Menghadapi seorang pesilat yang jauh lebih unggul dalam membangun strategi dalam permainannya. Dia hanya tidak ingin kesenangan ini berlalu dengan cepat. Semakin lama dia bertahan, semakin dia mengenali gaya permainan Xun Siaoma, pertahanannya pun menjadi semakin kokoh. Bukan hanya itu pengetahuannya akan jurus-jurus pedang milik Partai Hoasan pun bertambah. Ma Songquan dan Chu Linhe yang pernah merasakan pengalaman yang sama menyeringai dalam hati. Meskipun Ding Tao kalah hari ini, tapi keuntungan yang didapatkan olehnya tidaklah kecil. Ilmu keluarga Huang belum bisa dijajarkan dengan ilmu-ilmu dari perguruan besar yang sudah melewati masa ratusan tahun, dipelajari, didalami dan dikembangkan oleh para maha guru dari perguruan tersebut. Ilmu keluarga Huang barulah melewati dua masa generasi, itupun bakat yang dimiliki belum bisa disandingkan dengan para leluhur partai perguruan besar yang namanya melegenda. Xun Siaoma sendiri mulai menyadari akan hal itu, selain pertahanan Ding Tao yang makin kokoh. Beberapa kali Ding Tao mencoba mempraktekkan apa yang baru dia serap dalam permainan pedangnya. Meskipun apa yang dilakukan Ding Tao tidak persis sama, karena dia hanya meleburkan apa yang baru dia serap dan berusaha menerapkan prinsip-prinsipnya pada apa yang sudah dia miliki, tapi karena yang ditangkap dan diserap adalah inti dari gerakan, Xun Siaoma tentu saja bisa mengenalinya. Bukan hanya Xun Siaoma saja, tapi Tetua Bai Chungho pun sudah menyadari apa yang sedang terjadi karena dia sudah cukup sering berlatih tanding dengan Tetua Xun Siaoma. Dalam latih tanding itu, mereka berdua melakukan hal yang sama, mempelajari kekurangan sendiri, mendalami kelebihan lawan dan merenungkan bagaimana pengetahuan itu bisa dipakai untuk memoles ilmu sendiri menjadi lebih sempurna. Wah celakalah si tua, si tua itu bukannya menghajar malah memberi ajaran., batin Bai Chungho sambil menyengir. Jika Bai Chungo bisa menyaksikan hal itu sambil cengar-cengir, tentu saja berbeda keadaannya dengan Xun Siaoma. Uh secepat mungkin pertandingan ini harus diakhiri tapi bagaimana.., pikir Tetua Xun Siaoma. Di luar dia terlihat tenang tapi otaknya bekerja keras dan jantungnya mulai berdebaran. Benar-benar seorang jagoan tua, meskipun otaknya bekerja keras, tangan dan kakinya tidak berhenti bekerja dan sedikitpun Ding Tao tidak bisa bergeser dari tempatnya. Apa boleh buat, desah Xun Siaoma dalam hati. Setelah mengambil keputusan gerakan Xun Siaoma pun jadi lebih mantap. Satu gebrakan, dua gebrakan, Ding Tao kali ini tidak sempat memperhatikan dan merenungkan serangan Xun Siaoma. Rupanya meskipun sudah tua, kecepatan dan kekuatannya tidaklah berada di bawah Pan Jun yang masih muda. Ding Tao masih berkonsentrasi untuk bertahan ketika tiba-tiba Xun Siaoma mundur tiga langkah ke belakang dan di luar kemauannya Ding Tao ikut maju ke depan. Seperti terpana oleh serangan Xun Siaoma yang sebelumnya mendorong dirinya ke belakang dan tiba-tiba mundur ke belakang. Pada saat Xun Siaoma bergerak mundur, tibat-tiba seakan tercipta ruang hampa di antara mereka, dan kekosongan itu membuat Ding Tao terseret maju ke depan di luar kemauannya. Dengan luwes dan indahnya Xun Siaoma bergerak, hampir seperti seorang gadis muda yang menari. Meliuk dan menggeser kakinya, tiba-tiba Xun Siaoma sudah berada di belakang Ding Tao dan dengan ringan dia menepuk pundak Ding Tao. Gerakan itu begitu sederhana, alami dan indah. Mereka yang melihatnya, mau tidak mau merasa kagum pada kemampuan tokoh tua tersebut. Baik mereka yang bersimpati pada Ding Tao maupun mereka yang menjagoi Xun Siaoma, kedua pihak tanpa terasa bertepuk tangan, melihat pertunjukan permainan pedang yang memeras pikiran mereka untuk dapat mengikutinya. Bukan karena kecepatan permainan pedang mereka, namun karena rumitnya pemikiran di balik tiap serangan dan pertahanan. Segera setelah merasa dirinya terayun ke depan, Ding Tao sudah bisa meramalkan apa yang terjadi berikutnya. Karena itu ketika tangan Xun Siaoma menepuk pundaknya perlahan dari belakang, Ding Tao hanya memejamkan mata dan mendesah. Perlahan dia berbalik, membungkuk sambil merangkapkan tangan dan berujar. "Sungguh kepandaian Tetua Xun, jauh melampaui pemahaman siauwtee. Tidak salah jika Hoasan berdiri berjajar dengan enam perguruan besar yang lain." Xun Siaoma yang sudah bertarung hampir seratus jurus, menunjukkan keuletan tubuhnya yang sudah renta. Meskipun tubuhnya berkeringat namun, nafasnya masih teratur dan dalam, sama sekali tidak terganggu oleh pertarungan yang menghabiskan tenaga tersebut. "Hmm Ketua Ding Tao sendiri memiliki bakat yang sulit dicari tandingannya. Beberapa tahun ke depan, aku orang tua ini tentu sudah tidak bisa mengimbangimu lagi. Yang kuharapkan hanyalah pada saat itu, murid-muridku sudah bisa menyerap semua apa yang kuajarkan dan selesailah tugasku sebagai seorang tetua.", ujar Xun Siaoma sambil membalas penghormatan Ding Tao. "Ah mana bisa demikian, Tetua masih begini kuat dan segar. Siauwtee rasa sampai berpuluh tahun ke depan pun Tetua masih dapat mengalahkan siauwtee kapan saja tetua mau.", jawab Ding Tao sambil tersenyum lebar. "Ha ha ha, boleh juga kalau memang seperti itu yang terjadi, lain kali biarlah kita bertanding lagi untuk melihat, tebakan siapa yang lebih tepat.", Xun Siaoma yang jarang menunjukkan perasaan, ternyata bisa juga tertawa. Tawa Xun Siaoma itu memiliki arti yang besar, beban yang menindih perasaan Ding Tao dan para pengikutnya lepas pada saat itu juga. "Tentu saja, kapan saja Tetua Xun menghendaki, siauwtee tentu siap. Tap isekarang, mari ijikanlah siauwtee menjadi tuan rumah yang baik. Silahkan Tetua mencicipi hidangan yang kami siapkan. Mari silahkan.", ujar Ding Tao sambil mempersilahkan Tetua Xun Siaoma untuk kembali ke mejanya. Acara perayaan itu pun dilanjutkan kembali, setelah pertarungan antara Xun Siaoma dengan Ding Tao, beberapa orang yang datang untuk mencari gara-gara, baik dari golongan hitam yang ingin menguji kesiapan partai yang baru lahir ini, ataupun mereka yang ingin membuat namanya dikenal orang dengan mengalahkan orang-orang dari partai baru ini, semuanya membatalkan niat mereka. Akibatnya panggung pun hanya diisi dengan pertunjukan, tidak ada lagi yang melakukan tantangan. Tapi bukan berarti perayaan itu jadi membosankan bagi para tamunya yang keranjingan ilmu silat dan tontonan menarik. Pertarungan Ding Tao dan Xun Siaoma sudah menjadi pembicaraan yang hangat dan bisa memakan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari. Hasil dari pertemuan kedua belah pihak sendiri tidak terhitung buruk. Nama Ding Tao tidak menjadi turun karena kekalahannya di tangan Xun Siaoma. Hanya segelintir orang bisa menjajarkan diri dengan tokoh tua itu. Dalam usianya yang masih sangat muda, apa yang ditunjukkan Ding Tao sudah melampaui dugaan orang banyak. Sebaliknya nama Hoasan yang sempat terjun ke dalam lumpur pun jadi terangkat kembali. Xun Siaoma berhasil membuktikan bahwa Hoasan masih merupakan tempat bersembunyinya naga dan harimau. Perdebatan pun jadi makin memanas, ketika mereka mulai memperdebatkan masalah keinginan Ding Tao untuk ikut dalam pemilihan Wulin Mengzhu, mereka yang bersimpati pada Ding Tao tertarik pada kemudaan dan semangat yang dibawanya. Sebagian besar dari mereka yang berpendapat seperti ini, adalah anak-anak muda. Mereka yang berpendapat sebaliknya, lebih bersandarkan pada bukti bahwa Ding Tao belumlah siap untuk menjadi Wuli Mengzhu bagi generasi saat ini. Mereka bukan sepenuhnya menolak Ding Tao, hanya saja mereka berpendapat bahwa Ding Tao harus menunggu beberapa tahun lagi untuk mamatangkan dirinya sebelum mencoba untuk menduduki kedudukan tertinggi dalam dunia persilatan tersebut. Ding Tao dan Xun Siaoma sendiri justru tidak memikirkan berbagai masalah itu. Anak murid Xun Siaoma tentu saja tidak sepenuhnya merasa puas dengan cara Xun Siaoma menyelesaikan masalah. Sedikit banyak, mereka memiliki ikatan batin dengan Pan Jun yang pernah menjadi pimpinan mereka. Sekarang Xun Siaoma makan dan minum bersama dengan orang yang membunuh Pan Jun tanpa canggung-canggung. Tapi mereka terlalu menghormati Xun Siaoma untuk menunjukkan perasaaan tidak suka mereka. Ding Tao yang peka peraaannya, dapat menangkap getar-getar ketidak puasan itu dan berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Tidak marah, menyindir atau merendahkan mereka, tidak pula dia menyanjung- nyajung dan berusaha menyenangkan hati mereka. Hari yang panjang itu pun akhirnya sampai pada penghujungnya, satu per satu mereka yang bertamu berpamitan. Besok gedung masih dibuka untuk menerima tamu-tamu lain yang baru datang, namun untuk hari ini kegiatan mereka sudah sampai pada akhirnya. Pada saat ruangan sudah mulai sepi itulah, Xun Siaoma berkata pada Ding Tao dengan suara perlahan. "Ketua Ding, apakah ada waktu untuk berbicara di tempat yang lebih nyaman?" Ding Tao memandangi Xun Siaoma, tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksudkan oleh Tetua Xun Siaoma. "Hari sudah mulai gelap, angin yang dingin membuat tulang-tulang tua ini ngilu, tapi hati masih menginginkan secangkir arak dan berbincang-bincang. Alangkah baiknya kalau kita pindah ke dalam, di mana ada dinding yang melindungi dari angin malam.", ujar Xun Siaoma berusaha menjelaskan. "Ketua Ding, kebetulan aku sudah meminta beberapa orang untuk menyiapkan sedikit hidangan kecil dan arak di ruang dalam.", ujar Chou Liang sambil mengedip. Ding Tao bukan orang bodoh, jika tadi dia terlambat menangkap apa maksud Xun Siaoma, itu karena dia memandang semua orang sama seperti dirinya dan tidak akan berusaha menguping pembicaraan pribadi orang lain dengan sengaja. "Ah, maafkan aku Tetua Xun, tentu saja, itu ide yang bagus. Marilah kita masuk ke dalam. Apakah Tetua Bai Chungho juga akan ikut meramaikan?", tanya Ding Tao dengan segera. "Hehehe, di mana ada arak dan cemilan, sudah tentu aku akan ikut meramaikan", jawab Bai Chungho sambil terkekeh. Setelah memberikan pesan pada mereka yang masih bertugas di luar, Ding Tao, Xun Siaoma, Bai Chungho dan orang-orang kepercayaan mereka, berjalan menuju ke dalam gedung, mengikuti Chou Liang yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Entah bagaimana rupanya dia sudah bisa menduga bahwa Xun Siaoma akan meminta hal seperti ini. Tapi kecekatannya dalam berpikir, menarik perhatian Xun Siaoma dan Bai Chungo, meskipun keduanya tidak mengatakan apa- apa. Dua orang tokoh kawakan itu belajar untuk menghargai kelebihan manusia-manusia macam Chou Liang, sejalan dengan pengalaman mereka di dunia yang luas. Dalam hati mereka memuji bintang keberuntungan Ding Tao sehingga dia ditemukan dengan berbagai macam orang pilihan yang bisa mendukung gerakannya. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan mereka menuju ke ruang dalam. Semua orang merasa sedikit tegang. Chou Liang yang cerdik tidak membawa mereka ke ruangan tempat Guru Chen Wuxi, Fu Tong dan Song Luo menunggu. Dengan demikian keterlibatan ketiga orang itu dengan Partai Pedang Keadilan terjaga dari orang luar. Setelah mereka sampai di dalam ruangan, dengan gerak matanya, Tetua Bai Chungho dan Xun Siaoma memerintahkan anak muridnya untuk ikut menjaga keamanan dari ruangan itu. Tentu saja bukan masalah takut diserang, karena mereka yang bisa dianggap setanding dengan mereka berada di dalam ruangan itu bisa dihitung dengan jari. Kedua tetua itu lebih mengkhawatirkan bocornya apa yang sedang mereka bicarakan. Membuka percakapan mereka Xun Siaoma bertanya pada Ding Tao. "Ketua Ding, jika aku memintamu untuk berbicara di tempat ini, tentu kai mengerti apa sebabnya?" "Ya, Tetua tidak ingin ada orang yang tidak bisa dipercaya yang ikut mendengarkan percakapan kita." "Benar", jawab Xun Siaoma membiarkan jawabannya menggantung di udara. Ding Tao melihat pada para pengikut setianya yang berada di ruangan itu, Ma Songquan, Chu Linhe, Chou Liang, Tang Xiong, Wang Xiaho, Li Yan Mao, Qin Baiyu, Qin Hun dan Tabib Shao Yong, kemudian menjawab. "Mereka semua bisa dipercaya, aku bersedia mempertaruhkan nyawaku demi salah seorang dari mereka." Xun Siaoma berpandangan dengan Bai Chungho kemudian mengangguk. "Baiklah kalau begitu, mungkin sebaiknya kita membicarakan ini sambil berduduk." Tanpa menunggu jawaban dari Ding Tao, Xun Siaoma memilih salah satu kursi, diikuti oleh Bai Chungho dan setelah Ding Tao duduk yang lain pun mengikuti. Untuk beberapa lama mereka terdiam dan Xun Siaoma yang pertama-tama membuka percakapan. Mendesah sedih Xun Siaoma berkata dengan berat hati. "Ketua Ding, tentang berita yang mengatakan ketua kami, Pan Jun telah terbunuh di tanganmu, apakah benar adanya? Apakah bisa dipastikan dia adalah Pan Jun?" Ding Tao tidak langsung menjawab pertanyaan Xun Siaoma, diingat-ingatnya dahulu semua yang terjadi saat itu, kemudian dengan berhati-hati dia menjawab. "Pada awalnya kami hanya mengenal dia sebagai orang bertopeng dan memang siauwtee sempat bertempur dengannya, yang berakhir dengan kematian dirinya." "Pada saat itu Saudara Ma Songquan dan Chou Liang berpendapat baik adanya jika identitasnya tetap tersembunyi dan berencana hendak menguburkan jasadnya tanpa perlu membuka topengnya. Namun salah seorang yang berada di sana, membuka topeng itu saat kami lengah. Barulah kemudian beberapa orang mengatakan bahwa orang bertopeng itu adalah Pendekar pedang Ketua Pan Jun." Xun Siaoma tercenung sesaat, kemudian bertanya. "Jurus yang tadi kaupakai untuk menyerang, seperti juga jurus yang digunakan salah seorang anak muridku, apakah itu jurus yang sama seperti yang digunakan oleh orang bertopeng tersebut?" "Ya benar, hanya saja serangannya jauh lebih tajam. Ketepatan, kecepatan dan kekuatannya hampir mendekati kesempurnaan.", jawab Ding Tao dengan cukup yakin. "Apakah benar pembunuh bertopeng itu adalah salah seorang dari tokoh-tokoh yang memimpin penyerangan atas keluarga Huang di Wuling?", tanya Xun Siaoma lebih lanjut. "Berdasarkan apa yang dia lakukan di Wuling, berdasarkan perkataan yang keluar dari mulutnya, berdasarkan hubungannya dengan Tiong Fa, penghianat keluarga Huang, kami yakin bahwa hal itu memang benar adanya.", jawan Ding Tao. Sekali lagi ruangan itu dipenuhi keheningan, dan dipecahkan oleh helaan nafas Xun Siaoma. Tokoh tua perlahan-lahan itu menutup matanya dan mendesah s edih. "Jika demikian, maka biarlah aku memastikan bahwa, dia bukanlah ketua dari Hoasan", ujarnya dengan lambat dan penuh kesedihan. Melihat raut wajah dari orang-orang Hoasan, Ding Tao dan kawan-kawan tidak berani mengatakan apa-apa. "Tetua", ujar salah seorang anak murid Hoasan dengan terbata, tapi ucapannya terputus oleh gerakan tangan Xun Siaoma yang melarang dia untuk berbicara lebih banyak. Tokoh tua itu memandangi anak muridnya satu per satu, lalu memalingkan wajahnya pada Ding Tao dan perlahan-lahan mengitari ruangan, hingga pandang matanya bertemu dengan tiap orang dari mereka. Kemudian dengan suara parau dia berkata, "Mengertikah kalian? Dari keterangan yang diberikan oleh Ketua Ding, 9 dari 10 bagian aku bisa meyakinkan bahwa orang tersebut adalah Pan Jun dan sepenuhnya aku dengan yakin bisa mengatakan bahwa orang itu bukanlah ketua dari Partai Hoasan, karena seorang ketua dari perguruan Hoasan, tidak akan pernah melakukan perbuatan demikian." Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok