Pedang Angin Berbisik 28
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 28
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Kedua bersaudara itu pun pergi ke jalan besar yang cukup ramai, kemunculan mereka tentu saja menarik perhatian. Yang pemuda hanya mengenakan baju dalam tanpa jubah luar dan keduanya menjinjing senjata yang sudah dicabut dari sarungnya. Dengan menundukkan kepala, karena sadar oleh perhatian orang, keduanya berjalan secepat mungkin, menjauh dari bangunan tempat Tiong Fa bermarkas. Nasib baik masih menaungi mereka, entah karena sebab apa, Tiong Fa dan rombongannya terlambat cukup lama. Ketika Tiong Fa dan orang-orangnya menemukan jejak mereka di gang sempit itu, mereka berdua sudah ada di dalam kerumunan orang di jalan yang ramai. Tapi Tiong Fa tidak menyerah dengan mudah. Dia segera menyebarkan anak buahnya dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencari jejak kedua orang muda itu. Terjadilah kejar-kejaran yang cukup mendebarkan di antara mereka. Keadaan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying yang cukup mencolok membuat mereka mudah dilacak. Beberapa kali mereka sempat melihat kelompok orang Tiong Fa yang memergoki mereka berdua. Namun kelompok Tiong Fa pun tidak berani terlalu terang-terangan dalam menangkap kedua orang muda itu. Hal ini memberikan keuntungan sendiri bagi Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu. Apalagi kedua orang muda itu begitu awas melihat ke sekeliling mereka karena merasa masih berada dalam bahaya. Sehingga belum sampai orang-orang Tiong Fa mencapai posisi mereka, kedua orang muda itu sudah sempat lari ke arah yang lain. Sayangnya, untuk melepaskan diri dari kejaran mereka juga tidak mudah. Nafas kedua orang muda itu mulai habis, sementara lawan yang lebih banyak dan lebih menguasai medan, perlahan-lahan berhasil menggiring mereka ke tempat yang sepi. Di sebuah perempatan jalan, kedua orang muda itu tiba-tiba sadar bahwa lawan sudah mendekati dari tiga arah yang ada. Mau tidak mau, merekapun lari melewati satu-satunya jalan yang tersisa. Keduanya sudah terlalu panik untuk berpikir jernih. Bahwasannya lawan tidak berani bertindak terlalu gegabah, seharusnya tempat yang ramai adalah perlindungan yang terbaik. Namun yang ada dalam benak mereka hanya lari sejauh-jauhnya dari lawan. Saat mereka berdua mendapati jalan yang mereka pilih itu tidak memiliki percabangan dan menuju ke satu tempat, barulah mereka curiga akan maksud lawan. Saat mereka sampai di sebuah kawasan yang kumuh dan sepi, barulah keduanya sadar bahwa mereka sudah terjebak. Jalan itu membawa mereka ke sebuah lapangan kecil yang dikelilingi perkampungan kumuh. Penghuni rumah-rumah kumuh itu rupanya sudah kenyang oleh penderitaan dan biasa diinjak-injak orang. Ketika melihat dua orang muda itu berlari dan di belakang keduanya ada sekelompok orang yang mengikuti, dengan segera mereka masuk ke rumahnya masing-masing dan menutup pintu rapat-rapat. Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu akhirnya saling berpandangan, mendapati jalan buntu di depan mata. "Sudahlah, biarlah kita lawan saja mereka, kalaupun tidak bisa lepas, setidaknya mereka tidak bisa menangkap kita hidup-hidup.", ujar Huang Ren Fu sambil menghela nafas. Huang Ying Ying menggigit bibir dan mengangguk. Belum hilang dari benak gadis itu, bayangan Tiong Fa yang menindih dirinya. Sekujur tubuhny masih terasa kotor oleh sentuhan Tiong Fa. Kedua orang muda itupun membalikkan badan, menanti lawan yang berjalan mendekat. Pedang dan golok digenggam kuat- kuat. "Jangan terlalu tegang, atur nafas dan kumpulkna hawa murni", ujar Huang Ren Fu mengingatkan adiknya. Huang Ying Ying menganggukkan kepala, sebisa mungkn diapun berusaha mengendorkan ketegangan yang mencengkam hatinya dan membangkitkan semangat yang ada. Para pengejar yang melihat kedua orang itu tidak lagi lari, mengendurkan lari mereka. Sekarang mereka berjalan lebih perlahan, merekapun sadar, sebentar lagi akan terjadi pertarungan. Tidak ada yang ingin mencapai kedua orang buruan mereka terlebih dahulu dengan nafas terengah-engah dan tenaga yang membuyar. Itu sama saja mengirimkan nyawa dan teman-temannyalah yang akan menarik keuntungan. Setapak demi setapak, mereka pun semakin dekat. Debaran jantung kedua orang muda itu pun semakin sulit dikendalikan. Namun setidaknya tenaga mereka sudah pulih sebagian. Nafas mereka sudah tidak lagi memburu. Pedang dan golok di tangan digenggam dengan mantap. Ketegangan yang mereka rasakan, tidak membuat mereka menjadi panik, namun dialihkan menjadi dorongan semangat berjuang. Mereka yang mengejar kedua orang muda itu nampaknya memahami benar keadaan keduanya. Itu sebabnya mereka pun mendekat dengan hati-hati. Salah seorang di antara mereka yang berperan sebagai pemimpin, menggerakkan tangannya dan dengan rapi mereka pun menyebar, perlahan-lahan bergerak mengepung kedua orang muda itu. Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu bergerak sehati, perlahan-lahan mengubah posisi tubuh mereka mengikuti gerakan lawan, menjaga agar lawan selalu berada dalam jarak pandang mereka. Ketika lawan membentuk kepungan dalam bentuk lingkaran yang sempurna, kedua orang muda itu pun sudah beradu punggung dan saling menjaga. "Sebaiknya kalian berdua menyerah saja. Aku tahu kalian berdua berasal dari keluarga pesilat, namun kami pun bukan orang yang tidak pernah mengayunkan pedang sebelumnya. Kalian masih muda, selama kalian masih hidup, masih ada harapan untuk bangkit kembali.", ujar pemimpin kelompok itu membujuk mereka untuk menyerah. Sambil mengertakkan gigi Huang Ren Fu menjawab. "Hmph! Orang she Huang boleh mati tak boleh dihina. Jangan berpikir untuk melemahkan semangat kami!" Lama mereka terdiam, akhirnya pemimpin kelompok lawan pun berkata. "Baiklah aku mengerti, kulihat kalian sudah bertekad untuk melawan sampai titik darah penghabisan. Meskipun Tuan Tiong Fa menghendaki kami untuk menangkap kalian hidup-hidup, tapi sepertinya aku tidak akan bisa memenuhinya." Rupanya pemimpin kelompok ini bukannya orang yang tidak berperasaan. Meskipun dia menjadi orang upahan Tiong Fa, dia bisa memahami perasaan kedua orang buruannya. Tidak menangkap salah, tapi menangkap mereka hidup-hidup hanya akan membuat mereka lebih menderita. Ada kalanya hidup lebih menderita dari mati, meskipun bisa diperdebatkan apakah memang mati lebih baik daripada hidup. Ada yang lebih takut hidup menderita daripada takut mati, ada pula orang yang lebih takut mati daripada hidup dalam penderitaan dan kehinaan. "Awas serangan!", seru pemimpin gerombolan upahan Tiong Fa mengawali serangan. Dengan seruan itu dimulai pula pertarungan seru antara kedua belah pihak. Dua orang muda itu bertarung bagaikan serigala yang terpojok. Golok dan pedang mereka menyambar-nyambar lawan tanpa ampun. Huang Ying Ying mungkin tidak sekuat lawan-lawannya, namun dengan pedang di tangan dia mampu menutupi hal itu dengan kecepatannya. Beberapa kali lawan yang lengah harus menahan nyeri ketika pedang gadis itu menumpahkan darah. Tapi lawan terlalu banyak dan kedua orang muda itu pun harus mengakui bahwa ilmu mereka masih kurang dalam hal pengalaman. Perlahan-lahan, pakaian mereka mulai berwarna merah, oleh darah yang mengucur dari luka akibat senjata lawan. "Jika kalian ingin menyerah, menyerahlah. Kapan saja kalian menyerah aku akan menghentikan serangan. Namun jika kalian memang menghendaki kematian, akupun tidak akan menghalangi niat kalian.", seru pemimpin lawan sambil sedikit mengendurkan tekanannya atas Huang Ren Fu. Menggunakan kesempatan yang singkat itu, Huang Ren Fu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan tegas dia menjawab. "Cuma satu jalan untuk membawa kami pergi ke tempat anjing Tiong Fa, yaitu sebagai mayat." "Baiklah, sekali lagi kukatakan, setiap saat kau merasa ingin menyerah, katakan saja dan aku akan menghentikan serangan." Kemudian melihat ke sekeliling pada setiap orang-orangnya yang ikut menghentikan serangan dia menekankan,"Kalian mengerti?" "Kami mengerti", jawab mereka serempak. "Serang!", dengan seruan itu sekali lagi pertarungan dimulai. Keadaan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying sudah sangat payah, entah sengaja atau tidak tekanan lebih banyak ditujukan pada Huang Ren Fu. Lengan pemuda itu sudah mulai terasa kejang, dalam satu serangan dia dipaksa untuk menangkis serangan lawan. Kelelahan sudah tidak tertahankan, goloknya terlempar lepas dari tangan. Dua buah pedang menyambar, menyusul serangan yang tadi berhasil dia tangkis. Kata orang, pada saat kematian datang menjemput, berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau berkelebat cepat dalam benakmu. Saat Huang Ren Fu menyadari kematiannya akan datang sebentar lagi, entah apa yang mengisi benaknya. Tangannya bergerak secara naluriah, untuk melindungi bagian-bagian vital dari tubuhnya yang diserang lawan. Namun dia tahu yang dia lakukan sia-sia belaka. Tangan yang terdiri dari daging dan tulang tidak akan menang melawan logam yang sudah diasah tajam. Jika lawan kurang kuat, lengannya akan terluka dan serangan selanjutnya baru akan menembus tubuhnya. Jika dia beruntung berhadapan dengan lawan yang tangguh, senjata lawan akan menebas lengannya dan terus menebas tubuhnya tanpa terhenti oleh daging dan tulang. Tapi di saat dia sudah pasrah menanti tajamnya bilah pedang lawan mencacah tubuhnya, gerak pedang lawan tiba-tiba terhenti. Seperti membentur sesuatu yang keras di tengah jalan. Lapangan yang tadi riuh oleh teriakan dan dentang besi beradu dengan besi, sekarang menjadi sunyi. Butuh waktu beberapa saat sebelum Huang Ren Fu menyadari keadaan di sekitarnya. Dan beberapa saat lagi sebelum panca inderanya bekerja dengan wajar dan dia merasakan kehadiran seseorang di dekat dirinya dan Huang Ying Ying. Terkejut pemuda itu mundur selangkah dan menoleh ke samping. Huang Ying Ying rupanya juga sudah merasakan kehadiran orang itu dan sekarang berada di sisi Huang Ren Fu, memandang penolong mereka. Berdiri di sana seorang tua dengan baju compang-camping. Seluruh rambutnya sudah memutih, di tangannya dia memegang sebuah tongkat. Roman mukanya seperti monyet, semakin berkesan demikian dengan kerutan yang memenuhi wajahnya, demikian pula tubuhnya yang kecil dan bungkuk. Namun dari penampilan yang tidak mengesankan itu muncul wibawa yang besar. Tertawa terkekeh kakek tua itu pun berujar. "Ong Bun kecil, aku tahu kesusahanmu tidaklah kecil. Barang kawalan dirampas orang, dua orang saudara angkatmu mati dalam pengawalan. Tuan besar yang menyewa dirimu pun menyita habis seluruh hartamu sebagai ganti rugi atas hilangnya barang kawalan. Tapi apa perlu dirimu jadi pesuruh dari orang licik macam Tiong Fa?" Rupanya pemimpin gerombolan yang mengejar Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying itu bernama Ong Bun, bekas kepala dari sebuah jasa pengawalan. Terdesak oleh hutang akhirnya jadi orang upahan Tiong Fa. Ditegur sedemikian rupa oleh orang tua tersebut, wajah Ong Bun berubah jadi pucat. Salah seorang anak buahnya menggeram dan memaki. "Orang tua, jangan sembarangan mengeluarkan perkataan. Tuan besar Ong Bun bukanlah orang yang boleh kau hina seenaknya!" "Hoho, anjing kecil berani juga menyalak", ujar orang tua itu sambil tertawa. "Keparat! Siapa yang kau panggil anjing?", seru orang yang merasa tersindir itu dengan marah. Ong Bun yang melihat gelagat kurang baik berusaha mencegah anak buahnya dan berteriak. "Tahan!" Namun teriakan itu terlambat keluar, dua bilah pedang sudah berkelebat dengan cepat mengancam orang tua itu. Yang seorang menyerang sambil bergulingan membabat kaki. Yang seorang lagi melompat setinggi dada, sebuah kakinya melayang menendang bahu sementara pedang di tangan bergerak membacok ubun-ubun orang tua itu. Serangan mereka cukup cepat, Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying tidak sempat bertindak, mereka berdua masih belum pulih dari rasa kaget mereka akan kemunculan orang tua itu yang begitu tepat waktu menyelamatkan mereka, lagipula mereka sedang di tengah pembicaraan. Lain dua orang muda itu, lain pula orang tua itu. Meskipun usianya lebih lanjut, namun kewaspadaannya justru lebih tajam dari mereka yang lebih muda. Diserang dari dua arah dengan tiba-tiba, tidak membuatnya gugup. Dengan satu lompatan dia menendang ke atas, tepat mengenai kaki lawan yang mengarah ke bahunya. Terdorong ke atas oleh tendangan itu, otomatis bacokan ke arah ubun-ubun pun kehilangan tenaganya karena terhalang oleh kaki dan badan sendiri. Di saat yang sama golok yang membabat kaki dihindari. Tongkat di tangan pun tidak diam saja, dengan sebat lawan yang masih berada di atas disodok ulu hatinya. Pada saat turun pun orang tua itu tidak hanya turun begitu saja. Di saat melompat dia melompat dengan ringan, di saat turun dia turun seperti batu gunung yang berguguran. Kuda-kudanya kokoh kuat menancap ke tanah, tepat menginjak tangan lawan yang memegang golok. Suara tulang yang patah terdengar nyaring, diiringi teriakan kesakitan dari dua orang lawannya. Cukup panjang jika diceritakan, tapi sesungguhnya terlihat sederhana bagi mereka yang melihatnya. Sederhana, hanya saja tiap gerakan tepat dilakukan, baik tempat dan waktunya. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat pameran keahlian itu tidak ada yang berani lagi sembarangan maju. Apalagi Ong Bun sendiri sudah berteriak memerintahkan mereka untuk menahan serangan. Berbeda dengan anak buahnya, Ong Bun sejak tadi sudah merasakan bahwa orang tua di hadapannya itu tidak boleh diremehkan. Bukankah tadi dia dan dua orang anak buahnya yang lain, sudah merasakan betapa mudahnya orang tua itu menyelinap di antara mereka dan Huang Ren Fu, kemudian menghentikan serangan mereka? Lalu orang tua itu pun menunjukkan pengetahuannya tentang keadaan mereka, sementara mereka belum mengenali orang tua itu. Ditambah lagi sejak awal Ong Bun sudah merasa dirinya berada di pihak yang bersalah. Ong Bun ini dulunya sempat berguru di biara Shaolin, setelah menyelesaikan satu dari 72 warisan Shaolin, dia kemudian keluar untuk mencari pengalaman di dunia persilatan. Dalam perjalanannya dia bertemu dua orang sahabat, kemudian saling mengangkat saudara dan mendirikan satu biro pengawalan. Tahun berjalan, biro pengawalan mereka semakin besar. Siapa sangka saat mereka mendapat pesanan antar dari seorang pejabat tinggi negara, satu terobosan bagi biro pengawalan mereka, justru mereka mendapatkan masalah. Bukan hanya gagal mengawal barang, dua orang sahabatnya ikut gugur dalam menjalankan tugas. Sudah jatuh tertimpa tangga, pejabat tinggi tersebut menuntut tanggung jawab dari biro pengawalan mereka. Demi agar tidak terjerat oleh hukum, harta simpanan yang ada semuanya diberikan. Dalam keadaan putus asa dan Ong Bun masih memiliki rasa tanggung jawab terhadap anak buahnya, keluarga saudara angkat yang ditinggalkan dan juga keluarganya sendiri. Di saat terjepit itulah Tiong Fa datang menawarkan bantuan. Meskipun reputasi Tiong Fa sudah sangat buruk di dunia persilatan, demi rasa setia kawan, Ong Bun menelan harga dirinya dan menutup mata hati nuraninya. Siapa sangka, hari ini dia harus berhadapan dengan orang tua yang menegurnya sedemikian rupa, tepat menusuk di tempat yang paling lemah dalam hatinya. "Tetua memang mudah untuk mengatakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi terkadang kehidupan tidak semudah itu. Jalan manapun yang kupilih, semuanya tampak salah di mataku.", ujar Ong Bun dengan suara berat. "Hmm benarkah demikian?", tanya orang tua itu. "Tetua, jika aku tidak merendahkan diri dengan menjadi orang upahan Tiong Fa, maka anak isteriku, anak isteri saudara angkatku dan juga pengikutku dan keluarga mereka akan kelaparan. Bisakah aku sebagai seorang pemimpin, saudara dan kepala keluarga membiarkan hal itu terjadi?", tanya Ong Bun menolak untuk disalahkan. "Hoo anak isterimu adalah satu hal, tapi mengapa pula kau menaruh di atas pundakmu, anak isteri dari saudara angkatmu, juga anak isteri dari sekian pengikutmu?", orang tua itu balik bertanya. "Ong Bun, janganlah sombong. Seorang manusia tetaplah hanya seorang manusia. Kau bukan dewa, jika memang pundakmu hanya mampu menanggung beban keluargamu sendiri, mengapa pula kau memaksakan diri untuk menanggung beban orang lain? Apakah kau pikir dengan tindakanmu sekarang ini, kau berbuat baik bagi mereka? Bukankah yang kau lakukan sekarang ini tidak ubahnya menarik mereka semua, bersama-sama masuk ke dalam kubangan lumpur?", tanya orang tua itu kepada Ong Bun. Kemudian dengan tongkatnya dia menunjuk pula sekian banyak orang-orang Ong Bun dan berkata pula. "Salahkah aku jika aku memanggil kalian anjing? Kalian hanya mengenal kesetiaan, tapi tidak memiliki kebijakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seperti anjing yang hanya tahu setia pada tuannya, tanpa mau tahu apakah tuannya itu memilih jalan yang benar atau yang salah." "Apakah demikian yang namanya kesetiaan seorang manusia? Jika kalian setia pada Ong Bun sebagai seorang manusia, sudah selayaknya kalian mengingatkan dia jika dia mengambil jalan yang salah." Perkataan orang tua itu membangkitkan berbagai macam perasaan yang berbeda di hati setiap orang yang mendengarnya. Mereka yang sudah lama merasa sudah mengambil keputusan yang salah dengan bekerja untuk Tiong Fa, mendapatkan bentuknya dari ucapan orang tua tersebut dan merasa bersyukur sudah mendengarnya. Tapi mereka yang mengikuti Tiong Fa demi upah, entah Ong Bun mengajak ataupun tidak, merasa risih dan tertuduh oleh perkataan orang tua itu. Tiba-tiba salah seorang dari anak buah Ong Bun menyarungkan kembali pedangnya, menghadap ke arah Ong Bun orang itu membungkuk hormat dan berkata. "Ketua Ong, sudah lama aku mengikutimu dan tidak pernah aku menyesalinya sedikitpun. Hari ini aku ingin mengucapkan salam perpisahan, meskipun dalam hati kau tetap seorang pemimpin bagiku. Maafkan aku, jika beberapa waktu terakhir ini, aku sudah menjadi beban bagimu, hingga Ketua Ong harus menginjak jalan yang penuh lumpur. Aku hanya bisa berdoa, suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik." Satu per satu, jumlah orang yang berpamitan bertambah. Ong Bun berdiri dalam diam merenungi kejadian ini. Tapi tidak semua merasakan hal yang sama. Salah seorang dari mereka tiba-tiba berteriak keras. "Pengecut kalian semua! Kalian lari ketika bertemu musuh yang kuat, meninggalkan Ketua Ong Bun sendiri dan kalian menyebut diri kalian sebagai pengikut yang setia? Puihh! Pergi saja kalian!" Dengan teriakan itu muncullah teriakan-teriakan yang lain. Dari teriakan berubah jadi makian dan tiba-tiba kelompok yang tadinya berdiri dalam satu barisan kini terpisah menjadi dua. Satu kelompok yang hendak memisahkan diri dan mundur dari pertarungan dan yang lain yang ingin tetap bertahan. Ong Bun berdiri terpaku melihat pengikutnya siap untuk saling berkelahi antar diri mereka sendiri. Sejenak laki-laki itu menutup mata. Saat dia membuka matanya kembali, sinar yang dulu hilang sudah kembali. "Hentikan! Berhenti kalian semua!", seru Ong Bun, teriakannya mengguruh mengatasi caci maki gusar dari para pengikutnya yang siap saling menumpahkan darah. Semua terdiam, tatapan mereka tertuju pada diri Ong Bun. "Mulai hari ini, jangan panggil aku lagi Ketua Ong. Selama ini aku sudah menipu diriku sendiri. Jika aku sendiri tidak mampu berjalan dengan benar, bagaimana mungkin aku bisa memimpin orang lain untk berjalan bersama denganku?", ujar Ong Bun dengan tenang. Sudah sekian lama mereka tidak melihat Ong Bun yang berdiri dalam keyakinannya sendiri, sehingga ketika dia kembali pada dirinya, seakan-akan dia menjadi orang yang berbeda. Tapi bagi mereka yang masih ingat akan Ong Bun yang dulu, mereka diingatkan kembali akan sosok Ong Bun yang membuat mereka menjadi pengikutnya dengan hati rela. Berbalik pada orang tua itu, Ong Bun mengangguk hormat, membungkuk dalam-dalam dan berkata. "Tetua, jika boleh aku mengenal namamu. Biar akan kuingat hari pertemuan kita ini dan di setiap doaku akan kuingat nama anda." "Hmm tidak malu kau pernah belajar di Shaolin. Baiklah, namaku adalah Hua Ng Lau, kau tidak perlu memanggilku tetua, panggil saja Si tua Ng Lau.", jawab orang tua itu sambil tersenyum ramah. Hilang sudah kegarangannya, bersamaan dengan ucapan Ong Bun yang mengakui kesalahannya. Sebaliknya wajah Ong Bun berubah begitu dia mendengar nama orang tua itu. "Tetua Hua rupanya anda" Tapi Hua Ng Lau mengulapkan tangannya tanda dia tidak ingin Ong Bun melanjutkan kata-katanya. Melihat itu Ong Bun pun mengangguk-anggukkan kepala. "Tentang dua orang muda ini, mereka adalah", Ong Bun berujar sambil menunjuk ke arah Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying. Namun kata-katanya terputus sekali lagi oleh gerakan tangan Hua Ng Lau. "Tak perlu kau katakan, hal itu aku sudah bisa menduga-duganya sendiri. Sekarang kau pergilah bersama dengan mereka yang masih mau mengikutimu. Carilah jalan yang baik untuk mencari penghidupan, asalkan seseorang mau mencari jalan, langit tentu tidak menutup mata." "Dan bagi kalian", kali ini orang tua itu menatap ke arah para pengikut atau bekas pengikut Ong Bun. "Ingatlah hal ini, bahwa siapapun yang kalian ikuti, tidak berarti melepaskan tanggung jawab kalian sebagai pribadi demi pribadi. Kalianpun adalah manusia-manusia yang memiliki hak dan kewajiban untuk memilih jalan hidup kalian masing-masing." Beberapa orang dari mereka menganggukkan kepala dengan tulus merenungi perkataan orang tua itu. Sebagian yang tidak ingin menerima kekalahan, namun juga tidak berani untuk meneruskan pertarungan, melihat banyaknya kawan, bahkan Ong Bun sendiri yang memutuskan untuk mundur dari pertarungan. Hua Ng Lau dan kedua bersaudara Huang hanya memandangi mereka yang perlahan-lahan pergi meninggalkan tempat itu. Memandangi punggung-punggung mereka yang semakin lama semakin menjauh. Ada yang berjalan kembali ke arah kediaman Tiong Fa dengan sumpah serapah di dalam hatinya. Ada pula yang menempuh jalan lain dengan satu hati yang ringan dan bersih. Tapi setiap orang harus memilih jalannya sendiri, karena setiap orang akan dimintai pertanggungan jawabnya sendiri oleh langit. Menanti mereka semua pergi, Hua Ng Lau membalikkan badan dan memandangi kedua orang bersaudara itu, lalu dengan senyum ramah dia bertanya. "Maukah kalian ikut denganku?" Di lain tempat orang-orang yang mengejar kedua bersaudara dan memutuskan untuk tetap bekerja pada Tiong Fa kembali dengan wajah menunduk dan hati berdebar. Sudah bisa mereka bayangkan hukuman dan makian yang akan mereka terima. Namun hal itu tidak membuat mereka memilih jalan yang lain. Bagi beberapa orang sepertinya hanya ada satu jalan yang terbuka. Sayangnya mereka memilih untuk mencarinya pada orang seperti Tiong Fa, karena yang mereka temukan hanya sebuah bangunan yang kosong. Di perbatasan kota itu, sebuah rombongan kecil pedagang sedang berjalan dengan santai. Beberapa buah kereta berjalan beriringan di belakang mereka. Setiap kereta dijaga oleh beberapa orang, di masa di mana penjahat masih berkeliaran di jalan-jalan antara satu kota dengan kota yang lain, hal ini bukanlah pemandangan yang aneh. Bersenda gurau di bagian paling depan adalah Tiong Fa bersama beberapa orang pengikut utamanya. "Tuan Tiong Fa, apa yang akan terjadi dengan dua orang bersaudara itu?", tanya seorang dari mereka. "Hmm hal ini tergantung juga dengan nasib baik dua orang bersaudara itu. Jika nasib mereka buruk, mereka akan mati di tangan Ong Bun.", jawab Tiong Fa. "Bagaimana jika Ong Bun berhasil menangkap mereka hidup-hidup?" "Oh jika demikian, saat Ong Bun mendapati rumah sudah kosong, dia tentu akan melepaskan kedua orang bersaudara itu." "Tapi kulihat beberapa orang di antare mereka bukan orang baik-baik. Jika Ong Bun mati dalam pertarungan dan yang menggantikannya adalah orang-orang itu" "Hahaha, maka nasib kedua orang bersaudara itu akan jauh lebih buruk, tapi tetap hidup. Karena buat mereka, seorang gadis cantik yang hidup tentu lebih baik daripada sebuah mayat. Dengar, apapun yang terjadi dengan dua orang bersaudara itu, setidaknya mereka sudah tidak lagi menjadi beban buat kita. Tapi jika mereka ternyata berhasil hidup dan lolos, maka itu lebih baik.", ujar Tiong Fa. "Hmm kami kurang mengerti maksud Tuan Tiong Fa.", ujar salah seorang dari mereka. "Hohoho, bukankah mudah untuk dimengerti. Dengan sengaja kubuat mereka harus berjuang keras untuk bebas. Menderita penghinaan dan kesusahan. Jika setelah semua perjuangan itu mereka mendapati Ding Tao yang mengambil alih kekayaan dan kekuasaan keluarga Huang sudah melupakan nasib mereka. Kira-kira bagaimana perasaan kedua orang bersaudara itu? Kira-kira bagaimana perasaan nona muda Huang ketika mendapati cintanya sudah dilupakan?", ujar Tiong Fa berusaha menjelaskan. "Hahahaha, salah satu penyangga Ding Tao yang terbesar saat ini adalah sisa-sisa keluarga Huang. Kemunculan kedua orang bersaudara itu akan mengambil penyangga itu dari dirinya. Dan mereka tidak akan dengan mudah mau mendukung Ding Tao. Tidak, setelah apa yang mereka alami hari ini.", ujar Tiong Fa sambil tertawa terbahak-bahak. Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying mungkin mengira bahwa mereka berhasil lolos dari cengkeraman Tiong Fa oleh kesiap sediaan mereka. Atau mungkin karena kelalaian Tiong Fa, tapi Tiong Fa tidak lalai hariitu. Dia tidak lalai saat dia melemparkan pedangnya di dekat Huang Ren Fu. Tidak juga lalai saat dia mengajak dua orang bodoh dengan nafsu besar yang mudah kehilangan kewaspadaan saat melihat kulit putih mulus, untuk menemani dia. "Tapi bagaimana jika ternyata dua orang bersaudara itu tidak juga membenci Ding Tao setelah apa yang kita lakukan hari ini?", tanya salah seorang pengikut Tiong Fa. "Hmm itu akan sangat menjengkelkan, tapi itu adalah tanda bahwa kita harus mencari tempat untuk tidur panjang beberapa tahun lamanya. Jika setelah melewati penghinaan sedemikian rupa dan mendapati Ding Tao sudah menikahi wanita lain, namun Huang Ying Ying tidak juga membencinya. Itu tandanya Ding Tao bukan orang yang mudah untuk dihadapi. Tahu kekuatan lawan dan tahu kekuatan sendiri. Tahu kapan harus bersembunyi dan kapan memunculkan diri. Memiliki kesabaran untuk diam dan menunggu. Kalian mengerti?", ujar Tiong Fa menjelaskan. "Ya kami mengerti.", jawab mereka serempak. Tiong Fa mungkin seorang bajingan, tapi dia bajingan dengan otak yang licin. Kembali pada Huang Ren Fu, Huang Ying Ying dan Hua Ng Lau, pertanyaan Hua Ng Lau menyadarkan kedua orang bersaudara itu. Sebelumnya sejak kedatangan orang tua itu yang terjadi dengan tiba-tiba, percakapan antara orang tua itu dengan Ong Bun dan anak buahnya, semuanya seperti mimpi dan khayalan yang tidak nyata. Tadinya mereka sudah bersiap-siap untuk menyongsong kematian, kemunculan Hua Ng Lau sungguh di luar dugaan. Bahkan ketika Ong Bun dan anak buahnya memencar pergi, mereka masih belum percaya bahwa mereka akhirnya selamat, luput dari cengkeraman dewa kematian. Begitu tersadar, keduanya cepat menjatuhkan diri untuk berlutut dan mengucapkan terima kasih. "Tetua Hua kami berhutang nyawa padamu. Budi baik ini entah kapan kami bisa membalasnya.", ujar Huang Ren Fu sambil menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih Tetua Hua", sahut adiknya dengan tenggorokan tercekat dan sedikit terisak. Rasa syukur memenuhi rongga dada keduanya, Huang Ying Ying yang lebih perasa sudah mulai meneteskan air mata. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata syukur dan bahagia. Orang tua itu hanya tertawa terkekeh sambil membangunkan kedua orang muda itu. Badannya memang kecil dan bungkuk, tapi nyata tenaga yang besar tersembunyi di dalamnya. Dengan mudah dia menegakkan tubuh dua orang muda itu. "Hahahaha, jangan panggil aku tetua, panggil saja Kakek Hua. Berdirilah kalian anak baik ayo kita cari dulu tempat yang enak untuk mengobrol.", ujarnya dengan ramah. Keduanya pun berjalan mengikuti Hua Ng Lau. Orang tua itu berjalan dengan pasti, seakan sudah hafal daerah kumuh tersebut. Dia tidak mengambil jalan keluar dari lingkungan yang kumuh itu, melainkan berjalan menuju ke salah satu rumah dalam lingkungan yang kumuh itu. Melalui beberapa lorong sempit dan halaman rumah yang dipenuhi gantungan cucian, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang terlihat bersih dan rapi. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Rumah itu tidak mewah, hanya sebuah rumah yang dibangun dari bambu dan beratapkan daun. Namun berbeda dengan rumah lain, rumah ini terpelihara dan rapi, dengan kebun yang ditanami berbagai macam tanaman, di pelatarannya terlihat beberapa macam dedaunan dan akar-akaran yang sedang dijemur dan dikeringkan. "Ayolah, kita duduk-duduk di dalam", ujar orang tua itu sambil membuka pintu. Dengan sopan kedua orang muda itu pun ikut masuk ke dalam. Menunggu orang tua itu duduk terlebih dahulu, barulah mereka ikut duduk di bangku yang ditunjukkan. Hua Ng Lau menganggukkan kepala melihat kesopanan kedua orang muda itu. "Hmm apakah benar kalian ini adalah dua orang kakak beradik, putera dan puteri Huang Jin, yang selamat dari pembantaian keluarga Huang di kota Wuling?" Sejenak Huang Ren Fu saling berpandangan dengan Huang Ying Ying, keduanya sudah begitu dekat sebagai saudara. Apalagi mengalami penderitaan bersama-sama, tanpa terucap satu kata pun, mereka sudah saling tahu, bahwa Huang Ying Ying menyerahkan percakapan itu pada kakaknya. Huang Ren Fu pun berpikir sejenak sebelum menjawab. "Benar sekali Tetua eh maksudku Kakek Hua. Namaku Huang Ren Fu dan ini adikku Huang Ying Ying." "Hmm jadi benar dugaanku", jawab Hua Ng Lau. "Dari mana Kakek Hua tahu bahwa kami dua bersaudara dari keluarga Huang di Wuling?", tanya Huang Ren Fu ingin tahu. "Sejak penyerangan di Wuling sampai hari ini, kira-kira sudah hampir 9 bulan berlalu. Selama itu kalian terus berada di dalam sekapan Tiong Fa tentunya kalian belum tahu betapa banyak perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan dalam waktu yang singkat itu. Jika kalian tahu tentu tidak akan sukar bagi kalian untuk menduganya.", ujar Hua Ng Lau menjawab. "Kalau Kakek Hua tidak keberatan, maukah Kakek menceritakannya pada kami?", ujar Huang Ren Fu dengan penuh keingin tahuan. Tentu saja sekilas berita tentang apa yang sudah dan sedang terjadi sudah mereka tangkap dari ocehan Tiong Fa sesaat sebelum mereka melarikan diri dari cengkeraman Tiong Fa, namun siapa yang mau percaya dengan manusia yang berlidah ular? Berbeda dengan Hua Ng Lau, bukan saja dia merupakan penolong mereka, namun dari apa yang mereka tangkap Hua Ng Lau sungguh berbeda dengan Tiong Fa. Meskipun baru saja bertemu, namun dalam hati, mereka merasa bahwa kakek tua ini bisa dipegang perkataannya. "Aku mengerti, kalian pasti ingin tahu dengan apa yang terjadi selama kalian dalam sekapan Tiong Fa, terutama dengan hal-hal yang berkenaan dengan nasib keluarga kalian. Aku tidak tahu, apakah yang akan kuceritakan ini akan membuat kalian merasa bersyukur atau justru merana. Aku jenis orang yang percaya bahwa tahu yang sebenarnya lebih baik daripada bahagia dalam penipuan. Tapi sebelum aku memulai, aku ingin kalian berusaha mendengar kisahku ini dengan bijaksana. Tidak ada yang terjadi di muka bumi ini, yang tidak ada hikmahnya. Kalian mengerti maksudku?", tanya orang tua itu pada keduanya. Huang Ren Fu mengambil nafas dalam-dalam sebelum menjawab, dari penuturan Hua Ng Lau sebelum bercerita dia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi selama mereka disekap sudah tentu tidak indah bagi pendengaran mereka berdua. Tanpa bisa dicegah jantungnya berdegup lebih kencang. Setelah hatinya tenang dia pun menjawab. "Kami mengerti Kakek Hua, orang yang picik hanya bisa menyesali keadaan yang buruk dan bersombong sewaktu keadaan baik. Namun orang yang bijak bisa mengambil hikmah dari kejadian yang buruk dan waspada sewaktu keadaan baik." "Ya, kurang lebih seperti itu. Tidak ada manusia yang sempurna. Tapi manusia yang bijak bisa merenungi setiap keadaan dirinya, entah baik atau buruk dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan. Dengan demikian, baik buruknya keadaan yang menimpa dirinya, dari waktu ke waktu dia menjadi semakin sempurna sebagai manusia.", ujar Hua Ng Lau. Huang Ying Ying yang sedari tadi diam tiba-tiba berkata. "Kakek Hua engkau berkata demikian, apakah berarti tidak ada kabar baik yang hendak kau sampaikan buat kami?" Hua Ng Lau tersenyum dengan lembut pada nona muda itu dan menjawab. "Baik dan buruk hanyalah ilusi, semuanya tergantung bagaimana caramu memahami satu peristiwa. Sesuatu yang dianggap buruk bisa menjadi pelecut semangat bagi kebangkitan di masa depan, jika sudah demikian apakah masih bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk?" "Sebaliknya satu kejadian yang baik, bisa membuat orang terlena dan jatuh dalam kesusahan, jika sudah demikian apakah masih bisa dikatakan sebagai sesuatu yang baik? Pahami hal ini baik-baik, jika kau sudah memahami hal ini dengan baik, aku akan menceritakan kejadian dalam dunia persilatan selama kalian disekap oleh Tiong Fa.", ujar Hua Ng Lau sambil menepuk bahu gadis itu. Cukup lama gadis itu terdiam, saling berpandangan dengan saudaranya, untuk kemudian menunduk dan menyeka pelupuk mata yang membasah. Hampir seluruh keluarga dan sahabatnya, dibantai habis dalam semalam. Apa ada yang lebih buruk lagi dari itu? Jika ada yang masih tersisa, maka itu adalah Ding Tao, laki-laki yang dikasihinya. Apakah yang satu itupun akan diambil dari dirinya? Apakah benar yang dikatakan Tiong Fa tentang Ding Tao? Tapi jika benar perkataan Tiong Fa tentang Ding Tao, bukankah dia masih memiliki kakaknya yang dia kasihi? Bukankah dia masih memiliki kebebasannya? Tidakkah dia harusnya bersyukur bisa lepas dari cengkeraman Tiong Fa? Sambil menguatkan hati gadis itu menengadah, menatap ke arah Hua Ng Lau dan menganggukkan kepala. "Kakek Hua, berceritalah. Aku tidak yakin apakah aku bisa menanggapinya dengan bijaksana, tapi percayalah aku akan berusaha mendengarkannya dengan hati dan pikiran yang terbuka. Tidak terburu-buru menilai, namun mengambil waktu untuk merenunginya." "Hmm baguslah kalau begitu. Baiklah kalau begitu aku akan mulai bercerita.", ujar Hua Ng Lau sambil tersenyum. Hua Ng Lau pun mulai bercerita tentang apa yang dia dengar dan ketahui, sejak dari peristiwa terbantainya keluarga Huang di Wuling, Tiong Fa yang mengembangkan sayap dan menguasai seluruh cabang-cabang bekas miliki keluarga Huang, kemunculan Ding Tao kembali di Wuling, serangan Ding Tao atas Tiong Fa, desas-desus akan pertarungan Ding Tao dengan ketua Partai Hoasan, berdirinya Partai Pedang Keadilan dan akhirnya sampai pada berita tentang pernikahan Ding Tao dengan Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Mengikuti cerita Hua Ng Lau, kedua bersaudara ini dibuat naik turun perasaannya. Kesedihan saat mengingat kehancuran keluarga Huang, bersemangat oleh pembalasan dendam Ding Tao atas Tiong Fa, khawatir saat Ding Tao berhadapan dengan Ketua Partai Hoasan dan kemudian dengan salah seorang Tetua dari Hoasan. Merekapun ikut bersyukur dengan keberhasilan Ding Tao. Dan merekapun tertegun mendengar kisah pernikahan Ding Tao dengan keluarga Murong. Huang Ren Fu dengan rasa khawatir memandangi raut wajah Huang Ying Ying, ketika akhirnya mereka sampai di titik itu. Huang Ren Fu yang beberapa tahun lebih tua, sudah beberapa kali merasakan apa yang dia kira sebagai cinta dalam hidupnya. Sebagai remaja dia pernah mengalami cinta monyet yang hanya bertahan beberapa bulan lamanya. Menjelang dewasa pernah pula dia jatuh cinta namun terpaksa melupakannya karena gadis yang dia kagumi sudah bertunangan dengan pemuda lain. Dengan pengalaman ini Huang Ren Fu tidak terburu-buru menilai Ding Tao seperti apa yang dituduhkan Tiong Fa, hanya karena Ding Tao menikahi gadis lain selain adiknya. Namun sebagai seorang kakak, dia juga bisa merasakan kepedihan Huang Ying Ying. Apalagi Ding Tao dan Huang Ying Ying sudah begitu dekat sekian lama, belasan tahun lamanya, meskipun perasaan cinta itu baru bersemi di akhir kebersamaan mereka. Di satu sisi adalah sahabat baiknya, di sisi lain adalah adiknya. Melihat kesedihan yang membayang di wajah Huang Ying Ying, ada pula rasa geram yang muncul dalam hatinya. "Nona itu maksudku isteri Kakak Ding Tao saat ini sedang menanti kelahiran anaknya?... Itu berarti dia sudah hamil 5 bulan saat menikah dengan Kakak Ding Tao?", tanya Huang Ying Ying sedikit terbata. Hua Ng Lau menganggukkan kepala. "Benar itu berita yang kudengar." "Jika demikian, setidaknya Kakak Ding Tao sudah mengenal nona itu ketika keluarga kami diserang", ujar Huang Ying Ying sambil memandang ke kejauhan. "Kira-kira begitu", jawab Hua Ng Lau. "Tapi Adik Ying Ying, Ding Tao tidak menikahinya hingga 5 bulan kemudian. Pada saat dia sudah berhasil membalaskan dendam keluarga Huang. Dari cerita Kakek Hua, juga bisa kita simpulkan bahwa selama itu Ding Tao tidak pula berusaha menemui gadis itu. Gadis itu yang datang menemui Ding Tao. Sebaliknya selama itu, justru dia berusaha mencari tahu tentang keberadaan kita berdua.", ujar Huang Ren Fu sambil menggenggam, lembut tangan adiknya. "Ya aku juga berpikir demikian", ujar Huang Ying Ying dengan lemah. Lama tidak ada seorangpun di antara mereka yang berbicara. Tidak Huang Ying Ying, tidak Huang Ren Fu, tidak pula Hua Ng Lau. Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau, mereka bisa membayangkan pergumulan batin yang sedang dilalui Huang Ying Ying dan karenanya memilih diam. Kedua orang itu hanya bisa menghela nafas saat Huang Ying Ying mengerjapkan matanya dan menghapus titik air mata yang hendak mengalir di pipinya. "Aku percaya pada ketulusan Kakak Ding Tao, hanya saja keadaan menentukan jalan yang berbeda bagi kami berdua.", ujar Huang Ying Ying sambil menahan isak. "Hmm baiklah kurasa kalian berdua sudah bisa memahami keadaan yang terjadi saat ini, keluarga Huang seperti yang dahulu kalian kenal sudah tidak ada, berganti menjadi Partai Pedang Keadilan di bawah pimpinan Ding Tao.", ujar Hua Ng Lau dengan lembut. "Kalau begitu, aku ingin menanyakan sesuatu pada kalian. Apa yang ingin kalian lakukan sekarang? Apakah kalian ingin kembali ke Wuling atau setidaknya kembali menemui orang-orang dari masa lalu kalian sebagai bagian dari keluarga Huang. Atau kalian ingin mencoba hidup yang baru. Melepaskan masa lalu kalian sebagai keluarga Huang?", tanya Hua Ng Lau pada kedua bersaudara itu. "Sebelum kalian memutuskan aku ingin memberi beberapa masukan pada kalian. Kembalinya kalian pada apa yang tersisa dari keluarga Huang, ada kemungkinan akan membuat keadaan yang sudah mulai tenang kembali bergoncang. Entah goncangan besar atau kecil, hal itu tidak bisa dikatakan dengan mudah. Tergantung dengan bagaimana kalian menyikapi keadaan sekarang ini.", ucap Hua Ng Lau segera setelah dia menanyakan hal itu. "Kalian bisa saja datang dan mengambil alih apa yang tersisa dari keluarga Huang, sebagai orang yang paling berhak atas warisan dari keluarga Huang. Jika demikian, itu berarti akan ada sebagian besar dari Partai Pedang Keadilan yang akan memisahkan diri. Atau bisa juga kalian datang hanya sebagai bagian lain dari sisa-sisa keluarga Huang. Mengikuti mereka yang sudah terlebih dahulu menggabungkan diri dengan Ding Tao. Meskipun tidak ada goncangan besar, namun tentu saja dengan kemunculan kalian akan ada penyesuaian dan ada singgungan-singgunngan yang muncul.", ujar Hua Ng Lau sambil memandang ke arah Huang Ying Ying. Dia tidak ingin menjelaskan dengan detail tapi berharap Huang Ying Ying bisa membayangkan sendiri bagaimana kemungkinan akan munculnya singgungan-singgungan baik dalam partai maupun dalam keluarga Ding Tao. Setelah mengambil nafas dalam-dalam Hua Ng Lau melanjutkan. "Atau jika kalian ingin memulai hidup yang baru. Aku memiliki satu tawaran bagi kalian." "Pertemuan kita yang terjadi oleh karena satu kebetulan, kupandang sebagai ketentuan langit. Beberapa hari ini, aku sering sekali memikirkan keadaanku yang tidak memiliki keluarga maupun pewaris untuk mewarisi ilmu dari keluarga Hua. Dalam keadaan seperti ini, bertemu dengan kalian yang kehilangan akar kalian, membuat aku berpikir." "Jika kalian bersedia, aku ingin mengangkat kalian sebagai pewarisku, menjadi murid-muridku yang bisa meneruskan ilmu yang sudah kupelajari. Agar tidak punah di tanganku, melainkan boleh diamalkan demi kebaikan sampai ke generasi- generasi yang selanjutnya.", ujar Hua Ng Lau sambil tersenyum pada kedua anak muda itu. Tawaran Hua Ng Lau itu tentu saja membuat kedua bersaudara itu terkejut bukan main. Mereka sudah menyaksikan sendiri kehebatan Hua Ng Lau saat menghadapi Ong Bun dan anak buahnya, jika dibandingkan tentu kehebatannya beberapa tingkat di atas kemampuan ayah mereka sendiri. Bagi Huang Ren Fu tawaran itu membuah pilihan menjadi mudah, kembali ke Wuling tidak berarti apa-apa lagi baginya, seluruh keluarganya sudah tiada. Usaha yang dulu dimiliki keluarganya sekarang sudah berada di tangan orang lain. Jika usaha itu masih berada di tangan Tiong Fa, mungkin masih ada keinginan untuk merebutnya kembali, namun sudah ada yang membalas dendam pada Tiong Fa dan sisa-sisa keluarga Huang sudah jatuh ke tangannya, orang itupun adalah sahabatnya sendiri, maka keinginan itu pun hampir-hampir tidak ada. Di lain pihak, melepaskan masa lalu juga berarti mendapatkan seorang guru yang mumpuni. Apalagi dari nama orang tersebut, ada satu ingatan tentang nama-nama tokoh besar dalam dunia persilatan. Seorang tokoh sakti yang juga pandai dalam hal pengobatan, bermarga Hua, menurut orang masih keturunan dari Hua Tuo di jaman tiga kerajaan. Tapi Huang Ren Fu masih ragu-ragu untuk memutuskan, keraguannya itu muncul karena Huang Ying Ying. Bagi Huang Ren Fu, sekarang ini Huang Ying Ying adalah orang yang paling berharga buatnya. Seluruh keluarganya sudah mati terbantai, tinggal adiknya seorang. Sementara Huang Ying Ying memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Ding Tao. Jika Huang Ying Ying memutuskan untuk menemui Ding Tao, maka Huang Ren Fu tidak akan tega untuk melepaskannya pergi sendirian, menghadapi situasi yang mungkin tidak mengenakkan. Bagaimanapun juga Ding Tao sudah berkeluarga, pertemuan mereka itu nanti, tentu akan penuh dengan perasaan yang serba salah. Karena itu, Huang Ren Fu tidak segera menjawab pertanyaan Hua Ng Lau, sebaliknya dia menoleh dan memandang ke arah Huang Ying Ying. Huang Ying Ying tentu saja bisa merasakan apa yang ada dalam hati kakaknya itu. Gadis ini pun berusaha memahami hatinya yang sedang tidak menentu. Ada kerinduan untuk bertemu kembali dengan Ding Tao. Ada ketakutan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja muncul jika dia bertemu kembali dengan Ding Tao. Setelah beberapa lama dia berpikir, dengan suara lirih dia bertanya. "Bisakah kita pergi diam-diam untuk mengunjungi Wuling? Aku ingin melihat bagaimana kehidupan Ding Tao sekarang ini, setelah itu aku akan mengikuti Kakak Ren Fu dan Kakek Hua." Huang Ren Fu memandangi adiknya dalam-dalam, kemudian dengan lembut bertanya. "Adik Ying Ying, sebenarnya apakah yang ada dalam hatimu? Jika kau ingin hidup bersama Ding Tao, aku akan menemanimu. Di dunia ini tinggal dirimu seorang keluargaku, apa pun keputusanmu aku akan menemanimu dengan senang hati. Jika memang ingin melepaskan diri dari masa lalu, apakah tidak lebih baik jika tidak usah melihatnya sekali lagi, meskipun dari kejauhan." "Tidak Kakak Ren Fu, aku sudah memutuskan untuk meninggalkan masa laluku, termasuk hubunganku dengan Ding Tao. Aku mengerti kedatanganku hanya akan membawa gangguan dalam rumah tangganya. Aku hanya ingin melihat dirinya sekali lagi.", jawab Huang Ying Ying. "Tidakkah hal itu akan membuat hatimu terluka nantinya?", tanya Huang Ren Fu dengan hati-hati. Huang Ying Ying tersenyum dan menjawab. "Hatiku tidak serapuh itu. Kakak Ren Fu dan Kakek Hua tidak perlu kuatir." Huang Ren Fu memandangi adiknya sebentar, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Hua Ng Lau. "Menurut Kakek Hua bagaimana" Hua Ng Lau dengan tertawa menjawab. "Ya sudah, kalau Anak Ying Ying sendiri sudah berkata demikian, aku percaya sepenuhnya. Jadi kalian mau menjadi pewarisku?" Sejenak Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying saling berpandangan sebelum menjawab dengan serempak. "Ya Kakek Hua, kami mau." Tanpa menunggu banyak aba-aba, keduanya pun segera menjatuhkan diri berlutut dan memberikan hormat pada Hua Ng Lau, sesuai dengan adat kebiasaan pada jaman itu ketika mengangkat seseorang menjadi guru. Dalam dunia persilatan, hubungan guru dan murid tidak sama dengan hubungan antara guru dan murid di masyarakat biasa. Hubungan guru dan murid adalah satu hubungan yang khusus, tidak ubahnya hubungan antara orang tua dengan anaknya. Selesai dengan segala tatacara yang biasa dilakukan, termasuk menyuguhkan teh dan sebagainya. Huang Ren Fu kemudian bertanya pula pada Hua Ng Lau. "Hmm apakah kami sebaiknya memanggil Guru Hua atau Kakek Hua saja?" "Hehehe, kalian lebih kuanggap sebagai cucuku sendiri, oleh karena itu, panggil saja aku kakek.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa bahagia. Huang Ying Ying pun tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Hua Ng Lau. Ada kalanya membuat orang lain bahagia, terasa lebih membahagiakan daripada mencari kebahagiaan bagi diri sendiri. Penderitaan yang dialami pun terasa lebih ringan, saat perhatian kita tertuju pada orang lain dan bukan berpusat pada diri sendiri. "Kakek, sebenarnya siapa julukan kakek dalam dunia persilatan?", tanya Huang Ying Ying dengan manja. "Jika cucu tidak salah, apakah kakek yang berjuluk Tabib Dewa?", ujar Huang Ren Fu yang dengan cepat ikut menyesuaikan diri. "Hahaha, kalian ini memang cucu kakek yang pintar. Ya, ada juga orang yang memanggilku demikian.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa. "Tabbib Dewa? Kalau begitu selain mahir ilmu silat, kakek tentu juga mahir ilmu pengobatan, pantasan di pelataran rumah ada banyak tanaman obat-obatan yang sedang dikeringkan.", sahut Huang Ying Ying. "Kakek, kakek pandai ilmu pengobatan dan juga bermarga Hua, apakah kakek masih keturunan dari Tabib Hua Tuo yang terkenal dalam sejarah itu?", tanya Huang Ying Ying yang berbicara tanpa henti. "Heh menurut orangtuaku demikianlah halnya.", jawab Hua Ng Lau dengan mata berbinar-binar. "Tapi setahuku, Tabib Hua Tuo tidak pandai bersilat, bagaimana kakek bisa jadi mahir pula bersilat?", tanya Huang Ying Ying sekali lagi. "Hmm kejadiannya seperti ini", ujar Hua Ng Lau membuka ceritanya. "Sebenarnya dari keluarga Hua, tidak banyak yang meneruskan ilmu keluarga mengikuti Kakek moyang kami Tabib Hua Tuo. Tapi setidaknya di setiap generasi harus ada satu anak yang berkewajiban meneruskan ilmu keluarga." "Sejak dari dulu, sebagai seorang tabib, hubungan antara penerus keluarga ilmu keluarga Hua dengan orang dari dunia persilatan memang tidak pernah putus. Namun prinsip kami adalah mengobati siapapun yang datang tanpa mau berpihak pada golongan tertentu. Tokoh-tokoh dunia persilatan pada umumnya menghargai keputusan ini dan tidak pernah mengganggu kami." "Siapa sangka, pada jaman kakek buyutku hidup, ada seorang tokoh dunia persilatan yang mendendam pada kakek buyutku, karena dia telah menyelamatkan nyawa dari musuh bebuyutannya. Tanpa menghiraukan kesepakatan yang tidak tertulis di masa itu, dia berusaha membunuh kakek buyutku itu." Sambil mengambil nafas Hua Ng Lau menghirup teh di cangkirnya sambil diam-diam melirik Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu yang sedang mendengarkan cerita Hua Ng Lau dengan penuh perhatian. Entah kenapa, kebanyakan orang tua memang suka bercerita dan kesenangan bercerita itu semakin berlipat saat pendengarnya mendengarkan dengan penuh perhatian. Demikian juga Hua Ng Lau, sudah lama orang tua ini hidup sendirian. Munculnya dua anak muda ini membawa semangat baru dalam hidupnya. "Lalu apa yang terjadi kemudian? Mengapa ada yang berani berusaha menyakiti kakek buyut, apakah dia tidak takut pada orang-orang dunia persilatan yang lain?", tanya Huang Ying Ying yang tidak sabaran. Senyum lebar terbentuk di wajah Hua Ng Lau. "Hee sabar sedikit biar kakek membasahi tenggorkan kakek dulu." Huang Ying Ying pun mendapatkan sodokan di pinggangnya dari kakaknya. Sambil meleletkan lidah, Huang Ying Ying segera bangkit dan mengisi cangkir Hua Ng Lau dengan teh. Setelah menghirup teh dalam cangkirnya untuk kedua kalinya dan berdehem beberapa kali, Hua Ng Lau kembali melanjutkan ceritanya. "Tokoh jahat yang berusaha menyakiti kakek buyut ini bukan orang sembarangan. Bisa dikatakan dia termasuk 4 besar dalam dunia persilatan di masa itu. Untung saja rencananya untuk mencelakai kakek buyut berhasil didengar oleh partai Kaypang." "Ketua Kaypang di masa itu, yang termasuk 4 besar juga, mengundang sahabatnya untuk menggagalkan rencana tokoh jahat itu. Pertarungan hebat pun terjadi sampai beberapa kali. Karena ilmu mereka memang hampir seimbang, Ketua Kaypang dan sahabatnya tidak pernah berhasil mengalahkan dengan telak. Meskipun mereka berhasil menyelamatkan nyawa kakek buyut, namun selama tokoh jahat itu masih hidup, bahaya terus saja mengancam." "Akhirnya Ketua Kaypang dan sahabatnya itu memutuskan untuk mengajarkan dua macam ilmu silat andalan mereka pada kakek buyutku. Dengan demikian diharapkan kakek buyut bisa melindungi dirinya sendiri dan tidak harus selalu bergantung pada perlindungan orang lain." "Sejak itu pula, selain mewarisi ilmu pengobatan, pewaris ilmu keluarga Hua, juga mewarisi ilmu silat.", ujar Hua Ng Lau menutup ceritanya. "Oh rupanya demikian. Kakek, ada hal yang membuatku heran. Bukankah ilmu keluarga Hua diwariskan turun temurun sampai beberapa generasi. Jika demikian, bukankah harusnya keluarga Hua sudah menjadi satu kekuatan yang besar? Ataukah di tiap generasi hanya boleh ada satu pewaris saja, sementara yang lain tidak mendapatkan bekal apa-apa sedikitpun?", tanya Huang Ying Ying sambil mengerutkan alisnya. "Hehehe, kami Keluarga Hua memang berbeda dengan yang lain. Sejak keturunan Tabib Hua Tuo yang pertama, kami sudah merasakan beratnya menyandang nama besar. Bukankah beliau akhirnya harus menderita hukuman mati oleh karena nama besarnya itu?" "Itu sebabnya hanya ada satu pewaris di tiap generasi dan hanya ada satu orang yang berhak menyandang nama marga Hua dari keturunan Tabib Hua Tuo. Hal ini pun dilakukan hanya agar ilmu itu tidak lenyap begitu saja.", ujar Hua Ng Lau menjelaskan. "Wah.. tapi bagaimana kali pewaris itu tidak memiliki keturunan atau mengalami kecelakaan? Apa tidak terlalu riskan dengan mempercayakannya pada satu orang saja?", tanya Huang Ying Ying sekali lagi. "Hehehe, sebenarnyalah demikian dan memang pernah terjadi demikian. Contohnya seperti diriku yang tidak memiliki keturunan. Dan pernah juga ada salah seorang pewaris ilmu keluarga Hua yang mati sebelum sempat mewariskannya pada seseorang.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa. "Lho jika begitu, kakek mendapatkan ilmu keluarga Hua dari siapa. Kok aku sekarang jadi bingung.", ujar Huang Ying Ying sambil menggosok-gosok ujung hidungnya yang mancung. "Hahahaha, hmm rupanya kalau tidak diceritakan sampai tuntas, kau tidak akan pernah puas.", jawab Hua Ng Lau sambil tertawa. Huang Ren Fu pun ikut tertawa, sejak mendengarkan jawaban Hua Ng Lau tentu saja dia sudah memiliki dugaan. Namun dia tidak ingin menjawabnya, dia lebih suka berdiam diri dan mendengarkan percakapan antara Huang Ying Ying dan Hua Ng Lau, karena terlihat jelas bagaimana keduanya menikmati percakapan itu. "Tentu saja tidak puas, karena itu kakek baik tolong ceritakan sampai tuntas", ujar Huang Ying Ying dengan manja. Ya, untuk sejenak lamanya segala penderitaan yang dialami Huang Ying Ying jadi terlupakan. Tidak salah keputusan Huang Ren Fu untuk berdiam diri. "Hehehe, ya,ya. Nah dengarkan baik-baik. Selain mewariskannya pada satu orang, kami penerus ilmu warisan keluarga Hua juga diwajibkan untuk menuliskan ilmu yang kami miliki serta pengembangannya di sebuah kitab. Kitab itu sendiri tersimpan di tempat yang aman. Sehingga bila terjadi sesuatu pada diri kami, jika langit mengijinkan dan ada orang yang berjodoh, ilmu itu masih ada yang meneruskan. Dan itulah yang terjadi saat salah seorang penerus keluarga Hua meninggal sebelum sempat mewariskan ilmunya.", jawab Hua Ng Lau. "Kalau memang salah seorang keturunan Tabib Hua Tuo meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan ilmu itu diwarisi lewat kitab, mengapa sampai sekarang penerusnya masih bermarga Hua? Apakah memang karena jodoh maka yang menemukannya juga orang bermarga Hua?", tanya Huang Ying Ying. "Tidak, bukan demikian. Saat itu penemunya tidak bermarga Hua, namun ketika dia menemukan kitab itu dan membaca pesan dari penulisnya. Hatinya tergerak oleh budi pekerti dari para penerus Tabib Hua Tuo dan diapun memutuskan untuk mengganti marganya menjadi Hua, demi meneruskan nama keluarga Hua yang terputus. Hal itu dia tuliskan dalam kitabnya dan sampaikan pada penerusnya. Sejak saat itu, setiap penerus ilmu keluarga Hua, otomatis memiliki nama marga Hua, meskipun jika sebelumnya mereka bukan bermarga Hua." "Kakek, jika demikian, apakah kakek berharap agar kami juga mengubah nama marga kami menjadi Hua?", Huang Ren Fu yang sejak tadi diam mendengarkan, sekarang membuka suara. Hua Ng Lau tersenyum lembut. Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH