Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 50


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 50


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Apalagi Ding Tao sendiri masih saja termangu-mangu di tempatnya, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Murong Yun Hua sudah mengkhianati dirinya.   Otaknya masih saja berputar berusaha mencari kemungkinan lain dari perangkap yang ada di hadapannya ini.   "Tidak mungkin dia bukan dia", demikian Ding Tao bergumam pada dirinya sendiri.   Beruntung mereka yang maju menyerang sampai saat itu belum bisa mencapai Ding Tao yang berada di tengah-tengah perlindungan pengikut-pengikutnya yang setia.   Pertarungan riuh itu baru sempat berjalan beberapa jurus, ketika sebuah raungan dengan suara rendah bergema, berbarengan dengan sebuah siutan tinggi menggetarkan setiap orang dan membuat gerakan mereka terhenti di tempatnya.   Dua bayangan berkelebat cepat ke arah Ding Tao.   Sebuah hawa serangan yang menderu, menyerang hebat ke arah Ding Tao dan para pengikutnya.   Begitu kuat hawa murni yang dihempaskan, sehingga kumpulan orang yang demikian banyaknya itu pun tersibak di hadapan dua orang tersebut.   Bahkan Ding Tao yang masih termangu pun dibuat bangkit semangat bertarungnya menghadapi serangan yang hebat itu.   Dalam sekejapan saja, segera hawa murni meledak ke segala penjuru, dua bayangan itu bukan lain adalah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.   "Ding Tao !!! Matilah kau !!!", seru Pendeta Chongxan dan pedangnya pun berputaran seperti pusaran angin putting beliung, mengancam segala yang ada di depannya.   Ilmu Ding Tao boleh saja seluas lautan, namun di hadapan serangan Pendeta Chongxan, pemuda itu hanya mampu menangkis dan bergerak mundur.   Belasan jurus berlalu dengan cepat tanpa Ding Tao mampu membalas, dalam sekejapan mata, segera saja Ding Tao terdesak mundur hingga keluar ruangan.   Tak urung keadaan di luar pun menjadi heboh dan kacau tak karuan.   Ketika di dalam ruangan terjadi huru hara, yang di luar sudah sibuk menduga-duga, begitu pintu pecah berhamburan dan tiga orang itu melesat keluar, keadaan pun jadi semakin kacau.   Habis jurus serangan Pendeta Chongxan, segera Bhiksu Khongzhen ganti menyerang.   Jika serangan Pendeta Chongxan seperti angin putting beliung, maka hempasan-hempasan hawa murni yang dilemparkan dari sepasang telapak tangan Bhiksu Khongzhen tak ubahnya badai di samudera yang mengamuk.   Serangan yang membabi buta, membuat keadaan semakin kacau, bukan hanya Ding Tao yang didesak mundur, mereka yang hendak mengejar pun dibuat terhenti di tempatnya.   Kemarahan Ding Tao sudah sampai di ubun-ubunnya, jika sejak tadi dia segan untuk mengangkat senjata melawan dia orang tokoh tua itu, lama kelamaan, habis pula kesabarannya.   Difitnah, dikhianati dan sekarang diserang tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.   Segala yang dibangun hancur pula dalam sehari, luapan emosi itu pun tak tertahankan lagi, hawa pedang pun berkesiuran menyambar dari kedua telapak tangannya.   Pedang Angin Berbisik tentu saja tak dibawa, karena Ding Tao datang bukan hendak berperang, melainkan untuk menikah dengan cinta pertamanya.   Tapi latihan yang dilakukannya selama berbulan-bulan sekarang baru ditunjukkan hasilnya, apalagi Ding Tao sama sekali tidak menahan-nahan tenaganya, ditambah dengan kemarahan maka hebatlah perbawa yang dihasilkan.   Belasan jurus pun berlalu, dua orang melawan satu orang.   Dua orang tokoh utama dari generasi tua, melawan tokoh utama dari generasi muda.   Masakan Ding Tao sehebat itu? Memang terlihat hebat pertarungan mereka, namun semarah-marahnya Ding Tao dia tidak jadi buta hatinya.   Pemuda itu pun mulai menyadari bagaimana dalam serangan-serangannya dua orang tokoh tua itu meninggalkan lubang-lubang tempat dia bisa meloloskan diri.   Dalam belasan jurus itu, sadarlah Ding Tao, betapa dua orang itu berniat baik pada dirinya.   Bukan hanya Ding Tao, orang yang punya otak dengan sendirinya sedikit banyak sadar apa yang sedang terjadi.   Namun siapa yang berani menuduh dua orang tokoh tua itu sedang bermain sandiwara.   Semakin lama, tentu saja semakin kentara, betapa mereka berdua memberi kelonggaran pada Ding Tao.   Seharusnya Ding Tao tahu diri dan menerima maksud baik orang, dan bukannya Ding Tao tidak tahu diri, tapi setiap kali dia hendak beranjak pergi, teringatlan dia pada para pengikutnya yang masih pula bertarung menghadang serbuan Zhong Weixia dan kawan-kawannya yang hendak menyerbu keluar.   Zhong Weixia tentu saja tidak buta, dia pun dengan cepat menyadari apa yang sedang terjadi, dasar otaknya licin dengan cepat dia menemukan kelemahan dalam rencana Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.   Dengan seringai licik dia pun memberikan perintah.   "Jangan bunuh seorang pun! Jangan sembarangan menumpahkan darah orang tak bersalah! Tangkap mereka semua hidup-hidup!!! Beri kesempatan pada yang mau menyerah!"   Ya, sehebat-hebatnya permainan silat pengikut Ding Tao yang setia, jumlah mereka tidaklah sebanding dengan para penyerangnya.   Dalam belasan jurus itu, sudah beberapa orang mengejang ditinggalkan nyawanya, beberapa orang yang lain sudah mulai terluka.   Hanya tokoh-tokoh liat macam Ma Songquan, Chu Linhe, Fu Tong, Liu Chuncao dan belasan yang lain yang masih bertahan.   Jika Zhong Weixia tidak memberikan perintah, niscaya dua puluhan orang yang masih bertahan itu akan mati pula meregang nyawa dan tidak ada lagi talih yang menahan kepergian Ding Tao.   Justru dengan perintah yang sepertinya memberi jalan hidup pada lawan, dia menciptakan belenggu yang tak terlihat bagi Ding Tao.   Sekaligus mempermalukan dua orang tokoh tua itu, entah orang akan menggunjingkan bagaimana mereka bersandiwara, atau orang menggunjingkan ketidak mampuan mereka menangkap Ding Tao yang bertarung seorang diri.   Ding Tao pun bertarung semakin menggebu-gebu, dia mengerti kesusahan orang, di saat yang sama tidak bisa pula melarikan diri.   Meski demikian sampai berapa lama Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bisa berpura-pura? Sementara ratusan tokoh-tokoh dunia persilatan berdiri di sana menyaksikan jalannya pertarungan.   Baik mereka yang berada di pihak Zhong Weixia, maupun mereka yang hanya menjadi penonton dan masih bingung dengan apa yang terjadi.   Zhong Weixia pun tertawa dalam hati, seringai mengejek tak lepas dari wajahnya.   Tapi Zhong Weixia pun masih salah perhitungan.   Ma Songquan yang menyadari apa maksud seruan Zhong Weixia tiba-tiba melompat mundur dan membuat jarak dengan lawan-lawannya.   Dengan sendirinya Chu Linhe mengikuti apa yang dilakukan suaminya.   Zhong Weixia dan Tetua Xun Siaoma yang berpasangan menahan serangan dua orang itu pun tidak buru-buru mengejar, karena lawan masih berada dalam kepungan.   "Ah apa kalian berdua sudah hendak menyerah?", tanya Zhong Weixia dengan alis terangkat.   Sepasang suami isteri itu bisa dikatakan sudah menjadi ujung tombak dari dua puluhan pengikut Ding Tao yang lain, ketika mereka mundur dan mengendurkan serangan, dengan sendirinya yang lain pun mengikuti.   Di lain pihak Zhong Weixia sudah menjadi pimpinan dari persekutuan untuk melawan Ding Tao, ketika Zhong Weixia tidak maju mendesak lawan yang mundur, sekalian orang yang bermufakat dengan dia pun ikut menahan serangan dan sekedar membangun kepungan yang rapat.   Ma Songquan tidak segera menjawa pertanyaan Zhong Weixia, sekilas saja dia memandang Ketua Partai Kongtong itu, seakan-akan mengesankan betapa tidak berharganya Zhong Weixia untuk didengarkan.   Tapi apa yang dia lakukan berikutnya, sungguh membuat hati setiap orang bedebar dan tercekam.   "KETUA DING TAO !!! LARI !!!!", suaranya menggelegar menarik perhatian setiap orang, termasuk Ding Tao, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.   Dan dalam sekejapan itu, ketika Ma Songquan melihat pandang mata Ding Tao tertuju ke arahnya, maka pedangnya pun berkelebat dengan cepat.   Cepat, secepat kilat, serangan pedang tercepat yang pernah dia lakukan sepanjang hidupnya.   Pedang Ma Songquan berkelebat tanpa bisa ditahan seorang pun, tidak pula bisa dihindari oleh sasaran serangan pedang itu, pun sasarannya memang tidak berusaha menghindar sedikitpun.   Pedang Ma Songquan berkelebat menebas batang lehernya sendiri.   Jantungnya sedang berdebar cepat, setelah mengerahkan sekian banyak tenaga.   Emosinya meluap-luap oleh rasa marah dan putus asa.   Darahnya dipompa kencang mengaliri seluruh tubuhnya.   Ketika pedang menebas lehernya, darah pun memancar seperti semburan gunung berapi.   Setiap orang masih tertegun tak mengerti, ketika Chu Linhe berteriak "PERGI!!!"   Dan darah pun kembali menyembur.   Chou Liang yang berada di tengah-tengah kerumunan itu, memandangi kematian Ma Songquan dan Chu Linhe dengan mata nanar.   Di antara mereka semua, mungkin hatinyalah yang paling pedih.   Pengkhianatan Murong Yun Hua terhadap Ding Tao, dirasakannya seperti pengkhianatan seorang kekasih.   Ditambah lagi kesadaran, betapa dia yang mengatur pernikahan ini, seharusnya dia bisa menyadari apa yang terjadi, bila saja dia tidak sedang dimabuk cinta, mabuk cinta pada isteri Ding Tao, orang yang memberikan kepercayaan begitu besar pada dirinya.   Penyesalan tiada tara, ditambah lagi melihat tatapan Ding Tao di kejauhan yang mengkhawatirkan keadaan mereka semua.   Sambil mengeluh pendek dengan permintaan maaf yang tak tersampaikan, Chou Liang menggerakkan sebilah pedang di tangannya, menebas nadi yang ada di lehernya.   Sepanjang pertarungan, pedang Chou Liang tak pernah menyentuh tubuh lawan, tapi dengan satu gerakan itu ribuan kata tercurahkan dalam tindakan.   Pendeta Liu Chuncao menyaksikan itu semua dengan air mata berlinang, sebelum kemudian tertawa berkakakan, mengiringi tersemburnya darah untuk ke sekian kalinya membasahi gedung pernikahan itu.   Tanpa bisa ditahan lagi, pedang-pedang pun berkelebatan menabas putus leher masing-masing, satu orang, dua orang, tiga, empat, susul menyusul mereka rebah meregang nyawa, sementara merahnya darah membasahi tanah.   Setiap orang hanya bisa mendelu, baik lawan maupun kawan termangu.   Bahkan Zhong Weixia pun tak sempat berpikir dan hanya bisa mendelong melihat darah menyembur ke mana-mana, seringai di wajahnya terhapus, benaknya kosong tak mampu berpikir sedikitpun.   Di antara dua puluhan orang itu ada pula Sun Gao, Sun Liang, Qin Hun dan Qin Baiyu.   Sebagai orang muda, dengan sendirinya berdarah panas, Sun Gao pun cepat hendak menebas lehernya sendiri, namun ayahnya yang lebih matang dengan cepat menahan lengan putera kebanggaannya itu.   "Tahan !!! Sudah cukup", seru Sun Liang.   Seruan Sun Liang menyadarkan Qin Hun yang dengan cepat menahan pula lengan puteranya Qin Baiyu, sementara sisa yang lain tak ada yang menahan dan dengan sendirinya satu per satu bertumbangan menebas leher sendiri, atau menusuk jantung sendiri, memutuskan rantai yang menahan Ding Tao di sini.   Dengan mata liar nyalang Sun Gao menatap penasaran pada ayahnya.   Begitu dia menatap, terlihatlah pandang mata teduh dari ayahnya, sendu namun juga mengisyaratkan keteguhan hati yang tak pernah hilang.   Ayahnya tidak berkata apa-apa hanya menunjuk ke arah Ding Tao yang sudah berada jauh di luar kepungan.   Apa yang terjadi dengan Ding Tao? Apa yang dirasakan pemuda itu jika bukan sebuah kiamat, ketika dia melihat Ma Songquan menebas lehernya sendiri? Apalagi ketika berturut-turut para pengikutnya yang setia mengorbankan nyawa, meminta dia untuk pergi melarikan diri.   Masihkah dia hendak bertahan, jika itu artinya kematian bagi para pengikutnya? Sebuah lolongan menyayat hati terlontar keluar dari dada pemuda itu.   Bhiksu Khongzhen yang tanggap dengan keadaan, menggerakkan kedua telapak tangannya, mendorong ke depan, sebuah hempasan hawa murni yang kuat melemparkan pemuda itu jauh ke belakang.   Di saat yang sama, di telinga Ding Tao terdengar bisikan Pendeta Chongxan, lembut namun terdengar jelas, seperti berbisik tepat di dekat telinganya.   "Larilah ke arah barat !"   Pikiran pemuda itu sudah pepat, layaknya tubuh tak berjiwa, tak ada yang memimpin gerak tubuhnya, semata digerakkan naluri yang paling dasar.   Tanpa berayal, tanpa menyimpan-nyimpan tenaga, begitu kakinya menginjakn tanah, setelah dihempaskan pergi oleh tenaga Bhiksu Khongzhen, pemuda itu pun bergerak, berlari, melompat, menabrak apa saja yang ada di depannya, seperti kuda liar yang membedal pergi berlari, ke arah mana Bhiksu Khongzhen melontarkannya.   Yaitu ke arah barat.   Suasana masih serba bingung, ketika suara tegas Bhiksu Khongzhen mengatasi keributan dan mengambil alih pimpinan dengan cepat.   "Jangan sampai dia pergi melarikan diri, cepat menyebar ke empat penjuru! Tutup seluruh arah lari keluat kota! Aku dan rekan Pendeta Chongxan akan mengejar ke arah barat! Ketua Zhong Weixia dan Ketua Guang Yong Kwang pergilah ke gerbang timur, siapa tahu dia mengambil jalan memutar untuk menyesatkan kita! Tetua Xun Siaoma dan Ketua Bai Chungho harap pergi ke gerbang selatan kota! Bhiksuni Huan Feng dan saudara yang lain harap menutup jalan di utara!"   Perintah itu datang di saat kepemimpinan sedang kosong, jangankan mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan rencana bumi hangus Partai Pedang Keadilan, Zhong Weixia pun sempat bergerak selangkah ke arah timur sebelum dia sadar apa yang sedang terjadi.   Namun tanpa menunggu siapapun Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sudah melesat ke arah barat, demikian juga Bhiksuni Huan Feng yang tidak mengerti urusan, diikuti dengan ragu oleh beberapa orang dan dengan semangat oleh sebagian yang lain.   Langkah kaki Zhong Weixia yang sempat terhenti pun akhirnya dilanjutkan lagi, meskipun rasa-rasanya kakinya ini diganduli beban ratusan kati.   Sambil memaki-maki Bhiksu Khongzhen dalam hati, dia melesat ke arah timur diikuti oleh Guang Yong Kwang.   "Ketua Zhong", bisik Guang Yong Kwang.   "Jangan bodoh! Jika kita menolak, hanya akan menimbulkan kecurigaan orang, biarlah kita pergi ke timur untuk kemudian memutar ke barat!", desis Zhong Weixia dengan kesal.   Dengan sendirinya tokoh-tokoh lain yang cukup berpengalaman, berpikiran sama dengan Zhong Weixia, secepat mungkin melesat pergi menjauhi kerumunan orang, untuk diam-diam mengambil jalan memutar dan pergi ke barat, mengejar Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang terlebih dahulu pergi ke arah itu.   Suasana yang demikian ramai, tiba-tiba terasa menjadi sepi karena puluhan orang yang membikin suasana ribut meninggalkan tempat itu.   Untuk beberapa lamanya, yang tersisa di sana, saling memandang dengan mulut terkatup rapat dan hati ngilu.   Hiasan-hiasan, kursi, bangku dan meja, hidangan dan segala pernak-pernik sebuah perayaan pernikahan telah berwarna merah.   Kata orang merah adalah warna perlambang kebahagiaan.   Masihkan saat ini merah berarti bahagia? Sementara merah yang memburat ke segala arah dan menyirati segala penjuru itu berasal dari puluhan tubuh yang sekarang membujur kaku? Tubuh dan kepala, bergelimpangan dan terserak ke mana-mana.   Meski setiap orang dalam dunia persilatan punya ambisinya sendiri-sendiri, tapi kehormatan dan kesetiaan adalah salah satu tiang di mana dunia itu dibangun.   Jangankan mereka yang tak tahu ujung pangkal dari keributan hari ini, bahkan banyak dari mereka yang datang ke pertemuan rahasia yang diadakan Zhong Weixia pun berdiri diam tak ikut mengejar larinya Ding Tao.   Dalam hati mereka yang terdalam, selirit rasa kekaguman menyebar perlahan-lahan.   Setiap mulut pun terkatup, membungkam, merenungi dan mengheningkan cipta, bagi jiwa-jiwa yang setia.   Meradang Murong Yun Hua, tak habis pikir bagaimana Ding Tao bisa lolos dari jeratannya.   Matanya menatap nanar pada tubuh-tubuh yang bergelimpangan.   Jantungnya berdenyut-denyut oleh rasa amarah, menyadari kesunyian yang ada, memandangi wajah-wajah khidmat yang berdiri mematung di sekelilingnya, seperti orang-orang yang menghadiri pemakaman para pahlawan.   Kesunyian itu pun pecah oleh seruan Huang Renfu saat Murong Yun Hua tiba-tiba terkulai lemas, pingsan, tepat jatuh di depan pemuda itu.   "Yun Hua Yun Hua, Paman Li, Paman Tang Xiong cepat bantu aku mengangkatnya ke dalam.   Sepertinya dia tak kuat melihat apa yang terjadi di halaman ini.", seru Huang Ren Fu sambil buru-buru membopong Murong Yun Hua masuk ke dalam.   Yang dipanggil pun, bergerak tanpa sadar mengikutinya masuk ke dalam, entah apa rasa dalam hati mereka, meski mereka sejak awal adalah orang yang bekerja bagi Murong Yun Hua, tapi melihat puluhan orang yang pernah dipanggil saudara bergelimpangan tak bernyawa, entah kenapa, hati mereka pun rasanya kosong dan hampa.   Meski di sana berdiri Sun Liang, Sun Gao, Qin Hun dan Qin Baiyu, tak ada seorang pun yang berpikir untuk menahan mereka berempat.   Dalam waktu sekejap, dari mereka yang merupakan bagian dari sisa-sisa Partai Pedang Keadilan, hanya Tabib Shao Yong, Hua Ying Ying dan Hua Ng Lau yang berdiri.   Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri.   Keributan yang sesaat ini seperti membangunkan setiap orang dari tidurnya.   Perlahan-lahan, keheningan itu pun pecah, ada yang bergerak untuk mengumpulkan mayat yang bergelimpangan, ada pula yang diam-diam pergi dari kota Jiang Ling menyadari badai yang baru saja berlalu, ada pula yang diam-diam menyingkir hanya untuk kemudian mengamati dan menunggu perkembangan yang akan terjadi.   Kehidupan dunia persilatan pun kembali berputar, setelah terhenti sejenak lamanya, oleh pengorbanan orang-orang Partai Pedang Keadilan.   Ding Tao berlari saja tanpa melihat kiri dan kanan, jika bukan karena Bhiksu Khongzhen membuat setiap orang yang hendak menangkap dirinya harus mengejar ke berbagai arah, tentu cepat atau lambat dia akan tertangkap.   Tenaganya sudah banyak terkuras, baru dua atau tiga li dilampaui, langkahnya sudah melambat, dengan langkah terhuyung-huyung, seperti seorang yang baru saja minum arak dan sekarang sedang mabuk.   Di benaknya masih tergambar jelas, tubuh Ma Songquan yang berdiri tegak tanpa kepala, untuk kemudian jatuh rebah ke atas tanah.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kemudian Chu Linhe, Chou Liang, Liu Chuncao, Wang Xiaho, setiap wajah dan nama mereka yang jatuh bersimbah darah, terulang dan terulang dalam benaknya sampai akhirnya pemuda itu terkulai lemas.   Sebelum tubuhnya jatuh menyentuh tanah, seseorang sudah menyambarnya dan menyangga tubuh Ding Tao yang tinggi besar itu.   "Kakak Khongti, bagaimana keadaannya?", tanya Pang Boxi yang menyusul beberapa langkah lebih lambat dari Khongti.   "Sepertinya dia kehilangan kesadaran.   Adik Pang Boxi, apa yang terjadi di sana tadi?", tanya Khongti sambil membimbing tubuh yang terkulai itu ke sisi jalan, diikuti pandang ingin tahu dari banyak orang.   Dengan singkat Pang Boxi menceritakan apa yang terjadi.   "Pantas saja, tentu guncangan batin yang dia alami sudah tidak tertahankan lagi.   Sebentar lagi tentu Ketua Pendeta Chongxan dan Kak Khongzhen akan tiba pula menyusul ke mari.   Marilah kita percepat perjalanan kita ke tempat yang sudah ditentukan.", ujar Khongti sambil mempercepat langkahnya.   Pang Boxi pun segera memapah Ding Tao dari sisi yang lain, berdua mereka bergerak dengan cepat menuju tempat yang sudah mereka siapkan sebelumnya.   Memasuki sebuah rumah di antara deretan rumah di sebuah perkampungan, mereka disambut oleh saudara-saudara mereka yang lain dan Wang Shu Lin.   "Guru apa yang terjadi dengannya?", tanya Wang Shu Lin dengan cemas.   "Nanti saja aku ceritakan, tidak ada banyak waktu, sekarang kita jalankan rencana kedua, ada banyak orang melihat aku dan guru Khongti memapah dia ke tempat ini.", ujar Pang Boxi menjawab pertanyaan Wang Shu Lin sementara Khongti sudah bergegas ke bagian lain dari rumah itu.   Tidak lama kemudian terlihat empat ekor kuda keluar dari perkampungan itu, menuju jalan utama kota di mana mereka bisa bergerak lebih cepat.   Masing-masing kuda ditunggangi dua orang.   Sampai di sebuah persimpangan, rombongan itu pun berpencar ke dua arah.   Dua ekor kuda menuju ke arah barat, dua ekor yang lain menuju ke arah utara.   Mencapai jarak tertentu dan sampai pada persimpangan yang lain kembali mereka berpencar, hingga akhirnya masing-masing kuda dengan dua penunggangnya, mengarah ke empat gerbang kota yang berlainan, barat, utara, timur dan selatan.   Di mana mereka berpencar dan jalan yang mereka lalui sudah mereka pilih sejak beberapa hari sebelumnya, dengan sendirinya mereka bergerak dengan cepat tanpa ragu-ragu dalam memilih jalan yang hendak dilalui.   Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang tentunya sudah tahu rencana mereka, mengejar seakan-akan tidak mengetahui arah yang mereka tuju.   Kedua orang tokoh itu berhenti di perkampungan tempat Ding Tao dibawa masuk, bertanya-tanya pada orang di sekitar jalan, sebelum mengejar ke arah empat ekor kuda itu pergi.   Sampai di persimpangan pertama, mereka pun berpisah.   Bhiksu Khongzhen mengejar pasangan kuda yang pergi ke arah barat, sementara Pendeta Chongxan mengejar yang pergi ke arah utara.   Beberapa waktu kemudian, dalam waktu yang hampir bersamaan Tetua Xun Siaoma, Ketua partai pengemis Bai Chungho, Ketua partai Kongtong Zhong Weixia dan Ketua perguruan Kunlun Guang Yong Kwang, sampai pula di perkampungan tempat Ding Tao dibawa dan mendapatkan jawaban yang sama, seperti jawaban yang diberikan orang-orang di tempat itu pada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, tentu saja dengan tambahan bahwa beberapa saat sebelumnya ada seorang Bhiksu Buddha dan seorang Pendeta Tao menanyakan hal yang sama.   "Empat ekor kuda? Hmm kukira tentunya empat ekor kuda itu akan berpencaran pula ke empat mata penjuru", ujar Bai Chungho, mereka berempat sedang berunding setelah mendengarkan keterangan dari orang-orang yang menyaksikan hal itu.   "Tidak disangka, Ding Tao sudah menyiapkan rencana untuk melarikan diri.   Apakah menurut kalian ada yang membocorkan rencana kita ini?", tanya Guang Yong Kwang dengan alis berkerut.   "Kemungkinan itu bukannya tidak ada, rencana ini melibatkan begitu banyak orang.   Semakin banyak orang kemungkinan bocor tentu semakin besar.", ujar Bai Chungho.   Zhong Weixia menggelengkan kepala.   "Tidak meskipun ada banyak orang yang diikutkan dalam rencana ini. Jumlah mereka yang mengetahui detail rencana ini tidak sebanyak yang terlihat. Selain itu, setiap mereka yang diikutkan sudah diperhitungkan dengan masak dan diawasi siang dan malam."   Tetua Xun Sioma mendengus kesal mendengar nada suara Zhong Weixia yang sedemikian yakinnya dengan rencana yang dibuat Murong Yun Hua.   Zhong Weixia pun melirik tajam pada Xun Sioama tapi Guang Yong Kwang lah yang pertama kali menanggapi dengusan Xun Sioama.   "Tetua Xun sepertinya tidak suka dengan rencana kita, sejak awal terlihat setengah-setengah dalam bertindak.   Jangan- jangan kebocoran ini bermula dari pihak Hoasan.   Tetua Xun, kuharap tetua tidak lupa, penerus generasi ketua Hoasan sekarang sudah bermarga Murong.", ujar pemuda itu sambil menatap tajam pada Xun Siaoma.   Disindir demikian kemarahan Xun Siaoma pun timbul dengan cukup keras dia balik menjawab.   "Hmph! Aku tidak pernah setengah-setengah dalam melaksanakan sesuatu demi Partai Hoasan, meski hal itu berlawanan dengan nuraniku.Jadi jangan samakan aku dengan anak kecil yang mencari jalan pintas untuk menjadi pendekar pedang nomor satu. Kemudian menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya demi sekantung obat."   Dibalas demikian wajah Guang Yong Kwang berubah merah padam dan dengan pedas menjawab.   "Ho ho. Hahaha, baik sekarang ini aku memang menjadi pesuruh orang karena berusaha menjadi pendekar pedang nomor satu. Tapi kukira masih lebih baik, daripada menjadi pesuruh orang karena tergila-gila pada paha mulus dan dada montok."   Ganti Tetua Xun Siaoma yang wajahnya berubah merah padam, dengan suara sedikit bergetar dia menjawab.   "Dengar, Pan Jun bukan orang yang gila perempuan atau silap dengan kecantikan. Dia sungguh-sungguh mencintai wanita keparat itu!" "Hah!!! Bukankah hal itu lebih memalukan lagi? Tergila-gila pada seorang pelacur yang akan mementangkan kedua pahanya asalkan mendapatkan keuntungan? Dan sekarang, ketua generasi Partai Hoasan yang selanjutnya adalah anak seorang pelacur. Ya setidaknya dia seorang pelacur kelas tinggi. Entah ada berapa orang tokoh kelas atas dalam dunia persilatan yang sudah tidur dengan ibunya.", ejek Guang Yong Kwang sambil tertawa mengejek. Mendengar perkataan Guang Yong Kwang, kemarahan Xun Siaoma pun memuncak melewati batas kesabarannya, tangannya pun bergerak mencabut pedang yang ada di pinggang. Tidak kalah sebat Guang Yong Kwang pun sudah bergerak untuk mencabut pedangnya. Tapi dua orang yang lain juga merupakan tokoh dunia persilatan kelas atas, dengan tidak kalah cepat Bai Chungho dan Zhong Weixia melerai keduanya, menahan keduanya jangan sampai mencabut pedang yang ada di tangan. "Hei hei sabar dulu sobat, kita semua toh sama terlibat dalam hal ini. Apa pun alasannya, tidak ada untungnya jika kita bertengkar dengan sesama kawan.", ujar Bai Chungho menyabarkan Xun Siaoma. Tapi dengan keras Xun Siaoma menepiskan tangan Bai Chungho yang menahan dirinya, Xun Siaoma sudah tidak mencabut pedang, namun matanya menatap tajam ke arah tiga orang yang lain bergantian, sebelum berhenti pada Bai Chungho. "Kau kita boleh jadi sama-sama terlibat, tapi kalian bertiga, juga kau, tak sedikitpun kupandang sebagai sahabat. Tidak kusangka, Bai Chungho yang tersohor kepahlawanannya, menjual harga dirinya demi kekayaan.", ujar Xun Siaoma dengan keras. Ucapan Xun Siaoma itu pedas, tapi Bai Chungho tidak menjadi marah, dia terkekeh saja dan berkata.   "Hahaha, baiklah kau boleh tidak menganggap aku sahabat, di depan kita bertiga kaupun boleh saja memanggilku anjing asalkan bayarannya sesuai. Yang penting jangan sampai ucapanmu itu terdengar orang luar. Jika tidak, kujamin, ucapan Ketua Guang Yong Kwang barusan akan terdengar seantero dunia persilatan."   Xun Siaoma sudah siap menyahut ketika Zhong Weixia berdehem dan berkata.   "Sudahlah, cukup, apapun alasannya kita semua sudah terlibat. Tetua Xun Siaoma, kau boleh saja merasa diri paling benar, tapi ucapan mereka berdua tidak salah. Jika sampai tersebar luas apa yang dilakukan Ketua Pan Jun demi cintanya pada Nyonya Murong Yun Hua, habislah reputasi Hoasan. Demikian juga jika sampai tersebar tentang apa yang dilakukan oleh pihak Kunlun dan partai pengemis."   Berhenti sejenak agar apa yang dia ucapkan meresap, Zhong Weixia pun melanjutkan.   "Dan di antara kita berempat, kurasa hanya aku seorang yang tidak akan kehilangan nama bila alasan dari kita masing-masing bekerja demi Nyonya Murong Yun Hua dibongkar di depan semua orang."   Mendengar ucapan Zhong Weixia itu, ketiganya pun terdiam, meskipun masih menyimpan amarah dalam hati, tapi ancaman halus Zhong Weixia membuat mereka terdiam.   Reputasi dan nama besar, apalagi yang sudah dipupuk selama belasan generasi, memang sangat berharga bahkan mungkin lebih berharga dari nyawa mereka sendiri.   Yang jelas, lebih berharga dibandingkan nyawa puluhan anggota Partai Pedang Keadilan.   Lebih berharga dari kebenaran dan keadilan.   Dengan suara tertahan Xun Siaoma berkata.   "Jadi menurut Ketua Zhong, menghamba pada perempuan itu demi beberapa   Jilid kitab tidaklah memalukan?"   Zhong Weixia tersenyum mengejek dan berkata.   "Dalam pandanganku tidak memalukan. Berapa   Jilid kitab itu toh merupakan warisan yang hilang dari para pendiri Partai Kongtong. Bukankah yang kulakukan adalah demi membalas budi pada partai yang membesarkanku? Sebuah bentuk bakti pada pada pendiri yang telah meninggal?"   Xun Siaoma pun hanya mendengus tanpa bisa menjawab.   Aneh memang, bakti pada orang tua, bakti pada guru, seringkali menjadi alasan untuk melakukan apa pun juga atas nama bakti.   Di jaman tiga kerajaan, Cao Cao membumi hanguskan Xuzhou, membunuh puluhan ribu orang tak berdosa, termasuk anak-anak, perempuan, orang tua tidak satu pun disisakan, dengan alasan membalaskan dendam ayahnya.   Padahal bakti pada orang tua dan mereka yang sudah berjasa dalam hidup kita adalah sesuatu yang mulia.   Tapi entah dengan cara apa, manusia seringkali punya cara, untuk menyelewengkan sesuatu yang mulia menjadi sesuatu yang salah.   Cinta, sesuatu yang mulia, terkadang dijadikan alasan untuk melakukan perbuatan zinah.   Kecintaan pada negara, bisa diselewengkan menjadi kekejian dan kekejaman.   Keadilan pun diselewengkan menjadi pembalasan dendam, sementara kemurahan dan maaf diselewengkan justru dengan membebaskan yang bersalah dan melupakan keadilan.   Mungkin benar bahwa hati manusia tak ubahnya sebuah kaca atau cermin, jika hati itu kotor, maka segala apa yang melaluinya pun akan menjadi kotor.   Meski sebuah sinar yang jernih dan cemerlang pun, ketika ditangkap oleh hati yang kotor, maka kotor pula yang dikeluarkan.   Tidak salah jika seorang guru besar di jaman yang lalu pernah berkata, jika terang yang ada dalam diri ini menjadi gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.   Orang buta bagaimana bisa melihat dan menilai, Xun Siaoma pun hanya bisa mendengus tanpa bisa menyalahkan tindakan Zhong Weixia yang atas nama bakti pada partai dan guru, tanpa segan-segan mengorbankan nyawa orang-orang yang tak bersalah.   Apalagi sekarang dirinya sedang berjalan di atas jalan yang sama, demi masa depan Hoasan, dia melanggar hati nuraninya sendiri.   Ketua dari Partai Hoasan, sudah beberapa generasi diturunkan secara turun temurun dan keturunan Pan Jun adalah anak Murong Yun Hua yang di pandangan banyak orang saat ini adalah anak Ding Tao.   Tapi apakah hanya demi mempertahankan kebiasaan selama beberapa generasi Xun Siaoma mati-matian membela anak keturunan Pan Jun? Berita ini sendiri adalah berita miring yang sempat terdengar puluhan tahun yang lalu sebeum tiba-tiba menghilang, berikut dengan menghilangnya nyawa mereka yang berani berkicau.   Isi berita itu, tidak lain mengenai siapa sesungguhnya ayah dari Pan Jun, benarkan ayahnya adalah Pan Tong, ataukah hasil kisah asmara terlarang dari Xun Siaoma dengan isteri Pan Tong.   Ya..   dalam hatinya Xun Siaoma sungguh sedang menyesali dan menangisi kesalahannya di masa muda.   Tidak salah jika ada ujar-ujar, siapa menanam angin akan menuai badai, siapa menanam kejahatan akan menuai kesengsaraan.   Sayang, bukannya belajar dari masa lalu, Xun Siaoma ternyata belum juga bisa melepaskan diri dari kegelapan hati.   Bukannya dengan rela menerima hukuman dari langit, dia justru terus memberontak dan membuahkan kejahatan yang lebih besar.   Padahal siapa yang bisa melawan aturan langit? Hukum manusia boleh tak bermata, tapi hukum Sang Pencipta terus bekerja meskipun terkadang tak bisa terlihat langsung akibatnya.   Diamnya Xun Siaoma membuat senyum di wajah Zhong Weixia makin lebar.   Dalam persekutuan yang digalang Murong Yun Hua, dia merasa dirinya berada di atas angin.   Setiap rahasia buruk sudah ada di tangannya, betapa mudahnya bagi dirinya untuk menangguk keuntungan di saat Murong Yun Hua terpeleset nanti.   Yang penting sekarang adalah kesabaran dan Zhong Weixia punya batas kesabaran yang cukup tinggi.   Kenapa tidak? Setiap kali dia tidak sabar atau kehilangan kendali, emosinya akan mereda setelah dia lampiaskan kekesalannya itu pada orang lain, jika orang itu adalah lawan dari Partai Kongtong bagus, jika tidak masih ada anak murid Partai Kongtong yang bisa dia hajar.   "Baik, kalau kita semua sudah paham dengan kedudukan masing-masing, baiklah kita lanjutkan pengejaran ini.   Sudah ada banyak waktu terbuang sia-sia.", ujar Zhong Weixia sambil melihat ke arah tiga orang yang lain.   "Tunggu, adanya empat ekor kuda, kemungkinan besar pada akhirnya keempatnya akan berpisah arah.", ujar Bai Chungho untuk kedua kalinya.   "Lalu?", tanya Zhong Weixia sedikit tidak sabar.   Tersenyum simpul Bai Chungho melanjutkan.   "Kita ada empat, dengan sendirinya akan dipaksa untuk membagi tugas, masing-masing ke arah yang berlainan. Di lain pihak, 8 dari 10 bagian aku yakin, mereka yang membantu Ding Tao melarikan diri ini tentu sudah sekongkol pula dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan." "Itu artinya, siapapun yang mengejar kuda yang benar, harus berhadapan dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.", sambung Xun Siaoma dengan senyum simpul, hatinya merasakan sedikit kenikmatan melihat ada orang yang berpikir lebih cermat dari Zhong Weixia. Senyum di wajah Zhong Weixia pun menghilang, dia benci sekali, harus mengakui ada orang lain yang berpikir lebih panjang dari dirinya.   "Hmm"   Zhong Weixia berpikir sejenak, melihat ke arah tiga orang yang lain, akhirnya sambil mendengus kesal dia mengakui kebenaran perkataan Bai Chungho.   "Hahh!!! Ya sudahlah, kita kembali saja, hentikan saja pengejaran ini!" "Tidak tunggu dulu, bukan begitu maksudku", ujar Bai Chungho dengan mata berkilat tajam. "Baik lalu apa maksudmu?", tanya Zhong Weixia dengan geraham mengatup erat. "Kuda boleh ada empat, tapi Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen hanyalah dua orang.", ujar Bai Chungho dengan nada penuh kemenangan. Ya, kuda yang dikejar boleh jadi ada empat, tapi momok yang sebenarnya, yang menjadi penghalang utama hanya ada dua. "Kita ikuti saja mereka berdua, kalaupun mereka kemudian berpencar, entah nantinya berkumpul kembali atau tetap berpisah untuk mengaburkan jejak. Pada akhirnya kita akan menemui mereka, dua lawan satu. Boleh saja Ding Tao lepas, tapi saat ini mereka berdua adalah penghalang yang lebih besar dari Ding Tao.", lanjut Bai Chungho. "Benar Ding Tao sudah terkena pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, jika dia tidak meminum obat itu dalam waktu beberapa bulan dia akan jadi manusia lumpuh tak berguna.", sambung Guang Yong Kwang. "Jadi maksudmu, kita gunakan kesempatan ini untuk menyingkirkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan?", tanya Zhong Weixia hati-hati. Senyum kejam terbentuk di wajah Bai Chungho dan dengan suara dingin dia menjwab.   "Ya"   Tiga orang yang lain pun memandang Bai Chungho dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam hati.   Ternyata di antara mereka berempat, Bai Chungho-lah yang paling licik dan kejam.   Xun Siaoma pun bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa selama ini dia tertipu oleh penampilan Bai Chungho yang bersandiwara sebagai tokoh tua dengan watak terbuka dan bersahabat itu.   Sementara Zhong Weixia mengakui kecerdikan Bai Chungho, di saat yang sama dia menandai Bai Chungho sebagai tokoh yang berbahaya, dalam hati Zhong Weixia sudah mengambil keputusan, jika tiba saatnya dia hendak menumbangkan Murong Yun Hua, Bai Chungho adalah orang pertama yang dia singkirkan.   Guang Yong Kwang berbeda lagi, dalam hatinya dia mengakui kedudukannya adalah yang paling lemah di antara yang lain dan dia mulai berharap bisa menjadikan Bai Chungho sekutu untuk bekerja sama mengimbangi Zhong Weixia yang kedudukannya lebih kuat.   "Baiklah, kita lakukan", ujar Zhong Weixia dengan perasaan pahit, karena meskipun dia berlaku sebagai pemimpin di antara mereka berempat, saat ini dia terpaksa harus menerima pendapat Bai Chungho.   Dengan perkataan itu pun mereka ber-empat bergegas mengikuti jejak Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang sudah terlebih dahulu bergerak.   Empat orang yang bekerja sama, namun dalam hati menyimpan permusuhan satu dengan yang lain dan masing-masing memiliki pamrih yang berbeda.   Zhong Weixia menghibur diri, dengan mengingatkan dirinya bahwa rahasia busuk tiga orang yang lain ada padanya.   Sementara tiga orang yang lain, terutama Bai Chungho, menghibur diri dengan mengingat, betapa Zhong Weixia sudah dibuat malu oleh Bai Chungho, ketika Bai Chungho berhasil menunjukkan bahwa akalnya lebih panjang dari Zhong Weixia.   Empat orang itu bukan tokoh sembarangan, dengan pengalaman dan pemikiran yang sudah matang.   Buruan yang mereka kejar selalu mereka dapatkan.   Cepat atau lambat, jejak Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun akan mereka dapatkan tapi baik Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun sudah memperhitungkan hal ini, yang terpenting Ding Tao dan mereka yang berusaha menolongnya sudah menang waktu.   Di saat Zhong Weixia dan yang lain sedang mencari jejak mereka, Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya sudah berkumpul.   "Di mana dia? Bagaimana keadaannya?", tanya Bhiksu Khongzhen ketika akhirnya dia dan Pendeta Chongxan sampai di tempat persembunyian sementara yang sudah mereka siapkan.   "Dia masih belum sadar tapi kurasa itu lebih karena batinnya yang tidak tahan menerima guncangan hari ini bukan keadaan fisiknya sendiri yang bermasalah.", ujar Zhu Yanyan sambil mengantar dua orang tokoh tua itu menengok Ding Tao.   Melangkah masuk ke sebuah kamar yang kecil dengan penerangan seadanya, mereka berdua melihat Wang Shu Lin yang dengan khawatir menunggui Ding Tao yang tidak sadarkan diri.   Pendeta Chongxan pun mendekat dan meraba nadi di pergelangan tangan Ding Tao sementara yang lain memperhatikan.   "Ketua Pendeta Chongxan, apakah dia baik-baik saja?", tanya Wang Shu Lin dengan khawatir, meskipun sudah mendapatkan penjelasan dari gurunya, hatinya masih khawatir.   Pendeta Chongxan pun menatap lembut gadis itu, bisa dilihatnya betapa gadis itu mengkhawatirkan Ding Tao, tersenyum lembut dia menjawab.   "Tidak apa, tidak ada luka yang berbahaya, baik di dalam maupun di luar. Hanya tekanan batin yang terlampau kuat membuat dia tidak sadar, mungkin itu yang terbaik. Untuk sementara ini kita biarkan dia saja sampai dia sadar sendiri, kukira tidak perlu menunggu lama tentu dia akan sadar kembali."   Bhiksu Khongzhen mengangguk setuju dan melanjutkan.   "Sembari menunggu Ketua Ding Tao sadar ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengan kalian."   Setelah berkata demikian Bhiksu Khongzhen berjalan ke ruangan tengah diikuti Pendeta Chongxan, enam orang guru Wang Shu Lin pun menyusul.   Wang Shu Lin yang masih merasa sedikit khawatir pada keadaan Ding Tao, sempat meragu.   Namun Shu Sun Er yang memahami perasaan Wang Shu Lin menepuk pundak gadis itu.   "Ayolah, tidak akan terjadi apa-apa padanya.", ujar Shu Sun Er.   Wang Shu Lin memandang gurunya itu beberapa saat, ketika terpandang wajah gurunya yang tenang, hatinya pun ikut merasa lebih tenang.   "Baiklah"   Ketika Wang Shu Lin sampai di ruangan tengah, ke-enam gurunya sedang mendengarkan pesan-pesan dari Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen.   "Jadi kalian lihat, saat ini ada dua kemungkinan, jika kesetiaan yang ditunjukkan oleh pengikut-pengikut Ketua Ding Tao mampu menggerakkan hati banyak orang, maka selain beberapa orang penting di bawah Murong Yun Hua tidak akan ada yang mengejar Ketua Ding Tao.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Jika demikian maka di depan para pengejar ini, kepada siapa kami berpihak tentu sudah sangat jelas." "Jika mereka masih nekad mengejar, itu artinya mereka merasa punya kesempatan untuk mengalahkan kami berdua.", ujar Bhiksu Khongzhen.   "Tapi jika ada banyak orang dunia persilatan yang ikut mengejar, kukira kami berdua masih punya kesempatan untuk mempengaruhi mereka.   Bagaimana pun juga dunia persilatan dibangun atas nilai-nilai kehormatan dan kesetiaan, mengingkari hal itu, sama juga mencari mati buat diri sendiri.   Setiap kepala geng, ketua partai atau kepala dari sebuah perguruan tidak akan berbuat sesuatu yang bisa membuat orang-orang di bawah mereka mengecilkan nilai-nilai kesetiaan.", ujar Pendeta Chongxan menimpali.   "Jika demikian ketua, kenapa kami tidak ketua ijinkan untuk ikut bersiap menghadang pengejar yang mungkin tiba? Masih ada Wang Shu Lin yang bisa membawa Ketua Ding Tao pergi.", ujar Zhu Yanyan dengan serius.   "Hmm bisa dikatakan pada saat ini, kekuatan kita jauh berada di bawah lawan dan kami berdua tidak ingin membuat kekuatan di pihak kita berkurang lebih jauh lagi.", jawab Pendeta Chongxan.   "Lagipula jika benar mereka datang dalam jumlah tak terlalu banyak, bagaimana pun juga kami berdua masih belum bisa melepaskan sedikit ego kami.   Setidaknya masih ada harga diri kami sebagai seorang pesilat, kami tidak ingin mendapatkan bantuan orang untuk menghadapi mereka.", ucap Bhiksu Khongzhen sambil tersenyum kecil.   "Tapi kakak"   Khongti yang tidak rela melihat bahaya mengancam kakak seperguruannya hendak membantah.   "Tidak jangan katakan apapun, pikirkan juga, apa yang akan terjadi jika ternyata mereka membawa pengikut mereka untuk ikut mengejar.   Apa artinya tambahan 6 orang lagi, kecuali mengantarkan nyawa sia-sia? Juga bagaimana jika kita kalah dalam pertarungan itu? Bukankah itu artinya, kita dari generasi tua, meninggalkan dua orang anak muda untuk menolong diri mereka sendiri?", potong Bhiksu Khongzhen sambil menggelengkan kepalanya.   "Jika demikian, kenapa kakak tidak ikut menghindar dari pertarungan ini? Bukankah lebih baik jika kakak dan Ketua pendeta Chongxan menghindar dari mereka?", tanya Khongti tidak puas dengan keputusan mereka berdua.   "Tidak tidak, kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan, jika kami menghindar dari pertarungan, bagaimana jika mereka berhasil menyusul kalian? Selain itu seperti yang dikatakan Saudara Khongzhen, kami masih memiliki harga diri sebagai seorang pesilat, masakan kami hendak melarikan diri dari kumpulan orang macam mereka?", kali ini Pendeta Chongxan yang menjawab.   "Hmm apakah kau meragukan kemampuan kami?", tanya Bhiksu Khongzhen pada Khongti.   "Ah, kakak bilang...   tidak berani, tidak berani , tapi lawan adalah orang yang licik.", ujar Khongti terbata-bata.   "Heh apa kau kira kami sampai pada kedudukan kami sekarang hanya mengandalkan otot saja? Dari dulu pun orang- orang licik selalu ada, bahkan ada yang berpendapat siasat adalah bagian dari ilmu silat.   Jadi ini bukan yang pertama kalinya kami berhadapan dengan lawan yang licik.", jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa pelan.   Khongti sudah membuka mulutnya untuk ke-sekian kalinya ketika Zhu Yanyan menepuk pundaknya dan berkata.   "Adik Khongti sudahlah, kukira ketua berdua sudah memutuskan hal ini sejak awal."   Khongti melihat ke arah Zhu Yanyan hendak membantah, tapi ketika dia melihat wajah Zhu Yanyan yang bersedih dia tak sanggup berkata-kata.   Akhirnya Khongti hanya bisa m enundukkan kepala dan mendesah sedih.   Melihat kesedihan yang tidak bisa diungkapkan di wajah Khongti, hati Bhiksu Khongzhen pun tergerak, dengan suara parau dia berkata.   "Sudahlah, kami berdua sudah semakin tua, kalaupun bukan mati dalam sebuah pertarungan, kami akan mati oleh karena usia. Apakah ada bedanya?" "Hahh yang dikatakan Saudara Khongzhen benar, usia kami sudah terlalu tua dan beberapa tahun ke depan, tokoh-tokoh seperti Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang akan melampaui kami yang mulai dimakan usia. Memikirkan bahwa orang- orang seperti mereka akan berada di bawah arahan seseorang seperti Murong Yun Hua membuat kami ngeri.", ujar Bhiksu Khongzhen melanjutkan. "Pada saat itu, maka harapan kami ada pada generasi muda yang cemerlang, seperti murid kalian Nona Wang Shu Lin dan Ketua Ding Tao. Oleh karena itu, kami bersedia mempertaruhkan nyawa kami untuk menyelamatkan nyawa Ketua Ding Tao.", ujar Bhiksu Khongzhen menutup penjelasannya. Pendeta Chongxan tersenyum lembut memandangi wajah-wajah sedih di sekelilingnya dan menyambung.   "Tidak ada alasan untuk bersedih, segala sesuatunya memang berjalan alami, yang tua digantikan yang muda. Tidak ada kehidupan tanpa akhir. Satu generasi mati digantikan generasi baru, itu sudah merupakan sesuatu yang wajar."   Wang Shu Lin dan ke-enam orang gurunya pun terdiam, terharu merenungi keputusan dua orang tokoh tua itu.   "Sudahlah, ada hal yang ingin kami sampaikan pada kalian, harap kalian dengarkan baik-baik.", ujar Bhiksu Khongzhen setelah terdiam beberapa saat.   "Pada saat kami berpura-pura menyerang Ketua Ding Tao untuk membantu dia kabur, sebenarnya kami menggunakan ilmu simpanan kami yang merupakan inti dari berbagai ilmu yang ada di Shaolin dan Wudang.   Kami sadar kemungkinan besar peristiwa yang terjadi akan sampai pula pada titik ini dan nyawa kami mungkin sulit dipertahankan melampaui malam ini.   Sayang apa yang sudah kami capai ini, tak dapat kami wariskan pada generasi Shaolin dan Wudang yang ada pada saat ini.", lanjut Bhiksu Khongzhen.   "Kami berharap Ketua Ding Tao dapat kami titipi inti sari dari ilmu Shaolin dan Wudang yang sudah kami pahami ini, untuk disampaikan pada generasi muda anak murid Shaolin dan Wudang nanti.   Ada beberapa anak murid Shaolin dan Wudang yang berbakat dan kami yakin akan mampu memahaminya, hanya sayang, saat ini mereka masih belum cukup matang untuk memahaminya, sementara waktu kami semakin singkat saja.", ujar Bhiksu Khongzhen.   "Zhu Yanyan, Khongti, kau mengerti apa artinya ini? Lindungilah nyawa Ketua Ding Tao, karena di atas pundaknya telah kami titipkan pula masa depan Shaolin dan Wudang.", ujar Pendeta Chongxan pada Zhu Yanyan.   "Karena itu jangan kalian berpikir untuk mengikuti kami mempertaruhkan nyawa, tugas kalian adalah memastikan Ketua Ding Tao selamat.   Bukan hanya sekedar selamat karena dari tuduhan-tuduhan yang disampaikan padanya hari ini, kurasa selama ini tentu dia mengkonsumsi pula Obat Dewa Pengetahuan yang dalam beberapa hari ke depan akan mulai menunjukkan efek buruknya.   Jika hal itu benar, maka kalian juga harus mencarikan jalan untuk menyembuhkan dia.", sambung Bhiksu Khongzhen.   "Kakak, apa maksud kakak tentang Obat Dewa Pengetahuan?", tanya Khongti tak mengerti.   Maka Bhiksu Khongzhen pun menjelaskan sedikit banyak yang bisa dia tangkap dari tuduhan-tuduhan Murong Yun Hua pada Ding Tao tentang penggunaan Obat Dewa Pengetahuan.   "Sungguh kami baru mengetahuinya pada saat itu, jika tidak, mungkin kami akan memikirkan cara lain untuk mewariskan apa yang berhasil kami sarikan dari kumpulan ilmu warisan Shaolin dan Wudang" "Tidak kukira tidak ada cara lain yang lebih tepat, menuliskannya dalam sebuah kitab tidak ada gunanya. Dalam bentuk tulisan, kitab-kitab yang sudah ada sudah menyampaikannya dengan cara yang terbaik dan teratur. Yang tidak bisa disampaikan dalam bentuk tulisan, yang hanya bisa disampaikan secara langsung, disesuaikan dengan sifat, pengalaman dan pemahaman pendengarnya.", ujar Pendeta Chongxan sambil tersenyum. Bhiksu Khongzhen memandang sekilas pada sahabatnya itu kemudian menganggukkan kepala sambil tersenyum.   "Yah kau benar memang tiap-tiap kejadian menyebabkan keputusan itu diambil. Hehh sudah kehendak langit" "Kakak, ada muridku Wang Shu Lin di sini, otaknya pun cukup cerdas, mengapa tidak kakak sampaikan pula pada dia?", tanya Khongti. Bhiksu Khongzhen menggelengkan kepala perlahan.   "Muridmu memang memiliki bakat yang sangat bagus. Sayangnya dasarnya kurang kuat, kami sudah melihat keduanya bertarung di kaki Gunung Songshan dan dari apa yang kami lihat itu kami bisa mengira-ngira sejauh mana mereka berdua sudah berjalan. Itu sebabnya kami merasa Ketua Ding Tao merupakan orang yang tepat untuk kami titipi warisan ini." "Tapi jika benar dia mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan, bukankah itu artinya hasil yang dia capai adalah berkat bantuan obat itu. Sekarang dengan tidak adanya obat, bukan saja kemampuannya akan menurun tapi malah ada efek buruk dari kebiasaan mengkonsumsi obat itu.", keluh Khongti tidak puas. "Tidak juga, jika benar dia menerima obat itu dari Murong Yun Hua, itu artinya sebelum dia mendapatkan bantuan dari obat itu, dia sudah bisa mengembangkan ilmunya hingga dia bisa menandingi Sepasang Iblis Muka Giok hanya bermodalkan ilmu pedang keluarga Huang yang diajarkan pada anggota luar. Menilik ini saja sudah bisa dikatakan bakatnya memang luar biasa.", ujar Pendeta Chongxan membela Ding Tao. "Lalu bagaimana sekarang dengan keadaannya setelah mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan?", tanya Zhu Yanyan. "Itulah yang menjadi salah satu dari tugas kalian.", ujar Pendeta Chongxan sambil tertawa kecil. "Tetua aku berjanji akan melindungi dia dan berusaha menyembuhkan dia dari pengaruh buruk Obat Dewa Pengetahuan.", sela Wang Shu Lin sebelum Zhu Yanyan atau Khongti sempat menyahut. "Anak baik anak baik, baiklah kutitipkan masa depan Wudang padamu", ujar Pendeta Chongxan sambil tersenyum. "Hanya saja, tidak enak juga meninggalkan dunia ini dengan berhutang, supaya hatiku tidak ada ganjalan, terimalah se   Jilid kitab ini. Hitung-hitung kau masih termasuk anak keturunan dari Perguruan Wudang.", ujar Pendeta Chongxan sambil mengeluarkan se   Jilid kitab tipis dari kantung bajunya.   "Ah tidak-tidak tetua mengapa berkata demikian, sebaiknya jangan, jika saya terima kitab ini, kesannya saya menerimanya dengan satu pamrih di hati", ujar Wang Shu Lin dengan tulus, berusaha menolak pemberian Pendeta Chongxan.   Bhiksu Khongzhen tertawa mendengar penolakan Wang Shu Lin.   "Hahahaha, Adik Khongti, sungguh kau sudah memilih murid yang baik. Anak Shu Lin, janganlah merasa demikian, sebenarnya kami berdua sudah memutuskan untuk memberikan sesuatu padamu. Kami merasa sayang padamu, kau adalah murid dari adik seperguruan kami, dengan sendirinya masih ada hubungan dengan Shaolin dan Wudang. Terimalah kitab itu dan ini dariku."   Wang Shu Lin pun merasa terharu pada kebaikan mereka berdua, sementara ke-enam gurunya melihat dengan hati senang.   Dengan hormat Wang Shu Lin menerima kitab yang diangsurkan oleh Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen.   "Terima kasih banyak, terima kasih aku akan mempelajarinya baik-baik, aku berjanji tidak akan menggunakannya di jalan yang salah.", ucap gadis itu sambil menerima kedua kitab yang dihadiahkan padanya.   "Kitab yang kuberikan adalah ilmu pedang ciptaanku sendiri, meskipun berdasarkan ilmu dari peguruan Wudang, tapi juga tidak bisa dikatakan sebagai warisan Wudang, karena aku sudah memutuskan untuk mewariskannya padamu seorang.", ujar Pendeta Chongxan.   "Sedangkan kitab yang kuberikan padamu, kitab itu bukan berasal dari Shaolin.   Kitab itu kudapatkan dalam pengembaraanku di masa muda.   Sifatnya lembut, lebih sesuai untuk seorang gadis, kau boleh menggunakannya dengan bebas.", ujar Bhiksu Khongzhen.   Sekali lagi Wang Shu Lin mengucapkan terima kasih, demikian pula ke-enam gurunya ikut pula mengungkapkan perasaan terima kasih mereka pada kedua tokoh tua yang murah hati itu.   Saat perpisahan pun akhirnya tiba, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan tidak ingin terlalu lama berada di sana.   Mereka berdua tidak ingin para pengejar Ding Tao sampai terlalu dekat dengan tempat persembunyian sementara mereka.   Mereka pun menyarankan agar Wang Shu Lin dan enam orang gurunya, sesegera mungkin membawa Ding Tao pergi ke desa Hotu, segera setelah Ding Tao sadar.   Dengan wajah murung Wang Shu Lin dan ke-enam orang gurunya mengantarkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pergi, hati mereka terasa berat, membayangkan kedua orang tokoh tua itu akan berhadapan dengan lawan-lawan tangguh di usia mereka yang sudah lanjut.   Apalagi keduanya seperti bersiap hendak meninggalkan dunia ini, dengan pesan-pesan juga warisan yang mereka berikan pada generasi muda.   Seperti sebuah pertanda buruk sebelum berangkat berperang.   Melihat wajah muram mereka, Bhiksu Khongzhen tertawa lepas.   "Sudahlah, segala sesuatunya belum ada kepastian, tidak perlu terlalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi."   Dengan perkataan itu, mereka pun berpamitan dan meninggalkan tempat itu.   Perhitungan mereka berdua jarang meleset, jika sekarang ini mereka pun seperti mendapat firasat akan akhir hidup mereka, kemungkinan besar keberangkatan mereka ini benar-benar menyongsong maut.   Namun meski maut membayang di depan mata, keduanya berjalan dengan tenang, dengan hati bersih seperti air di danau yang tenang.   Bisa hidup sesuai dengan nurani, matipun tidak ada yang disesali, keduanya , menghadapi kematian seperti sepasang sahabat yang hendak pergi makan siang, semuanya diterima sebagai satu kewajaran.   Kematian memang tidak terelakkan, tidak satu pun di antara kita mampu lari dari kematian, tapi betapa susah untuk menerimanya sebagai satu kewajaran.   Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya berdiri di pelataran memandangi punggung kedua orang itu sampai dua sosok tua itu menghilang dalam kegelapan malam.   Satu per satu kemudian kembali memasuki rumah tempat mereka bersembunyi menanti Ding Tao sadar dari pingsannya.   Khongti dan Zhu Yanyan adalah yang terakhir masuk ke dalam rumah.   Sementara yang pertama kali dilakukan Wang Shu Lin setelah memasuki rumah, adalah pergi untuk melihat keadaan Ding Tao.   Ketika dia memasuki kamar, dilihatnya Ding Tao sedang duduk termenung, tidak menyadari kehadirannya sama sekali.   Samar-samar terdengar dia bergumam.   "Ma Songquan, Chu Linhe, Chou Liang, Liu Chuncao, Chen Wuxi, Wang Xiaho, Fu Tong, "   Demikian Ding Tao menyebutkan satu per satu, nama pengikutnya yang hari itu berhadapan dengan kematian.   Hati Wang Shu Lin ikut terasa pedih melihat keadaan Ding Tao.   Diam-diam dia keluar dari kamar.   "Guru, dia sudah sadar", ucapnya pada ke-enam orang gurunya.   "Benarkah? Bagus, dengar aku sudah berpikir, sebaiknya tiga orang dari kita kembali ke Jiang Ling diam-diam.   Mendengarkan berita-berita, yang lainnya bersama Wang Shu Lin akan mengawal Ketua Ding Tao ke Desa Hotu.   Bagaimana menurut kalian?", kata Zhu Yanyan menengok pada lima orang yang lain.   "Aku setuju, biar aku ikut dengan kakak menyerap berita di Jiang Ling.", ujar Khongti dengan cepat.   Empat orang yang lain saling pandang dalam hati segera mengerti, dua orang ini tentu merasa khawatir dengan keadaan kakak seperguruan mereka, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.   Membuat dua orang tokoh tua itu membatalkan niat mereka juga tidak mungkin, karena keduanya punya alasan yang cukup kuat.    Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong

Cari Blog Ini