Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 19


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 19


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Li Yan Mao dan Wang Xiaho mengangguk-angguk setuju, dalam hati memuji kecerdikan Tabib Shao Yong yang bisa menutupi kekhawatirannya dengan alasan yang baik.   Dengan demikian mereka akan kembali secepatnya ke rumah Lu Feng, meskipun jika sepasang iblis itu benar menurunkan tangan kejam, tentu saja kedatangan mereka akan sangat terlambat.   Tapi hati mereka bertiga tentu saja tidak tenang jika mereka berlama-lama di penginapan.   "Ayolah cepat, biar tidak lama biar Tabib Shao Yong aku yang gendong", kata Wang Xiaho.   "Jangan paman, biar aku saja", jawab Ding Tao.   Jika dalam keadaan biasa tentu Tabib Shao Yong menolak digendong-gendong berlarian di tengah kota, meskipun dalam malam hari.   Namun kali ini Tabib Shao Yong tidak mau buang waktu, begitu Ding Tao memberikan punggungnya segera saja tabib itu melompat naik ke punggung Ding Tao.   "Tabib Shao Yong, sudah siap?", tanya Ding Tao.   "Ya, ya, ya, aku sudah siap cepatlah.", ujar Tabib Shao Yong dengan sedikit geram melihat betapa santainya Ding Tao.   Ke empat orang itu pun berlarian melintasi jalanan kota menuju ke rumah Lu Feng.   Untung malam sudah benar-benar larut dan tidak ada orang yang nelihat mereka.   Jadi bagaimana nasib sisa-sisa anggota keluarga Huang di rumah Lu Feng? Apakah benar kepercayaan Ding Tao pada sepasang iblis itu? Ataukah kekhawatiran Wang Xiaho bertiga yang lebih tepat? Begitu sampai di depan rumah Mao Bin, Tabib Shao Yong, Wang Xia Ho dan Li Yan Mao buru-buru masuk ke dalam rumah.   Pintu tertutup tapi tidak dikunci, Ding Tao menyusul di belakang mereka.   Langkah mereka terhenti saat mereka berhadapan dengan Sepasang Iblis Muka Giok.   Sebenarnya dandanan sepasang iblis itu tidak menyeramkan, tidak seperti yang mereka bayangkan.   Seandainya Ding Tao tidak bercerita bahwa Sepasang Iblis Muka Giok sedang menunggui rumah itu, mungkin mereka juga tidak akan menduga.   Iblis jantan dan iblis betina menyambut mereka dengan senyum ramah dan membungkuk menyapa dengan sopan, "Selamat malam saudara sekalian, Tabib Shao Yong, kuharap kau memeriksa keadaan mereka.   Kami sudah mencoba membuka totokan mereka, namun beberapa di antara mereka masih lemah, meskipun totokannya sudah terbuka."   Tabib Shao Yong dengan terbata-bata dan sedikit gemetar menjawab.   "Ah.. begitu ya eh di mana mereka, biar coba kulihat."   Iblis jantan menunjuk ke arah ruangan, tempat Ding Tao tadi bertarung dengan pembunuh bertopeng itu.   "Mereka ada di sana."   Tabib Shao Yong, Wang Xiaho dan Li Yan Mao pun bergegas ingin melihat keadaan mereka, namun sedikit banyak kekhawatiran dalam hati mereka jauh berkurang ketika melihat sikap sepasang iblis itu yang tidak bermusuhan.   Sementara itu Ding Tao tidak mengikuti ketiganya melainkan menemui sepasang iblis muka giok untuk mengucapkan terima kasih.   Membungkuk hormat pemuda itu dengan tulus menyampaikan rasa terima kasihnya.   "Kakak, Cici, terima kasih banyak atas bantuan kalian. Bukan saja kalian menyelamatkan nyawaku, kalian juga bersedia bersusah payah untuk menjaga bahkan mencoba merawat luka teman-temanku." "Hmm sudahlah, anggap saja ini cara kami untuk membayar hutang kami padamu.", ujar iblis jantan. "Ah, hutang apa? Justru sekarang aku yang berhutang pada kalian", jawab Ding Tao. Iblis betina tersenyum dengan manis dan menjawab.   "Sudahlah, tidak perlu berpura-pura tidak tahu, sekarang ini kami pun juga tidak malu-malu untuk mengakuinya. Tempo hari jika bukan Adik Ding Tao yang mengalah, tentu salah satu dari kami sudah mati di ujung pedangmu." "Ya dan jika satu dari kami mati, itu sama saja kematian bagi yang lain", tambah iblis jantan dan ketika dia melihat Ding Tao hendak menyanggah pula cepat dia berkata.   "Nah, cukup sudah, jangan kau menyanggah lagi. Aku paling tidak suka bertele-tele masalah kecil."   Ding Tao yang sudah membuka mulut, akhirnya tidak jadi berkata, hanya tersenyum kecut.   "Hehe Saudara Iblis Jantan, tetap saja menyeramkan." "Hahaha, menyeramkan kentut busuk, ilmumu sudah makin maju saja, jika lain kali kita bertarung lagi mungkin justru aku akan ketakutan dan lari", jawab Iblis Jantan sambil tertawa terbahak-bahak. Iblis betina tertawa sambil menutup mulutnya, saat tawa mereka mereda diapun berkata.   "Adik Ding Tao, jangan kau panggil lagi kami dengan sebutan iblis jantan dan betina. Kami sudah memutuskan untuk berhenti bermain setan-setanan." "Ah, bagus sekali. Kalau begitu siapa nama Kakak dan Cici berdua? Apa aku boleh mengetahuinya?", ujar Ding Tao dengan kegembiraan tulus yang tidak disembunyikan. "Kami memutuskan untuk mengubur masa lalu kami, jadi kami membuat nama kami sendiri", Iblis betina menjelaskan. Menunjuk ke arah Iblis jantan, dia memperkenalkan.   "Nah, perkenalkan, nama kakak yang ganteng ini adalah Tuan Ma Songquan."   Kemudian sambil membungkukkan badan dengan luwes dia berkata.   " dan namaku adalah Nyonya Ma Songquan tentu saja, Chu Lin He."   Senyum lebar menghiasi wajah Ding Tao saat dia ikut membungkuk dengan hormat.   "Ah, senang bertemu dengan kalian Tuan dan Nyonya Ma Songquan."   Iblis jantan atau Tuan Ma Songquan tertawa terbahak-bahak kemudian berkata.   "Hahaha, Ding Tao kami sudah berpikir beberapa lamanya dan jika kau tidak keberatan, biarlah kami bergabung dengan perkumpulan yang baru kau dirikan. Sebenarnya kami tidak ingin membantu dirimu dengan berterang karena masa lalu kami. Tapi melihat keadaanmu saat ini yang sering kesulitan dalam membagi tugas karena keterbatasan orang dalam perkumpulanmu, kami memutuskan untuk secara resmi bergabung dalam perkumpulanmu, bagaimana?"   Ding Tao terkejut mendengar itu, namun tanpa berpikir panjang dia menerimanya dengan bersemangat.   "Wah, kalau kalian mau bergabung, tentu saja aku dengan senang hati menerimanya. Tapi apakah tidak salah? Rasanya aku yang muda ini jadi tidak enak kalau kalian memanggilku ketua." "Ha.., kami juga tidak setua beberapa orang dalam perkumpulanmu, nah apakah kami perlu mengucapkan sumpah dan melakukan upacara?", ujar Ma Songquan dengan senyum lebar di wajahnya. "Tunggu dulu kakak, Ding Tao aku tahu dirimu tidak menyimpan pikiran buruk tentang kami, tapi bukankah sebaiknya kau bertanya dulu terhadap pengikutmu yang lain? Kelamnya masa lalu kami tidak bisa dipandang ringan. Bisa jadi kau akan kehilangan lebih banyak orang jika kau menerima kami sebagai pengikutmu", ujar Nyonya Ma Songquan, Chu Lin He. Ma Songquan mengerutkan alis dan hendak mengucapkan sesuatu, tapi Chu Lin He meletakkan tangannya menyentuh tangan Ma Songquan. Ma Song quan menoleh dan melihat Chu Lin He menggeleng dengan lembut, diapun batal berkata apa-apa. Ding Tao menghela nafas dan berpikir. Bukannya dia takut kehilangan pengikut, namun dia juga tidak ingin menyakiti atau mengecewakan beberapa gelintir orang yang sudah bersumpah setia pada dirinya. Dalam waktu yang singkat dia merasakan jalinan yang kuat. Setelah berpikir beberapa lama akhirnya Ding Tao berkata.   "Aku menerima kalian, bukan hanya karena aku membutuhkan kalian, tapi karena kalian adalah sahabat-sahabatku. Tidak mungkin aku mengorbankan seorang sahabat demi sahabatku yang lain. Jikalau mereka kemudian menjauhiku karena aku bersahabat dengan kalian, biarlah itu terjadi, dalam hatiku mereka tetap seorang sahabat."   Pada saat itu justru Tabib Shao Yong, Wang Xiaho, Li Yan Mao, diikuti mereka yang berhasil diselamatkan, datang mendekat dan ikut pula mendengar jawaban Ding Tao.   Ding Tao, Ma Songquan dan Chu Lin He yang menyadari kehadiran mereka, mengalihkan pandanganmereka ke arah mereka yang baru datang.   "Tabib Shao Yong, bagaimana hasil pemeriksaanmu? Saudara sekalian, bagaimana keadaan kalian?", tanya Ding Tao.   "Semua dalam kedaan baik-baik Ketua Ding Tao, memang ada beberapa yang mengalami gangguan pada tubuhnya karena totokan dari lawan yang terlalu kuat.   Tapi setelah kugunakan tusuk jarum untuk melancarkan jalur energi mereka, sekarang mereka sudah membaik.", jawab Tabib Shao Yong.   Kemudian Tabib Shao Yong dan yang lain mengalihkan pandangan ke arah Sepasang Iblis Muka Giok.   Dengan hormat dan sopan Tabib Shao Yong sedikit membungkuk lalu berkata.   "Aku mewakili saudara-saudara yang lain mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan Tuan dan Nyonya berdua." "Kebetu;an kami ikut mendengar tentang keinginan Tuan dan Nyonya berdua untuk ikut menyumbangkan tenaga bagi perkumpulan kami yang baru dibentuk, bahkan belum bernama. Kami juga mendengar penerimaan Ketua Ding Tao juga kekhawatiran kalian. Untuk itu biarlah kami mengucapkan selamat datang dan menegaskan bahwa bagi kami, tidak ada lagi Sepasang Iblis Muka Giok, yang ada adalah Saudara Ma Songquan dan Nyonya Ma Songquan."   Mendengar perkataan Tabib Shao Yong, wajah Ding Tao pun menjadi cerah, meskipun tidak mengatakan apa-apa, perasaan hatinya dengan mudah terbaca.   Wajah tuan dan nyonya Ma SongQuan juga ikut berubah, jika tadinya Ma Songquan sudah seperti ayam kago yang hendak bertarung, ketegangan di wajahnya sekarang meleleh, digantikan rasa terima kasih.   Salah satu dari mereka yang kemarinnya tidak setuju dengan pemikiran Ding Tao tiba-tiba berucap.   "Ketua Ding Tao, tadinya aku tidak habis mengerti dengan apa yang Ketua impikan, tapi sekarang ini, mataku jadi terbuka dan aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.   Kalau dipikir, memalukan sebenarnya, dalam beberapa saat setelah bersumpah setia, justru aku berubah pikiran dan menentang Ketua Ding Tao.   Jika Ketua Ding Tao mau memaafkan kami, biarlah kami kembali mengikut Ketua Ding Tao." "Ah, Saudara Yu Wan, tidak perlu bersikap terlalu sungkan.   Tentu saja aku gembira jika kalian bisa menerima pemikiranku.   Soal yang lalu, lupakan saja.   Lebih baik, kita pikirkan saja, apa yang akan kita lakukan sekarang", jawab Ding Tao.   "Pertama-tama, biarlah aku dan saudara yang lain mengurus mereka yang terbunuh.   Besok juga hasur ada orang yang melapor pada pertugas keamanan di Kota Wuling.   Juga masalah keluarga yang ditinggalkan.   Biarpun kebanyakan dari kita sudah tinggal sendirian saja di dunia ini sejak penyerbuan kediaman keluarga Huang beberapa bulan yang lalu.   Kebetulan salah satu yang menjadi korban malam ini adalah Saudara Lu Feng, setelah pemberitahuanmu tadi sore, dia memindahkan keluarganya ke rumah yang lain.", ujar Li Yan mao diiringi anggukan kepala dari beberapa orang, rupanya tadi mereka sudah sempat bercakap-cakap pula di dalam.   "Baiklah, aku akan ikut membantu", jawab Ding Tao.   "Biarlah kita semua bekerja bersama, siapapun yang tidak ikut bekerja tentu akan merasa tidak enak.   Selain itu, semakin cepat selesai semakin baik.   Salah satu dari kita, yang mengenal dekat keluarga dari yang meninggal sebentar lagi bisa menghubungi mereka sekarang juga.   Langit sudah mulai berubah warna, sebentar lagi sudah pagi", kata Ma Songquan sambil membuka jendela dan melihat ke arah langit.   Melihat langit yang mulai berubah warna, barulah terasa betapa semalaman dirinya tidak sempat tidur sama sekali, tiba-tiba saja kantuk menyerang dan Ding Tao menguap.   Sambil tertawa Wang Xiaho berkata.   "Ketua, jika merasa mengantuk, tidak apalah kalau mau tidur sejenak. Jangan disamakan dengan orang tua seperti diriku yang memang susah tidur."   Ding Tao menggeleng sambil tersenyum.   "Tidak, tidak tenang hati ini kalau tidur sementara saudara yang lain masih sibuk bekerja. Segera setelah segala sesuatunya beres aku kan tidur, tapi tidak sebelumnya."   Apapun dikerjakan bersama-sama, akan terasa lebih ringan, apalagi jika dikerjakan bersama kawan-kawan yang senasib sepenanggungan.   Begitu hari sudah mulai terang, semua mayat sudah selesai diurus.   Beberapa orang segera pergi menemui petugas keamanan, yang lain ada yang menghubungi toko peti mati dan menyiapkan upacara sembahyangan dan beberapa orang lagi, pergi untuk menemui keluarga Lu Feng untuk menyampaikan berita duka ini.   Selain Lu Feng ada pula beberapa korban, yang memiliki keluarga di kota Wuling, mereka ini pun tentu saja harus diberi kabar.   Tapi untuk sementara waktu, sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menunggu.   Ding Tao yang merasa sangat lelah dan ngantuk pun berpamitan untuk kembali ke penginapan dan beristirahat.   Serta berjanji akan kembali siang nanti.   Ding Tao hanya kembali sendirian saja, Wang Xiaho, Li Yan Mao dan Tabib Shao Yong memilih untuk beristirahat di rumah Lu Feng yang sekarang ini untuk sementara jadi rumah duka.   Tentu saja Ding Tao merasa tidak enak, namun karena desakan mereka dan juga memang keadaan yang tidak memungkinkan untuk beristirahat di rumah itu, Ding Tao akhirnya kembali ke penginapan.   Sendirian di kamar tidurnya, jauh dari segala kebisingan dan masalah dunia persilatan, barulah Ding Tao bisa sedikit memanjakan hatinya sendiri.   Kenangan akan Huang Ying Ying mulai berkelebatan dalam benaknya.   Tanpa terasa air mata mulai meleleh keluar dari kedua matanya.   Hatinya terasa sesak dan tenggorokannya tercekat.   Ingin dia meraung-raung menangisi apa yang sudah terjadi tapi Ding Tao hanya bisa menangis dalam diam.   Ingin rasanya dia lari, pergi ke hutan yang terasing, ke puncak gunung yang tertinggi.   Menyendiri menjauhi kehidupan, menutup diri pada dunia.   Hanya dirinya sendiri dan kenangan akan Huang Ying Ying, menghabiskan waktu, meratapi cintanya yang hilang.   Tapi Ding Tao sadar dirinya tidak boleh larut dalam kesedihan, amarah dan dendam.   Dia sedang memikul sebuah tanggung jawab demi kepentingan bersama.   Kepentingan dirinya pribadi, tidak boleh membuat dia melupakan hal itu.   Dia tidak bisa menyerah pada tuntutan hatinya yang cengeng dan lemah.   Dia tidak bisa berhari-hari meratapi keadaan.   Huang Ying Ying sudah meninggal dan dia meninggal justru saat Ding Tao bermesraan dengan wanita lain.   Kenyataan itu pahit buat dirinya, kesalahan itu tidak terhapuskan dan tidak termaafkan.   Huang Ying Ying sudah meninggal, dengan cara apa dia hendak memperbaiki kesalahannya? Tiba-tiba saja dia menyesali pertemuannya dengan Murong Yun Hua, ada sebagian kecil dari dirinya yang menyalahkan gadis itu, karena sudah menyalakan api cinta dalam hatinya.   Dalam hati yang seharusnya hanya ada Huang Ying Ying seorang.   Tapi Ding Tao bukan pemuda pengecut yang melemparkan kesalahan pada orang lain.   Walau pahit, dia mengakui, bahwa dirinya lah yang lebih patut dipersalahkan.   Imannya lah yang kurang teguh.   Ada juga kalanya Ding Tao mengingat perbuatan Tuan besar Huang Jin dan mencoba mengatakan alam hati bahwa apa yang terjadi pada keluarga Huang dan di dalamnya Huang Ying Ying adalah hukuman atas dosa-dosa Tuan besar Huang Jin.   Tapi sekali lagi hati nuraninya tidak mengijinkan dia untuk lari dari kesalahannya sendiri dan mencari jalan yang mudah.   Apalagi lepas dari apa yang dilakukan Tuan besar Huang Jin, perlakuan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying pada dirinya terkampau baik dan tulus untuk dia abaikan.   Ketika bersama-sama dengan yang lain, semua pikiran ini secara tidak sadar dia tekan jauh ke dalam hatinya.   Sekarang semuanya muncul bersamaan seperti air memancar dari bendungan yang pecah.   Ding Tao yang biasanya selalu bisa menguasai diri sendiri, apa pun keadaannya kali ini menyerah pada perasaannya.   Lelah secara fisik dan mental, pemuda itu tertidur lelap dengan pembaringan basah oleh air mata.   ---------------------------- o --------------------------- Begitu lelahnya Ding Tao hingga tanpa sadar, matahari sudah jauh berjalan ke arah barat baru dia terbangun.   Di luar keadaan sudah mulai remang senja, Ding Tao yang tersadar buru-buru mencuci muka dengan sebaskom air yang disediakan, merapikan diri lalu bergegas keluar kamar.   Di luar ternyata sudah ada dua orang yang menunggunya.   "Ah, maafkan aku, tidak terasa tiba-tiba sudah sore, baru saja aku terbangun.   Bagaimana keadaannya?" "Semua berjalan dengan baik Ketua Ding, saudara-saudara yang meninggal sudah di tempatkan dalam peti, upacara sembahyangan juga sudah dilakukan.   Besok pagi-pagi kita akan menguburkan mereka, jika Ketua ingin datang untuk bersembahyang sekarang, mari kami antarkan.", jawab salah seorang di antara mereka.   "Tentu saja, mari cepat kita ke sana.   Sungguh hatiku merasa tidak enak sudah tidur seharian.", jawab Ding Tao dengan wajah serba salah.   "Tidak apa Ketua Ding, kami tahu semalaman Ketua tidak tidur dan memeras tenaga."   Bertiga mereka berjalan ke arah rumah Lu Feng, dari kejauhan terlihat tamu-tamu yang berdatangan untuk ikut mengucapkan bela sungkawa dan menunggui hingga esok pagi saat jenazah akan dimakamkan.   "Apakah semua saudara hadir di sana?", tanya Ding Tao.   "Sebagian besar ya, hanya Tuan dan Nyonya Ma Songquan yang tidak ada.   Mereka berdua hendak menelusuri kota mencari jejak pembunuh bertopeng itu.   Yang dikhawatirkan dalam suasana duka ini, pembunuh bertopeng itu kembali muncul dan mencari gara-gara." "Ah, baguslah kalau begitu.   Kita boleh merasa tenang kalau mereka berdua sudah mau turun tangan." "Tapi menurut sepasang i eh maksudku menurut sepasang pendekar itu, ilmu Ketua justru berada di atas mereka." "Mungkin, ada selisih sedikit, tapi seperti yang kalian lihat kemarin, di atas langit masih ada langit.   Pembunuh bertopeng itu sungguh lihay, jika bukan karena bantuan Ma Songquan berdua, tentu aku akan berada dalam kesulitan." "Jangan berkecil hati Ketua, ilmu pedang pembunuh bertopeng itu memang aneh.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Jika bukan ketua yang menghadapinya semalam, tentu baru satu dua jurus sudah mati oleh tusukan pedangnya.   Justru ketenangan ketua membuat kami berbesar hati." "Hmm jangan terlalu memuji, kalian pun bisa menghadapi pembunuh bertopeng itu asalkan rajin berlatih.   Kalian sudah memiliki dasar-dasar ilmu pedang keluarga Huang, sebelum aku pergi menyusul saudara lain yang menyelidiki markas Tiong Fa, akan aku tinggalkan petunjuk-petunjuk bagi kalian untuk menyelami tingkat yang selanjutnya." "Terima kasih banyak Ketua Ding, tapi apa maksud Ketua Ding tentang markas Tiong Fa?"   Teringatlah Ding Tao bahwa hubungan Mao Bin dan Tiong Fa sebenarnya masih dirahasiakan, cepat otaknya berputar untuk mengarang cerita.   "Ehm sepertinya Mao Bin sedang menelusuri jejak Tiong Fa dan menemukan beberapa petunjuk, mungkin itu sebabnya dia dibunuh. Namun saat kami memeriksa rumahnya, kami berhasil menemukan beberapa catatan." "Ah rupanya begitu baguslah, Tiong Fa tidak boleh dibiarkan meraja lela semaunya."   Sambil bicara tak terasa sampai juga mereka ke rumah Lu Feng, dengan hormat Ding Tao maju ke depan, peti mati berjajar, mereka yang kemarin masih hidup dalam semalam sudah berubah menjadi mayat.   Keluarga yang ditinggalkan berbaju putih sebagai tanda berkabung, berdiri di kiri dan kanan.   Tanpa terasa Ding Tao mendesah sedih, selesai memberi penghormatan terakhir pada yang meninggal dan keluarga, Ding Tao pun diantarkan ke meja di mana Li Yan Mao, Tabib Shao Yong dan Wang Xiaho sudah duduk menunggu.   "Maafkan aku paman, tertidur begitu lelap hingga tak tahu waktu.   Paman sekalian, apakah tidak ganti beristirahat sejenak?", tanya Ding Tao setelah selesai saling menyapa.   "Tidak perlu, kami pun tadi sudah sempat beristirahat sejenak.", jawab Li Yan Mao.   "Yang lebih penting sekarang adalah memikirkan rencana kita selanjutnya.   Mungkin terlihat kurang baik dalam keadaan berduka seperti sekarang.   Tapi kita harus ingat bahwa Tiong Fa dan organisasi rahasia yang menyerang Keluarga Huang, juga masalah pemilihan Wulin Mengzhu tidak diam menunggu." "Ya, ya, aku mengerti, baiklah mari kita bicarakan masalah-masalah itu.   Untuk mudahnya, marilah kita pilah masalah dan urusan yang ada, baru kita lihat bagaimana sebaiknya kita mengatasi masalah-masalah tersebut.", ujar Ding Tao dengan prihatin.   "Baiklah, coba kita uraikan setiap masalah yang ada, yang pertama adalah masalah penyerangan terhadap keluarga Huang dan hilangnya Pedang Angin Berbisik.   Yang kedua adalah masalah pemilihan Wulin Mengzhu.   Kemudian yang ketiga adalah masalah yang paling utama, yaitu masalah ancaman Ren Zuocan.   Bagaimana, kira-kira masih ada yang lain?", Wang Xiaho mencoba menguraikan masalah yang mereka hadapi.   "Masalah ketiga bisa dilupakan saja untuk saat ini", ujar Ding Tao mengundang pertanyaan yang tertera di wajah Wang Xiaho.   "Bukan karena tidak penting, tapi karena dua masalah sebelumnya menyangkut erat dengan masalah ketiga.   Baik itu dengan menjadi Wulin Mengzhu ataupun berhasil mengungkap organisasi rahasia yang menyerang keluarga Huang, keduanya akan menuntun kita pada masalah yang ketiga, yaitu masalah ancaman dari Ren Zuocan.", ujar Ding Tao menjelaskan sambil tersenyum simpul.   "Hoho, begitu rupanya, kalau melihat cara berbicara ketua yang lancar sepertinya Ketua Ding sudah punya suatu rencana.   Mengapa tidak dijelaskan saja?" "Rencana yang matang sebenarnya belum, hanya saja sempat terkilas satu gambaran.   Untuk masalah yang pertama dan kedua sebenarnya juga berkaitan.   Sudah bisa dipastikan Tiong Fa tidak bekerja sendiri, aku pernah beradu pedang dengan Tiong Fa, ilmunya jauh di bawah pembunuh bertopeng tadi malam.   Hal itu membuktikan ada sosok yang lebih besar lagi di belakang Tiong Fa." "Sosok itu adalah Ren Zuocan.", tukas Wang Xiaho dengan penuh keyakinan.   "Mungkin Paman Wang Xiaho benar, tapi pembunuh bertopeng kemarin malam aku yakin bukanlah Ren Zuocan, dialek yang dipakai bukan dialek orang luar perbatasan." "Itulah yang kita curigai, bahwa ada orang-orang dalam sendiri yang sudah diam-diam bergabung dengan Ren Zuocan." "Jika pembunuh bertopeng itu adalah salah satu di antaranya, maka orang-orang yang terlibat juga bukan ikna-ikan teri.   Tapi tokoh kenamaan dalam dunia persilatan.   Dari cerita Paman Li Yan Mao dan yang lain, bisa kita bilang ada lebih dari satu atau dua tokoh yang sudah menyeberang dan berkhianat pada negaranya.   Untuk menghadapi mereka tidak cukup, kita-kita yang ada sekarang ini." "Ya, memang kekuatan kita sekarang ini jelas masih jauh dari cukup.", ujar Li Yan Mao sambil menghela nafas.   "Itu sebabnya, meskipun masalah pertama tidak boleh dilupakan, tapi yang lebih penting adalah masalah yang kedua, karena pada sukses tidaknya mengurus masalah yang kedua inilah, dua masalah yang lain bergantung.", jawab Ding Tao menutup uraiannya.   "Hmm benar juga, lalu bagaimana rencana ketua mengenai masalah yang kedua ini?", tanya Li Yan Mao.   "Justru dalam hal ini aku belum punya pegangan yang jelas, jika paman-paman sekalian punya usul tentu akan sangat membantu.", jawab Ding Tao terus terang.   "Untuk maju menjadi calon Wulin Mengzhu, jelas kau harus punya dukungan yang kuat dari banyak orang dalam dunia persilatan, jika tidak maka hanya akan jadi bahan tertawaan.   Itu sebabnya tidak selalu orang yang paling tangguh dalam dunia persilatan yang menjadi Wuling Mengzhu", kata Wang Xiaho.   Li Yan Mao menimpali pula.   "Dan keputusan untuk membentuk satu perkumpulan adalah langkah awal yang cukup baik, dengan begitu ada wadah yang jelas bagi mereka yang ingin mendukung dirimu. Tidak ada salahnya mulai dipikirkan juga nama yang akan dipakai. Mungkin sepertinya tidak penting, tapi dalam operasinya sehari-hari tentu akan menyulitkan bila perkumpulan kita tidak bernama."   Demikian Li Yan Mao dan Wang Xiaho saling menimpali, saling mengisi, perlahan-lahan, bentuk dari perkumpulan yang dibentuk Ding Tao makin menunjukkan wujudnya.   Diskusi mereka itu berlanjut hingga larut malam.   Saat akhirnya sudah dicapai satu kesepakatan, tiap-tiap orang sudah beberapa kali menguap menahan kantuk.   "Sebaiknya kita beristirahat sebentar, jika memang ingin pergi menyusul Chou Liang dan yang lain besok pagi-pagi benar", kata Tabib Shao Yong, disetujui dengan anggukan kepala oleh yang lain.   "Kalian pergilah beristirahat lebih dulu.   Aku akan menemui saudara-saudara yang ada dan menjelaskan bahwa besok kita akan pergi menelusuri jejak Tiong Fa, sementara itu mereka bisa mempersiapkan perkumpulan yang akan kita dirikan", ujar Li Yan Mao.   "Kalau begitu, uang yang sudah terkumpul kemarin biarlah aku titipkan saja padamu", kata Tabib Shao Yong sambil menyerahkan kantung uang kepada Li Yan Mao.   "Hoo Tabib Shao Yong, jangan bilang kalau selama ini uang itu selalu kau bawa ke manapun kita pergi", ujar Li Yan Mao sambil mengangkat alis.   "Hehehe, kenyataannya demikian, menyimpan uang banyak orang hati jadi berdebar terus, akhirnya supaya hatiku tenang, kubawa-bawa saja terus kantung uang itu.   Jumlahnya mungkin tidak seberapa, tapi itu tanda kepercayaan dari kalian semua", jawab Tabib Shao Yong sambil tersenyum.   "Hmm ya, secara keuangan perkumpulan kita masih terlalu miskin.   Aku harap nama besar keluarga Huang di masa lalu bisa membantu kita.", ujar Li Yan Mao.   "Keuangan Biro Pengawalan Golok Emas dakan segera aku masukkan ke dalam kas perkumpulan kita, moga-moga bisa jadi sedikit bantuan", ujar Wang Xiaho.   "Paman Wang Xiaho, tidak perlu begitu, apakah tidak sayang dengan tabungan bertahun-tahun?", ujar Ding Tao.   "Heh, uang tidak akan kubawa mati, ada tujuan bagus kenapa harus disayang, setidaknya sekarang aku yakin uang itu tidak akan habis sia-sia", jawab Wang Xiaho.   "Benar, perkumpulan yang nantinya dibangun adalah penyatuan segala usaha dan jerih payah kita untuk mencapai satu tujuan yang sama.   Kita semua rela berkorban nyawa demi tercapainya tujuan, apalah artinya sedikit uang", ujar Li Yan Mao.   "Ayolah, kita segera kembali ke penginapan, tidak akan ada habisnya kalau mau dibicarakan", ujar Tabib Shao Yong sambil bangkit berdiri, diikuti oleh mereka yang lain.   Setelah selesai memberikan penghormatan kepada yang meninggal dan berpamitan pada keluarga mereka, Ding Tao dan kawan-kawan pun pergi untuk beristirahat.   Kecuali Li Yan Mao yang masin menyempatkan diri untuk meninggalkan pesan pada saudara-saudara yang masih berjaga.   Tapi sebelum Ding Tao dan yang lain mencapai penginapan, Li Yan Mao sudah menyusul mereka.   Bersama-sama mereka sampai di penginapan dan beristirahat.   Esok paginya mereka bergegas pergi ke Jiang Ling, untuk berkumpul kembali dengan Chou Liang dan yang lainnya.   Bayangan Ma Songquan dan isterinya tidak juga kelihatan sejak semalam hingga mereka meninggalkan Wuling, namun Ding Tao dan yang lain tidak mengkhawatirkan sepasang jagoan yang sudah malang melintang dan membuat nama di dunia persilatan tersebut.   Perjalanan mereka tidak mengalami banyak hambatan, dalam waktu yang relatif singkat Ding Tao dan pengikut- pengikutnya sampai juga di kota Jiang Ling.   Di dalam kota, petunjuk yang diberikan Qin Bai Yu terasa sangat berguna, jika bukan oleh petunjuk-petunjuk darinya mungkin Ding Tao dan rombongan kecilnya akan butuh waktu cukup lama untuk menemukan Penginapan Keluarga Cang, penginapan itu dikelola oleh seisi rumah.   Dari Tuan Cang hingga anak-anaknya.   Suasana yang ditawarkan pun sangat lebih terasa seperti berada di rumah seorang teman daripada sedang berada di sebuah penginapan.   Dengan cepat Ding Tao dan rombongannya merasa akrab dengan pemilik penginapan tersebut dan betah tinggal di penginapan keluarga Cang tersebut.   Satu hari lewat tanpa kejadian apa-apa, tidak ada seorang pun yang muncul di penginapan keluarga Cang, tidak Chou Liang, tidak pula yang lain.   Baru pada malam hari kedua Qin Bai Yu menemui mereka diam-diam.   Ding Tao terbangun ketika dia mendengar sebuah ketukan pelan dari luar jendela kamarnya.   Bergegas dia membuka jendela perlahan tanpa suara.   "Qin Bai Yu", bisiknya dengan bersemangat.   Cepat Qin Bai Yu masuk ke dalam kamar tanpa suara, segera dia memberi hormat pada Ding Tao.   "Ketua Ding Tao." "Bagaimana dengan yang lain? Baik-baik saja bukan?", tanya Ding Tao dengan sedikit nada khawatir dalam suaranya. "Baik-baik saja ketua, semuanya baik-baik saja. Kami sudah berhasil memastikan keberadaan Tiong Fa di sini.", jawab Qin Bai Yu. "Ah, baguslah kalau begitu, tunggu sebentar di sini, aku akan membangunkan saudara yang lain", kata Ding Tao. "Jangan ketua, aku tidak punya waktu banyak, aku ke mari hanya memberikan pesan dan kemudian harus segera kembali ke tempat pengintaian kami. Saudara Tang Xiong yang di sana, sudah berjaga cukup lama, dia tentu perlu beristirahat." "Oh, begitu, baiklah ada pesan apa?" "Paman Chou Liang memintaku untuk memberikan pesan ini, kita bertemu besok di tempat ini.", ujar Qin Bai Yu sambil menyerahkan selembar kertas kecil. Ding Tao membuka dan membacanya, di sana tertera nama sebuah tempat dan sebuah denah kasar.   "Hmm.. baiklah, kapan waktunya ?" "Selepas pagi, menjelang tengah hari, kebanyakan penduduk sedang tidur siang jadi Ketua dan saudara yang lain akan mendapati jalan tidak ramai di sana. Lewat jalan kecil ini ketua akan sampai di markas sementara kita.", jawab Qin Bai Yu. "Baik, aku mengerti, sekarang kau hendak pergi ke tempat pengintaian?", tanya Ding Tao sambil tersenyum ramah. "Ya ketua, Saudara Tang Xiong bisa mengomel berjam-jam kalau aku datang terlampai lama", sahut Qin Bai Yu sambil tersenyum kecil. Rupanya Qin Bai Yu yang pemalu pun mulai tertular sifat Tang Xiong dan Chou Liang yang suka beradu mulut. Ding Tao mengangguk sambil menepuk pundak pemuda itu dia berkata.   "Baiklah, pergilah, hati-hati dalam tugasmu."   Seperti kedatangannya, kepergiannya pun dilakukan dengan diam-diam.   Ding Tao masih memandangi jalanan yang kosong dan menajamkan telinga, sebelum akhirnya dia menutup jendela dan pergi untuk tidur kembali.   Tidak mudah untuk tidur kembali, ada berbagai perasaan yang selalu mengejar-ngejarnya, sejak dia mengetahui penyerangan atas keluarga Huang.   Ada rasa sedih, rasa bersalah dan akhir-akhir ini timbul perasaan marah dan dendam pada Tiong Fa.   Ding Tao yang berusaha untuk selalu menyadari gejolak perasaan dan pikirannya, akhirnya memilih untuk bermeditasi dan memfokuskan pikiran pada hal lain.   Keesokan paginya Ding Tao memberitahu teman-teman yang lain tentang pertemuannya dengan Qin Bai Yu semalam.   Setelah satu hari lewat tanpa ada kabar berita, berita ini membuat semangat mereka jadi bangkit kembali.   "Syukurlah tidak terjadi apa-apa, aku sudah khawatir kita terlalu lama menghabiskan waktu di Wuling.   Jika sampai terjadi sesuatu pada saudara yang ada di sini, tentu akan sangat menyesal sekali", ujar Wang Xiaho sambil menghembuskan nafas lega.   Ding Tao tersenyum mengerti, bagi Wang Xiaho yang tidak memiliki masa lalu sebagai bagian dari keluarga Huang, tentu saudara-saudara yang ada di Jiangling lebih dekat di hatinya daripada mereka di Wuling yang sempat berdiri di pihak yang bertentangan.   "Ya, syukurlah tidak terjadi apa-apa.   Siang ini kita akan pergi ke markas sementara dan bertemu lagi dengan mereka.", ujar Ding Tao dengan ringan, hatinya juga merasa lega sejak bertemu dengan Qin Bai Yu semalam.   Mereka berangkat dari penginapan keluarga Cang sebelum matahari sampai tepat di atas kepala, sampai di tempat yang dituju, tepat pada saat makan siang.   Rumah yang dijadikan markas sementara terletak di seberang kantor cabang keluarga Huang.   Pintu belakang rumah itu dihimpit oleh beberapa bangunan lain, sehingga menyerupai sebuah lorong kecil yang tidak diduga oleh orang yang lewat.   Jika Qin Bai Yu tidak memberikan peta pada Ding Tao, merekapun akan kesulitan untuk mendapati jalan belakang dari rumah itu.   Tapi dengan peta itu, Ding Tao dan rombongan kecilnya berhasil memasuki rumah itu tanpa diketahui oleh siapapun.   Ding Tao mengetuk perlahan pintu belakang rumah, satu ketukan, tiga ketukan, tiga ketukan dan satu ketukan.   "Cari siapa?" , terdengar dari dalam orang bertanya.   "Mencari Paman Wang", jawab Ding Tao.   "Paman Wang sedang keluar, sebaiknya kalian kembali sore nanti." "Tapi saat matahari terbenam, langit sudah gelap, kami bekerja di terang hari dan bukan dalam kegelapan."   Pintu terbuka dan dari dalam terlihat wajah Tang Xiong yang menyengir lebar.   "Selamat datang Ketua, selamat datang semuanya, jangan salahkan aku kalau kode rahasianya kedengaran aneh. Chou Liang memaksa kami untuk menggunakan kode rahasia."   Sambil tertawa-tawa, mereka semua masuk ke dalam rumah.   Tidak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dengan irama yang berbeda.   Tang Xiong kembali ke belakang pintu dan melakukan sederetan percakapan dengan orang yang mengetuk, sebelum membukakan pintu.   Muncul Liu Chun Cao yang berpakaian seperti seorang pengemis.   Ding Tao-lah yang pertama-tama berseru.   "Pendeta Liu Chun Cao, apakah tadi itu adalah dirimu yang kulihat sedang mengemis di pinggir jalan?" "Wah, mata Ketua Ding Tao benar-benar tajam, kukira samaranku sudah cukup sempurna", jawab Liu Chun Cao sambil tertawa. "Ah, Pendeta Liu Chun Cao, jika kau tidak datang dengan samaran yang sama, tentu aku pun tidak akan mengetahuinya", jawab Ding Tao masih dengan sorot mata kagum. "Chou Liang menugaskan Pendeta Liu untuk berjaga di belakang kalian, siapa tahu ada orang yang mengenali dan kemudian membuntuti kalian", ujar Tang Xiong sambil tertawa. "Chou Liang itu benar-benar seekor musang, untung saja dia ada di pihak kita", sahut Li Yan Mao sambil tersenyum. "Omong-omong, di mana Chou Liang? Apakah dia sedang keluar?", tanya Wang Xiaho. "Ya, tapi sebentar lagi tentu akan kembali", jawab Tang Xiong. Sambil berjalan menuju ke ruang utama mengikuti Tang Xiong dan Liu Chun Cao, Li Yan Mao bertanya pula.   "Pergi ke mana orang itu?" "Silahkan duduk ketua", ujar Tang Xiong saat mereka sudah sampai di ruang utama, sambil menarik sebuah bangkut untuk Ding Tao. Beberapa saat kemudian, mereka semua sibuk menata bangku dan mengistirahatkan sejenak tubuh mereka di atas bangku, sementara Tang Xiong menuangkan secangkir teh untuk Ding Tao dan yang lain sibuk melayani diri sendiri. Setelah semua bisa duduk dengan enak dan menikmati sedikit minuman dan cemilan yang ada, baru Tang Xiong menjawab pertanyaan Li Yan Mao. "Saudara Chou Liang, setiap hari tentu menyempatkan diri untuk berkeliling kota dan mencoba merekrut beberapa orang untuk menjadi informan bagi perkumpulan kita. Dalam dua tiga hari ini dia sudah berhasil mendapatkan 4-5 orang yang bekerja bagi dirinya." "Wah, benar-benar orang satu ini sangat bersemangat dalam bekerja", puji Wang Xiaho. "Hehehe, ya memang, terlalu bersemangat sampai membuat kita jadi malu hati untuk bermalas-malasan", jawab Tang Xiong. Ding Tao mendengarkan itu sambil tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala, merasa senang dengan cara kerja Chou Liang, sekaligus teringat pula dengan pemilik kedai di dekat rumah Mao Bin. Sekarang dia sudah mendapatkan orang yang tepat untuk dipercaya dalam mengurus jaringan informasi bagi perkumpulan mereka. "Chou Liang memang cerdik dan berpandangan jauh ke depan, memiliki jaringan informasi seperti yang sedang dia bentuk, tentu sangat menguntungkan pergerakan kita. Sun Tzu mengatakan, tahu akan diri sendiri memenangkan sebagian pertempuran dan kalah di sebagian yang lain. Tahu diri sendiri dan tahu lawan, tidak terkalahkan dalam setiap pertempuran. Lawan yang kita hadapi bersembunyi dalam kegelapan, jika kita ingin menang melawan mereka, maka sambil menyembunyikan kekuatan sendiri, berusaha mencari tahu kekuatan lawan", ujar Liu Chun Cao menjelaskan dan disambut oleh anggukan kepala oleh yang lain. "Wah, tidak kusangka, kepalamu yang kurus kering itu ternyata berisi bermacam-macam ilmu juga", kata Wang Xiaho berolok-olok. Liu Chun Cao dan Tang Xiong saling berpandangan kemudian tertawa, Liu Chun Cao kemudian menjawab.   "Jangan salah, perkataan itu hanya kujiplak dari Chou Liang saja. Aku sendiri meskipun bisa mengerti maksudnya tentu tidak bisa menjabarkannya dengan cara demikian."   Jawaban Liu Chun Cao yang jujur disambut gelak tawa oleh yang lain. Li Yan Mao yang terlihat puas dengan cerita kawan-kawannya kemudian berkata.   "Ketua Ding Tao mendapatkan bantuan Chou Liang, benar-benar menunjukkan dukungan langit pada usahanya. Seperti Liu Bei yang berjodoh dengan Zhuge Liang." "Ya, ya aku setuju, asal Saudara Li Yan Mao jangan kemudian menyamakan diri dengan Zhao Yun, karena aku tidak bisa membayangkan seorang Zhao Yun yang tidak bergigi", ujar Tang Xiong menyahut membuat ruangan itu semakin penuh dengan tawa. Pada saat itu terdengar sebuah kelenengan kecil berbunyi, Tang Xiong segera melompat berdiri sambil berseru.   "Astaga, aku lupa berjaga di pintu belakang, Chou Liang bisa mengomeliku sepanjang malam."   Bergegas Tang Xiong berlari menuju ke pintu belakang, sementara Liu Chun Cao tertawa ringan. Wang Xiaho yang melihat kejadian itu pun dengan heran bertanya.   "Suara kelenengan apa itu dan mengapa Tang Xiong tiba-tiba berlari seperti kesetanan?" "Haha, kelenengan kecil itu beberapa dari jebakan yang kita pasang di sekitar rumah, tujuannya bukan untuk mencelakai orang, hanya untuk memberitahukan pada kita jika ada orang yang datang ke rumah ini dan lewat jalan mana mereka ke mari. Tang Xiong lari seperti kesetanan, karena hari ini adalah tugasnya untuk berjaga di pintu belakang, tapi saat kalian datang dia lupa pada tugasnya.", jawab Liu Chun Chao sambil tertawa kecil. "Oh begitu rupanya, kalau begitu jalan mana lagi yang bisa digunakan untuk ke rumah ini dan siapa yang berjaga di sana?", tanya Wang Xiaho lebih lanjut. "Tentu saja ada pintu depan, Qin Bai Yu yang berjaga di sana. Sisi kiri dan kanan diapit oleh bangunan lain jadi kita tidak berjaga di sana. Tapi di tingkat dua ada jendela yang bisa dilalui orang karena tidak ada yang bisa berjaga di sana, maka kami memutuskan untuk menutup saja jalan dari tingkat dua ke lantai ini dengan papan-papan kayu." "Hohoho, lawan boleh saja lewat tapi kita tidak akan terperangkap oleh kejutan lawan. Bagus-bagus, apakah ini juga diatur oleh Chou Liang?", tanya Li Yan Mao. "Tentu saja, sejak kita sampai di sini, bisa dikatakan Chou Liang yang mengatur segala sesuatunya", jawab Liu Chun Cao tanpa merasa malu. Memang demikianlah sifat Liu Chun Cao, jika ada orang yang dia anggap lebih baik dari dirinya, dia tidak akan malu-malu mengakui hal itu. Sebaliknya jika ada orang yang dipandang rendah oleh dirinya, meskipun seluruh dunia hendak memuji orang itu, dia tidak akan ambil peduli. Dia tidak akan sudi memberikan kata-kata yang baik mengenai orang itu, pun jika hal itu menguntungkan dirinya. "Lalu siapa yang berjaga untuk mengamati pergerakan Tiong Fa?", tanya Ding Tao. "Saat malam, kita semua berkumpul dan salah satu dari kita akan pergi mengawasi Tiong Fa. Tapi di pagi hari, ada orang- orang hasil rekrut Chou Liang yang mengerjakan hal itu.", jawab Liu Chun Chao. "Ah, kalian semua tentu kurang tidur beberapa hari ini", desah Ding Tao sambil memandangi wajah Liu Chun Chao yang terlihat lelah meskipun terpancar juga ekspresi puas di wajahnya. Kepuasan yang muncul karena telah bekerja keras demi sesuatu yang berarti, sambil tersenyum dia menjawab.   "Sama sekali tidak ada masalah. Sedikit tidur baik juga buat mendisiplinkan diri." "Hm.. sekarang kami ada di sini, kalian boleh beristirahat dengan puas. Biarlah untuk satu-dua hari ini kami yang menggantikan kalian mengerjakan tugas-tugas yang ada.", ujar Li Yan Mao penuh semangat. "Haha, ya aku tahu, tentu saja aku tidak akan membiarkan kalian bersantai-santai besok pagi. Bukankah dua hari ini kalian sudah cukup beristirahat.", jawab Liu Chun Cao. "Heh, ya dua hari ini kami sudah beristirahat dengan sangat nyaman, aku yakin hal ini bukan pula hasil pemikiranmu, tapi hasil pemikiran Chou Liang, benar tidak?", ujar Wang Xiaho sambil menyodok kawan lamanya itu. "Hehehe, tentu saja, kalau terserah aku, akan kupaksa kalian bekerja begitu kalian menginjakkan kaki di kota ini", jawab Liu Chun Cao. "Pendeta Liu Chun Cao, boleh kutahu apa saja yang sudah kalian dapatkan tentang Tiong Fa selama beberapa hari ini?", tanya Li Yan Mao setelah tawa mereka mereda. "Hmm.. soal itu biarlah dijelaskan oleh Chou Liang saja, dia sudah bersusah payah mengatur rencana dan bekerja, kukira lebih pantas jika dia saja yang menjelaskan apa yang kami dapatkan selama beberapa hari ini.", jawab Liu Chun Cao. Derit pintu terdengar dan suara langkah kaki yang mendekat memberi tahukan mereka ada yang sedang berjalan ke arah ruangan utama di mana mereka sedang bersantai. Tidak lama kemudian muncul Chou Liang yang segera pergi untuk menghormat pada Ding Tao. "Ketua Ding Tao, selamat datang", ujarnya sambil membungkuk hormat. "Tidak perlu sungkan-sungkan, kudengar kau sudah bekerja keras beberapa hari ini", jawab Ding Tao sambil berdiri dan menarik sebuah bangku untuk Chou Liang duduk. Cara Ding Tao menunjukkan betapa dia menghargai hasil kerjanya membuat Chou Liang merasa terharu dalam hati. Di luar tentu saja hal itu tidak dia tunjukkan, senyum setengah senyum setengah tidak masih saja menempel di wajahnya. Namun senyumnya yang setengah mengejek, tidak lagi menyebalkan hati yang melihatnya. Chou Liang tidak punya kemampuan limu silat, namun Liu Chun Cao dan yang lain, yang bisa saja menghajarnya dengan sebelah tangan, menunjukkan rasa hormat mereka pada orang itu. Rasa hormat yang timbul dari pengakuan akan kelebihan-kelebihan dalam diri Chou Liang. Bukan hanya kecerdikan dan kepandaiannya, tapi terlebih lagi pada pengabdiannya pada apa yang menjadi tanggung jawabnya. "Terima kasih banyak ketua, memang benar sudah kukerjakan beberapa hal sepanjang beberapa hari ini. Namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.", jawab Chou Liang. "Nah, nah, jangan terlalu keras pada diri sendiri, sekarang coba aku ingin mendengar apa hasil yang kau dapatkan selama beberapa hari ini", ujar Ding Tao sambil tertawa. Chou Liang ikut tertawa kemudian berkata.   "Yah, memang hasilnya tidak cukup memuaskan, tapi aku yakin orang lain tidak akan bisa mendapatkan hasil sebaik yang kudapatkan."   Jawaban Chou Liang ini disambut tawa oleh yang lain, Li Yan Mao menyeletuk.   "Nah, ini lebih mirip Chou Liang yang aku kenal."   Celetukan Li Yan Mao ini membuat tawa beberapa orang semakin keras.   Setelah puas dengan tertawa, mereka pun kembali memusatkan perhatian pada Chou Liang, karena mereka yakin akan mendengar hal-hal yang cukup penting dari orang ini.   Mengitarkan pandangan ke sekitarnya, Chou Liang mengangguk dan kemudian memulai penjelasannya.   "Seperti yang kukatakan, tidak banyak yang berhasil kami ketahui dalam beberapa hari ini.", ujar Chou Liang membuka penjelasannya.   Dari caranya berbicara terlihat Chou Liang menikmati saat-saat seperti ini, di mana kekurangannya dalam hal fisik, bisa dia kompensasikan dengan pengamatannya yang tajam.   Orang toh tidak perlu rendah diri akan kekurangan yang dibawa sejak lahir, selama dia bisa berjuang untuk memaksimalkan bakat dan kelebihan yang dikaruniakan pada dirinya.   Orang seharusnya lebih malu, jika dia dikaruniai tubuh yang sehat atau akal yang cerdik, tapi menggunakannya melulu untuk kepentingannya sendiri, sehingga dia bukan memberikan manfaat pada kehidupan di sekitarnya, melainkan menjadi benalu bahkan ancaman bagi orang-orang di sekitarnya.   Orang semacam ini jelas lebih busuk daripada seorang cacat yang hidupnya tergantung pada kebaikan orang lain.   Chou Liang bukan orang busuk, dia juga bukan seorang cacat yang membebani kehidupan orang lain, dia adalah seorang cacat yang masih memiliki kelebihan dibandingkan kebanyakan manusia dan dia mengasahnya sedemikian rupa hingga kelebihannya itu bersinar dan kemudian menggunakannya demi suatu tujuan yang baik.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Hasil pengamatan kami yang pertama adalah, bisnis usaha keluarga Huang berjalan seperti biasa, tanpa ada kendala yang berarti.   Meskipun keluarga Huang sudah musnah, namun roda mesin penghasil uang mereka masih bekerja dengan kapasitas penuh." "Hasil pengamatan kami yang kedua, orang-orang penting yang berhubungan keluarga dengan Tuan besar Huang Jin, mereka yang dipercaya untuk mengepalai cabang Jiang Ling, tidak pernah terlihat lagi, beberapa saat setelah terjadinya pembunuhan besar-besaran dalam keluarga Huang." "Hasil pengamatan kami yang ketiga menunjukkan bahwa kesetiaan orang-orang dalam keluarga Huang, tidak sepenuhnya beralih pada Tiong Fa.   Setiap 2-3 minggu sekali, akan ada orang asing yang datang berkunjung ke cabang Jiang Ling ini.   Ia akan menetap selama 1-2 hari, kemudian pergi kembali.   Orang asing ini tidak pernah menunjukkan wajahnya secara jelas, bahkan di dalam rumah sekalipun, hanya Tiong Fa seorang yang menemui orang asing ini." "Hal-hal ini berhasil kami ketahui setelah kami mencoba menjalin hubungan dengan beberapa orang bekas keluarga Huang yang ada di Jiang Ling ini lewat Qin Bai Yu dan Tang Xiong.   Selama kami mengawasi, kami juga melihat orang asing yang mereka ceritakan itu, baru saja sampai di kota Jiang Ling, kira-kira 1 hari sebelum kedatangan ketua." "Ah jangan-jangan itu pembunuh yang membunuh Mao Bin dan beberapa saudara-saudara yang lain.", ujar Li Yan Mao begitu mendengar adanya orang asing yang datang 1 hari lebih dulu dari mereka.   "Ada kemungkinan begitu, Chou Liang dari arah mana orang itu memasuki kota, apakah kau tahu?", tanya Ding Tao.   "Dari Wuling, kebetulan waktu itu kami mengawasi jalan dari Wuling untuk melihat apakah ketua dan kawan-kawan yang lain datang.   Apakah ada orang lain yang terbunuh selain Mao Bin? Apakah kalian bertemu dengan pembunuhnya?", tanya Liu Chun Cao dengan tertarik, matanya berpindah dari satu orang ke orang yang lain.   Wang Xiaho, Tabib Shao Yong dan Li Yan Mao saling berpandangan, sedangkan Ding Tao sedang terdiam, sibuk oleh pikirannya sendiri.   Wang Xiaho akhirnya berkata pada Li Yan Mao.   "Sebaiknya kau saja yang bercerita."   Li Yan Mao mengangguk kemudian menceritakan dengan serba singkat tentang apa saja yang terjadi selama mereka berada di kota Wuling.   Mendengar kisah Li Yan Mao, Chou Liang dan kawan-kawan terdiam untuk beberapa saat lamanya, pikiran mereka bekerja mencerna kejadian yang baru saja dituturkannya.   "Benar-benar mengejutkan Sepasang Iblis Muka Giok", ujar Liu Chun Cao sambil menggelengkan kepala tak percaya.   Chou Liang merenungi setiap detail kejadian, kemudian dia melihat ke arah Ding Tao yang masih terdiam merenungi penjelasan Chou Liang sebelumnya.   "Ketua, ketua Ding Tao.", ujar Chou Liang berusaha mendapatkan perhatian dari Ding Tao.   "Ah ya, ada apa Saudara Chou Liang?", tanya Ding Tao, lepas dari lamunannya.   "Ketua Ding Tao, kau yang pernah berhadapan langsung dengan pembunuh Mao Bin, menurutmu apakah kau bisa mengalahkannya satu lawan satu, jika kau harus bertarung melawan orang itu lagi?", tanya Chou Liang.   Mendengar pertanyaan Chou Liang itu, kepala setiap orang diarahkan ke arah Ding Tao, ingin tahu jawaban Ding Tao.   Ding Tao tidak langsung menjawab, tapi berpikir beberapa lama sebelum perlahan-lahan dia menjawab.   "Hal yang sama sudah aku pikirkan selama beberapa hari ini, kurasa, asal diberikan waktu beberapa hari lagi untuk merenungkan dan melatih diriku untuk menghadapi jurus-jurus pedangnya yang sulit diduga. Ada kemungkinan cukup besar, kali kedua kami bertarung aku bisa mendapatkan kemenangan."   Jawaban Ding Tao yang optimis membangkitkan semangat para pengikutnya. Wajah Chou Liang sedikit menegang sebelum kemudian berkata.   "Kalau begitu aku ingin mengusulkan agar kita menyerang Tiong Fa sekarang secara berterang." "Wah, apa maksudmu? Kedudukan mereka sedang kuat-kuatnya, sebelumnya kami sudah sempat berdiskusi dengan Ketua Ding Tao dan kami berpikir, langkah yang terbaik saat ini adalah memperkuat perkumpulan kita dengan menarik lebih banyak lagi pengikut dan barulah kita melakukan gerakan melawan Tiong Fa.", ujar Wang Xiaho sedikit penasaran. Ding Tao menggerakkan tangannya menenangkan Wang Xiaho.   "Tunggu sebentar Paman Wang Xiaho, sesungguhnya itulah yang kita bicarakan dan setujui sebelumnya. Tapi setelah mendengar penjelasan Saudara Chou Liang, ada beberapa bagian yang aku sepaham dengannya, mengapa ini adalah waktu yang baik untuk menyerang Tiong Fa, lepas dari kedudukan kita yang masih lemah." "Benarkah?", tanya Wang Xiaho. "Dari uraian Saudara Chou Liang, bisa kita simpulkan genggaman Tiong Fa atas sisa-sisa keluarga Huang masih rapuh. Dia berkuasa atas mereka hanya berdasarkan rasa takut. Terutama pada beberapa jagoan misterius yang berdiri di belakangnya. Jika aku berhasil mengalahkan salah satu jagoan misterius itu dalam pertarungan satu lawan satu. Maka belenggu yang membuat mereka tunduk pada Tiong Fa akan patah.", ujar Ding Tao coba menjelaskan. "Benar sekali dan akibat dari kemenangan Ketua Ding Tao tidak akan terhenti di kota Jiang Ling saja, tapi dengan seiring menyebarnya cerita itu, cabang-cabang keluarga Huang yang lain akan mendapatkan kembali semangat mereka. Sementara ketenaran dan kekuatan perkumpulan kita akan meningkat, satu per satu cabang keluarga Huang dapat kita rebut dari tangan Tiong Fa.", lanjut Chou Liang. "Hmm tapi jika kita gagal dalam gebrakan yang awal ini", ujar Wang Xiaho sedikit ragu- ragu. "Keadaannya sama-sama sulit, jika kita menunggu kekuatan kita bertambah, di saat yang sama kekuatan lawan juga semakin mapan. Dalam pertandingan menggalang kekuatan ini, kita berada di pihak yang lebih lemah.", ujar Chou Liang. Kemudian sambil mengitarkan pandangannya ke arah mereka semua, dia coba menjelaskan.   "Tiong Fa menguasai cabang- cabang keluarga Huang dan penghasilan mereka dalam berdagang. Sementara kita masih tertatih-tatih dalam mewujudkan satu bentuk perkumpulan. Meskipun saat ini kita masih memiliki keunggulan dari segi semangat dan kesetiaan anggota perkumpulan kita. Dengan uang yang dia miliki Tiong Fa bisa menutupi kekurangan tersebut dalam waktu yang singkat. Tidak bisa dipungkiri uang memiliki kekuatan untuk menarik orang."   Terdengar desahan nafas dari beberapa orang, Wang Xiaho adalah salah satunya, dengan nada berat orang tua itu berkata, "Penjelasan yang sangat baik, aku rasa, menyerang Tiong Fa sekarang juga adalah perjudian yang sangt berbahaya.   Jika ingin ikut dalam pertaruhan ini, seluruh modal harus dikeluarkan.   Sementara kesempatan menang boleh dikatakan masih 50.50."   Ding Tao berdiri menghampiri Wang Xiaho dan menepuk pundak orang tua itu.   "Tidak apa paman, kita hanya perlu memastikan kemenangan ada di pihak kita dan membuat ang 50.50 itu jadi kepastian bagi kita."   Chou Liang terdiam sejenak kemudian berkata.   "Tapi jika Ketua Ding Tao tidak punya keyakinan untuk memenangkan pertarungan itu, sebaiknya rencana ini dibatalkan. Jika kita mati dalam perjuangan tidaklah mengapa, karena sebagai perkumpulan kita masih bisa bangkit lagi. Tapi tidak demikian jika hal itu terjadi pada diri ketua, karena keberadaan diri ketua sebagai perwujudan kesatuan cita-cita, tekad dan ketulusan kami."   Semua kepala sekarang menoleh ke arah Ding Tao, Ding Tao terdiam beberapa lama sebelum akhirnya dia berkata.   "Beri aku waktu satu hari satu malam untuk merenungkan hal ini, setelah itu baru aku bisa memberikan jawaban."   Tanpa terasa ketegangan menyelimuti mereka yang hadir di ruangan itu, apalagi setelah memberikan jawaban, saat itu juga Ding Tao kembali tenggelam dalam perenungannya.   Kali ini tidak ada yang berani mengganggunya.   Mau bicara salah, mau pergi juga terasa tidak sopan, akhirnya mereka semua sama diamnya dengan Ding Tao.   Berbagai macam hal lewat dalam benak masing-masing orang.   Chou Liang memikirkan rencana penyerangan.   Li Yan Mao merenungkan sifat-sifat Ding Tao dan keputusannya untuk menaruh seluruh hidupnya ke dalam usaha pemuda itu mewujudkan impiannya.   Liu Chun Cao justru memikirkan jurus-jurus pedang barunya yang dia dapatkan ilhamnya setelah bertarung dengan Ding Tao.   Tabib Shao Yong merenung tentang perjalanan hidup Ding Tao, perubahan-perubahan yang terjadi sejak dari kanak-kanak Ding Tao hingga sekarang.   Mendesah tabib tua itu mengambil kesimpulan betapa pemuda itu sendiri tidak pernah berubah, hanya keadaan dan kejadian, menempatkan pemuda itu dalam posisi yang jauh berbeda.   Secara pribadi, dia tetap pribadi yang sama, atau mungkin lebih tepatnya, Ding Tao yang sekarang ini adalah versi Ding Tao kecil yang lebih dewasa dan matang.   Dengan sifat-sifat yang baik semakin terasah tajam dan sifat-sifat buruknya makin diredam.   Cukup lama mereka diam dalam keadaan itu sampai Ding Tao tersadar akan keadaan dalam ruangan itu.   Pemuda itu pun tersipu malu, kemudian buru-buru bangkit berdiri.   "Saudara sekalian, sepertinya aku ingin beristirahat terlebih dahulu.   Kalian silahkan teruskan saja obrolan kalian.   Maaf gara-gara aku melamun, suasana jadi tidak enak", ujar pemuda itu sambil membungkuk berpamitan.   "Tidak, tentu saja tidak apa-apa ketua, silahkan, silahkan jika hendak beristirahat terlebih dahulu", ujar Chou Liang.   "Ya, sebaiknya ketua beristirahat lebih dulu", sahut Wang Xiaho sambil tersenyum.   Setelah bertukar kata beberapa saat lagi, akhirnya Ding Tao pun diantarkan menuju ke kamar yang sudah disediakan untuknya oleh Chou Liang.   Dalam perjalanan itu Ding Tao mendesah sedih, terbayang betapa banyak keakraban yang jadi terhalang oleh kedudukannya saat ini.   Perlakuan mereka menjadi sedikit kaku dengan adanya embel-embel ketua.   "Apakah ketua sedang memikirkan ucapanku tadi? Tentang pertarungan antara ketua dengan pembunuh misterius itu?", tanya Chou Liang yang mendengar desahan Ding Tao.   Ding Tao menoleh kemudian menggeleng.   "Bukan, masalah itu tidak perlu kau khawatirkan, jika aku merasa bisa pasti aku akan katakan bisa dan demikian juga sebaliknya. Bukan, bukan itu, tapi masalah ketua dan pengikut, sepertinya jadi ada jarak antara diriku dengan yang lain."    Mustika Gaib Karya Buyung Hok Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Raja Silat Karya Chin Hung

Cari Blog Ini