Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 3


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 3


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Dipandanginya pedang itu dengan rasa takjub, masih bergantung pada pedang miliknya sendiri dengan satu tangan, dengan tangan yang lain dicobanya untuk memainkan pedang pusaka itu.   Semangatnya jadi terbangun saat merasakan betapa pas pedang itu di tangan.   Tidak terlampau ringan tidak juga terlampau berat, keseimbangannya membuat mudah digerakkan sesuai dengan keinginan.   Tapi kegembiraannya itu tidak berlangsung lama, semangatnya mungkin tinggi, tapi tenaganya sudah semakin melemah, pada satu saat, hampir saja pedang itu lepas dari genggamannya.   Beruntung dia masih bisa mengerahkan tenaga untuk menggenggamnya kuat-kuat, hingga pedang itu tidak sampai terlepas.   Dengan gugup, Ding Tao berusaha menusukkan pedang itu di sebuah retakan yang dilihatnya.   Hatinya merasa sedikit lega saat melihat pedang itu tertancap dengan aman di situ.   Setelah memastikan pedang itu aman di tempatnya, mulailah dia mengamati keadaan di sekelilingnya.   Dia dapat merasakan kakinya sudah mulai lemah tak bertenaga, demikian juga tangannya yang berpegangan pada pedang.   Hawa dingin menjalari tubuhnya.   Akhirnya diapun pasrah pada keadaan, tenaganya begitu terkuras hingga tidak mungkin baginya untuk memanjat ke atas.   Dengan pengetahuannya yang serba terbatas mengenai jalan darah, dia berusaha menotok jalan darahnya, memperlambat darah yang mengucur dari luka di dadanya.   Entah darahnya sudah terlalu banyak terkuras atau tutukannya tepat menghambat jalan darah di beberapa titik.   Darah yang mengucur tidaklah sederas sebelumnya.   Setelah semua itu selesai dilakukan, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.   Satu-satunya yang bisa dia lakukan sambil menunggu, hanyalah mengatur nafas dan berusaha mengalirkan hawa murni untuk menghangatkan tubuh.   Dalam hal ini dia mendapatkan satu kejutan yang menyenangkan hatinya, salah satu jalur hawa murni, yang mengalirkan hawa murni dari tantien ke telapak tangan ternyata berhasil ditembusnya dengan mudah.   Untuk menghabiskan waktu, jalur yang sudah ditembus itu pun dicobanya perlahan-lahan.   Pertama dicobanya untuk mengambil hawa murni yang tersimpan dan dialirkan ke kedua telapak tangannya.   Mengalir melalui titik di daerah ulu hati naik ke arah pundak dan menuju ke titik di tengah-tengah telapak tangan.   Didorongnya terus mengaliri pedang yang ada di genggamannya.   Setelah dia merasakan hawa murninya mengalir hingga ke ujung pedang, perlahan-lahan ditariknya kembali untuk disimpan ke bawah pusarnya.   Kemudian berganti dia mencoba menarik hawa murni yang ada di sekitarnya lewat telapak tangannya, perlahan-lahan dialirkan menuju ke pusar.   Ditahannya di sana untuk beberapa saat, lalu perlahan-lahan dialirkan ke bawah pusar dan disimpan.   Tidak lupa dia mengatur nafas dan mengalirkan hawa murni menyebar ke seluruh tubuhnya, memberikan rasa hangat yang menyebar dan menjaga agar dia tidak mati kedinginan.   Membiarkan hawa murni menyebar dengan sendirinya, jauh lebih mudah daripada mengatur hawa murni itu untuk terkonsentrasi pada tempat tertentu, lebih sulit lagi untuk mengalirkan hawa murni itu sesuai kemauan mengikuti jalur tertentu.   Apalagi jika jalur-jalur tersebut belum masih terkunci dan belum bisa ditembus.   Dan justru penggunaan hawa murni yang terkonsentrasi dan terarah inilah yang memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu kemampuan di luar kemampuan umum.   Sungguh beruntung Ding Tao salah satu jalur tersebut tertembus dengan tidak sengaja saat dia menghadapi bahaya maut melawan Wang Chen Jin.   Dengan keadaannya yang sekarang ini, dia mampu mengalirkan hawa murni dengan bebas melalui kedua tangannya.   Bahkan mengaliri senjata yang ada dalam genggamannya.   Dengan demikian Ding Tao sudah dapat mulai menjajaki kemungkinan untuk menyatu dengan pedangnya.   Jika hawa murni sudah dapat mengaliri senjata, pada satu tahapan tertentu, senjata pun menjadi bagian dari tubuh.   Seuntai cambuk bisa bergerak mengikuti keinginan pemegangnya, seperti ekor singa bergerak mengikuti kemauan pemiliknya.   Kain bisa menjadi sekeras besi dan besi bisa menjadi selentur kain.   Bila sudah sampai pada tahap demikian bahkan ranting pohonpun bisa menjadi senjata yang berbahaya, terlebih lagi sebatang pedang pusaka.   Ding Tao bukannya tidak pernah mendengar hal semacam ini, dalam hatinya timbul satu harapan.   Sebelumnya tidak pernah terbayang dalam benaknya, bahwa dia akan mampu menjadi seorang pendekar besar.   Tapi hari ini dalam waktu yang bersamaan, dia berhasil menembus salah satu jalur tenaga yang penting dalam tubuhnya, sekaligus menemukan sebatang pedang pusaka.   Tiba-tiba saja Ding Tao tidak sabar untuk dapat mempelajari seluruh jurus-jurus pedang keluarga Huang.   Bahkan bukan saja jurus pedang keluarga Huang, dia ingin bisa melihat semua jurus pedang yang ada di dunia.   Di hati pemuda yang sederhana itu, tiba-tiba timbul keiginan untuk menjadi pendekar pedang nomor satu di dunia.   Lalu setelah itu diraihnya Ya setelah itu diraihnya, dia akan dapat datang pada nona muda yang cantik itu dengan dada tengadah.   Bukan lagi Ding Tao si tukang kebun, tapi Ding Tao pendekar pedang nomor satu di dunia.   Jantungnya berdebaran dan mukanya semburat merah, membayangkan dirinya bersanding dengan nona muda keluarga Huang.   Membayangkan pipi yang putih dan halus bagaikan batu pualam, tapi hangat dan lembut seperti roti yang baru dipanggang.   Bibir mungil merah yang suka mencibir itu, mata jeli dan bulu mata yang lentik.   Pikirannya pun merantau ke mana-mana dan hawa panas yang liar menjalari tubuhnya.   Ding Tao yang berangan-angan, tidak merasa kedinginan meskipun saat itu dia tidak sedang mengatur nafas dan mengumpulkan hawa murni.   Sesungguhnya dalam hati yang terdalam Ding Tao sudah kehilangan asa, sebagian dirinya merasa bergairah terhadap penemuannya, tapi sebagian dirinya yang lain memandang betapa keberuntungannya dalam ilmu silat ini sama semunya dengan embun pagi.   Dia merasakan tenaganya melemah dan tidak lama lagi dia harus pasrah tenggelam ke dalam air tanpa mampu banyak berbuat sesuatu.   Mungkin masih beberapa lama lagi sebelum ada ramai orang beraktivitas, jikapun demikian, belum tentu ada yang memakai sumur ini.   Kalaupun ada yang memakai sumur itu, apakah pada waktu itu dia masih ada tenaga untuk berteriak minta tolong? Baru kali itulah, Ding Tao bersikap sinis pada kehidupan.   Dia merasa betapa kejamnya hidup, di satu sisi nasib sudah membukakan sebuah pintu yang menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.   Tapi di saat yang sama, nasib hanya memberikan waktu yang sangat terbatas sebelum dia sampai pada kematian.   Betapa getir perasaan pemuda ini mungkin sulit dibayangkan.   Sedari kecil hidupnya serba terbatas, tidak seperti pemuda lain, dia terlalu sadar akan kedudukannya dan selamanya memaksa dirinya untuk memendam hasrat dan cita-cita.   Ketika tiba-tiba kesempatan itu baru saja terbuka bagi dirinya, sejak dari kelulusannya, hingga sekarang ketika dia dengan tidak sengaja mendapatkan sebuah pedang pusaka dan terobosan dalam pengenalannya akan ilmu.   Ketika mimpinya baru mulai terkembang, tiba-tiba dia sudah dihadapkan pada kematian.   Tanpa terasa timbul kemarahan dalam hatinya, kemarahan pada kehidupan, pada langit yang dipandangnya tidak memiliki belas kasihan.   Sepanjang hidupnya, diturutnya nasihat-nasihat orang tua, sepanjang hidupnya dia menjaga diri dari segala perbuatan yang melanggar susila.   Sepanjang hidupnya dia berusaha untuk mengikuti nilai-nilai dan tatanan yang ada.   Namun langit seperti buta terhadap semuanya itu, langit seakan-akan memandangnya seperti bahan lelucon untuk ditertawakan, untuk dibuai dengan mimpi lalu dihempaskan dengan tragedi.   Ding Tao yang sedang marah, tidak lagi mempedulikan susila.   Angan-angannya tentang nona muda keluarga Huang tidak berhenti pada kenangan akan wajah dan senyumannya.   Gairah yang dipendam selama ini seperti tertumpah tanpa dapat dibendung.   Meskipun dalam hati yang terdalam dia justru merasakan pedih yang tak terkira, karena kematian sudah membayang dan angan-angannya selamanya hanyalah angan-angan.   Di saat seperti itu, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil.   Mendengar suara itu, Ding Tao seperti merasa diguyur air dingin, kesadarannya tergugah dan ditajamkannya telinga.   Benar, ada suara memanggil namanya.   Suara guru tua yang dikasihinya.   Matanya nyalang memandang ke atas, dan dilihatnya bayang wajah gurunya yang menjenguk ke dalam sumur, diterangi cahaya obor yang menari-nari.   Dengan penuh haru diapun berusaha menjawab.   "Guru ini aku tolong aku guru.."   Kuatir suaranya tidak cukup keras, dipukul-pukulkannya kedua bilah pedang yang ada di tangan, sehingga sebentar kemudian, terdengar riuh suara berdenting, menggema di sumur yang gelap itu.   Mata Gu Tong Dang yang tadinya sayu, terbelalak lebar saat dia mendengar riuh denting pedang dari dalam sumur.   Semangatnya yang sudah layu jadi mengembang kembali.   Matanya cepat melihat ke sekitarnya.   Ketika dia menemukan tali dan ember untuk mengambil air dari sumur, cepat dia memeriksa kekuatan tali itu.   Merasa puas dengan kekuatan tali itu, tanpa membuang-buang waktu lagi diikatkannya tali itu di sekeliling pinggangnya, lalu dengan lincah dia melompat masuk ke dalam sumur.   Kaki dan tangannya dengan cepat mengembang ke kiri dan kanan, mendorong dinding sumur, menahan laju turun tubuhnya.   Segera setelah tubuhnya terhenti, dilepaskannya tangan dan kakinya dari dinding, sehingga tubuhnya kembali meluncur turun, dan ketika dirasa tubuhnya sudah meluncur terlalu cepat, kembali dia mengembangkan tangan dan kaki untuk menahan laju jatuhnya.   Dengan cara itu, tidak lama kemudian Gu Tong Dang sudah sampai ke permukaan air sumur.   Kakinya basah oleh air dan Gu Tong Dang pun tahu jika dia telah sampai di bawah, dengan setengah berbisik dipanggilnya Ding Tao.   "Ding Tao" "Guru aku di sini." "Kemarilah, apa kau terluka? Bisakah kau menjangkauku?" "Sedikit terluka guru, tapi sepertinya untuk sedikit bergerak masih tidak ada masalah." "Bagus, sekarang cepatlah berpegangan padaku, pegang apa saja yang paling mudah untuk kau jadikan pegangan."   Ding Tao sebenarnya sudah merasa sangat lemah, tapi melihat ada kesempatan hidup, semangatnya bangkit berkali-kali lipat.   Sekuat tenaga dia melemparkan tangannya untuk meraih tubuh gurunya, saat terpegang kaki gurunya, maka dicengkeramnya kuat-kuat, takut bahwa pegangannya akan terlepas dan dia tidak akan ada tenaga lagi untuk menjangkaunya kembali.   Pedang hadiah kelulusannya terpaksa ditinggalkannya tertancap di dinding sumur.   Tapi pedang pusaka milik Wang Chen Jin tidak lupa untuk dibawanya.   Dengan sebelah tangan dia merangkul kaki Gu Tong Dang dan dengan tangan yang lain dia mencengkeram pedang itu kuat-kuat.   Gu Tong Dang yang merasakan rangkulan Ding Tao pada kakinya, segera mulai menarik tali yang diikatkannya di pinggang hingga tali itu berhenti terulur, sepenuhnya terjulur ke bawah, sementara ujung yang lain terikat kuat di tempatnya.   Ding Tao yang merasakan adanya tali dapat mengerti rencana Gu Tong Dang, dia berusaha sebisa mungkin memudahkan Gu Tong Dang yang berusaha mengikatkan tali itu ke badannya.   Setelah tubuh Ding Tao terikat kuat dengan tali, berbisiklah Gu Tong Dang.   "Sekarang kau bisa lepaskan peganganmu pada kakiku, aku kan naik ke atas dan menarikmu naik dari sana. Kuatkan hatimu, tinggal sebentar lagi dan kau akan aman." "Baik guru terima kasih guru sungguh aku" "Sudahlah, simpan tenagamu baik-baik, jangan banyak berbicara, kau masih bisa berterima kasih padaku, nanti setelah kita sampai di atas."   Bergantungan pada tali, Ding Tao hanya bisa mengamati gurunya yang perlahan-lahan merayap ke atas.   Gu Tong Dang tidak berani memanjat ke atas dengan menggunakan tali itu, karena dia tidak tahu apakah tali itu akan kuat menahan tubuhnya dan tubuh Ding Tao sekaligus.   Bahkan kalau dia mau jujur, dalam hatinya diapun masih ada keraguan apakah tali itu akan kuat untuk dipakai menarik tubuh Ding Tao ke atas.   Tapi dia tidak ada pilihan lain lagi, terlampau lama jika dia harus pergi mencari tali yang kuat untuk menolong Ding Tao.   Seperti saat turun ke bawah, Gu Tong Dang menggunakan kedua kaki dan tangannya untuk menahan tubuhnya di dinding sumur.   Dengan cara demikian, perlahan-lahan Gu Tong Dang merayap naik ke atas.   Bagi keduanya waktu terasa berjalan begitu lama, tapi Gu Tong Dang sudah cukup umur dan pengalaman, pengalaman mengajarkannya lebih baik bekerja dengan lambat namun pasti, daripada terburu-buru dan mengalami kegagalan yang fatal.   Apalagi kesempatannya untuk menolong Ding Tao tidak banyak.   Bagi Ding Tao yang menunggu di bawah, waktu serasa berjalan begitu lambat, tapi dengan adanya gurunya di situ, harapannya untuk hidup kembali timbul.   Teringatlah dia akan caci makinya pada raja langit dan para dewa.   Wajahnya bersemu merah, merasa malu akan perbuatannya beberapa saat yang lalu.   Dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh rasa penyesalan diapun berdoa, berdoa memohon ampun dan maaf.   Teringat akan angan-angannya tentang nona muda Huang, jantungnya berdebar-debar, cepat-cepat diusirnya segala bayangan yang menggoda itu dari hati dan pikirannya.   Tapi tidak seperti hari-hari sebelumnya, ketika dia selalu memendam perasaannya pada si nona muda.   Kali ini Ding Tao berani untuk bermimpi.   Bukan mimpi dan angan-angan liar seperti saat dia putus asa, tapi mimpi dan angan-angan untuk memenangkan hati nona itu, membangun sebuah keluarga, menghabiskan sepanjang waktu dalam hidupnya, bersama orang yang dikasihinya.   Tidak akan diserahkannya nona muda itu kepada Wang Chen Jin yang licik, bahkan tidak pada siapapun juga.   Karena sekarang dia bukan lagi tukang kebun biasa.   Dari segi ilmu dia masih berada di atas Wang Chen Jin, dan mungkin kemampuannya tidaklah serendah yang selama ini dia bayangkan.   Apalagi dengan pedang pusaka di tangan dan penemuannya yang baru dengan pengolahan hawa murni dalam tubuhnya.   Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ding Tao berani menggantungkan cita-citanya setinggi langit.   Waktu yang serasa berjalan begitu lambat, di sinya dengan bayangan akan masa depan yang lebih baik, terkadang membantunya mengisi waktu, tapi di saat yang lain membuat Gu Tong Dang seperti merayap semakin lambat, karena Ding Tao sudah tidak sabar untuk segera sampai di atas.   Menginjakkan kakinya di tanah yang padat.   Menantikan Gu Tong Dang sampai di atas, barulah separuh penantian Ding Tao.   Karena sesampainya di atas, Gu Tong Dang tidak terburu-buru menarik Ding Tao ke atas.   Gu Tong Dang terlebih dahulu meregangkan otot-ototnya yang baru saja dipaksa bekerja keras setelah terbiasa hidup enak.   Diaturnya dulu nafasnya yang memburu, kemudian barulah dia perlahan-lahan menarik Ding Tao ke atas.   Saat Ding Tao merasakan tubuhnya ditarik ke atas, hatinya merasa gembira, tapi tidak untuk waktu yang terlalu lama, karena Gu Tong Dang menarik tali itu dengan sangat hati-hati.   Ding Tao memang masih muda dan dengan cepat merasa Gu Tong Dang terlalu lambat dalam bekerja, tapi pemuda ini bukan pemuda yang tidak tahu terima kasih, lagipula dia sadar bahwa terlalu cepat menariknya bisa membuat tali itu terlalu bekerja keras dan putus.   Sebisa-bisanya dia menyabarkan diri.   Luka di dadanya semakin perih, demikian juga kulitnya yang diikat erat dengan tali, tangannya sudah tidak kuat lagi untuk berpegangan di tali dan menahan agar sebagian berat tubuhnya tidak sepenuhnya menggantung pada tali yang kasar.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Hanya pedang itu saja yang tetap digenggamnya erat-erat.   Perlahan namun pasti, langit pagi juga sudah mulai berubah warna saat Ding Tao merebahkan diri di atas tanah.   Nafasnya lemah, paru-parunya berontak meminta udara, namun rasa sakit sekarang menguasai sekujur tubuh.   Gu Tong Dang berlutut di sebelahnya, dengan lembut melepaskan ikatan tali dari tubuhnya.   "Anak Ding, bagaimana keadaanmu?"   Ding Tao hanya bisa menjawab dengan seulas senyum yang lemah. Gu Tong Dang mengangguk paham.   "Baguslah, tidak usah banyak bicara."   Ketika dia hendak mengangkat tubuh Ding Tao, perhatiannya pun jatuh pada pedang yang digenggam terus menerus oleh pemuda itu.   Alisnya terangkat, hendak bertanya, tapi ketika pandangan matanya jatuh pada wajah Ding Tao yang pucat, diapun batal untuk bertanya.   Dengan hati-hati namun cepat, dipapahnya Ding Tao menjauh dari tempat itu.   Sebentar lagi akan banyak orang berdatangan dan Gu Tong Dang tidak ingin terjebak dengan pertanyaan mereka.   Dibiarkannya saja Ding Tao terus menggenggam erat pedang itu.   Tanpa bertanya pun dari sikap Ding Tao dia mengerti tentu pedang itu sangat berarti untuknya.   Gu Tong Dang tidak segera kembali ke rumah keluarga Huang, sebaliknya dia pergi ke sebuah pondokan di luar perkampungan keluarga Huang.   Pondokan itu sudah lama dia miliki, seringkali dipakainya untuk melepas lelah ketika dia pergi untuk kepentingannya pribadi.   Di dalam pondokan itu tersedia tempat tidur yang sederhana, makanan kering, alat untuk memasak dan obat-obatan secukupnya.   Setelah membaringkan tubuh Ding Tao di atas pembaringan, Gu Tong Dang dengan cekatan menyalakan api dan memasak air.   Dengan telaten dirawatnya luka di atas dada Ding Tao, dibersihkan, dibaluri dengan obat lalu dibalut dengan kain bersih.   Obat penambah tenaga dimasak di atas sebuah api yang dijaga nyalanya.   Dalam waktu singkat, roti kering yang sudah dibasahi teh manis hangat disuapkan perlahan-lahan kepada Ding Tao, sebelum obat yang sudah matang diminumkan.   Sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam dunia persilatan, Gu Tong Dang tidak asing dengan hal-hal tersebut.   Dalam hal kemampuan memang Gu Tong Dang masih berada di bawah para tokoh-tokoh dalam keluarga Huang, namun dalam hal pengalaman justru dia lebih banyak.   Tidak berapa lama kemudian, nafas Ding Tao sudah kembali teratur.   Beruntung tubuhnya kuat dan hawa murninya terpupuk dengan baik.   Gu Tong Dang dengan sabar membiarkan saja pemuda itu beristirahat, beberapa saat lamanya.   Desah nafasnya teratur dan pemuda itu tertidur lelap, merasa aman dalam penjagaan orang yang dipercayainya.   Menunggui Ding Tao yang sedang tidur, perhatian Gu Tong Dang jatuh pada pedang yang sejak tadi dibawa-bawa oleh pemuda itu.   Dihunusnya pedang itu di tangan dan dimainkannya beberapa jurus menggunakan pedang itu.   Hatinya pun jadi terkagum- kagum dengan kualitas pedang itu.   Dalam hati dia jadi menduga-duga, pedang pusaka dalam dunia persilatan tidak banyak jumlahnya.   Meskipun banyak pedang kenamaan, tidak jarang pedang itu mendapatkan nama mendompleng dari kehebatan pemiliknya.   Seandainya pemakainya bukan pemain pedang kenamaan, pedang itu sendiri tidaklah cukup berarti untuk disebut pedang pusaka.   Tapi ada juga, sejumlah pedang, yang justru kehebatannya mampu mengangkat nama pemakainya.   Gu Tong Dang yakin pedang yang ada di tangannya termasuk dari segelintir yang ada.   Dengan memainkan pedang itu saja, dia bisa merasakan keyakinannya bertambah.   Belum pernah dia merasakan sebuah pedang yang terasa begitu pas di tangannya.   "Apakah pedang ini"   Sebuah dugaan yang muncul dalam hatinya, dengan hati berdebar diambilnya pisau dapur yang ada dalam pondokan itu lalu ditancapkannya kuat-kuat ke atas sebuah meja kayu.   Hatinya berdebar, namun tangannya menggenggam pedang dengan mantap.   Tidak terlalu kencang karena tegang, tidak pula lemah hingga pedang akan terlepas dengan sedikit benturan.   Terdengar desingan mengiris, saat pedang itu berkelebat menabas mata pisau.   Seperti membelah kayu, pedang itu memotong pisau tadi dengan mudahnya.   Terkesiap hati Gu Tong Dang, meskipun dia sudah menduga sebelumnya, tapi ketika melihat sendiri hasil percobaannya itu, tidak urung hatinya tergetar.   "Pedang Angin Berbisik"   Dipandanginya pedang itu, tidak terasa tangan yang memegang ikut gemetar.   Dengan hati-hati, ditaruhnya kembali pedang itu di samping tubuh Ding Tao, dan secara reflek cepat-cepat tangannya menjauh segera setelah pedang itu tergeletak di tempatnya, seperti meletakkan seekor ular berbisa.   Pikiran guru tua itupun dipenuhi kekalutan.   Permasalahan Ding Tao bukan lagi sekedar perkelahian antara dua anak muda yang tidak bisa mengendalikan diri.   Pondok itupun diliputi suasana sepi, sementara di luar justru kesibukan sudah dimulai.   Di dekat sumur sana, Fu Tsun, paman Wang Chen Jin, salah seorang kepercayaan Wang Dou, memperhatikan keributan yang timbul saat penduduk melihat ceceran darah dan bekas pertarungan di sekitar sumur.   Dengan lagak bersahabat dia mendekat dan ikut dalam pembicaraan mereka.   "Wah, sepertinya habis ada kejadian di sini?"   Seorang tua yang berada di situ menengok padanya dan dengan ramah menjawab.   "Iya, coba saja lihat, ada semak dan kayu yang terpotong, seperti bekas ditabas pedang. Lalu lihat bekas ceceran darah di mana-mana." "Benar-benar, lalu apa kemarin tidak ada yang mendengar ribut-ribut ini?" "Ada juga, sekitar lewat tengah malam kemarin, memang terdengar suara-suara orang bertarung. Tapi tidak ada yang berani menengok." "Memang benar pak, daripada jadi sasaran pedang nyasar." "Iya, kita semua juga berpikir begitu." "Apa urusannya tidak disampaikan pada petugas?" "Justru itu, ada yang bilang sebaiknya dilaporkan, tapi ada jug ayang mengatakan lebih baik diam-diam saja. Serba salah memang, lapor salah, tidak lapor juga salah."   Fu Tsun mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan orang tua itu, dengan berpura-pura ikut prihatin dia menjawab, "Sebaiknya mungkin memang diam-diam saja pak, melihat dari bekasnya, yang berkelahi bukan orang sembarangan.   Kalau bapak melapor, salah-salah malah membuat musuh dengan orang yang sakti."   Beberapa orang yang berada di situ, ikut tertarik dengan jawaban Fu Tsun, salah seorang yang masih muda ikut bertanya, "Menurut saudara yang berkelahi di sini, orang-orang dunia persilatan?"   Fu Tsun merasa senang karena ada yang menanyakan pendapatnya, dengan menegakkan dada dia menjawab.   "Dari yang kulihat sepertinya demikian, lagipula kalau yang berkelahi penduduk daerah sini juga, bukankah sekarang sudah ketahuan siapa orangnya?"   Mereka yang mendengar mengangguk-angguk tanda setuju.   "Kemudian lihat bekas goresan di tanah itu, goresan itu cukup dalam dan tipis.   Jelas tergores benda tajam sejenis pedang, tapi lihat betapa dalam goresannya.   Jika orang biasa saja, mana mampu membuat goresan sedalam itu dengan pedang yang tipis?"   Kembali mereka yang berkumpul menganggukkan kepala. "Itu sebabnya kalau menurut pendapatku, paling baik didiamkan saja, kalau bisa kita bersihkan bekas-bekas yang ada supaya tidak timbul pertanyaan dari petugas yang mungkin lewat."   Salah seorang tua di situ ikut menimbrung.   "Nah, betul tidak perkataanku, sedari tadi sudah kubilang paling baik kita diam-diam saja, sebisa mungkin kita bersihkan tempat ini dari bekas-bekas yang ada."   Seorang dari mereka yang tampaknya tidak setuju menyanggah.   "Kalau sampai ada kejadian yang meninggal bagaimana? Apa kita nanti tidak disalahkan petugas karena tidak membuat laporan?"   Fu Tsun-lah yg menjawab.   "Urusan orang dunia persilatan, sudah pasti tidak akan sampai ke telinga petugas, yang kehilangan saudara tidak nanti akan melapor. Tapi pembunuhnya, kalau sampai mendengar ada yang lapor, bisa jadi akan menuntut balas."   Mendengar itu mereka semua sama mengangguk-angguk, sejenak mereka berpandangan, salah seorang dari mereka menegaskan.   "Jadi bagaimana? Kita diamkan saja?"   Yang lain saling memandang lalu mengangguk dan gumaman terdengar.   "Ya" "Baiknya begitu." "Sudah tentu."   Salah seorang tua dari antara mereka berkata.   "Ayolah kita kembali bekerja kalau begitu."   Satu per satu mereka berpamitan pada Fu Tsun dan meninggalkannya, kembali pada kesibukan mereka masing-masing.   Termangu Fu Tsun berpikir untuk mengorek lebih banyak lagi keterangan.   Ketika orang terakhir sudah hendak berpamitan pula, Fu Tsun bertanya.   "Sobat, perkelahian kemarin malam, apakah memang sepertinya berakhir dengan kematian?"   Sejenak orang yang ditanya itu menggaruk-garuk kepalanya.   "Entahlah, ada yang bilang pada saat terakhir dari pertarungan itu sempat terdengar suara orang tercebur ke dalam sumur itu."   Uraian itu sesuai dengan cerita dari Wang Chen Jin. Menengok ke arah sumur yang ditunjuk Fu Tsun lanjut bertanya.   "Lalu apakah tidak ada yang berusaha melihat ke dalam sumur itu? Maksudku, apakah benar ada yang terjatuh ke dalamnya." "Memang begitulah yang kami lakukan, karena jika benar ada mayat di dalamnya, tentu sebaiknya dikeluarkan secepatnya. Atau lebih baik lagi kami timbuni saja sumur itu dengan batu-batu dan menggali sumur yang baru."   Mendengar itu timbul keraguan dalam hati Fu Tsun.   "Lalu?" "Begitu hari sudah mulai terang, beberapa menengok ke dalam sumur itu, tapi tidak terlihat apa-apa dari atas. Jadi kami berpikir, mungkin kami hanya salah dengar."   Tercengang Fu Tsun mendengar hal itu, tapi sebisa mungkin ia menutupi kekagetannya.   "Aneh sekali, lalu suara apa yang kalian dengar malam itu?"   Orang yang ditanya hanya bisa mengangkat bahunya.   "Entahlah, mungkin kami salah dengar, mungkin bukan orang yang jatuh ke dalam sumur sana. Atau mungkin dia masih hidup dan berhasil keluar kembali."   Kacaulah perasaan Fu Tsun mendengar pernyataan orang itu, tapi pada dasarnya dia adalah orang yang teliti dalam menghadapi setiap persoalan, itu sebabnya Wang Dou menganggap dia sebagai salah satu orang kepercayaannya.   Bukan hanya karena Fu Tsun masih memiliki hubungan keluarga dengan dirinya, tapi juga karena ketelitiannya.   "Apakah ada yang turun ke dalam sumur itu untuk memeriksa? Ataukah kalian hanya melihat dari atas saja?" "Kami hanya melihat dari atas, tapi air sumur itu cukup bening.   Jika memang ada mayat di dalamnya, meskipun hanya bayang-bayang saja, tapi kami tentu bisa melihatnya.   Lagipula bukankah biasanya mayat mengapung di dalam air?"   Fu Tsun menggosok-gosok dagunya, berpikir.   "Tidak juga, di dasar sumur mungkin berlumpur, tentu tidak terlihat dari atas.   Tapi bisa jadi tubuh itu tenggelam ke dasar karena di tubuhnya ada yang memberati ke bawah.   Lalu di bawah sana dia tertutup oleh lumpur di dasar sumur."   Menengok ke arah orang yang diajak bicara Fu Tsun berkata.   "Cerita kalian membuatku tertarik, aneh sekali jika kalian mendengar suara orang tercebur ke dalam sumur, tapi tidak ada mayat di dalam sana. Kalau kalian mau membantu, biarkan aku turun ke dalam sana untuk memeriksa."   Terangkat alis orang yang diajak bicara, heran.   "Sobat, kau benar-benar mau turun ke dalam sumur itu untuk memeriksa?"   Fu Tsun tertawa menutupi rasa galau di hatinya.   "Ya begitulah, sudah sedari aku kecil, selalu tertarik dengan hal-hal yang aneh seperti ini. Kalau tidak turun ke bawah dan memeriksa dengan teliti, aku tidak akan bisa tidur nyenyak berhari-hari memikirkan hal itu."   Yang diajak berbicara menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya diapun mengangguk.   "Baiklah, memang kalau ada yang mau turun dan memeriksa sudah tentu lebih baik lagi. Ayolah, akan kuajak beberapa temanku untuk berjaga dan membantumu turun ke bawah."   Tidak lama kemudian orang-orang itu kembali berkumpul, sekali ini mereka tertarik untuk melihat Fu Tsun yang akan menuruni sumur.   Sebuah tali yang kuat diikatkan ke tubuh Fu Tsun, beberapa orang membantu menahan tali itu agar Fu Tsun dapat turun ke dalam sumur itu dengan aman.   Fu Tsun turun ke bawah dengan membawa sebuah obor di tangan, karena di atas ada orang-orang yang menahan tali dan perlahan-lahan menurunkannya ke bawah, Fu Tsun pun bisa mengamati keadaan sumur itu dengan mudah.   Hatinya berdebar saat samar-samar dia dapat melihat bekas-bekas tapak kaki dan tangan di beberapa tempat.   Sebelum dia sampai ke bawah, dia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi malam itu.   Meskipun jejak yang tertinggal tidaklah jelas dan ada kemungkinan bukanlah bekas kaki dan tangan, tapi jejak itu memberikan jawaban atas hilangnya mayat Ding Tao dari dalam sumur.   Setelah dia sampai ke permukaan air dari sumur itu makin yakinlah Fu Tsun akan dugaannya.   Pedang Ding Tao yang ditusukkan ke dinding sumur dan dipakainya sebagai pijakan masih tertinggal di sana.   Demikian juga bekas kaki Gu Tong Dang terlihat cukup jelas, karena saat Gu Tong Dang mengikatkan tali di tubuh Ding Tao kakinya menjejak lebih kuat ke dinding sumur, hingga di bagian itu dinding sumur sampai berlekuk ke dalam oleh tekanan kaki Gu Tong Dang.   Pertama karena Ding Tao saat itu berpegangan pada tubuhnya hingga kakinya harus menjejak lebih kuat untuk menahan tubuh mereka berdua.   Dan yang kedua karena saat itu kedua tangannya sibuk mengikatkan tali pada tubuh Ding Tao sehingga beban itu sepenuhnya ditanggung kedua kaki Gu Tong Dang.   Tidak cukup melihat bekas yang ada dan mereka kembali kejadian malam itu, Fu Tsun mengamati dengan hati-hati ke bawah dasar sumur dengan air yang memang bening itu.   Setelah benar-benar yakin bahwa tidak ada mayat Ding Tao ataupun pedang Wang Dou di bawah sana, dia menarik tali dua kali sebagai tanda agar mereka yang di atas menarik tubuhnya kembali ke atas.   Sepanjang perjalanan otak Fu Tsun berputar keras, dari apa yang dia lihat dan dengar, jelaslah Ding Tao belum mati saat dia terjatuh ke dalam sumur.   Lebih jauh lagi, ada seseorang yang telah menolongnya keluar dari sumur itu dan pedang pusaka Wang Dou ada di tangan mereka.   Dengan gigi gemeretak Fu Tsun oleh marah Fu Tsun berusaha menebak-nebak siapakah orang yang telah menolong Ding Tao dan menguasai pedang pusaka itu.   Kecurigaannya yang terbesar tertuju pada keluarga Huang, meskipun dia tidak menutup kemungkinan ada orang lain yang secara kebetulan melihat pertarungan itu.   Bukan hal yang aneh jika ada tokoh persilatan yang usil dan mengikuti jalannya pertarungan antara kedua pemuda itu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Untuk kemudian menolong Ding Tao yang jatuh ke dalam sumur.   Entah karena tertarik dengan pedang yang jatuh atau sekedar ingin menolong pemuda itu.   Sesampainya di atas, raut wajah Fu Tsun sudah normal kembali, dengan lagak tawa dia menjelaskan penemuannya di bawah sana.   Setelah beberapa saat berbasa-basi, tanpa membuang lebih banyak waktu lagi dia berusaha meneliti jejak yang mungkin tertinggal di sekitar sumur itu.   Jejak yang bisa membantu dia untuk menemukan Ding Tao, penlongnya dan pedang pusaka Wang Dou.   Tapi kegiatan penduduk di sekitar tempat itu dan kehati-hatian Gu Tong Dang telah menghapuskan jejak-jejak yang mungkin saja tertinggal.   Dengan hati galau, Fu Tsun memacu kudanya untuk menemui Wang Dou dan melaporkan hasil temuannya.   Sementara itu pada saat yang sama Ding Tao telah sadar dari tidurnya.   Bau sop kaldu ayam yang menyebar memenuhi pondok kecil itu.   Dikejap-kejapkannya matanya, sambil menyeringai menahan sakit dia berusaha bangkit, luka di dadanya terasa sedikit nyeri, demikian juga memar-memar yang ada di tubuhnya.   Perlahan-lahan ingatannya kembali.   Teringatlah kembali dia akan pertarungan yang terjadi di malam sebelumnya, bagaimana dia terjatuh ke dalam sumur dan akhirnya ditolong oleh Gu Tong Dang.   Diedarkannya pandangannya ke seluruh ruangan, saat tidak menemukan Gu Tong Dang, dia berusaha bangkit berdiri.   Tanpa sengaja tersentuhlah olehnya pedang pusaka milik Wang Dou.   Melihat pedang itu dan teringat akan keistimewaan pedang itu, Ding Tao tidak ingin meninggalkan pedang itu tergeletak begitu saja.   Sambil menjinjing pedang itu di tangan, diapun berjalan dengan sedikit tertatih-tatih untuk mencari Gu Tong Dang.   Gu Tong Dang yang saat itu berjaga-jaga di luar mendengar suara tempat tidur yang berderik-derik.   Dengan tangkas guru tua itupun, bangkit dan memasuki kamar tempat dia merawat Ding Tao.   Saat Ding Tao melihat Gu Tong Dang, cepat pemuda itu hendak berlutut untuk mengucapkan terima kasihnya.   Tapi Gu Tong Dang dengan cepat menahan tubuh pemuda itu.   "Guru " "Ah, tubuhmu masih lemah, sebaiknya beristirahat saja di tempat tidur." "Guru terima kasih guru jika bukan karena pertolonganmu, tentu" "Hahaha, sudahlah, tak usah kau pikirkan, saat ini yang harus kau lakukan adalah beristirahat untuk memulihkan kondisimu."   Dengan berhati-hati dipapahnya Ding Tao kembali ke tempar tidur yang ada.   Kemudian dibawakannya semangkuk sop ayam yang sudah dia sediakan.   "Ini makanlah dulu, setelah itu bermeditasilah untuk mengatur dan mengumpulkan hawa murni di tubuhmu." "Baik guru, terima kasih guru."   Perlahan-lahan Ding Tao menyeruput sop ayam yang masih mengepul. Gu Tong Dang menarik sebuah bangku dan duduk di hadapan muridnya itu.   "Ding Tao, sambil kau makan, aku hendak berbicara denganmu."   Ding Tao dengan sedikit berdebar menganggukkan kepala.   "Baik guru " "Kemarin saat kita mengantarkan keluarga Wang pulang ke rumah mereka, sempat kulihat Wang Chen Jin membisikkan sesuatu padamu, apakah itu yang menyebabkan engkau pergi diam-diam keluar kota untuk bertemu dengannya?" "Benar guru, dia, dia mengatakan ada satu urusan penting yang bersangkut paut dengan nona muda Huang."   Gu Tong Dang mengangguk-anggukkan kepalanya.   "Hmmm, jadi begitu rupanya. Di dalam hatinya dia masih mendendam padamu dan dengan alasan itu dia berusaha menjebakmu lalu membunuhmu." "Sepertinya demikian guru"   Sejenak lamanya Gu Tong Dang memandangi muridnya itu dan memikirkan sifat muridnya yang lugu.   "Ding Tao, hendaknya pengalaman ini kau ingat baik-baik dalam hati. Hidup dalam dunia persilatan, janganlah mudah percaya perkataan orang. Ketahuilah bahwa aku sudah merasakan satu kejanggalan sejak aku melihat dia berbisik diam-diam padamu." "Ketika aku berusaha mencarimu di kamarmu, ternyata engkau tidak ada di sana. Secepatnya aku berusaha mencarimu, sayang aku datang terlambat." "Tidak terlambat guru, seandainya guru terlambat tentu murid sudah pergi meninggalkan dunia ini. Budi guru tidak akan pernah murid lupakan, bukan hanya berhutang pelajaran, murid bahkan berhutang nyawa." "Hehehe, sudahlah, seandainya aku datang lebih cepat tentu keadaanmu tidak separh sekarang ini. Tapi sekarang semua itu tidaklah penting, ada hal yang lebih penting yang harus kusampaikan padamu."   Wajah Gu Tong Dang menjadi lebih serius dan Ding Tao yang melihat perubahan pada wajah gurunya itupun jadi terdiam dan menebak-nebak.   "Anak Ding, tahukah kamu pedang apa yang dipakai Wang Chen Jin itu?", tanya Gu Tong Dang sambil menunjuk ke arah pedang yang ada di samping Ding Tao.   Karena tidak tahu dan juga yakin bahwa gurunya tentu mengetahui keberadaan dan latar belakang pedang yang berhasil direbutnya dari Wang Chen Jin, Ding Tao menggelengkan kepala, sambil seluruh perhatiannya menantikan kata-kata selanjutnya dari Gu Tong Dang.   "Hmm, kau tentu sudah mengetahui bahwa pedang itu sangatlah berharga, hingga dalam keadaan yang sangat payah pun pedang itu masih kau genggam erat.   Mungkin saat bertarung dengan Wang Chen Jin, kau dapati pedang baja putih milikmu dengan mudah bisa dipotong-potong oleh pedang itu." "Nah Ding Tao, sekarang dengarkanlah baik-baik apa yang akan aku katakan mengenai pedang itu.   Jika aku tidak salah, pedang yang sekarang ada padamu itu adalah Pedang Angin Berbisik, milik mendiang pendekar pedang kenamaan Jin Yong yang sering juga dijuluki Raja Pedang dari Emei."   Mendengar itu mata Ding Tao terbelalak, siapa yang tidak pernah mendengar nama besar Jin Yong, siapa pula yang tidak pernah mendengar kisah pedang miliknya yang hilang tidak tentu rimba saat pendekar itu meninggal.   Kira-kira 12 tahun yang lalu pendekar besar itu mati diracun dan pedangnya tidak ditemukan pada mayatnya.   Sejak saat itu sudah ada beberapa pendekar pedang yang dikabarkan berhasil memiliki pedang pusaka itu, namun umur mereka tidaklah panjang.   Dalam waktu yang kurang dari 10 tahun, entah sudah ada berapa pendekar yang meninggalkan dunia fana, untuk memperebutkan pedang pusaka itu, sampai beberapa tahun yang lalu ketika pedang itu benar-benar lenyap tanpa kabar.   Siapa sangka, rupanya pedang itu sudah jatuh ke tangan keluarga Wang.   Gu Tong Dang dengan arif membiarkan Ding Tao mencerna kenyataan yang baru didengarnya.   Beberapa saat kemudian diapun melanjutkan.   "Menurut pendapatku, Wang Dou entah dengan cara bagaimana mendapatkan pedang itu. Namun dia cukup cerdik untuk menyadari kelemahannya dan menyimpan pedang itu tanpa menggunakannya." "Melihat gagang kayu pedang itu, menurutku dia tentu menyembunyikan pedang itu ke dalam sebuah tongkat kayu. Karena pada bentuk aselinya, gagang pedang itu terbuat dari besi yang sama dengan mata pedangnya."   Sambil merenungi mangkok di tangannya, Ding Tao melanjutkan kata-kata Gu Tong Dang, setengah berbisik.   "Dan Wang Chen Jin yang sangat mendendam padaku, meminjam pedang ayahnya dengan diam-diam." "Ya, kurasa itulah yang terjadi. Wang Dou yang sudah bersabar selama bertahun-tahun menyimpan tanpa sekalipun menggunakan pedang itu, tentu tidak akan meminjamkannya pada anaknya hanya untuk membalas dendam. Orang itu memiliki ambisi yang besar, jika dia belum berhasil meyakinkan ilmu pedangnya, tidak akan dia memunculkan pedang itu."   Dengan sabar Gu Tong Dang menghentikan penjelasannya, dan diamatinya wajah Ding Tao.   Ding Tao yang merenung- renungkan perkataan Gu Tong Dang tiba-tiba memucat wajahnya.   Tangannya bergetar hingga beberapa tetes kaldu ayam tercecer ke atas pembaringannya.   Gu Tong Dang yang melihat itu, menutup matanya dan mendesah.   "Guru jika demikian keadaannya tentu tentu Wang Dou akan mencari dan berusaha mendapatkan kembali pedang itu dengan segala cara.   Dan tempat pertama yang dia tuju"   Mendesah Gu Tong Dang melanjutkan kata-kata muridnya.   "Ya tempat pertama yang diselidikinya sudah tentu adalah kediaman keluarga Huang." "Guru... menurut guru, apakah sebaiknya yang harus kulakukan?"   Untuk beberapa saat Gu Tong Dang terdiam, baginya berat untuk mengatakan apa pendapatnya.   "Hehh., ini tidaklah mudah.   Anak Ding, menurut pendapatku, tidak ada jalan lain, kau harus pergi meninggalkan kota secepatnya.   Dan jangan pernah lagi kembali sebelum kau bisa meyakinkan ilmu pedangmu." "Kau harus memutuskan hubunganmu dengan keluarga Huang, hanya dengan cara itu kau bisa membersihkan nama keluarga Huang dari urusan ini."   Wajah Ding Tao yang pucat semakin pucat.   "Guru apakah tidak ada jalan lain? Bagaimana kalau pedang ini aku berikan saja pada Tuan besar Huang atau mungkin aku kembalikan lagi pada Tuan Wang Dou?"   Dengan berat hati Gu Tong Dang menggelengkan kepalanya,"   Anak Ding, cobalah pikirkan dengan hati yang jernih.   Jika kau kembalikan pedang itu pada Wang Dou, nyawamu pasti hilang.   Karena bagi Wang Dou bukan saja kembalinya pedang itu yang penting, tapi juga keberadaan pedang itu padanya haruslah menjadi satu rahasia." "Dan untuk menjaga rahasia itu, siapapun yang mengetahui bahwa dia memiliki pedang itu harus dibinasakan.   Jika kau kembali, keluarga Huang pun akan ikut terseret dalam permasalahan ini."   Sambil menggigit bibir Ding Tao menggeleng-gelengkan kepalanya.   Dalam hatinya dia masih belum bisa menerima kenyataan.   Sudah sejak dia masih kanak-kanak dia tinggal bersama keluarga Huang.   Sejak menginjak remaja hatinya sudah tertambat pada nona muda Huang.   Dan baru saja dia memiliki keberanian untuk berharap untuk bisa mendapatkan hati nona muda pujaannya.   "Guru, apakah Wang Dou kebih kuat dari keluarga Huang, jika kuberikan pedang ini pada Tuan besar Huang, tidakkah keluarga Huang menjadi kuat karenanya?" "Anak Ding, ilmu pedang dan kekuatan keluarga Huang secara keseluruhan, mungkin masih berimbang dengan kekuatan Wang Dou dan kelompoknya.   Tapi jangan lupa, dunia persilatan penuh dengan tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian bagaikan dewa.   Jika bukan karena keberadaan mereka, tentu Wang Dou tidak perlu merahasiakan keberadaan pedang itu." "Wang Dou mungkin saja tidak berani merebut pedang itu, tapi jika demikian, maka tidak ada pula alasan baginya, untuk tidak menyiarkan berita bahwa keluarga Huang telah mendapatkan pedang itu dan aku mengenal tabiat Tuan besar Huang, dia tidak akan melepaskan pedang itu begitu saja." "Meskipun telah beberapa generasi kita lebih berkonsentrasi pada usaha dagang.   Namun aku tahu dengan pasti, bahwa dalam hatinya, ambisi untuk merajai dunia persilatan itu pun ada.   Mungkin sekarang dia memendamnya tapi jika dia sampai memiliki pedang ini, ambisi yang terpendam itu akan berkobar dan api kobarannya bisa membakar kedamaian keluarga Huang." "Anak Ding, keberadaan pedang itu, akan mengundang bencana bagi keluarga Huang.   Jika kau tidak ingin melihat kedamaian yang ada pada keluarga Huang sekarang ini hilang, kau harus membawa pergi pedang itu jauh-jauh dari mereka."   Ding Tao meletakkan mangkok yang dipegangnya, ditangkupkannya kedua tangannya yang gemetar menahan perasaan.   Perlahan-lahan dia berusaha bernafas dengan lambat dan teratur, dipikirkannya kedudukannya saat itu dengan cermat.   Menutup kedua matanya, dia menghela napaf dan berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan yang akan mengganggunya dalam berpikir.   Pemuda itu bisa membayangkan reaksi Wang Dou apabila tokoh tua itu mendapati pedangnya hilang bersamaan dengan hilangnya dirinya.   Yang pertama-tama dia lakukan tentu memeriksa sumur tempat dia terjatuh, ketika didapatinya Ding Tao sudah menghilang bersamaan dengan pedang itu, maka kecurigaan akan dialihkan pada orang-orang dalam keluarga Huang.   Apabila dirinya masih sempat datang kembali ke kediaman keluarga Huang setelah kejadian itu, tentu Wang Dou akan memiliki pemikiran bahwa mungkin saja pedang itu berada dalam kekuasaan keluarga Huang.   Meskipun Ding Tao kemudian pergi dari rumah keluarga Huang, kecurigaan itu tidak akan hilang begitu saja.   Baginya tidak ada pilihan lain kecuali dengan segera meninggalkan kota, tanpa berpamitan pada siapapun juga.   Akan tetapi kondisi tubuhnya saat di dalam sumur sangatlah buruk, tidak mungkin dia keluar tanpa bantuan dan bila Wang Dou cukup teliti, tentu akan diketahui pula bahwa gurunya Gu Tong Dang sempat meninggalkan kediaman keluarga Huang pada malam itu.   Ding Tao membuka matanya dan menatap sosok kakek tua yang ada di hadapannya.   Diperhatikannya keriput di wajah tua itu dan senyum yang tidak lepas juga meskipun menghadapi kejadian yang mengejutkan.   "Guru, jika demikian pemikiran guru, itu berarti, guru pun tidak bisa pulang kembali."   Guru tua itu mengangguk-angguk dengan sabar.   "Ya, sepertinya kau sudah mengerti. Mungkin banyak orang akan memandang kita sebagai orang yang tidak mengenal arti kata setia dan tidak tahu membalas budi." "Tapi jika kita tidak mau membawa kesulitan masuk ke dalam keluarga Huang, justru inilah yang harus kita lakukan."   Ding Tao mengangguk, meskipun terasa pahit baginya, tapi diapun tidak melihat jalan lain.   Gu Tong Dang mendesah sedih, guru tua itu bukannya tidak tahu bagaimana perasaan Ding Tao terhadap nona muda Huang.   Dengan perlahan dia bangkit berdiri lalu menepuk-nepuk pundak Ding Tao.   "Bersabarlah, dalam dua tahun, jika kau rajin berlatih, tentu kepandaianmu bisa meningkat pesat dan pada saat itu, tidak perlu kau takut pada Wang Dou. Pada saat itu, dengan pedang Angin berbisik di tanganmu, tidak banyak yang dapat menandingimu."   Ding Tao berusaha tersenyum dan mengangguk, meskipun hatinya masih terlalu pedih untuk mengucapkan apa-apa. Gu Tong Dang bisa menyelami perasaan muridnya.   "Sudahlah, aku akan menyiapkan bekal bagi perjalanan kita, percayalah, aku akan berusaha membantumu sekuat tenaga."   Gu Tong Dang meninggalkan ruangan itu dan tinggallah Ding Tao sendiri.   Pemuda itu menatap langit-langit kamar, terbayang di pelupuk matanya, senyum manis nona muda Huang.   Terbayang pula betapa terkejutnya mereka sekeluarga ketika mendapati dirinya dan gurunya hilang begitu saja.   Saat mereka mendapati keduanya pergi dengan keinginan sendiri, betapa mereka akan mencaci maki dan memandang rendah.   Ding Tao mendesah, matanya dipejamkan dan keluhan pendek keluar dari mulutnya.   Beberapa lamanya dia berdiam, ketika matanya membuka, wajahnya tidak lagi dihiasi kerisauan, melainkan ada kemauan yang kuat terpancar di sana.   Ding Tao bukan seorang pemuda yang keranjingan ilmu silat, jika dia berlatih dengan tekun, itu adalah karena dia ingin menyenangkan hati nona muda Huang.   Jika dia pernah bermimpi menjadi jagoan pedang, itupun karena dia ingin memenangkan hati nona muda Huang.   Sekarang nasib sudah memaksa dia untuk mengambil jalan yang akan dipandang rendah oleh nona muda itu.   Tapi Ding Tao bertekad untuk menggembleng dirinya dengan tekun, sehingga satu saat nanti dia bisa kembali, untuk meluruskan kesalah pahaman ini dan menghapuskan segala kesan buruk yang ada dalam benak nona muda Huang terhadap dirinya.   Panas terik membakar permukaan bumi dan penghuninya.   Hari belumlah mencapai tengah hari tapi panasnya sudah mebuat keringat bercucuran.   Mereka yang berduit lebih memilih menggunakan kereta atau tandu.   Yang tidak berduit, terpaksa berjalan kaki saja dengan menggunakan topi lebar untuk menudungi kepala mereka dari teriknya matahari.   Tapi ada saja orang muda, utamanya para laki-laki yang berjalan dengan dada tengadah tanpa tudung kepala.   Buat mereka ini panasnya matahari masih tidak sepanas darah yang mengalir di tubuh mereka.   Kulit mereka berwarna tembaga, karena begitu seringnya terbakar matahari.   Atau juga mereka yg masih remaja dan anak-anak, yang bermain tanpa mempedulikan panasnya matahari.   Karena semangat mereka yg meledak-ledak tidak bisa dipadamkan dengan sedikit panas atau hujan.   Beruntung negara yang terisi dengan pemuda-pemuda seperti ini, tapi sungguh celaka jika negara seperti ini dipimpin oleh pemimpin yang malas dan picik.   Sehingga bibit-bibit di masa depan, harus mati tertindas atau teracuni oleh keserakahan pemimpinnya.   Salah satu dari mereka yang berjalan tanpa tudung kepala adalah seorang pemuda yang sangat menonjol perawakannya.   Wajahnya lebar dan kesan jujur terpancar di sana.   Senyum yang sopan tidak pernah lepas dari bibirnya.   Sebenarnya tidak bisa dikatakan tampan, meskipun juga bukan seorang buruk rupa, yang menarik dari wajah pemuda itu adalah ekspresi yang ada di sana.   Sekilas orang memandang, mereka bisa merasa bahwa pemuda ini dapat dipercaya.   Tinggi badannya melampaui orang-orang di sekitarnya, sehingga ke mana dia berjalan, tanpa terasa orang akan memandang ke arahnya.   Pemuda itu berjalan sambil menengok ke kanan dan ke kiri, diam-diam bergumam seperti sedang mengenangkan masa lalu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Ah, toko uwak Hong itu masih ada, semakin ramai saja kelihatannya."   Atau "Lho, toko kain yang di ujung pasar sekarang sudah berubah jadi kedai makan. Di mana ya bibi tua yang baik hati itu sekarang."   Orang lewat yang sempat mendengar itu bisa menarik kesimpulan bahwa pemuda ini dulunya pernah tinggal di kota itu dan sekarang kembali setelah meninggalkan kota itu untuk waktu yang cukup lama.   Ketika pemuda itu melewati sebuah rumah makan bertingkat dua, maka tanpa disadarinya ada 3 pasang mata yang mengamati keberadaannya.   Ketiga orang itu berduduk di tingkat 2, sehingga dengan mudah mereka mengamati pemuda itu tanpa terlihat olehnya.   Ketiganya duduk dalam satu meja yang sama, buntalan yang diletakkan di atas meja mengesankan bahwa ketiganya, seperti sedang mengadakan perjalanan jauh.   Sebilah pedang tergantung di pinggang, jika itu tidak cukup, maka tatapan mata yang tajam, urat yang bertonjolan di tangan dan kulit tangan yang mengeras di tempat-tempat tertentu menunjukkan bahwa ketiganya adalah orang-orang yang sudah cukup lama bergelut dengan pedang.   Tentu saja, tidak berarti bahwa ketiganya adalah jago pedang.   Salah seorang yang termuda di antara mereka berbisik pada yang lain.   "Apakah benar dia? Sepertinya benar dia, tapi juga rasanya berbeda. Lebih lebih"   Dengan nada yang ragu dia meneruskan.   " lebih gagah, lebih berwibawa."   Yang tertua di antara mereka menyipitkan matanya, berusaha menangkap lebih jelas raut wajah pemuda yang sedang mereka amati.   "Mataku sudah tidak seawas biasanya, tapi dari dulu pun tubuhnya sudah lebih tinggi dari kebanyakan orang biasa. Dalam dua tahun, bukan tidak mungkin dia bertambah tinggi lagi."   Orang ketiga berkata pula.   "Mataku masih cukup awas dan menurutku, itu memang dia. Tentu saja ada perubahan- perubahan, ketika dia menghilang dulu dia masih berumur 18 tahun. Masih dalam masa pertumbuhan. Kalau kuingat sewaktu dia kecil dulu justru dia yg terpendek di antara yang lain dan baru menginjak usia 15-an tubuhnya bertumbuh dengan cepat. Rasanya itu memang dia."   Tapi cepat-cepat dia menambahkan.   "Meskipun demikian, kalau hendak memastikan, sebaiknya kita lihat saja dari dekat."   Yang paling tua di antara mereka berpikir sejenak, tampaknya dialah yang menjadi pemimpin dalam kelompok ini, itu sebabnya ketika mengajukan pendapat, kedua orang yang lain selalu memandang ke arahnya. "Hmm kurasa sebaiknya begitu."   Yang termuda di antara mereka tampak ragu.   "Tapi kita sedang mengemban tugas penting, apakah memang pemuda itu begitu pentingya? Jika terlambat hanya gara-gara pemuda itu, bukankah kita bisa kena semprot Tuan besar Huang nantinya?"   Dua orang lain yang lebih tua umurnya saling berpandangan. Seperti saling mengerti tanpa kata-kata keduanya perlahan- lahan mengangguk. Kemudian yang tertualah yang menjawab.   "Dibilang penting sekali juga tidak. Tapi memastikan identitas pemuda itu tidaklah begitu susah dan memakan waktu, nanti setelah memastikan dirinya kita bisa memutuskan langkah selanjutnya."   Yang termuda pun terpaksa mengangguk, dia bisa merasakan ada ketegasan dalam jawaban itu.   Meskipun demikian dalam hati dia bertanya-tanya, ada apa di balik pemuda itu? Seorang tukang kebun yang menghilang bersamaan dengan hilangnya seorang guru tua dua tahun yang lalu.   Apakah ada satu misteri yang penting di balik menghilangnya mereka? Dengan hati bertanya, diapun mengikuti kedua orang yang lebih tua dari dirinya.   Bergegas mereka keluar, untuk mengikuti pemuda tadi, pemilik rumah makan itu tampaknya sudah mengenal baik mereka bertiga, sehingga tanpa banyak pertanyaan dibiarkannya saja, ketiganya berlalu.   Dengan setengah berbisik, ia memanggil pelayan yang melayani meja mereka bertiga.   "Hei, kau catat saja dulu pesanan mereka, kalau mereka tidak kembali kita tagihkan saja ke rumah Tuan besar Huang."   Meragu sejenak dia menambahkan.   "Sementara ini, biarkan saja meja mereka, siapa tahu nanti mereka kembali."   Ketiga orang itu berlalu tanpa berpamitan, tidak sulit untuk mengikuti pemuda yang mereka cari, tubuhnya yang jauh lebih tinggi dibanding orang di sekitarnya memudahkan mereka.   "Sepertinya dia pergi menuju ke tempat kediaman keluarga Huang.   Apa yang sebaiknya kita lakukan?"   Berkerut alis pemimpin dari rombongan kecil itu.   "Kalau dia memang pergi untuk menemui Tuan besar Huang, tidak perlu kita mengikuti dia seperti ini." "Kakak, rasanya memang benar tentu dia itu Ding Tao, sedari dulu sifatnya jujur dan setia. Menghilangnya dia dua tahun yang lalu, tentu karena terpaksa dan sekarang dia hendak kembali untuk datang dan meminta maaf pada Tuan besar Huang, telah pergi tanpa berpamitan." "Aku rasa kamu benar. Meskipun demikian"   Kedua orang yang mengikut menunggu dengan tegang, menanti pimpinan mereka memberikan keputusan.   "Huang Lui, sekarang sebaiknya kau kembali ke rumah, mendahului pemuda itu.   Entah dia benar Ding Tao atau bukan, menurutku ada baiknya pamanmu, Tuan besar Huang, sudah bersiap terlebih dahulu sebelum dia sampai."   Pemuda itu memandang dengan alis terangkat, seperti hendak memastikan.   Dalam hatinya ada seikit rasa kecewa, ini adalah pertama kalinya, dia dikirim keluar kota untuk menyelesaikan suatu urusan.   Ketika dilihatnya perintah itu sudah pasti dan tidak akan berubah, diapun mengangguk dengan sedikit enggan.   "Baiklah paman."   Pemimpin rombongan itu bisa membaca kekecewaan di wajah Huang Lui, sambil tersenyum dia menambahkan.   "Aku dan adik Lin, akan menyelesaikan makan di rumah makan Hoa sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Kalau kau cepat-cepat melapor dan kembali, kau bisa menyusul kami sebelum kami meninggalkan kota. Kalaupun kami sudah tidak ada di sana, kau bisa mencari kami di Penginapan Bunga Seroja."   Wajah pemuda itupun menjadi cerah kembali.   "Baiklah paman, aku akan secepatnya melapor pada Paman Huang Jin."   Kedua orang yang lain mengangguk, kemudian sambil menunggu pemuda itu menghilang, mereka terus mengamati pemuda yang mereka sangka sebagai Ding Tao, tukang kebun keluarga Huang yang menghilang dua tahun yang lalu.   Mata keduanya masih mengikuti pemuda tinggi tegap itu, sampai dia menghilang di sebuah persimpangan.   "Sepertinya dia memang mengambil jalan menuju kediaman keluarga Huang, meskipun dia mengambil jalan yang sedikit lebih panjang." "Hmm, benar, mungkin dia sedang mengenangkan kota ini.   Dua tahun waktu yang cukup panjang dan ada banyak perubahan di sana sini.   Menurutmu apa perlu kita mengikutinya lebih jauh?"   Orang yang ditanya merenung sejenak.   "Kurasa tidak perlu. Penilaian kita rasanya tidaklah salah, sudah 18 tahun hidup mengenalnya, rasanya waktu yang 2 tahun tidak akan banyak mengubah wataknya itu. Lagipula jika benar pemuda itu Ding Tao dan dia ingin menghindari kita orang-orang keluarga Huang, tentu dia tidak akan kembali ke kota ini." Orang yang tertua, yang menjadi pimpinan itu termenung sejenak sebelum mengangguk dan berbalik kembali ke arah rumah makan Hoa. Sambil berjalan kembali dia mendesis.   "Tapi jika benar kecurigaan Tuan besar Huang tentang sebab musabab, menghilangnya dia 2 tahun yang lalu"    Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH

Cari Blog Ini