Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 9


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 9


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Saudara Ding aku pun akan berusaha menyiapkan kepergianmu, akan coba kuatur penjagaan di sekitar rumah ini, supaya ada celah bagimu untuk keluar." "Terima kasih, dan jika Saudara Fu punya cara untuk memindahkan aku secara diam-diam ke kamarmu, kupikir lebih baik jika aku berusaha meloloskan diri dari sana."   Sambil mengangguk, tanpa menoleh ke arah lemari yang sudah tertutup lagi, Huang Ren Fu mengiyakan.   "Tentu, selekasnya aku akan kembali lagi untuk memberimu kabar, tentang hal itu, sebaiknya dilakukan lewat malam pula."   Kamar itu pun kembali lenggang, dalam lemari tinggal Ding Tao sendiri yang dengan hati berdebar, menunggu malam tiba.   Keputusan sudah dibuat dengan tekad yang bulat, tapi tak urung hatinya berdebar, apakah dia akan berhasil lolos ataukah mati di ujung pedang.   Jika dia harus mati malam ini, betapa dia akan penasaran, tugas dari gurunya belum juga berhasil dia selesaikan.   Dalam hidup juga dia merasa belum melakukan sesuatu yang berarti, jika harus mati betapa sia-sia dia dilahirkan.   Beberapa kali Huang Ying Ying kembali ke kamarnya, tapi tidak berlama-lama di sana, hanya sekedar meninggalkan makanan dan beberapa pesan dari Huang Ren Fu untuk Ding Tao.   Ding Tao menggunakan waktu yang ada, untuk menenggelamkan dirinya dalam latihan tenaga dalam.   Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan sekarang, kecuali menunggu, dan Ding Tao bukanlah orang yang suka membuang waktu dengan percuma.   Baru setelah matahari tenggelam dan rumah kediaman keluarga Huang hanya diterangi cahaya dari lampu-lampu yang dipasang, Huang Ying Ying kembali ke dalam kamarnya.   Lama sebelum dia memberanikan diri untuk mengajak bicara Ding Tao.   "Kakak Ding, apakah kakak sudah bersiap?"   Perlahan pintu lemari membuka, Ding Tao sudah bersiap sejak tadi.   Hatinya yang sudah dikuat-kuatkan sekarang terasa berat, saat Huang Ying Ying ada di hadapannya.   Lidahnya terasa kelu, tidak tahu hendak berkata apa.   Wajah gadis itu terlihat begitu sedih, hingga Ding Tao rasanya ingin menangis saja.   Melihat Ding Tao, Huang Ying Ying mencoba tersenyum meskipun pahit dalam hati.   "Kakak Ding, berhati-hatilah."   Ding Tao hanya bisa mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa.   Sesuai dengan pesan Huang Ren Fu, Ding Tao akan berpindah dari kamar Huang Ying Ying menuju ke kamar Huang Ren Fu melewati langit-langit rumah, kedua kamar itu masih terhubung lewat langit-langit rumah yang sama.   Dengan ringan Ding Tao melompat ke atas lemari pakaian Huang Ying Ying, dan dari situ baru dia membuka salah satu papan yang ada.   Terlihat lubang gelap menganga, dengan mudah Ding Tao mengangkat tubuhnya menghilang ke dalam lubang itu.   Saat Huang Ying Ying melihat dia menghilang, tak kuasa menahan dia berseru tertahan.   "Kakak Ding"   Mendengar panggilan Huang Ying Ying, Ding Tao menjenguk kembali ke bawah. Hatinya semakin berat untuk meninggalkan Huang Ying Ying sendiri. "Adik Ying, aku harus pergi.", ujarnya dengan sedih. Huang Ying Ying mengangguk dengan mata yang basah.   "Ya aku tahu, Kakak Ding, jangan lupa, aku akan selalu menunggumu."   Ding Tao mengangguk, tidak tahan menahan tangis, Huang Ying Ying mendorong pemuda itu untuk selekasnya pergi dengan senyum yang dipaksakan.   "Pergilah cepat. Kakak Fu sudah menunggumu."   Kali itu Ding Tao benar-benar pergi, sekali lagi dia menghilang ditelan lubang yang gelap, papanpun digeser kembali ke tempatnya.   Air mata yang tadi ditahan-tahan, akhirnya tercurah juga.   Di atas sana, Ding Tao masih sempat mendengar sayup-sayup isak tangis Huang Ying Ying, tapi pemuda itu mengeraskan hati dan terus berjalan.   Tidak sulit untuk menemukan kamar Huang Ren Fu, karena Huang Ren Fu sudah terlebih dahulu menggeser salah satu papan penutup langit-langit kamarnya.   Dari kegelapan tempat Ding Tao berada, lubang itu tampak begitu mencolok.   Sesampainya di lobang itu Ding Tao melongokkan kepalanya, Huang Ren Fu sudah menanti di sana.   "Saudara Ding, keadaan aman, cepatlah turun."   Tanpa banyak suara, Ding Tao melompat ke bawah dengan ringan.   Tidak banyak kata diucapkan di antara mereka, bekal berupa buntalan pakaian, sejumlah uang dan sebilah pedang sudah disiapkan.   "Saudara Ding, berita tentang dirimu dan Pedang Angin Berbisik sudah mulai menyebar dalam dunia persilatan, sebisa mungkin sebaiknya dirimu berpergian dengan menyamar.   Ini ada sedikit uang, bisa kau gunakan untuk menyewa tandu atau keperluan yang lain.   Besok pagi, aku dan beberapa orang akan pergi ke gerbang timur kota.   Jangan sampai terlambat di sana, jika ada orang-orang dari keluarga Huang atau orang-orang dunia persilatan yang berusaha menunggumu di sana, kami yang akan mengalihkan perhatian mereka." "Saudara Fu, terima kasih banyak.", ujar Ding Tao dengan suara tercekat karena haru.   Sambil menepuk pundak Ding Tao, Huang Ren Fu menjawab.   "Tidak usah banyak kaupikirkan, hanya satu pintaku, jika suatu hari nanti keluarga kami berbuat salah padamu. Moga-moga kau tidak lupa, di sini ada orang-orang yang sudah dengan tulus berusaha membantumu." "Tentu, hutang budi harus dibalas, lepas dari itu, kau adalah sahabatku. Seandainya ada kejadian aku bentrok dengan keluarga kalian, mengingat persahabatan kita, sebisa mungkin aku akan mengalah.", jawab Ding Tao dengan tulus. Tidak banyak lagi yang bisa dikatakan, sebentar kemudian Ding Tao sudah lenyap dalam gelapnya malam. Di pesannya siang tadi Huang Ren Fu sudah menjelaskan jalan-jalan yang aman untuk dilalui sampai keluar dari kediaman keluarga Huang. Tidak sulit untuk mengatur hal itu bersama dengan mereka, yang mengikat sumpah untuk mempertahankan keluarga Huang dari kelicikan Tiong Fa. Dalam gelapnya malam, Ding Tao berhasil keluar dari rumah kediaman keluarga Huang tanpa banyak mengalami gangguan. Keesokan harinya, seperti yang sudah dijanjikan Huang Ren Fu bersama beberapa orang yang lain pergi ke gerbang timur kota. Huang Ren Fu tidak bisa melihat Ding Tao ada di sana, tapi setelah beberapa lama menunggu, Huang Ren Fu memutuskan untuk memulai kericuhan kecil. Sebuah perkelahian pura-pura, antara Huang Ren Fu dan kelompoknya, melawan beberapa orang dari mereka yang menyamar. Hingga akhir perkelahian sandiwara itu berakhir, Huang Ren Fu dan teman-temannya tidak melihat Ding Tao keluar dari gerbang kota. Mereka hanya bisa berharap, kericuhan itu sudah cukup untuk menarik perhatian, dan memberi kesempatan bagi Ding Tao untuk keluar dari kota dengan selamat, tanpa ada orang yang berhasil mengenalinya. Sebenarnyalah demikian, Ding Tao mungkin seorang yang lugu, tapi dia bukan seorang yang bodoh. Ding Tao menyamar dengan mengenakan sehelai jubah panjang dan buntalan baju diselipkan di baliknya, lalu berjalan dengan setengah berjongkok. Sebuah topi anyaman, menutupi wajahnya. Bagi orang yang melihat, dia terlihat seperti seorang gendut dan pendek, dengan jubah yang sedikit kepanjangan. Salah satu ciri yang paling menonjol dari Ding Tao adalah tinggi badannya yang di atas rata-rata. Dengan sedikit penyamaran itu, Ding Tao berhasil mengelabui orang-orang yang berusaha mencarinya. Berjalan dengan cara demikian tentu sangat melelahkan, segera setelah melewati gerbang kota dan berada di tempat yang jauh dari pandang mata orang, pemuda itu melepas lelah, duduk bersandar di sebuah pohon besar. Menatap lama ke arah kota, Ding Tao mengenang segala kebaikan keluarga Huang padanya. Dalam hati dia berharap, suatu saat dia bisa kembali ke sana dengan kepala tegak. Ya, suatu saat nanti, setelah tugas yang dipercayakan gurunya selesai dilaksanakan. Selama beberapa hari perjalanan Ding Tao menuju Bukit Songshan berjalan tanpa banyak halangan. Setiap kali melewati kota atau desa kecil, atau berjalan bersama-rombongan lain, Ding Tao tetap dengan penyamaran yang sama. Hanya saat berjalan sendirian, dia berjalan seperti biasa. Tapi salah jika Ding Tao mengira dirinya sudah aman dengan penyamaran yang sederhana itu. Penyamaran Ding Tao mungkin bisa menipu mereka yang belum berpengalaman. Tapi mata awas mereka yang sudah kenyang makan asam garamnya dunia persilatan, bisa mengendus penyamaran Ding Tao yang sederhana itu. Ding Tao yang cermat dalam bekerja tidak mudah terbuai dengan keadaan yang tenang itu. Meskipun Ding Tao kurang dalam pengalaman, tapi sifatnya yang cermat membuat pemuda itu tidak lalai dalam mengamati keadaan di sekelilingnya, serta orang-orang yang dia temui sepanjang perjalanan. Setelah berjalan beberapa hari dan melewati dua tiga kota, Ding Tao mulai sadar bahwa dirinya sedang diikuti orang. Pemikiran itu mulai timbul ketika dia menyadari bahwa ada orang-orang yang sama, yang pernah dia temui beberapa hari sebelumnya, secara mengherankan muncul kembali di kota dia berada. Padahal mereka sudah dia tinggalkan beberapa hari sebelumnya. Sejak itu pengamatannya ditingkatkan, terutama terhadap orang-orang yang dia curigai itu. Dengan sengaja Ding Tao mengambil jalan memutar, pemuda itu tidak mengambil jalan yang akan langsung mengantarnya menuju ke pusat Biara Shaolin. Sedikit menyimpang, Ding Tao melewati terlebih dahulu beberapa kota kecil. Otaknya yang cerdas, matanya yang awas dan sifatnya yang tekun, bekerja keras. Satu hari, Ding Tao dengan sengaja berlama-lama, melepas lelah di sebuah penginapan. Dari hasil pengamatannya ada tiga kelompok berbeda yang sedang mengikuti dirinya. Kelompok pertama, terdiri dari sekitar 11 orang, bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara bergantian. Terkadang dua orang akan mengikuti Ding Tao dari dekat, sampai dia beristirahat di kota tertentu. Kemudian untuk menyamarkan pengintaian mereka, kelompok yang berbeda akan ganti mengikuti Ding Tao. Menurut perkiraan Ding Tao, tentu kelompok-kelompok kecil yang lain, mengikuti dari jarak yang lebih jauh, di mana Ding Tao tidak melihat mereka, namun mereka masih bisa berhubungan lewat kode ataupun tanda yang ditinggalkan. Dengan cara mengintai bergantian ini, Ding Tao tidak merasa sedang diikuti, sampai kelompok yang sama kembali bertugas mengikuti dirinya. Jika saja Ding Tao tidak dengan cermat selalu mengamati orang-orang yang dia temui, tentu muslihat mereka ini tidak akan diketahuinya. Inilah salah satu kesalahan banyak orang dalam menilai Ding Tao. Seringkali orang mengartikan kejujuran Ding Tao sebagai kebodohan. Ding Tao jujur dan sering mudah ditipu karena kejujurannya, tapi dia bukan bodoh. Apalagi dia baru saja kena dikelabui oleh Tiong Fa, seorang tetua yang menimbulkan kekaguman dalam hatinya, ternyata seorang pengkhianat yang bermuka dua. Ding Tao yang jujur jadi lebih berhati-hati dalam bertindak, apalagi menghadapi orang yang tidak dia kenal. Kelompok kedua, adalah sepadang laki-laki dan perempuan yang ahli menyamar. Pada satu hari mereka akan berjalan di dekat Ding Tao sebagai sepasang pedagang, yang perempuan pun menyamar jadi laki-laki. Kemudian setelah sampai di kota, mereka berganti samaran pula menjadi sepasang kakek dan nenek. Pernah juga mereka menyamar sebagai seorang ayah dengan anak perempuannya. Penyamaran mereka sungguh bagus. Jika saja Ding Tao tidak menjadi lebih waspada setelah terbongkarnya muslihat dari kelompok yang pertama, mungkin dia tidak akan pernah menyadari muslihat sepasang laki-laki dan perempuan ini. Semenjak Ding Tao curiga dirinya sedang diikuti, maka pengamatannya terhadap rekan-rekan seperjalanannya semakin dipertinggi. Ketika Ding Tao sadar, dalam perjalanannya, kapanpun itu, setiap saat, setidaknya selalu ada dua orang dengan tinggi badan yang sama, yang berada dalam jarak jangkauan untuk mengikuti dirinya. Timbul pula rasa curiganya. Tinggi kedua orang itu jadi makin nampak, karena keduanya selalu bersama. Tentu saja Ding Tao sadar, bisa jadi perasaan itu timbul karena ketakutannya. Sudah hal yang jamak, ketika seorang pencuri mau beraksi, seakan-akan jalan dipenuhi polisi. Atau ketika seorang pasangan suami istri menginginkan keturunan, tiba-tiba jalanan sepertinya dipenuhi dengan ibu yang sedang hamil. Ding Tao sadar, pengamatannya pun tentu dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya yang merasa terancam oleh tersebarnya berita bahwa dirinya memiliki Pedang Angin Berbisik. Oleh karena itu Ding Tao pun menyiapkan satu ujian. Dengan sengaja dia berpura-pura sudah beristirahat di dalam kamar, padahal dari celah kecil di jendela dia mengamati pasangan yang dia curigai itu. Ketika mereka berlalu, maka ganti Ding Tao yang dengan diam-diam mengikuti mereka. Sampai didapatnya keterangan di mana pasangan itu menginap dan di kamar nomor berapa. Keesokan paginya, pagi-pagi buta, Ding Tao sudah pergi untuk mengawasi kamar tempat pasangan itu menginap dan benar juga pasangan yang berbeda muncul dari kamar itu. Belum puas, Ding Tao pun mengikuti pasangan itu diam-diam dan benar juga, pasangan itu menunggu di tempat yang strategis, mengintai, siap untuk mengikuti Ding Tao kembali di hari itu. Tidak ingin orang tahu bahwa muslihatnya sudah terbongkar, Ding Tao masuk kembali ke penginapannya kewat pintu belakang dan baru setelah matahari terbit cukup lama dia melanjutkan perjalanan. Kelompok pengintai ketiga, terbongkar secara tidak sengaja. Ding Tao yang sedang menikmati indahnya alam dan mengawasi langit yang cerah, secara tidak sengaja melihat seekor burung merpati pos terbang menuju ke arah kota yang dia tuju. Merpati pos memang sering digunakan, tapi sekali lagi bagi orang dalam situasi seperti Ding Tao, setiap hal bisa menjadi sebuah tanda dari satu ancaman terhadap dirinya. Seandainya saja pemuda ini bukan seseorang yang berkarakter kuat, mungkin syarafnya sudah terlalu tegang dan jadi gila. Atau jadi terhimpit ketakutan, putus asa lalu bunuh diri. Tapi Ding Tao dengan cermat dan tenang menguji setiap keanehan yang dia tangkap. Maka melihat hal itu, timbul pertanyaan apakah burung merpati itu terbang untuk memberi tanda pada orang di kota tujuan dia berikutnya bahwa dia sedang mengarah ke sana? Maka dengan sengaja Ding Tao berbalik arah, masuk kembali ke dalam kota yang baru saja dia tinggalkan. Matanya yang awas mengamati sekelilingnya, benar saja, seekor merpati pos kembali dilepaskan. Keesokan paginya Ding Tao berpura-pura hendak melanjutkan perjalanan, matanya dengan awas mengamati hingga dilihatnya orang yang kemarin melepaskan merpati pos, ternyata sudah siap lagi di sana. Dengan tenang Ding Tao berjalan ke arah orang itu. Orang itu terlihat sedikit gugup, namun berpura-pura sedang sibuk dengan peliharaannya. Ding Tao tidak menegur orang itu, tapi dia lewat cukup dekat untuk mengamati lebih jelas orang tersebut. Setiap ciri yang tidak wajar, terekan di benaknya. Hari itu Ding Tao kembali tidak melanjutkan perjalanan. Keesokan paginya Ding Tao memilih tujuan yang berbeda, dan keluar dari gerbang lain kota itu. Matanya sekali lagi mengawasi di sekitar jalan keluar dari kota dan benar saja, ada yang siap melepaskan merpati. Berlagak sedang menanyakan jalan, Ding Tao pergi untuk menegur orang itu, bertanya macam-macam tentang jalan yang hendak dia tempuh. Setelah puas bertanya-tanya, Ding Tao pun mengambil jalan itu dan seekor merpati dilepaskan mengarah ke sebuah persimpangan yang akan dia lewati. Tapi satu hal membuat DIng Tao tersenyum, dua orang yang berbeda, sama-sama membawa merpati pos dan di pergelangan tangan mereka, terdapat sebuah tatoo yang sama. Sebuah tatoo berbentuk laba-laba berkaki tujuh. Demikianlah setiap kecurigaan dia uji dan akhirnya setelah puas menguji Ding Tao sampai pada kesimpulan bahwa ada 3 kelompok berbeda yang sedang mengikuti dirinya. Setelah sampai pada kesimpulan itu, Ding Tao pun beristirahat dambil memikirkan langkah apa yang harus dia lakukan. Beberapa pertanyaan dia ajukan pada dirinya sendiri. Apa tujuan dari mereka mengikutinya? Pertanyaan ini cukup mudah untuk dijawab, jawabannya adalah Pedang Angin Berbisik. Jika demikian, bukankah dia bisa membebaskan diri dari ancaman bahaya dengan mengungkapkan kebenarannya, bahwa pedang itu sudah dicuri oleh Tiong Fa? Sambil menggeleng-geleng pemuda itu mengenyahkan ide itu dari benaknya. Yang pertama, hal itu akan menyusahkan keluarga Huang, meski Tiong Fa yang dituju, tapi hingga saat ini Tiong Fa masih menjadi bagian dari keluarga Huang. Yang kedua, semakin sedikit orang yang tahu bahwa pedang itu ada dalam genggaman Tiong Fa, semakin besar kesempatan bagi dirinya untuk merebut kembali pedang itu dari tangan Tiong Fa. Dan yang ketiga, tidak ada jaminan bahwa mereka akan membiarkan dia hidup setelah dia mengungkap keberadaan Pedang Angin Berbisik yang sebenarnya. Yang lebih mungkin adalah, mereka akan membungkam mulutnya untuk selamanya agar sesedikit mungkin orang yang tahu jejak terakhir dari Pedang Angin Berbisik. Pertanyaan selanjutnya, mengapa mereka tidak juga bergerak untuk menangkap dirinya, merebut pedang itu. Atau kalau mereka dapatkan Ding Tao tidak membawa pedang itu, setidaknya berusaha mengorek keberadaan pedang itu dari dirinya, mengapa? Ding Tao berpikir untuk beberapa lama sebelum dia menjawab. Jawabannya adalah karena ketiga kelompok itu sadar bahwa ada kelompok lain yang juga mengikuti dirinya. Tentunya saat yang satu bergerak yang lain tidak akan diam saja. Lalu jika benar demikian, apa yang akan mereka lakukan? Menghela nafas Ding Tao berusaha membayangkan dirinya sedang berada dalam situasi yang dihadapi oleh pengintai- pengintainya itu. Yang pertama, dia akan menunggu, jika dua pihak bertempur memperebutkan dirinya, maka pihak ketiga dapat mengambil keuntungan. Tapi hal itu pula yang menyebabkan ketiganya saling menunggu sampai sekarang. Tentunya harus ada langkah lain yang diambil. Hanya ada satu langkah lagi, yaitu, ketiga kelompok itu akan berusaha memperkuat kedudukannya sebelum berusaha menangkap Ding Tao. Dan itu berarti, jika Ding Tao larut dalam permainan mereka, maka suatu saat, salah satu dari ketiga kelompok itu akan sampai pada kedudukan yang cukup kuat. Pada saat itu, nasib Ding Tao akan ditentukan, tapi siapapun yang menang, Ding Tao lah yang merugi. Dia sadar akan kondisi tubuhnya saat ini, dengan hawa murni Tinju 7 Luka yang masih mengeram di dalam tubuhnya, dia menjadi mangsa empuk bagi orang-orang dunia persilatan. Jika nasibnya baik, maka keseimbangan di antara ketiga penguntit itu akan terus terjaga sampai dia mencapai Shaolin. Tapi semakin dekat dia dengan tujuan, akan semakin mudah untuk menebak bahwa Ding Tao berencana untuk pergi ke Shaolin dan ketiga kelompok itu tentu tidak akan mengijinkan hal itu terjadi. Ding Tao mulai memikirkan rencana untuk menggerakkan permainan ke arah yang menguntungkan dirinya. Setiap ingatan digali, setiap informasi dikumpulkan, setiap kemungkinan dijajagi. Mungkin agak aneh bagi pembaca yang mengikuti keadaan pemuda ini, seulas senyum berkembang di mulut pemuda ini. Apa artinya ini? Bukankah hidupnya dalam ancaman bahaya? Apakah senyum ini hanyalah sebuah senyum palsu, tapi jika palsu siapa yang hendak ditipu? Bukankah dia sedang sendirian di dalam kamar? Masalahnya Ding Tao, mulai terjangkit penyakit yang sama dengan orang-orang berwatak kuat dan berotak encer lainnya. Ketika menemui masalah yang menantang otaknya untuk bekerja keras, mereka cenderung memandangnya sebagai sebuah tantangan yang mengasyikkan. Seperti ilmuwan yang mengotak-atik satu formula hingga lupa makan dan lupa waktu. Atau seperti detektif ulung yang dengan asyiknya berusaha mengungkap satu kejahatan. Semakin sering mereka berhasil memecahkan masalah dengan sel abu-abunya itu, semakin haus pula mereka pada tantangan untuk otak mereka. Ding Tao sudah menggumuli permasalahan jurus-jurus silat dan berhasil memecahkannya. Sudah beberapa kali pula dia bertempur dengan tipe-tipe yang berbeda dan dia berhasil menghadapi setiap tantangan itu bukan melulu bersandar pada kekuatan atau kecepatan, tapi juga dengan menggunakan pemikiran yang cerdas. Kelemahannya saat ini, situasinya saat ini, jadi satu tantangan baru bagi Ding Tao. Tantangan yang lebih menantang, ibaratnya sudah biasa menang berkelahi dengan dua tangan, kemudian dengan sengaja mengikat satu tangan untuk membuat perkelahian jadi lebih menantang. Dengan kondisinya yang tidak memungkinkan dia untuk lolos dengan mengandalkan permainan pedang, Ding Tao jadi tertantang untuk mengandalkan kecerdikannya untuk lolos dari situasi yang membahayakan jiwanya ini. Apakah dia tidak takut mati? Tentu saja Ding Tao pun takut mati, tapi jika dia masih bisa tersenyum saat ini, setidaknya ada dua alasan yang bisa dikatakan. Yang pertama, orang muda memang cenderung untuk kurang menyadari betapa pendeknya hidup. Lihat saja dari mereka yang suka menyerempet bahaya, sebagian besar berumur muda. Semakin muda umurnya, semakin mereka tidak menyadari akan kematian yang bisa menjemput kapan saja. Yang kedua, kalau seseorang sudah kecanduan pada sesuatu, kenikmatan dari memenuhi kecanduan ini tidak jarang melampaui ketakutan mereka pada kematian. Itu sebabnya tidak sedikit orang yang memiliki hobby yang menyerempet bahaya. Sedikit demi sedikit, sebuah rencana mulai terbentuk dalam benak Ding Tao. Menjelang tengah malam, pemuda itu sudah memiliki keputusan yang mantap. Dengan tubuh dan pikiran yang lelah, tapi hati tenang, pemuda itu memejamkan mata dan tidur dengan nyenyak. Keesokan paginya, ketiga kelompok penguntit itu mendapat kejutan besar. Sedikit lebih siang dari biasanya, Ding Tao keluar dari penginapan tanpa penyamaran. Dengan pakaian ringkas dan pedang di tangan, wajah penuh semangat dan senyum dikulum. Semalam dia sudah beristirahat baik-baik, setelah bangun pemuda itu tidak lupa untuk melatih hawa murninya dan berlatih jurus-jurus yang dia miliki. Kemudian dia mandi air hangat dan sekarang dalam keadaan segar dan siaga, pemuda itu melangkah menuju ke sebuah rumah makan. Setelah selesai makan pun dia tidak terburu-buru bangun dari kursinya, dibiarkannya tubuhnya mencerna makanan itu dengan sebaik-baiknya. Tubuh segar, tenaga terkumpul, hati tenang, perut kenyang. Sambil bangkit berdiri Ding Tao merenggangkan otot-ototnya, senyum dikulum tak pernah lepas dari wajahnya. Pandang matanya tajam menyorot ke sekeliling ruangan. Ketiga kelompok yang menguntit dirinya berada pula di sana, buru-buru mereka mengalihkan pandangan pada makanan masing-masing. Benak mereka penuh dengan pertanyaan, menebak-nebak, apa isi otak Ding Tao saat ini. Dengan tenang Ding Tao melangkah ke arah salah satu dari kelompok penguntit itu. Hati setiap orang pun mulai berdebar- debar, terutama mereka yang didekati oleh Ding Tao. Tangan-tanganpun mulai bergerak memegang gagang senjata. Semakin dekat Ding Tao melangkah, tanpa terasa gagang senjata pun semakin erat digenggam. Saat Ding Tao sampai di hadapan mereka, buku-buku jari mereka sudah memutih saking eratnya mereka menggenggam senjata. Berbalik 180 derajat keadaannya dengan Ding Tao, pembawaannya tenang, tubuhnya berdiri dengan rileks, wajahnya terang. Sambil membawa pedang yang masih tersimpan aman dalam sarungnya, pemuda itu memberi hormat dan menyapa dengan sopan. "Apa kabar? Kalau tidak salah, paman ini Paman Fu Tsun. Bagaimana kabarnya Wang Chen Jin? Kuharap dia tidak dihukum terlalu berat oleh Paman Wang Dou karena menghilangkan Pedang Angin Berbisik."   Ya, salah satu dari 3 kelompok yang menguntit Ding Tao, adalah anak buah Wang Dou.   Sejak kehilangan Pedang Angin Berbisik, Wang Dou menanamkan beberapa orang kepercayaannya untuk mengawasi keluarga Huang.   Dengan sendirinya mengenai kedatangan Ding Tao mereka termasuk yang pertama mengendus berita itu.   Hanya sayang sumber kekuatan mereka jauh berada di utara, sehingga mereka sedikit terlambat bertindak dan saat sudah bergerak pun, kekuatan mereka tidak sebesar kelompok lain yang sudah ikut bergerak.   Kelompok kedua adalah sebuah persekutuan rahasia yang kekuatannya menyebar cukup merata di Selatan.   Meskipun secara orang per orangan, 7 pimpinan Persekutuan Laba-Laba Kaki Tujuh ini bisa dikatakan berimbang dengan jagoan- jagoan dari kelompok Wang Dou, namun jumlah dan luas jaringan mereka jauh lebih di atas kelompok Wang Dou.   Meskipun di atas dan di dalam air kelompok Wang Dou bisa dikatakan sebagai rajanya di Sungai Yangtze.   Sapaan Ding Tao itu mengundang reaksi yang berbeda-beda dari mereka yang mendengar.   Orang-orang dunia persilatan yang mendengar perkataan Ding Tao, memasang telinga baik-baik, tertarik oleh berita yang mereka dengar ini dan ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.   3 orang yang dipimpin Fu Tsun saat itu saling berpandangan.   Ini baru berita bagi mereka, ternyata Pedang Angin Berbisik sudah terlebih dahulu jatuh di tangan Wang Dou sebelum pedang itu dihilangkan Wang Chen Jin dan jatuh ke tangan Ding Tao.   Ada perasaan kecewa karena Wang Dou menyembunyikan hal itu dari mereka, juga ada perasaan penasaran, mengapa Wang Chen Jin sampai menghilangkannya.   Beberapa pertanyaan yang jadi misteri bagi mereka, mendapatkan jawaban dari keterangan Ding Tao barusan.   Fu Tsun tentu saja merasa darahnya naik sampai ke ubun-ubun kepala.   Meskipun biasanya dia tenang dan cermat dalam menghadapi masalah tapi apa yang dilakukan Ding Tao saat ini jauh di luar dugaannya dan terlampau banyak mengundang kenangan yang pahit.   Dengan senyum masam dia menjawab.   "Hemm.., aku tidak mengerti apa maksudmu. Tapi jika kau mengira bahwa keberadaan kami di sini ada hubungannya dengan Pedang Angin Berbisik yang ada di tanganmu, kau tidak salah." "Hehehe, tentunya paman tidak membayangkan aku berjalan kian kemari dengan membawa pedang itu kan?", sahut Ding Tao dengan tenang dan gaya sedikit mengejek. Mata Fu Tsun mendelik.   "Keparat, kalaupun kau tidak membawanya, akan kuperas keterangan itu darimu."   Pengunjung yang lain sudah mulai merasakan gelagat yang tidak baik, satu per satu mereka pergi keluar dari rumah makan itu.   Bahkan ada juga yang ambil kesempatan untuk makan tanpa bayar, sementara para pelayan dan pemilik rumah makanhanya bisa bergemetaran dan berdoa pada dewa-dewa supaya tidak terjadi kerugian yang parah.   Rumah makan tidak sepenuhnya jadi kosong, masih ada orang-orang dari persekutuan Laba-Laba Kaki 7, ada pula sepasang pendekar lelaki dan perempuan itu, ada pula beberapa rombongan lain yang sebenarnya hanya secara kebetulan berada di sana.   Meskipun tidak ada kekuatan dan persiapan untuk ikut berebut Pedang Angin Berbisik, kesempatan untuk menambah pengalaman dan mendapat berita tidak mereka lewatkan.   Dengan wajah tertarik mereka menyaksikan peristiwa di depan mereka.   Jika memungkinkan, siap untuk menarik keuntungan dari peristiwa itu.   Fu Tsun merasa terdesak oleh keadaan, tidak disangka Ding Tao yang dipandang remeh, berhasil membongkar penyamaran mereka.   Jika ia mundur sekarang, nama kelompok Wang Dou bisa hancur, jadi bahan tertawaan di dunia persilatan dan bagi kelompok seperti mereka, reputasi adalah hal yang penting.   "Kepung dan tangkap pemuda sombong ini!", perintahnya singkat pada ketiga orang pembantunya.   Dalam waktu singkat 4 orang mengepung Ding Tao, tanpa banyak memberi peringatan sepasang golok Fu Tsun sudah menggunting tubuh Ding Tao.   Tapi Ding Tao tidak kalah cepat dalam bertindak, tubuhnya mendoyong ke belakang untuk menghindari serangan Fu Tsun, kakinya cepat menendang meja ke arah dua orang di sisi seberang.   Dengan gerakan yang indah dia berkelit dari serangan orang ke-empat, lalu menggunakan lubang yang terbuka saat dua orang yang lain menghindari meja, dia menggebrak ke arah terlontarnya meja, mendesak dua orang yang lain untuk mundur lebih jauh dan kepungan pun jadi terpecah.   Dengan cerdik Ding Tao terus bergerak, tidak mau terjebak dalam kepungan ke-empat orang itu.   Dalam waktu singkat, kursi dan meja berserakan, terbalik dan patah-patah, mangkok dan piring berceceran di lantai.   Isteri pemilik rumah makan sudah pingsan sejak tadi dan cepat-cepat diungsikan ke rumah tetangga.   Melawan 4 orang Ding Tao menunjukkan kebolehannya, meskipun tidak dengan mudah memenangkannya, tapi ke empat orang itu pun tidak bisa mendesaknya.   Gerakannya lincah dan pedangnya menyambar bagai kilat di antara sinar golok dan pedang lawan.   Beberapa luka mulai nampak menghiasi tubuh anak buah Fu Tsun.   Jika keadaan terus berlanjut seperti demikian maka dalam beberapa puluh jurus ke depan Ding Tao tentu akan berhasil menjatuhkan mereka satu per satu.   Golongan Laba-laba Kaki 7 yang bersaing dengan kelompok Wang Dou tidak segan-segan memberi dukungan pada Ding Tao, setiap kali Ding Tao berhasil meloloskan diri dari serangan lawan, mereka berteriak.   "Luput! Luput!"   Atau kata ejekan.   "Orang buta pun bisa menghindarinya dengan gampang!"   Dan jika serangan Ding Tao kena, mereka pun akan berteriak.   "Kena! Kena! Satu anjing kena tusuk!"   Jelas saja sorakan mereka itu membuat tekanan darah Fu Tsun dan anak buahnya semakin tinggi, salah seorang dari mereka yang kurang bisa menahan marah menyerang Ding Tao dengan tenaga yang berlebihan.   Tanpa menyia-nyiakan kesempatan Ding Tao menyusup maju, memasuki lubang pertahanan yang tercipta.   Dengan sebuah tusukan pedang yang tepat dan efektif, sebatang pedang segera saja menghiasi tenggorokan orang tersebut.   Ding Tao tidak mau membuang waktu dengan mencabut pedangnya yang menancap kuat di leher orang tersebut.   Sebaliknya dengan sebuah gerakan yang indah dia merebut pedang di tangan orang tersebut.   Semuanya dilakukan dalam sebuah rangkaian gerakan yang mengalir.   Mereka yang menyaksikan mau tak mau merasa kagum pada kebolehan pemuda itu memainkan pedang.   Bahkan Fu Tsun dan anak buahnya pun terkesiap melihat kebolehan pemuda itu dan untuk beberapa saat tertegun di tempatnya masing- masing.   Kesempatan yang hanya sesaat itu tidak disia-siakan Ding Tao, hampir saja Fu Tsun kehilangan satu orang lagi pembantu ketika serangan Ding Tao datang bagaikan kilat, beruntung orang itu masih sempat melemparkan tubuhnya ke belakang dan Fu Tsun bersama seorang yang lain cepat-cepat menyerang Ding Tao dari kiri dan kanan secara berbareng, sehingga Ding Tao terpaksa tidak melanjutkan jurus serangannya.   Tak urung sebuah luka memanjang dari pundak kanan ke dada kiri, menghiasi tubuhnya.   Sorakan dari Laba-laba Kaki 7 semakin membahana, di saat yang kritis bagi Fu Tsun dan kelompoknya, tiba-tiba berloncatan dari luar 6 orang untuk membantu mereka.   Rupanya kelompok Wang Dou yang lain sudah mendengar kabar perkelahian itu.   Melawan 9 orang ganti Ding Tao yang mulai terdesak, keganasannya jadi berkurang karena harus lebih banyak memperhatikan pertahanan sendiri.   Tidak lama kemudian 3 orang ikut masuk ke dalam arena pertarungan dan keadaan Ding Tao pun jadi semakin terdesak.   Mereka tidak menyerang secara serampangan, meskipun tidak pernah berlatih dalam barisan tertentu, tapi mereka ini adalah orang-orang yang sudah punya pengalaman bekerja sama dalam membegal dan merampok selama bertahun-tahun.   Mereka pandai membagi diri menjadi beberapa lapis, orang-orang yang terkuat menghadapi Ding Tao secara langsung, yang lain ikut mengepung dalam lingkaran yang lebih luas, tugas mereka ini adalah menutup jalan lari Ding Tao dan membantu pertahanan rekan-rekan yang ada di depan.   Sesekali mereka ikut pula melontarkan serangan melalui celah-celah yang ada, meskipun bukan serangan yang berbahaya, tetapi cukup mengganggu konsentrasi Ding Tao.   Melihat keadaan Ding Tao yang memburuk, orang-orang dari kelompok Laba-laba Kaki 7, mulai berunding.   Jika dibiarkan saja, lama kelamaan Ding Tao pasti akan kalah, sementara di pihak Fu Tsun baru kehilangan 1 orang mati dan 1 orang luka parah.   Jika menunggu Fu Tsun dan kelompoknya menangkap Ding Tao baru bergerak, korban dari pihak mereka pasti cukup besar.   Sebaliknya jika sekarang mereka membantu Ding Tao, menyerang dengan membokong orang-orang Fu Tsun dari belakang, mereka akan dapat menghabisi kelompok Fu Tsun dengan mudah.   Baru kemudian mereka mengikuti cara Fu Tsun dan anak buahnya untuk mengepung dan menangkap Ding Tao.   Rencana itu terdengar bagus dan dengat cepat keputusan pun dibuat, sambil berteriak-teriak menyatakan ketidak puasan mereka melihat Fu Tsun bermain keroyokan, pedang-pedang merekapun ikut berbicara.   Dalam satu serangan bokongan itu 5 orang Fu Tsun mati tanpa pernah melihat siapa yang telah membunuhnya.   Fu Tsun yang melihat itu mencaci maki sepenuh hati.   "Anjing kurap, keparat! Pembokong! Pengecut tak tahu malu!"   Pemimpin dari kelompok Laba-laba Kaki 7, tertawa terbahak-bahak dengan suaranya yang mirip gagak.   "Hakhakhakhak, Fu Tsun, hari ini waktunya kau bertemu dengan raja neraka, sebaiknya kau jaga mulutmu baik-baik supaya tidak menambah dosa, hakhakhakhak." 2 orang lagi dari kelompok Fu Tsun jatuh jadi korban, satu dari serangan Ding Tao dan satu lagi tertusuk 3 belah pedang sekaligus dikeroyok oleh orang-orang Laba-laba Kaki Tujuh. Fu Tsun meneteskan keringat dingin, keadaannya sungguh runyam, Ding Tao adalah lawan yang berat dan tidak bisa dibuat main-main, jika dia lengah maka pedang Ding Tao akan mengancam. Tapi jika mereka terus berfokus pada Ding Tao maka, orang-orang Laba-laba Kaki Tujuh akan dengan mudah membabat mereka, membokong dari belakang. Putus asa menyelimuti Fu Tsun sekalian, Fu Tsun sebagai pemimpin kehilangan pegangan dan tak mampu mengambil keputusan. Anak buahnya tidak ubahnya seperti ular tanpa kepala, satu per satu, mereka dihabisi tanpa ampun. Melihat ini Ding Tao yang sudah merencanakan semua inipun jadi tidak tega. Ding Tao hanya bertahan tanpa banyak menyerang, tekanan dari Ding Tao banyak berkurang sehingga Fu Tsun dan anak buahnya bisa lebih banyak membagi perhatian untuk bertahan dari serangan bokongan. Tapi kekuatan mereka sudah terlalu jauh berkurang, sementara lawan masih segar bugar. Pada saat-saat terakhir bahkan terjadi tidak seorangpun yang menyerang Ding Tao, dua kelompok yang saling bersaing untuk mendapatkan Pedang Angin Berbisik itu saling bertarung mati-matian, membiarkan Ding Tao berdiri dengan pedang di tangan dengan tenangnya. Menyaksikan pembantaian itu, hati Ding Tao jadi tergetar, hati kecilnya merasa bersalah. Siasat ini, sesungguhnya dia yang membuatnya, meskipun lebih banyak darah tertumpah dan nyawa yang melayang oleh tangan orang-orang Labah-Labah Kaki Tujuh, tetap saja Ding Tao melihat betapa ini akibat dari siasat yang dibuatnya. Mungkin hanya 2 orang yang terbunuh oleh tangannya, tapi pada hakekatnya belasan orang yang sekarang bakal meregang nyawa, semuanya terbunuh olehnya. Setidaknya itulah kata hati pemuda ini. Fu Tsun sudah terluka di puluhan tempat, tidak ada sejengkal pun dari tubuhnya yang tidak berwarna merah. Tenaganya pun akhirnya hilang, sepasang golok masih tergenggam di tangan, tapi tangan itu sudah lunglai tergantung tanpa daya. Pemimpin dari kelompok Laba-Laba Kaki Tujuh mendekatinya dengan raut wajah serius, tidak seperti sebelumnya yang penuh ejekan. Nasib yang sama bisa saja terjadi padanya, pada saat-saat terakhir ini, timbul juga rasa simpatinya. "Fu Tsun, jangan salahkan aku tidak memberimu ampun. Selama kau masih hidup, tentu tidurku tidak akan pernah tenang."   Fu Tsun hanya diam menatapnya dengan sorot mata dingin tanpa arti.   "Selamat tinggal Fu Tsun!", dengan sebuah tebasan pedang, kepala Fu Tsun terbelah dari kiri atas kepala hingga ke leher.   Sejenak setiap orang berdiri diam di tempatnya masing-masing.   Para pelayan dan pemilik rumah makan sudah lama menghilang, sejak darah mulai bercurahan dan bercipratan ke segenap penjuru ruangan.   Orang-orang yang masih duduk di sana, sudah jelas tidak aka pergi hanya karena melihat kucuran darah.   Pandang mata mereka jatuh pada Ding Tao yang berdiri dengan tenang.   Entah sejak kapan, dia sudah memungut pedangnya sendiri.   Bahkan sempat pula membersihkan pedang itu dari noda-noda darah yang melekat.   Tampilannya yang penuh percaya diri tapi dibarengi sorot mata yang penuh kesedihan, memberi kesan yang tidak mudah dilupakan.   "Ding Tao, namaku Xiang Long, pimpinan utama kelompok Laba-Laba Berkaki Tujuh.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kau bisa pegang ucapanku, menyerah dengan damai dan aku tidak akan menyakitimu sedikitpun.", ujar pemimpin dari Kelompok Laba-Laba Berkaki Tujuh itu, yang rupanya bernama Xiang Long.   Ding Tao tersenyum dingin, hatinya kelu menyaksikan kekejaman orang di hadapannya itu, meskipun hal itu sudah dia perhitungkan sebelumnya.   Menyaksikan kejadian itu secara langsung ternyata menyisakan kesan yang berbeda dibandingkan memikirkannya saat rencana masih merupakan rencana saja.   "Hmmm Saudara Xiang Long, sebaiknya kau yang menyerah saja, dan aku Ding Tao akan menganggap urusan ini selesai hari ini juga."   Melotot mata Xiang Long mendengar jawaban Ding Tao.   "Anak bau kencur, jangan sombong, selagi aku sudah membunuh orang, mulutmu masih bau tetek ibumu!" "Hmm selagi aku masih menetek pada ibuku, otakku sudah jauh lebih terang daripada otakmu.", jawab Ding Tao dengan senyum mengejek. "Keparat! Serbu!", bentak Xiang Long dengan penuh kemarahan. Sekali lagi peristiwa yang sama terjadi, Ding Tao dikepung dari segenap jurusan dengan serangan dan pertahanan kepungan lawan yang berlapis. Menilik cara Ding Tao saat bertahan melawan Fu Tsun dan kelompoknya, sebenarnya Xiang Long sudah berhitung bahwa dia akan mampu menundukkan pemuda itu. Sebagian besar orang-orang yang dibawanya memiliki kemampuan setara di atas orang-orang yang dibawa Fu Tsun. Tiga atau empat orang, lima termasuk dirinya memiliki kemampuan di atas orang-orangnya Fu Tsun, dengan jumlah yang lebih banyak dari orang-orang Fu Tsun, disangkanya Ding Tao akan bisa ditundukkan. Betapa kaget dia, ketika mendapati Ding Tao mampu mengimbangi kepungan mereka. Pedangnya berkelebatan dengan cepat, membentuk perisai di sekeliling tubuhnya. Jika tadi Ding Tao bertarung menggunakan pedang yang tidak disaluri hawa murni, berbeda dengan keadaan saat ini. Pedangnya yang sudah disaluri hawa murni, mengaung-ngaung, senjata lawan yang berbenturan dengan pedangnya akan terpental bahkan rompal sebagian. Gerakan Ding Tao bukan saja hanya lincah tapi juga bertenaga. Bukan hanya mengandalkan kelihaian jurus dan kecekatan, tapi pemuda ini berani pula mengadu tenaga. Xiang Long yang tadinya berpikirm nasib yang dialami Fu Tsun tidak akan dialaminya, karena dia memiliki lebih banyak orang, sekarang meneteskan keringat dingin karena keadaaannya sama saja dengan keadaan Fu Tsun tadi. Segenap perhatian dan kekuatan orang-orangnya terserap untuk menyerang dan bertahan melawan Ding Tao. Jika ada pihak ketiga yang mengambil keuntungan habislah dia. Dan seperti kita tahu, memang demikianlah keadaannya. Sepasang laki-laki dan perempuan yang menyamar itu tiba-tiba bangkit berdiri dan melemparkan sepasang pisau terbang ke kusen pintu masuk rumah makan. Pisau itu bentuknya biasa saja, tetapi di gagangnya bergantung sebuah medali dari giok berbentuk tengkorak. Bisik-bisik pun terdengar dari pengunjung rumah makan yang masih bertahan.   "Sepasang iblis berwajah giok?"   Dengan terkekeh-kekeh menyeramkan, pasangan laki-laki dan perempuan yang berjuluk Sepasang Iblis berwajah giok itu berujar.   "Yang tahu diri, sebaiknya segera menyingkir dan tidak perlu ikut campur urusan."   Dalam sekejap mata, rumah makan itupun bersih dari pengunjung.   Tinggal Ding Tao, Xiang Long dan anak buahnya serta sepasang iblis itu.   Xiang Long tentu saja ikut mendengar gertakan sepasang iblis itu, tapi keadaannya sekarang sudah terjepit, tidak ada bedanya dengan keadaan Fu Tsun tadi, mundur salah, majupun salah.   Baru saja dia hendak berpikir, sudah terdengar jeritan meregang nyawa dari dua orang anak buahnya.   Dalam keadaan yang berbahaya itu, tiba-tiba Xiang Long dikejutkan oleh tindakan Ding Tao.   Sebuah serangan pedang yang membadai dikeluarkan oleh pemuda itu hingga kepungan pun tersibak, tapi bukannya mengambil kesempatan untuk menyerang, pemuda itu menggunakan kesempatan itu untuk melompat gesit dan menyerang ke arah iblis wanita bermuka giok sambil berseru.   "Xiang Long, bantu aku, urusan kita bisa diselesaikan belakangan!"   Wajah Xiang Long yang tadinya sudah putus asa menjadi cerah kembali, dari jalan kematian tiba-tiba dilihatnya kesempatan untuk hidup.   Inilah puncak dari rencana Ding Tao semalam.   Bagian awal dari rencana Ding Tao adalah menantang kelompok yang terlemah dari 3 kelompok tersebut, yaitu kelompok Fu Tsun.   Dengan sengaja dia memojokkan Fu Tsun, sehingga Fu Tsun tidak ada jalan lain kecuali bertarung dengannya.   Dalam pertarungan itu dengan sengaja Ding Tao menahan diri dan tidak mengeluarkan segenap kemampuannya.   Inilah bagian kedua dari rencananya, yaitu untuk menarik Xiang Long terjun dalam pertempuran.   Membantunya menghabisi kelompok pertama dari tiga kelompok yang mengintainya.   Sudah lama Ding Tao curiga bahwa sepasang laki-laki dan perempuan itu adalah yang terkuat, karena dengan percaya dirinya mereka bersiap untuk ikut berebut meskipun mereka hanya berdua dan lawan mereka adalah dua kelompok yang cukup besar.   Dan inilah penutup dari rencana Ding Tao, yaitu ketika sepasang laki-laki dan perempuan itu sudah mulai bergerak.   Membuat Xiang Long menghadapi jalan buntu.   Maka Ding Tao akan bergerak menarik Xiang Long menjadi sekutunya untuk melawan sepasang laki-laki dan perempuan misterius itu.   Yang paling terkejut adalah Sepasang Iblis berwajah giok itu.   Disangkanya mereka akan menikmati mangsa mudah seperti yang dilakukan Xiang Long terhadap Fu Tsun, siapa sangka keadaan jadi berbalik, dengan satu serangan Ding Tao ganti merekalah yang menghadapi kepungan lawan.   Meski demikian tidak memalukan mereka memiliki nama besar yang ditakuti lawan dan kawan, mereka masih bisa bertarung dengan tenang bahkan sambil terkekeh menyeramkan iblis jantan bermuka giok berkata.   "Ding Tao sungguh pintar akalmu, tapi jangan harap kau bisa selamat dari cengekeraman kami hari ini."   Suara tertawa mereka membuat bulu kuduk yang mendengar jadi berdiri.   Entah sejak kapan, tiba-tiba sepasang cakar besi sudah ada di tangan mereka masing-masing.   Meskipun sudah dikepung tapi mereka justru mampu mendesak Ding Tao, Xiang Long dan kawan-kawan.   Satu dua orang mulai terluka dan tiap kali serangan mereka berhasil, sepasang iblis itu akan tertawa mengikik dengan seramnya.   Anak buah Xiang Long adalah orang-orang kasar yang masih percaya tahayul, suara setan dari sepasang laki-laki dan perempuan misterius itu sangat mengganggu permainan pedang mereka.   Untung bagi mereka ada Ding Tao di situ, seperti yang sudah sering disebutkan, bakat Ding Tao dalam mempelajari ilmu bela diri termasuk satu orang dalam satu generasi.   Menarik dari pengalamannya menghadapi kepungan Fu Tsun, sebuah pemahaman tentang membentuk barisan sudah mulai terbentuk dalam benak pemuda itu.   Sekarang sebagai bagian dari kelompok yang mengepung sepasang iblis itu, Ding Tao bukan hanya ikut mengepung dan menyerang dengan jurus sendiri saja, tapi pengamatannya lebih luas dari itu.   Bak seorang jendral, Ding Tao mulai mempelajari serangan-serangan lawan yang aneh, setelah beberapa puluh jurus lewat, mulailah Ding Tao tidak hanya menyerang tapi juga memberikan komando pada yang lain.   "Sisi barat, menyerang atas! Sisi timur melindungi barat! Sisi utara dan selatan tahan serangan!" "Semuanya bergerak ke barat! Xiang Long serang yang jantan!"   Dan berbagai komando perintah lainnya, mulai mengubah arah jalannya pertarungan.   Jika sebelumnya sudah mulai ada tiga orang yang tewas dan beberapa terluka.   Setelah Ding Tao mulai memberikan perintah serta bergerak untuk menutupi kelemahan yang lain, ganti sepasang iblis bermuka giok itu yang berada di bawah angin.   Untuk beberapa puluh jurus berikutnya sepasang iblis bermuka giok itu menghadapi tekanan yang kuat.   Semangat anak buah Xiang Long jadi timbul melihat perintah-perintah Ding Tao mampu mengimbangi jurus-jurus sepasang iblis bermuka giok yang aneh itu.   Tapi pengalaman sepasang iblis bermuka giok itu jauh lebih banyak dari Ding Tao.   Setelah beberapa puluh jurus itu lewat, iblis jantan mendapatkan pemikiran yang jitu, dengan terkekeh panjang dia berteriak pada pasangannya "Iblis betina, dua iblis berpisah! Timur dan barat mandi darah!"   Sudah berpasangan selama belasan tahun, di antara keduanya sudah terjalin saling pengertian yang sangat kuat, apalagi dalam hal bertarung secara berpasangan.   Tawa seram mengikuti jurus-jurus serangan yang mereka lontarkan, untuk beberapa saat kepungan terpecah dan saat yang singkat itu digunakan keduanya untuk berpencar berjauhan.   Karena keduanya berjauhan, kepungan pun terpisah menjadi dua kelompok.   Kelompok yang satu dipimpin Ding Tao sedang kelompok yang lain dipimpin Xiang Long.   Tidak sampai lewat sepuluh jurus, satu orang dari kelompok Xiang Long tewas dengan dada berlubang terkena cengkeraman cakar besi dari Iblis jantan.   Sementara Iblis betina harus bersusah payah untuk bertahan menghadapi serangan yang dipimpin Ding Tao, jeritan-jeritan menyayat hati terdengar dari kelompok Xiang Long.   Ding Tao pun mengakui kecerdikan lawan, tidak mungkin dirinya mengamati kedua iblis itu sekaligus.   Seandainya bisa pun, bagaimana dia memberi komando kepada dua kelompok yang berbeda dengan efektif? Jika Ding Tao meninggalkan kelompoknya untuk sepenuhnya mengamati jalannya pertarungan dan memberikan komando, maka kelompok yang melawan iblis betina akan kehilangan orang kuat di dalamnya dan di kelompok itulah yang akan jatuh korban.   Satu-satunya harapan Ding Tao adalah secepat mungkin mematahkan perlawanan Iblis betina agar dengan demikian, mereka akan bisa memfokuskan serangan pada Iblis jantan setelah berhasil menghabisi iblis betina.   Tapi sepasang iblis itu memang tokoh yang kosen, pertahanan yang dibangun iblis betina sangatlah kuat.   Tidak seorang pun yang dapat menandingi tenaga dalamnya.   Sementara Ding Tao tidak bisa pula dengan leluasa menggunakan himpunan hawa murninya.   Hawa dari pukulan Tinju 7 Luka masih mengeram dan mengancam untuk bangkit tidur dan dengan liar merusak tubuhnya dari dalam.   Xiang Long bukannya orang bodoh, satu per satu orangnya mati oleh cakar besi Iblis jantan, sekilas dia sempat menengok keadaan Ding Tao dan kelompoknya.   Sadarlah Xiang Long bahwa bahkan dengan menyatukan tenagapun, dirinya dan Ding Tao tidak akan mampu menghadapi sepasang iblis itu.   Xiang Long belum ingin mati hari itu, dengan satu emposan tenaga dia menyambitkan pedangnya ke arah iblis jantan, memaksa iblis jantan untuk mundur beberapa langkah.   Kesempatan itu digunakan Xiang Long untuk memperbesar jarak di antara mereka dengan ikut melompat mundur ke belakang.   "Hentikan! Iblis tua, aku menyerah! Biarkan aku pergi dan aku bersumah tidak akan ikut campur urusan Pedang Angin Berbisik lagi!", teriak Xiang Long sambil melompat mundur, keluar dari rumah makan itu.   Mendengar teriakan Xiang Long, pucatlah wajah Ding Tao.   Apalagi ketika anak buah Xiang Long pun ikut berlompatan keluar dari rumah makan.   Sepasang iblis muka giok, tidak mengejar, hanya terkekeh-kekeh dengan seram.   Dikepung dari dua arah, Ding Tao mati kutu.   "Hikhikhikhik, anak muda, bagaimana, apa kau mau menyerah sekarang?", ejek iblis jantan sambil perlahan mendekat.   Ding Tao pun menggeser kedudukannya untuk menyesuaikan dengan pergerakan Iblis jantan dan posisi iblis betina.   Dari arah lain iblis betina ikut bergerak, menutup arah lari Ding Tao,"Anak muda, kulihat kau tidak bertarung dengan leluasa.   Saat kuserang, dapat kurasakan dari pertahananmu seberapa besar dan mantap dasar-dasar himpunan hawa murnimu.   Tapi hawa murni yang kaupakai untuk menyerang, paling banter hanya 1 bagian dari yang seharusnya bisa kaugunakan.   Apakah kau sedang terluka dalam?" "Hohohohoho, apa benar kau sedang terluka? Tapi kau masih bisa mempermainkan kami sampai sedemikian rupa.   mengerikan, masih muda tapi sudah sehebat itu.", ujar iblis jantan sambil menggeser kedudukannya.   "Kau masih muda, apa tidak sayang nyawa? Kaupun terluka, apa lagi gunanya pedang itu bagimu.", ujar iblis betina menimpali dari arah sebaliknya.   Melihat bahwa keadaannya sudah terlihat dengan jelas oleh lawan, Ding Tao sadar tidak mungkin melawan lebih lanjut.   Ketika beramai bersama dengan Xiang Long dan anak buahnyapun dia tidak bisa menang.   Apalagi sekarang ketika dia tinggal sendiri harus melawan sepasang iblis itu.   Tapi Ding Tao tidak berani mengendurkan pertahanannya, sambil mengawasi kedua iblis itu dia menjawab.   "Kalian memang hebat, aku pun bukan orang bodoh, sudah jelas tidak ada kemungkinan bagiku untuk menang. Jangankan untuk menang untuk laripun aku tidak ada kesempatan dan aku bukan termasuk orang yang mau mengorbankan nyawa dengan sia-sia, sebutkan apa keinginan kalian." "Hehehe, baru saja kita melihat hasil dari kecerdikanmu, kurasa tidak perlu aku bilang, orang cerdik macam dirimu sudah tahu apa yang kami mau.", ujar Iblis jantan muka giok. "Pedang Angin Berbisik, tapi seperti yang kau lihat, aku tidak membawa-bawa pedang itu denganku saat ini.", jawab Ding Tao. "Hehe, tapi tentu kau tahu ada di mana pedang itu saat ini." "Ya, tapi jika kau membunuhku, maka rahasia itu akan terkubur bersama dengan kematianku." "Tidak, kami tidak ingin membunuhmu, kau menyerah saja dan jadi tawanan kami baik-baik, begitu kami mendapatkan pedang itu, kami akan membebaskanmu." "Hmm dan apa jaminannya bahwa kau akan membiarkanku hidup setelah kamu mendapatkan pedang itu?" "Hehehehe, jaminannya adalah perkataanku, apa itu tidak cukup?", terkekeh seram Iblis jantan menjawab, senyumnya yang sinis sudah mengatakan kenyataannya akan berbeda ari jawabannya. "Heh, kita sama-sama tahu, begitu pedang ada di tanganmu, nyawaku pun tidak ada artinya bagimu.", dengus Ding Tao dengan dingin. Sepasang iblis muka giok itu tertawa berkakakan, puas tertawa mereka memandang tajam pada pemuda itu.   "Melawan pun percuma, kalau kau menyerah baik-baik, mungkin kami masih akan bermurah hati. Tapi jika kau melawan, kupastikan kami akan menyiksamu hingga kau berharap lebih baik mati daripada hidup." "Jangan harap aku menyerah tanpa perlawanan. Tapi apa kalian tidak takut pertarungan kita hanya akan memberi keuntungan pada orang ketiga?", tanya Ding Tao dengan tenang. Meskipun mereka bercakap-cakap dengan damai, bukan berarti mereka berhenti saling mencari kelemahan. Tubuh mereka tidak diam di satu posisi, melainkan terus bergerak, bergerak untuk mencari kelemahan lawan dan bergerak untuk menutup lubang pertahanan. Sekiranya ada sedikit saja lubang kelemahan dalam pertahanan Ding Tao yang dapat diserang, tentu sepasang iblis itu akan memanfaatkan kelemahan itu. Salah satu keuntungan Ding Tao adalah sepasang iblis itu tidak ingin membunuhnya sekarang. Mereka perlu menangkap Ding Tao hidup-hidup. "Memangnya siapa yang berani ikut campur dalam urusan kita ini?", dengus iblis betina dingin. "Jika aku berhasil sedikit saja mengimbangi serangan kalian, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang akan coba mengambil keuntungan. Orang-orang yang tidak berani berlawanan dengan kalian sendirian, tapi menyimpan keinginan untuk itu.", Ding Tao terus berusaha mendorong lawan untuk membatalkan pertarungan itu. "Heh.. anak muda, apa kau bermimpi? Ilmumu memang boleh juga, tapi masih jauh untuk dapat mengimbangi kami.", gertak iblis jantan. Ganti Ding Tao yang tertawa berkakakan.   "Hahahaha, jangan bercanda, apa kalian ingin aku percaya bahwa sedari tadi ini, kalian sedang bermurah hati dengan tidak menyerangku, padahal kalian memilki banyak kesempatan untuk itu?" "Anak muda tidak tahu diuntung! HAH!!", dengan satu bentakan yang keras sepasang iblis muka giok itu menyerang berbareng. Ding Tao sudah berwaspada sejak tadi, maka dengan gesit dia bergerak melompat ke arah iblis betina dan melontarkan jurus serangan yang terhebat yang dia miliki. Jurus pamungkas keluarga Huang yang pernah dia pakai saat bertarung melawan Zhang Zhiyi. Sewaktu melawan Zhang Zhiyi pedang digerakkan tanpa menggunakan hawa murni untuk memperkuat serangan. Sekarang yang dihadapi adalah sepasang iblis, dengan menggunakan hawa murni dalam serangannya, hawa pedang jadi semakin menggiriskan. Kegesitan Ding Tao dalam bereaksi terlalu cepat bagi Iblis betina muka giok, serangannya sendiri belum sempat dikembangkan, serangan Ding Tao sudah datang menekan. Hawa pedang Ding Tao menekan jurus serangannya dan berbalik dari menyerang ganti dia yang diserang. Kejadian ini bukan suatu kebetulan, bukan pula karena Ding Tao jauh lebih hebat dari sepasang iblis itu. Melainkan karena Ding Tao sudah sempat mengamat-amati gaya permainan mereka sementara mereka belum sempat mengenali gaya permainan Ding Tao. Sewaktu Ding Tao melawan mereka dibantu Xiang Long dan kawan-kawan, pemuda itu memiliki cukup banyak keleluasaan untuk mengamati jurus-jurus dan terutama watak dari gaya permainan lawan. Salah satu ciri yang melekat pada permainan sepasang iblis itu adalah, serangan selalu diawali oleh Iblis jantan muka giok, serangannya keras, kejam dan bertenaga, jurus-jurus yang dilontarkan semuanya mengincar tempat yang mematikan, bila lawan sampai terkena maka tiada jalan bagi lawan kecuali kematian. Serangan Iblis betina datang sepersekian detik lebih lambat dari serangan pasangannya, disesuaikan dengan reaksi lawan menghadapi serangan Iblis jantan. Sifat serangan dari Iblis betina adalah, licin, tidak bertenaga, tetapi mengincar bagian manapun yang terbuka. Tujuannya adalah melukai lawan, atau menolong Iblis jantan lepas dari serangan lawan, tergantung keadaan saat itu. Inilah kerja sama yang apik dari sepasang iblis muka giok itu, yang sering terjadi adalah lawan terpengaruh oleh serangan yang mematikan dari Iblis jantan, jika lawan kurang hebat, maka matilah dia di bawah serangan Iblis jantan. Jika lawan cukup berilmu, maka kehebatan serangan Iblis jantan, menutupi serangan licik yang lembut dari Iblis betina. Meskipun serangan iblis betina tidak mematikan, tapi luka-luka yang ditimbulkan perlahan-lahan akan melemahkan kekuatan lawan. Hingga satu saat di mana lawan tidak akan bisa lagi menahan serangan yang mematikan dari Iblis jantan muka giok. Lewat cara ini entah sudah berapa banyak lawan mati di tangan mereka, bahkan tokoh-tokoh yang secara perorangan bisa dikatakan lebih kuat dari sepasang iblis itu. Meskipun Ding Tao belum dapat sepenuhnya memecahkan rahasia ilmu dari lawannya, tapi setidaknya dengan memegang ciri tersebut, Ding Tao memiliki akal untuk memecahkan kerja sama mereka. Langkah awalnya adalah dengan menempatkan dirinya tepat berada di tengah di antara sepasang iblis itu. Begitu Iblis jantan bergerak untuk menyerang, Ding Tao bergerak menyerang ke arah Iblis betina yang berada di arah yang berlawanan. Dengan demikian Ding Tao bisa menghindari serangan Iblis Jantan berbareng dengan menekan Iblis betina mundur. Tentu saja ada resikonya, bila Iblis betina mampu menahan serangan Ding Tao, maka gerakan mundur Ding Tao untuk menghindari serangan Iblis Jantan pun akan terhenti dan terhimpit di antara dua serangan. Ibaratnya bermain judi, seluruh taruhan diletakkan di atas meja, tidak ada lagi modal yang disisakan di kantung. Jika gagal menekan Iblis betina muka giok, maka kekalahan Ding Tao akan terjadi dalam satu gebrakan. Jika berhasil maka kerja sama yang rapi di antara kedua iblis itu pun akan terhenti. Bagi Ding Tao saat itu, perjudian ini tidak merugikan dirinya. Jalan lain dia tidak menemukan, tanpa jalan ini kekalahannya sudah pasti. Dengan jalan ini setidaknya masih ada kemungkinan untuk menang, setidaknya bertahan. Kalaupun dia gagal dalam pertaruhannya, maka Ding Tao bersandar pada keyakinan bahwa sepasang iblis itu tidak menghendaki pula kematiannya. Meskipun menjadi tawanan dari sepasang iblis itu lebih menderita dibanding mati. Gerakan pedang Ding Tao bagaikan jaring keadilan dari langit, begitu rapat hingga Iblis betina tidak mampu menemukan celah untuk balik menyerang. Hanya menghindar dan menghindar. Ding Tao terus saja mendesak lawan, jalan mundur Iblis betina ke arah mana, Ding Tao lah yang menentukan. Dengan cara ini, terjadilah semacam kejar-kejaran di antara mereka bertiga. Iblis jantan mengejar Ding Tao dan Ding Tao mengejar Iblis betina. Gerakan mereka sama cepatnya, tinggal siapa yang memiliki stamina lebih kuat dia yang akan memenangkan pertarungan. Bukan main geramnya sepasang Iblis itu, apa yang berhasil dilakukan Ding Tao berada di luar dugaan mereka. Belum pernah mereka menghadapi perlawanan semacam ini. Melihat pertarungan yang tidak nampak kapan akan berakhir, sepasang Iblis itu pun memutuskan untuk berganti strategi, mengepung Ding Tao dari dua arah yang berlawanan justru berhasil dimanfaatkan Ding Tao untuk mencegah kerja sama yang apik di antara sepasang iblis itu. Iblis jantan berupaya untuk mengubah posisi mereka menjadi segitiga, dengan dirinya dan Iblis betina menyerang dari arah yang sama. Tapi seperti sudah dikatakan sebelumnya, Ding Tao yang sedang berada di atas angin mampu memaksa iblis betina untuk bergerak ke arah yang dia inginkan. Permainan taktik dalam jurus-jurus yang dilancarkan kini berubah bentuknya. Ding Tao yang berusaha mempertahankan kedudukan mereka dan sepasang Iblis itu yang berusaha mengubah posisi. Serangan Iblis jantan pun berubah sifatnya, tidak lagi serangannya ditujukan untuk menyerang titik kematian Ding Tao, melainkan lebih berfokus untuk menggempur kedudukan pemuda itu, berusaha memaksa Ding Tao untuk melepaskan tekanannya atas iblis betina. Sepasang iblis itu menang pengalaman dibanding Ding Tao, iblis jantan pun menang tenaga dibanding pemuda itu. Apalagi dengan kondisi Ding Tao yang tidak bisa mengerahkan hawa murni dengan leluasa. Perlahan-lahan taktik Ding Tao mulai dipatahkan dan kedudukan mereka pun mulai berubah. Hati sepasang iblis itu pun menjadi semakin girang melihat arah perkembangan pertarungan itu. Pada satu serangan yang terencana Iblis jantan akhirnya berhasil mendesak Ding Tao keluar dari garis lurus antara dirinya dan pasangannya. Iblis betina pun dengan cepat mengubah kedudukan dan merapat pada Iblis Jantan. Tanpa terasa sepasang iblis itu pun bersorak.    Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini