Pedang Angin Berbisik 36
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 36
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Lagipula kebanyakan pewaris keluarga Hua, memiliki dua perasaan yang bertentangan berkenaan dengan dunia persilatan. Mereka mengagumi keahlian para pendekar yang merupakan hasil dari latihan yang tekun selama bertahun-tahun. Di lain pihak sebagai orang yang hidupnya dibaktikan bagi pengobatan, mereka juga merasa ngeri pada kekerasan dunia persilatan.Pertentangan ini seringkalu membuat sikap para keturunan Tabib Hua Tuo dipandang aneh oleh tokoh-tokoh lain dalam dunia persilatan. Pengemis yang mendapatkan sedekah dari Hua Ng Lau itu pun membelalakkan matanya, tidak percaya, bahwasannya dia yang hanya pengikut kelas rendahan justru mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan tokoh yang sulit ditemui ini. "Te..tet..Tetua Hua..?", ujarnya terbata-bata. "Ya, benar ini aku, tolong antarkan aku pada pemimpin di cabang kota Chang Sha ini.", ujar Hua Ng Lau dengan sabar. "Baik baik Tetua Hua", dengan tergopoh-gopoh, pengemis itu pun buru-buru membereskan tikarnya dan mengantarkan Hua Ng Lau ke markas besar Partai Kaypang di kota Chang Sha. Sejak kekuatan parati Kaypang menurun, Bai Chungho membuat kebijakan baru, di mana markas besar Kaypang di setiap kota, selalu berpindah-pindah setiap waktu tertentu. Keuntungan mereka sebagai para pengemis, salah satunya adalah tidak memerlukan bangunan yang megah sebagai markas. Yang disebut markas besar itu bisa saja perkampungan kumuh, kawasan lampu merah, atau di tengah-tengah pasar sekalipun, bisa menjadi merkas besar mereka. Asalkan ketua cabang di kota tersebut mangkal di sana, jadilah tempat itu sebagai markas besar. Kedatangan Hua Ng Lau, ternyata menimbulkan kehebohan kecil, pengemis yang mengantarkan Hua Ng Lau beberapa kali bertemu dengan anggota lain dari partai Kaypang, ketika mereka bertanya siapa yang sedang dia antarkan, dengan tidak ragu-ragu pengemis itu pun mengatakannya. Yang mendengar jawabannya, pun ikut-ikutan terbelalak seperti dia dan kemudian ikut pula mengantarkan Hua Ng Lau menuju ke markas besar mereka. Itu sebabnya saat Hua Ng Lau akhirnya sampai di "markas besar" Mereka, jumlah pengemis yang mengantarkannya sudah ada belasan orang. Karuan saja pimpinan cabang Partai Kaypang di Kota Chang Sha itu melotot. "He apa-apaan kalian ini?" "Tunggu sebentar Tetua Li ini ada tamu penting", ujar pengemis yang mengantar Hua Ng Lau setengah berbisik. Yang dipanggil Tetua Li melirik ke arah Hua Ng Lau dan bertanya-tanya dalam hati, siapa orangnya yang dipanggil tamu penting ini. "Maaf, siapa nama tuan yang terhormat?", ujarnya dengan sopan namun berwibawa. Tidak malu Partai Kaypang punya nama besar, meskipun bintang mereka sedang meredup, namun orang-orangnya tetap punya karakter pahlawan. Bukan hanya tinggi rendahnya ilmu yang membuat sebuah partai disegani lawan. Tapi kegagahan dan keberanian mereka bisa menutupi kekurangan mereka dalam hal jumlah orang-orang berilmu. Agak disayangkan memang, Partai sebesar Kaypang bisa kekurangan bakat dari generasi yang sekarang. Namun yang kurang itu ditutupi Bai Chungho dengan menekankan perlunya disiplin, rasa bangga terhadap partai mereka dan keberanian. Itu sebabnya Tetua Li ini sedikit heran, mengapa ada tamu yang dipandang sedemikian tinggi oleh anak buahnya. Hua Ng Lau tersenyum. "Sungguh, Saudara Bai Chungho benar-benar mampu mendidik orang, sehingga nama Partai Kaypang tidak dilupakan orang. Namaku Hua Ng Lau.." Kemudian dia pun membacakan kembali bait puisi olok-olok yang telah dipakai turun temurun untuk memperkenalkan diri, dari pewaris keluarga Hua pada penerus Partai Kaypang. Begitu mengenali puisi yang dibacakan itu , muka Tetua Li berubah dengan cepat. "Ah.. rupanya Tetua Hua, maafkan aku, tapi bisakah tetua bacakan bait yang kedua?", ujar Tetua Li sambil berjalan mendekat dan mendekatkan telinganya. Hua Ng Lau pun membisikkan bait yang kedua, para pengemis yang lain hanya berdiri di tempatnya dan menunggu-nunggu dengan penasaran. Apakah terbukti yang datang ini benar-benar pewaris keluarga Hua. Rupanya puisi olok-olok untuk mengenalkan diri itu terdiri dari beberapa bait. Jika bait yang pertama bisa digunakan untuk meyakinkan mereka dari tingkatan paling rendah, maka di tingkatan yang lebih tinggi akan dibutuhkan dua bait. Demikian seterusnya sampai 5 bait dan satu tanda pengenal, untuk memperkenalkan diri pada Ketua partai Kaypang di masanya. 5 bait dan satu tanda pengenal ini nantinya akan diperlukan Hua Ying Ying jika suatu saat nanti dia ingin meminta bantuan dari Ketua Partai Kaypang di masa itu. Hua Ng Lau sendiri, asalkan sudah bertemu Bai Chungho, tidak perlu lagi membacakan ke 5 bait tersebut, karena Hua Ng Lau sudah beberapa kali bertemu dengan Bai Chungho. Setelah mendengar bait yang kedua, Tetua Li cepat mundur selangkah kemudian menjura memberi hormat. "Ah sungguh beruntung bisa bertemu dengan Tabib Dewa Hua, tidak kusangka orang rendahan macam diriku ternyata bisa bertemu dengan Tabib Dewa Hua. Entah apakah ada yang bisa kami lakukan untuk tuan?" "Tidak perlu terlalu sungkan. Sebenarnya aku datang ingin bertemu dengan ketua kalian. Sebelumnya aku sudah mencari di beberapa kota, terakhir aku dengar dia akan menyambangi cabang di Chang Sha dulu sebelum pergi ke Gunung Songshan di Propinsi Henan.", ujar Hua Ng Lau dengan ramah. "Memang benarkabar itu, tapi sayang Tabib Hua terlambat dua hari. Ketua Bai Chungho sudah berangkat dari Chang Sha dua hari yang lalu.", jawab Tetua Li dengan sedih, dalam hatinya dia berharpa bisa membantu Hua Ng Lau. Nama keturunan Hua Tuo memang melekat di hati setiap pengikut Partai Kaypang, hubungan yang sudah terjalin selama beberapa generasi tidaklah merenggang. Justru kisah-kisah petualangan kedua aliran tersebut, di mana mereka saling membantu dan menolong, membuat hubungan itu semakin erat. Hua Ng Lau pun mendesah penuh sesal, tapi segera dia berbalik ke arah Tetua Li dan menepuk bahunya. "Sudahlah, tak usah dipikirkan, adalah salahku jika aku tidak bisa bertemu dengannya. Apakah Ketua Bai Chungho akan langsung menuju ke kaki Gunung Songshan? Ataukan dia akan mampir ke tempat lain lagi?", ujar Hua Ng Lau dengan ramah. "Beliau tidak akan mampir ke cabang lain lagi, waktunya sudah terlalu mepet untuk itu. Beliau berkata akan langsung menuju ke Gunung Songshan. Sebenarnya ada masalah apa, jika aku boleh tahu?", ujar Tetua Li. Hua Ng Lau memandangi Tetua Li beberapa lama, kemudian dia berkata. "Bolehkah aku memeriksa nadimu sebentar?" Meskipun merasa keheranan Tetua Li segera mengajukan pergelangan tangannya dan berkata. "Tentu saja, tidak ada masalah." Hua Ng Lau pun menyentuh pergelangan tangan Tetua Li, ringan saja, namun jari-jari yang peka bisa melihat banyak lewat sentuhan yang ringan itu. Hua Ng Lau memejamkan mata beberapa lama, menajamkan perasaannya. Setelah beberapa lama memeriksa, barulah dia membuka mata dan tersenyum. "Hmmm.. baguslah, kukira tidak ada seorang pun pengikut partai kalian yang jatuh dalam cengkeraman obat iblis itu.", ujar Hua Ng Lau dengan lega. "Tabib Dewa Hua, ada apa sebenarnya?", tanya Tetua Li penasaran. "Hmm aku tidak bisa mengatakan banyak saat ini, masih ada beberapa hal yang terasa gelap. Namun yang pasti, aku menemukan ada orang-orang Partai Pedang Keadilan di Gui Yang yang sudah mengkonsumsi semacam obat atau racun. Obat ini memiliki pengaruh pada susunan syaraf dan kerja otak, siapapun yang meminumnya akan mendapati dirinya tergantung pada obat ini agar bisa bekerja secara normal dan merasa tersiksa saat berhenti meminum obat ini.", ujar Hua Ng Lau menjelaskan. Tetua Li dan mereka yang mendengarnya terkejut oleh berita itu. "Ah apakah benar demikian? Berarti Partai Pedang Keadilan berada dalam bahaya.", ujar Tetua Li. "Benar, untuk itu aku ingin mengabarkan berita ini pula pada ketua kalian. Aku dengar Saudara Bai Chungho memiliki penilaian yang baik terhadap Ketua Ding Tao dan sekarang ini partai kalian berhubungan dekat dengan Partai Pedang Keadilan.", jawab Hua Ng Lau. "Berita yang Tabib Dewa Hua dengar itu benar. Bahkan salah satu tujuan Ketua Bai Chungho mengunjungi beberapa cabang Kaypang yang ada di sekitar wilayah selatan, adalah untuk meminta setiap pengikut Partai Kaypang, untuk mengawasi dan membantu keamanan cabang-cabang dari Partai Pedang Keadilan yang saat ini kosong dari para pengikut utamanya.", jawab Tetua Li. "Hmm benar, itu pula yang kudengar di cabang-cabang lain sebelum sampai ke Chang Sha ini. Kukira orang-orang dari Partai Pedang Keadilan pun sadar bahwa tidak seluruh anggotanya bisa dipercaya dan mereka berniat untuk melemparkan kartu terbaik mereka di satu tempat.", ujar Hua Ng Lau. "Begitulah pendapat Ketua Bai Chungho, beliau pun berpendapat bahwa hal itu lebih baik daripada membagi kekuatan di banyak tempat dan mendapati seluruhnya habis dibabat lawan karena terlampau lemah untuk menghadapi lawan. Namun Ketua Bai Chungho tidak ingin pula, kesempatan ini digunakan oleh lawan-lawan Partai Pedang Keadilan untuk mengambil keuntungan dari mereka. Itu sebabnya dia memerintahkan agar sebisa mungkin kami membantu keamanan Partai Pedang Keadilan, meskipun tetap harus mengukur kekuatan kami sendiri.", jawab Tetua Li. "Lalu bagaimana rencana Tabib Dewa sekarang?", tanya Tetua Li dengan simpatik. Hua Ng Lau berpikir sejenak kemudian menjawab. "Kukira tidak ada jalan lain kecuali pergi ke kaki Gunung Songshan. Meskipun sedikit terlambat, setidaknya aku berharap kami masih bisa melihat acara utamanya." "Baiklah kalau begitu keinginan Tabib Dewa, namun jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk memintanya dari kami.", ujar Tetua Li. Hua Ng Lau pun berkata. "Terima kasih banyak untuk persahabatan kalian, kukira apa yang kuminta tidak jauh berbeda dari psan ketua kalian sendiri. Hanya saja setelah mengetahui berita yang kubawa ini, kuharap kalian lebih bisa memikirkan situasi dari Partai Pedang Keadilan." "Ya, kami mengerti, bukan hanya ancaman dari luar, dari dalam partai pun ada banyak musuh yang bersembunyi.", ujar Tetua Li yang mengeluh dalam hati, karena tugas yang diberikan oleh Bai Chungho rupanya lebih sukar daripada yang dikiranya. "Baiklah, kalau begitu aku pamit dahulu.", ujar Hua Ng Lau bersiap-siap pergi. "Ah.. mengapa tidak mampir sedikit lebih lama, biar kami bisa menjamu tuan.", ujar Tetua Li buru-buru, ketika menyadari Hua Ng Lau hendak pergi. "Lain kali saja, kali ini aku pergi bersama beberapa orang teman. Mereka sedang menungguku.",jawab Hua Ng Lau. "Baiklah kalau begitu tapi lain kali", sedikit terbata Tetua Li berkata. "Ya, lain kali tentu aku akan mampir ke Chang Sha untuk menikmati jamuan yang kau siapkan.", ujar Hua Ng Lau sambil tersenyum. Wajah Tetua Li dan mereka yang hadir di situ jadi cerah. Hua Ng Lau kemudian bergegas kembali ke penginapan, sepanjang perjalanan otaknya berputar, memikirkan rute terdekat untuk sampai di kaki Gunung Songshan sebelum acara utama dimulai. Apakah keberadaannya di sana masih memberikan satu arti atau tidak, tabib tua itu sendiri tidak merasa yakin. Tapi kabar yang mengatakan bahwa Ding Tao pergi ke kaki Gunung Songshan dengan seluruh kekuatan intinya, bersama- sama seluruh orang-orangnya yang bisa dia percaya, membuat hati Hua Ng Lau sedikit lebih tenang. Keputusan para pemimpin Partai Pedang Keadilan itu menunjukkan bahwa mereka juga tidak buta sama sekali dengan keadaan di dalam partai mereka. Saat sampai di penginapan, Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu sudah menunggu. Begitu melihat pandangan mata mereka yang bertanya-tanya, Hua Ng Lau menggelengkan kepala. Kedua kakak beradik itu pun mendesah lelah. "Kali ini pun kita terlambat, Ketua Bai Chungho sudah berangkat ke kaki Gunung Songshan dua hari yang lalu.", ujar Hua Ng Lau. "Sebenarnya, akulah yang salah perhitungan. Kalau dipikir baik-baik ,memang wajar jika Ketua Bai Chungho berhenti hanya sebentar saja di Chang Sha. Waktu diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu sudah semakin dekat, jika tidak buru-buru pergi, maka tidak akan ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri di kaki Gunung Songshan.", lanjut Hua Ng Lau. "Apakah sebaiknya kita pergi sekarang juga?", tanya Huang Ren Fu. Sekilas Hua Ng Lau memeriksa isi kamar dan dilihatnya, meskipun kedua kakak beradik itu sudah berganti pakaian dan tampak segar, buntalan pakaian dan bekal yang mereka bawa belum dibuka. Nampaknya kedua kakak beradik itu sudah siap untuk berangkat sewaktu-waktu. "Tidak usah, sebaiknya malam ini kita beristirahat sebaik-baiknya. Sudah beberapa hari kita harus tidur di alam terbuka, tidak ada salahnya malam ini kita tidur dengan atap di atas kita dan kasur empuk di bawah kita.", ujar Hua Ng Lau. "Bagaimana dengan waktunya diadakan pemilihan Wulin Mengzhu?", tanya Hua Ying Ying. "Tidak banyak yang bisa kita lakukan saat ini. Kalaupun kita mengejar mereka tanpa menghitung waktu, paling cepat kita akan sampai di sana 1 hari sebelum Wulin Mengzhu dilaksanakan. Dalam waktu yang 1 hari itu, sudah tidak ada waktu untuk memeriksa siapa-siapa yang meminum obat itu dan siapa yang tidak.", ujar Hua Ng Lau. Hua Ying Ying tertunduk sedih, Huang Ren Fu yang melihat itu dengan perlahan membelai-belai punggung adiknya itu. Melihat itu Hua Ng Lau berusaha menghibur mereka. "Dari yang kudengar, sepertinya baik Ketua Ding Tao maupun Ketua Bai Chungho, sudah bersiap-siap terhadap apa yang kita khawatirkan. Kemungkinan besar, mereka sudah dapat merasakan adanya gerakan yang tidka wajar, hanya bentuk pastinya saja yang belum bisa mereka lihat. Itu sebabnya Ketua Ding Tao berangkat bersama seluruh kekuatan intinya, sementara Ketua Bai Chungho sudah berpesan pula kepada hampir seluruh cabang Partai Kaypang yang ada di selatan untuk ikut mengawasi dan mengamankan cabang-cabang Partai Pedang Keadilan yang bisa dikatakan ditinggalkan dalam keadaan kosong." "Semoga saja Kakak Ding Tao bisa melewati kesulitan-kesulitan yang harus dia hadapi", gumam Hua Ying Ying. Huang Ren Fu menepuk bahu adiknya dan berkata. "Sudahlah tidak perlu dirisaukan lagi. Ding Tao toh seorang lelaki sejati, tak kan patah oleh kesulitan, melainkan tumbuh semakin besar setiap kali melewati kesulitan-kesulitan." Hua Ng Lau mengangguk setuju. "Sudahlah, sebaiknya kita beristirahat baik-baik, beberapa hari ke depan kita tidak akan sempat mendapatkan istirahat yang cukup. Aku ingin kita bisa sampai di kaki Gunung Songshan, setidaknya satu hari sebelum puncak acara dimulai. Dengan begitu, kita masih memiliki waktu untuk memulihkan tenaga." Jika beberapa tokoh besar masih berada dalam perjalanan menuju kaki Gunung Shongsan, Ding Tao dan kelompoknya saat itu sudah memasuki Kota Dengfeng, tempat Gunung Songshan berada. Dengan jumlah pengikut yang hampir mencapai 100 orang lebih, bukan perkara mudah untuk mengurus akomodasi mereka. Tindakan Ding Tao ini sempat juga jadi bahan pembicaraan tokoh-tokoh lain, yang jumlah rombongannya tidaklah sebesar mereka. Namun Ding Tao dan pengikutnya menutup telinga terhadap pembicaraan orang. Lagipula Chou Liang dan orang-orangnya sudah mengaturkan semuanya, jauh sebelum perjalanan dimulai. Sehingga setidaknya sudah tersedia satu tempat yang cukup untuk menampung mereka yang ikut dalam perjalanan tersebut. Mereka tidak sampai harus berebutan dengan tokoh-tokoh lain yang mencari penginapan. Untuk menghindari terjadinya bentrokan yang tidak diinginkan, akibat salah perkataan atau darah panas yang mudah sekali terpicu dalam suasana yang penuh persaingan antara pendukung calon yang berbeda, Ding Tao memberikan perintah agar tidak ada anggota Partai Pedang Keadilan yang keluar dari tempat mereka tinggal. Hanya sebagian kecil saja yang bisa keluar masuk, itu pun sekedar untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka yang dipilih untuk tugas ini adalah anggota yang sudah matang dan cukup umur, dipimpin oleh Qin Hun. "Wah bosan sekali", ujar Qin Baiyu sambil menatap langit yang cerah. "Sabarlah tinggal satu hari lagi, besok kita bakal melihat keramaian.", sahut Sun Gao yang ikut bermalas-malasan di halaman rumah tempat mereka tinggal di kota Dengfeng. "Menurutmu, ada berapa banyak orang yang berhasil mendapatkan medali giok yang dikeluarkan Shaolin sebagai tanda lulus ujian?", tanya Qin Baiyu. "Hmmm ada pendekar Lei Jianfeng dari utara itu, yang terkenal dengan Luo Yan Zhang-nya, berasal dari Kunlun tapi kemudian mengembangkan ilmunya sendiri. Tong Baidun, wakil dari keluarga Tong dengan senjata rahasianya. Deng Songyan, pendekar dari keluarga Deng dengan ilmu tombak warisan keluarga. Shan Zhengqi, satu jari, satu propinsi, memiliki ilmu totok yang disegani lawan dan kawan. Bai Shixian, dengan pukulan petir, pernah menghajar habis satu gerombolan penyamun seorang diri. Lu Jingyun, si empat kaki, terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya, namun juga disegani karena permainan sepasang pedangnya. Ximen Lisi, permata dari Shanxi, wajah tampan, ahli sastra dan ilmu pedang, dalam satu bulan berhasil membunuh 16 kepala geng utama di Shanxi dan menyatukan mereka semua di bawah kendalinya.", jawab Sun Gao sambil menghitung dengan jarinya. "Jadi seluruhnya ada 7 orang, 8 orang dengan Ketua Ding Tao." "Hmm bagaimana dengan Li Nan Hun dengan kipas besinya?", tanya Qin Baiyu. "Kurasa dia tidak akan lolos ujian, ilmunya tergolong kelas atas. Namun dia terlalu gemar arak dan perempuan, sejak namanya terangkat setelah mengalahkan Meng Xin pendekar pedang dari Hoasan, tidak pernah terdengar lagi prestasi yang menonjol.", jawan Sun Gao. "Tapi mengapa kau masukkan juga Lu Jingyun, bukankah dia juga seorang yang suka pelesiran dan bermain perempuan?", tanya Qin Baiyu. "Lu Jingyun mungkin yang terlemah ilmu silatnya dibandingkan 7 orang yang lain. Tapi dia punya kelebihan dalam ilmu meringankan tubuh, hal ini menguntungkan dia dalam menghadapi ujian yang ditetapkan Shaolin. Kalau dia orang yang tahu diri, dia akan mundur sebelum pertandingan dimulai.", ujar Sun Gao menjelaskan perhitungannya. "Bagaimana dengan Zhu Jiuzhen, mengapa dia tidak masuk dalam perhitunganmu? Bukankah dia terkenal dengan 64 langkah ajaibnya?", tanya Qin Baiyu. "Zhu Jiuzhen, menurutku bisa lolos melewati ujian yang ditetapkan oleh Shaolin. Tapi bila tidak salah perhitunganku, segera setelah dia mendengar Lei Jianfeng dan Ximen Lisi ikut pula dalam pertandingan ini, dia akan mengundurkan diri.", ujar Sun Gao. "Mengapa demikian?", tanya Qin Baiyu. "Lei Jianfeng berasal dari Kunlun, menguasai pula dasar-dasar langkah Bagua, 64 langkah ajaib sebenarnya berdasarkan pula perhitungan I Ching. Melawan Lei Jianfeng, 64 langkah ajaib-nya tidak akan banyak berguna, di saat yang sama Lei Jianfeng masih memiliki pukulan mematikan Luo Yan Zhang, kabarnya sejak dikembangkan oleh Lei Jianfeng, Luo Yan Zhang milik Kunlun di tangannya memiliki 18 perkembangan dan 27 bentuk baru, nama Luo Yan Zhang tetap dipakai sebagai bentuk penghargaan. Kebanyakan anak murid Lei Jianfeng menyebutnya Luo Yan Zhang keluarga Lei.", Sun Gao menguraikan alasannya. "Lalu apa hubungannya pula dengan Ximen Lisi?", tanya Qin Baiyu. "Dengan Ximen Lisi, Zhu Jiezhen memiliki hubungan yang unik, keduanya sempat mengangkat saudara sebelum Ximen Lisi menjadi orang pertama di propinsi Shanxi. Ada yang mengatakan, kerja Ximen Lisi membunuhi ke 16 kepala geng itu, tidak lain untuk membalaskan sakit hati sahabatnya Zhu Jiezhen. Namun karena suatu sebab, persahabatan mereka merenggang, sejak Ximen Lisimenjadi kepala organisasi di Shanxi.", jawab Sun Gao. "Wah Sun Gao, pengetahuanmu banyak sekali", ujar Qin Baiyu. "Hehehehe jangan salah. Itu semua ayahku yang mengatakan, semalam aku menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang kau tanyakan.", jawab Sun Gao disambut tawa terbahak-bahak dari Qin Baiyu. Setelah tawa mereka mereda, Qin Baiyu pun bertanya. "Apakah semalam kau sempat bertemu ayahmu? Bukankah sekalian paman, sedang membantu Ketua Ding Tao mematangkan latihannya?" "Benar, mereka bergantian berlatih tanding melawan Ketua Ding Tao, kemarin ayah minta ijin untuk menengok diriku sebentar. Tidak masalah, toh masih ada Paman Ma Songquan, Paman Pendeta Liu Chuncao dan yang lainnya.", jawab Sun Gao. "Oh begitu. Apakah ayahmu bercerita tentang latih tanding mereka? Ayahku sendiri tidak banyak bercerita, dia hanya mengatakan padaku untuk menyaksikannya sendiri pada saat pemilihan nanti.", jawab Qin Baiyu. "Sama saja dengan ayahku, katanya ilmu rahasia, lagipula dijelaskan juga belum tentu mengerti. Begitu kata ayah.", sahut Sun Gao. "Daripada bermalas-malasan di sini, bagaimana kalau kita mengisi waktu dengan berlatih bersama saudara-saudara yang lain?", tanya Qin Baiyu. "Boleh juga.", jawab Sun Gao sambil bangkit berdiri. Diam di dalam rumah selama beberapa hari, tanpa pernah berjalan-jalan di luar memang membosankan, tapi sekian hari berlalu, tidak ada yang berpikir untuk melanggar. Bukan takut untuk melanggar, tapi memang tidak ingin melanggar. Mereka memilih untuk mencari-cari kegiatan sendiri yang bisa dilakukan di dalam rumah yang cukup besar itu. Dengan jumlah yang hampir mencapai 100 orang, tidak sulit untuk mencari-cari kegiatan untuk menghabiskan waktu. Ada yang memilih berlatih bersama, tapi tidak jarang juga mereka menghabiskan waktu dengan permainan-permainan. Bukan hanya pihak Ding Tao saja yang bersikap menahan diri, dari pengikut calon lain pun bersikap demikian pula. Jika ada perkelahian, justru biasanya terjadi di antara mereka yang datang untuk menjadi penonton, tanpa memiliki ikatan khusus dengan calon-calon tertentu. Dengan banyaknya orang-orang dunia persilatan yang datang, Kota Dengfeng pun jadi ramai dengan pengunjung- pengunjung yang berwajah keras dan kepalan tangan yang tidak kalah keras. Keberadaan mereka menguntungkan pemilik penginapan dan rumah makan, tidak sedikit pula penduduk yang secara dadakan menyewakan rumah mereka sebagai tempat penginapan. Rasa was-was yang sempat muncul menghilang setelah mereka melihat bagaimana cekatannya bhiksu- bhiksu Shaolin yang tersebar membantu para penjaga keamanan untuk menghentikan pertarungan dan kericuhan yang terjadi. Apalagi jika ada orang dunia persilatan yang hendak memaksakan kehendak pada penduduk sekitarnya. Bukan berarti setelah itu tidak ada pertarungan antar orang dunia persilatan sendiri, hanya saja jika mereka hendak bertarung, mereka melakukannya di luar Kota Deng feng sehingga tidak mengganggu penduduk yang tidak tahu menahu. Tentu saja bukan hanya dari anak murid Shaolin yang menjaga ketertiban selama diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu. Di kota-kota lain di sekitar Kota Dengfeng, anak-anak murid 5 perguruan besar yang lain ikut pula meronda dan menjaga keamanan. Kesibukan ini tentu saja menarik banyak perhatian dari penduduk di sekitar Kota Dengfeng dan pada saat hari yang ditentukan, bukan hanya orang-orang dari dunia persilatan yang datang. Banyak juga mereka dari khalayak umum yang datang hanya untuk melihat keramaian. Bisa dibayangkan berapa puluh ribu orang berkumpul di sana. Panggung yang luas sudah disiapkan di kaki Gunung Songshan. Bhiksu-bhiksu Shaolin, bercampur bersama beberapa anak murid dari Wudang, Kunlun, Hoasan, Enmei dan Kongtong berjaga di sana. Seberapa luas tempat yang disediakan sulit digambarkan. Itu pun banyak sekali yang tidak mendapatkan tempat. Mereka ini harus puas untuk berada di kejauhan, sekedar mendengar berita dan menyaksikan tokoh-tokoh dunia persilatan yang lalu lalang di depan mereka. Banyak juga mereka yang pekerjaannya sebagai pendongeng mencari sekeping dua keping uang dengan menjual cerita. Di tempat pemilihan itu sendiri, sudah berkumpul 6 orang ketua dari enam perguruan besar yang duduk di kursi kehormatan di atas panggung. Di sisi kiri dan kanan panggung sudah disediakan pula 9 buah kursi, 4 buah kursi di sisi kiri dan 5 buah kursi di sisi kanan. 9 kursi tersebut disediakan bagi 9 orang yang memegang medali giok sebagai tanda lulus ujian, menerobos barisan yang dijalankan oleh bhiksu-bhiksu Shaolin. Sudah ada 8 kursi yang diduduki. Di belakang ke 8 kursi yang sudah diduduki, berdiri berjajar beberapa orang terpercaya dari calon Wulin Mengzhu yang duduk di sana. Di belakang Ding Tao berdiri Ma Songquan, Chu Linhe, Pendeta Liu Chuncao, Wang Xiaho, Tang Xiong dan Li Yan Mao. Sementara 7 orang yang lain adalah tepat sesuai tebakan Sun Gao. Mereka itu adalah Lei Jianfeng, Tong Baidun, Deng Songyan, Shan Zhengqi, Bai Shixian, Lu Jingyun dan Ximen Lisi. Di kursi-kursi yang disediakan bagi ketua 6 perguruan besar, duduk Ketua Shaolin Bhiksu besar Khongzhen, Ketua partai Wudang Pendeta Chongxan, Ketua Partai Enmei Bhiksuni Huan Feng, Ketua Partai Kongtong Zong Weixia, Ketua Partai Kunlun Guang Yong Kwang dan di kursi untuk perguruan Hoasan duduk Tetua Xun Siaoma. Untuk beberapa lama tidak ada yang terjadi, ke-enam ketua perguruan besar saling berbicara di antara mereka sendiri. Calon-calon yang ada diam dan saling pandang, sesekali terlihat mereka berbisik-bisik dengan orang kepercayaannya yang berdiri di belakang mereka. Acara belum bisa dibuka, karena kursi ke-9 masih kosong dan tidak diduduki oleh orang yang seharusnya duduk di sana. Sementara lapangan yang luas, perlahan-lahan makin penuh oleh orang yang datang. Bahkan di tempat-tempat yang jauh pun orang berusaha mencari tempat yang strategis untuk melihat. Di bagian terdekat dari panggung itu sendiri, sudah disediakan ratusan kursi, namun hanya orang-orang tertentu yang bisa duduk di sana. Terutamanya mereka yang mendapatkan undangan resmi. Ada pula mereka yang tempatnya tidak jelas sehingga tidak bisa dikirimkan undangan khusus, namun memiliki nama besar yang patut diperhitungkan. Kursi-kursi ini diperuntukkan bagi tokoh-tokoh tersebut, orang pada umumnya sudah maklum akan hal ini, sehingga meskipun melihat ada kursi-kursi yang masih kosong, mereka cukup tahu diri untuk tidak maju dan duduk di sana. Ada saja orang yang memandang diri terlalu tinggi dan maju untuk duduk di kursi tersebut. Namun orang semacam ini harus siap-siap merasa malu, karena mereka yang bertugas akan menanyakan siapa nama mereka, jika nama mereka tidak terdapat pada daftar yang dibawa oleh petugas, maka dengan sopan mereka akan dipersilahkan meninggalkan tempat. Jika tidak bisa diusir dengan kata-kata, tanpa ragu petugas yang ada akan mengusir mereka dengan kekuatan. Mereka yang bertugas untuk menjaga tidak bisa dibuat main-main, karena seluruhnya adalah murid-murid utama dari ke- enam perguruan besar. Ada saja mereka yang berusaha mendapatkan nama dengan sengaja mencari perkara. Adu tenaga dalam atau adu kelincahan, antara petugas dengan mereka yang demikian ini cukup menjadikan suasana tidak membosankan bagi para penonton di sekitar tempat tersebut. Meskipun demikian, jarang terjadi sampai harus mencabut senjata atau beradu pukulan. Kejadian-kejadian seperti ini tentu saja sudah diperhitungkan, jumlah kursi yang disediakan pun memang disediakan lebih banyak daripada jumlah tamu dalam daftar. Sesekali ketika petugas mendapati tokoh tidak ternama, namun memiliki tingkatan yang cukup tinggi, pada akhirnya mereka dipersilahkan untuk duduk di sana. Ketika peristiwa itu terjadi, tentu saja, nama mereka yang berhasil duduk ini dengan segera menjadi bahan pembicaraan di antara orang-orang persilatan yang lain. Matahari beranjak semakin ke tengah, namun kursi ke-9 tidak juga diisi, suasana mulai ramai oleh bisik-bisik orang tentang kursi ke-9 tersebut. Di saat yang sama, orang-orang yang diminta atau berusaha, duduk di kursi-kursi, di sekeliling panggung sudah tidak bertambah lagi jumlahnya. Bisa dikatakan, seluruh orang-orang dunia persilatan yang hendak mengikuti pemilihan Wulin Mengzhu itu sudah hadir di sana. Seluruhnya kecuali, calon Wulin Mengzhu ke-9 beserta pendukungnya. Kursi yang kosong itu membuat tanda tanya besar di benak banyak orang. Dengan melihat pengaturan yang ada dan siapa saja yang duduk di 8 kursi yang lain, mudah diduga bahwa dari sekian banyak tokoh dunia persilatan yang datang dan ingin menjadi calon Wulin Mengzhu, hanya ada 9 orang yang lolos dari ujian yang diadakan Shaolin. 8 orang yang duduk di sana, sudah banyak dikenal, lalu siapa orang ke-9 yang ditunggu-tunggu ini. Setiap orang mulai berhitung dan saling berdiskusi. Namun dari sekian banyak nama yang mereka ketahui, tidak seorang pun yang bisa menjadi orang ke-9 tersebut, sehingga kursi yang kosong menimbulkan misteri tersendiri. Bhiksu besar Khongzhen menebarkan pandangan matanya ke sekeliling lapangan, akhirnya dia berkata pada ketua perguruan besar yang lain. "Orang ke-9 tidak perlu ditunggu lagi, jika keadaan dibiarkan berlarut-larut hanya akan mengundang pertanyaan banyak orang. Apa yang akan terjadi, biarlah terjadi dan kita hadapi nanti." Pendeta Chongxan mengangguk setuju. "Kurasa Bhiksu Khongzhen benar, jika orang itu memang hendak menimbulkan kericuhan, biarlah kita hadapi pada saat dia muncul nanti." Tetua Xun Siaoma bertanya. "Apakah orang yang diutus untuk menyelidiki masalah ini belum juga muncul?" Bhiksu Khongzhen menggelengkan kepala. "Belum ada kabar, pagi ini sudah kukirimkan pula kelompok yang kedua, namun belum ada kabar juga dari mereka." "Aku lihat ada awan gelap sedang menaungi Shaolin hari-hari ini, semoga kebesaran Bhiksu Khongzhen mampu mengusirnya", ujar Zhong Weixia dengan nada serius dan prihatin. Bhiksu Khongzhen melirik tidak senang pada ketua Partai Kongtong tersebut dan menjawab dengan sabar. "Kuharap tidak terjadi apa-apa dengan mereka, tapi kalaupun terjadi sesuatu, Shaolin bukan perguruan yang baru terbentuk tahun kemarin, besar kecil, segala macam kesulitan sudah pernah kami hadapi." Pendeta Chongxan yang melihat Zhong Weixia hendak menjawab lagi, buru-buru menyela sebelum Zhong Weixia sempat berkata-kata. "Jadi kita semua setuju agar acara segera dimulai saja. Bagaimana?" "Kita mulai saja sekarang", ujar Bhiksuni Huan Feng sambil melirik Zhong Weixia dengan tajam. "Aku menurut saja pendapat kalian", jawab Guang Yong Kwang yang paling muda di antara mereka. "Kurasa jalan itu yang terbaik", ujar Tetua Xun Siaoma dari Hoasan. "Apakah Saudara Zhong Weixia punya pendapat lain?", tanya Bhiksu Khongzhen sambil menatap tajam. Zhong Weixia hanya tersenyum sinis dan menjawab. "Kalau 4 orang sudah memberikan suara, apa artinya suaraku seorang? Sudah tentu aku setuju dengan kalian semua." "Baiklah kalau begitu aku akan buka acara hari ini", ujar Bhiksu Khongzhen sambil bangkit berdiri. Suasana yang tadinya ramai oleh bisik-bisik ribuan orang, tiba-tiba jadi sunyi senyap ketika mereka melihat Bhiksu Khongzhen bangkit berdiri. Setiap orang memasang telinga untuk mendengarkan. Saat yang ditunggu-tunggu tampaknya sudah tiba. Bhiksu Khongzhen sudah berumur lanjut, gerak-geriknya tidak lincah bersemangat layaknya seorang muda. Tapi juga tidak terlihat dia bergerak tertatih-tatih seperti orang tua yang sakit sendi-sendinya. Melihat Bhiksu Khongzhen bergerak, seperti melihat gerakan sungai yang dalam, terlihat tenang, tidak beriak, namun menyembunyikan kekuatan yang besar. Bhiksu tua itu tidak berperawakan tinggi besar seperti Bhiksu Pu Jit, tingginya mungkin hanya setinggi pundak Ding Tao, tapi dari tubuh kecil itu terasa perbawa yang besar. Berjalan ke tengah panggung, bhiksu tua itu merangkapkan tangan di depan dada dan memberikan hormat ke segenap penjuru. "Kuucapkan selamat datang di kaki Gunung Songshan pada segenap saudara sekalian. Harap maafkan kami jika ada kesalahan yang tidak disengaja yang kami lakukan sebagai tuan rumah.", ujar Bhiksu Khongzhen sebagai pembukaan, suaranya terdengar jelas sampai jauh. Semua orang mendengarkan dengan khidmat, Bhiksu Khongzhen bisa dikatakan sudah mendekati tataran legenda hidup. Xun Siaoma yang seumur dengannya pun menghormati bhiksu tua ini sebagai tokoh pilih tanding. Satu-satunya tokoh yang bisa menyamai bhiksu tua ini bisa dikatakan hanya ada seorang, yaitu sahabatnya juga, Pendeta Chongxan. Ren Zuocan boleh saja semakin menanjak ilmunya, bahkan diperhitungkan akan menyamai atau melebihi Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pada pertemuan 5 tahunan berikutnya, namun hal itu tidak lepas dari bertambahnya usia kedua tokoh legendaris itu. Jika ada cacat atau kekurangan pada kedua tokoh ini, maka hal itu adalah sikap mereka yang sangat pasif dalam menjalani keberadaan mereka sebagai seorang tokoh dalam dunia persilatan. Jika tidak demikian, mana mungkin Zhong Weixia yang cenderung kejam dan angin-anginan bisa malang melintang? Atau sikap sombong ketua Perguruan Kunlun Guang Yong Kwang, yang meskipun termasuk golongan lurus, namun tidak segan-segan menindas yang lemah. Atau tokoh sesat macam Sepasang Iblis Muka Giok, yang sudah beberapa bulan ini lenyap dari dunia persilatan. Selain sepasang iblis itu masih ada, bayangan darah Zhang Yip Ling, tokoh sesat dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tanpa tanding, Raja perompakYue Changling dan beberapa nama lain yang tampaknya tidak muncul pada pertemuan pemilihan Wulin Mengzhu kali ini. Sebelum adanya pertemuan lima tahunan yang diadakan Ren Zuocan, tidak banyak orang yang tahu akan tinggi rendahnya ilmu kedua orang ini. Banyak yang beranggapan, adalah nama besar Shaolin dan Wudang saja yang membuat dua perguruan besar itu bertahan. Baru setelah Ren Zupcan menantang tokoh-tokoh persilatan daratan untuk mengadu ilmu, nama kedua tokoh itu berkibar sebagai penyelamat muka mereka. Itu pun menanti tidak ada seorangpun yang dapat menandingi Ren Zupcan, barulah mereka berdua maju ke depan. Bergantian mengalahkan Ren Zuocan dalam sebuah pertandingan yang adil. Bisa dikatakan sikap mereka yang menyembunyikan kekuatan ini adalah salah satu penyebab Ren Zupcan salah perhitungan dan muncul terlalu cepat untuk menantang tokoh-tokoh dalam dunia persilatan di daratan. Dalam perhitungannya tidak ada seorangpun yang dapat menandinginya, sementara Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dikenal orang sebagai dua orang ketua perguruan besar yang kurang mahir dalam ilmu bela diri dan lebih bertekun pada ilmu agama. "Seperti yang kalian semua ketahui, dengan tujuan untuk mempersingkat waktu, juga mengurangi terjadinya bentrokan antar saudara sendiri. Kami dari pihak Shaolin, secara sepihak telah mengadakan satu ujian bagi mereka yang ingin datang ke kaki Gunung Songshan ini untuk maju sebagai calon Wulin Mengzhu. Dari sekian banyak orang, telah lulus 9 orang." "8 orang dari mereka bisa saudara sekalian lihat di atas panggun ini. Sedangkan orang ke-9 telah ditunggu-tunggu kedatangannya dan belum juga muncul sampai sekarang. Keberadaannya memang misterius dan sedikit mengkhawatirkan, karena ke-18 orang bhiksu yang kami utus untuk menguji tidak juga kembali. Demikian juga beberapa orang saudara yang pergi untuk memeriksa keberadaan mereka." " Apakah ada orang ke-9 itu, ataukah yang terjadi adalah satu serangan dari pihak luar, tidak dapat kami katakan. Namun pemilihan Wulin Mengzhu ini, tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Apabila memang ada pihak-pihak yang hendak mengganggu, biarlah mereka datang, kami enam perguruan besar, sebagai penyelenggara pemilihan Wulin Mengzhu ini akan menjadi penanggung jawab atas berjalannya acara ini.", ujar Bhiksu Khongzhen menjelaskan keadaan terakhir, tidak ada yang dia tutupi, tidak pula dengan hilangnya 18 orang anak murid dari Shaolin. Bagi beberapa orang ketua perguruan besar, mengakui hal seperti itu bisa dipandang sebagai suatu kotoran yang mencoreng kebesaran perguruan mereka. Tapi tidak bagi Bhiksu Khongzhen, kalah atau menang, menurutnya wajar saja. Bila ada orang yang mengalahkan ilmu perguruan Shaolin, hal itu tidak membuat mereka malu, yang memalukan adalah, apabila ada anak murid perguruan Shaolin yang melanggar hukum Buddha. Sikap yang hampir sama ada pula pada diri Pendeta Chongxan, ini juga menjadi salah satu alasan mengapa sebelum Ren Zuocan mengadakan pertemuan 5 tahunan, Wudang dan Shaolin dianggap sudah meredup bintangnya. Selama kepemimpinan dua orang itu, sudah terjadi beberapa kali berita orang mengalahkan anak murid perguruan Shaolin dan Wudang. Bahkan ada yang berani menantang ke perguruan mereka dan kedua orang ketua perguruan ini tidak sedikitpun turun tangan. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk mengakui kelebihan orang. Betapa malu mereka yang dulunya membanggakan diri, saat kedua orang ketua itu akhirnya terpaksa menunjukkan kelebihannya, demi mempertahankan nama baik dunia persilatan di daratan. Suasana yang tadinya senyap, mulai ramai kembali setelah mereka mendengar penjelasan dari Bhiksu Khongzhen. Bhiksu Khongzhen sendiri berdiri dengan tenang, membiarkan mereka semua yang ada di sana, mencerna dahulu berita yang baru saja dia sampaikan. Perlahan-lahan suasana kembali tenang, setelah hilang rasa terkejut mereka dan puas membicarakan berita yang baru mereka dengar, satu per satu, perhatian setiap orang kembali diarahkan pada Bhiksu Khongzhen. Menanti suara riuh ramai itu mulai surut, Bhiksu Khongzhen kembali membuka mulut. "Dengan demikian untuk sementara ini, orang ke-9 kita lupakan dan kita anggap ada 8 orang calon Wulin Mengzhu. Nama besar mereka ber-delapan, luasnya pengaruh dan prestasi yang pernah mereka capai, setiap orang di sini tentu sudah pernah mendengarnya. Di antara mereka ber-delapan, bisa dikatakan tidak ada yang lebih rendah atau yang lebih tinggi." "Setelah membicarakan dengan saudara-saudara yang lain, kami berkesimpulan, tinggal satu jalan untuk menentukan siapa yang akan menjadi Wulin Mengzhu", sampai di sini Bhiksu Khongzhen berhenti sejenak. " Yaitu, dengan adu kepandaian.", demikian Bhiksu Khongzhen menyelesaikan ucapannya dan sekali lagi suasana pun pecah dengan riuh rendah suara orang yang menyaksikan. Maklum saja, mereka yang datang untuk menyaksikan, memang sudah menunggu-nunggu untuk melihat keramaian. Termasuk mereka yang datang untuk bersumpah setia pada Wulin Mengzhu yang baru, mereka ini pun mengharapkan orang dengan ilmu tertinggi untuk menjadi Wulin Mengzhu dan hanya satu cara yang paling tepat untuk menentukannya adalah adu kepandaian. Adu kepalan, adu jotos, adu pedang, adu kecerdikan atau apapun itu, pada intinya, yang terkuatlah yang menang. Dunia persilatan sudah berjalan ratusan tahun, namun satu hal ini tidaklah berubah, bukan benar dan salah yang menjadi tolok ukur utama, namun kuat dan lemah. Menyaksikan hal ini diam-diam Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan menghela nafas. Zhong Weixia yang mendengar helaan nafas mereka hanya tersenyum sinis. Bhiksuni Huan Feng yang sama juga menekuni jalan keagamaan, lebih sepaham dengan dua orang tersebut dan diam-diam merenung. Xun Siaoma yang bisa mengerti namun tidak sepenuhnya sepaham hanya menundukkan kepala saja. Guang Yong Kwang yang lebih sepaham dengan Zhong Weixia, namun tidak berani untuk menunjukkannya secara terang-terangan, menjaga raut mukanya tetap dingin. Sikap semua orang ini tidak luput dari mata-mata yang awas, setidaknya 8 orang calon Wulin Mengzhu bisa melihatnya dan cukup peka dan tajam panca indera dan rasa hatinya untuk menangkap gejolak hati masing-masing orang. Diam-diam mereka pun sudah mulai membuat perhitungan bagi dirinya sendiri. Saat suasana kembali mereda, Bhiksu Khongzhen tiba-tiba memberikan satu pengumuman yang cukup menggemparkan, "Sebelum pertandingan antara satu calon dengan calon yang lain dimulai. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kami dari pihak Perguruan Shaolin ingin memberikan satu pengumuman. Bahwasannya, hasil dari pertandingan ini tidak menentukan pendirian Shaolin. Sejak awal kami tidak menyetujui diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu, terlebih jika pilihan itu didasarkan pada kekuatan. Namun karena keinginan dari pihak banyak, hal ini tidak mungkin dihindarkan lagi." "Bagaimana pun juga Perguruan Shaolin tidak ingin melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya, sehingga kami berkeputusan akan bersumpah setia pada Wulin Mengzhu yang baru, hanya bila orang tersebut sesuai dengan keyakinan hati nurani kami. Bila hasil dari adu kepandaian ini, tidak sesuai dengan apa yang kami yakini, dengan terpaksa kami menolak untuk bersumpah setia." , ujar Bhiksu Khongzhen dengan tegas. Suasana yang baru saja mereda pun jadi kembali gempar, bagaimanapun juga kedudukan seorang Wulin Mengzhu menjadi kedudukan yang istimewa, karena kedudukan tersebut menjamin pemegangnya sebagai pemimpin dari segenap tokoh dalam dunia persilatan. Jika seseorang memegang gelar tersebut, namun ada tokoh-tokoh dunia persilatan yang menolak untuk tunduk pada perintahnya, maka apa artinya gelaran tersebut? Biasanya jika ada yang membangkang pada perintah seorang Wulin Mengzhu, itu sama artinya tokoh tersebut harus menghadapi segenap kekuatan dunia persilatan yang berdiri di belakang sosok Wulin Mengzhu, adanya resiko ini saja sudah membuat setiap orang berpikir ribuan kali untuk membangkang pada perintah seorang Wulin Mengzhu dan pada akhirnya seluruh tokoh akan tunduk di bawah perintahnya. Tapi jika sekarang yang menyatakan diri tidak tunduk pada Wulin Mengzhu tersebut adalah sebuah perguruan sebesar Shaolin, maka apa yang akan terjadi? Jika Wulin Mengzhu yang terpilih berkehendak agar Shaolin tunduk pada dirinya, bukankah itu artinya banjir darah antara saudara-saudara sendiri? Pernyataan Bhiksu Khongzhen itu begitu pentingnya, hingga seseorang di antara mereka yang duduk di tempat kehormatan tiba-tiba berdiri dan bertanya dengan lantang. Suaranya menggaung mengatasi riuhnya orang berbicara dan berdebat, menandakan ilmu tenaga dalamnya tidaklah rendah. Itulah Bai Chungho Ketua Partai Kaypang. "Jika boleh, aku pengemis yang rendah ini ingin bertanya pada sekalian ketua enam perguruan besar." Belum melihat siapa yang berbicara, baru mendengar gaung suaranya, setiap orang sudah menahan diri untuk berbicara, terlebih ketika mereka melihat siapa yang berbicara. Setiap orang memilih untuk menutup mulut dan menyiapkan telinga. "Ah, kiranya Saudara Bai Chungho, tentu saja silahkan bertanya.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan ramah. "Jika pendirian Shaolin sudah teguh, untuk memiliki pandangannya sendiri mengenai pimpinan yang diinginkan. Bagaimana dengan pendirian 5 perguruan yang lain? Bagaimana jika pada akhirnya dia yang memenangkan adu kepandaian ini tidak sesuai dengan pilihan Shaolin, apakah tidak ada kekhawatiran, bakal terjadi bentrokan antara Shaolin dengan pihak-pihak lain yang memilin untuk mendukung Wulin Mengzhu?", tanya Bai Chungho. Banyak orang ikut menganggukkan kepala dan menatap Bhiksu Khongzhen serta 5 ketua perguruan besar yang lain. Pertanyaan Bai Chungho cukup mewakili kegalauan hati mereka. Apa gunanya memilih seorang Wulin Mengzhu jika kemudian terjadi bentrokan antara mereka yang mendukung Wulin Mengzhu tersebut, dengan mereka yang tidak mendukung Wulin Mengzhu? Jika Shaolin menolak untuk bersumpah setia, bisa dipastikan akan ada banyak tokoh yang ikut berdiri, mengikuti apa yang dilakukan oleh perguruan Shaolin. Bhiksu Khongzhen tidak segera menjawab pertanyaan Bai Chungho, melainkan dia menengok ke belakang, ke arah sahabatnya Pendeta Chongxan. Pendeta Chongxan pun maklum apa maksud hati Bhiksu Khongzhen, dia bangkit berdiri lalu berjalan ke sisi Bhiksu Khongzhen, kemudian dengan suara yang lemah lembut namun berwibawa dia menjawab. "Pendirian Saudara-saudara dari Shaolin sudah disampaikan kepada 5 perguruan yang lain, jauh-jauh hari sebelum kami mengambil keputusan untuk mengadakan pemilihan Wulin Mengzhu ini.", ujar Pendeta Chongxan membuka penjelasannya. "Meskipun kami berbeda pandangan namun kami bisa memahami sepenuh hati, alasan di balik keputusan itu. Berkenaan dengan dukungan atas Wulin Mengzhu, 5 perguruan yang lain memutuskan untuk tetap mendukung Wulin Mengzhu yang terpilih dalam pemilihan ini." "Berkenaan dengan sikap dari perguruan Shaolin, 5 perguruan menyatakan tidak akan menghalangi keputusan mereka. Dalam pembicaraan kami, Shaolin sendiri telah menyatakan bahwa dirinya tidak akan berdiri menentang keputusan- keputusan dari Wulin Mengzhu, apabila keputusan itu dinilai tidak merugikan negara dan rakyat. Dan hal ini jelas tidak bertentangan dengan tujuan kita semua untuk memilih seorang Wulin Mengzhu. Kita memilih seorang Wulin Mengzhu karena kita ingin munculnya satu pemimpin yang menyatukan kita melawan musuh dari luar. Oleh sebab itu, kami dari 5 perguruan besar, menerima sikap Shaolin dan yakin bahwa keputusan ini tidak akan menimbulkan bentrokan antar saudara sendiri.", ujar PendetaChongxan menjelaskan. Sebagian orang yang mendengarkan mengangguk lega, tapi ada pula yang menggelengkan kepala dengan hati kurang puas. Memang jika memandang setiap orang sama baiknya dengan seorang nabi, ucapan Pendeta Chongxan itu bisa diterima. Tapi kenyataannya bukan hanya sedikit saja orang yang memiliki niat baik, bahkan menurut pandangan mereka, setiap orang menyembunyikan maksud hatinya sendiri. Dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini, siapa yang mengajukan diri, 9 dari 10 orang tentulah maju karena memiliki ambisi pribadi. Menjadi raja di atas segenap kekuatan dunia persilatan, adalah kekuasaan yang besar. Secara perorangan ilmu bela diri dari tokoh-tokoh persilatan tingkat menengah ke atas yang ada, bisa disetarakan dengan ratusan tentara kerajaan. Jika anak murid dan bawahan mereka dihitung, jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu bahkan mendekati seratus ribu orang. Kekuatan itu bukanlah kekuatan yang kecil, bala tentara yang tersimpan di tiap-tiap propinsi pun tidak mencapai jumlah tersebut. Hingga sulit dibayangkan seseorang maju untuk menjadi calon Wulin Mengzhu tanpa memiliki ambisi untuk menggunakan kekuatan yang besar tersebut. Di lain pihak, keputusan Shaolin justru bisa menjadi pengimbang keadaan, jika benar-benar terjadi, Wulin Mengzhu yang terpilih itu menggunakan kekuasaannya untuk ambisi pribadi dan bukan untuk menghadapi kekuatan Ren Zuocan, pemimpin dari Partai Matahari dan Bulan. Dengan demikian, mendengar penjelasan Pendeta Chongxan, terjadilah diskusi dan perdebatan yang sengit di antara para pendekar yang datang untuk melihat pemilihan Wulin Mengzhu ini. Ada yang menyesali keputusan Shaolin yang seakan-akan membuat kekuatan mereka terpecah belah, bahkan mengundang resiko terjadinya bentrokan di antara tubuh sendiri. Tapi ada pula yang memuji kebijaksanaan Bhiksu Khongzhen yang mampu melihat jauh ke depan dan mengambil langkah-langkah pencegahan. Ada pula yang menduga-duga, mengapa Pendeta Chongxan yang bersahabat dekat dengan Bhiksu Khongzhen tidak mengambil langkah yang sama, mengapa justru berdiri di pihak yang berlawanan? Macam-macam pendapat dan dugaan ini pun jadi ramai diperdebatkan. Di saat orang ramai berdebat itu, kembali Bai Chungo mengangkat suara. "Bhiksu Khongzhen, maaf jika aku ingin bertanya sekali lagi. Jika benar demikian keputusan dari 6 perguruan besar, maka aku pun ingin tahu, dari 8 calon Wulin Mengzhu yang ada saat ini, apakah ada satu atau dua orang yang sesuai dengan pilihan dari pihak Shaolin? Jika ada maka siapakah calon-calon tersebut?" Sekali lagi banyak orang mengangguk setuju dengan pertanyaan Bai Chungho itu. Jawaban Bhiksu Khongzhen tentu saja sangat berpengaruh, jika dari ke-delapan calon tidak seorang pun sesuai dengan pilihan hati perguruan Shaolin, bukankah artinya terpecahnya dunia persilatan daratan menjadi dua kelompok besar itu pasti terjadi? Sebaliknya jika ada yang disetujui oleh Shaolin, berarti masih ada harapan. Bahkan ada yang berpendapat, jika memang Shaolin sudah setuju dengan satu atau lebih calon, mengapa tidak dicoret saja mereka yang berada di luar pilihan Shaolin? Dengan begitu bukankah perpecahan sudah pasti tidak akan terjadi? Karena Bhiksu Khongzhen yang ditanya maka Bhiksu Khongzhen pula yang menjawab. "Saudara Bai Chungho, sebenarnya di antara ke delapan pahlawan di sini, sudah tentu semuanya adalah orang-orang pilihan dan pantas untuk menduduki kedudukan Wulin Mengzhu tersebut. Bila ada seorang atau dua yang lebih sesuai dalam hati kami, kami pun tidak bisa menyebutkannya. Jika sampai terjadi demikian, bukankah akan timbul ketidak adilan?" Banyak orang mengangguk setuju, terutama para pendukung calon Wulin Mengzhu yang merasa Shaolin tidak bakalan menyetujui orang yang mereka dukung itu. Ramainya suara di bawah,tidak diimbangi dengan mereka yang di atas panggung. Bagi mereka yang di atas panggung, menyimpan perhitungan sendiri dan menyerap sebanyak mungkin reaksi tiap-tiap orang lebih penting. Bai Chungho pun berkata kembali. "Bhiksu Khongzhen, daripada sesama saudara terpecah menjadi dua golongan. Jika memang ada satu atau dua orang yang sesuai dengan pilihan dari perguruan Shaolin, apakah tidak lebih baik Bhiksu Khongzhen utarakan saja siapa-siapa orang itu. Biarlah mereka yang tidak disebutkan namanya mengundurkan diri dengan suka rela demi kebaikan bersama." Pada saat Bai Chungho selesai berkata-kata, tiba-tiba Ding Tao bangkit berdiri, memberi hormat pada Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan serta semua yang hadir di atas panggung, dan berkata. "Tetua sekalian, Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, Tetua Xun Siaoma dan saudara-saudara sekalian ketua, ijinkanlah siauwtee berbiacara." Bangkitnya Ding Tao yang tiba-tiba itu membuat perhatian setiap orang dengan cepat tertuju pada pemuda itu. Setelah memberi hormat, Ding Tao pun menghadap ke arah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan serta berkata. "Tetua berdua dan saudara sekalian, kuharap usulan Tetua Bai Chungho itu sebaiknya dipertimbangkan baik-baik. Jika memang demi bersatunya dunia persilatan, biarlah aku jadi orang pertama yang mundur dari pencalonan ini. Atau yang lebih baik lagi, mengapa tidak Bhiksu Khongzhen atau Pendeta Chongxan saja yang menduduki kedudukan ini? Siauwtee yang rendah, berjanji dengan sepenuh hati akan mendukung kepemimpinan kalian berdua. Sesungguhnya berhadapan dengan sekalian ketua dan tetua, siauwtee merasa diri sangat kecil dan tidak pantas. Bukankah di sini sudah ada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, siapa yang tidak mengenal reputasi mereka? Apa perlunya lagi diadakan pemilihan ini? Bukankah pemimpin yang tepat sudah ada di sini?" Betapa terkejutnya banyak orang ketika mendengar perkataan Ding Tao tersebut, termasuk para pengikutnya yang berdiri di belakang pemuda ini. Bagaimana bisa pemuda itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berkata-kata demikian? Apakah dia sudah lupa dengan perjuangan sekalian rekan-rekannya untuk membawa dia sampai di tempat ini? Perlu diketahui, sejak mulai duduk di atas panggung tersebut, Ding Tao sudah mulai kambuh penyakit rendah dirinya. Bagaimana tidak kambuh, jika di atas panggung yang sama duduk pula tokoh-tokoh legendaris seperti Bhiksu besar Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Apalagi ketika dia membayangkan, bahwa kedudukan yang dia incar, adalah kedudukan yang membuat kedua tokoh besar itu harus tunduk pula pada dirinya. Apakah itu bukan suatu kekurang ajaran yang keterlaluan? Sebelumnya hal ini tidak pernah terpikirkan oleh pemuda itu. Dengan kedudukan Wulin Mengzhu dia berharap bisa menyatukan dunia persilatan dan menghadapi ancaman dari Ren Zuocan. Tapi sekarang ketika di hadapannya hadir dua tokoh besar itu, tiba-tiba saja pemuda itu merasa dirinya sungguh kecil di hadapan mereka berdua. Segala percakapannya dengan rekan-rekannya di masa lalu mengenai perebutan kursi Wulin Mengzhu, hilang lenyap tak berbekas. Pemuda itu duduk di kursinya dengan tidak nyaman, merasa sudah terlampau jauh meninggikan dirinya, di hadapan dua orang tokoh besar. Pergolakan hati pemuda ini, tentu saja tidak ada seorang pun yang tahu. Pada saat Bhiksu Khongzhen maju dan menyatakan keputusan perguruan Shaolin, maka dalam hati pemuda itu bersorak kecil dan berharap Pendeta Chongxan mengambil sikap serupa. Tapi pertanyaan-pertanyaan Bai Chungho, membuka pikirannya terhadap kemungkinan dan resiko yang muncul akibat keputusan Bhiksu Khongzhen dan Shaolin. Pemuda itu pun kembali menjadi risau perasaannya. Tapi kerisauannya itu seperti mendapatkan jawaban ketika Bai Chungho mengucapkan pernyataannya yang terakhir. Begitu girangnya dia, merasa bahwa Bai Chungho sudah membukakan jalan dari persoalan yang dia hadapi, sehingga dengan serta merta pemuda itu pun bangkit berdiri untuk menyatakan perasaannya. Ding Tao baru saja duduk, ketika Ximen Lisi ganti bangkit berdiri dan memberikan hormat ke segenap penjuru. Ximen Lisi dengan suara yang lembut yang sesuai benar dengan wajah tampannya berkata. "Perkataan Saudara Ketua Ding Tao ini sungguh tepat, siauwtee pun ingin mengikuti teladannya yang baik. Biarlah siauwtee mengundurkan diri dari pencalonan ini, jika perguruan Shaolin merasa tidak suka apabila siauwtee menjadi Wulin Mengzhu, dengan demikian persatuan di antara kita bisa tetap terjaga." Belum sempat Ximen Lisi duduk kembali di tempatnya Bai Shixian sudah bangkit berdiri, orang ini perawakannya tinggi besar, wajahnya lebar dan suaranya menggelegar. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Golok Sakti Karya Chin Yung