Pedang Angin Berbisik 4
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 4
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Kata-kata itu tidak dilanjutkannya, teman seperjalanannya pun tidak bertanya lebih jauh, keduanya berjalan sambil termenun membayangkan peristiwa yang akan terjadi. Tiba-tiba yang lebih muda pun bergumam. "Sialan, kalau dipikir-pikir lebih lama, aku jadi menyesal sudah menerima penugasan ini." Rekannya yang lebih tua tersenyum dan tidak lama kemudian menyahut. "Kalau aku, aku justru bersyukur menerima penugasan ini. Urusan ini" Setelah terhenti sebentar dia mendesah lalu melanjutkan, "Hahh. Sebenarnya aku akan tidur lebih nyenyak seandainya Tuan besar Huang tidak ikut campur dalam urusan yang terkutuk ini." Rekannya yang lebih muda termangu sejenak, kemudian sambil memukul bahu rekannya yang lebih tua dengan bercanda dia menyahut. "Itu karena tulangmu sudah mulai keropos dimakan usia dan terlalu banyak kawin. Jangan-jangan nyalimu pun ikut menjadi ciut setelah binimu ada dua." Demikian sambil bercanda keduanya berlalu, tapi di dalam hati mereka, tidak bisa disangkal ada degup-degup ketegangan. Jadi apakah benar adanya, bahwa pemuda tadi itu adalah Ding Tao? Coba mengikuti kembali pemuda tinggi tegap itu, wajahnya memang serupa benar dengan Ding Tao, tentu saja dia itu Ding Tao, jika tidak untuk apa kedatangannya perlu diceritakan di sini. Meskipun matanya jauh lebih tajam mencorong dibanding dua tahun yang lalu, tubuhnya tumbuh jauh lebih tinggi dari sebelumnya, dia tetap Ding Tao. Seperti yang dikatakan oleh anggota termuda dari rombongan kecil itu, dia tampak lebih gagah dan berwibawa. Jika dua tahun yang lalu Ding Tao seorang pemuda yang jujur, rendah hati dan tampak canggung di sekitar orang lain. Ding Tao yang sekarang tampak lebih percaya diri, meskipun sorot matanya yang jujur masih ada di sana, diapun masih seorang pemuda yang sopan dan rendah hati, terlihat dari cara dia mengangguk dan membungkuk pada orang yang bersimpangan jalan dengan dirinya, seraya memberikan jalan terlebih dahulu pada mereka. Cara dia berjalan sungguh jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu. Kalau dipikirkan memang betapa ajaib, betapa cara seseorang memandang nilai dirinya sendiri bisa mengubah penampilan seseorang begitu banyak. Meskipun dari fisik dan wajah tidaklah berbeda, tapi dari cara berjalan dan berlaku, dari sorot mata dan ekspresi wajah, seseorang yang memiliki keyakinan pada dirinya seringkali memancarkan kharisma yang berbeda. Ding Tao yang saat itu terhanyut dalam kenangannya pada kota tempat dia lahir dan dibesarkan, sesungguhnya tidak kalah tegang dengan kedua orang dari keluarga Huang yang melihatnya tadi. Setiap langkah dia semakin dekat pada kediaman keluarga Huang, semakin dekat, semakin kencang pula debaran di jantungnya. Bagaimana tanggapan Tuan besar Huang nantinya? Apa yang harus dia ceritakan tentang kejadian dua tahun yang lalu? Apakah Tuan besar Huang akan marah kepadanya? Percayakah mereka pada ceritanya? Dan tidak terucapkan bahkan dalam benaknya, tapi seperti arwah penasaran terus menghantui di belakang layar, bagaimana tanggapan Nona muda Huang kepada dirinya sekarang ini? Ketika akhirnya dia sampai di ujung jalan tempat di mana kediaman keluarga Huang berada, tanpa terasa kakinya berhenti berjalan. Gerbang rumah sudah terlihat dari kejauhan, tinggal beberapa langkah lagi dia akan sampai di sana. Tapi yang beberapa langkah itu rasanya jauh lebih berat dari ribuan li yang sudah dia tempuh berhari-hari sebelumnya. Tanpa terasa dia teringat pada pembicaraannya dengan Gu Tong Dang beberapa minggu yang lalu, sebelum dia pergi untuk menengok kembali keluarga Huang. -------------- o --------------- Saat itu Gu Tong Dang tampak jauh lebih tua dan lemah dari Gu Tong Dang dua tahun yang lalu. Berdua mereka hidup dengan sangat sederhana dalam suasana yang penuh keprihatinan. Mereka sadar mereka harus baik-baik dalam menyembunyikan diri. Jika sebelumnya mereka sudah terbiasa hidup serba berkecukupan dalam naungan keluarga Huang, sekarang mereka harus bekerja keras sebagai buruh kasar hanya untuk makanan secukupnya. Tidur di tanah yang keras dengan hanya beralaskan selembar kain tipis dan kasar. Bagi Ding Tao yang masih muda hal itu tidak banyak mengganggu kesehatannya, bahkan kerja keras dan latihan-latihan yang dia jalani, justru membuat tubuhnya makin sehat dan kuat. Tapi bagi Gu Tong Dang yang sudah berumur, kehidupan itu sedikit banyak menurunkan kesehatannya. Meskipun tidak sampai jatuh sakit, namun kekuatan fisiknya jauh lebih menurun dibandingkan dua tahun yang lalu. Lagipula guru tua itu sungguh-sungguh memperhatikan kemajuan dan kesehatan muridnya. Tidak jarang guru tua ini, mengurangi jatah makannya sendiri agar Ding Tao yang masih bertumbuh dapat makan dengan layak. Pemuda itupun sesungguhnya berusaha menolak, namun Gu Tong Dang berkeras hati, sehingga akhirnya diapun menerimanya, meskipun dengan hati yang merasa bersalah dan sangat terharu oleh kebaikan guru tua itu. Dan saat hendak meninggalkan gurunya ini, pemuda itu mau tidak mau kembali tersentuh perasaannya, melihat kondisi Gu Tong Dang yang tiba-tiba saja seperti bertambah 10 tahun usianya. Terenyuh, pemuda itu hanya bisa menyampaikannya dengan kata-kata yang pendek, ketika dia berusaha membicarakan dengan Gu Tong Dang mengenai keinginannya untuk menengok kembali keluarga Huang dan meluruskan kesalah-pahaman yang mungkin timbul 2 tahun yang lalu. Guru tua itu medengarkan penjelasan Ding Tao yang terbata-bata dengan sabar. Lama dia tidak menjawab, Ding Tao pun hanya bisa menunggu sambil terdiam. Ketika akhirnya dia menjawab, dia terlebih dahulu menepuk-nepuk pundak pemuda itu dengan rasa sayang. "Ding Tao, muridku. Sepertinya aku tidak akan bisa mencegah lagi kepergianmu. Bekalmu pun kupandang sudah cukup banyak. Hanya saja, sebelum engkau pergi, dengarkan dulu penjelasan gurumu ini." "Ding Tao apakah kamu percaya dengan perkataan gurumu ini? Apakah kamu percaya dengan ketulusan gurumu ini? Bahwasannya, setiap nasihatku adalah untuk kebaikanmu?" Ding Tao mengangguk dengan tegas. "Tentu guru, budi guru tidak akan pernah kulupakan. Kebaikan guru akan selalu kuingat." Gu Tong Dang terkekeh mendengar jawaban Ding Tao. "Anak bodoh, bukan itu yang kutanyakan. Tentang hal itu aku tidak ragu. Namun yang aku tanyakan, bisakah kau mempercayai dan melakukan setiap nasihat yang akan kuberikan ini?" Dengan alis terangkat Ding Tao balik bertanya. "Tentu saja guru. Apalah ada bedanya? Budi guru setinggi langit, murid tidak akan lupa. Bagaimana mungkin murid akan meragukan nasihat guru atau melanggar nasihat guru? Kalau guru meragukan kesetiaanku sebagai murid, biarlah murid bersumpah." Cepat-cepat Gu Tong Dang mengulapkan tangannya, menghentikan Ding Tao yang saat itu hendak mengucapkan sumpah. " Jangan, jangan kau bersumpah apapun anakku." "Sudahlah, kalau aku belum mengatakannya, mungkin sukar bagimu untuk memahami permintaanku ini. Baiklah biar aku katakan saja, lagipula aku tidak ingin mengikatmu dengan sumpah apapun, karena aku tahu sifatmu. Aku tidak ingin kau terikat dengan satu sumpah, hingga kau melakukan sesuatu yang kau benci." "Tapi dengarkanlah perkataanku baik-baik. Simpanlah dalam hatimu sebagai satu pertimbangan dalam kau mengambil keputusan. Terutama dalam masalah kedudukanmu saat ini dalam dunia persilatan." Tercenung Ding Tao mendengar perkataan gurunya, tapi dengan patuh dia menganggukkan kepala dan menanti nasihat dari gurunya itu. Gu Tong Dang yang mengerti benar sifat dari muridnya itu merasa cukup puas dengan anggukan kepala. Berhadapan dengan orang yang jujur, satu anggukan kepala atau kesediaan sudah cukup. Namun dengan orang yang curang hatinya, sumpah atas nama kakek moyang sampai tujuh turunan pun bukanlah satu jaminan. "Nah dengarkanlah riwayat dari pedang yang sekarang menjadi milikmu itu." "Seperti yang sudah pernah kukatakan padamu, pedang itu bernama Pedang Angin Berbisik, pertama kali muncul dalam dunia persilatan, kurang lebih 15 tahun yang lalu. Pemiliknya seorang pendekar pedang kenamaan dari Emei. Kurasa tentang hal ini kaupun sudah cukup tahu, karena nama pendekar itu dan kisah kematiannya sangatlah dikenal orang." "Tapi mungkin yang belum benar-benar kau sadari adalah arti dari pedang itu bagi orang-orang dalam dunia persilatan." "Sebenarnya, sebelum kematiannya yang misterius, banyak orang menaruh harapan pada pendekar pedang Jin dari Emei itu. Sudah berpuluh-puluh tahun ini, para pendekar aliran lurus dalam dunia persilatan seperti hidup di atas panggangan api." "Kau tentu pernah mendengar pula nama Pendekar Ren Zuocan, dari sekte sesat Bulan dan Matahari, yang pusat kekuatannya berada di luar perbatasan. Ilmunya tinggi dan organisasinya pun teratur rapi. Ambisinya melebihi tingginya Gunung Himalaya. Jika bukan karena keberadaan Biksu Kongzhen dari Shaolin yang menguasai Telapak Buddha dan Pendeta Tao Chongxan dari Wudang dengan ilmu pedang Taiji-nya, mungkin sudah lama dia meluruk ke dalam perbatasan." "Tapi bahkan kedua tokoh itupun tidak mampu mengalahkan Ren Zuocan, Ren Zuocan memiliki satu ilmu kebal yang aneh, mungkin setingkat dengan ilmu baju besi milik ketua Shaolin di generasi sebelumnya, atau bahkan lebih. Selain itu, Shaolin dan Wudang yang berlandaskan agama, tidak mau mengambil tindakan menyerang, karena Ren Zuocan pun masih menahan diri dan tidak dengan terang-terangan menunjukkan ambisinya." "Dengan demikian, orang-orang persilatan di daratan pun merasa hidup di atas panggangan api. Semua bisa merasakan ada bahaya yang mengancam, tapi tidak ada kekuatan untuk melawan." "Perguruan-perguruan lain selain Shaolin dan Wudang sedang meredup bintangnya, sementara dua perguruan yang bisa diharapkan itu, justru memilih sikap bertahan. Dengan cemas mereka hanya bisa melihat Sekte Bulan dan Matahari tumbuh semakin kuat, beberapa rumor mengatakan bahwa di dalam daratan sendiri sudah ada beberapa perguruan yang berjanji setia kepada sekte Matahari dan Bulan secara diam-diam." "Kaupun tentu pernah mendengar bahwa 5 tahun sekali, Ren Zuocan mengadakan pertemuan persahabatan antar pendekar dunia persilatan. Di luaran dia memberikan alasan, pertemuan itu diadakan untuk saling kenal dan melakukan pertandingan persahabatan demi kemajuan ilmu bela diri. Yang sesungguhnya, itu hanyalah suatu cara untuk menjajagi tingkat kekuatan pendekar-pendekar silat di daratan." "5 kali sudah pertemuan itu dilakukan, hingga saat terakhir Biksu Kongzhen dan Pendeta Chongxan masih mampu menunjukkan bahwa kekuatan mereka tidaklah di bawah Ren Zuocan dan dengan demikian secara tidak langsung sudah membendung ambisi Ren Zuocan yang meluap-luap bak air bah." "Tapi semua orang pun sadar, umur Biksu Kongzhen dan Pendeta Chongxan sudah hampir memasuki usia lanjut. Ilmu mereka sudah sulit lagi untuk ditingkatkan, sementara fisik mereka justru mulai menurun. Ren Zuocan di pihak lain, masih berada dalam usia puncaknya dan dengan sabarnya dia menunggu saatnya tiba. Banyak orang berpendapat, pada pertemuan lima tahunan yang berikutnya, kedua tetua itu sudah akan berada di bawah tataran Ren Zuocan." "Penilaian ini bukannya tidak beralasan, pada pertemuan 5 tahunan yang terakhir, yaitu 3 tahun yang lalu. Secara perseorangan kekuatan kedua tetua itu sudah seusap di bawah kekuatan Ren Zuocan. Hanya saja bila keduanya maju bersamaan tentu Ren Zuocan masih bukan tandingan mereka berdua." Ding Tao yang ikut hanyut dalam penjelasan gurunya tanpa terasa berbisik. "Tapi jika tahun depan mereka bertemu kembali" Gu Tong Dang mengangguk setuju. "Ya, benar. Pada pertemuan tahun depan, mungkin bahkan secara bersamaan pun kedua tetua itu bukan lagi tandingan dari Ren Zuocan." "Guru, apakah seluruh daratan hanya bergantung pada kedua tetua itu? Tidak adakah pengganti mereka dari generasi yang lebih muda?" "Tentu saja ada, tapi Ding Tao, mengenai ilmu bela diri, seperti juga mengenai keahlian lain, seringkali permasalahannya bukan hanya terletak pada ketekunan seseorang, tapi juga bakat dan nasib baik." "Itu sebabnya dalam ratusan tahun sejarah sekte Wudang, hanya ada satu Zhang Sanfeng." "Aku pribadi tidak setuju dengan pendapat banyak orang, bahwa seorang murid tidak akan lebih maju dari gurunya. Ilmu bela diri, seperti juga ilmu dan keahlian yang lain, berasal dari sumber yang asali, yang hakekatnya jauh lebih besar dari manusia yang manapun. Dan mereka yang berbakat serta mencapai pencerahan sesungguhnya belajar lewat sumber yang satu ini. Dengan demikian mereka ini akan mampu melampaui guru pengajarnya, karena sesungguhnya guru pengajar mereka adalah sumber yang tidak terbatas ini." "Setiap beberapa masa selalu saja muncul tokoh-tokoh yang mampu menggali lebih dalam ilmu yang sudah ada dan menggapai tingkatan yang jauh lebih tinggi dari tokoh-tokoh yang hidup sebelum dirinya. Mereka ini yang menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya." "Tapi sebagaimana hal-hal lain dalam dunia ini, ilmu bela diri pun mengalami pasang surutnya. Ada masanya tokoh-tokoh berbakat bermunculan, tapi ada juga masanya ketika tingkatan murid selalu saja berada di bawah gurunya dan ilmu bela diripun dari tahun ke tahun semakin merosot nilainya." "Dan sekarang ilmu bela diri di daratan sedang mengalami masa surutnya." Ding Tao dengan alis berkerut bertanya pada Gu Tong Dang. "Guru, sebenarnya apa masalahnya kalaupun Ren Zuocan lebih kuat dari tokoh-tokoh bela diri dari daratan, apa pula masalahnya kalau dunia persilatan dikuasainya? Bukan maksudku tidak cinta pada negara, tapi asalkan urusan dunia persilatan tidak melebar ke masalah pemerintahan, bukankah rakyat masih bisa hidup tenang. Paling-paling yang berbeda, kalau dulu bayar pajak keamanan di dunia hitam pada orang sendiri, sekarang bayar pajak keamanan pada orang luar." Gu Tong Dang menggeleng dengan sabar. "Sedikit banyak sebenarnya pertanyaanmu itu sendiri sudah mengandung jawaban. Pertama-tama ini masalah harga diri bangsa, jika orang dunia persilatan dari luar perbatasan menginjak-nginjak kita, adalah satu ketidak-setiaan jika kita berdiam diri." "Tapi yang lebih penting lagi adalah, sebuah negara menjadi kuat adalah dari kekuatan setiap rakyatnya. Sebagai golongan orang yang mementingkan ilmu bela diri dalam hidupnya, bisa dikatakan, golongan kita-kita ini memegang peranan penting dalam pertahanan bangsa. Jika Ren Zuocan berhasil menguasai kita, bukan tidak mungkin hal itu merupakan batu loncatan bagi suku di luar perbatasan untuk menyerang pemerintahan kita." Suasana di dalam ruangan itu menjadi begitu sepi, ketika kedua orang dengan umur yang berbeda sedang merenungi masa depan yang tampak suram. Adalah Ding Tao yang pertama kali memecahkan suasana. "Guru, tadi guru hendak menjelaskan hubungan pedang ini dengan nasib dunia persilatan." Gu Tong Dang terhenyak kembali dari lamunannya, matanya pun bersinar nakal. "Heheheh, ya, ya, bicara ke sana ke mari, otakku yang pikun jadi lupa dengan masalah yang penting." "Nah, kau tadi bertanya tentang generasi baru yang mampu menggantikan kedua tetua itu. Sesungguhnya tokoh itu sempat muncul. Yaitu kira-kira pada 15 tahun berselang." Berhenti pada pernyataan itu, Gu Tong Dang memandangi Ding Tao, menanti pemuda itu sampai pada kesimpulan yang diinginkannya. Otak Ding Tao berputar dengan cepat, dari pandangan gurunya dia bisa menangkap bahwa sesungguhnya setiap informasi sudah diberikan dan dia harus dapat menarik kesimpulannya. Bukan seperti kanak-kanak yang harus selalu disuapi nasi, tapi Ding Tao sudah harus bisa menganalisa sendiri informasi yang ada. Tidak butuh waktu berapa lama Ding Tao sudah sampai pada kesimpulan, dengan hati-hati di abertanya. "Guru, apakah yang guru maksudkan adalah Pendekar pedang Jin Yong dari aliran Emei?" "Hmm memang dia orangnya. Hampir setiap orang menanti-nantikan pertemuan lima tahun yang akan diadakan waktu itu. Tidak kurang Biksu Kongzhen dan Pendeta Chongxan sendiri yang memberikan penilaian. Umurnya memang masih terpaut jauh dengan kedua tetua itu dan juga dengan Ren Zuocan, dengan sendirinya dari segi tenaga dalam dan kematangan ilmu masih ada selisih yang cukup jauh." "Tapi Pendekar pedang Jin Yong memiliki bakat yang bagus dan pemahaman yang dalam serta otak yang encer. Lebih penting lagi, dia bernasib baik sehingga Pedang Angin Berbisik ini jatuh ke dalam tangannya." "Ding Tao, sekarang coba aku tanya kepadamu, dalam berkelahi menggunakan pedang, manakah yang lebih penting, antara kekuatan atau keuletan, pemahaman akan limu bela diri dan kecepatan atau kelincahan?" Ding Tao menggosok dagunya dengan jari, kemudian menjawab. "Hmm dengan tangan kosong kekuatan dan ketahanan tubuh akan berpengaruh banyak. Tapi dengan menggunakan senjata tajam, tubuh yang seliat apapun akan bisa dilukai dengan ujung besi yang tajam. Dari ketiganya, pemahaman akan ilmu bela diri dan kelincahan lebih berpengaruh. Dan dari kedua hal itu, kelincahan, baik dalam bereaksi maupun dalam beraksi akan lebih menentukan." Gu Tong Dang mengangguk-angguk. "Ya, benar perkataanmu. Dengan bertambahnya usia, himpunan tenaga dalam seseorang bisa jadi bertambah mapan, wawasan dan pengalamanpun akan semakin dalam. Tapi ketika pertarungan dilakukan dengan menggunakan senjata tajam, dua hal itu kalah pengaruhnya dengan kecepatan. Mungkin dengan pengalaman yang matang seseorang bisa mengambil keuntungan, tapi seperti yang kukatakan tadi Pendekar pedang Jin, adalah seseorang yang berbakat dan berotak encer." "Dan yang lebih penting, dia memiliki Pedang Angin Berbisik, sebilah pedang yang teramat tajam dan ulet. Ren Zuocan boleh membanggakan ilmu kebalnya ketika menghadapi senjata-senjata yang lain, tapi di hadapan Pedang Angin Berbisik, ilmu kebalnya boleh dikatakan mati kutu." Sejenak wajah Ding Tao menjadi cerah, tapi secepat itu pula wajahnya kembali kelam. "Ah sayang, seribu sayang. Guru siapa orangnya yang begitu culas hingga meracun Pendekar pedang Jin? Apakah orang ini tidak mengerti bagaimana boleh jadi nasib seluruh bangsa tergantung di atasnya?" Gu Tong Dang menggeleng dengan sedih. "Entahlah, siapa yang tahu. Sejak dulu ada saja orang dengan hati serakah dan berjiawa pengkhianat. Yang demi keuntungannya sendiri rela menjual saudara-saudaranya." Ding Tao tiba-tiba seperti teringat pada sesuatu. "Guru, tapi sekarang pedang ini ada di tangan kita, mengapa tidak kita berikan pedang ini pada Biksu Kongzhen atau Pendeta Chongxan?" "Muridku, apakah kau lupa yang tadi kukatakan, kedua tetua ini mengabdikan dirinya untuk menjalani hidup beragama. Meskipun pedang ada di tangan mereka, tidak nanti mereka akan menggunakannya untuk mengambil nyawa atau melukai Ren Zuocan. Tidak akan, selama Ren Zuocan masih bersikap dengan cerdik seperti saat ini. Lalu setelah kedua tetua itu semakin menurun kemampuannya, dengan atau tanpa pedang, mereka bukanlah tandingan Ren Zuocan. Rencanamu itu hanya akan memperpanjang nafas selama beberapa tahun. Pendekar sehebat apapun, akhirnya harus takluk pada usia." "Celaka, celaka, apa gunanya pedang ini ada, jika tidak ada pemilik yang tepat. Malah yang timbul bencana demi benacana, sesama saudara sebangsa saling membunuh demi sebilah pedang.", tanpa terasa Ding Tao mengeluh menyayat hati. Dengan geram dia memandangi pedang yang sekarang ada di tangannya, terbayang betapa gara-gara pedang itu Pendekar besar Jin Yong mati diracun, kemudian tidak terbilang tokoh-tokoh dunia persialtan yang mati memperebutkan pedang itu. Dan gara-gara pedang itu pula, hidupnya jadi terlunta-lunta dan terpisah dari orang yang dikasihi, dengan hati geram dia berucap. "Guru! Sebaiknya pedang ini aku tenggelamkan saja di lautan luas atau lebih baik lagi aku ceburkan dalam kawah gunung berapi, biar dia hancur lebur tak berujud." Gu Tong Dang yang kaget membelalakkan matanya. "Anakku, anakku bagaimana mungkin kau berpikir seperti itu. Tokoh pencipta pedang itu tentunya menciptakannya dengan seluruh bakat, pengetahuan dan tenaga yang dia miliki. Dosa besar pada leluhur jika kita menghancurkannya. Terlebih lagi sikap berputus asa, bukanlah sikap lelaki sejati." Ding Tao dengan lemas memandangi pedang di tangannya, kemudian mengalihkan pandangannya itu pada gurunya, seakan bertanya, lalu apa yang bisa kita perbuat? "Anakku, kau tadi mengatakan satu kesia-siaan bahwa pedang ini ada, karena pedang ada tapi pemilik yang tepat tidak ada. Tapi anakku, sesungguhnya aku sudah menemukan pemilik yang tepat bagi pedang itu." Mendengar itu wajah Ding Tao menjadi cerah. "Ah, bagus sekali kalau begitu. Guru sebutkan namanya dan di mana dia tinggal, murid akan menghantarkan pedang ini ke tangannya, murid akan tunjukkan bahwa tidak sia-saia guru mengajar murid. Walaupun harus memakai taruhan nyawa pedang ini akan murid pastikan sampai di tangan yang tepat." Meilhat kesungguhan Ding Tao, tanpa terasa Gu Tong Dang tertawa terbahak-bahak, geli campur kagum, terharu juga bersyukur. Ding Tao yang melihat gurunya tertawa terbahak-bahak, menjadi serba salah, mau ikut tertawa dia tidak tahu apa yang membuat gurunya tertawa. Akhirnya dia berdiam diri sambil menantikan gurunya berhenti tertawa, mungkin gurunya tertawa melihat kesombongannya yang begitu yakin bisa menjaga dan mengantar pedang itu sampai pada pemilik yang tepat. Atau mungkin gurunya tertawa karena bangga pada kemauannya yang kuat. Tapi apa yang dikatakan gurunya setelah itu, membuat Ding Tao bagai tersambar petir. "Anak bodoh, jika mataku tidak salah, kaulah pemilik yang paling tepat dari pedang itu." Melengong Ding Tao memandangi gurunya, pakah dia sedang bercanda? Atau sedang mempermainkan dirinya? Yang terlihat adalah pandangan penuh kasih dari seorang tua, yang sudah lama tidak dia rasakan sebagai seorang yatim piatu. "Guru apa guru bercanda? Apa guru tidak salah menilai? Aku tahu guru mengasihiku seperti mengasihi putera sendiri, apa guru yakin tidak salah menilaiku?" Gu Tong Dang mengangguk puas, bagi guru tua ini, kerendahan hati bukanlah kekurangan, karena Ding Tao memiliki karakter yang kuat, baginya kerendahan hati adalah sebuah modal untuk maju. "Ding Tao, bukan tanpa alasan aku mengatakan hal ini. Bakatmu dalam memahami ilmu bela diri, mungkin bisa disandingkan dengan Pendekar besar Jin Yong. Sekarang coba aku tanya, saat kau pertama kali bertarung dengan Wang Chen Jin, apa yang kau rasakan? Dan apa pula yang kau rasakan saat mulai mempelajari jurus-jurus lanjutan?" Dengan berkerut alis Ding Tao mencoba mengingat kembali pertarungan dua tahun yang lalu. "Murid merasa, jalan pikiran murid jadi terbuka luas. Apa yang tadinya hanya murid bayangkan dalam pemikiran, hanya murid pahami dalam teori, pada saat itu rasanya rasanya murid baru benar-benar memahaminya. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, perasaan itu itu seperti seekor ikan yang dilepaskan ke dalam air, seperti burung yang sedang terbang." "Kemudian saat murid mulai mempelajari jurus-jurus lanjutan, banyak pertanyaan yang semakin jelas terjawab. Dan murid merasa lebih yakin pada pemahaman murid akan jurus-jurus dasar yang sudah murid pelajari, karena nyata kesimpulan murid terhadap jurus-jurus dasar itu sebenarnya tidak jauh meleset. Pikiran murid juga semakin terbuka dan terkadang ketika mempelajari jurus yang baru, hal itu terasa mudah, karena sebelum guru mengajarkannya, hal yang sama sudah murid pikirkan." Mendengar itu Gu Tong Dang tersenyum senang. "Hmmm, ketahuilah, banyak orang mempelajari ilmu bela diri tanpa pernah menyelami hakekat dari setiap gerakan yang mereka lakukan. Bagi orang-orang semacam ini, ilmu bela diri mereka tidak akan pernah maju melampaui kecekatan dan kekuatan. Pemahaman mereka, hanyalah menyentuh kulitnya saja." "Sebagian yang lain berotak lebih terang, bukan hanya mereka mampu menggunakan gerakan-gerakan itu dalam sebuah perkelahian, mereka mampu memahami lebih dalam, hakekat dari tiap-tiap gerakan. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maksud dan tujuan dari setiap jurus. Mereka-mereka ini yang memiliki kesempatan untuk maju dalam ilmu bela diri." "Tapi dari sekian banyak orang itu, seberapa jauh pemahaman mereka, dan seberapa jauh mereka bisa menerapkan pemahaman mereka dalam pertarungan yang sesungguhnya, itulah yang akan membedakan jagoan kelas satu dengan jagoan kelas dua. Antara seorang Maha guru dengan seorang ahli biasa." "Ding Tao, anakku, dua tahun yang lalu, pemahamanku dalam ilmu bela diri, mungkin masih berada di atasmu. Tapi dalam penerapannya di dalam pertarungan yang sesungguhnya aku masih jauh berada di bawahmu. Itu sebabnya Tuan besar Huang, mempercayaiku untuk menjadi guru, tapi tidak untuk menjadi orang-orang kepercayaannya." Ding Tao yang mendengarkan penjelasan itu pun terdiam, ada sebagian dari dirinya yang merasa berbangga mendengarkan hal itu, tapi ada pula bagian dirinya yang masih bertanya-tanya, tidak mampu menerima penjelasan itu, baginya gurunya sudah tentu masih lebih hebat dari dirinya. "Ding Tao, tidakkah kau sadari, bahwa pada 1 tahun terakhir ini, ketika semua ilmu keluarga Huang yang kuketahui, aku ajarkan padamu, aku tidak lagi mengajarimu teori apapun. Yang kulakukan adalah mengajukan pertanyaan padamu." Memerah muka Ding Tao, karena seakan-akan dia merasa gurunya hendak mengatakan bahwa sejak saat itu dirinya sudah lebih pandai dari gurunya. "Itu itu tentu bukan karena guru tidak mengerti, tapi karena guru ingin melihat aku belajar menganalisa setiap persoalan secara mandiri. Seperti dahulu saat guru memaksaku untuk merenungkan jurus-jurus dasar yang ada." Perlahan-lahan Gu Tong Dang menggeleng. "Muridku, biarlah kukatakan yang sejujurnya. Sesungguhnya pada waktu itu, pemahamanmu sudah jauh lebih mendalam dari pemahamanku. Bahkan dari uraian jawabanmu, bisa kupahami sekilas, jurus-jurus rahasia simpanan keluarga Huang. Aku berani bertaruh, bahkan kakek buyut Tuan besar Huang sendiripun pemahamannya tidak sampai ke taraf itu." Pucat wajah Ding Tao mendengar perkataan gurunya, mulutnya membuka hendak menyangkal, tapi wajah gurunya begitu bersungguh-sungguh. Dan di kedalaman hatinya, dia mengakui kebenaran sebagian dari kata-kata gurunya. Sesuai benar pemikiran itu ttg pemahaman dan penggunaan sebuah jurus dalam pertarungan yang sesungguhnya, dengan hasil perenungannya. Melihat Ding Tao terdiam, Gu Tong Dang melanjutkan uraiannya. "Muridku, mungkin saja aku salah. Tapi aku orang tua ini, yang menjadi gurumu, dan sesuai perkataanmu sudah menanamkan budi baik yang setinggi langit padamu, percaya sepenuhnya pada bakat dan sifat yang ada padamu." "Dan dengan sepenuh hati, aku berpendapat, bahwa engkau adalah pemilik yang paling tepat dari pedang itu. Karena itu pesanku yang pertama kepadamu, apapun yang terjadi, jangan biarkan pedang itu jatuh ke tangan orang lain." "Kita sudah sama-sama merenungkan keadaan negara kita saat ini, dan kita sama-sama sampai pada satu kesimpulan bahwa harus ada orang yang mengalahkan dan kalau perlu mengenyahkan Ren Zuocan sebagai ancaman besar, bukan hanya bagi orang di dalam dunia persilatan tapi juga bagi negara ini. Kita juga sudah sama-sama sampai pada kesimpulan bahwa pedang ini, bisa menjadi kunci yang memecahkan persoalan besar yang kita hadapi, asalkan pedang ini ada di tangan yang tepat." "Dan sebagai gurumu, aku mengatakan, kaulah pemilik yang tepat bagi pedang ini. Kehilangan pedang ini, berarti kau menjerumuskan negaramu dalam bahaya, kau gagal menunjukkan baktimu, baktimu sebagai seorang murid kepada guru, baktimu sebagai seorang rakyat pada negaranya dan tentu saja baktimu sebagai seorang anak pada leluhurmu." Lemaslah lutut Ding Tao, perkataan gurunya bagaikan gunung runtuh membebani pundaknya. Pemuda itu bersujud di depan gurunya, sambil membentur-benturkan kepala ke lantai dia mengeluh dengan hati pedih. "Murid tidak berani sungguh murid tidak berani guru." Tiba-tiba Gu Tong Dang yang selalu tampil dengan kesabaran yang seperti tidak pernah habis, meloncat berdiri dan menendang muridnya hingga berguling-guling. Wajahnya membara, dengan mata melotot dia menggeram. "Murid bodoh !!! Apakah gurumu ini membesarkan seorang pengecut? Apakah hidupku ini sudah kusia-siakan dengan membesarkan anak ayam !!! Bangkit kau kalau kau memang laki-laki!!!" Betapa terkejut hati Ding Tao tidak bisa dilukiskan, inilah kakek tua yang selalu tersenyum dan bersabar, membimbing dan mengajarnya. Selalu bersabar menanggapi kebebalannya. Tapi kejutan itu juga menyadarkan pemuda ini, bahwa dia adalah seorang rakyat yang memiliki kewajiban, seorang murid, seorang anak yang memiliki kewajiban untuk berbakti pada guru dan orang tuanya. Bahkan jika dia tidak memiliki ilmu bela diri secuilpun, bahkan jika yang ada di tangannya adalah cangkul dan bukan pedang, tidak sepantasnya dia lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki. Menyadari kesalahannya, Ding Tao dengan cepat berlutut kembali, menunjukkan rasa hormat dan memohon ampun atas kesalahan sebelumnya. Berlutut boleh sama, tapi Ding Tao yang berlutut sekarang berbeda dengan Ding Tao yang berlutut beberapa saat yang lalu. Dengan bergetar dia berkata. "Guru sungguhpun aku belum percaya bahwa aku orang yang pantas memiliki pedang ini. Tapi demi rasa baktiku pada guru, pada leluhur dan pada negara. Tidak akan murid lari dari musuh setangguh apapun , tidak akan lepas pedang ini dari tangan murid jika nyawa masih ada di badan. Dan dengan restu guru dan para leluhur, dengan segenap kekuatan dan pengetahuan yang sudah dikaruniakan pada murid, murid akan berusaha mempertahankan negara ini dari setiap musuh, pun jika harus mengorbankan nyawa untuk itu." Perlahan-lahan wajah Gu Tong Dang melembut, ditariknya pemuda itu bangkit berdiri. "Satu hal lagi, kutahu kau tidak dapat ditahan untuk pergi menemui Tuan besar Huang. Sifatmu yang tahu membalas budi ini baik adanya. Tapi ingatlah perkataanku, baik buruk seseorang, baru terlihat saat dia dihadapkan pada bahaya besar atau keuntungan besar. Pergilah tapi berhati-hatilah, bukan tanpa alasan banyak orang terbunuh demi pedang ini. Setiap orang yang memiliki bakat cenderung berpikir bahwa dirinyalah penyelamat dan pahlawan yang ditunggu-tunggu dunia. Tidak semua orang, atau kalau boleh kukatakan, tidak ada orang lain yang seperti dirimu, yang rela menyerahkan pedang pusaka ini demi kepentingan orang banyak." "Sampai pada waktunya pertemuan lima tahunan yang berikutnya, jaga dirimu baik-baik. Perdalam pemahamanmu, perluas pengalamanmu. Aku titipkan segenap usahaku sebagai seorang yang harus berbakti pada negaranya ke atas pundakmu." "Dan sebagai gurumu, kepada siapa engkau tadi bersumpah, aku perintahkan, cabutlah sumpahmu itu. Sebagai gurumu, aku nyatakan kepadamu, sumpahmu tadi tidak aku terima. Jangan bodoh dan takabur, pedang itu mungkin pedang pusaka yang bisa menyelamatkan dunia persilatan, tapi pedang itu adalah benda mati, kegunaannya terletak pada siapa pemakainya. Sementara orang adalah hidup, tanpa pedangpun, orang bisa melakukan hal-hal besar." "Jika aku mengatakan padamu bahwa kaulah orang yang layak untuk memiliki pedang itu, itu berarti dirimu sebagai manusia, jauh lebih berharga dari pedang itu. Jangankan dirimu yang belum berpengalaman. Jin Yong yang gagah perkasa itupun dapat jatuh dalam jebakan orang dan kehilangan nyawa sekaligus pedangnya. Jika pada satu posisi kau harus memilih antara nyawamu atau pedang itu. Pilihlah nyawamu, dan dengan kehidupan yang ada padamu, usahakanlah untuk memenuhi permintaanku, mengabdi pada negara, berbakti pada guru dan leluhurmu, tanpa pedang itu." Dengan menahan haru Ding Tao mengangguk, itulah kenangan terakhir Ding Tao akan gurunya sebelum pergi meninggalkannya. Sekarang di depan gerbang rumah keluarga Huang, kenangan itu menghantui dirinya. Akankah Tuan besar Huang menginginkan pedang itu? Jika pedang itu diminta, apa pula yang harus dia lakukan atau katakan? Jika mereka hendak menggunakan kekerasan, dapatkah dia melawan dan mempertahankan pedang itu? Atau nantinya dia harus lari dan merelakan pedang itu di tangan keluarga Huang? Satu per satu Ding Tao melangkah, setiap langkah diikuti dengan pertanyaan dan setiap pertanyaan tidak juga dia menemukan jawaban yang memuaskan. Seandainya tidak ada seorang gadis yang sudah menawan hatinya di rumah itu, seandainya tidak ada Huang Ying Ying di sana, kaki Ding Tao akan membawanya berlari ribuan li, menjauh dari rumah itu. Ding Tao seorang pemuda yang mengenal dengan sungguh-sungguh akan tanggung jawab dan kewajiban. Dia tahu, jika pada saatnya dia harus memilih antara cinta dan kewajibannya pada negara, walaupun pedih dia akan memilih yang kedua. Tapi Ding Tao juga adalah seorang pemuda yang sedang di mabuk cinta. Otaknya membenarkan kekhawatiran Gu Tong Dang gurunya, tapi hatinya membisikkan harapan. Meskipun dalam hati ada ketakutan seperti gunung yang menindih seisi dadanya, bahwa kedatangannya hanya akan membawa benih permusuhan antara dirinya dengan gadis yang dicintainya. Tapi harapan bahwa yang dikhawatirkan itu tidak terjadi, bahwa kedatangannya akan diterima dengan tangan terbuka, memberikan kekuatan baginya untuk melangkah. Jarak yang ditempuh bukanlah jarak yang tidak terbatas jauhnya, meskipun setiap langkah yang diambil begitu berat, akhirnya sampai juga Ding Tao di depan pintu gerbang keluarga Huang. Penjaga pintu bukannya tidak mengenali pemuda itu, namun roman wajah Ding Tao dan juga perubahan yang sekarang ada padanya, membuat mereka ragu untuk menegur pemuda itu. Meskipun tidak ada kata-kata yang terucapkan, melihat raut wajah pemuda itu yang tegang, hati kedua penjaga pintu keluarga Huang ikut menjadi muram. Setelah mereka berhadapan muka, barulah Ding Tao tersadar akan keadaan mereka saat itu. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya ditepisnya jauh-jauh semua kekhawatiran. Tersenyum ramah dia membungkuk dengan hormat. "Saudara Ling, saudara Bu, ini aku Ding Tao." "Ah oh. ah Ding Tao, jadi benar ini Ding Tao. Ya ya, kami pun tadi merasa mengenalimu, tapi kau sudah jauh berbeda sampai kami pangling karenanya." "Ya, ya benar, sekarang kau jadi jauh lebih tinggi lagi dari kami." Sambutan kedua penjaga pintu yang ramah membantu Ding Tao untuk menyingkirkan keraguannya. Hatinya yang memang jujur, mudah sekali bersih dari kecurigaan. Jika tadi dia masih canggung, jawaban kedua penjaga pintu itu menghilangkan kecanggungannya. Sambil menggaruk kepala dia tertawa. "Ya, entah kenapa badanku ini terus saja bertambah tinggi, terkadang aku khawatir dia tidak berhenti bertambah tinggi dan suatu hari nanti aku harus tidur di atas dua tempat tidur yang disusun berjajar." Kewajaran sikap Ding Tao membantu kedua teman lamanya menghilangkan kecanggungan dalam hati mereka, dengan tertawa mereka memukul dada Ding Tao. "Wah bukan hanya bertambah tinggi, tampaknya kaupun bertambah liat. Sebenarnya apa yang terjadi dua tahun yang lalu?" "Benar, kami semua dibuat bingung oleh ulahmu, apa benar kau melarikan anak gadis orang?", goda salah seorang dia antara mereka sambil memutar-mutar bola matanya. Dengan wajah kemerahan Ding Tao membalas pukulan mereka. "Jangan menyebar gosip sembarangan." Kemudian dengan nada yang lebih serius dia melanjutkan. "Kedatanganku hari ini justru ingin menghadap pada Tuan besar Huang Jin, untuk memohon maaf sekaligus menjelaskan alasan kepergianku dua tahun yang lalu." "Hemm, sepertinya misterius sekali, apa kau tidak mau membagikannya pada teman lamamu ini?" Sambil tersenyum sopan Ding Tao menjawab. "Saudara Ling, bukannya aku tidak percaya mulutmu yang bocor itu. Cuma memang masalahnya sedikit peka, lebih baik aku membicarakannya dahulu dengan Tuan besar Huang Jin." Sambil tertawa bergelak kedua penjaga itu akhirnya mengijinkan Ding Tao untuk masuk menemui Tuan besar Huang Jin, "Cari saja dia di bangunan utama, tadi kulihat dia berjalan ke arah sana bersama dengan beberapa tetua serta anak- anaknya." Dengan hati yang jauh lebih ringan Ding Tao melangkahkan kaki menuju ke arah bangunan utama. Setiap kali dia bertemu dengan kenalan lama tentu tidak lupa dia mengangguk dan menyapa. Saat dia sampai di depan bangunan utama, hatinya sudah lapang dan bersih dari segala kekhawatiran. Yang terbayang adalah senyum bahagia nona muda Huang, mungkin sedikit marah dan beberapa pukulan, tapi setiap pukulan justru akan membuatnya lebih bahagia. Dengan senyum mengembang di bibirnya, Ding Tao mengetuk pintu. Akhirnya setelah dua tahun berlalu, Ding Tao menginjakkan kaki kembali di rumah kediaman keluarga Huang. Tempat dia dilahirkan dan dibesarkan, tempat di mana dia belajar arti kata persahabatan dan untuk pertama kalinya mengenal cinta. Ketika dia dipersilahkan masuk ke dalam bangunan utama, Ding Tao sedikit berdebar karena di hadapannya telah berduduk para tetua dan orang penting dalam keluarga Huang. Rupa-rupanya kedatangannya bertepatan dengan salah satu pertemuan penting dalam keluarga Huang. Ding Tao pun jadi merasa tidak enak hati dan malu, karena dengan tidak sengaja sudah merecoki satu pertemuan yang sepertinya cukup penting. Cepat-cepat dia membungkukkan badan dalam-dalam dan memberi hormat. "Tuan besar Huang Jin, para tetua, maafkan jika hamba sudah mengganggu pertemuan yang penting." Tuan besar Huang Jin yang sebelumnya sudah mendapatkan kabar tentang kedatangan Ding Tao dari salah seorang keponakannya, telah bersiap-siap untuk menemui Ding Tao. Meskipun di luaran, dia berlagak terkejut dan tidak menyangka akan kedatangan Ding Tao, dengan cepat dia berdiri dari tempat duduknya dan bangkit untuk menyambut Ding Tao yang masih membungkuk hormat. "Astaga, Ding Tao. Benarkah engkau itu nak? Jangan sungkan-sungkan, pertemuan kami sebenarnya sudah hampir selesai. Nah sekarang duduklah bersama kami, kedatanganmu ini tentu membawa satu cerita yang luar biasa. Dengan tiba-tiba kau menghilang dua tahun yang lalu bersamaan dengan Pelatih Gu, kami semua mencemaskan kalian dan terus terang merasa penasaran." Ding Tao merasa bersyukur, segala kekuatirannya ternyata tidak beralasan, Tuan besar Huang Jin, bukan saja tidak mencurigainya, Tuan besar Huang Jin bahkan menyambutnya seperti menyambut seorang anak yang hilang. Membasah mata Ding Tao dengan suara sedikit serak menahan haru dia menjawab. "Tuan besar Huang, sungguh kami bersalah, tapi ada alasan kuat mengapa aku dan guru terpaksa pergi diam-diam." Dengan arif Tuan besar Huang Jin menepuk-nepuk pundak pemuda itu. "Tenangkanlah hatimu, terhadap kesetiaanmu dan kesetiaan pelatih Gu, sedikitpun aku tidak ragu. Sejak dari awal aku sudah tahu, jika kalian berdua sampai menghilang begitu saja, tentu ada alasan yang kuat." Sembari membimbing Ding Tao untuk ikut duduk dalam meja pertemuan, Tuan besar Huang Jin memberi tanda pada salah satu pelayan kepercayaan yang hadir untuk menghidangkan minuman dan makanan. Ding Tao yang merasa sebagai seorang pelayan dalam keluarga Huang tentu saja makin merasa rikuh dan sungkan, menerima merasa tidak layak tapi menolak pun berarti sudah bersikap tidak sopan. Tuan besar Huang Jin tentu saja dapat menangkap kecanggungannya, dengan tawa ramah dia membesarkan hati pemuda itu. "Ding Tao, janganlah terlalu sungkan, dua tahun ini tentu sudah banyak yang terjadi pada dirimu. Dari caramu berjalan dan sorot matamu, bisa kutebak, ilmumu tentu sudah maju jauh. Hari ini aku anggap kau sebagai tamu, entah apakah nanti kau akan kembali menjadi anggota keluarga Huang atau tidak, tapi aku harap antara keluarga Huang dengan dirimu bisa terjalin satu hubungan yang baik." "Tuan besar Huang, hal itu sungguh terlalu besar kehormatan yang Tuan besar Huang berikan, hamba ini lahir sebagai pelayan tuan. Setelah berkelana dua tahun pun, dalam hati hamba masih memandang Tuan besar Huang sebagai tuan saya." "Heh anak Ding, perkataanmu itu sungguh tidak bisa aku terima. Siapa itu Liu Bei? Bukankah asalnya hanya seorang penjual sepatu jerami? Atau siapa itu Liu Bang yang menjadi pendiri Kekaisaran Han? Bukankah awalnya dia hanya seorang petani? Pahlawan lahir dari golongan mana saja, yang terpenting bagi seorang laki-laki adalah kepribadiannya." "Pujian Tuan besar Huang terlalu berat untuk kuterima. Hamba ini cuma orang biasa, tentu tidak bisa dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan dari masa yang lalu." Ding Tao seorang yang rendah hati, tapi seorang yang rendah hati pun akan merasa senang jika dipuji, meskipun hatinya merasa sangat malu dengan sikap Tuan besar Huang Jin yang memperlakukannya dengan sangat baik, di lain pihak ada juga rasa bangga yang tersisip di dalamnya. Mendengar jawaban dan sikap Ding Tao yang malu-malu, mereka yang berduduk di sana pun tertawa bergelak, bagaimana pun juga, sebagian besar dari mereka masih ingat dengan pemuda yang dungu tapi setia dan sopan itu. "Sudahlah, yang penting hari ini, lupakan kedudukanmu dahulu sebagai pelayan dalam keluarga Huang, sekarang ini kamu menjadi tamu bagi kami dan jangan lupa kau masih berhutang penjelasan kepada kami. Aku yakin, ceritamu pastilah sangat menarik.", kata salah seorang di antara mereka setelah tawa mereka mereda. Yang lain pun menggangguk setuju dan saling mendorong Ding Tao untuk cepat-cepat mengisahkan kejadian dua tahun yang lalu. Ding Tao yang merasa diterima dengan baik menjadi lenyap tak berbekas segala ketakutannya, dengan suara yang cukup jelas dan lancar dia mulai menceritakan kejadian dua tahun yang lalu. Dimulai dari pesan Wang Chen Jin yang disampaikan secara diam-diam, hingga pertarungan di antara mereka berdua. Seruan kaget dan marah terdengar dari beberapa orang, sementara wajah Tuan besar Huang Jin pun menjadi keruh saat mendengar akan kelicikan Wang Chen Jin, dengan geram dia memukul meja. "Hmph!! Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anakany licik sama seperti bapaknya, wajahnya boleh jadi mirip Guan Yu, tapi hatinya persis Tsao Tsao." Yang mendengar makian Tuan besar Huang Jin ikut mengangguk setuju, hanya Ding Tao yang tidak berani terlalu banyak berkomentar, sejenak dia berdiam diri, menunggu Tuan besar Huang Jin menyuruh dia melanjutkan cerita. Tidak lama setelah memaki-maki Wang Dou dan anaknya, kembali mereka memandang Ding Tao. "Lalu, kurasa Pelatih Gu- lah yang akhirnya menolongmu keluar dari sumur itu, karena malam itu kalian berdua menghilang bersamaan. Apakah benar demikian?" "Iya, benar sekali pengamatan Tuan besar Huang. Malam itu jika tidak ada guru, tentu umur hamba berhenti sampai di situ saja." "Hmmm tapi kami masih belum mengerti dengan jelas, jika demikian, lalu apa alasannya kalian menghilang? Seandainya malam itu dengan tidak sengaja kamu membunuh Wang Chen Jin, mungkin masih bisa kumengerti. Kalian mungkin memutuskan untuk menghindari pembalasan dendam Wang Dou tanpa menarik keluarga kami ke dalam pertikaian itu. Tapi malam itu kaulah yang kalah dan jatuh ke dalam sumur, tidak ada alasan kuat bagi kalian untuk menghilang. Wang Dou dan anaknya justru berada di pihak yang bersalah." Perasaan Ding Tao cukup peka, sejak tadi dia bisa merasakan bahwa Tuan besar Huang Jin telah menarik garis pemisah antara dirinya dengan keluarga Huang. Beberapa kali dia menyebut keluarga Huang sebagai kami dan Ding Tao dengan sebutan kamu. Tapi menilik cara mereka yang menerima dirinya dengan bersahabat, Ding Tao mengerti bahwa yang dilakukan Tuan besar Huang Jin itu justru adalah demi kebaikan dirinya. Dengan demikian dalam pembicaraan itu, Ding Tao bukanlah berdiri sebagai seorang pelayan keluarga Huang, melainkan sebgai seorang tamu dan sahabat yang sederajat. Tidak terkira rasa syukur dan terima kasih pemuda itu. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bicaranya pun semakin lancar dan segala ganjalan di hatinya hilang tak berbekas. Bahkan harapannya akan hubungan yang lebih baik dengan nona muda Huang menjadi semakin besar. Karena itu tanpa ada yang ditutup-tutupi, diapun menceritakan bahkan menunjukkan Pedang Angin Berbisik yang ada di tangannya. Sekilas hatinya terkesiap karena untuk sekejap dia bisa melihat perubahan di wajah Tuan besar Huang Jin dan mereka semua yang hadir. Tapi ketika kemudian mereka bersikap wajar dan terbuka, hatinya pun kembali menjadi tenang. Setelah mendengar seluruh kisah Ding Tao, semua yang hadir di sana mengangguk-angguk dengan puas. "Adik Huang, menurutku, tidak ada salahnya kalau Ding Tao menginap di sini selama beberapa hari sebagai tamu kita. Aku yakin banyak teman lama yang ingin ditemuinya.", ujar salah seorang kakak sepupu Huang Jin. "Ya, aku setuju sekali dengan pendapat Engkoh Tiong, Ding Tao, bagaimana menurutmu? Kuharap kau tidak keberatan untuk menginap beberapa malam di rumah kami. Aku yakin ceritamu akan sangat menarik hati buat anak-anak muda di sini. Jangan sungkan, meskipun sekali lagi aku katakan, aku sudah mengambil keputusan untuk menganggapmu bukan bagian dari keluarga ini lagi. Tapi tetap aku berharap antara keluarga Huang dan dirimu bisa terjalin hubungan yang baik." Dengan muka memerah Ding Tao mengangguk setuju. "Kalau Tuan besar Huang mengundang, tentu hamba tidak berani menolak, tapi kalau kamar yang dulu masih kosong, biarlah hamba beristirahat di situ saja." Tentu saja pada awalnya Tuan besar Huang tidak setuju jika Ding Tao hendak tidur di kamarnya yang dulu, di bagian tempat para pelayan dalam. Tapi karena Ding Tao berkeras, akhirnya Tuan besar Huang pun menyetujuinya. Tapi sebelum Ding Tao beristirahat di sana, Tuan besar Huang terlebih dahulu memerintahkan pelayan-pelayannya untuk membersihkan ruangan itu dan mengisinya dengan perabot-perabot yang lebih baik. Ding Tao sedang mengamati kamarnya yang lama dengan rasa haru, berbagai kenangan baik yang pahit maupun yang manis singgah di benaknya. Setelah selesai melewati tanya jawab dengan Tuan besar Huang Jin, sebuah beban yang berat dirasanya lepas dari pundaknya. Apa yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi, kesalah pahaman dua tahun yang lalu bisa diluruskan dengan mudah, bahkan bila menilik sikap dan perkataan Tuan besar Huang Jin, kesalah pahaman itu sendiri tidaj pernah ada. Tiba-tiba barulah terasa, betapa penat tubuhnya. Melihat kasur yang empuk timbul keinginannya. Sudah dua tahun dia tidur hanya beralaskan kain, jangankan dengan kasur baru yang disiapkan Tuan besar Huang Jin, kasur kerasnya yang lama pun sudah jadi satu kemewahan. Dengan satu hembusan nafas lega dia menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Terbayang kehidupan gurunya yang tua, Gu Tong Dang, yang saat ini tentu masih saja tidur beralaskan kain dan beratap ilalang. Dalam hati Ding Tao berjanji sesegera mungkin dia harus memberi kabar pada gurunya itu, seandainya saja dia bisa meyakinkan gurunya agar kembali pada keluarga Huang, tentu hidupnya akan jauh lebih baik dan tidak terlunta-lunta di usia tuanya. Tapi untuk saat ini, lelah dan penat yang dirasakan mengalahkan segala macam pikiran yang ada. Sebentar memejamkan mata Ding Tao segera terlelap dalam tidur. Entah untuk berapa lama dia terlelap, tiba-tiba saja kesadarannya dihentakkan kembali ke alam sadar dengan suara gedoran di pintu kamarnya disertai suara yang sudah sangat dikenalnya. "Ding Tao! Ding Tao! Ayo buka" "Ssst.. Adik Ying, jangan teriak-teriak. Bagaimana kalau dia sedang tidur, mungkin sebaiknya kita kembali saja nanti." "Huuhh jam segini tidur? Dulu dia tidak pernah malas, dua tahun keluyuran apa sekarang dia jadi pemalas?" Sekali lagi pintu kamarnya digedor dengan keras. "Ding Tao! Baaanguuuuun !!!!" "Astaga orang mati pun bisa bangun lagi kalau teriakanmu seperti itu." "Bagus malah, memang aku mau membangunkan Ding Tao yang tidur setengah mampus." "Aih Adik Ying." Kemudian terdengar ketukan yang lebih perlahan dan panggilan yang jauh lebih sopan. "Saudara Ding, apa kau sudah bangun? Ini aku Huang Ren Fu dan Ying Ying." Senyum lebar terbit di wajah Ding Tao, sudah sejak tadi, mendengar percakapan mereka di luar hatinya merasa geli sekaligus bahagia. Bisa dibayangkannya bagaimana Huang Ren Fu mati kutu mennghadapi adiknya yang nakal itu. Secepat mungkin dia membenahi pakaiannya dan menjawab panggilan Huang Ren Fu. "Sebentar Tuan muda Huang, aku akan sedikit beberes." Ketika dibukanya pintu maka yang pertama kali menyambutnya adalah sebuah cubitan yang keras dari Huang Ying Ying, "Bagus ya, sedari tadi kupanggil tidak kau jawab. Begitu Kakak Ren Fu yang memanggil kau bukakan pintu." "Aduh aduh nona, maafkan aku. Tadi memang aku sedang tertidur pulas, baru saja tersadar saat mendengar suara Tuan muda Huang." "Huhh jangan banyak alasan." Sambil tersenyum kecut Ding Tao memberikan hormat pada kedua kakak beradik itu. "Tuan muda Huang, nona muda Huang, senang sekali bertemu kalian lagi. Maafkan aku kalau sudah membuat keluarga kalian banyak susah." Huang Ren Fu yang memang terbuka tabiatnya dengan bercanda memukul dada Ding Tao. "Nah, apa sampai sekarang pun kau masih memanggil kami dengan sebutan tuan muda dan nona muda? Sedikit-sedikit sudah kudengar kisahmu dari ayah, sekarang kau menjadi tamu kami, jangan lagi panggil tuan dan nona, panggil saja Saudara Fu dan Adik Ying." "Itu sepertinya kurang sopan.", dengan sungkan Ding Tao bergumam. "Kurang sopan apanya, Ding Tao apa kau mau kucubit lagi.", ancam Ying Ying dengan nada menggoda. Huang Ren Fu yang melihat gaya adiknya tertawa. "Benar Ding Tao, kalau kau masih juga sungkan-sungkan, jangan salahkan aku kalau nanti tubuhmu memar-memar. Adik Ying setelah mulai belajar ilmu pedang jadi tambah galak saja." Dengan muka bersemu merah Ding Tao tertawa. "Eh baiklah, jadi nona muda maksudku Adik Ying sekarang juga belajar ilmu pedang keluarga Huang?" "Hmmm heran ya? Makanya sekarang kau mesti lebih hati-hati kalau berbicara denganku. Aku ini kan gadis berbakat, belajar apa saja tentu bisa. Jangan kau samakan dengan dirimu. Jurus dasar sudah aku selesaikan dalam 3 bulan pertama dan sekarang jurus lanjutan sudah hampir selesai kupelajari." "Adik Ying, jangan menyombong, apa tidak kau dengar kata ayah, dalam dua tahun ini Ding Tao sudah mendapat banyak kemajuan.", kata Huang Ren Fu yang merasa geli terhadap kesombongan adiknya. Peringatan kakaknya itu hanya dijawab dengan cibiran saja oleh Huang Ying Ying. Tapi baik Ding Tao maupun Huang Ren Fu tidak merasa terganggu oleh ulah gadis muda itu, mereka mengenal dengan baik adat Ying Ying yang suka mengoceh dan berulah tapi hangat dan bersahabat. "Kakak Fu, aku sebenarnya ragu apa benar kata ayah, yang kuihat sih Ding Tao Cuma bertambah tinggiii saja. Benar tidak Ding Tao?", ujar Huang Ying Ying dengan kerling menggoda. Ding Tao pun menggaruk kepalanya sambil tertawa geli, kemudian sahutnya dengan sopan. "Sebenarnya memang aku sendiri meskipun merasakan adanya kemajuan tapi tidak begitu yakin juga dengan kemampuan yang sebenarnya." "Apa sewaktu dalam perjalanan kau tidak pernah bertemu dan berkelahi dengan penjahat Ding Tao?", tanya Ying Ying dengan penuh rasa keingin tahuan. "Tidak, tidak juga, biasanya aku berpergian dalam satu rombongan besar, beramai-ramai dengan para pedagang dan orang lain. Mereka ini biasanya sudah menyewa pengawal, jadi sepanjang perjalanan tidak banyak halangan." "Aduh membosankan sekali", keluh Huang Ying Ying dengan manja, mulutnya cemberut, tapi bagi Ding Tao justru membuat gadis itu makin menggemaskan. Huang Ren Fu tertawa mendengar keluhan adiknya itu. "Jangan konyol, memangnya kaupikir setiap hari penjahat selalu bermunculan di jalanan seperti dalam cerita silat yang kau baca?" "Huuh, kalau tidak berkelahi lalu untuk apa belajar silat, membosankan sekali. Kalau tidak menghajar pantat penjahat- penjahat, lalu siapa yang harus kuhajar? Bukankah antara satu kota dengan kota yang lain masih banyak hutan dan gunung yang terpencil?" "Hehehe, mungkin kau hajar saja pantatmu sendiri. Adik Ying, di tempat yang terpencil seperti itu memang terkadang ada saja gerombolan penjahat, tapi biasanya kelompok pengawalan sudah menyiapkan pajak khusus buat mereka." "Maksud Kakak, seperti ayah yang mengirimkan uang untuk Wang Dou itu ya?" "Ya begitulah, Paman Wang Dou memiliki pengaruh yang cukup besar di sisi utara sungai, hampir setiap kelompok di sana tidak ada yang berani macam-macam dengannya. Asalkan kita menjalin hubungan baik dengannya, kiriman barang melewati daerah itu tentu akan aman-aman saja." "Huh.. pengaruh apanya, maksud kakak, dia itulah gembong penjahatnya, kakek moyang maling dan perampok di sana." Membicarakan Wang Dou, Huang Ying Ying jadi teringat cerita ayahnya tentang Ding Tao dan Wang Chen Jin, berbalik melihat Ding Tao diraihnya tangan pemuda itu lalu dengan sungguh-sungguh dia berkata. "Ding Tao, aku sudah mendengar cerita ayah tentang Wang si keparat itu. Sungguh kalau aku tahu dia selicik itu, tidak akan aku menerima persahabatannya." Tangan Huang Ying Ying yang lembut dan hangat membuat Ding Tao berdebar-debar. Sambil berpura-pura tidak merasakan apa-apa, dia berusaha menjawab. "Jangan berkata begitu nona eh Adik Ying. Aku sendiri tidak menduga dia akan menyerangku secara demikian. Lagipula, mungkin itu terdorong oleh rasa" Tersadar Ding Tao bahwa dia hendak mengatakan," terdorong oleh rasa cemburunya." Tapi cepat-cepat dia menghentikan kata-katanya, jangan-jangan nanti dia dianggap tidak tahu diri. Si Rase Hitam Karya Chin Yung Mustika Gaib Karya Buyung Hok Perintah Maut Karya Buyung Hok