Pedang Angin Berbisik 48
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 48
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Hee mengingat hal itu murid benar-benar menjadi malu, tapi itulah kehebatan guru sekalian, bisa berbuat di belakang layar tanpa ada yang menyadari peran serta guru ber-enam." "Baguslah kalau kau merasa malu, mulai sekarang ingatlah baik-baik, untuk tidak terlalu yakin pada kemampuanmu sendiri.", ujar Khongti menyahut. "Baik guru, tentu akan murid ingat-ingat. Setiap kali murid dalam kesulitan, murid akan menghadap ke barat dan murid sebut nama Guru Khongti keras-keras sambil menghentakkan kaki tiga kali ke atas tanah.", jawab Wang Shu Lin sambil tersenyum jenaka. "Haa haa haa, kau kira gurumu ini dewa tanah atau dewa gunung? Dasar murid nakal, gurunya pun dibuat bahan bercanda.", ujar Khongti sambil tertawa terbahak-bahak. "Eh Shu Lin, kau memang sudah menjawab banyak pertanyaan, tapi kau belum jawab, dari mana kau bisa yakin, kami akan keluar setelah mendengar lagumu itu?", setelah tawanya mereda, Hu Ban bertanya kembali sambil menyusut air mata yang keluar karena tertawa. "Hmm.. tentu saja karena Shu Lin tahu, bahwa hatiku selalu rindu dengan saudara-saudara di Gunung Wudang. Dia tentu sering melihat atau pernah melihat, aku pergi diam-diam untuk meminum arak sendirian dan melagukan syair itu di tengah padang.", ujar Zhu Yanyan menjawab, sebelum Wang Shu Lin sempat menjawab. Wang Shu Lin pun terdiam dan dengan suara perlahan dia berkata pada Zhu Yanyan. "Maafkan aku guru, bukan maksudku membuat guru sekalian bersedih. Dalam keadaan terjepit, murid terpaksa melakukan hal ini." Zhu Yanyan tersenyum sabar, sambil mengelus kepala Wang Shu Lin dia menjawab. "Hahaha, tidak apa-apa, bukan sesuatu yang sangat menyedihkan juga. Justru aku menikmati sedikit bernostalgia mengenang masa lalu." Untuk sesaat tidak ada seorangpun yang berbicara, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri sebelum akhirnya Hu Ban kembali memecahkan kediaman mereka. "Shu Lin, kau bilang kau sedang berada dalam keadaan terjepit, masalah apa yang sebenarnya sedang kau hadapi? Kami diam-diam selalu mengamati gerak-gerikmu dari jauh, masakan kau ada dalam masalah dan kami bisa tidak tahu?" "Hmm aku sendiri belum yakin, apakah akan terjadi sesuatu atau tidak. Tapi guru tentu tahu, kemarin aku sempat bentrok dengan Ketua Partai Kongtong, Zhong Weixia.", jawab Wang Shu Lin. Ke-enam orang guru Wang Shu Lin pun menganggukkan kepala dan Hu Ban bertanya. "Lalu?" "Sebelum Zhong Weixia pergi meninggalkan tempat, dia sempat menegur dan berkata, bahwa waktunya sudah semakin dekat, anak murid Kongtong tidak diperbolehkan lagi meninggalkan tempat dan membuat masalah. Tidakkah guru merasa ucapan itu aneh?", tanya Wang Shu Lin. Pang Boxi yang paling kenal sifat Zhong Weixia, otomatis mata setiap orang pun sekarang tertuju padanya. Pang Boxi pun mengerutkan dahi dan berpikir keras, ini bukan kebiasaannya, namun beban yang dibawa setiap sorot mata itu membuat dia, mau tidak mau, harus berpikir keras sebelum menjawab. "Hmm, ya", ucap Pang Boxi kemudian diam. "Hmm.. hmm kupikir", sekali lagi Pang Boxi terdiam, padahal setiap orang sudah ingin mendengar apa jawabnya. "Ya jadi kukira", lagi-lagi Pang Boxi tampak ragu-ragu untuk mengutarakan pendapatnya. Segera saja Shu Sun Er yang sudah tidak sabar menyergah. "Hah! Katakan saja apa pendapatmu, jangan kau gantung lagi kami dengan ah oh hmm, seperti wanita sedang dilamar saja." Karuan saja mereka semua yang mendengar sergahan Shu Sun Er tertawa geli sementara Pang Boxi wajahnya bersemu merah. Khong Ti yang nakal dengan cekatan menyahut. "Eh adik Sun Er, kok kau bisa tahu seperti apa wanita yang dilamar orang, siapa di antara kami yang sudah melamarmu? Apa jawabmu?" Sekali lagi mereka semua tertawa geli dan gantian Shu Sun Er yang wajahnya bersemu merah. "Eh keledai gundul, hati-hati kalau bicara. Coba saja kalau ada orang yang berami melamarku, boleh coba rasakan berapa tajam pedang Shu Sun Er." Khong Ti tidak kehabisan akal, dia pun menepuk-nepuk pundak Chen Taijiang dan berkata. "Ah tahulah aku sekarang kenapa Adik Chen Taijiang selalu bersedih Adik Tai Jiang, tak perlulah bersedih seperti itu, asalkan kau mau bersabar tentu Adik Sun Er lama kelamaan akan berubah pikiran." Dengan wajah sedihnya Chen Taijiang menjawab. "Keledai gundul, janganlah kau buat bahan bercanda, wajah pemberian ayah ibuku ini." Pecahlah tawa mereka semua, termasuk juga Chen Taijiang sendiri, meskipun pada saat tertawa wajahnya tetap saja terlihat sedih. Menunggu tawa mereka mereda, Shu Sun Er pun bertanya untuk kedua kalinya pada Pang Bo Xi. "Jadi bagaimana? Sudahkah Kak Boxi mengambil kesimpulan?", tanya Shu Sun Er. Pang Boxi pun menjawab. "Ya, menilik sifatnya, kukira anak Shu Lin punya alasan kuat untuk menduga bahwa Zhong Weixia tentu sedang memiliki rencana besar yang rahasia sifatnya. Jika tidak mana mungkin dia melepaskan Shu Lin dengan begitu mudahnya. Tadinya aku berpikir dan berharap bahwa sifatnya memang sudah banyak berubah, tapi jika kupikirkan secara lebih obyektif, kukira dugaan Shu Lin jauh lebih mungkin terjadi daripada kemungkinan Zhong Weixia berubah sifat. Hukumannya pada Adik Lau Wan Kiet menunjukkan hal itu." "Tapi siapa yang menjadi sasarannya?", Zhu Yanyan mengajukan pertanyaan itu dengan dahi berkerut. Wang Shu Lin tanpa ragu menjawab. "Jika dia mengatakan waktunya sudah dekat, kemungkinan besar yang menjadi sasaran adalah Wulin Mengzhu yang terpilih, Ding Tao. Bukankah acara pernikahannya tinggal beberapa minggu lagi?" "Hmm", Hu Ban bergumam, berpikir sambil diam-diam mengawasi murid terkasih mereka itu. "Shu Lin, yang kau katakan itu ada kemungkinannya juga, tapi sungguh berani Zhong Weixia jika dia berpikir hendak mengusik Ding Tao di hari pernikahannya. Meskipun suasananya memang cenderung membuat orang lengah, tapi jika melihat para undangan yang datang Memangnya seberapa besar kekuatan Zhong Weixia?", ujar Hu Ban dengan hati-hati, tak ingin menyinggung Pang Boxi yang masih satu seperguruan dengan Zhong Weixia. "Jutru itu aku berpikir untuk meminta bantuan guru sekalian, jika Ketua Zhong Weixia benar-benar hendak melakukan sesuatu terhadap Ketua Ding Tao, tentu dia tidak sendirian, tentu ada banyak kekuatan lain yang berdiri di belakangnya.", ucap Wang Shu Lin dengan sungguh-sungguh. Tapi guru-gurunya tidak serta merta memberikan jawaban yang memuaskan, mereka terdiam dan saling pandang. Melihat guru-gurunya diam saja, Wang Shu Lin mulai berputus asa, perlahan-lahan air mata mulai mengembeng. "Guru apakah guru sekalian akan diam saja?", keluhnya sambil menggebrakkan kakinya ke tanah. Zhu Yanyan yang menjadi saudara tertua dari enam orang sahabat itu pun mendekati gadis itu dan dengan lembut menepuk-nepuk pundaknya. "Anak Shu Lin, sudah tentu kami tidak akan berdiam diri tapi jika benar apa yang kau katakan, lalu apa arti kita berenam ini? Sementara terhadap urusan dunia persilatan, sebenarnya kami sudah merasa tawar" "Lagipula, kekhawatiranmu itu belum tentu terjadi, di pernikahan Ding Tao nanti tentu hadir juga Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, serta tokoh-tokoh besar lainnya. Mereka ini tidak bisa diremehkan.", sambung Hu Ban berusaha menghibur Wang Shu Lin. "Apakah guru tidak merasa ikut bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada Ding Tao, sementara kita mengetahuinya namun berdiam diri saja?", tanya Wang Shu Lin. Justru Pang Boxi yang masih memiliki kaitan dengan Kongtong yang mendukung Wang Shu Lin. "Kukira perkataan Anak Shu Lin perlu kita pertimbangkan. Justru karena pada pesta pernikahan itu ada begitu banyak tokoh besar yang diundang. Bisa jadi yang menjadi sasaran bukan Ding Tao tapi salah satu dari tamu yang diundang. Bagaimana jika sasaran mereka adalah orang-orang dari Shaolin atau Wudang? Aku pribadi sebagai bekas murid Kongtong, tidak rela jika Kongtong yang sekarang mencederai perguruan atau partai lain. Apalagi jika mereka yang dicederai itu memiliki hubungan dekat dengan sahabat- sahabat yang bahkan lebih dekat dari saudara kandungku sendiri." Tidak biasanya Pang Boxi berbicara panjang lebar, namun kali ini dia berbicara sedemikian panjang. Mendengar perkataan Pang Boxi itu Wang Shu Lin merasa sangat berterima kasih, meskipun dia tahu, bahwa Pang Boxi tidak seperti dirinya yang mengkhawatirkan Ding Tao. Yang dikhawatirkan Pang Boxi justru para tokoh dari lima perguruan besar yang lain. "Ucapan Saudara Bo Xi itu benar, jika Kongtong hendak melakukan pekerjaan besar, kukira yang akan diajak ikut serta kemungkinan besar adalah Guang Yong Kwang dari Kunlun. Keponakan muridku itu memang punya ambisi yang besar dan seperti yang kita lihat pada waktu pemilihan Wulin Mengzhu di kaki Gunung Songshan, mereka berdua terlihat sepikiran. Aku mengerti benar perasaan Saudara Bo Xi, kuharap kalian berempat mengerti pula perasaan kami berdua.", ujar Chen Taijiang dengan mimik wajahnya yang sedih, semakin sedih memikirkan polah laku dari keponakan muridnya yang sekarang sudah menjadi ketua dari perguruan Kunlun. Dua dari mereka berenam sudah berbicara, bagaimana pun juga perasaan empat orang yang lain ikut tergerak. Apalagi jika berpikir, ada kemungkinan orang-orang yang dekat dengan masa lalu mereka, akan menjadi korban dalam permainan Kongtong dan sekutunya. Meskipun dugaan Wang Shu Lin bukanlah satu kepastian, jika mereka berpangku tangan, untuk kemudian mengetahui bahwa dugaan Wang Shu Lin itu benar adanya, betapa akan menyesal mereka semua. Apalagi mereka yang di masa lalunya memiliki kaitan dengan pelaku kejahatan itu. Zhu Yanyan pun menganggukkan kepala. "Baiklah, kukira masalah ini memang tidak bisa dihindarkan. Meskipun kita berenam sudah memutuskan untuk cuci tangan dari urusan dunia persilatan, namun memikirkan kepentingan yang lebih besar, juga perasaan kita masing-masing, memang yang terbaik, kita harus ikut campur dalam masalah ini." Mendengar keputusan Zhu Yanyan sebagai orang tertua dari mereka berenam, Wang Shu Lin pun meneteskan air mata haru dan berkata. "Ah guru sekalian, terima kasih sungguh kalian sangat baik terhadapku. Ampuni murid yang selalu saja menyusahkan guru sekalian." Shu Sun Er tersenyum sambil memelu gadis itu dia menjawab. "Jangan bodoh, toh kami melakukan ini, juga karena kepentingan kami sendiri. Justru kau harus merasa bangga, bahwasannya kau memiliki rasa keadilan yang besar, sehingga tergerak untuk bekerja meskipun persoalan ini tiada hubungannya dengan dirimu pribadi." Dengan wajah tersipu Wang Shu Lin hanya bisa mengangguk dalam pelukan gurunya itu. Tentu saja dalam hati dia harus mengaku bahwa tidak demikian yang sebenarnya. Seandainya dia tidak jatuh cinta pada Ding Tao, akankah dia ikut campur dalam urusan itu? Dia sendiri tidak berani menjawab dengan pasti. Khongti mengerling ke arah Shu Sun Er yang sedang memeluk Wang Shu Lin, mulutnya sudah terbuka hendak menggoda gadis itu, namun Shu Sun Er diam-diam menggelengkan kepala dan Khongti pun batal membuka mulutnya. Runyam memang kisah cinta gadis ini, guru-gurunya pun hanya bisa mengawasi agar dia tidak memilih jalan yang sesat demi emosi sesaat. Hu Ban pun berucap. "Kalau memang sudah diputuskan demikian, langkah selanjutnya yang perlu kita lakukan adalah mengawasi tiap pergerakan orang-orang Kongtong yang ada di Jiang Ling ini. Satu-satunya jejak dan petunjuk yang kita dapati adalah mereka, kecuali jika muncul petunjuk lainnya." Zhu Yanyan menganggukkan kepala tanda setuju. "Benar, untuk sementara tidak ada petunjuk lain, yang ada pada kita hanyalah mereka, namun Zhong Weixia dan orang-orang kepercayaannya tidak boleh dibuat main-main. Demikian pula jika mereka memiliki sekutu, tentu bukan orang sembarangan. Karena itu, kuminta supaya siapa pun yang sedang bertugas mengawasi gerak-gerik mereka, jangan terlalu gegabah. Jangan mengambil resiko terlalu besar, jumlah kita hanya sedikit, jangan sampai yang sudah sedikit ini semakin berkurang kekuatannya, disebabkan oleh kepercayaan diri yang terlalu tinggi." Hu Ban mengangguk dan menambahkan. "Terutama kau Shu Lin, aku tahu kau memiliki perasaan yang kuat mengenai masalah ini, namun janganlah hal itu membuatmu jadi gegabah. Kita bukan sedang bermain-main dengan tokoh kelas dua atau tiga." Secara tersirat Hu Ban menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak sepenuhnya buta akan perasaan Wang Shu Lin terhadap Ding Tao. Jika sekarang mereka sudah setuju untuk memenuhi kehendak Wang Shu Lin, maka harapannya Wang Shu Lin pun harus bertindak hati-hati. Dengan wajah tersipu Wang Shu Lin menganggukkan kepala. "Hmm.. baguslah kalau kita semua sudah sepaham. Malam ini biarlah aku dan Chen Taijiang yang mendapatkan giliran pertama untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Untuk selanjutnya kalian atur siapa yang akan menggantikanku. Tentang kode dan sandi, biarlah kita pakai seperti biasa, kalian ajarkan pula kode dan sandi yang biasa kita pakai pada Anak Shu Lin.", ujar Zhu Yanyan sambil mengebaskan jubahnya, bersiap untuk pergi mengintai lawan. "Guru hati-hatilah", ujar Wang Shu Lin dengan penuh haru. "Hahaha, gurumu ini sudah banyak makan asam garam, kau tidak perlu kuatir, sekarang pergilah beristirahat dahulu. Besok tentu kau pun akan mendapat giliran berjaga. Petunjuk kita hanya satu, sesaatpun tidak boleh luput dalam mengawasi mereka.", ucap Zhu Yanyan sambil tertawa. Tanpa banyak cakap lagi, Zhu Yanyan dan Chen Taijiang pun segera berkelebat pergi, menggunakan kegelapan malam, menyembunyikan gerakan mereka yang selincah kucing dan seringan burung. Wang Shu Lin dan guru-gurunya yang lain pun segera membereskan sisa-sisa makan dan minum mereka, untuk kemudian pergi beristirahat. Kamar yang disewa Wang Shu Lin tidak terlampau besar, namun sudah terbiasa hidup di alam yang keras, hal itu tidak menjadi halangan sedikitpun. Mendekati dini hari barulah mereka menyebar pergi, ke tempat persembunyian masing-masing. Wang Shu Lin sendiri tidur hingga jauh siang, setelah semalaman memeras otak untuk menghafal kode dan sandi yang biasa digunakan oleh guru-gurunya, tahu bahwa tenaganya perlu disimpan baik-baik. Mengintai orang bukanlah pekerjaan yang menyenangkan, seperti juga memancing ikan, mengintai orang butuh kesabaran, lebih-lebih Wang Shu Lin dan guru-gurunya tidak menyediakan umpan untuk menjebak lawan, semata-mata hanya mengawasi mereka dari kejauhan, menunggu lawan membuat gerakan. Keberadaan mereka, diharapkan belum menjadi terang buat lawan, segala upaya pun dilakukan, termasuk menyulap penampilan Wang Shu Lin, yang sekarang sudah menjadi seorang wanita setengah baya yang bekerja di sebuah toko kain tidak jauh dari penginapan tempat orang-orang Khongtong menginap. Pemilik toko kain itu sendiri adalah Zhu Yanyan, toko itu sendiri sudah dibelinya sebulan yang lalu, ketika mereka melihat arah perjalanan Wang Shu Lin yang menuju ke Kota Jiangling, maka Zhu Yanyan mendahului Wang Shu Lin dan menetapkan sebuah tempat bagi mereka berenam. "Dari mana guru sekalian bisa tahu aku akan pergi ke Jiang Ling?", tanya Wang Shu Lin saat dia mengetahui keberadaan toko kain itu. "Semut mendatangi gula, kejadian besar apalagi yang ada di dunia persilatan sekarang, jika bukan kabar pernikahan Wulin Mengzhu yang ketiga kalinya.", ujar Hu Ban dengan ringan. "Jika ternyata murid bukan pula pergi ke Jiang Ling?", tanya Wang Shu Lin penasaran. "Tidak masalah, toh masih ada lima orang yang mengikutimu, biar saja seorang dari kita menjalankan toko kain ini selama beberapa bulan. Menunggu pasti dirimu tidak pergi ke Jiang Ling, toko ini dijual juga kita bisa dapat untung.", jawab Hu Ban ringan. "Heheh, sejak bekerja membuntutimu, kami berenam punya kesenangan baru, membeli usaha orang, membesarkannya lalu menjualnya. Lumayan, semakin hari uang di kantong semakin tebal saja.", ujar Khongti sambil menepuk-nepuk kantung uangnya. Sambil terkekeh geli Wang Shu Lin berujar. "Tidak sangka, guru sekalian ternyata punya bakat jadi pedagang." Demikianlah dengan segenap upaya, Wang Shu Lin dan ke-enam orang gurunya bekerja dengan rahasia, ditambah pula dengan jumlah mereka yang tidak terlalu besar dan keberadaan mereka yang memang bisa dikatakan tidak terlalu penting dalam dunia persilatan, sehingga mereka bisa bekerja tana diketahui lawan. Ke-enam orang itu, sudah belasan tahun dianggap hilang dari dunia persilatan, sementara di mata dunia persilatan Wang Shu Lin atay Ximen Lisi, dianggap masih berada di Shanxi. Di lain pihak orang-orang Khongtong sendiri tidak ada yang berani melanggar perintah Zhong Weixia, seperti yang sudah diperintahkan, selama berhari-hari mereka tidak keluar dari penginapan. Sesekali ada yang keluar untuk sekedar membeli berbagai keperluan, mengintai mereka pun lama-kelamaan jadi membosankan. Di sini keuletan ke-tujuh orang itu terlihat benar, meskipun berulang kali pergerakan lawan ternyata tidak memiliki arti penting, tidak juga mereka menjadi lengah. Meskipun berhari-hari tidak terjadi sesuatu yang menarik, semangat mereka tidak juga menurun. Kata orang, nasib baik terjadi, bagi mereka yang bertekun dalam usahanya. Ke-tujuh orang ini pun mengalaminya hari itu. Hari sudah mulai gelap, ketika dua orang murid Khongtong keluar dari penginapan, tidak ada tanda-tanda dia akan melakukan satu pekerjaan khusus. Berulang kali di hari-hari sebelumnya, mengikuti mereka ini terbukti tidak menuntun pada petunjuk yang lebih jauh, namun tetap saja Khongti yang hari itu bertugas bersama dengan Shu Sun Er bergegas mengikuti orang itu dengan diam-diam. Sementara Shu Sun Er mengirim kabar secara berahasia, Chen Taijiang yang menjadi perantara antara mereka yang bertugas dengan mereka yang sedang tidak berjaga, tanpa bermalas-malasan segera pergi memberi kabar. Tidak lama kemudian, Hu Ban sudah menggantikan posisi Khongti yang sedang bergerak menguntit dua orang anak murid Partai Khongtong. Menguntit orang ada juga seninya, jika menguntit sendirian akan terlampau mudah ketahuan oleh lawan yang dikuntit. Segera setelah Chen Taijiang memberi kabar, Zhu Yanyan sudah bergerak mencari-cari tanda yang ditinggalkan Khongti. Setelah menemukan tanda tersebut, Zhu Yanyan pun segera tahu ke arah mana dua orang murid Khongtong itu bergerak, tanpa banyak kesulitan, mengikuti beberapa tanda yang ditinggalkan Khongti, Zhu Yanyan pun akhirnya melihat dua orang anak murid Khongtong itu. Khongti yang melihat Zhu Yanyan dari kerumunan orang tempat dia membaurkan diri, segera menghentikan kuntitannya atas dua orang anak murid Khongtong itu. Mencari tempat untuk mengganti penyamaran, ganti dia yang kemudian mengikuti jejak Zhu Yanyan. Zhu Yanyan sedang melihat-lihat barang dagangan orang, sembari matanya yang tajam mengikuti gerak-gerik orang yang dia ikuti, ketika Khongti berdiri sejajar dengan dirinya, ikut melihat pula barang dagangan yang sedang dijajakan orang. "Hmm jadi orang tua memang susah, anak kecil ada saja kemauannya", gumam Khongti menarik perhatian Zhu Yanyan. Zhu Yanyan pun menengok dan dengan ringan menjawab. "Heheh, sudah wajar, nanti toh bergantian, kalau kita sudah tua, mereka yang repot mengurus kita." Khongti tertawa sebelum mengangguk dan meninggalkan tempat itu, menggantikan Zhu Yanyan menguntit dua orang anak murid Partai Khongtong. Demikian dua orang itu bekerja sama, bergantian mengikuti gerak-gerik buruan mereka. Anak murid Khongtong bukannya tidak waspada terhadap kuntitan orang, sesekali mereka berhenti untuk melihat ke sekeliling mereka, adakah orang yang sedang mengikuti gerak-gerik mereka? Namun karena Zhu Yanyan dan Khongti bekerja sama dengan apiknya, maka dua orang itu pun tidak sadar bahwa gerak-gerik mereka sedang diikuti orang. Penguntitan menjadi lebih sulit, ketika akhirnya dua orang itu keluar dari Kota Jiang Ling. Zhu Yanyan dan Khongti pun tidak berani mengikuti dari jarak dekat, terpaksa mereka membiarkan dua orang buruan mereka berada jauh di depan. Ketika di satu kelokan keduanya tiba-tiba menghilang dari jalan utama, dua orang bersahabat itu pun berunding sejenak. "Menurutmu ke mana dua orang itu pergi?", tanya Zhu Yanyan. "Heh kiri dan kanan kita diapit hutan yang tidak terlalu lebat, jalan utama hanya ada bercabang dua. Jika mereka tidak mengambil tikungan ini, tentu mengambil tikungan yang satunya, atau bisa juga mereka masuk ke dalam hutan.", jawab Khongti. "Menurutmu, apa kira-kira mereka sedang bersembunyi dan mengamat-amati keadaan, berjaga jika ada orang yang membuntuti mereka?", tanya Zhu Yanyan. "Bisa jadi", jawab Khongti singkat, sementara matanya yang tajam melihat ke sekelilingnya. Untuk beberapa lama dua orang itu mengamati keadaan di sekitar mereka, kemudian Khongti berkata lagi. "Biarlah kita bagi tugas, aku akan menilik tikungan yang satu lagi, sementara kakak bisa mencari-cari di sekitar tempat mereka terakhir kali terlihat." "Kurasa sebaiknya begitu, kau hati-hatilah di jalan, siapa tahu mereka sudah tahu sedang dikuntit dan sedang mencari cara untuk memisahkan kita, sehingga lebih mudah dihadapi.", ujar Zhu Yanyan mengingatkan. "Hmm", jawab Khongti singkat sambil menganggukkan kepala. Tidak menunggu lagi Khongti pun segera berlari cepat, menyusuri jalan ke arah yang berbeda. Sebaliknya Zhu Yanyan tidak tergesa-gesa bergerak, sambil menarik nafas perlahan-lahan, dia kembali mengamati keadaan di sekelilingnya. Dengan pikiran yang tenang, Zhu Yanyan menyusuri jalan yang sudah mereka lalui, baik sisi kiri maupun sisi kanan jalan. Setelah mendapati beberapa tempat yang terlihat biasa dilalui orang untuk masuk ke dalam hutan, Zhu Yanyan pun menimbang-nimbang, akhirnya dia memilih salah satu jalan setapak yang terlihat seperti baru saja dilewati orang. Baru saja dia memasuki hutan, telinganya yang tajam menangkap suara langkah orang di depan, cepat-cepat pendekar tua inipun menyembunyikan diri di balik pepohonan yang ada di dekatnya. Ternyata Zhu Yanyan tidak salah memilih jalan, salah satu dari dua orang yang dia ikuti sedang berjalan keluar melalui jalan setapak yang sedang dia telusuri. Dengan jantung berdebar sedikit lebih kencang, Zhu Yanyan, mendekam saja di tempatnya. Yang dia khawatirkan bukan dirinya, tapi Khongti yang sedang memeriksa jalan utama, bisa jadi saat ini Khongti justru sedang kembali untuk mencari dirinya. Dengan jantung berdebar, Zhu Yanyan terus menunggu, hingga suasana kembali sunyi dan orang itu jauh pergi. Barulah perlahan dia bergerak ke arah orang itu pergi, sampai ke jalan utama. Dari tempatnya dia bersembunyi dia bisa melihat orang itu berjalan sendirian, kembali ke arah Kota Jiang Ling. Sambil menghembuskan nafas lega, karena orang itu tidak bertemu dengan Khongti, dia pun mengedarkan matanya melihat ke sekeliling. Tidak menunggu berapa lama, Khongti muncul dari kejauhan sambil bersiul pelan. Zhu Yanyan membalas siulan Khongti. Kedua orang sahabat itu pun berkumpul kembali. "Tidak kudapat jejaknya di jalan sana", ujar Khongti menyampaikan. "Hm, barusan sudah kudapat jejaknya di dalam hutan, yang seorang tampaknya tinggal dan yang lain kembali ke Jiang Ling, mungkin untuk memberi kabar.", kata Zhu Yanyan memberitahukan penemuannya. "Oh demikian rupanya Jadi bagaimana, apa kita coba cari ke dalam hutan atau kita kembali ke Jiang Ling dulu?", tanya Khongti. Zhu Yanyan terdiam sejenak kemudian menjawab. "Biar aku sekali lagi coba melihat ke dalam, sementara kau ikuti orang yang satunya lagi, pastikan apakah memang dia kembali melapor atau pergi ke tempat lain lagi. Setelah ada kepastian, kalian jangan buru-buru bergerak beri aku waktu sampai malam. Kecuali jika selewat malam aku belum kembali, bolehlah kalian datang mencari." Khongti menepuk pundak Zhu Yanyan. "Baiklah aku pergi, kakak sendiri hati-hati dalam bergerak." "Aku tahu", jawab Zhu Yanyan singkat sambil tersenyum menenangkan. Tanpa banyak cakap mereka berdua pun pergi ke arah masing-masing. Zhu Yanyan menghilang ke dalam hutan, sementara Khongti bergerak kembali ke Jiang Ling. Di lain tempat ada pula kejadian penting yang terjadi. Kali ini bukan Wang Shu Lin dan enam orang gurunya yang berperan, namun Huang Ren Fu yang akhirnya berkumpul kembali dengan orang-orang sisa keluarga Huang. Sejak dia tinggal di Jiang Ling, pemuda ini pun menjadi sibuk. Terutama dengan keinginan sebagian besar bekas pengikut keluarga Huang, yang ingin membangun kembali Wuling. Hal ini cukup wajar, kebanyakan dari mereka masih memiliki pertalian darah dengan keluarga Huang atau sudah mengikuti keluarga Huang selama beberapa generasi. Ketika tidak ada satu pun keturunan keluarga Huang yang tersisa, Ding Tao menjadi suar tumpuan harapan mereka. Namun sekarang pewaris sah dari keluarga Huang ternyata masih hidup dan kembali bersama mereka. Apakah itu yang membuat wajah pemuda ini guram? Sepertinya bukan, karena jauh-jauh hari, pemisahan yang terjadi di dalam tubuh Partai Pedang Keadilan itu sudah disetujui oleh Ding Tao sendiri. Pula Huang Ren Fu yang bersahabat akrab dengan Ding Tao sudah berjanji akan menjadi sekutu dari Partai Pedang Keadilan. Memang segala sesuatunya berubah, namun seharusnya perimbangan kekuatan dalam dunia persilatan tidaklah bergerak banyak. Apa benar demikian? Tentu saja benar, bukankah Huang Ren Fu adalah sahabat baik Ding Tao? Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan persahabatan mereka? Beberapa bulan ini, dengan kesibukannya dan persiapan pernikahan Hua Ying Ying, Huang Ren Fu semakin jarang bertemu dengan guru dan adiknya. Disengaja atau tidak, Huang Ren Fu lebih sering berkumpul dengan bekas-bekas pengikut keluarga Huang, mengatur urusan mengenai pemulihan kantor keluarga Huang di Wuling, sementara Hua Ng Lau lebih sering bersama Hua Ying Ying dan Tabib Shao Yong. Tabib yang menyandang nama tabib dewa itu tampak kagum dengan kebun obat-obatan milik Tabib Shao Yong, demikian juga usaha toko obat-obatan dan pertabiban Partai Pedang Keadilan yang semakin hari semakin maju. Jika tidak sedang bersama mereka, tentu dia akan ditemukan sedang bersama-sama Bai Chungho dan Xun Siaoma, tiga tokoh tua dari generasi yang sejaman ini makin hari makin akrab bersahabat. Meskipun demikian, tak pernah Huang Ren Fu terlihat muram, seperti hari ini. Pemuda itu justru tampak bersemangat, sahabatnya hendak menikah dengan adiknya, lalu dia akan kembali ke Kota Wuling dan membangun kembali sisa warisan milik keluarganya. Bolak-balik dia berjalan mondar-mandir di salah satu selasar gedung Partai Pedang keadilan di Jiang Ling, sesekali dia celingukan bila mendengar suara orang berjalan mendekati tempat dia berada, lalu bergegas pergi menghilang untuk kemudian kembali beberapa saat kemudian setelah suasana kembali sunyi. Agaknya dia sedang menunggu kedatangan seseorang dan tidak ingin ada orang lain yang melihatnya ada di sana. Siapa gerangan yang sedang ditunggu pemuda ini? Sekali lagi terdengar suara langkah kaki orang, diiringi desir suara gaun bergesekan. Sekali lagi Huang Ren Fu bergegas mengintip siapa yang datang. Kali ini dia tidak pergi menghilang, melainkan berdiri menanti. Gaun sutra berwarna merah muda, bau harum samar-samar tercium, yang datang tentu seorang wanita, apa pemuda ini sedang jatuh cinta? Memang kadang jatuh cinta menyebabkan orang menderita, tidak aneh jika dia bermuram durja. "Yun Hua", bisik Huang Ren Fu terbata-bata saat sosok itu berjalan semakin dekat. Seperti baru sadar bila ada Huang Ren Fu ada di sana, Murong Yun Hua terhenti begitu mendengar suara pemuda itu, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar, setetes air mata jatuh menuruni pipinya sebelum dia cepat-cepat membalikkan badan, hendak pergi dari sana. Huang Ren Fu dengan sigap mendekat dan menangkap lengan nyonya yang cantik itu. "Yun Hua tunggu dulu, marilah kita bicara", bisik pemuda itu dan dengan sedikit memaksa menyeret Yun Hua masuk ke sebuah ruangan tak jauh dari sana, sebelum kemudian menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya dari dalam. Murong Yun Hua tampak lemah dan menurut saja, perlahan terdengar isak tangis tertahan, sambil menghela nafas, Huang Ren Fu mendekap lembut Murong Yun Hua. "Diamlah jangan menangis apa yang terjadi semuanya memang salahku", ujar pemuda itu sambil membelai rambut Murong Yun Hua yang hitam tebal. "Tidak.tidak. jangan kakak berkata demikian" Ujar Murong Yun Hua sambil berusaha membebaskan diri dari pelukan Huang Ren Fu. Namun demikian lemah tenaganya, sehingga tidak lebih hanya menggeser-geserkan tubuhnya pada tubuh pemuda itu saja, tanpa berhasil lepas dari pelukannya. Semakin dia bergerak, semakin Huang Ren Fu mengetatkan pelukannya, semakin pula dia liar bergerak untuk melepaskan diri dan semakin tubuh mereka saling menyentuh. Jantung Huang Ren Fu toba-tiba berdebaran saat dia menyadari apa yang sedang dia rasakan, dengan wajah merah padam dia hendak melepaskan pelukan. Siapa sangka, di saat dia hendak melepaskan Murong Yun Hua, justru nyonya itu akhirnya menyerah dan justru menyandarkan kepalanya di dada Huang Ren Fu sambil menangis tertahan. Sambil menahan nafsu yang sempat menggelora, pemuda itu pun menyediakan dadanya untuk menjadi tempat Murong Yun Hua menangis, melepaskan kesedihannya. Kesedihannya? Ya, memang buat pembaca yang sudah mengenal siapa Murong Yun Hua, akan berkata dengan sinis memikirkan Murong Yun Hua sedang bersedih lalu membiarkan diri tenggelam dalam pelukan Huang Ren Fu. Tapi Huang Ren Fu tidak tahu apa yang kita tahu, pula seorang pemuda yang sedang jatuh cinta, apakah dia bisa menilai dengan benar orang yang dicintainya? Dengan perasaan hancur berderai, Huang Ren Fu membelai-belai rambut Murong Yun Hua dan mengeluarkan kata-kata untuk menghibur nyonya cantik itu. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ketika isak tangis Murong Yun Hua mulai mereda, Huang Ren Fu berkata. "Dengar, memang apa yang kita lakukan tidak bisa dibenarkan tapi jangan menyalahkan dirimu terlampau keras. Saat itu kau sedang bersedih, sedang lemah menghadapi kenyataan tentang diri Ding Tao yang sebenarnya. Harusnya aku yang lebih tenang bisa menahan diri" Murong Yun Hua menggelengkan kepalanya dengan lemah dalam pelukan pemuda itu. "Ya seharusnya aku dapat menahan diri namun aku tak mampu Yun Hua Yun Hua aku mencintai dirimu jika ada yang harus dipersalahkan, maka orang itu adalah aku", keluh Huang Ren Fu. "Kakak benarkah itu? Benarkah apa yang kakak katakan itu?", tiba-tiba Murong Yun Hua bertanya, dengan nada terkejut bercampur bahagia yang tertahan. "Ya benar. Aku mencintaimu, aku menginginkanmu.", jawab Huang Ren Fu dengan lembut namun tegas. Murong Yun Hua mengeluh panjang, untuk sesaat tubuhnya terasa lemas dalam pelukan Huang Ren Fu, kemudian samar- samar terdengar Murong Yun Hua berbisik. "Aku bahagia aku bahagia karena aku pun aku pun mencintaimu" Mendengar bisikan Murong Yun Hua, Huang Ren Fu pun mengendurkan pelukannya, memegang kedua lengan nyonya cantik itu dengan lembut dan menatapnya lurus. "Yun Hua tidak salahkah pendengaranku?" Tersipu malu Murong Yun Hua tak menjawab, sungguh hebat cara dia bersandiwara, wajahnya tampak memerah karena malu, membuang muka tak hendak menjawab sambil tersipu-sipu, dia tampak makin memikat. Dengan lembut Huang Ren Fu yang merasa dadanya membuncah dengan rasa bahagia, menyentuh pipi Murong Yun Hua dan menggerakkan wajah gadis itu agar menatap lurus ke arahnya. Sesaat lamanya pandang mata mereka bertemu, ribuan kata terucapkan dalam keheningan. "Yun Hua, benarkah yang kudengar itu? Benarkah kau mencintaiku, seperti aku mencintaimu?", tanya Huang Ren Fu dengan lembut. Ditanya demikian, makin tersipulah Murong Yun Hua, merasa malu dan tak mampu menatap pemuda itu lebih lama, dia memejamkan matanya dan berusaha melepaskan diri dari pandang mata Huang Ren Fu yang menyelidik. Betapa menggoda apa yang dia lihat saat ini, Huang Ren Fu tanpa ragu dengan sedikit bernafsu, menundukkan wajahnya dan mencium Murong Yun Hua dengan mesra. Murong Yun Hua pun menggeliat berusaha lepas, tapi apa artinya tenaga lemah yang dia gunakan, ketika dibandingkan dengan tenaga pemuda itu? Usaha melepaskan diri yang setengah-seengah itu, hanya membuat darah Huang Ren Fu semakin membara, apalagi ketika tidak berapa lama kemudian, Murong Yun Hua menyerah pasrah, bahkan memberikan tanggapan. Untuk beberapa lama, yang terdengar hanya erangan tertahan, desahan nafas memburu dan desir-desir sutra bergesekan. Berhadapan dengan Ding Tao yang malu-malu dan ragu, dia tampil agresif. Berhadapan dengan Chou Liang, dia tampil tegas dan penuh pertimbangan. Berhadapan dengan Huang Ren Fu yang bersifat terbuka dan penuh percaya diri, dia tampil lemah dan malu-malu. Tidak salah jika ada yang mengatakan, Murong Yun Hua adalah wanita paling memikat di masanya. Di antara desahan dan erangan, terdengar Murong Yun Hua berkata. "Kakak jangan sekarang jangan di sini" Nafas Huang Ren Fu masih memburu, matanya menatap nanar, seluruh tubuhnya menguarkan hawa panas.Baju bagian atasnya sudah terbuka, menggantung di pinggang, dadanya yang bidang dibasahi keringat, meskipun sibuk dengan berbagai urusan tak pernah dia melupakan latihan, terlihat dari otot-ototnya yang terbentuk. Dalam pelukannya ada Murong Yun Hua, tubuh atas nyonya yang cantik ini pun sudah tidak ditutupi sehelai benangpun, nafasnya sama memburu, membuat sepasang bukit yang ranum itu bergerak naik dan turun. "Nanti ada yang menemukan kita", bisik Murong Yun Hua menghapuskan sisa kabut yang masih menutupi pikiran Huang Ren Fu. Nafasnya masih terengah-engah, namun pikirannya sudah jauh lebih jernih, tersipu malu Huang Ren Fu mengendurkan pelukannya. Untuk beberapa lamanya dia diam memandangi wajah cantik yang balik menatapnya dengan mesra itu, deburan jantung di dadanya perlahan mengendap seiring dengan usahanya mengatur nafas dan mengumpulkan semangat. "Maaf", ujarnya sambil melepaskan Murong Yun Hua. "Tidak, tidak ada yang perlu dimaafkan", ujar Murong Yun Hua sambil menundukkan wajahnya dan memperbaiki pakaiannya yang sudah terbuka ke mana-mana, hanya ikat pinggangnya saja yang masih menahannya agar tidak meluncur jatuh ke atas lantai. Huang Ren Fu mengalihkan pandangannya ke arah lain, melihat Murong Yun Hua membenahi pakaiannya tidak kalah menggoda dibandingkan melihat dia melepaskan pakaiannya. Mendesah panjang dia memikirkan keruwetan hubungan asmaranya dengan Murong Yun Hua. Sejak pertemuan mereka yang pertama kali, ketika Murong Yun Hua dan Murong Huolin datang menyambut kedatangan mereka dari kaki Gunung Songshan dia sudah mengagumi nyonyda muda itu. Apalagi ketika dia mendengar dari Hua Ying Ying, bagaimana nyonya muda itu membujuk dia untuk menikahi Ding Tao. Dalam hatinya dia ragu bahwa kejadiannya persis sama seperti yang diceritakan Murong Yun Hua. Dalam hatinya dia yakin bahwa Murong Yun Hua sengaja mengarang cerita itu untuk menutupi kekurangan Ding Tao dan membujuk adiknya untuk menerima cinta Ding Tao. Tentu saja dia tidak mengatakan dugaannya itu pada siapapun. Tapi dari sikap Hua Ng lau, dia menangkap bahwa gurunya pun berpendapat sama, meskipun seperti dia, gurunya itu tidak mengatakan apa-apa. Bagaimana pun juga, sulit buat Huang Ren Fu untuk menyalahkan Ding Tao jika pemuda itu sampai terpikat pada Murong Yun Hua, meskipun pandangannya atas sifat pemuda itu tentu saja mengalami sedikit perubahan, karena jika dihitung- hitung itu artinya Ding Tao sudah berhubungan dengan Murong Yun Hua sebelum pemuda itu mendengar kabar tentang pembantaian di Wuling. Setelah sampai di Jiang Ling, Ding Tao menjadi sibuk dengan persiapannya untuk menghadapi Ren Zuocan, juga kesibukannya sebagai ketua partai dan Wulin Mengzhu yang baru. Tidak seperti saat perjalanan dari kaki Gunung Songshan ke Jiang Ling, kedua sahabat itu hampir-hampir tidak memiliki waktu untuk bertemu. Kemudian mulailah muncul kabar dan cerita tentang Ding Tao yang memperbesar retakan kecil yang baru saja timbul. Kisah-kisah itu utamanya datang dari bekas-bekas pengikut keluarga Huang yang memiliki tempat tersendiri dalam hati Huang Ren Fu. Di lain pihak, dalam berbagai kesempatan yang tidak disengaja, Huang Ren Fu sering bertemu dengan Murong Yun Hua. Awalnya hanya sekedar demi sopan santun mereka bersakap-cakap. Tapi tanpa dia sadari, Huang Ren Fu mulai merindukan pertemuan-pertemuan itu. Murong Yun Hua adalah seorang wanita dengan pengetahuan yang sangat luas, pandangannya terhadap suatu masalah sangat mendalam, terkadang tanpa ragu nyonya muda itu mengambil pendirian yang berbeda dengan umumnya orang, tapi bukannya tanpa dasar, melainkan dengan pemikiran yang kuat. Saat dia mulai menyadari perasaannya pada Murong Yun Hua, perasaannya pada Ding Tao mulai getir oleh berbagai kabar yang dia dengar. Di saat-saat seperti itulah, tiba-tiba Guang Yong Kwang menemui dia dan datang kabar yang menjungkir balikkan pendapatnya tentang Ding Tao. Guang Yong Kwang memberikan kabar bahwa Shao Wang Gui yang ditahan di Shaolin memberikan pengakuan bahwa Ding Tao adalah satu di antara lima orang yang memimpin penyerbuan Wuling. "Pengakuan iblis kecil itu memang bisa jadi benar, bisa jadi salah, aku sendiri ragu apakah harus menyampaikan hal ini kepadamu atau tidak. Tapi mengingat adikmu hendak menikah dengannya, akhirnya aku memberanikan diri untuk menyampaikan kabar ini padamu.", demikian kata Guang Yong Kwang saat itu. Huang Ren Fu tidak lah mudah menerima berita begitu saja, meskipun dadanya bergemuruh, karena memang benih-benih itu sudah tertanam, tapi di luar dia tetap tenang. "Hmm terima kasih ketua sudah banyak memikirkan tentang keluarga kami, tapi seperti yang ketua katakan, ucapan iblis itu tidak bisa dijadikan pegangan yang kuat. Bisa jadi dia sengaja berucap demikian karena merasa sakit hati atas kekalahannya di kaki Gunung Songshan. Atau ada orang-orang yang tidak puas dengan hasil pemilihan itu yang mendorong dia untuk membuat pengakuan seperti itu." Merasa tersindir wajah Guang Yong Kwang sedikit memerah, namun demi berjalannya rencana, dia menahan diri dan tetap bersikap sopan. "Aku mengerti, aku mengerti, aku pun merasa berita ini tentu sulit diterima, tapi di lain pihak aku juga merasa berkewajiban untuk menyampaikan berita ini pada Saudara Huang Ren Fu sebagai satu-satunya pewaris sah Keluarga Huang." Percakapan mereka singkat saja, setelah Guang Yong Kwang berpamitan, Huang Ren Fu pun segera pergi ke ruang latihan dan menumpahkan segala kegalauan hatinya di sana. Dengan hati panas dan keringat bercucuran, pemuda itu berusaha merunutkan setiap kabar yang dia dengar tentang Ding Tao hingga hari ini. Dalam hatinya yang terdalam, ada pertentangan batin yang sangat hebat. Di satu sisi ada bagian dari dirinya yang masih mengingat sifat-sifat Ding Tao yang pernah dia kenal dan menolak kemungkinan yang dikatakan Guang Yong Kwang. Di sisi lain ada bagian dari dirinya yang justru berharap, Ding Tao adalah si jahat dalam kisah ini, dan dia akan menjadi pahlawan yang membunuh naga dan membebaskan sang puteri. Tak ada yang tahu, isi pergolakan dalam dada pemuda itu, berkutat dengan apa yang dia ketahui dari berbagai pihak, mulailah dia berusaha memilah dan menyusun kembali segala apa yang dia ketahui mengenai Ding Tao dan kejadian di Wuling. Satu titik penting adalah apa yang terjadi setelah Ding Tao melarikan diri dari kediaman keluarga Huang. Jika benar cerita Ding Tao, bahwa dia menghabiskan waktu beberapa bulan setelah pertemuannya dengan Murong Yun Hua untuk menyembuhkan diri, maka tidak mungkin dia terlibat dalam pembantaian keluarga Huang di Wuling. Namun apakah benar cerita Ding Tao itu? Satu-satunya saksi yang menguatkan kisah Ding Tao adalah Ma Songquan dan Chu Linhe, namun dari Li Yanmao dan Tang Xiong, Huang Ren Fu mendapatkan informasi bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah tokoh sesat dunia hitam, sepasang iblis muka giok, bisakah kesaksian mereka dipercaya? Kedekatan mereka dengan Ding Tao justru mengukuhkan kecurigaan Huang Ren Fu, namun pemuda itu bukan orang yang dengan mudah mengambil kesimpulan, tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam. Dan Huang Ren Fu memiliki banyak kesempatan untuk itu, hubungannya dengan Murong Yunhua semakin akrab. Tidak jarang mereka hanya berduaan dan bercakap-cakap untuk waktu yang lama. Meskipun demikian, ada keraguan dalam hati Huang Ren Fu untuk menanyakan apa yang ingin dia tanyakan. Sesungguhnya Huang Ren Fu adalah seorang pemuda yang memiliki kelembutan hati, lepas dari keinginannya untuk memiliki Murong Yun Hua, lepas dari kecurigaannya pada Ding Tao, ada rasa tak tega untuk merusak kebahagiaan mereka, seandainya benar Ding Tao tersangkut dengan pembantaian keluarga Huang di Wuling. Peperangan batin yang begitu hebat terjadi di balik penampilannya yang selalu tenang dan ceria, di luar sadarnya, yang sedang bertarung bukan hanya keinginan dan nilai-nilai dalam dirinya. Murong Yun Hua pun dengan kecerdikannya sedang memintal jaring-jaring halus untuk memerangkap dirinya. Dengan lembut mengarahkan Huang Ren Fu pada jalan yang dia kehendaki. Seperti seorang pengail yang dengan sabar, mempermainkan umpan atau menarik ulur kailnya, perlahan namun pasti ikan gemuk itu pun masuk ke dalam perangkap. Pemenang dalam peperangan batin Huang Ren Fu pun pada akhirnya diputuskan. Hari itu untuk ke sekian kalinya Huang Ren Fu dan Murong Yun Hua mendapatkan kesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja. Benak Huang Ren Fu sudah mantap dengan apa yang hendak dia lakukan, pemuda itu sudah terlalu lelah, terombang-ambing dengan segala pertentangan batin yang dia hadapi. Dia ingin mendapatkan kepastian, dia ingin mendapatkan kejelasan. Setelah berbasa-basi beberapa saat, Huang Ren Fu pun mulai bertanya-tanya. "Adik Yun Hua, sebenarnyaaku selalu penasaran, bagaimana awalnya kau bisa bertemu dengan Ding Tao?" Murong Yun Hua pun dengan sedikit tersipu, bercerita bagaimana dia dan adiknya melihat Ding Tao yang sedang terluka, dikejar-kejar oleh sepasang iblis muka giok. "Oh begitu, kapankah kejadian itu terjadi?", tanya Huang Ren Fu lagi. Murong Yun Hua tampak menjebikan bibirnya yang mungil, mencoba mengingat-ingat kapan tepatnya dia bertemu Ding Tao, tanggal sekian dan bulan sekian, demikianlah jawabnya. Di luaran Huang Ren Fu tidak terlihat tegang, tapi jika mata orang cukup awas akan terlihat tangannya bergetar. Pura-pura menghirup arak, Huang Ren Fu berusaha mengatur perasaannya. Ketika dia kembali bertanya, suaranya sudah terdengar wajar. "Ah demikian rupanya. Ding Tao berkata dia berhutang budi pada kalian berdua, karena berkat kalian berdualah luka dalamnya bisa disembuhkan. Sebenarnya apa yang terjadi?" "Ah tidak ada hal hebat apa yang kami lakukan. Kebetulan koleksi buku keluarga Murong sangatlah banyak dan bervariasi, termasuk di dalamnya mengenai obat-obatan, di salah satu buku kami menemukan cara pengobatan terhadap luka dalam Kakak Ding Tao.", jawab Murong Yun Hua. "Ohh begitu, tapi luka Ding Tao begitu berat, tentu kalian berdua harus bekerja keras untuk menyembuhkannya.", ujar Huang Ren Fu sambil menuangkan arak untuk Murong Yun Hua. Arak terus mengalir, membuat kata-katanya lebih mudah mengalir, demikian pikir Huang Ren Fu dan demikianlah sepertinya yang terjadi. Kata-kata keluar dari bibir mungil Murong Yun Hua seperti air mengalir. Hanya sayang, aliran air ini membawa racun yang memahitkan hati Huang Ren Fu. "Hihihi, tidak juga, kalau sudah tahu caranya, luka itu pun mudah disembuhkan. Kami tinggal membeli ramuan yang sesuai seperti yang tertera dalam buku itu. Tidak sampai hitungan minggu, luka Kak Ding Tao sudah sembuh.", jawab Murong Yun Hua ceria. Kali ini butuh waktu lebih lama bagi Huang Ren Fu untuk meredakan ketegangan perasaannya, karena berdasarkan pengakuan Murong Yun Hua, itu artinya ada banyak waktu antara setelah Ding Tao sembuh dari lukanya dan sebelum terjadinya penyerbuan di Wuling. Hal ini berbeda dengan kisah Ding Tao, seperti yang kita ketahui, setelah menyembuhkan lukanya dan menguasai isi kitab tenaga inti bumi, hanya beberapa hari dia lewatkan di kediaman Murong Yun Hua untuk kemudian bergegas pergi ke Wuling. Di tengah perjalanan barulah dia mendengar tentang apa yang terjadi di Wuling. Perbedaan waktu yang mencolok ini tentu saja besar sekali artinya. Berapa cangkir arak pun mengalir lewat tenggorokannya, sementara Murong Yun Hua dengan senyum tak berdosa mengiringi, secawan demi secawan. "Ah tentu Ding Tao merasa sungkan untuk tetap tinggal di tempat kalian setelah lukanya pulih.", ujar Huang Ren Fu melanjutkan. "Ya, tapi ingat, di luar sana masih ada orang-orang seperti sepasang iblis muka giok yang mengincar dirinya, tapi seperti yang sudah kukatakan, kumpulan buku keluarga Murong sangatlah banyak. Bukan hanya ilmu pengobatan, ilmu silat pun banyak ada di sana. Adikku Huolin suka mempelajarinya namun bakatnya jauh di bawah Ding Tao, itu sebabnya dia sangat merasa kagum melihat bakat Ding Tao yang cepat sekali memahami setiap kitab yang dia baca.", ujar Murong Yun Hua panjang lebar. Sebuah ingatan melintas di benak Huang Ren Fu, Ding Tao memang berbakat, tapi pemuda itu membutuhkan belasan tahun untuk mematangkan ilmu keluarga Huang, dari mana sekarang Murong Yun Hua bisa mengatakan, Ding Tao mampu melahap habis berbagai macam kitab dalam waktu singkat? "Wah, tak kusangka Ding Tao demikian berbakat", puji Huang Ren Fu. Wanita mana yang tak suka suaminya dipuji, Murong Yun Hua pun tampaknya demikian, setidaknya itu yang diperlihatkan dan dilihat oleh Huang Ren Fu. Dada Huang Ren Fu di luar maunya merasa sesak oleh cemburu. Tanpa ragu Murong Yun Hua mulai bercerita panjang lebar, sesekali terlihat Murong Yun Hua mengerutkan alis mengingat- ingat apa yang tepatnya terjadi saat itu. "Awalnya tidak demikian, ya seingatku bukan dari awal seperti itu. Hmm sepertinya Kak Ding Tao menemukan satu kitab ilmu, entah apa, yang pasti setelah dia meyakinkan isi kitab itu, tiba-tiba kemampuan belajarnya meningkat dengan pesat." Mendengar itu, tentu saja kecurigaan Huang Ren Fu semakin kuat, apalagi temuan gurunya tentang obat perebut sukma beberapa waktu yang lalu, mengindikasikan efek yang serupa. Apakah Ding Tao sudah terjerat dalam kekuasaan seseorang? Jika benar demikian, siapa orang itu? Apakah Ren Zuocan? Tapi Murong Yun Hua mengatakan, perubahan itu terjadi setelah Ding Tao mempelajari satu kitab tertentu. Mungkin dia salah, mungkin sebuah ilmu yang memberikan efek serupa obat temuan gurunya. Atau jangan-jangan di dalam kitab yang dipelajari itu, tertulis cara untuk membuat ramuan obat tersebut. Berbagai kemungkinan berkelebatan dalam benak Huang Ren Fu. "Itu kitab yang sangat menarik, bolehkah aku meminjamnya?", tanya Huang Ren Fu dengan ringan. "Tentu saja", jawab Murong Yun Hua dengan bersahabat, namun sejurus kemudian dia mengerutkan alis dan berkata pula, "Hmm selama ini aku yang selalu membereskan dan memelihara setiap kitab-kitab itu, namun baru sekarang aku ingat, sejak Kak Ding Tao membacanya, tak pernah lagi aku melihat kitab itu di antara kitab-kitab yang lain. Mungkin Kak Ding Tao yang menyimpannya" "Ah, kalau begitu sepertinya kitab itu tentu sangat penting untuk Ding Tao, biarlah aku tak usah meminjamnya. Apa Adik Yun Hua sendiri sama sekali tidak memiliki bayangan, apa isi kitab itu?", sahut Huang Ren Fu. Murong Yun Hua tertawa geli. "Tidak, setahuku kitab itu, sebuah kitab tidak keruan yang dibawa ayahku, di dalamnya bercampur baur antara ilmu obat-obatan, perbintangan dan segala macam lainnya. Pernah sekilas kubaca, namun tidak tertarik untuk membacanya lebih lanjut, karena kebanyakan isinya ngawur dan tidak jelas." "Hahaha, ya, kukira Ding Tao memiliki ketelitian melebihi kebanyakan orang. Jadi setelah sembuh dari lukanya, dia menghabiskan waktu beberapa bulan di kediaman keluarga Murong sambil memperdalam ilmunya?", tanya Huang Ren Fu tidak sabar ingin menegaskan kecurigaannya. "Tidak, beberapa kali dia pergi dan kembali. Pernah satu kali dia pergi cukup lama, hampir seminggu lamanya.", jawab Murong Yun Hua dengan alis berkerut dan nada suara berhati-hati. Setelah beberapa lama menunggu dan tidak ada reaksi dari Huang Ren Fu, Murong Yun Hua pun bertanya. "Saudara Ren Fu, sebenarnya ada apakah? Aku merasa pertanyaan-pertanyaan barusan, bukanlah pertanyaan biasa apakah apakah ada sesuatu dengan Kak Ding Tao?" Wajah Huang Ren Fu sudah merah padam, senyum yang tadinya masih bisa dipaksakan sudah lama tak muncul di wajahnya. Entah sudah berapa cangkir arak masuk ke dalam perutnya, berusaha menenangkan hati dan memunculkan kembali senyum di wajahnya. Tapi semakin banyak arak yang dia minum, semakin gelap hatinya. Jika tadi otaknya masih bisa diajak berpikir, memikirkan pembelaan bagi Ding Tao, sekarang pikirannya sudah gelap, semakin lama semakin yakin bahwa Ding Tao sudah mempermainkan perasaan adik satu-satunya, mengkhianati keluarganya dan ikut seta dalam membantai habis seluruh keluarganya. Tidak lagi ada ingatan tentang sifat-sifat Ding Tao yang baik. Justru sekarang Huang Ren Fu semakin yakin bahwa tentu semua itu hanyalah sandiwara belaka. Berusaha merebut hati adiknya, berambisi untuk mendapatkan kedudukan dalam keluarga Huang. Sayang datangnya Wang Chen Jin mengganggu rencana Ding Tao, tapi di saat yang sama dia mendapatkan pedang angin berbisik. Tidak puas dengan pedang itu, setelah beberapa tahun lewat, dia kembali berusaha mendekati Huang Ying Ying. Siapa sangka pedang itu justru menjadi penghalang. Dalam pelarian, kembali Ding Tao melihat kesempatan kali ini pilihannya jatuh pada keluarga Murong. Demikianlah segala kisah yang membusukkan Ding Tao mulai terangkai dalam benak Huang Ren Fu. Betapa mudah memang pikiran kita melakonkan suatu cerita, tidak gampang untuk memahami sesuatu secara terang, perasaan hati tentu berpengaruh pada apa yang kita pikirkan. Itu sebabnya perasaan rendah diri sama buruknya dengan tinggi hati. Orang yang rendah diri akan merasa tawa orang sebagai tawa menghina. Jika melihat orang sedang berkumpul bercakap-cakap, dalam hati kemudian berpikir, jangan-jangan membicarakan keburukanku. Begitu juga dengan hati yang kotor juga cenderung melihat orang lain sesuai dengan kekotoran hatinya. Jika ada orang bekerja dengan jujur dan rajin, dikatakannya sedang mencari muka. Jika orang menolak suap, dianggapnya pengecut dan munafik. Melihat wanita tersenyum dianggapnya menggoda. Jadi siapa yang sebenarnya jadi tuan, hati atau pikiran? Lepas dari itu semua, Murong Yun Hua yang melihat wajah Huang Ren Fu semakin gelap, bertanya dengan nada takut. "Kak Ren Fu, apakah aku ada salah bicara?" Emosi melonjak tak tertahankan, cawan arak yang ada di tangan pun pecah berkeping-keping, dengan nada tinggi dia berkata pada Murong Yun Hua, sembari berdiri dan menunjuk-nunjuk nyonya muda itu. "Apa yang salah katamu! Butakah matamu?! Sudah tumpulkah otakmu!? Bukankah suamimu yang kau puja dan banggakan itu adalah penjahat paling keji ?!! Wanita bodoh, apakah kau begitu hausnya laki-laki, hingga otakmu tidak bisa bekerja lagi?!" Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pucat pasi wajah Murong Yun Hua dimaki-maki demikian, terhuyung dia bangkit berdiri dan mundur menjauh dari Huang Ren Fu. "Kak Ren Fu, sadarlah, apa maksudmu? Apa maksudmu?" Melihat Murong Yun Hua ketakutan, bukannya reda kemarahan dalam hati Huang Ren Fu, justru kemarahannya makin menggelora, dia pun maju mendesak Murong Yun Hua dan berkata. "Pikirkan lagi, laki-laki jujur mana yang akan menggoda dan meniduri seorang wanita, sementara dia sudah memiliki kekasih hati yang menunggu kedatangannya? Pikirkan, wanita macam apa yang selalu dia dekati? Wanita dengan kekayaan yang tidak dia miliki." "Tidak tidak engkau salah", ujar Murong Yun Hua dengan suara bergetar. "Salah? Ketika dia pergi dari kediamanmu, bukankah dia sedang mengumpulkan kawan-kawannya dan kemudian pergi untuk membantai habis keluargaku? Katanya dia menderita luka berat selama berbulan-bulan, sehingga tak seorangpun mencurigai dirinya, nyatanya sesuai jawabmu, lukanya sembuh dalam waktu yang lebih singkat.", ujar Huang Ren Fu dengan memburu. "Tidak mungkin tidak mungkin", ujar Murong Yun Hua dengan air mata berlinangan, punggungnya membentur dinding dan tak bisa lari lagi. "Tidak mungkin? Apa masih kurang bukti lagi? Kau bilang sepasang iblis muka giok mengejar-ngejarnya, jika demikian kenapa sekarang sepasang iblis itu justru bekerja untuk dirinya? Bukankah itu artinya pengejaran itu hanya sandiwara saja, sandiwara untuk menipu dua orang wanita bodoh yang haus cinta!", bentak Huang Ren Fu sambil mendesak Murong Yun Hua hingga tak bisa bergerak, wajahnya hanya beberapa cun jauhnya dari wajah Murong Yun Hua, kedua tangannya memegang tembok, di kiri dan kanan Murong Yun Hua. Dengan wajah sudah penuh air mata, Murong Yun Hua menangis tersedu sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah, "Tidak kau bohong siapa sepasang iblis itu? Tak ada " "Hehh, kau memang benar-benar buta, tidak tahukah kau bahwa Ma Songquan dan Chu Linhe adalah sepasang iblis muka giok yang sedang menyamar?", jawab Huang Ren Fu sambil tertawa sinis. Tak lagi bisa menjawab, Murong Yun Hua hanya bisa menangis sesenggukan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh mengenaskan keadaan Murong Yun Hua saat ini. Sementara kemarahan Huang Ren Fu mulai mereda, namun dalam keadaan begitu dekat dengan Murong Yun Hua, satu perasaan yang berbeda mulai muncul dari dalam hatinya. Sama panasnya dengan kemarahan yang mulai mereda, api nafsu perlahan mulai membakar hati pemuda itu. Di saat itu, tiba-tiba Murong Yun Hua melorotkan tubuhnya, dan berusaha menyelinap lari dari bawah tangan Huang Ren Fu. Kemarahann yang mulai mereda, tiba-tiba kembali mengglora, secara refleks tangan Huang Ren Fu bergerak hendak menangkap, tapi yang terpegang adalah baju Murong Yun Hua di bagian pundak. Yang satu meronta lepas, yang satu menarik dengan kasar, baju Murong Yun Hua terbuat dari kain sutra yang halus dan mahal, dengan suara keras baju Murong Yun Hua pun terobek lepas. Murong Yun Hua terjatuh dengan bagian atas tubuhnya tersibak bebas, dengan sia-sia tangannya berusaha menutupi dadanya yang terbuka, bukannya berhasil menutupi justru membuat dadanya yang montok seperti meronta keluar di sela- sela jari tangan dan lengannya yang bersilang menutupi dada. Api membakar Huang Ren Fu, dibantu dengan arak yang sudah bekerja sejak tadi, api nafsu pun membakar habis, menghabiskan seluruh sisa pikiran sehat dan sopan santunnya. Apa yang terjadi hari itu bisa dibayangkan sendiri oleh pembaca. Ketika api sudah puas membakar, yang tersisa hanyalah penyesalan. Hari-hari penuh penderitaan, didera perasaan berdosa tapi juga rindu, antara ingin bertemu dengan rasa malu untuk bertemu. Sejak hari itu, baru hari inilah keduanya kembali bertemu. ------- o ------- Murong Yun Hua sudah selesai membenahi pakaiannya, perlahan dia menyentuh lengan Huang Ren Fu, menyadarkan pemuda itu dari lamunannya. "Dengar Ding Tao sudah mempermainkan kita semua. Tapi lebih dari itu, kekuasaan seorang Wulin Mengzhu tidak boleh berada di tangan orang seperti dia. Demi kebaikan banyak orang, kita tidak boleh ragu. Orang mungkin akan menilai sinis kita berdua, mempertanyakan motivasi kita", ujar Murong Yun Hua dengan suara sedikit bergetar. Kemudian dia pun menjatuhkan diri dalam pelukan Huang Ren Fu, dengan sendu dia memohon. Badik Buntung Karya Gkh Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Si Rase Hitam Karya Chin Yung