Pedang Angin Berbisik 41
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 41
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Setelah sekian lama diceritakan, rasanya para pembaca sudah bisa menduga dengan sendirinya apa yang barusan terjadi. Seharusnya penulis tidak perlu menceritakan lebih panjang, tapi mungkin karena dia mengejar setoran, harus menulis sekian ribu kata, ditulisnya juga penjelasannya. Segera setelah pedang Ding Tao menyambar, persis seperti yang dia harapkan, mata pedangnya berhasil merobek jubah luar dan baju bagian atas dari Ximen Lisi tanpa mengenai tubuh Ximen Lisi. Pameran ketepatan ini sendiri, sungguh mengagumkan, meskipun jika Ding Tao ditanya maka dia akan menjawab dengan jujur bahwa 7 dari 8 bagian hal itu terjadi karena keberuntungan saja dan bukan murni berdasarkan kemampuan. Harusnya selesai sampai di situ, tapi cerita tidak berhenti di sana, dalam waktu yang sekejapan itu helai baju yang terkoyak menunjukkan bagian dada Ximen Lisi dan membongkar rahasianya. Kejut dan malu, Ximen Lisi pun berteriak, lupa sudah dengan pedang dan pertarungan, yang teringat hanyalah secepat mungkin menangkap jubah luar yang terkoyak dan menutupkannya ke bagian dada yang sempat sekilas terbuka. Tapi sampai di sini tentu belum menjawab, mengapa pula Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun ikut berteriak kaget dan mereka berdua susul menyusul melompat ke atas panggung. Dari sapaan Zhu jiuzhen, bisa kita simpulkan pendekar muda ini sudah mengetahui rahasia Ximen Lisi dan nama asli Ximen Lisi adalah Shu Lin, entah apa nama marganya. Untuk lebih jelasnya ada baiknya, beberapa puluh kata yang dibuang percuma oleh penulis dihentikan dulu sampai di sini. Setelah mendengar Ding Tao meminta maaf, wajah Ximen Lisi atau Nona Shu Lin ini pun dengan cepat melunak, sekarang wajahnya tidak segarang tadi. Sekarang dia menundukkan wajahnya yang bersemu merah dan pendekar tertampan di propinsi Shanxi ini pun jadi makin terlihat tampan, atau lebih tepatnya terlihat cantik. Tubuhnya terhitung tinggi bagi ukuran seorang gadis, tadinya jubah luar yang dia kenakan mengesankan tubuh yang kekar di balik jubah itu, tapi sekarang saat tangannya menarik jubah itu kuat-kuat untuk menutupi dadanya, barulah terlihat, mungkin benar terhitung kekar bagi ukuran seorang gadis, tapi lekak-lekuk tubuh seorang gadis tidaklah hilang oleh karenanya. Justru di bagian yang harusnya menonjol maka benar-benar menonjol dan di bagian yang rata, benar-benar rata, dengan lekukan yang menggoda. Meskipun terkesan kelaki-lakian, ada pula daya tarik sendiri yang muncul dari nona yang gagah ini. Zhu Jiuzhen yang tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, mengulangi lagi pertanyaannya itu. "Shu Lin apa kau baik-baik saja?" Mendengar pertanyaan Zhu Jiuzhen, Ximen Lisi atau Shu Lin mengangkat wajahnya dan menyemprot pemuda itu dengan keras. "Kenapa juga masih tanya-tanya!? Memangnya matamu itu buta? Tidak bisa melihat? Atau saat ini aku sedang tertelungkup bersimbah darah? Pakai matamu, menurutmu aku baik-baik saja atau tidak?" Merah padam sudah wajah Zhu Jiuzhen disemprot oleh Ximen Lisi disaksikan oleh hampir seluruh tokoh dunia persilatan yang hidup di masa itu. Meski demikian pemuda itu tidak berubah menjadi marah pada Ximen Lisi atau Shu Lin, kemarahannya justru dialihkan pada Ding Tao yang berdiri serba salah, tidak tahu harus berbuat apa karena keadaan tiba- tiba mengarah pada situasi yang tidak pernah dia bayangkan. Sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajah Ding Tao, Zhu Jiuzhen menanyainya dengan keras. "Ketua Ding Tao, seorang laki- laki yang terhormat, mengapa berbuat demikian rupa? Mempermalukan seorang gadis di hadapan sekian banyak orang. Sekarang apa yang hendak ketua lakukan? Bagaimana tanggung jawab ketua pada Nona Shu Lin?" Wajah Ding Tao jadi ikut memerah, bagaimanapun juga dia merasa bersalah juga dalam hal ini, dengan sedikit terbata dia pun menjawab. "Tentang hal itu tentang hal itu sekali lagi aku katakan, adalah bukan kesengajaan" Belum selesai Ding Tao berbicara Ximen Lisi sudah menyergah Zhu Jiuzhen. "Hei apa kau marah karena perkataanku? Kalau memang marah, labrak saja aku? Mengapa juga kau menyalahkan orang yang tidak bersalah?" Ah apa mau dikata, maksud Zhu Jiuzhen maju membela Ximen Lisi, tapi Ximen Lisi yang dibela justru membela Ding Tao yang menurut Zhu Jiuzhen sudah mempermalukan Ximen Lisi. Pemuda itu pun tergagao dan tidak bisa menjawab. Melihat keadaan Zhu Jiuzhen mau tidak mau Ding Tao pun merasa kasihan. Dia bisa merasakan perasaan pemuda itu, seandainya dia yang ada di posisinya, entah seperti apa wajahnya saat ini. Lu Jingyun yang sepertinya lega karena Zhu Jiuzhen tidak sampai bentrok dengan Ding Tao, menggamit tangan Zhu Jiuzhen. "Sudahlah Saudara Jiuzhen, lupakan saja masalah ini, bukankah tentang keberadaan Shu Lin sebagai seorang wanita memang tidak ada seorangpun yang tahu? Kau tidak bisa menyalahkan Ketua Ding Tao atas apa yang terjadi kali ini.", ujar Lu Jingyun berusaha mendamaikan suasana hati Zhu Jiuzhen. Ding Tao yang ikut bersimpati dengan cepat merangkapkan tangan dan sedikit membungkuk pada Zhu Jiuzhen. "Saudara Zhu Jiuzhen, aku sungguh minta maaf atas apa yang terjadi barusan. Kukira Nona Shu Lin tentunya adalah sahabat dekat Saudara Zhu Jiuzhen, atas apa yang terjadi atas dirinya, aku dengan setulus hati memohon maaf pada kalian berdua." Lu Jingyun mengangguk puas dengan sikap rendah hati Ding Tao, sementara Zhu Jiuzhen menganggukkan kepala menerima maaf Ding Tao, sambil menggumamkan beberapa patah kata maaf. Setelah disergah dari berbagai jurusan, kemudian dia mendapatkan tanggapan yang simpatik dan rendah hati dari Ding Tao, membuat emosi sesaat yang menggelapkan pertimbangannya hilang pada saat itu juga. Dengan penuh rasa syukur Lu Jingyun menepuk-nepuk bahu Zhu Jiuzhen, sepertinya semua sudah beres. Tiba-tiba Ximen Lisi memelototi Ding Tao dan bertanya. "Eh, mengapa juga kau malah meminta maaf padanya? Sudah jelas dia yang bersalah dalam hal ini, kau meminta maaf padanya kan justru membuatku seperti orang yang bersalah, karena sudah mengingatkan dia?" "Eh...? Ah tentu saja bukan seperti itu maksudnya. Nona Shu Lin, kuharap kau mengerti, biarlah urusan ini disudahi sampai di sini.", ujar Ding Tao tergagap. Sebelum Shu Lin atau Ximen Lisi bicara lebih panjang, di luar tahu mereka sudah hadir di atas panggung, Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, Tetua Xun Siaoma, Bhiksuni Huan Feng, Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang. Wajah dua orang yang terakhir, kurang sedap dipandang, tapi toh mereka bukan orang yang mudah ditebak perasaannya. Bhiksu Khongzhen dengan wajah ramah dan senyum lebar menepuk pundak Ding Tao, sebelum kemudian menoleh ke arah Ximen Lisi. "Ah rupanya Ketua Ximen Lisi yang terkenal dari Shanxi adalah seorang gadis muda belia lagi jelita. Benar-benar sebuah kejutan, kuharap nona bisa memaafkan kesalahan sikap beberapa orang muda ini. Jika tidak keberatan, biarlah persoalan di antara kalian bisa diselesaikan secara pribadi setelah semuanya selesai. Bagaimana menurut nona?", ujar Bhiksu Khongzhen dengan ramah. Bahkan Ximen Lisi yang tidak punya rasa takut inipun masih merasa segan pada ketua Shaolin yang berilmu tinggi namun rendah hati ini. "Maafkan sikapku, memang benar aku menyembunyikan identitasku yang sesungguhnya, bahkan para pengikutku pun hanya sedikit yang tahu. Nama siauwtee yang sebenarnya adalah Wang Shu Lin.", jawab Ximen Lisi atau Wang Shu Lin dengan sopan. "Wang Shu Lin apakah puteri dari Pelajar berbudi Wang Yang Hong?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan pandang tertarik. Dengan hormat Wang Shu Lin menjawab. "Benar Bhiksu" "Ah rupanya begitu, apakah Adik Khongti baik-baik saja?", tanya Bhiksu Khongzhen setelah terdiam sejenak, di sisinya Pendeta Chongxan ikut mendengarkan dengan penuh perhatian. Demikian juga ke-4 ketua perguruan besar yang lain, ikut memperhatikan Wang Shu Lin dengan penuh perhatian. Wang Shu Lin memandang ke arah wajah Bhiksu Khongzhen dengan pandang mata penuh selidik, kemudian setelah diam beberapa lama dia pun menjawab. "Keadaan Paman Khongti sangat baik adanya, demikian juga dengan kelima paman yang lainnya, mereka sekarang menikmati kehidupan yang damai dan tenang di suatu desa kecil, hidup sederhana sebagai peternak dan petani. Jika tidak sedang bekerja, maka mereka akan bermain catur atau membaca-baca tulisan dari para guru besar yang hidup di masa lampau. Memikirkan masalah agama dan bukan masalah dunia.", demikian jawab Wang Shu Lin. Wajah Bhiksu Khongzhen tampak lega, demikian pula wajah Pendeta Chongxan dan Bhiksuni Huan Feng. Tetua Xun Siaoma tampak merenung sejenak, kemudian menganggukkan kepala dan menghela nafas, seperti seorang ayah yang merelakan anaknya pergi memilih jalan sendiri. Beda dengan Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang, mereka berdua tampak kurang puas dengan jawaban Wang Shu Lin, hanya saja memandang masalah itu sebagai masalah yang tidak cukup penting untuk mereka pikirkan. Dengan sedikit ketus Zhong Weixia bertanya pada Wang Shu Lin. "Dari Pang Boxi, apa saja yang kau pelajari?" Wang Shu Lin menatapnya dengan rasa tidak suka dan menjawab. "Dari Paman Pang Boxi aku hanya mendapat sedikit petunjuk tentang bagaimana memainkan sepasang kapak dan sebilah pedang berkait. Menurutnya, kemungkinan besar pada generasi yang berikut tentu Ketua Zhong Wei Xia akan terpilih menjadi Ketua Khongtong dan dirinya merasa segan untuk mengajariku lebih oleh sebab orang itu." Zhong Weixia menyeringai kejam dan berkata. "Baguslah dia mengerti diriku dengan baik, kepadamu aku peringatkan baik- baik, jika sampai aku mendapatimu berkelahi dengan menggunakan salah satu ilmu simpanan Perguruan Khongtong, bukan hanya dirimu yang kukejar, Pang Boxi yang murtad itu pun jangan harap bisa hidup lebih lama." Wang Shu Lin dengan benci memandangi Zhong Wei Xia kemudian menjawab dengan hormat. "Perkataan Ketua Zhong Weixia akan kuingat baik-baik." "Bagaimana dengan Paman Chen Taijiang?", tiba-tiba Guang Yong Kwang bertanya pula. Dengan pandang mata yang berapi-api, Wang Shu Lin menatap tajam Guang Yong Kwang dan dengan jawaban yang tidak kalah hormat dia menjawab. "Paman Chen Taijiang mengajariku berbagai wejangan Guru besar Lao Tze. Diajarkannya pula pergerakan bintang-bintang dan benda-benda di angkasa. Juga tentang lima unsur dalam dunia serta hubungannnya. Selain itu tidak ada hal lain yang dia ajarkan." Guang Yong Kwang bukannya tidak menangkap nada sinis dalam sikap Wang Shu Lin yang sopan, bahkan sopan secara berlebihan, tapi dengan tetap menjaga sikapnya sebagai seorang ketua dia pun menjawab dengan tidak kalah sopannya, "Syukurlah kalau Paman Chen Taijiang hidup dengan damai. Baguslah kalau di mana pun dia berada, dia selalu ingat akan aturan dari perguruan yang membesarkan dia." Pendeta Chongxan menunggu suasana sedikit mereda sebelum kemudian berkata dengan lemah lembut pada Wang Shulin, "Keponakanku, jika kau sempat bertemu dengan adikku, Paman Zhu Yanyan, katakanlah padanya, banyak saudara di Wudang yang rindu ingin bertemu. Jika dia mau datang, tentu kita akan siapkan pesta perayaan yang ramai. Jika dia ingin datang bersama sahabat yang lain, kami dari Wudang akan menerima dengan senang hati dan akan kami anggap seperti saudara sendiri." Berhadapan dengan Pendeta Chongxan, berbeda lagi sikap Wang Shulin, dengan sedikit sendu dia menjawab. "Paman Zhu Yanyan sering bercerita tentang anda dan paman-paman di Wudang. Jika sedang rindu pada saudara-saudara yang di Wudang, seringkali beliau meminum arak sendirian sambil bermain pedang. Tapi sebelum aku pergi, beliau berpesan, bahwasannya beliau tidak ingin menyusahkan kalian semua. Biarlah segala perasaan cukup disimpan dalam hati. Asalkan ada saling mengerti dan percaya." Pendeta Chongxan pun terdiam beberapa lama sebelum mendesah dan bertanya. "Apakah keponakan masih sering berjumpa dengan ke-enam paman?" Terhadap pertanyaan itu Wang Shu Lin menggeleng dengan sedih. "Segera setelah tamat belajar, ke-enam paman pergi menghilang. Hanya sekali mereka mengirim surat, sekedar memberitahukan bahwa keadaan mereka baik-baik adanya. Agar keponakan tidak perlu banyak berkuatir tentang keadaan mereka. Asalkan keponakan dengan tekun melaksanakan kewajiban sebagai seorang anak terhadap orang tuanya, sebagai seorang murid pada gurunya. Tentu mereka yang mendengar kabar tentang keponakan akan merasa berbahagia." Tetua Xun Siaoma yang sedari tadi diam mendengarkan ikut pula berkata. "Anak Shu Lin, peristiwa menghilangnya keluargamu dalam sebuah perjalanan, bersamaan pula dengan hilangnya enam sahabat pengikat perguruan besar, apakah ada hubungannya dengan gerakanmu menghajar habis 16 orang kepala geng di Shanxi?" Wang Shu Lin memandang sejenak wajah Xun Siaoma dan tidak mendapati sikap bermusuhan seperti yang ada pada Zhong Weixia atau Guang Yong Kwang, tapi sikap bersahabat yang sama seperti pada wajah Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan dan juga Bhiksuni Huan Feng. Melihat itu diapun tersenyum ramah. "Benar sekali paman, meskipun tidak ada bukti yang kuat, hanya keponakan seorang sebagai saksi, bagaimana pun juga dari penyelidikan ke-enam paman dan dari apa yang keponakan saksikan, kecurigaannya kuat ada 9 orang dari ke-16 orang itu. Meskipun tidak bisa memastikan siapa yang 9 dari 16 orang itu, toh 16 orang itu sama jahatnya.", jawan Wang Shu Lin dengan penuh semangat. Sikapnya yang sedikit berangasan ini tentu saja sesuai dengan Xun Siaoma yang di masa mudanya pernah mendatangi 9 orang pendekar pedang di 9 propinsi hanya untuk memahsyurkan reputasi ilmu pedang milik Hoashan. Meskipun usianya yang sudah lanjut meredam banyak kegarangannya di masa muda, mendengar jawaban Wang Shu Lin yang bernada berani namun juga sembarangan itu, tokoh tua ini pun tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha , benar-benar, aku tahu ayahmu hanya seorang sastrawan, namun seorang sastrawan dengan nyali harimau. Sungguh pantas kalau kau ini jadi puterinya. Baguslah, kau pesanlah juga pada ke-enam pamanmu, bukan hanya Wudang yang membuka pintu bagi mereka, Hoasan juga terbuka bagi mereka.", ujarnya dengan bersemangat. "Ucapan paman tentu aku ingat baik-baik, seandainya ada kesempatan untuk menyampaikannya, keponakan tentu akan menyampaikannya.", jawab Wang Shu Lin dengan wajah cerah. Berturut-turut Bhiksu Khongzhen dan Bhiksuni Huan Feng mengungkapkan hal yang sama. Wajah Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang makin tidak sedap saja untuk dilihat. Sementara itu mereka yang di bawah panggung dan tidak ikut bercakap- cakap. Mempercakapkan sendiri di antara mereka tentang Ximen Lisi yang ternyata adalah saruan dari seorang gadis bernama Wang Shu Lin. Gelaran "Enam Sahabat Pengikat Enam Perguruan Besar", cukup dikenal belasan tahun yang lalu. Meskipun sekarang sudah mulai dilupakan orang sejak menghilangnya mereka dari dunia persilatan. Mereka adalah 6 orang pendekar dari 6 perguruan besar, meskipun berasal dari perguruan yang berbeda-beda, mereka terikat erat dalam satu persahabatan. Satu hubungan yang di masa itu menggambarkan sisa-sisa kedekatan 6 perguruan besar yang ada di masa lalu. Ke-enamnya bukanlah tokoh yang berilmu tinggi, meskipun tidak bisa dikatakan lemah. Namun nama-nama perguruan di belakang mereka yang membuat orang segan terhadap mereka ber-enam. Keseganan orang atas asal-usul mereka, tidak membuat ke-enam orang ini bertindak pongah. Justru sebaliknya hal itu sering menjadi beban bagi mereka. Karena itu tidak pernah sedikitpu mereka ber-enam berpaling pada perguruannya jika sedang ditimpa masalah. Melainkan bersama-sama sebagai 6 orang sahabat mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri. Bagaimana pun juga, karena kedudukan dan tingkatan mereka, ditambah lagi dengan nama besar dibalik punggung mereka. Bisa dikatakan kehidupan mereka dalam dunia persilatan tidaklah banyak dilanda badai dan ancaman. Sesekali mereka bergerak bersama menolong orang, pihak yang bentrok biasanya memilih untuk mundur atau mengalah segera setelah tahu siapa yang datang. Tidak ada yang terlampau mengherankan dalam keberadaan mereka sebagai bagian dari dunia persilatan, sampai pada kejadian menghilangnya Wang Yang Hong, seorang sahabat dari ke-enam orang pendekar tersebut. Persahabatan itu terjalin belum begitu lama, ketika sebuah nasib buruk menimpa Wang Yang Hong. Disebabkan perkataannya yang jujur dan tidak mau kenal bahaya, Wang Yang Hong bentrok dengan seorang ketua geng di Shanxi dalam satu perkara pengadilan. Tidak banyak yang tahu apa yang kemudian terjadi, namun menilik dari percakapan Wang Shu Lin dan ke-enam orang ketua perguruan besar, bisa disimpulkan bahwa ada 9 orang kepala geng di Shanxi yang bekerja sama untuk membalas dendam dan melenyapkan Wang Yang Hong sekeluarga. Wang Shu Lin sendiri diselamatkan oleh ke-enam pendekar itu, serta dididik dalam ilmu bela diri agar dapat membalaskan dendam orang tuanya. "Kenapa ke-enam pendekar itu tidak membalaskan dendam Wang Yang Hong sendiri? Mengapa harus mewakilkannya pada puterinya?", tanya seorang muda pada salah seorang seniornya. Beberapa telinga pun ikut dipasang untuk mendengar penjelasan dari senior orang muda itu. Kebetulan sejak tadi penjelasan dan uraiannya terdengar masuk akal. Yang sedang ditanya ini adalah seorang murid Wudang yang suka berkelana, dikenal dengan wawasan yang luas dan mulut yang bocor alias suka sekali bercerita, sukar menyimpan rahasia. "Kukira ada beberapa sebab. Yang pertama, ke-enam pendekar tersebut menyadari bahwa bakat mereka dalam bela diri memang tidak cukup untuk menghadapi 9 orang ketua geng yang bersatu itu. Kukira 9 orang itu sendiri tentu paham bahwa Wang Yang Hong adalah sahabat dari mereka berenam, itu sebabnya mereka urun bersama dalam melampiaskan sakit hati pada Wang Yang Hong. Hal ini tentu saja bukan karena takut pada Wang Yang Hong, karena dia hanyalah seorang sastrawan biasa, melainkan lebih karena hubungan Wang Yang Hong dengan ke-enam pendekar tersebut.", ujarnya menjelaskan. "Hmm masuk akal, kebetulan mereka melihat Wang Shu Lin memiliki bakat yang lebih baik dari mereka berenam, jadi mereka memutuskan untuk melatih Wang Shu Lin dan mengutusnya untuk membalas dendam. Lagipula dia adalah puteri Wang Yang Hong satu-satunya, tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk itu. Kau bilang ada sebab lain, apa sebab lainnya itu?", tanya adik seperguruan-nya. "Sebenarnya kalau sekedar masalah kekuatan, bukankah mereka bisa minta bantuan pada saudara seperguruan mereka? Namun yang jadi masalah ke-enam pendekar ini memiliki harga diri yang tinggi. Karena urusan ini dipandang sebagai urusan pribadi, maka memalukan adanya jika mereka sampai harus merepotkan saudara seperguruan mereka. Selamanya urusan Enam Sahabat Pengikat Enam Perguruan Besar, selalu diselesaikan sendiri oleh mereka. Ini sebab kedua.", jawab kakak seperguruannya. "Ya, kalau sekedar tidak bisa membalaskan dendam dengan kekuatan sendiri, bukan berarti harus mengajarkan Wang Shu Lin ilmu-ilmu perguruan mereka. Bisa juga mereka meminta bantuan dari saudara-saudara seperguruan. Tapi akibat dari gengsi mereka ini, mereka harus menyingkirkan diri dari dunia persilatan. Jika tidak tentu harus berhadapan dengan aturan perguruan yang melarang murid-muridnya untuk mengajarkan ilmunya pada orang luar.", ujar adik seperguruannya sambil menganggukkan kepala. "Benar, demi sebuah gengsi mereka melanggar peraturan perguruan mereka. Tapi bagaimanapun juga, rasa kesetia kawanan mereka patut dipuji.", jawab kakak seperguruannya. "Tunggu dulu kak, kalau memang dua alasan itu saja, mengapa mereka tidak mengantarkan Wang Shu Lin ke Wudang untuk diajar? Dengan bakatnya Wang Shu Lin tentu akan bisa mencapai taraf yang tinggi dan bisa membalaskan dendam orang tuanya tanpa harus ada yang melanggar peraturan perguruan?", tiba-tiba adik seperguruannya berseru. "Hmm karena kau murid Wudang maka kau berkata demikian. Jika kau murid Hoashan maka kau akan berkata, mengapa mereka tidak mengantarkan Wang Shu Lin ke Hoashan, dan demikian seterusnya. Harus kau ingat hubungan erat dari mereka ber-enam, jalan yang kau berikan akan membuat seorang di antara mereka lebih berjasa sementara 5 orang yang lain tidak berkesempatan menunjukkan persahabatan mereka pada almarhum Wang Yang Hong.", jawab kakak seperguruannya dengan cepat, rupanya hal inipun sudah terpikirkan olehnya. Mendengar perkataan kakaknya itu, sang adik seperguruan terpekur beberapa lama. "Hmm ya, ya, sekarang bisa kubayangkan keadaan mereka berenam saat itu." Terdiam sejenak, tiba-tiba dia pun kembali berkata. "Ah sungguh mengagumkan rasa kesetia kawanan mereka. Demikian juga keengganan mereka untuk melibatkan perguruan tempat mereka belajar, kurasa tidak melulu disebabkan karena rasa gengsi yang berlebihan. Kalau mengambil jalan demikian, tidak mungkin enam perguruan besar bergerak bersama hanya karena urusan seperti ini. Di lain pihak menyerahkan pada salah satu perguruan akan membentur hal yang sama dengan pemecahan yang sebelumnya kuajukan." Kakak seperguruannya pun tersenyum sambil menepuk bahu adik seperguruannya itu. "Nah baguslah kalau kau bisa belajar untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Seringkali pertikaian yang tidak perlu, bisa terjadi hanya karena kita tidak bisa menempatkan diri pada posisi orang lain." "Hmm apakah kakak juga tahu, apa hubungan Zhu Jiuzhen dan Lu Jingyun dalam masalah ini?", tanya adik seperguruannya. "Heheheh, kalau soal ini secara pastinya aku tidak bisa menebak. Tapi dari percakapan di antara mereka bisa kukatakan kalau Zhu Jiuzhen sepertinya menaruh hati pada Wang Shu Lin, hal itu tidaklah aneh karena mereka pernah saling membantu ketika Wang Shu Lin menghabisi 16 orang kepala geng di Shanxi. Tentang Lu Jing Yun, dia adalah sahabat Zhu Jiuzhen dan keikut sertaannya dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini, mungkin ada hubungannya dengan hal itu.", ujar kakak seperguruannya. "Hmm mungkin Zhu Jiuzhen yang menaruh hati pada Wang Shu Lin, mungkin menyatakan perasaannya itu pada Wang Shu Lin. Namun Wang Shu Lin menolak dan memberikan syarat bahwa Zhu Jiuzhen harus mampu terlebih dahulu mengalahkannya. Sayangnya sampai sekarang Zhu Jiuzhen masih juga gagal mengalahkannya, ketika Wang Shu Lin terjun dalam pemilihan Wulin Mengzhu, Zhu Jiuzhen meminta Lu Jingyun sahabatnya untuk mewakili dirinya mengalahkan Wang Shu Lin.", gumam si adik seperguruan sambil mencoba mengotak-atik fakta yang ada di tangan. Kakak seperguruannya tertawa geli melihat tingkahnya itu. "Hahaha, itu kan hasil pemikiranmu yang baru saja menonton drama Liang Shanbo dan Zhu Yingtai. Jangan terlalu dipaksakan kalau memang tidak bisa dimengerti, toh itu bukan urusan kita, itu urusan pribadi mereka." Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Wajah adik seperguruannya itu pun jadi memerah, mendengar komentar dari kakaknya, diapun memilih diam, namun dalam hati dia masih memikirkan masalah itu, Mungkin Wang Shu Lin mengatakan seperti ini, apa lebihnya lelaki? Aku tidak akan menikah, kecuali kalau terbukti ada lelaki yang lebih hebat dari diriku dalam memainkan pedang. Hmm tentunya Zhu Jiuzhen ingin dirinya yang mengalahkan Wang Shu Lin, namun masuk dalam pemilihan Wulin Mengzhu, ada banyak lelaki yang punya kesempatan untuk mengalahkan Wang Shulin, daripada orang yang tidak dikenal, dia lalu minta tolong pada sahabatnya, Lu Jingyun. Jika Lu Jingyun berhasil mengalahkan Wang Shu Lin, lalu Wang Shu Lin membuka jati dirinya tapi Lu Jingyun tidak tergerak hatinya. Bukankah ini berarti kesempatan buat Zhu Jiuzhen?, pikirnya dalam hati. Kalau orang lain yang berhasil mengalahkan Wang Shu Lin, lalu Wang Shu Lin jatuh hati dan yang mengalahkannya itu juga menanggapi kan berabe buat Zhu Jiuzhen Eh bukankah yang menang akhirnya adalah Ding Tao? Kira-kira apa Wang Shu Lin akan mendekati Ding Tao?, dengan jantung berdegup, pemuda yang baru beranjak dewasa inipun memperhatikan kejadian di atas panggung. Kakak seperguruannya yang mengamati dari samping, hanya tersenyum kecil saja, dia merasa tidak ada yang terlalu menyimpang dari kelakuan adik seperguruannya ini. Sudah wajar di umurnya itu, untuk tertarik pada masalah hubungan antara pria dan wanita. Jadi bahaya jika yang dipikirkan hanyalah bentuk hubungan antara pria dan wanita yang tidak sehat. Selama arahnya tidak menuju ke sana, dia pikir lebih baik dibiarkan saja. Ini adalah salah satu contoh cara Pendeta Chongxan mendidik anak muridnya. Anak murid yang lebih muda biasanya dipasangkan dengan anak murid yang lebih berpengalaman. Dengan cara itu wawasan dan cara berpikir yang luas ditularkan pada yang lebih muda. Selain juga diadakan pertemuan-pertemuan umum, di mana Pendeta Chongxan memberikan ceramah pada seluruh murid Wudang yang kebetulan sedang ada dalam perguruan. Di atas panggung sendiri pembicaraan sudah mulai berubah ke arah yang berbeda. Selesai dengan urusan pribadi yang kebetulan terbawa ke atas panggung, Bhiksu Khongzhen mengarahkan lagi pembicaraan ke arah tujuan mereka semua berkumpul di kaki Gunung Songshan hari ini. "Nona Wang Shu Lin, bukankah kita semua hari ini berkumpul untuk memilih seorang Wulin Mengzhu. Pemilihan yang kita adakan dengan jalan adu kepandaian dan di babak terakhir, tinggallah Ketua Ding Tao dan Nona Wang Shu Lin. Dari hasil pertarungan apakah Nona Wang Shu Lin keberatan jika aku, sebagai pihak yang netral mengatakan bahwa Ketua Ding Tao sudah memenangkan pertarungan ini?" Dengan wajah sedikit bersemu merah, Wang Shu Lin pun menjawab. "Tidak, aku tidak keberatan, adalah kenyataannya aku yang kalah." Sambil menjawab, matanya melirik sekilas ke arah Zhu Jiuzhen, kemudian ke arah Ding Tao sebelum kembali menatap Bhiksu Khongzhen. Entah kegalauan apa yang sedang dirasakan gadis muda ini. Wang Shu Lin bukanlah gadis manja, sejak dia belum bisa berkata-kata dengan jelas, dia sudah mengenal kerasnya dunia dan belajar untuk hidup di dalamnya dengan mengandalkan kekuatannya sendiri tanpa bersandar pada orang lain. Sudah terbiasa bersikap keras, gadis muda yang sedang dililit masalah asmara ini bisa memisahkan antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang banyak. Bhiksu Khongzhen mengangguk puas, kemudian berbalik pada mereka semua yang telah datang untuk menyaksikan terpilihnya seorang Wulin Mengzhu setelah sekian puluh tahun kedudukan itu tidak ada yang mengisi. "Dengan pernyataan Nona Wang Shu Lin tadi, maka jelaslah bahwa Ketua Ding Tao dari Partai Pedang Keadilan, berhak untuk menduduki kedudukan Wulin Mengzhu yang telah kosong selama berpuluh tahun. Dan aku sebagai Ketua dari Shaolin, telah mengamati dan menimbang kepribadiannya." "Ketika kami mengirimkan 18 orang bhiksu Shaolin untuk menguji mereka yang datang untuk ikut dalam pencalonan. Hampir seluruh mereka yang kami kirimkan dan gagal untuk mempertahankan medali, telah pulang dalam keadaan terluka, ringan maupun berat. Hanya mereka yang bertugas untuk menguji Ketua Ding Tao yang kembali dalam keadaan tanpa luka. Demikian juga dalam pertarungan untuk memperebutkan kedudukan ini, berkali-kali Ketua Ding Tao menunjukkan sifat yang welas asih dan menjunjung kepentingan orang banyak. Dengan menimbang itu semua, mewakili seluruh anak murid Perguruan Shaolin, aku menyatakan bahwa kami bersedia untuk ikut bersumpah setia.", demikian Bhiksu Khongzhen menjelaskan. Begitu Bhiksu Khongzhen mengakhiri penjelasannya , seketika itu juga suasana meledak oleh suara riuh rendah orang bersorak. Meskipun masih cukup banyak yang meragukan hati Ding Tao yang dipandang seringkali terlalu lemah dalam mengambil keputusan, namun tidak ada seorang pun yang meragukan betapa tinggi ilmu dari pemuda itu. Ditambah lagi dengan pernyataan dari Bhiksu Khongzhen, kekhawatiran timbulnya perpecahan akibat perguruan Shaolin yang mengambil sikap berbeda hilang. Dan hal itu justru terjadi karena sikap Ding Tao yang welas asih, sudah menarik simpati dari pihak Shaolin yang pada masa-masa di bawah pimpinan Bhiksu Khongzhen, lebih menekankan pada pembinaan spiritual dari anak murid Shaolin daripada pelatihan ilmu-ilmu beladiri Shaolin. Sehingga banyak juga dari mereka yang masih sedikit meragukan kemampuan Ding Tao untuk memimpin dengan tegas jadi bersimpati juga pada sifat pemuda ini yang kurang mereka setujui itu. Tapi suara riuh rendah itu pun tiba-tiba menjadi senyap diganti oleh kediaman yang mencekam ketika sebuah suara berseru mengatasi sorakan setiap orang itu. "TUNGGU !!!", seru seseorang dari luar panggung. Suara itu bergema ke segala penjuru, seakan diserukan dari beberapa penjuru sehingga sulit ditentukan di mana orang yang berseru itu sesungguhnya. Suara keras bergaung dan membawa rasa kengerian, seperti auman dari seekor singa. Sebuah ilmu hawa murni yang disalurkan dalam bentuk suara dan sudah jarang terdengar di masa ini. Menyusul suara itu, sebuah bayangan berkelebat ke atas panggung. Sebelum sampai di atas panggung, bayangan itu sudah menyambitkan sesuatu ke arah Bhiksu Khongzhen. Ketika bayangan itu akhirnya berdiri di atas panggung, benda yang dia sambitkan sudah berada di tangan Bhiksu Khongzhen dan sedang dia amati. Itulah medali yang menyatakan bahwa pemiliknya lulus ujian dari Shaolin dan berhak untuk datang sebagai calon Wulin Mengzhu. Berdiri sambil tersenyum-senyum di atas panggun adalah seorang lelaki berusia 30-an dengan dandanan yang sangat rapi dan warna-warna yang cerah. Bahkan lebih cerah dan bercorak dari Wang Shu Lin ketika menyamar sebagai Ximen Lisi. Beberapa orang yang mengenalnya pun berseru. "Tawon merah? Apa yang dilakukan penjahat cabul itu di sini?" "Keparat! Cari mati dia!" "Wu Shan Yee manusia bejad akhirnya kutemukan dirimu" Dan banyak lagi seruan tertahan dari berbagai penjuru, jika dihitung jumlah orang yang ingin maju dan mencincang tokoh yang satu ini, mungkin jumlahnya mencapai ratusan orang pendekar. Hanya karena memandang muka para tokoh besar yang ada di atas panggung mereka menahan diri. Juga karena kepandaian orang ini tidak bisa disepelekan dan di antara mereka yang ingin membuat perhitungan namun tidak memiliki keyakinan akan menang, berharap bahwa tokoh-tokoh itu akan mewakili mereka memberikan hajaran. Bhiksu Khongzhen dengan tenang bertanya. "Apa maksudmu datang ke mari?" Meskipun ratusan bahkan ribuan mata memandangnya dengan sorot mata ingin membunuh, bahkan dari wajah tokoh yang dikenal sabar seperti Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun tidak tampak ada persahabatan, yang biasanya disediakan bagi hampir setiap orang. Ding Tao tidak terlalu mengenal nama busuk Wu Shan Yee, mau tidak mau dia mengagumi keberanian orang ini. Masih tersenyum-senyum Wu Shan Yee menjawab. "Kudengar Shaolin mengeluarkan pengumuman, barang siapa datang dengan membawa medali ini, orang itu boleh ikut dalam pencalonan Wulin Mengzhu." "Jika kau memang ingin ikut mencalonkan diri, mengapa tidak naik ke atas dari tadi?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan dingin. "Hahahaha, kebetulan aku ada urusan penting dan baru bisa datang. Apakah ada peraturan yang kulanggar?", jawab Wu Shan Yee tertawa-tawa. Wajah Xun Sioma sudah gelap, penuh dengan hawa pembunuhan. Jika tidak mengingat kedudukannya yang mewakili ketua perguruan Hoashan, mungkin sudah sejak tadi dia melabrak Wu Shan Yee tanpa mempedulikan aturan dan sopan santun. Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang tentu saja diam-diam merasa girang melihat munculnya sandungan bagi jalan Ding Tao. Bhiksuni Huan Feng memandang Bhiksu Khongzhen dan dengan menundukkan kepala, memberi tanda bahwa dia menyerahkan keputusan pada Bhiksu Khongzhen. Bhiksu Khongzhen berpandangan sejenak dengan Pendeta Chongxan, sahabat dekatnya itu pun balas memandang beberapa saat lamanya, bertukar pikiran tanpa kata, hanya rasa bertemu rasa, kemudian menganggukkankepala. Setelah mengitarkan pandangannya ke orang-orang di sekelilingnya sebentar, akhirnya Bhiksu Khongzhen pun siap untuk memberikan jawaban. "Baiklah, memang mereka yang mendapatkan medali itu berhak untuk ikut dalam pencalonan Wulin Mengzhu. Meskipun caramu memilih waktu mengesankan kecurangan dalam hatimu. Aku tidak akan membatalkan keputusan ini. Supaya jangan dirimu membuat perkataan yang tidak-tidak di kemudian hari.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan tenang. Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan berpendapat bahwa Wu Shan Yee tidak akan menang melawan Ding Tao, daripada menolak permintaan Wu Shan Yee dan menimbulkan ganjalan di kemudian hari, akhirnya Bhiksu Khongzhen memutuskan untuk meluluskan permintaan Wu Shan Yee. Dari puluhan ribu orang yang menyaksikan terdengar berbagai macam umpatan dan seruan. "Hajar saja laki-laki keparat itu Mengzhu!" "Hukum dia buat segala perbuatan bejadnya!" "Ya, benar! Hajar saja orang tidak tahu diri itu!" "Kutungi saja tangan dan kakinya!" "Jangan kutungi saja yang di selangkangannya itu!" Demikian mereka berteriak dan berseru, beberapa disambut tawa dan makian. Jelas dari sebanyak orang yang datang, sebagian besar tidak bersimpati pada Wu Shan Yee. Mendengar sorakan orang banyak, Ding Tao menghela nafas. Terbayang jika seandainya yang ada di atas panggung ini adalah sepasang iblis muka giok, apakah tidak seperti ini juga kejadiannya. Orang ini apakah juga memiliki kesulitan-kesulitan untuk kembali ke jalan yang benar? Ding Tao pun sudah berniat untuk melumpuhkan lawan untuk "diurus" Lebih lanjut, selepas pemilihan ini berlalu. Jika bisa diluruskan ya diluruskan. Jika tidak mungkin diluruskan, setidaknya dia bisa mencabut taringnya sehingga dia bisa dibiarkan hidup tanpa membahayakan orang lain. "Apakah Ketua Ding Tao setuju?", tanya Bhiksu Khongzhen. Ding Tao buru-buru merangkap tangan dan membungkuk hormat pada Bhiksu tua itu dan menjawab. "Tentu saja, aku setuju." "Hahahaha bagus, bagus. Memang kalian semua adalah pendekar-pendekar yang terhormat.", ujar Wu Shan Yee sambil bertepuk tangan. "Hmm sebelum kalian mulai, kalau boleh aku bertanya, apa yang kau lakukan dengan 18 orang murid Shaolin yang mengujimu?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan tatapan mata yang tajam. "Oh.. tentang 18 orang itu? Soal mereka seharusnya bukan kau tanyakan padaku, karena yang mengalahkan mereka bukanlah aku. Aku naik ke sini hanya membantu dia menanyakan masalah pemilihan Wulin Mengzhu.", jawab Wu Shan Yee "Hah !? Apa maksudmu?", tanya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dalam waktu yang hampir bersamaan. Sebelum Wu Shan Yee memberikan jawaban maka terjadilah kejadian yang akan menjadi pemicu serentetan kejadian lainnya. Sebuah gerobak pengangkut tiba-tiba datang dari arah jalan besar menuju ke arah panggung. Yang menjadi kusir seorang dengan tinggi tubuh beberapa jengkal lebih rendah dari rata-rata orang. Biarpun badannya pendek, namun tubuhnya gempal dengan otot-otot yang besar bertonjolan. Di depan gerobak itu berlari dengan cepat adalah seorang dengan tinggi melampaui tinggi badan banyak orang. Bahkan lebih tinggi dari Ding Tao, yang tingginya di atas rata-rata. Raksasa ini pun menunjukkan kebolehannya, dengan ringan dia melempar-lemparkan orang-orang yang menghalangi jalannya gerobak itu ke arah panggung. Dengan sendirinya keadaanpun jadi kacau balau, orang-orang yang sudah berdiri berjejalan jadi berjatuhan, baik mereka yang kena tangkap lalu dilemparkan, ada pula mereka yang berusaha minggir namun saling bertabrakan, atau mereka yang tiba-tiba ditimpa jatuh oleh sesama penonton yang sudah dilemparkan oleh orang tinggi besar itu. Mereka yang berdiri di bagian itu memang bukan tokoh kenamaan, namun dalam dunia persilatan ini ada berapa orang yang bisa dengan mudahnya menangkapi mereka lalu melemparkannya seperti mainan? Mereka yang berada di bagian kursi kehormatan, yang duduk di beberapa lapis baris terdepan, secara serempak sudah bangkit dan mencabut senjata andalan masing-masing. Mau ditaruh ke mana muka mereka, jika mereka pun sampai terkena tangkap dan dilemparkan seperti parapendekar kelas bawah seperti yang terjadi saat ini. Selapis demi selapis, gerobak dan orang yang membuka jalan semakin dekat dengan mereka. Otot-otot dan urat syaraf tiap orang pun makin menegang, bersiap menghajar bila pendatang yang tidak tahu aturan ini berani menjajal ilmu mereka. Bukan hanya mereka, para tokoh besar yang ada di atas panggung pun memandangi kejadian itu dengan pandang mata tajam. Hanya Wu Shan Yee yang tersenyum-senyum melihat kejadian itu. Dari sikapnya sudah jelas dua orang yang baru datang ini adalah sekutunya. Ketika lapis terakhir sudah pula tercapai, otomatis kuda-kuda mereka yang berada di barisan kursi kehormatan merendah, bersiap untuk menghadapi serangan yang akan datang. Di luar dugaan orang, gerobak dihentikan. Raksasa yang membuka jalan, melompat berjumpalitan ke belakang dengan ringan, melayang dan tepat ditangkap oleh kedua tangan kusir yang berotot itu. Dengan sebuah hentakan, yang seorang melontarkan orang yang dia tangkap sekuatnya ke depan, sementara yang tertangkap menghentakkan kakinya sekuat tenaga melompat ke arah yang sama. Dua tenaga raksasa dikerahkan, hasilnya sesosok tubuh tinggi besar melompat bagaikan terbang menuju tepat ke atas panggung, melewati beberapa barisan orang yang sedang bersiap untuk menerima serangan mereka. Jangan dilihat tubuhnya tinggi besar, nyata ilmu meringankan tubuhnya tidak jauh di bawah Lu Jingyun. Ketika orang itu sampai di atas panggung, pertunjukan belumlah usai, sambil tertawa berkakakan, dia berkata. "Khongzhen, kukembalikan anak muridmu yang tidak tahu diri hendak mengujiku." Menyusul perkataannya itu, si kusir yang masih berada di gerobak, melempar-lemparkan tubuh-tubuh tak berdaya ke atas panggung, yang dengan cekatan ditangkapi oleh orang tinggi besar yang berdiri di atas panggung. Dengan cepat sebuah bukit kecil terbentuk di atas panggung, tersusun dari 18 orang bhiksu Shaolin yang tak berdaya. Menyusul si pendek kekar melompat pula ke atas panggung, jika ilmu meringankan tubuh si tinggi besar sedikit di bawah Lu Jingyun, maka yang pendek kekar ini bisa dipastikan ilmu ringan tubuhnya selapis dua lapis di atas Lu Jingyun. Di saat yang sama, orang mulai mengenali siapa yang datang barusan ini, termasuk Bhiksu Khongzhen yang dengan cepat memburu ke arah anak muridnya yang bertumpukan tanpa daya. Ketika dia melihat mereka masih bernafas dengan stabil, meskipun tak sadarkan diri, hatinya pun sedikit lebih tenang. Dengan wajah marah, yang belum pernah dilihat orang Bhiksu Khongzhen menghadap ke arah dua orang yang baru datang, "Shao Wang Gui! Thai Wang Gui! Bukankah dulu sudah kami ampuni selembar nyawa kalian!? Kalian pun sudah berjanji untuk menarik diri dari dunia persilatan!? Lalu apa pula maksud kelakuan kalian berdua kali ini !?" "Khongzhen sahabat lama, tidak ada niatan buruk sama sekali. Aku dengar kau dan Chongxan mengalami kesulitan untuk menghadapi Ren Zuocan, jadi kupikir baiklah kami datang untuk ikut membantu.", jawab Thai Wang Gui dengan senyum lebar. Sebelum Bhiksu Khongzhen atau yang lain dari mereka yang berwenang sempat menjawab terjadi lagi peristiwa mengejutkan yang lain. Sejak kemunculan Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui, selain adanya bisik-bisik di antara tokoh dunia persilatan yang pernah mengenal keduanya. Ada bisik-bisik yang berbeda dari sisa-sisa anggota keluarga Huang. "Bila dilihat perawakannya bukankah itu dua orang dari mereka?" "Thai Wang Gui Shao Wang Gui mengapa hal itu tidak pernah terpikirkan olehku?" "Waktu itu mereka memakai jubah kedodoran dan menyamarkan bentuk tubuh mereka. Barulah setelahmendengar suara mereka kita merasa kenal." "Bukankah keduanya mati di tangan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan?" "Bukan, bukan mati, hanya seluruh ilmu silatnya sudah dimusnahkan, itu sebabnya tidak pernah terbayang jika mereka merupakan salah satu pelaku dalam penyerangan itu." Bisik-bisik ini semakin santer dan ketika keyakinan mereka sudah mantap, maka sampailah perkataan itu pada Ding Tao lewat Li Yan Mao. "Ketua Ding Tao, ampuni mata kami yang buta.Dua dari lima orang yang memimpin penyerangan itu adalah mereka berdua. Thai Wang Gui dan Shao Yang Gui.", ujar Li Yan Mao setelah menarik Ding Tao mendekat ke arah dirinya dan beberapa orang bekas pengikut keluarga Huang yang lain. Mendengar perkataan Li Yan Mao, jantung Ding Tao seperti berhenti saat mendengar perkataan Li Yan Mao. "Apa maksud paman?" "Mendengar suaranya, kami semua yakin, kedua orang itu adalah salah satu dari lima yang memimpin penyerangan ke keluarga Huang di Wuling.", sekali lagi Li Yan Mao menjelaskan. Ding Tao menatap ke orang-orang yang ada di sekelilingnya, ada Tang Xiong, Li Yan Mao, Qin Baiyu dan yang lain. Meskipun sulit mempercayai telinganya, perlahan-lahan Ding Tao mulai merangkaikan tiap-tiap fakta yang sedang mereka hadapi. Meskipun Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui ini sempat menggegerkan dunia persilatan, namun sudah puluhan tahun ketika mereka menghilang, setelah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bertarung untuk menghentikan kejahatan yang mereka lakukan.Meskipun perawakan tubuh kedua orang itu tidak bisa dikatakan lumrah dibanding kebanyakan manusia, tidak bisa juga dikatakan sangat berbeda jauh. Menggunakan baju dan jubah, dengan mudah keanehan tubuh mereka itu disamarkan. Apa lagi di antara mereka tidak ada yang pernah melihat dua orang raja iblis itu. Wajahnya pun mengeras. "Kalian yakin?" Mereka semua menganggukkan kepala. "Kami yakin." "Paman pendeta Liu Chuncao, pendeta pusakaku", ujar Ding Tao sambil mengangsurkan tangannya. Liu Chuncao tanpa banyak tanya memberikan pedang pusaka milik Ding Tao kembali, namun sebelum Ding Tao melakukan sesuatu, terjadi kejadian lain yang mengejutkan. Semuanya ini berjalan hampir bersamaan. Ketika Bhiksu Khongzhen sedang memeriksa keadaan 18 orang bhiksu yang tidak sadarkan diri untuk kemudian berbicara dengan sepasang raja iblis itu, Li Yan Mao dan yang lain sedang berbicara dengan Ding Tao. Di lain pihak di antara penonton ada pula 2 orang yang sedang mengingat-ingat kembali kejadian malam itu dan sampai pada kesimpulan yang sama. Ketika Ding Tao baru berbalik badan, ketika Bhiksu Khongzhen baru selesai bertanya, susul meyusuk 3 sosok berkelebat dariantara mereka yang berada di bawah panggung. "Penjahat! Bayar hutang nyawa keluarga Huang !", diiringi pekik penuh kemarahan dua sosok yang berkelebat pertama kali tanpa banyak cakap langsung menyerang dua orang itu. "Ren Fu! Ying Ying hati-hati!" Sosok ketiga yang menyusul dengan cekatan menyerang Shao Wang Gui yang hampir saja berhasil menyarangkan serangan telak pada salah seorang penyerangnya. Dengan segera terjadi dua pertarungan di atas panggung, yang pertama Thai Wang Gui melawan dua orang muda dan pertarungan kedua adalah antara seorang tua melawan Shao Wang Gui. Siapa lagi dua orang muda dan seorang tua itu jika bukan Hua Ying Ying, Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau. Ding Tao yang baru saja hendak bergerak menggebrak jadi diam termangu, bibirnya komat-kamit tidak jelas. "Adik Ying Ying Adik Ying Ying", gumam Ding Tao tak percaya. Bukan hanya Ding Tao yang membeku di tempatnya oleh kejutan yang tidak disangka-sangka ini. Para pengikut keluarga Huang yang lain juga hanya bisa terlongong-longong melihat orang-orang yang disangka sudah mati, ternyata masih hidup, segar bugar bahkan sekarang memiliki ilmu silat yang lebih baik dari sebelumnya. Yang lebih mencolok tentu saja adalah ilmu silat dari Huang Ren Fu yang tampil lebih kokoh dan liat daripada sebelumnya, tapi kemajuan yang lebih mengejutkan mungkin justru dari Huang Ying Ying yang dulunya bisa dikatakan bukanlah seorang pesilat yang sesungguhnya, sekarang justru bisa bertarung dengan garang. Pertarungan itu jelas tidak seimbang, meski ilmu silat Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying sudah maju pesat, namun berhadapan dengan jagoan tua semacam Thai Wang Gui tentu saja permainan mereka tidak lebih dari permainan kanak-kanak belaka. Syukur Huang Ren Fu yang lebih matang dalam berpikir dan bertindak ikut membantu Hua Ying Ying, sehingga dia sangat berhati-hati dan lebih menitik beratkan jurus-jurusnya untuk mempertahankan dirinya sendiri dan juga adiknya. Sementara pertarungan antara Shao Wang Gui dan Hua Ng Lau berjalan lebih seimbang, meskipun serangan Shao Wang Gui lebih ganas, namun mampu dinetralisir oleh pertahanan Hua Ng Lau yang lebih mantap. Rasa terkejut Ding Tao berubah jadi kegembiraan yang meluap dan dalam waktu singkat berubah menjadi kekhawatiran, Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu perlahan-lahan mulai terdesak oleh serangan Thai Wang Gui yang membingungkan, sudah beberapa kali Huang Ren Fu harus memasrahkan badannya untuk menerima pukulan dari Thai Wang Gui demi menyelamatkan adiknya. Bukan hanya Ding Tao yang merasa cemas, tokoh-tokoh seperti Bai Chungho, Xun Siaoma, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun mengamati keadaan tersebut dengan cemas. Apalagi sebagai orang luar, mereka tidaklah cukup leluasa untuk bertindak. Bukan sebuah alasan yang dibuat-buat, karena dunia persilatan kental dengan masalah harga diri. Jika mereka menyelamatkan kedua kakak beradik itu, belum tentu keduanya akan berterima kasih. Lain halnya jika Thai Wang Gui yang terlebih dahulu menyerang, tapi dalam kejadian ini, kedua kakak beradik itulah yang lebih dulu menyerang. Di lain pihak Thai Wang Gui pun tidak sembarangan menurunkan tangan kejam, bisa jadi hal itu dilakukan sehubungan dengan keinginannya untuk menjadi Wulin Mengzhu. Selain itu bukankah bekas pengikut keluarga Huang banyak juga hadir di sana, termasuk Ding Tao yang memiliki kemampuan setingkat dengan mereka. Berbagai alasan ini membuat mereka berpikir beberapa kali sebelum ikut campur bertindak. Segera setelah menguasai dirinya, tanpa menunggu keadaan menjadi lebih buruk lagi, Ding Tao pun berkelebat cepat sambil menghunus pedang pusakanya. Benar-benar saat yang tepat, karena Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying berada dalam keadaan yang kritis, sebuah serangan Thai Wang Gui telak mengenai punggung Huang Ren Fu, sedemikian kerasnya hingga membuat pemuda itu terpental dan memuntahkan isi perutnya. Tanpa adanya Huang Ren Fu, Hua Ying Ying pun berada dalam bahaya besar, tangan Thai Wang Gui yang panjang dengan kuku runcing seperti kuku harimau, bergerak menyambar. Hua Ying Ying yang sudah mati langkah hanya bisa memandang datangnya serangan dengan pasrah. Di saat dia menyangka maut datang menjemput, sebuah pedang berkelebat, memaksa Thai Wang Gui menarik serangannya. Dengan cekatan, hampir tanpa jeda, kaki Thai Wang Gui bergerak menendang ke depan. Yang diserang bukan Ding Tao yang baru datang, tapi Hua Ying Ying yang lebih lemah. Demi menolong Hua Ying Ying, Ding Tao pun dipaksa menarik mundur serangannya, memutar tubuh untuk merengkuh Hua Ying Ying ke dalam pelukannya dan dengan punggungnya yang sudah dilambari Yi Cun Kai menerima tendangan yang dimaksudkan untuk Hua Ying Ying itu. Seperti halnya Huang Ren Fu pemuda itu pun terpental menjauh dari Thai Wang Gui, namun sambil membawa Hua Ying Ying dalam pelukannya. Ding Tao yang sadar bahwa Hua Ying Ying akan terus menerus berada dalam bahaya, selama gadis itu masih berada dalam jangkauan Thai Wang Gui, memanfaatkan tendangan Thai Wang Gui itu untuk melontarkan tubuhnya dan Hua Ying Ying yang berada dalam pelukannya, menjauh dari arena pertarungan. "Kakak Ding Tao" Bisik Hua Ying Ying sambil menatap mesra pemuda itu, segala rasa yang selama ini dikubur dalam- dalam toh ternyata belum mati juga. "Adik Ying Ying" Ujar Ding Tao sambil memandangi wajah gadis itu, rasa yang sama yang dia rasakan selama bertahun- tahun lamanya ternyata tidak juga hilang, meski kini di hatinya ada pula Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Apa lagi ini kali pertama Ding Tao bertemu lagi dengan Hua Ying Ying setelah dirinya meminum obat dewa pengetahuan. Seperti juga saat dirinya bertemu Murong Yun Hua setelah meminum obat dewa pengetahuan, panca inderanya yang jauh lebih tajam dibandingkan sebelumnya membuat dia mabok oleh kehadiran Hua Ying Ying yang begitu dekat. Lebih-lebih lagi bersama dengan Hua Ying Ying tidak membuat hati nuraninya memberontak, tidak seperti dulu waktu dia bersama Murong Yun Hua sebelum pernikahan mereka. Hua Ying Ying sendiri merasa tubuhnya melumer dalam pelukan Ding Tao, lamat- lamat dia masih ingat bahwa mereka sedang berpelukan di depan ribuan bahkan puluhan ribu pasang mata. Namun otaknya tidak mau bekerja dengan benar, gadis itu merasa sudah berada di tempat yang tepat, dalam pelukan Ding Tao. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hua Ng Lau yang melihat anak angkat dan muridnya lepas dari bahaya, tiba-tiba mengeluarkan jurus serangan yang hebat, tongkatnya bergerak bagai angin puyuh, Shao Wang Gui dipaksa mundur beberapa langkah. Tidak meneruskan serangannya, Hua Ng Lau justru melompat menjauh, mendekati Huang Ren Fu yang sedang merintih menahan sakit. Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui belum sempat menarik nafas ketika seorang bhiksu Shaolin yang sudah cukup tua ganti melompat menyerang mereka. Orang itu adalah Bhiksu Khongti, dia termasuk jajaran tokoh tingkat atas dalam perguruan Shaolin, dalam hal urutan dia adalah salah seorang kakak seperguruan Bhiksu Khongzhen, jadi bisa dibayangkan seberapa tinggi ilmunya. "Kau apakan murid-muridku!", serunya dengan gusar. Bhiksu Khongzhen yang tadinya sudah merasa lega melihat tidak ada bahaya yang mengancam ke-18 anak murid Shaolin itu pun buru-buru menghampiri kerumunan anak murid Shaolin dan dua orang bhiksu tua yang mahir dalam hal obat- obatan. "Ada apa sebenarnya dengan mereka?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan kakak seperguruannya yang sedang mengamuk dan berusaha menghajar Shao Wang Gui dan Thai Wang Gui. Dia sudah cukup mengenal tingkatan ilmu Bhiksu Khongti yang tidak selisih jauh di bawah dirinya. Justru keadaan 18 orang itu yang membuat dia khawatir, jika mereka tidak dalam keadaan yang sangat menyedihkan, tentu kakaknya itu tidak akan semurka itu. Memang Bhiksu Khongti itulah yang bertugas melatih dan mengajar ilmu berisan pada para bhiksu Shaolin. Sejak hilangnya 18 orang dari mereka, sikapnya sudah menjadi murung, jadi tidak heran jika sekarang dia meledak dan kehilangan pengawasan diri. Salah satu dari bhiksu tua yang memeriksa 18 orang itu, menatap Bhiksu Khongzhen dan menggelengkan kepala dengan sedih. "Tidak ada yang salah dengan tubuh mereka, tidak ada luka baik di dalam maupun di luar, tapi tapi keadaan pusat-pusat hawa murni dan jalur-jalurnya" "Energi kehidupan mereka tidak stabil dan lemah sekali.", sambung yang seorang lagi, mulutnya masih terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu namun tidak berani. Bhiksu Khongzhen dengan segera meletakkan telapak tangannya di atas pusar salah satu dari 18 orang itu. Tangannya yang peka terhadap keberadaann hawa murni seseorang segera merasakan keadaan energi hawa murni dari orang itu. Wajahnya pun berubah menjadi pucat saat memahami keadaan dari ke-18 anak murid Shaolin tersebut. Energi kehidupan mereka sangat lemah, mungkin itu juga sebabnya mereka tak sadarkan diri meskipun tubuh mereka tidak terlihat mengalami luka. Kemudian Bhiksu Khongzhen pun perlahan-lahan mengalirkan hawa murninya ke dalam tubuh bhiksu itu dengan hati-hati. Sungguh terkejut hatinya saat merasakan hawa murni yang dia salurkan seperti hilang lenyap begitu saja. Seperti menyiramkan air di atas tanah berpasir yang kering. Bhiksu Khongzhen pun menengadahkan kepala, melihat ke arah dua orang bhiksu tua yang mahir ilmu obat-obatan tersebut, alisnya bergerak naik, bertanya tanpa kata-kata. "Benar ketua, mereka semua18 orang berada dalam kondisi yang sama. Saat ini kami sudah memerintahkan para murid untuk menyiapkan ramu-ramuan yang menguatkan tubuh. Demikian pula, sedikit-sedikit kami sudah memijat dan menyalurkan hawa murni di pusat-pusat penting dalam jalur energi mereka. Kami berharap, perlahan-lahan, tubuh mereka bisa memulihkan sistem energi dalam tubuh mereka.", jawab yang seorang. "Hanya saja kami ragu apakah mereka bisa pulih sepenuhnya", sambung yang seorang lagi. Sedih sekali perasaan Bhiksu Khongzhen, namun tidak sampai dia kehilangan pengamatan diri seperti kakak seperguruannya. Kekuatan batinnya memang sudah lebih mapan, apalagi ketua Shaolin yang seorang ini tidak terlalu mementingkan ilmu silat. "Yang penting nyawa mereka masih bisa diselamatkan", ujarnya perlahan-lahan, Pendeta Chongxan yang ikut merasakan kesedihan Bhiksu Khongzhen, menepuk-nepuk bahu sahabat lamanya itu. "Kami akan berusaha semampu kami.", jawab dua orang bhiksu tua itu. Belum sempat Bhiksu Khongzhen menjawab, terdengarlah suara mengaduh dari belakang mereka. Dengan rasa terkejut Bhiksu Khongzhen serta Pendeta Chongxan mengalihkan perhatian mereka ke arah pertarungan yang sedang terjadi antara Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui melawan Bhiksu Khongti. Sungguh di luar sangkaan Bhiksu Khongzhen bahwa kakaknya bisa terdesak sedemikian hebatnya dalam hitungan yang singkat. Dia tahu betul seberapa tinggi kemampuan kakak seperguruannya itu, karena itu dia tidak begitu khawatir dengan keadaannya. Tapi pemandangan yang dia lihat sungguh di luar perhitungannya. Belum 20 jurus lewat, Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui sudah mengajak Bhiksu Khongti mengadu tenaga dalam. Telapak tangan kanan Bhiksu Khongti beradu dan menempel dengan tangan kiri Shao Wang Gui, sedangkan telapak tangan kirinya beradu dengan tangan kanan Thai Wang Gui. Meskipun cemas namun Bhiksu Khongzhen tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat untuk membantu. Sebagai adik seperguruan dia tidak berani sembarangan berbuat, meskipun dirinya adalah seorang ketua. Waktunya memang singkat, tapi waktu yang singkat itu nyata memiliki arti yang besar. Baik Pendeta Chongxan maupun Bhiksu Khongzhen, juga para tokoh ternama yang menyaksikan pertarungan itu, melihat ada yang janggal dalam adu tenaga dalam ini. Penuh rasa kejut Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen saling berpandangan. Mereka bisa melihat keterkejutan dan rasa khawatir yang terpampang dengan jelas di wajah masing-masing. Tanpa banyak cakap, seperti sudah saling berjanji, keduanya berkelebat menyerang. Pendeta Chongxan menyerang Shao Wang Gui dan Bhiksu Khongzhen menyerang Thai Wang Gui. Keduanya bisa dikatakan merupakan jagoan nomor satu dalam dunia persilatan di masa ini. Betapa hebat serangan mereka berdua, sungguh sulit dicari bandingannya. Dari segi kecepatan dan kekuatan, setingkat bahkan mungkin setengah lapis di atas tinju petir Bai Shixian. Dari segi jurus, setingkat lebih mendalam dibandingkan Ding Tao dan Wang Shulin. Baik tusukan pedang Pendeta Chongxan maupun pukulan tangan Bhiksu Khongzhen, membuat hati mereka yang menyaksikan tergetar oleh kehebatannya. Wibawa dari jurus yang dilancarkan sampai terasa ke seluruh penjuru. Berwibawa tapi bukan menakutkan, menekan tapi tidak memancarkan hawa pembunuh. Menyentuh rasa sebelum sempat dipahami akal. Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui yang sedang berjaya itu pun berlompatan menghindar, menjauh dari serangan yang menakutkan itu. Tubuh Bhiksu Khongti terhuyung hendak jatuh ke belakang, disambut oleh tenaga lembut dari Pendeta Chongxan yang dengan gesit menahan tubuh yang sedang jatuh itu. Sementara Bhiksu Khongzhen bergerak menghadang di depan Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui yang hendak bergerak maju mendekat. Sungguh hebat dua orang ini, serangan mereka bisa dikendalikan sedemikian rupa, hingga baik menyerang ataupun bertahan bisa dilakukan tanpa jeda. Mengalir dan berubah begitu saja sesuai kehendak hati, seperti awan di langit. Dalam satu gerakan yang sama, dari menyerang tiba-tiba Pendeta Chongxan sudah menyarungkan pedangnya dan tangannya menangkap Bhiksu Khongti yang jatuh ke belakang. Dari tenaga keras, dalam satu tarikan nafas yang sama berubah menjadi tenaga lembut. Demikian juga dengan Bhiksu Khongzhen, dari menyerang dengan tenaga bagaikan badai hendak meniup habis seluruh desa, tiba-tiba tenaganya berubah menjadi diam seperti sebuah gunung. Saat bergerak secepat kilat, saat diam setenang gunung Thaisan. Mereka yang menyaksikan hal ini pun jadi terpana dan terkagum-kagum, hingga lupa dengan keberadaan Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui. Jika ada perkecualian, maka orang itu adalah Ding Tao dan Hua Ying Ying yang sedang dimabuk asmara di waktu dan tempat yang tidak tepat. Jika ada perkecualian, maka orang itu adalah Wang Shu Lin yang memperhatikan sepasang kekasih itu diam-diam dengan dada bergemuruh. Ah ada apakah dengan aku ini, keluh Wang Shu Lin dalam hati. Terkecuali 3 orang ini, yang lainnya tentu saja mencurahkan seluruh perhatiannya pada apa yang terjadi antara Thai Wang Gui, Shao Wang Gui, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Pendeta Chongxan perlahan-lahan menurunkan tubuh Bhiksu Khongti yang sudah lemah ke atas lantai panggung. Bibir Bhiksu Khongti bergetar, barulah setelah mengerahkan tenaga dia bisa berkata. Bara Naga Karya Yin Yong Perangkap Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH