Pedang Angin Berbisik 42
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 42
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Xi Xing Da Fa" Kata-kata itu dengan jelas terdengar oleh Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, membuktikan apa yang mereka khawatirkan sebelumnya. Ketika beberapa orang bhiksu Shaolin datang untuk memapah Bhiksu Khongti pergi, Pendeta Chongxan pun dengan wajah sedikit pucat, bangkit berdiri dan melangkah ke sisi Bhiksu Khongzhen berhadapan dengan dua orang tokoh sesat yang tersenyum-senyum angkuh. "23 tahun yang lalu kami memberikan kalian berdua jalan hidup. Siapa sangka alih-alih bertobat kalian berdua justru semakin sesat. Jangan salahkan kami jika kali ini kami terpaksa mencabut nyawa kalian.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan wajah gelap. "Memberi jalan hidup? Jalan hidup? Hahahahaha. Kau menyegel pusat energi dalam tubuh kami, membuat kami kehilangan seluruh kepandaian kami. Apa itu yang kau anggap kemurahan hati? Ingat Khongzhen, saat itu kami berdua sudah bersimpuh di hadapanmu memohon diberi jalan kematian, tapi kau justru menolaknya. Sekarang jangan kau menyesali keputusanmu itu.", jawab Shao Wang Gui setelah puas tertawa. "Khongzhen, bukankah tadi kau mengatakan, bahwa siapa yang memegang medali berhak mengikuti pemilihan Wulin Mengzhu. Mengapa sekarang kau menghalangiku untuk mengikutinya? Apa kau mau menjilat ludahmu sendiri?", sekarang ganti Thai Wang Gui yang bertanya. "Urusanmu dengan Ketua Ding Tao boleh kau selesaikan nanti, kalau kau sudah selesai dengan kami. Bukankah sebelum datang ke tempat ini, kau sudah terlebih dahulu melukai anak murid Shaolin? Jadi selesaikan dulu urusanmu dengan kami, baru kau boleh tanya yang lain.", jawab Bhiksu Khongzhen diplomatis. "Menghadapi manusia iblis, tidak perlu banyak bicara. Mari ", ujar Pendeta Chongxan sembari mencabut pedang. Tanpa banyak bicara dua orang itu pun berkelebat cepat, maju menyerang sepasang iblis yang dengan cekatan menyambut serangan mereka. Ini lebih menegangkan dibandingkan pertarungan-pertarungan sebelumnya. Maksud Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan adalah baik adanya. Sadar bahwa Ding Tao tidak mungkin menang melawan salah seorang dari sepasang iblis tua itu, mereka bertekad untuk maju lebih dahulu dan menghabisi keduanya sebelum keduanya bisa berbuat onar lebih jauh. Selain itu, mereka juga ingin mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Dengan majunya mereka berdua, bisa dipastikan tidak akan ada tokoh dunia persilatan lain yang berani ikut mencoba bertarung dengan sepasang iblis itu. Meskipun mereka punya urusan atau dendam, sudah pasti mereka akan menunggu sampai pertarungan antara dua orang iblis itu, melawan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan selesai. Yang di luar perhitungan mereka adalah kehebatan sepasang iblis itu. 23 tahun bukan waktu yang pendek, sudah tentu 23 tahun adalah waktu yang cukup untuk memupuk kepandaian. Tapi 23 tahun yang lalu dua orang iblis itu kehilangan kemampuan mereka untuk mengolah hawa murni. Kalau hanya sekedar main pukul atau tendang, tentu tidak masalah. Tapi seperti harimau yang sudah dicabuti giginya, tidak akan ada lagi orang yang terancam oleh kejahatan mereka, karena pukulan dan tendangan mereka tidak ada bedanya dengan serangan orang awam. Siapa sangka sekarang mereka muncul dengan pusat-pusat energi yang sudah pulih dan bekerja seperti sedia kala, bahkan jauh lebih baik dari 23 tahun yang lalu. Ditambah dengan ilmu baru mereka, membuat mereka berkali lipat jauh lebih berbahaya dari 23 tahun yang lalu. Di lain pihak, memang Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bukanlah orang yang malas berlatih, sehingga ilmunya mengalami kemunduran. Tapi mereka berdua juga bukan orang yang keranjingan ilmu silat dan berambisi untuk menjadi yang terkuat. Waktu mereka justru lebih banyak diarahkan pada menghaluskan rasa dan mempertinggi kesadaran batin. Setelah 20 jurus lebih berlalu, dua orang tokoh besar ini mulai menyadari kesalahan mereka. Xi Xing Da Fa, ilmu sesat yang ada dalam kisah-kisah kepahlawanan di masa lampau. Hanya pernah terdengar tapi tidak ada yang pernah menyaksikannya. Benar-benar bukan ilmu yang bisa dianggap enteng. Setiap kali tubuh mereka bersentuhan dengan tangan sepasang iblis itu, tentu mereka merasakan hawa murni mereka disedot oleh lawan. Syukur mereka berdua memiliki pengendalian hawa murni yang sudah sempurna. Sehingga mereka bisa menarik mundur hawa murni mereka sebelum hisapan itu terlampau kuat dan tidak bisa dilepaskan. Pada awalnya Pendeta Chongxan bertarung menggunakan pedang, untuk mempersulit lawan menggunakan Xi Xing Da Fa, sementara Bhiksu Khongzhen menggunakan tasbih yang ada di lehernya sebagai senjata. Tapi setelah beberapa jurus berlalu, mereka berdua sadar, cara inipun tidak berjalan seperti yang mereka inginkan. Karena lawan tetap bisa menghisap hawa murni mereka, meskipun lewat perantaraan benda lain dan tidak bersentuhan langsung. Tidak bisa menangkis, tidak boleh sembarangan menyerang. Jika sampai tersentuh telapak tangan lawan, sedikit banyak hawa murni mereka akan dihisap lawan. Dalam usia mereka yang lanjut, baik Bhiksu Khongzhen maupun Pendeta Chongxan, lebih menyandarkan diri pada himpunan hawa murni mereka untuk bertarung. Dengan lawan yang menggunakan Xi Xing Da Fa, hal ini sangat merugikan mereka berdua, karena membuat ilmu mereka tidak bisa berkembang sampai pada puncaknya. Menolong salah, tapi tidak menolong juga salah. Hampir secara bersamaan, Xun Siaoma, Bai Chungho dan Hua Ng Lau melompat maju, membantu Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan untuk menghadapi sepasang iblis itu. "Membasmi kejahatan itu tugas setiap orang!", seru Bai Chungho sambil memutar tongkat penggebuk anjingnya, menyerbu masuk. "Maafkan kami ketua berdua, ijinkan kami untuk membantu kalian membersihkan dunia ini dari kejahatan.", seru Hua Ng Lau yang dengan gesit bergerak menebas ke kiri dan ke kanan. "Lurus dan sesat selamanya tak bisa bersama!", seru Xun Siaoma sambil melancarkan serangan. Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan bukannya tidak tahu maksud baik orang. Namun dalam hati mereka juga ada perasaan malu yang naik ke permukaan. Bagaimana pun juga mereka berdua adalah ketua dari dua perguruan besar, tapi sekarang mereka harus bertarung secara keroyokan. Hanya karena menimbang kepentingan yang lebih luas, dua orang itu pun menggertakkan gigi dan berpura-pura tidak mau tahu. Diserang 5 oang jagoan kelas satu, dua orang iblis itu pun mulai sedikit keteteran, tapi tak sedikitpun mereka terlihat khawatir. Bahkan Wu Shan Yee yang seharusnya merupaka nsekutu mereka, masih saja berdiri dengan tenang sambil tersenyum-senyum. "Bagus, sekarang baru kelihatan wajah busuk kalian? Hahahaha, mana itu Bhiksu Agung Khongzhen? Siapa itu Pendeta Chongxan? Segala pendekar lurus, tai kucing, kalau kalah bisanya kalian hanya main keroyok.", seru Thai Wang Gui sembari menghentakkan kuda-kuda ke dalam tanah dan menangkis serangan tongkat Bai Chungho dan Hua Ng Lau yang menyerang hampir bersamaan dari dua arah yang berbeda. Merah muka mereka berlima mendengar ejekan Thai Wang Gui, Xun Siaoma dan Bai Chungho pun memaki habis-habisan kedua orang iblis itu. "Iblis keparat, apa kau sudah mabuk bau neraka, hingga mulutmu bicara yang tidak-tidak?", maki Bai Chungho sambil bergulingan di atas tanah, menghindari pukulan hawa beracun yang dilakukan Shao Wang Gui. Sungguh ilmu sesat dua orang iblis itu beraneka rupa dan dikuasai dengan sempurna, membuat penyerangnya harus berhati-hati dan tidak pernah lalai dalam mengamati keadaan. "Hahahaha, apa maksudmu mabuk bau neraka? Kukira kaulah yang baru saja mencium aroma neraka. Pengemis bau, kuharap kau sudah makan tadi pagi, jika tidak aku khawatir kau akan jadi setan kelaparan." Meskipun berbagai macam makian, hinaan dan umpatan dilontarkan sepasang iblis itu, lima orang jagoan tua dari aliran lurus itu memaksa diri untuk menulikan telinga mereka. Kalau sampai ada rasa marah, maka rasa marah itu mereka lampiaskan dalam bentuk serangan-serangan. Keadaan dua pihak itupun jadi sedikit berimbang dengan kedatangan Xun Siaoma, Bai Chungho dan Hua Ng Lau, karena sekarang jika ada yang terperangkap Xi Xing Da Fa, maka yang lain akan membantu mereka lepas dari hisapan dengan menyerang si penghisap. Dua orang iblis itu juga kesulitan untuk menggunakan Xi Xing Da Fa saat menangkis serangan lawan, karena serangan yang datang bukan hanya dari seorang atau dua orang, tapi 3 orang bahkan terkadang serangan datang dari 5 orang sekaligus. Serangan tiap orang tidak bisa diremehkan, karena yang menyerang juga tokoh-tokoh kelas satu. Seluruh dunia persilatan menyaksikan pertarungan ini dengan hati tegang. Tidak semua orang mengharapkan kemenangan dari partai lurus. Lurus dan sesat dalam dunia persilatan tidak mudah diuraikan ujung pangkalnya. Kecuali mereka yang memiliki dendam pribadi dengan sepasang iblis itu, yang lainnya melihat pertarungan itu dengan pikiran mendua. Mereka menginginkan satu orang kuat untuk memegang kedudukan Wulin Mengzhu dan menyatukan kekuatan menghadapi ancaman dari luar. Tapi persatuan yang diinginkan ini hanyalah kesatuan yang semu, karena urusan dendam, ambisi dan perebutan kekuasaan yang menghubungkan seorang dengan yang lain, antara satu golongan dengan golongan yang lain. Hampir tidak ada seorangpun yang bersih dari pertentangan ini. Bagi sebagian orang, Wulin Mengzhu yang haus harta dan kekuasaan justru lebih mudah dihadapi daripada seorang Wulin Mengzhu dengan idealisme yang tinggi. Kemenangan Ding Tao di babak terakhir, disambut dengan meriah, namun juga dengan banyak perhitungan di balik sorakan itu. Kehadiran Shao Wang Gui dan Thai Wang Gui adalah bukti nyata tidak adanya kesatuan yang diharapkan itu. Sebagian besar dari mereka, memilih untuk diam dan menunggu perkembangan lebih lanjut sebelum memilih pihak tertentu untuk dibela. Jangankan dari keseluruhan tokoh persilatan yang begitu beragam. Dari 6 perguruan besar pun, kesatuan yang rapuh itu sudah bisa dilihat. Bahkan Bhiksuni Huan Feng yang dipandang satu pandangan dengan dua perguruan berlatar belakang agama yang lain, hanya berdiri menyaksikan, meski dengan kerut merut yang menunjukkan rasa khawatir di wajahnya. Apalagi jika menilik wajah Guang Yong Kwang atau Zhong Weixia. "Kurang ajar!", maki Shao Wang Gui, ujung tongkat Hua Ng Lau hampir saja mencium batang hidungnya, untung dia cepat menjatuhkan tubuh ke belakang. Sambil berjumpalitan dia pun berseru. "kakak, orang-orang ini mulai menyebalkan, kenapa tidak kau gunakan Pedang Angin Berbisik?" "Apa kau sudah bosan bermain? Baiklah kita sudahi saja permainan ini.", lawan Thai Wang Gui. 5 orang jagoan tua itu pun dibuat menegang oleh percakapan itu, bagaimana tidak, ketika dua orang iblis itu bertangan kosong mereka sudah dibuat memeras tenaga sekedar untuk mendesak mereka. Jika benar Pedang Angin Berbisik ada di tangan Thai Wang Gui maka sama artinya mereka sudah menanda tangani perjanjian untuk mati, saat mereka memutuskan untuk bertarung melawan dua orang dedengkot aliran sesat itu. Bukan hanya mereka berlima yang jantungnya berdenyut kencang mendengar nama Pedang Angin Berbisik, bekas-bekas pengikut keluarga Huang ikut pula berdebaran mendengar hal itu, pedang itu bisa jadi bukti paling nyata akan keterlibatan sepasang iblis itu dalam pembantaian di Wuling. Apalagi bagi Ding Tao yang merasa membawa beban tanggung jawab yang diberikan Gu Tong Dang atas pedang itu. Mereka tidak perlu menunggu lama, belum habis kata-kata Thai Wang Gui diucapkan, tangannya sudah bergerak menghunus pedang yang digantungkan di pinggang. Sebuah kilatan pedang, membelah barisan 5 orang tokoh besar di jaman itu. Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, Tetua Xun Siaoma, Ketua Bai Chungho dan Hua Ng Lau dipaksa berlompatan menghindar ke segala arah, saat pedang di tangan Thai Wang Gui bergulung hampir-hampir tanpa suara, menyerang mereka dengan hebatnya. Tongkat di tangan Hua Ng Lau sudah putus menjadi dua, ujung tongkat pemukul anjing milik Bai Chungo pun terpapas di ujungnya. Bagaikan harimau tumbuh sayap, Thai Wang Gui berdiri di tengah panggung dengan kaki terpentang. Sementara kelima orang lawannya pucat pias di tempat masing-masing, bukan mereka tidak memiliki keberanian untuk bertindak, tapi otak mereka berputar kencang mencari kelemahan lawan dan tidak juga menemukannya. Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui tertawa berkakakan dengan kepala mendongak pongah. Hati setiap orang jadi ciut menyaksikan kegarangan mereka berdua. Bhiksuni Huan Feng yang dari tadi belum dapat menentukan sikap, perlahan- lahan menghunus pedang di tangannya. Suaranya jernih dan lantang, bening mengatasi tawa sepasang iblis itu, membangunkan setiap orang kembali pada kesadarannya. "Saudara-saudara sekalian, sebelum menghadapi ancaman dari luar, kita bersihkan dulu yang ada di dalam. Jika tidak jangan salahkan siapa-siapa, ketika sepasang iblis ini mencabut jantung kalian dan memakannya mentah-mentah. Mereka ini sepasang binatang liar, yang tidak akan tenang jika tidak mencium darah. Hari ini mungkin bukan kalian, tapi akan datang saatnya mereka mengalihkan pandangannya ke setiap orang dari kita." Hampir berbareng setiap orang dari yang muda hingga yang tua, dari yang memiliki nama sampai yang tak bernama, mencabut senjata masing-masing meskipun belum tentu tahu dengan cara apa mereka akan menyerang sepasang iblis itu. Namun sebelum ada seorangpun yang dapat bertindak Xhong Weixia pun berseru "TAHAN !!!" Suaranya menggelegar bertalu-talu ke seluruh penjuru, tidak di bawah suara Bhiksuni Huan Feng yang bening dan tajam menyelusup ke telinga setiap orang. "Apa maksudmu?", terkejut Bhiksuni Huan Feng menatap tajam ke arah Zhong Weixia. "Hmm apakah kita semua berkumpul sekarang ini untuk menyelesaikan masalah orang-orang tertentu?", tanay Zhong Weixia dengan suara yang keras bukan hanya ditujukan pada Bhiksuni Huan Feng tapi pada seluruh yang ada. "Apakah kita berkumpul untuk menyelesaikan masalah keluarga Huang di Wuling? Atau mungkin urusan dendam lama salah seorang dari kita terhadap Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui?" "Tidak." "Kita berkumpul untuk menentukan Wulin Mengzhu yang baru. Wulin Mengzhu yang menyatukan kita untuk menghadapi ancaman dari luar. Thai Wang Gui datang sebagai salah satu calon Wulin Mengzhu, seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama seperti calon-calon yang lain. Namun sebelum dia sempat diuji, apakah dia lebih baik dari Ketua Ding Tao atau tidak, tiba-tiba terjadilah serentetan kericuhan. Mungkin ini bukanlah kehendak Ketua Ding Tao sendiri, tapi jelas ada orang-orang yang mendukung Ketua Ding Tao, yang tidak ingin Ketua Ding Tao dan Thai Wang Gui mengukur kepandaian secara adil.", ujar Zhong Weixia membuat setiap orang tak bisa bicara. "Aku setuju dengan Ketua Zhong Weixia", ujar Guang Yong Kwang dengan suara lantang. "Masalah pertentangan dan dendam, adakah seorang dari kita yang sepenuhnya tidak tersangkut dalam jaring-jaring dendam ini? Jika masalah dendam dan pertentangan antar saudara, masih dibawa ke tempat ini, bagaimana mungkin kita bisa menyatukan kekuatan melawan ancaman dari luar? Jika demikian tidak ada gunanya seorang Wulin Mengzhu dipilih.", ujar Guang Yong Kwang sambil menatap ke arah orang-orang di sekelilingnya. "Ketua Ding Tao belum bisa menjadi Wulin Mengzhu karena masih ada calon lain yang belum sempat maju untuk bertanding dengannya, memutuskan siapa yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Seandainya sudah, maka dengan satu patah kata darinya tanpa banyak tanya aku pun akan ikut menangkap Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui." "Tapi sekarang ini, jika aku melakukan hal itu, bukankah justru melanggar asas keadilan? Apakah sudah pasti bila mereka bertanding bahwa Ketua Ding Tao yang akan menang? Bagaimana jika ternyata Thai Wang Gui yang menang? Bukankah itu artinya Thai Wang Gui-lah yang seharusnya jadi Wulin Mengzhu? Jika demikian bukankah aku justru melakukan perintah Wulin Mengzhu yang palsu untuk menangkap Wulin Mengzhu yang asli?", tanya Guang Yong Kwang pada sekalian orang. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya pandangan setiap orang pada kedudukan Wulin Mengzhu itu tidaklah sederhana. Ada banyak kepentingan di dalamnya. Guang Yong Kwang tepat benar ketika bertanya, adakah di antara kita yang bebas sepenuhnya dari jaring dendam? Bukan hanya jaring dendam, tapi juga jaring-jaring ambisi dan perebutan kekuasaan. Meskipun hanya berupa berita angin, keinginan Ding Tao untuk menciptakan tatanan baru dalam dunia persilatan bukannya tidak pernah terdengar, karena justru hal itu yang digunakan untuk merekrut orang-orang yang sepikiran ke dalam Partai Pedang Keadilan, dan tidak semua orang menginginkan hal itu. Sesungguhnya memang hukum rimba adalah hukum yang paling mudah diterima oleh mereka yang mengandalkan kerasnya kepalan dan tajamnya pedang untuk hidup. Persoalan ini bukannya tidak pernah terpikirkan oleh para pimpinan Partai Pedang Keadilan, hampir dalam setiap pertemuan mereka membicarakan hal ini. Satu hal yang sangat sulit, bila memang Ding Tao ingin menerapkannya dalam posisi Wulin Mengzhu. Sampai pada saat pertemuan terakhir, sebenarnya baru satu peraturan yang ingin coba ditetapkan, seandainya Ding Tao berhasil menjadi Wulin Mengzhu. Peraturan itu adalah, larangan bagi setiap orang dalam dunia persilatan untuk menggunakan ilmu silat melawan orang awam. Dengan larangan ini harapannya, pembegalan di jalan-jalan, pembunuhan di luar masalah perebutan nama dan dendam keluarga, pemerkosaan, dan beberapa macam kejahatan lain yang sering timbul bisa ditekan. Bahkan satu peraturan ini pun diyakini sudah akan membuat banyak orang berteriak marah. Bukan satu rahasia, tidak sedikit orang-orang dalam dunia persilatan yang mencari makan dengan cara mencuri atau merampok. Lu Jingyun yang tidak punya pekerjaan tetap dari mana dia bisa makan enak dan minum arak bagus, jika bukan karena mengandalkan ilmu ringan tubuhnya. Meskipun tidak pernah tertangkap basah, tapi setiap orang dalam dunia persilatan sudah bisa menduga apa yang dilakukan Lu Jingyun untuk mencari makan. Tapi sudah seperti itu pun, tidak ada yang memandang rendah pada Lu Jingyun, tidak juga menganggap dia masuk ke dalam aliran sesat. Bukan tanpa alasan memang, karena sasaran Lu Jingyun hanyalah orang-orang tertentu, yang mungkin bahkan tidak merasa kehilangan saat hartanya diam-diam dicuri Lu Jingyun. Lagipula Lu Jingyun tidak pernah menggunakan ilmunya itu untuk mencederai orang. Sedemikian sulitnya untuk membuat garis yang jelas tanpa memancing perselisihan yang luas, hingga Ding Tao pun akhirnya mengalah pada saran yang lain. Peraturan yang satu itu pun akhirnya dia batasi lagi, yang dilarang adalah melukai, menghilangkan nyawa dan juga perbuatan-perbuatan yang mencederai kehormatan manusia lainnya. Merampok atau mencuri tidak termasuk di dalamnya, selama tidak ada yang terbunuh atau terluka pada saat kejadian. Ding Tao pun menggeleng-gelengkan kepala bila dia mengenang pertemuan-pertemuan itu. Sejak saat itu, keinginan Ding Tao untuk menjadi Wulin Mengzhu semakin surut, jika bukan mengingat ancaman Ren Zuocan mungkin Ding Tao tidak akan berada di kaki gunung Songshan hari ini. Tapi sekarang Ding Tao tidak menyesal sudah datang ke kaki gunung Songshan, karena hari ini justru orang-orang yang paling dia cari-cari sudah muncul. Yang pertama tentu saja Hua Ying Ying dan Huang Ren Fu. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Yang kedua adalah pelaku yang memimpin pembantaian di kota Wuling, Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui. Maka mendengar Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang berbicara panjang lebar, tanpa ragu-ragu lagi Ding Tao berseru dengan lantang, suaranya pun mengatasi riuh rendah suara orang berbicara. "Aku tidak keberatan. Biarkan aku berhadapan satu lawan satu dengan Thai Wang Gui, supaya jelas siapa yang berhak atas kedudukan Wulin Mengzhu." Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun tergagap, untuk kemudian mendesah, pasrah. Dengan perkataan Ding Tao tadi, tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk mencegah terjadinya pertarungan antara Ding Tao melawan Thai Wang Gui. Jika mereka berkeras, maka justru kesan yang buruk yang akan nampak. Kewibawaan Ding Tao akan diragukan orang, akan muncul kesan dia seorang lemah yang harus dijaga. Kalau kemudian Ding Tao mengikuti nasehat mereka, justru lebih buruk lagi, bisa muncul anggapan bahwa Ding Tao sebenarnya hanyalah boneka dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Bukan hanya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang menghela nafas, Bai Chungho, Xun Siaoma, Bhiksuni Huan Feng dan Hua Ng Lau pun ikut menghela nafas dan mengkhawatirkan keadaan pemuda itu. Bai Chungho menghampiri Ding Tao yang sedang berjalan menuju ke tengah panggung untuk menghadapi Thai Wang Gui, "Anak Ding Tao, apakah kau sudah yakin?" Ding Tao menjawab pendek. "Tetua Bai Chungho, soal menang atau kalah, aku sendiri tidak punya keyakinan 100%. Tapi soal apakah aku harus menghadapinya atau tidak, itu aku sudah yakin." Bai Chungho hanya bisa mendesah. "Baiklah kalau tekadmu sudah bulat, dengar hati-hati dengan kukunya yang runcing, karena tiap kuku mengandung bisa. Setiap kali hendak melakukan pukulan jarak jauh, setan tua itu tentu akan mengangkat tangan setinggi pundak, merapat di depan dada. Jika warna telapak tangannya berubah kehitaman, berarti pukulannya beracun, tidak perlu kau tangkis, lebih baik kau hindari sambil menahan nafas." Hua Ng Lau menyambung. "Pukulan beracun itu sendiri tidak bisa digunakan terlalu sering, pada dasarnya pukulan itu dilakukan dengan cara mengumpulkan darah beracun di telapak tangannya, kemudian dengan kukunya yang tajam dia menggores telapak tangannya sendiri. Setelah itu dia menghentakkan hawa murni dalam bentuk pukulan tenaga dalam. Dengan cara itu darah beracunnya akan menyembur sesuai dengan arah pukulan." "Luka yang dia buat tidak boleh terlalu besar, jika terlalu besar maka darah yang disemburkan tidak akan berupa kabut seperti yang kita lihat, selain juga darah yang menyembur akan terlalu banyak. Bagaimana pun juga cara itu merugikan diri sendiri karena jika darah terlampau banyak berkurang tentu saja tubuh akan menjadi lemah.", demikian Hua Ng Lau mencoba menjelaskan tentang pukulan beracun Thai Wang Gui. Xun Siaoma yang sudah ada di sana ikut memberikan nasihat. "Sebenarnya berat untuk mengatakan hal ini, tapi ilmu pedang setan tua itu, punya kemiripan dengan ilmu pedang Hoashan. Kau sudah pernah berhadapan denganku, juga dengan Pan Jun. Jadi kukira kau sudah cukup mengerti, setiap gerakan tentu diiringi penggunaan hawa murni yang mantap, jadi hati-hati kalau beradu pedang." Pendeta Chongxan pun ikut memberi masukan. "Terutama harus perhatikan penggunaan hawa murnimu, begitu kau merasa hawa murnimu terhisap, segera cari jalan mundur dan hentikan pengerahan hawa murni. Juga jangan berpikir karena kau menggunakan pedang dia tidak bisa menghisap hawa murnimu lewat perantaraan pedangnya." Lanjutnya lagi. "Jika kau perhatikan baik-baik langkah kakinya, perkembangannya tidak lebih dari 3. Dia mungkin menggunakan macam-macam gerak tipu, namun perubahan gerak tubuhnya hanya ada 3. Waktunya terlalu singkat untuk kujelaskan, tapi aku percaya asalkan kau perhatikan baik-baik kau akan bisa memahaminya." "Petunjuk Pendeta Chongxan ini sangat berharga, ingatlah pada beberapa gebrakan pertama kau perhatikan baik-baik ilmu langkah dari Setan Tua itu, karena lawan menggunakan Xi Xing Da Fa, dalam menghadapi serangan lawan pilihannya tinggal menghindar.", ujar Xun Siaoma mengingatkan. Terharu juga Ding Tao oleh perhatian sekalian orang tua itu, dia mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Terima kasih atas petunjuk tetua sekalian, aku akan mengingatnya baik-baik. Jangan khawatir masalah pemilihan Wulin Mengzhu, sekuat tenaga tidak akan kubiarkan dia mendapatkannya. Jika perlu aku akan mengadu jiwa dengan dia." Bhiksu Khongzhen yang sejak tadi hanya diam berdiri menghela nafas dan berkata. "Justru itu yang membuat kami khawatir. Kami yang tua ini tidak ingin melihatmu beradu nyawa dengannya, tapi membiarkan dia menduduki kedudukan Wulin Mengzhu juga adalah satu hal yang berbahaya. Itu sebabnya kami mendahuluimu maju mendapatkan dia. Kalaupun ada yang beradu nyawa, biarlah kami yang tua-tua ini." Jangan kata Ding Tao bukan orang yang perasa, mendengar perkataan Bhiksu Khongzhen yang begitu mengasihi dirinya pemuda ini pun merasa kedua bola matanya memanas, sambil mengerjapkan mata dan menahan agar tidak ada air mata yang jatuh pemuda itu membungkuk dalam-dalam. Tidak berani dia mengucapkan sesuatu, karena dia tidak tahu apakah nanti dia bisa bicara dengan jelas atau tidak. Tanpa panjang kata lagi, pemuda ini pun meninggalkan orang-orang tua yang menaruh banyak harapan padanya. Thai Wang Gui berdiri sendirian di tengah panggung. Shao Wang Gui dan Wu Shan Yee menyisih ke bawah. Ding Tao belum pernah berjumpa dengan orang setinggi Thai Wang Gui. Tingginya sendiri termasuk di atas rata-rata kebanyakan orang. Sering dia berhadapan dengan orang yang lebih pendek dari dirinya, terkadang sama tinggi, tapi belum pernah dia harus sedikit menengadahkan kepala agar dapat menatap mata lawannya. "Heheheheh anak muda apa kau sudah selesai mendengar nasihat orang-orang tua itu? Ku harap kau tidak jadi ketakutan setelah mendengar dongeng mereka. Tapi kalau kau merasa takut, tidak ada salahnya kau mundur sekarang.", ujar Thai Wang Gui dengan tawa mengejek. "Tidak perlu menghina orang, aku tidak takut padamu. Jika kau sudah siap, lebih baik kita mulai saja pertarungan ini.", jawab Ding Tao dengan singkat. "Hmmm anak muda memang bersemangat baiklah tapi jangan nanti kau minta-minta ampun jika kita sudah memulainya.", ujar Thai Wang Gui dengan mata berkilat marah. Lucu memang dia yang menghina orang tapi sekarang dia yang marah. Seakan-akan jika ada orang yang tidak takut pada ancamannya, hal itu adalah satu penghinaan buat dirinya. Tapi memang demikian kenyataannya, ada orang-orang yang merasa derajatnya jadi lebih tinggi dibandingkan manusia lain, saat dia bisa membuat orang ketakutan pada dirinya. Entah seorang atasan saat berhadapan dengan bawahan, atau seorang kaya saat berhadapan dengan si miskin. Perlakuan tunduk dan hormat karena takut, dia pandang sebagai satu penghargaan. Thai Wang Gui rupanya juga tidak lepas dari sifat demikian. Ding Tao yang masih muda, dipandangnya rendah dan menurut perasaannya harus merasa takut pada dirinya. Ding Tao yang tidak merasa takut pada dirinya adalah sebuah penghinaan. "Kaupun jangan minta ampun setelah kita memulainya. Untuk perbuatanmu di Wuling, aku tidak akan mengampunimu.", jawab Ding Tao dengan tidak kalah dingin mengancam. "Cucu kura-kura! Demit! Setan alas! Akan kurobek mulutmu anak muda!", geram Thai Wang Gui dengan marah. "Jaga mulutmu baik-baik atau nanti aku yang merobek mulutmu.", timpal Ding Tao dengan ringan, sementara matanya mengawasi lawan tanpa berkedip sedikitpun. Benar saja kemarahan Thai Wang Gui sudah sampai di ubun-ubun, tanpa banyak berbicara lagi, tanpa peringatan, pedang angin berbisik menebas dengan cepat ke arah mulut Ding Tao. Rupanya Thai Wang Gui benar-benar tersinggung dan ingin merobek mulut pemuda itu untuk membuktikan ancamannya dan mengembalikan harga dirinya. Gerakan Thai Wang Gui benar-benar cepat, tubuhnya yang besar tidak membuat gerakannya jadi lamban, namun Ding Tao tidak kalah cepat, tanpa ragu pemuda itu menangkis serangan Thai Wang Gui dengan pedang yang entah sejak kapan sudah terhunus di tangannya. Tanpa menggeser kakinya sedikitpun, bahkan badannya pun tidak bergerak, Ding Tao menggerakkan pedangnya ke atas dengan gerakan melingkar, menghadang Pedang Angin Berbisik yang menebas cepat ke arah mukanya. Hasilnya sungguh mengejutkan bagi semua orang, terutama bagi Thai Wang Gui. Percikan bunga api pun melompat saat dua bilah pedang yang terbuat dari bahan yang sama itu berbenturan. Selain Ding Tao dan para pengikut utamanya, tidak ada yang tahu bahwa Pedang Pusaka di tangan Ding Tao adalah kembaran dari Pedang Angin Berbisik, dibuat dengan bahan yang sama dan oleh ahli pembuat pedang yang sama. Pedang Angin Berbisik sedikit lebih ringan, sedikit lebih lentur, sedikit lebih panjang dan sedikit lebih tajam, tapi bukan berarti kualitas pedang pusaka yang ada pada Ding Tao berada di bawah Pedang Angin Berbisik. Perbedaan di antara kedua pedang itu tak ubahnya Yin dan Yang dalam Tao. Tidak ada yang lebih di atas atau di bawah, semuanya tergantung bagaimana cara pemakaiannya saja. Bentuk pedang di tangan Ding Tao justru sangat sesuai untuk bertahan. Karena lebih berat, saat berbenturan dengan Pedang Angin berbisik, maka Pedang Angin Berbisik yang lebih ringan yang terpental lebih jauh, meskipun tenaga yang digunakan pemiliknya tidak jauh berbeda. Juga karena lebih pendek maka lebih mudah diatur pergerakannya sesuai dengan kemauan Ding Tao. Tadinya semua orang termasuk Thai Wang Gui menganggap Ding Tao terlalu sembrono, menangkis Pedang Angin Berbisik di tangan Thai Wang Gui, maklum saja jika Ding Tao ingin menggunakan hawa murni untuk menguatkan pedang, maka Thai Wang Gui memiliki Xi Xing Da Fa. Jika tidak, maka Thai Wang Gui memiliki Pedang Angin Berbisik. Tapi kenyataannya Ding Tao tidak mengandalkan hawa murninya, sehingga Thai Wang Gui tidak bisa memanfaatkan Xi Xing Da Fa dan di hadapan pedang pusaka Ding Tao ternyata Pedang Angin Berbisik tidak bisa berbuat banyak. Wajah-wajah mereka yang tadinya mengkhawatirkan Ding Tao pun berubah jadi lebih cerah. Meskipun setiap orang tahu Ding Tao memiliki pedang pusaka, tapi sungguh di luar dugaan mereka bahwa pedang pusaka Ding Tao bisa menyamai Pedang Angin Berbisik yang dipandang sebagai rajanya pedang pusaka. Merasakan pedang pusakanya terpental balik, Thai Wang Gui ikut melompat mundur, sekilas dia memeriksa keadaan Pedang Angin Berbisik, ketika dilihatnya tidak muncul cacat pada bilah pedang, barulah hatinya merasa lega. Saat Thai Wang Gui memeriksa pedangnya, dengan ujung matanya Ding Tao pun melirik sekilas ke arah pedang yang sekarang terangkat di sisi kepalanya. Pendekar pedang di mana pun sama, menilai pedang melebihi nyawa sendiri. Apalagi Pedang Angin Berbisik adalah senjata pusaka yang tidak ada bandingannya. Setelah yakin tidak terjadi apa-apa pada pedangnya Thai Wang Gui pun menengok ke arah Ding Tao dan dilihatnya pemuda itu berdiri dengan tenang sambil tersenyum mengejek. Tidak sedikitpun dia bergeser dari tempatnya yang semula. Ditambah lagi dengan tangan kirinya yang tergantung di bahunya, sungguh penampilan Ding Tao itu membuat hati Thai Wang Gui makin terbakar. "Keparat! Jangan terburu sombong!", teriaknya sambil melesat maju untuk kedua kalinya. Entah siapa yang sebenarnya sombong, sekali lagi Thai Wang Gui mencecar Ding Tao di bagian wajahnya. Dalam hati dia masih yakin bahwa pedang pusaka yang ada di tangannya lebih baik dibandingkan pedang pusaka milik Ding Tao dan untuk menggandakan kekuatan Pedang Angin Berbisik, Thai Wang Gui pun mengerahkan hawa murninya, mengalirkannya pada Pedang Angin Berbisik yang ada di tangannya. Menurut perkiraan Thai Wang Gui, pedang di tangan Ding Tao tentu akan terpental oleh Pedang Angin Berbisik. Siapa sangka di saat dirinya menyerang dengan menggunakan hawa murni, Ding Tao pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis serangan Thai Wang Gui dilambari dengan hawa murni juga. Sekali lagi serangan Thai Wang Gui digagalkan Ding Tao tanpa harus menggeser tubuhnya sedikitpun. Gagal untuk kedua kalinya tidak membuat Thai Wang Gui mempertimbangkan kembali penilaiannya atas Ding Tao, kegagalannya ini justru membuat emosinya naik dan makin penasaran. Maka riuh rendah kaki gunung Songshan dentangan dua pedang berbenturan berkali-kali, sedemikian cepat dalam waktu yang singkat. Tubuh Thai Wang Gui bergerak dengan cepat, demikian pula serangan pedangnya. Begitu cepatnya hingga bagi yang tidak terbiasa, tubuh Thai Wang Gui terlihat mengabur, sesekali terlihat seperti berada di dua tempat sekaligus. Sementara dengan tenangnya Ding Tao menangkis tiap-tiap serangan tanpa bergeser sedikitpun dair posisinya semula. Mengundang kekaguman dari mereka yang menyaksikan, mengundang rasa marah dan kesal pada mereka yang membenci dirinya. Bola mata Thai Wang Gui sampai melotot hampir melompat keluar dari tempatnya, betapa tidak, dia begitu yakin pada ketajaman Pedang Angin Berbisik, dia menyerang seperti seorang tukang kayu menebang pohon. Dalam bayangannya setelah belasan kali berbenturan pedang Ding Tao akan gempil di sana sini dan kemudian putus dibabat habis. Tapi sekian lama dia menyerang pedang Ding Tao tidak luka sedikitpun, malah dia yang terlihat seperti orang bodoh. Semakin penasaran kali ini Thai Wang Gui berniat membuat Ding Tao kecolongan, dia menyerang dengan Xi Xing Da Fa disiapkan untuk menghisap hawa murni lawan yang jelas-jelas mengaliri pedang. Bwettt! Tang! Sekali lagi Thai Wang Gui dibuat malu, jika tadi Ding Tao menangkis pedangnya dengan menggunakan hawa murni sekarang Ding Tao menangkis pedangnya melulu dengan tenaga luar. Betapa gemas hati Thai Wang Gui, dengan sebuah teriakan liar yang mengerikan dia bergerak dua kali lebih cepat. Terkadang menggunakan hawa murni untuk menguatkan serangan, terkadang tanpa menggunakan hawa murni karena dia bersiap menggunakan Xi Xing Da Fa untuk menghisap hawa murni Ding Tao, dan itu tidak bisa dia lakukan jika dia mengerahkan hawa murninya. Tapi betapapun dia mencoba, Ding Tao selalu berhasil "menebak" Dengan tepat siasat yang dia pakai. Ketika Thai Wang Gui menyerang dengan Xi Xing Da Fa, Ding Tao menangkis dengan tenaga luar. Ketika Thai Wang Gui menyerang dengan hawa murni mengaliri pedang, Ding Tao juga menangkis dengan cara yang sama. Seakan mau pecah kepala Thai Wang Gui oleh rasa marah, muak dengan senyum tersungging di wajah Ding Tao yang tidak juga hilang, dia pun mengerahkan segenap hawa murninya dan menyerang sehebat-hebatnya. Pedang Angin Berbisik yang selalu bergerak hampir-hampir tanpa suara pun sampai dibuat mendengung dengan keras, karena selagi menebas Pedang Angin Berbisik juga bergetar dengan cepat oleh sebab besarnya hawa murni yang dihentakkan oleh Thai Wang Gui. Di saat Thai Wang Gui sudah sampai pada puncak kemarahannya ini, justru Ding Tao bergerak menghindar, kakinya sedikit merendah dan tubuhnya meliuk ke belakang, menghindari Pedang Angin Berbisik yang lewat tipis saja melintasi ujung hidungnya. Begitu serangan Thai Wang Gui lewat, tubuh Ding Tao sudah meliuk ke depan dan ganti menyerang. Sekalinya menyerang Ding Tao tidak menyerang setengah-setengah, pedang pusaka di tangan Ding Tao dalam sekejapan berubah seperti belasan bintang jatuh dari atas langit. Inilah jurus pedang yang dia hadapi dalam pertarungannya yang pertama. Inilah jurus hujan bintang jatuh milik Wang Chen Jin, musuh pertama dalam hidupnya, sekaligus orang yang mendorong dia terjun dalam dunia persilatan. Jurus boleh sama, tapi yang melakukan beda orangnya, di tangan Ding Tao jurus ini berkali lipat berkembang kehebatannya. Wibawanya benar-benar mengerikan, rasa marah Thai Wang Gui yang meluap-luap, seketika itu juga hilang lenyap, digantikan rasa takut yang luar biasa. Hawa kematian mencekam Thai Wang Gui, ketika dia sadar sudah jatuh dalam jebakan lawan. Oleh karena kesombongan dan nafsunya sendiri dia melupakan pertahanan, tidak terpikir lawan akan menghindar apalagi balik menyerang. Sebelum otak Thai Wang Gui bekerja, tubuhnya sudah terlebih dahulu mengambil keputusan. Tanpa malu-malu setan tua itu pun melompat bergulingan, menjauh dari serangan pedang Ding Tao yang seakan-akan berubah menjadi malaikat mau yang mengejar nyawanya. Saat dia sadar dan melompat berdiri, barulah dia melihat, ternyata Ding Tao masih juga belum beranjak dari posisinya semula. Berbarengan dengan itu terdengarlah suara sorak sorai meledak dari antara mereka yang menyaksikan pertarungan itu. Bukan hanya sorak sorai, bahkan di sana sini tidak sedikit terdengar suara tawa meledak. "Keparat! Keparat! Kutu busuk! Anjing kurap!", Thai Wang Gui komat-kamit sendiri dengan wajah merah padam menahan malu. Sementara Shao Wang Gui dan Wu Shan Yee yang jadi pendukung Thai Wang Gui hanya bisa menundukkan kepala sambil mengomel perlahan-lahan. Tidak sedikit di antara penonton yang tertawa menyaksikan Thai Wang Gui bergulingan di atas lantai, namun di antara mereka yang berdiri dekat Shao Wang Gui mungkin hanya dua orang ini saja yang berani tertawa. "Tidak kusangka iblis tua seperti Thai Wang Gui pun ternyata punya ilmu anjing merangkak yang hebat.", seru seorang dari mereka yang begitu terkesima dengan pameran Ding Tao mempermainkan Thai Wang Gui. Ucapan itu disambut tawa oleh rekan yang berdiri di sebelahnya. Usia mereka masih muda, jika tidak mungkin ingatan akan kekejaman sepasang raja iblis itu akan menjaga mulut mereka untuk tidak sembarangan terbuka. Telinga Shao Wang Gui yang sudah sejak tadi merasa dikili-kili oleh sorak sorai seluruh orang di kaki Gunung Songshan itu pun berubah warna jadi merah. Kebetulan hatinya sudah panas melihat kebodohan Thai Wang Gui yang kena dipermainkan oleh lawannya yang lebih muda. Tanpa banyak cakap Shao Wang Gui berjalan ke arah dua orang muda itu. Sebelum mereka bisa berkata satu patah kata pun, tangannya sudah bergerak cepat menyodok ulu hati mereka. "Hukk!", suara tertahan keluar dari tenggorokan kedua orang muda itu. Dan tanpa banyak kata lagi mereka pun berjatuhan ke atas tanah seperti lalat kena pukul. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Nyawanya hilang seketika itu juga. Mereka yang berdiri di situ hanya bisa memandang dengan alis terangkat, tapi begitu pandang mata mereka bentrok dengan pandang mata Shao Wang Gui, seketika itu juga mulut tiap orang terkatup rapat. Selesai membunuh dua orang muda itu, perasaan Shao Wang Gui terasa sedikit lebih ringan. Sekali lagi dia menatap ke orang-orang yang ada di sekelilingnya. Melihat mereka terdiam ketakutan, Shao Wang Gui pun berjalan kembali ke sisi Wu Shan Yee yang sedang menyaksikan pertarungan antara Ding Tao dan Thai Wang Gui. Sungguh sembrono dua orang muda itu, namun memang sungguh hebat kejadian yang mereka saksikan hari ini, sehingga sulit juga untuk menyalahkan mereka. Seorang tokoh tua yang ditakuti bahkan baru saja menunjukkan kehebatannya saat dikerubuti oleh jagoan-jagoan nomor satu di dunia persilatan bisa jadi kecundang di tangan seorang muda. Sebenarnya hal ini terjadi bukan melulu karena kehebatan Ding Tao, selihai-lihainya Ding Tao toh belum bisa melampaui kehebatan Bhiksu Khongzhen. Juga bukan melulu karena terbantu oleh pedang pusakanya yang mampu mengimbangi Pedang Angin Berbisik di tangan Thai Wang Gui. Yang menjadi sebab utama justru adalah kesombongan Thai Wang Gui sendiri, kesombongan yang berubah menjadi senjata terhebat untuk melawan dirinya. Karena sombong dan memandang rendah Ding Tao, amarahnya jadi bangkit oleh keberanian pemuda itu. Karena marah, diapun termakan oleh perkataan pemuda itu. Sedari tadi yang diserang hanyalah mulut Ding Tao, yang ingin dia robek untuk membuktikan kelebihannya atas pemuda itu. Semahir- mahirnya Thai Wang Gui bermain pedang, jika hanya ada satu sasaran untuk dijaga, tentu saja tidak sulit untuk menjaga diri dari serangannya itu. Memang Thai Wang Gui punya Pedang Angin Berbisik dan juga punya Xi Xing Da Fa. Tapi sungguh kebetulan di tangan Ding Tao ada pedang yang bisa menandingi Pedang Angin Berbisik. Juga pemuda itu sudah begitu lama mengenal Pedang Angin Berbisik, meskipun hanya ada sedikit perbedaan yang mungkin orang tidak akan melihat atau lebih tepatnya mendengar, tapi Ding Tao tahu dan mengenalinya, suara Pedang Angin Berbisik yang bergerak saat dilambari hawa murni dan Pedang Angin Berbisik yang bergerak dalam keadaan kosong tanpa dialiri hawa murni. Seharusnya Thai Wang Gui menyadari hal ini dalam belasan jurus saja, namun amarah dan kesombongan sudah membutakan akal sehatnya. Pada puncaknya ketika dia menyerang dengan sepenuh tenaga, sudah hilang sama sekali dalam benaknya, bahwa ada kemungkinan Ding Tao akan menghindar dan balik menyerang. Puluhan serangan sebelumnya seakan sudah melekat kuat dalam benak Thai Wang Gui, bahwa jika diserang tentu akan ditangkis. Gerakan Ding Tao yang di luar "pakem" Ini membuat Thai Wang Gui kehilangan akal, untuk sejenak kesadarannya melayang-layang, kehilangan pijakan. Seperti orang bodoh yang dibacakan sajak dari penyair terkenal, hanya bisa mendengarkan dengan mulut terbuka, mata terbelalak dan otak kosong. Dalam keadaan kosong ini Ding Tao menyerang dengan serangan yang membawa hawa kematian sedemikian kuat. Sehingga tubuh Thai Wang Gui pun bereaksi, digerakkan melulu oleh naluri untuk bertahan hidupnya yang primitif, tidak lagi mengenal siasat apa lagi masalah harga diri. Siapa sangka, Ding Tao pun sudah berhitung bahwa dia tidak akan dapat melukai Thai Wang Gui dalam satu serangan itu, sehingga jurus yang digunakan pun tidak diteruskan, melulu hanya menghentakkan semangat dan hawa pembunuh dalam jurus, sementara orangnya diam di tempat. Meskipun tubuh Thai Wang Gui tidak terluka, harga dirinya terluka habis-habisan, di depan puluhan ribu orang dia dibuat jadi bahan tertawaan. "Raja besar iblis, apakah sudah selesai kau bergulingan? Apa bisa kita mulai lagi pertarungan ini?", tanya Ding Tao dari tempatnya, dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya. Serasa mau pingsan Thai Wang Gui, karena darahnya mengalir begitu cepat ke kepala. Dengan rambut setengah berdiri, setan tua itu pun melolong dan kembali berkelebat menyerang. Kali ini Ding Tao tidak bisa lagi bermain-main, sebelum orangnya sampai sebuah pukulan jarak jauh sudah dilontarkan. Mata Ding Tao yang tajam melihat telapak tangan Thai Wang Gui sudah berubah warna saat diangkat ke depan dada, teringat pesan-pesan Bhiksu Khongzhen dan yang lainnya, dia pun bergerak menghindar sambil menutup jalan pernafasan. Benar saja sebuah kabut kehitaman segera saja menyembur dari telapak tangan Thai Wang Gui, untung saja Ding Tao sudah sigap menghindar dan kabut itu pun hanya melintas saja tanpa membahayakan dirinya. Tapi sebelum sempat dia bergerak lebih jauh, Thai Wang Gui sudah sampai di depannya. Harus diakui Thai Wang Gui yang murka, berkali lipat lebih menakutkan, dalam satu tarikan nafas saja Pedang Angin Berbisik sudah 4 kali disabetkan. Ding Tao tidak kehilangan nyali oleh tandang Thai Wang Gui yang trengginas, pedang pusaka di tangannya tidak kalah cepat bergerak menangkis serangan Thai Wang Gui. Kali ini Ding Tao tidak berdiam diri di tempat, serangan Thai Wang Gui pun tidak sesederhana tadi. Pedang di tangannya bergerak ke sana dan ke mari, mencari-cari setiap celah yang terbuka dalam pertahanan Ding Tao. Tangan kirinya pun tidak diam menganggur, kuku-kukunya yang tajam tidak ubahnya 5 mata pedang yang berkeliaran mencari mangsa. Jika tadi Ding Tao bisa melayani serangan Thai Wang Gui tanpa bergeser tempat sedikitpun tidak demikian kali ini. Pemuda itu dipaksa berlarian ke seluruh penjuru, tangan kirinya yang patah membuat dia tidak bisa bertahan dengan maksimal. Jika bukan karena pengamatannya yang tajam dan ilmu barunya, mungkin sudah sejak tadi Ding Tao terkapar tak bernyawa, dihabisi oleh amukan Thai Wang Gui yang sudah kalap. Kekalapan Thai Wang Gui memang cukup merepotkan, hanya dengan otak yang jernih dan hati yang tenang baru Ding Tao bisa menghadapi tokoh sesat itu. Bukan hanya mata tapi seluruh daya tangkap yang ada pada dirinya, menganalisa keadaan di sekelilingnya. Sejak dia mulai terjun dalam dunia persilatan, inilah lawan terkuat yang pernah dia hadapi. Apalagi saat ini dia berada dalam kondisi yang tidak sempurna, bertarung dengan sebelah tangan dalam keadaan patah. Belasan jurus sudah berlalu, menginjak jurus ke-20 bahkan sampai jurus ke-30, Ding Tao belum juga bergerak menyerang. Peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya, sementara Thai Wang Gui masih segar bugar, tidak aneh, karena sebelum pertarungan ini dia dan Shao Wang Gui sudah menghisap hawa murni 18 orang bhiksu Shaolin ditambah hawa murni Bhiksu Khongti. Meskipun sedikit banyak hawa murni yang mereka serap itu sudah terpakai saat melawan Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, Bai Chungho, Xun Siaoma dan Hua Ng Lau, apa yang sudah mereka hisap masih lebih dariapa yang mereka hamburkan hari ini. Xi Xing Da Fa sendiri bukannya tanpa cacat, hawa murni yang dihisap haruslah digunakan, bagaimanapun juga Xi Xing Da Fa tidak mampu menyatukan hawa murni yang dia hisap dengan hawa murni pemiliknya. Tapi jika digunakan secara berlebihan dalam waktu yang singkat, juga dapat merusak tubuh pemakainya. Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui tidak malu dianggap dedengkot dari para tokoh sesat pada masa mereka. Pusat-pusat dan jalur-jalur energi dalam tubuh mereka hampir mendekati sempurna. Dengan begitu mereka bisa menggunakan Xi Xing Da Fa untuk menghisap lebih banyak hawa murni dibandingkan orang biasa. Mereka juga bisa menyimpan hawa murni hasil hisapan Xi Xing Da Fa lebih lama dibandingkan kebanyakan orang. Kecepatan Thai Wang Gui tidak juga berkurang, sementara Ding Tao belum juga bisa balik menyerang. Apakah ini tanda bahwa perlawanan Ding Tao akan segera berakhir? Jika banyak orang mulai merasa khawatir pada keadan Ding Tao, wajah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang tadinya tegang justru mulai mencair. "Lihat dia sudah mulai memahami polanya", demikian kata Pendeta Chongxan. "Hmm dia memang berbakat, bukan hanya berotak cerdas, dia juga memiliki keberanian dan yang terpenting kesabaran yang jarang dimiliki oleh orang seusianya.", jawab Bhikshu Khongzhen sambil mengangguk-angguk. "Apakah yang dimaksudkan ketua adalah tentang 3 perubahan gerak tubuh milik Thai Wang Gui?", tanya Bai Chungho yang ikut mendengarkan. "Benar, sejak tadi Ketua Ding Tao tidak menyerang, hal itu bukan melulu karena kecepatan dan keganasan serangan dari Thai Wang Gui. Selama itu Ketua Ding Tao terus mengamati berbagai macam pola dari serangan Thai Wang Gui. Hingga sekarang dia masih menghindar tanpa membalas, tapi sejak jurus ke-37, jika diamati dengan jeli ada satu perubahan yang mendasar. Ketua Ding Tao sudah mampu menghindar dengan gerakan paling sedikit dari setiap kemungkinan yang ada.", jawab Bhikshu Khongzhen sambil menoleh ke arah Bai Chungho. Sebuah senyum lebar terbentuk di wajah Bai Chungho. "Heheheh, bagus. Itu artinya setiap serangan setan tua itu sudah terbaca oleh Ketua Ding Tao. Tinggal menunggu waktu sebelum dia tersungkur mencium tanah di hadapan anak muda itu." Pendeta Chongxan ikut tersenyum mendengar perkataan Bai Chungho, namun dia mengingatkan dengan sopan. "Tapi hasilnya belum bisa dipastikan, memang mulai jurus ke-37 Ketua Ding Tao berhasil membaca pergerakan Thai Wang Gui. Namun tenaganya sudah banyak terkuras habis, sementara Thai Wang Gui masih segar bugar. Pula Thai Wang Gui belum menggunakan seluruh ilmu yang dia miliki. Masih terlalu awal untuk memperkirakan hasil pertarungan, namun setidaknya kesempatan Ketua Ding Tao untuk menang sedikit bertambah." Bai Chungho pun terdiam dan kembali mengamati pertarungan yang sedang terjadi. Ding Tao masih juga belum balas menyerang, namun pergerakannya jauh lebih efektif daripada serangan-serangan Thai Wang Gui yang menghamburkan tenaga. Ding Tao dengan cerdik memanfaatkan pedang pusakanya untuk menangkis atau menyelewengkan serangan Thai Wang Gui. Seperti menyaksikan seorang matador mempermainkan seekor banteng yang ganas. Gerakan banteng tentu saja lebih kuat dan lebih cepat. Namun sang matador berhasil mempermainkan banteng itu dengan gerakan-gerakan kecilnya. Membuat si banteng bergerak ke sana dan ke mari, sementara sang matador hanya bergerser satu dua langkah untuk menghindari serangan banteng itu. Thai Wang Gui bukanlah banteng, meskipun butuh waktu beberapa lama, akhirnya dia paham juga dengan apa yang sudah terjadi. Mengetahui kunci gerakannya sudah terpegang di tangan orang, setan tua itu pun memutar otaknya. Tidak lagi dia memandang Ding Tao sebagai lawan yang tidak sederajat dengan dirinya. Meskipun mungkin butuh waktu lama untuk membuat kesombongannya mengakui kesalahan menilai orang, tapi Thai Wang Gui bukanlah orang bodoh. Pada jurus ke 58, gerakan Thai Wang Gui pun berubah, tidak lagi sesederhana sebelumnya. Meskipun hanya 3 macam perubahan, namun yang 3 itu bila dikombinasikan dengan jurus tipu dan jurus yang sungguh-sungguh, menjadi jumlah yang sangat banyak kemungkinannya. Demikian pula dengan serangan-serangannya, memang jika Thai Wang Gui hendak melakukan pukulan jarak jauh, dia akan mengangkat tangan ke depan dada, tapi bukan berarti setiap kali dia mengangkat tangan ke depan dada, dia melakukan pukulan jarak jauh. Bukan hanya Thai Wang Gui saja yang bertarung lebih serius, Ding Tao pun merasa dirinya sudah cukup lama mengamati gerakan lawan, pemuda itu tidak hanya bertahan saja tapi juga berusaha menyerang. Selepas jurus ke-60 mulailah pertarungan terlihat lebih berimbang. Bukan hanya Thai Wang Gui yang terus menerus mendesak Ding Tao, sesekali Ding Tao ganti menyerang dan mendesak Thai Wang Gui mundur ke belakang. Tapi justru di saat keadaan seperti membaik untuk Ding Tao, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan justru menghela nafas dan menampilkan wajah khawatir. "Ketua berdua, apakah keadaan Ding Tao lebih buruk dari sebelumnya?", tanya Bai Chungho yang ikut merasa khawatir. "Hmm belum ada kepastian dalam satu pertarungan selalu saja ada kemungkinan hasilnya bisa berbalik di luar dugaan pengamat yang paling jeli sekalipun.", jawab Bhikshu Khongzhen dengan diplomatis. Mendengar jawaban itu, tentu saja para pendukung Ding Tao yang mendengarnya jadi menciut hatinya. Dengan penuh rasa khawatir mereka memperhatikan pertarungan yang terjadi di atas panggung. Di antara mereka yang menyaksikan dengan penuh rasa cemas, ada pula Hua Ying Ying dan Wang Shu Lin. Tidak butuh waktu lama sebelum perkataan Bhiksu Khongzhen itu terbukti, hanya dalam belasan jurus, Ding Tao kembali terdesak. Bahkan beberapa kali Pedang Angin Berbisik sempat menggores tubuhnya. Ding Tao berusaha untuk tetap tenang, ini bukan kali pertama dia harus menghadapi ancaman maut. Otaknya berputar keras, seluruh tubuhnya sudah bersimbah peluh, otot-ototnya mulai terasa berat untuk digerakkan. Apakah perjalanannya akan berakhir di sini? Di tangan Thai Wang Gui, orang yang sudah membantai puluhan anggota keluarga Huang di Wuling. Di antara puluhan orang itu ada banyak sahabat yang dia kenal sejak kecil. Orang-orang yang kepada mereka dia berhutang budi. Nafasnya makin memburu, detak jantungnya berpacu, berdentam sedemikian keras sehingga serasa menulikan telinganya. Beberapa kali dia sudah melakukan kesalahan dan semakin lama semakin terperangkap oleh jurus-jurus yang dilancarakan Thai Wang Gui. Sebuah seringai kejam penuh kemenangan sudah terpeta di wajah dua orang setan tua itu. Shao Wang Gui yang sudah paham benar dengan permainan rekannya, sudah bisa membayangkan bagaimana pertarungan itu akan berakhir. Tiba-tiba Shao Wang Gui berseru. "Lima !" Thai Wang Gui melontarkan pukulan jarak jauh yang beracun, Ding Tao yang baru saja mendaratkan kakinya di atas panggung, dipaksa menjatuhkan badannya ke samping untuk menghindari pukulan beracun itu. "Empat!", sekali lagi Shao Wang Gui berseru. Pedang Thai Wang Gui bergulung menyerang Ding Tao yang masih bergulingan di atas lantai panggung. Sambil melenting berdiri dan berputar di udara, Ding Tao berusaha menangkis serangan itu dengan pedang pusakanya. Namun karena kuda- kudanya belum mantap, pedang Ding Tao pun terpental, hampir saja terlepas dari genggamannya. "Tiga!", Shao Wang Gui kembali berseru dan kali ini semua orang mulai bisa meraba, apa yang dimaksudkan Shao Wang Gui dengan seruan-seruannya itu. Kelima jari Thai Wang Gui yang tidak memegang pedang, mengembang membentuk cakar garuda, menyambar ke wajah Ding Tao yang tidak sempat lagi menarik pedangnya untuk melindungi wajahnya dari serangan Thai Wang Gui. Sadar akan kuku-kuku Thai Wang Gui yang beracun, Ding Tao pun bergerak menghindar. Tidak ingin melepaskan pedang pusakanya, tubuh Ding Tao pun mengikuti gerakan pedangnya yang dipentalkan Thai Wang Gui, membentuk sebuah putaran, sambil sedikit merendahkan badan. Kuku-kuku jari Thai Wang Gui meleset tipis dan memutuskan ikat kepala Ding Tao. Pemuda itu terus berputar dan pedangnya sekarang bergerak menebas kaki Thai Wang Gui dari posisi yang lebih rendah. "Dua!", Shao Wang Gui berseru kembali. Jauh sebelum pedang Ding Tao sampai pada sasarannya, Pedang Angin Berbisik yang ada di tangan Thai Wang Gui sudah menebas lurus ke bawah, ke arah batok kepala Ding Tao, Ding Tao pun dipaksa untuk menarik kembali serangannya untuk menangkis serangan Thai Wang Gui. "Satu !", seru Shao Wang Gui dan jantung setiap orang pun terasa berhenti berdetak. Serangan Thai Wang Gui menggunakan Pedang Angin Berbisik hanyalah sebuah pancingan, begitu pedang Ding Tao sudah berada di atas kepala. Tangan Thai Wang Gui dengan bebasnya diletakkan di dada Ding Tao. Meski Ding Tao sadar sudah jatuh dalam jebakan Thai Wang Gui, sudah tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar. Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Badik Buntung Karya Gkh