Pedang Angin Berbisik 47
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 47
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Ancaman ini tentu saja membuat keduanya pucat pasi, namun Jin Yong yang tidak ingin melihat dunia persilatan jatuh ke tangan rencana keji ayah Murong Yun Hua, memilih untuk mengeraskan hati dan menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Murong Yun Hua, karena dia sendiri tidak tahu di mana Jin Yong menyembunyikan Pedang Angin Berbisik, segala jeritan dan permohonan Murong Yun Hua pun bertemu dengan telinga tertutup. Tidak banyak yang diingat Murong Yun Hua setelah kejadian itu, karena tak lama kemudian gadis itu kehilangan kesadarannya. Dia terlalu lelah, baik secara fisik dan mental, saat Thai Wang Gui mendekatinya, setitik kekuatan yang ada pada dirinya segera lenyap. Ketika sadar kembali, dia sudah berada di atas pembaringan dalam kamarnya sendiri. Seseorang sudah membersihkan tubuhnya , juga memberikan perawatan pada luka-luka yang ada, kemudian memakaikan baju putih bersih dan menyelimuti dirinya. Murong Yun Hua perlahan bangkit dan duduk di sisi pembaringan, memandangi keadaan di sekelilingnya, sebelum pandangannya berhenti pada pakaiannya yang putih bersih. Satu seringai yang tak jelas terbentuk di wajahnya, entah perasaan apa yang sekarang ini mengambil bentuk dalam hatinya. Belum lama dia termangu, seseorang sudah membuka pintu, orang itu adalah ayahnya. "Yun Hua", tegur ayahnya dengan lembut. Ketika Murong Yun Hua tidak menjawab apa-apa, ayahnya berjalan mendekat dengan wajah penuh kasih dan penyesalan. Perlahan dia duduk di samping Murong Yun Hua, dengan lembut dia menepuk-nepuk tangan Murong Yun Hua. "Yun Hua aku sungguh sedih dan menyesal, bahwa kau harus mengalami semua ini. Tapi kau harus mengerti, pengorbanan kita sekarang ini, bukanlah pengorbanan tanpa arti dan tujuan. Ketika nenek moyang kita membangun Dinasti Yan, berapa banyak prajurit yang harus berkorban nyawa di medan laga? Setiap orang mengorbankan apa yang ada pada diri mereka, demi satu perjuangan suci, demi satu cita-cita yang mulia, yang melampaui kehidupan mereka sendiri." "Kita manusia hanya hidup beberapa puluh tahun, lalu mati. Tapi kita bisa menghabiskan tahun-tahun yang terbatas itu, untuk membangun sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Sesuatu yang akan bertahan lama, lama bahkan sesudah kita mati.", demikian ayah Murong Yun Hua memberikan nasehat. "Kami terpaksa menggunakan cara yang keras terhadap suamimu, karena ternyata dia justru menjadi penghalang bagi cita- cita kita. Tapi percayalah, asalkan dia mau mengubah sikapnya, tentu kami pun akan segera membebaskan dia.", ucap Ayah Murong Yun Hua sebelum diam beberapa saat, menunggu reaksi dari Murong Yun Hua. Demikianlah berbagai macam bujukan, janji dan penjelasan diberikan oleh ayah Murong Yun Hua, namun sudah sekian lama tidak juga gadis itu memberikan reaksi apa-apa. "Aku mengerti, saat ini mungkin kau belum mengerti, kau belum bisa menerima penjelasanku. Tapi kuharap, kau mau memikirkannya, cobalah ingat bagaimana ayahmu ini memperlakukan dirimu selama ini. Mungkinkah ayah dengan sengaja menyakiti dirimu?", ujar ayahnya membujuk Murong Yun Hua yang masih saja diam. Perlahan ayah Murong Yun Hua bangkit berdiri, memeluk anaknya dengan lembut, sungguh sosok seorang ayah yang sangat mencintai anaknya. "Baiklah untuk sementara, ayah akan tinggalkan kamu sendiri di sini. Pikirkan baik-baik apa yang ayahmu ini katakan. Bayangkan keadaan kita pada saat cita-cita kita itu tercapai. Tidak akan ada seorangpun yang hidup yang akan mengetahui apa yang terjadi pada dirimu sekarang ini. Kau bahkan akan ayah jadikan seorang ratu yang menguasai seluruh negeri." Melihat Murong Yun Hua masih diam, ayahnya pun tidak menjadi marah atau kesal, hanya menepuk-nepuk pundaknya dengan kebapakan kemudian pergi. Tapi sebelum dia menutup pintu kamar dia berbalik dan berkata. "Yun Hua berat bagi kami untuk mengambil keputusan ini. Namun demi cita-cita yang mulia, tidak ada jalan lain, jika kau tidak bersedia, aku bisa mengerti. Hanya saja itu artinya, kami harus mengandalkan Huolin, padahal dia masih terlampau kecil." Sejak tadi Murong Yun Hua hanya berdiam diri, tapi ketika mendengar perkataan ayahnya yang terakhir, tanpa kentara, terlihat ada perubahan, tangannya menggenggam kencang selimut yang ada di dekatnya. Saat pintu sudah ditutup rapat, gadis itu pun menegakkan badannya. Sebuah kilatan tajam seperti memancar dari sepasang matanya. Keesokan harinya, saat ayahnya berkunjung untuk kedua kalinya, Murong Yun Hua sudah kembali pulih seperti sedia kala. Kekuatan batin yang dimiliki gadis muda ini memang sulit dicari tandingannya, kemauan untuk hidup, kemauan untuk terus melawan, meski berulang kali dia harus terhempas tak berdaya. Dengan tenang gadis itu bisa memberikan jawaban yang memuaskan hati ayahnya dan tanpa ragu menerima tugas yang diberikan olehnya. Tugas Murong Yun Hua adalah merebut kepercayaan Thai Wang Gui, karena sudah sekian lama ayah Murong Yun Hua berusaha membuat Thai Wang Gui meminum obat dewa pengetahuan, namun setan itu terlampau teliti dalam memeriksan makanan dan minuman yang dia santap. Setan itu pun terlampau tidak percaya pada orang-orang di sekelilingnya. Tugas Murong Yun Hua adalah menyelidiki kelemahan setan sesat itu, berusaha merebut kepercayaannya dan pada akhirnya membuat Thai Wang Gui kecanduan obat dewa pengetahuan. Kalau itu sudah tercapai, maka Murong Yun Hua pun akan terbebas dari kewajibannya melayani Thai Wang Gui. Ayahnya pun menambahkan berbagai pujian dan janji- janji, untuk menguatkan Murong Yun Hua dalam menjalani tugasnya itu. Ayahnya boleh saja punya rencana, tapi Murong Yun Hua punya rencana sendiri. Dalam hati dia berkata, Ayah jangan khawatir, cita-citamu itu tentu akan tercapai. Keluarga Murong akan kembali menguasai tanah ini. Namun bukan oleh tanganmu, melainkan oleh tanganku. Murong Yun Hua pun dengan sungguh-sungguh mendekati dan berusaha merebut hati Thai Wang Gui, tentu saja hal ini bukanlah perkara mudah. Tokoh sesat ini bukan sekedar terpikat oleh kecantikan, meskipun dalam hal itu kecantikan Murong Yun Hua, memang sungguh sulit dicari tandingannya. Tidak ada yang tahu kecuali ayah Murong Yun Hua sendiri, bahwa Murong Yun Hua bukanlah anak kandungnya. Ketika mencari isteri dia mencari wanita tercantik, sekian tahun dia bergaul dengan isterinya, tidak juga dia mendapatkan keturunan. Di luar sepengetahuan isterinya, ayah Murong Yun Hua menjalin hubungan dengan banyak wanita lain, namun tidak juga membuahkan hasil. Entah setan mana yang berbisik padanya, tapi sebuah rencana yang sesat dan mesum, tiba-tiba terbentuk di benaknya. Dicarinya lelaki yang paling tampan yang bisa dia temukan dan diperintahkannya laki-laki itu untuk menggauli isterinya yang sudah terlebih dahulu dibuat tertidur pulas dengan obat buatannya. Itu sebabnya kecantikan Murong Yun Hua memang seperti menyimpan misteri, karena lelaki yang didapatkan oleh ayahnya itu adalah seorang yang bukan berasal dari dalam perbatasan. Masih beruntung bayi kecil Murong Yun Hua, bahwa dia memiliki setiap apa yang diinginkan oleh ayahnya dalam diri seorang anak perempuan. Karena jika tidak, tanpa sangsi tentu dia akan dibunuh sebelum dia sempat tumbuh dewasa. Pada saat itu, di mata ayah Murong Yun Hua yang kecewa setelah mendapati dirinya mandul, isteri dan anaknya, hanyalah barang percobaan bagi dirinya. Bagi dirinya dan cita-citanya yang "mulia". Pada saat itu, ayahnya berpikir hendak menciptakan sosok gadis suci dalam diri Murong Yun Hua. Murong Yun Hua kecil pun dididik dalam berbagai kepandaian dan juga cara membawa diri, hingga terbentuk Murong Yun Hua yang mampu memikat hati pendekar besar seperti Jin Yong. Tapi apakah itu cukup untuk menaklukkan hati Thai Wang Gui yang bengkok? Tentu saja ayah Murong Yun Hua tidak hanya mengandalkan Murong Yun Hua sendiri untuk memerangkap Thai Wang Gui. Dia sendiri pun bekerja keras untuk menemukan celah dalam diri Thai Wang Gui. Namun ternyata, memang Murong Yun Hua lebih berhasil dalam memenangkan hati setan sesat itu. Usaha Murong Yun Hua yang tidak kenal lelah, otaknya yang tidak pernah berhenti berputar, akhirnya mulai memahami kegemaran Thai Wang Gui yang di luar kewajaran. Thai Wang Gui yang masa kecilnya dipenuhi penghinaan, lebih dari apapun mendambakan pujian dan penghormatan dari orang lain. Itu sebabnya tokoh sesat ini, tidak seperti Shao Wang Gui yang mudah ingkar janji, justru sangat memegang kata-katanya dan bersikap melindungi pada orang-orang bawahannya. Meskipun di saat yang sama, jika mereka sedikit saja membuat hatinya tak senang, maka nyawa mereka pun akan melayang. Itu pula sebabnya sampai sekarang Thai Wang Gui mau membantu beberapa pekerjaan ayah Murong Yun Hua, entah itu untuk mencuri kitab atau untuk menekan perguruan tertentu. Semuanya itu dia lakukan karena cara Ayah Murong Yun Hua menjilat dirinya, merunduk-runduk, bahkan sampai memberikan puteri "kandung"nya pada Thai Wang Gui, membuat setan sesat itu merasa puas, merasa dirinya berharga. Dan inilah yang dilakukan Murong Yun Hua, diperlakukannya Thai Wang Gui bagai seorang dewa berwajah tampan. Jangankan menciumi kakinya, bagian yang lebih menjijikkan dari diri Thai Wang Gui pun tidak akan membuat gadis itu bergeming. Semuanya demi merebut hati Thai Wang Gui. Usahanya pun tidak sia-sia, setelah beberapa bulan lamanya dia menjadi "kekasih" Thai Wang Gui, Thai Wang Gui pun tidak bisa hidup tanpa Murong Yun Hua. Meski dalam bentuknya Murong Yun Hua masih menjadi "budak" Yang harus mendewa-dewakan Thai Wang Gui, namun setiap kata permohonan dan permintaan Murong Yun Hua tentu diperhatikan Thai Wang Gui dengan sungguh-sungguh. Setelah mendapatkan pegangan atas Thai Wang Gui, mulailah Murong Yun Hua membangun kekuatan dalam keluarganya sendiri. Kekuatan yang akan dia gunakan untuk menumbangkan kekuasaan ayahnya. Cukup panjang dan berkelok, jalan Murong Yun Hua untuk merebut kekuasaan ayahnya sendiri, tapi tekad yang luar biasa akhirnya mengantarnya pada kemenangan. Murong Yun Hua bahkan mengambil resiko agar dia dapat melampaui ayahnya, saat dia memutuskan untuk meminum sendiri obat dewa pengetahuan yang seharusnya disediakan untuk Thai Wang Gui. Bisa dikatakan hal itu adalah salah satu keputusan yang memungkinkan Murong Yun Hua memenangkan pertarungan kekuasaan yang terjadi diam-diam dalam keluarga Murong ini. Berbekal kecerdasan yang berlipat, Murong Yun Hua berusaha memecahkan sendiri ramuan obat dewa pengetahuan. Ayahnya memang menyembunyikan catatan pembuatan obat tersebut, namun buku-buku lain yang berkenaan dengan pengobatan tidaklah terlampau ketat untuk dijaga. Ditambah lagi Thai Wang Gui yang dengan setia bersedia untuk mencari informasi-informasi yang dibutuhkan Murong Yun Hua. Pada akhirnya Murong Yun Hua berhasil meramu sendiri obat dewa pengetahuan, bahkan membuatnya lebih baik dari obat yang dibuat oleh ayahnya berdasarkan catatan yang dia miliki. Sudah sekian lama ayahnya menggunakan obat itu untuk menaklukkan tokoh-tokoh dalam dunia persilatan. Mereka tunduk karena tanpa ayah Murong Yun Hua yang memberikan pasokan obat itu pada mereka dalam hitungan minggu mereka akan menjadi mayat hidup seperti Jin Yong. Dengan keberhasilan Murong Yun Hua memecahkan formula dari ramuan obat itu, dia sekarang memiliki kekuasaan yang sama dengan ayahnya. Bahkan dia memiliki sedikit kelebihan karena dendam yang tersimpan dalam hati banyak orang yang sudah diperas oleh ayahnya. Apalagi diam-diam, cerita tentang bagaimana ayah Murong Yun Hua memaksa anaknya sendiri untuk melacurkan diri sudah menjadi rahasia umum. Banyak pengikut keluarga Murong turun temurun yang bersimpati pada Murong Yun Hua, yang mengorbankan diri demi melindungi Murong Huolin yang lebih muda. Meskipun kisik-kisik akan berita itu menyebar, dengan sendirinya ayah Murong Yun Hua tidak pernah mendengarnya, karena dialah yang menjadi tokoh antagonis dalam kisah itu. Sedangkan Murong Yun Hua sendiri tentu saja berpura-pura tidak pernah mendengarnya, meskipun dirinyalah yang menjadi sumber awal cerita itu bergulir. Demikianlah baik dari luar maupun dari dalam keluarga Murong sendiri, Murong Yun Hua telah unggul dibandingkan ayahnya. Tinggal menunggu waktu sebelum gadis itu membalaskan dendamnya pada ayahnya sendiri. Ketika akhirnya Murong Yun Hua memegang tampuk kekuasaan dalam keluarga Murong, dia sudah menjadi seorang wanita yang ahli dalam bidang pengobatan, juga dalam hal bela diri. Dengan kecantikan, kecerdikan dan kesabarannya, Murong Yun Hua pun diam-diam menjadi satu kekuatan besar yang jaringannya tersebar hampir ke seluruh perguruan yang ada dalam dunia persilatan. Namun semuanya itu didapatkan dengan mengorbankan dirinya sendiri. Entah berapa banyak perbutan dan rencana-rencana keji yang harus dia ciptakan dalam pikirannya, tanpa ada tempat untuk berbagi. Di saat malam-malam terasa sepi, Murong Yun Hua pun akan pergi menemui Jin Yong yang hidup tak ubahnya sesosok mayat hidup. Sebenarnya dengan pengetahuannya yang sekarang dalam hal pengobatan Murong Yun Hua bisa saja membebaskan Jin Yong dari keadaannya yang sekarang. Namun perbuatan Jin Yong yang memilih untuk berpegang pada prinsipnya daripada berusaha menyelamatkan dirinya, tidak pernah bisa dimaafkan oleh Murong Yun Hua. Selain itu Murong Yun Hua pun membutuhkan tempat untuk mencurahkan segala uneg- uneg, terkadang dia datang pada Jin Yong dan bercerita, sekedar untuk menyombongkan keberhasilannya. Seperti juga malam ini, saat Murong Yun Hua sedang mempersiapkan salah satu rencana besarnya. Dengan suara setengah berbisik dia pun menceritakan segala sesuatunya pada Jin Yong, yang hanya bisa memandang tak berkedip, menyimpan semua perkataan Murong Yun Hua tanpa bisa memahaminya. Mungkin berhari-hari lamanya Jin Yong merenungkan setiap detail ingatannya, sebelum akhirnya dia memahami rencana yang dia dengar. Dan pendekar besar itu hanya bisa meneteskan air mata, ketika memikirkan wanita yang pernah menjadi pasangan hidupnya itu. "Pemuda itu begitu mirip dirimu, dia bahkan lebih tampan dibandingkan dirimu belasan tahun yang lalu. Jika saja tidak ada nona muda keluarga Huang", Murong Yun Hua bercerita pada Jin Yong. "Hmp!! Semuanya ini gara-gara kelicikan Tiong Fa, tidak kusangka dia berani-beraninya memiliki rencana sendiri di belakangku", dengan tangan mengepal Murong Yun Hua mengutuki Tiong Fa. Terdiam beberapa lama, Murong Yun Hua menghela nafas dan berkata. "Tidak tidak bisa aku sepenuhnya menyalahkan Tiong Fa. Hari-hari itu, pikiranku berjalan kurang jernih, pertimbangan yang kuambil terlampau banyak dipengaruhi oleh emosi." Kembali diam beberapa lama. "Ya penolakan Ding Tao, membuat harga diriku tersinggung. Kemarahan yang menutupi pertimbangan yang lebih matang. Pada saat itu aku terlampau bangga akan keberhasilanku, kecantikanku, kecerdikanku dan segala kelebihanku. Sungguh tidak nyana, hari itu aku bertemu dengan seorang pemuda yang akan menolakku, demi seorang gadis biasa." Sebuah senyum terbentuk di bibirnya. "Tapi sekarang aku akan meluruskan segala kesalahan itu. Kekuasaanku sudah menyebar luas, bahkan 6 perguruan besar tidak lepas dari pengaruhku. Seandainya tidak ada Hua Ying Ying dan ayah angkatnya, alangkah baiknya jika Ding Tao memegang jabatan itu. Dia akan menguasai sebagian dunia persilatan dan aku menguasai sisanya. Sementara dia sendiri berada dalam pengaruhku, dengan kata lain, sesungguhnya seluruh dunia persilatan sudah ada dalam genggamanku." "Sayang gadis itu ternyata belum mati. Selama dia ada, kekuasaanku atas Ding Tao belumlah sempurna. Kali ini aku tidak ingin bermain-main terlalu cantik, satu gerakan yang keras dan brutal jauh lebih baik. Terlalu banyak bermain strategi bisa menjadi bumerang, sungguhpun aku cukup yakin dengan cara tiap orang berpikir. Terhadap Ding Tao juga terhadap Tiong Fa, terbukti aku pun melakukan kesalahan-kesalahan." "Yang satu karena keluguan yang sulit dibayangkan, atau lebih tepatnya jenis kebodohan yang tidak bisa disembuhkan. Yang seorang lagi karena kelicikannya yang sulit dicari bandingannya", ujar Murong Yun Hua sambil merenung. Kemudian dia menggeleng perlahan. "Tidak juga, kelicikan Tiong Fa tidak akan ada artinya jika pada saat itu aku tidak terlalu sombong, sehingga banyak hal tidak aku perhatikan. Ya, terlampau banyak hal-hal kecil yang lepas dari pengamatanku saat itu. Tapi tak apa, aku belajar untuk jadi lebih rendah hati, oleh karenanya." Sekali lagi dia mendekatkan wajahnya ke wajah Jin Yong dan berkata. "Itu sebabnya, Ding Tao dan setiap mereka yang menghalangi jalanku akan kulenyapkan. Terlampau riskan untuk terus bermain-main dalam bayangan, berusaha mengatur keputusan mereka, hanya lewat permainan pikiran. Kali ini aku akan menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya dari Murong Yun Hua. Waktu untuk bersembunyi sudah habis Kuharap kau mengerti, bukan aku kejam, tapi aku terpaksa melakukan semua ini." Lama Murong Yun Hua terdiam dan memandangi tatapan kosong dari Jin Yong, sampai ketika dia melihat setitik pemahaman mulai datang di benak pendekar besar itu. Ya, sedari tadi Murong Yun Hua berbicara, baru sekarang Jin Yong menyadari kehadirannya dan mungkin memahami kata-kata pertama yang dia ucapkan. Sebuah senyum yang cantik pun terbentuk di wajah Murong Yun Hua. Dengan lembut dia membelai wajah Jin Yong yang pucat karena sekian lamanya tak melihat cahaya matahari, dengan lembut pula dia berbisik. "Tidurlah kembali dengan nyenyak, beberapa hari lagi, aku akan membawa teman untukmu. Ding Tao orang yang sangat mirip sifatnya denganmu, kalian berdua tentu akan saling menyukai." "Dia juga sudah cukup lama mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan di luar sepengetahuannya. Aku sudah mengukur waktu yang tepat untuk datang mengunjunginya, sejak itu di luar tahunya, aku mencampurkan obat itu dalam makanan dan minuman yang kuantarkan bagi dirinya. Dan lebih mudah lagi sejak dia menikahi kami berdua. Jadi kau lihat, dia akan menjadi teman yang sangat pas untukmu. Bisa kubayangkan bagaimana kalian berdua bercakap-cakap, berbulan-bulan lamanya.", ujar Murong Yun Hua sambil tertawa. Tertawa geli, geli membayangkan dua orang dengan otak yang berjalan begitu lambat akibat efek samping Obat Dewa Pengetahuan yang dihentikan pemberiannya, bercakap-cakap berdua. Betapa lucunya, jika untuk memahami satu kalimat mereka butuh satu minggu. Setelah tawanya mereda, pembicaraan Murong Yun hua dengan Jin Yong untuk malam itu pun berakhir, diakhiri dengan sebuah kecupan lembut di dahi Jin Yong, Murong Yun Hua bangkit berdiri dan meninggalkannya. Berbaring diam di atas pembaringan, hanya ditemani seorang perempuan bisu dan sebatang lilin yang berkelip-kelip. Tapi jika rencana Murong Yun Hua berjalan dengan lancar, maka sebentar lagi dia tidak akan sendirian, karena akan ada Ding Tao yang berbaring di sisinya. Hari itu Wang Shu Lin akhirnya sampai juga di kota yang sama dengan pemuda pujaan hatinya. Menakjubkan memang, bagaimana cinta bisa memberikan kekuatan pada seseorang untuk melakukan hal-hal yang berat, mengorbankan apa yang seringkali dipandang penting, hanya demi bisa berdekatan dengan orang yang dicintai. Gadis itu baru saja menempuh perjalanan yang panjang dengan sedikit istirahat, segera setelah mendapatkan kamar di penginapan pertama yang dia temui, Wang Shu Lin pun menghempaskan tubuhnya di atas pembaringan. Sambil memejamkan mata, dia pun menarik nafas dalam-dalam, menikmati empuknya kasur di bawah tubuhnya, ganti tanah atau dahan pohon yang keras, tempat dia menghabiskan malam-malam panjang dalam perjalanan yang melelahkan. Hanya dua bulan lebih sedikit, jarak waktu antara perginya Wang Shu Lin secara diam-diam dari Shanxi, sampai dengan sekarang ketika dia merebahkan diri di sebuah penginapan di kota Jiang Ling, namun perubahan penampilan dari gadis ini cukup besar. Apalagi bagi mereka yang biasa melihat Wang Shu Lin berpakaian laki-laki dan berlagak seperti laki-laki, tentu akan pangling jika melihat Wang Shu Lin yang sekarang. Dulu Wang Shu Lin mengejar kekuatan, makan dalam takaran yang dua kali lipat melebihi takaran kebanyakan laki-laki dan melatih kekuatan ototnya siang dan malam. Tak pernah pula dia takut pada sinar matahari. Tubuhnya pun menjadi kekar dengan kulit sedikit kehitaman, penampilannya tidak kalah garang dengan para bawahannya. Mulutnya pun terkadang tidak kalah kasar dan galak dibandingkan dengan bawahannya. Sejak mulai mengenal cinta dan lebih memperhatikan kecantikan diri, Wang Shu Lin pun membatasi makanan yang dia makan, berusaha berlaku lebih lemah lembut layaknya seorang wanita terpelajar. Jika sedang berjalan di bawah teriknya matahari, maka tidak lupa pula mengenakan topin anyaman yang lebar dan secarik tipis cadar di bagian depan. Selain lebih banyak menjaga diri, Wang Shu Lin sekarang ini mulai pula berdandan. Dalam hal ilmu bela diri, meskipun tidak meninggalkan latihannya, gadis ini sekarang lebih berfokus pada kecepatan dan ketepatan dalam melakukan jurus. Tidak lagi dia melatih permainan toya besi atau permainan goloknya. Sebagai senjata, dipilihnya pedang yang lebih ringan dan lebih sering dipakai oleh pendekar wanita, dibandingkan jenis senjata lainnya. Tubuhnya yang dulu kekar, sekarang menjadi ramping. Kulit yang dulu kehitaman, sekarang menjadi putih mulus. Wajah yang dulu tak pernah mengenal bedak, sekarang sudah didandani dengan bedak dan gincu. Bahkan rambut pun disanggul sesuai dengan gaya sanggul yang paling mutakhir. Sepasang anting mungil dari emas, menghiasi daun telinganya. Garis rahangnya yang tegas memang sukar diubah, namun secara keseluruhan Wang Shu Lin seperti beralih rupa meskipun tanpa memakai samaran sedikitpun. Tubuhnya yang penat, perlahan-lahan mendapatkan kembali kesegarannya. Namun hatinya belum lepas dari rasa galau, yang dia derita sejak dia mendengar berita pernikahan antara Ding Tao dan Hua Ying Ying. Berulang kali dia meyakinkan diri sendiri, betapa baik dan cantiknya Hua Ying Ying, sungguh merupakan pasangan yang memang pantas bagi Ding Tao. Pula Hua Ying Ying adalah murid seorang kenamaan, keberaniannya pun tidak perlu diragukan, ketika banyak orang mengkerut ketakutan mendengar nama besar Thai Wang Gui, gadis itu tanpa rasa takut berani mencoba bergebrak dan menuntut balas kematian keluarganya. Apa lagi yang kurang? Pula, sejak awal dia mengenal Ding Tao, bukankah pemuda itu sudah memiliki dua orang isteri, apa bedanya jika sekarang dia memiliki tiga orang isteri? Setelah rasa penat di tubuhnya hilang, Wang Shu Lin pun bangkit berdiri untuk meminta satu bak penuh air panas untuk mandi. Air yag hangat membuat tubuhnya terasa nyaman, sedikit banyak, perasaan galau dalam hati terusir pergi. Selesai berdandan Wang Shu Lin pun memutuskan untuk pergi berjalan-jalan, melihat-lihat isi kota Jiang Ling. Tidak seperti dulu, Wang Shu Lin yang sekarang justru gemar melihat-lihat berbagai macam jualan di pasar yang berhubungan dengan kecantikan wanita, meskipun tentunya justru sangat sesuai dengan penampilannya yang sekarang ini. Ada gadis cantik berjalan-jalan sendirian, sudah tentu ada banyak lelaki yang menaruh perhatian. Jika bukan karena pedang yang tergantung di pinggang, mungkin sudah ada yang menggoda sejak tadi. Tapi sudah ada pedang pun, ternyata masih ada juga yang berani menggoda. "Nona, sepertinya nona bukan berasal dari Jiang Ling", tiba-tiba seorang laki-laki datang menyapa. Wang Shu Lin menengok sekejap, sebelum memalingkan wajahnya kembali ke arah barang-barang yang sedang dijajakan dan menjawab. "Aku memang bukan berasal dari Jiang Ling, maaf saudara, tapi aku sedang ingin berjalan sendirian saja." "Ah, apa enaknya berjalan sendirian? Kebetulan aku dan kawan-kawanku hendak berpesiar di luar kota, bagaimana kalau nona ikut pula dengan kami?", ujar lelaki tersebut sambil menunjuk ke arah beberapa orang lelaki lainnya. Sekilas Wang Shu Lin menengok, gadis ini menghela nafas melihat kegigihan orang, namun perbuatan orang juga belum melanggar batas, jadi diapun masih memandang muka orang. Apalagi sejak jatuh cinta, sifat Wang Shu Lin yang keras jadi banyak melunak. "Sekali lagi aku minta maaf, namun tidak ada keinginan untuk berpergian keluar kota. ", jawab Wang Shu Lin dengan tegas. Sayang, sikap Wang Shu Lin yang berusaha mengalah, justru membuat lelaki tersebut semakin bersemangat. "Ayolah nona, kulihat nona membawa pedang, tentunya nona orang dunia persilatan sama seperti kami. Kukira nona tentu pernah mendengar nama besar Kongtong, biarpun Lau Wan Kiet bukanlah tokoh tingkatan atas dalam Partai Kongtong, namun masih terhitung seangkatan dengan Ketua Kongtong yang sekarang." Wang Shu Lin yang sudah mulai jengkel, tidak memberikan jawaban apa-apa, sambil menundukkan wajah, menyembunyikan kegeramannya, dia berjalan menjauh. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat Lau Wan Kiet pendekar dari Kongtong itu gagal mengajak Wang Shu Lin, pecahlah tawa teman-teman yang menunggu tidak berapa jauh dari sana. Wajah Lau Wan Kiet pun berubah kemerahan menahan malu, sigap dia melompat menghadang Wang Shu Lin. "Nona, harap kau beri muka padaku", gertaknya sambil melintangkan tangan di depan Wang Shu Lin. Berkilat mata Wang Shu Lin, pedang yang digantung di pinggang dengan cepat sudah berpindah ke tangan. "Saudara, aku tidak ingin mencari ribut, tapi tolong kau beri aku jalan. Jika tidak, jangan salahkan pedangku tak bermata." Lau Wan Kiet sudah biasa berkelana, malang melintang belum pernah bertemu lawan, masa hari ini harus mengalah pada seorang gadis yang masih muda. "Hmm hmm, nona sepertinya nona ini lebih mengagumi kemampuan dari pada wajah tampan, bagus-bagus, memang seorang gadis harusnya begitu. Mari aku tunjukkan kemampuan dari tuanmu ini." Salah seorang rekan Lau Wan Kiet rupanya tidak ingin membuat keributan di tengah pasar, masih dengan senyum mengulum dia buru-buru mendekat dan berusaha mencegah Lau Wan Kiet. "Saudara Lau, sudahlah, orang tidak mau mengapa dipaksa, nanti akan aku carikan teman melancong yang seratus kali lebih cantik dari nona ini." Wang Shu Lin dengan bibir mencibir menyeletuk. "Huh mau modal kemampuan kukira kau tak mampu, paling-paling kemampuanmu menggunakan pedang sama buruknya dengan wajahmu." Lau Wan Kiet sudah biasa dipuji-puji orang, matanya pun mendelik mendengar ucapan Wang Shu Lin, mana dengar dia dengan nasihat rekannya. "Ho ho ho, tadinya aku mau memandang muka tuan rumah dan memberimu kelonggaran. Tapi rupanya kau justru sengaja memancing agar aku tidak melepaskanmu. Baik, siang ini kau saksikan pedang tuanmu, malam nanti tuanmu akan tunjukkan kemampuannya yang lain." Rekan Lau Wan Kiet yang berusaha mencegah Lau Wan Kiet pun menengok ke arah Wang Shu Lin dengan kesal. "Nona kau ini memang mencari perkara saja, jangan salahkan orang she Chen kalau kau mendapat nasib buruk." Sambil menghentakkan kaki dia pun pergi meninggalkan tempat itu, beberapa rekan yang lain berusaha mencegah kepergiannya. Namun sambil berbisik orang she Chen itu menjelaskan tindakannya kemudian pergi tanpa ada yang mencegah lagi. Tinggal Lau Wan Kiet dengan wajah merah dan mata melotot dengan pedang sudah dicabut dari sarungnya, menghadapi Wang Shu Lin yang juga sudah berdiri dengan pedang terhunus. Suasana di pasar pun jadi ramai, orang-orang yang lewat pun berdiri menjauh. Ada yang memang senang menonton keramaian ada pula yang menggerutu karena pekerjaannya terganggu. Namun hiburan biasanya hanya jadi milik mereka yang punya uang, tontonan biasanya bisa dinikmati saat ada yang mengadakan syukuran. Kalau ada pertunjukan gratis, apalagi salah satu pemainnya seorang gadis cantik, mengapa harus menggerutu? Begitulah orang-orang berkerumun, beberapa ada yang berteriak menyemangati Lau Wan Kiet, ada pula yang berteriak menyemangati Wang Shu Lin. "Tuan pendekar, beri dia hajaran sedikit, kalau sudah jinak, baru kasih jurus menghantar ke surga dunia", seru seseorang entah siapa disambut tawa kurang ajar beberapa orang. Lau Wan Kiet yang mendapat teriakan memandang Wang Shu Lin dengan dada membusung. "Kau dengar itu nona? Terserah kau pilih jalan yang mana, aku pun tak ingin terlalu menekan perempuan. Asal kau mau memanggilku koko dan memberiku ciuman tentu akan kulepaskan." Mendengar ucapan Lau Wan Kiet itu, segera saja terdengar suitan dan seruan serta kata-kata cabul dari beberapa penonton, membuat alis Wang Shu Lin yang lentik berkerut dan tanpa banyak cakap pedangnya bergerak menusuk secepat kilat. Serangan Wang Shu Lin datang dengan cepat, Lau Wan Kiet pun tergagap dan mundur beberapa langkah sembari memutar pedang membentuk benteng pertahanan. Pedang pun bertemu pedang dan suara nyaring dentang pedang, bertubi-tubi terdengar, mengiringi siutan angin yang ditimbulkan oleh kedua bilah pedang yang bergerak dengan cepat. Baru dalam beberapa gebrakan sudah telrihat Lau Wan Kiet berada di bawah angin. Mereka yang sebal dengan kelakuan Lau Wan Kiet dengan segera bersorak mendukung Wang Shu Lin. "Bagus nona pendekar! Hajar saja orang tak tahu adat itu." "Potong saja hidungnya!" "Jangan, lebih baik potong saja itunya!" Tapi Lau Wan Kiet termasuk generasi seangkatan dengan Zhong Wei Xia meskipun selisih beberapa tahun lebih muda, sudah tentu ilmunya juga bukan ilmu sembarangan. Meskipun sempat terdesak, tapi tidak mudah untuk menjatuhkan dirinya. Sebaliknya keampuhan permainan pedang Wang Shu Lin menurun beberapa tingkat, pedangnya kali ini adalah pedang biasa, tidak tersembunyi berbagai macam alat dan kejutan yang biasa dia pakai untuk menggertak lawan. Pula tenaganya menyusut cukup banyak, akibat dia mengubah pola latihan dan pola makannya. Meskipun berada di atas angin tidak begitu mudah baginya untuk segera menyelesaikan pertarungan. Pertarungan sudah berjalan memasuki jurus ke-12 ketika Wang Shu Lin semakin memastikan kemenangannya. Dalam kecepatan, ketepatan dan kematangan jurus serta gerak perubahan, gadis itu berada beberapa tingkat di atas lawannya. Pedangnya bergerak lincah seperti burung elang yang menyambar-nyambar. Memakai baju berwarna cerah dengan jubah luar yang warnanya sepadan, diiringi bau harum samar-samar, Wang Shu Lin bergerak cepat membuat penonton merasa kabur melihatnya. "Ah nona pendekar ini benar-benar cantik dan hebat, melihat dia bertarung seperti melihat bunga bertaburan di musim semi.", ujar salah seorang pendukung Wang Shu Lin yang menonton sambil terkagum-kagum. Segera saja ucapannya itu mendapat anggukan kepala setuju dari banyak orang yang menonton pertarungan mereka berdua. Telinga Wang Shu Lin yang tajam tentu saja mendengar pujian orang, hati gadis itu pun berbunga-bunga. Di luar sadarnya dia memilih jurus-jurus yang lebih indah untuk dilihat, meskipun sebenarnya dia bisa menggunakan jurus-jurus yang keras untuk menyelesaikan perlawanan Lau Wan kiet dengan lebih cepat. Kebetulan jurus-jurus pedang yang dipilih Wang Shu Lin adalah jurus pedang dari Wudang yang memang dikenal dengan keindahan dan kelembutannya. Lau Wan Kiet pun jadi berpikir, Apakah aku kebetulan bentrok dengan seorang murid muda dari Wudang? Ah, celaka benar, belum pernah kudengar ada pendekar pedang wanita dari Wudang, mengapa hari ini aku bisa bertemu dengan seorang yang berkepandaian begitu tinggi? "Tunggu nona, apakah nona berasal dari Wudang? Jika benar, baiklah kita hentikan saja pertarungan ini, sesama enam perguruan besar, tak baik jika saling bentrok seperti ini.", ujar Lau Wan Kiet di sela-sela kesibukannya menangkis hujan serangan dari Wang Shu Lin. "Hmm dalam keadaan seperti ini baru berkata demikian, mengapa bukan dari tadi?", dengus Wang Shu Lin tanpa mengendorkan serangannya. Jawaban Wang Shu Lin membuat Lau Wan Kiet semakin yakin bahwa dia berasal dari Wudang. Gerakannya pun menjadi semakin kacau, dengan senyum sinis Wang Shu Lin memperketat serangannya, membuat Lau Wan Kiet tak bisa membuka mulut untuk berbicara. Jangankan untuk berbicara, bernafas pun dia sudah tersengal-sengal. Ketika Lau Wan Kiet melihat ujung pedang Wang Shu Lin berkelebat cepat ke arah wajahnya, Lau Wan Kiet sudah tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menutup mata dan menanti datangnya ujung pedang yang tajam. Di saat yang berbahaya bagi Lau Wan Kiet itu, tiba-tiba Lau Wan Kiet merasakan tubuhnya seperti dihisap oleh satu kekuatan besar. Tubuhnya bergeser beberapa jengkal dari tempat dia berdiri. Ujung pedang Wang Shu Lin pun gagal mengenai sasaran, sebelum dia bisa menarik kembali pedangnya, sebuah senjata aneh sudah membelit pedang Wang Shu Lin. Sepasang roda bergerigi yang disatukan oleh seuntai rantai besi, siapa lagi yang datang jika bukan Zong Weixia. Cepat sekali senjata Zong Weixia menyambar, dengan ujung yang satu membelit pedang, ujung yang lain sudah pergi menyambar lengan Wang Shu Lin yang menggunakan pedang. Daripada mengorbankan tangannya, Wang Shu Lin pun memilih untuk melepaskan pedang. Dalam sekejap mata, Lau Wan Kiet terbebas dari ancaman, masih dengan wajah pucat dia memandang wajah penolongnya. Melihat penolongnya adalah Zong Weixia, wajah Lau Wan Kiet malah semakin pucat, dengan kepala tertunduk dan suara hampir tak terdengar dia berkata. "Ketua maafkan aku." Zong Weixia tidak segera menjawab Lau Wan Kiet, dengan satu gerakan dia melemparkan pedang milik Wang Shu Lin kembali ke gadis itu. "Hmm nona ini aku kembalikan pedangmu." Rantai seperti sudah menjadi tangannya sendiri, pedang meluncur terarah dan dengan mudah Wang Shu Lin menangkap gagang pedang. Ketika pedang sudah di tangan baru terasa, lemparan Zong Weixia menyimpan tenaga yang tidak kecil. Wang Shu Lin yang sudah menurun kekuatannya pun terhuyung beberapa langkah ke belakang dengan tangan tergetar. Dengan pandang mata berkilat Wang Shu Lin memegang pedangnya bersiap terhadap serangan Zong Weixia, tapi Zong Weixia sendiri sudah mengalihkan perhatian ke arah Lau Wan Kiet yang berdiri gemetaran. Dengan sebuah gerakan menyendal, rantai besi Zong Weixia bergerak mengayun ringan dan dalam sekejap, roda bergerigi yang ada di salah satu ujung rantai sudah tergantung dengan ringannya, menyangkut pada daun telinga Lau Wan Kiet. "Lau Wan Kiet, tentu kau tahu, kita di sini cuma bertamu, yang menjadi tuan rumah kita adalah Partai Pedang Keadilan.", ujar Zhong Weixia dengan suara dingin membesi. Lau Wan Kiet yang gemetar ketakutan tidak bisa mengeluarkan kata-kata hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai jawaban. "Hmm dari yang kudengar, nona ini sudah menolak ajakanmu tapi kau terus saja mendesaknya. Aku tidak menyalahkanmu berusaha memikat hati nona ini. Nona ini memang cantik, sudah wajar jika seorang laki-laki jatuh hati dan ingin mengenalnya lebih dekat, tapi seharusnya kau mundur ketika dia menolakmu. Apa gunanya telinga jika kau tidak mau mendengar jawaban orang?", ucap Zong Weixia dengan dingin. Keringat pun bercucuran membasahi dahi Lau Wan Kiet, dari ujung matanya dia bisa melihat saudara seperguruannya yang datang bersama Zong Weixia. Rupanya ketika rekannya yang bermarga Chen melihat Lau Wan Kiet tidak mau mendengar nasihatnya, dia segera pergi untuk memanggil saudara seperguruannya untuk menghentikan dirinya. Entah memang sengaja, atau nasibnya yang sedang sial, Zong Weixia mendengar pula polah tingkahnya dan memutuskan untuk datang. Tidak berani menjawab ucapan Zong Weixia, Lau Wan Kiet hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan gugup, roda bergerigi milik Zong Weixia tampak seperti sebuah anting yang kebesaran. "Bagus kalau kau tahu, kuharap ini akan jadi pengingat bagimu, sebuah telinga yang bisa mendengar lebih baik daripada sepasang telinga yang hanya menempel tanpa guna", ucap Zong Weixia sambil menyendal, menarik kembali roda bergerigi yang bertenggar di telinga Lau Wan Kiet. Daun telinga Lau Wan Kiet pun jatuh ke tanah tanpa suara, sementara pemiliknya hanya bisa meringis menahan sakit tanpa berani berucap apa-apa. Zhong Weixia tidak ambil peduli lagi dengan Lau Wan Kiet, dia berbalik menghadapi Wang Shu Lin dan bertanya dengan keren, sesuai dengan jabatannya sebagai seorang ketua partai besar. "Nona, muridku memang bersalah dan sudah kuhukum. Apa masih ada keberatan?" "T.tt..tidak, tidak, baiklah aku permisi.", ucap Wang Shu Lin dengan gugup dan wajah pucat, buru-buru gadis itu berbalik badan dan meninggalkan tempat. Zhong Weixia tersenyum sinis, tidak salah jika dikatakan berkat dirinya Partai Kongtong masih ditakuti orang sampai hari ini. Juga mereka masih digolongkan dalam aliran yang lurus, meskipun sedikit banyak tingkah laku mereka agak berandalan jika dibandingkan dengan perguruan lurus yang lain. Lau Wan Kiet masih berdiri menunduk dengan darah bercucuran dari telinganya, tidak ada yang berani bergerak sampai Zhong Weixia memberikan perintah. "Rawat lukanya, lalu secepatnya kalian kembali. Mulai hari ini jangan ada yang main di luaran.", tegas Zong Weixia sebelum berlalu pergi. Buru-buru saudara seperguruan Lau Wan Kiet menghampiri rekannya yang sedang sial itu dan mulai membubuhi luka yang masih terbuka dengan obat tabur milik mereka, ada pula yang merobek lengan baju Lau Wan Kiet dan memotongnya panjang-panjang untuk digunakan sebagai perban. Lau Wan Kiet sendiri, menanti Zong weixia sudah tidak terlihat barulah berani mengeluh dan merintih. "Ah benar-benar sial, mana orang marga Chen itu, berani sekali dia mendatangi ketua dan mengadukan aku padanya. Dasar kurang ajar.", keluh Lau Wan Kiet sambil meringis-ringis kesakitan. "Sudahlah Adik Lau, kau jangan mencari perkara, salahmu sendiri tanggal mainnya sudah makin dekat tapi kau masih berkeliaran di luar.", tegur rekannya yang sedang membebat luka Lau Wan Kiet. Lau Wan Kiet masih menggerutu beberapa kali, tapi tidak berani pula melawan. Sementara itu, tidak berapa jauh dari mereka ada Wang Shu Lin yang bersembunyi di balik kerumunan orang yang sudah mulai menipis, memasang telinga baik- baik dan mendengarkan percakapan di antara anak murid Kong Tong itu. Melihat semakin lama, kerumunan orang-orang yang ada di situ semakin menipis, Wang Shu Lin pun pergi menjauh dengan alis berkerut. Rupanya Wang Shu Lin tadi hanya berpura-pura ketakutan, supaya Zhong Weixia tidak membuat urusan makin panjang, tapi begitu dia sudah menghilang dari pandangan orang-orang Kong Tong, dia memutar dan memasang telinga. Dalam hati dia merasa heran, mengapa orang dari Partai Pedang Keadilan bisa membaur dengan orang dari Kongtong? Memang sejak Ding Tao menjadi Wuling Mengzhu bisa dikatakan setiap orang dalam dunia persilatan disatukan di bawah namanya, namun penasaran juga melihat mereka bergaul begitu akrab. Lebih heran ketika Zhong Weixia yang terkenal tinggi hati, bisa berpihak pada pihak tuan rumah, padahal biasanya Zhong Weixia cuma tahu nama Kongtong dan yang lain dipandang sebelah mata. Jika orang lain yang melihat tentu saja tidak akan ambil pusing tapi Wang Shu Lin termasuk orang yang usilan dan rasa ingin tahunya besar, segala macam urusan dalam dunia persilatan dia mau tahu. Setelah mendengar sekilas percakapan antara Lau Wan Kiet dan saudara seperguruannya, keingin tahuan Wang Shu Lin pun jadi makin menjadi. Saat Lau Wan Kiet dan saudara seperguruannya pergi, diam-diam Wang Shu Lin mengikuti mereka, sampai di tempat orang-orang dari Partai Kongtong menginap. Sadar penampilannya terlalu menyolok untuk menjadi mata-mata, Wang Shu Lin pun tidak berlama-lama mengawasi. Gadis itu segera kembali ke penginapannya sendiri dengan pikiran berputar, mengutak-atik kejadian yang baru saja dia alami. Begitu sampai di kamar, pintu pun ditutup rapat-rapat dan Wang Shu Lin duduk termangu sambil mencubit-cubit bibirnya. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak benar, menilik sifat Zhong Weixia, hari ini dia lepas terlalu mudah. Bagaimanapun juga dia sudah mempermalukan seorang murid dari Partai Kongtong, biasanya tentu Zhong Weixia akan memberikan hajaran yang cukup, bukan hanya pada muridnya, tapi juga pada orang luar yang mengalahkan muridnya itu, sekedar untuk menunjukkan bahwa Partai Kongtong bukan partai yang lemah. Tapi hari ini dia hanya membuat Wang Shu Lin terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, jelas dia ingin masalah itu cepat selesai dan tidak mau menarik perhatian orang. Pernikahan Ding Tao dengan Hua Ying Ying akan diadakan beberapa minggu lagi, seluruh Kota Jiang Ling menjadi sibuk dengan peristiwa ini. Pengantin prianya adalah Wulin Mengzhu yang baru saja terpilih, jangankan orang dunia persilatan, pelayan di restoran pun mendengar kisah di kaki Gunung Songshan. Lalu pengantin wanitanya adalah anak perempuan dari keluarga Huang yang terbantai habis hampir setahun yang lalu, tentu saja ini menjadi sebuah cerita yang menarik. Apalagi ketika mereka menambahkan bumbu-bumbu sendiri ke dalamnya. Anak murid Partai Kongtong mengatakan bahwa waktunya sudah semakin dekat dan peristiwa besar yang paling dekat adalah pernikahan Ding Tao. Rasanya tidak mungkin jika Zhong Weixia memandang Ding Tao begitu tinggi, hingga anak muridnya dilarang berbuat ulah mendekati pernikahan Ding Tao. Lalu apa? Masakan Zhong Weixia berencana melakukan sesuatu di hari itu? Apakah dia tidak puas dengan hasil di kaki Gunung Songshan? Zhong Weixia dikenal sebagai orang yang berambisi besar, di hari pernikahan Ding Tao bisa dikatakan, seluruh tokoh puncak dalam dunia persilatan akan datang berkumpul. Bisa dikatakan tidak akan kalah ramai jika dibandingkan dengan pertemuan di kaki Gunung Songshan. Dalam perjalanan ke Jiang Ling, Wang Shu Lin berkali-kali melihat orang-orang dunia persilatan, entah sendirian atau dalam satu kelompok, berjalan ke arah yang sama. Tapi jika benar Zhong Weixia merencanakan sesuatu yang besar, hal ini juga bukan sesuatu yang masuk akal, sebesar apapun ambisi Zhong Weixia, kekuatan Partai Kongtong tidak akan bisa mengimbangi kekuatan 5 partai yang lain secara bersama-sama. Meskipun nalarnya menolak kemungkinan itu, namun hatinya tetap saja berdebar-debar. Lagipula ada banyak cara untuk membunuh orang, tidak selamanya seorang jagoan silat mati oleh pedang. Racun, bahan peledak, hanyalah dua cara di antara sekian banyak cara lainnya untuk menghilangkan nyawa orang. Tapi apa iya, Zhong Weixia segila itu? Berpikir demikian, Wang Shu Lin pun teringat dengan kilatan mata Zhong Weixia yang seperti harimau liar. Di luar sadarnya, bulu kuduknya pun berdiri mengingat mata Zhong Weixia. Hati Wang Shu Lin pun berdebar-debar makin kencang. Zhong Weixia memang gila, tapi dia bukan orang bodoh. Jika benar dia memiliki satu rencana, kemungkinan besar ada banyak tokoh lain yang terlibat pula dalam rencana ini. Pertanyaan berikutnya, adakah tokoh-tokoh dalam dunia persilatan yang akan mau diajak bekerja sama dalam proyek gila Zhong Weixia? Wang Shu Lin pun mulai menghitung-hitung nama-nama mereka yang cukup berambisi dan mau mengambil resiko besar. Tersenyum kecut dan berkeringat dingin, Wang Shu Lin harus mengakui cukup banyak orang yang akan tergiur dengan ajakan Zhong Weixia, tergantung umpan apa yang diberikan tokoh besar itu. Kongtong punya nama cukup besar, jika Zhong Weixia bisa menggandeng beberapa nama besar lain, niscaya akan mudah untuk mengumpulkan kekuatan yang cukup besar. Ding Tao sendiri mencari masalah ketika dia mengeluarkan kebijakannya yang pertama sebagai seorang Wulin Mengzhu, kekuatannya belum terpupuk benar, namun dia berani mengeluarkan kebijakan yang akan menyinggung banyak orang. Jika benar Zhong Weixia merencanakan satu rencana busuk menjelang hari pernikahan Ding Tao, apa yang bisa dia lakukan? Meskipun dia adalah ketua perkumpulan terbesar di Shanxi, jarak antara Shanxi dan Jiang Ling tidaklah dekat. Kalaupun dia mengirim kabar sekarang, pada saat kabar itu sampai di Shanxi kemungkinan besar apa yang ditakutkan sudah terjadi. Jika dia hendak mendekati Ding Tao ataupun orang kepercayaannya, tanpa bukti yang kuat, apakah dia akan dipercaya? Bukan hanya bukti, bahkan apakah rencana itu benar-benar ada, dan kalau ada apa rencananya, sedikitpun dia tidak tahu apa- apa. Seumur hidupnya baru kali ini Wang Shu Lin merasa kehabisan akal dan ingin menyerah. Dahulu saja waktu baru turun gunung dan melaksanakan kewajibannya sebagai anak untuk membalaskan dendam bagi ayahnya, tidak sampai dia merasa ingin menyerah. Padahal dia hanya seorang diri dan lawannya begitu banyak. Tentu saja faktor waktu yang mendesak juga berpengaruh, tapi mungkin yang terbesar adalah faktor perasaan. Kali ini yang terancam adalah Ding Tao, lebih mudah bagi dia untuk menghadapi satu bahaya daripada membayangkan Ding Tao menghadapi bahaya. Seandainya Wang Shu Lin tahu bahwa Murong Yun Hua akan melakukan acara bersih rumah, membasmi pengkhianat dari dalam Partai Pedang Keadilan, mungkin dia akan menghibur diri dengan berpikir bahwa rencana yang dibicarakan Zhong Weixia ada hubungannya dengan hal itu. Mungkin Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu meminta bantuan dari enam partai besar yang ada. Tapi tentu saja dia tidak tahu tentang rencana itu dan hanya bisa menduga-duga sendiri, sementara penilaiannya dipengaruhi pula dengan perasaannya kepada Ding Tao. Gadis yang baru pertama kali jatuh cinta ini pun akhirnya menghempaskan badannya dengan mata mengembeng. Tiba-tiba dia teringat pesan guru-gurunya, Jangan berbuat semena-mena, meskipun kau tidak bisa melihat keberadaan kami, tapi sesungguhnya kami akan selalu mengamat-amati pergerakanmu. Jika kami dapati, kau melanggar nilai-nilai kehormatan, dengan menggunakan ilmu yang sudah kami wariskan, tentu kami akan datang untuk menghukummu. Pada awalnya dia berpikir bahwa memang ke-enam gurunya selalu mengikuti dirinya. Namun beberapa tahun berlalu dan tidak sedikitpun dia mencium tanda-tanda atau jejak mereka berenam, Wang Shu Lin menganggap ancaman itu sekedar ancaman. Sekedar pengingat supaya dia tidak melanggar nasehat dan larangan yang sudah diberikan ke-enam gurunya itu. Sekarang di saat dia terdesak, teringatlah lagi dia akan peringatan yang diberikan gurunya. Tiba-tiba dari ingatan itu, timbul sedikit harapan, jika benar guru-gurunya selalu memantau setiap gerak-geriknya, mungkinkah salah satu dari mereka ada juga di Jiang Ling saat ini? Kalau iya, bagaimana dia bisa menarik perhatian gurunya agar datang membantu dia? Perlahan-lahan sebuah senyuman terbentuk di wajah Wang Shu Lin, malam itu dia mengatur agar diletakkan sebuah meja di tengah halaman, lengkap dengan hidangan dan arak. Sendirian dia duduk di sana, pengurus penginapan sudah diminta agar mengatur supaya tak ada orang yang mengganggu. Malam sudah larut ketika Wang Shu Lin duduk di sana, sendirian ditemani nyala lilin yang bergoyang-goyang ditiup dinginnya angin malam. Sementara sebuah pemanas dinyalakan untuk menghangatkan arak, menanti langit jernih tak dinaungi awan, Wang Shu Lin pun perlahan-lahan mengangkat seruling dan meniupkan sebuah lagu. Sebuah lagu sendu, sendunya seseorang yang harus pergi jauh dari kekasihnya. Kalau ada kelebihan Wang Shu Lin, maka itu adalah keluasan pengetahuan dan ketrampilannya. Meskipun bukan nomor satu dalam suatu bidang, dalam segala bidang dia adalah yang nomor dua atau setidaknya nomor tiga. Mungkin juga karena memiliki banyak guru, masing-masing dengan keunikan dan kelebihannya. Yang mengajar dia bermain seruling dan sastra adalah Zhu Yanyan, pendekar pedang dari Wudang ini bukan saja paling perasa, tapi juga gemar akan segala yang indah. Salah satu yang membuat dia sedih, adalah kenyataan bahwa dia harus menjauhi saudara-saudara seperguruannya, yang dia rasa lebih dekat dari keluarga sendiri, yang dia kasihi lebih dari seorang laki-laki mengasihi seorang wanita. Kau bertanya kapan aku akan pulang, namun aku tak tahu jawabnya Hujan malam hari di bukit Ba, membanjiri kolam-kolam Kapankah kita bisa duduk bersama, memangkas pucuk sumbu lilin yang menyala, di jendela barat, Berbincang-bincang hingga jauh malam, tentang hujan malam hari di bukit Ba. Suara merdu Wang Shu Lin melagukan puisi karangan Li Shangyin yang mengisahkan kerinduan seseorang yang dikirim jauh dari tempat tinggalnya, meninggalkan kekasihnya di sana. Mengalun mendayu-dayu, membuat sekalian hati mereka yang mendengarkan ikut merasa pilu dan ridu akan kampung halaman, serta kekasih yang menunggu di rumah. Di atas meja dituangkan dua mangkuk arak hangat, Wang Shu Lin baru saja meneguk sedikit arak dari mangkuk yang ada di hadapannya ketika sebuah sosok dengan ringan mendarat di depan gadis itu. Tanpa banyak cakap orang itu pun mengambil mangkuk yang kedua dan menenggaknya dengan satu hirupan. Sebuah senyuman terkulum di wajah Wang Shu Lin, dengan hormat dia pun bangkit dari tempat duduknya untuk kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan orang yang baru datang. "Guru Zhu Yanyan, murid menghaturkan hormat." "Ah dasar anak nakal.", tegur Zhu Yanyan dengan rasa sayang sembari menghapus setitik air mata yang mengembeng di ujung matanya. "Guru saja yang terlalu perasa", jawab Wang Shu Lin sambil tertawa lebar. Senyum di wajah Wang Shu Lin pun semakin lebar saat berturut-turut, 5 sosok lain berlompatan datang mendekat. Dengan penuh semangat gadis itu pun berturut-turut, menjura memberi hormat pada ke-lima gurunya yang baru datang. "Heh bocah nakal, masa hanya Guru Zhu Yanyan seorang yang kau suguhi arak.", tegur salah seorang gurunya yang berkepala gundul, melihat kepalanya yang gundul tentunya orang mengira dia guru Wang Shu Lin yang berasal dari Shaolin, padahal justru dia berasal dari Kunlun. Yang berasal dari Shaolin justru sekarang berambut panjang digerai ke belakang. Penampilan mereka memang sudah berubah banyak dibandingkan penampilan mereka belasan tahun yang lalu. Belasan tahun lamanya hidup menyamar, menjadi orang asing bagi saudara seperguruan mereka sendiri, demi satu persahabatan. Sifat ke-enam orang ini dengan sendirinya sudah bisa dibayangkan. Sesungguhnya bukan hanya Zhu Yanyan yang mengembeng air mata mendengar syair yang dilagukan oleh Wang Shu Lin. Bahkan Pang Boxi yang sejak dulu sering berselisih paham dengan Zhong Weixia pun sempat menitikkan air mata. Sifat orang Khongtong memang kebanyakan sedikit telengas dibandingkan 5 perguruan yang lain, namun dalam hal rasa persaudaraan sebenarnya tidak kalah kental. Hidup selama belasan tahun satu atap, meskipun ada yang berlawanan sifat seperti Pang Boxi dengan Zhong Weixia, tentu juga ada yang sepaham dan dekat di hati. Wang Shu Lin yang sudah hidup dibesarkan ke-enam orang itu, mengenal baik sifat mereka, dengan cekatan dia mengeluarkan 5 cawan arak dan menyajikannya pada guru-gurunya. Pada yang seorang dia bersikap manja, pada yang lain bersikap riang, bertemu dengan Shu Sun Er, satu-satunya guru wanitanya, dia bersikap seperti seorang adik. Demikian Wang Shu Lin membawa diri dengan pandainya sehingga kesenduan yang mewarnai awal pertemuan mereka dengan cepat tersapu pergi. Siapa saja enam orang guru Wang Shu Lin ini? Yang pertama dan menjadi saudara tertua adalah Zhu Yanyan yang berasal dari Wudang, sikapnya santun dan lemah lembut, menyukai sastra dan musik. Kemudian ada Khong Ti bekas bhiksu dari Shaolin, sekarang sudah memelihara rambut, minum arak dan makan daging, hanya kawin saja yang belum dia lakukan. Wajahnya tampan, sifatnya jenaka, dengan perawakan tidak terlalu tinggi, dia ahli dalam silat monyet. Senjata andalannya tentu saja sebuah toya, di antara enam saudara bisa dikatakan ilmunya yang paling tinggi. Yang ketiga adalah Pang Boxi, senjatanya sepasang kapak, wajahnya lebar menggambarkan sifatnya yang jujur dan terbuka, tubuhnya tidak terlampau tinggi namun dadanya lebar dengan bahu menggunung menyimpan tenaga yang besar. Meskipun Khongti yang berilmu paling tinggi di antara mereka berenam, tenaga Pang Boxi ini justru yang paling besar. Yang ke-empat adalah Chen Taijiang, wajahnya terlihat seperti orang hendak menangis sedih. Sering menjadi bahan gurauan oleh saudaranya yang lain, terutama oleh Khongti yang suka melawak. Namun sifatnya yang penyabar membuat Chen Taijiang tak pernah marah. Bahkan pada keponakan muridnya yang dengan terbuka pernah menyatakan bahwa dia sudah dikeluarkan dari perguruan pun, Chen Taijiang tidak menyimpan dendam. Apalagi ketika perintah itu kemudian dibatalkan oleh karena permohonan saudara-saudara seperguruannya. Selalu mencari kebaikan pada diri orang dan berusaha menutupi kekurangan mereka, itulah sifat Chen Taijiang yang paling menonjol. Dalam hal ilmu silat, yang menonjol dari Chen Taijiang adalah ilmu meringankan tubuhnya. Yang ke-lima adalah Hu Ban, pendekar pedang dari Hoashan, meskipun ilmu silatnya bukan yang terbaik di antara mereka berenam, tapi justru pengetahuannya tentang ilmu silat lebih luas dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Bakatnya besar, sayang sedikit pemalas, dia lebih suka menghabiskan waktu untuk memancing dan membakar ikan, daripada berlatih silat. Lebih suka menggunakan otaknya daripada menggunakan ototnya. Terhadap kehidupan dia memandang ringan segala sesuatu, hanya satu saja yang dia pandang penting dan itu adalah persahabatan mereka berenam. Dari mereka berenam Hu Ban yang paling sering memanjakan Wang Shu Lin, dia yang pemalas, menutup diri di dalam kamar selama beberapa bulan sebelum kepergian Wang Shu Lin. Demi untuk memberi bekal berupa gambar-gambar tentang berbagai macam senjata dengan jebakan dan mekanik tersembunyi untuk gadis itu. Yang ke-enam dan satu-satunya wanita dari antara mereka ber-enam Shu Sun Er, hingga sekarang masih tampil kelaki- lakian dengan rambut dipotong pendek dan dengan menyamar sebagai laki-laki. Berasal dari enmei, seorang bhiksuni wanita, meskipun sekarang seperti Khongti sudah pula melanggar berbagai pantangan kecuali mengenai hubungan antara pria dan wanita. Sifat Wang Shu Lin yang keras dan tidak mau tahu apa kata orang, rupanya menurun dari Shu Sun Er, satu-satunya sosok wanita yang dia kenal semenjak kecil hingga besar. Satu-satunya pedoman Shu Sun Er adalah, bila hati nuraninya mengatakan benar, maka peduli setan apa kata orang di seluruh dunia. Senjatanya adalah sebuah pedang yang panjangnya hampir mendekati panjang tombak, salah satu senjata khas dari aliran Enmei. Sebagai wanita suka juga bersolek dan pandai merias diri, termasuk merias diri dalam berbagai macam samaran. Jika Zhu Yanyan pandai bermai seruling, maka Shu Sun Er cakap sekali dalam melukis. Itulah ke-enam orang guru Wang Shu Lin, hidup belasan tahun dalam perantauan, ilmu mereka berkembang justru lebih pesat dibandingkan ketika mereka masih berada dalam perguruan mereka masing-masing. Dihadapkan pada tugas untuk mengajar dan mendidik Wang Shu Lin kecil, akhirnya mereka melanggar salah satu garis yang mencegah tiap-tiap pendekar membocorkan rahasia aliran mereka pada murid dari aliran lain. Hu Ban yang malas berlatih tapi encer dalam berpikir adalah yang paling berjasa dalam menggabungkan ilmu dari ke-enam aliran menjadi satu ilmu yang unik. Merangkaikan kelebihan-kelebihan dari tiap-tiap orang dan menciptakan ilmu yang baru. Meskipun ilmu gado-gado mereka belum bisa disandingkan dengan tingkatan para ketua dari enam perguruan besar, tapi setidaknya mereka akan bisa berhadapan dengan imbang dalam seratusan jurus. Apalagi enam orang ini memiliki kelebihannya masing-masing. Jika Zhong Weixia atau Guang Yong Kwang menganggap enam orang itu seperti belasan tahun yang lalu, maka mereka akan mendapatkan kejutan besar. "Anak Shu Lin, dari mana kau tahu bahwa kami selalu mengawasimu? Jangan-jangan selama ini kau selalu menjaga kelakuanmu karena tahu kami mengawasimu.", tanya Hu Ban setelah mereka puas bersenda gurau. "Tidak guru, selama ini kupikir guru berenam sudah hidup tenang, di suatu desa, bertani dan beternak seperti dulu ketika membesarkan aku. Jika bukan karena terdesak oleh keadaan, tentu tidak akan muncul dalam ingatan, peringatan guru sekalian sebelum murid turun gunung.", jawab Wang Shu Lin dengan tersenyum manis. "Ohho, begitu rupanya, lalu bagaimana kau bisa yakin dengan menyanyikan lagu ini kami berenam akan muncul ke hadapanmu?", kejar Hu Ban belum puas, sementara lima orang yang lain ikut mendengarkan dengan penuh perhatian. "Hehe, sebenarnya murid tidak yakin, tapi murid berharap setidaknya ada salah seorang dari guru sekalian yang bertugas mengawasi gerakan murid. Karena setelah murid teringat peringatan guru itu, murid pun mulai memikirkan sepak terjang murid selama ini. Beberapa kejanggalan dan kebetulan, yang membantu murid berhasil membalaskan dendam ayah, juga menjadi kepala di daerah Shanxi pun jadi muncul dalam ingatan.", jawab Wang Shu Lin. "Hahaha, dasar murid nakal, jadi sebelumnya kau menganggap semua itu hasil pekerjaanmu sendiri ya. Wah, besar juga kepalamu.", ujar Pang Boxi sambil tertawa terbahak-bahak. Wang Shu Lin pun meleletkan lidah dan menjawab. Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo