Ceritasilat Novel Online

Pendekar Misterius 4


Pendekar Misterius Karya Gan Kl Bagian 4


Pendekar Misterius Karya dari Gan Kl   "Nanti dulu Siang-heng, dengarlah kata2ku".   "Apalagi?"   Jengek Siang Lui. Tapi Li Pong terus menanya si gadis.   "Golok Pek-lin-to itu cara bagaimana bisa jatuh di tanganmu, Jun-yan?"   Maka berceritalah si gadis apa yang dialaminya didalam hotel serta cara bagaimana golok Pek-lin-to itu tahu2 sudah berada disamping bantalnya hingga batang hidungnya hampir2 pesek terpapas.   "Siang-heng", kata Li Pong sesudah merenung sejenak, setelah mendengar penuturan Jun yan.   "urusan ini memang rada aneh, sesungguhnya Jun-yan tak bisa disalahkan."   Lalu iapun menuturkan pengalamannya ketika bertemu si-orang aneh dirimba tempo hari dan menyambungnya pula.   "Setelah aku melanjutkan perjalanan ke Lo-seng-tian, sampai disana barulah aku mengetahui golokku sudah hilang tanpa aku merasa. Melihat gelagatnya, terang dilakukan oleh manusia aneh itu. Maka hendaklah Siang-heng jangan salah sangka pada orang lain". Namun Siang Lui tidak mau mudah percaya, bukankah sudah terang2an ia melihat Jun yan yang hendak membawa pergi kapal jamrudnya yang dicuri orang malam2 itu ? Maka dengan tertawa dingin ia menjawab .   "Liok-hap-tong-cu, biasanya kami tiga saudara selalu pandang kau sebagai seorang laki2 sejati, siapa tahu kaupun tak bertulang, berani pada yang lemah, takut pada yang jahat!"   Betapa sabarnya Li Pong, akhirnya menjadi kurang senang oleh olok2 Siang Lui ini, katanya segera .   "Siang-heng, telah kukatakan bahwa anak dara ini adalah muridnya Lau Jiau, maksud baikku kenapa kausalah artikan?"   Siang Lui menjadi gusar.   "Aku justru ingin tahu betapa lihaynya Thong-thian-sin-mo", sahutnya.   "Jika ternyata kau begitu karib dengan dia, nah, silahkan kau pergi memberitahukan padanya, bahwa didalam dua bulan, pasti kami bertiga saudara akan membawa murid mustikanya ini ke Jing-sia-san untuk mencarinya". Melihat urusan makin lanjut makin runyam Jing-ling-cu cukup kenal watak Siang Lui yang gopoh, tentu susah dilerai, boleh jadi nanti dua bulan lagi amarahnya sudah hilang dan percekcokan inipun dapat didamaikan, maka cepat ia memberi tanda pada Li Pong. Li Pong tahu maksud kawan itu, maka katanya pada si gadis.   "Jun-yan, sebenarnya kau juga salah mematahkan panji pertandaan orang. Sam-bok-leng-koan ingin kau ikut padanya, dalam dua bulan, kau akan dihantar pulang ke Jing-sia-san, baik kau terima saja, nanti tiba waktunya, tentu kita akan selesaikan urusan ini."   Semula Jun-yan berniat melancong di kang ouw, dengan sendirinya sangat berat kalau disuruh pulang.   Tapi bila mengingat Liok-hap-tong-cu berada dalam keadaan serba salah, kenapa mesti bikin susah padanya, masa nanti di tengah jalan aku tak bisa meloloskan diri? Maka segera ia mengangguk.   "Baiklah, Li-sioksiok, masa aku takut padanya?"   Tapi masih kuatir terjadi apa2 atas diri si gadis, maka ia berkata pula.   "Jangan kuatir, Sam-bok-leng-koan adalah angkatan tua, tak nanti dia bikin susah padamu."   Dengan kata2 ini, ia telah cegah lebih dulu agar Siang Lui sebagai orang tua tak nanti merecoki seorang muda. Habis ini, bersama Jing ling-cu mereka lantas berlalu.   "Jangan kau coba melarikan diri!"   Kata Siang Lui gemas kepada Jun-yan, lalu perintahkan orang2nya berangkat.   Jun-yan tidak gubris akan kata2 orang, bahkan terus melengos dengan sikap memandang hina.   Keruan Siang Lui ber-jingkrak2, tapi sebagai seorang tua, tidak pantas juga bertengkar terus dengan seorang muda, terpaksa ia menahan gusar pergi mengatur pemberangkatan kereta-keretanya.   Tidak lama, iring2an kereta kangzusi.com   sudah meninggalkan kota kecil itu, Siang Lui dan Jun-yan menunggang kuda mengikuti dari belakang, diam2 Sam-bok- leng-koan me-nimang2, Thong-thian sin-mo Jiau Pek-king itu benar2 lihay, tiga saudara maju sekaligus belum tentu sanggup melawannya, rasanya didalam dua bulan ini mesti mengundang lagi bala bantuan.   Sampai disini ia menjadi agak menyesal juga akan keburu nafsunya menimbulkan percekcokan ini.   Sebaliknya Jun-yan sendiri lagi memikirkan bagaimana caranya meloloskan diri, malahan sebelum kabur, Siang Lui harus diberitahukan dulu, barulah mendongkolnya bisa terlampias.   Tapi apa daya, jika bertempur terang2an takkan berhasil.   Lalu akal apakah yang harus dipakai? Malamnya, mereka menginap dihotel lagi.   Siang Lui mengirim dua orangnya menjaga di luar kamar Jun-yan.   Karena itu si gadis menjadi mati kutu.   Jika ia terjang keluar, tapi kemudian dibekuk kembali oleh Siang Lui, bukankah akan membikin malu saja ? Ia menjadi kesal hati, ia rebahan diranjangnya, tanpa terasa ia terpulas.   Sampai tengah malam, tiba2 terdengar berkesiurnya angin, samar-samar terasa suatu bayangan berkelebat di depannya.   Ia menyangka pandangan sendiri menjadi kabur, cepat ia bangun, tiba2 berjangkit lagi kesiurnya angin, menyusul daun jendela berkedut dan terpentang, satu bayangan orang secepat terbang sudah melayang keluar.   Jun-yan kucak2 matanya, kemudian ia menegasi pula, dan memang jendela kamarnya sudah terpentang.   Ia menjadi ingat kejadian malam kemarin yang mirip dengan barusan ini.   Pada saat itulah, lantas terdengar suara bentakan orang diluar .   "Budak liar, jangan lari!"   Menyusul suara itu, segera seorang menjerit di barengi suara gemerentang jatuhnya senjata.   Jun-yan dapat mengenali suara jeritan itu adalah suara orang yang dikirim Siang Lui untuk mengawasi dirinya itu, dan bayangan orang yang begitu cepat dan gesit itu siapa gerangannya? Mungkinkah sipelajar penunggang keledai berjari tunggal itu? Sedang memikir, tiba2 didengarnya lagi suara bentakan Siang Lui yang keras, menyusul mana ada orang sedang melapor dengan gemetar.   "Susiok, Loji dan Losam telah terbinasa!"   Jun-yan terkejut, betapa lihaynya cara turun tangan orang itu? Dalam pada itu Siang Lui hanya menjengek tanpa menyahut, mendadak Jun-yan dikagetkan oleh suara "blang"   Yang keras, sekonyong-konyong pintu kamarnya kena didepak terpentang. Cepat ia bangkit berduduk, dengan suara keras ia membentak .   "Siapa?"   Tadinya Siang Lui menyangka kalau si gadis telah lari sehabis membunuh orang, ia mendepak pintu kamar yang untuk melampiaskan amarah saja, kini mendengar Jun-yan masih berada didalam kamar, seketika ia melengak, tapi terpaksa ia menyahut.   "Aku !"   Tiba2 Jun-yan tergerak pikirannya, ia pura2 mendamprat .   "Tengah malam buta kau dobrak kamarku ada apa ? Katanya angkatan tua Bu-lim, kenapa kelakuanmu begini rendah ?"   Betapapun Siang Lui memang seorang kesatria, kena digertak demikian, ia menjadi mengkeret dan lekas2 undurkan diri sambil menggerutu didalam hati akan kelicikan si gadis.   Sebaliknya diam2 Jun-yan tertawa geli.   Karena kematian dua murid keponakannya, dan pula dirinya kena di-olok2 si gadis, sungguh Siang Lui gusar tidak kepalang.   Besoknya di waktu meneruskan perjalanan, diam2 ia mengambil ketetapan akan mengundang semua kawan yang dahulu pernah bertengkar dengan Jiau Pek-king untuk mendatangi Jing-sia-san dan menentukan unggul atau asor dengan iblis itu, lalu Jun-yan juga akan dicincangnya pula.   Melihat sikap orang, Jun-yan tahu Siang Lui sudah membencinya tujuh turunan, tapi dasar jahil, dalam perjalanannya ia justru sengaja pakai macam2 cara untuk bikin marah Siang Lui hingga tokoh ini semakin geregetan.   Untuk selanjutnya Siang Lui tidak mengirim orang untuk menjaganya lagi, sebenarnya kalau mau Jun-yan sudah bisa melarikan diri.   Tapi sekarang justru ia berbalik pikiran, ia tidak mau tinggal pergi.   Maka tiada beberapa hari akhirnya sampailah mereka diperbatasan daerah Ciatkang, kalau Siang Lui sudah selesaikan barang hantarannya di Hengciu, ia lantas bisa pulang ke Soatang.   Selama beberapa hari terakhir ini, setiap tengah malam tentu ada satu orang yang diam2 masuk kamar Jun-yan.   Setiap malam si gadis juga melihat bayangan orang, tapi asal sedikit ia bergerak, segera orang itu melompat keluar jendela dan menghilang untuk malam berikutnya datang lagi.   Betapa cepat gerakan orang itu, benar2 sukar dilukiskan.   Tidak peduli betapa perlahan Jun-yan bergoyang, segera orang itu mendapat tahu dan lantas melesat pergi.   Suatu malam, sengaja Jun-yan mengincar orang, pura2 pejamkan mata menantikan datangnya orang.   Betul juga, tengah malam orang itu melayang masuk kekamarnya lagi, karena gelap gulita, maka muka orang itu tak tertampak jelas, hanya perawakannya cukup besar, terang seorang laki2.   Sesudah, masuk kekamar, orang itu terus berdiri kaku didepan ranjang Jun-yan hingga tanpa merasa si gadis merinding.   Diam2 ia pikirkan ilmu silat yang luar biasa itu, kalau orang bermaksud jahat, untuk mencelakai dirinya adalah terlalu mudah, tetapi setiap malam hanya datang, lalu pergi lagi, entah apa yang hendak diperbuatnya ? Agaknya yang dua kali membawakan golok Pek-lin-to, tentulah orang ini tak salah lagi.   Jun-yan men-duga2 siapakah gerangan orang ini, mulanya ia sangka si pelajar berjari tunggal itu, tapi lantas terpikir olehnya mungkin sang guru yang telah turun gunung dan secara diam2 melindungi dirinya? Namun bila dipikir lagi, rasanya hal itu tidak mungkin.   Ketika dilihatnya orang itu masih berdiri terpaku, se- konyong2 ia melompat bangun terus menubruk kearah orang.   Ia menaksir dengan tubrukannya secara mendadak itu tentu orang akan kena dicengkeramnya.   Siapa tahu ia hanya tubruk tempat kosong saja.   Terdengar dua kali suara "plak-plak", kedua tangannya telah menghantam diatas meja, sedang disampingnya angin berkesiur perlahan, ketika ia menoleh, orang itu sudah menghilang.   Keruan Jun-yan tambah curiga, cepat ia menyalakan lentera, ia lihat keadaan kamarnya tiada tanda2 aneh.   Ketika ia hendak matikan lentera untuk tidur lagi, sedikit menunduk, mendadak dilihatnya permukaan meja yang tadinya rata mengkilap itu, kini nampak benjal-benjol seperti terukir tulisan.   Waktu ia angkat lentera memeriksanya, ternyata diatas meja itu terukir beberapa hurup yang mencang- mencong, semuanya bertuliskan "Jing-kin".   Ukiran ini sedalam hampir setengah senti, licin halus, tanpa ada tanda-tanda bekas korekan senjata, terang asal goresan dengan jari, dan tempat dimana orang tadi berdiri tepat berdekatan dengan meja ini, maka dapat diduga tentu dilakukan orang itu, betapa tinggi ilmu silatnya, sungguh bikin orang tercengang.   "Jin-kin, Jin-kin", tanpa terasa Jun-yan menyebut nama itu. Ia pikir tentu ini nama seorang wanita, tapi apa hubungannya dengan diriku? Kenapa diwaktu orang hantarkan golok dan kapal jamrud itu selalu disertai secarik kertas yang bertuliskan kedua hurup itu? Ia tak bisa pulas lagi, ia coba merenungkan pengalamannya selama ini, tiba2 ia teringat orang aneh yang dilihatnya di Lo- seng-tian dan selalu menguntitnya dalam perjalanan itu. Ia menjadi bergidik bila mengingat betapa seramnya muka orang aneh itu, ia coba lupakan orang, tapi makin hendak melupakan, semakin teringat. Teringat olehnya kelakuan orang aneh itu Pek-lin-to diminta Liok-hap-tong-cu Li Pong tidak boleh, tapi rela diserahkan padanya. Ketika dirinya berkata ingin memiliki golok pusaka itu, tahu2 besoknya senjata sudah berada di samping bantalnya. Ketika terjadi pertengkaran dengan orang Sam- thay Piaukiok, pernah dirinya berteriak ingin mereka tinggalkan kapal jamrud, eh, tahu2 besok paginya benda itu dihantarkan kepadanya. Maka dapatlah dipastikan, kesemuanya itu dilakukan si orang aneh itu. Tapi sebab apakah orang aneh itu sedemikian menurut pada kata2nya serta berbuat apa yang dapat memenuhi keinginan batinnya? Makin dipikir, makin Jun-yan tidak mengerti. Pikirnya lagi, jika begitu naga-naganya, terang orang aneh itu senantiasa berada disekitarnya, mungkin sekarang juga masih berada disitu, kenapa aku tidak menjajalnya lagi, apa dugaannya itu sesuai dengan kenyataannya ? Maka ia mendekati jendela, ia lihat diluar sana sunyi senyap, maka ia menggumam sendiri .   "Ai, kapal jamrud itu benar2 sangat mungil dan indah, kalau besok pagi sudah sampai di Hangciu, tiada kesempatan untuk menikmatinya lagi, alangkah baiknya jika malam ini aku dapat memainkannya benda itu sejenak !"   Habis berkata, ia tutup daun jendelanya dan merebahkan diri buat tidur lagi. Tidak lama kemudian, mendadak diluar terdengar suara bentakan Siang Lui yang keras .   "Siapa kau ?"   Menyusul terdengar suara "blang"   Yang keras, lalu Siang Lui berteriak lagi .   "Kau adalah sobat dari gadis mana ?"   Tapi tiada suara orang menyahut, sebaliknya terus berkumandang suara kangzusi.com   gedubrakan yang gaduh.   Maka dalam sekejap saja hotel itu menjadi kacau balau semua orang keluar untuk melihat keramaian.   Jun-yan bergirang dan terkejut.   Terkejutnya karena orang yang selalu mengintil itu ternyata benar si orang aneh yang menyeramkan.   Girangnya sebab dugaannya ternyata tepat.   Maka cepat iapun membuka pintu kamar, ia lihat dibawah sorot obor, orang aneh itu sudah hancurkan sebuah kereta muatan hingga benda mustika berantakan berserakan ditanah, tersorot oleh sinar api, benda2 berharga itu memancarkan sinar kemilauan yang indah.   Sedang kapal jamrud itu tampak sudah dikempit oleh si orang aneh.   Kedua mata Siang Lui se-akan2 memancarkan api saking murkanya, dengan senjatanya "Hok-mo-kim-kong-co"   Atau gada penakluk iblis yang diputar sedemikian kencangnya, ia terus memburu.   Begitu hebat tenaganya hingga meja kursi, tembok dan pintu berantakan kena dihantam senjatanya itu.   Belum pernah Jun-yan melihat Siang Lui memakai senjatanya itu.   Mungkin melihat si orang aneh itu terlalu tangguh baginya, maka "Malaikat bermata tiga"   Ini sekarang merasa perlu keluarkan senjata andalannya.   Tapi orang aneh itu seperti tidak mau terlibat dalam pertempuran, hanya berkelit kian kemari dibawah sambaran gada orang, dan sedikitpun Siang Lui tak bisa menyentuh padanya.   Ber-duyun2 begundalnya Siang Lui juga merubung datang dengan senjata lengkap, tapi ketika melihat macamnya orang aneh yang menakutkan, yang bernyali kecil segera bergidik, apalagi suruh maju mengeroyok? Dalam keadaan ribut2 itu, tiba2 diantara penonton itu ada satu orang berteriak.   "Wah, celaka, hancur semua, hancur semua!"   Terkesiap hati Jun-yan mendengar suara itu, ketika ia berpaling kearah suara itu, benar juga dilihatnya sisuseng berjari tunggal itu lagi berjingkrak2 kegirangan oleh peristiwa itu.   Ketika melihat Jun-yan berpaling, ia membalasnya dengan seulas senyuman.   Sementara itu Siang Lui memutar gadanya semakin kencang, ditambah ilmu "Thong-pi-kang"   Yang lihay, tapi sesudah 30-40 jurus sedikitpun masih belum bisa menyentuh tubuh orang aneh itu.   Diam-diam ia apa mau percaya apa yang diceritakan Li Pong tempo hari ternyata tidak omong kosong belaka, betapa hebat ilmu silat orang aneh ini, benar- benar susah diukur.   Tapi sekali gebrak saja hampir pundaknya kena dihajar orang, melihat serangan orang aneh ini, terang ilmu pukulan geledek "Pi-lik-jiu"   Dari keluarga In di Holam, tapi sekarang melihat gerak tubuhnya yang enteng, tampaknya dari aliran lain lagi.   Dan karena sudah lama masih belum bisa mengalahkan lawan, hati Siang Lui menjadi gugup.   Makin lama ia menjadi semakin kalap, saking sengitnya ia memutar gadanya hingga penonton terpaksa menyingkir mundur oleh angin gambarannya.   Melihat pertarungan yang susah dilerai itu jika diteruskan entah bagaimana akhirnya, maka cepat Jun-yan berseru .   "Sudahlah, berhenti, berhenti !"   Mendengar suara Jun-yan, orang aneh itu tampak tertegun sejenak hingga gerak tubuhnya agak merandek, kesempatan itu telah digunakan Siang Lui untuk mengemplang dengan gadanya.   Saat itu kedua tangan si orang aneh itu lurus kebawah tanpa ber-jaga2, jika kemplangan itu kena kepalanya, jangankan manusia, sekalipun batu juga akan hancur lebur.   Keruan Jun-yan terkejut, ia menjerit kaget sambil menekap mulutnya.   Tapi pada saat itulah, sampai Siang Lui sendiri tidak jelas bagaimana jadinya.   tiba2 pandangan semua orang se- akan2 kabur, mendadak orang aneh itu ulurkan tangan kirinya, secepat kilat gada Siang Lui sudah kena ditangkapnya.   Cepat Siang Lui menarik sekuatnya, tapi sedikitpun lawan tak bergeming, lekas2 ia gunakan ilmu "Thong-pi-kang"   Mendorong kedepan, tapi masih tetap tak bisa membuat orang aneh itu bergerak malahan lengannya sendiri hampir2 patah, keruan terkejutnya tidak kepalang.   Ketika tiba2 orang aneh itu menarik kebawah, menyusul disengkelit kesamping, maka terasa oleh Siang Lui suatu tenaga yang amat besar menubruk kedadanya hingga cekalannya menjadi kendor, gadanya telah kena dirampas orang, sedang tubuhnya akhirnya ter-huyung2 kebelakang terus jatuh terduduk.   Sejak ia unjuk diri di kangouw, belum pernah mengalami kekalahan sehebat ini, dalam masgulnya ia membentak pula.   "Tinggalkan namamu sobat!"   Akan tetapi orang aneh itu hanya sedikit mengapkan mulutnya yang sudah tidak utuh lagi dan mengeluarkan semacam suara yang menggoncangkan sukma, se-konyong2 gada yang dirampasnya itu ditimpukan ketanah hingga amblas sedalam setengah gada itu, lalu berjalan ke arah Lou Jun-yan.   "Terima kasih atas maksud baikmu", kata Jun-yan ketika melihat orang aneh itu mendekatinya. Tiba2 orang aneh itu taruh kapal jamrud itu ditangan Jun- yan, sekali melesat, mendadak meloncat keluar secepat terbang.   "He, nant...."   Jun-yan hendak meneriakinya, tapi orang sudah sampai diluar dan sekejap mata saja sudah menghilang. Menyaksikan semua itu, Sam-bok-leng-koan Siang Lui benar2 terkejut, iapun tahu bukan tandingan orang. Maka ia berbangkit buat kembali kekamarnya.   Pendekar Misterius Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Orang she Siang", tiba2 Jun-yan menegurnya sembari meletakkan kapal jamrud yang diterimanya dari si orang aneh itu keatas meja.   "barangmu ada disini, apa kau kira aku benar2 menginginkannya? kau sendiri yang menjaganya masih dapat dibegal orang, kalau panji Sam-thay Piaukiok kalian telah kupatahkan, rasanya tidak berlebihan. Sekarang apa kau masih akan menggiring aku kembali ke Jing-sia-san?"   Siang Lui sudah lesu sekali, ia hanya kebas tangannya dan menyahut.   "Bolehlah kau pergi, dalam dua bulan, biar aku pergi menemui gurumu!"   "Haha, berani mengaku kalah, masih terhitung seorang laki2 sejati!"   Jun-yan meng-olok2 sembari tinggalkan pergi. Baru saja ia melangkah keluar pintu, segera dilihatnya sisuseng berjari tunggal itu lagi menggapai padanya. Cepat ia mendekatinya.   "Tabah benar nona"   Puji pelajar itu dengan tertawa. Biasanya mulut Jun-yan cukup tajam, tapi aneh, menghadapi suseng ini, mukanya menjadi merah, hatinya ber- debar2, sekejappun tak sanggup buka suara, sampai lama sekali baru ia menjawab .   "Ah, kau terlalu memuji saja !"   "Disini bukannya tempat bicara, bila nona tidak menolak, marilah kita tinggalkan tempat ini", ajak suseng itu tiba2. Aneh juga, Jun-yan benar2 kesemsem oleh pemuda ini, maka ia hanya mengangguk setuju. Segera mereka mendatangi kandang kuda, suseng itu menuntun keluar keledainya, mereka berdua menunggangi satu keledai terus dilarikan keluar kota.   "Siapakah she nona yang terhormat ?"   Tanya suseng itu sesudah sampai ditempat yang sepi.   "She Lou, bernama Jun-yan..."   Ia merandek lalu pikirnya hendak balik menanya .   "Dan kau ?"   Namun aneh, ia menjadi tak enak mengucapkannya. Ia sendiri heran mengapa bisa malu2 kucing begini.   "Nona Lou", kata suseng itu pula.   "orang aneh yang mirip mayat hidup itu, pernah apa dengan kau?"   "Tidak pernah apa2 denganku", sahut Jun-yan. Lalu menyambungnya pula.   "Tapi kalau diceritakan, agak panjang juga!"   "Tidak apa, lihatlah, dibawah sinar bulan yang indah, kita menunggang diatas satu keledai, sekalipun kau bercerita sebelum setahun, akupun takkan bosen, makin jelas ceritamu, makin baik", ujar suseng itu. Senang sekali hati Jun-yan oleh rayuan pemuda itu. Tanpa pikir lagi, segera ia tuturkan pengalamannya selama itu. Ketika selesai ceritanya, hari sudah remang2, subuh sudah tiba. Karena sejak tadi tidak mendengar suara sisuseng, maka Jun-yan berpaling memandang orang, ia lihat wajah si pelajar itu mengunjuk rasa heran dan girang bukan buatan, ia menjadi heran, tanyanya.   "Eh, hal apa yang membuat kau begini gembira?"   "Ah, tidak apa2", sahut suseng itu tertawa.   "Aku hanya terlalu kagum terhadap ilmu kepandaian orang aneh yang tinggi itu. Nona Lou, apakah kau tahu, sebab apakah ia selalu tunduk dan menurut pada perintahmu?"   "Ya, aku sendiri tidak mengerti kelakuannya yang aneh itu", sahut Jun-yan.   "Orang itu mahir ilmu silat dari berbagai cabang aliran, sesungguhnya susah dipercaya."   Suseng itu termenung sejenak, tiba2 bertanya pula.   "Sekarang tujuan nona hendak kemana?"   "Memangnya aku tidak mempunyai tujuan, cuma Sam-bok- leng-koan itu bilang dalam dua bulan ini akan mencari suhu ke Jin-sie, bila aku tidak hadir hingga suhu mau percaya atas obrolan mereka sepihak, kelak pasti aku akan didamprat habis2an".   "Nona Lou,"   Ujar suseng itu.   "Sam-bok-leng-koan bertiga tidak nanti berani mendatangi gurumu, tentu mereka akan mengundang banyak tokoh2 Kangouw lainnya untuk mana sedikitnya akan makan waktu sebulan, dan selama sebulan ini, aku ingin minta sesuatu bantuan, entah kau sudi tidak."   "Silahkan berkata", sahut Jun-yan. Betapa tidak, sejak si gadis merasa orang sudi menolong hindarkan dirinya dari kesulitan, dalam hatinya sebenarnya sudah berbenih asmara, ia justru berharap setiap hari bisa berdampingan dengan sipemuda.   "Aku ingin minta nona bikin perjalanan bersamaku ke Hun- kui (Hunlam dan Kuiciu), dalam sebulan, tentu kita bisa kembali", sahut suseng itu.   "Tentu saja aku iringimu", sahut si gadis. Dalam hati ia memikir, meski tidak bisa kembali dalam sebulan juga aku tidak menyesal. Karena pikiran ini, wajahnya menjadi merah. Maka sambil mengucapkan terima kasih, segera suseng itu keprak keledainya terlebih cepat ke arah barat. Jun-yan duduk didepan orang, maka tidak mengetahui gerak gerik sisuseng yang waktu itu sebenarnya lagi tengak tengok kebelakang, maksudnya ialah ingin tahu apakah orang aneh yang berilmu silat tinggi, tapi sangat menurut pada Jun- yan itu, apakah mengintil dibelakang. Namun ia agak kecewa, sebab satu bayanganpun tidak kelihatan. Dalam perjalanan selama setengah bulan, dasar gadis remaja mudah terpikat, tanpa merasa Jun-yan telah jatuh kedalam jaring2 cinta, ia merasa setiap gerak-gerik suseng tampan itu sangat menarik. Hanya satu hal yang belum diketahuinya, ialah setiap kali ia menanya nama dan asal usul suseng itu, orang selalu menjawabnya samar2 dan membilukan pembicaraan. Karena melihat kedua tangan orang tak berjari, kecuali jari tengah tangan kanan dan memakai sebuah selongsong emas yang ber-kilat2, maka ia memanggilnya "It-ci Toako"   Atau engko berjari satu, tapi pemuda itupun mau menyahutnya.   Suatu hari, selewatnya Kuiciu, tibalah mereka diwilayah Hunlam.   Tempat dimana mereka lalui, kedua samping adalah lereng2 gunung hanya di-tengah2nya suatu jalan yang tidak terlalu besar.   Daerah Kuiciu dan Hunlam terhitung dataran tinggi yang banyak lereng pegunungan, penduduknya jarang, tempatnya penuh rahasia.   Sebab itu banyak pula binatang2 aneh yang tak dikenal namanya, dan karena jarang melihat manusia, maka bila ketemu orang, binatang itupun tidak takut2.   Sungguh tidak Jun-yan duga bahwa tempat yang mereka datangi ini ternyata indah permai tidak kalah dengan pegunungan Jing sia tempat kediaman gurunya.   Ditambah lagi bikin perjalanan dengan suseng itu, maka hatinya selalu riang gembira.   Sesudah sehari pula, sampai petangnya, tiba2 mereka melihat di tepi jalan terdapat sebuah gardu istirahat yang kecil.   Didalam gardu itu berduduk dua orang wanita yang berdandan sebagai suku Biau (Miao), yang satu sudah nenek keriput, sedang lainnya gadis jelita.   Kulit badan gadis itu putih laksana salju, tapi diantara putih itu bersemu ke-hijau2an seperti bukan manusia hidup.   Namun ketika kedua bola matanya mengerling, menimbulkan rasa senang bagi orang yang memandangnya.   "A Siu, siapakah orang yang datang ini ?"   Tanya sinenek itu dengan suara tertahan ketika mendengar Jun-yan dan suseng itu mendekati gardu.   "Entah siapa, belum pernah kenal"   Sahut si gadis dengan wajah heran sesudah memandangi kedua orang.   Barulah kini Jun-yan berdua memperhatikan bahwa nenek itu adalah seorang buta.   Tiba2 suseng itu merosot dari keledainya, dengan jari tunggal ia gantol semacam benda kehitam2an yang diambil dari bajunya, lalu disodorkan sambil bertanya .   "Apakah aku berhadapan dengan Tiat hoa-popo ? periksalah ini !"   Jun-yan tidak jelas benda apa yang diangsurkan sisuseng itu, cuma dalam hati ia merasa heran untuk apa It-ci Toako ini bersalaman dengan orang Biau dan memanggilnya Tiat-hoa- po po atau nenek bunga besi segala.   "A Siu, coba kau ambilkan,"   Terdengar nenek tadi berkata.   Lalu si gadis Biau tampak bisik-bisik beberapa kali dalam bahasa mereka.   Karena kepalanya bergerak, maka anting2 besar di telinganya ikut bergoncang tiada hentinya.   Kemudian nenek itu per-lahan2 telah berbangkit.   Karena tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, maka Jun-yan berdiam diri saja, tapi perhatiannya tidak lepas dari gerak-gerik wanita2 Biau itu, yang menurut kabar, suku Biau pandai main guna2 dan meracun, mungkinkah mereka akan mencelakai engko jari satunya? Karena pikiran ini, maka ia hendak mendekati kearah mereka bertiga.   Tapi tiba2 dilihatnya sisuseng telah menoleh sambil memberi tanda padanya supaya Jun-yan diam2 saja, terpaksa si gadis urungkan niatnya, meski hatinya penuh tanda tanya.   Sesudah Tiat-hoa-popo berdiri, ia ambil benda dari tangan sisuseng serta di-raba2nya dengan teliti.   Barulah sekarang Jun-yan dapat melihat jelas bahwa benda itu berbentuk bunga seruni yang terbuat dari besi.   Setelah me-raba2 sebentar, terdengar nenek itu bersuara puas, lalu katanya .   "Betullah, nah pergilah, kiri tiga, kanan tujuh, timur tiga belas, dan barat delapan belas !"   Jun-yan menjadi bingung oleh istilah2 itu, tapi sisuseng meng-angguk2 dan menyahut .   "Banyak terima kasih atas petunjuk Popo !"   Baru saja mereka putar tubuh hendak berlalu, tiba2 si gadis jelita tadi memandang tajam kearah Jun-yan dan bersuara .   "Tiat-hoa-popo !"   "Ada apa ?"   Nenek itu menjawab. Tapi si suseng itu sudah keburu kedipi si gadis sembari jari tunggalnya itu menggandeng sebelah tangan orang. Gadis itu menjadi ragu2 sejenak, tapi akhirnya ia berkata pula pada sinenek.   "Tidak apa2, aku hanya panggil biasa saja!"   Segera sisuseng itu menarik gadis jelita ini kepinggir dan berbisik.   "A Siu, terima kasih kau tidak menceritakan pada Tiat-hoa-popo."   Tapi gadis itu tidak menjawab, hanya mengebas tangannya dengan muka merah jengah, ia melirik sekilas pada sipemuda lalu menunduk.   Melihat itu, perasaan Jun-yan menjadi kecut.   Namun sisuseng sudah menaiki keledainya dan melanjutkan perjalanan.   Sesudah jauh tak tahan lagi segera Jun-yan menanya.   "It-ci Toako, tadi nenek itu bilang tentang kiri- kanan-timur-barat, apa2an itu?"   "Ia menunjukan suatu tempat tujuan kita, yaitu didepan sana yang disebut Bwe-ho-cap-peh-tong. Tempat itu sangat sulit didatangi karena jalannya yang me-lingkar2 bagai jaring laba-laba, maka apa yang dikatakan nenek itu tadi yalah langkah2 kemana kita harus membalik sesudah sampai dipersimpangan jalan."   Masih Jun-yan belum faham, tanyanya pula.   "Lalu untuk apa sesudah sampai disana?"   "Kita bicarakan kalau sudah sampai disana,"   Sahut si suseng. Kembali jawaban demikian yang diperoleh, Jun-yan menjadi uring2an. Sepanjang jalan ia sudah sering tanya, dan selalu mendapat jawaban yang sama, padahal ia justru sangat ingin tahu. Maka omelnya.   "Aku minta sekarang juga kau terangkan, bila tidak, biar aku kembali saja."   Habis berkata, ia pura2 hendak merosot kebawah keledai. Diam2 si suseng rada kuatir, maka terpaksa katanya.   "Tujuan kita menyangkut urusan besar. Kita berada ditanah Biau, mereka ada peraturan yang menentukan orang tidak boleh sembarangan omong. Maka nona, haraplah kau sabar dulu?"   Jun-yan serba salah, kalau melihat sikap pemuda ini, tampaknya bukan pura2. Maka sesudah berpikir, katanya kemudian.   "Jika begitu, masa namamu juga tidak boleh kuketahui? Apakah selama hidup aku harus memanggil It-ci Toako?"   Sesudah mengucapkan ini, barulah teringat olehnya agak ketelanjuran hingga mukanya menjadi merah. Namun suseng itu tampaknya lagi susah oleh recoknya, maka tidak memperhatikannya, dan sahutnya.   "Soalnya karena namaku tak sedap didengar, maka tidak ingin kau tahu. Baiklah kukatakan, aku she Ti, bernama Put-cian (tidak cacat)". Mendadak Jun-yan tertawa.   "Namamu tidak cacat, tapi jarimu justru bercacat, kesembilan jarimu itu...."   Sebenarnya ia hendak bertanya mengapa jarimu itu putus, tapi belum terucapkan, tiba2 teringat seseorang olehnya hingga tanpa terasa ia berseru.   "He, Kanglam-it-ci-seng, kau adanya?"   "Benar", sahut sisuseng mengangguk. Jun-yan coba meng-amat2i orang sejenak, kemudian menggumam sendiri.   "Kau adalah Kanglam-it-ci-seng? Ah, bukan, bukan! Tentu memalsukan namanya!"   "Lalu, macamnya Kanglam-it-ci-seng itu dalam bayanganmu, seharusnya bagaimana, nona?"   Tanya Ti Put- cian tertawa.   "Aku tidak pernah melihatnya, tapi....tapi... ."   Sebenarnya ingin bilang.   "tapi betapapun juga takkan secakap macam suseng muda seperti kau ini!"   Cuma kata2 ini tak enak diutarakan. Rupanya Ti Put-cian dapat meraba dugaan orang, maka katanya.   "Ha, dalam bayangan nona, Kanglam-lt-ci-seng yang terkenal jahat itu tentu berwujut seorang yang kepalanya sebesar gantang, mata sebesar mangkok, ditambah lagi hidungnya sebesar kentongan, mulut sebesar baskom, penuh berewok macam singa, bukan?"   Jun-yan terkikih geli oleh kata2 itu, sahutnya.   "Tak peduli apa dia singa atau macan, sekalipun kau benar Ti Put-cian, masakan aku takut padamu? Berani kau menyentuh seujung rambutku?"   Kiranya nama "Kanglam-lt-ci-seng Ti Put-cian"   Atau si pemuda jari tunggal dari kanglam itu sangat disegani orang Bu-lim.   Pada jari satu-satunya itu terpasang segolongan emas yang bisa mulur mengkeret dan khusus dipakai untuk mematuk, ilmu yang menjadi kemahirannya.   Tindak tanduknya kejam, ganas dan tak pilih bulu.   Sebab itulah Jun- yan mulai meragukan kebenaran Kanglam-it-ci-seng kangzusi.com   yang tersohor sebagai momok itu bisa berupa seorang suseng tampan, malahan diam2 ia sendiri telah jatuh hati padanya.   "Sudahlah, jangan2 kita akan kesasar", kata Ti Put-cian kemudian sambil tertawa. Karena benih cinta telah tumbuh pada orang dengan sendirinya yang terpikir olehnya hanya mengenai hal2 yang baik, maka Jun-yan menjadi lupa namanya lebih jauh soal tadi. Sebaliknya Ti Put-cian sedang memperhatikan jalan yang mereka lalui itu, haripun mulai gelap. Dan sesudah melingkat kian kemari, akhirnya terdengar Ti Put-cian berkata .   "Sudah sampai !"   Segera hidung Jun-yan mengendus bau harum bunga Bwe, sejauh mata memandang, pepohonan jarang2, tetapi bunga2 mekar mewangi ditambah bulan baru menyinari malam nan indah itu.   Jun-yan benar2 kesemsem akan keadaan waktu itu.   Ketika tiba2 mendengar pemuda itu bilang sampai, ia memandang kearah barat, ia lihat tidak jauh sebuah tebing curam tegak berdiri, tampaknya satu jalan buntu, maka jawabnya .   "It-ci Toako, jalan sana buntu, jangan-jangan nenek itu salah menunjukkan jalan ?"   "Tidak, Bwe-hoa-cap-peh-tong memang melingkar-lingkar tempatnya, jika orang kesemsem akan pemandangan sekitarnya, tentu dia akan kesasar", sahut Ti Put-cian. Mereka terus menuju ketebing curam itu, sesudah dekat, tampaklah di bawah semak-semak rotan pegunungan situ terdapat sebuah gua, setelah memasuki gua itu dan berbiluk- biluk didalamnya, akhirnya menembusi perut pegunungan itu dan sampai disuatu lembah dengan lima gua yang lebih besar. Ketika beberapa gua dilewati pula dan sampai digua kedelapan belas, jauh-jauh sudah terdengar didalam perut gunung itu suara tambur dipukul riuh ramai mengejutkan orang.   "Sampailah tempat tujuan kita", kata Ti Put-cian akhirnya. Mendengar sudah sampai, segera Jun-yan mengamati tempat itu, ia lihat didekat gua sana tumbuh beberapa pohon Bwe dengan bunga sebesar mangkok dan ranting2nya yang lebat. Suara tambur itu berkumandang terus dari dalam gua. Ti Put cian melepaskan keledainya agar pergi makan rumput sendiri, lalu Jun-yan diajaknya mendekati pintu gua. Ternyata gua itu berpintu besi yang sangat lebar dan setinggi lebih dua tombak hingga nampaknya sangat megah. Lalu suseng itu mengeluarkan bunga seruni besi dari bajunya dan mengetok beberapa kali pada pintu besi. Melihat itu, hati Jun-yan penuh tanda tanya, namun ia coba menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak lama, pintu besi itu terdengar berbunyi, tampak satu lubang kecil terpentang dari lubang itu. Ti Put-cian angsurkan bunga seruni besi. Sebentar kemudian, pintu besi itu terbuka, didalam gua itu gelap gulita, Jun-yan kencang2 menggendoli lengan si pemuda dan ikut masuk kedalam.   "It-ci Toako, kemanakah kita ini ?"   Tanya pula Jun-yan.   "Didepan ada orang mengunjukan jalan bagi kita, sebentar lagi tentu kau akan jelas melihatnya", sahut Ti Put-cian. Tak lama kemudian, karena sudah biasa dalam kegelapan, samar2 Jun-yan dapat melihat di depan betul saja ada dua orang Biau yang tegap bertombak sedang menunjukan jalan. Sesudah beberapa jauhnya, di depan terdapat pintu besi semacam itu. Suatu saat Jun-yan merasa angin silir berkesiur lewat disampingnya. Tepat pada saat itulah, tiba2 Ti Put-cian berpaling menanya.   "Jun-yan, sepanjang jalan, apakah kau merasa bahwa manusia aneh itu terus mengintil di belakangmu?"   "Barusan saja terasa angin lewat menyambar disampingku, apakah kau tidak berasa ?"   Sahut Jun-yan.   Pendekar Misterius Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Gerak gerik orang aneh itu tidak bersuara, tapi menimbulkan kesiurnya angin, tampaklah dia sudah pasti. Ia ikut kemari, tidak berhalangan bukan?"   "Tidak apa2, bahkan itulah yang kita harap", sahut Ti Put Cian.   "Jun-yan, sebentar nanti kalau terpaksa, aku ingin minta bantuanmu, hendaklah kau jangan menolak". Jun-yan tidak tahu bantuan apa yang orang harapkan darinya, tapi iapun menjawab .   "Jangan kuatir !"   Pada saat itulah, tiba2 pandangan mereka terbeliak, suara tamburpun semakin keras terdengar.   Ternyata mereka sudah berada di-tengah2 sebuah lembah pegunungan yang sekelilingnya diapit oleh lereng2 tebing yang tinggi dan curam.   Tanah mangkok lembah itu seluas kira-kira dua ha dan tandus tak tertumbuh apapun, malahan dibawah sinar bulan nampaknya halus licin, kecuali dapat dimasuki melalui pintu2 besi dalam gua tadi, agaknya burung sekalipun tak dapat masuk ketempat ini.   Di-tengah2 tanah lapang itu terdapat sebuah batu besar setinggi tiga kaki dan lebarnya lebih dua tombak persegi, permukaan batu rata gelap, nyata sebuah meja batu buatan alam.   Di atas meja batu itu waktu itu ada seorang Biau dengan bagian atas badan telanjang hingga tampak kulitnya yang ke-hitam2an, sedang memukul tambur se-kuat2nya hingga air keringatnya bertetes-tetes.   Disekitar batu besar itu banyak orang yang sedang duduk mengitari, ada suku Biau sendiri, juga ada bangsa Han.   Didepan batu besar itu terdapat tujuh kursi yang diatur berderet, semuanya masih lowong.   Dekat dengan dinding tebing sana beberapa ratus orang Biau memegangi obor besar hingga lembah itu tersorot terang benderang bagai siang hari.   Diam2 Jun-yan memikir mungkin ini pertengahan bulan, tentu orang2 Biau lagi mengadakan perayaan apa2.   Maka iapun tidak banyak tanya, kemana Ti Put-cian pergi ia mengikut kesitu.   Sesudah hampir mengitari tanah lembah itu, kemudian Ti Put-cian memilih suatu tempat yang longgar dan berduduk, tempat itu kira2 beberapa tombak jauhnya dari meja batu tadi, maka Jun-yan pun berduduk disamping kawannya ini.   Ketika tanpa sengaja ia berpaling, tiba2 ia berseru kaget.   "He, hidung kerbau! Kaupun berada disini?"   Lekas2 Ti Put-cian menjawil si gadis dan membisikinya.   "Ssst, jangan bersuara Jun-yan!"   Namun seruan Jun-yan tadi meski tak keras, tapi karena waktu itu hanya suara tambur saja yang berdentang, semua orang lagi menanti dengan berdiam, maka yang berdekatan dengan Jun-yan lantas banyak yang berpaling kearahnya.   Sebab itu, Jun-yan menjadi makin heran.   Kiranya tadi diantara orang2 itu ia telah melihat Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin juga berduduk disana, sebab itulah ia berseru kaget.   Tapi kini ketika banyak orang berpaling kearahnya, ia menjadi melihat pula diantaranya bukan saja terdapat Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong, bahkan si orang aneh juga tertampak berduduk tidak jauh dari dirinya dan kepalanya tertutup selapis kain.   Walaupun orang aneh itu berkedok, tapi dari bentuk tubuh dan dandanannya Jun-yan masih dapat mengenalinya, maka katanya kepada Ti Put-cian .   "It-ci Toako, ternyata disini tidak sedikit kenalan lama !"   "Siapa saja ?"   Tanya Put-cian.   "Lihatlah, imam setengah umur itu ialah Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin, dan kakek pendek buntik itu adalah Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong, sedang lelaki berkedok itu bukan lain adalah orang aneh yang banyak bikin gara2 atas diriku itu!"   "Benar? Kau tidak salah mengenalinya?"   Put-cian menegas. Dan rupanya saking girang hingga suaranya agak keras.   "Ssst", cepat pula Jun-yan menjawil padanya. Maka keduanya lantas saling pandang dengan tersenyum. Mendadak suara tambur tadi semakin keras dan cepat, lalu beberapa ratus orang Biau lantas bersorak-sorai hingga suasana seketika bergemuruh oleh suara gema kumandang dilembah pegunungan itu.   "Hampir mulailah sekarang", kata Ti Put-cian rada tegang ketika melihat sang dewi malam sudah berada di-tengah2 cakrawala. Maka tertampaklah dari pintu besi sana berduyun2 datang tujuh orang, setiap orang memondong satu mayat yang sudah kering, ada lelaki ada perempuan, tapi tubuh mayat itu sudah mengering kuning hingga tampaknya sangat menyeramkan. Dandanan mayat2 itupun tidak seragam, ada suku Biau, ada bangsa Han dan suku lain pula. Agaknya, orang yang memondong mayat itu sangat menghormat sekali terhadap apa yang mereka bawa itu. Setelah sampai didepan ketujuh kursi kosong tadi, mereka- mereka meletakkan mayat2 itu diatasnya, lalu berlutut memberi sembah, sesudah bangun, mereka lantas berbicara, mula2 dengan bangsa Biau, kemudian dengan bangsa Han, seru mereka.   "Secara sembrono kami berani menyentuh tubuh Seng-co (nabi agung), pantas kalau mati, maka mengharap Seng-co suka memberi berkah!"   Habis berkata, cepat mereka melolos senjata terus membunuh diri.   Segera pula ada orang yang menyeret ketujuh jenazah baru ini kepinggir.   Betapa terkejut dan berdebar hati Jun-yan oleh kejadian itu, sebaliknya Ti Put-cian ternyata sangat kesemsem menyaksikan itu katanya dengan perlahan pada si gadis.   "Lihatlah, betapa agung perbawa Seng-co, sesudah wafat, tubuh emasnya masih begitu keramat hingga siapa yang menyentuhnya rela membunuh diri untuknya!"   "Apa2an Seng-co itu ?"   Tanya Jun-yan.   "Ssst, jangan sembrono", bisik Ti Put-cian dengan wajah kuatir. Jun-yan masih hendak menanya, tapi suara tambur tadi sudah berhenti mendadak dan orang yang memukul tambur itu terus melompat turun dari meja batu itu dengan gesit. Maka terlihatlah Tiat-hoa-popo menaiki meja batu dengan langkah yang tidak tetap sebagai lajimnya seorang nenek2. Sesudah berada diatas, ia memandang kesekitarnya hingga seketika sunyi senyap, maka iapun mulai berkata, juga bahasa Biau dulu, kemudian bahasa Han. Katanya.   "Seng co ketujuh sudah wafat 30 tahun yang lalu, Seng-co kedelapan juga sudah menghilang selama 30 tahun dan tak pernah kita ketemukan. Menurut tradisi kita, Seng-co kesembilan harus kita angkat diantara semua hadirin ini. Menurut peraturan, 49 bunga seruni sudah kita sebarkan keseluruh negeri, siapa yang memperolehnya malam ini juga sudah hadir semua. Maka Lopocu (nenek-tua) tidaklah perlu banyak omong, terserah pada takdir, siapakah gerangannya yang bakal terpilih sebagai Seng-co dari rakyat2 72 gua kita."   Habis itu, sekali tubuhnya melesat cepat sekali orangnya sudah melayang turun.   Jangan dikira usianya sudah tua dan matanya buta, tapi betapa cepat gerakannya, ternyata tidak kalah dengan tokoh kelas satu dari kalangan Bulim.   Sampai disini, sedikit banyak Jun-yan sudah mengetahui duduknya perkara.   Apa yang disebut Seng-co itu tentu adalah pemimpin tertinggi dari 72 gua suku Biau, dan hari ini justru hari pemilihan Seng-co baru itu.   Cuma yang tidak dapat dipahaminya ialah apa yang dikatakan sinenek bahwa Seng-co ke 8 bisa menghilang sejak 30 tahun yang lalu, padahal kedudukan Seng-co ini ada sekian banyak orang yang menginginkannya? Sedang ia berpikir, tiba2 dilihatnya didepannya berdiri satu orang berbaju putih, ujung lengan baju orang hampir2 menyentuh mukanya.   Ketika ia mendongak, kiranya adalah si gadis yang bernama "A Siu"   Itu. Gadis jelita ini lagi memandangi Ti Put-cian dengan senyum yang penuh arti. Hati Jun-yan menjadi panas, segera ia bermaksud membentak, tapi gadis itu hanya sejenak saja merandek, lalu meninggalkan pergi.   "Hm, gadis Biau ternyata begini tak kenal malu", segera Jun-yan mencemoh sambil melihati belakang A Siu, yang sementara itu telah mendekati dan duduk disamping Tiat-hoa Popo. Sejenak nenek itu turun panggung, semua hadirin berdiam diri saja, setelah lama barulah si orang Biau yang tinggi besar wajahnya bengis membawa tombak, sambil meloncat dan berlari menaiki panggung batu, lalu teriaknya .   "Tong-cu (kepala Gua) dari Jing-cha-tong, Pulaihua, minta pengajaran dari para hadirin !"   Habis berkata, dengan congkaknya ia berdiri menolak pinggang dengan sebelah tangannya, sikapnya memang gagah sekali, tapi bagi penglihatan orang ahli segera tahu kuda2nya tidak kuat, tidak tahan sekali pukul saja.   Kiranya ke-72 gua suku Biau itu yang hidupnya diantara tanah pegunungan yang penuh binatang-binatang berbisa, jiwa mereka sama sekali tak terjamin, maka segera telah mengadakan perserikatan mengangkat seorang yang serba pandai untuk menjadi pemimpin besar mereka, yaitu disebut Seng-co, dengan hak kekuasaan penuh.   Sejak Seng-co pertama diangkat, selamanya tidak membeda-bedakan suku bangsa dan keturunan, sebab itulah diantara delapan Seng-co yang lalu, enam diantaranya adalah bangsa Han.   Waktu pemilihan Seng-co baru selalu diadakan pada pertengahan bulan pertama diwaktu bulan purnama, sesudah Seng-co lama wafat, sebelum itu, 49 buah bunga seruni besi yang menjadi tanda pemilihan itu disebar keseluruh negeri, siapa yang memperolehnya dapat ikut hadir dalam pemilihan.   Urusan ini selamanya dirahasiakan, maka Jun-yan sejak mula tidak mengetahui untuk apakah kedatangan Ti Put-cian ini.   Begitulah, sesudah Pulaihua tadi naik ke-panggung, lalu datang seorang Biau lalu sebagai penantang dan mulai bertanding, akhirnya Pulaihua itu kena dijungkalkan kebawah.   Selanjutnya seluruh suku Biau saja yang saling bertempur hingga dua jam lebih, tapi cara berkelahi mereka adalah terlalu kasar hingga tiada harganya dilihat.   Tampaknya sang bulan sudah mendoyong kebarat, tiba2 Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong melolos senjatanya, Go-bi-ji, sekali lompat, panggung yang jauhnya dua tiga tombak itu telah kena dinaikinya.   Waktu yang berada disitu adalah seorang Biau yang muda tangkas, diantara leher pergelangan tangan dan kakinya memakai gelang rotan yang hitam gelap.   Sesudah naik keatas, tanpa bicara lagi senjata Bok Siang hiong terus menusuk kepaha orang Biau itu.   Namun orang Biau berdiri diam saja tanpa menghindar, maka tepat kena pahanya yang di arah itu, tapi hanya mengeluarkan suara seperti kayu diketok, sedikitpun kakinya ternyata tidak terluka.   Keruan Bok Siang-hiong terkejut, segera ia tarik kembali senjatanya hendak ganti serangan, namun tombak orang Biau itu juga telah menusuk kebadannya, cepat ia meraup hingga ujung tombak orang kena ditangkapnya, sekali gertak, Bok Siang-hiong kerahkan tenaga dalamnya yang kuat, tanpa ampun lagi orang Biau itu terpental jatuh kebawah seperti layang2 putus benangnya.   "Maaf !"   Bok Siang-hiang coba merendah lalu ada seorang Biau lagi yang melompat keatas, tapi juga bukan tandingannya, ber-turut2 beberapa orang lagi dari berbagai suku bangsa, tapi semuanya kena dikalahkan Bok Siang-hiong.   Sementara itu hari sudah terang, obor sudah dipadamkan, Bok Siang-hiong masih menjagoi di atas panggung, kedua matanya selalu mengincar Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin saja.   Karena ditunggu lama masih belum ada yang naik, akhirnya Cu Hong-tin berbangkit, sekali ayun kebutnya, perlahan dan enteng sekali ia melompat keatas panggung batu itu.   Melihat betapa indah loncatan itu, semua hadirin bersorak memuji.   Sebaliknya Bok Siang-hiong sangat mendongkol akan datangnya Cu Hong-tin ini, sedangkan dirinya sudah bertempur setengah malam, tenaganya sudah habis, barulah orang maju menantang padanya, maka tanpa bicara lagi, begitu membuka serangan, segera ia putar sepasang cundriknya itu mengurung rapat lawannya.   -0odwkzhendrao0-   Jilid 4 DALAM hal keuletan, sebenarnya Cu Hong-tin memang masih lebih unggul dari pada Bok Siang-hiong.   Apa lagi orang telah bertempur selama setengah malam dengan berpuluh orang.   Betapapun lihay serangannya, tidaklah dipandang berat oleh Cu Hong-tin.   Sekali Siau-yau-ih-su ini meloncat, dari atas kebutnya yang berekor benang emas itu terus mengepruk kebawah dengan tipu "Thian-hoa-kap-teng"   Atau bunga langit menghambur kepala.   Ketika mendadak Bok Siang-hiong merasa kabur pandangannya, Cu Hong-tin telah menghilang, tahu2 dari atas suatu tenaga maha besar menindih kepalanya, ia menjadi terkejut luar biasa, tanpa pikir lagi ia melompat pergi sejauh mungkin.   Sementara itu Cu Hong-tin sudah tancap kaki kebawah lagi dengan sikapnya yang gagah sebagai jago yang berada diatas angin, katanya .   "Jurus "Siao-jin ki-loh" (sang dewa menunjuk jalan) ini silahkan Bok-heng terima lagi !"   Tiba2 ujung kebutnya menjadi tegang terus menutuk kedada lawan.   Belum lagi bisa berdiri tegak, terpaksa Bok Siang-hiong menangkis pula serangan ini.   Namun kebut Cu Hong-tin ternyata sangat hebat dan serba guna, dengan tenaga dalam ia patahkan tenaga keras tangkisan orang, lalu ekor kebutnya melibat diatas cundrik orang hingga kencang, habis itu ia tarik sekuatnya.   Keruan Bok Siang-hiong tak sanggup menahan hingga senjatanya terlepas dari cekalannya.   Ketika sedikit Cu Hong-tin menggentak pula, cundrik rampasan itu mencelat terbang keudara, hingga menimbulkan sinar kemilauan diatas.   Insyaf tak ungkulan, diam2 Bok Siang-hiong undurkan diri dengan rasa likat.   Sementara itu dengan tekebur Cu Hong-tin memandangi sekeliling panggung, ia lihat orang Biau disitu tiada satupun yang dapat ditakuti, sedang diantara bangsa Han, kecuali sepasang pemuda pemudi yang dikenalinya sebagai Lou Jun-yan, sedang si pemuda rasanyapun bukan tandingannya.   Ada seorang lagi yang berkedok kepala, ketika datang disitu terus duduk terpaku, agaknya datang untuk melihat keramaian saja.   Maka dapat diduga kedudukan Seng- co dari 72 gua suku Biau sudah yakin akan diperolehnya, bukan saja bangsa Biau akan tunduk pada perintahnya, bahkan juga akan mendapat rahasia pembuatan berbagai macam racun dan obat bius.   Apalagi sudah lama terdengar bahwa banyak orang mendatangi daerah ini untuk mencari harta karun serta kitab rahasia ilmu silat peninggalan tokoh Bu-lim dari jaman dahulu.   Saking senangnya Cu Hong-tin, tiba2 ia unjukan pula ilmu mengentengi tubuhnya yang indah, ia meloncat lurus keatas dan tepat cundrik yang baru jatuh kembali itu dapat ditangkapnya.   Lalu orangnya turun lagi diatas panggung batu dengan enteng.   Dan sekali ia tekuk cundrik baja itu, tahu2 telah melengkung bagai gendewa.   Melihat itu, tidak kepalang orang2 Biau yang hadir disitu, mereka menyangka apa orang bukan jelmaan malaikat ? Lalu Cu Hong-tin buang cundrik itu ketanah katanya dengan angkuh .   "Entah masih ada siapa lagi yang berani naik kemari ?"   "Jun-yan", tiba2 Ti Put-cian membisiki si gadis.   "telah tiba saatnya sekarang. Permintaanku akan bantuanmu justru inilah urusannya. Jika aku tak ungkulan melawan Cu Hong-tin, hendaklah kau bisiki orang aneh itu agar suka membantu aku dari bawah. Apa yang kau katakan selalu diturutnya, tentu dia takkan menolak". Jun-yan ter-mangu2 sejenak oleh permintaan itu.   "Apa ? Kau juga ingin menjadi kepala orang Biau ?"   Tanyanya heran.   "Jun-yan, harap kau suka membantu sungguh2", pinta Ti Put-cian lagi.   "Baiklah, akan kukatakan padanya nanti"   Sahut Jun-yan kemudian merasa tak tega untuk menolaknya.   "Tapi kalau kau tak ungkulan, ada lebih baik kau lekas kembali saja."   Dan selagi Ti Put-cian hendak berdiri dan melompat keatas panggung, tiba2 terdengar Tiat hoa popo berseru .   "A Siu, dimana kau, kenapa belum naik keatas ?"   Ti Put-cian dan Jun-yan terkejut, sungguh mereka heran, apa benar A Siu yang mereka ketemukan yang tampaknya lemah gemulai tak tahan angin itu berani naik panggung bertanding dengan Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin ? Mereka bertambah terkejut bila kemudian melihat gadis yang muncul itu memang benar A Siu yang berbaju putih mulus itu, ditambah lagi kulit dan wajahnya juga putih pucat, perlahan2 A Siu bertindak kedepan dengan gayanya yang menggiurkan bagai dewi kayangan yang baru turun kebumi.   Ketika tiba2 menampak seorang gadis jelita tampil kemuka sebagai penantangnya, sesaat itu Cu Hong-tin pun tertegun.   Ia sangsikan apa benar gadis semuda ini berani coba2 naik panggung ? Sementara itu A Siu sudah sampai didepan panggung batu, tanpa kelihatan ia bergerak, tahu2 sudah meloncat keatas panggung setinggi beberapa kaki itu.   Ia tidak lantas memapaki Cu Hong-tin, melainkan menjemput dulu cundrik, senjata Bok Siang-hiong yang dibengkokkan Cu Hong tin tadi, ketika tangannya yang halus putih itu pegang kedua ujungnya terus ditarik, tahu2 cundrik itu telah lempeng kembali seperti asalnya.   Cu Hong-tin menjadi kaget dan curiga, sungguh susah dimengerti, gadis semuda ini, sekalipun belajar sejak masih dalam kandungan ibu, Iwekangnya juga takkan sehebat ini.   Maka sekarang yakinlah dia si gadis benar2 seorang penantangnya yang tangguh, ia tak berani ayal lagi, segera ia ber-siap2 dengan kebutnya, katanya .   "Silahkan nona keluarkan senjata !"   "Aku tak punya senjata,"   Sahut A Siu.   Diam2 Cu Hong-tin mendongkol mendengar sahutan itu.   Pikirnya, 36 jurus ilmu kebutku sudah malang melintang selama ini, sampai tokoh lihay seperti Thong-thian-sin-mo Jiau Pek king juga mesti bertarung sama kuat dengan aku, masakan aku malah takut terhadap seorang gadis macam kau ? Maka tanpa bicara lagi, mendadak tangannya menggertak, ekor kebutnya menjengkit, dengan tipu "Sian-jin-ki-loh"   Seperti tadi segera ia tutuk kedada A Siu tempat "Ki-bun-hiat", cuma serangan tidak penuh dilontarkan, hanya ia tahan ketika hampir mengenai sasarannya, ia ingin melihat jelas gaya silat dari aliran manakah si gadis ini, agar dapat mengatur cara menghadapinya.    Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Perbatasan Karya Chin Yung Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini