Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 12


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 12


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   "Jadi aku yang rendah ini juga tengah kau cari?"   "Ucapanmu benar!"   "Untuk urusan apa?" "Kau bernama Suma Bing?"   "Tidak salah!"   "Murid Sia-sin Kho Jiang?"   "Benar!"   Seketika berobah sorot mata Rasul penembus dada, tahu2 Suma Bing merasa pandangannya kabur, belum sempat otaknya berpikir, sebuah cundrik yang berkilauan berhawa dingin tahu2 sudah mengancam diulu hatinya, kecepatan gerak serangan ini benar2 susah dibayangkan.   Keruan melonjak keras jantung Suma Bing, hanya sejenak wajah berobah pucat lalu kembali seperti sediakala lagi dengan sikapnya yang angkuh dan keras kepala, katanya.   "Tuan hendak berbuat apa?"   "Menembusi dadamu."   Bergetar seluruh tubuh Suma Bing, tanyanya.   "Sebab apa?"   "Sudah tentu harus kuberitahu kepada kau, sekarang jawablah pertanyaanku terakhir, Loh Tju-gi itu apamu?"   "Loh Tju-gi? Dia musuh besarku!"   "Musuh besar!"   "Benar, musuh besar yang harus kubeset kulitnya dan kuhancur leburkan badannya, ialah murid durhaka yang mencelakai gurunya sendiri."   Dimulut berkata begitu, dalam hati Suma Bing tengah membatin. heran, mengapa pula menyangkut pada diri Loh Tju-gi? Sejenak Rasul penembus dada merenung, lalu tanyanya pula.   "Jadi kau dengan dia adalah kakak-adik seperguruan?"   "Jadi tuan ini tengah mengompres keteranganku?"   "Boleh dikata demikian!" "Kalau begitu maaf, selamanya aku yang rendah tidak suka diperas!"   Rasul penembus dada tertawa dingin, ancamnya.   "Apa kau tahu betapa nikmat bila dadamu kutembusi dengan cundrikku ini?"   "Ha, paling banyak mati."   "Kau tidak takut mati?"   "Mengapa harus ditakuti?"   "Cukup gagah"   Suma Bing menjadi gusar, semprotnya.   "Tuan hendak membunuh orang pasti ada alasannya bukan?"   "Kau sudah mulai takut?"   "Hm, takut, kutanyakan alasanmu hendak membunuh aku!"   "Gampang sekali sebab kau seperguruan dengan Loh Tjugi!"   Terkenang oleh Suma Bing peristiwa yang belum lama ini terjadi karena ada hubungan juga dengan Loh Tju-gi, maka hampir saja jiwanya melayang ditangan Pek-hoat sian nio.   Sekarang juga karena ada hubungan dengan Loh Tju-gi maka Rasul penembus dada mencari dirinya, entah darimana harus diterangkan persoalan ini? Maka lantas katanya dingin.   "Aku sudah terjatuh ditangan tuan mau sembelih atau bunuh terserah kepadamu. Tapi ada satu hal perlu kutekankan kau boleh menggunakan alasan apa saja untuk membunuh aku, tapi jangan menyinggung nama Loh Tju-gi lagi! Kalau tidak matipun aku takkan meram!"   "Mengapa?" "Murid durhaka dan sampah kaum persilatan, aku bersumpah hendak menghancur leburkan tubuhnya."   Lama dan lama sekali Rasul penembus dada tenggelam dalam pikirannya menerawangi apa yang harus dilakukan selanjutnya, akhirnya suaranya mendesis.   "Suma Bing, kau pasrah nasib saja, apapun alasanmu tidak berguna, kau sudah ditakdirkan untuk mati."   Suma Bing menyeringai seram, ujarnya.   "Silahkan turun tangan!"   Pada saat itulah mendadak Rasul penembus dada malah menarik mundur cundriknya dan berpaling kearah dalam rimba serta berseru lantang.   "Siapa itu main sembunyi seperti pancalongok, lekas menggelundung keluar!"   Diam2 Suma Bing memuji kagum akan kepandaian Rasul penembus dada yang lihay ini, sedikitpun dirinya tidak merasakan apa2, sebaliknya dia malah mengetahui adanya seseorang yang mengumpet didalam rimba, malah diketahui letak sembunyinya lagi.   Waktu Rasul penembus dada menarik cundriknya dan putar tubuh, kesempatan ini sebenarnya dapat digunakan Suma Bing untuk turun tangan membokong atau melejit menyingkir.   Tapi dasar sifatnya memang angkuh dan tinggi hati, tidak terpikirkan olehnya semua itu, dengan tenang ia tetap berdiri ditempatnya.   Memang apa yang diperbuatnya ini sangat tepat, dengan kepandaian Rasul penembus dada yang sedemikian tinggi, bilamana benar2 dia turun tangan membokong, kematianlah yang akan menimpa dirinya.   Begitulah bertepatan dengan habis ucapan Rasul penembus dada seorang aneh yang berwarna serba hitam legam bagai arang melompat keluar dari dalam rimba sana.   "Racun diracun!"   Dalam benak Suma Bing berseru. Bahwa Racun diracun bisa muncul disitu pada saat itu pula benar2 susah dibayangkan. Melihat keanehan bentuk orang yang mendatangi ini agaknya Rasul penembus dada juga merasa heran, sejenak tertegun lantas dia membentak.   "Kawan kosen darimanakah?"   "Akulah Racun diracun!"   "O, Racun diracun? Kau tahu siapa aku ini?"   "Rasul penembus dada!"   "Jadi kau sudah tahu dan sengaja melanggar?"   "Melanggar apa?"   "Kau berani mengintip gerak gerik Rasul penembus dada, apa kau sudah bosan hidup?"   Racun diracun mengekeh tawa dingin, serunya.   "Mulut besar yang sombong, aku Racun diracun tidak ingin hidup lama, tapi kau juga akan menyesal karena usiamu pendek."   "Hehehehe, kawan, kau sangka bisa menggunakan racun lantas bisa selamanya selamat?"   "Aku tidak berpendapat begitu, biar aku bicara terus terang, mengenai ilmu silat, mungkin aku yang rendah takkan terlepas dari tangan kejimu. Tapi tuan belum tentu dapat lolos juga dari racun berbisaku."   Suma Bing merasa kaget luar biasa.   Kiranya kedatangan Racun diracun adalah hendak melabrak Rasul penembus dada yang sudah menggetarkan dunia persilatan ini.   Terdengar Rasul penembus dada tertawa dingin, ujarnya.   "Racun diracun, sebelum kau menggunakan racunmu mungkin jiwamu sudah melayang lebih dulu."   Racun diracun membalas dengan tawa sinisnya, semprotnya.   "Mungkin sebelum tuan turun tangan membunuh aku kau sudah terkena racun berbisa yang menamatkan jiwamu."   "Seandainya sekarang ini aku sudah terkena bisa, aku masih mampu mencabut nyawamu."   "Sudah tentu, dengan kemampuan tuan segala racun berbisa tidak akan dapat segera membinasakan jiwamu, tapi waktunya tidak akan lama. Kalau tuan ingin mencoba marilah kita gugur bersama bagaimana?"   Betapa tinggi kepandaian Rasul penembus dada tak urung berdiri juga bulu romanya.   Musuh berani menamakan diri sebagai Racun diracun, apalagi sudah tahu betapa menakutkan nama Rasul penembus dada toh orang masih berani datang dan menantangnya lagi, agaknya kedatangannya ini mempunyai pegangan yang mantap.   Oleh karena pikirannya ini segera ia berkata lagi.   "Jadi kedatanganmu ini ada maksud tertentu bukan?"   "Sedikitpun tidak salah."   "Coba katakan alasanmu?"   "Karena dia aku datang!"   "Dia? Maksudmu Suma Bing!"   "Benar!"   Hal ini bukan saja mengejutkan Rasul penembus dada, juga Suma Bing merasa diluar dugaan. Bahwa Racun diracun meluruk datang adalah karena dirinya boleh dikata sangat mustahil.   "Untuk dia kau datang?" "Memangnya kenapa?"   "Kuharap tuan melepaskan dia!"   "Kurasa tuan salah alamat, tidak bisa karena dosa2 Loh Tju-gi lantas dia harus mati konyol dibawah cundrikmu itu."   "Hai, kawan, apa hubunganmu dengan dia?"   "Hubunganku sangat erat!"   "Coba kau terangkan!"   "Maaf, aku tidak dapat menutur!"   "Hm, kau sangka dengan obrolanmu itu lantas aku dapat melepaskan dia begitu saja?"   "Jadi tuan bersedia untuk gugur bersama?"   Lebih besar lagi rasa kejut dan heran Suma Bing, bahwa Racun diracun adalah musuh bebuyutan tangguh tak nyana kalau manusia paling berbisa ini rela dan iklas hendak berkorban jiwa demi kepentingannya, hal ini benar2 mustahil dan tidak masuk diakal.   Apa mungkin dia mempunyai sesuatu maksud tertentu? Benar, ia pernah memberi dorongan dan nasehat kepada dirinya untuk mencari Mo hoa.   Jikalau Bunga iblis sudah didapat, maka tanpa syarat ia hendak mengembalikan Pedang darah kepada dirinya.   Bahwa Pedang darah dan Bunga iblis adalah dua benda pusaka kaum persilatan yang di-impi2kan dan hendak diperebutkan, siapa mendapatkan kedua benda keramat itu, pasti kepandaiannya tiada taranya didunia ini.   Apa tidak mungkin dia hendak meminjam tenagaku untuk mencari Bunga-iblis, lalu dari tanganku ia hendak merebutnya kembali? Tapi ini juga tidak mungkin, kalau Pedang darah sudah berada ditangannya, mengapa dia sendiri tidak mau mencari Bunga-iblis itu, tentang ilmu silat dia lebih tinggi berlipat ganda dari dirinya...   Suma Bing terlongo hampa, sungguh dia tidak habis mengerti kemana sebenarnya tujuan orang? Kenyataan Racun diracun rela menjual jiwanya untuk dirinja juga mimpipun dia tidak menduga.   Tengah ia menunduk menepekur itulah terdengar Rasul penembus dada tertawa dingin dan berkata hambar.   "Sobat, biar kusempurnakan keinginanmu!" sambil berkata kakinya melangkah maju mendekati kearah Racun diracun. Ketegangan semakin meruncing penuh nafsu membunuh. Segera Suma Bing menggerung dengan beringas.   "Berhenti!"   Serta merta Rasul penembus dada menghentikan langkahnya, lalu berpaling dan menjengek.   "Kau tidak perlu kesusu, segera akan sampai giliranmu!"   "Tutup mulutmu!"   "Bagaimana?"   "Aku tiada ikatan atau hubungan apa2 dengan Racun diracun, aku tidak sudi menerima budi luhurnya ini."   "Jadi maksudmu..."   "Lepaskan dia pergi, kau urusan dengan aku saja!"   "Tapi dia sendiri mengatakan berhubungan erat dan kental dengan kau?"   "Dia bohong dan membual!"   Segera Racun diracun menyela berkata.   "Suma Bing, tidak perlu main sangkal, aku tidak takut kepadanya!"   Rasul penembus dada mendengus dongkol, desisnya.   "Tidak perduli bagaimana adalah kau sendiri yang mencari kematian!"   Darah bergolak merangsang jantung Suma Bing, saking gugup ia berteriak panjang.   "Jangan?" sambil berteriak ia kerahkan seluruh tenaganya sekali berkelebat ia maju menubruk sambil kirim serangan kearah Rasul penembus dada. Rasul penembus dada ganda tertawa ejek, enteng sekali sebelah tangannya diayun bergelombanglah angin pukulannya bagai hujan badai derasnya... Ditengah suara mengguntur dari benturan kedua pukulan yang dahsyat itu, Suma Bing melolong panjang kesakitan, darah berhamburan dari mulutnya, badannya terpental terbang dan terbanting keras dikejauhan sana. Agaknya Rasul penembus dada belum puas begitu saja, lagi2 kakinya mendesak maju kearah Racun diracun. Segera Racun diracun angkat sebelah tangannya berseru.   "Nanti dulu!"   "Kau masih ada pesan apa yang perlu disampaikan?"   "Kuharap tuan suka memberi kelonggaran sekali ini kepada dia."   "Jiwamu sendiri sudah diambang kematian, buat apa kau mintakan belas kasihannya?"   Suma Bing mendongak sambil berteriak menggila.   "Aku Suma Bing tidak perlu mengemis kasihan orang lain!" karena mulutnya terpentang darah menyembur lagi sedang tubuhnyapun tergolek lemas diatas tanah. Kata Racun diracun lagi.   "Jadi tuan tidak mau mengampuni jiwanya?"   "Hm, termasuk jiwamu juga!"   "Kalau sementara bagaimana, boleh bukan?" "Sementara, apa maksudmu?"   "Sasaran tepat yang harus kau cari sebenarnya adalah Loh Tju-gi, sedang dia sendiri juga menjadi musuh besar Loh Tju- gi. Kuharap kau dapat memberi kesempatan untuk dia menunutut balas. Dan lagi, bukankah tuan juga mendapat perintah orang lain..."   "Tutup bacotmu, hal itu kau tidak perlu urus!"   "Tapi bagaimanapun juga aku minta tuan suka memberi kesempatan sekali ini, kalau hari ini..."   "Bukankah terlalu berabe, setiap saat setiap waktu aku dapat mencabut jiwanya, kalau kesempatan hari ini hilang, bukankah besok sama saja, apa bedanya dan manfaatnya kelebihan hidup satu hari?"   "Apa boleh buat, aku sendiri juga mendapat perintah untuk minta belas kasihannya!"   "Mendapat perintah dari siapa?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Kukira tuan kenal akan pemilik benda ini?" habis berkata ia merogoh keluar sebuah benda dari dalam bajunya terus disodorkan kedepan mata Rasul penembus dada lalu cepat2 menyimpannya lagi. Walaupun Suma Bing terluka parah tak mampu bergerak, tapi setiap pembicaraan kedua orang ini dapat didengarnya dengan jelas, entah mendapat perintah siapakah Racun diracun untuk menolong jiwanya? Lebih tidak diketahui lagi benda apakah yang dipertunjukkan kepada Rasul penembus dada itu? "Bagaimana?"   "Kawan kau adalah..."   Suara Rasul penembus dada penuh perasaan heran dan kejut. "Mengandal benda ini kuharap tuan dapat sementara melepas tangan?"   Segera Racun diracun menukas perkataan orang. Sekian lama Rasul penembus dada ragu2 dan bimbang, akhirnya berkata.   "Baik, tapi hanya sementara saja, kelak sukarlah dikatakan!!"   "Kalau begitu, kuucapkan banyak terima kasih!"   "Tidak perlu!" bayangan putih berkelebat bagai segumpal asap bayangannya menghilang dibalik hutan sebelah sana. Racun diracun menghampiri kearah Suma Bing serta berkata.   "Lukamu tidak ringan?"   Sambil mengertak gigi, Suma Bing merangkak bangun, sahutnya.   "Tidak menjadi soal, hanya aku berhutang budi sekali lagi kepada tuan."   "Aku bekerja menurut perintah, kau tidak perlu ambil dihati!"   "Tuan mendapat perintah dari siapa?"   "Maaf tidak boleh kuberitahu kepada kau!"   Suma Bing menghela napas panjang, katanya.   "Biar kelak kubalas kebaikanmu ini, selamat bertemu." lalu dengan sempoyongan ia berjalan keluar rimba.   "Kau tidak boleh pergi!"   Suma Bing melengak dan menghentikan langkahnya, tanyanya.   "Tuan masih ada omongan?"   "Kau harus berobat untuk memulihkan tenagamu."   "Itu mudah dan dapat kulakukan sendiri."   "Yang kumaksud sekarang ini, biar kubantu kau."   Memang sifat pembawaan Suma Bing angkuh dan keras kepala, selamanya dia tidak sudi terima budi orang lain, apalagi dia tengah curiga mungkin Racun diracun mempunyai maksud tersembunyi yang belum diketahui, maka segera ia menyahut tawa.   "Terima kasih akan kebaikanmu ini!"   "Suma Bing, keangkuhanmu ini tidak akan membawa faedah untuk kau, kalau kau bentrok lagi dengan orang2 Bwe- hwa-hwe, dalam keadaan luka parah dan tidak mampu membela diri, apakah sudah kau bayangkan akibatnya?"   Setelah tertegun sekian lamanya, sikap Suma Bing masih tetap kukuh.   "Hal itu sudah kupertimbangkan."   Racun diracun menggeleng kepala tanpa dapat berbuat apa2, ujarnya.   "Baiklah, kau boleh pergi, jangan kau lupa selekasnya mencari Bunga iblis, Pedang darah tengah menanti kau!"   Suma Bing membatin, seandainya tidak menemukan Bunga iblis, Pedang darah adalah milik ayahku, bagaimana juga aku harus merebutnya kembali. Dalam hati ia berpikir demikian, namun dimulut ia menyahut.   "Baik!"   Lalu dengan langkah sempoyongan ia tinggal pergi.   Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat lagi, tahu2 Rasul penembus dada sudah melesat tiba lagi dalam rimba.   Kalau Rasul penembus dada sudah pergi dan kembali lagi hal ini membuat tergetar hati Suma Bing dan Racun diracun.   Segera Racun diracun mendahuluinya menyapa.   "Untuk apa tuan kembali lagi?"   Suara Rasul penembus dada mendesis dingin.   "Hampir aku kelupaan sebuah urusan besar"   "Urusan apa?"   "Serahkan Pedang darah kepadaku?"   Tergetar hebat hati Racun diracun, tanpa terasa kakinya mundur dua langkah, serunya.   "Mengapa harus kuserahkan kepadamu?"   "Kenapa kau tidak perlu tahu, lekas kau serahkan!"   "Tidak bisa"   "Kau tahu akibatnya?"   "Barang itu tidak berada padaku, berada di..."   Rasul penembus dada mengekeh tawa dingin, serunya.   "Kawan tahulah diri, benda apa yang kau kempit diketiak kirimu itu?"   Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Racun diracun, sungguh diluar sangkanya bahwa Rasul penembus dada ternyata telah berhasil melatih ilmu aneh yang sudah lama menghilang didunia persilatan, hingga matanya dapat melihat benda tersembunyi dibalik baju.   Dilain pihak, Suma Bing juga tidak kalah heran dan kejutnya.   Muka Racun diracun adalah sedemikian hitam legam bagai arang, maka susah diketahui mimik wajahnya, tapi karena kena dikorek kedok rahasianya agaknya ia terkejut dan heran juga.   Rasul penembus dada tidak memberi hati desaknya lagi.   "Kawan, bekerjalah melihat gelagat!"   Agaknya Racun diracun kewalahan, terpaksa ia menyahut.   "Tapi terlebih dulu aku harus melapor kepada pemilik benda yang kuunjukkan kepadamu tadi..."   "Justru karena memandang muka pemilik benda itu aku mau melepaskan Suma Bing. Ini sudah melanggar kebiasaanku, tentang Pedang darah itu, tak peduli siapa pemiliknya harus diserahkan kepada aku, tiada kesempatan untuk kamu main debat!"   "Jadi tuan benar2 memaksa?"   "Sudah tentu!"   Adalah Suma Bing yang tidak kuat menahan rangsangan amarahnya, serunya dari samping.   "Tuan mengandal kepandaian hendak merampas dengan kekerasan..."   "Lebih baik kau tutup mulut!"   Tubuh Racun diracun tergetar hebat menahan perasaan hati, sekian lamanya baru ia kuat menyahut dengan gemetar.   "Tidak sukar tuan mengambil Pedang darah itu, tapi kau harus mengambil jiwaku dulu!"   "Bukankah itu sangat gampang?"   "Perlu dijelaskan terlebih dahulu, setelah kau memperoleh Pedang darah, kau takkan kuat berjalan sejauh satu li."   "Kau berani menggunakan racun?"   "Ya, karena terpaksa."   "Jadi maksudmu kita gugur bersama?"   "Sedikitpun tidak salah."   "Aku kuatir sukar terlaksana keinginanmu itu?"   "Ada lebih baik tuan mencoba?"   "Bagus sekali, mari mulai!"   Dibarengi dengan lenyap suaranya, Rasul penembus dada mendesak maju secepat kilat, kelima jari tangannya bagai cakar garuda mencengkram tiba, dengan kepandaian Racun diracun yang lihay itu ternyata sedikitpun tidak mampu berkelit atau melawan, tahu2 pergelangan tangannya sudah dicengkram oleh musuh.   Tapi pada saat itu pula dengan kecepatan luar biasa sebelah tangan Racun diracun yang lain juga sudah menampar tiba dimuka lawan.   Maka terdengar Rasul penembus dada menggeram keras dimana pergelangan tangannya menggentak dengan keras, kontan tubuh Racun diracun disekengkelit jatuh dua tombak jauhnya.   Gebrak pertama ini, kedua belah pihak bergerak sedemikian cepat seumpama kilat berkelebat, hingga susah diikuti oleh pandangan mata.   Begitu menyentuh tanah, secepat itu pula tubuh Racun diracun sudah melejit bangun, kontan mulutnya mengoak muntah darah.   Dan sebelum dia bernapas lega, tubuh Rasul penembus dada dengan kecepatan bagai angin lesus merangsang tiba, dimana terdengar kain robek, jubah panjang didepan dada Racun diracun sudah berlobang.   Tahu2 Pedang darah sudah berada ditangan Rasul penembus dada.   Racun diracun berteriak beringas.   "Kau sudah terkena Racun tanpa bajangan, ditambah Induk-racun-berlaksa-tahun. Ketahuilah, kau takkan bisa keluar dari rimba ini"   "Sekarang kuperintahkan kau mengeluarkan obat pemunahnya"   Suara Rasul penembus dada agak gemetar.   "Kau bermimpi disiang hari bolong!"   "Kau tidak mau keluarkan?"   "Tidak!"   "Itu berarti kau mesti mati, termasuk dia juga!"   "Kau sudah melulusi untuk melepas dia?"   Desis Racun diracun mengertak gigi.   "Sekarang kucabut kembali pernyataanku itu!" "Kau pelintat pelintut dan menjilat ludahmu sendiri, kau lebih rendah dari sampah kaum persilatan."   "Pergilah kalian menjadi pahlawan gagah dineraka." - mendadak sebelah tangannya diayun keatas, maka meluncurlah secarik sinar merah terang benderang menjulang tinggi kelangit. Lalu katanya lagi.   "Kawan, tanda pertolongan sudah kulepas, sebentar lagi pasti datang orang untuk mengambil Pedang darah ini, kau tidak menyangka bukan?" sekali berkelebat tahu2 tubuhnya sudah mendekati Suma Bing, sebilah cundrik yang kemilau mengancam diulu hati Suma Bing. Racun diracun memekik kejut, serunya.   "Baik, kuberikan obat pemunah!"   Sigap sekali Rasul penembus dada membalik tubuh menghampiri kedepan Racun diracun pintanya.   "Serahkan obat pemunahnya!"   Cepat2 Racun diracun menjentik dua butir peles obat. Rasul penembus dada meraihnya kedalam tangannya dan tidak segera ditelan, sinar matanya ber-kilat2 menatap Racun diracun, katanya.   "Kawan, kau menyebut diri sebagai Racun diracun, dapatkah aku percaya akan obat pemunahmu ini?"   Racun diracun mendengus geram semprotnya.   "Tuan kau terlalu memandang rendah orang".   "Baik, kupercaya kau takkan berani main gila, kuingat kebaikanmu ini!" habis berkata segera ia telan obat pemunah itu...   "Rasul penembus dada,"   Seru Suma Bing penuh kebencian.   "Aku bersumpah untuk merebut kembali Pedang darah itu!"   "Itu tergantung dari keberuntunganmu!" lalu bayangan putih berkelebat ringan sekali tubuhnya melejit hilang dari pandangan mata. Dengan rasa penuh penyesalan Suma Bing menghadapi Racun diracun, katanya.   "Tuan, aku Suma Bing berhutang budi terlalu banyak kepadamu biarlah kelak kita bicarakan lagi!" - lalu sambil ber-ingsut2 ia berjalan pergi. Racun diracun membanting kaki, lalu secepat kilat iapun melayang pergi. Sukar sekali Suma Bing menggerakkan kedua kakinya, seakan berlaksa kati beratnya, setelah berjalan satu li lebih didepannya menghadang lagi sebuah hutan lebat yang gelap batinnya, aku harus mencari tempat tersembunyi untuk berobat. Tengah berpikir itu didapatinya tidak jauh disebelah sana sebuah pohon besar yang berlobang, bergegas ia menuju kearah pohon besar itu... Se-konyong2 terdengar suara kesiur angin dibelakangnya, cepat2 Suma Bing membalik tubuh penuh kewaspadaan. Terlihat seorang gadis cantik bak bidadari tengah berdiri lemah gemulai dihadapannya terpaut hanya dua tombak.   "Adik Sian, kau... kau..."   "Engkoh Bing!"   Kiranya gadis cantik itu bukan lain adalah Phoa Kin sian yang sudah ada ikatan jodoh sebagai istri Suma Bing.   Secara tiba2 Phoa Kin sian muncul dalam rimba itu benar2 diluar dugaan Suma Bing.   Seketika teringat akan adegan dalam rimba diluar kuil bobrok dulu, tanpa terasa merah jengah wajah mereka.   "Adik Sian, bagaimana kau bisa datang kemari?"   "Kulihat ada beberapa orang anggota Bwe-hwa-hwe meronda diluar hutan, saking kepingin tahu, ku-coba2 kemari memeriksa. Eh, engkoh Bing, kau terluka?"   "Benar!" "Terluka oleh siapa?"   Suma Bing menutur secara ringkas jelas. Berkerut dalam alis Phoa Kin-sian, katanya penuh kasih sajang.   "Engkoh Bing, kau perlu segera berobat!" Lalu dengan langkah lemah gemulai ia datang menghampiri dan payang Suma Bing masuk kedalam lobang pohon. Seumpama seorang istri setia tengah melayani suaminya dengan penuh rasa cinta kasih, timbul suatu perasaan manis mesra dalam benak Suma Bing. Apalagi bau harum yang memabukkan perasaan itu lebih2 membuat hati syur me-layang2. Lobang pohon itu cukup besar lebih setombak luasnya, cukup luas untuk mereka mengumpat sementara disitu. Phoa Kin-sian keluarkan dua butir pulung obat lalu per-lahan2 dijejalkan kedalam mulut Suma Bing, serta katanya lemah lembut.   "Engkoh Bing, biar kubantu kau..."   "Tidak perlulah, dengan keampuhan Kiu-yang-sin-kang dibantu khasiat obatmu, kukira cukup berlebihan!"   "Baiklah, biar aku yang menjaga diluar!" lalu ia menggeser maju kemulut lobang. Sedang Suma Bing segera duduk semadi mengerahkan tenaganya. Sang waktu berjalan dengan cepat, siang sudah berganti malam, dalam kegelapan malam didalam lobang pohon itu, sepasang kekasih tengah berindehoy tenggelam dalam perasaan bahagia yang tak berujung pangkal. Sambil menggelendot didada Suma Bing, Phoa Kin-sian berkata malu2.   "Engkoh Bing, agaknya aku..."   "Kau kenapa?"   "Aku... aku..."   Setengah harian Phoa Kin-sian tergagap tak kuasa mengeluarkan kata2.   Dalam pandangan Suma Bing yang berkepandaian sedemikian tinggi, kegelapan malam tidak menjadi soal dalam pandangan matanya, samar2 masih terlihat olehnya sikap malu2 dari wajah kekasihnya ini.   "Adik Sian, sebenarnya ada apakah?"   "Agaknya, aku... aku sudah punya..."   "Punya apa?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kepalan Phoa Kin-sian memukul agak keras didada bidang Suma Bing, serunya agak gemetar.   "Dungu, aku tidak tahu!"   Keruan Suma Bing melengak dan garuk2 kepala, entah mengapa mendadak Phoa Kin-sian ngambek, maka per-lahan2 tangannya meng-elus2 rambutnya sambil ujarnya.   "Mengapa perkataanmu sendlap-sendlup tak karuan?"   "Apa betul kau tidak tahu?"   "Kalau tidak kau katakan masa aku bisa tahu, toh aku bukan cacing dalam perutmu!"   "Aku sudah mengandung!"   "Apa, kau sudah mengandung?"   Suma Bing memeluk Phoa Kin-sian dengan kencang, saking girang badannya gemetar dan mulutnya menggumam.   "Kita bakal punya anak..."   Bagai seekor domba yang aleman Phoa Kin sian membiarkan Suma Bing memeluknya semakin kencang hingga susah bernapas.   "Adik Sian, kau bertempat tinggal bersama Bibi Jui?"   "Ya."   "Dimanakah?"   "Suhu menyuruh aku sementara tidak memberitahu kepada kau."   "Mengapa?"   Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ "Aku tidak tahu!"   "Kalau aku ada urusan..."   "Suhu atau aku dapat mencari kau, ai, Engkoh Bing, katamu Pedang darah sudah terjatuh ditangan Rasul penembus dada?"   "Begitulah kenyataannya."   "Biar kulapor kepada suhu untuk merebutnya kembali..."   "Jangan, aku bersumpah untuk merebutnya sendiri."   Malam terus merayap mendekati pagi, sang surya sudah muncul dari peraduannya, jagat raya sudah terang benderang. Suma Bing berjalan keluar dari lobang pohon menggandeng tangan Phoa Kin-sian.   "Engkoh Bing saat ini kau hendak kemana?"   "Aku hendak ke Bu-kong-san mengadu peruntungan, mungkin aku dapat mencari jejak Bunga iblis siapa tahu?"   "Aku pergi bersama kau, kita dapat saling membantu?"   "Tidak, adik Sian, apa kau lupa kau sudah ada..."   "Itu tidak menjadi halangan"   Phoa Kin-sian memberikan sebuah senyuman manis mesra yang menggiurkan kepada Suma Bing, tak tertahan Suma Bing lantas memeluk dan menciumnya sekali.   Begitulah mereka bergandengan menyusuri rimba menuju kejalan raya, lalu ambil perpisahan dengan rasa berat dan haru.   23 SEORANG KORBAN CINTA YANG SAMPAI LUPA AKAN USIA SENDIRI Siang dan malam Suma Bing menempuh perjalanan menuju ke Bu-kong-san.   Bu-kong-san adalah gunung-gemunung yang ber-lapis2 dan bersusun menjulang tinggi keangkasa.   Tidak perlu dipersoalkan apakah Bu-siang-sin-li si manusia aneh berusia seabad itu masih hidup didunia fana ini atau tidak.   Hanya untuk mencari gua tempat dia semayam diantara sekian luas hutan dan dataran tinggi serta lembah2 dialas pegunungan yang belum pernah dijajaki manusia, seumpama mencari jarum dilautan.   Sejak beranjak memasuki pegunungan Suma Bing langsung memanjat kepuncak tertinggi melalui jurang2 dan hutan2 lebat, tak mengenal lelah ia menjelajah dan mengarungi kesegala penjuru, tidak ketinggalan tempat2 yang mencurigakan telah diselidiki.   Satu hari dua hari tiga hari tahu2 sebulan sudah berlalu dengan cepat tanpa terasa.   Selama ini sedikitpun Suma Bing belum mendapat hasil yang diharapkan.   Keputus-asaan sudah mulai merangsang benaknya.   Hari itu Suma Bing tengah menjelajah sampai dipinggir sebuah jurang yang dalam tak terlihat dasarnya, memandangi kabut tebal yang ber-gulung2 didepan matanya ini, terasa seakan dirinya berada di-awang2.   Se-konyong2 sebuah helaan napas panjang yang penuh mengandung kegetiran hati samar2 terdengar dalam kupingnya.   Helaan napas itu membuat pendengarannya merasa seakan ia semakin tenggelam kedalam lembah sunyi yang tak berujung pangkal, seumpama pula kepala diguyur air dingin dimusim dingin, gemetar dan membeku seluruh tubuh.   Pandangan Suma Bing menjelajah keempat penjuru, terlihat diatas sebuah batu cadas besar yang menonjol keluar dipinggir jurang sebelah sana, berdiri tegak mematung bayangan seseorang.   Dari pakaian yang me-lambai2 dihembus angin pegunungan, tidak perlu diragukan itulah seorang wanita adanya.   Aneh dan mengherankan, dilembah pegunungan diatas batu cadas ini, darimana datangnya seorang wanita yang menghela napas sedemikian sedih memilukan? Timbul rasa heran dan ingin tahu Suma Bing, per-lahan2 ia menggeremet mendekati.   Dari jarak dekat inilah baru ia melihat tegas kiranya itulah seorang wanita setengah umur berambut setengah ubanan, tengah asyik memandang kabut didepannya yang ber-gulung2 mengambang bebas ditengah udara.   Dari bangun tubuhnya yang ramping semampai dapatlah dibayangkan pasti semasa mudanya wanita ini adalah seorang gadis yang ayu rupawan.   Lama dan lama sekali kedua belah pihak tetap membisu tanpa buka suara.   Batu cadas dimana wanita setengah ubanan itu berdiri luasnya tidak lebih tiga kaki dibawahnya adalah jurang yang dalam yang tak kelihatan dasarnya, jikalau terpeleset jatuh pastilah tubuhnya akan hancur lebur.   Tak urung timbul secercah kekuatiran dalam lubuk Suma Bing.   Akhirnya terdengar wanita tua itu membuka suara juga.   "Siapa itu?" suaranya dingin tanpa emosi.   "Aku yang rendah Suma Bing!"   "Enyah dari sini!"   Suma Bing melengak, agaknya orang tengah menanti seseorang, maka segera ia bertanya.   "Apakah Cianpwe tengah menantikan seseorang?"   "Apa kau memanggil Cianpwe kepadaku?"   "Apa tidak pantas?"   "Berapa usiamu tahun ini?"   "Belum cukup sembilan belas tahun!" "Cianpwe? Apakah aku sudah tua?"   Wanita tua itu bicara dan menggumam sendiri.   Suma Bing tergerak hati, ucapan yang sangat ganjil sekali, dikolong langit ini masa ada orang yang tidak mengetahui usianya sendiri, apa mungkin, dia seorang linglung yang tidak waras pikirannya...   Sejenak merandek lantas wanita tua itu menggumam lagi.   "Aku Giok-li Lo-Ci ternyata sudah tua, tidak, aku belum tua, aku tidak boleh tua, mengapa dia tidak kunjung datang juga?"   Suma Bing berpikir. kiranya perempuan tua ini bernama Giok-li Lo Ci, entah siapakah orang yang dimaksudkan itu? "Lo-cianpwe..."   Mendadak Giok-li Lo Ci berpaling kearah Suma Bing sorot matanya ber-kilat2.   "Siapa kau, darimana kau tahu aku she Lo?"   Suma Bing menjadi bingung, dilihat dari sorot mata orang yang terang dan jernih, pastilah bukan orang yang linglung atau gelap pikiran.   Apalagi Lwekangnya sudah sempurna, justru yang mengherankan cara bicaranya membuat orang tidak habis mengerti.   Maka segera sahutnya.   "Bukankah kau sendiri yang mengatakan?"   "Apa betul?"   "Lo-cianpwe tengah menanti seseorang?"   "Benar!"   "Siapakah dia"   "Usianya mungkin lebih tua sedikit dari kau..."   "Apakah putramu?"   "Hus, kurang ajar!"   "Siapakah namanya, mungkin aku dapat membantu?" "Namanya Sia-sin Kho Jiang!"   Suma Bing melonjak kaget dan mundur tiga langkah, hampir dia tidak percaya akan pendengaran kupingnya, seketika ia terhenyak ditempatnya tanpa kuasa mengeluarkan suara kiranya perempuan ini tengah menanti suhunya? Sejak kena dibokong hingga menjadi invalid sampai mati suhunya belum pernah muncul dikalangan Kangouw selama dua puluh tahun.   Secara diam2 Sucinya Sim Giok-sia bertunangan dengan Tiang-un Suseng, maka akhirnya dikurung subonya selama tiga puluh tahun, saat mana usianya pun sudah mendekati lima puluhan.   Sebaliknya Giok li Lo Ci mengatakan bahwa orang yang dinantikan kedatangannya ini berusia sedikit lebih tua dari dirinya.   Jikalau itu benar, bukankah itu berarti dia telah menanti dan menanti selama lima puluh tahun lebih.   Kabarnya suhu dan subonya bertengkar dan berpisah, apa mungkin karena perempuan ini? Mendadak Giok-li Lo Ci berteriak melengking bergegas meninggalkan batu cadas itu dan melompat maju kehadapan Suma Bing serta serunya gemetar.   "Benda apa yang kau pakai dijari tengahmu itu?"   Suma Bing terperanjat, sahutnya.   "Cincin Iblis!"   "Cincin iblis?"   "Benar!"   "Darimana benda itu kau dapatkan?"   Semakin besar dan tepatlah dugaan Suma Bing bahwa perempuan tua yang bernama Giok li Lo Ci ini, adalah kekasih suhunya semasa masih muda dulu.   Kalau begitu, apa benar dia sudah menunggu selama lima puluh tahun? Dalam secercah ingatannya bayangan wajah suhunya semasa masih muda pada lima puluh tahun yang lalu.   Maka tidak menjawab dia balik bertanya.   "Jadi Cianpwe selalu menunggunya ditempat ini?"   "Disinilah kita mengikat jodoh, dia mengatakan pasti akan datang, aku percaya dia takkan menipu aku!"   "Sudah berapa lama Cianpwe menunggu disini?"   "Aku tidak tahu!"   "Yang kutanyakan tadi bagaimana Cincin iblis ini bisa berada ditanganmu?"   Giok-li Lo Ci kembali mengalihkan pembicaraan pokok.   "Sebab aku adalah muridnya!"   Giok-li Lo Ci terharu dan bergirang.   "Kau adalah murid engkoh Jiangku?"   "Benar!"   "Dimana dia berada?"   "Dia..."   "Katakanlah dimana dia?"   Tanpa terasa Suma Bing merasa mendelu dalam hati, kerongkongannya seperti disumbat sesuatu, bahwa suhunya sudah menutup mata, apakah hal ini harus diberitahukan kepadanya? Apa dia kuat menerima pukulan batin ini? Atau membiarkan dia menunggu lagi dengan penuh harapan yang tak mungkin harapan itu kunjung datang? Apakah penipuan demikian tidak terlalu kejam? Sesaat dia menjadi bimbang, entah bagaimana dia harus memberi jawaban yang positif.   Lima puluh tahun, ya selama lima puluh tahun dia telah menunggu, sampai usia sudah tuapun tidak disadari olehnya, betapa besar pengorbanan yang telah dikeluarkan demi cintanya.   Cinta itu buta dan cinta memang dapat membuat jiwa orang gersang, ah, sungguh kasihan! Giok-li Lo Ci mendesak maju dua langkah, suaranya berteriak hampir menggila.   "Katakan, dimana Sia-sin Kho Jiang berada?"   "Dia... dia..."   "Dia bagaimana?"   Benak Suma Bing bekerja keras, daripada membiarkan ia meninggal secara mengenaskan dengan putus harapan adalah lebih baik memberikan secercah harapan untuk hidup.   Kalau toh dia sudah menanti selama lima puluh tahun, apa pula halangannya untuk menanti lagi entah sampai berapa lama, kalau dikatakan secara kenyataan tindakannya ini memang agak terlalu kejam, tapi apa boleh buat, maka segera sahutnya lantang.   "Dia orang tua tengah menutup diri karena tengah melatih suatu ilmu!"   "O, aku tidak dapat menyalahkan dia, dia pasti datang!"   Suma Bing benar2 sudah tak dapat menahan suasana yang menyedihkan ini, cepat2 ia memberi hormat terus berkata.   "Wanpwe minta permisi!"   "Baik, bila kau ketemu dia katakan bahwa aku tengah menunggunya."   Suma Bing mengiakan terus bergegas berlari pergi meninggalkan Giok-li Lo Ci, sambil ber-lari2 kecil ia menyusuri pinggir jurang.   Jurang itu agaknya luas sekali dan tak berujung pangkal, sekian lama sudah ia berlari masih belum sampai pada ujung pangkalnya...   Sang surya mulai meninggi, sinar matahari yang terang mulai mengurangi kabut yang tebal itu.   Alam sekelilingnya mulai jelas terlihat, Suma Bing menghentikan langkahnya dan mendongak melihat situasi sekitarnya, tanpa terasa dia tertawa geli sendiri.   Sudah setengah harian ia ber-putar2 kiranya baru mencapai setengah dari lingkaran jurang itu, dimana tempat dia berada sekarang tepat berhadapan dengan tempat dimana ia tadi berpisah dengan Giok-li Lo Ci, malah samar2 terlihat juga tubuh yang berdiri menyendiri bagai tonggak diatas batu cadas itu.   Suma Bing geleng2 kepala, gumamnya.   "Korban cinta yang mengenaskan!"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Se-konyong2 beberapa bayangan manusia berkelebatan tengah meluncur datang dengan kecepatan seperti bintang terbang tengah melesat mendatangi kearah puncak dipinggir jurang dimana dia berada ini.   Dalam waktu yang pendek orang2 itu sudah mendatangi semakin dekat.   Dimana sorot pandangan Suma Bing melintas sontak timbullah nafsu membunuh yang ber-kobar2.   Kiranya para pendatang itu adalah para jagoan dari Bwe-hwa-hwe yang berjumlah tujuh orang.   Agaknya seorang tua seragam kuning sebagai pimpinan dari rombongan keenam orang lainnya yang masing2 bertubuh tinggi tegap.   "Berhenti!"   Tiba2 Suma Bing menghardik dengan kerasnya! Tujuh orang itu segera menghentikan langkahnya, si orang tua yang memimpin itu berseru kaget.   "Sia-sin kedua!"   Sontak keenam laki2 tegap lainnya berobah airmukanya, ter-sipu2 mereka menyebar diri bersiap menghadapi segala kemungkinan.   Suma Bing sendiri sesaat melengak heran, bahwa musuh ternyata menyebut dirinya sebagai Sia-sin (malaikat sesat) kedua.   Karena menurut anggapannya bahwa perbuatannya toh tidak menyeleweng, dengan alasan apa mereka menyebut dirinya sebagai Malaikat sesat kedua? Si orang tua pemimpin itu segera menggerakkan sebelah tangannya, selarik sinar merah segera meluncur tinggi ketengah angkasa.   Diam2 Suma Bing mengumpat kelicikan musuh ini, sungguh diluar prasangkanya bahwa para jagoan Bwe-hwa-hwe ini ternyata mengikuti jejaknya memasuki pegunungan Bu-kong- san ini juga.   Pertanda sinar merah itu sudah terang kalau memanggil bala bantuan untuk menghadapi dirinya.   Maka segera ia mendesak maju serta tanyanya dingin.   "Kalian mengikuti jejakku ya?"   Serta merta ketujuh orang itu melangkah mundur ketakutan, si orang tua pemimpin mendesis geram.   "Suma Bing diempat penjuru sudah dijaga ketat dan penuh jebakan, seumpama kau tumbuh sayap juga jangan harap dapat lolos!"   Hawa membunuh diwajah Suma Bing semakin tebal, tawanya menjengek dingin.   "Maka perlu kusilahkan kalian membuka jalan bagi tuan besarmu ini..."   Belum habis ucapannya kedua tangannya beruntun bergerak menyodok kedepan.   Bukan saja serangannya ini sangat aneh dan dahsyat, kekuatannyapun bukan olah2 hebatnya.   Si orang tua pemimpin berlaku sangat cerdik, sebat sekali ia mendahului melompat nyingkir, lain dengan keenam anak buahnya yang tidak sempat lagi menyingkir, mereka tergulung sungsang sumbel keempat penjuru.   Begitu pukulan pertama dilancarkan, gesit sekali Suma Bing mendesak maju sambil berputar secepat kilat tangannya melancarkan sebuah hantaman.   Dimana terdengar teriakan ngeri, dua diantara enam laki2 tegap itu mencelat setinggi dua tombak terus melayang masuk jurang yang tidak kelihatan dasarnya.   Keruan lima orang kawannya ketakutan setengah mati.   Si orang tua pemimpin segera berseru keras.   "Mundur!"   "Mimpi!" sambil membentak ini, badan Suma Bing melesat cepat bagai bayangan setan, sigap sekali tahu2 pergelangan tangan si orang tua sudah dicengkram olehnya. Kesempatan untuk berkelit belum ada tahu2 dirinya sudah kena teringkus oleh lawan, keruan pucat pasi dan ketakutan setengah mati si orang tua pemimpin itu, keringat dingin membanjir membasahi tubuhnya. Saking gentar dan ketakutan, empat laki2 tegap lainnya sampai kesima berdiri bagai patung dengan tubuh gemetaran. Derap langkah ramai dari kejauhan semakin dekat... Mendadak Suma Bing menggentakkan tangannya, bagai sebuah bola besar si orang tua dilemparkan masuk kedalam jurang yang dalam. Pekik panjang yang menyayatkan hati menggema jauh dari ketinggian semakin mengecil lirih terus menghilang didasar jurang. Bagai tersadar dari mimpi keempat laki2 tegap segera melarikan diri pontang panting seperti dikejar setan...   "Lari kemana kalian!" ditengah bentakan yang menggeledek ini, lagi2 Suma Bing melesat tinggi dan jauh berbareng dikirimnya empat kali pukulan jarak jauh yang dahsyat, empat gelombang angin pukulannya hampir bersamaan melanda keempat sisa anggota Bwe-hwa-hwe yang lari ketakutan itu. Dilain saat segera terdengar jerit dan pekik kesakitan yang riuh rendah, empat tubuh manusia seperti juga kawan2nya melayang jatuh kedalam jurang.   "Buyung, kejam benar perbuatanmu ini!"   Sebuah suara dingin sedingin es mendengus tiba.   Sigap sekali Suma Bing membalikkan tubuh, maka terlihat dua diantara empat Setan gantung, yaitu Heng-si-khek dan Hui-bing khek telah berdiri tak jauh dihadapannya.   Tubuh mereka kurus kering dan pucat pasi bagai mayat hidup, dilehernya masih terikat tali gantungan, tanpa terasa melonjak kaget benak Suma Bing.   Satu diantara keempat Setan gantung saja berkepandaian lebih tinggi dari Bu-lim-su-ih tingkatan gurunya, maka sudah terang kalau dirinya bukan tandingan mereka.   Akan tetapi sifat pembawaannya yang keras kepala dan congkak membuatnya tidak mengenal akan arti takut, dengan beringas dan gagahnya ia berdiri tegak sekokoh gunung.   Heng si khek menyeringai tawa seram, desisnya.   "Buyung, bencana susah dihindari, lebih baik kau mandah saja terima kematianmu!"   Dibarengi dengan kata2nya ini, kedua tangannya secepat kilat mendorong kedepan, kecepatan cara turun tangannya ini benar2 menakjubkan hingga waktu berpikir bagi musuhpun tidak sempat lagi.   Agaknya Suma Bing juga tidak mau kalah perbawa, dipusatkannya seluruh kekuatan tenaga Kiu-yang-sin-kang kearah tangan dan disertai dengan dengusan keras ia songsongkan kedua tangannya kedepan juga, dorongan disambut dengan dorongan.   Tapi sebelum dorongan dahsyat kedua belah pihak saling bentur mendadak Heng si khek merobah cengkraman tangannya menjadi pukulan.   Dentuman dahsyat segera terjadi dialas pegunungan yang sunyi hingga suaranya menggelegar terdengar jauh, Tubuh Heng-si-khek bergoyang limbung, adalah Suma Bing tersurut mundur delapan kaki jauhnya.   Dan hampir dalam waktu yang bersamaan, dari samping sebelah sana Hui-bing-khek juga lancarkan sebuah hantaman keras bagai topan badai menggulung kearah Suma Bing yang belum sempat dapat berdiri tegak.   Lagi2 Suma Bing mencelat sejauh beberapa tombak baru dapat berdiri tegak, mulutnya menghambur darah segar.   Heng-si-khek sudah mendesak maju hendak menyerang lagi...   "Lo-toa, tahan dulu!"   Mendadak Hui-bing-khek berseru mencegah.   "Kenapa?"   "Apa tidak kita ringkus hidup2 saja?"   "Ketua kuatir akan membawa buntut yang susah dikendalikan, dia ingin kematian bocah kerdil ini."   "Tapi kau ingat, dia orang tua..."   Untuk kedua kalinya Suma Bing mendengar 'Dia orang tua' dari mulut musuh2nya ini, disinilah letak kunci daripada Bhehwa- hwe mengejar dan hendak membunuh dirinya.   Tokoh macam apakah sebenarnya orang yang disebut sebagai 'dia orang tua' itu? Mengapa dia mengutus orang untuk membunuh dirinya? Dengan kedudukan dan ketenaran nama Si-tiau-khek empat gembong iblis yang kenamaan ini saja masih rela tunduk dan terima perintahnya, maka dapatlah dibayangkan tentu tokoh itu bukan sembarang orang...   "Lo-sam, tapi ini perintah Ketua!"   Kata Heng-si-khek. Agaknya Hui-bing-khek bersungguh hati, sahutnya.   "Kalau dia orang tua menyalahkan..."   "Biar Ketua yang bertanggung jawab!"   "Kita berempat saudara boleh dikata mendapat perintah hanya untuk membantu Ketua..."   "Lo-sam, bocah ini agak misterius, ternyata sedemikian banyak orang2 kosen sebagai dekingnya, sampai Rasul penembus dada yang baru saja muncul di Kangouw agaknya juga melindungi bocah ini. Sekarang kesempatan yang susah, dicari ini, janganlah kita abaikan begitu saja, kesempatan seperti ini susahlah dikatakan lagi kapan dapat kita peroleh!"   Sungguh geram Suma Bing bukan alang kepalang, tidak kira bahwa musuh berani begitu takabur tengah merundingkan nasib mati hidupnya, maka dengan penuh kebencian dan gusar mulutnya mendesis.   "Si-tiau-khek, kalau aku Suma Bing tidak sampai mati, awas kalian akan kubeset kulit kalian hidup2..."   "Hehehehe, Buyung, sayang kematianmu sudah pasti!"   Kedua tangannya bergantian menyodok dan mendorong kedepan.   Pukulan Heng-si-khek kali ini bertujuan hendak menamatkan riwayat hidup Suma Bing.   Suma Bing mengertak gigi, kedua tangan ditekuk lalu didorong kedepan juga secara keras lawan keras.   Dar...! diselingi pekik kesakitan yang menyayat hati, tubuh Suma Bing terpental setinggi dua tombak terus melayang jatuh masuk jurang yang dalam itu.   Bermula ingatannya masih sadar, seakan tubuhnya mengambang naik awan me-layang2 ditengah udara, tanpa terasa dia menggembor keras.   "Masa aku harus mati secara begini? O, aku mati penasaran!" jeritan yang mengerikan ini hampir dia sendiri juga tidak mendengar jelas... akhirnya dia kehilangan kesadarannya. Dalam pada itu setelah memukul jatuh Suma Bing kedalam jurang, segera Heng-si-khek berkata kepada Hui-bing-khek.   "Tugas sudah selesai, mari kita pergi..."   "Pergi?"   Mendadak sebuah suara dingin menyelak dibelakang mereka.   "jiwa kalian juga harus ditingggalkan!"   Per-lahan2 kedua Setan gantung ini membalik tubuh, tampak oleh mereka seorang bertubuh tinggi lencir bewarna serba hitam berdiri tiga tombak dibelakang mereka, kedua mata manusia serba hitam ini memancarkan kebencian yang me-nyala2.   Manusia kejam dan telengas seperti kedua Setan gantung inipun tak urung bergidik seram dan gentar.   Mata Hui-bing-khek melebar memandang kearah lawan, serunya.   "Tuan inikah yang bernama Racun diracun..."   "Ya, benar."   "Tuan sombong dan takabur, berani bermulut besar hendak mengambil jiwa kita bersaudara, apa kau sudah bosan hidup?"   "Tidak, hanya kalian berdua..."   Heng-si-khek perdengarkan suatu tawa ngekek, jengeknya.   "Agaknya tuan hendak menuntut balas bagi si sesat kedua, Suma Bing itu?"   "Ucapanmu tepat sekali."   "Tidak perlu banyak bacot lagi, silahkan tuan turun tangan?"   Racun diracun mendengus keras, tanpa sungkan2 lagi segera ia kirim sebuah hantaman mengarah Heng-si-khek, betapa besar dan dahsyat perbawa angin pukulannya ini seakan dapat membelah gunung dan menghancurkan batu.   Heng-si-khek ada hati hendak mencoba kekuatan lawan, maka segera tangannya pun disurung kedepan, dorong mendorong secara keras lawan keras.   Begitu angin pukulan kedua belah pihak saling bentur dan menimbulkan gelombang angin lesus membumbung tinggi keangkasa, tubuh Racun diracun hanya, goyah sedikit, lain halnya dengan Heng-si-khek, badannya limbung satu langkah.   Bahwasanya kepandaian dan Lwekang Si-tiau-khek sudah jarang tandingan dikalangan Kangouw, salah satu diantara Setan gantung saja cukup membuat kuncup nyali para musuhnya.   Adalah dalam gebrak pertama ini kelihatan jelas bahwa kepandaian Racun diracun ternyata masih lebih unggul seurat dari mereka.   Agaknya Racun diracun sudah bertekad bulat hendak melenyapkan jiwa musuh2nya, beruntun ia lancarkan lagi tiga rangkai pukulan dahsyat.   Kali ini agaknya Heng-si-khek sudah merasakan kelihayan lawannya dan kapok, sebat sekali tubuhnya melejit menyingkir dua tombak jauhnya tak berani beradu pukulan lagi.   Pada saat Heng-si-khek melejit menyingkir itu, dari samping Hui-bing- khek malah mendesak maju sambil ulur cengkraman tangannya langsung mencengkram punggung Racun diracun.   Cara cengkramannya ini boleh dikata sangat cepat hingga susah diikuti oleh pandangan mata.   Tapi kepandaian Racun diracun juga menakjubkan, tahu bahwa dirinya dibokong dari belakang, pukulan tangannya mendadak dirobah mencengkram juga ditengah jalan sambil berputar memapak kearah musuh...   Gerak gerik kedua belah pihak boleh dikata secepat kilat.   Dimana terdengar suara mendehem keras.   Cakar tangan Hui- bing-khek dengan telak mencengkram amblas kepundak Racun diracun, dimana kelima jarinya melesak amblas merembes keluar darah segar bagai air ledeng.   Terpaut sedetik, kelihatan cakar Racun diracun yang berwarna hitam legam itu juga mencengkram keras dilengan lawan...   Heng-si-khek menjerit kaget, serunya.   "Lo sam, cepat lepas tangan, Racun..."   Sambil berpekik ini tubuhnya meluncur ditengah udara seraya mengirim tendangan dan pukulan mengarah kepala dan dada Racun diracun.   Mendadak dua bayangan mencelat berpencar.   Terdengar Hui-bing-khek menggembor keras, tangan kirinya segera diayun memapas putus lengan kanannya sendiri.   'Peletak' kontan lengan kanannya sendiri terjatuh buntung sebatas pundaknya, lalu beruntun ia menutuk beberapa jalan darah dipundak untuk menghentikan mengalirnya darah.   Lalu serunya dengan bengis.   "Racun diracun, akan datang suatu hari aku Hui-bing-khek akan membeset tubuhmu menjadi berkeping2."   Racun diracun menyeringai sinis, sahutnya.   "Sekarang juga hendak kubuat kalian Setan2 gentayangan mampus menjadi abu!"   Tapi sebelum Racun diracun melaksanakan ancamannya, Heng-si-khek sudah membentak keras, tangannya panjang yang kurus kering bagai kayu bakar itu sudah bergerak sebat hingga bayangan pukulan tangannya bertumpuk berlapis bagai gunung langsung menungkrap keatas kepala Racun diracun, perbawa dan gerak geriknya seperti harimau gila yang kelaparan.   Sejenak Racun diracun melengak, sebat sekali tubuhnya jumpalitan mundur kebelakang sejauh satu tombak...   Peluang inilah digunakan oleh Heng-si-khek untuk menarik Hui-bing-khek terus melarikan diri secepatnya bagai meteor terbang.   Nada suara Racun diracun penuh mengandung nafsu membunuh, berkatalah ia kearah kedua Setan gantung yang tengah melarikan diri itu.   "Kalian takkan dapat lolos dari tanganku!"   Habis berkata ia melangkah maju kepinggir jurang memandang kedasar jurang yang tertutup kabut tebal, dengan sedih ia menghela napas panjang.   Bertepatan dengan itu, dua bayangan manusia satu tua dan yang lain masih muda belia tengah melangkah ringan mendekati ketempat dimana Racun diracun berada.   "Lo-cianpwe, apa benar engkoh Bing berada di pegunungan Bu-kong san ini?" "Tidak akan salah, kusaksikan sendiri pihak Bwe-hwa-hwe tengah mengerahkan bala bantuannya mengobrak-abrik dan mengepung gunung ini untuk mencari jejaknya!"   "Tapi sudah tiga hari lamanya tanpa kita menemui jejak atau bayangannya!"   "Sedemikian luas dan besar lingkungan gunung ini, diapun tidak mempunyai tujuan tertentu, kita harus bersabar dan per- lahan2 mencarinya!"   "Apa maksud tujuan Bwe-hwa-hwe mencari dan mencegat dia?"   "Mana dapat kita ketahui!"   Kedua orang tua dan muda ini ternyata tak lain adalah si maling bintang Si Ban tjwan dan Siang Siau-hun adanya, mereka bertemu ditengah jalan tanpa berjanji sebelumnya, lalu sama2 memanjat gunung hendak mencari dan mengikuti jejak Suma Bing.   Tiba2 si maling bintang Si Ban-tjwan angkat sebelah tangannya menghentikan langkah Siang Siau-hun sembari berkata.   "Nanti dulu nona jangan ceroboh, lihatlah bayangan siapa yang berada dipinggir jurang itu?"   "Peduli siapa dia!"   "Dialah Racun diracun yang lebih berbisa dari Racun utara itu!"   "Oh!"   Siang Siau-hun berseru kejut, sepasang matanya yang jeli bening lantas memancarkan nafsu membunuh menyala2, serunya gemetar.   "Racun diracun?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Benar, manusia serba hitam didunia ini hanya dia seorang!"   "Aku hendak membunuhnya" "Untuk apa?"   "Aku hendak menuntut balas bagi adikku dan Li Bun siang."   "Tapi nona ayu, seumpama iblis jahat ini tidak menggunakan racun, kepandaian silatnya saja masih lebih unggul setingkat dari Bu-lim-su-ih. Ketahuilah ketua Bwe-hwa- hwe yang menggetarkan nyali orang itupun rada2 takut dan gentar menghadapi dia, apalagi kau."   "Tak peduli aku harus membunuhnya!" mulut berkata begitu tubuhnyapun segera berkelebat lari kedepan secepat anak panah.   "Budak ingusan, percuma saja kau mengantar kematian!"   Si maling bintang Si Ban-tjwan mengulur tangan hendak menjambret tapi tak kena, secepat itu Siang Siau-hun sudah tiba dibelakang Racun diracun sejauh beberapa meter.   Terpaksa ia mengeraskan hati dan menebalkan muka mengikuti maju! Racun diracun se-olah2 tidak merasa dan tidak mendengar, ia masih tetap berdiri tegap kesima.   Karena besar tekadnya hendak menuntut balas bagi adik dan Li Bun siang, Siang Siau-hun sudah melupakan segala keselamatan sendiri, suaranya membentak bengis dibelakang Racun diracun.   "Racun diracun, iblis laknat, nonamu ingin membeset dan menghancur leburkan tubuhmu!"   Pelan2 Racun diracun membalik tubuh menghadapi Siang Siau-hun yang mendelik gusar, lalu tanyanya dingin.   "Apa kau hendak membunuh aku?"   "Tidak salah, hendak kuhancur leburkan tubuh iblis laknat seperti kau ini"   Sekilas si maling bintang menyapu pandang kesekitarnya tampak olehnya ditanah banyak berceceran noktah darah dan sebuah lengan buntung, lantas terlintas sebuah pertanyaan yang menakutkan dalam benaknya, serunya terkejut.   "Disini tadi pernah terjadi pertempuran seru?"   Pandangan dingin dengan sorot mata yang menyedot semangat Racun diracun beralih kearah si maling bintang sahutnya.   "Memang benar, pertempuran berdarah!"   "Apa termasuk juga si sesat kedua Suma Bing?"   "Memang ada!"   Melonjak kaget si maling bintang serta Siang Siau hun, cepat2 Siang Siau-hun bertanya.   "Lalu kemana dia sekarang?"   "Siapa?"   "Suma Bing!"   "Sudah mati."   Bagai disamber geledek, tubuh Siang Siau-hun terhuyung lima langkah, pandangannya terasa gelap dan tubuhpun hampir roboh, wajahnya ber-kerut2 hebat, sesaat itu terasa seakan dirinya terjatuh kedunia lain...   Sungguh tak terduga kekasihnya yang sangat dicintainya sekarang ternyata sudah mati! Terasa hatinya membeku, kaki tangan dingin, seluruh tubuh mengejang linu, otaknya pun men-dengung2, jantung ber-denyut2 keras, segera ia menggembor histeris.   "Tidak, dia belum mati, engkoh Bing ku tidak mungkin mati, dia... tak mati..."   Suaranya memilukan hati benar2 membuat orang lain turut berduka dan bersedih. Sepasang mata si maling bintang membelalak besar, wajahnya merah padam penuh kegusaran, serunya gemetar.   "Tuan yang turun tangan..?"   Segera Racun diracun menggelengkan kepala, ujarnya.   "Heng-si dan Hui-bing dua Setan gantung itu jagoan kelas satu dari Bwe-hwa-hwe."   "Si-tiau-khek?"   "Tidak salah."   "Mana jenazahnya?"   "Terjungkal masuk jurang, dibawah sanalah."   Akhirnya pecahlah tangis Siang Siau-hun yang menyayatkan hati.   Sedemikian sedih ia menangisi kekasihnya yang pergi mendahuluinya.   Tangisnya ini suatu pertanda betapa besar rasa cinta kasihnya terhadap Suma Bing.   Begitu sedih ia menangis hingga suaranya serak dan airmatapun kering! "Engkoh Bing, tunggu aku!"   Ratap Siang Siau-hun dengan suara serak terus berlari kebibir jurang...   "Budak goblok, jangan kau berbuat begitu bodoh!" - si maling bintang Si Ban-tjwan membentak keras terus menyambar pergelangan Siang Siau-hun.   "Lepaskan aku!"   "Apa yang hendak kau lakukan?"   "Mencari engkoh Bing-ku!"   "Apa kau tahu tempat apa ini?"   "Tempat... apa?"   "Lembah kematian. Inilah lembah kematian salah satu dari tiga tempat keramat dari Bu-lim. Keempat penjuru dari lembah ini merupakan tebing dan dinding batu yang curam tiada mulut lembah, selain melompat turun dari atas batu cadas itu tiada jalan lain untuk turun kebawah. Selama beratus tahun tiada seorangpun yang memasuki lembah ini masih bisa tinggal hidup. Lembah kematian merupakan salah satu tempat bertuah bagi kaum persilatan yang mengandung banyak teka- teki dan misterius."   Siang Siau-hun mematung dan mengigau.   "Aku, apa faedahnya aku hidup merana didunia fana ini?"   "Kau salah, kalau kau benar2 cinta Suma Bing, kau harus berusaha menuntut balas. Apalagi agaknya nasibnya tidak begitu jelek, mati hidupnya masih merupakan pertanyaan, buat apa kau menyiksa diri?"   Sementara itu, Racun diracun tengah melangkah mundur meninggalkan pinggir jurang lalu menuju kearah samping sana meninggalkan mereka... Se-konyong2 Siang Siau-hun menjerit beringas, serunya.   "Iblis laknat, tidak demikian gampang kau hendak tinggal pergi."   Segera Racun diracun menghentikan langkahnya dan membalik, tanyanya.   "Bagaimana?" 24. NASIB SIAL SUMA BING MEMBAWA KEBERUNTUNGAN Sebat sekali Siang Siau-hun melejit maju kedepan Racun diracun langsung ia tamparkan sebuah tangannya mengarah dada lawan sambil memaki gemas.    Pedang Wucisan Karya Chin Yung Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini