Pedang Darah Bunga Iblis 16
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 16
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H "Siapa kau?" Sahut Suma Bing sambil mengertak gigi. "Akulah anak tunggal Suma Hong, orok kecil yang kau sapu masuk jurang. Kau tidak menyangka bukan?" Lagi2 berobah air muka Loh Cu gi, mulutnya mengekeh tawa ke-gila2an, nada tawanya mengandung nafsu kekejaman sadistis yang menyeramkan. Adalah si wanita ayu pertengahan umur itu mengunjuk rasa heran dan penuh pertanyaan. Suma Bing sudah angkat kedua tangannya hendak menyerang, namun sedetik itu ia urungkan tindakannya, saat mana tenaganya sudah lenyap, keadaannya seperti ayam jago yang tinggal tunggu saat untuk disembeleh saja. Sinar matanya menyapu kearah wanita ayu setengah umur itu. Kalau bukan terjebak didalam barisan, mengandal ilmu Bu Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ siang sin hoat, cukup berkelebihan untuk menyelamatkan diri, tentu tak mudah wanita ayu ini dapat meringkus dirinya. "Kalau aku tidak mati pasti akan kubunuh kau juga." Demikian dalam hati Suma Bing berjanji pada dirinya sendiri. Setelah menghentikan tawanya, Loh Cu gi berkata menyeringai. "Suma Bing, inilah yang dikatakan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu mengabulkan keinginan pemujanya, kau pasrah nasib saja!" Bayangan kematian merangsang dan melingkupi perasaan Suma Bing. Dia insaf setelah dirinya terjatuh kedalam cengkraman Loh Cu gi tentu tiada harapan lagi untuk hidup. Maka teriaknya penuh kebencian. "Loh Cu gi, kau binatang jalang ini, menjadi setan juga aku tidak mengampunimu." 30. AJAL TIAN G UN SUSE NG YAN G MEN GEN ASK AN. "Anak keparat, kedua belah pintu itu menjadi contohmu, tinggal mengangkat tangan saja, segera kau tinggal setumpukan abu." Tak kuat Suma Bing menahan rangsang kegusaran yang menerjang hatinya, lagi2 mulutnya mengoak menyemburkan darah segar. Loh Cu gi menyeringai sadistis, per-lahan2 kedua tangan diangkat... Bola mata Suma Bing bagai butir kelereng yang hampir mencelat keluar, per-lahan2 ujung matanya melelehkan air darah. Pada saat2 menghadapi kematian ini perasaan Suma Bing ber-angsur2 menjadi tenang malah, berkelebatan dalam pandangannya beberapa wajah gadis pemujanya, terakhir tatapannya terhenti pada bayangan seorang gadis ayu bak bidadari, dia bukan lain adalah istrinya Phoa Kin sian, serta merta terunjuk senyum getir pada wajahnya, teringat olehnya bahwa Phoa Kin sian sekarang sudah mengandung keturunannya. Timbullah sepercik api pada detik2 keputus asaannya ini, tak kuatir kelak takkan ada orang yang menuntutkan balas baginya. Rona wajah Loh Cu gi berobah tak menentu, sesaat tengah dia ragu2 mengerahkan tenaganya kearah kedua tangannya yang sudah terangkat tinggi itu. Se-konyong2 wanita ayu setengah umur itu berseru. "Apa kau benar2 hendak membunuh dia?" Raut wajah Loh Cu gi berobah mengeras, matanya memandang liar, sahutnya. "Sudah tentu, apa kau hendak meninggalkan bibit bencana dikelak kemudian hari?" "Tapi apa kau sudah mempertimbangkan secara masak?" "Apanya yang perlu dipertimbangkan?" "Tokoh2 lihay dibelakangnya itu." Daging diwajah Loh Cu gi gemetar sebentar, lalu katanya. "Tokoh2 lihay apa maksudmu?" "Dia sudah terpukul masuk kedalam jurang lembah kematian, namun kenyataan dia masih hidup, ilmu gerak tubuh dari Bu siang sin hoat yang dipertunjukkan itu, dan munculnya Panji tulang putih, kau harus memikirkan akan sebab musabab semua ini..." "Tapi tidak bisa tidak aku harus bunuh dia?" "Kalau kau benar2 bunuh dia akibatnya..." "Akibat apa?" "Mungkin membawa bencana dan kenaasan bagi Bwe hwa hwe kita!" "Apa mungkin...?" "Kurung dia sementara waktu. Mungkin dengan jiwanya masih hidup, nilainya akan lebih berharga dari kematiannya!" "Nilai apa?" Per-lahan2 kedua tangan Loh Cu gi yang terangkat itu diturunkan lagi, agaknya 'nilai' kata ini membawa pengaruh sangat besar dan memincut hatinya. Dorna bejat yang telah dianugerahi sebagai tokoh silat nomor satu diseluruh jagat ini, agaknya masih belum puas dengan apa yang telah dicapainya pada saat itu. Cita2nya yang terakhir adalah hendak bersimaha raja dan memerintah diseluruh kolong langit. Oleh karena itu, ucapan wanita ayu setengah umur ini benar2 tepat mengenai lubuk hatinya. Memang benar, kalau dibelakang punggung Suma Bing ada Bu siang sin li, Pek kut Hujin dll, gembong2 silat lihay sebagai andalannya. Dinilai kekuatan dan kemampuan dari Bwe hwa hwe pada saat itu, sedikit salah tindak memang mungkin bisa membawa bencana bagi pihaknya sendiri. Sebaliknya kalau mengurung Suma Bing, dalam saat2 yang menentukan mungkin bisa digunakan sebagai sandera, memang nilai dari akal licik ini tidak akan terhitungkan. ' P l a k , p l o k ! ' s e s u d a h t e r d e n g a r d u a s u a r a k e p l o k a n i n i , t e r l i h a t H e n g s i k h e k t e r t u a d a r i S i t i a u k h e k t e r - s i p u 2 m e l a n g k a h m a s u k r u a n g a n . "Cujin, entah ada perintah apakah?" "Gusur anak jadah ini, masukkan kedalam penjara dibawah tanah!" Heng si khek segera mengiakan dengan hormat. Sekali jinjing ia kempit Suma Bing dibawah ketiaknya terus berjalan keluar dari ruangan besar itu, tak lama kemudian dia memasuki hutan bunga Bwe yang penuh jebakan dan barisan itu, tak lama kemudian tibalah dia didepan sebuah gunung2an palsu, segera Heng si khek membentak keras. "Buka pintu!" Dari tengah2 gunung2an palsu itu segera per-lahan2 terbuka sebuah lobang yang gelap gulita. Dua orang laki2 yang berwajah bengis menakutkan berseragam hitam sigap sekali melompat keluar dari lobang gelap itu, mereka berdiri tegak dan hormat dikanan kiri terus membungkuk memberi hormat kepada Heng si khek. Kata Heng si khek penuh lagak. "Keadaan nomor tujuh bagaimana?" Salah seorang seragam hitam membungkuk tubuh serta menjawab dengan hormat. "Tiada kesukaran apa2" "Sekarang anak jadah ini menjadi nomor delapan?" Kedua penjaga bengis seragam hitam itu segera mengiakan. "Nomor tujuh dan delapan ini bukan sembarang tahanan, kalian harus menjaga lebih ketat dan waspada, jangan se-kali2 kalian lalai menjalankan tugas!" "Baik!" "Unjukkan jalan." Kedua laki2 seragam hitam itu segera mengiakan dan memutar tubuh terus memasuki lorong gelap itu. Heng si khek mengikuti dibelakang mereka. Selama ini Suma Bing tidak mengeluarkan suara barang sekejappun juga. Karena kehilangan tenaga, terpaksa dia pasrah nasib dan membiarkan saja apa yang hendak diperbuat atas dirinya. Lorong gelap itu agaknya sangat panjang dan dalam, semakin lama hawa terasa dingin basah dan berbau apek. Setelah membelok satu tikungan, terlihat diatas dinding diatas undakan batu yang menurun tergantung sebuah pelita minyak yang menyinarkan cahaya redup. Kira2 sepeminuman teh kemudian baru mereka tiba disebuah ruangan batu yang besar dari cahaya pelita yang remang2 dapat terlihat beberapa pintu2 besi berjajaran. Agaknya tempat inilah yang mereka namakan sebagai penjara bawah tanah. Salah seorang seragam hitam itu maju membuka sebuah pintu besi nomor empat dari deretan sebelah kiri, enteng sekali Heng si khek membuang tubuh Suma Bing kedalam ruang gelap dibawah sana. 'Bum!' pintu besi yang tebal dan berat itu kembali ditutupkan. Mulai saat itu Suma Bing merasakan hidup dalam dunia gelap yang menyerupai neraka. Suma Bing pejamkan kedua matanya dan rebah diatas tanah yang lembab dan berbau apek. Saat mana terasa hatinya kosong melompong, tak terpikirkan apapun juga dalam benaknya, perasaannya se-akan2 sudah membeku, hanyalah keputus asaan dan khayalan saja yang merangsang sanubarinya. Entah sudah berselang berapa lama, terdengar suara ketokan yang berirama panjang menyadarkan dirinya dari lamunan dan khayalannya. Sedemikian gelap pekat keadaan penjara itu sampai lima jari sendiri juga tidak terlihat. Tenaga dalam Suma Bing sudah lenyap, keadaannya tidak lebih seperti orang biasa. Dengan keadaannya saat itu tak mungkin ia dapat melihat tegas keadaan sekeliling dirinya. Tapi suara ketokan itu terus bergema, lama kelamaan menimbulkan rasa heran dan menarik hatinya. Maka pelan2 dia bangkit berdiri dan mulai meraba2 dan menggeremet maju, kiranya kamar penjara itu lebarnya tidak lebih dari dua tombak, dimana tangannya menyentuh dinding terasa dingin dan licin penuh lumut. Dipojokan dinding sebelah dalam terdapat sebuah dipan, diatas dipan terdapat sebuah bantal dan kemol. Demikianlah dengan penuh semangat dia me-raba2 dan memperhatikan dimana letak asal suara ketokan itu. Akhirnya diketemukan juga ternyata suara itu datang dari sebuah celah2 batu diatas dinding dimana terletak dipan itu. Didekapkan kupingnya dicelah2 batu itu, maka terdengar sebuah suara lemah tengah berkata. "Pesakitan nomor delapan, pesakitan nomor delapan. Apa kau dengar suaraku?" Tanpa terasa berdetak jantung Suma Bing. Apa suara ini itu adalah pesakitan nomor tujuh yang dipesankan wanti2 oleh Heng si khek kepada penjaga2 itu? Entah orang macam apakah pesakitan nomor tujuh ini. Karena rasa heran dan ketarik tangannya juga mengetuk2 dinding dua kali, sambil mendekatkan mulutnya dicelah2 dinding batu lalu berseru. "Sudah dengar, siapakah tuan ini?" "Siapa kau?" "Aku!" Sejenak Suma Bing ragu, lalu serunya. "Aku yang rendah Suma Bing". "Apa, coba katakan sekali lagi." - Suara itu terdengar gemetar penuh keheranan. Tergerak hati Suma Bing, apa mungkin orang disebelah itu mengenal dirinya, maka katanya lagi. "Aku yang rendah Suma Bing!" "Suma Bing." "Benar." "Kau murid Sia sin Kho Jiang?" "Tidak salah!" Suara itu kini berobah mengeluh bagai berputus asa. "Kau... bagaimana bisa terjatuh ditangan Bwe Hwa hwe?" "Siapakah tuan ini?" "Oh, aku... aku... saudara kecil, aku adalah Poh Jiang." Tergetar seluruh tubuh Suma Bing kejutnya luar biasa bagai mendengar guntur ditengah hari bolong. Bahwa Tiang un Suseng Poh Jiang ternyata juga dikurung didalam penjara dibawah tanah, mimpi juga dia tidak menduga sama sekali. Persahabatannya dengan Tiang un Suseng sedemikian erat bagai saudara kandung sendiri. Karena hubungannya dengan Sucinya Sim Giok sia, maka dia hapus seluruh permusuhan gurunya dengan Bu lim sip yu. Wi thian chiu Poh Jiang karena patah hati lantas dia mengganti nama julukannya menjadi Tiang un Suseng. Demikian juga Sim Giok sia karena mencintainya, lantas dikurung oleh ibunya yaitu Setan barat selama tigapuluh tahun. Sepasang kekasih yang mengalami penuh derita ini akhirnya bertemu kembali setelah tigapuluh tahun kemudian, terkabullah cita2 mereka bersama, meski masa remaja mereka sudah silam, namun kebahagiaan yang terlambat datang ini, masih tetap berharga, sungguh tidak duga... Suma Bing tidak membayangkan terlebih jauh. "Engkoh Poh!" Suaranya lirih dan serak. "Saudara kecil, peristiwa apa yang telah kau alami?" Suma Bing mengertak gigi, desisnya. "Tidak beruntung aku terjatuh ditangan Loh Cu gi..." "Loh Cu gi?" "Benar!" "Eh bagaimana penjelasannya, bukankah ini tempat penjara dibawah tanah dari Bwe hwa hwe?". "Justru Loh Cu gi adalah orang yang pegang peranan dibelakang layar dalam Bwe hwa hwe?" "Oh." "Engkoh Poh, kau..." "Ada orang datang, nanti kita bicarakan lagi, kau rebahlah, pura2 tidak terjadi sesuatu apa!" Suma Bing menurut dan rebah diatas dipan. Terdengar derap langkah kaki berhenti didepan pintu penjara, lalu terbukalah sebuah lobang persegi diatas pintu besi itu. "Suma Bing, terimalah makananmu." Untuk dapat bicara lagi dengan Tiang un Suseng, terpaksa Suma Bing tekan gelora amarah hatinya, ogah2an ia sambuti makanan itu. 'Brak.' lobang persegi itu tertutup lagi. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tidak lama kemudian suara ketokan itu terdengar lagi. Bergegas Suma Bing kembali berdiri dicelah2 dinding batu itu, ujarnya. "Kakak Poh, bagaimanakah pengalamanmu?" "Kurang lebih satu bulan kemudian sejak berpisah dengan kau, kami kena teringkus oleh Su tiau khek. Kalau menurut katamu tadi bahwa Loh Cu gi adalah dalang dibelakang layar dari semua peristiwa ini, maka aku tidak perlu heran, aku paham mengapa mereka hendak menawan kamu. Naga2nya diantara kawan2 dari Bu lim sip yu yang meninggal secara aneh itu pasti perbuatan dari Bwe hwa hwe". "Kenapa mereka tidak segera membunuh kau malah mengurungmu disini." "Kau harus ingat sebutan nama julukanku dulu?" "Wi thian chiu?" "Benar, Bwe hwa hwe menghargai kepandaian ilmu ketabibanku. Mereka hendak memaksa aku menyerah dan mengabdi diri kepada Bwe hwa hwe!" "Apa kau sudi?" "Saudara kecil, apa kau anggap aku Poh Jiang orang semacam itu?" "Poh heng, lalu bagaimana Suci Sim Giok sia..." "Dia..." Perasaan tak enak segera merangsang hati Suma Bing, tanyanya menegas dengan suara gemetar. "Bagaimana dia sebenarnya?" Tiang un suseng menggeram dan mengertak gigi, sahutnya. "Dia sudah mati." "Sudah mati?" "Benar dia sudah mati!" Tubuh Suma Bing bergetar dan mengejang, pandangannya menjadi gelap dan bumi dimana dia berpijak terasa berputar2, hampir2 dia tidak kuat menunjang tubuhnya sendiri. Budi yang diterimanya dari Sia sin Kho Jiang suhunya terlalu besar. Maka besar hasratnya hendak membalas kebaikan budi suhunya atas tubuh sucinya Sim Giok sia ini, sungguh tidak kira ternyata dia sudah meninggal. "Cara bagaimana kematiannya itu?" "Mati disampingku!" "Disampingmu?" "Benar, dia juga tertawan bersama aku dan terkurung dalam penjara ini!" "Yang kutanyakan adalah cara kematiannya?" "Bunuh diri." "Apa! Bunuh diri? Apa kau diam saja melihat dia bunuh diri?" "Waktu kita tertawan masing2 terluka berat, malah tenaga dalam kita kena mereka lenyapkan terus dikurung dikamar batu ini. Karena terlalu gusar dan darah merangsang jantung sehingga aku jatuh pingsan, karena kurang teliti dia menyangka aku sudah mati, maka..." Bercerita sampai disini Tiang un Suseng sudah sesenggukkan tak dapat mengeluarkan suara lagi. Darah Suma Bing terasa berjalan semakin cepat, dadanya terasa rada2 sakit, giginya gemeratak, suaranya geram penuh kemurkaan. "Maka bagaimana?" "Dia... mati menumbukkan kepalanya didinding batu!" Dua butir airmata pelan2 meleleh dikedua pipi Suma Bing. Terdengar Tiang un Suseng bicara lagi. "Saudara kecil, dapatlah kau bayangkan betapa sedih keadaanku saat itu, aku ingin mengejar kepergiannya, tapi sebelum sakit hati ini terbalas, mana aku bisa mati meram. Maka terpaksa aku harus hidup. Sekarang, saudara kecil, untung Tuhan mengaturmu sampai tiba ditempat ini. Dapatlah terkabul keinginanku..." "Keinginan apa?" "Karena aku Sim Giok sia menderita dan hidup sengsara selama tigapuluh tahun dalam penjara, kita sudah mengorbankan masa remaja kita untuk cinta kita itu. Sekarang dia telah mati, bagaimana aku bisa meninggalkan dia, saudara kecil, pembalasan dendam ini, kuwakilkan kepada kau!" Lagi2 timbul rasa kejang dan merinding seluruh tubuh Suma Bing, perasaan dingin pelan2 merangsang hati kecilnya. "Engkoh Poh, kau..." "Selama hidup ini aku tidak akan meninggalkan kamar penjara ini lagi." "Kau... tindakanmu ini..." "Saudara kecil, mengenai dirimu terhadap diriku merupakan keajaiban, kalau orang berharap hidup diambang kematiannya. Sebaliknya aku berdoa supaya dapat mati ditempat ini juga. Saudara kecil, kalau kau tidak sampai dipenjarakan dipenjara bawah tanah ini, kematianku ini pasti akan sia2." "Poh heng, apa kau beranggapan aku bisa lolos keluar dengan masih hidup?" "Sudah tentu!" Jawaban tegas ini membuat Suma Bing tertegun, tanyanya tak mengerti. "Mengapa bisa pasti?" "Karena aku sudah merencanakan cara melarikan diri!" "Rencana?" "Benar!" "Kenapa kau sendiri tidak mau lolos keluar menurut rencanamu itu?" "Rencanaku ini adalah untuk orang lain, dan bukan untukku sendiri!" "Mengapa?" "Sudah kukatakan selama hidup ini aku tidak akan meninggalkan kamar penjara ini. Aku ingin pergi menyusul Sim Giok sia ditempat yang sama ini." "Poh heng kata2mu ini keterlaluan!" "Saudara kecil, inilah keajaiban yang susah kuharapkan sebelumnya, kau tak perlu banyak kata lagi. Sekarang biar kujelaskan tentang rencanaku itu. Satu jam kemudian kau akan dapat melihat matahari..." "Tidak mungkin!" "Kau belum dengar habis ucapanku, darimana kau tahu tidak mungkin?" "Sebab Lwekangku sudah amblas sama sekali..." "Aku sudah tahu!" "Bagaimana kau bisa tahu?" Tanya Suma Bing heran. "Sudah merupakan tradisi bagi mereka bahwa semua pesakitan yang dikurung dalam penjara bawah tanah ini pasti dilenyapkan tenaganya. Tapi, saudara kecil, ingat nama Wi Thian chiu tidak kuperoleh secara sembarangan kepandaian cara menutuk nadi dan menyumbat tenaga bagi aku bukan hal yang menyukarkan hanya sekali angkat tangan saja segera bisa kupulihkan tenagamu." Keterangannya ini hampir susah dimengerti dan dipercaya. Sejenak Tiang un Suseng berhenti, lalu melanjutkan keterangannya. "Aku sendiri juga mengalami kena tertutuk jalan darahku sehingga hilang tenagaku. Tapi tidak sampai setengah jam aku sudah dapat membebaskan diri dan kembali seperti sedia kala. Kalau tidak, mana bisa aku menyelesaikan rencanaku." "Rencana apa?" "Landasan kamar batu ini tidak dalam, satu kaki kemudian sudah menembus tanah, menggunakan waktu selama sebulan aku bekerja keras dan dapat kugali sebuah jalan tanah yang terus menembus keluar dari barisan pohon bunga Bwe itu, untuk meloloskan diri sudah segampang seperti membalikkan tangan." Suma Bing hampir tidak percaya akan pendengarannya, karena keterangan seperti dongeng ini benar2 susah dipercaya, maka tercetus seruan herannya. "Apa betul?" "Saudaraku, saat apakah ini masa aku masih main berkelakar?" "Menurut katamu rencanamu itu bukan untuk kau sendiri?" "Ya, begitulah!" "Jadi kau sebelumnya sudah tahu bahwa aku bakal terkurung disini?" "Tidak. Aku hanya mengharap dapat menolong seorang kawan, tujuanku yang utama waktu itu ialah supaya dapat memberi kabar kepada kau. Maka secara diam2 telah kubuat sebuah pintu rahasia diantara dinding kamar kita ini. Dicelah2 batu inilah letaknya, sungguh tak terduga setelah rencanaku selesai, orang pertama yang terkurung dikamar sebelah ini ternyata adalah kau. Bukankah ini suatu keajaiban?" Suma Bing berdiri ter-longong2, hatinya terharu darahnya mengalir semakin cepat. Mimpi juga tidak terkira olehnya akan mendapat rejeki nomplok ini, satu jam kemudian dirinya bakal melihat matahari lagi, dendam kesumat dan sakit hati bakal dapat diselesaikan. Dengan adanya harapan yang bakal tiba ini, timbul juga perasaan bencinya yang menyala2 kepada para musuhnya. "Saudaraku, sekarang kau kemarilah." "Aku..." Celah2 batu yang semula berlobang kecil itu lama2 semakin melebar dan akhirnya berlobang sebesar dua kaki persegi, sebuah tangan terulur keluar dari kamar sebelah. Sambil berjingkrak girang Suma Bing genggam tangan itu erat, jantungnya serasa hendak melompat keluar. Tanpa mengeluarkan banyak tenaga pada lain saat dia telah tiba dikamar penjara nomor tujuh. Serta merta mereka berpelukan sedemikian kencang penuh haru. Secepat kilat tiba2 Tiang un Suseng beruntun menutuk jalan darah Suma Bing yang terbagi tujuh jalan darah besar dan dua belas jalan darah kecil. Seketika Suma Bing rasakan sendi2 tulangnya berkeretekan, urat2 nadi dan jalan darahnya bergetar, lantas terasa hawa murninya menjalar lebar keseluruh tubuh dalam sekejap mata pulihlah seluruh kekuatannya. Kata Tiang un Suseng sambil menunjuk kebawah dipan. "Pintu rahasia jalan tanah itu dibawah dipan itulah." "Poh heng, mari kita pergi bersama!" Demikian ajak Suma Bing, suaranya tergetar. "Tidak!" "Mengapa kau sedemikian kukuh?" "Ini bukan kukuh adikku, pengorbanan Sucimu Sim Giok sia terlalu besar bagi aku sebaliknya apa yang telah kuberikan kepada dia? Masa aku masih begitu melit untuk hidup merana?" Tiba2 terdengar langkah2 berat semakin mendatangi. Tiang un Suseng menjadi gugup, sambil mendorong Suma Bing katanya. "Lekas berangkat!" "Tidak, kalau mau pergi, mari kita bersama!" "Adikku aku mohon kau suka mengabulkan permintaanku ini!" "Segalanya kita rundingkan lagi setelah kita bebas!" "Sedikit lagi terlambat, segalanya akan gagal total?" "Poh heng, bagaimana juga aku tidak tega meninggalkan kau didalam kamar neraka ini!" Saat mana suara derap langkah itu sudah mendekat sampai diluar pintu penjara. Tiang un Suseng Poh Jiang menekan suaranya, katanya gemetar. "Suma Bing, kebandelanmu ini akan mengakibatkan kita berdua melayang jiwa secara sia2. Kalau tiada aku yang melindungi dan membendung serbuan mereka, kau takkan dapat keluar bebas dari jalan tanah ini. Suma Bing, jadi setan juga aku akan membencimu!" 'Brak!' terdengar jendela kecil diatas pintu besi terbuka lalu disusul terdengar seruan kaget. "Hai, dimana tawanan nomor delapan?" Tuiiiiiiiiit... sebuah suitan panjang bagai lengking setan membuat suasana diluar kamar menjadi gaduh, terdengar langkah kaki serabutan dan seruan para petugas yang menjadi gugup dan ribut. Desis Suma Bing sambil kertak gigi. "Kubunuh dulu para anjing..." "Kau sudah gila. Seumpama kau dapat keluar dari penjara bawah tanah ini, apa kau mampu keluar dari kurungan barisan pohon Bunga Bwe itu. Lekas berangkat, kalau tidak terpaksa kubunuh kau?" Terdengar pintu kamar sebelah atau kamar nomor delapan sudah terbuka, disusul sebuah seruan. "Kamar nomor tujuh, sudah merat melubangi dinding!" Sebuah kepala manusia tiba2 menongol keluar dari lobang dinding itu. Dan orang2 lain sudah memburu tiba diluar pintu besi kamar nomor tujuh... Suasana tegang mencekik leher ini semakin meruncing dengan adanya keributan mulut2 yang ber-kaok2 gugup. Dimana terlihat sebuah tangan Suma Bing melayang segera terdengar sebuah jeritan ngeri disusul hujan darah ber-derai2. Ternyata kepala yang nongol keluar itu kini sudah hancur berkeping2, darah kental dan otaknya berhamburan, kontan tubuhnya yang tanpa kepala lagi itu terbanting keras diatas tanah. Mendadak Tiang un Suseng kerahkan tenaganya menekan dan mendorong tubuh Suma Bing kearah kolong dipan. Sambil berseru. "Suma Bing, kalau kau menggagalkan rencanaku, menjadi setan juga aku tidak akan ampuni kau!" Dalam keadaan yang terpaksa itu akhirnya Suma Bing kertak gigi terus menyusup masuk kedalam lobang yang telah digali oleh Tiang un Suseng itu, lobang itu sangat kecil tapi cukup untuk seorang merambat didalamnya. Dalam pada itu, pintu besi kamar nomor tujuh sudah terbuka. Beberapa orang laki2 bertubuh tegap dan bermuka bengis menerjang masuk. Satu diantaranya yang terdepan segera membentak sambil menuding Tiang un Suseng. "Mana orangnya?" "Orang siapa?" "Tawanan nomor delapan!" "Mana aku tahu?" "Keparat agaknya kau sudah bosan hidup". "Benar, tapi kalian harus menjadi imbalan, jiwaku." "Ong Sun, segera laporkan kepada markas besar." Setelah memberikan perintahnya, orang ini segera ulurkan cakar tangannya hendak mencengkram dada Tiang un Suseng. Begitu miringkan tubuh, secepat kilat Tiang un Suseng gerakan sebelah tangannya maka terdengar jeritan ngeri yang panjang, kontan orang terdepan itu roboh terkapar dengan batok kepalanya hancur luluh. "Tenaganya sudah pulih kembali." dibarengi dengan seruan2 yang gegap gempita beberapa orang itu serempak mengirim serangan mengurung Tiang un Suseng. Tiang un Suseng sudah bertekad untuk mati, sedikitpun tidak takut2 lagi akan keselamatan jiwa sendiri. Sambil membentak bagai guntur kedua tangannya bergerak dengan pukulan dahsyat terus menyapu kedepan, seketika itu ada dua orang didepannya kena tersapu roboh terguling. Begitu dapat merobohkan dua musuh segera Tiang un Suseng mundur mepet dinding, kedua tangannya masih bergantian bergerak menyerang musuh yang berani mendekat. Maka akhirnya tiga orang laki2 tegap yang masih ketinggalan hidup lari terbirit2 keluar kamar tahanan. 'Blang', pintu kamar tahanan itu tertutup dan dikunci pula dari luar. Baru sekarang Tiang un Suseng dapat menghela napas lega, wajahnya mengunjukkan senyum kecut yang menyedihkan, cepat2 dia menutup lobang dibawah dipan, setelah semuanya diatur rapi, dalam waktu dekat pasti tidak mudah dapat diketemukan tempat rahasia ini. Lalu terdengar ia menggumam sedih. "Adik Sia, aku menyusulmu!" Begitu mengerahkan tenaga dengan mudah saja jarinya sendiri amblas kedalam jalan darah Tay yang hiat dipelipisnya. Demikianlah akhir riwayat hidup Tiang un Suseng, salah seorang dari Bu lim sip yu yang masih ketinggalan hidup. Sepasang kekasih yang telah tergembleng dan kenyang merasakan penderitaan pahit getir percintaan akhirnya meskipun telah memperoleh buah percintaan yang mereka angan2kan, tapi itu hanya sekejap saja bagai asap seperti khayalan belaka. Sementara itu, dengan penuh, kemarahan yang me-luap2 Suma Bing terus merangkak se-cepat2nya menggunakan kaki dan tangannya, sekuat tenaga dia bekerja mati2an mengejar waktu untuk secepatnya keluar dari lorong bawah tanah itu. Kira2nya sepeminuman teh kemudian, selarik sinar cahaya menyorot masuk kedalam lorong bawah tanah itu. Melihat mulut gua sudah diambang pintu semangat Suma Bing semakin berkobar, merangkaknya juga makin dipercepat, tak lama kemudian tibalah dia diluar lorong kecil itu. Setelah lolos dari renggutan elmaut terasa lega dan bebaslah dirinya, ia menghela napas panjang. Jiwa hidupnya ini telah diganti dengan kematian Tiang un Suseng. Setelah menghela napas lega, matanya liar menyapu kesekelilingnya. Kiranya mulut lorong kecil itu memang benar berada diluar barisan pohon bunga Bwe, letak mulut gua kecil itu tersembunyi dibalik gundukan tanah yang teralingi oleh jajaran bunga Bwe yang tumbuh sangat lebat itu. Terdengar Suma Bing mengertak gigi dan bicara seorang diri. "Akan datang suatu hari aku pasti menyapu bersih seluruh Bwe hwa hwe!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pada saat itulah mendadak terlihat berpuluh bayangan orang berkelebatan mendatang. Seketika timbul nafsu yang bergelora dalam benak Suma Bing Bunuh! Dia lupa bahwa dirinya baru saja lolos dari belenggu musuh, dilupakan pula bahwa tempat dia berada sekarang masih merupakan lingkungan kekuasaan Bwe hwa hwe. "Ha, itulah dia disana!" "Benar, segera kirim kabar!" Ditengah suara bentakan yang riuh rendah puluhan orang2 itu serabutan berlari mendekat terus mengepung Suma Bing. Terdengar suara suitan yang saling bersahutan semakin jauh dan jauh sekali. Agaknya pihak Bwe hwa hwe sudah mengetahui akan lolosnya Suma Bing, maka segera memberi pertanda kepada semua anak buahnya dan pos2 penjagaan supaya waspada dan mencegat atau mengejar Suma Bing. Rasa kebencian Suma Bing kepada musuh2nya sudah berlimpah2, saat mana sudah tidak teringat olehnya untuk tinggal pergi menyelamatkan diri, juga tidak terpikirkan bahwa kemampuannya sekarang masih bukan tandingan pihak Bwe hwa hwe. Yang terpikirkan dalam otaknya hanya hendak melampiaskan rasa benci dan dendam, yaitu membunuh! Sinar matanya mencorong buas dan memandang liar meneliti para musuh2nya yang mengelilingi sekitarnya. Serta merta para jagoan Bwe hwa hwe itu mundur ketakutan berpadu pandang dengan sinar mata Suma Bing. Akhirnya terdengar suara bentakan Suma Bing yang menggeledek, maka terlihat ia lancarkan jurus Liu kim hoat ciok, salah satu jurus paling dahsyat dari ilmunya Kiu yang sin kang. Dimana gelombang panas mendampar kontan terdengar suara pekikan dan jeritan saling susul, lima orang dihadapannya sungsang sumbel dan mati seketika dengan tujuh lobang panca indra meleleh darah segar. Sisa kawan2nya yang masih ketinggalan hidup semua mundur ketakutan serasa semangat mereka sudah terbang ke- awang2. Setelah jurus pertama dilancarkan, dimana terlihat tangannya ber-gerak2 dikerahkannya tenaganya menuju keujung jari, seketika Cincin iblis dijari tengahnya memancarkan sinar kemilau. Melihat gelagat yang membahayakan ini, para anak buah Bwe hwa hwe itu segera putar tubuh hendak melarikan diri. Namun kecepatan gerak sinar kemilau itu lebih cepat, dimana sinar itu menyambar dan menyapu, lantas terjadilah hujan darah dan pekik kesakitan yang menggiriskan saling susul memecahkan kesunyian. Dua diantaranya terbang terpenggal batok kepalanya dua yang lain terputus menjadi dua sebatas pinggang, dan yang lain2 banyak yang kehilangan kaki tangan, sedang yang tidak terluka juga berdiri kesima tak bergerak, kaki dan tangan terasa lemas tak bertenaga. "Suma Bing, kejam benar perbuatan ini!" Disusul seruan nyaring ini terlihat sebuah bayangan langsing melesat keluar dari rimbun pohon bunga Bwe sana. Bayangan orang yang mendatangi ini bukan lain adalah Ma Siok ceng, salah satu pelindung dari Bwe hwa hwe. Melihat kedatangan Ma Siok ceng ini lebih tebal lagi nafsu membunuh Suma Bing bentaknya dingin. "Ma Siok ceng, wanita jalang yang tidak tahu malu, sangat kebetulan kedatanganmu ini!" M e m a n g M a S i o k c e n g t e r k e n a l a k a n k e c a b u l a n n y a , t e r h a d a p p e m u d a c a k a p g a n t e n g d i h a d a p a n n y a i n i s a m p a i m a t i j u g a d i a t i d a k b a k a l m e l u p a k a n n y a , r a s a p e l a m p i a s a n n a f s u y a n g b e r - k o b a r 2 m e n g h i l a n g k a n r a s a t a k u t n y a t e r h a d a p k e p a n d a i a n o r a n g y a n g l i h a y l u a r b i a s a , s a m b i l p e l e r a k p e l e r o k d e n g a n g e n i t n y a i a b e r k a t a . " S u m a B i n g , s e p u l u h l i d i s e k i t a r m a r k a s b e s a r i n i s u d a h t e r b e n t a n g j a r i n g 2 j e b a k a n y a n g t e r a t u r r a p i b a g a i g e l a g a s i , s e u m p a m a k a u t u m b u h s a y a p j u g a j a n g a n h a r a p d a p a t t e r b a n g k e l u a r , k a l a u k a u t i d a k i n g i n m a t i , a k u d a p a t m e n o l o n g k a u , t a p i ... " "Tutup mulut, dengar kataku, hari ini kau pasti mati!" Berobah membeku wajah Ma Siok ceng, dampratnya. "Jangan kau tidak tahu kebaikan." "Serahkan jiwamu!" Ditengah bentakannya ini tubuhnya berkelebat mengirim serangan. Ma Siok ceng sudah pernah merasakan kelihayan gerak tubuh Suma Bing yang hebat, maka begitu mendengar Suma Bing membentak cepat luar biasa tubuhnya melejit mundur dua tombak jauhnya, adalah sangat untung sekali dia dapat menghindari serangan gebrak pertama ini, tapi tidak urung wajahnya sudah berobah pucat ketakutan. Begitu serangan pertama menemui kegagalan. Suma Bing mendengus keras, serunya. "Ma Siok ceng, dapat kau menghindari dua kali seranganku lagi, biar hari ini kuampuni jiwa kotormu itu!" Baru saja suaranya lenyap tubuhnya sudah berkelebat lagi bagai gerakan malaikat... 'Blum!' dimana jerit kesakitan terdengar, terlihat Ma Siok ceng terhuyung delapan langkah, mulut mungilnya terpentang terus menyemburkan darah segar, tubuhnya juga limbung hampir roboh. 31. PERTEMPURAN ADU JIWA Bu siang sin hoat dikombinasikan dengan Kiu yang sin kang, bisa dihitung dengan jari para tokoh2 silat pada jaman itu yang kuat bertahan dari serangan kilat ini. Apalagi Suma Bing bertekad bulat hendak melenyapkan jiwa musuhnya ini untuk melampiaskan kedongkolan hatinya selama ini. "Sambutlah jurus kedua ini." Jeritan panjang yang mendirikan bulu roma memecah kesunyian. Tampak tubuh Ma Siok ceng terbang tiga tombak jauhnya terus terbanting keras diatas tanah tanpa bisa bergerak lagi. Lama dan lama kemudian baru terlihat wajahnya yang terbenam ditanah itu per-lahan2 terangkat tinggi dan kaku suaranya lemah tapi mengandung kebencian yang tak terperikan. "Su...ma Bing. Kau... kejam benar..." Wajah yang penuh noda darah dan kotoran tanah itu terkulai lagi menghadap tanah tak bergerak lagi, melayanglah jiwanya. "Bocah keparat seratus kali kematianmu juga belum dapat melunasi dosamu ini!" Menyusul bentakan ini terdengar kesiur angin dari lambaian pakaian orang. Tak tertahankan lagi berderak keras jantung Suma Bing, dimana matanya memandang terlihat beberapa bayangan manusia berkelebatan ber-bondong2 mendatangi dari berbagai penjuru. Yang tiba terlebih dahulu adalah Si tiau khek dan dua pemuda, kepandaian dua pemuda ini tidak dibawah Si tiau khek. Dalam sekejap itu Suma Bing sudah terkurung dalam berlapis pagar manusia, perbawa kepungan musuh2nya ini benar2 menciutkan nyali orang. Heng si khek ter-kekeh2 sekian lamanya, lantas berkata menyeringai. "Bocah keparat hebat benar ya kau, dapat lolos dari penjara bawah tanah. Tapi, hehehe, tetap kau takkan dapat lolos!" Cahaya mata Suma Bing bersinar tajam menyapu keempat penjuru, mulutnya terkancing rapat, dengan penuh kewaspadaan dia bersiaga menunggu sergapan musuhnya. Si tiau khek dan kedua pemuda itu masing2 mengambil kedudukan dienam penjuru angin, mata mereka menatap tajam, kearah Suma Bing. Sebenarnya mengandal gerak aneh dari Bu siang sin hoat, dengan mudah saja Suma Bing dapat meloloskan diri dari kepungan musuh2 ini. Tapi hakikatnya dia tiada niat hendak tinggal pergi begitu saja. Omongan ibu gurunya Setan barat, yang disampaikan oleh bibinya Ong Fong jui, terkiang lagi dikupingnya. "...jangan kau melemahkan nama kebesaran dan ketenaran Lam sia!" Apalagi setelah diketahui bahwa Loh Cu gi ternyata adalah sesepuh dari Bwe hwa hwe, terhadap setiap anggota Bwe hwa hwe lantas timbullah rasa permusuhannya yang mendalam. Pada saat ketegangan semakin memuncak dan hendak terjadi penyabungan nyawa itulah mendadak terdengar sebuah tertawa dingin yang menusuk telinga. Suara tawa ini begitu mengerikan bagai tangisan setan ditengah malam, hembusan angin juga terasa dingin. Walaupun disiang hari bolong tapi suasana seram masih melingkupi sanubari setiap orang. Memang suara tawa panjang ini membuat seluruh hadirin terkejut melongo dan kesima. Suara tawa itu semakin mendekat dan nyaring, semua orang termasuk Suma Bing sendiri merasakan darahnya mengalir semakin cepat, malah yang Lwekangnya masih cetek seketika tergetar pucat pias, tubuhnya ber-goyang2 hampir roboh. Tiba2 suara tawa itu berhenti dan hilang lenyap, lantas terlihat diatas puncak dahan pohon bunga Bwe terpaut lima tombak sana samar2 terlihat bayangan seorang yang mengenakan pakaian serba hitam, rambutnya terurai panjang, tubuhnya ramping tinggi tinggal kulit pembungkus tulang seperti jerangkong. "Pek kut Hujin!" Tercetus seruan kaget dari mulut Heng si khek. Nama Pek kut Hujin ini menambah ketakutan semua hadirin. Pek kut Hujin adalah tokoh yang paling ditakuti pada seabad yang lampau, sudah puluhan tahun lamanya tidak pernah muncul lagi dikalangan Kangouw. Sudah dipermaklumkan sejak dulu bahwa Pek kut ji (panji tulang putih) merupakan pertanda khas dari Pek kut Hujin. Mengenai bentuk dan wajah sesungguhnya dari Pek kut Hujin ini, mungkin hanya beberapa gelintir tokoh2 lihay saja yang pernah melihatnya. Sekarang tokoh menakutkan pada jaman yang lalu ternyata bisa muncul secara mendadak disini, hal ini benar2 susah dibayangkan sebelumnya. Dalam kejutnya lantas terlintas dalam ingatan Suma Bing akan ucapan Hui kong Taysu dari Siau lim si dulu yang mengatakan bahwa Racun diracun sebetulnya adalah sealiran dengan Pek kut Hujin. Munculnya Pek kut ji dan sepak terjang Racun diracun serta sikapnya, ditambah munculnya Pek kut Hujin pada saat itu, agaknya bukan terjadi secara kebetulan, tapi kenapa semua itu bisa terjadi? Secepat itu bayangan Pek kut Hujin muncul secepat itu pula menghilang dari pandangan semua hadirin, bagi yang berkepandaian rendah malah menyangka bahwa pandangannya sendiri yang telah kabur. Sebuah suara kecil lirih terkiang dikuping Suma Bing. "Suma Bing, tidak segera pergi masih tunggu apalagi?" Tergetar perasaan Suma Bing, suara itu sudah sangat dikenalnya. Sekarang teringat dan terbuktikan olehnya. Waktu di Siau lim si orang yang menyebut dirinya sebagai 'ada bayangan tiada bentuk' lantas menggebah mundur Hui kong Taysu tokoh tertinggi dari Siau lim si itu tidak terduga kiranya adalah Pek kut Hujin ini. Kalau begitu semua sepak terjang Racun diracun pasti mempunyai latar belakang yang susah diduga. Jadi jelas juga sudah beberapa kali Pek kut Hujin menolong dan melindungi jiwanya semua itu juga bukan secara kebetulan belaka. Tapi, kenapakah semua itu terjadi, dia tak kuasa menjawab. Terdengar suara itu berkata lagi. "Suma Bing, jangan kau berlagak sebagai kesatria yang maha sakti tak terkalahkan, kelak kau menyesal pun sudah terlambat. Kalau Pedang darah sudah kau peroleh, mengapa tidak segera kau mohon Bunga iblis. Berpikirlah panjang dan menitikberatkan pada tugasmu yang mulia, jangan membawa suara hatimu sendiri. Sekarang juga kau harus pergi!" Suma Bing tergetar dan bagai tersadar dari lamunannya, sekali berkelebat tubuhnya melesat keluar dari kepungan musuh2nya. Per-tama2 Si tiau khek dan dua pemuda ringkas itulah yang terjaga, serempak mereka berseru. "Cegat dia" sambil berseru berbareng mereka memburu mengejar. Seketika suasana menjadi gempar, be-ramai2 mereka berlompatan hendak mencegat dan merintangi gerak gerik Suma Bing. Tapi Bu siang sin hoat merupakan ilmu sakti mandraguna yang menakjubkan, hanya sekejap mata saja, bayangan Suma Bing sudah menghilang tanpa meninggalkan jejak. Dalam pada itu menggunakan kelihayan gerak tubuh Bu siang sin hoat Suma Bing lolos dari kepungan para musuhnya, sepanjang jalan dia kerahkan seluruh tenaganya untuk berlarian, sekejap saja sepuluh li telah dicapainya. Perbuatan Pek kut Hujin sekali ini juga membuat dia ter- heran2 dan tak habis mengerti. Pikirnya, mungkin selain suhunya Sia sin Khong Jiang atau ayah-bundanya pernah ada sedikit hubungan dengan Pek kut Hujin ini, tiada keterangan lain dapat membenarkan sepak terjang tokoh misterius itu. Jikalau mau dikatakan Racun diracun adalah murid Pek kut Hujin. Sudah berulangkali mereka guru dan murid selalu muncul pada waktu yang tepat menolong jiwanya dari renggutan elmaut, semua ini pasti ada latar belakang tertentu, mengenai latar belakang apa, hal ini susah ditebak dengan kesimpulan yang kurang matang ini. Tengah ia berlari2 kencang itulah tiba2 terdengar sebuah panggilan. "Nak, berhenti sebentar!" Cepat2 Suma Bing hentikan langkahnya, begitu melihat siapa yang memanggilnya, kontan ia berjingkrak girang, serunya. "Bibi Jui, Adik Sian!" Kedua orang yang mendatangi itu memang bukan lain adalah Ong Fong jui dan muridnya Phoa Kin sian. "Nak kuucapkan selamat kau telah lolos dari bahaya!" "Lho, darimana Bibi Jui bisa tahu?" "Kudengar seorang diri kau meluruk ke Bwe hwa hwe maka jauh2 aku dan Sian ji menyusul datang!" "O, terima kasih akan perhatian Bibi Jui!" Sambil ber-kata2 serta merta sorot matanya menyapu pandang keperut Phoa Kin sian yang sudah mulai membesar itu, susahlah dilukiskan rasa girang hatinya, sebab tidak lama lagi dia bakal menjadi seorang ayah. Agaknya Phoa Kin sian juga merasa akan lirikan itu, wajahnya yang semula pucat memutih itu menjadi merah jengah, matanya melerok kearah Suma Bing. Kata Ong Fong jui penuh perhatian. "Anak Bing, bagaimanakah pengalamanmu?" Suma Bing hendak mengatakan bahwa tokoh dibelakang layar yang mengendalikan Bwe hwa hwe adalah musuh besarnya Loh Cu gi, tapi setelah dipikirkan lagi, adalah lebih baik hal itu dirahasiakan dulu sementara. Hutang jiwa ini hendak ditagihnya sendiri kepada orang yang harus membayar, tidak ingin dia mendapat bantuan orang yang tidak berkepentingan secara langsung dengan tugas sucinya itu. Karena pikirannya ini pengalamannya didalam ruangan besar dan berhadapan langsung dengan musuh besarnya tidak ia ceritakan, hanya bagaimana ia terjebak dalam barisan dan kena ditawan terus dimasukkan kedalam penjara dibawah tanah, dimana bersua dengan Tiang un Suseng dan ternyata sucinya Sim Giok sia telah bunuh diri. Semua pengalaman suka dukanya ia ceritakan jelas dan ringkas. Berobah wajah Ong Fong jui setelah mendengar cerita Suma Bing, katanya. "Begitukah Poh Jiang dan Sim Giok sia mengakhiri hidupnya?" "Bibi Jui." Kata Suma Bing geram. "Hutang darah ini, aku dapat menagih untuk mereka berdua!" "Sungguh tak duga Pelajar duka nestapa (Tiang un Suseng) akhirnya benar2 duka sepanjang masa." "Apakah kabar duka ini harus kuberitahukan kepada ibu guru?" "Jangan, dia tidak akan kuat mendengar pukulan batin ini, memang dia adalah seorang yang pernah putus harapan dan patah hati dalam gelanggang asmara" Suma Bing mengiakan. "Anak Bing, apa kau sudah tahu bahwa Kin sian sudah mengandung?" Merah jengah selebar muka Suma Bing, sikapnya kikuk sambil mengangguk kepala. "Aku tahu!" Betapa malu Phoa Kin sian kepalanya ditundukan semakin dalam, namun hati kecilnya girang luar biasa. Kata Ong Fong jui dengan sikap sungguh2. "Anak Bing, menurut adat istiadat kuno mau tak mau kau harus segera menikah secara resmi dengan Kin sian?" Sekilas Suma Bing melirik kearah Phoa Kin sian serta sahutnya. "Benar, setelah bertemu dengan ibunda dan dendam kesumat sudah terbalas..." "Tidak bisa begitu!" "Menurut maksud Bibi Jui..." "Kau harus menikah dengannya sebelum anak dalam kandungannya itu lahir." "Tapi sekarang ini jejak ibu tidak menentu, mana bisa..." "Anak Bing aku dan ibumu adalah saudara kandung, apa aku boleh mewakili dia?" "Ini... sudah tentu!" "Kalau begitu dengarlah. Yang kumaksudkan dengan menikah tidak perlu menggunakan upacara apa segala. Kaum persilatan tidak perlu mementingkan adat istiadat kuno, asal kedua belah pihak sepaham dan sehaluan sudah cukup. Sekarang aku sebagai wali upacara, langit sebagai saksi dan bumi sebagai bukti, disini dan sekarang juga kalian kuresmikan menjadi suami istri. Kau berkelana di Kangouw jejak tidak menentu, kalau sudah menikah secara resmi kelak kalau orok sudah lahir baru dapat mengikuti she dari leluhur keluarganya." Sekian lama Suma Bing ragu2 dan bimbang, baru akhirnya menjawab. "Terserah kepada kebijaksanaan Bibi Jui" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ong Fong jui mengangguk kepala lalu berpaling kearah Phoa Kin sian, katanya. "Kin sian, apa kau tidak menampik keputusan suhumu ini bukan?" Phoa Kin sian mengangguk tanpa bersuara. Maka Suma Bing dan Phoa Kin sian segera berlutut menyembah kepada bumi dan langit, lalu menyembah pula kepada arwah ayahbunda yang sudah dialam baka, bersumpah untuk setia dan hidup rukun sampai tua. Setelah itu mereka menyembah juga kepada wali upacara begitulah secara resmi mereka sudah menjadi suami istri meskipun upacara pernikahan ini diadakan sederhana saja. Maka sejak itu Phoa Kin sian sudah resmi menjadi istri Suma Bing, anak dalam kandungannya itu juga menjadi milik keluarga Suma. Setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai ini, Ong Fong jui berkata. "Anak Bing, Pedang darah sudah kau peroleh, harus segera kau minta Bunga iblis, supaya dapat melatih ilmu digdaya tiada bandingannya, dengan bekal ini pasti kau dapat menuntut balas sakit hati keluarga dan perguruan!" "Benar, Bibi Jui." "Kau boleh segera pergi, bersama Kin sian aku masih ada urusan yang perlu diselesaikan." Suma Bing manggut2 matanya menatap Phoa Kin sian, rasa berat dan segan berpisah, katanya. "Adik Sian, jagalah dirimu baik2" Phoa Kin sian tertawa malu2, matanya balas pandang Suma Bing dengan penuh kasih mesra. Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Ong Fong jui menatap wajah Suma Bing lalu berpaling kepada Phoa Kin sian dan berkata. "Mari kita berangkat!" "Engkoh Bing selamat bertemu!" "Selamat bertemu. Bibi Jui selamat bertemu!" "Selamat bertemu!" Suma Bing mengantar kepergian Ong Fong jui berdua dengan penuh perasaan duka timbullah rasa kehampaan dalam benaknya. Se-olah2 terasakan dia tengah mimpi dalam pengalaman yang aneh2, lama dan lama sekali dia masih belum kuasa menggerakkan kakinya... Se-konyong2 sebuah suara dingin mengejek berkata dibelakangnya. "Suma Bing, selamat berjumpa!" Kejut Suma Bing bukan kepalang, tidak nyana orang sudah sedemikian dekat dibelakangnya masih tidak diketahuinya, tubuhnya berkelebat melenting maju setombak lantas secepat kilat membalik tubuh, waktu melihat siapa orang dihadapannya tanpa terasa merinding bulu kuduknya. Seorang berpakaian serba putih dengan mengenakan kerudung kepala putih juga, baju didepan dadanya bergambar sebuah cundrik merah darah, kedua mata orang ini mencorong tajam mengawasi dirinya. Orang yang mendadak muncul ini bukan lain adalah Rasul penembus dada, itu tokoh yang paling ditakuti oleh kaum persilatan. Munculnya Rasul penembus dada ditempat ini benar2 diluar dugaan Suma Bing. Setelah menenangkan hatinya, Suma Bing berkata dingin. "Ada pengajaran apa?" "Ada beberapa patah kata hendak kutanya kau, ujar Rasul penembus dada. "Kuharap kau suka menjawab secara jujur" "Coba katakan!" "Apa kau benar2 murid Lam sia?" "Apa perlu kutegaskan lagi!" "Lalu ilmu Bu siang sin hoat itu kau pelajari darimana, itu bukan kepandaian yang kau peroleh dari Sia sin Kho Jiang?" Jawab Suma Bing dengan angkuhnya. "Tiada perlunya aku beritahukan kepada kau." "Kau akan menyesal?" "Selamanya aku tidak kenal akan arti menyesal." "Hm, Suma Bing, kau congkak benar, tapi benar2 kuharap k a u b i c a r a t e r u s t e r a n g . " " U n t u k a p a k a u m e n a n y a k a n h a l i t u ? " " S u d a h t e n t u a d a m a k s u d t e r t e n t u ! " " D a p a t k a h a k u m e n g e t a h u i m a k s u d m u i t u ? " R a s u l p e n e m b u s d a d a m e r a n d e k s e j e n a k , l a l u b e r k a t a . "Maksudku ingin mengetahui apakah kau ada hubungan erat dengan Bu siang sin li?" "Kalau ada bagaimana, kalau tidak kau mau apa?" "Ada tidaknya menyangkut nasib jiwamu!" Berkobar amarah Suma Bing dengusnya dingin. "Tiada seorangpun dapat menentukan nasibku." "Persoalan itu sementara kita tunda dulu. Sekarang kau katakan, apa sangkut pautmu dengan aliran Bu siang sin li?" Otak Suma Bing berputar cepat, teringat olehnya akan pesan Giok li Lo Ci yang wanti2 menekankan supaya dirinya tidak menguarkan keadaan Lembah kematian kepada orang luar, sudah tentu sebagai seorang laki2 ia harus menepati sumpahnya. Apalagi tindakan dan maksud tujuan Rasul penembus dada sukar diraba, sepak terjangnya yang angkuh dan tinggi hati sangat menyebalkan, masa seorang laki2 sejati harus tunduk kepada seorang wanita. Maka sahutnya dingin. "Tak mungkin kujelaskan." Rasul penembus dada menyeringas sinis, serunya. "Suma Bing, Bu siang sin hoat takkan dapat melindungimu dari kematian!" Diam2 berdetak hati Suma Bing. Kepandaian Rasul penembus dada luar biasa lihay apakah dirinya dapat lolos dari tangan jahatnya benar2 susah diraba. Akan tetapi sifat kepala batu dan keangkuhannya sudah ketularan dari kesesatan sifat2 gurunya, membuat teguh dan kokoh pendiriannya. Dampratnya gusar. "Rasul penembus dada, kau terlalu congkak dan memandang rendah orang lain!" "Lantas kau mau apa?" "Aku Suma Bing sebal dan tidak puas akan tingkahmu ini" "Baik biar kubikin kau puas!" "Sebenarnya apakah maksud tujuanmu?" "Sebelum kau menjawab pertanyaanku, belum dapat maksud tujuanku kuutarakan." Suma Bing berjingkrak gusar, semprotnya. "Kalau aku juga menolak untuk menjawab pertanyaanmu?" Agaknya Rasul penembus dada juga kewalahan menghadapi kebandelan Suma Bing, lama dia merenung tanpa suara lagi, namun sepasang matanya bagai tajam pedang memandang liar meneliti seluruh tubuh Suma Bing. Mendadak Rasul penembus dada menggertak keras, serunya. "Suma Bing, benda apa yang kau simpan dibalik bajumu itu?" Suma Bing berjingkrak mundur, bukan kepalang kejutnya, terbayang dalam ingatannya pada waktu Pedang darah palsu Racun diracun yang direbut itu. Memang Rasul penembus dada membekal suatu kepandaian yang menyebabkan matanya sangat jeli dan sedemikian tajam sampai dapat melihat benda dibalik persembunyian yang rapat. Benda dibalik bajunya adalah Pedang darah asli yang baru saja diperoleh dari Racun diracun. Justru Pedang darah ini juga benda berharga yang tengah di-kejar2 oleh lawan. Maka dengan wajah berobah tegang dia menjawab. "Perduli benda apa!" Rasul penembus dada menjengek, katanya dingin. "Suma Bing, Pedang darah benar tidak!" "Kau tidak perlu tahu." Sahut Suma Bing gemetar. "Justru tuan besarmu ini ingin campur tahu." "Kalau begitu silahkan kau campur tangan." Memang Rasul penembus dada sudah bertekad bulat hendak merebut Pedang darah, mendengar tantangan terang2an ini, tanpa bicara lagi segera sebelah tangannya menyelonong maju mencengkram kearah baju didepan dada Suma Bing. Cara cengkramannya bukan saja aneh dan lihay juga cepat luar biasa. Suma Bing juga tidak berani ayal2an, begitu kembangkan Bu siang sin hoat, cepat2 ia menghindar, tapi meskipun gerakgeriknya sudah begitu cepat, terpaut serambut saja dadanya pasti sudah bolong oleh cengkraman musuh. Saking kaget bergidik tubuh Suma Bing, keringat dingin membanjir keluar. Baru saja ia menghindar dan belum berdiri tegak, serangan kedua Rasul penembus dada sudah menyosor tiba pula. Lagi2 Suma Bing berkelebat menyingkir dengan susah payah. Begitulah beruntun terjadi beberapa kali, saking payah dan tegang napas Suma Bing sampai megap2 tubuhnya basah kuyup oleh keringat sendiri. Bahwasanya gerak Bu siang sin hoat adalah ilmu digdaya yang paling ampuh sejak jaman dulu kala. Tapi kepandaian dan kehebatan serangan Rasul penembus dada juga bukan olah2 lihay boleh dikata tiada keduanya didunia ini. Oleh karena itu Suma Bing harus mencurahkan seluruh perhatian dan konsentrasi untuk berkelit menghindari ancaman maut dari serangan2 musuh ini, sebab setiap gebrak setiap jurus adalah serangan2 yang mematikan. Se-konyong2 Rasul penembus dada menghentikan serangan dan berdiri tegak serta katanya sungguh. "Suma Bing, lebih baik kau serahkan saja Pedang darah itu." "Tidak mungkin!" "Suma Bing, biar aku bicara terus terang. Tugasku yang utama berkelana dikalangan Kangouw adalah mencari jejak Pedang darah itu. Boleh dikata bahwa aku harus mendapatkannya!" "Jadi kau mendapat perintah dari Ketua Jeng siong hwe kalian?" "Sedikitpun tidak salah." "Kalau kau mampu silahkan kau rebut, sebaliknya bila minta aku menyerahkan secara mentah2 itulah tidak mungkin!" "Suma Bing, kalau bukan karena Bu siang sin hoat itu, sudah sejak tadi aku tidak main sungkan lagi kepadamu" Diam2 tergerak hati Suma Bing. Apa mungkin antara Jeng siong hwe dengan Lembah kematian ada hubungan atau ikatan. Kalau tidak tak mungkin Rasul penembus dada bisa mengatakan demikian. Akan tetapi hakikatnya dirinya tiada hubungan atau ikatan apa2 dengan Lembah kematian. Adalah karena memandang muka suhunya Sia sin Kho Jiang maka Giok li Lo Ci mau menurunkan llmunya kepadanya. Malah dia juga sudah melulusi memberikan Bunga iblis asal dirinya membekal Pedang darah. Karena pikirannya ini, lantas dengan sikap kaku ia berkata. "Seumpama kau tidak bermain sungkan?" "Siang2 sudah kucabut jiwamu." "Hm, belum tentu kau mampu?" Rasul penembus dada membentak keras, suaranya gemetar. "Suma Bing, jadi kau memaksa aku membunuh orang?" Ancaman yang mengandung nafsu membunuh yang serius ini benar sangat menggiriskan. Ucapan ini malah membangkitkan kepala batu Suma Bing, timbul juga amarahnya, sambil mengertak gigi desisnya. "Rasul penembus dada, coba tunjukkan kegaranganmu!" "Baik, aku tidak akan pedulikan segalanya untuk mencabut jiwamu!" "Dengar, kalau hari ini kau tidak mampu membunuh aku, adalah aku yang akan membunuh kau, silahkan kau turun tangan!" "Adalah kau sendiri yang minta?" "Tidak perlu banyak bacot lagi!" Sinar terang berkelebat didepan matanya, tahu2 Rasul penembus dada sudah menggenggam sebilah cundrik yang tajam mengkilap. Entah sudah berapa banyak jiwa kaum persilatan yang sudah melayang dibawah cundrik ini. Tanpa terasa tubuh Suma Bing merinding sendirinya. Namun rasa takut ini hanya selintas saja berkelebat dalam benaknya, rasa angkuhnya malah timbul dan berkobar semakin besar. Hawa murni pelan2 dikerahkan dan dihimpun diujung jari dimana Cincin iblis lantas memancarkan cahaya terang yang menyilaukan mata sejauh dua tombak lebih. Kata Rasul penembus dada dengan nada rendah dan berat. "Benar2 kita harus menyabung nyawa?" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Benar, sampai mati baru berhenti, kalau bukan kau yang mati biarlah aku yang gugur." Suasana semakin tegang melingkupi sanubari dua lawan yang tengah berhadapan hendak menyabung nyawa. Inilah pertempuran yang menentukan mati atau hidup. "Suma Bing, turun tanganlah!" Bentak Rasul penembus dada suaranya parau. "Kau adalah wanita," Sahut Suma Bing bersikap tenang. "sudah seharusnya kaulah yang turun tangan dulu!" "Keparat, jangan kau main lagak dan main takabur." Ditengah suara bentakannya ini. Rasul penembus dada sudah menggerakkan cundriknya secepat kilat menusuk kedada Suma Bing. Bagai bayangan setan Suma Bing berkelebat menghilang secepat kilat, begitu menggeser kedudukan cahaya sinar Cincin iblisnya juga turut disapukan. 'Tjreng!' cahaya sinar Cincin iblis bentrok dengan cundrik Rasul penembus dada sehingga mengeluarkan suara nyaring. Kontan Suma Bing rasakan tangannya kesemutan, serta merta tubuhnya limbung dan terhuyung dua langkah. Ini membuktikan bahwa latihan Lwekang Rasul penembus dada masih lebih unggul dari kemampuannya. Sekali mengayun tangan, cundrik ditangan Rasul penembus dada terbang bagai meteor menerjang kearah Suma Bing. Ber-ulang2 sebelah tangan Suma Bing bergerak membuat lingkaran2 besar kecil, maka semakin kuatlah pancaran sinar Cincin iblis dijarinya itu, seketika timbullah berlapis gulungan bunga berkilau laksana bentuk gunung. Sebenarnya dipangkal pegangan cundrik Rasul penembus dada ada terikat benang sutra halus dan kecil yang menggubat dipergelangan tangan Rasul penembus dada, maka itu cundrik ini bisa ditarik ulurkan sesuka si pemakai. Sinar tajam yang dingin dari cundrik ini juga tidak kalah seram dan menyilaukan mata dari cahaya senjata lawan, dimana dua sinar cahaya saling bentrok terdengar pula suara 'Crang'. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo