Pedang Darah Bunga Iblis 17
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 17
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H 'Creng' berulang sampai beberapa kali. Kira2 sepeminuman teh kemudian, lambat laun tenaga murni Suma Bing semakin kewalahan menghadapi keuletan musuhnya. Malah pisau terbang musuh semakin lincah dan ganas mengancam setiap lobang kelemahannya. Tiba2 terdengar sebuah bentakan nyaring, disertai angin pukulan yang dahsyat, cundrik terbang Rasul penembus dada lagi2 melesat tiba pula mengarah ulu hatinya. Bahna besar tenaga pukulan tangan Rasul penembus dada, Suma Bing kena terdesak dibawah angin, tubuhnya sempoyongan beberapa tindak, cahaya sinar Cincin iblis juga semakin guram. Sambil perdengarkan lengking tawanya, Rasul penembus dada melejit menubruk maju. Tidak kalah cepatnya Suma Bing bergerak menyingkir. Dalam gebrak yang susah diikuti oleh pandangan mata ini, lagi2 cundrik terbang Rasul penembus dada sudah terbang ber-putar2, dua tombak sekelilingnya terkekang oleh angin puyuh yang membumbung tinggi keangkasa. Tipu serangan ini boleh dikata lihay dan sangat ajaib, betapapun menakjupkan gerakan Bu siang sin hoat agaknya kali ini susah dapat lolos keluar dari kurungan angin puyuh yang bergelombang tinggi ini. 'Sret!' disusul keluhan tertahan mulut Suma Bing, tahu2 punggungnya sudah tergores luka mengeluarkan darah sepanjang setengah kaki, darah kental segera membasahi tubuhnya. Rasul penembus dada menarik kembali serangannya, dan menegaskan. "Suma Bing, pertanyaanku yang terakhir, apa hubunganmu dengan aliran Bu siang sin li?" Mata Suma Bing melotot membara dan buas bagai mata binatang, bentaknya beringas. "Apa pedulimu!" Sambil membentak lagi2 ia kembangkan gerak Bu siang sin hoat, gerakan kelit dipertunjukkan sedemikian hebat sekuat kemampuannya, begitu cepat ia bergerak mengitari Rasul penembus dada, lalu dalam suatu kesempatan ia kerahkan seluruh kekuatannya dikedua tangannya dan beruntun lancarkan tiga kali serangan berantai, setiap serangan pukulannya mengandung kekuatan Kiu yang sin kang. 'Blang!' sambil menguak seperti orang hampir muntah kelihatan Rasul penembus dada terhuyung beberapa tindak, kedok putih dimukanya seketika berobah merah darah. Sejak Suma Bing menarik napas panjang terus bergerak lagi menubruk kearah musuh. Hampir dalam waktu yang sama, Rasul penembus dada juga berkelebat maju menyerang. Gerak gerik kedua belah pihak boleh dikata hampir sama cepatnya. Kontan terdengar dua kali pekik tertahan. Tampak Rasul penembus dada terpental satu tombak lebih. Sedang lengan kanan Suma Bing lagi2 tergores luka panjang, darah memancur bagai air ledeng, tubuhnya juga limbung hampir roboh. Inilah pertempuran antara mati atau hidup yang jarang terjadi sehingga menciutkan nyali dan menyedot semangat orang. Begitu mendapat peluang untuk mengatur napas dan jalan darahnya, segera Rasul penembus dada meng-ayun2 cundriknya dan setindak demi setindak mendesak mendekati Suma Bing. Derap langkahnya yang berat dan tenang seumpama irama pengantar kematian yang menyeramkan dan menakutkan. Berulangkali Suma Bing mengalami luka berat, ditambah Cincin iblisnya menguras tenaganya terlalu besar, maka keadaannya saat itu sudah bagai pelita yang sudah hampir kehabisan minyak tinggal tunggu waktu saja. Melihat Rasul penembus dada yang setindak demi setindak semakin dekat, hati kecilnya semakin tenggelam dalam bayangan kematian. Sekali lagi dia menghadapi kematian... Sesaat sebelum Suma Bing ajal ditembusi cundrik musuhnya. Tiba2 sebuah bayangan manusia melesat mendatangi dengan kecepatan seperti bintang jatuh dari arah rimba sebelah samping sana. "Siapa kau?" Reaksi Rasul penembus dada sangat cepat, baru saja bayangan itu berkelebat dia sudah membentak keras. Akan tetapi bayangan itu bergerak sedemikian cepat, sampai waktu untuk orang berpikir juga tidak sempat lagi tahu2 arus gelombang puyuh sudah melingkupi seluruh tubuh Rasul penembus dada, sedemikian hebat dan besar kekuatan angin ini melanda benar2 sangat mengejutkan. Rasul penembus dada insaf dengan tubuhnya sendiri yang sudah terluka beberapa kali takkan kuat bertahan dari serangan angin puyuh ini, secepat kilat ia berkelit menyingkir jauh. Bertepatan dengan itu, begitu menyentuh tanah bayangan itu lantas melenting lagi dan tahu2 sudah menghilang. Bahwasanya Rasul penembus dada adalah tokoh kosen yang jarang dicari tandingannya, tapi toh dia sendiri tidak melihat tegas apakah bayangan itu adalah seorang laki2 atau seorang wanita. Tahu2 bayangan Suma Bing sudah menghilang dari tengah gelanggang. Bayangan itu dapat menggondol pergi Suma Bing sedemikian gampang dari hadapan Rasul penembus dada. Betapa tinggi kepandaian ini benar2 susah dibayangkan. Sekali membanting kaki tubuh Rasul penembus dada melejit tinggi terus mengejar. Sementara itu, Suma Bing hanya merasa tiba2 pandangannya kabur, dan belum ia paham apa yang telah terjadi tubuhnya sudah terangkat tinggi terus dibawa terbang, disusul jalan darahnya tertutuk hilanglah kesadarannya. Entah sudah berselang berapa lamanya, waktu siuman ia dapatkan dirinya rebah diatas sebuah ranjang yang empuk dengan seprei yang tersulam indah, kamar ini sedemikian mewah, megah dan indah se-olah2 dirinya berada di istana raja. Keruan kejutnya luar biasa, bergegas ia melompat bangun. Dimana pandangannya menjelajah, hampir2 dia tidak percaya akan apa yang telah dilihatnya, ber-kali2 ia kucek2 matanya, namun pandangan dihadapannya tidak berobah. Saking heran dan kesima mulutnya melompong dan tak tahu ia apa yang harus diperbuat. Ditengah sana dibelakang sebuah meja yang membujur panjang duduk seorang tua yang jenggotnya sudah putih menjulai sampai diperutnya, kepalanya mengenakan mahkota kebesaran, wajahnya kereng berwibawa. Dikiri kanan dipinggir meja panjang diatas kursi yang berlapiskan kulit harimau masing2 duduk seorang tua berjubah indah berikat kepala, tangan mereka masing2 mencekal sebuah lencana panjang terbuat dari gading gajah. Ber-turut2 dibawahnya duduk atau berdiri tidak menentu beberapa orang tua muda puluhan orang banyaknya. Pelan2 pandangan matanya teralihkan keatas tubuh sendiri, lagi2 bergetar hatinya. Kiranya pakaian yang dikenakan kini sudah berganti baru dan serba mewah. Terang ia masih ingat dirinya tergores luka dua tempat oleh cundrik Rasul penembus dada, lukanya itu sangat berat, namun pada saat itu sedikitpun ia tidak merasakan lagi kesakitan. Apakah ini bukan mimpi atau khayalan? Tidak. Dia masih ingat tiba2 dirinya disamber oleh sebuah bayangan. Di-timang2 agaknya dirinya sudah tiba disebuah istana, dan orang tua yang berduduk ditengah itu terang adalah seorang Raja. Tapi, apakah semua ini mungkin? Ruang istana ini cukup besar, meskipun ada puluhan orang turut hadir, tapi suasana sedemikian hening lelap bagai berada ditengah alas pegunungan. Sinar lampu terang benderang bagai di siang hari, sekali lagi ia angkat kepala menyapu pandang orang2 dalam ruang istana itu. 32 TE PO = PERKAMPUNGAN BUMI. Tiba2 orang tua yang duduk sebelah kanan berdiri lalu membungkuk hormat kepada orang tua ditengah sebagai raja itu dan berkata. "Orangnya sudah siuman, apakah yang mulia hendak mengajukan pertanyaan?" Kata2 'Yang mulia' ini membuat berdebar keras hati Suma Bing, batinnya apakah aku berhadapan langsung dengan Raja. Terdengar raja junjungan itu berkata suaranya keras lantang. "Hu pit (nama pangkat; penasehat raja) berdua tinggal, yang lain bubar!" "Terima perintah!" Orang tua yang memegang lencana itu memutar tubuh sambil mengulapkan tangan. "Sidang selesai!" Maka orang2 yang berdiri dikedua pinggiran itu beramairamai membungkuk hormat tanpa bersuara mereka beriring keluar meninggalkan ruang istana besar itu. Sekejap saja semua orang sudah mengundurkan diri, tinggal dua orang tua yang memegang lencana masih tetap berdiri didua pinggiran, agaknya kedua orang tua inilah Coh yu Hut pit atau Coh hu dan Yu pit (penasehat dikiri dan kanan). Terdengar Yu pit bertanya dengan nada berat. "Suma Bing, majulah menghadap Te kun (raja bumi)." Nama Te kun ini lagi2 membuat hati Suma Bing berdetak. Terhitung sebutan apakah ini. Dengan penuh keheranan dan tak mengerti matanya menatap kedepan, kakinya tidak bergeser dari tempatnya. Dari sinar mata orang yang tajam berkilat dapatlah diketahui bahwa mereka2 ini juga kaum persilatan, tapi keadaan dan jubah2 kebesaran... Yu pit berseru lagi. "Suma Bing, maju menghadap!" Kaki Suma Bing bergeser sedikit tapi tidak maju melangkah, hatinya bimbang dan penuh tanda tanya. Segera Coh hu ikut berkata. "Yang mulia adalah junjungan resmi dari Giok te (raja kahyangan), kau seorang rakyat jelata, berani kau menghadap tanpa berlutut". Seketika Suma Bing mengucurkan keringat dingin, kiranya mereka ini adalah malaikat dan bukan manusia biasa. Jadi sebenarnya dirinya ini masih hidup sebagai manusia atau tinggal arwah halusnya saja? Tanpa terasa lemah kedua kakinya per-lahan2 ditekuk terus berlutut, mulutnya berkemik lirih. "Menghadap..." Menghadap apa dia tidak kuasa meneruskan, entah dia harus menyebut apa kepada raja junjungan dihadapannya ini. Te kun (raja bumi) angkat sebuah tangan serta berseru. "Silahkan duduk!" Coh hu segera melangkah maju menarik Suma Bing sambil menunjuk sebuah tempat dibawah sebelah kiri. Hati Suma Bing kosong hampa dan tidak tentram, meski tempat duduknya itu empuk tapi dalam perasaannya dia tengah duduk diatas permadani yang penuh bertaburkan jarum. "Suma Bing, laporkan keterangan leluhurmu!" "Ayah almarhum Suma Hong..." "Sudah cukup, dari perguruan mana?" Sejenak Suma Bing melengak, lalu sahutnya. "Murid dari perguruan Sia sin Kho Jiang!" "Apakah kau pernah berguru pada perguruan lain?" "Tidak!" "Lalu kepandaian Bu siang sin kang itu kau pelajari dari siapa?" Menyinggung Bu siang sin hoat, timbul kecurigaan dalam benak Suma Bing, dia berani pastikan bahwa orang2 dihadapannya ini juga dari kaum persilatan, dan bukan malaikat apa segala. Tentang mengapa menyamar malaikat dan memboyong dirinya ketempat itu sampai saat itu dia, masih tak mengerti dan tak dapat membayangkan sebab musababnya. "Memang Bu siang sin hoat bukan kupelajari dari mendiang guruku, kupelajari dari seorang Cianpwe..." "Siapa?" "Aku yang rendah pernah bersumpah untuk tidak menyebut2 namanya dihadapan orang lain" Mendadak dia merobah sebutan dirinya dengan aku yang rendah sehingga Te kun serta Coh hu dan Yu pit berobah air mukanya. "Apakah Bu siang sin li?" "Maaf aku tidak berani menjawab!" Air muka Te kun sedikit berobah, matanya melirik kekanan kiri dan berkata kepada dua orang penasehatnya. "Urusan selanjutnya biar kalian selesaikan sendiri!" "Terima perintah!" Bergegas Raja bumi bangkit terus menghilang dibalik pintu angin sebelah samping. Setelah membungkuk tubuh mengantar Rajanya mengundurkan diri. Coh hu dan Yu pit duduk kembali ditempat duduk masing2. Sekian lama mereka meng-amat2i Suma Bing, lalu Coh hu berkata. "Suma Bing, apa kau tahu mengapa kau diundang masuk kedalam istana?" "Aku yang rendah tidak mengerti?" "Kau berjodoh dengan Kiongcu, maka kau diundang masuk istana diangkat sebagai Hu ma (menantu raja)!" Diam2 Suma Bing memaki omong kosong dan ngaco belo belaka. Sudah terang aku digondol kemari secara paksa, indah benar kalian menggunakan istilah mengundang menghadap raja. Karena batinnya ini segera ia menyahut dingin. "Untuk hal ini aku tidak mau terima!" "Kau salah!" "Dimana letak kesalahan aku yang rendah?" "Ini merupakan perintah dari Raja bumi!" "Tapi aku bukan punggawa dari Raja bumi kalian, maka tidak perlu aku harus tunduk akan perintahnya." "Jodoh telah mengikat dan sudah terdaftar diatas batu kelahiran. Kau tidak boleh menolak atau membangkang lagi!" "Urusan perjodohan bukan main2, mana bisa menggunakan paksaan?" "Hahahahaha, Suma Bing, marilah kau ikut aku!" Dengan penuh keheranan Suma Bing mengintil dibelakang Coh hu, mereka memutar kesamping pintu terus memasuki sebuah ruang lain yang lebih kecil. Dengan tangan kiri Coh hu menunjuk sebuah bola kaca yang terporot melesak kedalam dinding, katanya. "Kau lihatlah sendiri!" Dengan hati kebat-kebit Suma Bing maju mendekati bola kaca itu, begitu matanya mendekat dan melihat pemandangan didalamnya, seketika ia menjerit keras tubuhnya terhuyung hampir roboh. Kiranya pemandangan dalam bola kaca itu menunjukkan sebuah hutan dimana tempat dia berkelahi melawan Rasul penembus dada, diatas tanah rebah sesosok mayat yang berlepotan darah susah dikenali dan tidak perlu disangsikan bahwa mayat itu adalah dirinya sendiri. Jengek Coh hu dingin. "Sudah jelas belum?" Otak Suma Bing serasa buntu pepat bekerja, semangatnya lesu, sahutnya lirih. "Apa benar aku sudah mati." "Benar, kau sudah mati!" "Jadi aku ini adalah arwah halus, bukan manusia lagi?" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ditempat perjodohan yang sembabat ini, kau sekarang adalah malaikat!" Begitulah mereka berdua kembali lagi keruang besar tadi, Suma Bing terlena duduk ditempat asalnya, kenyataan menumbangkan keraguan hatinya bahwa orang2 yang dia hadapi ini ternyata adalah malaikat dan bukan manusia. Tapi cara bagaimanakah kematian dirinya? Kecurigaan hatinya masih belum lenyap. Tapi kenyataan membuktikan mau tak mau dia harus mengakui bahwa dirinya memang benar2 sudah mati, malah mayatnya terlantar dalam rimba tanpa liang kubur yang layak. Terpikir olehnya dendam kesumat dan sakit hatinya semasa masih hidup, tanpa terasa dia mengeluh dan berteriak panjang. "Aku tidak boleh mati, aku tidak rela mati." Yu pit menjengek dengan suara dingin. "Tapi sekarang kau sudah mati!" "Aku... tidak boleh mati!" "Apa ada angan2mu yang belum terlaksana?" "Dendam perguruan, sakit hati orang tua, budi para sahabat aku harus menyelesaikan semua itu satu persatu." "Tentang itu gampang dilaksanakan!" "Benar, setelah melangsungkan pernikahanmu dengan Kiongcu, sudah secara resmi kau sebagai Huma, keluar masuk istana terserah sesuka hatimu tiada orang yang berani melarang. Sampai pada saat itu, bolehlah kau melegakan hatimu untuk menuntut segala sakit hati dan dendam sesuka hatimu." "Apakah omonganmu benar?" Tanya Suma Bing gemetar. "Sudah tentu benar!" "Tapi..." "Tapi apa?" Mendadak teringat olehnya akan Phoa Kin sian istrinya yang sudah mengandung itu, hati terasa seperti di-iris2 dengan pisau hampir2 saja airmata meleleh keluar. Sungguh tak kira belum lama mereka berpisah, ternyata harus bercabang jalan untuk tidak akan bertemu lagi se-lama2nya. Tidak ketinggalan terbayang juga wajah Siang Siau hun gadis rupawan yang mati2an mencintai dirinya, Ting Hoan gadis simpatik yang juga telah terang2an menyatakan isi hatinya kepadanya, semua ini kini sudah menjadi bayangan belaka dan akan menjadi kenangan sepanjang masa. Seumpama dia melulusi untuk menjadi Hu ma, atau calon menantu raja, apakah tindakannya ini tidak terlalu kejam terhadap istrinya Phoa Kin sian yang merana itu? Karena pikirannya ini tercetus seruan dari mulutnya. "Tidak, aku tidak seharusnya begitu." Alis Coh hu berkerut dalam, tanyanya. "Apanya yang tak boleh?" "Aku tidak boleh menyia2kan cinta..." "Suma Bing, jalan terang dan gelap harus dapat kau bedakan, malaikat dengan rakyat jelata mana boleh bercampur baur, jangan kau menyiksa dirimu sendiri, perjodohanmu ini sudah merupakan takdir ilahi, kau tidak boleh menolak, kalau tidak... kau akan mendapat hukuman Tuhan." Suma Bing menjadi nekad, sahutnya. "Aku yang rendah rela mendapat hukuman itu." "Keputusan tidak terletak ditanganmu" Segera Yu pit mengetok meja dengan sebuah mistar dan bertembang lantang. "Harap Te kun segera membuka sidang!" Disusul lonceng dibelakang istana sana berdentang ramai, orang2 yang tadi mengundurkan diri kini be-ramai2 memasuki pula ruangan istana itu secara teratur dan rapi. Otak Suma Bing terasa pepat, hatinya kosong matanya mendelong mengawasi segala perobahan dihadapannya, ingatan yang selalu mengganjel dalam benaknya adalah 'Aku sudah mati!' bayangan ini bagai gigitan seekor ular yang selalu menggerogoti sanubarinya. Betapapun dia tak rela mati begitu saja. Akan tetapi, kenyataan dia sudah mati. Gambaran yang terlihat dalam bola kaca itu merupakan kenyataan. Begitu Te kun menempati tempat duduknya, be-ramai2 para hadirin memberi hormat. Coh hu tampil kedepan dan angkat bicara. "Dipersilahkan junjungan yang mulia memberikan restu dalam pernikahan ini." "Silahkan Kiongcu menghadap!" Diluar pintu ruangan sana terdengar seruan yang sama. "Silakan Kiongcu menghadap!" Dalam sekejap tampak serombongan dayang2 istana membimbing seorang putri yang berpakaian mewah dan mengenakan banyak perhiasan berderap memasuki istana. "Menghadap Baginda raja." "Duduklah disebelah!" "Ayah baginda memanggil anak, entah ada keperluan apakah?" "Untuk menyelesaikan perjodohanmu yang sudah tersurat oleh takdir." Serta merta Suma Bing melirik kearah Kiongcu, tergerak hatinya. Kiongcu ini sedemikian cantik rupawan bak bidadari. Kebetulan sinar mata sang Kiongcu juga tengah melerok kearahnya, begitu sinar mata mereka bentrok, kontan merah jengah wajah mereka. Tapi Kiongcu malah unjuk senyumnya yang menggiurkan. Cepat2 Suma Bing tundukan kepala, hatinya berdetak keras, darah terasa mengalir deras tanpa terkendali. "Apapun juga yang bakal terjadi, aku tidak akan menyia2kan cinta Phoa Kin sian kepadaku." Demikian dalam hati ia berdoa dan ambil ketetapan. Wajah tua Raja bumi kelihatan berseri girang suaranya lantang. "Segera perintahkan upacara pernikahan segera dimulai." Begitu perintah ini disampaikan, suasana menjadi ramai musik mulai mengalun merdu. Dua orang protokol yang mengenakan jubah panjang warna merah segera tampil kedepan dan berdiri dikanan kiri. Ingin rasanya Suma Bing menolak, tapi dalam keadaan yang penuh kewibawaan ini tak kuasa dia mengeluarkan kata2, sebab sekarang dia bukan lagi manusia yang masih hidup, ingatan atau pikiran ini selalu merangsang dan mengganggu ketenangannya. Dengan kesima mematung dia menurut saja dituntun berdiri jajar dengan Kiongcu, lalu berlutut menghadap raja dan sembahyang janji setia kepada langit dan bumi. Setelah semua upacara selesai lalu mereka diantar masuk kamar penganten. Cara mengatur dan hiasan kamar penganten ini juga sedemikian mewah dan anehnya tidak menyerupai cara2 dan adat2 kebiasaan dari manusia jelata umumnya. Menghadapi istri yang cantik rupawan ini pikiran Suma Bing malah semakin kabur dan me-layang2. "Siangkong!" Dengan malu2 Kiongcu memanggilnya. Bergetar sanubari Suma Bing, sahutnya. "Kiongcu..." "Siangkong, aku bernama Pit Yau ang!" "O!" "Biarlah aku panggil kau engkoh Bing, kau panggil aku adik Ang saja." Suaranya sedemikian halus merdu, apalagi dalam suasana malam penganten yang mempesonakan ini lebih menambah kemesraan ikatan batin mereka. "Adik Ang!" "Engkoh Bing!" Mereka tersenjum berpandangan, lalu berpelukan dan berciuman. Lama kelamaan yang terdengar hanyalah suara tawa halus kegelian dan helaan napas yang memburu, alam sekelilingnya menjadi sunyi senyap. Entah sudah berselang berapa lamanya. Pelan2 Suma Bing mulai siuman, pelan2 dia bangkit dari tempat tidur, sekilas dipandangnya Pit Yau ang yang masih tidur nyenyak dialam mimpinya, dengan penuh kasih sayang diciumnya keningnya. Sambil mengenakan pakaiannya dia turun dari tempat tidur dan duduk diatas sebuah kursi, mulailah dia mengenangkan segala apa yang telah dialaminya... Per-tama2 yang masuk dalam ingatannya, ialah sesaat sebelum dirinya terhujam oleh cundrik Rasul penembus dada, terang dirinya ditolong dan dibawa lari oleh seseorang, malah dia juga merasakan jalan darahnya linu kesemutan, lantas dia lupa se-gala2nya, bagaimana dirinya bisa mati?" Sebenarnya istana apakah ini dan dimana letaknya? Te kun atau raja bumi itu mengapa menanyakan riwayat dan leluhur serta perguruannya, terutama malah menekankan dalam bertanya tentang Bu siang sin hoat? Kalau dirinya benar2 sudah mati, mengapa dirinya tidak merasakan adanya hal2 yang janggal sebagai setan atau malaikat, semua2 ini dirasakan wajar dalam kenyataan sebagai badan kasar manusia umumnya, dan yang terpenting... berpikir sampai disini matanya melirik kearah ranjang gading dengan kelambu sutranya yang tersulam indah masih menjulai panjang. "Janggal!" Tiba2 tercetus pekik keras dari mulutnya. "Engkoh Bing, apanya yang janggal?" "Aku adalah manusia, aku belum mati!" Sambil mengenakan pakaiannya pelan2 Pit Yau ang turun dari atas ranjang, Suma Bing tidak berani beradu pandang dengan sinar mata bening tajam bak bintang kejora, cepat2 ia tundukan kepala. "Engkoh Bing!" Terpaksa Suma Bing angkat kepalanya, suaranya gemetar. "Kita sudah menjadi suami istri?" Pit Yau ang tertawa menggiurkan, ujarnya. "Siapa bilang bukan?" "Tapi..." "Tapi bagaimana?" "Aku tidak percaya dan meragukan apa yang tengah kualami ini!" "Tapi kenyataan sudah kau alami!" "Aku merasa bahwa aku masih belum mati?" Pit Yau ang tertawa penuh arti, katanya. "Mengapa kau pikirkan hal2 yang tidak genah itu?" Berobah serius wajah Suma Bing, katanya. "Bagaimana kau bisa mengatakan hal ini urusan tidak genah?" "Kita sudah menjadi suami istri, kita sudah bersumpah untuk seia sekata dan hidup rukun sampai tua, apakah ini belum cukup." Berobah hebat air muka Suma Bing, bergegas dia bangkit dari tempat duduknya, serunya berjingkrak gusar. "Sebetulnya tempat apakah ini?" Sekilas berobah juga air muka Pit Yau ang, tapi pada lain saat berobah pula dengan senyuman yang menggiurkan, katanya lemah lembut. "Engkoh Bing, duduklah kita bicarakan hal ini pelan2, mengapa mesti marah2?" Tapi darah Suma Bing malah terasa mengalir semakin cepat, wajahnya merah padam bentaknya murka. "Sebetulnya dimanakah sekarang aku berada?" Sahut Pit Yau ang dengan suara lirih lembut. "Perkampungan bumi, salah satu tempat kramat bertuah dari dunia persilatan." "Perkampungan bumi!" Teriak Suma Bing gemetar, tubuhnya terhuyung menggigil. Mimpi juga tidak menyangka bahwa dirinya bakal terjatuh kedalam cengkraman Te po, salah satu dari tiga tempat keramat yang paling ditakuti dalam dunia persilatan. Pura2 menjadi malaikat menyamar setan untuk memincut dan menipu dirinya supaya menikah dengan Pit Yau ang. Suatu perasaan kena tipu membuat darahnya mendidih, gusarnya bukan alang kepalang. 'Plok!' sebelah pipi Pit Yau ang yang putih halus itu seketika berpeta merah bekas lima jari yang jelas sekali, air darah kontan meleleh keluar dari ujung bibirnya. Dalam murkanya tamparan Suma Bing ini ternyata bukan olah2 kerasnya. Air muka Pit Yau ang berobah pucat dan merah bergantian, tubuhnya yang semampai itu menggigil terhuyung, bentaknya bengis. "Suma Bing, kau berani turun tangan memukul orang?" Suma Bing menggigit bibir, teriaknya. "Kuhajar wanita tidak tahu malu seperti kau ini, mau apa?" Malu dan gusar merangsang gejolak hati Pit Yau ang, matanya merah hampir menangis, bergegas dia bangkit dari tempat duduknya, serunya gemetar. "Dimana aku tidak tahu malu?" "Menipu aku untuk menikah dengan kau!" "Aku menikah menurut kehendak orang tua, bagaimana dikatakan menipu?" "Pura2 menjadi malaikat menyamar setan, dengan obrolan membujuk dan setengah ancaman bukankah ini menipu?" "Kau dengarlah dulu penjelasanku..." "Tidak perlu penjelasan." Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pekik Suma Bing sambil ulapkan tangan. Berobah membesi wajah Pit Yau ang, timbul nafsu membunuh pada air mukanya, suaranya gemetar dingin. "Kau tidak mau dengar penjelasanku?" "Tidak perlu!" "Lalu kau hendak apa?" "Kubunuh kau!" "Apa kau mampu melakukan?" "Mari kucoba." "Kiongcu, ada terjadi apakah didalam?" Para dayang yang menjaga diluar kamar menjadi gugup dan bertanya gelisah. "Tidak ada urusan kalian, kamu pergi semua." "Baik." Air mata Pit Yau ang akhirnya meleleh juga membasahi pipi, ujarnya penuh haru dan sesenggukan. "Suma Bing, seumpama menipu kau, juga tidak mengandung maksud jahat, mana boleh kau tidak membedakan antara kebaikan dan kejahatan?" "Masa tindakan kalian ini bermaksud baik?" "Boleh dikata demikian." "Cis." Suma Bing berludah. "Suma Bing, kau pandang aku Pit Yau ang sebagai orang apa?" "Perempuan tidak tahu malu!" "Berani kau katakan sekali lagi?" "Tidak tahu..." Belum kata2 'malu' keluar dari mulutnya, Pit Yau ang sudah mencengkram jalan darah pergelangan tangan Suma Bing, cara geraknya yang cepat dan aneh benar2 sangat menakjupkan, sedikitpun Suma Bing tidak sempat berkelit. "Suma Bing, berani kau menghina aku?" "Menghina kau mau apa, perbuatan ini sangat rendah dan hina, sungguh tidak kira nama Te po yang dikumandangkan ternyata..." "Tutup mulut, Suma Bing, kalau aku tidak segera turun tangan, siang2 kau sudah mati konyol dibawah cundrik Rasul penembus dada!" Tertegun Suma Bing mendengar kata2 orang, ternyata bayangan misterius itu adalah dia (Pit Yau ang), dengan mudah dan seenaknya saja dia dapat menggondol pergi seseorang, betapa tinggi kepandaian dan Lwekangnya ini benar susah dibayangkan. Tapi begitu teringat akan maksud dari latar belakang semua itu, tanpa terasa ia mendengus dingin. "Maksudnya semula memang sudah hina dina, aku Suma Bing tidak terima budimu ini." Pit Yau ang kertak gigi, katanya. "Suma Bing, keterlaluan kau menghina aku!" "Hm." Sebelah tangan Pit Yau ang dibalik menekan jalan darah Thian leng hiat di-embun2 kepalanya, ancamnya serius. "Baik biar kulenyapkan kau." Tanpa kuasa bergidik badan Suma Bing, namun dasar sifatnya angkuh dan keras kepala kematian tidak akan melumerkan sifat pembawaannya ini, serunya penuh kebencian. "Boleh silahkan kau turun tangan" Airmata mengalir semakin deras, Pit Yau ang kewalahan tangan dilepaskan katanya sedih memilukan. "Engkoh Bing, mengapa kau berbuat demikian, terhadap aku?" "Lalu kau mau apa?" "Jelek2 kita sudah menjadi suami istri!" "Aku tidak mengakui!" "Apa, kau... kau tidak mengakui?" "Semua ini adalah tipuan belaka!" "Suma Bing, badanku yang suci bersih ini sudah kupersembahkan kepadamu, ternyata kau..." Berkata sampai disini, tangisnya semakin keras. Tanpa terasa Suma Bing melirik keatas ranjang, benar juga terlihat noktah2 darah berlepotan diatas seprei, badannya gemetar seperti ayam kedinginan, memang betul badan Pit Yau ang yang masih perawan suci sudah diserahkan untuk dirinya, malah samar2 masih teringat dalam otaknya upacara pernikahan itu. Kecantikan Pit Yau ang bak bidadari, lain dari yang lain, kepandaian silatnya juga luar biasa, malah putri dari majikan Te po yang kenamaan itu, mengapa tidak memperdulikan nama dan gengsi sendiri, melakukan tindakan2 yang memalukan ini? Kalau perkampungan bumi hendak mencari menantu, bisa secara terang2an dan bebas memilih diantara sekian banyak manusia umumnya, mengapa pura2 menjadi malaikat menyamar setan untuk menipu dan menakuti orang? Terutama gambaran yang terlihat dalam bola kaca bundar itu susah dimengerti, apakah itu ilmu sihir? Waktu teringat akan istrinya Phoa Kin sian yang sudah mengandung, terasa pilu dan seperti di-sayat2 hatinya, kelak bagaimana dirinya harus berhadapan dengan bibinya Ong Fong jui, bagaimana pula dia memberikan pertanggungan jawabnya kepada istri tercinta? Karena pikirannya ini giginya gemertak, tanyanya. "Pit Yau ang, kalian ayah beranak sebenarnya mengandung maksud apa?" Pada saat itulah tiba2 diluar pintu terdengar seruan seorang dayang berkata. "Ada perintah dari Te kun, diminta Kiongcu dan Hu ma segera menghadap beliau diistana belakang!" "Baik, sudah tahu!" Segera sahut Pit Yau ang. Suma Bing mendengus keras, serunya. "Kebetulan hendak kutanyakan kepada ayahmu, apakah maksudnya semua perbuatan ini..." Berobah pucat wajah Pit Yau ang, suaranya ketakutan. "Jangan!" "Mengapa jangan?" "Kalau kau berlaku kurang ajar terhadap ayah, adalah kau cari mati sendiri!" Lebih memuncak kemurkaan Suma Bing, matanya mendelik bagai kelereng. "Aku Suma Bing sudah terjatuh dalam cengkraman kalian ayah beranak, aku tidak peduli akan mati hidup." "Kau... jangan!" Suma Bing mendengus ejek. "Aku mohon kepadamu!" "Kau Pit Yau ang memohon kepadaku? Sungguh menggelikan kau salah menilai aku, Suma Bing ini bukan budak hina dina yang lemah tulang..." "Engkoh Bing, sedikitpun tiada rasa cinta kasihmu terhadap pernikahan kita." Tergerak sanubari Suma Bing wajahnya membeku, tanyanya. "Apakah maksudmu ini?" "Engkoh Bing, sehari menjadi suami istri akan terkenang sepanjang masa, meski kau buang aku bagai barang rongsokan yang tidak berguna lagi, tapi masa aku tega melihat kau..." "Beberapa kata ini enak didengar dan dapat meluluhkan hati. Tapi sayang aku Suma Bing bukan manusia lemah semacam itu." "Engkoh Bing, kuminta kepadamu bila berhadapan dengan ayah, haraplah kau berlaku sabar!" Sejenak ia merandek, lalu katanya lagi sambil menggigit bibir. "Tidak peduli syarat apapun yang kau ajukan, biar aku lulusi semua." Sikap Suma Bing tetap dingin membeku. "Ucapanmu dapat dipercaya?" "Sudah tentu!" "Baik, kululusi permintaanmu!" "Mari ganti pakaian segera kita keistana belakang." Istana belakang juga tidak kalah besar dan megahnya, suasana disini lebih hening lelap, sinar lampu memancarkan cahayanya yang redup. Terlihat Raja bumi mengenakan pakaian preman tengah duduk penuh wibawa diatas kursi kebesaran. Suma Bing mengiringi Pit Yau ang memasuki ruang istana, begitu dekat segera Pit Yau ang mendahului berlutut dan bersembah. "Anak menghadap ayah baginda!" Sebaliknya Suma Bing berdiri mematung tanpa bergerak, diam2 Pit Yau ang menarik ujung celananya, sinar matanya memancarkan permohonan yang harus dikasihani. Bentrok dengan sorot mata ini luluh dan lemah hati Suma Bing, terpaksa dia berlutut juga. Sedikit mengerut kening Raja bumi angkat sebelah tangan seraya berkata. "Bangun, duduk dipinggiran!" "Terima kasih ayah!" Berdua mereka duduk diatas kursi yang terletak disebelah samping. Sorot mata Suma Bing menatap lurus kedepan, air mukanya yang dingin membeku membuat gentar dan takut orang yang melihatnya. Terdengar Raja bumi membuka kata dengan nada kalem dan berat. "Menantuku yang bagus, menurut undang2 tradisi dari kakek moyang kita, dari sejak sekarang juga, kau sudah merupakan ahli waris dari perkampungan bumi kita ini." Keruan bergetar perasaan Suma Bing, cara bagaimanakah penjelasannya ini. Bagaimana mungkin dirinya menjadi ahli waris dari perkampungan bumi ini, malah menurut undang2 tradisi kakek moyang mereka lagi. Ini benar2 kejadian yang aneh bin ajaib dikolong langit. Maka segera sahutnya dingin. "Ini, sukar aku dapat menerima!" Berobah pucat air muka Pit Yau ang, diam2 ia me-narik2 lengan baju Suma Bing. Wajah Raja bumi berobah membesi dan gusar. "Ini merupakan undang2 besi selamanya tidak dapat diganggu gugat!" Dasar sifat Suma Bing memang angkuh dan keras kepala, terlupakan sudah akan janjinya kepada Pit Yau ang, bantahnya. "Mengenai urusan besar begini harus tergantung kepada orang yang berkepentingan rela menerima atau tidak, mana bisa main paksa apa segala?" Wajah Te kun berobah lagi lebih seram tak enak dipandang, kedua matanya memancarkan sinar hijau yang menakutkan, geramnya. "Keputusan tidak terletak pada dirimu?" "Aku yang rendah..." "Apa, terhadap aku kau sebut aku yang rendah?" Bentak sang raja. Tubuh Pit Yau ang gemetar semakin keras, wajahnya pucat pasi, ber-ulang2 matanya ber-kedip2 memberi isyarat tapi sedikitpun Suma Bing tidak hiraukan se-akan2 tidak melihat. "Dengan kedudukan Te kun dan nama kebesarannya, semestinya tidak seharusnya berbuat..." "Bedebah, tutup mulutmu. Berani kau membangkang perintah raja." "Aku yang rendah seorang yang telah mempunyai istri!" "Apa? Kau sudah mempunyai istri?" Badan Pit Yau ang gemetar semakin keras, dengan lengan baju ia tutup mukanya. "Benar!" Seru Suma Bing dengan tidak kalah gusarnya. "Sebelum ini kenapa tidak kau jelaskan?" "Adalah kalian yang memaksa dan mengatur keadaan ini, sehingga aku yang rendah tiada kesempatan untuk membela diri!" Agaknya Te kun sendiri juga merasa tegang dan murka luar biasa, wajahnya berkerut2 menahan perasaan hatinya. 'Pak, Plok' dua kali tangannya bertepuk, segera muncul dua laki2 yang mengenakan pakaian Busu sambil menghadap dengan hormatnya diambang pintu. "Panggil menghadap Komisaris luar!" "Terima perintah!" Kedua busu itu membungkuk tubuh terus mengundurkan diri. Suma Bing tetap duduk ditempatnya dengan sikap dingin kaku, dengan tenang ia nantikan perkembangan selanjutnya. Tidak lama kemudian, seorang tua yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap garang bergegas memasuki ruang istana, segera kedua lutut ditekuk sambil sembahnya. "Komisaris luar Teng Tiong cwan menghadap Baginda raja!" "Bangun dan jawab pertanyaan!" "Terima kasih baginda!" "Siapa orang yang bertugas menyelidiki asal usul ahli waris kali ini?" "Sim tongcu dan Bu tongcu dua tongcu bawahan hamba langsung bertugas dikalangan Kangouw!" Terdengar Te kun mendengus gusar, serunya. "Bawa Sim dan Bu Tongcu keluar penggal kepalanya!" Tanpa terasa berdetak keras jantung Suma Bing. Saking kaget komisaris luar Teng Tiong cwan mundur selangkah, tubuhnya membungkuk sambil memberi hormat, ujarnya. "Harap baginda suka memberi ampun, ketahuilah bahwa kedua Tongcu ini sudah pernah mendapat empat kali pahala utama!" "Penggal kepalanya!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hamba memberanikan diri bertanya, apakah kesalahan mereka?" "Bekerja secara ceroboh, merusak gengsi dan nama kebesaran Te po!" "Harap diberikan data2 yang jelas?" -oo0dw0oo- Jilid 9 33. DARAH PUSAKA NAGA BUMI. "Hu ma Suma Bing ternyata sudah mempunyai istri. Ini menandakan bahwa cara bekerja kedua Tongcu itu teledor dan kurang teliti!" "Sebelumnya terima kasih akan budi luhur dan kebajikan hati baginda. Harap suka diizinkan kedua Tongcu itu memberikan keterangan untuk membela diri, kalau memang kenyataan mereka bersalah barulah hukuman dijalankan!" "Baik, kululusi permohonanmu!" "Terima kasih!" Komisaris luar Teng Tiong cwan ter-sipu2 mengundurkan diri, kepala dan badannya basah kuyup oleh keringat. Tidak lama kemudian, dia kembali lagi membawa dua orang laki2 pertengahan umur terus berlutut dan menyembah dilantai. Suara Te kun terdengar berat lantang. "Silahkan Sim tong Tongcu membela diri!" Terdengar salah satu dari dua laki2 pertengahan umur itu mengiakan dan berkata gemetar. "Sim tong Tongcu Song Lip hong memberi keterangan sebagai berikut. Hamba terima perintah khusus untuk menyelidikl Suma Bing Hu ma yang sudah ditunjuk. Menurut apa yang telah hamba selidiki. Sebelum ini Hu ma memang benar2 belum menikah. Dia mempunyai tiga kawan wanita yaitu. Siang Siau hun, Ting Hoan dan Phoa Kin sian. Diantaranya seluk-beluk Phoa Kin sian ini paling mencurigakan, dia pernah berhubungan lebih mendalam dengan Huma, tapi belum diadakan ikatan jodoh!" "Tap i Hu ma s end i r i me ny a ng k a l k e t e r ang a nmu i ni ? " "Ha r ap b ag i n d a r a j a s uk a meme r i k s a s e c a r a j e l a s ! " Me no nt o n s amb i l me nd e ng a r k an h a t i Suma Bi ng s ema k i n kebat kebit, ternyata sedemikian jelas mereka2 ini mengetahui tentang segala seluk beluknya dikalangan Kangouw, kalau dirinya masih tetap mengukuhi pendapatnya yang terdahulu, maka kedua Tongcu ini pasti akan dipenggal kepalanya dan mati secara konyol. Meskipun sifatnya angkuh dingin, namun hakikatnya wataknya welas asih dan jujur, mana tega dia melihat kedua orang ini dihukum mati karena dirinya, maka segera ia campur bicara. "Aku yang rendah berani menjadi saksi bahwa apa yang diucapkan oleh Tuan ini memang benar adanya." Sebutan diri dengan istilah 'aku yang rendah' ini, bagi pendengaran kuping Teng Tiong cwan dan lain2 sangat menusuk telinga, sebagai Hu ma atau menantu raja mengapa sedemikian merendahkan derajat. Te kun tambah gusar, semprotnya. "Suma Bing, mengapa kau begini plin plan menjilat ludahmu sendiri?" Suma Bing tertawa ejek, sahutnya. "Upacara pernikahan kami terjadi sejam sebelum aku tertawan oleh kalian kemari?" "Apa betul demikian?" "Kenyataan memang begitu!" Rona wajah Te kun be-robah2 tak menentu, tangannya diangkat serta berseru. "Kalau begitu, hal ini bukan menjadi kesalahan kalian berdua, kalian boleh mengundurkan diri." Komisaris luar bersama kedua Tongcu itu berlutut ber- ulang2 sambil menyatakan rasa terima kasih se-besar2nya akan kebajikan dan keadilan sang raja. Segera mereka mengundurkan diri. Sebelum pergi entah sengaja atau tidak sinar mata Sim tong Tongcu Song Lip hong melirik kearah Suma Bing cahaya matanya menyatakan syukur dan terima kasih yang tak terhingga. Sekian lama Te kun terpekur dan berpikir, air mukanya berobah sungguh2, serunya dengan suara rendah dan kuat. "Kalau kenyataan sudah terjadi, tidak bisa diganggu gugat..." Dengan penuh perasaan, segera Suma Bing menukas. "Aku yang rendah tidak sudi menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Phoa Kin sian dengan cayhe sudah mengikat jodoh terlebih dahulu!" "Tentu Lohu akan mengambil keputusan yang sempurna untuk kebaikan kedua belah pihak, kalian berdua boleh mengundurkan diri!" Sebenarnya Suma Bing masih hendak mengucapkan apa2, tapi sejak dia mengetahui sedikit persoalannya, sirap dan tenanglah gejolak hatinya, apalagi janji Pit Yau ang yang bersedia membantu dan takkan menolak apapun yang diajukan olehnya, maka mulutnya ditutup rapat, tanpa bersuara ia ikuti Pit yau ang mengundurkan diri keluar dari ruang istana belakang ini. Begitu sampai dikamar sendiri, tanpa membuang waktu segera Suma Bing bertanya. "Kau masih ingat janjimu sendiri?" "Sudah tentu ingat!" Sahut Pit Yau ang tertegun. "Kalau begitu, aku mengajukan satu permintaan!" "Coba katakan!" "Dalam waktu dekat ini aku harus segera meninggalkan perkampungan ini." Berobah sedih air muka Pit Yau ang, tanyanya,. "Kau hendak pergi?" "Kenapa aku harus tinggal disini?" "Apa tidak kau pikir2 lagi?" "Tidak!" "Tapi..." "Kau hendak mengingkari janji?" Merah mata Pit Yau ang, ujarnya. "Engkoh Bing, memang ini sudah nasib, aku tak kuasa menentang kehendak Allah, tapi aku sudah menjadi milikmu, meskipun kau tidak sudi pandang dan membuang aku, tapi isi hatiku hanya Tuhan yang tahu. Aku berani menempuh bahaya dan membangkang terhadap orang tua untuk mengantarmu keluar. Tapi ayah pasti tidak mau melepaskan kau, dikalangan Kangouw setiap langkahmu pasti selalu terancam bahaya..." "Itu urusanku selanjutnya!" Kata Pit Yau-ang sambil menggigit bibir. "Baik, selama tiga hari ini biarlah aku coba membujuk pada ayah baginda supaya kau boleh keluar, tentang aku ini, ai..." Betapa sedih dan perih perasaan hatinya semua tercurahkan dalam helaan napas panjang ini. Manusia tidak bisa disamakan batu atau kayu, betapapun masih mempunyai perasaan, sampai saat itu Suma Bing sendiri juga merasa menyesal, memang bagaimanapun juga mereka sudah menjadi suami istri secara resmi, tapi, apa yang dapat diperbuatnya, tak mungkin dia mengabaikan begitu saja pada istrinya yang pertama, yaitu Phoa Kin sian yang tidak lama lagi bakal melahirkan anaknya! Dia menggelengkan kepala dengan hampa. "Engkoh Bing," Ujar Pit Yau ang sambil tersenyum getir. "Maukah kau dengar sedikit penjelasanku?" "Baik, ceritakanlah!" Sejenak Pit Yau ang ragu2 lalu katanya dengan rasa berat. "Engkoh Bing, ini merupakan rahasia dari perkampungan kita, tapi tidak bisa tidak harus kuajukan kepadamu..." "Kalau ada kesukaran, kau boleh tidak usah mengatakan, aku tidak minta kau membocorkan rahasia!" Rona wajah Pit Yau ang agak berobah, tapi sekuat mungkin ia menahan perasaannya dan telan segala hinaan dan kedongkolan hatinya, mulailah dia memberikan penjelasan. "Menurut tradisi majikan dari perkampungan bumi ini dinamakan Te kun (raja bumi), semua punggawa atau hulubalangnya juga turun temurun adalah keturunan asli dari perkampungan ini, demikian juga pangkat dan pakaian dinas mereka sudah tertentu tidak gampang2 dirobah, hal2 ini kau sendiri sudah melihat, bukan kita sengaja hendak main sandiwara dihadapanmu. Tentang cara penggantian Te kun, disini ada suatu undang2 tersendiri, yaitu bahwa kedudukan raja harus diturunkan kepada putranya yang terbesar, tapi bila tidak mempunjai putra, maka anak putrinya diperbolehkan mencari calon suaminya sendiri dikalangan Kangouw, calon Hu ma ini harus seorang ksatria yang gagah perwira dan mempunyai pambek besar untuk diselundupkan masuk Perkampungan bumi untuk menjabat kedudukan Te kun ini. Ini adalah undang2 keras dari kakek moyang kita maka terpaksa aku harus berbuat begitu..." "Betapa besar kalangan Kangouw ini, bagaimana bisa memilih aku?" "Ini..." "Ini apa?" "Adalah aku sendiri yang menaruh hati kepada siangkong..." "Jadi jelasnya adalah kau yang penujui aku?" "Ya, begitulah jelasnya!" "Gambar dalam bola kaca bundar itu, bagaimana pula kau hendak menerangkan?" "Itu hanya sebuah lukisan belaka!" "Sebuah lukisan?" "Benar, aku sedikit pandai menggambar, maksudku semula hanya hendak menyimpan gambar lukisan itu sebagai peringatan saja." Sedikit banyak akhirnya Suma Bing paham dan maklum sudah akan duduk semua peristiwa ini. Sungguh tak terkirakan sebelumnya bahwa dirinya bakal terpilih sebagai calon Hu ma atau majikan dari perkampungan bumi ini. Setelah mendengar semua penjelasan itu, rasa gusar dan tidak puas hatinya lambat laun sudah lumer dan tenanglah hatinya. Kalau mereka tidak bermaksud jahat dan sengaja mau menipu, tiada alasan lagi ia harus memusuhi atau dendam kepada mereka. Sebaliknya, ia harus menerima satu kenyataan bahwa Pit Yau ang adalah istrinya. Kenyataan ini benar2 membuat dia serba runyam, tidak bisa tidak harus mengakui istri kedua ini, tapi, terhadap Phoa Kin sian serta gurunya, bagaimana dia mesti memberi penjelasan dan pertanggungan jawabnya. Bukan saja sudah resmi menjadi istrinya malah dia sekarang sudah mengandung, tinggal tunggu waktu melahirkan... Karena pikirannya ini tanpa terasa ia menghela napas panjang, katanya gemas. "Adik Ang, kau salah pilih orang!" Panggilan 'adik Ang' ini membuat lega perasaan Pit Yau ang, suaranya gemetar. "Engkoh Bing, mengapa kau katakan aku salah memilih kau?" "Sebab aku sudah mempunyai istri!" "Semua ini terjadi diluar dugaan, sebab menurut keadaan semula apa yang kami tahu tentang kau belum pernah menikah, sekarang beras sudah menjadi nasi, jangan kata seorang wanita dari semula sampai akhir selamanya akan setia kepada suaminya, tapi entah bagaimana aku harus memberikan pertanggungan jawabku kepada Te po atau seluruh penghuni perkampungan ini. Tapi Engkoh Bing, aku tetap masih menepati janjiku semula kepada kau, tiga hari lagi kau pasti dapat berada lagi dikalangan Kangouw, tentang selanjutnya..." Tak kuasa ia melanjutkan kata2nya, airmata semakin deras meleleh keluar. Sepasang kemanten baru yang bahagia seharusnya merasa riang gembira, ini merupakan saat yang paling menggembirakan selama hidup ini, adalah sebaliknya mereka lewatkan saat2 yang bahagia itu digenangi airmata yang memilukan hati. Tengah mereka ber-cakap2 inilah mendadak terdengar suara seorang dayang berkata. "Lapor Kiongcu, Coh yu hu pit tengah menanti kedatangan Hu ma diluar ruangan istirahat!" "Sudah tahu, segera kita datang!" Alis Suma Bing berkerut dalam, katanya. "Mau pergi kau pergilah sendiri, aku tiada minat bertemu dengan mereka." "Engkoh Bing, tidak dapat tidak kau harus temui mereka." "Tidak!" "Engkoh Bing, kedudukan Coh yu hu pit ini hanya lebih rendah dibawah ayah baginda, kalau dia minta bertemu, pasti ada urusan apa2 yang sangat penting, harap kau suka menyusahkan diri sebentar untuk bertemu dengan mereka!" wajahnya mengunjuk rasa memohon yang harus dikasihani. Apa boleh buat terpaksa Suma Bing mengangguk juga. Dibimbing dan diiringi serombongan para dayang2 be-ramai2 mereka menuju ruang istirahat yang terletak disebelah kamar mereka. Dua orang tua yang masing2 tangan kiri kanan mereka membekal lencana gading mengenakan pakaian kebesaran lengkap sudah menanti ditengah ruang istirahat ini. "Coh hu Si Kong teng. Yu pit Ciu Goan tiong menghadap Hu ma dan Kiongcu!" Kedua orang tua ini berbareng memperkenalkan diri sambil membungkuk hormat!" Sikap Suma Bing tetap dingin, tangan diulapkan dan berkata. "Kalian tidak perlu banyak peradatan, ada kepentingan apakah?" Co hu Si Kong teng berkata dengan sikap serius. "Kami dapat perintah dari Te kun untuk mempersembahkan arak kepada Hu ma!" "Memberi arak?" - dengan penuh keheranan dan tak mengerti Suma Bing melirik kearah Pit Yau ang. Pit Yau ang berkata lirih. "Nyatakan terima kasih akan pemberian arak ini!" Sekian lama Suma Bing ragu2, akhirnya berkata ogah2an. "Terima kasih!" Dia tidak tahu persoalan apalagi tentang pemberian arak ini, pikirnya, apa mungkin ada muslihat apalagi? Yu pit Ciu Goan tiong segera mengeluarkan sebuah cangkir kecil yang terbuat dari batu giok dari balik jubahnya yang besar kedodoran, serta sebuah poci kecil berwarna putih kehijau2an, dengan hati2 dan penuh hormat dituangkannya secangkir penuh, lalu Coh hu Si Kong teng maju mempersembahkan dengan kedua tangannya seraya berkata. "Hu ma silahkan minum!" Suma Bing menyambuti dan melihat isi dari cangkir itu seketika berobah airmukanya. Arak apa ini yang terang adalah darah kental dengan warna merahnya yang menyolok mata, tanpa sadar bergidik tubuhnya. Sebaliknya Pit Yau ang malah mengunjuk rasa girang luar biasa, katanya lemah lembut. "Pemberian dari orang tua tidak bisa ditolak. Engkoh Bing, lekaslah minum!" Suma Bing menjadi nekad sekali tenggak ia habiskan isi cangkir itu. Siapa tahu begitu masuk tenggorokan, arak itu terasa dingin dan berbau wangi, beruntun tiga cangkir ia habiskan sehingga seluruh isi poci kecil itu kering. Coh hu Yu pit berseru berbareng. "Selamat Hu ma." Sambil membungkuk hormat segera mereka mengundurkan diri. Tidak lama setelah Coh hu Yu pit keluar, Suma Bing lantas rasakan kepalanya berat, pandangannya kabur, terasa dimana tempat dia berpijak berputar jungkir balik, diam2 ia mengeluh celaka pasti aku terjebak pula dalam tipu muslihat mereka. Maka tanpa banyak pikir lagi segera dia membentak keras. "Bangsat rendah, kubunuh kau!" Tangannya sudah terangkat memukul kearah Pit Yau ang, namun baru saja tenaganya dikerahkan, kepalanya terasa berat dan kakinya lemas kontan dia roboh terkapar tak ingat diri. Entah sudah berselang berapa lama, pelan2 Suma Bing siuman dari tidurnya, didapatinya dirinya rebah diatas ranjang gading dalam kamarnya. Terlihat Pit Yau ang tengah bertopang dagu duduk diatas kursi, entah apa yang tengah direnungkan. Diam2 Suma Bing juga tengah berpikir dan mengenang kembali akan pemberian arak dari Te kun itu lantas dirinya jatuh mabuk. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Masak sedemikian besar khasiat tiga cangkir arak itu, seketika membuat dirinya mabuk dan jatuh pingsan? Pelan2 dicobanya mengerahkan tenaga murni dalam tubuh, begitu dikerahkan sungguh kejutnya tidak kepalang, jantungnya berdetak sangat keras. Terasa hawa murninya penuh padat bergelora ber-gulung2 bagai gelombang badai, sehingga terasa tubuhnya ringan bagai terapung ditengah udara. Apakah yang telah terjadi, bagaimana bisa Lwekangnya mendadak tambah dalam satu kali lipat lebih? Sekian lama dia ter-longong2 mematung rebah dipembaringan, kedua matanya melotot kesima memandang langit2, perasaannya hampa semangatnya lesu. Apa mungkin ini hasil khasiat dari arak berwarna merah darah itu... "Adik Ang!" Ter-sipu2 Pit Yau ang bangkit berdiri terus ber-lari2 kecil mendekati pembaringan, matanya tajam penuh kasih mesra memandang Suma Bing, tanyanya. "Engkoh Bing, kau sudah bangun, ada apakah?" "Aku... agaknya merasa..." "Merasa apa?" "Tenaga dalamku maju berlipat ganda!" Pit Yau ang lantas unjuk senyum berseri, katanya. "Engkoh Bing, silahkan kau coba2 tembusi jalan darah mati hidupmu!" "Apa jalan darah mati hidup?" Seru Suma Bing berjingkrak kaget. "Benar, coba2 adakah gejala2 yang aneh?" Suma Bing masih tidak mengerti namun dia menurut mengerahkan tenaga murni terus disalurkan keseluruh tubuh, begitu satu putaran sudah selesai, tanpa terasa dia menjerit kaget. "Jalan darah mati hidupku sudah tembus?" "Tidak salah." "Bagaimana sebenarnya..." "Ayah baginda memberikan tiga cangkir Te liong po hiat kepadamu, apa kau sudah lupa?" Suma Bing berjingkrak bangun dari atas pembaringan, kagetnya belum hilang. "Apa Te liong po hiat? (darah pusaka naga bumi)" "Benar, dalam perkampungan bumi ada sebuah sumber alam yang keluar dari nadi bumi dinamakan Te liong atau naga bumi, setiap bulan pada malam terang bulan dari sumber nadi ini menetes keluar setitik getah berwarna merah darah, maka itu dinamakan darah pusaka naga bumi!" "Setiap bulan hanya satu titik saja?" "Ya, setiap bulan hanya keluar setitik saja!" Hampir2 Suma Bing tidak percaya akan pendengaran kupingnya, ini benar2 suatu keajaiban dalam dunia, maka katanya penuh haru. "Jadi aku sudah minum sebanyak tiga..." "Tiga cangkir darah pusaka, itu sudah disimpan selama enam puluh tahun!" "O, mengapa ayahmu mau menghadiahkan barang pusaka yang tak ternilai itu untuk..." Wajah Pit Yau ang berobah sungguh. "Ini juga merupakan undang2 dari Te po!" "Undang2 lagi? Aku tidak paham!" "Sebab kau adalah ahli waris raja yang akan datang, maka dalam waktu dekat tenaga dalammu harus segera disempurnakan!" Pucat wajah Suma Bing, sungguh dia menyesal telah minum tiga cangkir arak itu, kalau tahu demikian halnya tidak bakal dia mau minum darah pusaka naga bumi itu. Berbagai tugas berat menuntut balas tengah mengikat dirinya. Mati hidup ibundanya juga belum diketahui, masa depan selanjutnya susah diraba, mana mungkin... Karena pikirannya ini berkatalah dia dengan lesu. "Tapi aku belum setuju untuk menjadi ahli waris Raja bumi kalian..." Pit Yau ang menarik muka, katanya. "Engkoh Bing, upacara menurut undang2 kakek moyang sudah berlaku dan tak mungkin dirobah lagi. Kalau kau berkukuh tidak mau terima aliran Te po ini mungkin untuk selanjutnya juga akan ludas, tapi aku sudah berjanji sebelumnya, kau tak usah kuatir aku menggunakan segala daya upaya untuk membujuk dan menahanmu disini, setelah besok hari, kalau memang aku tidak bisa membujuk ayah Baginda supaya kau diluluskan keluar perkampungan, aku... tetap akan mengantarmu keluar. Tentang akibatnya, ai, engkoh Bing, kuharap selalu kau ingat seorang sengsara yang pernah tidur semalam dengan kau!" Suaranya sedih memilukan. Suma Bing juga merasa sesak tenggorokannya, katanya penuh penyesalan. "Adik Ang, maafkan aku, aku terpaksa berbuat demikian!" "Aku paham, tidak perlu maaf apa segala, agaknya kita berjodoh dalam khayalan belaka, nasib manusia tidak bisa ditentang!" "Adik Ang, kalau aku mengabaikan seorang istri, aku lebih tidak berbudi, dendam perguruan dan sakit hati orang tua kalau tidak kubalaskan lebih2 aku tidak berbakti, cinta kasihmu adik Ang, akan kukenang dalam lubuk hatiku sepanjang masa!" Didalam Perkampungan bumi tidak kenal perbedaan siang dan malam, selalu terang benderang, setiap kali berganti pelita atau menambah minyak lampu itu menandakan hari kedua mulai mendatang. Begitulah dalam kamar tidurnya Suma Bing tengah berjalan mondar mandir tidak tenang, hatinya berdebar tidak tentram menanti jawaban dari Pit Yau ang. Apakah ia dapat membujuk ayahnya supaya dirinya keluar dan muncul lagi di Kangouw? Kalau dia membangkang dan berani ambil resiko mengantarkan dirinya keluar, apakah yang bakal dialaminya? Setelah dirinya bebas dikalangan Kangouw, apakah Te po mandah saja membiarkan dirinya bebas berkelana? Tidak dapat disangkal lagi bahwa dirinya sudah ada ikatan sebagai suami istri dengan Pit Yau ang, tidakkah perbuatannya ini keterlaluan? Te kun sendiri pernah mengatakan hendak mengatur sedemikian rupa terhadap Phoa Kin sian, cara bagaimana dia bisa mengatur sesempurna mungkin? Tengah pikirannya me- layang2 terlihat Pit Yau ang bergegas mendatangi, mimik wajahnya menunjukkan urusan tidak menyenangkan seperti apa yang diharapkan sebelumnya! "Bagaimana adik Ang?" "Ayah tidak mengijinkan!" "Tidak diijinkan!" "Dia orang tua berkata, setelah kau dapat mempelajari seluruh kepandaian tunggal dari Te po baru boleh dirundingkan apakah kau boleh keluar atau tidak!" Dingin perasaan Suma Bing. Wajah Pit Yau ang penuh kesedihan, airmata berlinang dikelopak matanya, katanya lagi. "Engkoh Bing, biar kuantar kau keluar!" "Kau..." "Ya, terpaksa aku membangkang pada ayah baginda, habis tiada cara lain yang lebih sempurna." 'Ucapan membangkang kepada orang tua' benar2 membuat Suma Bing ragu2 dan terpukul batinnya. Pit Yau ang sudah melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri kepada suaminya, masa sedikitpun dirinya tiada rasa cinta kasih antara suami istri. Untuk dirinya tidak kepalang tanggung dia berani membangkang kepada orang tua, sebaliknya dirinya tidak memikirkan untuk menghindarkan segala akibat buruk yang bakal terjadi. Tak peduli cara bagaimana mereka telah menikah, hakikatnya dia sudah menjadi istrinya, betapa luhur dan bajik hati istrinya, benar2 diluar dugaannya. Begitulah akhirnya dia berkata. "Adik Ang, aku tidak bisa mem-bawa2 kau, biarlah aku langsung berhadapan dengan Te kun untuk mohon..." "Kalau begitu selamanya kau takkan dapat keluar lagi, kata2 ayah selamanya keras sekokoh gunung tak dapat diganggu gugat, dia takkan merobah maksudnya semula." "Tapi setelah aku pergi, kau akan..." "Engkoh Bing, kau dapat berkata demikian, hatiku sudah terhibur. Sekarang gantilah pakaianmu yang semula, biar kuantar kau keluar dari jalan rahasia!" Bahwasanya memang tidak bisa tidak Suma Bing harus keluar lagi dikalangan Kangouw berbagai tugas suci tengah menunggu penyelesaiannya. Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo